SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada...

83

Transcript of SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada...

Page 1: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang
Page 2: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

JILID 18

OLEH

PaneMbahan Mandaraka

Gambar sampul & Gambar dalam

Ki Adi Suta

Tahun 2019

Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas

(i)

Page 3: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Cerita ini ditulis

Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa

Yang telah menggali cerita Dari bumi yang tercinta

Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga Hanyalah kecintaan akan sebuah karya Untuk dilestarikan sepanjang masa

Sekar keluwih, Desember 2019

Terima kasih atas dukungan: Istri dan anak-anak tercinta

Serta handai taulan semua

(ii)

Page 4: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Sebenarnya ilmu menghisap tenaga lawan ini adalah sejenis ilmu

yang dapat untuk melumpuhkan lawan tanpa mencederainya,”

berkata Ki Rangga dalam hati sambil terus mengawasi jalannya

pertempuran, “Perguruan Windujati pun mempunyai ilmu sejenis

itu, namun dalam bentuk yang berbeda. Ilmu yang dapat

mempengaruhi indera penciuman seseorang sehingga akan

mengakibatkan lawan menjadi lumpuh saraf otaknya. Namun

kebanyakan ilmu-ilmu yang sejenis itu justru dijadikan sebagai

alat pembunuh oleh pemiliknya. Membunuh dengan cepat lawan

yang sudah tak berdaya. Berbeda dengan tujuan semula, untuk

menjadikan lawan menyerah tanpa harus mencederainya.”

Ketiga orang yang sedang mengawasi jalannya perang tanding itu

sekilas berpaling ke arah pintu longkangan ketika tiba-tiba mereka

mendengar derit pintu yang terbuka lebar. Sejenak kemudian

tampak Ki Gede Matesih berjalan menuju ke tempat mereka

sambil menjinjing tombak pusakanya.

“Aku akan mendekat,” berkata Ki Gede sambil melewati Ki Bango

Lamatan dan Ratri.

“Aku di sini saja, ayah,” bisik Ratri dengan suara yang nyaris tak

terdengar. Sementara Ki Bango Lamatan hanya tersenyum. Dia

tidak bisa mendekat ke arena perang tanding justru karena

mengkhawatirkan keselamatan Ratri jika putri Matesih itu

ditinggal sendirian.

Dalam pada itu langkah Ki Gede pun semakin dekat dengan ketiga

orang yang sedang terpaku mengawasi jalannya perang tanding.

Ketika Ki Gede kemudian berdiri di sebelah kanan Ki Waskita,

hampir serentak ketiga orang itu menganggukkan kepalanya yang

1

Page 5: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

segera dibalas anggukan pula oleh pemimpin perdikan Matesih

itu.

“Luar biasa,” desis Ki Gede kemudian begitu pandangan matanya

ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada

anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti

ini.”

Ki Waskita yang berdiri di sebelahnya hanya menarik nafas dan

berpaling sekilas ke arah Ki Gede sambil tersenyum dan

mengangguk. Perhatian orang tua itu benar-benar sedang

tercurah pada pertempuran.

Ki Rangga yang berdiri di sebelah kiri Ki Waskita sekilas berpaling

mendengar desis Ki Gede. Namun sebagai kakak sepupu dan

sekaligus guru Glagah Putih dari jalur Ki Sadewa, Ki Rangga

benar-benar sedang mengkhawatirkan keselamatan Glagah Putih.

“Di dalam diri Glagah Putih telah mengalir dua jalur perguruan,

jalur dari perguruan Ki Sadewa dan Ki Jayaraga,” membatin Ki

Rangga untuk menentramkan gejolak hatinya, “Selain itu

pergaulannya dengan Raden Rangga juga telah membuat ilmunya

semakin meningkat pesat,” Ki Rangga sejenak berhenti berangan-

angan. Lanjutnya kemudian, “Terakhir dia telah mewarisi sebuah

kitab dari Kiai Namaskara secara aneh dan tidak masuk akal.

Namun aku belum sempat meneliti lebih jauh ilmu yang telah

dipelajari oleh Glagah Putih dan Rara Wulan itu. Sebagai gurunya,

suatu saat aku akan mempelajari isi kitab itu secara lebih

bersungguh-sungguh karena menurut cerita Glagah Putih, banyak

laku aneh yang terdapat dalam kitab itu dan memang harus dikaji

pengaruhnya terhadap diri pribadi orang yang mempelajarinya.”

Tiba-tiba terbesit sebuah pemikiran di benak Ki Rangga untuk

memberitahu Glagah Putih tentang ilmu lawannya yang mungkin

2

Page 6: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

dapat membahayakan dirinya. Namun dengan cepat angan-angan

itu pun dibuangnya jauh-jauh.

“Tidak selayaknya jika aku menggunakan aji pameling kepada

Glagah Putih untuk mewaspadai ilmu dari goa Langse itu. Itu

sama saja dengan berlaku curang untuk membantu salah seorang

yang sedang berperang tanding, walaupun secara tidak langsung.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam, entah untuk ke berapa

kalinya. Dadanya rasa rasanya semakin pepat melihat jalannya

perang tanding yang semakin dahsyat.

Dalam pada itu Glagah Putih yang belum menyadari siasat lawan

yang terus memaksanya bertempur dalam jarak dekat, menjadi

berdebar-debar ketika sekilas pandangan matanya sempat melihat

ke arah kedua telapak tangan lawannya yang terbuka. Warna

kedua telapak tangan itu tampak kebiru-biruan.

“Mungkin mengandung sejenis racun,” membatin Glagah Putih

sambil terus bertempur, “Aku dapat merasakan sambaran hawa

dingin yang keluar dari kedua telapak tangan itu.”

Menyadari kemungkinan terburuk yang dapat terjadi jika

serangan lawan menyentuh tubuhnya, Glagah Putih pun

kemudian berusaha melindungi tubuhnya dengan kekuatan

tenaga cadangannya.

“Aku tidak mempunyai sejenis ilmu kebal seperti kakang Agung

Sedayu,” kembali Glagah Putih berkata dalam hati sambil terus

berloncatan dengan lincahnya menghindari setiap serangan

lawan, “Namun aku berharap seandainya benar serangan orang

ini mengandung racun, tenaga cadanganku akan cukup kuat untuk

menahan racun itu menjalar sampai ke jantung.”

3

Page 7: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Glagah Putih benar-benar harus berjuang sekuat tenaga agar

jangan sampai salah satu bagian tubuhnya tersentuh lawan.

Ditingkatkan kecepatan geraknya, demikian juga lawannya.

Sehingga semakin lama kedua orang yang sedang menyabung

nyawa itu sudah tidak tampak ujud mereka. Hanya bayangan yang

bergerak cepat, berputar melenting dan kemudian meluncur silih

berganti.

Dalam pada itu Matahari telah terbit dan cahayanya yang terang

benderang telah menyinari bumi. Ki Rangga dan Ki Waskita yang

berada di belakang banjar padukuhan induk itu pun telah

dikejutkan oleh suara derap langkah yang teratur dan sorak sorai

yang membahana, walaupun suara itu terdengar masih sangat

jauh dan hanya mereka berdua saja yang baru dapat

mendengarnya.

“Pasukan siapakah yang bergerak di pagi hari begini?” berkata Ki

Rangga dalam hati sambil mengerutkan keningnya dalam dalam.

Ketika dia kemudian berpaling ke arah Ki Waskita, tampak ayah

rudita itu menggeleng lemah. Agaknya Ki Waskita yang juga sudah

mendengar suara itu pun tidak mempunyai dugaan sama sekali.

Namun ketika sejenak kemudian Ki Jayaraga telah mampu

menangkap suara gerakan pasukan itu, tampak wajah orang tua

itu berkerut sejenak. Namun kemudian sebuah senyum

tersungging di bibirnya.

Sambil mengangguk-anggukan kepalanya, Ki Jayaraga pun

kemudian berdesis perlahan-lahan, “Agaknya pasukan pengawal

yang dipimpin Ki Wiyaga telah kembali dari gunung Tidar.”

Yang mendengar desis Ki Jayaraga itu pun telah menarik nafas

dalam-dalam, kecuali Ki Gede Matesih. Karena kemampuannya

4

Page 8: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

memang masih di bawah orang-orang tua itu sehingga dia telah

terkejut mendengar desis Ki Jayaraga.

Bertanya Ki Gede kemudian sambil berbisik, “Ki Wiyaga dan

pasukannya telah pulang? Kapan?”

Ki Jayaraga tersenyum sambil berpaling sekilas. Jawabnya

kemudian tak kalah lirihnya, “Mereka sedang bergerak menuju ke

banjar ini, Ki Gede. Kita tunggu saja, sebentar lagi Ki Gede pun

akan mendengar gerakan pasukan itu.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam mendengar jawaban Ki

Jayaraga. Dia segera menyadari keterbatasan kemampuannya jika

dibandingkan dengan Ki Rangga dan orang-orang tua itu.

Ki Rangga yang ikut mendengar jawaban Ki Jayaraga itu ikut

mengangguk-anggukkan kepalanya. Berkata Ki Rangga dalam hati

kemudian, “Semoga pasukan pengawal Ki Wiyaga tidak

mengalami satu permasalahan apapun. Semoga mereka membawa

berita baik untuk perdikan ini.”

Namun lamunan Ki Rangga terputus ketika terdengar Glagah

Putih berteriak keras karena mengalami sebuah peristiwa yang

sangat mengejutkan. Ketika dalam jarak yang sangat dekat Glagah

Putih tidak ada ruang untuk berkelit, dengan terpaksa anak laki-

laki Ki Widura itu pun menangkis serangan lawan, dan akibatnya

benar-benar sangat mengejutkan Glagah Putih.

Ketika sambaran tangan lawan dengan telapak tangan yang

terbuka itu mengarah ke wajah, Glagah Putih benar-benar tidak

sempat mengelak. Yang dapat dilakukannya adalah mengangkat

salah satu tangannya untuk melindungi wajah. Namun yang

terjadi kemudian justru telah membuat jantungnya hampir

terlepas dari tangkainya. Lengan kanannya yang berbenturan

5

Page 9: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

dengan telapak tangan lawan itu ternyata telah menempel sangat

erat dan lekat sehingga sulit untuk dapat ditariknya kembali.

“Awas Glagah Putih..!!!” tanpa sadar, hampir bersamaan ketiga

orang tua itu telah berteriak keras, bahkan Ki Rangga telah

melangkahkan kakinya selangkah ke depan. Sementara Ki Gede

yang belum mengetahui ilmu nggegirisi dari goa Langse itu hanya

mengerutkan keningnya dalam-dalam.

Bagi Ki Gede, benturan itu masih dalam taraf yang wajar. Tidak

terdengar suara benturan yang keras atau pun cahaya yang

menyilaukan akibat dari benturan itu.

Dalam pada itu Glagah Putih yang belum menyadari apa

sebenarnya yang sedang terjadi pada dirinya telah mengerahkan

segenap kekuatannya untuk menarik lengannya. Namun semakin

dia mengerahkan tenaga cadangan untuk membebaskan

lengannya dari cengkeraman lawan, semakin lama cengkeraman

lawan justru terasa semakin kuat.

Ketika Glagah Putih kemudian mencoba menggunakan tangannya

yang lain untuk menyerang lawan, ternyata lawan dengan sangat

tenangnya justru telah menyambut serangannya itu. Sekali lagi,

Glagah Putih pun merasakan tangannya bagaikan lengket dan

melekat erat pada telapak tangan lawan. Kali ini di bagian

pergelangan tangannya.

Untuk beberapa saat kedua orang itu saling berdiri tegak sambil

mengerahkan kemampuan masing masing sampai ke puncak.

Pertapa goa Langse itu pun telah mengetrapkan ilmu ciri khas

perguruannya sampai ke puncak.

Sedangkan Glagah Putih yang berusaha dengan sekuat tenaga

melepaskan diri dari cengkeraman kedua tangan lawannya

6

Page 10: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

menjadi heran. Semakin keras dia berusaha menarik kedua

tangannya, semakin lekat kedua tangan lawan itu mencengkeram

kedua lengannya.

“Ilmu iblis apakah ini!” geram Glagah Putih dalam hati sambil

mengerahkan tenaga cadangannya untuk memperkuat

perlawanannya, “Dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin aku

melepaskan aji sigar bumi ataupun aji namaskara. Aku

membutuhkan waktu sekejap serta jarak yang cukup untuk

melontarkan kedua aji itu.”

Demikianlah akhirnya, ketika tenaga cadangan di dalam diri

Glagah Putih tidak mampu lagi bertahan, sedikit demi sedikit

terasa tenaga cadangan Glagah Putih justru seperti terseret dan

kemudian terhisap ke arah lawannya melalui kedua telapak yang

mencengkeram itu.

“Gila!!” kembali Glagah Putih menggeram dalam hati. Namun dia

tidak putus asa. Sambil berjuang mempertahankan tenaga

cadangannya agar jangan sampai terseret dan terserap habis, dia

memutar otak untuk menghadapi ilmu yang sangat aneh dan

nggegirisi itu.

Dalam pada itu, keempat orang yang berdiri di pinggir arena

perang tanding itu menjadi gelisah, terutama Ki Jayaraga dan Ki

Rangga. Kedua orang yang merasa sebagai guru Glagah Putih itu

tak henti-hentinya menyeka peluh yang membanjiri kening.

“Apa yang harus dilakukan Glagah Putih, Ki,” bertanya Ki Rangga

kemudian dengan suara bergetar menunjukkan kecemasan hati

yang tiada taranya.

Ki Jayaraga yang memandang ke tengah arena perang tanding itu

sama sekali tidak menjawab. Hanya tampak dia menggeleng

7

Page 11: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

gelengkan kepalanya berkali-kali. Sedangkan Ki Waskita dan Ki

Gede telah membeku di tempatnya masing-masing. Keduanya

sama sekali tidak berani bergerak atau pun bersuara yang akan

dapat menambah kegelisahan Ki Rangga.

Memang ada sepercik niat untuk membantu murid dan sekaligus

adik sepupunya itu. Namun Ki Rangga segera membuang jauh-

jauh keinginan itu.

“Sebenarnya dengan sorot mataku, aku dapat membantu Glagah

Putih keluar dari kesulitan yang sedang dialaminya. Dengan sekali

hentakan saja pada punggung atau bahunya, Pertapa goa Langse

itu pasti akan terkejut dan dengan demikian pemusatan nalar dan

budinya akan terganggu. Namun itu sangat menyalahi dan

menodai aturan perang tanding ini,” membatin Ki Rangga dengan

jantung yang semakin berdentangan melihat perkembangan di

arena perang tanding.

Dalam pada itu, Ki Bango Lamatan yang termasuk golongan

angkatan tua, telah terkejut bukan alang kepalang begitu melihat

benturan itu. Tanpa sadar dia telah melangkah ke depan.

“Paman! Jangan pergi!” tiba tiba terdengar rengekan dari

belakangnya. Ketika Ki Bango Lamatan kemudian berpaling,

tampak Ratri yang kini sudah jatuh bersimpuh di atas tanah.

Sejenak Ki Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Dia

benar-benar tidak dapat meninggalkan Ratri sendirian dalam

keadaan seperti itu. Sementara di arena perang tanding Glagah

Putih sedang dalam kesulitan.

“Sedikit banyak aku mengetahui ilmu itu,” berkata Ki Bango

Lamatan kemudian dalam hati sambil melangkah mundur

kembali dan berdiri tepat di samping Ratri yang sedang

8

Page 12: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

bersimpuh, “Ilmu nggegirisi yang dapat menghisap tenaga lawan.

Ilmu itu hampir tidak terlawan kecuali lawan yang dihadapi

mempunyai tenaga cadangan lebih besar dan lebih kuat. Jika

tenaga cadangan lawan jauh lebih kuat, ilmu menempel semacam

seekor cicak atau tokek itu akan dengan mudah dilepaskan.”

Namun ternyata kekuatan kedua orang yang sedang menyabung

nyawa itu terlihat seimbang, dan agaknya Pertapa goa Langse itu

yakin akan mampu menjebol pertahanan Glagah Putih sehingga

dia telah tertawa berkepanjangan.

“Nah, Glagah Putih. Sebut nama kedua orang tuamu sebelum

nyawamu meninggalkan ragamu!” teriak Pertapa goa Langse di

sela sela tawanya, “Engkau dapat menitipkan pesan kepada kakak

sepupumu itu sebelum ajal menjemput!”

Dada Glagah Putih rasa-rasanya mau meledak mendengar ejekan

dari lawannya itu. Namun benak Glagah Putih tetap jernih dan

tidak menjadi buram karena kekalutan hati. Dengan tetap

mempertahankan tenaga cadangannya yang mulai mengalir

sedikit demi sedikit terseret kekuatan ilmu lawan, Glagah Putih

mulai menilai ilmu apa saja yang pernah dipelajarinya sehingga

akan dapat digunakan sebagai sarana menghentikan serangan

lawan bahkan sekaligus menghancurkannya.

Tiba tiba Glagah Putih teringat kepada sebuah ilmu yang dapat

disalurkan lewat pori pori kulitnya. Ilmu yang bertumpu pada

kekuatan yang tersimpan dalam aliran darahnya. Ilmu yang dapat

mengubah tetes tetes embun pagi dan bahkan butir butir darah

yang mengalir dalam tubuhnya menjadi senjata yang sangat

dahsyat dan mematikan, aji pacar wutah puspa rinonce.

Berpikir sampai disitu, anak laki laki Ki Widura itu segera

memusatkan segenap nalar dan budinya. Bertumpu pada aliran

9

Page 13: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

darahnya yang terasa mulai sedikit demi sedikit merembes keluar

dari pori-pori di sekujur tubuhnya, Glagah Putih pun kemudian

dengan segenap kekuatan telah melontarkan aji pacar wutah

puspa rinonce. Aji itu tidak keluar dari kedua telapak tangannya,

namun justru telah mengalir deras bersamaan dengan aliran

tenaga cadangannya yang tersedot tenaga lawan.

Demikianlah akhirnya dengan berteriak keras, tubuh Glagah Putih

bergetar keras. Darah sekujur tubuhnya pun bagaikan bergolak.

Tenaga cadangannya pun ikut larut mendesak aliran darahnya

yang telah menyatu dalam pemusatan aji pacar wutah puspa

rinonce.

Pada awalnya Pertapa goa Langse itu begitu gembiranya

menyadari tenaga lawan dengan sangat derasnya memasuki

tubuhnya melalui aliran darah. Namun kegembiraan itu hanya

berlangsung sekejap dan berganti dengan teriakan penuh

kengerian ketika dia menyadari apa sebenarnya yang sedang

terjadi.

Aliran darah Glagah Putih dalam kendali aji pacar wutah puspa

rinonce itu telah menyusup ke dalam tubuh lawan melalui pori-

pori telapak tangan lawan yang mencengkeramnya dan berubah

menjadi ribuan jarum yang sangat lembut yang meluncur deras

mengikuti aliran darah menuju jantung.

Menyadari keadaan yang dapat membahayakan jiwanya, Pertapa

goa Langse itu segera melepas cengkeramanya dan meloncat ke

belakang. Namun semuanya sudah terlambat. Aliran darah yang

berubah menjadi senjata mematikan itu telah meluncur deras

didorong oleh hentakan tenaga cadangan Glagah Putih yang

memang sengaja telah dihentakkan diluar batas kemampuannya.

10

Page 14: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Akibatnya ternyata sangat dahsyat bagi kedua orang yang sedang

berperang tanding itu. Pertapa goa Langse yang telah meloncat ke

belakang itu ternyata tidak mampu mempertahankan

keseimbangannya. Ribuan butir butir darah yang telah berubah

ujud menjadi jarum jarum lembut sebesar gelugut pohon aren itu

telah merajam jantungnya.

Sejenak orang yang mengaku sebagai murid dan sekaligus anak

dari Pertapa goa Langse sepuh itu terhuyung huyung ke belakang

sambil mendekap dada kirinya. Namun semua itu tidak

berlangsung lama. Setelah memuntahkan darah segar terlebih

dahulu, tubuh Pertapa goa Langse itupun limbung dan akhirnya

jatuh terjengkang.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang telah menghentakkan

kekuatan tenaga cadangannya melebihi batas untuk mendorong

aji pacar wutah puspa rinonce telah jatuh pada kedua lututnya.

Sejenak pandangan matanya menjadi berkunag kunang sebelum

akhirnya semua menjadi gelap dan dengan perlahan tubuhnya

rebah di atas tanah yang berdebu.

“Glagah Putih !!!” hampir bersamaan orang orang yang berdiri di

pinggir arena itu berlari menghambur ke tempat Glagah Putih

yang telah rebah di atas tanah.

Ki Bango Lamatan yang melihat akhir dari perang tanding itu pun

sudah tidak mampu menahan diri lagi. Dengan secepat kilat dia

meloncat dan berlari menyusul Ki Rangga dan orang-orang tua

itu. Tidak diperdulikan lagi suara rengekan Ratri di belakangnya.

Dalam pada itu, Ki Rangga yang telah sampai di tempat Glagah

Putih terbaring segera berjongkok dan kemudian mencoba

mengangkat kepala Glagah Putih. Ki Jayaraga yang juga telah

berjongkok di hadapannya segera membantu Ki Rangga

11

Page 15: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

meletakkan kepala Glagah Putih di pangkuan kakak sepupunya

itu.

Dengan sangat cekatan dan sangat hati hati Ki Rangga segera

meraba denyut nadi di pergelangan tangan adik sepupunya itu.

Ketika Ki Rangga tidak menemukan apa yang dicarinya, dia segera

bergeser ke arah leher Glagah Putih. Namun Senopati pasukan

khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh itu telah

mengerutkan keningnya dalam-dalam. Detak nadi itu pun tidak

didapatkannya.

Namun Ki Rangga tidak berputus asa. Segera saja telapak

tangannya diletakkan di atas dada sebelah kiri Glagah Putih.

Sambil mengerahkan segenap nalar dan budinya, Ki Rangga pun

berusaha memantau detak jantung Glagah Putih.

“Hampir tidak terdengar,” membantin Ki Rangga dengan jantung

yang berdebaran. Dengan cermat Ki Rangga pun segera mengurut

beberapa urat-urat darah yang terdapat di sekujur tubuh Glagah

Putih, terutama urat darah yang menuju ke jantung

Ketika Ki Bango Lamatan telah tiba di tempat itu, tanpa sadar Ki

Rangga telah berpaling ke arahnya. Melihat kedatangan orang

yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra

itu, Ki Rangga pun segera berkata, “Ki Bango Lamatan, aku

mohon Ki Bango Lamatan memeriksa keadaan Pertapa goa

Langse itu.”

“Baik Ki Rangga,” jawab Ki Bango Lamatan sambil bergeser

meninggalkan tempat itu.

“Aku ikut,” tiba-tiba Ki Waskita yang berjongkok di sebelah Ki

Rangga segera bangkit berdiri dan menyusul Ki Bango Lamatan.

Sementara Ki Jayaraga sama sekali tidak memperdulikan keadaan

12

Page 16: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

di sekelilingnya. Perhatiannya benar-benar sedang tercurah

kepada keadaan Glagah Putih, murid terakhir dan satu-satunya

harapan baginya untuk meneruskan jalur ilmu dari perguruannya.

Sepeninggal Ki Bango Lamatan dan Ki Waskita, Ki Rangga segera

kembali memeriksa keadaan Glagah Putih dengan lebih seksama

lagi.

“Ki Jayaraga, sebaiknya kita baringkan saja Glagah Putih di atas

tanah. Aku akan membantu peredaran darahnya agar detak

jantungnya kembali seperti biasa,” berkata Ki Rangga kemudian

sambil dengan sangat hati hati mengangkat kepala Glagah Putih

dari pangkuannya dibantu Ki Jayaraga dan kemudian

meletakkannya di atas tanah. Sementara Ki Gede Matesih yang

tidak tahu harus berbuat apa hanya berdiri termangu-mangu di

belakang Ki Rangga dengan tombak pusakanya tergenggam erat di

tangan kanan.

Ketika Glagah Putih kemudian telah terbaring sempurna, Ki

Rangga segara duduk bersila. Katanya kemudian, “Ki Jayaraga,

bantu aku mendorong aliran darah di dalam tubuh Glagah Putih.

Dengan tenaga cadangan, perlahan lahan alirkan hawa panas ke

dalam tubuh Glagah Putih melalui kedua telapak kakinya.”

“Baik Ki Rangga,” jawab orang tua itu. Tanpa membuang waktu

lagi, Ki Jayaraga segera bergeser dan kemudian duduk bersila di

hadapan kedua telapak kaki Glagah Putih. Sejenak kemudian

orang yang telah malang melintang di dunia hitam maupun putih

itu pun telah tenggelam dalam semedinya membantu Ki Rangga

mengalirkan hawa panas dari arah kedua telapak kaki Glagah

Putih.

Dalam pada itu pasukan Ki Wiyaga ternyata telah semakin

mendekati banjar padukuhan induk. Suara derap langkahnya

13

Page 17: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Dalam pada itu pasukan pengawal yang dipimpin Ki Wiyaga telah

semakin mendekati banjar padukuhan induk. Sepanjang jalan…….

14

Page 18: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

telah terdengar oleh Ki Gede.

“Pasukan Ki Wiyaga,” tanpa sadar Ki Gede berdesis perlahan.

Ketika pemimpin perdikan Matesih itu kemudian memandang ke

arah Ki Rangga dan Ki Jayaraga berganti-ganti, keduanya tampak

sedang dalam pemusatan nalar dan budi untuk menolong Glagah

Putih.

“Aku tidak akan mengganggu mereka berdua,” berkata Ki Gede

kemudian dalam hati sambil melangkah mundur. Ketika tanpa

sadar dia memandang ke arah kiri, tampak Ki Bango Lamatan dan

Ki Waskita sedang merenungi tubuh Pertapa goa Langse yang

terbujur diam.

“Aku akan melihatnya,” kembali Ki Gede berkata dalam hati

sambil melangkahkan kakinya. Namun dia menjadi ragu-ragu

sejenak ketika sudut matanya menangkap bayangan seseorang

yang sudah sangat dikenalnya sedang duduk bersimpuh di dekat

pintu longkangan.

“Ratri,” desis Ki Gede tanpa sadar.

Menyadari bahwa saat itu putrinya pasti sedang membutuhkan

pertolongan, pemimpin perdikan Matesih itu pun telah

mengurungkan niatnya untuk melihat keadaan Pertapa goa

Langse. Kakinya pun segera diayunkan menuju ke longkangan .

Dalam pada itu pasukan pengawal yang dipimpin Ki Wiyaga telah

semakin mendekati banjar padukuhan induk. Sepanjang jalan

pasukan itu telah bersorak dan meneriakkan pekik kemenangan.

Para penghuni padukuhan induk sepanjang jalan yang mereka

lalui pun telah berhamburan turun ke jalan.

Seorang anak kecil yang sedang dimandikan biyungnya ternyata

telah tertarik dengan suara gegap gempita itu dan segera berusaha

15

Page 19: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

meninggalkan biyungnya yang sedang memandikannya.

“He? Mau kemana?” teriak biyungnya sambil menangkap salah

satu tangannya begitu anak itu berusaha lari meninggalkannya.

“Ada keramaian, biyung! Aku mau menonton!”

“He! Tunggu dulu. Mandimu belum selesai!”

“Tidak apa apa biyung. Nanti aku ketinggalan!”

“Tidak boleh, tidak boleh!” sahut biyungnya cepat sambil menarik

tangan anak itu mendekat dan kemudian mengguyurnya dengan

segayung air.

“Sudah, biyung! Sudah! Nanti aku ketinggalan!” teriak anak itu

sambil meronta ronta berusaha untuk melepaskan pegangan

biyungnya.

“Selesaikan mandimu dulu, nak!” biyungnya sedikit membentak.

Kemudian diambilnya selembar kain yang sudah berwarna sedikit

kusam, “Nah, keringkan dulu badanmu baru engkau dapat melihat

keramaian itu. Jangan lupa berpakaian dulu. Pakaianmu di amben

dapur.”

Namun anak itu sudah tidak mendengarkan biyungnya. Begitu

pegangan biyungnya lepas, dengan berlari kencang dia segera

menghambur meninggalkan perigi.

“He! Jangan lupa pakai bajumu!” teriak biyungnya mengingatkan.

Namun anak kecil itu sudah tidak memperdulikan apapun lagi.

Sorak sorai itu terdengar sudah agak jauh meninggalkan depan

rumahnya.

“Ah, aku terlambat,” gerutu anak itu sambil berlari lewat samping

16

Page 20: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

rumahnya. Dia sama sekali tidak sadar jika masih telanjang bulat

dan tetes tetes air masih membasahi sebagian tubuhnya.

Begitu dia sampai di regol depan, ternyata pasukan pengawal itu

sudah lewat beberapa langkah dari depan rumahnya namun masih

terdengar sorak sorainya di depan rumah sebelah.

Dengan cepat anak itu segera menyusup di antara gerombolan

orang yang berjajar-jajar di tepi jalan. Ketika dia kemudian

muncul di barisan paling depan, dia masih melihat ekor pasukan

pengawal itu.

Alangkah gembiranya anak kecil itu sehingga dia telah berteriak-

teriak sambil melonjak-lonjak. Lupa bahwa dirinya sama sekali

tidak mengenakan selembar pakaian pun.

Beberapa anak kecil sebayanya yang berada tak jauh dari

tempatnya berdiri telah tertawa sambil menunjuk-nunjuk ke

arahnya.

“He! Tidak punya malu!”

“He ! Tidak pakai baju!”

Demikian anak anak sebayanya yang berada di sekitar itu

berteriak riuh melihat dia yang telajang bulat.

Orang orang dewasa yang berada di sekitar tempat itu pun telah

tertarik dan akhirnya ikut tertawa.

Seorang anak muda segera menarik salah satu tangan anak kecil

itu sambil menjewer telinganya. Katanya kemudian, “Tidak tahu

malu. Bajumu kemana, he?”

“Aduh kakang sakit!” teriak anak kecil itu kemudian sambil

mengikuti anak muda itu yang setengah menyeretnya masuk

17

Page 21: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

kembali ke halaman rumahnya.

Dalam pada itu derap langkah pasukan pengawal yang dipimpin Ki Wiyaga semakin mendekati banjar padukuhan induk. Sambutan para penghuni padukuhan induk pun semakin meriah. Mereka berjejal jejal sepanjang jalan yang menuju ke banjar,

Para pengawal regol banjar yang sudah mendengar sorak sorai

itupun segera bersiap. Tampak dari kejauhan pasukan pengawal

yang dipimpin oleh Ki Wiyaga itu berjalan dengan dada tengadah

dan langkah yang tegap.

“Hidup pengawal perdikan Matesih!”

“Hidup pengawal Matesih!”

“Hidup Perdikan Matesih!”

“Jayalah selalu perdikan Matesih!”

Teriakan itu membahana bersahut sahutan sepanjang jalan.

Demikianlah akhirnya ketika pasukan itu kemudian berbelok

memasuki halaman banjar, para pengawal jaga telah berdiri

berjajar jajar memberikan penghormatan. Para pengawal yang

dipimpin Ki Wiyaga itu benar-benar telah disambut bak pahlawan

yang pulang dari medan perang dengan membawa kemenangan

yang gemilang.

Sesampainya pasukan pengawal itu di halaman banjar, para

pemimpin kelompok segera membariskan kelompoknya masing-

masing dan kemudian mengistirahatkan mereka sambil

menunggu perintah lebih lanjut. Sementara para penghuni sekitar

banjar tampak berjejal-jejal di luar pagar depan dan samping.

18

Page 22: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Namun para pengawal perdikan Matesih yang baru datang itu

menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat pemandangan

yang aneh di pendapa. Di pendapa itu tidak tampak seorang pun

yang sedang duduk duduk. Namun sebagai penggantinya tampak

sebuah amben sederhana telah diletakkan di tengah-tengah

pendapa. Sementara di atas amben itu sepertinya ada sesosok

mayat yang dibaringkan dan ditutupi dengan selembar kain

panjang.

“Mayat siapakah itu?” terdengar bisik bisik para pengawal

“Apa sebenarnya yang tekah terjadi? Dan siapakah yang telah

meninggal?” pertanyaan itu hilir mudik dalam benak para

pengawal, tak terkecuali Ki Wiyaga.

Ketika Ki Wiyaga yang berdiri di tlundak pedapa itu sedang

termangu-mangu memandangi jasad yang tampak terbujur di atas

amben dan ditutupi kain panjang itu, tiba tiba terasa seseorang

sedang menggamitnya dari belakang.

Ketika Ki Wiyaga kemudian berpaling, tampak pemimpin

pengawal jaga pagi itu sedang berdiri di belakangnya.

“Ada apa?” bertanya Ki Wiyaga kemudian.

“Ki Gede ada di ruang dalam banjar,” jawab pemimpin jaga itu.

Kemudian sambil menunjuk ke arah jasad yang terbaring di atas

amben, dia meneruskan, “Menjelang Matahari terbit pagi tadi, ada

seseorang yang mengaku sebagai Pertapa dari goa Langse telah

menyusup ke dalam banjar lewat belakang dan Glagah Putih telah

memergokinya.”

“Jadi mereka kemudian bertempur?” bertanya Ki Wiyaga dengan

wajah yang tegang. Beberapa pengawal yang berdiri di dekat

19

Page 23: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

kedua orang itu pun ikut tegang dan bahkan ada yang bergeser

mendekat untuk mendengarkan lebih jelas.

“Ya,” jawab pemimpin pengawal jaga itu dengan serta merta,

“Lebih tepatnya keduanya telah berperang tanding dan orang yang

menyebut dirinya Pertapa dari goa Langse itu telah tewas,”

pemimpin pengawal jaga itu berhenti sejenak. Kemudian

lanjutnya, “Ada lagi seseorang yang mengaku murid Pertapa goa

Langse itu dan telah membuat keributan di depan regol banjar

padukuhan induk ini.”

“He!” seru Ki Wiyaga tanpa sadar. Wajahnya pun menampakkan

ketegangan yang sangat, “Jadi mereka berdua sengaja mendatangi

banjar ini untuk membuat keributan?”

“Memang demikian,” sahut pemimpin pengwal jaga itu cepat,

“Menurut keterangan muridnya, Pertapa goa Langse itu

sebenarnya mencari Ki Rangga untuk ditantang berperang

tanding.”

Tampak kerut merut di kening kepala pengawal tanah perdikan

Matesih itu. Tanyanya kemudian dengan nada sedikit ragu,

“Untuk apa?”

Pemimpin pengawal jaga itu menggeleng, “Entahlah. Tetapi yang

jelas Pertapa goa Langse itu telah berhasil dilumpuhkan oleh

Glagah Putih walaupun Glagah Putih sendiri telah mengalami luka

yang cukup parah.”

“Dari mana engkau tahu?”

“Aku dan beberapa pengawal yang mengangkatnya dari halaman

belakang ke dalam ruang tengah,” jawab pengawal itu dengan

serta merta, “Keadaannya benar-benar parah dan belum sadarkan

diri.”

20

Page 24: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Sejenak Ki Wiyaga menarik nafas dalam-dalam. Pengenalannya

dengan Glagah Putih terjadi sangat singkat semalam ketika

Glagah Putih dan Ki Jayaraga menemuinya di tempat

persembunyiannya di lereng sebelah utara gunung Tidar.

“Ternyata benar apa yang menjadi dugaanku selama ini,” berkata

Ki Wiyaga kemudian dalam hati sambil pandangan matanya lekat

ke arah jasad yang terbujur di atas amben itu, “Glagah Putih

mempunyai kemampuan yang ngedab edabi. Walaupun pada

akhirnya dia juga menderita luka yang parah, namun aku yakin

dia akan selamat. Benar-benar seorang anak muda yang

mumpuni.”

Kembali Ki Wiyaga menarik nafas dalam-dalam. Ketegangan

belum hilang dari wajahnya. Sementara beberapa pengawal yang

sekarang telah berkerumun hanya dapat saling pandang tanpa

tahu harus berbuat apa.

“Bagaimana dengan orang yang mengaku murid goa Langse itu,”

bertanya Ki Wiyaga setelah sejenak mereka terdiam.

“Ki Gede telah melumpuhkannya.”

“He, dia juga telah tewas?” seru Ki Wiyaga dengan suara sedikit

keras.

“Tidak Ki Wiyaga,” jawab pengawal jaga itu cepat, “Ki Gede

berhasil melumpuhkannya tanpa membuatnya cedera yang

berarti, dan sekarang dia kami taruh di salah satu bilik di gandhok

kiri dengan penjagaan yang kuat.”

“Nanti aku akan melihatnya,” berkata Ki Wiyaga selanjutnya

sambil menaiki tlundak. Lanjutnya kemudian, “Aku akan

menghadap Ki Gede terlebih dahulu dan sekaligus memberikan

laporan.”

21

Page 25: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Bagaimana dengan kami?” tiba tiba salah satu pemimpin

kelompok pengawal yang berdiri tidak jauh dari tempat itu

mengajukan sebuah pertanyaan.

Sejenak Ki Wiyaga menghentikan langkahnya sambil berpaling.

Jawabnya kemudian, “Kalian aku ijinkan untuk beristirahat,

namun jangan keluar dari halaman banjar ini. Kita menunggu

perintah Ki Gede.”

Selesai berkata demikian, tanpa menunggu tanggapan pemimpin

kelompok pengawal itu Ki Wiyaga pun segera meneruskan

langkahnya.

Namun baru saja Ki Wiyaga membuka pintu pringgitan,

pandangan matanya segera menangkap sosok tiga orang

perempuan yang duduk berhimpit himpitan dan hampir saling

berpelukan.

Ketiga perempuan itu tampak sangat terkejut begitu mendengar

derit pintu pringgitan terbuka. Namun ketika yang muncul

kemudian wajah yang sangat mereka kenal, ketiga perempuan itu

pun telah menarik nafas dalam dalam sambil melepaskan pelukan

satu sama lainnya.

“Ki Wiyaga,” desis perempuan yang paling tua dengan suara

sedikit serak dan senyum yang dipaksakan.

Ki Wiyaga tersenyum dan menganggukkan kepalanya mendapat

sapa dari perempuan yang paling tua itu. Kemudian sambil

melangah masuk, dia bertanya, “Apa kerja kalian di sini?”

Ketiga perempuan itu sejenak saling pandang. Ketika perempuan

yang berambut sudah ubanan itu berdiri, yang lain pun kemudian

ikut berdiri.

22

Page 26: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Maafkan kami Ki Wiyaga,” jawab perempuan tua itu kemudian,

“Kami sebenarnya mendapat giliran untuk memasak hari ini.

Namun karena telah terjadi keributan di halaman belakang

banjar, kami menjadi ketakutan dan tertahan di pringgitan ini.”

Ki Wiyaga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Tanyanya

kemudian dengan suara sedikit meragu, “Jadi kalian sama sekali

belum memasak?”

Perempuan tua itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Bagaimana

kami mau memasak, pergi ke dapur pun kami belum berani.”

Ki Wiyaga menarik nafas dalam dalam. Katanya kemudian sambil

melangkah, “Marilah aku antar kalian ke dapur lewat ruang

tengah saja.”

“O! Jangan…jangan!” bisik perempuan tua itu sambil menggerak

gerakkan tangannya memberi isyarat kepada Ki Wiyaga.

Kemudian sambil sedikit mencondongkan tubuhnya dia kembali

berbisik, lebih pelan lagi, “Di ruang tengah ada Ki Gede dan tamu-

tamunya.”

Kembali Ki Wiyaga menarik nafas sambil mengangguk anggukkan

kepalanya. Katanya kemudian, “Baiklah mbok. Kalian aku rasa

sudah berani ke dapur lewat pintu butulan itu. Sudah tidak ada

lagi yang perlu ditakutkan. Segeralah memasak untuk para

pengawal jaga dan tamu-tamu Ki Gede.”

Untuk sejenak ketiga perempuan itu kembali saling pandang.

Namun ketika yang tertua kemudian menganggukkan kepalanya,

yang lain pun akhirnya hanya menurut saja.

“Baiklah Ki Wiyaga, terima kasih atas pemberitahuannya. Kami

akan langsung ke dapur,” berkata perempuan yang tua itu

kemudian.

23

Page 27: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Silahkan, silahkan,” jawab Ki Wiyaga sambil melangkah menuju

pintu yang membatasi antara ruang pringgitan dan ruang tengah.

Sementara ketiga perempuan itu pun segera berjalan menuju ke

pintu butulan yang menghubungkan pringgitan dengan

longkangan.

Dalam pada itu di kediaman Ki Kamituwa yang berjarak beberapa

rumah dari banjar padukuhan induk, terlihat seorang pengawal

dengan langkah yang tergesa-gesa sedang memasuki regol rumah

Ki Kamituwa.

Setelah melintasi halaman yang tidak seberapa luas, pengawal itu

pun kemudian menaiki tlundak pendapa kecil sebelum akhirnya

mengethuk pintu pringgitan.

Belum terdengar jawaban dari dalam rumah. Namun ketika

pengawal itu akan mengulangi sekali lagi, terdengar langkah-

langkah di dalam rumah yang menuju ke arah pintu. Sejenak

kemudian pintu pun berderit terbuka dan seraut wajah tersembul.

“Maaf Ki Kamituwa ,” dengan cepat pengawal itu menyapa sambil

menganggukkan kepalanya dalam-dalam, “Aku diperintah Ki

Gede untuk menyampaikan berita raja pati yang baru saja terjadi.”

“He!?” terkejut Ki Kamituwa sambil membuka pintu lebar-lebar,

“Berita raja pati, katamu? Masuklah masuklah!”

“Terima kasih Ki Kamituwa, aku sangat tergesa-gesa,” jawab

pengawal itu sambil menggelengkan kepalanya. Lanjutnya

kemudian, “Aku hanya diutus Ki Gede untuk menyampaikan

bahwa pagi tadi ada raja pati di banjar padukuhan induk dan Ki

Kamituwa diharap segera ke banjar.”

“Baiklah,” sahut Ki Kamituwa cepat, “Tetapi siapakah yang

meninggal dunia?”

24

Page 28: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Sejenak pengawal itu mengatur nafasnya. Jawabnya kemudian,

“Pagi tadi ada penyusup yang memasuki banjar padukuhan induk

dari belakang dan kebetulan Glagah Putih, adik sepupu Ki Rangga

memergokinya. Keduanya pun kemudian berperang tanding dan

penyusup itu telah tewas di tangan Glagah Putih.”

Sejenak wajah Ki Kamituwa menegang. Berbagai tanggapan pun

hilir mudik dalam benaknya. Sedikit banyak Ki Kamituwa

mengetahui siapa Glagah Putih karena telah ikut penyerbuan ke

padepokan Sapta Dhahana. Namun yang membuat Ki Kamituwa

tidak habis mengerti adalah peristiwa yang baru saja didengarnya.

“Mengapa penyusup itu harus dibunuh?” pertanyaan itu

melingkar lingkar dalam benak Ki Kamituwa.

“Ki Kamituwa,” tiba-tiba saja pengawal itu berkata membuyarkan

lamunannya, “Ki Gede juga menitipkan pesan khusus untuk Nyi

Gede dan putranya. Sebaiknya mereka jangan berangkat ke

kediaman Ki Gede terlebih dahulu. Keadaan masih belum

memungkinkan.”

“Apakah penyusup yang telah tewas itu masih ada hubungannya

dengan padepokan Sapta Dhahana?” tiba-tiba terloncat

pertanyaan begitu saja dari bibir Ki Kamituwa.

“Kemungkinannya begitu, Ki Kamituwa,” sahut pengawal itu

dengan serta merta, “Karena selain penyusup yang telah tewas itu,

di depan regol banjar padukuhan induk tadi pagi Ki Gede sendiri

telah melumpuhkan orang yang mengaku sebagai murid orang

yang telah tewas itu.”

“He!?” wajah Ki Kamituwa pun menegang kembali. Kemudian

dengan sedikit berbisik dia berkata, “Baiklah, akan aku sampaikan

kepada Nyi Selasih pesan Ki Gede itu. Tetapi rencana yang aku

25

Page 29: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

dengar dari Ki Gede sendiri, pagi ini Ki Gede dan Ratri akan ke

Menoreh. Apakah mereka jadi pergi?”

Pengawal itu menggeleng sambil menjawab, juga dengan berbisik,

“Ratri ada di banjar padukuhan induk. Pagi tadi dia datang

bersama Ki Gede dan beberapa pengawal. Agaknya mereka

berencana akan berangkat ke Menoreh namun keadaan memang

belum memungkinkan.”

Untuk sejenak Ki Kamituwa menarik nafas dalam-dalam. Sambil

melemparkan pandangan matanya ke kejauhan, dia pun

kemudian berkata ,”Baiklah aku akan berkemas terlebih dahulu.”

“Terima kasih Ki Kamituwa, aku mohon diri,” berkata pengawal

itu pada akhirnya sambil melangkah surut.

“Silahkan,” jawab Ki Kamituwa , “Aku juga berterima kasih atas

kesediaanmu untuk menyampaikan berita ini kepadaku.”

“Ah, itu sudah menjadi kewajibanku Ki Kamituwa, aku mohon

diri,” berkata pengawal itu sambil tersenyum dan kemudian

memutar tubuhnya.

Ki Kamituwa tidak menjawab hanya tersenyum sambil menutup

kembali pintu pringgitan.

Sepeninggal pengawal itu, dengan langkah berat Ki Kamituwa

kemudian menuju ke ruang dalam untuk memberitahu Nyi

Selasih.

“Entah tanggapan apa yang akan timbul dalam hati, Nyi Gede,”

berkata Ki Kamituwa dalam hati sambil mengayunkan

langkahnya, “Kasihan, Nyi Selasih masih harus menunggu dan

menunggu lagi. Aku khawatir jika kesabaran perempuan itu

26

Page 30: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

semakin tipis dan yang tertinggal hanyalah rasa kecewa dan putus

asa.”

Namun Ki Kamituwa melangkah terus. Ketika dia kemudian

membuka pintu yang menghubungkan pringgitan dengan ruang

dalam, tampak Nyi Selasih sedang memangku anak laki-lakinya

ditemani oleh istrinya.

Sebuah desir tajam menggores jantungnya ketika pandangan Nyi

Selasih itu menatapnya dengan seribu tanda tanya. Demikian juga

istrinya juga memandang ke arahnya untuk menunggu

penjelasannya.

Ki Kamituwa berusaha bersikap setenang mungkin. Setelah

mengambil duduk di sebelah kanan istrinya, perangkat perdikan

Matesih yang rambutnya sudah mulai beruban itu pun berkata,

“Baru saja ada pengawal utusan Ki Gede menyampaikan sebuah

berita yang berhubungan dengan kita.”

“Berita apakah itu kakang?” sela Nyi Kamituwa dengan nada yang

tidak sabar. Sementara Nyi Selasih hanya menundukkan

kepalanya dalam-dalam.

Ki Kamituwa menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum

menjawab. Setelah membetulkan letak kain panjangnya, barulah

dia menjawab, “Pagi tadi menjelang Matahari terbit, telah terjadi

ontran ontran di banjar padukuhan induk.”

“Ontran-ontran?” seru Nyi Kamituwa tanpa sadar. Sedangkan Nyi

Selasih hanya mengangkat wajahnya sejenak, kemudian tunduk

kembali.

“Ya,” jawab Ki Kamituwa kemudian, “Ontran ontran yang telah

menyebabkan sebuah raja pati.”

27

Page 31: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Ah!” hampir bersamaan kedua perempuan itu berdesah. Betapa

kedua wajah perempuan itu sekarang terlihat sedikit pucat.

“Jangan khawatir,” berkata Ki Kamituwa selanjutnya untuk

menentramkan hati kedua perempuan itu, “Semua telah teratasi

dan sekarang Ki Gede menunggu kehadiranku di banjar

padukuhan induk.”

“Siapakah yang meninggal kakang?” sela Nyi Kamituwa dengan

nada cepat, “Apakah salah satu pengawal Matesih? Atau siapa?”

Kembali Ki Kamituwa menarik nafas panjang. Jawabnya

kemudian dengan suara datar agar tidak terlalu mengejutkan

kedua perempuan itu, “Aku belum tahu. Menurut pengawal yang

datang kemari tadi, ada dua orang penyusup yang ingin membuat

keonaran di banjar padukuhan induk. Untunglah semua sudah

selesai. Namun karena dipandang keamanan di perdikan Matesih

ini belum terjamin sepenuhnya, maka Ki Gede telah berpesan agar

keberangkatan Nyi Selasih ke kediaman Ki Gede ditunda beberapa

saat, mungkin sore nanti atau bahkan sekalian besok pagi untuk

meyakinkan perdikan ini benar benar sudah aman.”

Ada sepercik kekecewaan yang membayang di wajah Nyi Selasih

yang tertangkap mata Ki Kamituwa. Namun wajah itu sejenak

telah kembali semula. Wajah yang tunduk dan pasrah, pasrah

terhadap jantraning ngaurip yang akan membawanya entah ke

mana.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam

lamunan yang tak berujung pangkal.

“Aku harus berkemas,” tiba-tiba suara Ki Kamituwa memecah

keheningan. Kemudian sambil bangkit berdiri Ki Kamituwapun

melanjutkan kata-katanya, “Sebaiknya Ki Prana dan Gandhung

28

Page 32: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

diberitahu. Aku akan menghadap Ki Gede di banjar padukuhan

induk.”

Selesai berkata demikian tanpa menunggu tanggapan kedua

perempuan itu, Ki Kamituwapun kemudian melangkah ke dalam

biliknya untuk berkemas dan terutama mengambil senjatanya

untuk menghadapi keadaan yang setiap saat dapat berubah.

Dalam pada itu Matahari telah memanjat langit sebelah timur

semakin tinggi. Sinarnya terasa mulai menggatalkan kulit. Di

rumah Ki Dukuh Klangon tampak Ki Dukuh sedang duduk duduk

di dalam pringgitan bersama putut Panengah dan Jaka Purwana.

“Putut Panengah,” berkata Ki Dukuh kemudian, “Aku tidak habis

mengerti mengapa guru kalian nekat mencari Ki Rangga ke

Matesih? Apakah semua itu nantinya tidak akan membahayakan

kedudukanku sebagai kepala padukuhan Klangon?”

“Maaf Ki Dukuh,” jawab putut Panengah sambil menggeser

duduknya sejengkal ke depan, “Aku tidak tahu jika guru

mempunyai rencana untuk mencari Ki Rangga ke Matesih. Kami

berdua, aku dan adi putut Brajayekti hanya mendapat tugas untuk

menyelesaikan orang yang mencuri dengar pembicaraan kita

semalam yang ternyata adalah Jagabaya dukuh Klangon.”

“Mengapa guru tidak mengajak aku?” tiba-tiba Jaka Purwana

menyela, “Seharusnya jika guru mempunyai sebuah rencana, aku

harus dilibatkan, karena aku juga murid goa Langse.”

Ki Dukuh menarik nafas dalam-dalam mendengar kata-kata anak

laki lakinya itu. Dia maklum jika Jaka Purwana merasa

tersinggung tidak dilibatkan dalam tugas itu. Namun

sebenarnyalah Ki Dukuh menyadari, bahka kemampuan Jaka

Purwana yang baru berguru itu masih sangat jauh dari cukup

29

Page 33: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

untuk mengemban sebuah tugas berbahaya. Terbukti putut

Brajayekti pun telah menemui ajalnya di tangan Ki Jagabaya

dukuh Klangon.

“Apa rencanamu sekarang Panengah?” bertanya Ki Dukuh

kemudian ketika dilihatnya murid kedua goa Langse itu hanya

berdiam diri.

Untuk sejenak Panengah ragu-ragu. Namun kemudian jawabnya

sambil menggelengkan kepala, “Aku tidak tahu Ki Dukuh.

Sebenarnya aku diajak oleh kakang Acarya untuk menyusul guru

ke Matesih. Namun aku takut dan aku memilih untuk pulang

kerumah Ki Dukuh.”

Kembali Ki Dukuh menarik nafas dalam-dalam. Keadaan ini

benar-benar tidak menguntungkan dirinya. Jika Pertapa dari goa

Langse itu membuat keonaran atau apapun yang membuat rusuh

perdikan Matesih, tentu dirinya akan disangkut pautkan jika

peristiwa itu kemudian dirunut sampai ke dukuh Klangon.

“Aku tidak bisa hanya dengan berdalih memberi mereka tempat

menginap,” berkata Ki Dukuh dalam hati dengan perasaan yang

gelisah, “Apalagi jika Jagabaya itu kemungkinannya tidak mati.

Dia akan banyak berbicara tentang hubunganku dengan Sapta

Dhahana. Namun jika dia mati kehabisan darah di tempat

persembunyiannya, mungkin aku masih dapat mengelak semua

tuduhan.”

Semakin dipikirkan masalah itu, hati Ki Dukuh menjadi semakin

gelisah. Namun akhirnya ayah Jaka Purwana itu telah mengambil

sebuah keputusan.

“Baiklah. Untuk mengetahui keadaan gurumu dan saudara

seperguruanmu, sebaiknya engkau mengadakan penyelidikan ke

30

Page 34: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Demikianlah akhirnya ketiga orang itu segera berunding untuk menentukan langkah-langkah mereka dalam mengadakan

penyelidikan ke banjar padukuhan induk Matesih.

31

Page 35: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Matesih,” berkata Ki Dukuh pada akhirnya sambil memandang

tajam ke arah Panengah, “Engkau harus bisa mencari sisik melik

tentang gurumu dan Acarya. Pergilah ke banjar padukuhan induk

Matesih karena jika memang tujuan gurumu ingin menantang Ki

Rangga Agung Sedayu, aku dengar Ki Rangga dan kawan-

kawannya itu bermalam di sana.”

Sejenak tampak keragu-raguan di wajah Panengah. Sambil

berpaling sekilas ke arah Jaka Purwana akhirnya murid kedua goa

Langse itu memberi tanggapan, “Maaf Ki Dukuh. Bagaimana jika

dalam mengadakan penyelidikan ini aku ditemani oleh Jaka

Purwana?”

“Tidak!” sahut Ki Dukuh dengan serta merta yang membuat

Panengah dan Jaka Purwana terkejut.

“Mengapa ayah?” bertanya Jaka Purwana dengan nada penasaran.

“Banyak orang Matesih yang mengenalmu, Jaka Purwana,” jawab

Ki Dukuh kemudian dengan suara tegas, “Berbeda jika Panengah

yang mengadakan penyelidikan. Aku yakin tidak ada seorang pun

di Matesih yang mengenalnya.”

“Bagaimana dengan Ki Jagabaya dukuh Klangon?” sela Jaka

Purwana tiba-tiba yang membuat ayahnya mengerutkan

keningnya dalam-dalam.

Namun orang tua itu tidak kehabisan akal. Jawabnya kemudian

sambil menggelengkan kepalanya, “Tidak mungkin Ki Jagabaya

akan keluar dari persembunyiannya hari ini jika dia masih hidup.

Setidaknya dia memerlukan barang dua tiga hari untuk

menyembuhkan luka-lukanya.”

Tampak kepala kedua anak muda itu terangguk-angguk. Memang

perhitungan Ki Dukuh itu sangat masuk akal. Namun bagi

32

Page 36: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Panengah mengadakan penyelidikan seorang diri ke Matesih sama

saja dengan memasuki sarang serigala.

Ketika Panengah masih diliputi keragu-raguan, tiba-tiba Jaka

Purwana berkata, “Ayah, aku mempunyai sebuah usul!”

Ayahnya berpaling sekilas sambil berkata “Katakan!”

Jaka Purwana menarik nafas terlebih dahulu sambil memandang

Panengah. Hati Panengah pun berdesir tajam.

“Ayah,” berkata Jaka Purwana kemudian, “Aku akan mengikuti

kakang Panengah mengadakan penyelidikan ke Matesih, namun

aku akan mengamat-amati saja dari jauh. Aku khawatir jika

kakang Panengah mendapat halangan dan memerlukan bantuan.

Maka aku akan dapat membantunya.”

Untuk sejenak Ki Dukuh termenung. Usul anak laki lakinya itu

memang baik dan masuk akal. Jika keadaan memaksa dan

Panengah memerlukan bantuan, setidaknya Jaka Purwana akan

dapat membantu.

“Namun Jaka Purwana kemampuannya masih sangat rendah,”

membatin Ki Dukuh dengan jantung yang berdebaran. Dia tidak

tega jika anak laki-laki yang diharapkan akan menjadi penerusnya

itu mengalami masalah.

“Baiklah,” berkata Ki Dukuh pada akhirnya, “Aku akan menemani

kalian berdua. Panengah dapat bergerak terlebih dahulu,

kemudian aku dan Jaka Purwana akan mengikuti pada jarak

tertentu. Kita harus membuat isyarat yang kita sepakati bersama

jika ada bahaya. Kita tentukan juga tempat tempat untuk bertemu

jika keadaan berkembang semakin membahayakan bagi

keselamatan kita.”

33

Page 37: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Tanpa sadar putut Panengah telah tersenyum dan menarik nafas

dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Demikianlah akhirnya ketiga orang itu segera berunding untuk

menentukan langkah-langkah mereka dalam mengadakan

penyelidikan ke banjar padukuhan induk Matesih.

Dalam pada itu di banjar padukuhan induk, ternyata Ki Gede telah

menyambut kedatangan para pengawal yang selama ini

menempati padepokan Sapta Dhahana didampingi oleh Ki

Kamituwa dan Ki Wiyaga.

“Atas nama perdikan Matesih, aku mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya atas jasa kalian para

pengawal perdikan Matesih,” berkata Ki Gede sambil berdiri di

ujung tlundak pendapa, “Keadaan masih memungkinkan untuk

berkembang ke arah yang tidak menentu. Maka aku perintahkan

kalian tetap menjaga kewaspadaan.”

Para pengawal yag berbaris rapi sedikit bergeremang. Sebenarnya

yang mereka tunggu adalah perintah untuk segera kembali ke

rumah masing-masing untuk bertemu dengan anak istri yang

telah beberapa hari mereka tinggalkan karena tugas.

“Seperti yang kalian saksikan,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Di

tengah tengah pendapa ini telah terbujur sesosok jasad orang yang

mengaku sebagai Pertapa dari goa Langse. Kedatangannya pagi

tadi menjelang Matahari terbit memang sengaja untuk membuat

keonaran. Demikian juga orang yang mengaku sebagai muridnya,

telah berhasil kita tangkap hidup-hidup dan tidak menutup

kemungkinan akan kita jadikan sumber keterangan tentang

perguruan goa Langse.”

34

Page 38: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Tampak beberapa kepala terangguk-angguk. Namun selebihnya

banyak yang menjadi gelisah. Matahari telah memanjat langit

sebelah timur semakin tinggi. Sinarnya telah membuat para

pengawal yang berbaris di halaman banjar itu menjadi semakin

gelisah.

“Selepas Matahari tergelincir ke barat, akan kita antarkan jenasah

ini ke pekuburan padukuhan induk,” Ki Gede berhenti sejenak.

Sambil berpaling ke arah Ki Wiyaga yang berdiri di sebelahnya dia

melanjutkan, “Aku minta Ki Wiyaga dibantu para pengawal yang

sedang bertugas jaga untuk mengatur penyelenggaraan jenasah

ini.”

Hampir bersamaan Ki Kamituwa dan Ki Wiyaga mengangguk-

anggukkan kepala mereka.

“Nah, sambil menunggu waktu Matahari tergelincir, kalian aku

ijinkan untuk pulang ke rumah masing-masing,” berkata Ki Gede

selanjutnya.

Agaknya kalimat itulah yang sedari tadi di tunggu tunggu oleh

para pengawal. Segera saja terdengar tepuk tangan yang

membahana dan teriakan-teriakan membakar semangat.

“Hidup Ki Gede Matesih!”

“Hidup perdikan Matesih!”

Suara sorak sorai itu terdengar membahana dan gegap gempita.

Suara itu baru mereda ketika Ki Wiyaga mengangkat tangannya

untuk memberi isyarat agar para pengawal itu tenang kembali.

“Jangan lupa sampaikan salam kami kepada keluarga di rumah

yang telah dengan sabar menunggu kepulangan kalian,” berkata

Ki Gede selanjutnya yang kelihatannya sudah tidak begitu

35

Page 39: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

menarik bagi para pengawal yang sudah benar-benar rindu

dengan keluarganya, “Sampaikan juga rasa terima kasih dan

penghargaan yang setinggi tingginya atas kerelaan dan

pengorbanan keluarga para pengawal perdikan Matesih ini untuk

tetap berjuang menegakkan kedaulatan perdikan Matesih di

bawah panji panji kebesaran Mataram.”

Keadaan benar-benar sudah hampir tak tertahankan. Maka Ki

Gede pun tanggap. Akhirnya Ki Gede menutup sesorahnya, “Sekali

lagi aku sebagai pribadi dan kepala tanah perdikan Matesih

mengucapkan ribuan terima kasih dan pengharagaan yang tak

ternilai. Selanjutkan kalian akan diatur oleh kepala pengawal

perdikan Matesih, Ki Wiyaga. Terima kasih!”

Kembali terdengar gemuruh sorak sorai. Kali ini bahkan para

penghuni sekitar banjar padukuhan induk yang menonton di luar

pagar ikut bersorak. Sementara Ki Gede segera memberi isyarat Ki

Kamituwa untuk mengikutinya memasuki pringgitan. Sedangkan

Ki Wiyaga segera memanggil para pemimpin kelompok untuk

mendapatkan arahan seperlunya.

Demikianlah halaman banjar padukuhan yang semula penuh oleh

para pengawal serta para penghuni padukuhan induk sekitar

banjar yang ingin menyaksikan penyambutan kedatangan

pengawal itu berangsur angsur mulai susut. Khususnya para

pengawal yang sudah beberapa hari meninggalkan keluarganya

dengan bergegas segera meninggalkan halaman banjar.

“Sesampainya di rumah aku akan tidur sampai Matahari

terbenam,” berkata seorang pengawal yang berkumis lebat sambil

berjalan cepat.

“Ah, aku tidak percaya,” sahut kawan di sebelahnya sambil

menjajari langkah pengawal berkumis lebat itu, “Apakah engkau

36

Page 40: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

tidak kangen sama si thole? Si thole pun pasti kangen juga. Dia

pasti rewel dan akan minta gendong terus seharian sampai rasa

kangennya hilang.”

“Waduh!” desah pengawal berkumis lebat itu kemudian, “Kalau si

thole minta gendong terus, kapan waktunya aku menggendong

ibunya?”

“Ah!” kawannya tertawa masam. Jawabnya kemudian, “Nanti

malam kan waktunya sangat panjang. Tidurkan dulu si thole, baru

engkau dapat mengurus ibunya.”

Pengawal berkumis lebat itu tampak tersenyum sambil

mengangguk-angguk. Tiba-tiba sebuah pertanyaan meloncat

begitu saja dari bibir, “Nah, terus kapan kamu mau kawin? Ingat,

seorang laki-laki dapat dikatakan tidak begitu perduli dengan

umurnya yang semakin merambat tua, tapi bagaimana dengan

calon istrimu? Aku rasa orang tuanya sudah semakin resah tiap

hari digunjing tetangga. Bukankah Tinah sudah cukup umur?

Bahkan mungkin sudah kelewat menurut hitunganku.”

Kawannya yang terlihat masih muda itu tidak menyahut. Hanya

kepalanya saja yang tertunduk sambil memandangi langkahnya

satu-satu menyusuri jalan yang berdebu.

“He? Kapan?” pengawal berkumis lebat itu setengah berteriak

sambil mengguncang bahu kawannya.

Kawannya sejenak tersentak dari lamunannya. Sambil

menengadahkan wajahnya memandang selembar awan yang

melintas di langit yang jernih dia berdesis perlahan, “Mungkin

pertunangan itu lebih baik dibatalkan saja.”

“He?!” kali ini pengawal berkumis lebat itu benar-benar terkejut

sehingga telah menghentikan langkahnya. Kawannya pun

37

Page 41: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

akhirnya ikut berhenti.

Sejenak pengawal berkumis lebat itu terdengar menggeram.

Katanya kemudian sambil memandang lekat-lekat ke arah

kawannya, “Jangan bermain api! Ingat! Pertunanganmu sudah

disetujui oleh kedua belah pihak keluarga. Jika seenaknya saja

engkau membatalkan secara sepihak tanpa ada alasan yang jelas

dan dapat diterima, kakaknya Tinah yang berbadan besar dan

sedikit berangasan itu pasti akan memluntir lehermu sampai

patah!”

Pengawal yang berusia muda itu tampak menundukkan kepalanya

dalam-dalam. Berkali kali dia menarik nafas dalam-dalam seolah

olah ingin dipenuhinya rongga dadanya dengan udara yang segar.

“Sebenarnya aku dan Tinah sudah berjanji untuk melangsungkan

pernikahan kami dengan sangat sederhana, sesederhana keadaan

keluargaku dan keluarga Tinah.” berkata pengawal muda itu

setelah sejenak mereka terdiam.

“Jadi? Apa masalah yang sebenarnya?” sahut pengawal berkumis

tebal itu dengan serta merta.

“Kakak laki-laki Tinah itulah sumber permasalahannya,” jawab

pengawal muda itu sambil menggeleng gelengkan kepalanya, “Dia

telah mempengaruhi orang tuanya untuk menuntut asok tukon

yang berlebihan, sehingga keluargaku merasa keberatan.”

“Harus dicarikan jalan tengah,” desis pengawal berkumis itu

sambil melangkahkan kakinya kembali diikuti oleh pengawal

muda itu.

“Aku akan mencoba membantu, semampuku,” berkata pengawal

berkumis itu kemudian sambil terus melangkah, “Keluargaku

memang masih terhitung kerabat dengan orang tua Tinah. Kapan-

38

Page 42: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

kapan aku akan mendatangi orang tua Tinah dan mengajak

berunding agar kedua belah pihak tidak ada yang merasa

keberatan.”

“Terima kasih kakang,” berkata pengawal muda itu kemudian.

Pengawal berkumis tebal itu tidak menjawab. Hanya tampak

sebuah anggukan kepala dan sebuah senyum yang tersungging di

bibirnya.

Keduanya pun kemudian meneruskan langkahnya menuju ke

rumah masing-masing.

Dalam pada itu di pringgitan banjar padukuhan induk tampak Ki

Gede dan Ki Rangga beserta beberapa orang sedang berkumpul

dan membicarakan sesuatu yang kelihatannya sangat penting.

“Ki Gede,” berkata Ki Rangga yang duduk di hadapan Ki Gede

Matesih, “Menurut berita yang dibawa Ki Jayaraga dan Glagah

Putih semalam, pasukan segelar sepapan cantrik padepokan Sapta

Dhahana telah meninggalkan gunung Tidar dan berjalan ke arah

timur.”

Ki Gede sejenak mengerutkan keningnya. Bertanya Ki Gede

kemudian, “Ki Rangga, kemanakah tujuan pasukan itu?”

“Menurut keterangan yang diperoleh Ki Jayaraga dan Glagah

Putih, pasukan itu sedang bergerak ke timur. Ke sebuah

padepokan yang terletak di antara lembah Merapi dan Merbabu.”

Sejenak wajah wajah yang berada di dalam pringgitan itu menjadi

tegang. Ki Kamituwa yang duduk di sebelah kanan Ki Gede segera

menyahut, “Lembah Merapi dan Merbabu cukup jauh. Jika

ditempuh dengan berjalan kaki tanpa henti mungkin sampai tiga

hari lebih mereka baru akan sampai.”

39

Page 43: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Ki Kamituwa benar,” sahut Ki Bango Lamatan yang duduk

sebelah kiri Ki Rangga, “Aku pernah melintasi daerah itu dan

memang saat itu aku menemukan reruntuhan sebuah padepokan,

tapi itu sudah terjadi lama sekali sebelum aku menjadi

kepercayaan Panembahan Cahya Warastra.”

Ki Gede dan Ki Kamituwa yang belum pernah mendengar nama

Panembahan Cahya Warastra telah mengerutkan kening mereka

dalam-dalam sambil memandang ke arah Ki Bango Lamatan

dengan penuh tanda tanya.

Menyadari kedua orang tua itu tentu bertanya-tanya tentang

Panembahan Cahya Warastra, Ki Bango Lamatan segera

meneruskan ucapannya, “Itu semua sudah menjadi masa laluku.

Tidak ada yang aneh sama sekali dan aku sudah melupakannya.”

Ki Rangga tersenyum menanggapi penjelasan Ki Bango Lamatan.

Akan tetapi kedua perangkat perdikan Matesih itu tampak masih

kebingungan.

“Sudahlah,” berkata Ki Rangga kemudian, “Agaknya Ki Bango

Lamatan memang tidak ingin bercerita tentang masa lalu. Namun

yang penting adalah, reruntuhan padepokan yang pernah dilihat

Ki Bango Lamatan itu sekarang sudah berkembang menjadi

padepokan yang besar dan disebut padepokan Panembahan

Agung.”

“Padepokan Panembahan Agung?” hampir bersamaan mereka

yang hadir itu menyebut kembali nama padepokan itu.

“Ya, padepokan Panembahan Agung,” sahut Ki Rangga kemudian,

“Sebuah nama padepokan yang pernah dipergunakan oleh

seseorang yang menyebut dirinya Panembahan Agung yang

mempunyai cita-cita ingin merajai tanah Jawa.”

40

Page 44: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“O,” kembali mereka yang hadir di tempat itu berdesis perlahan

sambil mengangguk-anggukkan kepala mereka, walaupun

sebenarnya nama padepokan itu pun baru mereka dengar

sekarang ini, kecuali Ki Waskita dan Ki Rangga.

“Nah, dengan demikian untuk sementara perdikan Matesih dapat

dikatakan aman,” berkata Ki Rangga selanjutnya yang membuat

mereka yang hadir menarik nafas dalam-dalam, tak terkecuali

Ratri yang duduk di belakang ayahnya.

Tanpa sadar Ratri begitu mendengar keterangan Ki Rangga segera

menggamit punggung ayahnya.

Ki Gede yang terkejut itu segera berpaling ke belakang. Tampak

seraut wajah Ratri dalam pakaian laki-laki tanpa ikat kepala

sedang memandang ke arahnya.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam sambil kembali memalingkan

wajahnya ke depan. Ketika Ki Gede kemudian memandang ke

arah Ki Rangga, tampak agul agulnya Mataram itu sedang

tersenyum ke arahnya.

“O, maafkan kami Ki Rangga,” berkata Ki Gede kemudian sambil

menganggukkan kepalanya, “Sebenarnyalah aku ini tidak bisa

menjadi orang tua yang baik.”

Orang-orang yang hadir di ruangan itu mengerutkan kening

mereka kecuali Ratri. Diam-diam gadis itu merasa sedikit malu

jika permasaahan keluarganya dibicarakan di hadapan orang

banyak.

“Semua orang tua mempunyai masalah yang hampir sama, Ki

Gede,” berkata Ki Rangga menanggapi, “Namun jika memang Ki

Gede ingin berbagi, aku tentu akan menyediakan waktu untuk

menjadi pendengar yang baik.”

41

Page 45: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Ki Gede tersenyum sambil menarik nafas dan menegakkan

punggungnya. Ketika dia menyempatkan diri berpaling ke

belakang, tenyata Ratri sedang menundukkan kepalanya dalam

dalam.

“Ki Rangga,” berkata Ki Gede kemudian sambil pandangannya

menyapu ke seluruh ruangan, “Sebenarnya kedatanganku ke

banjar padukuhan pagi ini untuk meminta bantuan Ki Rangga dan

kawan-kawan.”

Beberapa pasang mata tampak menatap Ki Gede dengan penuh

tanda tanya, tak terkecuali Ki Rangga sendiri.

“Bantuan apakah kiranya yang dapat kami lakukan, Ki Gede?” Ki

Waskita yang sedari tadi hanya berdiam diri ikut bersuara.

Untuk sejenak Ki Gede menarik nafas panjang untuk melongarkan

dadanya yanga tiba-tiba saja menjadi pepat. Namun Ki Gede

merasa sudah waktunya untuk menuntaskan persoalan yang

membelit keluarganya, walaupun dia tidak akan menceritakan

permasalahan itu dengan gamblang dan jelas. Mungkin hanya

seperlunya saja sebagai gambaran bagi Ki Rangga dan kawan-

kawan.

“Ki Waskita,” berkata Ki Gede kemudian, “Ada permintaan dari

anakku Ratri yang ingin mempelajari olah kanuragan sebagai

bekal bagi dirinya untuk membentengi diri dari segala

kemungkinan buruk yang dapat menimpanya.”

“O,” hampir bersamaan orang-orang yang hadir di tempat itu

berdesah sambil menarik nafas dalam dalam. Jika

permasalahannya hanya keinginan Ratri untuk mempelajari ilmu

olah kanuragan, bukankah Ki Gede sendiri mempunyai

kemampuan untuk mengajarinya?

42

Page 46: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Namun tidak ada seorang pun yang mengungkapkan pemikiran

itu. Mereka menunggu keterangan lebih lanjut dari pemimpin

tanah perdikan Matesih itu.

“Ki Rangga,” akhirnya Ki Gede meneruskan kata-katanya, “Atas

anjuran Ki Ajar Mintaraga, Ratri disarankan untuk pergi ke

Menoreh, belajar ilmu olah kanuragan kepada Nyi Sekar Mirah,

istri Ki Rangga Agung Sedayu.”

Ki Rangga sedikit terkejut nama istrinya telah disebut. Sejenak

Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di

Menoreh itu mengerutkan keningnya dalam-dalam.

“Mengapa harus jauh-jauh ke Menoreh, Ki Gede?” bertanya Ki

Rangga kemudian setelah berpikir sejenak, “Bukankah Ki Gede

sendiri mempunyai kemampuan untuk mengajarinya?”

“Aku tidak mau belajar olah kanuragan kepada laki-laki, ayah,”

tiba tiba terdengar suara Ratri dari balik punggung ayahnya, “Aku

hanya mau belajar olah kanuragan kepada sesama perempuan!”

Hampir bersamaan orang-orang yang hadir di pringgitan itu

menghela nafas panjang sambil tersenyum. Alasan yang

dikemukakan oleh Ratri itu memang masuk akal. Jika seorang

guru laki-laki mengajarkan ilmu olah kanuragan kepada

perempuan, tentu akan banyak mengalami ewuh pekewuh,

walaupun laki laki itu ayahnya sendiri.

“Baiklah,” berkata Ki Rangga kemudian, “Aku tidak berkeberatan

jika putri Ki Gede ingin belajar ilmu olah kanuragan kepada

istriku, namun dengan satu syarat. Istriku bersedia menerima

murid lagi.”

Hampir bersamaan Ki Gede dan Ratri mengangkat kepala dan

memandang ke arah Ki Rangga. Ki Gede lah yang kemudian

43

Page 47: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

bertanya, “Apakah Nyi Sekar Mirah sudah pernah mengangkat

seorang murid?”

“Ya,” sahut Ki Rangga cepat, “Namanya Rara Wulan dan dia telah

menjadi istri Glagah Putih.”

“He?” kembali Ki Gede dan Ratri terkejut. Namun Ratri yang

menyadari dirinya sebagai perempuan segera menundukkan

kepalanya dalam-dalam, sedang Ki Gede telah bertanya kembali,

“Jadi Glagah Putih sudah beristri?”

“Ya Ki Gede,” jawab Ki Rangga kemudian, “Bahkan sekarang Rara

Wulan sedang mengandung muda, sehingga dia tidak dapat kami

ajak dalam rombongan ini.”

Tampak kepala Ki Gede dan Ki Kamituwa terangguk-angguk.

Sedangkan Ratri, gadis yang baru tumbuh menjelang dewasa itu

terlihat semakin tunduk. Entah apa yang sedang berkecamuk di

dalam dadanya.

“Nah, Ki Rangga,” berkata Ki Gede selanjutnya, “Untuk itulah aku

menyempatkan diri mampir ke banjar padukuhan induk untuk

sekedar berpamitan dan meminta bantuan Ki Rangga dan kawan-

kawan untuk menjaga perdikan Matesih ini selama aku tinggal.”

“He? Secepat ini? Mengapa?” bertanya Ki Rangga dengan nada

keheranan. Demikian juga Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan yang

duduk beberapa jengkal di belakang Ki Rangga.

Sejenak Ki Gede terlihat ragu-ragu. Namun akhirnya dia hanya

dapat memberikan alasan yang tidak menyangkut permasalahan

keluarganya.

“Aku secara pribadi memang tidak tergesa-gesa,” jawab Ki Gede

kemudian perlahan-lahan, “Namun Ratri, puteriku satu satunya

44

Page 48: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

ini agaknya masih dihantui oleh tingkah laku adik Trah Sekar

Seda Lepen yang pernah menjalin hubungan khusus dengannya.”

Terdengar Ratri berdesah perlahan di belakang punggung Ki

Gede. Namun Ki Gede pura-pura tidak mendengar. Dalam benak

Ki Gede, hanya itulah satu-satunya alasan yang masuk akal. Tidak

mungkin bagi Ki Gede untuk mengungkap hubungan yang tidak

serasi antara Ratri dan ibu tirinya selama ini.

Namun Ki Waskita yang mendengar desah Ratri justru telah

mengerutkan keningnya. Orang tua yang dikaruniai mata batin

yang sangat tajam itu agaknya sedikit menangkap ketidak

sesuaian antara keterangan Ki Gede dan hati nurani Ratri.

“Itu urusan keluarga Ki Gede,” membatin Ki Waskita dalam hati,

“Biarlah angger Sedayu memutuskan, langkah apa yang terbaik

untuk mengatasi permasalahan ini.”

Untuk beberapa saat suasana menjadi sunyi. Ki Rangga tampak sedang mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil

menundukkan wajahnya. Ki Waskita yang berada di sampingnya

menjadi berdebar-debar. Ayah Rudita itu sedikit banyak telah

mengetahui perkembangan mata batin Ki Rangga, sehingga dia

menjadi berdebar-debar jika Ki Rangga mencoba meraba kejadian

sebenarnya yang sedang membelit keluarga Ki Gede.

Namun Ki Waskita segera menarik nafas lega ketika Ki Rangga

kemudian berkata, “Baiklah Ki Gede. Kalau memang Ki Gede telah

memutuskan untuk berangkat hari ini ke Menoreh, aku tidak

mempunyai hak untuk melarang,” Ki Rangga berhenti sejenak.

Lanjutnya kemudian, “Namun jika Ki Gede berkenan sabar untuk

menunggu sehari atau dua hari lagi, dengan senang hati aku akan

menemani perjalanan Ki Gede ke Menoreh.”

45

Page 49: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Jika saja ada petir yang menyambar di ruang pringgitan saat itu,

tentu mereka tidak akan seterkejut ketika mendengar keterangan

Ki Rangga, kecuali Ki Waskita.

Ki Gede dan Ratri benar-benar tidak mempercayai pendengaran

mereka. Bahkan Ratri telah mengangkat wajahnya dan bergeser

sejengkal merapat ke punggung ayahnya.

“Ayah,” bisik Ratri kemudian di dekat telinga ayahnya, “Jika Ki

Rangga sendiri yang berkenan mengantar kita ke Menoreh, Nyi

Sekar Mirah dengan senang hati pasti akan menerima aku sebagai

muridnya, karena yang mengantar suaminya sendiri.”

Tanpa sadar Ki Gede tersenyum mendengar bisikan Ratri. Mereka

yang hadir di ruangan itupun telah menahan senyum mereka,

kecuali Ki Kamituwa yang tidak mampu menangkap bisikan Ratri.

“Nah, semua terserah Ki Gede,” berkata Ki Rangga selanjutnya

begitu melihat ayah dan anak itu terlihat sedang berpikir, “Namun

aku tidak dapat berangkat hari ini juga karena Glagah Putih masih

memerlukan perawatan yang sungguh sungguh.”

“Aku kira berangkat hari ini ataupun besok tidak banyak

bedanya,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian ikut memberi

saran, “Melakukan perjalanan di pagi hari rasa-rasanya lebih

segar dan bersemangat dari pada siang hari seperti sekarang ini.”

“Sebenarnya kami memang sudah berencana untuk melakukan

perjalanan di pagi hari, Ki Bango Lamatan,” sahut Ki Gede dengan

serta merta, “Namun kehadiran orang yang mengaku Pertapa dari

goa Langse itu yang membuat rencana kami berantakan.”

“Tentu tidak,” kini Ki Waskita yang menyahut, “Perjalanan itu

hanya tertunda sehari dan aku sependapat dengan Ki Bango

Lamatan. Apalah bedanya sehari itu jika besok Ki Gede dan

46

Page 50: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

rombongan dapat melakukan perjalanan dengan lebih segar dan

bersemangat di pagi hari dengan diantar oleh Ki Rangga.”

Tampak semua kepala terangguk-angguk. Ketika Ki Gede

kemudian berpaling ke belakang, tampak anak gadisnya itu

memandangnya dengan sinar mata yang penuh tanda tanya.

Bisiknya kemudian, “Terus aku tidur di mana, ayah? Aku tidak

mau pulang lagi ke rumah jika..”

Belum sempat Ratri menyelesaikan kata-katanya, Ki Gede segera

menyahut, juga dengan berbisik, “Ratri, semuanya sudah aku

perhitungkan sebelumnya. Aku telah memerintahkan kepada Ki

Kamituwa untuk memberitahukan Ki Prana tentang kemungkinan

perubahan perjalanan kita.”

Sengaja Ki Gede menyebut nama ayah Nyi Selasih agar mereka

yang hadir di ruangan itu tidak mengetahui persoalan yang

sesungguhnya kecuali Ki Kamituwa.

Ratri pun kemudian menganggukkan kepalanya tanpa

mengeluarkan sepatah kata lagi.

Tiba-tiba terdengar pintu pringgitan dikethuk tiga kali berturut

turut. Serentak pandangan orang-orang yang sedang berada di

dalam ruang pringgitan itu pun berpaling ke arah pintu yang

masih tertutup rapat.

“Masuklah!” seru Ki Gede kemudian dengan suara yang sedikit

keras.

Sejenak kemudian pintu pringgitan pun terbuka dan kepala

pengawal perdikan Matesih, Ki Wiyaga melangkah masuk.

“Silahkan Ki Wiyaga,” berkata Ki Gede kemudian

mempersilahkan.

47

Page 51: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Terima kasih Ki Gede,” berkata Ki Wiyaga kemudian sambil

mengambil tempat duduk di sebelah Ki Gede.

“Apakah persiapan penyelenggaraan jenasah sudah siap?”

bertanya Ki Gede kemudian sambil beringsut dan berpaling ke

arah Ki Wiyaga.

“Sudah Ki Gede,” jawab Ki Wiyaga cepat sambil menganggukkan

kepalanya, “Para penggali kubur pun sudah mengirim utusan

bahwa liang lahat sudah siap.”

“Baiklah,” berkata Ki Gede kemudian sambil mengedarkan

pandangan matanya ke sekeliling, “Matahari agaknya memang

belum tergelincir ke barat. Kita menunggu sejenak,” Ki Gede

berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Rangga,

Ki Gede pun bertanya, “Bukankah sebaiknya memang demikian Ki

Rangga?”

Ki Rangga tersenyum sambil mengangguk. Jawabnya, “Memang

sebaiknya demikian Ki Gede. Saat Matahari tergelincir tinggal

sesaat lagi. Sebaiknya kita antar jenasah itu ke liang lahat setelah

kita usai menunaikan kewajiban kita.”

“Ya, aku setuju,” sahut Ki Waskita dengan serta merta.

Kembali Ki Rangga tersenyum sambil mengangguk ke arah Ki

Waskita. Katanya kemudian, “Aku kira pertemuan kali ini sudah

cukup. Aku akan menengok keadaan Glagah Putih kembali. Aku

harus yakin keadaan Glagah Putih sebelum aku berangkat

mengantar Ki Gede ke Menoreh.”

“Ah,” tanpa sadar Ki Gede telah berdesah. Lanjutnya kemudian,

“Aku merasa telah banyak merepotkan Ki Rangga dan kawan-

kawan. Entah bagaimana aku harus membalas budi semua

kebaikan ini.”

48

Page 52: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Ah sudahlah Ki Gede,” sahut Ki Rangga cepat, “Semua yang kita

kerjakan itu dilandasi tugas serta penggilan kewajiban untuk tetap

tegaknya panji panji Mataram.”

Orang-orang yang hadir di tempat itu pun tampak mengangguk

anggukkan kepala mereka. Berkata Ki Gede kemudian, “Sambil

menunggu pemberangkatan jenasah, biarlah aku dan Ratri

beristirahat di gandhok kanan bersama Ki Kamituwa.”

“Jika diijinkan aku akan pulang sebentar, Ki Gede,” menyela Ki

Kamituwa sambil mengangguk hormat, “Aku nanti akan ikut

mengantar jenasah dari depan rumahku. Bukankah jalan ke

pekuburan itu lewat depan rumahku?”

Orang orang yang mendengar kata kata permohonan Ki Kamituwa

itu telah tersenyum. Namun akhirnya Ki Gedepun mengangguk

anggukkan kepala sambil menjawab, “Silahkan Ki Kamituwa.

Agaknya tadi sebelum berangkat ke banjar ini, Ki Kamituwa masih

meninggalkan pekerjaan yang belum diselesaikan.”

“Ah,” Ki Kamituwa tertawa pendek diikuti oleh mereka yang hadir

di pringgitan itu. Jawab Ki Kamituwa kemudian, “Memang benar

Ki Gede. Tadi pagi aku sedang mengawasi para tukang batu yang

sedang membetulkan dinding belakang rumah ketika utusan Ki

Gede datang.”

“Baiklah, silahkan,” berkata Ki Gede kemudian sambil bangkit

berdiri. Yang lain pun kemudian ikut bangkit berdiri.

Demikianlah akhirnya mereka telah meninggalkan ruang

pringgitan dan meneruskan kegiatan masing-masing. Ki Rangga

segera bergegas masuk ke ruang dalam untuk melihat keadaan

Glagah Putih yang sedang ditunggui Ki Jayaraga diikuti oleh Ki

Waskita dan Ki Bango Lamatan.

49

Page 53: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Dalam pada itu putut Panengah tampak sedang menyusuri jalan

padukuhan induk perdikan Matesih. Putut Panengah berjalan

sambil menundukkan kepalanya. Sesekali saja dia mengangkat

wajahnya jika ada seseorang yang berpapasan menyapanya.

“Agaknya penghuni padukuhan ini masih menjunjung tinggi nilai

nilai peradaban manusia,” membatin Panengah sambil terus

mengayunkan langkahnya, “Aku tadi sempat curiga ketika ada

seseorang yang sedang berpapasan telah menyapaku. Ternyata

memang itu sudah menjadi tradisi di padukuhan ini. Mereka

selalu menyapa orang yang mereka jumpai, kenal maupun tidak

kenal.”

Berbekal keyakinan itulah, putu Panengah kemudian tidak ragu

ragu lagi berjalan sambil menegakkan kepalanya. Ketika di bawah

sebatang pohon yang rindang, seorang penjual cendol dawet

sedang duduk di belakang pikulannya sambil melepas lelah

menyapanya, putut Panengah pun telah menyempatkan diri untuk

berhenti.

“Masih adakah dawetmu, Ki Sanak ?” sapa putut Panengah

kemudian.

Penjual dawet itu tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Habis. Engkau tidak beruntung Ki sanak. Cobalah ke kedai dekat banjar. Mungkin di sana masih ada.”

“Baiklah, terima kasih,” sahut Panengah sambil kembali

mengayunkan langkahnya.

Beberapa puluh tombak di belakang Panengah, tampak dua orang

berjalan beriringan dengan caping lebar yang menutupi wajah.

Seorang yang sudah cukup tua tampak memanggul sebuah

cangkul sedang yang muda membawa pikulan di pundaknya

50

Page 54: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Apakah persiapan penyelenggaraan jenasah sudah siap?” bertanya Ki

Gede kemudian sambil beringsut dan berpaling ke arah Ki Wiyaga.

51

Page 55: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

dengan dua buah keranjang yang kosong.

“He? Ada apa Panengah berhenti di depan penjual dawet itu?”

terdengar yang tua menggerutu sambil mengamat-amati

Panengah dari balik caping lebarnya.

“Mungkin dia kehausan, ayah,” jawab yang masih muda tanpa

berpaling. Keduanya tetap melanjutkan langkah mereka.

Ketika Panengah kemudian berbelok dan memasuki kedai dekat

banjar, kedua orang yang mengikutinya dari jauh itu telah

mengumpat umpat.

“Gila!” geram yang tua, “Putut itu memang benar benar bebal.

Seharusnya dia ingat tugasnya untuk mengadakan penyelidikan,

tapi malah enak enakan masuk kedai.”

“Biarlah ayah,” jawab yang muda sambil tertawa pendek, “Kita

berjalan terus. Aku khawatir jika kita ikut mampir di kedai itu, ada

orang yang akan mengenali kita berdua.”

“Engkau benar Jaka Purwana,” sahut yang tua, “Kemungkinannya

sangat besar karena aku memang sering mampir di kedai itu.

Kedai yang paling enak di perdikan Matesih ini.”

Anak muda yang ternyata Jaka Purwana itu tersenyum, namun

tidak berkata-kata lagi. Keduanya pun kemudian melanjutkan

perjalanan mereka. Ketika keduanya kemudian melewati kedai itu,

mereka sama sekali tidak berpaling sehingga telah membuat putut

Panengah menahan senyum.

“Nah, sekarang aku punya kesempatan untuk menikmati makan

siang,” membatin Panengah sambil tertawa dalam hati, “Panas-

panas begini berjalan dengan perut dalam keadaan lapar serta

tenggorokan kering, benar benar menyiksa diri. Aku sudah yakin

52

Page 56: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

jika kedua orang itu pasti tidak akan berani mampir di kedai ini.

Mereka takut ketahuan penyamarannya.”

Dalam pada itu Ki Dukuh dan anak laki lakinya ternyata telah

sampai di depan banjar. Alangkah terkejutnya kedua orang itu,

ketika mereka sekilas berpaling, dari pintu regol yang terbuka

lebar, dengan sangat jelasnya mereka berdua melihat

pemandangan yang sangat mendebarkan.

Di tengah-tengah pendapa itu terlihat sebuah amben kecil. Bukan

amben kecil itu yang membuat jantung ayah dan anak itu

bagaikan terlepas dari tangkainya. Namun sesosok jenasah yang

terbaring di atas amben itulah yang telah membuat keduanya

terperanjat. Beberapa pengawal pun tampak sedang

mengerumuninya.

“Mayat siapakah, ayah?” bisik Jaka Purwana kemudian sambil

berpaling ke arah Ki Dukuh yang dengan sengaja sedikit

memperlambat langkahnya.

“Mana aku tahu,” jawab ayahnya juga sambil berbisik, “Agaknya

jenasah itu sudah selesai dimandikan dan mungkin akan segera

dibawa ke pekuburan.”

“Kita ikut ke pekuburan,” desis Jaka Purwana kembali sambil

mengikuti langkah ayahnya yang bergegas berlalu dari tempat itu.

Ayahnya tidak menanggapi. Hanya tampak kerut merut di dahinya

yang semakin dalam. Dia segera menggamit anaknya agar tidak

terlalu mencolok melihat ke dalam banjar. Beberapa pengawal

yang sedang berjaga di depan regol tampak sedang mengawasi

tingkah laku kedua orang itu.

Demikianlah akhirnya langkah-langkah mereka telah sampai di

kelokan jalan. Ketika kedua orang itu merasa sudah lepas dari

53

Page 57: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

pandangan para mengawal penjaga regol, Ki Dukuh segera

berhenti dan meletakan cangkulnya diikuti oleh anaknya.

“Kita berhenti disini,” berkata Ki Dukuh kemudian sambil duduk

di bawah sebatang pohon yang rindang. Angin sepoi sepoi yang

bertiup perlahan terasa sedikit menyegarkan sekujur tubuh

mereka yang telah basah oleh keringat.

“Apa rencana ayah?” bertanya Jaka Purwana kemudian sambil

ikut duduk di samping ayahnya.

Ayahnya menggeleng sambil memandang ke kejauhan. Dari sorot

mata orang tua itu terlihat betapa kebimbangan sedang melanda

hatinya.

“Ayah, sebaiknya kita ikuti iring iringan jenasah itu menuju ke

pekuburan,” berkata Jaka Purwana kemudian setelah sejenak

mereka terdiam, “Kita dapat bertanya kepada orang-orang yang

mengantar jenasah itu sambil lalu seolah olah kita sama sekali

tidak berkepentingan.”

Tampak Ki Dukuh menarik nafas dalam, dalam sekali.

Panggraitanya mengatakan bahwa mayat yang terbujur di

pendapa itu pasti guru Jaka Purwana.

“Jika yang terbunuh itu Ki Rangga atau salah satu dari kelima

perantau itu, pasti kawan-kawannya akan menyempatkan diri

untuk merawatnya atau sekedar duduk-duduk di pendapa sambil

membacakan doa-doa,” membatin Ki Dukuh sambil pandangan

matanya menerawang ke langit, “Namun kenyataannya mayat itu

hanya diurusi oleh para pengawal.”

“Ayah?” sergah Jaka purawana kemudian mengagetkan Ki Dukuh,

“Apa rencana ayah?”

54

Page 58: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Ki Dukuh belum menjawab ketika tiba-tiba kedua orang itu

mendengar langkah-langkah mendekat. Sejenak wajah ayah dan

anak itu menegang. Jika yang muncul dari kelokan jalan itu salah

seorang pengawal, tentu mereka harus berusaha sejauh mungkin

untuk menghindari benturan. Tanpa berjanji sebelumnya,

keduanya pun segera menundukkan wajah.

Namun kedua orang yang sedang duduk melepas lelah di bawah

sebatang pohon yang rindang itu akhirnya menarik nafas panjang

ketika dari kelokan jalan yang muncul adalah putut Panengah.

“Bocah edan!” geram Ki Dukuh sambil bangkit berdiri. Jaka

Purwana pun ikut berdiri sambil mengibas kibaskan kain

panjangnya yang kotor terkena debu.

“Ki Dukuh?” sapa putut Panengah sambil memperlambat

langkahnya dan kemudian berhenti di hadapan kedua orang itu.

“Panengah,“ bertanya Ki Dukuh kemudian dengan pandangan

mata yang tajam, “Apa saja kerjamu di kedai tadi?”

Putut Panengah tersenyum. Jawabnya kemudian, “Maafkan aku

Ki Dukuh. Dari semalam perutku belum terisi sama sekali,

sehingga aku menyempatkan diri untuk mencari makan dulu.”

Tanpa sadar ayah dan anak itu saling berpandangan sejenak.

Agaknya mereka baru menyadari bahwa sebagai tuan rumah

mereka berdua belum sempat memberikan pelayanan bagi tamu-

tamunya.

“O, maafkan kami Panengah,” berkata Ki Dukuh kemudian sambil

menarik nafas dalam-dalam, “Kalian berkunjung ke rumahku

ketika menjelang tengah malam. Sedangkan pagi tadi kami pun

belum sempat menyediakan makanan dan minuman.”

55

Page 59: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Tidak mengapa Ki Dukuh,” jawab Panengah dengan serta merta

sambil tersenyum untuk menghilangkan rasa bersalah Ki Dukuh

dan anak laki-lakinya, “Semalam guru telah memberi tugas

kepada kami untuk meringkus Jagabaya itu, namun ternyata

justru telah terjadi peristiwa yang diluar dugaan sama sekali.”

“Maksudmu?” hampir berbareng ayah dan anak itu bertanya.

Panengah menarik nafas dalam dalam sambil memandang ke

kejauhan. Wajahnya terlihat memendam kesedihan yang tiada

taranya. Jawabnya kemudian, “Menilik jenasah yang diletakkan di

pendapa itu, aku mempunyai dugaan, mungkin itu jasad kakang

putut Acarya atau bahkan bisa jadi itu jasad guru.”

“Ah,” sergah Jaka Purwana kemudian dengan wajah yang

menyiratkan ketidak percayaan, “Dari mana engkau mempunyai

kesimpulan seperti itu?”

“Ya,” sahut Ki Dukuh tak kalah sengit, “Apa alasanmu menduga

seperti itu?”

Kembali Panengah menarik nafas dalam, dalam sekali. Jawabnya

kemudian dengan suara yang memelas, “Guru mendatangi banjar

itu untuk menantang agul agulnya Mataram Ki Rangga Agung

Sedayu. Jika perang tanding itu benar-benar terjadi dan yang

tewas adalah Ki Rangga, tentu kawan-kawannya tidak akan

membiarkan hal itu terjadi. Mereka tidak akan membiarkan guru

meloloskan diri dari tempat itu.”

Tampak kepala Ki Dukuh dan anaknya terangguk angguk. Memang alasan Panengah itu masuk akal.

“Jadi, jika Ki Rangga yang kalah dalam perang tanding itu,

seharusnya ada dua jasad yang disemayamkan di pendapa, begitu

menurutmu?” bertanya Ki Dukuh selanjutnya.

56

Page 60: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Ki Dukuh benar,” jawab Panengah dengan serta merta sambil

menganggukkan kepalanya. Lanjutnya kemudian, “Jika kakang

Acarya juga ikut menyusul guru memasuki banjar itu,

kemungkinan justru kakang Acarya tidak akan terbunuh. Dia pasti

masih hidup, namun sekarang sedang dijadikan tawanan.”

Hampir bersamaan Ki Dukuh dan putranya saling berpandangan.

Bertanya Jaka Purwana kemudian, “Mengapa engkau menyimpulkan demikian? Mengapa kakang Acarya

kemungkinannya tidak mati terbunuh?”

“Karena ilmu kakang Acarya masih sangat jauh di bawah ilmu

guru,” jawab Panengah cepat,” Ki Rangga atau kawan-kawannya

tentu tidak akan menemui kesulitan yang berarti untuk

melumpuhkannya dan kemudian menawannya.”

Kini tampak kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya,

walaupun dalam hati mereka masih terselip sebuah harapan,

bahwa semua perkiraan Panengah itu tidak terjadi. Bahkan diam

diam dalam hati Ki Dukuh memuji Panengah yang disangkanya

terlalu bebal dan bodoh.

“Jika Acarya tertangkap dan kemudian mengaku bahwa aku telah

memberi tempat kepada Pertapa itu beserta murid-muridnya,

tentu Ki Gede Matesih tidak akan tinggal diam. Padukuhan

Klangon akan diratakan dengan tanah,” berkata Ki Dukuh dalam

hati kemudian sambil mencoba menyembunyikan kegalauan

hatinya.

Namun agaknya Jaka Purwana tanggap akan masalah yang akan

dihadapi keluarganya. Jika guru dan saudara seperguruannya itu

nantinya ditelusuri sejauh mana keterlibatan mereka dengan Ki

Dukuh dan keluarganya, maka keselamatan keluarganya akan

terancam.

57

Page 61: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Maka katanya kemudian, “Ayah, jika keadaan memaksa, lebih baik

kita menyingkir dan sekalian bergabung dengan para cantrik

Sapta Dhahana. Mumpung Ki Gede belum bergerak untuk

melacak keterlibatan kita, sebaiknya kita segera menyingkir.”

“Adi Jaka Purwana benar,” sahut Panengah sambil berpaling ke

arah Ki Dukuh, “Kita harus bergerak cepat, Ki Dukuh. Tidak

menutup kemungkinan seandainya kakang Acarya telah tertawan,

sekarang ini dia pasti sedang dipaksa untuk mengaku siapa saja

pengikut Pertapa goa Langse. Dan itu tidak menutup

kemungkinan kakang Acarya akan menyebut nama kita semua.”

Tampak wajah Ki Dukuh menjadi kalut. Dengan wajah yang

tegang, akhirnya dia berkata, “Marilah kita segera meninggalkan

tempat terkutuk ini. Jika memang menyingkir adalah jalan

terbaik, untuk sementara aku akan memboyong keluargaku untuk

tinggal di lereng pegunungan Kendeng.”

Jaka Purwana terkejut. Bertanya Jaka Purwanan kemudian

dengan nada sedikit ragu-ragu, “Maksud ayah, ke tempat paman

di padepokan Glagah Tinutu?”

“Engkau benar, Jaka Purwana,” jawab ayahnya sambil

menganggukkan kepalanya, “Aku akan meminta perlindungan ke

padepokan Glagah Tinutu untuk sementara waktu.”

Akan tetapi wajah Jaka Purwana masih diliputi keragu-raguan.

Katanya kemudian, “Ayah, selama ini kita sepertinya sudah putus

hubungan dengan paman Sabda Langit di padepokan Glagah

Tinutu.”

Ki Dukuh tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Pimpinan

padepokan Glagah Tinutu itu masih ditangan eyangmu, belum

diserahkan kepada pamanmu yang tamak itu. Kita ke sana bukan

58

Page 62: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

untuk mengunjungi pamanmu, namun kita meminta

perlindungan kepada eyangmu.”

Kerut merut masih tampak di kening anak laki laki Ki Dukuh itu,

namun Ki Dukuh segera memutuskan. Katanya kemudian,

“Marilah kita kembali. Aku dan Jaka Purwana akan terus

mengikuti jalur jalan ini. Setelah bulak kecil itu kita berbelok ke

kiri dan selanjutnya kembali ke dukuh Klangon.”

“Bagaimana dengan aku, Ki Dukuh?” bertanya Panengah

kemudian begitu melihat ayah dan anak itu mulai melangkahkan

kaki mereka. Suaranya terdengar sangat memelas sehingga

memaksa Ki Dukuh menghentikan langkahnya.

Sambil berpaling, Ki Dukuh menjawab,”Engkau bebas Panengah.

Engkau bebas menentukan jalan hidupmu. Dengan meninggalnya

Pertapa goa Langse itu, aku dan anakku sudah tidak ada ikatan

apa apa lagi dengan mu. Kita berpisah di sini untuk mencari jalan

kita masing masing.”

Gemetar sekujur tubuh putut Panengah. Dia benar benar bagaikan

seekor anak ayam yang ditinggal pergi induknya. Sementara di

setiap sudut tampak gigi gigi musang yang menyeringai kelaparan

dan siap untuk menerkamnya.

Agaknya Ki Dukuh dan Jaka Purwana sudah tidak memperdulikan

Panengah lagi. Keduanya dengan langkah bergegas segera

meninggalkan Panengah yang masih berdiri termangu nmangu di

ujung kelokan.

Dalam pada itu, sepeninggal Ki Dukuh dan anaknya, Panengah

masih berdiri termangu mangu beberapa saat di tempat itu.

Pikirannya benar-benar sedang kalut. Dia tidak tahu harus

berbuat apa. Sementara bayangan Ki Dukuh dan Jaka Purwana

59

Page 63: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

sudah semakin jauh.

Ada terbersit pemikiran untuk kembali ke goa Langse. Namun

pemikiran itu segera dibuangnya jauh-jauh.

“Untuk apa aku kembali ke goa Langse?” pertanyaan itu berputar

putar dalam benaknya. Sementara Matahari di langit sudah

tampak mulai sedikit tergelincir ke arah barat.

“Ah, persetan dengan semua persoalan itu. Aku akan pergi

kemanapun kakiku melangkah,” umpat Panengah dalam hati

kemudian sambil membalikkan badan dan kembali menyusuri

jalan melewati depan regol banjar padukuhan induk.

Dalam pada itu di pendapa banjar padukuhan induk, Ki Gede

didampingi Ki Wiyaga dan Ki Rangga di sebelah menyebelah telah

berdiri berjajar jajar di belakang jenasah Pertapa goa Langse yang

telah dimasukkan kedalam keranda dan digeser tempatnya agak

ke depan. Di belakang Ki Gede tampak Ki Waskita dan Ki Bango

Lamatan. Sedangkan Ki Jayaraga agaknya masih tidak tega untuk

meninggalkan muridnya yang masih terbaring di dalam bilik di

ruang tengah banjar padukuhan induk.

Di halaman banjar, tampak telah berkumpul para penghuni

padukuhan induk yang tinggal di sekitar banjar. Sebenarnya

mereka sudah melihat jenasah itu di pendapa sejak pagi

menjelang siang tadi. Namun sampai saat ini, belum ada kejelasan

tentang jati diri orang yang telah terbujur menjadi mayat itu.

“Siapakah sebenarnya yang telah meninggal?” bertanya seorang

laki laki tua kepada orang yang berdiri di sebelahnya.

“Aku tidak tahu, kek,” jawab laki laki itu tanpa berpaling.

Pandangan matanya lurus ke depan memperhatikan apa yang ada

di pendapa.

60

Page 64: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Nanti Ki Gede pasti akan memberitahukan kepada kita,” sahut

seorang laki laki paro baya yang berdiri tidak jauh dari kakek tua

itu, “Tapi menurut dugaanku, yang meninggal itu pasti bukan

warga perdikan Matesih.”

“Ya, aku juga menduga demikian,” sahut kakek tua itu sambil

mendesak ke depan.

Tiba tiba terlintas dalam benak kakek tua itu sesuatu dugaan.

Maka katanya kemudian, “Jangan–jangan salah satu tamu Ki

Gede yang tinggal di banjar ini yang meninggal dunia. Aku dengar

selepas penyerbuan ke padepokan Sapta Dhahana, ada salah satu

dari mereka yang terluka dan jatuh sakit.”

Orang-orang di sekitarnya yang mendengar kata kata kakek tua itu

telah berpaling sambil mengerutkan kening. Tanpa sadar mereka

kembali melayangkan pandangan ke pendapa. Walaupun mereka

kebanyakan tidak mengenal Ki Rangga dan kawan kawannya

orang perorang. Namun mereka segera mengenali dari wajah

wajah asing yang berdiri di sekitar Ki Gede.

“He! Mereka katanya ada berlima?!” seru salah seorang yang

berjanggut dan berkumis lebat, “Tapi mengapa yang aku lihat di

pendapa itu hanya bertiga? Ke mana yang dua lagi? Ataukah aku

yang salah hitung?”

Beberapa orang yang mendengar ucapan orang itu telah menjadi

berdebar debar. Tanpa sadar mereka segera mengamat amati

wajah wajah yang tampak asing bagi mereka. Wajah wajah yang

belum pernah terlihat selama ini di perdikan Matesih. Berbagai

dugaan pun telah memenuhi benak mereka.

Namun agaknya kakek tua itu segera menyadari bahwa dugaannya

akan dapat membawa ke perdebatan yang tak berujung pangkal.

61

Page 65: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Maka katanya kemudian, “Sudahlah. Aku juga tidak begitu paham

dengan kelima tamu Ki Gede itu. Lebih baik kita tunggu

penjelasan Ki Gede saja.”

Agaknya orang-orang yang berada di sekitar kakek tua itu pun

akhirnya menyadari. Tidak ada gunanya mereka menduga duga

peristiwa yang mereka sama sekali tidak mengetahuinya. Lebih

baik menunggu saja keterangan resmi dari pemimpin tanah

perdikan Matesih itu.

Dalam pada itu di pendapa Ki Gede telah maju selangkah. Setelah

mengucapkan salam terlebih dahulu, barulah Ki Gede memulai

sesorahnya.

“Siang hari ini kita akan mengantarkan jenasah menuju ke tanah

pekuburan, “ berkata Ki Gede kemudian memulai sesorahnya,

“Jenasah ini adalah jenasah seseorang yang menyebut dirinya

Pertapa dari goa Langse.”

Segera saja terdengar kerumunan orang di halaman banjar itu

saling bergeremang antara satu dengan lainnya. Beberapa orang

yang mempunyai dugaan yang keliru pun telah menarik nafas

dalam dalam.

“Pertapa dari goa Langse?” desis kakek yang sebelumnya menduga

jika salah satu kawan Ki Rangga yang meninggal.

“Siapa itu?” lanjutnya kemudian dengan nada penuh tanya.

“Aku juga tidak tahu, kek,” sela orang yang berdiri di sebelahnya,

“Akan tetapi dari julukannya, dia pasti berasal dari tempat yang

jauh.”

“Ya, ya. Engkau benar,” sahut kakek itu dengar serta merta.

62

Page 66: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Kemudian dengan kerut merut di dahi, kakek itu mencoba

mengumpulkan ingatannya. Lanjutnya kemudian, “Goa Langse itu

kalau aku tidak salah berada di pantai laut selatan.”

“Memangnya kakek pernah ke sana?” tiba tiba seseorang menyela.

Kakek itu berpaling ke arahnya sambil tersenyum mengejek.

Jawabnya jemudian, “Jelek jelek begini, di masa muda hampir

seluruh tempat di tanah Jawa ini telah aku jelajahi. Dari ujung

kulon sampai ujun wetan.”

“Tapi, seumur-umur aku belum pernah melihat kakek

meninggalkan Matesih,” tiba tiba terdengar suara seseorang

menyeluthuk dari arah belakangnya.

Ketika kakek tua itu kemudian berpaling ke belakang, terlihat

seseorang yang setua dirinya sedang tersenyum ke arahnya. Wajah

kakek itu pun menjadi merah padam seperti udang direbus.

Sementara di sekeliling kakek itu pun kemudian terdengar suara

tawa yang tertahan-tahan. Kakek itu pun hanya dapat menggeram

sambil memelototkan sepasang matanya ke arah mereka.

“Jadi, kewajiban kita sebagai sesama insan hamba Tuhan, adalah

memberikan penghormatan terakhir dan menyelenggarakan

pemakamannya, apapun peran yang telah dilakukan oleh orang

yang menyebut dirinya Pertapa dari goa Langse ini kepada tanah

perdikan Matesih,” terdengar kembali suara Ki Gede meneruskan

sesorahnya.

“Nah, marilah kita bersama sama memanjatkan doa kepada yang

Maha Pemurah agar peristiwa yang terjadi di perdikan Matesih

selama ini dan khususnya peristiwa di banjar padukan induk pagi

tadi, tidak akan terulang kembali. Semoga perdikan Matesih selalu

jaya dan dalam lindungan serta bimbingan Yang Maha Kuasa,”

63

Page 67: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Namun alangkah terkejutnya Ki Rangga begitu pandangan

matanya menangkap sesosok tubuh tua renta…..

64

Page 68: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

berkata Ki Gede kemudian mengakhiri sesorahnya.

Ki Waskita yang telah ditunjuk oleh Ki Gede untuk memimpin doa

segera maju ke depan. Segera saja untaian doa demi doa mengalir

dari bibir Ki Waskita. Orang yang telah kenyang makan asam

garamnya kehidupan serta telah putus segala kawruh lahir

maupun batin itu pun akhirnya mengakhiri doanya dengan

harapan dan permohonan agar perdikan Matesih selalu dalam

lindunganNya untuk menyongsong hari hari mendatang.

Setelah Ki Waskita selesai memimpin doa, empat orang pengawal

yang telah disiapkan segera mengangkat keranda dan kemudian

berjalan perlahan menuruni pendapa. Sesampainya keranda itu di

halaman banjar, orang orang pun saling berebut untuk

menggantikan memikul jenasah itu.

“Apakah Ki Rangga dan kawan-kawan akan ikut mengantar

jenasah sampai ke pekuburan?” bertanya Ki Gede kemudian

sambil berjalan menuruni pendapa.

Sejenak Ki Rangga berpaling ke arah Ki Waskita dan Ki Bango

Lamatan. Tampak kedua orang itu tidak berkeberatan dan telah

menganggukkan kepala mereka.

“Baiklah Ki Gede, mari kita antar jenasah itu sampai ke liang

lahat,” jawab Ki Rangga kemudian sambil mengikuti langkah Ki

Gede menuruni tlundak pendapa.

Demikianlah Ki Gede dan Ki Rangga beserta Ki Waskita segera

bergabung dengan arus orang-orang yang berjalan ke tempat

pekuburan. Sedangkan Ki Wiyaga dan Ki Bango Lamatan tampak

berjalan di belakang sambil asyik bercakap cakap.

“Ki Bango Lamatan,” bertanya Ki Wiyaga kemudian sambil

melangkahkan kakinya, “Bagaimana keadaan Glagah Putih yang

65

Page 69: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

sebenarnya? Mengapa aku tadi tidak diijinkan untuk menengok ke

dalam biliknya?”

“Bukan begitu, Ki Wiyaga,” sahut Ki Bango Lamatan sambil

mengikuti langkah kepala pengawal perdikan Matesih itu, “Luka

Glagah Putih memang sangat parah. Bukan dalam arti luka yang

terbuka terkena senjata tajam. Namun luka Glagah Putih adalah

luka di dalam tubuhnya. Tenaga cadangannya bagaikan terperas

habis dari dalam tubuhnya. Bahkan darahnya pun telah ikut

merembes keluar dari pori pori sekujur tubuhnya.”

“Gila!” geram Ki Wiyaga tanpa sadar sambil mengepalkan kedua

tangannya, “Ilmu apakah yang dimiliki oleh lawan Glagah Putih

itu sehingga Glagah Putih telah mengalami cidera seperti itu?”

Ki Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Angannya sejenak

melayang ke peristiwa tadi pagi. Seandainya Ki Rangga

mengetahui Pertapa goa Langse itu memiliki sebuah ilmu yang

nggegirisi seperti itu dan akibat yang dapat ditimbulkannya, tentu

Ki Rangga tidak akan mengijinkan Glagah Putih untuk

menghadapinya.

Ki Wiyaga yang melihat Ki Bango Lamatan justru telah termenung

menjadi heran. Tanyanya kemudian, “Apakah sebenarnya yang

telah terjadi, Ki Bango Lamatan?”

Ki Bango Lamatan bagaikan terjaga dari tidurnya mendapat

pertanyaan dari Ki Wiyaga. Setelah menarik nafas panjang,

barulah dia menjawab, “Lawan Glagah Putih itu memiliki sejenis

ilmu yang mampu menyedot kekuatan lawan, khususnya tenaga

cadangannya. Dengan demikian apabila kedua tangan lawan

Glagah Putih itu telah menempel di tubuh bagian mana saja, ilmu

itu akan bekerja. Jika tenaga cadangan lawannya masih dibawah

66

Page 70: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

kekuatannya, dengan cepat dia akan mampu membuat lawannya

mati lemas dengan sekujur tubuh bersimbah darah.”

“Sekujur tubuh bersimbah darah?” ulang Ki Wiyaga dengan nada

keheranan, “Bukankah dia sama sekali tidak bersenjata?”

“Ki Wiyaga benar,” sahut Ki Bango Lamatan kemudian cepat,

“Namun ilmu menyedot tenaga cadangan lawan itu akan membuat

darah di dalam tubuh lawan mengalir keluar melalui pori pori di

sekujur tubuhnya.”

Ki Wiyaga diam diam bergidik ngeri. Betapa dahsyatnya ilmu itu

dan kelihatannya dapat digunakan untuk menghabisi lawan tanpa

belas kasihan.

“Lawan akan mati dalam keadaan mengenaskan,” membatin Ki

Wiyaga sambil terus menjajari langkah Ki Bango Lamatan,

“Tubuhnya akan kering karena darah di dalam tubuhnya seakan

akan telah terperas keluar. Benar benar sebuah ilmu yang

nggegirisi dan mengerikan.”

Tanpa terasa langkah kedua orang itu sudah sampai di gerbang

pekuburan. Tampak jenasah Pertapa goa Langse itu sudah

diturunkan ke liang lahat. Beberapa orang pun sudah mulai

menimbuni kembali liang lahat itu dengan tanah bekas galiannya.

“Apakah kita terlambat?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian

Ki Wiyaga menggelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian,

“Belum, Ki. Setelah selesai mengubur jenasah itu, masih ada doa

yang akan dipanjatkan. Setelah itu barulah kita bubar kembali ke

tempat masing masing.”

Ki Bango Lamatan mengangguk anggukkan kepalanya. Ketika dia

kemudian melemparkan pandangan matanya ke depan, tampak Ki

67

Page 71: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Gede sedang berbisik bisik dengan Ki Rangga. Sementara

beberapa langkah di samping mereka Ki Waskita dan Ki

Kamituwa tampak sedang asyik membicarakan sesuatu.

Ada keinginan Ki Bango Lamatan untuk mendekat. Namun niat

itu segera diurungkannya ketika melihat Ki Wiyaga justru telah

bergeser ke bawah sebatang pohon untuk berteduh dari teriknya

sinar Matahari . Ki Bango Lamatan pun kemudian mengikutinya.

Dalam pada itu, orang orang yang menimbuni liang lahat itu

ternyata telah selesai dan sepasang nisan pun telah terpasang.

“Pertapa goa Langse,” desis Ki Rangga tanpa sadar membaca

sekilas tulisan yang terpasang pada nisan tersebut.

Ki Gede hanya tersenyum mendengar desis Ki Rangga. Kemudian

Ki Gede pun mempersilahkan Ki Waskita untuk kembali

memimpin doa.

Demikian lah akhirnya penyelenggaraan jenasah Pertapa dari goa

Langse itu telah selesai. Orang-orang yang hadir di dalam

pekuburan itu pun berangsur angsur telah keluar dari area

pekuburan. Ki Rangga dan yang lainnya pun telah melangkahkan

kaki mereka meninggalkan tempat itu.

Ketika langkah Ki Rangga dan kawan kawan itu hampir mencapai

pintu gerbang pekuburan, tanpa sadar Ki Rangga telah berpaling

ke belakang, memandang ke tempat Pertapa goa Langse itu

dimakamkan.

Namun alangkah terkejutnya Ki Rangga begitu pandangan

matanya menangkap sesosok tubuh tua renta berpakaian kumal

sedang duduk menghadap ke kuburan yang tanahnya masih

basah. Orang itu tidak tampak wajahnya karena membelakangi Ki

Rangga. Namun dari ujudnya, orang itu terlihat sudah sangat tua

68

Page 72: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

renta dan kurus kering tinggal tulang belaka. Rambutnya yang

panjang dan berwarna putih bagaikan kapas itu digelung keatas

tanpa selembar ikat kepala, hanya diikat dengan secarik kain yang

berwarna hitam kelam.

Berdesir tajam jantung Ki Rangga. Segera saja dia berpaling ke

arah Ki Waskita yang berjalan di samping kirinya sambil berbisik,

“Ki Waskita, ada seseorang yang tampaknya sedang meratapi

kubur Pertapa dari goa Langse itu.”

Ki Waskita pun terkejut bukan alang kepalang. Secepat kilat dia

segera berpaling ke belakang. Namun ayah Rudita itu hanya

melihat gundukan tanah yang masih basah.

Ki Rangga yang ikut kembali berpaling itu darahnya bagaikan

tersirap. Sesosok bayangan orang tua renta dengan tubuh kurus

kering serta pakaian kumal itu sudah tidak dilihatnya lagi.

“Aneh,” desis Ki Rangga kemudian. Hampir saja dia

menghentikan langkahnya. Namun karena khawatir akan

membuat yang lain gelisah dan bertanya-tanya, Ki Rangga pun

memutuskan untuk tetap melangkahkan kakinya.

“Jika apa yang dilihat angger tadi memang benar benar ada, aku

jadi teringat cerita Ki Jayaraga,” desis Ki Waskita perlahan lahan

sambil tetap menjajari langkah Ki Rangga. Langkah kedua orang

itu sengaja dibuat perlahan agar mereka berdua agak terpisah dari

rombongan para pelayat yang sedang kembali ke banjar.

“Mungkinkah yang aku lihat sekilas tadi adalah Pertapa goa

Langse yang sebenarnya?” bertanya Ki Rangga kemudian setelah

sejenak mereka berdua terdiam.

“Aku rasa memang demikian, ngger,” jawab Ki Waskita sambil

menarik nafas panjang, “Jika memang orang yang mengaku

69

Page 73: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Pertapa dari goa Langse itu benar benar murid dan sekaligus anak

dari Pertapa goa Langse yang sebenarnya, Glagah Putih benar

benar dalam bahaya.”

Mendengar penjelasan Ki Waskita itu, tiba tiba saja hati Ki Rangga

menjadi gelisah. Seolah olah Ki Rangga sedang meninggalkan

seorang anak kecil bermain main di pinggir sungai.

“Akan tetapi ada Ki Jayaraga,” membatin Ki Rangga mencoba

menghibur dirinya, “Seandainya Pertapa tua itu mendatangi

banjar, semoga dia masih mengenal Ki Jayaraga.”

Namun hati Ki Rangga masih belum tenang. Maka katanya

kemudian, “Ki Waskita, sebaiknya kita segera kembali ke banjar.

Aku mengkhawatirkan segala sesuatunya dapat berkembang ke

arah yang tidak terduga.”

“Baiklah ngger,” jawab Ki Waskita sambil ikut mempercepat

langkahnya mengikuti Ki Rangga.

Orang orang yang sedang berjalan di sekitar mereka berdua pun

menjadi heran. Pada awalnya kedua orang itu tampak berjalan

perlahan lahan. Namun tiba tiba saja sekarang kedua orang itu

berjalan seperti sedang dikejar hantu. Begitu tergesa gesanya

sehingga seolah olah mereka berdua sedang berlomba jalan cepat.

Ketika kedua orang itu kemudian melewati Ki Gede dan Ki

Kamituwa, Ki Rangga pun menyapa keduanya sambil berkata,

“Maaf Ki Gede, kami mendahului. Ada sesuatu yang harus kami

kerjakan.”

Ki Gede yang melihat kedua orang itu berjalan dengan bergegas

telah mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Apakah Ki

Rangga perlu bantuan?”

70

Page 74: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“O, tidak…tidak Ki Gede,” sahut Ki Rangga sambil berpaling

sekilas dan tersenyum. Tanpa mengurangi laju langkahnya Ki

Rangga menjawab singkat, “Kami berdua ada keperluan yang

sangat pribadi.”

Ki Gede dan Ki Kamituwa pun saling berpandangan sejenak. Namun akhirnya kedua orang itu pun telah tersenyum maklum.

Demikianlah langkah kedua orang itu benar benar bagaikan

sedang dikejar hantu. Ketika keduanya melewati Ki Bango

Lamatan dan Ki Wiyaga, Ki Rangga pun berbisik perlahan, “Maaf

Ki Wiyaga, aku perlu bantuan Ki Bango Lamatan. Ijinkan Ki

Bango Lamatan berjalan mendahului bersama kami.”

“O, silahkan…silahkan,” jawab Ki Wiyaga kemudian. Ki Bango

Lamatan yang telah digamit oleh Ki Rangga segera mengangguk

ke arah Ki Wiyaga terlebih dahulu sebelum mempercepat

langkahnya menyusul Ki Rangga dan Ki Waskita.

Ketika regol banjar padukuhan induk itu sudah terlihat, ketiga

orang itu hampir saja tidak mampu menahan diri untuk berlari.

Namun Ki Rangga segera berkata, “Jangan membuat para

pengawal yang sedang berjaga menjadi cemas. Kita pertahankan

langkah kita agar tidak menimbulkan kesan yang berlebihan dan

kegelisahan.”

Kedua kawannya itu hanya mengangguk dan tetap berjalan cepat

di samping Ki Rangga.

Sebenarnyalah para pengawal penjaga regol itu menjadi heran

melihat ketiga orang itu. Mereka terlihat sangat tergesa gesa

memasuki banjar padukuhan induk. Namun tidak ada satupun

dari pengawal jaga itu yang berani bertanya.

71

Page 75: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Barulah ketika ketiga orang itu telah hilang di balik pintu

pringgitan, pemimpin pengawal jaga hari itu telah menarik nafas

panjang sambil berkata, “Ada ada saja Ki Rangga dan kawan

kawannya itu. Aku kira tadi ada serangan lagi di banjar

padukuhan ini. Ternyata tidak. Mungkin mereka hanya ingin pergi

ke pakiwan saja.”

“Mungkin , Ki,” sahut pengawal di sebelahnya, “Namun agak aneh

juga jika ketiga-tiganya ingin pergi ke pakiwan semua.”

“Bukankah di banjar ini pakiwannya ada lebih dari satu?” seorang

pengawal yang duduk bersandaran dinding gardu menyela.

Serentak para pengawal yang sedang berbincang itu menengok ke

arahnya. Namun kemudian tampak kepala mereka terangguk

angguk.

Dalam pada itu Ki Rangga dan Ki Waskita serta Ki Bango Lamatan

segera memasuki bilik yang digunakan untuk merawat Glagah

Putih.

Agar tidak mengejutkan Ki Jayaraga, Ki Rangga memerlukan

mengetuk pintu bilik itu sebelum masuk.

“Masuklah!” terdengar suara Ki Jayaraga yang berat dan dalam

mempersilahkan.

Sejenak kemudian mereka bertiga pun berturut turut telah

memasuki bilik.

Ki Rangga segera mengambil sebuah dingklik kayu dan kemudian

duduk di dekat amben. Sedang Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan

segera menyesuaikan diri mencari dingklik kayu yang lain dan

kemudian bergabung di sekitar amben.

72

Page 76: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Bagaimana keadaannya, Ki?” bertanya Ki Rangga kemudian

kepada Ki Jayaraga sambil meraba kening Glagah Putih.

“Tadi sudah sempat siuman dari pingsannya,” jawab Ki Jayaraga

kemudian, “Aku sudah meminumkan obat cair yang telah Ki

Rangga siapkan. Syukurlah cairan obat itu bisa dihabiskan Glagah

Putih dan agaknya dia sekarang ini sedang tidur lelap.”

Ki Rangga menarik nafas dalam dalam. Sejenak murid tertua

perguruan orang bercambuk itu merenungi tubuh Glagah Putih

yang terbujur diam. Hanya dadanya saja yang terlihat naik turun

dalam irama yang ajeg.

“Luka dalam Glagah Putih ini sangat parah,” desis Ki Rangga

kemudian sambil memutar tubuhnya menghadap kawan

kawannya, “Aku akan meramu sejenis makanan khusus untuk

luka dalam yang cukup parah. Untuk sementara Glagah Putih

tidak diperbolehkan makan makanan padat terlebih dahulu

sampai lambungnya siap.”

Tampak orang orang yang berkumpul dalam bilik itu mengangguk

anggukkan kepala mereka.

“Ki Rangga benar benar telah menjelma menjadi gurunya sendiri,

Kiai Gringsing. Baik dalam ilmu olah kanuragan jaya kawijayan

maupun dalam ilmu pengobatan,” berkata Ki Jayaraga dalam hati

dengan penuh kekaguman.

“Ki Jayaraga,” tiba-tiba Ki Rangga berkata membuyarkan

lamunan Ki Jayaraga, “Apakah selama kami mengantar jenasah ke

pekuburan tadi Ki Jayaraga menerima tamu?”

Orang orang yang hadir di dalam bilik itu terkejut mendengar

pertanyaan Ki Rangga, kecuali Ki Waskita.

73

Page 77: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Ki Jayaraga segera menggeser dingkliknya sejengkal ke depan.

Jawabnya kemudian, “Dari mana Ki Rangga mengetahui kalau

tadi aku menerima tamu di dalam bilik ini?”

Tanpa sadar Ki Rangga berpaling ke arah Ki Waskita. Ki Waskita

pun tampak mengangguk anggukkan kepalanya. Sedangkan Ki

Bango Lamatan yang belum mengetahui duduk permasalahannya

tampak mengerutkan keningnya dalam dalam.

“Ki Jayaraga,” berkata Ki Rangga selanjutnya, “Tadi sebelum

meninggalkan tanah pekuburan, secara tidak sengaja aku telah

melihat sesuatu yang sangat mendebarkan?”

“Apakah itu Ki Rangga?” Ki Bango Lamatan lah yang justru

mendahului bertanya dengan nada yang tidak sabar.

Ki Rangga tersenyum. Jawabnya kemudian, “Selepas kami

meninggalkan makan Pertapa goa Langse itu, ketika mendekati

pintu gerbang pekuburan, aku telah menyempatkan diri untuk

menengok kebelakang,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya

kemudian, “Namun aku menjadi sangat tekejut ketika melihat

sebuah pemandangan yang sangat ganjil. Di depan makam

Pertapa goa Langse itu aku melihat seorang kakek tua renta

dengan tubuh yang kurus kering tinggal tulang belulang saja dan

berpakaian kumal tampak sedang meratapi makam itu.”

Ki Jayaraga segera menarik nafas panjang sambil berdesis

perlahan lahan, “Dia lah Pertapa goa Langse yang sesungguhnya.”

Ki Rangga dan Ki Waskita yang sudah mempunyai dugaan

sebelumnya masih tampak terkejut. Apalagi Ki Bango Lamatan.

Orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya

Warastra itu bahkan telah menggeser duduknya lebih mendekat.

74

Page 78: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Pertapa goa Langse yang sesungguhnya? Apa maksud Ki

Jayaraga?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian.

Kembali Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Pandangan matanya

terlempar ke langit langit yang sedikit kotor terkena jelaga lampu

dlupak. Tampaknya Ki Jayaraga sedang mengingat-ingat masa

lalunya.

“Bagaimana Ki Jayaraga?” Ki Rangga mencoba membangunkan

guru Glagah Putih itu dari mimpi masa lalunya.

Ki Jayaraga tersenyum sambil menggeleng gelengkan kepalanya.

Jawabnya kemudian, ”Aku sama sekali tidak menyangka jika

Pertapa tua itu ternyata mempunyai anak angkat yang

dipungutnya dari pinggir jalan,” Ki Jayaraga berhentui sejenak.

Lanjutnya kemudian, “Pertapa tua itu begitu menyayanginya

seperti menyayangi anak sendiri. Pertapa tua itu tidak mempunyai

keluarga sehingga seluruh perhatian dan kasih sayangnya semua

tercurah kepada Anggara.”

“Anggara? Jadi namanya Anggara?” sela Ki Rangga kemudian.

“Ya, nama sebenarnya lawan Glagah Putih itu adalah Anggara,”

jawab Ki Jayaraga kemudian.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing masing sedang mencoba

untuk menilai apa yang telah diceritakan oleh Ki Jayaraga itu.

“Jadi, Pertapa tua itu telah menyempatkan diri untuk datang ke

bilik ini, Ki Jayaraga?” pertanyaan Ki Rangga itu telah

membangunkan semua orang dari lamunan mereka.

“Ya, Ki Rangga,” jawab Ki Jayaraga sambil menarik nafas dalam-

dalam. Orang orang yang hadir di dalam bilik itu pun menjadi

75

Page 79: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

tegang. Lanjut Ki Jayaraga kemudian, “Untunglah dia masih

mengenali aku.”

Ki Rangga dan yang lainnya pun sejenak saling pandang. Bertanya

Ki Waskita kemudian, “Apakah dia datang untuk mencari

pembunuh anak angkatnya?”

Untuk sejenak Ki Jayaraga termenung. Namun jawabnya

kemudian, “Sebenarnya dia tidak mengetahui jika anak angkatnya

itu sudah meninggal. Dia dapat meraba di mana keberadaan

anaknya itu untuk terakhir kalinya. Dan dia mendapat isyarat

bahwa terakhir kali Anggara berada di banjar ini.”

Wajah-wajah di dalam bilik itu pun menjadi semakin tegang.

Agaknya Pertapa tua itu memiliki sejenis ilmu untuk memantau

keberadaan seseorang yang dikehendakinya.

“Itu tidak aneh menurutku, Ki Jayaraga,” sahut Ki Rangga

kemudian. Sambil berpaling ke arah Ki Waskita, dia melanjutkan,

“Ki Waskita juga mendapat anugrah dari Yang Maha Agung

kemampuan seperti itu.”

Kini semua pandangan beralih ke arah Ki Waskita. Orang tua ayah

Rudita itu pun tersenyum maklum sambil menjawab, “Apa yang

aku terima hanyalah berupa sebuah isyarat yang kemudian harus

aku urai dan aku terjemahkan menurut kemampuan

pemahamanku. Kadang karena pengetahuan dan kepahamanku

yang terlalu dangkallah, yang membuat aku bisa saja salah dalam

membaca isyarat itu.”

Yang hadir di dalam bilik itu pun menarik nafas panjang. Berkata

Ki Jayaraga kemudian, “Memang ilmu seperti itu benar adanya.

Bahkan hubungan seorang ibu dengan anak kandungnya secara

alamiah mempunyai ikatan yang erat tanpa harus menekuni

76

Page 80: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

ataupun mempelajari ilmu seperti itu. Demikian hal itu kadang

juga berlaku terhadap saudara kembar.”

Tampak kepala orang orang yang hadir di dalam bilik itu pun

terangguk angguk.

“Nah, Ki Jayaraga,” berkata Ki Rangga kemudian, “Kami semua

ingin mengetahui apa saja yang dilakukan Pertapa tua itu di

banjar ini.”

Kembali untuk ke sekian kalinya Ki Jayaraga menarik nafas

panjang. Dipandanginya wajah Glagah Putih yang terlihat tidur

pulas. Wajahnya sudah tidak sepucat tadi. Bahkan nafasnya pun

sudah lancar dan teratur sebagaimana orang yang sedang tidur

biasa.

Agaknya Ki Rangga mengikuti arah pandangan Ki Jayaraga. Maka

katanya kemudian, “Aneh. Menurut kitab pengobatan yang aku

pelajari, diperlukan sehari dua hari untuk mengembalikan tata

letak urat nadi dan syaraf di dalam tubuh Glagah Putih sehingga

aliran darahnya menjadi lancar. Demikian juga aliran

pernafasannya.”

Ki Jayaraga mengangguk angguk. Katanya kemudian, “Aku juga

merasa heran Ki Rangga. Ketika Pertapa tua itu tiba tiba saja

sudah berada di sampingku, aku sudah pasrah dengan apa yang

akan dilakukannya kemudian. Untung dia masih mengenalku

sebagai Jayaraga.”

“Apa yang dilakukanya kemudian, Ki?” sahut Ki Bango Lamatan.

Orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya

Warastra itu agaknya menjadi tidak sabar untuk menahan diri.

Ki Jayaraga tersenyum. Sambil berpaling ke arah Ki Bango

Lamatan dia menjawab, “Dia hanya duduk di bibir amben itu.

77

Page 81: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

Kemudian dia meraba dada Glagah Putih beberapa saat. Ketika

Pertapa tua itu kemudian melepaskan tangannya dari dada Glagah

Putih, aku melihat Glagah Putih yang sebelumnya bernafas

dengan sedikit berat, tiba tiba saja sudah bisa bernafas dengan

longgar sebagaimana biasanya.”

“Syukurlah,” hampir berbareng orang orang itu berdesis perlahan.

Ki Rangga pun kemudian melanjutkan, “Aku yakin Pertapa tua itu

sebenarnya berhati sangat mulia. Akan tetapi aku tidak habis

pikir, mengapa Anggara sebagai murid dan sekaligus anak

angkatnya kemudian mempunyai sikap seperti itu?”

“Mungkin lingkungan yang telah mengubah cara bepikir serta

pandangan hidupnya,” sahut Ki Waskita dengan serta merta,

“Atau ada seseorang yang telah mempengaruhinya.”

“Ki Waskita benar,” sela Ki Jayaraga kemudian, “Pertapa tua itu

memang sekilas mengeluhkan murid sekaligus anak angkatnya.

Memang Anggara dipelihara sejak dia masih belum mengetahui

jati dirinya dan Pertapa tua itu selalu mengaku sebagai ayah

kandungnya.”

“Perhatian serta kasih sayang yang berlebihan kadang dapat

menjerumuskan seseorang,” berkata Ki Waskita kemudian

menanggapi, “Apalagi Anggara tidak pernah mengenal dunia luar

sebelumnya. Sehingga ketika dia diberi kesempatan untuk melihat

dunia luar, mungkin dia menjadi silau dan keseimbangan

penalarannya pun terganggu.”

Kembali terlihat setiap kepala terangguk angguk. Berkata Ki

Rangga selanjutnya kemudian, “Kita wajib berterima kasih kepada

Pertapa tua itu atas pertolongannya kepada Glagah Putih.”

78

Page 82: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

“Ki Rangga benar,” sahut Ki Jayaraga cepat, “Namun ada satu hal

yang membuat aku gelisah, bahkan aku takut untuk

mengatakannya.”

Wajah wajah yang telah tenang itu pun menegang kembali.

Pandangan mata semua orang pun kini tertuju kepada Ki Jayaraga

dengan kening yang berkerut merut.

“Maksud Ki Jayaraga?” sela Ki Rangga cepat.

Kembali sebuah tarikan nafas yang panjang dan dalam terdengar

sebelum Ki Jayaraga menjawab. Namun bagaimana pun

keadaannya, senang atau tidak senang pesan itu harus

disampaikan.

“Ki Rangga” berkata Ki Jayaraga kemudian dengan nada yang

setenang mungkin, “Sebelum meninggalkan bilik ini, Pertapa tua

itu telah menitipkan sebuah pesan untuk Ki Rangga.”

“Pesan?” hampir bersamaan mereka yang hadir di dalam bilik itu

mengulang.

“Ya, sebuah pesan,” sahut Ki Jayaraga kemudian. Sekarang

suaranya terdengar sedikit bergetar.

Dada Ki Rangga pun terasa berdesir tajam. Namun sebagai kakak

sepupu dan sekaligus sebagai salah satu guru Glagah Putih, dia

memang telah siap mengambil alih semua tanggung jawab atas

terjadinya peristiwa itu.”

“Ki Jayaraga,” berkata Ki Rangga kemudian, “Seperti yang telah

aku sampaikan sebelumnya. Apa yang telah terjadi ini menjadi

tanggung jawabku. Tanggung jawab sebagai kakak dan sekaligus

guru dari Glagah Putih,” Ki Rangga berhenti sejenak sekedar

untuk menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun lebih dari itu,

79

Page 83: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · ikut menyaksikan kedahsyatan perang tanding itu, “Jarang ada anak muda seusianya yang mempunyai ilmu ngedab edabi seperti ini.” Ki Waskita yang

semua adalah tanggung jawabku sebagai kepala rombongan kecil

ini atas perintah dari penguasa Mataram melalui Ki Patih

Mandaraka.”

Tanpa terasa, dada orang orang yang hadir di dalam bilik itu telah

bergetar. Ki Rangga benar benar seorang pemimpin yang dapat

dicontoh dan diteladani. Jika telah ditunjuk menjadi seorang

pemimpin, kesalahan apapun yang diperbuat anak buahnya akan

menjadi tanggung jawabnya juga, tanpa melepaskan tanggung

jawab yang harus dipikul oleh anak buah yang melakukan

kesalahan itu. Seorang pemimpin memang pantang untuk tinggal

glanggang colong playu.

“Nah, sampaikan saja pesan itu, Ki Jayaraga,” berkata Ki Rangga

kemudian.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Semua menunggu Ki Jayaraga

untuk menyampaikan pesan dari Pertapa tua itu.

“Ki Rangga,” berkata Ki Jayaraga pada akhirnya, “Pertapa tua itu

hanya berpesan bahwa, urusan seorang murid biarlah menjadi

urusan sesama murid, sedangkan urusan seorang guru, tentu saja

menjadi urusan dengan sesama guru.”

Tergetar semua jantung mereka yang hadir. Untuk beberapa saat

suasana menjadi sangat sunyi sekali. Yang terdengar hanyalah

suara desah nafas Glagah Putih yang terdengar dalam irama yang

teratur.

-----------------0O0---------------

Bersambung ke jilid 19

80