Sejarah Militer Dan Politik
description
Transcript of Sejarah Militer Dan Politik
MILITER DAN POLITIK
Tentang
MILITER DAN POLITIK DI INDONESIA ERA ORDE LAMA
SAMPAI REFORMASI
Disusun oleh :
Regina Al Maharani (1201120009)
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BUNG KARNO
JAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mencermati perkembangan dunia politik di Indonesia, tentu saja tidak akan
bisa lepas dari melihat adanya keikutsertaan dan peran militer di dalamnya. Sejak
awal kelahiran bangsa Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga
sekarang ini kita akan melihat secra jelas bagaimana militer telah turut bermain dalam
kancah perpolitikan di Indonesia, bahkan militer pada salah satu era kehidupan bangsa
ini telah begitu kuat berperan dan mewarnai jalannya kehidupan berpolitik, berbangsa
dan bernegara. Sebagai contoh keberadaan Dwi Fungsi ABRI adalah salah satu bukti
nyata dari adanya keikutsertaan militer dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Untuk
lebih memperjelas bagaimana kehidupan militer dalam kancah perpolitikan di negara
kita, maka perlu untuk melihat perjalanan politik Indonesia dalam tiga era yaitu Era
Orde Lama yang berjalan dalam kurun waktu tahun 1945 hingga tahun 1966 di mana
pada kurun waktu inilah TNI membentuk dirinya sendiri, kemudian menempatkan
dirinya didalam pergaulan sipil militer di Tanah Air. Selain itu ada Era Orde
Baru yang berjalan antara kurun waktu tahun 1966 hingga tahun 1998, di mana pada
masa kepemimpinan presiden Soeharto selama 32 tahun inilah kita akan melihat
betapa besarnya keikutsertaan dan peran militer dalam kancah perpolitikan di
Indonesia. Dan terakhir yaitu pada Era Reformasi dan pasca turunnya Soeharto dari
kursi kepresidenan yang bergerak dalam kurun waktu tahun 1998 hingga sekarang
yang mana pada era ini kita akan melihat sebuah titik balik dari perjalanan militer
dalam kancah perpolitikan di Indonesia, yaitu dengan adanya gerakan sipil yang
sangat kuat yang menekan militer untuk keluar dari kancah perpolitikan di Indonesia
dan kembali pada jati dirinya sebagai pengemban fungsi pertahanan negara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Militer dan Politik 1945-1949 (Revolusi)
Militer dalam peran politik pemerintah di Indonesia, pembentukan angkatan
bersenjata di negara-negara modern khususnya negara Indonesia ditujukan untuk
melindungi dan mempertahankan kedaulatan negara dan bangsa suatu negara. Namun
kenyataannya, terdapat beberapa perluasan peran yang melekat pada angkatan
bersenjata tersebut. Perluasan ini sangat terkait dengan perkembangan suatu negara.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pengaruh militer dengan multi fungsinya dalam
politik pemerintahan lebih disebabkan sejarah perjuangan bangsa dan negara yang
bersangkutan, terutama di negara-negara dunia ke tiga termasuk Indonesia. Lebih jauh
lagi hal ini dapat dilihat dari sistem politiknya berupa orientasi nilai terhadap sturktur
dan fungsi sistem politik, dan ortientasi nilai terhadap pimpinannya.
Politik pada masa 1945-1949 yaitu supremasi sipil atas militer, sebagai salah
satu ciri terlaksananya sebuah demokrasi yang sehat, sejak awal mula terbentuknya
pemerintahan Indonesia, militer Indonesia telah memiliki peran yang sangat besar
dalam menentukan garis sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sehingga selama masa
lima tahun revolusi Indonesia dengan mudah kita dapat menyaksikan betapa
mencoloknya peranan militer. Demikian jelas dan penting peranan politik tentara
ketika itu sehingga sangat masuk akal apabila dikatakan bahwa karakteristik yang
paling mencolok dalam masa itu adalah adanya dualisme kepemimpinan, yaitu militer
dan politik.1 Militer di Indoneisia lahir dan berkembang sebagai militer yang
revolusioner dengan konsep TNI (dahulu ABRI) manunggal dengan rakyat ditujukan
bahwa doktrin Dwifungsi TNI dapat setara dengan ideologi yang harus disadari oleh
baik kalangan sipil maupun militer. Berdasarkan kelahiran doktrin itulah dua fungsi
militer dalam sistem politik Indonesia dilaksanakan. Berdasarkan tataran empiris,
konsepsi doktrin itu telah mengalami pergeseran terutama pada tingkat operasional.
Dwifungsi yang tadinya menyangkut tugas pembelaan negara berubah menjadi
multifungsi militer dalam orientasinya terhadap struktur dan fungsi sistem politik
Indonesia. Pelaksanaan peran militer dalam politik sangat dipengaruhi oleh konflik
kepentingan dan ketegangan dalam poros elit militer, elit sipil dalam lembaga
eksekutif dan kehidupan infrastruktur politik yang dimotori oleh partai politik.2
B. Militer dan Politik Orde Lama
Periode Rezim pemerintahan Orde Lama merupakan fondasi bagi perjuangan
militer dalam panggung pertahanan dan politik. Pada periode awalnya ketika sistem
pemerintahan parlementer mereka termarginalkan oleh elit pemerintahan sipil begitu
pula dengan kepala negara, Soekarno. Akibatnya pada akhir periode ini terjadi
pergeseran dari marginalisasi militer dalam politik memasuki era baru yaitu
berkuasanya militer dalam sistem politik Indonesia. Penguatan kepentingan ini terjadi
dengan tumbangnya politisi sipil terutama kehidupan partai politik dan keterpurukan
ekonomi. Disamping itu juga bergesernya aliansi kepentingan presiden dengan parpol
terutama PKI ke arah aliansi dengan militer terutama setelah jatuhnya PKI akibat
Kudetanya yang gagal. Meskipun Sukarno berhasil menggagalkan kudeta, namun
militer berhasil mendapatkan bargaining position, di arena politik nasional. Pada
tahun 1957, terjadi pemberontakan di beberapa daerah, sehingga peran militer
1 Dikutip dari catatan mata kuliah “Militer dan Politik” Oleh Dosen Bapak Gunawan Wibisono, S.H, MSi2 Diakses dari http://www.revlimandagie.com/2uncategorised/14-militer-dalam-peran-politik-pemerintahan-di-indonesia
semakin dibutuhkan, dan sejak saat itu, perannya semakin besar pula di bidang
politik.
Satu-satunya kelompok sipil yang kritis terhadap militer AD hanyalah Partai
Komunis Indonesia (PKI). Setelah pemberangusan partai-partai politik di awal tahun
1960-an, kekuatan politik nasional hanya terdiri dari tiga, yaitu Sukarno, PKI dan
Militer (AD). Antara PKI dan TNI saling bersaing dan melakukan “maneuver” untuk
menarik perhatian Sukarno, sejak tahun 1963, peristiwa demi peristiwa telah
mempengaruhi dinamikan hubungan segitiga kekuasaan n tersebut. Sebagai missal,
pergantian KSAD dari Nasution kepada Ahmad Yani pada Juni 1962, pencabutan
Undang-undang Keadaan Bahaya (SOB) pada November 1962, dianggap telah
menguntungkan PKI. Perihal diangkatnya Yani tersebut dianggap sebagai
kemunduran serius bagi kelompok Nasution yang mendukung militer sebagai kekuata
politik yang utuh. Setelah dilantik sebagai KSAD, A. Yani segera mengganti
sejumlah Pangima daerah yang berani menentang Sukarno dengan isu-isu komunis.
Tetapi, ketika Maret 1963 terjadi kerusuhan anti-cina di Jawa Barat pada saat Sukarno
berkunjung ke Cina, kelompok AD dianggap berhasil mempermalukan Sukarno dan
sekaligus memperlemah PKI. Kerusuhan tersebut disinyalir sengaja dilakukan oleh
militer karena pada saat itu sejumlah komandan militer setempat terlihat bekerjasama
dengan perusuh. Kemudian pada tahun 1965, terjadi peristiwa controversial “G-30-S”,
yang tidak saja mematikan gerakan PKI di Indonesia, tetapi juga merubuhkan
kekuasaan politik Sukarno. Sehingga, militer menjadi satu-satunya pemenang, dan
segeralah babak Orde Baru dimulai. Sejak saat itu, militer mendominasi hamper di
seluruh bidang sosial, politik dan ekonomi nasional.3
3 Dikutip Minggu-18-Oktober-2015. Dari http://srikandinusantara.blogspot.co.id/2012/09/perbandingan-peran-militer-masaorde_16.html
C. Militer dan Politik Orde Baru
Periode ke dua adalah ketika rezim pemerintahan Orde Baru muncul pada
tahun 1966. Periode inilah yang menjadi periode keemasan multifungsi TNI dengan
doktrin Dwifungsi tersebut. Hampir semua kelembagaan trias politica terkendali dan
diduduki oleh militer. Peran aliansi diantara presiden Soeharto dengan militer sangat
mendominasi sistem politik Indonesia ini selama kurun waktu 32 tahun. Namun pada
Akhir tahun 1990an terjadi perubahan polarisasi militer dalam politik pemerintahan,
dimana tuntutan sipil kelompok kepentingan untuk menurunkan pimpinan nasional
dan dwifungsi TNI menemukan momentumnya. Ditopang oleh kebobrokan ekonomi
yang sangat parah, rezim pemerintahan Orde Bau tumbang. Tumbangnya
pemerintahan ini tentu saja berpengaruh terhadap aliansinya dengan militer.
Tumbangnya rezim Orba ini memunculkan pemerintahan Orde Taransisi/Reformasi.
Pada periode ini, kepentingan militer kembali mengalami ketegangan karena
hilangnya aliansi dengan pemerintahan Orba. Karenanya, militer segera melakukan
redefinisi, reposisi dan reaktualisasi perannya dalam sistem politik Indonesia.
Diluncurkannya paradigma baru peran TNI merupakan jawaban atas keinginan
hubungan sipil dan militer pada er- reformasi.4 Keterikatan ABRI dalam politik
terlihat yaitu pada prakteknya militer bukan saja di perbolehkan mengikuti dunia
politik, melainkan juga ”bersama kekuatan sosial politik lainnya” terlibat dalam
kehidupan kenegaraan, yang bersumber pada aspek legal empirik. Militer secara
kelembagaan atau individu terlibat dalam berbagai kegiatan seperti ;
- Sebagai pilar Orde Baru, duduknya TNI di DPR melalui jalur pengangkatan meskipun
bukan partai tetapi didasarkan atas Susduk DPR/MPR RI yang mengesahkan
kedudukan tersebut.
4 Diakses. Minggu-18-Oktober-2015. Dari https://ferli1982.wordpress.com/2012/04/07/militer-dan-politik dan dikutip dari catatan mata kuliah “Militer dan Politik”
- Sebagai stabilisator dan dinamisator, kehadiran politik TNI di wujudkan melalui
Golkar. Disamping untuk menjamin berjalannya sistem demokrasi, politisi Orde Baru
juga berusaha melahirkan kekuatan politik yang dominan.
- TNI bukan saja hadir di lembaga legislatif tetapi juga di eksekutif. Hal tersebut dapat
dilihat dari TNI yang duduk pada jabatan kunci di pemerintahan, baik yang masih
aktif maupun yang sudah purnawirawan.
- Untuk membuka usaha menopang kesejahteraan keluarga TNI, Presiden Soeharto
juga banyak memberikan kesempatan untuk berbisnis.
- Disamping tugas-tugas kekaryaan dan ekonomi, TNI juga memerankan fungsi
modernisasi dengan ABRI masuk desa (AMD) pada daerah tertinggal dengan nama
TNI.5
Namun jawaban dan respon masyarakat/sipil masih diambang menggantung
terutama kalangan Parpol dan kelompok kepentingan. Perubahan peran politik TNI
dalam politik pemerintahan ini tentunya masih harus mengalami pendalaman dan
evaluasi kritis dari pihak sipil dan militer dalam kerangaka demokrasi. Akhirnya,
peran politk militer dalam pemerintahan yang telah dan mengalami perubahan ini
harus terus mengalami tindakan kritisi yang konstruktif untuk berkembangnya sistem
politik Indonesia yang demokratis. Munculnya militer yang profesional apakah
dengan terminologi back to barrack atau back to basic atau tetap peran TNI
(pengganti dwifungsi TNI), yang penting interpretasi dan pelaksanannya harus dalam
koridor demokrasi yang sesungguhnya, Doktrin Dwifungsi yaitu fungsi sebagai
kekuatan sosial politik dan fungsi sebagai kekuatan pertahan dan keamanan.6
5 Diakses Minggu-18-Oktober-2015. Dari https://ferli1982.wordpress.com/2012/04/07/militer-dan-politik6 Dikutip dari mata kuliah “Sejarah Sosiologi Politik, Semester 3”
Kepemimpinan TNI dalam kancah politik Indonesia , dinyatakan bahwa
keterlibatan politik militer di Indonesia dimulai sejak pertengahan tahun limapuluhan
dan mencapai puncaknya pada tahun 1966 seiring dengan makin mundurnya peran
politik golongan sipil. Kemunduran kekuatan sipil tersebut pada akhirnya mengubah
hubungan kekuatan antara sipil dan militer kearah yang menguntungkan pihak
TNI. Keadaan inilah yang digunakan oleh TNI untuk memperbesar peranan politik
mereka dalam pemerintahan. Kondisi ini juga diakui oleh Letjen TNI Agus Widjojo,
bahwa memang telah terjadi over reach (kebablasan) tentara dalam fungsi-fungsi non
militer di masa lalu sebagai akibat dari: Peran generasi 1945 yang berjuang dengan
cara gerilya; kesiapan tentara menduduki posisi-posisi administrative yang
ditinggalkan pejabat colonial Belanda; pandangan diri (self perception) tentara
sebagai agen pembangunan (agent of development) dan agen persatuan nasional
(agent of nation unity), serta pengawal bangsa (guardian of the nation; persepsi
mengenai demokrasi parelmenter yang gagal memajukan kemakmuran bangsa di
tahun lima puluhan; kekuasaan yang diberikan kepada militer dalam masa SOB
(martial Law) sejak terjadinya pemberontakan regional dan lemahnya pengawasan
system politik.
D. Militer dan Politik Reformasi
Tuntutan masyarakat mengenai dihapuskannya dwifungsi akhirnya bertemu dengan pemikiran
reformasi yang berkembang dalam TNI melalui ditinggalkannya Empat Paradigma Baru. Pada
tangggal 12 April 200 Pimpinan TNI menegaskan bahwa tugas pokok TNI sudah berubah secara
signifikan, TNI tidak lagi mengemban tugas social politik, dan tidak juga mengemban tanggung jawab
bidang keamanan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Polisi.7 Setelah Soeharto turun dari
jabatan presiden pada Mei 1998, telah terjadi tiga kali pergantian presiden di Indonesia, yaitu
Habibie (1998-1999), Abdurahman Wahid (1999-2000) dan Megawati (2002-kini). Masa
yang oleh sebagian kalangan disebut masa reformasi ini “sempat” mendorong para militer
TNI untuk meninggalkan perannya di bidang politik. Menjelang 1998, tekanan yang luar
biasa dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat telah menyebabkan TNI kehilangan wibawa dan
melemahkanbargaining position militer di arena politik nasional.
Tuntutan terhadap TNI untuk meninggalkan arena politik tersebut nyaris saja
terpenuhi. Namun, dorongan itu tidak terlalu kuat, sehingga lambat laun peranan militer
dalam bidang politik kembali menguat. Kembalinya militer dalam bidang politik dikarenakan
kelompok sipil terlalu lemah dan cenderung inferior di hadapan militer. Selain itu, kelompok
sipil cenderung menganggap dirinya paling benar dan paling berjasa atas turunya Soeharto
dan bergulirnya reformasi. Besarnya dukungan rakyat terhadap politisi sipil di DPR untuk
menghilangkan peran politik TNI ditanggapi setengah hati. Hal tersebut nampat pada TAP
MPR No. VII/2000 yang hanya memutuskan bahwa anggota TNI masih diperkenankan
duduk di parlemen hingga 2009. Adapun bunyi TAP tersebut sebagai berikut, selain alasan
tersebut diatas, ternyata TNI memang tidak menghendaki perannya di bidang politik berakhir,
“nyaris hilang”. Pada awal reformasi 1998, kelompok militer politik nyaris kalah secara
politik. Hal ini ditandai dengan digusurnya beberapa perwira militer dari jabatan strategis.
Misalnya, bupati, gubenur, menteri pertahanan, dan jabatan-jabatan lain diusahakan untuk
tidak dijabat oleh militer lagi. Selain itu, nampak pula kedudukan TNI/Polri dalam lembaga
perwakilan rakyat juga mulai dibatasi.
7 Dikutip Minggu-18-Oktober-2015. Dari A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Volume III, Bandung, Penerbit Angkasa, 1977
BAB III
PENUTUP
Demikian sekilas gambaran perjalanan politik TNI sejak kelahirannya, dimana terlihat
pasang surut hubungan sipil-militer yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Dan sekiranya
perlu diingat akan pelajaran berharga yang mungkin bisa dipetik dari hal di atas adalah bahwa
militer tidak akan campur tangan dalam panggung politik jika rezim sipil yang berkuasa
mempunyai legitimasi yang kuat dan pertikaian antar kelompok kepentingan dari pihak sipil
tidak mengganggu kestabilan dan jalannya pemerintahan. Militer akan melakukan intervensi
jika ketidakpastian politik begitu tinggi, para politisi lemah atau melakukan politicking demi
kepentingan sesaat atas nama golongannya masing-masing yang menimbulkan
ketidakstabilan politik. Memang sudah seharusnya didalam negara demokrasi seperti
Indonesia ini, militer secara profesional dan proporsional di kembalikan kepada peran dan
fungsinya yang mengemban tugas pokok sebagai alat pertahanan negara. Sudah sepatutnya
TNI lebih konsentrasi untuk membenahi diri dan menyiapkan kembali segala yang di
perluakan untuk mempertahankan negara ini dari segala ancaman dari luar, dan tidak lagi
mengahrapkan untuk berkecimpung di dunia politik praktis yang merupakan wilayah sipil.
Berbagai tantangan telah menunggu TNI dan itu tidaklah mudah, seperti halnya beberapa
waktu yang lalu negara ini di hadapkan pada ketegangan dengan militer dari negara tetangga
seperti malaysia berkaitan dengan wilayah perbatasan. Hal tersebut sebenarnya tidak akan
terjadi seandainya militer kita kuat dan konsisten dengan profesionalisme tugasnya serta di
dukung dengan peralatan persenjataan modern yang di segani oleh negara-negara lain. Sudah
cukup kiprah militer di dalam kancah perpolitikan di Indonesia, dan negara ini telah banyak
merasakan akibat yang di timbulkannya. Rakyat Indonesia sekarang ni mengaharapkan TNI
jauh lebih profesional, dan bisa di banggakan karena kiprahnya dalam mempertahankan
kedaulatan bangsa dan negara, dan bukan karena hal-hal lainnya yang bukan wilayah
profesionalisme tugasnya.