Militer Dan Politik Indonesia

download Militer Dan Politik Indonesia

of 22

description

Masa

Transcript of Militer Dan Politik Indonesia

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pada masa orde baru, masa dimana Presiden Soeharto berkuasa yang dimulai sejak tahun 1966, struktur politik Indonesia didominasi oleh kalangan militer. Dengan latar belakang militer Soeharto yang kental, keterlibatan militer dalam sektor politik cenderung makin pesat. Soeharto memberikan angka penjatahan yang tinggi di parlemen (DPR/MPR) kepada militer, sehingga militer dapat mengontrol lembaga perwakilan, dan dapat tetap berkuasa tanpa mengalami gangguan.Intervensi militer dalam struktur politik sudah terjadi sejak rezim Soekarno, hanya saja tingkat intervensi tersebut tidak setinggi saat rezim Soeharto. Pada masa demokrasi terpimpin, militer mulai memainkan peran sosial politik dan ekonomi. Saat itu, militer membentuk mitra politik sipil agar tidak terlihat kalau militer ingin menguasai pemerintahan dan sektor politik sepenuhnya, yaitu dengan membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya yang kemudian menjadi Golongan Karya (Golkar). Militer menyusun kekuatan melalui partai politik.Seiring berjalannya waktu, militer yang sudah terlibat dalam politik dan turun ke ranah sipil merasa nyaman akan posisinya. Namun posisi militer tersebut merugikan bagi sipil. Presentase untuk sipil dalam pemerintahan sangat kecil. Lebih dari itu, sipil yang mempunyai kritik atau bertentangan dengan Soeharto, akan diadili secara sepihak oleh TNI atas mandat Soeharto. Seperti pada kasus PKI tahun 1965, pengikut PKI langsung dibantai tanpa melalui proses peradilan. Contoh lainnya adalah pada kasus Malari tahun 1974, ketika Soeharto melakukan investasi dengan Jepang, hal ini tidak dapat diterima oleh mahasiswa-mahasiswa, sehingga terjadi demo. Lalu TNI diturunkan oleh Soeharto untuk mengurus mahasiswa-mahasiswa tersebut, yang hasilnya memakan banyak korban sipil. Tindakan tersebut tidak hanya tidak manusiawi, tetapi juga melanggar hak asasi manusia (HAM). Beberapa hal di atas menunjukan bahwa militer otoriter dan tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, muncul tuntutan dari masyarakat agar Soeharto turun dari kursi kepresidenan dan untuk mereformasi sektor keamanan (RSK) yaitu dengan penghapusan peran militer dalam politik (dwifungsi ABRI dihapuskan) dan perombakan struktur politik. Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, berimplikasi pada merosotnya pengaruh politik militer dan hubungan sipil-militer. Reformasi militer dilakukan sebagai upaya untuk membentuk militer yang profesional, memperbaiki hubungan sipil-militer, serta memperbaiki citra militer dalam masyarakat. Makalah ini akan membahas bagaimana peran militer dalam politik dan perkembangannya di Indonesia pasca lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan.

1.2 Perumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam makalah ini adalah:1. Bagaimana peran militer dalam politik di Indonesia pasca lengsernya Soeharto, pada masa B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan SBY?

1.3 Tujuan PenelitianTujuan penelitian dan penulisan makalah ini dimaksudkan agar pembaca atau mahasiswa/i khususnya yang belajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dapat mengetahui peran dan perkembangan militer dalam politik di Indonesia.1.4 Manfaat PenelitianSetelah membaca makalah ini, diharapkan pembaca atau mahasiswa/i dapat menjelaskan peran dan perkembangan militer dalam politik di Indonesia.

1.5 Metode Pengumpulan DataData yang dikemukakan dalam makalah ini diperoleh dengan membaca jurnal ataupun buku-buku sumber, yang ada hubungannya dengan militer dan politik Indonesia.

1.6 Sistematika PenulisanMakalah disusun dengan urutan sebagai berikut: Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode pengumpulan data, sistematika penulisan, batasan masalah, dan kajian teori. Bab II membahas mengenai peran dan perkembangan militer dalam politik di Indonesia, pasca lengsernya Soeharto. Bab III merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Terakhir terdapat daftar pustaka sebagai referensi atas data-data yang terkumpul.

1.7 BATASAN MASALAHPenulis membatasi masalah yang diteliti dalam makalah ini, yaitu pada masa pemerintahan B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhyono, penulis membahas reformasi militer, dan peran/fungsi militer dalam kancah perpolitikan di Indonesia terkait dengan profesionalisme militer yang berimplikasi pada hubungan sipil-militer.

1.8 KERANGKA TEORIPenulis menggunakan beberapa teori untuk mempermudah analisis peran militer di Indoenesia1.8.1 Intervensi Militer Konsep intervensi menurut Taufik Abdullah seperti dikutip Malik, bertolak dari pra anggapan bahwa sesuatu telah memasuki daerah yang sebenarnya bukan haknya.[footnoteRef:2] Dengan artian, intervensi berkaitan dengan sesuatu penilaian normatif akan tidak sahnya hal tersebut terjadi. Hubungan sipil militer bisa dilihat dari sejauhmana pemimpin-pemimpin sipil mampu mengatasi dan mengantisipasi intervensi militer ke dalam domain politik. [2: Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, Yogyakaarta: LkiS, 2004 hlm 21]

Amos Perlmutter menyebut ada dua kondisi yang memberikan kesempatan bagi militer untuk melakukan intervensi. Pertama, kondisi sosial. Suatu negara yang kondisi sosialnya lemah, maka kepentingan kelompok akan tersebar dalam frekuensi yang tinggi. Kalau struktur negara lemah maka institusi-institusi politik tidak berfungsi efektif dan dengan demikian kontrol sosial tidak efektif. Sebab saluran-saluran komunikasi terhambat, maka militer memiliki peluang untuk melakukan intervensinya.Kedua, kondisi politik. Intervensi militer muncul dari persoalan-persoalan sipil. Dalam banyak kasus kembalinya sipil ke militer untuk mendapatkan dukungan ketika struktur politik sipil terfragmentasi dalam faksi-faksi politik dan ketika perangkat konstitusi tidak berjalan.[footnoteRef:3] [3: Amos Perlmutter, Thee Military and Politics and Modern Times, terj. Sahat Simamora, Militer dan Politik, Jakarta: RajaGraafindo Persada, 2000. hlm 144-155]

Berbeda dengan Perlmutter yang lebih melihat faktor eksternal militer yang memperngaruhi hubungan sipil militer, S. F. Finer lebih melihat faktor internal militer sebagai faktor utama terjadinya intervensi. Faktor motivasi biasanya sangat berpengaruh besar apakah militer akan memengintervensi atau tidak. Faktor ini mencakup beberapa motivasi antara lain; motivasi sebagai tujuan akhir tentara, dorongan dari kepentingan nasional, kepentingan kelompok yang meliputi kepentingan kelas, kepentingan regional, kepentingan korps, dan kepentingan individu.[footnoteRef:4] [4: S. F Finer, The Man on Horseback, The Role of the Military in Politics, Colorado: Westview Press, hlm 20-54]

Dari dua paandangan itu bisa disebut ada dua gerbong dalam memahami intervensi militer pada domain sipil, yaitu memahami intervensi militer disebabkan faktor-faktor eksternal dan melihat intervensi militer sebagai dorongan atau motivasi internal yang dikandung oleh militer.Terlepas dari perdebatan itu, perlu dikaji saluran-saluran yang memungkinkan terjadinya intervensi militer. Finer mencatat, intervensi dapat dilakukaan melalui:[footnoteRef:5] [5: Ibid, hlm 127]

a. The normal constitusional chanels (melalui saluran-saluran konstitusi normal)b. Collusion and/or competition with the civilian authoritis (kolusi dan/atau persaingan dengan otoritas sipil)c. The intimidation of the civilian authoritis (intimidasi terhadap otoritas sipil)d. Threaths of non-cooperation with, or violence towards the civilian authoritis (mengancam dengan menolak bekerjasamadan/atau dengan kekerasan terhadap otoritas sipil)e. Failure to defend the civilian authoritis from violence (gagalnya mempertahankan otoritas sipil terhadap kekerasan)f. The exercise of violence againts the civilian authorities (menggunakan kekerasan terhadap otoritas sipil).Mietzner menguraikan adanya empat model tipologis intervensi militer yang mendominasi diskursus hubungan sipil-militer dalam negara otoriter, yaitu:1. Praetorian, dalam pemerintahan model ini militer merupakan komponen utama dalam menjalankan negara, dan seluruh institusi dan kekuatan lainnya berada di bawah kontrol militer. Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dikuasai oleh militer, baik secara langsung maupun diduduki sipil yang loyal kepada militer. Rejim Praetorian biasanya berkuasa lewat peraturan keadaan darurat. 2. Participant-Ruler, di mana terdapat partisipasi militer langsung dalam menjalankan pemerintahan, namun tidak memegang kontrol sepenuhnya atas pemerintah. Dalam model ini kekuatan militer umumnya membangun aliansi atau melayani kepentingan elit sipil tertentu, dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan, dengan timbal-balik mendapatkan kekuasaan untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan keamanan.3. Guardian, di mana militer tidak perlu berpartisipasi atau mendominasi pemerintah, namun militer memiliki kekuasaan yang cukup kuat untuk memberikan penilaian terhadap performa pemerintahan sipil dan menggantinya jika dipandang perlu. Jenis militer seperti itu mendefinisikan diri mereka sebagai pelindung dari nilai-nilai dan tujuan nasional, baik itu dalam rangka menjaga integritas kewilayahan negara ataupun kesetiaan pada ideologi nasional tertentu. 4. Referee yang menggambarkan peran militer di negara-negara yang memiliki kompetisi politik tingkat tinggi, di mana kekuatan angkatan bersenjata bertindak sebagai king-makers. Dukungan dari militer sangat menentukan dalam pertarungan kekuasaan terutama bagi kelompok tertentu yang mendapat dukungan, dan untuk itu para pejabat tinggi militer akan mendapatkan konsesi karena dukungannya tersebut. Konsesinya bisa dalam hal ikut membentuk pemerintahan dan ikut berpartisipasi, atau pemerintah akan melayani sejumlah kepentingan militer secara khusus. Gagasan tentang militer sebagai wasit merujuk pada fungsi militer sebagai mediator yang netral dalam konflik politik, meskipun sangat jarang terjadi.Ada beberapa sebab yang mendorong militer secara aktif memasuki arena politik dan memainkan peranan politik. Faktor-faktor ini lebih terletak pada kehidupan politik atau sistem politik, bukan pada militer dan dikelompokkan menjadi tiga , yaitu[footnoteRef:6]: [6: Yahya Muhaimin. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gaja Mada University Press. 1982. hlm 3 ]

1. Rangkaian sebab-akibat yang menyangkut ketidak stabilan system politik. Keadaan seperti ini menyebabkan terbukanya kesempatan dan peluang kekerasan yang besar untuk menggunakan kekerasan di dalam kehidupan politik. 2. Rangkaian sebab yang bertalian dengan kemampuan golongan militer untuk memperoleh peranan-peranan politik yang menentukan. Yang menarik dalam kaitan ini ialah bahwa beberapa hal dominasi militer didalam politik justru diundang atau dipermudah oleh golongan sipil. 3. Rangkaian sebab yang berhubungan dengan politikal perspektif kaum militer. Yang paling menonjol diantara beberapa perspektif politik mereka adalah yang berkaitan dengan peranan dan status mereka didalam masyarakat, dan juga yang berkenaan dengan persepsi mereka terhadap kepemimpinan kaum sipil dan terhadap sistem politik secara keseluruhanDalam kebudayaan politik yang seperti di atas itulah militer Indonesia dibina dan berkembang. Ini berarti bahwa para perwira militer Indonesia mempunyai watak, persepsi, tindakan yang kuat sekali yang dipengaruhi oleh implikasi dan aspek nilai kebudayaan politik serta kondisi lingkungan sekitarnya.

1.8.2 PROFESIONALISME MILITERSamuel P. Huntington dalam buku yang diterbitkan tahun 1957, The Soldier and The State[footnoteRef:7] mengelompokkan tentara dalam kerangka hubungan sipil-militer menjadi dua yaitu, tentara pretorian dan tentara profesional. Tentara pretorian atau tentara jenis penakluk (warior) dalam hal ini mewakili kelompok militer yang berkuasa dan menjalankan pemerintahan dan menentukan keputusan-keputusan politik. Paham ini tumbuh dan berkembang sebelum abad ke-19 ketika profesi perwira sebagai pengelola kekerasan (manager of violence) masih merupakan monopoli para kerabat istana. Munculnya revolusi Perancis 1789, menandai perubahan dari tentara pencari keuntungan materi menjadi tentara karena panggilan suci, misalnya mengabdi negara, hal inilah yang kemudian dikemukakan oleh Huntington sebagai awal berkembangnya paham tentara profesional.Huntington juga memberikan elaborasi tentang tumbuhnya profesionalisme militer yang menurutnya memiliki tiga ciri pokok, yaitu:[footnoteRef:8] [7: Lihat Samuel P. Huntington,The Soldier and The State: The Theory and Politics Civil-military Relations, Harvard University Press, Cambridge, 1957] [8: Samuel P. Huntington, Op.Cit, hlm. 7-18]

1. mensyaratkan suatu keahlian, sehingga profesi militer menjadi kian spesifik serta memerlukan pengetahuan dan keterampilan.2. seorang militer memiliki tanggung jawab sosial yang khusus, artinya seorang perwira militer disamping memiliki nilai-nilai moral yang tinggi dan terpisah dari insentif ekonomi juga mempunyai tugas pokok kepada negara. Berbeda dengan masa sebelumnya, dimana seorang perwira seakan-akan menjadi milik pribadi komandan dan harus setia kepadanya sebagai suatu bentuk disiplin mati. Pada masa profesionalisme, seorang perwira berhak untuk mengoreksi atasannya, jika si atasan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan nasional. 3. karakter korporasi (corporate character) para perwira yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat.Ketiga ciri militer profesional di atas pada akhirnya melahirkan apa yang disebut oleh Huntington the military mind yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara. Hal ini melahirkan suatu pengakuan akan Negara Kebangsaan (nation state) sebagai suatu bentuk tertinggi organisasi politik. Sehingga inti dari military mind adalah suatu ideologi yang berisi pengakuan militer profesional terhadap supremasi pemerintahan sipil. Bagi perwira militer, tidak ada kemuliaan yang paling tinggi, kecuali kepatuhan kepada negarawan sipil. Jadi menurut Huntington, kaum militer yang melakukan intervensi politik pada hakikatnya menyalahi etik militer profesionalnya. Bahkan Huntington menganggap intervensi militer dalam politik sebagai tanda adanya political decay (pembusukan politik),[footnoteRef:9] dan dianggap sebagai suatu kemunduran ke arah masyarakat pretorian. [9: Lihat Samuel P. Huntington,Political Order in Changing Societies, Yale University Press, New Haven, 1968. Diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh CV. Rajawali, dengan judul Tertib Politik dalam Masyarakat yang Sedang Berubah, Jakarta, 1983.]

1.8.3 Kontrol Sipil Atas MiliterTeori ini mengenai budaya politik civil supremacy, yang menjelaskan bahwa profesionalisme sendiri tidak cukup untuk menjaga militer untuk tidak intervensi dalam politik. Militer bagaimanapun harus menganut prinsip civil supremacy dimana militer tunduk pada pemerintahan sipil. Sapin dan Snyder mendefinisikan civil supremacy sebagai both formally and effecttively, the major policies and programmes of government..should be decided by the nations politically responsible civilian leaders.[footnoteRef:10] atau dalam istilah umum masyarakat Amerika Serikat national policy dictated millitary policy. [10: B.M Sapin dan R.C.Snyder, The Role of the Military in American Foreign Policy, p.52 dalam S.E. Finer, The Man on Horseback: The Role of Military in Politics, New York: Frederick A. Pragaer, Inc.]

Huntington berpendapat bahwa yang menjadi tanggung jawab utama dari militer adalah negara. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa politik berada di luar ruang lingkup kompetensi militer karena partisipasi perwira militer dalam politik merongrong profesionalisme mereka sehingga tentara harus tetap netral secara politik. Profesi militer profesi adalah untuk melayani negara. Ada beberapa teori menyangkut hubungan sipil militer melihat bahwa ada dua bentuk hubungan sipil militer.[footnoteRef:11] Pertama, kontrol sipil obyektif (Objective Civilian Control). Istilah ini mengandung makna profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka, subordiansi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer, pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas kewewenangan profesional dan otonomi bagi militer, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi politik dalam militer.[footnoteRef:12] Hal ini mengakibatkan adanya minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi politik dalam militer. Metode ini dilakukan dengan cara meningkatkan profesionalisme kelompok militer. Dalam pengertian ini kekuasaan militer akan diminimalkan tetapi tidak dilenyapkan sama sekali. Militer masih diberikan kekuasaan sebatas yang diperlukan, dan dengan demikian tetap menjalankan sesuai dengan profesinya. Landasan teoritis yang diajukan oleh Huntington mungkin bisa menjadi kerangka berpikir bagi kekuatan-kekuatan sipil untuk menggusur militer dari pentas politik [11: Samuel P. Huntington, Pendahuluan, dalam Amos Perlmutter, Thee Military and Politics and Modern Times, terj. Sahat Simamora, Militer dan Politik, Jakarta: RajaGraafindo Persada, 2000, hlm XLIII 17] [12: Samuel P. Hunttington, Mereformasi Hubungan Sipil-Militer dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner (ed), Civil-Military Relations and Democracy, terj Tri Wibowo Budi Santosa Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Jakarta: Raja Grafindo Persadaaa, 2000, hlm 4.]

Kedua, kontrol sipil subyektif (subjective civilian control). Bentuk kontrol ini adalah memaksimalkan kekuasaan sipil. Model ini bisa diartikan sebagai upaya meminimalkan kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan kelompok-kelompok sipil.[footnoteRef:13] [13: Ibid, lihat juga Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, Yogyakaarta: LkiS, 2004 hlm 16]

Dengan merujuk Huntington, Michael C. Desch menganalisis hubungan sipil militer dari munculnya persoalan internal maupun eksternal suatu negara. Desch mencatat suatu negara yang menghadapi tantangan militer tradisional, yaitu ancaman dari luar, tampaknya lebih mungkin memiliki hubungan sipil militer yang stabil. Ancaman lingkungan seperti itu memaksa institusi sipil lebih menyatu dan karenanya membuat mereka mampu menangani masalah bersama-sama dan bersatu dengan militer.[footnoteRef:14] Kemudian Desch mempertegas: Sebaliknya, jika negara menghadapi ancaman internal yang signifikan, institusi dan otoritas sipil mungkin akan sangat lemah dan terpecah belah, yang menyulut mereka untuk mengontrol militer. Situasi seperti ini akan membuat hubungan sipil militer terganggu atau tidak sehat.[footnoteRef:15] [14: Michael C. Desch, Civiliaan Control of The Military: The Changing Security Environment, Terj Tri Wibowo Budi Santoso Politisi Versus Jenderal, Jakarta: RaajaaaGrafindo Persada, 2002, hlm 24-25] [15: Ibid, hlm 25]

Alfred Stepan melihat hubungan sipil militer dengan mengamati sejauhmana sipil mampu mengurangi hak istimewa militer dan sejauhmana militer berhasil mempertahankan hak-hak istimewanya. Ia memperkenalkan konsep hak Istimewa.[footnoteRef:16] Oleh karena itu, reposisi militer tidak bisa dilepaskan dari sejauhmana pihak sipil mampu membatasi dan mengurangi otoritas militer dari non militernya.[footnoteRef:17] [16: dengan merujuk kamus Inggris Oxford, Stepaan mendefinisikan Hak Istimewa sebaga hak atau hak istimewa yang utama eksklusif, atau khusus, dan sebagai suatu kemampuan atau hak milik yang secara khusus dan menguntungkan membedakan seseorang lebih tinggi dari yang lain. Alfred Stepan, Militer dan Demokratisasi:Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain, Jakarta: Grafiti, 1996, hlm 127.] [17: Ibid, hlm 127]

BAB IIISI

2.1 LENGSERNYA PRESIDEN SOEHARTO 1998Pada era kepemimpinan Soeharto, struktur politik Indonesia didominasi oleh kalangan militer. Tingginya tingkat intervensi militer dalam struktur politik di Indonesia, tentunya ditopang dengan latar belakang militer Soeharto yang kental dan supremasi sipil yang lemah. Hal ini berimplikasi pada hubungan sipil-militer. Seperti pada teori intervensi militer di atas, bahwa militer dapat intervensi dikarenakan kontrol sosial dan politik yang lemah, instabilitas politik, serta kepentingan militer itu sendiri. Intervensi militer pada tahun 1965 menciptakan rezim praetorian di mana militer melakukan kontrol atas semua institusi negara, kekuatan. Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dikuasai oleh militer, baik secara langsung maupun diduduki sipil yang loyal kepada militer. Posisi militer tersebut merugikan bagi sipil. Presentase untuk sipil dalam pemerintahan sangat kecil. Lebih dari itu, sipil yang mempunyai kritik atau bertentangan dengan Soeharto, akan diadili secara sepihak oleh TNI atas mandat Soeharto. Oleh karena itu, muncul tuntutan dari masyarakat, terutama mahasiswa-mahasiswa Indonesia agar Soeharto turun dari kursi kepresidenan dan untuk mereformasi sektor keamanan (RSK) yaitu dengan penghapusan peran militer dalam politik (dwifungsi ABRI dihapuskan) dan perombakan struktur politik. Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, berimplikasi pada merosotnya pengaruh politik militer dan hubungan sipil-militer. Reformasi militer dilakukan sebagai upaya untuk membentuk militer yang profesional, memperbaiki hubungan sipil-militer, serta memperbaiki citra militer dalam masyarakat. Secara umum, reformasi dibedakan ke dalam 2 generasi perubahan.[footnoteRef:18] Pemerintahan otoriter yang didukung militer, memulai proses transisinya dengan merubah kerangka kelembagaan mereka, yaitu: penghapusan instansi/lembaga keamanan yang terkait dengan rezim lama, pembentukan keanggotaan baru oleh sipil untuk mengendalikan angkatan bersenjata, perubahan sistem komando, dan pemberdayaan parlemen. Ini tahap pertama dari langkah-langkah institusional biasanya disebut sebagai "generasi pertama" reformasi sipil-militer (Cottey, Edmunds, dan Forster 2001:5). Generasi pertama dari reformasi penting untuk membongkar struktur kekuasaan lama dan untuk mendefinisikan akhir tujuan dari transisi demokrasi. [18: M. Mietzner, The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia : Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance, East West Center, Washington, 2006, Hlm. 3.]

Reformasi generasi kedua, menyediakan substansi demokrasi dengan struktur kelembagaan yang ditetapkan oleh keputusan politik. Dengan demikian tantangan reformasi generasi kedua ini berpusat di sekitar kapasitas dari kedua lembaga negara dan masyarakat sipil dalam menjalankan kontrol sipil yang demokratis atas militer. Dalam model ini, militer dapat memberikan kontribusi yang berguna untuk diskusi inisiatif untuk membangun supremasi eksekutif atas angkatan bersenjata. Banyak institusi perubahan yang ditentukan oleh agenda-generasi pertama telah dilaksanakan sejak tahun 1998, seperti ekstraksi angkatan bersenjata dari lembaga-lembaga politik dan pemberdayaan lembaga legislatif untuk melaksanakan fungsi pengawasan yang lebih efektif. 2.1.1 Reformasi Militer 1998 Pasca jatuhnya rezim Soeharto, militer digugat masyarakat dan massa agar melakukan perubahan. Reformasi militer dilakukan dengan penghapusan Dwifungsi ABRI. Istilah ABRI pun tidak digunakan lagi dan hanya menggunakan TNI. Selain itu, Polri dipisahkan kembali dari TNI dan Polri berada di bawah langsung Presiden. Lalu, TNI aktif yang memegang jabatan struktural non-TNI di departemen-departemen tidak lagi diperbolehkan untuk tetap menggunakan atribut TNI. Artinya kalau tetap pada jabatan non TNI, harus pensiun. Reformasi ini memaksa militer untuk tunduk kepada sipil. Militer dipaksa untuk tidak lagi menyentuh ranah politik, dan diminta kembali ke barak. Sebaliknya militer diminta mengembangkan profesionalisme, sehingga tanggungjawab kepada masyarakat dan negara bukan kepada kepentingan rezim penguasa.Perubahan peran militer dapat dilihat diparlemen, TNI seolah hanya mengikuti irama politisi sipil. Dalam beberapa kasus pemungutan suara di DPR, fraksi TNI memilih netral. Hanya ketika DPR mengambil suara dalam kasus Buloggate dan Brunaigate, fraksi TNI mendukung temuan Pansus DPR yang cenderung menyudutkan posisi Gus Dur.

2.2 PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE 1998-1999B.J. Habibie menggantikan posisi Soeharto sejak mei 1998 sampai 1999. Pada masa pemerintahannya, terlihat adanya usaha untuk memperbaiki berbagai bidang kearah kehidupan yang lebih demokratis. Kebijaksanaan reformasi politik Pemerintahan Presiden Habibie terlihat memberikan harapan yang besar untuk mendinamiskan kehidupan masyarakat Indonesia agar masyarakat lebih mandiri dan memiliki jiwa inovasi melalui liberalisasi politik. Sayangnya liberalisasi ini kurang berjalan dengan baik dikarenakan kurangnya kontrol pemerintah pada saat itu.Menurut Riswandha Imawan, periode awal dari gerakan 1998 adalah periode suram yang akan dicatat oleh sejarah karena secara amat menyakitkan ABRI telah dihujat oleh rakyatnya sendiri.[footnoteRef:19] Gerakan reformasi 1998 menghadapkan Habibie pada tuntutan agar ABRI melepaskan diri dari dunia politik, atau back to basic, agar tercipta sebuah organisasi militer yang professional.[footnoteRef:20] Tentu saja itu bukan perkara mudah jika berpijak pada realita bahwa ABRI yang digunakan oleh Suharto sebagai salah satu penopang utama kekuasaannya telah menancapkan pengaruh yang begitu kuat pada dunia politik baik dalam level nasional, regional, maupun lokal.[footnoteRef:21] [19: R. Imawan, Kepemimpinan Nasional dan Peran Militer dalam Proses Demokratisasi, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 4, No. 1, 2000, Hlm. 66.] [20: B. Busyairi, Tiga Kota Satu Pengabdian, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2012, Hal. 312.] [21: I. Henry, Civil-Military Relations in Post Suharto Indonesia and The Implications for Democracy Today, Australian Army Journal, Vol. II, No. 2, 2005, Hlm. 150]

Dalam masa transisi menuju era yang demokratis, militer menjadi salah satu aktor yang mendukung terciptanya transisi yang halus. Dalam menghadapi kekacauan menuntut turunnya Suharto 1998 silam, pimpinan militer seperti Panglima ABRI Jendral Wiranto dan Kasospol ABRI Letjen Susilo Bambang Yudhoyono jauh sebelum pengunduran diri Suharto telah menyimpulkan bahwa kekuasaan Suharto tidak bisa dipertahankan. Mereka juga ikut dalam negosiasi antar elit agar para menteri teknokrat mengundurkan diri.[footnoteRef:22] Setelah Suharto lengser, militer dibawah arahan Wiranto mendukung penuh kepemimpinan Habibie kendati memiliki kesempatan yang besar untuk melancarkan kudeta.[footnoteRef:23] [22: M. Mietzner, op.cit, Hlm.7.] [23: Kol. R. Ahmad, Civil Military Relations in Indonesia : Towards Civilian Supremacy, DTIC (daring), < http://oai.dtic.mil/oai/oai?verb=getRecord&metadataPrefix=html&identifier=ADA560778>, diakses pada 15 Juni 2013.]

Di masa kepemimpinannya, Habibie memberikan keleluasaan bagi militer untuk memformulasikan agenda reformasinya sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh simbiosis mutualisme antara militer dengan presiden. Presiden di satu sisi membutuhkan dukungan militer untuk menstabilkan kekuasaan di tengah legitimasi kepemimpinannya yang lemah. Di sisi lain, militer membutuhkan dukungan penuh presiden agar kepentingan internal militer tetap terjaga.[footnoteRef:24] [24: M. Mietzner, op.cit, Hlm. 11.]

Proses reformasi di tubuh militer Indonesia diawali dengan dilangsungkannya Seminar di Sekolah Staf dan Komando TNI (Sesko TNI) dengan tema Peranan ABRI Abad XXI pada 22-24 September 1998 di Bandung. Seminar tersebut menghasilkan dokumen berjudul ABRI Abad XXI : Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa yang menjadi pegangan untuk melakukan reformasi di tubuh militer dan Polri. Pada kesempatan Ulang Tahun ABRI, 5 Oktober 1998, diperkenalkanlah Paradigma Baru TNI. Paradigma baru tersebut menetapkan pemisahan Polri dari militer; Penangguhan konsep kekaryaan; Pengurangan jumlah perwakilan ABRI di lembaga legislatif, dan janji untuk menjaga netralitas TNI.[footnoteRef:25] Satu tahun kemudian, Paradigma Baru TNI mulai diimplementasikan melalui pemisahan TNI dan Polri seraya mengembalikan sebutan ABRI ke TNI pada April 1999; Penghapusan konsep Dwi Fungsi ABRI; Jumlah personal ABRI (TNI dan Polri) yang ditunjuk sebagai anggota DPR-MPR yang pada masa Pemeritahan Soeharto sebanyak 75 orang, maka sejak tanggal 1 Oktober, jumlahnya berkurang menjadi 38 orang yang tergabung dari Fraksi TNI dan Polri. Sejalan dengan perkembangan politik tersebut, tuntutan agar diterapkan profesionalisme bagi TNI mulai kedengaran keras disana-sini, yakni tuntutan penerapan profesionalisme militer bukan dengan konsep new professionalism atau biasa yang disebut dengan Dwifungsi ABRI dan digantikan dengan konsep conventional professionalism yang berarti TNI dituntut melepaskan peran politik semaksimal mungkin.[footnoteRef:26] Dengan demikian, telah terjadi perubahan institusional yang fundamental dalam tubuh militer Indonesia dalam kaitannya dengan hubungan sipil-militer. [25: A. Croisant dan D. Kuehn, Patterns of Civilian Control of the Military in East Asias New Demoracies, Journal of East Asian Studies, No. 1, 2009, Hal 11] [26: Ibid., hal 21-22]

Namun demikian, pada masa pemerintahan Habibie militer masih menunjukkan peranan yang signifikan dalam kancah politik nasional. Keberadaan TNI di kursi parlemen membuatnya dilibatkan oleh politisi sipil dalam perebutan kekuasaan kepresidenan. Militer yang awalnya diramalkan akan mendukung calon presiden petahanan, B.J. Habibie, pada akhirnya mengalihkan dukungannya ke Abdurrahman Wahid berkat lobi politik dari kubu Wahid.[footnoteRef:27] Terjadi transaksi politik antara militer dengan politisi sipil dimana suara TNI mendapat kompensasi amannya posisi Wiranto dalam pemerintahan Wahid serta posisi strategis perwira TNI dalam kabinet. Di sisi lain, militer tidak mengindahkan otoritas sipil dengan melakukan mobilisasi militia untuk meneror pendukung disintegrasi Timor-Timur. Karena tidak puas dengan proses referendum, militia dan kelompok militer mengamuk dan membunuh sedikitnya 1.300 orang.[footnoteRef:28] [27: M. Mietzner, The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia : Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance, East West Center, Washington, 2006, Hal.17] [28: Ibid, hlm. 18]

Kebijakan Presiden B.J Habibie dalam bidang politik tersebut, bagaimanapun juga merupakan fondasi politik yang sangat penting bagi pertumbuhan sistem Demokrasi di masa mendatang.

2.3 REFORMASI MILITER PADA MASA PEMERINTAHAN ABDURRAHMAN WAHID 1999-2001Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ia meningkatkan prospek untuk percepatan reformasi sipil-militer. Diawali dengan pembentukkan eksekutif yang dipilih secara demokratis sejak 1955 menghapus segmen yang besar dari elit orde baru dari pemerintah. Dalam mewujudkan reformasi militer, langkah terpenting yang dilakukan oleh Wahid adalah demiliterisasi politik. Pada bulan-bulan pertama di masa pemerintahannya, Wahid mengambil serangkaian langkah untuk melaksanakan kontrol sipil terhadap militer dan mengendalikan tentara, salah satunya dengan penggantian beberapa jenderal tentara yang telah terkenal di bawah pemerintahan Soeharto. Hal ini ditujukan untuk pemutusan dengan orde baru yang tidak dicapai Habibie. Kebijakan Wahid lebih kepada menghalau militerisasi untuk masuk ke ranah politik terlalu jauh. Wahid sepertinya berkeinginan untuk membangun serta memperbaiki konsep hubungan sipil dan militer, agar dapat mengedepankan demokrasi di Indonesia. Namun, usaha Wahid dalam menghalau militer dari ranah politik tidaklah mudah. Tantangan dan reaksi keras selalu beliau dapatkan dari berbagai pihak, baik dari sisi militer maupun dari politisi-politisi sipil. Adanya keterlibatan militer pada politik pada saat itu memang dapat terlihat dari kekerasan politik semasa pemerintahan sebelumnya, era Habibie. Seperti misalnya penempatan tank-tank Kostrad dan mariner di sekitar gedung MPR-DPR. Kebijakan Wahid lainnya dalam kontrol sipil adalah pergeseran posisi di tubuh militer, yaitu menempatkan Laksamana Widodo sebagai Panglima TNI yang lebih mendukung politik liberal dan posisi ekonomi dibanding angkatan darat.[footnoteRef:29] Pemilihan Widodo merupakan suatu dobrakan tradisi mengingat sedari awal berdirinya organisasi militer di Indonesia, Angkatan Darat selalu menempati pucuk tertinggi. Di samping itu, supremasi sipil diwujudkan Wahid melalui pemilihan Menteri Pertahanan dari kalangan sipil dengan menunjuk Prof. Dr. Juwono Sudarsono yang kemudian digantikan oleh Prof. Dr. Mahfud M.D. Kebijakan ini dianggap sebagai upaya menciptakan tradisi baru dalam pengisian jabaan di tubuh TNI yang selama ini menjadi jatah Angkatan Darat. Menurut sejarah, posisi panglima TNI sejak proklamasi hingga orde baru selalu diperuntukkan ke Angkatan Darat. Sehingga muncul asumsi bahwa TNI AD berpeluang paling besar dalam mempolitisasi militer. [29: Y. Muhaimin, Bambu Runcing dan Mesiu, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2008, Hal. 53-58.]

Kebijakan lain adalah pencopotan Jenderal TNI Wiranto dari jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Kebijakan ini diambil karena Wiranto diduga terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor Timur. Wahid telah mengidentifikasikan Wiranto sebagai kendala utama reformasi militer lebih lanjut dan akibatnya menghancurkan jaringan patronase yang terakhir menyebar ke seluruh hirarki TNI. Dalam konteks ini, ia meminta kepercayaannya, Matori Abdul Djalil, ketua NU yang berafiliasi PBK (Partai Kebangkitan Bangsa), untuk datang dengan daftar perwira militer yang bisa diharapkan untuk memimpin dalam pembenahan struktur kelembagaan TNI. Lebih dari itu, menurut Muhaimin setidaknya ada lima kebijakan yang diambil oleh Wahid untuk menciptakan supremasi sipil, yaitu:[footnoteRef:30] [30: B. Busyairi, Tiga Kota Satu Pengabdian, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2012, Hal. 318.]

1. Mengurangi jumlah perwira yang duduk di jabatan publik baik di tingkat pusat (seperti jabatan direktur jendral, inspektur jendral, dan jabatan setingkat menteri lain yang menjadi langganan perwira militer) maupun di tingkat daerah (seperti gubernur, bupati, dan walikota).2. Memisahkan secara tegas Polisi dari struktur militer sehingga Kapolri langsung berada di bawah komando Presiden.3. Determinasi pemerintah untuk menegakkan supremasi hukum dengan mengaktifkan KPP HAM dalam kaitannya dengan peristiwa Timor Timur, Tanjung Priok, dan Trisakti yang diduga melibatkan personil TNI.4. Penyelesaian masalah Gerakan Separatis di Aceh yang lebih mengutamakan pendekatan dialogis daripada pendekatan koersif dengan kekuatan militer.5. Pergantian Menko Polsoskam dari Jendral (Purn) Yudhoyono kepada Jendral (Purn) Agum Gumelar karena Yudhoyono ditengarai membahayakan pemerintahan Wahid sebagai simbolisasi supremasi sipil.Berbagai kebijakan radikal Abdurrahman Wahid untuk mereformasi militer menimbulkan persaingan politik terselubung antara Wahid dengan pimpinan TNI, karena Wahid dinilai terlalu mencampuri urusan rumah tangga TNI. Puncaknya, pada hari-hari menjelang Sidang Istimewa MPR (SI-MPR) yang dipercepat menjadi 20 Juli 2001 TNI dan Polri lebih terbuka menyatakan sikapnya pada presiden untuk menolak rencana pergantian KSAD dan Kapolri.[footnoteRef:31] Panglima TNI juga menyatakan secara resmi menolak pemberlakuan Dekrit Presiden dan mendukung rencana percepatan SI-MPR. Panglima Kostrad dan pasukannya bahkan berkumpul di silang monas menandakan suatu show of force yang bisa diartikan sebagai pembangkangan terhadap otoritas sipil. [31: Ibid, hlm. 323]

Model militer pada era ini adalah referee bisa dilihat mulai awal reformasi (1999-2001), di mana militer lebih memosisikan diri mereka sebagai broker kekuasaan di anatra kekuatan sipil yang saling bertarung, untuk memperoleh sejumlah konsesi.

2.4 PEMERINTAHAN MEGAWATI 2001-2004 Pada era pemerintahan Megawati, ia berusaha untuk menciptakan hubungan harmonis antara institusi sipil dengan militer. Megawati merangkul militer dengan menunjuk beberapa perwira senior untuk menduduki jabatan menteri di kabinet gotong royong seperti Susilo Bambang Yudhyono yang menjadi Menko Polsoskam dan Hari Sabarno yang menjadi Mendagri. Selain itu, Megawati juga menaikkan anggaran belanja untuk bidang pertahanan dan keamanan.[footnoteRef:32] Tindakan elit untuk memelihara dukungan militer bisa dipahami sebagai bentuk kesadaran elit akan pentingnya posisi militer dalam panggung politik nasional.[footnoteRef:33] [32: B. Busyairi, Tiga Kota Satu Pengabdian, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2012, Hlm. 323] [33: .I. Henry, Civil-Military Relations in Post Suharto Indonesia and The Implications for Democracy Today, Australian Army Journal, Vol. II, No. 2, 2005, Hlm. 154.]

Megawati mengembalikan posisi Panglima TNI kepada Angkatan Darat yang dijabat oleh Jendral Endriartono Sutarto pada pergantian yang berlangsung 2002. Dengan demikian, Megawati melestarikan tradisi lama di tubuh TNI. Sementara itu, posisi KSAD dengan seizin Megawati diduduki oleh Jendral Ryamizard Ryacudu yang dikenal luas oleh kalangan militer.[footnoteRef:34] Dengan kapabilitasnya yang tergolong rendah mengenai aspek konseptual dan teknis militer, Matori sadar diri dengan mengakomodasi keinginan elit militer dalam pembuatan kebijakan.[footnoteRef:35] [34: M. Mietzner, The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia : Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance, East West Center, Washington, 2006, Hlm.34.] [35: Ibid.]

Berbagai ancaman yang mengganggu stabilitas dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah meningkatkan dependensi sipil terhadap militer. Hal ini menandai masa kepemimpinan Megawati. Megawati melibatkan peran militer hampir dalam setiap konflik yang terjadi di Indonesia, seperti konflik komunal yang terjadi di Maluku, Gerakan Separatis di Aceh, serta tindakan terorisme dari kelompok Islam radikal. Pada 2002, secara khusus pemerintah memutuskan transfer wewenang pelaksanaan operasi keamanan di Maluku dari tangan polisi ke tangan TNI yang terbukti efektif untuk memulihkan stabilitas keamanan.[footnoteRef:36] Pada 2003, Megawati menetapkan status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer dengan dukungan penuh dari parlemen. Sekitar 30.000 personel TNI dan 12.000 personel Polri dikirim ke Aceh untuk melakukan operasi kontra-pemberontakan dan supervisi urusan sipil.[footnoteRef:37] Bom Bali 2002 telah menjadikan tindakan anti-terorisme prioritas politik pemerintahan Megawati. Hal ini membuka peluang bagi TNI untuk melakukan intervensi politik. KSAD Jendral Ryamizard melakukan influence terhadap Presiden dengan menyarankan dihidupkannya kembali kemampuan intelijen di tingkat komando territorial.[footnoteRef:38] Setelah pengeboman terhadap Kedutaan Besar Australia di Jakarta 2004, Megawati memutuskan untuk mengikutsertakan militer dalam unit kontraterorisme.[footnoteRef:39] [36: Ibid, hlm 37] [37: Sie Materi, Study Guide Workshop PNMHII XXIV, PNMHII UGM XXIV, Yogyakarta, 2012, Hlm. 8] [38: M. Mietzner, op.cit, Hlm.41.] [39: Ibid.]

Namun dalam kancah perpolitikan, militer tidak diikutsertakan. Perwakilan ABRI di MPR/DPR dihapus. Jabatan menteri, gubernur, dan bupati tidak ada lagi dari kalangan militer. Militer kembali ke barak, tidak lagi ikut mengelola negara. Militer hanya mengamankan negara terhadap invasi dari luar saja. Keamanan dalam negeri diserahkan kepada Polri yang tidak lagi bergabung dengan TNI yang dahulu dinamakan ABRI. Peran militer yang hanya sebatas sebagai alat untuk pertahanan negara pada pemerintahan, hal ini dilakukan agar dominasi militer pada masa Soeharto tidak terulang kembali, sehingga masyarakat Indonesia tidak merasa takut..Dalam dunia politik, sikap netral militer terhadap dunia politik ditunjukkan dengan cara TNI mengingstruksikan kepada anggota anggotanya untuk bersikap netral dalam kancah politik, tidak berpihak dan mendukung salah satu parpol, tidak mengomentari jalannya perpolitikan di Indonesia. Demikian juga halnya pada saat menjelang pemilu 2004, Panglima TNI selalu mengingatkan untuk jaga jarak dengan semua partai politik dan selalu netral.Dalam hal pemantapan alutsista (alat utama sistem persenjataan), TNI, khususnya Angkatan Udara (AU) dibekali dengan pembelian pesawat tempur Sukhoi jenis SU- 27 dan SU 30, serta dua buah helikopter jenis MI 35 yang mana semuanya dibeli dari Rusia.[footnoteRef:40] Kebijakan ini bertujuan agar TNI AU dapat mempertahankan wilayah udara RI lebih efektif lagi mengingat sudah banyak pesawat pesawat tempur Indonesia yang sudak tidak layak terbang dan banyak yang termakan usia. [40: Jarhead, Peran Militer Era Megawati, dalam http://brefiandromeda.blogspot.com/2011/06/peran-militer-era-megawati.html diakses pada 6 Juli 2014]

Kebijakan ini pun akhirnya menuai pro dan kontra dimana yang pro beranggapan bahwa hal ini perlu dilakaukan mengingat alutsista yang sudah termakan usia seperti yang sudah disebutkan diatas, sedangkan pihak yang kontra menilai bahwa kebijakan ini dilakukan oleh Megawati tanpa mempublikasikannya, artinya perundingan antara Indonesia dan Rusia terkesan tertutup dan TNI AU tidak mempunyai rencana untuk membeli pesawat sukhoi tersebut dinilai berkualitas buruk.Namun demikian, masa kepemimpinan Megawati menorehkan tinta emas dalam penataan hubungan sipil-militer di Indonesia. Keputusan Panglima TNI Endriartono Sutarto di tahun 2002 bahwa TNI tidak akan duduk di MPR mulai tahun 2004, lima tahun lebih cepat dari rencana semula, yaitu tahun 2009 menjadi catatan yang sangat positif. Di samping itu, pada tahun 2004 DPR-RI berhasil menuntaskan dan mengesahkan UU No. 34 tahun 2004 mengenai TNI. UU TNI ini menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemisahan TNI dari panggung politik nasional.

2.5 PEMERINTAHAN SBYPada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), SBY berusaha untuk mengakkan konsep supremasi sipil dan menciptakan profesionalisme militer. TNI menghargai dan melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Yudhoyono tanpa ada resistensi seperti di era Abdurrahman Wahid. Hal itu ditunjukkan oleh tiga momen penting di masa kepemipinan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat ini, yakni proses pergantian pimpinan di jajaran Mabes TNI dan TNI AD, proses perundingan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan penolakan terhadap permintaan untuk memberikan hak pilih bagi tentara.Di tahun pertama kepemimpinannya, SBY fokus untuk melaksanakan kontrol terhadap militer. Hal ini terlihat dalam upaya SBY untuk membersihkan jajaran pimpinan TNI dari kalangan konservatif yang dinilai bisa membahayakan kepemimpinannya.[footnoteRef:41] Upaya SBY itu tidak mendapat resistensi dari kalangan internal militer. Langkah yang paling kentara adalah Yudhoyono mencabut pencalonan Ryamizard Ryacudu yang berpotensi untuk mengganggu jalannya pemerintahan SBY, sebagai Panglima TNI ke DPR. Ryamizard dikenal resisten terhadap reformasi TNI yang lebih dalam serta memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pengambilan kebijakan. Ryamizard ditengarai menjadi aktor dibalik gagalnya perundingan damai antara pemerintah dengan GAM awal 2003 silam.[footnoteRef:42] Pencalonan Ryamizard sebagai Panglima TNI sendiri merupakan keputusan yang dikeluarkan oleh Megawati di akhir masa jabatannya dengan alasan bahwa Endriartono Sutarto mengajukan pengunduran diri. Yudhoyono lebih memilih memperpanjang masa jabatan Sutarto sebagai Panglima hingga tahun 2006. [41: M. Mietzner, op.cit, Hlm.49.] [42: Ibid, hlm. 50]

SBY menggunakan power politics dengan menggantikan posisi Ryamizard dengan Jendral Djoko Santoso sebagai KSAD, pada 2005. Hal ini menjadikan Ryamizard satu-satunya Perwira bintang empat di Mabes TNI yang nonjob.[footnoteRef:43] Pada pergantian Panglima TNI tahun 2006, Yudhoyono lebih memilih Marsekal Djoko Suyanto daripada Ryamizard. Pemilihan Djoko menorehkan sejarah karena untuk pertama kalinya, Panglima TNI berasal dari Angkatan Udara. Dalam sebuah kesempatan, Panglima TNI Jendral Endriartono Sutarto berujar bahwa Ryamizard tidak mungkin dipilih sebagai Panglima karena terbentur usianya yang akan memasuki masa pensiun.[footnoteRef:44] Terlepas dari itu semua, banyak kalangan mensinyalir bahwa memang Ryamizard sudah didesain agar tidak menjadi Panglima TNI. Selain itu, tindakan Yudhoyono untuk meminggirkan Ryamizard bisa dimaknai sebagai suatu sinyal yang dikirim Yudhoyono pada jajaran militer agar tidak mengganggu jalannya pemerintahan sipil di bawah komandonya. [43: Suara Merdeka, Saya Hanya Menunggu, Nasional (daring), 19 Februari 2005, , diakses pada 18 Juni 2013.] [44: Suara Merdeka, SBY Minta Angkatan Lain Ikhlas, Nasional (daring), 18 Januari 2006, < http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/18/nas01.htm>, diakses pada 18 Juni 2013]

Salah satu upaya SBY dalam menegakkan supremasi sipil juga terlihat pada dukungan yang diberikan oleh TNI untuk menyukseskan perundingan damai antara pemerintah dengan GAM. Selama proses perundingan dan setelah perundingan usai, TNI tidak melakukan tindakan-tindakan yang menciderai proses dan hasil perundingan. Dukungan tersebut bisa dikatakan sebagai prestasi karena itulah pertama kalinya di era reformasi TNI mau mendukung penuh perundingan damai pemerintah dengan kelompok separatis. Pada tahun 1999, Menurut Mietzner, Angkatan Darat terang-terangan merusak usaha Administrasi Habibie untuk memecahkan persoalan Timor Timur melalui referendum, melalui kekerasan yang massif dan isolasi internasional TNI. Di Papua, militer pada 2000 dan 2001 telah menentang perintah Presiden Abdurrahman Wahid untuk menahan diri dari represi fisik terhadap kelompok separatis, memanfaatkan inkonsistensi pada pendekatan pemerintah untuk menyebabkan tindakan keras terhadap pemberontak dan simpatisannya. Pada tahun 2003, militer secara aktif bekerja dibalik gagalnya perundingan damai dengan GAM yang ditandatangani di Jenewa akhir 2002, menggunakan alasan kegagalan gerakan seperatis yang gagal untuk memenuhi perjanjian sebagai kesempatan untuk mendorong operasi militer skala penuh di Aceh.[footnoteRef:45] [45: M. Mietzner, op.cit, Hlm.51.]

Faktor yang mendorong suksesanya pemerintah agar militer mendukung perundingan damai dengan GAM 2005 adalah pertama tentu saja dari ketiadaan kalangan oposisi di tubuh militer yang menolak perundingan damai dengan separatis. Upaya Yudhoyono untuk melakukan pembersihan di kalangan pimpinan TNI dengan meminggirkan Ryamizard menjadi salah satu poin penting lancarnya perundingan damai dengan GAM. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Ryamizard ditengarai berada dibalik gagalnya perundingan damai dengan GAM tahun 2003 dan membuat adanya operasi militer besar-besaran di Aceh. Di samping itu, pemerintahan Yudhoyono berhasil melakukan konsolidasi dengan kalangan internal tentara. Salah satu hasil perjanjian dimana GAM menuntut penarikan TNI dari bumi rencong dipenuhi oleh pemerintah. Namun, pemerintah mengakomodasi pemulangan TNI dengan mengalokasikan 526 miliar Rupiah sebagai biaya pemulangan TNI. Pembayaran itu menurut Mietzner merupakan disinsentif yang efektif untuk memengaruhi tentara untuk tidak memperpanjang peperangan.[footnoteRef:46] [46: Ibid. ]

Masa pemerintahan SBY juga diwarnai oleh permohonan TNI agar diberi hak pilih dalam pemilihan umum 2009. Ichlasul Amal sebagai pihak yang pro terhadap pemberian hak pilih TNI mengatakan bahwa setelah TNI tidak lagi memiliki kursi di DPR, mereka harus diberi hak politik melalui hak untuk mengikuti pemilu. Melarang anggota TNI untuk memilih menurut Amal sama halnya merampas hak asasi mereka.[footnoteRef:47] Namun, permintaan tersebut akhirnya ditolak oleh SBY. Presiden meminta TNI fokus pada upaya reformasi militer sehingga TNI benar-benar menjadi organisasi tentara yang professional karena tidak tercampuri dengan godaan dari dunia politik.[footnoteRef:48] Beberapa ilmuwan politik melihat sikap SBY tersebut bisa dimaknai sebagai bentuk supremasi sipil terhadap militer. SBY terlihat berupaya agar tentara tidak terjebak dalam pertarungan politik praktis di era reformasi yang usianya belumlah panjang itu. Panglima TNI merespon penolakan SBY dengan santun. Tidak ada aksi yang dilancarkan TNI terkait penolakan SBY. Sikap untuk menolak pemberian hak pilih bagi TNI juga sekaligus menepis anggapan yang beredar bahwa ada mobilisasi tentara untuk memenangkan Yudhoyono dalam Pemilu 2009.[footnoteRef:49] [47: Tempo, Ichlasul: Dibanding TNI, Hak Pilih PNS Lebih Berbahaya, Politik (daring), 17 Februari 2006,< http://www.tempo.co/read/news/2006/02/17/05574091/Ichlasul-Dibanding-TNI-Hak-Pilih-PNS-Lebih-Berbahaya>, diakses 18 Juni 2013.] [48: S. Ibrahim et.al, Profesionalisme Tentara Era SBY : Dari Agenda Reformasi kepada Kegagalan Misi, Malaysian Journal of History, Vol. 39, No.1, Juli 2012, Hal. 38.] [49: Ibid.]

SBY berhasil membuat militer sebagai alat negara. Ia juga menghindarkan diri untuk terlibat jauh terhadap urusan internal TNI sebagaimana dilakukan oleh Abdurrahman Wahid. Tindakan yang diambil oleh SBY mencerminkan komitmennya untuk menjauhkan dan mensterilkan militer dari politik. Paling penting, Yudhoyono turut menciptakan military security di kalangan tentara dengan kebijakan-kebijakan yang diambilnya.Dalam rangka menciptakan profesionalisme militer, SBY menempatkan orang yang memiliki kapabilitas pada jabatan penting dalam hubungan sipil-militer atau right man on the right place. SBY menunjuk Prof. Dr. Juwono Sudarsono, seorang Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia sebagai Menteri Pertahanan. Juwono dikenal luas sebagai pribadi yang memiliki kapabilitas dalam bidang pertahanan dan keamanan. Pengalamannya sebagai Wakil Gubernur Lemhanas dan juga sempat merasakan posisi sebagai Menteri Pertahanan di era Abdurrahman Wahid membuat dirinya memahami permasalahan internal yang dihadapi oleh TNI. Sebagai Menteri Pertahanan, Juwono mendapat mandat dari Presiden untuk melakukan dua hal, yakni menjaga netralitas TNI dan penertiban sistematis mengenai pengadaan Alutsista di Departemen Pertahanan.[footnoteRef:50] [50: A. Amarullah, Waktu Kecil Pernah Ingin Jadi Polis, Viva News (daring), 18 Februari 2009,< http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/31080-waktu_kecil_pernah_ingin_jadi_polisi>, diakses pada 18 Juni 2013.]

Langkah lain untuk meningkatkan profesionalisme militer, tercermin dalam penyediaan budget yang cukup bagi TNI kendati jumlahnya minim. Di bawah kepemimpinan SBY, anggaran belanja untuk Kementrian Pertahanan selalu meningkat tiap tahunnya. Sebagian besar dari anggaran tersebut digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit. Selain untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit, anggaran tersebut juga digunakan dalam rangka pembelian berbagai macam kebutuhan Alutsista TNI.[footnoteRef:51] [51: Rachmadi, Menteri Juwono : Anggaran Pertahanan 2008 Tidak dipotong, Tempo (daring), 17 Agustus 2007, < http://www.tempo.co/read/news/2007/08/17/055105789/Menteri-Juwono-Anggaran-Pertahanan-2008-Tak-Dipotong>, diakses pada 19 Juni 2013.]

BAB IIi PENUTUP

3.1 KESIMPULANPasca lengsernya Soeharto, militer yang pada masa Soeharto mendominasi kancah politik di Indonesia, pada akhirnya mengalami reformasi militer. Reformasi militer dilakukan untuk menciptakan profesionalisme militer dan membina hubungan baik sipil-militer, sehingga tercipta kestabilan politik.Setiap pemimpin setelah Soeharto, melakukan reformasi militer yang berbeda. Salah satu bentuk reformasi militer adalah dengan penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Pada Pada masa pemerintahannya BJ Habibie, terlihat adanya usaha untuk memperbaiki berbagai bidang kearah kehidupan yang lebih demokratis. Di masa kepemimpinannya, Habibie memberikan keleluasaan bagi militer untuk memformulasikan agenda reformasinya sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh simbiosis mutualisme antara militer dengan presiden.Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ia meningkatkan prospek untuk percepatan reformasi sipil-militer. Ia menghalau militer untuk masuk ke ranah politik. Salah satu kebijakanny adalah demiliterisasi politik dan menghapus segmen yang besar dari elit orde baru dari pemerintah. Pada era pemerintahan Megawati, ia berusaha untuk menciptakan hubungan harmonis antara institusi sipil dengan militer. Dengan melibatkan dan merangkul militer pada sector keamanan, dan membatasi peran militer dalam politik.Pada masa kepemimpinan SBY, SBY berusaha untuk mengakkan konsep supremasi sipil dan ia memilih pimpinan militer yang mendukung profesionalisme militer dan mengesampingkan pimpinan militer yang cenderung resisten terhadap perubahan. Yudhoyono juga berusaha untuk meningkatkan profesionalisme prajurit melalui peningkatan anggaran belanja pertahanan.

DAFTAR PUSTAKAB. Busyairi, Tiga Kota Satu Pengabdian, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2012Britton, Peter. Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia, Perspektif Tradisi-Tradisi Jawa dan Barat. Jakarta, LP3ES, 1996, terjemahan , hal. 159-162.Henry, Civil-Military Relations in Post Suharto Indonesia and The Implications for Democracy Today, Australian Army Journal, Vol. II, No. 2, 2005, Hlm. 154.Huntington, Samuel P.The Soldier and The State: The Theory and Politics Civil-military Relations, Harvard University Press, Cambridge, 1957Ispandriano, Lukas S. & Thomas Hanitzsch, Media-Militer-Politik, Crisis Communication: Perspektif Indonesia dan Internasional, Galang Press 2002M. Mietzner, The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia : Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance, East West Center, Washington, 2006, Hlm.34Nordlinger, Eric A.Soldiers in Politics: Military Coups and Government, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 1977, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: Militer dalam Politik, Penerbit Rineka Cipta, 1990Perlmutter, AmosThe Military and Politics and Modern Times: On Professionals, Praetorians and Revolutionary Soldiers, Yale University Press, New Haven dan London, 1977, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judulMiliter dan Politik, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2000Perlmutter, Amos dalam Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru di tengah Pusaran Demokrasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 73Saleh Asad Djamhari, Drs.Ikhtisar Sejarah Perjuangan ABRI 1945-sekarang, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia-Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1995Samego, Indira. dalam TNI di Era Perubahan, Jakarta, Erlangga 2000, hal. 3-10.Yahya A. Muhaimin,Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Penerbit Gadjah Mada Press, 1982WEBSITE. Amarullah, Waktu Kecil Pernah Ingin Jadi Polis, Viva News (daring), 18 Februari 2009,< http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/31080-waktu_kecil_pernah_ingin_jadi_polisi>, diakses pada 18 Juni 2013. Rachmadi, Menteri Juwono : Anggaran Pertahanan 2008 Tidak dipotong, Tempo (daring), 17 Agustus 2007, < http://www.tempo.co/read/news/2007/08/17/055105789/Menteri-Juwono-Anggaran-Pertahanan-2008-Tak-Dipotong>, diakses pada 19 Juni 2013.22