Sebab Krisis Ekonomi Kwn
-
Upload
andana-dwi-putranto -
Category
Documents
-
view
64 -
download
6
Transcript of Sebab Krisis Ekonomi Kwn
LATAR BELAKANG KRISIS EKONOMI TAHUN 98
Hingga akhir tahun 1996 Indonesaia terkenal sebagai Negara yang sangat aktif meminjam dollar dalam jumlah besar, terutama oleh perusahaan-perusahaan nasional dalam melakukan transaksi bisnisnya. Hal ini dilakukan karena target pasar dari produsen Indonesia adalah pasar dalam negeri yang notabenenya menggunakan rupiah. Pembelian bahan baku dengan dollar tentunya akan menguntungkan ketika rupiah menguat terhadap dolar, dan pada kenyataannya praktek ini bekerja baik untuk perusahaan tersebut hingga akhir tahun 1996 dimana level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat mata uang lokal meningkat (Rupiah memang dikenal sebagai mata uang yang stabil sebelum 1996)
Krisis ekonomi 1998 adalah krisis yang telah memukul sistem ekonomi di Asia terutama Asia Tenggara dan Korea Selatan. Krisis ini diawali dengan tingginya pinjaman dollar dari Negara seperti Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan. Hal tersebut meningkatkan resiko mata uang (currency risk) pada sektor keuangan dan perusahaan di Negara tersebut. Hal ini terbukti, diawali dengan adanya spekulasi besar2an terhadap mata uang bath.
Sebagai akibat dari adanya penarikan dollar besar2-besaran di Negara Asia Tenggara maka kelangkaan dollar berdampak terhadap naiknya nilai dollar di Asia Tenggara. Pemerintah pun mengeluarkan banyak dana untuk mempertahankan mata uang rupiah agar tidak terdepresiasi tajam, akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil sampai akhirnya pemerintah menetapkan kebijakan Floating Exchange Rate System terhadap mata uang rupiah. Hal tersebut menyebabkan mata uang rupiah melemah sangat cepat. Hal ini diperparah dengan hutang perusahaan2 di Indonesia dengan denominasi dollar. Mereka harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, sehingga menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Hal ini akhirnya membuat banyak perusahaan di Indonesia menjadi bangkrut akibat beban hutang yang melonjak sampai hampir 10 kali lipat. Bankrutnya perusahaan-perusahaan tersebut menyebabkan pinjaman yang dikucurkan oleh perbankan menjadi macet. Sehingga bank menghadapi masalah Tercatat ada 25 bank yang dinyatakan bankrut pada tahun 1998. Hal ini berdampak terhadap psikologi masyarakat dimana orang-orang memilih untuk menarik uangnya dari perbankan karena khawatir banknya juga akan ikut bankrut. Sehingga tidak heran perbankan saat itu menetapkan tingkat suku bunga deposito sampai dengan 60%, tingkat suku bunga tertinggi dalam sejarah dunia perbankan di seluruh dunia. Tekanan tersebut menyebabkan pemerintah tidak dapat menghindar sehingga harus melakukan rekapitalisasi perbankan yaitu dengan mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp. 600T.
SEBAB-SEBAB TERJADINYA KRISIS EKONOMI TAHUN 1998
1. Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek yang telah menciptakan “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri dibidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.Pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan terhadap hutang yang dibuat oleh sector swasta Indonesia. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.
Penjelasan
Hasrat berhutang dan debt trap
Berhutang bukan permasalahan baru bagi Indonesia. Sejak merdeka kebiasaan membiayai
“pembangunan” dengan dana yang berasal dari hutang baik dalam maupun luar negeri masih
dipelihara oleh para teknokrat yang mengelola perekonomian negara ini.
Hasrat besar dibalik berhutang tersebut semakin terpelihara apik di Indonesia karena
lembaga-lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia, Asian Developement Bank mengamini-
nya. Bahkan secara khusus negara-negara yang ingin memberikan hutang kepada Indonesia
tergabung dalam sebuah lembaga seperti IGII, CGI, Paris Club, London club dll.
Akibatnya sudah dapat dipastikan, “kecanduan” berhutang menyebabkan ketergantungan
yang sangat parah kepada negara-negara pendonor. Meminjam gambaran Kwik Kian Gie
dalam menjelaskan kondisi ketergantungan Indonesia, beliau menyatakan bahwa begitu
parahnya ketergantungan Indonesia kepada hutang luar negeri saat ini, sehingga kita tidak
dapat melepaskan diri lagi dari kenyataan bahwa yang memerintah Indoesia sudah bukan
pemerintah Indonesia sendiri. Kita sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam
mengatur diri sendiri. Kondisi ini sudah merupakan lingkaran setan karena terjerumusnya
pemerintah kita ke dalam lubang yang disebut jebakan utang (debt trap).
Berikut adalah beberapa fakta yang menguatkan jebakan tersebut.
Pertama, Pada saat Indonesia meminta bantuan kepada IMF untuk menghadapi krisis pada
1997, lembaga tersebut memaksakan kehendaknya untuk mengintervensi semua bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam letter of intent (LoI) terdapat 1.243 tindakan
yang harus dilaksanakan pemerintah Indonesia dalam berbagai bidang seperti perbankan,
desentralisasi, lingkungan, fiskal, kebijakan moneter dan Bank Sentral, privatisasi BUMN
serta jaring pengaman sosial.
Dengan kata lain, keuangan negara sengaja dibuat bangkrut terlebih dahulu, dan melalui
ketergantungan dalam bidang keuangan ini, Indonesia telah sepenuhnya dikendalikan oleh
negara pemberi hutang dan lembaga keuangan internasional.
Kedua, tudingan bahwa lembaga seperti IMF dan Bank Dunia diboncengi kepentingan
perusahaan-perusahaan dari negara-negara kreditor bukanlah isapan jempol belaka. Hal
tersebut juga diakui oleh pemerintah AS. Selama kurun tahun 1980-an hingga awal 1990-an
saja, IMF sudah menerapkan program penyesuaian struktural di lebih dari 70 negara
berkembang yang mengalami krisis finansial. Setiap tahun, Bank Dunia juga memberikan
sekitar 40.000 kontrak kepada perusahaan swasta. Sebagian besar kontrak ini jatuh ke
perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju.
Jadi sangat jelas bahwa negara-negara pendonor sangat berkepentingan untuk memberikan
negara-negara berkembang untuk berhutang. Departemen Keuangan AS mengaku, untuk
setiap dollar AS yang dikontribusikan AS ke lembaga-lembaga multilateral, perusahaan-
perusahaan AS menerima lebih dari dua kali lipat jumlah itu dari kontrak-kontrak pengadaan
untuk program-program atau proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman lembaga-
lembaga tersebut.
Hal tersebut tidak hanya terjadi pada pinjaman multilateral. Pinjaman bilateral seperti dari
Jepang pun biasanya diikuti persyaratan sangat ketat yang menyangkut penggunaan
komponen, barang, jasa (termasuk konsultan), dan kontraktor pelaksana untuk pelaksanaan
proyek harus berasal dari Jepang. Melalui modus tersebut, Pemerintah Jepang selain bisa
me-recycle ekses dana yang ada di dalam negerinya, juga sekaligus bisa menggerakkan
perusahaan dalam negerinya yang lesu lewat pengerjaan proyek-proyek yang dibiayai dengan
dana hutang ini.
Dari pinjaman yang digelontorkan tersebut, dana yang mengalir kembali ke Jepang dan
negara-negara maju lain sebagai kreditor jauh lebih besar ketimbang yang dikucurkan ke
Indonesia sebagai pengutang.
Dapat dikatakan bahwa Indonesia sebagai negara debitor justru mensubbsidi negara-negara
kaya yang menjadi kreditornya.
Ketiga, hutang dianggap sebagai biang dari kerusakan lingkungan yang terjadi di negara-
negara yang sedang berkembang khususnya negara kreditor. Perbandingan antara DSR (Debt
Service Ratio) dan laju deforestasi beberapa negara kreditor besar memperlihatkan trend yang
semakin meningkat (lihat Tabel)
Tabel Perbandingan Jumlah Hutang, DSR dan Laju Deforestasi
Beberapa Negara Penghutang Dunia
NegaraJumlah Hutang
(US $)
DSR
(%)
Laju Deforestasi
(%)Mexico 112 53 30Brazil 112,5 44 23Indonesia 53,0 39 51Venezuela
30,0 37 80
Filipina 35 25Nigeria 31,0 35 20India 60,0 29 30
Sumber: Susan George, 1992 dalam Rachbini, 1994
solusi
Pertama, Debt swap. Solusi yang paling sederhana mengatasi utang luar negeri adalah
dengan mengoptimalkan restrukturisasi utang, khususnya melalui skema debt swap, di mana
sebagian utang luar negeri tersebut dikonversi dalam bentuk progran yang berkaitan dengan
pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan lingkungan, dan sebagainya.
Program debt swap seperti ini sudah dijalankan dengan pemerintah Jerman, sebesar DM50
juta (Rp250 miliar) dari total utang sebesar DM178 juta, yang dikonversi dalam bentuk
proyek pendidikan.
Kedua. Diplomasi ekonomi. Menurut Rachbini. 1994, masalah utang LN tidak bisa lagi
diselesaikan dengan terapi fiskal dan teknis ekonomi belaka. Potensi internal ekonomi kita
tidak cukup kuat untuk melayani utang luar negeri yang salah dalam pengelolaannya. Kita
tidak bisa secara terus-menerus menjadi "good boy" dengan melayani seluruh cicilan tersebut
karena sumber ekonomi dalam negeri akan terus terkuras dan mengganggu kestabilan
ekonomi serta politik.
Suatu pendekatan diplomasi ekonomi politik harus terus menerus dijadikan program aksi
(action program) untuk menghadapi lembaga dan negara donor. Diplomasi ekonomi juga
penting dilembagakan dengan sasaran untuk memperoleh keringanan dan penghapusan
sebagian hutang sehingga proses pengurasan sumberdaya dapat dihambat.
Ketiga. Adalah cara yang lebih berani seperti yang ditawarkan oleh mantan kepala
BAPPENAS Kwik Kian Gie, dalam hal utang luar negeri, harus ada keberanian untuk
menggugat dan tidak membayar sesuai jadwal karena pada kenyataanya Indonesia tidak dapat
membayar kembali utang dan bunga yang jatuh tempo. Hutang tersebut hanya bisa dibayar
dengan cara melikuidasi kekayaan negara. Dalam hal utang dalam negeri, supaya menarik
kembali OR yang masih dalam penguasaan pemerintah melalui bank-bank yang masih milik
pemerintah.
Keempat. Adalah cara yang datang dari potensi internal pemerintah sendiri yaitu dengan
menjaga kinerja makro-ekonomi dalam posisi yang stabil dan menstop hutang baru. Untuk
tawaran terakhir ini, paling tidak terdapat tiga asumsi dasar yang harus dipenuhi agar kita
dapat keluar dari debt trap. Asumsi dasar pertama adalah laju pertumbuhan ekonomi harus
dijaga pada level antara minimum 3% setahun dan maksimum 7% setahun. Angka terakhir
pernah tercapai di masa Orde Baru, tetapi didasari oleh penjagaan keamanan yang keras dan
otoriter dan arus modal masuk yang puluhan milyar setahun.
Asumsi dasar kedua adalah menjaga tingkat inflasi tetap rendah-rendah (di bawah 10%
setahun, idealnya 6%), medium (sekitar 10% setahun) dan tinggi (di atas 10% setahun)-
Semakin rendah inflasi semakin baik oleh karena pengeluaran untuk membayar bunga utang
rekap perbankan dalam negeri akan turun banyak, dan inflasi rendah akan merangsang
pertumbuhan ekonomi dan masuknya modal dari luar.
Asumsi ketiga adalah dalam beberapa tahun kedepan diharapkan tidak ada lagi penambahan
stock hutang yang ada. Ini berarti bahwa di dalam negeri tidak akan ada krisis perbankan lagi
yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan obligasi baru untuk menyelamatkan sistim
perbankan. Asumsi ini juga berarti tidak ada tambahan utang luar negeri.
Maka, kalau laju pertumbuhan ekonomi mulai tahun ini bisa mencapai 7% setahun dan inflasi
hanya 6% setahun, dan pemerintah tidak perlu menambah stock utang lagi, maka (pasti)
beban angsuran utang turun dan sebagai akibatnya kita tidak perlu lagi membebani generasi
mendatang dengan cicilan hutang.
Kedepan, untuk mengantisipasi jeratan utang yang sangat membebani bangsa dan negara ini,
maka pemerintah harus mempunyai kemauan politik dan itikad baik untuk mengakhiri semua
hasrat berhutangnya, dan menolak secara tegas pengaruh dan tekanan dari pihak negara mana
pun yang berkepentingan menjerat negara ini dengan utang yang sebesar mungkin.
2. Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
Contoh kasus ;
Pertama; rusaknya fungsi hukum sebagai rambu-rambu kejahatan.
Selama ini tidak ada hukuman berat terhadap pelaku pembobol bank sehingga kemudian beredar pemeo di kalangan pembobol bank, ”Kalau membobol bank jangan tanggung-tanggung. Yang besar sekalian. Setelah itu cukup keluar beberapa miliar rupiah untuk oknum penegak hukum maka semuanya akan beres.”
Kedua; lemahnya sistem pengawasan Bank Indonesia (BI) mengingat keterbatasan SDM sehingga mereka mengalami kesulitan mengawasi kantor-kantor cabang terutama di daerah-daerah, meskipun di daerah itu terdapat kantor perwakilan BI. Dalam hal ini, bank sentral itu mestinya bisa menggunakan instrumen forum bankir di daerah untuk memperbaiki kontrol internal bank.
Ketiga; lemahnya koordinasi BI pusat dan daerah. Fungsi monitoring BI hanya mengandalkan laporan bank itu. Akses BI ke informasi bank sangat terbatas sehingga jika terjadi pembobolan, sudah terlambat bagi BI untuk melakukan sesuatu. Kondisi inilah yang perlu dibenahi, artinya ke depan BI
tidak boleh hanya mengandalkan laporan dari bank, namun harus proaktif menggali informasi di luar laporan bank.
Fenomena kasus pembobolan bank di Tanah Air dewasa ini, jika dibiarkan terus berlanjut tanpa ada tindakan konkret preventif untuk menanganinya akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada dunia perbankan. Padahal perbankan adalah lembaga urat nadi perekonomian.
solusi:
3 Cara Pencegahan Pembobolan
Untuk mencegah agar tidak terjadi lagi kasus pembobolan bank, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini BI).
Pertama; memperkuat penegakan hukum. Cara ini memang klise, namun untuk mewujudkan
law enforcement, salah satu prasyarat utamanya adalah membersihkan aparat penegak hukum. Jika jaksa, polisi, ataupun hakim masih kotor, maka penegakan hukum sulit diwujudkan.
Kedua; memperbaiki dua kelemahan mendasar BI: pengawasan dan koordinasi. Dua hal ini harus
terus-menerus diperbaiki karena selama ini dijadikan jalan bagi pembobol bank untuk beraksi. Sistem perbankan sebenarnya cukup kuat untuk mencegah pembobolan oleh orang dalam tapi faktanya tidak bisa menjamin 100%.
Ketiga; memperketat proses perekrutan SDM perbankan sehingga yang diterima benar-benar
yang mempunyai kredibilitas tinggi. Tidak hanya dari sisi skill dan knowledge namun lebih penting dari itu attitude, yang menyangkut kejujuran dan komitmen tinggi pada profesi bankir. Semuanya harus dipenuhi guna menjaga keberlangsungan bisnis perbankan mengingat keterkaitannya dengan kepercayaan nasabah dan dunia usaha.
Baca Selengkapnya : http://www.iniunik.web.id/2011/04/8-kasus-pembobolan-bank-di-indonesia.html#ixzz1q2SU5co2
3. Tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
Solusi:
Mendidik diri untuk siap berbeda
Masyarakat kita dalam perjalanan sejarah pra-kemerdekaan, memang sudah terbiasa hidup
dalam keberagaman. Tetapi sayang, ketika pembentukan negeri ini, paham kesatuan
integralistik yang diterapkan terlampau galak terhadap mereka yang dianggap berbeda. Di
zaman Soekarno, dampak negatif dari penerapan prinsip integralistik begitu mencolok.
Para tokoh ataupun pemimpin daerah yang menuntut sesuatu hal, namun kalau dinilai
berseberangan dengan kepentingan penguasa (pemerintah pusat) langsung saja diberangus.
Hal ini terpampang jelas dalam ingatan kolektif kita. Buku-buku sejarah masih saja
menempatkan beberapa organisasi kedaerahaan yang tercatat menuntut merdeka cenderung
ditempatkan sebagai musuh atau penghianat negara.
Kita tak pernah diajar ataupun membaca konstruksi sejarah atau melihat persoalan
pergolakan awal-awal kemerdekaan itu dari sisi mereka (RMS, GAM, PRRI, dst). Pluralitas
politik dalam bentuk berbeda pandangan politik di zaman Soekarno masih menjadi barang
langkah. Di zaman itu, seruan agar pemerintah pusat memperhatikan kepentingan daerah
selalu diikuti dengan respon yang menindak. Komunikasi yang setara antar pemerintah pusat
dan tokoh daerah tidak berjalan baik, kegagalan komunikasi selalu diselesaikan dengan
operasi penumpasan.
Di zaman rezim Soeharto lebih parah lagi. Lepas dari hal positif yang disumbangkannya,
tetapi didikan paham kesatuan—warisan Soekarno—yang menekankan pentingnya kesamaan
dari Sabang sampai Marauke membuat masyarakat kita kian “tertidur pulas” dalam budaya
hidup yang seragam. Bayangkan saja, pola politik demikian cukup lama mewarnai dan
mendominasi perjalan politik bangsa ini, selama 40-an tahun. Akibatnya, apa yang sedikit-
banyak ditanam oleh kedua rezim itu melalui kebijakan “anti perbedaan” memberi dampak
kepada kita hari-hari ini.
Konflik akibat perbedaan itu kian terbuka lebar. Apalagi, ketika reformasi dan angin
kebebasan berekpresi ini kita memiliki. Kian rawanlah masyarakat kita untuk terjebak dalam
konflik karena tak biasa dengan pola hidup beragam. Potensi konflik ini dipermulus dengan
perubahan situasi politik, ekonomi, sosial dunia secara umum. Kalau dulu untuk bertemu
dengan mereka yang berbeda jarang terjadi bahkan terasa dipersulit, maka sekarang tidak.
Hampir setiap saat kita dipertemukan dan bertemu dengan mereka yang berbeda, baik yang
berbeda ideologi, agama, suku, bahasa, dan cara pandang. Semua itu terjadi dalam ruang-
ruang yang kian luas pula: di darat maupun dunia maya.
Situasi ini (keterhubungan yang kian mudah dan penyingkapan realitas perbedaan yang
muncul) menjadi tantangan yang tak mudah bagi bangsa kita dewasa ini. Indonesia dengan
kemajemukannya menjadi kian rawan menghadapi konflik, akibat kurang siapnya—atau
lebih tepatnya sudah terlampau dibiasakan hidup seragam—kita dalam menghadapi berbagai
keragaman yang sudah ada (tapi sebelumnya kita tak mengetahui), bahkan yang akan muncul
di depan mata. Kita yang sudah terbiasa hidup dengan satu ataupun enam identitas berbeda,
mau tidak mau, suka tidak suka harus menyiapkan diri dengan gempuran berbagai bentuk
perbedaan lainnya.
Dengan begitu, maka penting bagi kita untuk menyiapkan diri, terus menyuarakan agar
masyarakat Indonesia, lingkungan kita kian memacu diri serta lebih terbuka dengan kondisi,
termasuk mulai membiasakan diri dan mengedepankan sikap ramah dengan mereka yang
berbeda. Kegagalan memanejem dan mengantisipasi laju perubahan ini, kegagalan
mengantisipasi kuatnya arus yang mempertemukan kita dengan yang berbeda itu, akan
menyebabkan konflik-konflik yang tak perlu.
4. Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memperbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
solusi :
Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia.b. Menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya primodialisme sempit pada setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar tidak terjadi KKN. c. Meningkatkan ketahanan rakyat dalam menghadapi usaha-usaha pemecahbelahan dari anasir luar dan kaki tangannya.d. Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa.e. Menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.f. Membentuk satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam memerangi separatis.g. Melarang, dengan melengkapi dasar dan aturan hukum setiap usaha untuk menggunakan kekuatan massa.
5. Faktor utama yang menyebabkan krisis moneter tahun 1998 yaitu faktor politik. Pada tahun 1998 krisis ekonomi bercampur kepanikan politik luar biasa saat rezim Soeharto
hendak tumbang. Begitu sulitnya merobohkan bangunan rezim Soeharto sehingga harus disertai pengorbanan besar berupa kekacauan (chaos) yang mengakibatkan pemilik modal dan investor kabur dari Indonesia. Pelarian modal besar-besaran (flight for safety) karena kepanikan politik ini praktis lebih dahsyat daripada pelarian modal yang dipicu oleh pertimbangan ekonomi semata (flight for quality). Karena itu, rupiah merosot amat drastis dari level semula Rp 2.300 per dollar AS (pertengahan 1997) menjadi level terburuk Rp17.000 per dollar AS (Januari 1998).solusi: Untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri, dilakukan pengawasan terhadap lalu lintas modal.6. Banyaknya utang dalam valas, proyek jangka panjang yang dibiayai dengan utang jangka pendek, proyek berpenghasilan rupiah dibiayai valas, pengambilan kredit perbankan yang jauh melebihi nilai proyeknya, APBN defisit yang tidak efisien dan efektif, devisa hasil ekspor yang disimpan di luar negeri, perbankan yang kurang sehat, jumlah orang miskin dan pengangguran yang relative masih besar, dan seterusnya.
Solusi dengan membuat catatan\rencana anggaran hal ini supaya pemerintah dapat mengontrol pengeluaran dan pendapatan secra lebih maksimal
7. Krisis moneter dimulai dari gejala/kejutan keuangan pada juli 1997, menurunnya nilai tukar rupiah secara tajam terhadap valas, diukur dengan dolar Amerika Serikat yang merupakan pencetus/trigger point. Meskipun tidak ada depresiasi tajam baht(mata uang Thailan), Krismon tetap akan terjadi di Negara tercinta ini. Kenapa? karena gejolak sosial dan politik Indonesia yang memanas. Oleh karena itu penyebab krismon 98 bisa dikatakan campuran dari unsur-unsur eksternal dan domestik(J. Soedrajad Djiwandono).solusi : cara yang bisa ditempuh untuk menanggulangi krisis adalah dengan membangun kekuatan ekonomi domestik. “Daya serap pasar dalam negeri sangat tinggi, selama pemerintah bisa menjaga stabilitas harga, tingkatkan kepercayaan masyarakat. Pemerintah jangan mengotak-atik harga komoditas yang bisa memicu inflasi
8. Diabaikannya early warning system merupakan penyebab mengapa krismon 97 melanda Inonesia. Adapun early system warningnya adalah: meningkatnya secara tajam deficit transaksi berjalan sehingga pada saat terjadinya krisis, defisit transaksi berjalan Inonesia sebesar 32.5% dari PDB. Utang luar negeri baik pemerintah maupun swasta yang tinggi. Boomingnya sektor properti dan financial yang mengabaikan kebijakan kehati-hatian dalam pemberian kredit perbankan diperuntukan untuk membiayai proyek-proyek besar yang disponsori pemerintah dan tidak semua proyek besar itu visibel. Tata kelola yang buruk(bad governence) dan tingkat transpalasi yang rendah baik sektor publik maupun swasta(Marie Muhamad).
9.Miss Government
10. Argument bahwa pasar financial internasional tidak stabil secara inheren yang kemudian mengakibatkan buble ekonomi dan cenderung bergerak liar. Bahkan sejak tahun 1990-an pasar financial lebih tidak stabil lagi. Hal ini dikarenakan tindakan perbankan negara-negara maju menurunkan suku bunga mereka. Sehingga mendorong dana-dana masuk pasar global. Maka pada tahun 1990-an dana asing melonjak dari $9 Miliar menjadi lebih dari $240 Miliar.
11. Kegagalan manajemen makro ekonomi tercermin dari kombinasi nilai tukar yang kaku dan kebijakan fiskal yang longgar, inflasi yang merupakan hasil dari apresiasi nilai tukar efectif riil, deficit neraca pembayaran dan pelarian modal.
12. Kelemahan sector financial yang over gradueted, but under regulete dan masalah moral hazar.
13. Semakin membesarnya cronycapitalism dan sistem politik yang otoriter dan sentralistik(M. Fadhil Hasan). Jika diartikan secara ekonomis teknis, krisis bisa disebut sebagai titik balik pertumbuhan ekonomi yang menjadi merosot. Dan penyebabnya jika ditinjau dari teori konjungtur, ada dua karakteristik krisis 1). krisis disebabkan tidak sepadannya kenaikan konsumsi ketimbang kenaikan kapasitas produksi atau underconsumption crisis. 2). Krisis disebabkan terlampau besarnya investasi yang dipicu modal asing karena tabungan nasional sudah lebih dari habis untuk berinvestasi. Krisis seperti ini disebut overinvestment, dan ini yang terjadi di Indonesia(Kwik Kian Gie). Begitulah beberapa penyebab krismon 98 di Indonesia, yang dampaknya masih terasa sampai sekarang.
Source: http://mohammedfikri.wordpress.com/2010/02/16/krisis-ekonomi-1998/