Sebab Apa Hukum Perjanjian Mengambil Asas Konsensualisme Itu

17
Sebab apa hukum perjanjian mengambil asas konsensualisme itu? Diambilnya asas konsensualisme tersebut yang berarti “perkataan sudah mengikat” adalah menurut Prof. Eggens suatu tuntutan kesusilaan (zedelijke eis). Dikatakan bahwa itu merupakan suatu puncak peningkatan martabat manusia yang tersimpul di dalam pepatah “een man een man, een woord een word”. Yang dimaksudkan adalah bahwa dengan diletakkannya kepercayaan pada perkataan orang, si orang ini ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya sebagai manusia. Memanglah benar apa yang dikatakan oleh Prof. Eggens itu, ketentuan bahwa orang harus dapat dipegang perkataannya itu adalah suatu tuntutan kesusilaan, memang benar bahwa kalau orang ingin dihargai sebagai manusia ia harus dapat dipegang perkataannya atau ucapannya, namun bagi hokum yang ingin menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat, asas konsensualisme itu merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Bahwa orang yang hidup dalam masyarakat yang teratur harus dapat dipegang perkataan atau ucapannya (dipegang “mulutnya”) itu merupakan suatu tuntutan kepastian hokum yang merupakan satu sendi yang mutlak dari suatu tata hokum yang baik. Pasal 1338 (1) yang menyatakan bahwa perjanjian mengikat sebagai undang-undang tidak memberikan kriterium untuk apa yang dinamakannya perjanjian itu. Apakah untuk perjanjian itu sudah cukup apabila sudah dicapai sepakat ataukah masih diperlukan syarat-syarat lain? Jawaban diberikan oleh pasal 1320: cukup apabila sudah tercapai sepakat (konsensus). Inilah yang kita namakan konsensualisme.

Transcript of Sebab Apa Hukum Perjanjian Mengambil Asas Konsensualisme Itu

Sebab apa hukum perjanjian mengambil asas konsensualisme itu? Diambilnya asas konsensualisme tersebut yang berarti perkataan sudah mengikat adalah menurut Prof. Eggens suatu tuntutan kesusilaan (zedelijke eis).Dikatakan bahwa itu merupakan suatu puncak peningkatan martabat manusia yang tersimpul di dalam pepatah een man een man, een woord een word. Yang dimaksudkan adalah bahwa dengan diletakkannya kepercayaan pada perkataan orang, si orang ini ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya sebagai manusia. Memanglah benar apa yang dikatakan oleh Prof. Eggens itu, ketentuan bahwa orang harus dapat dipegang perkataannya itu adalah suatu tuntutan kesusilaan, memang benar bahwa kalau orang ingin dihargai sebagai manusia ia harus dapat dipegang perkataannya atau ucapannya, namun bagi hokum yang ingin menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat, asas konsensualisme itu merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Bahwa orang yang hidup dalam masyarakat yang teratur harus dapat dipegang perkataan atau ucapannya (dipegang mulutnya) itu merupakan suatu tuntutan kepastian hokum yang merupakan satu sendi yang mutlak dari suatu tata hokum yang baik. Pasal 1338 (1) yang menyatakan bahwa perjanjian mengikat sebagai undang-undang tidak memberikan kriterium untuk apa yang dinamakannya perjanjian itu. Apakah untuk perjanjian itu sudah cukup apabila sudah dicapai sepakat ataukah masih diperlukan syarat-syarat lain? Jawaban diberikan oleh pasal 1320: cukup apabila sudah tercapai sepakat (konsensus). Inilah yang kita namakan konsensualisme.Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun, kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehenda itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang menawarkan (melakukan offerte) maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.Dengan demikian maka yang akan menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada asas konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus (dan ini adalah maha penting karena merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu undang-undang), kita terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Dan ini pula merupakan suatu tuntuan kepastian hokum. Bukankah dari ketentuan bahwa kita harus berpijak pada apa yang telah dinyatakan itu tibul perasaan aman pada setiap orang yang telah membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin dituntut memenuhi kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan kepadanya. Dan apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat consensus atau tidak (yang berarti apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau tidak) maka hakim atau pengadilanlah yang akan menetapkannya.Pernyataan timbale-balik dari kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal-balik di antara mereka. Apakah semua pernyataan dapat dipertanggungjawabkan kepada (menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi) pihak yang melakukan pernyataan itu? Karena mengenai hal ini tidak kita ketemukan sesuatu ketentuan dalam undang-undang, maka persoalan itu telah dipecahkan oleh para sarjana dan oleh yurisprudensi.Dapat dikatakan bahwa menurut ajaran yang sekarang dianut dan juga menurut yurisprudensi, pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar sepakat, adalah pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya. Suatu pernyataan yang kentara dilakukan secara tidak sungguh-sungguh (secara sendagurau) atau yang kentara mengandung suatu kekhilafan atau kekeliruan, tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar kesepakatan. Dalam Civil Code of Japan masalah ini diatur dalam Bab tentang Juristic Acts perihal declaration of intention dalam Buku kesatu yang berjudul General Provisions.Jaman di mana untuk terjadinya suatu perjanjian sungguh-sungguh dituntut tercapainya suatu perjumpaan kehendak, sudah lampau. Setelah melewati pengalaman-pengalaman yang pahit (seperti dalam kasus terkenal antara Weiler dan Oppenheim yang terjadi di muka pengadilan di Jerman), sekarang sudah dirasakan bahwa berpegang teguh pada tuntutan tersebut akan menjurus kearah ketidak-pastian hokum,padahal diambil nya asas konsensualisme adalah justru untuk memenuhi tuntutan kepastian hokum.Tuntutan akan adanya sungguh-sungguh suatu perjumpaan kehendak,memang tidak dapat dipertahankan lagi dalam jaman modern sekarang ini dimana transaksi transaksi yang besa lajimnya diadakan tanpa hadlirnya para pihak berhadapan muka,tetapi lewat korespondensi atau lewat perantara-perantara.Oleh karena itu maka sudah tepatlah bahwa adanya perjumpaan kehendak (consensus) itu dukur dengan pernyataan pernyataan yang secara bertimbal-balik telah dikeluarkan.Adanya consensus itu mlahan sebenarnya sering dikonstruksikanoleh hakim.Berdasarkan pernyataan-pernyataan bertimbal-balik itu dianggap bahwa sudah dilahirkan sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian (yang mengikat seperti undang-undang).Dan sekali sepakat itu dianggap ada,maka hakimlah lagi yang akan menafsirkan apa yang telah disetujui,perjanjian apa yang telah dilahirkan dan apa saja hak dan kewajiban para pihak.Asas konsensualisme yang terkandung dalam pasal 1320 B.W.(kalau dikehendaki : pasal 1320 dihubungkan dengan pasal 1338 ayat 1),tampak jelas pula dari perumusan-perumusan berbagai macam perjanjian.Kalau kita ambil perjanjian yang utama,yaitu jual-beli,maka konsensualisme itu menonjol sekali dari perumusan dalam pasal 1458 B.W.yang berbunyi:Jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak,seketika setelahnnya orang-orang iti mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya,meskipun barang itu belum diserahkan,maupun harganya belum dibayar.Dalam code civil perancis malahan jual-beli yang sifatnya konsensual itu sudah pula memindahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan,sehingga yang disitu dinamakan penyerahan(deliverance)hanyalah merupakan penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang hak miliknya sudah berpindah sewaktu perjanjiannya jual-beli ditutup.la proprieteest acquise des quon est convenu de la chose et du prix demikianlah dikatakan oleh pasal 1583 C.C.Juga burgeliches Gesetzbuch Jerman(Barat)dalam paragraph 433,tanpa berbicara tentang sesuatu bentu-cara yang diharuskan untuk perjanjian jual-beli(Kauf),mewajibkan sipenjual berdasarkan perjanjiannya,untuk menyerahkan dan memberikan hak miliknya kepada si pembeli.Akhirnya,untuk mengambil suatu contoh dari hukumnya sebuah Negara tetangga,yaitu Philipina,ditunjukkan pada pasal 1356 dari Civil Code of the Philippines,yang didalam bab tentang bentuk cara perjanjian (form of contracts),ialah pasal 1356,menyatakan : Contracts shall be obligatory,in whatever form they have been entered into.3. KEWAJIBAN-KEWAJIBAN SI PENJUALBagi pihak penjual ada dua kewajiban utama yaitu :a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan.b. Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacad-cacad yang tersembunyi.a. Kmenyerahkan hak milik.Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hokum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan itu dari si penjual kepada si pembeli.Oleh karena B.W.mengenal tiga macam barang,yaitu : barang bergerak,barang tetap dan barang tak bertubuh(dengan mana dimaksudkan piutang,penagihan atauclam),maka menurut B.W.juga ada tiga macam penyerahan hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing macam barang itu :a. Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas barang itu :lihat pasal 612 yang berbunyi sebagai berikut :pernyerahan kebendaan bergerak,terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebedaan itu oleh atau atas nama pemilik,atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebedaan itu berada.Penyerahan tak perlu dilakukan,apabila kebendaan yang harus diserahkan,dengan alas an hak lain,telah dikuasai oleh orang yang hindak menerimanya.Dari ketentuan tersebut diatas dapat kita lihat adanya kemungkinan menyerahkan kunci saja kalau yang dijual adalah barang-barang yang berada dalam suatu gudang,hal mana merupakan suatu penyerahan kekuasaan secara simbolis,sedangkan pabila barangnya sudah brada dalam kekuasaan si pembeli,penyerahan cukup dilakukan dengan suatu pernyataan saja.Cara yang terakhir ini terkenal dengan nama taditio brevimanu(bahasa latin)yang berartipenyerahan dengan tangan pendekb. Untuk barang tetap(tak bergerak0dengan perbuatan yang dinamakanbalik nama(bahasa Belanda :overschrijving)di muka Pegawai Kadaster yang juga dinamakan Pegawai Balik-nama atau Pegawai Penyimpan hipotik,yaitu menurut pasal 616 dihubungkan dengan pasal 620,pasal pasal mana berbunyi sebagai berikut Pasal 616 : penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 620 .Pasal 620 : Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal yang lau,pengumuman termaksud diatas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpan hipotik,yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan berada,dan dengan membukukannya dalam register,Bersama-sama dengan pemindahan tersebut ,pihak yang berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akta atau keputusan itu,agar penyimpan mencatat didalam nya hari pemindahan beserta bagian dan nomor dari resister yang bersangkutan.Dalam pada itu segala sesuatu yang mengenai TANAH,dengan mencabut semua ketentuan yag termuat dalam Buku II B.W.tersebut,sudah diatur dalam UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA(Undang-undang No.5 tahun 1960).Selanjutnya Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961,yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Pokok Agraria,dalam pasal 19 menentukan bahwa jual-beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akte Tanah (disingkat :P.P.A.T.),sedangkan menurut maksud peraturan tersebut hak milik atas tanah juga berpindah pada saat dibuatnya akte dimuka pejabat tersebut (demikian kesimpulan Boedi Harsono S.H. dalam bukunya Undang-undang Pokok Agrariahalaman 172-178).c. Barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan cessiesebagaimana diatut dalam pasal 613 B.W.yang berbunyi :Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebndaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah-tangan,dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya secara tertulis,disetujui dan diakuinya.Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu : penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen Sebagaimana diketaui,B.W.menganut system bahwa perjanian jual-beli itu hanya obligatoirsaja,artinya bahwa perjanjian jual-beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak-penjual dan pembeli yaitu meletakkan kepada si penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya,sekaligus memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui dan disebelah lain meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya.Dengan perkataan lain,perjanjian jual-beli menurut B.W. tersebutleveringitu dikonstruksikan suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik(transfer of ownership)yang caranya ada tiga macam,tergantung dari macamnya barang,seperti yang diterangkan diatas.Oleh para sarjana Belanda malahanleveringitu dikonstruksi kan sebagai suatuzakelijke overeenkomst,ialah suatu persetujuan lagi(tahap kedua)antara penjual dan pembeli yang khusus bertujuan memindahkan hak milik dari penjual kepada pembeli.Apa yang dikemukakan diatas mengenai sifat jual-beli menurut B.W.sebagai hanya obligatoir sajaNampak jelas sekali dari pasal 1459 yang menerangkan bahwahak milik atas baryang dijual tidaklah berpindah kepada pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang bersangkutan.Dari apa yang diutarakan diatas,dapat kita lihat bahwa system B.W.mengenai pemindahan hak milik itu berlainan sekali dari sstem Code Civil Perancis,karena menurut Code Civil Perancis ini hak milik sudah berpindah pada saat ditutupnya perjanjian jual-beli.La propriete est acquise,des quon est convenu de la chose et du prixkata pasal 1583 C.C yang berarti :Hak milik telah diperoleh sejak dicapai kespakatan tentang barang dan harga.Karenanya dalam Code Civil Perancis itu perkataan deliverance(penyerahan)hanya merupakan suatu penyerahan kekuasaan belakang,suatu perbuatan physic yang dalam bahasa Belanda Iajim dinamakan feitelijke levering.Setelah difahami bahwa leveringdalam system B.W.adalah suatu perbuatan yuridis untuk memindahkan hak milik(transfer of ownership),maka jelaslah bagi kita bahwa apa yang dikatakan oleh pasal 1457 tentang leveringitu,bahwa ia adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual kedalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli,adalah tidak tepat dan seharusnya berbunyikedalam miliknya si pembeliKekeliruan atau kekhilapan tersebut disebabkan karena dikutibnya begitu saja dari Code Civil Perancis pasal 1604 yang berbunyi:La deliverance est le transport de la chose vendue en la puissance et possession de lacheteur,tanpa disadari bahwa memindahkan hak milik,yaitu dengan mengkonstruksikan jual-beli sebagai suatu perjanjian obligatoirbelaka,sedangkan pemindahan hak miliknya secara yuridis dilaksanakan(digeser)pada suatu moment lain,yaitu pada saat dilakukannya pa yang oleh para sarjana Belanda dinamakan zakelijke overeenkomstsebagaimana diterangkan diatas.Dalam pada itu,mengenaileveringtersebut oleh B.W.dianutnya apa yang dinamakan system causal yaitu suatu system yang menggantungkan sahnya levering itu pada dua syarat:a. Sahnya title yang menjadi dasar dilakukannya levering:b. Levering tersebut dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas(beschikkingsbevoegd)terhadap barang yang dilever itu.Dengan titledimaksudkan perjanjian obligatoir yang menjadi dasar levering itu,dengan perkataan lain :jual belinya,tukar-menukamya, atau penghibhannya (tiga perjanjian ini me-rupakan titel-titel untuk pemindahan hak milik). Adapun orang yang "berhak berbuat bebas" adalah pemilik barang sendiri atau orang yang dikuasakan olehnya.Dengan demudan maka apabila titel tersebut tidak sah (ba-tal) atau kemudian dibatalkan oleh Hakim (karena adanya pak-saan, kekhilapan atau penipuan), maka leveringnya menjadi bata! juga, yang berarti bahwa pemindahan hak milik dianggap tidak pernah terjadi. Begitu pula halnya apabila orang yang me-mindahkan hak milik itu ternyata tidak berhak melakukannya karena ia bukan pemilik maupun orang yang secara khusus dikuasakan olehnya.Sistem causal (mengenai pemindahan hak milik) tersebut lajimnya disimpulkan dari pasal 584 B.W. (Buku II) yaitu pasal yang mengatur tentang cara-cara memperoleh hak milik. Salah satu cara adalah "levering", tetapi dibelakang perkataan ini dise-butkan: "berdasarkan suatu titel yang sah, dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas". Dan apakah artinya kalimat ini te-lah diterangkan diatas.Sistem causal tersebut biasanya dilawankan terhadap apa yang dinamakan'sistem abstrak" yaitu sistem yang dianut di Jerman Barat. Menurut sistem ini levering (yang juga dikonstruksikan sebagai suatu "zakelijke overeenkomst") sudan dilepaskan hu-bungannya dengan perjanjian obligatoirnya dan berdiri sendiri. Dengan demudan maka, kalau di Perancis obligatoire dan zakelijke overeenkomst diperas menjadi satu, di Negeri Belanda merupakan dua perstiwa yang interdependent, maka di Jerman Barat zakelijke overeenkomst itu dipandang sebagai dan dijadikan suatu perbuatan hukum (RechtsgeschSft) tersendiri. Perjanjian obligatoirnya bisa dibatalkan dengan menerbitkan suatu ciaim yang bersifat persoonlijk bagi si pemilik lama, na-mun hak milik atas barang tetap pada pihak yang telan memperoleh berdasarkan levering.Hal tersebut dapat dilukiskan dengan contoh sebagai berikut: Kalau pihak yang melever beranggapan bahwa levering itu berdasarkan jual-beli, tetapi pihak yang menerima beranggapan bahwa levering tersebut berdasarkan hibah, maka barang tetap secara sah berpindah miliknya kepada yang menerima, karena zakelijke overeenkomst (kemauan kedua pihak) tertuju kepada pemindahan hak milik. Akan fetapi kalau pihak yang menye-rahkan bermaksud melakukan penyerahan berdasarkan jual-beli sedangkan yang menerima barang mengira bahwa penyerahan itu berdasarkan pinjam-pakai, maka daklah terjadi suatu zakelijke maupun obligatoire overeenkomst dan hak mflik tidak beralih.Pasal (paragraph) 929 Bflrgerliches Gesetzbuch mengatakan: "Zr Ubertragung des Eigentums an einer beweglichen Sache ist erforderlich dasz der Eigentumer die Sache dem Erwerber fibergibt und beide daruber einig sind dasz das Eigentum uber-gehen sol". Dalam pasal ini tidak disebutkan tentang sesuatu "titel yang sah" yang harus menjadi dasar dari pemindahan hak milik. Selanjutnya dapat dilihat bahwa untuk pemindahan hak mik diperlukan "bergabe", suatu pengertian yang sama de-ngan "dlivrance" dari Code Civil Perancis. Biasanya diajarkan bahwa "bergabe" tersebut bukan suatu "RechtsgeschSft" melainkan suatu "Real-akt" atau "Tathandlung", sehingga me-rupakan suatu peristiwa yang tidak dapat dawan dengan meng-ajukan adanya suatu cacad dalam kemauan oang yang melaku-kannya.Sudah jelaslah kiranya bahwa menurut sistem causal, apabila perjanjian obligatoirnya batal atau dikemudian hari dibatalkan (oleh Hakim), leveringnya ikut serta batal dan barangnya dianggap tidak pernah berpindah miliknya.Begitu pula halnya apabila orang yang melever ternyata tidak berhak memindahkan hak milik karena ia bukan pemilik atau orang yang dikuasakan olehnya.Terhadap ketentuan yang terakhir diadakan kekecualian B.W. (Buku IV), yang menentukan bahwa mengenai barang bergerak, siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemilik ("bezit geldt ais volkomen titel"). Menurut ketentuan ini orang yang nampaknya keluar sebagai pemilik (dalam istilah hukum seorang yang demikian dinamakan: "bezitter") harus di-pandang sebagai pemilik dan barangsiapa yang memperoleh sua-tu barang darinya dilindungi oleh hukum. Dalam hubungan ini adalah terkenal ajaran tentang "penghalusan hukum"("rechts-verfijning") dari Prof. Paul Scholten yang menambahkan pada ketentuan tersebut dua pensyaratan, yaitu: bahwa ketentuan tersebut hanya berlak untuk "transaksi perdagangan" dan pihak yang menerima barang itu harus "beritikad baik" dalam arti bahwa ia sama sekali tidak mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang yang sebenarnya bukan pemilik. Dengan demikian pasal 1977 (1) tidak dapat dipakai dalam halnya seorang yang secara tidak berhak menghadiahkan suatu barang kepada temannya, biarpun orang yang menerima barang ini jujur sekalipun, atau dalam suatu perjanjian jual-beli dimana si pembeli dari semula sudah tahu bahwa si penjual adalah orang yang tidak berhak menjual barangnya.Pada saat manakah berlakunya keharusan bahwa si penjual barang, sebagai orang yang menyerahkan hak milik, adalah orang yang berhak berbuat bebas ? Jawabnya adalah: pada saat ia me-lakukan leveringnya itu.Dengan demikian keharusan tersebut belum berlaku pada saat ia menawarkan barangnya atau mengadakan ("menutup") perjanjian jual-belinya. Oleh karena itu dalam praktek sehari-hari sudah biasa dilakukan jual-beli atas barang-barang yang belum berada ditangannya si penjual, misalnya baru di-"indent" atau sedang berada dalam perjalanan.Dalam sistem dimana jual-beli itu hanya bersifat "obligatoir" saja, jika terjadi suatu barang yang telah dijual tetapi belum diserahkan, dijual lagi untuk kedua kalinya oleh si penjual dan dilever kepada si pembeji kedua, barang itu menjadi miiknya sipembeli kedua ini. Tegasnya, kalau A menjual barang kepada B dan kemudian menjualnya lagi kepada C di-ikuti dengan levering, maka barang itu menjadi miliknya C Si pembeli pertama B hanya dapat menuntut ganti-rugi dari si A yang telahmembawa dirinya dalam keadaan tak mampu melever barang nya dan karenanya sudah melakukan "wanprestasi" atau "cidra-janji".Sistem dimana jual-beli menurut B.W. hanya bersifat "obligatoir"saja itu dipegang teguh oleh Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 19 Juni 1963 No. 101 K/Sip/1963 dalam per-kara P.T. Daining melawan P.T. Ichsani, dimana P.T. Daining telan menyalahi janjinya untuk menjual sebuah pabrik besi. Da-lama putusannya. tersebut Mahkamah Agung tdak dapat mem-benarkan pendirian Pengadilan Negeri dan Pengdilan Tinggi bahwa dengan penyetoran uang harga pabrik tersebut oleh ter-gugat kasasi (P.T. Ichsani) disuatu bank atas rekeningnya si pen-jual, dengan sendirinya pabrik tersebut sudah nienjadi miliknya tergugat kasasi dan juga penyerahan (levering) kepada P.T.Ichsani tidak bisa dilaksanakan karena pabrik tidak lagi berada ditangan-nya P.T. Daining karena sudah dikuasai oleh Perusahaan Negara Aera! Survey. Juga bekas Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam rancangannya Undang-undang Hukum Perjanjian, yang diajukan sebagai prasaran dimuka kong-res Perhimpunan Sarjara Hukum Indonesia di Yogyakarta (No-pember 1961), mengambil sebagai pedoman, bahwa jika suatu perjanjian itu mengenai suatu benda yang harus diserahkan oleh satu pihak kepada pihak lain, maka hak atas benda itu tercipta apabila benda itu sudah diserahkan.Seianjutnya dalam hal levering (penyerahan) itu berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut:a. Biaya penyerahan dipikul oleh si penjuai, sedangkan bia-ya pengambilan dipikul oleh si pembeli, jika tdak teiah diper-janjikan sebaliknya (pasal 1476).Apakah yang dimaksudkan dengan biaya penyerahan dan apakah yang dimaksudkan dengan biaya pengambilan?Biaya penyerahan adalah segala biaya yang diperlukan untuk membuat barangnya siap untuk diangkut kerumah si pembeli, jadi misalnya ongkos pengepakan atau pembungkusan, sedangkan biaya pengambilan merupakan biaya yang harus dike-luarkan untuk mengangkut barang kerumah si pembeli.Ketentuan tersebut ada hubungannya dengan ketentuan bahwa penyerahan terjadi dtempat dimana barang yang terjual itu berada pada waktu penjualan, yang lajimnya di tempat ting-gal si penjual atau digudangnya.Sudah barangtentu, mengingat bahwa hukum perjanjian pada umumnya dan hukum jual-beli khususnya bersifat "hukum pelengkap" ("aanvullend recht"), hal-hal tersebut diatas dapat diatur sendiri oleh para pihak secara menyimpang dari ketentuan yang diberikan oleh undang-undang. Dalam praktek misalnya seringkali diperjanjikan bahwa barang akan diserahkan "franco rumah" yang berarti bahwa ongkos pengangkutan sampai diru-mah pembeli akan ditanggung oleh si penjual.Kemudian ada ketentuan bahwa kewajiban menyerahkan suatu barang meliputi segala sesuatu yang menjadi perlengkap-annya serta dimaksudkan bagi pemakaiannya yang tetap, beser-ta surat-surat bukti milik, jika itu ada (pasal 1482). Dengan demikian maka penyerahan sebidang tanah meliputi penyerahan sertipikatnya dan penyerahan kendaraan bermotor meliputi BP.K.B.-nya (surat bukti pemilik kendaraan bermotor).b. Kewajiban menanggung kenikmatan tenteram dan menang-gung terhadap cacad-cacad tersembunyi ("vrijwaring", "war-ranty").Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram meru-pakan konsekwensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan dilever itu adalahsungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atu tuntutan dari sesuatu pihak.Kewajiban tersebut menemukan realisasinya dalam kewa-jiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan dari pihak ketiga, dengan putusan Hakim dihukum untuk menyerahkan barang yang telah dibelinya kepada pihak ketiga tersebut. Kejadian ini dalam baha-m Inogeris dikenal dengan ama "eviction". Atau juga si pembeli sewaktu digugat dimuka Pengadilan oleh pihak ketiga, dapat-lah ia meminta kepada Hakim agar supaya si penjual di-ikut serta