sby bahlul

download sby bahlul

of 104

Transcript of sby bahlul

BAB 1

SBY SI PERAGU

Ketika itu, tahun 2001, di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, stabilitas politik dan keamanan betul-betul goyah. Di Jakarta, atau kota besar lainnya, ancaman perampokan, pembunuhan, atau pencurian, merajalela. Lampu merah (lampu lalu lintas) adalah daerah bahaya satu, karena di situ beroperasi kelompok Kapak Merah. Ketika lampu merah menyala, tiba-tiba saja serombongan anak muda bersenjata kapak, pisau, atau golok terkadang bersenjata api menyatroni mobil yang sedang berhenti, memecahkan kacanya, lalu merampok penumpangnya, dan pergi seenaknya saja meninggalkan korban, yang tak jarang sudah dianiaya terlebih dulu. Polisi seakan tak berdaya. Itu menyebabkan rakyat terpancing menjadi main hakim sendiri. Maling motor yang tertangkap, dibakar hidup-hidup. Adegan mengerikan itu, merupakan pemandangan sehari-hari di mana-mana. Itu belum seberapa. Berbagai daerah bergolak. Aceh, misalnya, seakan sudah terpisah dari Republik. Bayangkan, Presiden Abdurrahman Wahid, datang ke Banda Aceh, ketika itu, hanya berani sampai Masjid Raya. Bicara sebentar, ia langsung balik ke bandar udara, terbang pulang ke Jakarta. Di Ambon, Maluku, perang Islam Kristen, mencapai puncaknya. Tak terhitung nyawa yang melayang, bangunan yang terbakar, atau perkantoran yang dimusnahkan. Peristiwa serupa terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Di berbagai daerah di Kalimantan, orang Dayak perang melawan suku pendatang, Madura. Korban tak lagi terhitung. Nah, ketika itu yang menjadi Menko Polkam adalah Jenderal (Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang kini berambisi menjadi Presiden

RI. Sebagai penanggungjawab stabilitas politik dan keamanan di kabinet, apa yang SBY lakukan? Ooh dia rapat terus, diskusi terus, sampai berbulan-bulan, ujar seorang Menteri yang ketika itu masuk jajaran Polkam. Sebagai hasil rapat-rapat yang melelahkan yang dipimpin SBY itu, dibentuklah Desk Aceh, Desk Ambon, Desk Poso, Desk Sampit, dan entah Desk apa lagi. Apa kerja Desk itu? Jangan tanya, karena mereka rapat terus, diskusi terus, seminar terus. Saya lihat orang-orang yang bunuh-bunuhan di Ambon, Poso, atau Sampit, sudah mulai capek. Mereka juga sudah capek membakar rumah, saking banyaknya rumah yang dibakar. Tapi rapat belum menghasilkan keputusan apa pun, kata Menteri tadi. Suatu hari rapat berlangsung, dipimpin SBY. Seperti biasa, diskusi berlangsung seru di antara peserta rapat, dan SBY menjadi moderatornya, persis seperti diskusi atau seminar yang biasa dilakukan di hotel-hotel. Tiba-tiba, SBY memerintahkan Mayjen. Aqlani Maja, Staf Ahli Menhankam, yang bertugas mewakili Menhankam Mahfud MD, untuk memberikan pendapat. Konon, Aqlani langsung bicara, Pak Menteri, saya kira sudah lebih 3 bulan kita rapat terus. Semua kita diskusikan. Orang yang bunuh-bunuhan di Poso, Ambon, atau Kalimantan, tampaknya sudah capek, mereka sudah berhenti sendiri.Tapi rapat belum mengambil keputusan apa pun. Kalau Pak Menteri minta pendapat saya, apa saja yang Pak Menteri putuskan saya setuju. Yang penting, kita harus punya keputusan. Saya kira itu yang penting. Wajah SBY langsung merah-padam. Mungkin merasa malu, sekaligus marah, karena merasa dihina. Ini bukan rapat kedai kopi, yang hadir di sini, para Menteri, teriaknya. Semua terdiam. Tapi beberapa Menteri, di antaranya, Menteri Otonomi, Prof. Ryaas Rasyid, secara sembunyi-sembunyi menunjukkan jempol jari tangannya kepada Aqlani, sebagai tanda mendukung. Rapat pun akhirnya bubar, sekali lagi: tanpa keputusan apa pun. Menurut sebuah sumber, Aqlani berani bicara seperti itu, selain karena sudah kesal, mengikuti rapat yang melelahkan tanpa keputusan itu, ia memang sudah lama kenal watak atau kepribadian SBY. Ia dan SBY, sama-sama mengikuti pendidikan militer di Port Leavenworth, Amerika. Di sana pula, mereka sama mengikuti pendidikan S2, dan sama pula lulusnya. Sebelumnya, mereka pernah pula menjadi dosen di Seskoad, Bandung, ketika Komandan Seskoad dijabat Feisal Tanjung. Jadi rupanya, ia tahu betul, bahwa SBY itu adalah tipe orang yang tak bisa membuat keputusan

(indecisive), apalagi keputusan itu berisiko. Karena cacat personalitinya itulah, semasa menjadi Menko Polkam, nyaris tak satu pun keputusan penting apalagi yang berisiko tinggi datang dari kantor Menko Polkam. Kantor Menko Polkam, di kalangan para Menteri, sering diejek sebagai kantor Seminar. Seperti diketahui, masalah Poso dan Ambon, akhirnya ditangani oleh Yusuf Kalla, yang ketika itu menjabat Menko Kesra. Entah apa juntrungannya Menko Kesra dengan kerusuhan. Muncullah Perjanjian Malino I dan II. Kalau saja SBY punya rasa malu, seharusnya ia mengundurkan diri dari kabinet, saat Malino I dan II ditandatangani, dan mendapat restu dari Presiden. Memang gara-gara Malino itu, SBY marah besar kepada Yusuf Kalla, yang telah mengambil alih wewenang dan tanggung jawabnya, tapi untuk mundur dari kabinet, tentu saja orang seperti SBY tak akan mau. Ada lagi kisah dramatis, sekaligus memalukan. Sewaktu Aceh diputuskan menjadi daerah darurat militer, SBY menjadi pelaksana hariannya, pimpinan tertinggi adalah Presiden Megawati. Sejumlah pasukan yang dikirim dengan kapal, sampai setengah bulan terkatung-katung di tengah laut, karena SBY tak juga memutuskan sikap pemerintah untuk pendaratan pasukan itu. Malah ada yang bilang, pasukan itu sempat tiga hari kelaparan, karena persediaan makanan sudah habis. Akhirnya, di tengah moral pasukan yang sudah hancur seperti itu, barulah mereka didaratkan, konon setelah Presiden Megawati turun tangan. SBY? Seperti biasa, tak bisa membuat keputusan berisiko seperti itu. Hobinya, cuma berbusa-busa bicara di TV dan koran, dengan bahasa yang selalu normatif karena takut berisiko kalau ucapannya salah tapi disusun sesuai kaedah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Tanyakanlah pada kawan dan lawannya, tentang cacat SBY itu. Jawabannya pasti tak jauh berbeda: SBY tak bisa mengambil keputusan. Mana mungkin seorang bisa menjadi pemimpin apalagi menjadi Presiden, pengambil keputusan tertinggi yang sering penuh risiko dengan cacat personaliti yang sangat fatal seperti itu? Ini menjadi alasan pertama dan utama bagi rakyat untuk tidak memilih SBY si peragu.

BAB 2

SBY: PRIYAYI PEMUJA KLENIK YANG TAK PERNAH BERKERINGAT

Sejak dulu, SBY dikenal sebagai priyayi yang tak pernah berkeringat. Selain punya sifat peragu yang tak mampu mengambil keputusan, ia maunya terima bersih dan semuanya ingin terima jadi tanpa berani mengambil resiko. Setiap langkah diayunkan dengan hati-hati. Setiap kata yang meluncur diukur untuk menciptakan citra sebagai manusia sempurna. Padahal, semua itu dilakukannya untuk menutupi kelemahan diri dalam mengambil keputusan. Sungguh, SBY tak punya jiwa kepemimpinan. Langkah, gaya bicara, gerak tubuh (gesture), bahasa tubuh (body language) telah diatur sedemikian rupa menjadi sebuah kepalsuan. Ia pun bukanlah seorang yang punya iman (faith). Lagu qasidah Bimbo yang menghiasi kampanye TV putaran pertama lalu, baju koko putih dan peci yang necis menempel di kepalanya, serta umrah sebelum penentuan nomor urut surat suara pada Juni lalu, adalah bagian dari upaya menciptakan citra seorang muslim yang alim. Hal ini diperlukan SBY untuk menutupi jati diri yang sebenarnya: ia adalah seorang pemuja KLENIK, menghamba pada dukun, benda-benda keramat dan ritual yang syirik. SBY sebenarnya sudah lama punya ambisi jadi Presiden. Sosoknya yang tegap dan tampan menjadi modal awalnya. Ia juga hobi berseminar. Setiap mendapat jabatan ketika masih menjadi tentara aktif, seperti waktu jadi Danrem di Yogyakarta maupun Pangdam Sriwijaya, ia selalu aktif dalam forum-forum diskusi. Semua itu sebenarnya baik, namun seringkali melupakan tugas utamanya sebagai tentara, menjaga keamanan misalnya. Seminar dan diskusi bagi SBY adalah sarana untuk menciptakan citra

bahwa tentara yang intelektual. Padahal pemikiran SBY sebenarnya biasa saja, tak istimewa dan tak ada yang orisinal. Robertus Robert, aktivis YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) menilai SBY hanya kelihatan pintar pada 10 menit pertama, setelah itu biasa-biasa saja, ide-idenya mengambang dan normatif. Dalam diskusi di Marios Place, Jakarta, beberapa waktu lalu, pengamat politik Dr. Ikrar Nusa Bakti menyimpulkan bahwa SBY bukan tipe pemimpin, karena selalu ragu dalam mengambil keputusan. Ia berpikir untuk kepentingan citra dirinya bukan untuk penyelesaian masalah secara rasional. Akhirnya memang, buah pikiran SBY kelihatan ngambang-ngambang saja meskipun dibungkus dengan bahasa yang rapi dan runut. Karena hobinya yang sering seminar ini, di kalangan tentara SBY diberi gelar Jenderal Seminar dan Jenderal Kertas. Menurut mantan Kassospol ABRI, Letjen (Purn) Haryoto PS, karir militer SBY tergolong biasa-biasa saja. Penugasan yang ia terima lebih banyak di posisi staf dan sekolah ketimbang memimpin pasukan. SBY memang menguasai teori perang, termasuk dari buku-buku yang dibacanya, tapi pengalaman lapangannya sangat minim dan terlalu banyak perhitungan. Antara banyak perhitungan dan peragu itu kan tipis bedanya, kata Mayjen (Purn.) Kivlan Zen, bekas Kepala Staf KOSTRAD yang baru-baru ini meluncurkan buku Konflik dan Integrasi TNI-AD. Seorang bekas kolega satu angkatan dan pernah tugas sama-sama di Timor Timur, menyatakan bahwa SBY jarang memutuskan langkah secara tegas layaknya seorang komandan lapangan. Ia seperti seorang pengamat saja. Padahal, dalam situasi pertempuran, sikap tegas dan percaya diri menghadapi musuh itu penting. Ia juga dianggap berperilaku seperti priyayi, ingin dilayani dan semua orang harus ikut kemauannya tanpa dasar yang jelas. Belakangan baru diketahui bahwa dasar tindakan SBY adalah klenik atau kepercayaan yang didasarkan pada perdukunan dan hal-hal yang berbau animisme dinamisme. Ada dua contoh tindakan SBY di lapangan yang dinilai ragu-ragu, bermental priyayi dan klenik itu. Pertama, saat ia memimpin sebuah kompi yang akan mengepung basis gerakan Falintil (pasukan anti integrasi yang melawan TNI) di Timor Timur. Kompi lain dipimpin Kapten Endriartono Sutarto (sekarang Panglima TNI, Jenderal) dan Kapten Suaidi Marasabessy (terakhir menjadi Kasum TNI, Letjen. Purn.) sudah masuk kancah pertempuran, namun kompi pimpinan SBY terus menunggu dan menunggu,

tidak maju-maju. Ia menghitung saat itu kurang untuk melakukan pertempuran. Belakangan baru diketahui bahwa perhitungan SBY bukanlah perhitungan rasional, ia ternyata selalu memakai primbon Jawa. Seorang pensiunan perwira tinggi mengatakan, SBY selalu berpedoman pada nogodino (hari yang paling baik). Segala sesuatunya dikaitkan dengan nogodino, padahal seringkali yang namanya pertempuran terjadi dadakan, tak direncanakan. Contoh kedua adalah ketika bersama Batalyon 744 yang dipimpinnya, SBY ditugaskan menyerbu kubu Fretilin di Aituha kompleks, Ainaro. Selain Batalyon 744, yang diperintahkan menyerbu juga Batalyon 330 pimpinan Mayor Djamari Chaniago, Batalyon 303 pimpinan Mayor Kivlan Zen dan Batalyon 745 pimpinan Mayor Willem da Costa. Tapi, ketika mereka diperintahkan menyerbu, pasukan di bawah SBY, Batalyon 744, tidak segera melaksanakan perintah itu. Anak buah SBY gelisah, karena Batalyon lain sudah bergerak dan sudah kontak senjata dengan pasukan musuh. Lagi-lagi, SBY menganggap saatnya belum tepat karena nogodino tadi. Akibat kurangnya dukungan dari pasukan SBY, beberapa prajurit dari batalyon lain tewas menjadi korban Falintil. Atas peristiwa itu, SBY dimarahi oleh Komandan Korem Wiradharma, Kolonel Yunus Yosfiah (sekarang Sekjen Partai Persatuan Pembangunan, Letjen. Purn.). Belakangan SBY juga dianggap terlalu lembek kepada anak buahnya sehingga sempat terjadi pemberontakan sejumlah bintara di batalyon itu. Karena dianggap kurang berhasil memimpin batalyon (pasukan), SBY lalu ditarik menjadi Perwira pembantu muda operasi di Kodam Udayana sampai kemudian belajar di Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Sebenarnya dia dibuang, kata Yunus Yosfiah. Bagaimana SBY sekarang? Soal tak mau berkeringat dan priyayi jelas masih kelihatan. Tahun 2003 ketika demam pencalonan presiden merebak, SBY plintat plintut, Ia mengatakan siap maju, tapi tak akan menyatakan dalam waktu dekat. Kawan-kawannya menjadi geregetan. Bekas anggota Komnas HAM, Bambang W. Soeharto, suami dari artis Lenny Marlina, sudah jauh-jauh hari menyiapkan partai untuk SBY. SBY sebelumnya sudah setuju bahwa ia akan maju dengan bendera Partai Demokrat Bersatu (PDB). Belakangan, partai yang dikomandani Bambang ini tak jadi dipakai, padahal Bambang sudah membuat cabang-cabang. Menurut Bambang, harusnya SBY keluar sejak awal dari Kabinet Mega atau

minta izin untuk mencalonkan diri. Karena tak ada dukungan, partai pimpinan Bambang tak lolos dari saringan KPU. Ketua Umum Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, Prof. Dr. Ryass Rasyid, punya pengalaman yang sama. Ia bersama pengamat politik yang jadi praktisi politik, Andi Malarangeng, membuat PDK untuk SBY. Tunggu punya tunggu, SBY tak juga memutuskan. Akhirnya mereka kecewa pada SBY dan mendukung Wiranto. Yang paling diuntungkan tentu saja Partai Demokrat (PD) yang dibuat Tahi Bonar Silalahi, salah seorang pentolan fundamentalis Kristen. PD diketuai Subur Budi Santoso yang beragama Katolik campur kebatinan dan Sekjennya E.E. Mangindaan, seorang penganut Protestan. Dengan modal SBY, PD dapat didongkrak perolehan suaranya menjadi lebih dari 7%. Perilaku klenik SBY ternyata bukan berkurang, justru makin gencar. Selain rekayasa opini yang luar biasa termasuk polling yang menguntungkan SBY, juga dikerahkan dukun-dukun. Pengamat militer MT Arifin pernah mengatakan bahwa calon presiden SBY mengerahkan 982 jaringan paranormal untuk membantu partainya memperoleh suara. Saya melihat pada malam pencoblosan, para paranormal itu berkonsentrasi di lima kota yakni Banten, Jakarta, Bogor, Pacitan dan Jombang, selain kota-kota di luar Pulau Jawa, kata Arifin. Menurut Arifin, ratusan paranormal dikerahkan untuk mempengaruhi pemilih agar memilih partai SBY. Mereka membentuk persepsi bahwa partai itu adalah yang terbaik. Selain itu, SBY sendiri memanfaatkan jasa jin untuk menjaga keselamatannya. Dia dikawal satu jin. Saya tidak tahu, dia dapat darimana, kata Arifin. Ritual lain yang dilakukan SBY adalah puasa mutih, ngebleng dan mandi kungkum. SBY didukung beberapa orang penasehatnya seperti Pitut Suharto, juga gencar berburu tosan aji, benda pusaka berupa keris, tombak dan pedang kuno. Baru-baru ini ia berhasil mendapatkan benda pusaka peninggalan dari zaman Majapahit yang dibelinya ratusan juta. Karena berani mengkritik dan membongkar perilaku klenik SBY, pengamat militer MT Arifin berkali-kali diserang para dukun SBY dengan santet dan ilmu gaibnya. Dengan banyak zikir dan doa-doa dari Al Quran,

akhirnya MT Arifin berhasil disembuhkan dan malah menyerang balik dukun-dukun SBY. Majalah Sabili No. 21 th. XI 7 Mei 2004/17 Rabiul Awal 1425 menulis laporan utama tentang KLENIK SBY. Tanpa sungkan, tim SBY misalnya meminta paranormal Edi Sudiran ikut mengerahkan makhluk halus memenangkan PD dengan imbalan yang bersangkuran jadi angora DPR. Edi setuju dan ia melakukan ritual patek wali, patek nabi atau patek jin, yakni meditasi meminta bantuan jin. SBY juga sangat fanatik dengan angka 9. Partai Demokrat dideklarasikan tanggal 9 bulan 9 (September) 2001. Deklarasi ini memang disesuaikan dengan ulang tahun SBY, tanggal 9 bulan 9, 1949. Saat partai berdiri, tim perumus berjumlah 9 orang termasuk SBY. Saat ditandatangani, pendiri partai berjumlah 99 orang. Saat didaftarkan ke notaries, partai ini juga dapat nomor 9. Dalam lembaran Depkeh HAM, PD masuk dengan nomor 81 (8+1=9). Lebih hebat lagi, saat pengundian nomor urut parpol di KPU, para dukun dan jin dikerahkan agar mendapatkan nomor 9. Entah kebetulan atau memang dukun-dukun nya yang hebat, PD berhasil memperoleh nomor urut 9. Yang jelas, pada saat bersamaan, ada 9 dukun yang dikerahkan di Kantor Partai Demokrat. Perilaku klenik SBY ini sudah diperingatkan oleh beberapa ulama dan kyai, salah satunya KH Abdullah Syukri Zarkasy, pemimpin Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo. Ketika SBY berkunjung ke Gontor, 11 Mei 2004, KH Abdullah Syukri di atas mimbar silaturahmi yang dihadiri ratusan peserta mengingatkan, Jika seluruh dunia ingin memanfaatkan kita, maka tidak akan bisa kecuali seizin Allah. Dan kalau seluruh dunia ini ingin menjatuhkan kita, tidak bisa kecuali seizin Allah. Namun ia mengingatkan bahwa ada satu syarat untuk mendapatkan izin Allah, yakni tak boleh berbuat syirik. Pemimpin bangsa harus menghindar jauh-jauh dari klenik, dukun, mistik dan semacamnya, kata sang Kyai dengan tegas. Ini soal aqidah, soal kepercayaan terhadap Allah. Akankah Anda rela kita dipimpin oleh Presiden yang sangat percaya dan pemuja klenik?!?!

BAB 3

SBY: BRUTUS TIGA PRESIDEN

Marcus Brutus adalah kawan, anak buah dan orang yang dipercaya Julius Caesar, kaisar Romawi. Tapi Brutus pulalah yang menusuk sang kaisar dengan pisau dari belakang hingga mati. Karakter Brutus akhirnya dipakai untuk menggambarkan seorang yang berkhianat terhadap orang yang menolongnya, melindunginya dan bahkan mempercayainya. Karakter Brutus ini hampir selalu muncul dalam pergulatan politik. Dalam perbincangan politik Indonesia sekarang ini, salah satu figur yang dijuluki Brutus adalah Jenderal SBY. SBY telah menjadi Brutus bagi tiga presiden yaitu Soeharto, Abdurrahman Wahid dan Megawati. Bedanya, Brutus di zaman Romawi akhirnya mati bunuh diri, sedangkan Brutus SBY terbilang Brutus yang masih beruntung. Di akhir zaman Presiden Soeharto, SBY menjabat Kasosspol ABRI di bawah Panglima ABRI Wiranto. Tanggal 16 Mei 1998, MABES ABRI di Jalan Merdeka Barat dipenuhi wartawan karena ada siaran pers Wiranto yang meminta Soeharto mundur. Tapi Wiranto tak muncul-muncul. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) ABRI, Wahab Mokodongan, membagikan siaran pers itu yang isinya menimbulkan kontroversi, yaitu: ABRI Mendukung Pernyataan PBNU. Padahal isinya adalah minta Soeharto untuk turun. Wiranto kaget, kok ada siaran seperti ini. Kemudian baru diketahui bahwa SBY-lah yang membuat dan mengkonsep pernyataan itu. Dengan cara itu, SBY bermaksud mendorong dan menjebak Wiranto untuk ambil alih kekuasaan. Akibatnya, Wiranto sempat kena tuding mau mengkudeta Soeharto. Seperti ditulis dibukunya, SBY bahkan sempat bertanya pada Wiranto, Apakah Bapak akan ambil kekuasaan? Ambisi SBY memang besar. Targetnya ketika itu adalah Pangab. Kalau Wiranto bisa jadi Presiden dengan mengambil alih dari Soeharto, tentu ia akan ditunjuk jadi Pangab, orang nomor satu di ABRI. Tapi Wiranto

memang dinilainya penakut. Tapi, setelah Soeharto jatuh, peristiwa ini dieksploitasinya sebagai bentuk keberpihakannya pada kelompok reformis. Ke mana-mana ia mengatakan bahwa ia adalah ABRI yang reformis dan ABRI perlu paradigma baru. Dengan tampil sebagai sosok seolah-olah reformis, SBY tampil dalam elit politik pada pemerintahan pasca Soeharto. Pada masa pemerintahan Habibie (1998-1999), SBY menjabat Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI. Jabatan ini sama sekali tak memuaskannya karena tak ada peluang untuk bermanuver politik secara leluasa. Ia sangat gerah pada pemerintahan Habibie karena pada dasarnya SBY sama sekali tak percaya pada pemerintahan sipil. Namun karena ABRI masih berada di bawah Pangab Wiranto, SBY tetap loyal pada Jenderal Wiranto. Apapun kata Wiranto, ia patuhi. Sebaliknya, ia bisa juga memanfaatkan Wiranto. Dalam kasus Jajak Pendapat Agustus 1999 di Timor Timur, contohnya, SBY mendukung Wiranto yang setuju agar dilakukan Jajak Pendapat itu. Ia pula yang meyakinkan Wiranto agar Jajak Pendapat itu dilaksanakan. Sementara itu, Presiden Habibie setuju-setuju saja dengan rencana ini karena ia memang sedang mendambakan Hadiah Nobel Perdamaian yang bisa membuatnya terpilih lagi dalam Sidang Umum MPR, Oktober 1999. Hasilnya: Timor Timur lepas dan hingga kini masih menyisakan masalah dengan pengungsi dan lain-lain. Ribuan tentara yang berkorban dalam aneksasi Timor Timur terbuang sia-sia. SBY dipuji Amerika karena telah menjalankan misi dengan baik. Sudah lama, AS dan negara sekutunya, Australia, ingin Timor Timur pisah dari Indonesia. SBY dan Wiranto telah berhasil mendorong Habibie yang ultraliberal untuk Jajak Pendapat yang hasilnya pasti kemerdekaan untuk Timor Timur. Ketika SU MPR Oktober 1999, Wiranto sempat maju jadi capres meskipun waktu itu belum melepas jabatannya sebagai Pangab. Adalah SBY yang mendorong Wiranto untuk maju. Bahkan ketika dia menyatakan mencabut pencalonannya sebagai capres, orang yang paling menonjol berdiri di belakang Wiranto adalah SBY. Gambar ini bisa dilihat dalam iklan-iklan Wiranto beberapa waktu lalu. Di situ, kelihatan SBY seperti ajudan Wiranto dengan pandangan lurus ke depan tak berkedip. SU MPR akhirnya dimenangkan oleh Abdurrahman Wahid yang didukung Poros Tengah. Aliansi Poros Tengah berhasil menjegal Megawati yang partainya, PDIP, menang Pemilu pada bulan Juni 1999. Presiden Abdurrahman Wahid mengangkat SBY jadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) pada tanggal 26 Oktober 1999. Ini

adalah hasil deal dengan ABRI. Waktu itu dia masih jenderal aktif. SBY berhasil mendapat simpati dan kepercayaan dari Gus Dur. Ia mendapat pekerjaan dan tugas di luar kewenangannya sebagai Mentamben. Gus Dur memperlakukannya seperti anak emas dan bahkan menunjuknya sebagai negosiator dengan pihak Keluarga Cendana untuk mengembalikan harta kekayaan Soeharto yang diduga hasil korupsi saat menjadi Presiden RI. Bolak-balik SBY datang ke rumah Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) untuk menyampaikan keinginan Gus Dur. Tapi, tak ada upaya serius kecuali ngobrol-ngobrol ringan dengan beberapa anggota Keluarga Cendana. Sebagai Mentamben pun tak ada prestasi apa-apa. Ia cuma melakukan kunjungan-kunjungan dan pidato-pidato yang normatif. Untunglah ada Dirut Pertamina yang cukup handal ketika itu: Martiono. Ketika Gus Dur merombak kabinetnya 26 Agustus 2000, SBY tetap dipercaya dan mendapat promosi sebagai Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan (Menko Polsoskam). Kepercayaan ini diberikan Gus Dur karena SBY pernah bersumpah akan mendukung Presiden Gus Dur hingga selesai. Tapi harapan Gus Dur itu bertepuk sebelah tangan. Pemerintahan Gus Dur terus digoyang oleh DPR karena kasus Buloggate dan Bruneigate. DPR sudah mengeluarkan Memorandum I dan Memorandum II sebelum diputuskan perlunya Sidang Istimewa (SI). Memorandum II dikeluarkan tanggal 30 April 2001 dan berakhir satu bulan. Bayang-bayang Sidang Istimewa mengancam pemerintahan Gus Dur. Ia benar-benar sudah diujung tanduk. Sebagai langkah antisipatif, Gus Dur berunding dengan SBY untuk mencegah pemerintahannya jatuh. Reputasi Gus Dur ketika itu sudah sangat jelek di masyarakat dan di kalangan DPR. Gus Dur meminta SBY tetap mendukung langkah-langkahnya menghadapi DPR. SBY menyatakan dukungan sepenuhnya. Maka, pada awal Mei 2001 dibentuklah Tim Tujuh (7) yang diketuai SBY. Tim ini diberi mandat oleh Gus Dur untuk merumuskan dan mengambil tindakan segala langkah politik yang perlu guna mengatasi ketegangan antara Presiden dan DPR secara konstruktif dan komprehensif. Gus Dur juga meminta SBY membuat konsep pelimpahan tugas dan wewenang Presiden kepada orang yang ditugaskan. Demikian tinggi kepercayaan Presiden Gus Dur pada SBY saat itu. Hasil dari Tim Tujuh yang diketuai SBY adalah perlunya dikeluarkan Maklumat Presiden yang intinya melimpahkan wewenang pada pejabat yang ditunjuk. Maka atas saran SBY, pada tanggal 28 Mei 2001, Gus Dur

membuat Maklumat Presiden yang memberi perintah untuk diambilnya langkah dan tindakan khusus dalam rangka menciptakan ketertiban, keamanan dan hukum secepat-cepatnya. Maklumat Presiden itu diserahkan kepada SBY. Gus Dur berharap SBY benar-benar dapat mengatasi keadaan sehingga situasi menjadi tenang. Namun, apa yang terjadi? SBY sama sekali tak berbuat apa-apa. Ia tak melobi DPR, Wapres Megawati atau tokoh-tokoh politik kunci yang beroposisi terhadap Gus Dur. Sebaliknya, SBY menaikkan posisi tawar dirinya dalam pentas politik nasional. Ia menempatkan diri seolah-olah pihak yang bijak yang tak mau menggunakan kekuasaan sewenang-wenang. Keinginan-keinginan Gus Dur ditepisnya. Inilah pengkhianatan paling telanjang dalam politik Indonesia mutakhir: Gus Dur ditikam dari belakang. Lagi-lagi peristiwa ini mengingatkan kita pada Marcus Brutus yang menikam Julius Caesar. Gus Dur sungguh kecewa. Harapan Presiden Gus Dur kepada SBY tak kesampaian. Di saat cucu Hadratussyaikh Hasyim Asyari itu di ujung tanduk, SBY mengabaikan perintahnya. Malah, tak disangka, orang yang begitu dipercayanya justru menikamnya dari belakang. SBY yang menganjurkan Maklumat, ia pula yang mementahkannya. Gus Dur tak tahu bahwa SBY bukan semata-mata mengambil langkah itu karena rasional politik, tapi juga karena kawan-kawannya di pemerintahan Bush (AS) sudah memesankan agar Gus Dur diganti. Pengamat Jeffrey Winters pada saat itu mengatakan bahwa Washington sudah memutuskan bahwa Gus Dur harus pergi. Indikatornya, IMF tidak mengucurkan bantuan dana 400 juta dollar. Bahkan SBY juga beberapa kali melakukan kontak dengan Wakil Menteri Pertahanan AS, Paul Wolfowitz. Dua hari sesudah Maklumat Presiden dikeluarkan, tanggal 30 Mei 2001, DPR sepakat menggelar SI untuk Gus Dur. Karena sakit hati dikhianati, Gus Dur besoknya mengganti SBY dengan Agum Gumelar. Berbeda dengan SBY, Agum jauh lebih loyal dan setia kawan. Meskipun Agum tak setuju dengan berbagai langkah Gus Dur, ia tetap menunjukkan sikap ksatria sebagai orang yang bertahan dengan kawannya. Sementara SBY seringkali memperlihatkan sikap colong pelayu. Ambisi SBY tetap berkobar. Meski baru menusuk Gus Dur dari belakang, ia berani tampil maju sebagai kandidat Wakil Presiden pada Sidang Istimewa MPR-RI, 25 Juli 2001 bersaing dengan Hamzah Haz dan

Akbar Tanjung. SBY akhirnya dikalahkan oleh Hamzah Haz. Presiden Megawati yang menggantikan Gus Dur bermurah hati menampung SBY yang sudah keleleran, tak ada jabatan dan pekerjaan. SBY melalui orang-orang dekatnya memang melobi Mega untuk memakainya menjadi menteri. Mulanya Mega ragu, karena tingkah laku SBY yang selama ini tak pernah setia dan cenderung jadi Brutus, namun karena SBY meminta-minta dan berjanji akan bekerja sebaik-baiknya, naluri keibuan Mega tak tega menolak SBY. Tanggal 10 Agustus 2001, SBY diangkat menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong Royong. Dari sinilah ia habis-habisan membangun citra sebagai orang yang mengendalikan Megawati. Karena Presiden Megawati hemat bicara, SBY menempatkan diri semacam juru bicara pemerintah. Apa prestasi SBY dalam Kabinet Mega? Lagi-lagi tak ada yang istimewa. Tugas-tugas penanganan konflik Ambon dan Poso justru lebih banyak dilakukan Menko Kesra Yusuf Kalla. Di Jakarta, kalangan politisi menyindir SBY salah tempat, harusnya dia jadi Menko Kesra atau Menteri Sosial. Sudah jadi rahasia umum, SBY sangat takut menangani konflik Ambon yang penuh darah. Ia ngeri untuk datang ke Ambon dan meminta Kalla mewakilinya. Lahirnya Malino I dan Malino II jelas bukan atas prakarsa SBY. Para wartawan bahkan mengetahui bagaimana SBY hanya ingin tampilnya saja ketika penandatangan perjanjian damai Malino I dan II. SBY berada di ruang rias hampir satu jam untuk menata wajah dan rambutnya agar kelihatan keren bila dipotret atau disorot kamera. Para hadirin terpaksa agak lama menunggu SBY berias diri sebelum penandatanganan itu. Dalam konflik Aceh, SBY adalah orang yang mengumumkan status darurat militer di Provinsi itu pada tanggal 19 Mei 2003. Namun, ia hanya satu dua kali berkunjung ke Aceh melihat pelaksanaannya. Sebagai Menko Polkam, SBY piawai menggunakan kesempatan dan fasilitas ini untuk menggalang dukungan. Kantor Menko Polkam dijadikan alat untuk membina basis massa dan kendaraan politik yang akan dipakainya. Ia membentuk tim angket Kementrian Polkam serta tim monitoring evaluasi dan pengamanan pemilu di 24 provinsi dan 24 kabupaten/kota. Langkah ini adalah untuk mengukur sejauh mana aspirasi dan kehendak masyarakat dalam pemilu legislatif 5 April 2004 dan pilpres 5 Juli 2004. Ia juga menggunakan iklan ajakan damai di televisi sebagai langkah memperbesar popularitas. Semua itu dibiayai oleh Kementrian Polkam. Bukankah ini sebuah bentuk korupsi dan manipulasi? Ya. Inilah

langkah sistematis SBY untuk menikam Mega dari belakang. SBY kembali membuktikan dirinya sebagai Brutus, kali ini terhadap Presiden Megawati. Bulan September-Oktober 2003, foto-foto SBY beredar dalam bentuk poster, stiker dan spanduk Partai Demokrat. Tanggal 9 Februari 2004, di majalah Tempo, dengan terang-terangan SBY menyatakan siap jadi presiden. Ia juga mengaku punya pertalian dengan Partai Demokrat. Tanggal 10 Februari 2004, SBY membuat lagi pernyataan lanjutan bahwa ia siap mundur dari kabinet jika resmi ditetapkan sebagai calon presiden. Langkah dan manuver SBY itu jelas mengganggu kinerja Kabinet Mega. Para pentolah PDIP menilai SBY tengah melakukan plot politik. Harusnya SBY tidak plin plan. Jika mau maju jadi presiden, kenapa tak langsung mundur saja dari kabinet atau tetap menjalankan tugas Menko Polkam seperti amanat yang diberikan padanya. Suami Presiden Megawati yang juga fungsionaris PDIP menjadi berang. Ia tak sabar dengan manuver SBY. Tanggal 2 Maret 2004, ia menyebut SBY seperti Anak kecil. Masak, jenderal bintang empat kayak anak kecil begitu, kata Taufik di Jakarta. Pernyataan TK (begitu panggilan akrab Taufik) adalah hasil provokasi yang dijalankan tim sukses SBY yaitu Sudi Silalahi, sekretaris Menko Polkam. Sehari sebelumnya, 1 Maret 2004, Sudi bicara di depan wartawan bahwa SBY dikucilkan Presiden Megawati. SBY, kata Sudi, tak dilibatkan dalam berbagai rapat penting Kabinet Mega. Kontan saja, suhu politik agak meningkat. Provokasi Sudi berhasil memancing amarah orang-orang PDIP. Drama politik SBY menjadi perhatian publik. Ia menciptakan kesan sebagai orang yang teraniaya, tertindas dan terkucil oleh kekuasaan Presiden Mega. Fenomena ini sungguh ironis. Kenyataannya, justru Megawati adalah orang yang ditikam dari belakang oleh SBY. Megawati yang selama ini melindungi, mempercayai, dan memberi kewenangan yang besar pada SBY, justru dikorbankan untuk mendongkrak popularitas SBY dan Partai Demokrat. Jangankan terima kasih, langkah Brutus SBY ini bahkan dijadikan bahan kampanye Partai Demokrat di berbagai daerah. Ternyata apa yang dilakukan SBY sebagai Menko Polkam bukan untuk kemaslahatan rakyat atau kebaikan bangsa, melainkan hanya semata-mata batu loncatan bagi ambisi pribadinya menjadi Presiden. Pola Brutus SBY memang bukan baru. Seperti diceritakan

sebelumnya, SBY telah berbakat jadi Brutus (pengkhianat/penusuk dari belakang/penggunting dalam lipatan/penyalib di tikungan) sejak zaman Soeharto. Langkahnya yang culas dan licik sebagai Brutus lebih mantap di zaman Habibie dan Gus Dur serta puncaknya pada 11 Maret 2004 ketika ia mundur dari Kabinet Megawati. Megawati yang membutuhkan bantuan Menko Polkam dalam penanganan politik nasional dan keamanan Pemilu ditinggalkan begitu saja, tanpa pertanggungjawaban.

BAB 4

SBY: MILITERISTIK DAN ANTI DEMOKRASI

Ketika rezim Orde Baru yang militeristik masih berkuasa di sementara kalangan masyarakat lahir keinginan untuk membebaskan diri dan belenggu rezim yang sangat menghambat perkembangan demokrasi di Indonesia. Kalangan ini kemudian melirik kepada tokoh-tokoh militer ketika itu dengan harapan pihak militer bisa memimpin masyarakat keluar dari rezim Orde Baru dan bersama rakyat membangun demokrasi. Pendekatan pun dilakukan. Menanggapi itu, Jenderal ZA Maulani dalam berbagai pertemuan mengatakan agar rakyat jangan berharap bahwa militer dapat memimpin rakyat membangun demokrasi. Menurut Jenderal ZA Maulani tidak mungkin militer mampu memimpin secara demokratis karena di dalam masyarakat militer hanya ada dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok masyarakat komandan. Keberhasilan mereka dinilai dari bagaimana mereka memberikan perintah. Kelompok kedua adalah kelompok prajurit. Keberhasilan mereka dinilai dari bagaimana mereka

menjabarkan dan melaksanakan perintah. Bagaimana mungkin kita berharap dari masyarakat seperti ini akan lahir pemimpin yang demokratis? Jenderal SBY lahir dan dibesarkan dalam keluarga militer. Ia menikah dengan putri seorang tokoh militer. Anaknya seorang militer pula, kini berpangkat Letnan Satu. Ia sendiri adalah seorang Jenderal berbintang 4. Mengenai kejendralan SBY, Letjen Sayidiman dalam dengar pendapat dengan komisi I DPR RI 4 Agustus 2004 menyatakan bahwa tambahan bintang yang terakhir ini sebenarnya tidak pantas dan menyalahi aturan yang sudah baku dan berlaku di kalangan militer, karenanya kenaikan ini sungguh luar biasa dan di luar kebiasaan militer. Mengapa demikian? Karena Jenderal SBY tidak lagi menjabat serta duduk dalam jajaran struktur militer, bahkan kenaikan pangkatnya menjadi bintang 4 didapat ketika sudah pensiun dari jabatan militernya. Jadi seharusnya ia sudah kembali menjadi sipil biasa. Lain halnya bila ia sudah anumerta. Akan tetapi ternyata ketika pengangkatan luar biasa ini terjadi, Jenderal SBY tidak menolaknya. Ini membuktikan betapa ia menganggap begitu penting status dan hubungan langsungnya dengan hirarki kemiliteran, mungkin untuk meningkatkan kepercayaan dirinya sebagai pemimpin. Jenderal yang sepanjang sejarah hidupnya takut perang memang memerlukan status untuk menakut-nakuti rakyat. Pengalaman Majalah Sabili adalah ilustrasi nyata bagaimana sikap militeristik Jenderal SBY beserta pengikutnya. Dalam Majalah Sabili No. 2 Th. XI 2004/ 17 Rabiul Awal 1425 ditampilkan sosok Jenderal SBY sebagai cover story lengkap dengan foto berjudul SBY dari Gamang sampai Klenik. Ternyata isi majalah tersebut tidak berkenan di hati Jenderal SBY dan para pengikutnya. Brigjen (Purn.) Robik Mukav dikawal beberapa orang berambut cepak dengan mengendarai mobil bernomor tentara segera dikirim untuk meneror majalah Islam Sabili. Brigjen Purnawirawan yang seharusnya sudah kembali menjadi sipil mengamuk memarahi redaksi majalah Sabili dan mengancam bahwa kalau Sabili tidak meminta maaf dan mencabut isi majalah yang sudah terlanjur beredar itu maka ia tidak bisa menanggung akibatnya bila pendukung setia Jenderal SBY datang dan membakar kantor majalah ini. Walau sudah berkali-kali dijelaskan bahwa sebelumnya sudah mencoba berulang-ulang menghubungi Jenderal SBY untuk mengkonfirmnasi apa yang akan ditulis oleh majalah tersebut, namun tidak mendapat jawaban yang jelas, utusan Jenderal SBY ini tetap tidak dapat menerimanya.

Setelah kedatangan Brigjen Purnawirawan Robik Mukav, Sabili didatangi kapten Kopassus dari Group 5 (anti terror) bernama Hasan Sodik yang mengaku masih kerabat dekat Jenderal SBY dan menawarkan diri menjadi penengah dari kekisruhan hubungan antara Jenderal SBY dan majalah Islam Sabili. Melalui kapten Hasan Sodik akhirnya keinginan majalah Islam ini untuk mewawancarai Jenderal SBY dapat terwujud dan wawancara itupun akhirnya dimuat secara utuh di majalah tersebut. Dan sebagaimana kebiasaan SBY setiap kali diwawancara oleh media massa, sebelum dimuat hasil wawancara tersebut pun disensor terlebih dahulu oleh SBY atau orang-orangnya. Walau demikian, suatu hari mendadak kantor majalah Sabili didatangi kembali oleh segerombolan orang berdemo di depan kantor sambil kemudian menyerahkan somasi dari kelompok Jenderal SBY. Nampaknya belum puas dengan tingkah laku mereka meneror majalah Islam ini, merekapun kemudian meluncurkan buku kecil berjudul Sabili menghujat pendukung SBY menjawab. Demikian sepak terjang Jenderal SBY, padahal ia belum berkuasa. Bayangkan bagaimana tingkah lakunya nanti ketika SBY berkuasa. Militeristik dan premanisme pasti akan tumbuh berkembang sesuai dengan tingkah laku presidennya.

BAB 5

SBY: DIKELILINGI KORUPTOR DAN SERIGALA POLITIK

SBY ternyata telah dikelilingi dan dikepung para koruptor, serigala politik dan orang-orang bermasalah lainnya. Bagaimana dia akan membasmi korupsi kalau lingkaran intinya adalah para koruptor? Bagaimana mau memajukan demokrasi kalau para partnernya adalah para politisi munafik? Salah satu contoh saja, ia telah teken kontrak dengan politisi munafik bermasalah: Yusril Ihza Mahendra. Yusril akan menjadi formatur dalam pembentukan kabinet kalau SBY terpilih jadi presiden. Bahkan Yusril dijanjikan akan menjadi Menteri Utama. Contoh-contoh lain sebenarnya terlalu banyak misalnya bekas Sekjen Golkar Rahmat Witoelar, bekas KSAD Edi Sudrajat dan orang-orang hipokrit yang dulu penopang Orde Baru. Kalau ada partai Islam yang lantang menyuarakan keinginannya untuk memberlakukan syariat Islam di Indonesia, maka Partai Bulan Bintang (PBB) lah yang paling di muka. Tapi apakah PBB melaksanakan syariat Islam secara konsekwen? Rasanya jauh panggang dari api. Mengapa demikian? Kalaulah syariat Islam berlaku di Indonesia, maka Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra, adalah orang pertama yang harus dipotong tangannya terlebih dahulu. Bukankah dia pernah diadukan ke polisi oleh kawan-kawan separtainya, dengan tuduhan telah menerima uang dari Presiden Habibie untuk dana partai tapi tidak melaporkannya kepada DPP PBB? Yusril Ihza Mahendra adalah seorang pembohong dan penipu besar, sehingga kawan-kawannya seperti Hartono Mardjono, SH, Farid Prawiranegara dan Fadli Zon mengadukannya ke polisi karena tuduhan korupsi dan memalsukan KTP. Hanya karena dia Menkeh dan HAM maka dia berhasil meredam aduan kawan-kawan separtainya. Belum lagi ia menggunakan kekuasaannya yang membawahi hakim-hakim pengadilan. Selain korup, Yusril dianggap berbagai kalangan sebagai orang yang rakus. Majalah Tempo edisi 2 September 2001 mengupas kisah rumah Yusril yang mewah di kawasan Cireundeu dan banyaknya rumah lain di daerah Kebayoran (Jl. Adityawarman No. 14), di Menteng dan beberapa tempat lain. Yusril juga kolektor mobil-mobil mewah yang berderet di garasi rumah-rumahnya. Padahal, sebelum jadi ketua partai atau sebelum jadi menteri, Yusril dikenal sebagai anak buah Moerdiono menjadi penulis pidato Presiden Soeharto. Ketika itu, Yusril hidup pas-pasan saja. Kata bekas

koleganya, mobilnya pun merupakan sumbangan dari beberapa orang pengusaha karena ia selalu minta kiri minta kanan. Sikap munafik Yusril sebenarnya agak mirip dengan SBY khususnya soal loncat pagar dan menusuk dari belakang alias Brutus. Rupanya, karakter ini yang membuat SBY merasa cocok dengan Yusril: sama-sama Brutus. Melihat bahwa posisi Mega dalam putaran pertama tidak sepopuler jenderal SBY, Yusril dengan sikap oportunisnya segera merapat ke kubu SBY. Padahal kita tahu bahwa partai-partai Islam lainnya habis-habisan menolak Partai Demokrat yang dipenuhi oleh caleg-caleg non Islam. Yusril tak peduli meskipun ia harus meninggalkan Megawati. Ia tak mau mundur dari kabinet karena takut kehilangan fasilitas. Hal yang sama juga pernah dilakukannya pada Presiden Abdurrahman Wahid. Yusril, seperti juga SBY, sama-sama meninggalkan Gus Dur yang telah kehilangan popularitas. Dengan cara itu, mereka bisa loncat pagar ke pemerintahan berikutnya. Gus Dur akhirnya mereka tusuk dari belakang. Inilah politisi bajing loncat. Sikap PBB soal syariat Islam sangat diwarnai arah politik sang Ketua Umum. Ketika angin bertiup keras untuk pro syariat Islam, maka PBB jadi seperti partai yang militan syariat Islam. Tapi, kalau sang Ketua Umum berubah haluan, maka syariat Islam tak penting lagi. Syariat Islam memang jadi barang dagangan Yusril untuk dagang sapi. Tak heran, belakangan Yusril pun mendadak merubah haluan PBB dengan mengatakan bahwa PBB tidak lagi mendukung pemberlakuan syariat Islam. Ini terjadi setelah banyak orang terutama dari Partai Demokrat mempertanyakan sinyalemen Sekjen PBB, Malam Sambat Kaban (akrab dipanggil MS Kaban), yang ingin memperjuangkan syariat Islam di Indonesia. Malam Sambat berdiam seribu basa dan akhirnya mendukung langkah Yusril yang mencoba berkompromi dengan Partai Demokrat. Kerjasama dengan PBB sebenarnya ironis. Para pendukung SBY selalu mengatakan bahwa partai itu tidak penting. Yang penting adalah tokoh-tokohnya yang tampan, manis budi bahasanya dan elok laku. Nah, apakah Yusril termasuk kriteria itu? Yang jelas, dibalik itu, SBY ditopang oleh serigala-serigala buas yang sanggup berdagang sapi sambil bermain akrobat politik. Serigala-serigala ini sanggup pula membunuh, mencabik-cabik sekaligus memakan sapi yang diperdagangkannya sendiri. Muka tampan, tutur kata dan elok laku bukan jaminan bahwa dia bisa membawa dan mengembangkan serta mengawal demokrasi seperti yang

kita idam-idamkan bila dipimpin oleh pemimpin yang didukung oleh orang-orang yang berperangai serigala. Bagaimana tidak, bukankah pejabat direktorat imigrasi yang mencoblosi surat suara para pemilih warga negara Indonesia di Tawao adalah aparat Menkeh dan HAM sehingga perolehan suara Jenderal SBY menjadi 100% ?!?! Demikian pula dengan perolehan suara Jenderal SBY di Lembaga-lembaga Pemasyarakatan (LP). Akan tetapi, kecurangan-kecurangan ini, walau pernah diberitakan, tidak pernah diangkat menjadi wacana publik media massa yang seharusnya netral. Kecurangan pemilu yang didalangi oknum aparat birokrasi Depkeh HAM pimpinan Yusril seperti tenggelam begitu saja. Sementara itu kecurangan yang terjadi di Pesantren Az-Zaitun setiap hari menjadi berita besar sampai-sampai diadakan pencoblosan ulang. Sekali lagi, mengapa kecurangan di Tawao hanya sekelibat saja diberitakan orang? Begitu juga kecurangan di LP-LP? Sehingga orang hanya samar-samar menduga-duga adanya kecurangan. Ini juga disebabkan akibat pembiaran yang dilakukan oleh KPU terhadap kasus-kasus tersebut. Di masa pemerintahan Megawati, ternyata Yusril tetap kerjanya hanya memperkaya diri. Sebuah perusahaan yang bernama PT. Domba Mas milik seorang Tionghoa asal Medan konon mempunyai masalah tersangkut hutang di BPPN sejumlah Rp. 1,2 Triliun. Yusrilpun bekerja sama dengan Malam Sambat Kaban melalui seorang pengusaha terkenal yang juga bendahara PBB Gerard Jakobus. Gerard yang memang dikenal dekat dengan Nelloe, Direktur Utama Bank Mandiri, menghubungi Nelloe untuk kemudian oleh Bank Mandiri hutang itu ditebus dengan nilai Rp. 800 milyar. Bank Mandiri membayarnya dengan mengeluarkan Obligasi Rekap yang dikeluarkan oleh pemerintah guna mencukupi capital adequacy ratio. Tak hanya itu, PT. Domba Mas kemudian diberi tambahan modal Rp. 300 milyar sehingga hutang PT. Domba Mas kembali menjadi Rp. 1,1 triliun. Pantaslah, dengan contoh perilaku itu, dalam temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pimpinan Satrio Billy Judono, Depkeh HAM adalah departemen paling korup kedua. Begitulah cara-cara yang dilakukan oleh tokoh-tokoh politisi yang mengelilingi Jenderal SBY. Bisa kita bayangkan bagaimana jadinya bila orang-orang seperti Yusril Ihza Mahendra kemudian menjadi Menteri Utama dalam Kabinet SBY seandainya kelak ia menjadi Presiden?

Belum menjadi Presidenpun para pengikut Jenderal SBY sudah mulai memperjualbelikan kedudukan. Mereka yang ingin menduduki jabatan, katakanlah Direktur BUMN atau Dirjen, bisa menghubungi seorang pengikut SBY bernama Ibu Dewi yakni seorang paranormal yang banyak memberikan nasehat spiritual bagi SBY. Ibu Dewi kemudian akan mengajak orang tersebut menemui Jenderal (Purn) M. Yasin atau Jenderal (Purn) Usman S. sebelum dipertemukan dengan SBY, untuk melakukan pengecekan mengenai latar belakang calon tersebut. Setelah semuanya dianggap baik maka sang calon akan dipertemukan dengan SBY yang pada prinsipnya akan memberikan beberapa patah kata dukungan dan harapan bila yang bersangkutan menduduki jabatan yang sedang diincarnya. Setelah selesai bertemu SBY, maka begitu keluar dari ruang pertemuan, yang bersangkutan akan ditagih paling sedikit Rp. 5 miliar, tergantung posisi apa yang sedang diincar oleh yang bersangkutan dengan alasan dana kampanye. Akan tetapi berapa banyak yang disetor untuk dana kampanye dan berapa banyak yang masuk kantong Ibu Dewi dan kawan-kawan hanya Tuhan yang tahu. Begitulah cara kerja SBY yang memang terkenal sangat ambisius akan tetapi tidak ingin terlihat kotor tangannya. Itu pula sebabnya dia mengangkat kaki tangan yang bersedia mengotori tangan-tangan mereka demi kepentingan ambisi pribadi SBY. SBY diperlakukan sebagai priyayi Jawa yang didukung oleh para punggawa dan punakawannya. Jadi bagi mereka yang ingin menghubungi Jenderal SBY harus melalui barisan pengawal dan tentunya harus pula menyediakan ongkos agar bisa benar-benar sampai kepada priyayi Jawa ini. Tentunya itupun bila yang ingin berhubungan mempunyai kenalan yang bisa masuk ke dalam lingkar dalam Jenderal SBY. Semakin jauh dari lingkar dalam semakin mahal ongkos yang harus dibayarkan. Kita sering mendengar pada zaman Orde Baru, orang baru sukses kalau punya akses pada kekuasaan atau pejabat yang berkuasa. Jabatan yang seharusnya menjadi amanah dalam melayani masyarakat telah berubah menjadi kekuasaan yang bisa saja diperjualbelikan. Bisa dipastikan, bila Jenderal SBY berkuasa hal semacam ini tidak akan berkurang malah mungkin menjadi-jadi, lha wong belum jadi saja sudah begitu kok. Mungkinkah dari sikap seperti ini lahir seorang pemimpin yang demokratis? Percayalah, dia hanya akan duduk di singgasananya tanpa peduli pada rakyat kecil apalagi kepentingan nasional Indonesia.

Apa buktinya? Lagi-lagi contoh kecil saja. Usai bersilaturahmi ke rumah SBY pasca pemilu legislatif, Gus Dur sungguh kesal dengan SBY yang arogan. SBY mau ketemu Gus Dur asal Gus Dur yang datang ke rumahnya yang sangat mewah di Puri Cikeas Indah, Cibubur. Itupun Gus Dur harus menunggu beberapa saat sebelum ditemui SBY. Habis pertemuan, Gus Dur berkomentar, Durung dadi presiden kok wis koyo ngono. (Belum jadi presiden saja kok sudah seperti itu).

BAB 6

SBY: BONEKA JENDERAL- JENDERAL BERMASALAH

Kalau main banyak-banyakan jenderal, Markas Besar (Mabes) TNI di Cilangkap, Jakarta Timur, agaknya, bisa kalah dari Tim Sukses Susilo Bambang Yudhoyono Yusuf Kalla. Periksalah kantor Tim Sukses itu di Jalan Blora, atau di beberapa tempat lainnya di Jakarta (kabarnya Tim Sukses SBY terserak di 6 kantor di Jakarta), pasti isinya jenderal melulu. Di situ ada Jenderal (Purn.) Eddy Sudradjat (bekas Menhankam/Pangab), Jenderal (Purn.) Feisal Tanjung (bekas Pangab), Letjen (Purn.) Syarwan Hamid (bekas Kassospol ABRI), Letjen (Purn.) M. Maruf (bekas Kassospol ABRI), Letjen Sudi Silalahi, Mayjen (Purn.) T.B.Silalahi, Mayjen (Purn.) Syamsir Seregar, Mayjen (Purn.) Achdari, Mayjen (Purn.) Syamsu Djalal, Mayjen. (Purn.) M.Yasin, Mayjen (Purn.) Usman S, Brigjen (Purn.) Robik Mukav, dan banyak lagi yang lain, kalau mau disebut satu persatu.

Apalagi kalau digabung dengan para jenderal yang ada di bawah Tim Sukses Wiranto. Setelah keok dalam pemilu Presiden putaran pertama, rupanya Jenderal (Purn.) Wiranto, bergabung ke SBY. Itu bisa dipahami, mereka tentu merasa lebih pas karena sesama mantan militer. Nah, selain Wiranto yang punya empat bintang, di dalam kelompok ini ada Fachrurazi, bekas WaPangab yang juga berbintang empat. Ada lagi Sutiyoso yang Letjen (Purn.), Gubernur DKI Jakarta. Meski resminya ia tak bergabung, tapi diam-diam Sang Gubernur itu adalah pendukung berat SBY. Dengan puluhan jenderal bergabung bersamanya, wajar kalau SBY - Yusuf Kalla, sejak pagi-pagi sudah mengatakan keengganannya berkoalisi dengan partai-partai. Kelompok ini agaknya sangat percaya diri, dengan bermodalkan segerobak jenderal itu, mereka bisa dengan mudah mengalahkan Megawati yang cuma seorang perempuan. Buat apa lagi bantuan partai-partai. Malah Partai Demokrat, yang secara resmi mencalonkan SBY Kalla sebagai Presiden/Wapres, belakangan ini perannya sudah tergusur, dan sudah tak diurusi oleh SBY. Sampai-sampai untuk membayar rekening telepon kantor DPP-nya saja, partai itu kerepotan. Belum lagi nasib partai itu di daerah-daerah, kebanyakan tak dilibatkan dalam kerja besar Pemilu Presiden ini. Kalau seusai Pemilu legislatif Mei lalu, para tokoh partai itu, seperti Ketua Umumnya S. Budi Santoso, atau Ketuanya Sys NS, sering tampil berkoar-koar, memuja-muja SBY di koran dan TV, kini nama-nama itu menghilang, karena mereka tak lagi diberi peran oleh SBY. Jelaslah, SBY tak butuh orang partai. Dia sudah merasa cukup dengan dukungan para jenderal, persis dengan perilaku Pak Harto, di awal Orde Baru. Maka sistem komando pun berjalan di sana, dengan SBY sebagai pemegang komando tertinggi. SBY tak bisa diprotes, semua harus tunduk dan patuh kepadanya, sebagaimana halnya yang terjadi di dalam struktur komando militer. Sering sekali orang-orang diganti atau digeser, atau diberhentikan dari Tim Sukes, tanpa orang itu sendiri tahu apa sebabnya ia dicopot. Malah ada yang tak tahu sama sekali bahwa jabatannya sudah digantikan orang lain. Pokoknya terserah kemauan SBY saja. Maka sekarang, SBY betul-betul menjadi sentral. Semua orang berebutan mengerubunginya ke mana saja. Ada orang yang baru bergabung, seperti Lutfi, pengusaha yang pemilik Koran Republika, langsung saja mendempet SBY siang-malam. Ia pun menjadi orang penting di sana, tanpa pernah

diketahui kontribusinya. Paling-paling sumbangan duit. Soalnya, Lutfi yang tak lain adalah mantu Hartarto, eks menteri Orba yang paling kaya karena pintarnya korupsi, pastilah menyumbangkan banyak uang mertuanya kepada SBY. Mereka yang mengerubuti SBY itu berharap akan menjadi menteri kalau SBY terpilih menjadi Presiden. Ada 300-an orang di sekitar SBY yang sudah berharap menjadi menteri, kata seorang anggota Tim Sukses SBY. Dan mereka itu semua sudah memberi uang untuk keperluan kampanye. Karena itulah, SBY menolak tuntutan para pengamat agar ia mengumumkan kabinetnya sebelum Pemilu Presiden. Kabinet kan paling banyak 30 orang. Kalau diumumkan yang 300 orang bisa mengamuk, karena namanya tak disebut, kata anggota Tim Sukses itu. Tapi kalau dimasukkan semua, mana ada di dunia ini kabinet dengan 300 menteri. Tak hanya membuka lowongan calon menteri, malah untuk calon dirjen dan direktur utama BUMN sudah mulai direkrut. Syaratnya, orang itu menyumbang dana kampanye konon sedikitnya Rp 5 milyar lalu dipertemukan dengan SBY. Tapi mereka cuma kelompok penggembira SBY. Tim intinya adalah para jenderal tadi, apalagi para jenderal yang terlibat dalam kasus penyerbuan kantor PDI, 27 Juli 1996 (Kudatuli). Mereka yang terlibat peristiwa 27 Juli itu, adalah orang yang paling dekat dengan SBY, mungkin karena mereka merasa senasib: terancam pengadilan HAM. Mereka adalah Faisal Tanjung, Syarwan Hamid, Syamsir Siregar, Sutiyoso, dan tentu SBY sendiri. Ketika peristiwa itu terjadi, SBY adalah orang yang terlibat dalam rapat perencanaan penyerbuan. Dia pula terlihat memimpin pasukan di lapangan, dengan pakaian tempur. Peristiwa itu sendiri menyebabkan jatuhnya banyak nyawa warga sipil, pendukung PDI Megawati. Dari cerita ini sangat jelas, bila SBY terpilih menjadi Presiden, pemerintahan militer model Orde Baru Pak Harto akan berulang kembali. Partai-partai akan dibantai belum terpilih saja, SBY sudah menunjukkan sikap anti-partai dan hobinya memecah-belah partai-partai dengan mengerahkan berbagai operasi intelijen model Ali Moertopo dulu. Padahal tanpa partai tak ada demokrasi. Lalu kita akan kembali ke zaman otoriter, dengan segala pelanggaran HAM dan korupsi. Karena itu, yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan demokrasi yang mulai tumbuh selama enam tahun ini adalah dengan jangan pilih SBY.

BAB 7

SBY: ANTEK AMERIKA SERIKAT

Sejak awal Amerika Serikat (AS) selalu menginginkan Indonesia dipimpin oleh seorang yang bisa nurut pada keinginannya. Dulu Presiden Soekarno dijatuhkan karena terlalu dekat dengan Blok Soviet. Soeharto yang mulanya anak emas AS, juga dijatuhkan karena tak mau tunduk pada AS soal pembelian pesawat F16, soal IMF dll. Habibie dianggap terlalu berorientasi Jerman atau Eropa serta dekat dengan kalangan Islam melalui Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Abdurrahman Wahid yang awalnya didukung, belakangan juga dijatuhkan dengan ditahannya bantuan dana pada Indonesia disamping kekonyolannya sendiri. Megawati dianggap bisa diatur oleh AS terutama soal ekonomi, tapi belakangan dianggap tak mampu mewujudkan keinginan AS untuk menangkapi aktivis-aktivis Islam seperti Ustadz Abu Bakar Baasyir. Amerika sebagai satu-satunya super power perlu boneka yang tunduk padanya. Apalagi Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. AS yang kini dikuasai pemerintahan George Walker Bush yang sangat konservatif perlu orang loyal yang bisa melaksanakan agendanya: Perang melawan terorisme. Pilihan jatuh pada SBY, seorang militer yang telah lama dibina AS antara lain pernah dididik di Airborn dan Ranger (1976), Infantery Officer Advance Course (IOAC) tahun 1982-1983 serta pendidikan sekolah staf komando di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991). Di mata AS, Presiden Megawati masih menyimpan nasionalisme yang diwarisi bapaknya, Soekarno. Bahkan belakangan

Megawati dianggap mulai membangkang kepada AS karena berani membeli pesawat Sukhoi buatan Rusia. Hubungan SBY dan pemerintahan Bush semakin intensif sejak 2003. SBY bahkan diundang ke New York untuk menghadiri seminar Counter Terrorism. Sudah menjadi pengetahuan umum, pemerintahan Bush dikuasai kelompok Zionis Israel dan Kristen fundamentalis. Kelompok Zionis dipimpin oleh Paul Wolfowitz yang pernah menjadi Duta Besar AS di Indonesia. Sedangkan kelompok fundamentalis Kristen diwakili oleh Wakil Presiden Dick Cheney dan Bush sendiri. Selain itu, mereka punya ambisi menguasai minyak di Timur Tengah dan membendung arus Islam dengan menduduki Irak. Kebijakan kelompok di pemerintahan Bush ini sebenarnya tidak disukai oleh warga AS yang umumnya moderat. Karena itulah, kini penantang Bush dalam pemilihan presiden AS, John Kerry, makin populer karena Kerry selalu mengkritik Bush soal Irak. Dukungan Bush pada pasangan SBY-Jusuf Kalla makin terkuak oleh koran terbitan Singapura, Business Times edisi 10 April 2004. Koran itu mengutip sumber di pemerintahan Bush yang menyatakan bahwa AS mendukung Kalla mendampingi SBY untuk membentuk koalisi yang tidak terkalahkan. Di mata Bush, SBY adalah sosok yang kredibel mendukung kebijakan Bush soal perang melawan terorisme. Sebelumnya, Koran The Asian Wall Street Journal (AWSJ) juga menulis tajuk yang isinya senada. AWSJ menilai SBY sebagai tokoh yang tegas dan pendukung perang melawan terorisme yang digelar Bush. Seiring dengan berita-berita itu, di Jakarta pun beredar spekulasi di kalangan investor bahwa jika SBY yang menang, dolar akan dipatok turun di bawah Rp. 8.000 oleh otoritas moneter internasional. Dalam situs Al Jazeera.Net, 4 Juli 2004, terdapat profil SBY tulisan Paul Dillon. Digambarkan dengan jelas bagaimana SBY adalah seorang purnawirawan yang sangat pro AS. I love the United States, with all its faults. I consider it my second country (Saya mencintai Amerika Serikat, dengan segala kesalahan-kesalahannya. Saya menganggap Amerika adalah Negara kedua saya.) Dukungan terhadap SBY juga datang dari Paul Rowland, pimpinan sebuah LSM National Democratic Institute for International Affairs (NDI) yang selalu membuat jajak pendapat memenangkan SBY. Rowland mengatakan bahwa SBY firm leader, but not an iron fist (pemimpin yang tegas dan tidak bertangan besi). Pujian ini tentu berlebihan jika melihat sikap SBY yang peragu dan tak mampu mengambil

keputusan. SBY memang tidak bertepuk sebelah tangan. Sikap Washington sangat hangat terhadapnya dan hal itu terbukti ketika ia melakukan kunjungan kerja ke AS pada September 2003. Harian Indopos (Minggu, 21 September 2003) memberitakan, kendati badai Isabel melumpuhkan ibukota AS, kunjungan kerja SBY tetap jalan. Di tengah-tengah kondisi darurat yang mengakibatkan kantor-kantor pemerintahan tutup dan fasilitas transportasi umum terhenti, pertemuan para petinggi AS dengan SBY tetap dilakukan. Koran Indopos adalah bagian dari Jawa Pos Group pimpinan Dahlan Iskan yang sekarang terang-terangan mendukung SBY dalam pemilihan presiden putaran ke-2. Pada kunjungan ke AS tersebut, SBY benar-benar mendapat perlakuan istimewa. Dalam jamuan makan malam khusus Asosiasi Persahabatan AS-Indonesia (USINDO Society) pada Jumat, 19 September 2003, SBY disambut meriah. Para petinggi AS yang berbicara dengan SBY pada kunjungan itu antara lain; Menteri Luar Negeri Collin Powell, Wakil Menteri Pertahanan Paul D. Wolfowitz dan Direktur FBI Robert S. Mueller. Mereka menerima SBY di kantor masing-masing. Pertemuan berlangsung produktif, kata SBY kepada wartawan usai menjalani rangkaian pertemuan. Jamuan makan malam USINDO yang dihadiri 150 orang benar-benar istimewa. Hadir Paul Wolfowitz, Wakil Menteri Luar Negeri AS untuk Asia Pasifik James Kelly, Dubes AS untuk RI Ralph Skip Boyce dan Co Chair Board of Trustee USINDO yang juga bekas Dubes AS di Jakarta Edward Masters. Di luar undangan terbatas, mereka yang hadir harus memiliki karcis yang dijual bervariasi antara 2.500 dolar AS hingga 5.000 dolar AS untuk satu meja atau berkisar 150 dolar AS 1000 dolar AS untuk perorangan. Karena yang datang Paul Wolfowitz dkk, tak sedikit kalangan pengusaha Yahudi yang turut serta sehingga meskipun badan Isabel sedang mengamuk, ruang pertemuan Willard tetap penuh sesak. Wolfowitz yang dikenal sebagai arsitek penjajahan AS di Irak, mengajak seluruh hadirin melakukan toast untuk SBY. Berdiri bersulang dengan mengangkat gelas berisi minuman beralkohol anggur dan sampanye dimaksudkan orang terkuat di Pentagon ini sebagai penghormatan bagi SBY. Mari kita melakukan toast kepada Susilo Bambang Yudhoyono yang ikut menjaga transisi demokrasi untuk sebuah Negara Indonesia yang lebih baik, kata Wolfowitz sambil berdiri tegak dari

sisi mejanya. Hadirin ikut berdiri dan mengangkat gelas masing-masing kemudian mengadukan gelas-gelas mereka sehingga terdengar bunyi gemerincing sebelum diminum. SBY tampak terharu bahagia menerima penghormatan ini dengan anggukan kepala tanda terima kasih. Dalam pidato 25 menit malam itu, SBY mendapat applaus (tepuk tangan) penonton hingga 7 kali terutama ketika ia menekankan komitmen Indonesia memberantas teroris Islam. Saya berada di sini hari ini untuk menegaskan lagi solidaritas Indonesia dengan Amerika Serikat dalam koalisi global melawan terorisme, katanya disambut tepuk tangan panjang hadirin. Komitmen pemerintahan Bush yang pro Israel itu ternyata tak sebatas retorika. Diam-diam, operasi penggalangan dana ternyata telah dimulai sejak tahun 2002. Ada dua organisasi besar yang melakukan fundraising (pengumpulan dana) bagi SBY dan Partai Demokrat yakni AIPAC (American-Israeli Public Affairs Committee atau Komite Amerika-Israel untuk Urusan Publik) dan ADL (Anti-Defamation League atau Liga Anti Penistaan). Menurut mantan Senator Paul Findley, kedua organisasi ini merupakan dua organisasi lobi Yahudi yang paling berpengaruh terhadap Gedung Putih (White House). Sumbangan dana seperti ini memang diumumkan di AS sehingga sebagian mahasiswa Indonesia di sana dengan mudah mendapatkan informasi. Di Jakarta, kini telah berdiri pula Indonesian-Israeli Public Affairs Committee (IIPAC) yang dipimpin seorang agen Mossad. Pertemuan-pertemuan rahasia SBY dan kubu pemerintahan Bush tak sebatas di Washington tapi juga di Jakarta dan Bali. Di Jakarta, SBY biasanya bertemu Wolfowitz di Hotel Regent (kini Four Seasons Hotel). Sudah berbulan-bulan SBY membuka kamar di sana selain untuk menginap juga untuk pertemuan yang bersifat rahasia. Sudah menjadi rahasia umum, sejak bom meledak di Marriott, Hotel Four Seasons jadi alternative tempat menginap orang-orang Amerika termasuk Wolfowitz dan Collin Powell. Bahkan peringatan Hari Kemerdekaan AS, 4 Juli, dilakukan di hotel tersebut. Melihat sepak terjang SBY yang terlalu tunduk pada AS, banyak pihak khawatir Indonesia akan menjadi negara boneka AS, seperti Filipina atau Pakistan. Inilah juga kekhawatiran kalangan Islam dan kalangan nasionalis yang memang setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalangan umat Islam mewaspadai SBY akan menjadi antek AS

dengan isu perang melawan terorisme yang akhirnya mengerdilkan umat Islam seperti zaman opsus (operasi khusus) tahun 1970-an. Apalagi, orang-orang di sekitar SBY terutama Partai Demokrat adalah kalangan yang mayoritas non muslim dan sebagian di antara mereka fundamentalis seperti TB Silalahi. Sedangkan kaum nasionalis, melihat SBY akan menggadaikan Indonesia pada AS tidak hanya secara ekonomi tapi juga politik dan sosial budaya. Pasangan capres Amien Rais yang dikenal nasionalis, Siswono Yudohusodo, mengatakan bahwa SBY adalah satu-satunya capres yang dipanggil ke Bali oleh Menlu AS Collin Powell. Powell datang ke Bali dalam rangka ASEAN Regional Forum (ARF) atau forum regional ASEAN yang membahas masalah keamanan ASEAN pada awal Juli 2004 beberapa hari sebelum pilpres pertama. Kenapa capres lain tak diundang? Jawabannya, memang AS sudah memutuskan mendukung SBY. Siswono juga melihat SBY tak menjaga martabat bangsa karena selalu datang bila dipanggil mantan Presiden AS Jimmy Carter ketika Carter berkunjung ke Indonesia menjelang pemilihan presiden tahap pertama. Pertemuan Collin Powell dan SBY di Bali memang dilakukan diam-diam. SBY berjanji akan memberantas terorisme di Indonesia antara lain menangkapi tokoh-tokoh yang dianggap fundamentalis dan radikal. AS menganggap Megawati terlalu kaku dan lamban memberantas kelompok-kelompok Islam radikal. Bahkan Duta Besar Ralph Boyce sampai-sampai harus turun tangan agar Ustadz Abu Bakar Baasyir tetap dipenjara walaupun alasan hukumnya tidak kuat. Namun yang pasti, pertemuan Powell-SBY di Bali semakin menjadi isyarat bahwa AS mendukung SBY. Yang lebih kurang ajar, Megawati sama sekali tak dikunjungi oleh Powell seolah-olah sudah bukan presiden lagi. Alasan lain kenapa SBY begitu dicintai oleh pemerintahan Bush adalah soal Undang-Undang (UU) Anti Terorisme pesanan AS. UU ini disusun oleh SBY sebagai Menko Polkam bersama Menkeh HAM Yusril Ihza Mahendra. UU yang berlaku surut untuk kasus bom Bali dan Abu Bakar Baasyir baru-baru ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena melanggar UUD 1945. Harusnya atas kasus memalukan ini, SBY dan Yusril dimintai tanggung jawab. Akhirnya, yang menanggung malu adalah pemerintahan Megawati. Adalah tugas rakyat dan terutama kaum nasionalis dan Islam untuk

bersatu agar Indonesia tidak jatuh ke tangan asing (AS) melalui presiden yang bisa mereka atur seenaknya. Para elit politik yang lebih terdidik juga mestinya lebih waspada terhadap manuver-manuver Dubes AS Ralph Boyce yang senantiasa aktif menemui para aktivis partai, pengamat, wartawan agar mendorong dan mendukung SBY. SBY adalah kuda troya kekuatan asing, antek Bush dan perpanjangan kepentingan kapitalis global sekaligus Zionis Israel. Sudikah kita dipimpin oleh presiden yang antek Amerika? Tentunya tidak, karenanya jangan pilih SBY.

BAB 8

SBY: REKAYASA OPINI, POLLING DAN DIDUKUNG PELACUR INTELEKTUAL

Kehadiran figur SBY dan Partai Demokrat memang fenomenal. Pada pemilu legislatif 5 April 2004, PD secara spektakuler memperoleh 7,45 suara dan 10% kursi parlemen. Darimanakah datangnya? Harus diakui, media massa terutama televisi adalah alat yang paling efisien untuk memoles popularitas. SBY tahu persis arti televisi bagi kampanye citra dirinya. Waktu masih menjadi Menko Polkam terutama sejak Januari 2003, iklan SBY sudah muncul dan mendominasi stasiun tv. Iklan itu mengajak pemilu yang damai, menjaga keamanan dan ketertiban. Dengan gaya kebapakan di warung Tegal, SBY sebagai Menko Polkam mengajak rakyat agar damailah dalam Pemilu. Ini jelas iklan terselubung bagi kampanye dirinya. Kenapa bukan Kapolri atau KPU yang menghimbau? Inilah skenario besar yang dimainkan SBY sejak awal. Dengan memakai

dana Kementerian Polkam, ia berhasil menaikkan pamornya melalui iklan televisi. Iklan itu berlebihan dan tidak etis karena posisi Yudhoyono tidak hanya sebagai Menteri Koordinator tetapi juga calon Presiden, kata Pramono Anung Wibowo, Wakil Sekretaris Jenderal PDIP ketika itu. Tahun 2002, nama SBY sebenarnya masih belum terlalu diperhitungkan. Jajak pendapat yang dilakukan Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS) menempatkan SBY di peringkat ke-4. Namun dalam survey CESDA (Center for the Study of Development and Democracy), SBY menempati orang paling layak jadi presiden. Demikian pula popularitas dia terangkat ketika harian Kompas menempatkannya pada urutan pertama tokoh yang paling mampu jadi presiden. Hasil-hasil jajak pendapat, survey atau polling itu memang menambah SBY makin percaya diri, sampai-sampai selalui dibawa di dalam mobil dan dalam kunjungan ke berbagai daerah. Untuk makin mendongkrak popularitasnya, dalam tiap kunjungan ke daerah sebagai menteri, ia juga menghadiri temu kader Partai Demokrat. Meskipun waktu itu SBY masih shopping alias lihat-lihat dulu kendaraan partai mana yang akan dipilih. Yang pasti, Kantor Kementrian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Polkam) adalah markas tim suksesnya. Untuk menjajagi kansnya jadi presiden, SBY membentuk tim angket Kementrian Polkam dan sejak Oktober 2003, 19 staf Menko Polkam anggota tim monitoring evaluasi dan pengamanan pemilu turun ke 24 provinsi dan 24 kabupaten/kota. Tim ini dipimpin Sekretaris Menko Polkam, Letjen Sudi Silalahi, tim sukses bayangan SBY. Daerah yang disurvey antara lain Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau dan Irian Jaya. Angket terselubung ini dikeluarkan melalui Keputusan Menteri Nomor Kep-50/Menko/Polkam/10/2003 tentang pembentukan tim. Diluncurkan dengan dalih mencari tahu kesiapan rakyat untuk menghadapi pemilu legislatif 5 April 2004. Yang ditanyakan adalah sosialisasi sistem pemilu, jumlah kursi legislatif, cara pendaftaran, penetapan peserta pemilu, pengajuan calon anggota DPR, DPRD I dan II serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pertanyaan juga diajukan pada KPU daerah, gubernur, bupati, para pejabat daerah dan kepala kepolisian setempat. Terus terang kami agak curiga, kata anggota KPU di kota Makassar. Langkah kampanye terselubung SBY ini sempat menggusarkan

pentolan PDIP. Ketua Fraksi PDIP di DPR, Tjahjo Kumolo, mengatakan seharusnya SBY jangan menggunakan jalur birokrasi untuk popularitas pribadinya, Seharusnya kendaraannya Partai, bukan jalur birokrasi. Patut saja mereka jengkel, SBY diangkat oleh Megawati menjadi pembantunya, tapi kemudian menggunakan cara-cara curang untuk kepentingan ambisi politiknya. Apa yang dilakukan SBY jelas sebuah korupsi dan manipulasi dana rakyat. Seolah-olah kunjungan kerja Menkopolkam, tapi diam-diam menggalang birokrasi dan tokoh-tokoh masyarakat untuk persiapan Partai Demokrat dan pencalonan dirinya jadi presiden. Megawati sempat mengatakan tentang posisi SBY yang harus jelas dalam pencalonan presiden. Jadi, hitam putihnya harus tahu, siapa yang harus cuti kampanye segala, kata Mega. Bahkan dalam sebuah rapat kabinet bulan Januari 2004, Megawati mensinyalir perlunya Menko Polkam baru karena dirinya, Hamzah Haz dan Yusril akan cuti kampanye. Pak Yudhoyono kan ikut juga, ya? kata Mega menyelidik. Inilah kali pertama, Mega menempatkan SBY sebagai rival politiknya. SBY tampak gugup didadak Megawati di depan forum. Namun SBY tetap saja plintat plintut, tak mau tegas dari awal. Mungkin dengan tak mau melepas jabatan Menko Polkam, ia bisa menguras dana Kementerian Polkam untuk iklan dan kunjungan ke daerah-daerah. Sekali lagi, bukankah ini bentuk korupsi? Sayangnya, aparat PDIP juga tak sabar menghadapi keculasan SBY. Blunder terbesar dilakukan suami presiden, Taufik Kiemas, pada 2 Maret 2004 yang menyerang SBY sebagai anak kecil. Masak, jenderal bintang empat kayak anak kecil begitu, kata Taufik pada wartawan di sela-sela pembekalan juru kampanye PDIP di Jakarta. Pernyataan TK (begitu panggilan akrab Taufik) adalah hasil provokasi yang dijalankan Sudi Silalahi. Sudi menyebarkan ke berbagai kalangan termasuk wartawan bahwa SBY sudah tak dilibatkan lagi dalam pengambilan keputusan nasional. SBY misalnya tak diikutkan dalam Tim Pemantau Persiapan Akhir Pemilu yang sejak 26 Februari 2004 berkeliling ke daerah-daerah. Tim ini dikepalai Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo. Pengucilan ini dimanfaatkan Sudi untuk memancing amarah orang-orang Mega dan berhasil. Meskipun blunder, TK sebenarnya pantas berang. Dalam wawancara dengan Majalah Tempo pertengahan Februari 2004, SBY berkata, Soal pencalonan presiden, saya sudah firm (pasti). Tapi, SBY rupanya kurang ksatria, harusnya ia lapor pada presiden atau sekalian

mengundurkan diri. Serangan TK yang tak terkendali itu dimanfaatkan oleh SBY dan timnya untuk makin mendongkrak popularitas. SBY menempatkan diri sebagai orang yang teraniaya, tertindas, terkucil dan tak pernah diajak, persis seperti Megawati dulu teraniaya oleh rezim Soeharto. Akrobat politik SBY berhasil menciptakan opini yang menguntungkan dirinya. Ia pun menulis surat pada Presiden Megawati bahwa ia akan mundur dan ketika itu masih menunggu jawaban. Menggambarkan penantiannya atas jawaban presiden, SBY lalu mendendangkan intro lagu Jamrud: Tigapuluh menit, kita di sini, tanpa suara Inilah sandiwara terbesar SBY. Tanggal 9 Maret ia mundur dan diumumkan ke depan publik. Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno yang diangkat menjadi ad interim Menko Polkam mengatakan bahwa cara-cara SBY itu tidak etis. Pengunduran diri harusnya langsung pada Presiden, tak usah pakai surat dan tidak perlu diumumkan ke publik. Mundur kok diumumkan, mbok langsung saja sebab menteri bertanggungjawab kepada presiden dan yang menunjuk menteri adalah presiden, ujar Hari, senior SBY dari AMN angkatan 1966. Hari Sabarno benar, masalah pengunduran diri sebenarnya masalah sederhana bahkan bisa diselesaikan empat mata. Namun itulah, SBY harus bersandiwara menjadi orang yang teraniaya (innocent victim) untuk mendapat simpati rakyat terhadapnya. Sandiwara sinetron semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Dalam pemilu di Taiwan Maret 2004, politisi Chen Shui-bian sengaja menyuruh orang menembak dirinya, sehingga rivalnya Lien Chan yang semula leading jadi kalah di pemilu karena dituduh hendak menghabisi lawan politiknya. Siapakah para pendukung SBY? Dukungan dana luar negeri antara lain melalui American-Israeli Public Affairs Committee (AIPAC) dan Anti-Defamation League (ADL). Dukungan dana dalam negeri antara lain dari jaringan pengusaha hitam seperti S.P.M Yong, adik Aseng, seorang yang mengelola perjudian KUDA LARI yang beredar di Jawa Tengah setiap hari. Pengusaha lain adalah Dirut PT Jakarta International Expo, Hartati Murdaya dan pemilik grup Lippo, James Riyadi. James yang belakangan jadi misionaris memang penyumbang besar Partai Demokrat karena partai itu banyak diisi tokoh-tokoh Kristen fundamentalis dibawah kendali TB Silalahi. Dukungan kalangan intelektual datang dari gang Ohio Connection,

atau orang-orang yang lulus dari Ohio University di AS. Sekarang ini memang banyak lulusan Ohio yang tampil di televisi, sebut saja Dr. Salim Said, Dr. Denny JA, DR. Saiful Mujani, Dr. Bahtiar Effendi, Dr. Andi Malarangeng. Mereka dibina oleh Prof. R William Liddle, seorang ahli Indonesia (Indonesianis) yang sudah lama bekerja untuk dinas rahasia AS, CIA sebagai konsultan dan analis. Semua diplomat AS yang bertugas di Indonesia harus melalui workshop yang dilakukan Liddle. Diantara Koneksi Ohio yang dipercaya betul oleh SBY dan jadi tim sukses bayangan adalah Denny JA, Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia (LSI). Lembaga yang dipimpin Denny merupakan salah satu kunci popularitas SBY. Seolah-olah kelihatan independen, hasil-hasil survey LSI selalu menempatkan SBY nomor satu. Lebih hebat lagi, polling itu dipublikasikan di TV baik melalui siaran khusus Metro TV yang telah dibeli jam tayangnya maupun lewat teks berjalan (running text) di beberapa TV. Penayangan hasil survey sebenarnya jauh lebih berpengaruh ketimbang iklan dan memang dimaksudkan untuk mengarahkan rakyat memilih SBY. Tentu saja rakyat cenderung ikut yang menang (bandwagon effect). Tapi, polling LSI ini memang tak ilmiah. Dalam salah satu polling, LSI mula-mula memprediksi SBY akan menang satu putaran dengan suara 60%. Denny dan rekannya Saiful bicara di mana-mana bahwa SBY pasti menang satu putaran. Belakangan, saat berlangsung kampanye Pilpres putaran I, mereka diam-diam menurunkan prosentase predisksi SBY jadi 49%. Setelah dihitung KPU, realitasnya ternyata cuma 33,5 %, meleset jauh dari perkiraan awal 60%. Jadi, LSI telah membesar-besarkan SBY tanpa petanggungjawaban ilmiah. Perilaku Denny merupakan pengkhianatan intelektual, bahkan pelacuran intelektual. Sebagai tim sukses, tidak dibenarkan ia melakukan survey yang seolah-olah independen. Sampai-sampai beredar SMS bunyinya: Diam-diam LSI bikin survey tentang siapa calon presiden Amerika yang paling populer. Di luar dugaan, ternyata bukan Bush atau Kerry, tapi SBY. Dalam berbagai kunjungan, Denny tampak selalu menemani SBY termasuk ketika menghadiri final Akademi Fantasi Indosiar (AFI) 2. Denny dengan demonstratif duduk di samping SBY. Ia juga memberi nasehat-nasehat pada SBY tentang hal-hal aktual. Karenanya, survey LSI itu lebih tepat untuk kepentingan internal ketimbang disebut sebagai survey independen. Menyambut pilpres putaran ke-2, LSI akhir Juli lalu sudah mulai lagi kampanye polling dengan menyatakan bahwa berdasarkan prediksi SBY-Kalla akan dapat 68%, sedangkan Mega-Hasyim 23%. Sekali lagi, ini

adalah satu bentuk manipulasi intelektual yang harus diberantas. Selain melalui polling, gang Ohio juga gencar kampanye SBY melalui opini-opini dalam tulisan atau diskusi. William Liddle misalnya, sejak awal selalu mengecilkan Amien Rais dan mendorong SBY. Seharusnya Amien Rais tahu diri untuk tidak mencalonkan diri. Kalaupun masih ada cita-cita untuk reformasi, sebaiknya Amien bergabung dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saja. Sebaiknya SBY diberi kesempatan sebagai presiden. Kata Liddle pada Pikiran rakyat, 15 April 2004. Dalam kesempatan lain, Liddle bilang bahwa kepemimpinan sipil lemah, karenanya perlu memilih presiden dari kalangan militer yakni SBY. Part of the problem in Indonesia has been a recent history of weak civilian leadership. The threat [to democracy] is not from individual retired military officers ... but serving members using issues like separatism, regional ethnic tensions and religious fervour to step in and say: We must save our people from themselves. SBY might be the figure to put these people in their place. Jadi rekayasa opini memang telah berlangsung gencar, seolah-olah tak ada alternatif lain kecuali SBY. Strategi baru tim SBY menjelang pilpres putaran ke-2 adalah menyelenggarakan 60 diskusi di seluruh Indonesia dengan project officer Denny JA lagi. Pengamat yang mau menjadi pembicara ditawari Rp. 30 juta untuk satu kali diskusi dengan catatan mereka harus membela SBY dan menyerang Megawati. Padahal honor pembicara diskusi di Jakarta umumnya berkisar antara Rp. 500 ribu hingga Rp. 2 juta. Bukankah ini bentuk penyuapan (money politics)? Mereka yang lemah iman langsung setuju dengan tawaran Denny. Para pengamat, akademisi, dan cendekiawan juga diarahkan untuk menghantam partai politik yang jelas-jelas pro Megawati dengan mengatakan bahwa partai politik tak penting lagi, yang penting rakyat. Malah sejumlah wartawan bayaran sudah digarap untuk terus mengangkat isu perpecahan Golkar dan PDIP. Bahwa elit kedua partai itu mendukung Mega tapi massa mereka mendukung SBY. Demokrasi inikah yang kita harapkan? Wartawan-wartawan bayaran pro SBY kini dibawah koordinasi bekas wartawan Media Indonesia, Usamah Hisyam. Sedangkan kelompok monitoring dikendalikan Yon Hotman. Kedua orang inilah yang bertanggung jawab menservis wartawan-wartawan amplop yang membela SBY. Politik pecah belah parpol ini mirip dengan pola yang dilakukan Ali

Moertopo. Parpol diposisikan sebagai sumber pengkotakan dan perpecahan bangsa, korup, tukang bagi-bagi lisensi dan lain-lain. Tim SBY dengan arogan mengatakan yang penting sekarang ini rakyat bukan parpol. Namun, bagaimana demokrasi mau dibangun kalau tidak ditopang salah satu infrastrukturnya yakni parpol? Meski masih banyak kekurangan, parpol masih diperlukan sebagai sarana demokrasi kita.

BAB 9

SBY: CAPRES CURANG

Ketika terjadi mobilisasi pemilih di Pesantren Az-Zaitun, Indramayu, Jawa Barat, untuk memenangkan Capres Jenderal (Purn.) Wiranto, Panwaslu dan KPU, begitu cepat tanggap. Mereka segera turun tangan membentuk tim, membuat rapat, investigasi, dsb, untuk mengusut kecurangan yang terjadi. Hasilnya: harus dilakukan pemilu ulang. Koran dan TV memblow-up kejadian itu sehingga menjadi suatu peristiwa besar yang menarik perhatian publik. Wiranto yang memang banyak masalahnya, menjadi lebih terpuruk. Tapi hal yang sama tak terjadi ketika terbongkar kecurangan yang lebih parah di Tawao, Sabah, Malaysia. Di situ, para petugas TPS mencoblos sendiri sekitar 8.000 kertas suara yang seluruhnya untuk kemenangan pasangan SBY. Pencoblosan kertas suara oleh petugas, biasa terjadi di zaman Pemilu Orde Baru. Dan pola yang sama kini terjadi. Menurut pemeriksaan Panwaslu, para petugas itu melakukan kecurangan atas perintah Konsul Imigrasi Indonesia yang ada di sana. Dari keterangan itu mudah ditebak, semua ini adalah permainan Yusril Ihza Mahendra, salah satu Tim Sukses SBY, yang masih menjabat Menteri Kehakiman. Untuk tahu saja, instansi Imigrasi itu berada di bawah Menteri Kehakiman.

Rupanya, Yusril yang Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu, tak lagi percaya jaringan partainya mampu mendatangkan suara untuk mendukung SBY. Soalnya, dalam Pemilu legislatif saja, suara PBB merosot terus. Yusril yang dulu orang miskin itu, sekarang berkat kelihaian memainkan jabatannya sudah menjadi orang yang kaya raya. Karena itu rakyat tak lagi mempercayainya, wajarlah suara partainya pun merosot terus. Maka Yusril terpaksa mengerahkan para pejabat Imigrasi untuk mendulang suara bagi SBY. Hal yang sama dilakukannya terhadap orang-orang hukuman yang menjadi penghuni penjara. Soalnya, penjara alias Lembaga Pemasyarakatan berada di bawah kendali Menteri Kehakiman. Maka di semua penjara, suara pemilih SBY bukan main tinggi, sebab semua para penghuni bui dipaksa sipir penjara harus mencoblos SBY. Namun meski pun banyak informasi yang beredar sekitar kecurangan yang dilakukan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra, Panwaslu tak mengusut dan KPU diam saja. Bahkan setelah kasus Tawao terbongkar, tetap saja KPU tenang-tenang saja. Pers pun tak terlalu meributkannya, sebagaimana halnya kasus Pesantren Az-Zaitun. Meski pun kasus Tawao ini jauh lebih kotor dibanding yang terjadi di Az-Zaitun. Padahal kalau pengusutan dilakukan dengan serius, pasti terbongkar para petugas Imigrasi itu melakukan kecurangan atas perintah dari Boss-nya, Yusril Ihza Mahendra. Pertanyaannya: Mengapa KPU tak bertindak? Tak lain karena banyak orang KPU sudah menjadi Tim Sukses tersembunyi SBY. Ketua KPU Nazaruddin Syamsuddin, misalnya, diam-diam menjadi pendukung SBY, karena SBY menjanjikan jabatan menteri untuknya. Salah satu bentuk dukungannya yang kini tengah menjadi pembicaraan hangat di Jawa Tengahadalah surat Nazaruddin sebagai ketua KPU yang meloloskan caleg Partai Demokrat yang oleh Panwaslu dan KPU Jawa Tengah dinyatakan gugur karena berijazah palsu. Dengan suratnya, Nazaruddin kemudian menganulir keputusan tadi dan meloloskan caleg tersebut menjadi anggota legislative. Yang lebih parah lagi adalah anggota KPU Hamid Awaluddin. Orang ini, berani terang-terangan mengatur pertemuan para tokoh politik dengan Yusuf Kalla, untuk keperluan mendukung SBY. Banyak orang tahu, Hamid memang 100 persen orangnya Yusuf Kalla. Dia aktif menjadi sekretaris Yusuf Kalla, ketika beberapa tahun yang lalu, Yusuf Kalla

menggagas Perjanjian Malino guna mengatasi perang agama di Ambon dan Poso. Kedekatan Hamid dengan Kalla, pertama-tama tentu karena hubungan primordial: mereka sama berasal dari Sulawesi Selatan. Kalla pun banyak membantu keuangan untuk Hamid, ketika ia masih kuliah di Amerika. Banyak anggota KPU lainnya tahu peran ganda Hamid ini: menjadi anggota KPU sekaligus Tim Sukses Yusuf Kalla. Mestinya, mereka harus mempersoalkannya, karena setiap anggota KPU tak boleh menjadi partisan seperti Hamid itu. Semestinya Hamid dipecat dari KPU. Tapi nyatanya tak satu pun yang mempersoalkannya. Kenapa? Banyak alasannya. Pertama karena peran Ny. Hartaty Murdaya, pengusaha pemenang tender Teknologi Informasi (TI) KPU yang bernilai ratusan milyar rupiah itu. Murdaya dikenal sebagai salah satu penyandang dana SBY. Sejak lama memang sudah diketahui betapa dekat hubungan SBY dengan Ny. Murdaya itu. Padahal sebagai pemenang tender TI KPU TI itu banyak menuai protes karena dianggap proyek penghamburan uang negara saja, sedang manfaatnya kurang Ny. Murdaya berhubungan akrab dengan semua anggota KPU. Tentu saja berkat pengaruh Ny. Murdaya, peran Hamid Awaluddin tak pernah dipersoalkan kawan-kawannya. Selain itu, sudah banyak diketahui, dana KPU tak sedikit berasal dari bantuan pihak Amerika, semacan US-AID dan NDI. Sedangkan lembaga-lembaga bantuan itu adalah pendukung SBY karena SBY memang antek Amerika. Semua itu menyebabkan dalam Pemilu kali ini, KPU bukanlah lembaga yang netral, melainkan merupakan Tim Sukses bayangan dari SBY. Sehingga terbongkarnya berbagai kecurarangan yang dilakukan untuk kemenangan SBY selalu dilindungi oleh KPU. Itulah sebabnya kecurangan mencolok yang terjadi di Tawao konon hal yang sama terjadi di berbagai tempat di luar negeri, juga di Timika, Irian, dan beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan tak terlalu dipersoalkan oleh KPU, berbeda halnya ketika terjadi kecurangan di Az-Zaitun untuk keuntungan Wiranto. Kalau yang sudah terbongkar saja masih dilindungi KPU, apalagi yang belum ketahuan. Padahal kabarnya di berbagai daerah banyak terjadi penggelembungan suara untuk memenangkan SBY. Kecurangan itu dilakukan oleh para petugas TPS di lapangan sampai KPU di tingkat Pusat. Maka menghadapi Pemilu putaran kedua 20 September mendatang, KPU

harus betul-betul diawasi dari daerah sampai ke pusat, kalau tidak mereka akan melakukan lagi kecurangan demi kemenangan Sang Antek. Karenanya, jangan pilih capres curang yang antek Amerika Serikat.

BAB 10

SBY: DARI NARKOBA HINGGA HALALKAN SEGALA CARA

Baru-baru ini seorang warga negara India bernama Ayodya Prasad Chaubey dihukum mati di depan regu tembak Brimob karena kasus Narkoba. Peristiwa ini mendapat liputan luas media massa nasional baik tv maupun Koran. Timbul pertanyaan: Bagaimana kira-kira sikap SBY terhadap Narkoba? Pertanyaan ini semakin mengganggu kalau kita tahu bahwa seorang anak lelakinya, Edhie Baskoro Yudhoyono, terpaksa diungsikan ke Australia karena kecanduan Narkoba. SBY selama ini dikesankan mempunyai sebuah keluarga yang harmonis, demokratis, terdidik atau singkatnya keluarga sempurna yang sangat ideal. Dua anak lelakinya,

(Message over 64k, truncated.) Wed Sep 8, 2004 1:13 pm Show Message Info tangkas

tangkas21 Offline Offline Send Email Send Email < Prev Message | Next Message > Expand Messages Author Sort by Date Fwd: Buku "10 Alasan utk tidak pilih SBY" Note: forwarded message attached. ... Do you Yahoo!? Yahoo! Mail - 50x more storage than other providers! Note: forwarded message attached. Do you Yahoo!? ... Jay Laduma jayladuma Offline Send Email Sep 8, 2004 8:38 am Re: Fwd: Buku "10 Alasan utk tidak pilih SBY" Daripada Mega... Daripada golput terus ternyata Mega menang.. ya terpaksa deh SBY... ... From: Jay Laduma [mailto:jayladuma@...] Sent: Wednesday,... Wisnu Wardhana weisnoe Offline Send Email Sep 8, 2004 8:49 am Re: Fwd: Buku "10 Alasan utk tidak pilih SBY" BAB 1 SBY SI PERAGU Ketika itu, tahun 2001, di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, stabilitas politik dan keamanan betul-betul goyah. Di Jakarta,... jayladuma Offline Send Email Sep 8, 2004 8:58 am Re: Fwd: Buku "10 Alasan utk tidak pilih SBY" AYO SiAPA YANG MAU BIKIN 1001 ALASAN NGGAK PILIH MEGA BIAR SERU !!!!!!!!!!! Jay Laduma wrote: Note: forwarded message attached. ... Do... sono kurniawan kokrosono234 Offline Send Email Sep 8, 2004 9:15 am Re: Fwd: Buku "10 Alasan utk tidak pilih SBY" Yg Seru bukan Informasi Saham Ya??? Moderator??? sono kurniawan wrote:AYO SiAPA YANG MAU BIKIN 1001 ALASAN NGGAK PILIH MEGA BIAR SERU...

tangkas tangkas21 Offline Send Email Sep 8, 2004 1:13 pm Re: Fwd: Buku "10 Alasan utk tidak pilih SBY" Ini sih tulisa tangan pendukungnya Mega atau orang yang kaga senag ama SBY. gimana menurut yang lain???? MAJU TERUS SBY!!!!! kekekekek........ ... === message... Sutami Kurniawan sutamikurniawan Offline Send Email Sep 9, 2004 5:00 pm Re: Fwd: Buku "10 Alasan utk tidak pilih SBY" Ini sih tulisa tangan pendukungnya Mega atau orang yang kaga senag ama SBY. gimana menurut yang lain???? MAJU TERUS SBY!!!!! kekekekek........ ... === message... Sutami Kurniawan sutamikurniawan Offline Send Email Se ======================= Kosi" wrote : Baca juga Majalah Sabili terbaru "SBY dari Gamang sampai Klenik". Ada wawancara dengan Muhammad Habieb Rizieq Shihab "SBY, Arsitek penangkapan Aktivis Islam" > from www.berpolitik.com > > Mon, Apr 26, 04 | 10:57 am > Kehebatan SBY Luar Biasa Hebatnya > Beri Tahu Teman Anda! > > GD ternyata sangat jeli, lebih jeli daripada politikus lain yang melek. > > Menengok ke Belakang > Sebetulnya sebuah majalah berita mingguan ternama sudah mengendus > geliat mengusung SBY ke RI 1 sejak Juli 2001, tepatnya sejak SBY gagal > menjadi > wapres menggantikan MSP yang naik ke RI 1. Kegagalan yang kemudian

disikapi > dengan rapat-rapat intensif di berbagai tempat untuk sebuah tujuan besar, > RI-1. > Lewat Subur Budhisantoso (Kepala Pusat Penelitian Pranata Pembangunan UI) dan > pentolan-pentolan GMKR (Gerakan Mengembalikan Kedaulatan Rakyat) seperti > Irsan > Tanjung dan Sri Soemantri (keduanya Guru Besar UI), serta di back up oleh > jenderal-jenderal loyalis SBY, diantaranya Sudi Silalahi dan Ma'ruf, serta > jaringan pengusaha "hitam' (contoh kecil, S.P.M Yong, Adik Aseng, seseorang > yang disebut-sebut pengelola togel KUDA LARI yang beredar luas di Jawa tengah > setiap hari), dan juga memperoleh aliran dana dari > luar negeri yang disebut-sebut berasal dari dua organisasi yang sangat > berpengaruh di AS yaitu AIPAC (American-Israeli Public affairs Comittee) dan > ADL (Anti-Defamation League)., sejak pertengahan 2002. > Mahasiswa-mahasiswa Indonesia di AS sudah mencium aliran dana > seperti ini, karena memang di AS diumumkan, hanya saja mereka tidak peduli > karena yakin Demokrat tidak memiliki basis massa > jelas. > Tersebutlah James Riyadi menjadi penyumbang cukup besar buat Demokrat, > disamping itu JR berhasil mengumpulkan ratusan pengusaha di LN untuk > berpartisipasi membesarkan Demokrat, yang tentu saja mereka > pengusaha-pengusaha > yang "sealiran" dengan sepak terjang JR. > > Siasat Kuda Troya > Dibesarkan di lingkungan militer, beristrikan putri Sarwo Edi Wibowo, menjadi > SBY sangat lihai bermain di dunia inteljen. Didukung oleh tim sukses bayangan > yang memback up lewat corong media massa, SBY mulai bermain secara

hati-hati > untuk posisi RI 1 dengan menjadi anak manis dihadapan MSP, yang karena > keterbatasan intelektual banyak menggantungkan urusan negara ke pundak > SBY. Tak > aneh di lingkungan istana, SBY merupakan 'godfather' untuk semua urusan. > Sehingga untuk urusan internal PDIP pun MSP tidak segan-segan meminta > pertimbangan SBY. Lingkungan ring 1 MSP yakin bahwa ontran-ontran disekitar > pemilihan gubenur di berbagai darah, yang berakibat friksi internal dan > pemecatan kader sedikit banyak merupakan buah kerja SBY. Sumber di istana > mencontohkan kasus pemilihan gubenur DKI Sutiyoso. Meskipun hasil rapat DPD > PDIP 100 % menginginkan kader PDIP yang maju, namun karena bisikan SBY, MSP > tega mengorbankan pendukungnya. SBY bisa mempengaruhi MSP karena sebagai > Menko > Polkam dia memiliki setumpuk dokumen perihal "ancaman" yang potensial terjadi > di sekitar pemilu. Dengan lihai SBY menyakinkan MSP bahwa sosok militer-lah > yang pas menjadi Gubernur untuk menghadapi pemilu, padahal ditentang habis> habisan oleh kelompok Roy B Janis maupun geng Arifin panigoro. Tujuan SBY > jelas, menggerogoti massa PDIP dengan membuat > kekecewaan di akar rumput. Keberhasilan scenario SBY di DKI, membuat SBY > kembali bermain di pemilihan gubenur Sumatera Selatan, Jawa tengah, dan Bali. > Rekomendasi MSP untuk pilgub berlawanan dengan kehendak arus bawah PDIP.

Di > Jawa tengah, bahkan sampai berlarut-larut, DI Sumatera Selatan sampai pada > pemecatan kader. Kerja keras SBY ternyata berbuah manis, hasil pemilu > legislative > 2004 membuktikan di 4 propinsi tadi, yang sebelumnya basis terkuat PDIP, > partai > Demokrat cukup banyak mendulang suara. > Sementara MSP sama sekali tidak tahu, padahal sebetulnya MSP bisa > belajar dari Gus Dur betapa pada masa GD pun SBY telah "menikam" GD dengan > mundur sebagai menko Polkam ketika situasi negara makin memanas, kesadaran > baru > ada ketika Cornelis Lay (seseorang yang disebut-sebut "king maker" di > lingkungan Taufik Kiemas) mengungkapkannya. Sayangnya, TK merespon dengan > membabi buta di media massa dengan tidak berani mengungkapkan keadaan > sebenarnya soal SBY, TK malah membuat blunder dengan mencari 'alasan' lain > untuk melampiaskan kemarahannya dengan menyebut SBY seperti anak TK. > Mendekap sekaligus memenjarakan SBY juga terlihat bersih di mata sebagian > besar > umat Islam. Sebab, SBY memang mencitrakan dirinya tidak pernah "menyakiti" > umat > Islam. SBY bisa bermain cantik karena memiliki tim untuk itu. Disamping BIN > lewat Hendropriyono, SBY juga mempunyai sumber di lingkungan BIA yang rajin > menyuplai informasi-informasi A1. &g