Sastra Dan Jihad Di Nusantara-libre

8
Sastra dan Jihad di Nusantara Berbicara mengenai Hari Pahlawan, tiada terlepas dari peran besar umat Islam. Mengurai kisah perjuangan di nusantara oleh para pejuang Islam memang bukan suatu hal yang baru. Motivasi agama menjadi daya juang yang utama, sekalipun sebagian sejarawan seringkali memasungnya menjadi perjuangan bermotif duniawi. Rajutan kisah perjuangan itu terjalin satu demi satu oleh berbagai pengaruh. Salah satu pengaruh yang menyuburkan daya juang itu adalah adanya pengaruh sastra dalam membakar jiwa untuk melakukan jihad di nusantara melawan penjajah. Sastra memang salah satu media yang digunakan oleh para penyebar Islam di Nusantara. Melalui sastra berbagai pengajaran mengenai sejarah, hukum, serta tasauf tersebar. Bentuk‐bentuk sastra yang mereka gunakan antara lain syair, pantun, gurindam, dan dan prosa (termasuk di dalamnya hikayat). Raja Ali Haji dikenal dengan pengajaran adabnya melalui Gurindam dua belas. Di masyarakat Minangkabau, selain pantun dan syair, digunakan sastra Tutur Kaba’. Di tatar Sunda juga tak kalah. Sastra tembang yang berisi pengajaran agama, dari tembang Cianjuran sampai tembang anak‐anak di surau dan pesantren berkembang pada zamannya. Di Jawa, Sunan Bonang menggunakan bentuk‐ bentuk tembang Jawa untuk menyebar dakwah. Salah satunya adalah Suluk Wuragul, yang ditulisnya dalam bentuk tembang Dhandhananggula. 1 Begitu pula di Maluku yang pencatatan sejarahnya dikenal dari Hikayat Hitu, serta di Kalimantan dikenal Hikayat Banjar. Semuanya menyiratkan dekatnya kehidupan umat dengan sastra, yang merentang dari Sumatra hingga timur Indonesia. Namun jika membicarakan sastra dengan jihad di nusantara, maka terdengarlah gaung Hikayat Perang Sabil dari Aceh yang tiada taranya dalam membakar semangat jihad di sana. Saat berlangsungnya perang Aceh yang berlangsung hingga 40 tahun, 2 banyak sekali di temukan Hikayat Perang Sabil. Hikayat menurut Prof. Sulastin Soetrisno adalah prosa yang ditulis dalam huruf Arab Jawi. Hikayat tergolong sastra melayu klasik, berkembang bersamaan dengan sastra melayu di tahun 1500‐ an. Penulisan Hikayat biasanya ditulis berulang kali, oleh karena itu seringkali diubah dan ditambah

description

ghutgkjhgu

Transcript of Sastra Dan Jihad Di Nusantara-libre

Page 1: Sastra Dan Jihad Di Nusantara-libre

 

Sastra dan Jihad di Nusantara 

Berbicara  mengenai  Hari  Pahlawan,  tiada  terlepas  dari  peran  besar  umat  Islam.  Mengurai  kisah 

perjuangan di nusantara oleh para pejuang Islam memang bukan suatu hal yang baru. Motivasi agama 

menjadi  daya  juang  yang  utama,  sekalipun  sebagian  sejarawan  seringkali  memasungnya  menjadi 

perjuangan  bermotif  duniawi.  Rajutan  kisah  perjuangan  itu  terjalin  satu  demi  satu  oleh  berbagai 

pengaruh. Salah satu pengaruh yang menyuburkan daya juang itu adalah adanya pengaruh sastra dalam 

membakar jiwa untuk melakukan jihad di nusantara melawan penjajah.  

Sastra memang salah satu media yang digunakan oleh para penyebar Islam di Nusantara. Melalui sastra 

berbagai  pengajaran  mengenai  sejarah,  hukum,  serta  tasauf  tersebar.  Bentuk‐bentuk  sastra  yang 

mereka  gunakan  antara  lain  syair,  pantun,  gurindam,  dan  dan  prosa  (termasuk  di  dalamnya  hikayat). 

Raja  Ali  Haji  dikenal  dengan  pengajaran  adabnya  melalui  Gurindam  dua  belas.  Di  masyarakat 

Minangkabau,  selain  pantun  dan  syair,  digunakan  sastra  Tutur  Kaba’.  Di  tatar  Sunda  juga  tak  kalah. 

Sastra  tembang  yang berisi  pengajaran  agama,  dari  tembang Cianjuran  sampai  tembang  anak‐anak di 

surau  dan  pesantren  berkembang  pada  zamannya.    Di  Jawa,  Sunan  Bonang  menggunakan  bentuk‐

bentuk  tembang  Jawa  untuk menyebar  dakwah.  Salah  satunya  adalah  Suluk Wuragul,  yang  ditulisnya 

dalam bentuk tembang Dhandhananggula. 1 Begitu pula di Maluku yang pencatatan sejarahnya dikenal 

dari  Hikayat  Hitu,  serta  di  Kalimantan  dikenal  Hikayat  Banjar.  Semuanya  menyiratkan  dekatnya 

kehidupan  umat  dengan  sastra,  yang  merentang  dari  Sumatra  hingga  timur  Indonesia.  Namun  jika 

membicarakan  sastra  dengan  jihad  di  nusantara, maka  terdengarlah  gaung Hikayat  Perang  Sabil  dari 

Aceh yang tiada taranya dalam membakar semangat jihad di sana.  

Saat berlangsungnya perang Aceh yang berlangsung hingga 40 tahun,2 banyak sekali di temukan Hikayat 

Perang Sabil. Hikayat menurut Prof. Sulastin Soetrisno adalah prosa yang ditulis dalam huruf Arab Jawi. 

Hikayat tergolong sastra melayu klasik,   berkembang bersamaan dengan sastra melayu di  tahun 1500‐

an.    Penulisan  Hikayat  biasanya  ditulis  berulang  kali,  oleh  karena  itu  seringkali  diubah  dan  ditambah 

Page 2: Sastra Dan Jihad Di Nusantara-libre

 

hingga  menjadi  sempurna  menurut  penyalinnya.  Teks  yang  disalin  seringkali  dibuat  untuk  beragam 

tujuan.3 Termasuk juga Hikayat Perang Sabil. 

Hikayat  Perang  Sabil  biasanya  berisi  anjuran  untuk  berperang  sabil  dengan  menunjukkan  pahala, 

keuntungan  dan  kebahagiaan  yang  akan  diraih.  Dapat  pula  berisi  keadaan  suatu  tokoh  atau  situasi 

perang  di  sebuah  tempat.  Atau  bahkan mencakup  kedua  hal  tersebut.  Ideologi  perang  sabil memang 

menjadi  poros  tegaknya  jihad  di  Aceh.  Hikayat  Perang  Sabil  tertua  yang  dapat  ditemukan  tercatat 

berasal dari tahun 11 Sya’ban 1122 H atau 5 Oktober 1710, kini di simpan di Universitas Negeri Leiden.  

Hikayat  Perang  Sabil  biasanya  dibaca  di  dayah  (pesantren)  atau meunasah,  bahkan  di  rumah‐rumah 

sebelum orang‐orang terjun ke medan pertempuran. Pembacaan hikayat ini mampu menyulut semangat 

jihad orang aceh menyadarkan keadaan negerinya ; 

Waktu kafir menduduki 

   Semua kita wajib berperang 

Jangan diam bersunyi diri 

   Di dalam negeri bersenang‐senang 

Diwaktu itu hukum fardhu ‘ain 

   Harus yakin seperti sembahyang 

Wajib dikerjakan setiap waktu 

   Kalau tak begitu dosa hai abang4 

 

Orang‐orang yang membacanya menjadi tergerak tak takut meregang nyawa, mempertahankan negeri 

serta mengusir orang kaphe (kafir) Belanda. 

Yang memerangi kafir dalam perang sabil 

   Niat mempertinggi kebenaran agama 

Kalimah Allah agama Islam 

   Kafir jahanam isi neraka 

Sabilillah dinamai perang 

   Tuhan berikan akhirnya surga 

Mengikuti suruhan sampai ajal 

Page 3: Sastra Dan Jihad Di Nusantara-libre

 

   Pahala kelak sangat sempurna5 

 

Beberapa bait syair bahkan mengajak tidak hanya kaum pria, tetapi juga wanita bahkan anak‐anak untuk 

berjihad. 

Baik wanita atau pria 

   Semuanya, tua dan muda 

Akil balig, kanak‐kanak 

   Menurut Ijmak ikut serta 

Saleh, fasik, ali, jahil 

   Wajib semua berperan serta 

Raja, rakyat, uleebalang 

   Wajib berperang sama rata 

Kafir yang menyerang Negeri kita 

   Wajib di sini lawan segera 

Haram lari, wajib melawan 

   Fardhu’ain ke atas kita6 

 

Dengan kata‐kata yang begitu menggugah tak heran kalau Belanda begitu khawatir dengan keberadaan 

Hikayat  ini.  Gubernur  Aceh  A.  H.  Phillips  dalam memori  serah  terima  jabatannya menyatakan  bahwa 

membaca  Hikayat  Perang  Sabil,  yang  diadakan  di  depan  umum,  dapat  merangsang  pembaca  atau 

pendengarnya  sedemikian  rupa hingga hilang keseimbangan  jiwa,  kemudian membunuh kaphe  (kafir). 

Maka tidak heran, jika penyitaan dan pembakaran Hikayat tersebut menjadi kebijakan pihak Belanda.7  

Serupa namun tak sama, kita akan menemukan telaga sastra yang menggugah jiwa. Di tanah melayu kita 

akan  bertemu  dengan Hikayat  Anggun  Cik  tunggal,  yang  dipesisir  minangkabau  dikenal  dengan Nan 

Tongga Megat Jebang. Sebuah hikayat yang menyinggung Raja Badurai Putih. Raja Badurai putih sendiri 

bermakna penguasa kulit putih. Hikayat tersebut menggambarkan kebencian kepada penajajah Portugis 

yang tamak. 8 

Page 4: Sastra Dan Jihad Di Nusantara-libre

 

Di  bumi  Palembang  pun  kita  akan  mendapati  sastra  yang  diwarnai  semangat  jihad.  Syair  Perang 

Menteng,  dibuat  tak  lama  setelah  serangan  tentara  kolonial  Belanda  terhadap  kerajaan  Palembang. 

Sultan Mahmud Badaruddin memimpin  perlawanan  terhadap  serangan  itu  tahun  1819. Nama Perang 

Menteng sendiri berasal dari Muningthe, pemimpin penyerangan Belanda, yang kemudian dimelayukan 

menjadi Menteng.9 M. O. Woelders dalam buku Het Soeltanaat Palembang : 1811‐1825 (1975) memuat 

syair tersebut. Isinya memuat kisah jihad para haji yang menggugah jiwa.  

Haji berteriak Allahu Akbar 

Datang mengamuk tak lagi sabar 

Dengan tolong Tuhan Malik Al‐Jabbar 

Serdadu Menteng habislah bubar 

 

Keluar sekalian hulubalang panglima 

Menolong haji bersama‐sama 

Opsirnya mati empat dan lima 

Hajipun sampai di kota lama 

 

Haji mengusir kanan dan kiri 

Memarangkan pedang ke sana ke mari 

Serdadu Holanda habislah lari 

Hanya komandan juga terdiri 

 

Haji berteriak sambil memandang 

Hai kafir marilah tandang 

Syurga bernaung di mata pedang 

Bidadari hadir dengan selendang 

 

Di situlah haji lama terdiri 

Dikerubungi serdadu Holanda pencuri 

Lukanya tidak lagi terperi 

Fanalah haji lupakan diri 

Page 5: Sastra Dan Jihad Di Nusantara-libre

 

 

Datanglah komandan bersungguh hati 

Membedil haji tiada berhenti 

Pelurunya datang menuju pasti 

Di sanalah tempat haji nan mati 

 

Syahidlah haji dua dan tiga 

Akan mengisi di dalam syurga 

Bidadari pun banyak tiada berhingga 

Datang menyambut haji berida 

 

Darahnya mengalir bagai kesturi 

Bidadari pun banyak datang menghampiri 

Suka dan ramai tepuk dan tari 

Merebut mayat haji jauhari.10 

 

Senafas  dengan  Syair  Perang Menteng,  ada  pula  Syair  Perang Mengkasar.  Sebuah  syair  yang  sangat 

indah, melukiskan jalannya Perang Makassar pada tahun 1666. Perang antara VOC dan Kerajaan Gowa 

di  bawah  pimpinan  Sultan  Hasanuddin  ini,  dilukiskan  dalam  syair  berbahasa  melayu  oleh  Enci  Amin, 

seorang  juru  tulis  Sang  Sultan.  Sapuan  kata‐kata  dalam  syair  yang  begitu  indah  terasa  ketika 

membicarakan berlangsungnya perang tersebut. 

  

Setelah terbitlah nyata matahari 

Dipasangnya meriam Seri Negeri 

Apinya tersembur seperti syamsu wa’l‐qamari 

Welanda dan Bugis sangatlah ngeri. 

 

Bunyinya itu seperti halilintar membelah 

Kenalah kapal si la’nat Allah 

Lantas terus lalu ke sebelah 

Page 6: Sastra Dan Jihad Di Nusantara-libre

 

Berpuluh‐puluh kepala terbelah.11 

 

Di bagian lain, Enci’ Amin menggambarkan betapa gigihnya mereka berperang. 

 

Berperanglah Sultan di Batu‐batu 

Keraeng Jaranika datang membantu 

Membawa keris seorang sahu 

Masuk mengamuk Meluku Hantu 

 

Keraen Jaranika dengan Maharajalela 

Mengamuk bagai orang yang gila 

Sedikit pun tidak ada bercela 

Bertikamkan keris berhela‐hela.12 

 

Sikap perlawanan dengan sastra juga merambah di tanah Jawa, ditunjukkan oleh Kiyai Ahmad Rifa’I dari 

Kalisalak, Jawa Tengah. Ia dikenal memiliki sikap anti pemerintah Belanda yang bercokol di tanah Jawa. 

Kecamannya tak hanya ditujukan kepada penguasa asing saja,  tetapi  juga kepada penguasa  lokal yang 

bekerja sama dengan mereka. 

 

Peringatan, orang kafir masuk Negara Islam 

Menjadi raja Negara Jawa cukup lama 

Itu adalah musuhnya orang mukmin 

Adalah fardhu a’in untuk diperangi 

Melawan raja kafir harus diketahui 

Ratu Islam sama menganut raja kafir 

Bupati, Demang sama‐sama mengabdi 

Kepada raja kafir seraya mengikuti perintahnya.13 

 

Dalam karyanya yang lain, ia juga menyampaikan, 

 

Diantara orang alim ada yang bersekutu 

Page 7: Sastra Dan Jihad Di Nusantara-libre

 

Kepada raja yang berdosa dan zalim 

Dan raja kafir hatinya tidak bisa Islam 

Tak menghiraukan pada Al Qur’an al‐Azim 

Membenci pada orang alim adil yang menjadi panutan.14 

 

Perlawanan  yang  berkobar‐kobar  dan  keindahan  bahasa  memang  seringkali  saling  terangkai,  karena 

sejatinya jihad dan sastra adalah perpaduan yang menyertai jejak umat Islam di nusantara.  Perpaduan  

yang melahirkan pahlawan yang berjuang di jalan Tuhan. 

 

Oleh: Beggy Rizkiyansyah 

Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB).  

www.jejakislam.net 

                                                             1  Tohari,  Ahmad.  Sastra  Pesantren,  Sastra  Dakwah  dalam  Sastra  dan  Budaya  Islam  Nusantara.  SMF  Adab  IAIN 

Sunan Kalijaga Yogyakarta. 1998. Yogyakarta. 

2 Menurut Paul Van T. Veer 

3 Alfian, Ibrahim. Sastra Perang. Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil. Balai Pustaka. 1992. Jakarta 

4 Ibid 

5 Ibid 

6 Ibid 

7 Ibid 

8 HAMKA. Dari Perbendaharaan Lama. Pustaka Panjimas. 1994. Jakarta. 

9 Van Bruinessen, Martin. Tarekat dan Politik : Amalan untuk Dunia atau Akherat? Majalah Pesantren Vol. IX No.1. 

1992. Halaman 3‐14. 

10 Alfian, Ibrahim. 

11 Skinner, C (ed). Enci’ Amin, Syair Perang Mengkasar. Ininnawa & KITLV‐Jakarta. 2008. Makassar‐Jakarta. 

12 Ibid. 

Page 8: Sastra Dan Jihad Di Nusantara-libre

 

                                                                                                                                                                                                    13  Djamil,  DR.  Abdul. Perlawanan  Kiai  Desa.  Pemikiran  dan Gerakan  Islam KH Ahmad Rifai  kalisalak.  Lkis.  2001. 

Yogyakarta. 

14 Ibid