Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

25
Makalah Sang Mujadid Hijau Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam Makalah ini ditulis untuk : Memenuhi syarat pra Intermediate Training (LK II) HMI Cabang Ciputat 2013 Oleh : M ABUL FADLOL AF (124211069) HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG SEMARANG KOMISARIAT IQBAL IAIN WALISONGO SEMARANG 2013

description

Makalah ini ditulis untuk memenuhi syarat LK II HMI Cabang Ciputat 2013. Oleh M ABUL FADLOL.

Transcript of Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Page 1: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Makalah

Sang Mujadid HijauEstafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Makalah ini ditulis untuk :Memenuhi syarat pra Intermediate Training (LK II)

HMI Cabang Ciputat 2013

Oleh :M ABUL FADLOL AF

(124211069)

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) CABANG SEMARANGKOMISARIAT IQBAL IAIN WALISONGO SEMARANG

2013

Page 2: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

I. Pendahuluan

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Tuhan satu. Tuhan yang tak bernama, yang diberikan nama oleh manusia. Shalawat dan salam tercurahkan kepada baginda Muhamad S.A.W, yang telah berjasa menyebarkan virus-virus pencerahan kepada sebuah peradaban.

Alam merespon segala apa yang kita fikirkan dan inginkan. Begitulah, pada akhirnya makalah ini terselesaikan di tengah kesibukan seorang aktifis dan akademisi kampus. Menguras tenaga, karena harus membagi fokus fikiran ke dalam beberapa hal dalam waktu bersamaan. Intermediate Training merupakan jenjang pengkaderan yang sakral dalam HMI. Tingkat kualitas intelektual dan managerial organisasi. Suatu kebanggan tersendiri, bisa ikut berproses dalam kompetisi dan bersaing menuju kasta tertinggi. Juga sebuah upaya pembuktian, atas rumor kualitas penyelenggara LK II, yang “katanya” istemewa di seluruh Indonesia. Semoga seluruh iktikad baik dari hati terdalam, bisa terealisasikan di forum yang selalu dinantikan setiap orang, Amin.

Pada dasarnya, Islam adalah agama benar yang belum sempurna. Kesempurnaan tersebut akan diraih secara bertahap dari zaman ke zaman. Sama halnya dengan Indonesia yang merupakan bagian dari gumpalan proses menuju kesempurnaan itu. Makalah ini akan membahas tentang upaya seorang manusia dalam menciptakan peradaban yang Ideal. Sebagai seorang pelaku sejarah, kemampuan meracik sebuah inovasi harus dimiliki untuk menciptakan baik atau buruknya sebuah konstruksi. Kemegahan sebuah bangunan sejarah, ditentukan dari sebuah kreatifitas. Lets,,,

“Cita-cita adalah satu titik cahaya dalam gelapnya kehidupan. Aku sendiri adalah tanaman, yang akan terus tumbuh menuju cahaya itu. Terus tumbuh dan besar, sampai daunku teduh dan rindang, sehingga mampu menaungi semua orang” (Fachry Uciha).

Wassalamualaikum Wr. Wb

Page 3: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

II. Rumusan Bahasan

1. Islam dan HMI

2. Realitas Peradaban

3. Seputar tentang Pembaharuan

4. “Hijau” sebagai Ideologi Rekonstruksi

III. Pembahasan

1. Islam dan HMI

Pada dasarnya, agama dan organisasi adalah sama. Keduanya memiliki banyak sisi-sisi senada, saling berkaitan erat dan tak terpisahkan. Persamaan itu adalah :

Pertama, agama dan organisasi adalah wadah bagi setiap insan yang bernaung dibawahnya. Keduanya memiliki rangkaian sistem kompleks, mengikat setiap individu yang terdaftar sebagai anggota. Hanya saja, perbedaan di antara keduanya adalah, bahwa anggota keagaman bersifat kultural, sebab tidak ada pencatatan secara resmi, sedangkan organisasi bersifat formal.

Kedua, adanya konstitusi. Agama merupakan hasil produk akhir dari wahyu Tuhan. Oleh karena itu, otoritas tertinggi dalam agama adalah kitab suci, yang merupakan gumpalan kodifikasi dari kata-kata Tuhan itu. Sedangkan organisasi memiliki perangkat konstitusi hasil konvensi dari para Founding Fathernya. Perbedaan keduanya dalam hal konstitusi terletak pada sumber utama, yakni vertikal dan horisontal. Namun tetap saja, konstitusi agama dan organisasi sama-sama lahir melalui proses dialektika, baik antar Tuhan dengan manusia, atau manusia dengan manusia. Konstitusi inilah yang menjadi rujukan wajib dan memberlakukan kategori “halal-haram” dalam segala aktifitas keagamaan dan keorganisasian.

Page 4: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Ketiga, adanya Prophet (Nabi). Secara bahasa, nabi berarti pembawa kabar gembira. Namun kemudian, nabi diistilahkan sebagai seseorang yang menerima wahyu dari Tuhan. Dan setiap agama pastilah memiliki nabi, tak terkecuali organisasi. Dalam sejarah, seorang nabi diidentikan dengan pelopor berdirinya sebuah agama, maka dalam konteks ini, pelopor berdirinya sebuah organisasi juga bisa disebut sebagai seorang nabi. Hal ini sangat logis, mengingat wahyu itu sendiri memiliki banyak arti atau makna. Keberagaman makna tersebut disebabkan oleh perbedaan Tuhan dalam menentukan objek wahyu (Harun Nasution). Dan salah satu makna dari wahyu adalah ilham atau inspirasi, maka setiap manusia yang memiliki inspirasi, dia adalah nabi. Karena ia telah menerima sebuah wahyu.1

Keempat, konsep pandangan hidup. Sedikit atau banyak, masing-masing dari agama dan organisasi telah melahirkan kacamata pandang kehidupan. Kacamata ini merupakan konstruksi sosial yang membentuk sebuah budaya dan peradaban. Pandangan hidup yang baik akan melahirkan peradaban yang baik, dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena konsep pandangan hidup antar satu agama dengan agama lain atau antar organisasi dengan organisasi lain itu berbeda-beda, maka setiap pandangan hidup memiliki sebuah ciri khas yang tidak bisa ditiru oleh pandangan hidup yang lain. Ciri khas tersebut menjelma sebagai sebuah identitas peradaban diantara peradaban-peradaban dunia.

Kelima, mission. Sebuah misi lahir bersama dengan terbentuknya ideologi, instansi, organisasi dan lain sebagainya. Misi bisa berbentuk dalam jangka pendek, namun bisa jadi dinamis sesuai dengan tuntutan zaman, bisa juga misi berupa sebuah estafet yang diwariskan turun-temurun melalui otoritas yang mendapat legitimasi (nabi). Agama sendiri adalah gumpalan misi pada mulanya, untuk mendobrak tatanan buruk yang sudah mapan pada masa bakti seorang nabi. Kenabian sendiri adalah sebuah jaringan estafet misi prophetik dari Tuhan untuk disampaikan kepada manusia dengan jalan bertahap. Bagitu juga dengan organisasi, setiap organisasi memiliki latarbelakang keterbentukan sekaligus menjadi misi dari organisasi tersebut. Para pendiri dan penerus sebuah organisasi, bisa dikategorikan dalam “jaringan kenabian” yang mengestafetkan misi awal ke generasi selanjutnya.

Namun kemudian, untuk apa hal-hal diatas diangkat ke permukaan? Persamaan-persamaan tersebut tentu memiliki keterkaitan dengan sejarah bangsa Indonesia. Sejarah mencatat, perjalanan sejarah bangsa ini diwarnai dengan konflik lintas agama, ideologi dan organisasi.

1 Harun Nasution, Islam Rasional, Jakarta.

Page 5: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Dari tiga komponen konflik tersebut (agama, ideologi dan organisasi), ketiganya kemudian saling campur-baur menjadi satu dalam memproyeksikan diri menjadi “penulis” sejarah bangsa Indonesia, maka dari sini lahirlah beberapa kelompok besar. Salah satu dari kelompok besar tersebut adalah kalangan yang menjadikan agama sebagai ideologi dan landasan pokok dalam berorganisasi. Organisasi ini dibentuk untuk mengemban misi suci dalam carut-marut kondisi sosial-budaya bangsa Indonesia. Dan dalam konteks keislaman, kelompok pertama tersebut adalah Himpunan Mahasiswa Islam, atau disingkat dengan HMI.

Dengan dijadikanya Islam sebagai azaz organisasi (AD 3), menjadikan HMI sebagai musuh politik organisasi lain yang juga besar saat itu, sebut saja Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebab, substansi dari ajaran Islam yang terkandung dalam HMI bertentangan dengan nilai-nilai Komunisme yang menjadi ideologi PKI. Lebih dari itu, permusuhan antara HMI vs PKI tidak semata-mata karena alasan ideologis, melainkan juga faktor politik. Kisah rencana pembubaran HMI oleh PKI adalah gambaran umum dinamika konflik politik-ideologi yang ada di Indonesia. PKI menginginkan HMI dibubarkan karena dianggap menghalangi Master Planning kudeta negara yang akan dilaksanakan PKI. Sedangkan aktifitas menghalangi ini dilakukan HMI sebagai bentuk konskuensi dari misi awal terbentuknya organisasi yang kini berlambang hijau-hitam itu2. Sedikitnya, ada dua misi awal yang sekaligus menjadi latarbelakang terbentuknya HMI. Pertama, mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dan yang kedua, mengembangkan nilai-nilai ajaran agama Islam di Indonesia.

Pemilihan Islam sebagai azaz organisasi HMI merupakan pilihan yang tepat dalam situasi Indonesia paska kemerdekaan saat itu. Islam dinilai sebagai ideologi paling representatif untuk diterapkan di Indonesia yang memiliki beranekaragam sisi kehidupan. Salah satu sisi-sisi tersebut adalah kemajemukan bangsa. Maka dalam situasi plural tersebut, Indonesia membutuhkan suatu ideologi pemersatu. Dengan adanya nilai Islam dalam tubuh HMI, hal ini menjadikanya sebagai organisasi yang mengangkat persatuan, dengan jalan menampung semua latarbelakang yang dimiliki oleh seorang mahasiswa. Selain itu, nilai-nilai dalam Islam mengandung aspek keadilan sosial-ekonomi, sehingga hal ini menjadikannya sebagai ideologi yang relevan untuk membendung upaya hegemonisasi PKI dengan nilai Komunis yang sarat atas ketidakadilan.

2 Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia (Jakarta, Penerbit CV. Misaka Gazila, 2008) hlm. 47.

Page 6: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Pertanyaannya adalah, kenapa HMI mengkhususkan diri dalam ranah perguruan tinggi? Bukankah terdapat banyak eleman yang ada, kenapa harus mahasiswa? Mungkin hal ini adalah bahasan Ta’abudy (yang tidak terlacak alasannya) karena HMI merupakan produk sejarah yang tidak bisa diulang lagi kronologinya. Namun kacamata yang digunakan selanjutnya adalah dalam aspek hikmah Apa hikmah HMI mengkhususkan diri sebagai organisasi Islam untuk pemuda (mahasiswa). Seperti yang telah diuraikan diatas, kondisi Indonesia saat itu masih dalam keadaan genting. Meskipun telah merdeka, namun ancaman kudeta masih tetap mengintai. Dalam situasi tersebutlah dibutuhkan semangat-semangat patriot kebangsaan yang menggelora. Dan gelora patriot inilah yang hanya dimiliki oleh kalangan pemuda. Fakta ini terbukti setelah Indonesia mengarungi beberapa fase kenegaraan ; orde lama, orde baru dan reformasi. Disetiap transimisi ketiga periodeisasi tersebut, pastilah terdapat intervensi mahasiswa dalam setiap keberhasilan penumbangan-pembangunan bangsa. Memang harus diakui, pendiri HMI (Lafran Pane) merupakan manusia yang melampaui zamannya. Sebab, dalam situasi teknologi yang terbelakang saat itu, ia bisa mengimajinasikan sebuah organisasi yang ideal, dengan pemilihan subjek-objek serta landasan organasasi yang tepat.

Meskipun HMI adalah secuil sisi yang bernaung dibawah bendera Islam, namun bisa dikatakan bahwa HMI adalah organisasi paling Islami diantara organisasi-organisasi Islam saat ini. Salah satu indikatornya adalah terdapat aktifitas aplikasi nilai-nilai keislaman dalam organisasi. Misalnya, al-Hanafiyah al-Samhah3. Yaitu sikap kecenderungan mencari kebenaran yang ideal dan dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, HMI tidak mengenal doktrinisasi. Sebab, istilah doktrin adalah pengkristalan dari sebuah pengetahuan yang telah diraih, sehingga doktrin tersebut tidak bisa diganggu gugat eksistensinya. Tidak ada pengetahuan yang tak berlubang dan sudah final kecuali yang telah diserap menjadi sebuah ideologi. Nah, HMI bukanlah organisasi doktriner. Bila doktrin itu ada, maka HMI sama saja menodai kemajemukan yang terkandung didalam tubuhnya. Kemustahilan doktrin tersebut disebabkan oleh keberagaman epistemologi atas berbagai jenis ideologi yang ditampung oleh HMI. Jadi, satu pandangan subjektif atas konstruksi kebenaran, tidak bisa diterapkan secara universal. Kalaupun HMI menetapkan sesuatu yang paten, maka hal itu adalah doktrin al-Hanafiyah al-Samhah itu sendiri, doktrian idealisme. HMI bisa relevan sampai sekarang, disebabkan keterbebasan HMI dari doktrin. Sehingga ia bisa dinamis mengembangkan diri tanpa harus menjalani sebuah proses kristalisasi. Begitulah, fakta HMI yang mencoba memperjuangkan kemurnian nilai-nilai Islam. Pendalaman tentang perjuangan HMI

3 Budi Munawar-Rachman, Enslikopedi Nurcholish Madjid (Jakarta, Democracy Project, 2011) hlm. 145

Page 7: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

ini bisa ditelusuri lebih radikal dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI yang begitu menakjubkan.

Dan disinilah salah satu titik temu antara Islam dan HMI, yaitu pluralitas. Bahwa hidup di dunia ini tak perlu mempermasalahkan identitas. Bahwa ber-relasi tak memerlukan persamaan orientasi dan sifat indvidual. Pada dasarnya, aktifitas interaksi manusia dijelaskan dalam teori fisika (Magnet). Teori tersebut adalah (+) + (+) = Tolak menolak dan (+) + (-) = Tarik menarik, teori ini sekaligus menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial, bukan individual. Perbedaan muatan yang ada dalam diri setiap manusia atau institusi adalah titik awal manusia bisa menjalin sebuah ikatan. Ikatan sinergitas yang “persetan” dengan perbedaan. Tuhan telah menjadikan dua adalah satu dan satu adalah dua. Dua perbedaan yang tarik menarik menjadi satu (baik-buruk, cinta-benci, kaya-miskin, pintar-bodoh, pria-wanita dan lain sebagainya). Kalangan yang tidak mengakui perbedaan itulah, yang sebenarnya mengingkari sistem desain tuhan, menodai persaksian primordial. Hal inilah yang sebenarnya diperjuangkan oleh HMI, baik dalam konteksnya sebagai organisasi Islam dan posisi HMI sebagai aset keindonesiaan.

Titik temu selanjutnya, antara Islam dan HMI adalah mengenai Tajdid4 (pembaharuan). Seperti yang diketahui, Islam adalah wahyu yang diturunkan Tuhan untuk memperbaiki Arab sebagai bangsa percontohan universal. Datangnya Islam ditandai dengan turunya al-Qur’an secara berangsur-angsur dari Jibril kepada Muhamad (Nasr Hamid). Wahyu tersebutlah yang menjadikan Muhamad sebagai sang Mujadid Revolusioner. Sebab, Muhamad (dengan wahyu itu) mampu mendobrak tatanan teologi sosial Arab Jahiliyah yang sudah mapan, digantikan dengan nilai-nilai Ilahiyah melalui Jalan akulturasi. Begitu juga dengan HMI, munculnya pemikiran berdirinya HMI merupakan respon dari himpitan-himpitan imperialisme Belanda. Himpitan-himpitan itu menyebabkan keresahan sosial bagi umat Islam Indonesia, yang kemudian menimbulkan protes sosial-keagamaan. Sebagai bentuk perlawanan, maka didirikanlah HMI pada 5 Februari 1947 atau 14 Rabi’ul Awal 1366. HMI sendiri adalah suatu gerakan pembaharuan untuk melepaskan status bangsa Indonesia sebagai bangsa terbelakang. Setidaknya dalam menciptakan pandangan hidup. Pemikiran tentang keindonesiaan dan keislaman HMI mampu menampilkan Islam sesuai konteks Indonesia yang Plural5. Perubahan itu ditandai dengan perlawanan terhadap kolonialisme barat yang tidak hanya

4 Ibid, Hlm .210

5 Prof. Dr. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI (Jakarta, Penerbit Misaka Galiza, 2008) hlm. 24

Page 8: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

mengemban misi penjajahan, melainkan juga akuluturasi budaya sebagaimana misi penjajahan (Gold, glory, gospel). Lafrane Pane adalah seorang Mujadid Indonesia yang ingin membendung misi penjajah tersebut dengan jalan mengembankan ajaran Islam sebagai pondasi awal pandangan hidup yang ideal. Hal ini bisa disepakati, sebab, salah satu latarbelakang berdirinya HMI adalah situasi dunia Internasional yang sedang “budidaya” beraneka ragam pemikiran pembaharuan Islam. Maka, HMI sndiri adalah jembatan awal bagi Indonesia untuk mewadahi para pemikir-pemikir pembaharuan Islam konteks keindonesiaan.

Memang tak bisa dipungkiri, semua nabi dan filsuf adalah seorang Mujadid. Setiap nabi dan filsuff dihadapkan kepada masyarakat yang memiliki konstruksi budaya yang buruk. Maka dalam proses Tajdid itu, dipastikan terdapat beberapa perlawanan dari objek yang akan direkonstruksi, baik perlawanan secara fisik maupun perlawanan secara mental. Kisah-kisah nabi atau para Filsuf Yunani sekiranya sudah menggambarkan betapa berat tugas seorang Mujadid. Tak jarang, seorang nabi dan Filsuf harus mempertaruhkan nyawanya untuk proyek penghancuran hegemoni masyarakat pribumi. Jika setiap umat dikirimkan seorang utusan oleh Tuhan, maka bisa jadi Lafran Pane adalah satu dari utusan itu. Yang jelas, Islam dan HMI adalah dua hal yang selalu memperjuangkan sebuah pembaharuan, demi menciptakan tatanan peradaban ideal.

Selain itu, Islam dan HMI sama-sama memiliki fase-fase perkembangan, puncak keemasan dan kemunduran. Jika Harun Nasution membagi Islam dalam tiga periode, yaitu klasik, pertangahan dan modern, maka hal itu juga berlaku terhadap periodeiasi HMI. HMI juga memiliki masa-masa klasik, keemasan dan akhirnya mengalami sebauah degradasi. Jika pada mulanya HMI bertujuan melakukan pembaharuan, maka itu hanya berhasil diperiode pertengahan (ordebaru-reformasi). Namun pada masa modern, saat Indonesia sudah masuk pada tahap demokrasi utuh (reformasi), kemunduran HMI sudah mulai terlihat disana-sini. Oleh karena itu, Tajdid diawal pembentukan organisasi akan selalu relevan untuk dilakukan saat ini. Adapun tentang kemunduran HMI akan dijelaskan secara rinci dalam pembahasan selanjutnya.

Dan perlu dipertegas, Islam dan HMI adalah dua hal yang memiliki sejarah dan periode yang berbeda, namun keduanya telah menjadi Koloid (dua hal yang menyatu dan tidak bisa dibedakan lagi jenisnya), menjadi kawah Candradimuka bagi siapa saja yang menginginkan menjadi kualitas diri yang “super” sekali (insan cita).

2. Realitas Peradaban

Page 9: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Nurcholis Majdid, dalam NDP HMI menyatakan, bahwa sistem kepercayaan yang baik akan melahirkan peradaban yang baik pula. Kepercayaan adalah komponen pokok yang membentuk sebuah peradaban. Peradaban-peradaban besar dunia pun memiliki jenis kepercayaan yang berbeda-beda. Kepercayaan ini melahirkan konstruksi tentang Tuhan dan baik-buruk yang berbeda pula. Oleh karena itu, menurut Cak Nur, salah satu barometer suatu peradaban yang baik bisa dinilai dari sistem kepercayaannya. Sebab, sistem tersebut berdampak langsung terhadap bagaiamana cara seseorang memahami sesuatu, pemahaman itulah yang menjadi titik awal seorang bertindak, pemahaman yang salah akan mengakibatkan tindakan yang salah. Apabila tindakan tersebut dilestarikan dan diwariskan, maka disanalah terlahir sebuah peradaban yang tidak baik. Oleh sebab itu, untuk merekonstruksi sebuah peradaban, maka objek utama dan pertama adalah sistem kepercayaanya. Dan rekonstruksi inilah yang digeluti oleh HMI diawal berdiri. Sebab, Indonesia saat itu dinilai sebagai representasi dari peradaban yang tidak baik, karena memiliki sistem kepercayaan yang buruk.6

Seperti yng dijelaskan dalam bab sebelumnya, Islam dan HMI memiliki fase-fase sejarah yang sama. Islam klasik dimulai sejak Nabi Muhamad diutus sampai runtuhnya bani Umayah. Sedangkan HMI klasik dimulai dari Lafran Pane “diutus” sebagai “nabi” organisasi HMI sampai reformasi berdiri.

Berbicara soal peradaban secara eksplisit membicarakan masa depan. Membicarakan masa depan tidak akan lepas dengan masa lalu dan sekarang. Sebab, ketiga masa tersebut memiliki kausalitas sebab-akibat dan ruang-waktu ang tidak bisa dipisahkan. Begitulah inti dari tulisan Cak Nur yang berjudul Membangun Masa Depan Indonesia dalam Ensiklopedianya. Sedangkan membahas masa depan Indonesia, tidak akan lepas dari masa lalu Islam dan HMI. Karena Indonesia adalah salah satu pewaris puing-puing masa klasik Islam dan HMI sebagai agen pembaharunya.

Pada dasarnya, sebuah peradaban adalah warisan. Secara otomatis, segala jenis konstruksi yang ada di dalamnya juga diwariskan. Islam, sebagai salah satu peradaban dunia, juga telah melakukan aktifitas waris tersebut. Namun agaknya, terdapat kesalahan dan parsial dalam proses transimisi lintas generasi sepanjang sejarah Islam. Kesalahan inilah yang menciptakan peradaban yang buruk di masa depan, paska lepas dari zaman kenabian terakhir. Hal ini sedikit banyak juga berpengaruh terhadap peradaban bangsa Indonesia, yang mayoitas penduduknya beragama Islam.

Seperti yang diketahui, Islam datang kepada sebuah kebudayaan bernama Jahiliyah. Jahiliyah disini bukanlah dalam makna secara bahasa, yaitu bodoh secara

6 Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI, Bab Dasar-dasar Kepercayaan.

Page 10: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

intelektual, melainkan bodoh dalam aspek moral dan teologi. Dalam aspek moral, bangsa Arab memiliki konstruksi baik-buruk yang sangat buruk. Salah satu konstruksi tersebut adalah budaya Patriarkhi, yaitu sebuah iklim dimana laki-laki selalu mendominasi atas wanita. Patriarkhi ini dalam satu waktu mengandung beberapa penyimpangan nilai kemanusiaan, meliputi ketidakadilan, “hewanisasi” wanita, human traficking, nasab dan lain sebagainya. Kisah Umar bin Khatab ketika masih non Muslim, yang dengan sepenuh hati mengubur bayi wanitanya sendiri, adalah gambaran umum betapa jahiliyahnya moral bangsa Arab saat itu.

Selain budaya Patriarkhi, Arab jahiliyah juga memiliki budaya fanatisme kesukuan yang sangat tinggi. Terdapat banyak sekali suku yang selalu berperang memperebutkan kekuasaan. Bahkan dalam satu riwayat, penentangan terhadap kenabian Muhamad, bukanlah karena ketidakmauan bangsa Arab atas ajaran Islam, melainkan karena faktor kesukuan. Mereka tidak bisa menerima ajaran Muhamad, meskipun mereka mengakui kebenaran ajarannya, hanya disebabkan karena Muhamad bukanlah nabi dari suku mereka.7

Dalam aspek teologi, bangsa Arab menganut kepercayaan Politheisme. Al-Qur’an merekam data historis Tuhan-tuhan yang disembah oleh bangsa Arab. Tuhan-tuhan tersebut adalah batu pahatan yang dipercaya memiliki kemampuan magis tertentu. Namun, meskipun memiliki banyak Tuhan berhala, bangsa Arab mengakui adanya Allah sebagai Tuhan tertinggi. Jadi jika digambarkan, konsep teologi Arab pagan seperti Piramida, dimana Allah (tuhan tertinggi) menempati urutan teratas dengan membawahi Tuhan-tuhan kecil (berhala) yang berada dibawah hierarki ketuhanan. Tujuan bangsa Arab menyembah berhala dalam waktu bersamaan mengakui adanya Tuhan Allah, adalah sebagai perantara pendekatan kepada Tuhan tertinggi itu sendiri.

Dalam kondisi seperti itulah Muhamad diutus membawa risalah prophetik. Bangunan-bangunan sosial dan teologi yang ada, direkonstruksi melaui jalan akulturasi, yaitu dengan mempertahankan kebudayaan yang baik, dan menghapus atau mengganti kebudayaan yang buruk. Dalam aspek moralitas, Muhamad menanamkan nilai-nilai perdamaian dan egaliterianisme. Budaya patriarkhi sedikit demi sedikit terkikis meskipun belum tuntas. Hal ini ditandai dengan kembalinya martabat wanita sebagai manusia, yaitu tidak diperjualbelikan, mendapatkan waris (meski hanya separoh), mendapat hak yang sama disisi Tuhan dan lain sebagainya. Dalam aspek teologi, hadirnya Islam menghapus konsep Politheisme batu. Konsep piramida itu dipangkas dan digantikan oleh

7 Prof. Dr. Muhammad Sayyid Thantawi, Etika Dialog Dalam Islam (Jakarta, Penerbit Mustaqim, 2004) hlm. 24

Page 11: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Monotheisme (al-Ikhlas). Singkat cerita, dengan hadirnya Islam, Arab telah memasuki masa Renaissance agung.

Namun sayang, Renaissance itu runtuh bersamaan dengan wafatnya Nabi. Itu artinya, Muhamad adalah syarat utama terciptanya sebuah kebangkitan. Bila sebuah syarat sudah tidak ada, maka sebuah kondisi tidak mungkin tercipta. Mengapa wafatnya nabi adalah akhir dari Renaissance? Sebab, paska wafatnya nabi, Arab kembali memasuki budaya lama, Jahiliyah jilid dua. Hal ini dibuktikan dengan berbagai problematika dan konflik berkepanjangan sampai sekarang. Setidaknya, ada beberapa fakta atas runtuhnya Renainsance ini. Pertama, dalam sejarah kenabian, paska nabi Muhmad wafat, terjadi peselisihan tentang siapa yang akan menggantikan Muhamad sebagai Khalifah. Para sahabat berkumpul dan memperebutkan posisi sakral itu, dalam kondisi jasad nabi belum dikuburkan. Perselisihan tersebut memunculkan kembali sentimen dan egoisme kesukuan. Bahkan, perseteruan itu diwarnai dengan kata-kata kasar dan kotor yang dicampur-baurkan dengan ayat al-Qur’an. Kedua, banyaknya muslimin yang ingin kembali kepada agama pagan, muncul nabi palsu dan orang-orang yang tidak taat kepada syariat (contohnya tidak membayar zakat). Ketiga, munculnya berbagai konflik berdarah memperebutkan kursi kekhalifahan. Tragedi paling parah adalah konflik antara Ali bin Abi Thalib Vs Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang berakhir dengan berdirinya dinasti Umayah. Ketiga hal diatas hanyalah secuil dari ribuan kejahiliyahan yang secara kasat mata bisa terekspos oleh sejarah.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Renaissance yang baru bercahaya harus redup. Peradaban yang belum selesai dibangun kenapa harus kembali runtuh? Jawabannya adalah, karena agama Islam yang dibawa nabi Muhamad belum sepenuhnya sempurna. Ketidaksempurnaan tersebut yang menyebabkan generasi paska Muhamad menjadi kalang kabut.

Memang, nabi pernah memproklamirkan bahwa Islam telah sempurna pada momen khutbah haji Wada’. Namun sempurna dalam hal apa? Sesuai dengan teks dari ayat yang digunakan nabi dalam proklamasi wada’ tersebut, yang sempurna dalam Islam hanyalah konsep teologi (kepercayaan), sedangkan hal-hal lain seperti sosial, budaya, politik dan lain sebagainya belumlah sempurna, artinya masih dalam tahap konstruksi. Ini adalah fakta, sebab jika Islam telah sempurna, seharusnya tidak ada konflik berkepanjangan yang mencuat ke permukaan. Konflik-konflik yang ada disebabkan baik al-Qur’an dan nabi tidak mewarisi sistem politik yang jelas. Sehingga, paska wafatnya nabi (bahkan sampai sekarang), para sahabat berseteru dalam hal politik kekuasaan.8

8 Tajus Syarofi, Gagasan Kepemimpinan, Refleksi Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan (Yogyakarta, Penerbit Litera, 2013) hlm. 1-8 (Bab Geneologi Jahiliyah). Substansi yang sama juga ada dalam Skripsi S1 IAIN Walisongo Semarang oleh Dr. Mohamad Nasih (Dosen Ilmu Politik UI) yang berjudul Evolusi Lafadz Ilah dalam al-Qur’an.

Page 12: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Kondisi jahiliyah akibat tidak adanya konstitusi kehidupan yang tafshily (terperinci) berlangsung sampai saat ini. Bila Dinasti Abbasiyah adalah titik keemasan Islam, maka keemasan tersebut hanya dalam hal pengetahuan dan wilayah kekuasaan saja, tidak lebih. Ketiadaan sistem politik yang paten menyebabkan segala sesuatu bisa dimanipulasi sekehendak hati, bahkan teologi pada masa klasik dan pertengahan bisa ditundukan oleh otoritas kekuasaan. Contoh kasus di periode klasik adalah, banyaknya Muhaditsin yang disewa sebagai alat politik. Hal ini dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan saat beroposisi dengan Ali. Ia (Mu’awiyah) membayar beberapa Muhaditsin untuk membuat hadits palsu, yang mampu menjatuhkan Ali dan melegitimasi dirinya sendiri9. Selanjutnya, masa dinasti Abbasiah adalah masa dimana pengetahuan dan agama bisa dipolitisasi. Masa ini adalah masa dimana agama dan kekuasaan bercampur-baur. Kisah masyhur tentang Imam Hanbali dan kemakhlukan al-Qur’an, adalah salah satu contoh kekuasaan yang sewenang-wenang, mengalahkan hak asasi seseorang dalam berkeyakinan. Kesimpulan singkatnya, Renainsance Islam hanya berlangsung selama 22 tahun 2 bulan 20 hari. Paska itu, Islam memasuki zaman kegelapan sampai periode modern.

Di masa modern, lahirlah para Mujadid-mujadid hebat yang ada untuk meneruskan misi prophetik yang “mandek” di tengah jalan. Semisal Nasr Hamid, Arkoun, Iqbal, Fazlur Rahman dan lain sebagainya. Mereka adalah pewaris estafet kenabian untuk merekonstruksi puing-puing peradaban Jahiliyah yang ditransmisikan sampai sekarang. Dalam konteks Islam global, unsur Jahiliyah masih berupa diskriminasi antar dua hal yang seharusnya egaliter. Sedangkan dalam konteks keindonesiaan, puing-puing Jahiliyah dapat terlihat di sepanjang sejarah kita. Jika Soekarno diibaratkan sebagai nabi Muhamad (dalam hal kepeloporan), maka paska Soekarno wafat, kursi kekuasaan presiden (khalifah) pun langsung diperebutkan. Salah satu tokoh sejarah Indonesia paska Soekarno yang mirip (bahkan bisa dikatakan titisan) dengan tokoh Jahiliyah paska Muhamad adalah Soeharto dan Utsman bin Affan. Persamaan diantara keduanya adalah, sama-sama bapak pembangunan, sama-sama nepotis, diktator, menginjak HAM dan berhasrat melanggengkan status kekuasaan. Bahkan, keduanya sama-sama “mati” dari kursi kekuasaan secara paksa. Begitu kencang tiupan “angin” Jahiliyah, ia telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, terkhusus di Indonesia.

Sama halnya dengan Islam, HMI juga mengalami hal yang sama. Islam menjadi besar karena melakukan sebuah “perlawanan”. HMI pun saat ini menjadi sangat besar karena pada awal periodenya juga melakukan perlawanan terhadap hegemoni konstruksi

9 Ath-Thabary, Tarikh ath-Thabary , Juz V hlm. 243

Page 13: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

budaya jahiliyah yang tidak ideal. Selain itu, HMI bukanlah “produk” yang 100% sempurna, seperi Islam yang juga tak sempurna. Namun agaknya, HMI sedikit lebih unggul dari sejarah Islam dalam hal percepatan pembaharuan. Setelah Muhamad wafat, segala sesuatu menjadi stagnan tanpa pengembangan. Namun setelah Lafrane Pane meninggal, estafet perjuangan langsung diambil alih oleh generasi selanjutnya tanpa perseteruan panjang.

Dalam Islam, terdapat hadits yang berbunyi “Inna al-Ulama Waratsah al-Anbiya” (sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi). Hadits ini secara implisit, menerangkan tentang rangkaian estafet prophetik. Yang diwariskan oleh nabi kepada ulama adalah Mission, bukan yang lain. Missi tersebut adalah proyek pembangunan peradaban ideal, yang belum bisa dilakukan nabi Muhamad secara keseluruhan. Jadi, yang dimaksud dengan Ulama disini adalah para Mujadid-Mujadid Islam itu, bukan yang lain. Dalam konteks HMI, pewarisan misi dari Lafrane Pane kepada generasi selanjutnya berlangsung secara kontinu dan tidak terputus, berbeda dengan Islam yang baru dilakukan pada periode modern atau postmodern. Oleh karena itu, tokoh-tokoh besar dalam HMI seperti Nurcholis Madjid bisa disebut sebagai salah satu dari “Ulama” yang mewarisi misi dari “nabi” HMI (Lafrane Pane).

Memang, HMI sendiri lahir disaat dunia sedang gencar-gencarnya melakuka Tajdid, untuk menciptakan peradaban baru yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Maka ketika HMI memiliki ruh pembaharuan, objek pembaharuan tersebut mencangkup keseluruhan hal yang dirasa perlu untuk diperbaharui.

Setidaknya, ada lima pokok perjuangan HMI dalam membentuk ideal peradaban Idonesia. Pertama, bidang politik. Ajaran Islam tidak akan tumbuh sempurna jika Indonesia masih dijajah oleh Belanda. Oleh karena itu, kapasitas bangsa soal politik harus ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih agar tidak direbut kembali. Isu-isu tentang nasionalisme, patriotisme, HAM bahkan saat itu sudah gencar slogan yang berbunyi “lebih baik mati syahid dripada hina dijajah”. Kedua, bidang ekonomi. Bangsa Indonesia harus dimakmurkan dalam bidang materi, sesuai dengan hadits nabi Kefakiran itu menyebabkan kekufuran. Kebutuhan pokok harus bisa terpenuhi. Keterpenuhan ini untuk menopang ibadah dan amal kepada Tuhan yang maha esa. Semakin kuat dan baik ekonomi suatu bangsa, akan berpengaruh positif terhadap bagi pertumbuhan dan perkembangan agama Islam di segala aspeknya.

Ketiga, bidang pendidikan. Agama Islam tidak akan bisa maju dan berkembang di Indonesia bila masyarakatnya bodoh, seperti halnya yang diucapkan oleh nabi Tidak ada agama bagi yang tak berakal. Oleh karena itu, HMI bercita-cita mendidik bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang cerdas. Bila bangsa sudah cerdas, maka perkembangan informasi dan teknologi bisa terus diikuti dan negara ini akan semakin maju.

Page 14: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Keempat, bidang agama. Lafran Pane menginginnkan agar Islam tidak hanya dimiliiki oleh mahasiswa STI saja. Tetapi harus didalami oleh semua mahasiswa. baik yang berada dalam Yogyakarta maupun diluar itu. HMI ingin merubah image Islam yang selama ini terkenal dengan “suka ngelarang”. HMI memproyeksikan diri sebagai organisasi yang ingin membumikan Islam.

Kelima, bidang kebudayaan. Sejak pertama berdiri, HMI sudah dihadapkan dengan berbagai aliran kebudayaan yang menyusup ke Indonesia. Sedikitnya ada empat aliran budaya yang salalu melakukan persaingan. Pertama, budaya barat yang dibawa oleh Belanda dan para Kolonial barat. Kedua, Komunisme. Ketiga, budaya kristiani. Keempat, Aliran budaya pribumi, kejawen.10

Sebagai “kontraktor” pembangunan peradaban, maka HMI menginterpretasikan diri dalam jangka panjang, agar bisa relevan sesuai konteks keindonesiaan dan perkembangan selanjutnya.

Kepluralan HMI dengan tidak meng-underbow-kan diri kepada otoritas diluar HMI adalah modal awal untuk membangun peradaban Ideal, sebuah peradaban tanpa usur kegolongan dan bersifat universal. Memang, kemajemukan bangsa Indonesia awalnya adalah sebuah aset berharga, yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain. Namun hal yang perlu diingat adalah, kemajemukan tersebut berpotensi melahirkan konflik peradaban, seperti yang terjadi dalam sejarah Islam.

Huntington menjelaskan, setidaknya ada lima faktor sebuah benturan atar peradaban bisa terjadi. Pertama, masyarakat dengan pendangan hidup yang berbeda dipastikan memiliki perbedaan konstruksi baik-buruk, Tuhan-manusia, individu-kelompok, kota-bangsa, orang-tua-anak, kota-bangsa dan lain sebagainya. Perbedaan konstruksi ini melahirkan perbedaan pandangan tentang hak-kewajiban, kebebasan-otoritas, persamaan-hierarki. Kedua, teknologi membuat dunia semakin sempit. Hal ini menyebabkan interaksi lintas peradaban terus meningkat dan berlangsung intensif. Ini berakibat semakin menguatnya kesadaran identitas sebuah peradaban di antara peradaban-peradaban yang lain.

Ketiga, adanya modernisasi ekonomi dan perubahan sosial di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan tercabutnya masyarakat dari akar idetitas lokal. Ketercabutan ini menyisakan ruang kosong yang kemudian diisi oleh agama dengan segala fundamentalismenya. Keempat, Semakin berkembangnya kesadaran peradaban (Civilitation consciousness). Kelima, semakin menguatnya karateristik antar peradaban-

1 0 Prof. Dr. Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya Dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia (Jakarta, Penerbit CV. Misaka Gazila, 2008) hlm. 57-59

Page 15: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

peradaban. Hal ini menyebabkan sulitnya kompromi dan perbaikan hubungan lintas peradaban. 11

Kelima faktor diatas bisa dikatakan “indonesia banget”. Sebab sepanjang sejarah Indonesia, selalu diwarnai konflik lintas budaya yang faktor penyebabnya adalah kelima point diatas tadi.

HMI sebagai “sesosok” yang Independen, berpeluang menjadi mediator benturan-benturan ini. Sebab, dengan kenetralan yang dimiliki, membuat HMI secara dhohir tidak terlibat dalam beturan tersebut. Dengan kandungan wawasasan keindonesiaan, keislaman, kemahasiswaan dan ke-HMI-an yang dimiliki adalah modal berharga untuk memperbaiki kondisi Indonesia yang semakin carut-marut diberbagai aspeknya, bahkan di internal HMI sendiri. HMI periode reformasi mengalami pengkaburan misi oleh kader-kadernya sendiri. Sesuai dengan empiris subjektif penulis, banyak sekali mahasiswa salah orientasi saat masuk organisasi, khususnya dalam HMI. Fase politik yang pernah mewarnai sejarah perjalanan HMI, nyatanya telah membentuk jaringan-jaringan politik yang sangat luas. Bahkan, terdapat slogan yang bagi penulis terlalu berlebahan, seperti “Menjadi menteri bukanlah keinginan kita, melainkan akibat dari ber-HMI”. Jaringan politik yang luas dan slogan-slogan inilah yang membuat mahasiswa bermental materi-kuasa berhasrat memasuki HMI untuk mendapatkan jaringan itu. Ini adalah bentuk kemerosotan moral mahasiswa sebagai agen perubahan. Maka jangan kaget bila pejabat-pejabat yang tersandung korupsi di birokrasi adalah KAHMI. Penulis kira mereka itulah produk kaderisasi HMI yang dipondasi dengan nafsu, harta dan kekuasaan. Disamping perbaikan atas kondisi Indonesia dan Islam pada umumnya, HMI juga perlu berbenah diri. Kita ini adalah ulama prophetik, pewaris misi kenabian yang mulia.

3. Seputar tentang Tajdid (pembaharuan)

Apa perbedaan manusia dengan burung? Untuk menjawab pertanyaan ini, perhatikanlah kebiasaan keduanya dalam membangun rumah. Pernahkah kita berfikir, kenapa bentuk sarang burung tidak pernah berubah meskipun telah melewati berbagai zaman? Sedangkan rumah manusia selalu berubah-ubah, bahkan antar satu budaya dengan budaya lain memiliki ciri khas rumah yang berbeda-beda. Perbedaan diantara keduanya terletak dalam kemampuan berfikir, sehingga mampu melahirkan berbagai inovasi yang terus berkembang. Fitrah manusia memang dinamis, bila ada manusia yang menolak kedinamisan, maka kemanusiaannya perlu untuk dipertanyakan.

1 1 Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban (Yogyakarta, Penerbit Qalam, 2003) .

Page 16: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Dalam bahasa Arab, pembaharuan diterjemahkan dengan kata Tajdid, bukan Bid’ah. Meskipun sebenarnya, makna pembaharuan juga cocok disematkan kepada kata Bid’ah. Hanya saja, Tajdid lebih spesifik dalam pembaharuan di luar ibadah murni (al-Ibadah al-Mahdlah), sedangkan Bid’ah diidentikan dengan pembaharuan dalam ibadah tersebut. Dalam islam, Tajdid sangatlah dianjurkan, sedangkan Bid’ah dilarang (Cak Nur).

Al-Qur’an diturunkan melalui proses dialektika-komunikatif. Ia turun sebagai respon atas problematika yang dihadapi bangsa Arab pada saat itu. Artinya, al-Qur’an adalah salah satu alat untuk memperbaharui sebuah peradaban, yang nantinya akan dijadikan sebagai percontohan peradaban universal. Dengan pendekatan hikmah, dari kejadian ini dapat disimpulkan, bahwa kedatangan al-Qur’an bersamaan dengan pesan pembaharuan. Maka seharusnya, ruh seorang muslim adalah dinamis, kreatif dan inovatif. Al-Qur’an menolak sikap konservatif, yaitu mempertahankan apa yang sudah ada, dan menolak sebuah pembaharuan. Jika sepakat manusia adalah ciptaan Tuhan, maka sejatinya manusia mewarisi genetika dari penciptanya. Dan salah satu sifat tersebut adalah kreatif dalam menciptakan hal-hal baru. Sebab, salah satu nama Tuhan dalam Islam adalah al-Badi’, yaitu maha kreatif dan maha cipta. Oleh karena itu, semangat al-Qur’an adalah semangat pembaharuan, dan sebagai seorang muslim yang baik, melakukan sebuah pembaharuan adalah indikasi ketaatan.

Sebuah pembaharuan, dilakukan untuk memperbaiki keadaan, menyeleraskan peradaban agar tidak membusuk ditelan zaman. Itulah yang membedakan peradaban manusia dan burung. Bila diatas dijelaskan bahwa nabi adalah pelopor pembaharu, maka ketika kita membaca sejarah pemikiran Islam, akan kita temukan para pewaris kenabian (ulama pembaharu). Dalam satu riwayat hadits sendiri, telah disebutkan bahwa setiap satu kurun akan muncul satu Mujadid yang akan memperbaiki segala sesuatu yang harus diperbaiki. Namun, bersamaan dengan sang mujadid itu, lahirlah sang pembangkang yang menolak pembaharuan tersebut. Ali Rahmat Said, atau yang populer disebut dengan Adonis menjelaskan, ada dua golongan dalam sejarah pembaharuan Islam. Golongan itu adalah at-Tsabit dan al-Mutahawwil. At-Tsabit adalah golongan yang mempertahankan kemapanan yang diciptakan oleh napak tilas nabi. Sedangkan al-Mutahawwil adalah golongan yang menginginkan sebuah perubahan.12

Periode kontemporer, adalah masa dimana pembaharuan-pembaharuan “dibudidayakan”, bagai jamur di musim hujan. Perhatian dunia tertuju kepada Islam yang tengah memperbaiki peradaban. Islam yang semakin tertinggal dari peradaban Barat mencoba untuk bangkit dari keterpurukan. Ulama-ulama pembaharu pun ramai-ramai

1 2 Adonis, at-Tsabit wa al-Mutahawwil (Yogyakarta, Penerbit LKIS, 2007) hlm. xxvi

Page 17: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

melakukan sebuah “tindakan intelektual”, yaitu dengan membuka kembali pintu ijtihad yang sebelumnya dibekukan oleh hegemoni kekuasaan. Dengan terbukanya pintu ini, umat Islam yang inovatif kembali memiliki kesempatan untuk menggunakan “pintu-pintu doraemon” untuk mengunjungi dimensi-dimensi kehidupan yang telah diciptakan Tuhan. Adapun para pembawa “pintu doraemon” kontemporer tersebut adalah seperti Muhammad Abed al-Jabiri dengan proyek “kritik nalar arab”, Nasr Hamid Abu Zayd dengan proyek “kesadaran ilmiah”, Hassan Hanafi dengan proyek “tradisi dan pembaharuan” dan masih banyak lagi. Kesemuanya memproyeksikan pemikiranya sebagai pondasi peradaban yang madani.

Dalam konteks Indonesia, pembaharuan atas peradaban Islam dipelopori oleh jaringan Walisongo. Sama halnya dengan Arab, “bagian-bagian” Indonesia juga memiliki budaya pribumi. Proses internalisasi Islam di Indonesia juga melalui proses akulturasi. Pembaharuan untuk pertama kali dengan menghapus ajaran-ajaran mistis yang tak sesuai dengan ajaran Islami. Bersamaan dengan itu, pembaharuan terus gencar dilakukan oleh kalangan tradisionalis atas datangnya budaya barat yang dibawa lewat penjajahan. Pembaharuan ini lebih menitikberatkan kepada pemurnian kembali ajaran-ajaran Islam agar tidak bercampur dengan ideologi yang bertentangan. Selain itu, pada dasarnya, setiap pergantian periode pemerintahan adalah bagian dari pembaharuan. Orde lama ke orde baru, orde baru ke reformasi, peralihan periode ini merupakan perjalanan dari perbaikan kenegaraan menuju yang lebih baik.

Lebih dari itu, sebuah perubahan adalah suatu keharusan jika menginginkan terciptanya kondisi yang ideal. Untuk melakukan hal ini, semua penghalang harus disingkirkan agar tak menjadi benalu peradaban.

4. “Hijau” sebagai “Ideologi” Rekonstruksi

Islam dan HMI sangat identik dengan warna Hijau. Memang, hijau adalah warna yang dipopulerkan oleh Timur-tengah sebagai simbolisasi peradaban Islam. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila HMI dikatakan sebagai organisasi paling islami, dipandang dari penggunaan warna budaya yang menjadi ciri khas islam itu.

Seorang kader HMI pada hakikatnya memiliki peran ganda, peran sebagai seorang muslim, mahasiswa dan penduduk Indonesia. Ketiga peran ini membentuk suatu kausalitas sinergitas dan sebab-akibat yang tak dapat dipisahkan dalam upaya rekonstruksi peradaban. Artinya, pada saat proses rekonstruski, dua identitas hijau itulah yang nampak ke permukaan sebagai identitas pembaharuan.

Page 18: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

HMI sebagai sebuah wadah perjuangan, menjadikan pembaharuan sebagai salah satu tujuan organisasi. Ruh pembaharuan ini terkandung dalam kata “pencipta” dalam rangakain tujuan HMI yang berbunyi “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islami dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil-makmur yang diridloi Allah S.W.T”. Lebih jauh menggali tujuan organisasi ini, HMI memberikan standar minimal yang harus dikuasasi seorang kader agar menjadi seorang “ulama” tajdid. Yaitu dengan meningkatkan diri dengan kualitas lima insan cita. Standarisasi ini adalah bentuk dari usaha kaderisasi para Mujadid HMI agar benar-benar mampu untuk mengemban estafet prophetik yang belum sempurna.

Adapun ke-lima standar Mujadid tersebut adalah ; Pertama, Kualitas insan akademis. Berpendidikan tinngi, berwawasan luas, berfikir rasional, objektif dan kritis. Seorang Mujadid HMI harus memiliki kemampuan teoritis dan mampu memposisikan diri dalam segala medan. Sehingga, ia bisa bekerja dengan prinsip-prinsip inovasi.

Kedua, kualitas insan pencipta. Seorang mujadid HMI harus mampu melihat kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar dalam proses kreatifitas. Tidak bersifat isolatif, sehingga mampu menyadari potensi kreatifitasnya dalam menciptakan segala hal yang baru dan memiliki nilai-fungsi yang jelas.

Ketiga, kualitas insan pengabdi. Mujadid HMI harus ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan orang banyak, artinya ia harus mampu untuk membunuh sisi keegoisannya demi urusan yang lebih besar. Mengabdi lebih dalam dari kata perjuangan.

Keempat, Kualitas insan nafas Islami. Tentunya, dalam sebuah agenda pembaharuan, harus ada landasan teologis yang jelas. Islam sebagai agama yang mengusung nilai keadilan sosial dan ekonomi mampu menjadi pondasi yang kuat untuk melawan sebuah kultur hegemoni. Ya, udara ibarat Islam, mujadid HMI harus menjalankan fitrahnya sebagai seorang muslim, yang “bernafaskan islami”

Kelima, kualitas insan bertanggung jawab. Sebagai makhluk sosial, sudah seharusnya memiliki kepedulian kepada segenap manusia sebumi setanah air. Tidak hanya bersedia meningkatkan kualitas diri, melainkan juga meningkatan taraf kehidupan bangsanya sendiri. Siap memikul akibat-akibat dari perjuangan pembaharuan. Sebab, menempuh jalan kebaikan harus disertai dengan keberanian moral, spontan dalam meghadapi tugas dan responsif dalam menghadapi persoalan-persoalan dan menjauhkan diri dari sikap apatis.13

1 3 Prof. Dr. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI ,hlm. 14-16

Page 19: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Kelima standar kualitas diri diatas merupakan standar Mujadid dan sekaligus menjadi cita-cita tertinggi HMI sebagai Man of Future dan Man of Inovator, keduanya merupakan hasil akhir dari pengkaderan yang ada dalam tubuh HMI.

Seperti yang dijelaskan dalam bab sebelumnya, sebuah pembaharuan dilakukan untuk memperbaiki kondisi yang tak lagi kondusif. Maka dari sini, objek pembaharuan para Mujadid HMI ada empat hal. Yaitu, keagamaan, keindonesiaan, kemahasiswaan dan ke-HMI-an. Sebab, keempat hal tersebut sedang mengalami fase keterpurukan.

Yang pertama, aspek keagamaan. Kepercayaan merupakan fitrah manusia, namun akan menjadi sebuah kesalahan apabila aktifitas percaya ini dilakukan dengan cara yang salah. Kesalahan tersebut terletak dari sistem kepercayaan itu sendiri. Semangat Islam adalah al-Hanafiyah al-Samhah (semangat mencari kebenaran yang ideal), sehingga dari sini, sebenarnya doktrin adalah hal yang harus dijauhi. Karena pada dasarnya, doktrin adalah pengkristalan dari ilmu pengetahuan yang tidak bisa diganggu gugat. Pergumulan doktrin inilah yang menyebabkan tertutupnya pintu ijtihad. Oleh karena itu, praktik beragama yang selama ini berbau doktrinal harus segera diperbaharui untuk kembali mengangkat semangat Islam yang Hanif tadi. Selain itu, puing-puing Jahiliyah masih diwariskan turun-temurun sampai sekarang. Meski konsep teologi telah disempurnakan (tauhid), namun masih banyak umat Islam yang mengadopsi tuhan-tuhan kecil sebagai tandingan Tuhan esa. Ini merupakan penodaan persaksian primordial manusia. Oleh karena itu, HMI sebagai salah satu organisasi yang menggunakan agama sebagai landasan perjuangan, sudah seharusnya melakukan Tajdid besar-besaran atas umat Islam konteks keindonesiaan, sebagai bentuk tanggung jawab spiritual sesuai dengan nilai-nilai dasar perjuangan (NDP) bab dasar-dasar kepercayaan.

Kedua, keindonesiaan. Indonesia adalah negara majemuk yang menganut sistem demokrasi dalam pemerintahan. Pemilihan demokrasi ini awalnya memang sangat representatif dengan kondisi bangsa yang serba plural. Namun sebagaimana resiko keberagaman, konflik pun tidak terhindarkan bila tidak ada sebuah inisiatif kesadaran. Media terlalu sering memberitakan konflik lintas perbedaan (agama, sosial, budaya dan politik). Konflik atas nama agama seperti kasus Ahmadiyah, Sunni-Syiah, ormas Islam yang mencerminkan bahwa agama bukanlah nilai perdamaian. Dalam konteks sosial misalnya, perselisihan antara TNI dan POLRI yang mengatasnamakan sentimen dan gengsi peran. Konflik budaya seperti pornografi vs antipornografi, meskipun konflik budaya ini

Page 20: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

dibumbui dengan unsur teologis. Yang paling parah adalah konteks perpolitikan di Indonesia. Politik sebenarnya baik, yang menjadikan politik kotor adalah para poli-tikus yang ada dalam panggung politik itu sendiri. Untuk sekarang, politik lebih tepat diartikan sebagai jembatan untuk mengais rejeki lewat pemerintahan. Sebab, orientasi politik sudah bergeser, bukan pada kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan dirinya dan keluarganya (nepotis). Selain itu, kondisi pendidikan dan ekonomi bangsa juga sangat mempengaruhi orientasi tadi. Oleh sebab itu, HMI sebagai organisasi yang paling representatif, sudah seharusnya mampu meredam berbagai konflik diatas dan mencoba untuk melakukan sebuah perubahan universal. Dalam konteks perbedaan, HMI adalah satu-satunya organisasi yang menjunjung tinggi perbedaan, dibuktikan dengan kepluralan HMI menerima dan menaungi lintas aliran untuk sama-sama diproses dalam pengkaderan. Semangat keadilan ekonomi-sosial yang terkandung dalam NDP harusnya juga bisa menjadikan HMI sebagai kalangan intelektual garda depan, yang menyuarakan dan menciptakan keadilan itu dengan sebenar-benarnya adil. Kalau bukan HMI, siapa lagi?

Ketiga, kemahasiswaan. Mahasiswa merupakan komponen pembaharuan yang melegenda. Mahasiswa sebagai agen perubahan (Agent social of change), menyiratkan bahwa mahasiswa juga agen pembaharuan. Sebab, perubahan adalah spesifikasi dari pembaharuan. Legenda mahasiswa sebagai agen perubahan-pembaharuan begitu masyhur di semua lapisan perguruan tinggi. Ya, disetiap perpindahan fase pemerintahan di situ pasti ada mahasiswa. Fakta ini merupakan bukti nyata peran mahasiswa sebagai agen bangsa. Namun, paska reformasi, mahasiswa mengalami degradasi. Mahasiswa sekarang ini tidak seperti mahasiswa dulu yang “agresif-responsif” dalam menghadapi segala sesuatu yang baru. Indikasi degradasi ini terletak pada beberapa hal. Pertama, semakin berkurangnya minat mahasiswa dengan diskusi dan organisai. Merosotnya pamor organasasi mahasiswa menunjukan menurunnya peran mahasiswa sebagai agen bangsa. Sebab, sebuah perjuangan tidak akan efektif tanpa adanya persatuan. Organisasi mahasiswa adalah wadah dari persatuan mahasiswa itu. Bersama-sama lebih kuat dari sendiri saja. Ketiga, salah orientasi dalam berorganisasi. Organisasi pada hakikatnya adalah “tunggangan” pacuan untuk memperjuangkan hak rakyat dengan mengawal kebijakan pemerintah (control). Namun, untuk sekarang bukan hal itu yang diinginkan oleh mahasiswa. Mahasiswa sekarang terlihat lebih manja dan enggan untuk rekasa (kesulitan_red) apalagi berjuang. Orientasi kuliah hanyalah gelar sebagai proyeksi materi di masa depan. Dalam konteks HMI, “link-link” jaringan yang dimiliki oleh organisasi ini sering dijadikan orientasi yang apriori. Pergesaran mental mahasiswa ini adalah bentuk keterpurukan dinasti mahasiswa yang menakutkan di masa lalu, namun bagi pemerintah sekarang, mahasiswa terlihat “unyu-unyu”.

Page 21: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Keempat, masalah ke-HMI-an. Selain yang dijelaskan dalam point diatas, otokritik merupakan hal yang harus dilakukan oleh suatu oraganisasi, bila menginginkan organisasi tersebut abadi sampai batas akhirnya. Bagi Agus Sitompul, selama ini budaya atokritik dalam HMI sangatlah lemah. Padahal, otokritik secara periodik bisa menghasilkan butir-butir ibrah untuk dijadikan landasan perbaikan di masa depan. Siapa saja yang menolak kritik, pada dasarnya adalah menginginkan suatu kehancuran dirinya sendiri (lanjut sitompul). Contoh sejarah yang paling representatif adalah dua presiden awal bangsa Indonesia, yaitu Soekrano dan Soeharto. Dua presiden yang memerintah dalam dua periode berbeda ini menolak untuk dikritik, akhirnya kedua presiden tersebut berakhir dengan cara yang “tidak normal”.

Sebenarnya, ada banyak hal yang perlu dikritik dari HMI. Salah satu dari otokritik tersebut adalah pecahnya HMI, dengan munculnya MPO oleh Eggy Sudjana (1986). Hal ini merupakan kerugian yang sangat besar bagi HMI. Sebab, dalam misinya sebagai pemersatu bangsa, HMI justru gagal karena terpecah sendiri. Oleh karena itu, Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa HMI tidak lulus dalam sejarah14. Untuk membangun HMI masa depan, sudah seharunya masing-masing pihak melepaskan baju egoisme untuk melakukan sebuah rekonsiliasi. Sama halnya dengan Islam, keterpecahan menjadi berbagai bentuk macam sekte adalah sebuah hal yang memalukan, meski hal ini adalah ramalan dari nabi sendiri (73 golongan). Rekonsiliasi merupakan hal yang harus dilakukan oleh Islam dan HMI, untuk menjadikan masing-masing dari keduanya menjadi satu yang murni. Namun jika alasannya adalah perbedaan pandangan yang tidak bisa disatukan. Maka minimal yang harus dilakukan adalah mengahapus nama-nama golongan yang mengkotak-kotakan. Perbedaan pandangan harusnya ternauingi oleh satu otoritas, dan tidak perlu “mengkotak” dengan sebuah nama yang seolah berbeda. Justru, pengkotakan itulah, sebab dari benturan-benturan seperti yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya.

Kritik selanjutnya adalah, kenapa selama ini HMI selalu diklaim milik Muhamadiyah? Lantas Ikatan Mahasiswa Muhammidayah (IMM) itu milik siapa? Sebagai kader HMI, kita tidak boleh menyalahkan persepsi orang-orang di luar HMI secara mutlak. Sebab, sebuah persepsi pastilah memiliki alasan. Hal inilah yang kemudian dikritik juga oleh Azumardi Azra. Persepsi HMI adalah Muhammadiyah salah satunya disebabkan oleh praktik kegamaan HMI yang mirip dengan Muhammadiyah dari pada NU, yang lebih menekankan aspek

1 4 Prof. Dr. Agussalim Sitompul, HMI Mengayuh Diantara Cita dan Kritik (Jakarta, Penerbit CV. Misaka Galiza, 2008) hlm.93

Page 22: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

pengetahuan (kognitif) dari pada efektif (sikap). Oleh karena itu, empiris spiritualis HMI sangatlah kering. Dari beribu-ribu KAHMI yang ada, hanya sedikit sekali yang “berprofesi” sebagai Kyai. Selebihnya, menjadi dosen dan kebanyakan masuk ke ranah politik. Bahkan, seolah-plah sudah tidak ada bedanya lagi antara politik dan HMI. Hal seperti ini nyatanya menimbulkan efek sosial yang negatif dan secara tidak langsung mempersulit HMI untuk melaksanakan misi-misinya. Apalagi dengan kondisi masyarakat “akar rumput” yang masih mempersoalkan masalah perbedaan golongan. Jika masih identik dengan Muhammadiyah, maka kalangan NU tradisionalis tidak akan bisa menerima meski apa yang dibawa HMI adalah benar, dan sebaliknya. Oleh karena itu, untuk melancarkan misi perbaikan peradaban, maka HMI harus berbenah dengan menambahkan sistem perkaderan yang mendukung untuk hal ini. Sistem perkaderan HMI sudah baik, namun akan lebih baik bila HMI bisa diterima oleh semua kalangan. Seperti slogan khas NU Al-Muhafadzah ala al-Qadim as-Shalih wa al-akhdu bi al-Jadid al-Ashlah (menjaga kebaikan yang sudah ada dan mengambil hal yang baru yang menambah kabaikan). Bagaimana mungkin HMI bisa melakukan pembaharuan, bila HMI saja ditolak langsung oleh peradaban.

Otokritik dari penulis sendiri adalah mengenai kejumudan HMI saat ini. Berangkat dari kritik Nanang Tahqiq yang mengatakan HMI telah gagal diatas keberhasilannya sendiri. Artinya, sebenarnya HMI adalah pelopor penerapan sistem pengkaderan (training) dan kemudian sistem ini dipakai oleh organisasi lain. Namun, HMI tidak mampu atau tidak mau untuk menciptakan sistem perkaderan baru agar bisa berbeda (dalam hal kualitas) dengan organisasi lain. Menurut analisa penulis, selama ini HMI terlalu “saklet” dengan konstitusi atau teks-teks ke-HMI-an yang telah dirumuskan, dan enggan untuk melakukan pembaharuan. Dalam istilah teologi, HMI saat ini masuk dalam kategori skriptualis (tekstualis). Sebagaimana dalam penafsiran, interpretasi secara tekstualis menyebabkan suatu agama terjebak dalam sebuah kotak dan tidak bisa bergerak banyak. Oleh karena itu, diperlukan kontekstualisasi HMI agar ia bisa relevan sepanjang zaman, dan dapat merealisasikan redaksi “untuk waktu yang tidak ditentukan dalam anggaran dasar HMI pasal 2.

Begitulah, ada banyak objek pembaharuan yang tidak akan habis bila ditulis dalam kertas terbatas ini. Baik dalam konteks keislaman, keindonesiaan, kemahasiswaan dan ke-HMI-an. Yang jelas, pembaharuan adalah sebuah kebutuhan untuk merespon arus “kontemporerisasi” yang terus berkembang sepanjang hidup manusia.

HMI sebagai organisasi yang paling representatif sebagai perkaderan Mujadid “hijau”, harus segera memperbaiki diri untuk perbaikan peradaban Indonesia dengan mayoritas muslim terbesar dunia. HMI adalah gerakan

Page 23: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

pembaharuan, menjadikan Islam sebagai pisau bedah peradaban adalah hal yang sangat tepat. Sebab manusia belajar dari sejarah, dimana Islam yang dibawa oleh Muhamad memang mampu memperbaharui budaya-budaya yang tidak berperikeadilan dan berkemanusiaan. Hanya saja, perbaikan yang dilakukan oleh Muhamad belumlah sempurna. Keterbatasan usia sebagai manusia biasa, menjadi salah satu penyebabnya. Penulis sering bertanya-tanya, jika Muhamad adalah nabi terakhir, kenapa konsep yang dibawa belum sempurna? Apa hikmah dibalik ini semua? Mungkin, yang dimaksud dengan “terakhir” dalam rangkaian kenabian adalah formalitas tuhan saja. Namun secara kultur, ruh prophetik beserta misinya masih diestafetkan dari generasi ke generasi sampai Islam menjadi sempurna seutuhnya. Dalam konteks HMI, Larane pane juga telah tiada, namun “kenabian” dan misi sucinya masih terestafetkan dari generasi ke generasi sampai saat ini. Perbaikan demi perbaikan telah dilakoni, namun HMI sekarang belumlah final. Masih banyak pembaharuan yang akan muncul memperbaiki HMI.

Namun sayangnya, perbaikan yang nampak selama ini hanya dalam internal “peradaban” HMI saja. Perbaikan secara lebih luas belum terlalu kentara. Padahal, jika dibiarkan, kerusakan moral, ekonomi dan budaya bangsa akan semakin dalam. Oleh sebab itu, sebagai kader yang mewarisi semangat pembaharuan Islam, HMI wajib melakukan langkah-langkah kongkret. Merangkul organisasi junior seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam (KAMI) dan Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah (IMM) adalah langkah yang sangat diharapakan. Sebab selama ini, dinamika organisai kampus, masih diwarnai dengan sentimen lintas “warna”. Bagaimana mungkin peradaban yang baik bisa tercipta jika di dalam kampus ( yang menjadi kawah candradimuka mahasiswa) saja tidak bisa menyatukan visi-misi (meskipun realitanya sudah sama). Melepaskan identitas kegolongan saat berinteraksi dengan lintas aliran diperlukan untuk melakukan sebuah rekonsiliasi. Pembelajaran rekonsiliasi inilah yang seharusnya sudah ditanamkan sejak menjadi mahasiswa. Gambaran umum masa depan Indonesia bisa dilihat dari dinamika yang ada di perguruan tinggi. Jika baik, maka imajinasi masa depan akan baik pula dan sebaliknya.

Menurut cak nur, Islam adalah budaya yang mengunggulkan ikatan-ikatan keadaban (bond of civility), seperti hormat pada hukum, toleransi, pluralitas, mempertahankan egalitarianisme, dan penjunjungan HAM sebagai faham yang universal. Nilai-nilai budaya inilah yang menurut Cak nur menjadi syarat terciptanya sebuah masyarakat madani. Hal ini bisa diterima, sebab redaksi “madani” diambil dari kata “madaniyah”, yaitu tempat terlahirnya konstitusi demokratis pertama di dunia.

Page 24: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Nah sekarang, apakah Indonesia termasuk kategori masyarakat yang madani? Menimbang demokrasi yang digunakan sebagai sistem pemerintahan. Belum, bangsa Indonesia belum menjadi masyarakat madani seutuhnya, meskipun nilai-nilai demokrasi sudah dipakai disini. Kenapa? Sebab nilai-nilai demokrasi yang disebutkan di atas ditegakkan secara setengah-setengah. Ini adalah fakta dan sudah menjadi rahasia umum. Belum ada penghormatan hukum secara maksimal, justru hukum bisa dipermainkan. Aparat hukum pun tidak mendapatkan penghormatan yang minimal. Kasus kericuhan sidang Mahkamah Konstitusi beberapa waktu yang lalu menjadi bukti bahwa lembaga hukum pun sudah kehilangan wibawa. Berita Intoleransi masih menjadi konsumsi sehari hari. Persamaan hak dan keadilan masih dikebiri. HAM masih terinjak-injak oleh kekuasaan. Ini berarti, bangunan demokrasi yang dibangun oleh para Founding Fathers masih belum sempurna. Oleh sebab ketidaksempurnaan itu, maka estafet perbaikan harus segera di laksanakan layaknya sejarah perbaikan Islam, sampai demokrasi bisa tegakkan secara kaffah. Kaum muslimin yang berkewajiban menuntun Indonesia menuju negara yang adil, terbuka dan demokratis (Cak Nur).

Oleh sebab itu, untuk memperbaiki kondisi peradaban bangsa yang serba krisis ini, diperlukan semangat juang para ulama prophetik, sebagai sang pewaris misi kenabian dalam perbaikan peradaban Islam. HMI adalah wadah dari itu semua, oleh karena itu, perbaikan internal HMI harus dilakukan terlebih dahulu. Agar para Mujadid-mujadid hijau yang berproses di dalamnya menguasai kompetensi insan cita, yang menjadi standar minimal seorang Mujadid peradaban, seperti yang dijelaskan di bab-bab sebelumnya. Begitulah, peradaban ini akan menjadi indah bila dibangun dengan keindahan. Peradaban ini akan menjadi damai bila dibangun dengan perdamaian. Keindahan dan perdamaian adalah seni dalam membentuk peradaban yang ideal. Ideal itu Hijau.

Daftar Pustaka

Harun Nasution, Islam Rasional, Jakarta.

Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia (Jakarta, Penerbit CV. Misaka Gazila, 2008).

Budi Munawar-Rachman, Enslikopedi Nurcholish Madjid (Jakarta, Democracy Project, 2011)Prof. Dr. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI (Jakarta, Penerbit Misaka Galiza, 2008)

Page 25: Sang Mujadid Hijau. Estafet Prophetik Rekonstruksi Peradaban Islam

Prof. Dr. Agussalim Sitompul, HMI Mengayuh Diantara Cita dan Kritik (Jakarta, Penerbit CV. Misaka Galiza, 2008)

Prof. Dr. Muhammad Sayyid Thantawi, Etika Dialog Dalam Islam (Jakarta, Penerbit Mustaqim, 2004)

Tajus Syarofi, Gagasan Kepemimpinan, Refleksi Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan (Yogyakarta, Penerbit Litera, 2013) .

Ath-Thabary, Tarikh ath-Thabary , Juz V.

Prof. Dr. Agussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya Dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia (Jakarta, Penerbit CV. Misaka Gazila, 2008)

Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban (Yogyakarta, Penerbit Qalam, 2003) .

Adonis, at-Tsabit wa al-Mutahawwil (Yogyakarta, Penerbit LKIS, 2007)