Sagala Perencanaan Tata Ruang Berbasis Kebencanaan Di Indonesia
-
Upload
laxmi-aristiyani-nurfadillah -
Category
Documents
-
view
115 -
download
7
description
Transcript of Sagala Perencanaan Tata Ruang Berbasis Kebencanaan Di Indonesia
-
1
Perencanaan Tata Ruang Berbasis Kebencanaan di Indonesia
Saut Aritua Hasiholan Sagala dan Mizan Bustanul Fuady Bisri
Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Perdesaan
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10, Bandung, 40132
Email korespondensi: [email protected]
[saran untuk kutipan: Sagala, S. dan Bisri, M. (2011), Perencanaan Tata Ruang Berbasis
Kebencanaan di Indonesia dalam Anwar, H. dan Harjono, H. (ed), Perspektif terhadap
Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia, Penerbit Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.]
Abstrak
Perencanaan ruang (spatial plan) memiliki tujuan untuk menghasilkan penggunaan ruang
yang efisien, termasuk diantaranya menimimasi resiko bencana. Indonesia sebagai negara
yang sering mengalami bencana, baik karena faktor geografis atau peningkatan paparan
(exposure) terhadap bencana karena pembangunan atau urbanisasi, memerlukan upaya-upaya
untuk mengurangi besarnya resiko bencana. Tulisan ini mengulas sejauh mana perencanaan
ruang dapat berkontribusi di dalam pengurangan resiko bencana dan bagaimana konsep ini
telah diterapkan dalam penataan ruang di Indonesia. Dua studi kasus penerapan rencana tata
ruang berbasis kebencanaan di daerah rawan bencana di Indonesia dalam skala makro dan
mikro dibahas di dalam tulisan ini sebagai pembelajaran. Pada akhirnya disadari bahwa
perencanaan tata ruang berbasis kebencanaan perlu terintegrasi dengan alat-alat pengurangan
resiko bencana lainnya..
Kata Kunci: Bencana, Kapasitas, Kerentanan, Resiko, Penataan Ruang (Spatial Plan),
Pengurangan Resiko Bencanab
1. Pengantar Banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia mendorong semakin pentingnya peran
pengurangan resiko bencana. Hyogo Framework for Action (HFA; Kerangka Aksi Hyogo),
yang diputuskan pada Konferensi Pengurangan Resiko Bencana Dunia di Kobe pada tahun
2005, mengamanatkan perencanaan guna lahan (land use planning) atau perencanaan tata
ruang sebagai salah satu alat untuk pengurangan resiko bencana {UNISDR, 2005 #340}.
Peran perencanaan tata ruang dalam pengurangan resiko bencana telah banyak diusulkan
dalam praktik perencanaan baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang.
Jauh sebelum HFA disepakati sebagai sebuah kerangka kerja, Burby dan French (1981)
menyebutkan bahwa peran perencanaan tata ruang adalah untuk pembatasan pembangunan di
daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya yang terkait dengan alam. Hal ini termasuk
dengan pembatasan pembangunan di daerah rawan banjir dan pembuatan kode bangunan
(building code) untuk daerah-daerah yang rawan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami.
Dampak dari pembatasan pembangunan di daerah-daerah yang berbahaya akan meminimasi
potensi paparan (exposure), pengurangan terhadap kerugian jiwa serta kerusakan harta benda
di daerah-daerah berbahaya. Pembangunan yang tidak mengindahkan aspek kebencanaan
akan dapat berakibat pada besarnya resiko bencana yang timbul, seperti pembangunan
permukiman dan lokasi pariwisata di sepanjang pantai berpotensi terkena dampak tsunami.
Sebagai contoh, dampak sangat besar dari tsunami di Indonesia telah diketahui bersama pada
kejadian tsunami di Banda Aceh pada Desember 2004 dan Kawasan Pantai Pangandaran pada
Juli 2006.
-
2
Selain bencana-bencana yang berskala sangat besar (catasthropy), bencana yang terjadi
tahunan, seperti banjir dan tanah longsor juga mengindikasikan alokasi tata ruang yang tidak
tepat. Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung Selatan mengalami banjir tahunan dari
Sungai Citarum dengan frekuensi dan intensitas yang semakin meningkat akhir-akhir ini, hal
ini merupakan bukti lain ketidakharmonisan pemanfaatan ruang di sepanjang bantaran
sungai. Dalam konteks yang lebih luas, penataan ruang daerah aliran sungai pada dasarnya
tidak hanya berfokus pada dataran banjir, tetapi juga konsep yang terintegrasi antara kawasan
hulu, daerah tangkapan air, daerah yang dialiri oleh air sungai dan daerah hilir. Konsep ini
dikenal umumnya sebagai manajemen wilayah aliran sungai yang terintegrasi (Integrated
River Basin Management).
Gambar 1. Kejadian Banjir di Kabupaten Bandung
Sumber: BPBD Kabupaten Bandung, 2010.
http://assets.kompas.com/data/photo/2010/02/20/3696729p.jpg
(a)
(b)
Gambar 2. Floodplain di Sungai Kamogawa, Kyoto, Jepang:
(a) Saat Banjir dan (b) Tidak Banjir
Sumber: (a). Dwiyani, (b) Bisri, 2011
Bantaran Sungai Citarum, seperti juga di banyak tempat di Indonesia, tidak dilengkapi suatu
dataran banjir (flood plain) sehingga kawasan terbangun berjarak sangat dekat dengan badan
sungai. Dengan demikian ketika debit air sungai meningkat, maka area di sekitarnya sangat
rentan untuk langsung mengalami banjir (Gambar 1). Hal ini kontras dengan keadaan yang
terdapat di negara-negara maju yang menyediakan dataran banjir sehingga pada saat banjir,
area ini yang terlebih dahulu tergenang. Penetapan dimensi area tersebut juga dilakukan
sedemikian rupa sehingga pada kenaikan debit maksimal pun kawasan terbangun di
-
3
sekitarnya tidak mengalami banjir (Gambar 2). Pada saat kondisi tidak banjir, area tersebut
berfungsi sebagaimana ruang terbuka publik pada umumnya.
Secara garis besar, tulisan ini akan mengulas teori-teori perencanaan tata ruang yang terkait
dengan resiko bencana. Teori ini dikaitkan dengan siklus fase bencana atau disaster cycle,
yang umum dipakai pada studi kebencanaan. Selanjutnya, konseptualisasi perencanaan tata
ruang dan siklus bencana diintegrasikan sehingga memunculkan dimensi dimana tata ruang
dapat berperan. Diskusi selanjutnya adalah mengulas kasus-kasus perencanaan tata ruang
kontemporer di Indonesia yang mengakomodasi pengurangan resiko bencana di Indonesia.
Pada bagian akhir, diusulkan beberapa komponen-komponen yang perlu disertakan di dalam
perencanaan tata ruang untuk pengurangan resiko bencana.
2. Fungsi Perencanaan Tata Ruang Kesadaran akan pentingnya peran perencanaan tata ruang untuk pengurangan resiko bencana
termasuk cukup lambat, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Amerika seperti yang
disampaikan oleh Burby et al (2000). Pendekatan yang lebih umum dipakai adalah mitigasi
fisik dan persiapan respon / untuk tanggap darurat (Gambar 3). Mitigasi fisik mencakup
pembuatan dam, penguatan tanggul, serta pemasangan instalasi perangkat peringatan dini.
Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar alokasi pemerintah Indonesia adalah dengan
penguatan organisasi dan kapasitas yang terkait dengan fase tanggap darurat atau respon
ketika bencana terjadi. Pola pola manajemen bencana sampai dengan tahun 2007 adalah dikoordinasi oleh Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana (Bakornas PB) ataupun Satuan
Tugas Pelaksanaan Penanggulangan Bencana (Satlak PB). Ini berarti usaha penanggulangan
bencana diselesaikan melalui mekanisme koordinasi yang dibentuk ketika bencana terjadi.
Dengan demikian perencanaan tata ruang yang sejatinya adalah suatu instrumen pengurangan
resiko bencana yang dilakukan pada saat tidak terjadi bencana, sampai dengan tahun 2007
belum benar benar mendapatkan tempat sebagai instrumen penting.
(a)
(b)
Gambar 3. (a) Bendungan Sabo untuk lahar dingin Gunung Merapi di Sungai Gendol,
Yogyakarta untuk mengurangi resiko bencana lahar dingin Gunung Merapi (mitigasi fisik)
dan (b) Kegiatan Tanggap Darurat di Tempat Pengungsian Erupsi Gunung Merapi, 2010
Sumber: Sagala (2008), Sagala (2010)
Perencanaan tata ruang sebagai suatu bentuk intervensi pembangunan yang multidimensi
memungkinkan berbagai bentuk kegiatan mitigasi resiko bencana untuk diintegrasikan, baik
yang bersifat fisik (struktural) maupun non fisik (non struktural). Dalam menentukan bentuk
kegiatan mitigasi yang akan digunakan akan bergantung kepada jenis bencana dan tujuan
-
4
kegiatan tersebut. Godschalk (1991) dalam (Kaiser, 1995) memberikan gambaran jenis
kegiatan mitigasi dan tujuan yang dapat diraih oleh kegiatan tersebut, sebagaimana
ditampilkan pada Tabel 1. Kegiatan kegiatan tersebut dapat digunakan untuk beberapa jenis bahaya alam sekaligus, hal ini memerlukan keterampilan kajian resiko bencana sehingga
pilihan intervensi menjadi sesuai. Hal ini sejalan dengan fungsi implementasi perencanaan
penggunaan rencana guna lahan untuk manajemen ekosistem yang dapat dilakukan melalui
pemutakhiran data, pemetaan data kepemilikan, analisis dampak dari manusia; tujuan guna
lahan; kebijakan terdiri atas mekanisme insentif, akuisisi lahan, dan kebijakan lainnya.
Tabel 1 Berbagai Jenis Kegiatan Mitigasi dan Tujuan Penggunaanya
Jenis Kegiatan Mitigasi Tujuan Mitigasi
Perencanaan tata guna lahan
Building codes
Pengaturan zonasi
Pengaturan subdivisi
Analisis Bahaya / Pemetaan Resiko
Sistem informasi bahaya
Edukasi publik
Pemantauan / inspeksi
Pengambilalihan lahan yang berbahaya
Relokasi
Insentif dan disinsentif pajak
Asuransi bencana
Pengaturan pembangunan di lokasi yang aman
Penguatan terhadap tekanan bahaya
Pembatasan terhadap penggunaan area berbahaya
Penguatan infrastruktur terhadap bahaya
Identifikasi area berbahaya
Peningkatan kesadaran terhadap resiko
Peningkatan pengetahuan mengenai bencana
Pemantauan implementasi peraturan
Pengalihan fungsi menjadi ruang terbuka/rekreasi
Pemindahan kondisi rentan ke lokasi yang aman
Penciptaan motivasi untuk pindah ke lokasi aman
Pemberian kompensasi terhadap kerugian ekonomi
Sumber: Godschalk, 1991:136 dalam Kaiser et al (1995)
Di dalam menghasilkan tata ruang yang mempertimbangkan unsur-unsur kebencanaan serta
menentukan alat mitigasi yang akan digunakan, teknik pertampalan (overlay) antara konsep
pembangunan dengan daerah-daerah beresiko bencana hasil analisis resiko perlu dilakukan.
Hasil pertampalan dapat digunakan untuk mengoreksi usulan perencanaan, baik struktur
ruang, pola ruang, maupun penentuan kawasan kawasan strategis, yang diatur di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, Kabupaten, maupun Kota. Hal yang perlu
diperhatikan ialah adanya kebutuhan dan kesesuaian skala kedetailan resiko bencana yang
dihasilkan dengan tingkat kedetailan rencana tata ruang yang akan diperkaya dengan resiko
bencana tersebut. Sebagai contoh, peta resiko untuk mengoreksi rencana rinci (misalnya
RDTR) tentu berbeda dengan rencana umum tata ruang (RTRW). Perbedaan ini juga secara
signifikan menentukan seberapa detail rekomendasi pengurangan resiko melalui perencanaan
tata ruang dapat dihasilkan. Pada akhirnya, usaha pertampalan harus berorientasi akhir pada
keluaran produk rencana tersebut karena rencana tata ruang merupakan bagian dari sistem
penyelenggaraan penataan ruang yang baku. Dengan demikian perencanaan tata ruang hasil
pengumpulan dan dan analisis informasi tentang kesesuaian pembangunan dari daerah yang
terpapar (exposed) terhadap bencana alam dapat diketahui oleh masyarakat, investor
potensial-pelaku usaha, dan pemerintah.
Jika dikaitkan dengan konsep pada HFA, maka sebenarnya terdapat 5 fokus integrasi
perencanaan tata ruang dengan pengurangan resiko bencana, yakni: a) integrasi kajian resiko
bencana ke dalam perencanaan perkotaan, termasuk di dalamnya perhatian khusus terhadap
permukiman yang rentan terhadap bencana, b) pengarusutamaan pertimbangan resiko
bencana terhadap kegiatan pembangunan infrastruktur vital, c) Pengembangan dan
penggunaan alat pemantauan untuk mengukur aspek pengurangan resiko yang diperoleh atas
suatu kebijakan perencanaan tata ruang, d) integrasi kajian resiko bencana terhadap
-
5
perencanaan pembangunan perdesaan, terutama di daerah pegunungan dan pesisir, serta e)
revisi ataupun pengembangan terhadap building code serta praktik rekonstruksi dan
rehabilitasi pada tingkat nasional dan lokal. Sampai dengan saat ini, kelima limanya masih relevan dan belum dipraktikkan dengan optimal di Indonesia.
Untuk konteks perhatian HFA yang pertama, dalam konteks Indonesia memang telah
dilakukan usaha integrasi pengurangan resiko bencana ke dalam penyelenggaraan penataan
ruang, yakni dapat dilihat dari keterkaitan antara UU 24/2007 mengenai Penanggulangan
Bencana dan UU 26/2007 mengenai Penataan Ruang. Persoalannya ialah sampai dengan saat
ini belum terdapat suatu ukuran baku mengenai bagaimana kajian resiko untuk setiap jenjang
perencanan perlu dilakukan sehingga dapat berdaya guna. Hal ini sejatinya dapat
dikembangkan karena pada dasarnya dapat dilakukan pengukuran kualitas rencana tata ruang,
secara kuantitatif, dan kaitannya dalam konteks mitigasi bencana (Brody, 2003). Perencanaan
tata ruang bertindak sebagai landasan utama pembangunan di daerah dengan penentuan
alokasi ruang dari yang bersifat umum sampai dengan rinci. Sebagaimana disampaikan Mileti
(1999) tidak ada pendekatan yang mewujudkan mitigasi bahaya secara berkelanjutan yang lebih menjanjikan dibanding peningkatan pemanfaatan dari manajemen penataan ruang yang
tangguh".
Konteks integrasi dan pengarusutamaan pengurangan resiko bencana ke dalam perencanaan
tata ruang di Indonesia juga dapat dikatakan terlewatkan karena secara kontekstual
pemantauan atas kualitas rencana itu sendiri masih kurang terjamin, bahkan di dalam aspek aspek umum yang telah dipraktikkan bertahun tahun. Dengan demikian, alternatifnya
adalah untuk menyertakan isu isu lain yang berkaitan untuk membantu integrasi dan pengarusutamaan ini, misalnya dengan konteks degradasi lingkungan. Dalam kacamata
resiko bencana, degradasi lingkungan dapat ditempatkan sebagai faktor yang memperbesar
kerentanan suatu daerah. Hal ini diamati, Becker et al (2010) di Selandia Baru, dimana
pengembangan kebijakan zonasi merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan secara
umum dari aspek lingkungan. Contoh lain dapat juga dipelajari dari konteks Negara Jerman,
yang menyediakan flood plain atau dikenal juga dengan leaving more space to rivers yang dilakukan dalam konteks penyediaan ruang terbuka (Shen, 2010).
Penekanan pentingnya dilakukan mitigasi dalam bentuk pengaturan building code dan
peraturan zonasi sama sama disampaikan Godschalk (1991) serta ditekankan dalam HFA. Namun demikian, kecenderungan terkini menunjukkan bahwa hampir tidak ada suatu produk
rencana rinci yang secara akurat mampu menghasilkan peraturan zonasi yang baik serta
jikapun ada, maka masih sangat lemah dalam sisi implementasi. Dalam kaitannya dengan
mitigasi bencana, minimnya data analisis bahaya serta resiko pada tingkat mikro juga
menghambat implementasi arahan ini. Lebih lanjut, hal semacam ini hampir tidak mungkin
dilakukan secara mandiri oleh Tim Perencana suatu Kabupaten/Kota, sementara sebenarnya
terdapat banyak kajian resiko bencana pada tingkat makro, messo, dan mikro yang tersebar di
pusat pusat penelitian atau perguruan tinggi.
Aspek penting lain dari perencanaan tata ruang dan kaitannya dengan pengurangan resiko
bencana adalah fakta bahwa perencanaan dapat pula berfungsi sebagai media pengambilan
keputusan dalam pembangunan. Dengan demikian keputusan dalam bentuk kebijakan
pembangunan dapat diarahkan untuk mengurangi komponen pembentuk resiko, baik
menghindari lokasi bahaya, mengeliminasi kerentanan, sampai dengan memperkuat
kapasitas. Sistem Infomasi Geografis (SIG) adalah mata rantai yang mampu mengaitkan hal
tersebut. SIG mampu menciptakan protokol pengambilan keputusan untuk manajemen lahan
-
6
dengan mengembangkan model hubungan antara environmental values (termasuk komponen
pembentuk kerentanan) dengan berbagai data layer pada suatu wilayah perencanaan (Brody,
2004). SIG memiliki peran dalam pembangunan berkelanjutan pasca bencana, pada saat
tanggap darurat dapat memberikan quick look yang informatif dan komunikatif sehingga
membantu pengambilan keputusan serta pada jangka menengah dan panjang dapat menjadi
basis utama dalam pembangunan.
3. Siklus Bencana dan Perencanaan Tata Ruang Pengembangan kerangka kerja perencanaan berbasis kebencanaan juga perlu dimaknai dalam
konteks bagaimana proses dan produk perencanaan tersebut dapat berkontribusi pada setiap
tahap siklus bencana. Siklus bencana (Carter, 1991; Saffran, 2003; ADPC, 2006; Coppola,
2008), terlepas dari perkembangan debat terbaru dalam studi kebencanaan yang memandang
bahwa bencana tidak terjadi seperti fase siklus bencana, dapat dikatakan masih relevan untuk
diterapkan sebagai alat analisis kejadian bencana dari sisi waktu (Gambar 4).
Di dalam siklus bencana, kejadian bencana ditempatkan sebagai kejadian yang memicu
kerugian dan kehancuran, untuk kemudian sesaat setelahnya kemudian berlaku masa tanggap
darurat. Pada masa tanggap darurat, fokus kegiatan dititikberatkan pada penyelamatan dan
pencarian korban, penanganan pengungsian, pemberian kebutuhan dasar, dan sebagainya.
Pasca tanggap darurat, tahap selanjutnya adalah tahap pasca bencana atau disebut juga
pemulihan. Pada umumnya tahap ini terdiri atas kegiatan rehabilitasi untuk memulihkan
infrastruktur dasar serta kegiatan rekonstruksi, yakni pembangunan kembali secara
menyeluruh sampai dengan suatu kondisi yang dapat dikatakan sama seperti sebelum
kejadian bencana. Sebagai suatu siklus, maka tahap berikutnya dianggap sebagai suatu tahap
pra terhadap kejadian bencana berikutnya, dimana pembangunan pada umumnya
berlangsung. Dalam konteks pengurangan resiko bencana, kegiatan seperti mitigasi,
penyiapsiagan, pendidikan, dan peringatan dini, berada pada tahap ini.
-
7
Gambar 4 Siklus Bencana
Secara sederhana, perangkat kerja perencanaan tata ruang sepertinya hanya berada pada
domain tahap pra bencana. Hal ini memang benar dalam konteks bahwa perangkat seperti
perencanaan tata guna lahan, pengaturan building codes, peraturan zonasi, kajian resiko, dan
sebagainya dapat dikerjakan pada saat tidak terjadi bencana. Namun demikian, hal yang perlu
diingat adalah bahwa keluaran dari perangkat tersebut akan terasa manfaatnya ketika berhasil
dilaksanakan dan mampu mengurangi resiko dampak dari kejadian bencana. Sebagai contoh,
kombinasi perencanaan tata ruang dan edukasi masyarakat, dapat menghasilkan suatu sistem
evakuasi yang baik, dimana jalur evakuasi yang ditetapkan dipertimbangkan dengan seksama
serta masyarakat itu sendiri memahami tindakan evakuasi apa yang harus dilakukan pada
suatu kejadian bencana. Contoh lain dapat dengan baik disajikan oleh tindakan asuransi;
dimana tindakan ini tentu dilakukan pada saat tidak ada bencana, namun demikian pada saat
bencana terjadi, para korban bencana yang memiliki polis asuransi telah terjamin dengan
adanya mekanisme asuransi yang akan menggantikan kehilangan dan kerugian harta benda
yang dialami.
Di sisi lain, tahap pemulihan pasca bencana harus dipandang sebagai titik awal dari kegiatan
perencanaan itu sendiri, dimana perencanaan yang dilakukan kemudian haruslah mengambil
pelajaran dari kejadian bencana yang baru terjadi untuk meningkatkan kualitas substansi
sehingga resiko bencana masa depan dapat dikurangi. Landasan untuk kebijakan ini telah
disediakan, dimana pada UU 26/2007 mengenai Penataan Ruang disebutkan bahwa pasca
kejadian bencana dimungkinkan untuk melakukan revisi rencana tata ruang. Kegiatan
relokasi juga merupakan salah satu yang paling sering dipertimbangkan pada tahap
pemulihan.
-
8
Gambar 5 Keterkaitan Perencanaan Tata Ruang dan Manajemen Bencana
4. Studi Kasus: Situasi Terkini di Indonesia
Sebelum era 90-an, pendekatan kebencanaan dalam tata ruang difokuskan pada pembuatan
peta-peta yang menunjukkan lokasi-lokasi berbahaya. Di Indonesia, pendekatan ini termasuk
pemetaan lokasi-lokasi yang berbahaya karena kelerengan yang tinggi, dekat dengan daerah
banjir, daerah sekitar gunung berapi, dan daerah-daerah patahan. Kawasan Bogor Puncak
Cianjur (Bopuncur) merupakan salah satu contoh klasik di mana perencanaan tata ruang
berbasis kebencanaan tidak berjalan dengan baik. Lebih lanjut Indonesia juga telah 2 kali
membuat peta kerawanan gempa dalam skala nasional, yang pertama dihasilkan pada tahun
2002 dan kemudian direvisi pada tahun 2010. Peta ini kemudian dijadikan standar nasional
sehingga sejatinya dapat dijadikan rujukan untuk penentuan building code ataupun mitigasi
gempa lainnya, namun demikian masih terdapat kebutuhan pembuatan peta peta mikrozonasi untuk kerawanan dan resiko gempa sebagai tindak lanjut peta tersebut (Irsyam et
al, 2010). Hal yang serupa juga terjadi dalam konteks peta bahaya gunung berapi yang telah
dibuat bagi beberapa gunung berapi aktif di Indonesia.
Perkembangan dan perubahan fundamental terjadi pasca Tsunami Aceh pada tahun 2004,
dimana fokus perhatian tidak lagi semata mengaitkan analisis bahaya terhadap perencanaan
tata ruang, tetapi telah bergeser kepada analisis resiko. Bagian ini akan menguraikan 2 contoh
kajian resiko, pada tingkat makro dan mikro. Analisis pada tingkat makro dilakukan dalam
sebagai input untuk perencanaan tata ruang di Pantai Selatan Jawa dan analisis tingkat mikro
dilakukan sebagai input perencanaan detail tata ruang di Pantai Pangandaran.
4.1 Tata Ruang Kawasan Rawan bencana Alam di Pantai Selatan Jawa Barat
-
9
Kegiatan arahan pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana di Pantai Selatan Pulau Jawa,
Bagian Barat dilakukan oleh Direktorat Penataan Ruang Wilayah II Kementrian Pekerjaan
Umum Republik Indonesia sebagai landasan perubahan RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota
yang berbasis mitigasi bencana. Ruang lingkup wilayah penyusunan arahan pemanfaatan
ruang kawasan bencana alam makro meliputi kabupaten/kota di Provinsi Banten dan Jawa
Barat yang berada di pantai bagian selatan, terbentang dari Kabupaten Pandeglang di barat
sampai dengan Kabupaten Ciamis di timur. Adapun total kecamatan yang dikaji sebagai unit
analisis sejumlah 84 kecamatan.
Lingkup penyusunan rencana ini mencakup pemetaan zona retakan di Pantai Selatan Bagian
Barat, peta kerentanan bencana alam, evaluasi RTRW pada zona retakan, superimpose peta
rawan bencana (longsor, banjir, gempa bumi, dan tsunami), serta penyusunan criteria
pemanfaatan ruang berdasarkan hasil superimpose tersebut. Adapun keluaran yang dihasilkan
mencakup: a) peta zona rawan bencana alam (gunung api, longsor, banjir, gempa bumi,
tsunami) beserta kriteria pemanfaatan ruangnya dengan skala 1 : 5.000; b) arahan
pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana alam; c) arahan teknis pada zona yang
teridentifikasi (identified zones); serta d) indikasi program strategis.
Gambar 5 Peta Resiko Gempa Bumi Arahan Pemanfaatan Ruang Pansela Bagian Barat
Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum, 2007
-
10
Gambar 6 Peta Arahan Pemanfaatan Ruang berbasis Resiko Bencana di Pansela Bagian Barat
Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum, 2007
4.2 Arahan Tata Ruang Pantai Pangandaran Pada prinsipnya, rencana untuk Kawasan Pangandaran ini menghasilkan rencana struktur,
pola, dan indikasi program pemanfaatan ruang; akan tetapi hal ini kemudian dikembangkan
lebih lanjut guna penyusunan peraturan zonasi (zoning regulation) di kawasan. Peraturan
zonasi adalah peraturan yang menjadi rujukan perizinan, pengawasan, dan penertiban dalam
pengendalian pemanfaatan ruang yang merujuk pada rencana tata ruang wilayah yang telah
menetapkan fungsi, intensitas, ketentuan tata massa bangunan, sarana dan prasarana, serta
indikasi program pembangunan. Peraturan zonasi yang direncanakan bagi Kawasan
Pangandaran dihasilkan dengan telah mengacu kepada aspek resiko bencana yang multi-
hazards. Gambar berikut menunjukkan bahwa ketentuan zonasi yang lebih sesuai dapat
dihasilkan dengan mempertimbangkan faktor resiko bencana yang mungkin terjadi pada
Kawasan Pangandaran.
-
11
Gambar 6 Peta Resiko Bencana Tsunami di Kawasan Pangandaran
Sumber: Kementrian Pekerjaan Umum, 2007
Gambar 8. Peta Zonasi berbasis Resiko Bencana di Kawasan Pangandaran
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2007
5. Perencanaan Tata Ruang yang Terintegrasi dengan Alat-alat PRB lain
-
12
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa di Indonesia perencanaan tata ruang telah
dipandang sebagai bagian tidak terpisahkan dari lingkup kegiatan manajemen bencana dan
sebaliknya juga kegiataan penataan ruang dilakukan dalam kesadaran untuk mengurangi
resiko bencana. Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tata ruang tidak lagi
merupakan satu satunya alat cukup untuk pengurangan resiko bencana. Alat-alat lain
memainkan peran penting yang perlu diperhatikan dan diintegrasikan dengan perencanaan
tata ruang.
Salah satu alat PRB yang lain adalah penanganan bencana berbasis komunitas (community
based disaster risk reduction), dimana orang diletakkan sebagai aktor aktif dalam
pengurangan resiko bencana (people centered approach) (Basher, 2006). Pendekatan ini
muncul karena pendekatan yang bersifat terpusat (top down) memiliki ciri-ciri yang lama,
susah dalam pengambilan keputusan dan berakibat kepada lambatnya respon dalam
penanganan bencana. Pendekatan berbasis masyarakat (partisipasi) yang memiliki nilai lokal
yang tinggi dinilai mampu mengeksplorasi kemampuan masyarakat yang sebelumnya
terlupakan (Shaw, 2009). Oleh karenanya sejak UU 26/2007 tentang Penataan Ruang
disusun, salah satu hal yang ditekankan adalah mengenai partisipasi masyarakat dan
pendekataan bottom-up; hal ini juga sangat penting untuk diakomodasikan sebagai mata
rantai antara peningkatan kualitas perencanaan tata ruang dan pengurangan resiko bencana.
Partisipasi masyarakat merupakan salah satu prediktor (faktor penduga) yang penting di
dalam memotivasi masyarakat untuk bersiap dalam menghadapi resiko kejadian bencana
seperti yang ditemukan dalam studi ketahanan (resilience) masyarakat di Gunung Merapi
(Sagala, 2009). Hal ini kemudian dapat dimanifestasikan baik dalam persiapan individual
maupun secara komunal, termasuk di dalamnya kesepakatan terhadap tata guna lahan yang
memasukkan unsur resiko bencana ataupun hal hal yang lebih praktis seperti jalur evakusi.
Di sisi lain, isu koordinasi menjadi sangat penting bila berbicara pada skala penataan wilayah
lintas administratif dan megakota (Sagala et al, 2011; Cross, 2001). Ini sejalan juga dengan
amanat HFA 1 yang bertujuan untuk penguatan institusi yang menangani persoalan
kebencanaan dan pengarusutamaan kebencanaan di dalam program-program pembangunan.
Lebih lanjut proses persiapan masyarakat secara komunal mensyaratkan pelibatan pihak yang
tepat di dalam implementasi tata guna lahan berbasis kebencanaan sangat penting. Dalam
konteks ini, Chaskin (2001) menekankan bahwa dalam usaha penguatan kapasitas
masyarakat, termasuk dalam hal kebencanaan, perlu dilakukan bersama tokoh di dalam
masyarakat yang memiliki daya kepemimpinan sehingga ide serta konsep dapat diterima dan
diimplementasikan. Di sisi lain aspek partisipasi masyarakat itu sendiri dapat dikaji dalam
kaitannya terhadap kualitas perencanaan secara umum ataupun dalam konteks manajemen
ekosistem termasuk mitigasi bencana di dalamnya (Brody, 2003).
Di dalam pengurangan kerentanan bencana, banyak pendekatan perlu dilakukan. Salah
satunya dengan peningkatan ketahanan komunitas (community resilience) yang dapat
dilakukan dengan mengadopsi perencanaan tata ruang (Burby et al 2000). Twigg (2007),
sebagai contoh, menjadikan komponen tata ruang berbasis masyarakat sebagai salah satu
indikator untuk menilaia tingkat ketahanan masyarakat terhadap resiko bencana. Dalam hal
ini tentu terdapat gap antara rencana tata ruang yang dihasilkan perencana professional
dengan masyarakat. Namun demikian, yang terpenting adalah bahwa melalui aktivitas
merencanakan tata ruang di dalam masyarakat tersebut terdapat sense untuk mengurangi
resiko dan menjadi lebih siap jika sewaktu waktu bencana terjadi, sehingga mereka mengetahui jalur evakuasi dan tempat pengungsian dengan lebih cepat. Kemudian hal ini
-
13
perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan kegiatan pelatihan maupun drilling untuk membiasakan masyarakat dalam melaksanakan perencanaan evakuasi dan kesiapsiagaan yang
memanfaatkan perencanan tata ruang dan manajemen bencana yang berbasis masyarakat.
Pengalaman Badai Katrina di Amerika Serikat menunjukkan bahwa penanganan berjalan
tidak optimal karena koordinasi antara Pemerintah Federal dan Negara Bagian saling
tumpang tindih dan saling menunggu (Caruson dan MacManus, 2008). Pelajaranya kemudian
bahwa, usaha pengurangan resiko terhadap bencana yang akan datang, termasuk dalam hal
penataan ruang, lebih ditekankan kepada Pemerintah Negara Bagian, dibandingkan dengan
Pemerintah Federal. Pola sejenis juga sebenarnya dipersiapkan di Indonesia, dimana
Pemerintah Provinsi harus dilengkapi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD), termasuk Kabupaten/Kota yang memiliki resiko bencana tinggi. Namun demikian,
mekanisme koordinasi antara BPBD dengan Bappeda sebagai induk perencanaan
pembangunan masih tidak jelas, dalam pengertian bagaimana kajian resiko bencana
seharusnya ditempatkan dan bagaimana kemudian dapat mengoreksi perencanaan tata ruang
dan perencanaan pembangunan pada umumnya. Isu koordinasi juga terletak dalam hal
pemantauan implementasi dan pengendalian tata ruang yang berbasis pengurangan resiko
bencana (Sagala et al 2011). Bappeda maupun Dinas Tata Ruang (pada umumnya)
merupakan dinas yang bertanggungjawab dalam perencanaan, namun siapa yang memantau
pemanfaatannya belum dengan jelas dialokasikan pada dinas tertentu.
6. Kesimpulan
Tulisan ini telah mengkaji peran perencanaan tata ruang di dalam pengurangan resiko
bencana. Sebagaimana telah disebutkan di atas, perencanaan tata ruang memiliki kemampuan
untuk mengurangi resiko dengan cara mengalokasikan peruntukan-peruntukan ruang (zonasi)
untuk mengurangi besarnya resiko yang ditimbulkan. Akan tetapi disadari pula bahwa
perencanaan tata ruang tidak mampu berdiri sendiri. Integrasi dengan alat-alat PRB yang lain
perlu dilakukan sehingga menghasilkan pengurangan resiko bencana yang komprehensif.
Daftar Pustaka
Basher, P. (2006). "Global Early Warning Systems for Natural Hazards, Systematic and
People-Centred." Philosophical Transactions of The Royal Society A, 364, 2167-2182.
Becker, J., Saunders, W., Robertson, C., Leonard, G. and Johnston (2010) A synthesis of
challenges and opportunities for reducing volcanic risk through land use planning in
New Zealand
Brody, S. (2003). "Implementing the Principles of Ecosystem Management Through Local
Land Use Planning." Population and Environment, 24(6).
Burby, R., Deyle, R., Godschalk, D., and Olshansky, R. (2000). "Creating hazard resilient
communities through land-use planning." Natural Hazards Review, 1(2), 99-106.
Burby, R., and French, S. (1981). "Coping with Floods: the Land Use Management Paradox."
Journal of American Planning Association, 47(3), 289-300.
Chaskin, R. (2001). Building Community Capacity, Sage Publication.
Cross, J. (2001). "Megacities and Small Towns: Different Perpectives on Hazard
Vulnerability." Environmental Hazards, 3, 63-80.
Irsyam, M., Sengara, I., Aldiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Natawidjaya, D.,
Kertapati, E., Meilano, I., Suhardjono, Asrurifak, M., and Ridwan, M. (2010).
"Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010." Badan Nasional
Penanggulangan Bencana.
-
14
Kaiser, E., Godschalk, D., and Chapin Jr., F. (1995). Urban Land Use Planning, Joseph
Henry Press.
Mileti, D. (1999). Disaster by Design, Joseph Henry Press, Washington, D.C.
Sagala, S., Handika, P., and Arisandy, M. (2011). "Megakota Jakarta: Persoalan
Kebencanaan dan Pendekatan Penanganannya." Menarik Pelajaran dari 50 Tahun
Perjalanan Perencanaan Wilayah dan Kota di Indonesia, M. Gunawan, S. Nurzaman,
and S. Warpani, eds., Penerbit ITB, Bandung, 403.
Sagala, S., Okada, N., and Paton, D. (2009). "Predictors of Intention to Prepare for Volcanic
Risks, A case study of Mt. Merapi." Journal of Pacific Rim Psychology, 3(2), 47-54.
Shaw, R., Sharma, A., and Takeuchi, Y. (2009). Indigenous Knowledge and Disaster Risk
Reduction: From Practice to Policy, Nova Publishers.
Shen, X. (2010). "Flood Risk Perception and Communication within Risk Management in
Different Cultural Context," PhD Thesis, United Nations University-EHS Bonn.
Twigg, J. (2007). Characteristics of A Disaster - Resilient Community: A Guidance Note,
DFID: Disaster Risk Reduction Interagency Coordination Group.
UNISDR. "Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience of Nations and
Communities to Disasters." World Conference on Disaster Reduction 18-22 January
2005,, Kobe, Hyogo, Japan.