Pelatihan Kebencanaan

download Pelatihan Kebencanaan

of 28

description

Pelatihan Bencana pada saat Keadaan Tanggap Darurat

Transcript of Pelatihan Kebencanaan

BAB I

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang MasalahIndonesia merupakan salah satu Negara yang sedang mencoba, untuk terus berbenah diri guna menyambut persaingan pasar bebas. Namun, dalam usahanya berbenah diri tersebut, Indonesia yang letak geografisnya diapit oleh dua benua dan dua samudra ini, sering kali terhambat, bahkan kembali mengalami penurunan akibat dampak langsung dari pasar bebas, ataupun bencana yang terjadi akibat fenomena alami, maupun yang disebabkan oleh keteledoran perangkat pemerintahan dan masyarakatnya sendiri.Ditilik dari letak geografisnya, Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap potensi bencana alam geologi, seperti: gempa bumi, tanah longsor, banjir, angin topan, dan sebagainya. Hal ini dipertegas dengan bencana-bencana alam yang sering kita temui sehari-hari. Banjir bandang di Lamongan dan di bandung atau di banyak daerah saat musim hujan, Gempa bumi di Padang dan sekitarnya, merupakan gambaran kecil dari kerentanan Indonesia terhadap potensi terjadinya bencana alam geologi.Terdapat tiga fase dalam upaya penanggulangan bencana, yaitu: fase pra-bencana, fase saat bencana terjadi, dan fase pasca-bencana. Hal yang sangat disayangkan adalah Indonesia lebih memberikan perhatian terhadap fase ketiga, dan terlihat sedikit meremehkan fase-fase penanggulangan yang lainnya. Sebagai contoh adalah bencana tsunami yang menimpa Aceh, bantuan terkait dengan bencana ini mulai muncul, setelah berjatuhan banyak korban dan menimbulkan kerugian yang besar.Terjadinya bencana dewasa ini telah sangat lekat dengan masyarakat. Bahkan, sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 jumlah bencana di Indonesia mencapai 647 bencana alam, meliputi: banjir, longsor, gempa bumi, dan angin topan, dengan jumlah korban jiwa sebanyak 2022 dan jumlah kerugian mencapai ratusan milyar. Jumlah tersebut belum termasuk bencana yang terjadi pertengahan tahun 2003 sampai pertengahan 2004 yang mencapai ratusan bencana dan mengakibatkan hampir 1000 korban jiwa. Dalam tahun 2002, tercatat bencana besar yang terjadi adalah kebakaran hutan di Pontianak, Jambi, Palembang, banjir di Jakarta, Jawa Tengah, Semarang, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan beberapa lokasi lainnya. Selain itu, banjir terjadi di Jawa Tengah bagian selatan, antara lain Banyumas, Cilacap, Kebumen, dan Purworejo. Tanggal 30 Oktober 2003, ribuan rumah dan ratusan hektar sawah di 12 desa di Kabupaten Banyumas dan Cilacap, Jawa Tengah, telah dilanda banjir. Di Banyumas dan Purworejo, banjir menggenangi ribuan hektar sawah, dan sekitar 3.000 keluarga di Desa Nusadadi, Kecamatan Tambak, terkurung air akibat luapan Sungai Ijo dan Sungai Kecepak. Sementara itu, banjir juga melanda Desa Karangsembung dan Nusawangkal, Kecamatan Nusawungu, Kabupaten Cilacap di mana air menggenangi 130 rumah dan 1.294 ha sawah. Sebanyak 360 ha dari 1.294 ha sawah yang tergenang berupa persemaian dengan kerugian diperkirakan Rp 28.800.000. Dan terjadi Banjir Bandang di Jawa Tengah, tanggal 1 November 2003, sedikitnya 119 rumah, satu sekolah, dan jalan di Kabupaten Kebumen, mengalami kerusakan akibat tanah longsor saat hujan mengguyur kawasan itu. Tanah longsor yang menimpa rumah penduduk itu terjadi di empat desa, yakni: Desa Kalibangkang (62 rumah rusak), Desa Watukelir (37), Desa Srati (11), dan Desa Jintung (5). Kerugian yang dialami diperkirakan tidak kurang dari Rp265, 3 juta. Masih banyak lagi bencana yang belum dilansir secara langsung oleh berbagai pihak terkait. Sebagai catattan, gempa bumi di Yogyakarta dan Padang, Banjir bandang yang melanda berbagai kawasan di Indonesia (Lamongan, Sidoarjo, dan sebagainya), serta bencana alam yang lainnya.Hal ini membuat perhatian pemerintah menjadi tidak fokus. Di satu sisi harus berbenah diri, mulai dari meningkatkan perekonomian, pemberantasan korupsi, mafia peradilan, upaya untuk tetap eksis di mata dunia terkait dengan hubungan diplomatik antar Negara, juga masih diberatkan oleh bencana yang sering memakan banyak korban dan kerugian. Dan pastinya, pemerintah tidak dapat berpangku tangan melihat warganya terpuruk dalam bencana yang melanda warganya ini, sesuai dengan amanah yang tertuang dalam UUD45. Dalam Environmental Outlook WALHI 2003, diungkapkan bahwa kita bangsa Indonesia tidak bisa lagi bangga dengan julukan Jamrud Khatulistiwa, karena pada kenyataannya, negeri kita adalah negeri sejuta bencana. Hal yang menjadi ironi bagi negeri ini adalah kondisi yang telah dipaparkan secara singkat di atas, makin diperparah dengan kepadatan penduduk yang tidak merata, dan banyaknya daerah terpencil yang jarang terjamah ataupun sukar dimasuki karena infrastruktur yang kurang tertata dengan rapi, dan sebagainya. Akibatnya, ketika bencana alam menimpa, yang mendapatkan pertolongan pertama adalah daerah-daerah yang letaknya strategis dan mudah untuk dijangkau oleh kendaraan, meskipun sebenarnya di daerah tersebut hanya atau relatif lebih sedikit yang membutuhkan pertolongan serius, jika dibandingkan dengan daerah yang masih terpencil dan sukar dimasuki.Terdapat tiga fase dalam langkah-langkah penanggulangan bencana, yaitu: fase pra-bencana, fase saat bencana terjadi, dan fase pasca-bencana. Dewasa ini telah banyak pengembangan berkaitan dengan tiga fase tersebut. Namun, hal yang kembali patut kita sayangkan adalah masih banyak daerah-daerah terpencil yang hanya memperoleh fase pasca-bencana, ataupun fase saat bencana terjadi, tanpa melewati fase pra-bencana. Mengapa lebih memilih mengobati daripada mencegah atau meminimalisir banyaknya korban yang berjatuhan? Hal ini patut kita cermati lebih seksama lagi. Oleh karena itu, dirasa penting untuk memberikan pelatihan terkait dengan penanggulangan bencana yang semakin akrab dan hampir menjadi bagian dari kehidupan kita.Kultur timur yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, yaitu: empati dan kebersamaan, selalu terlihat ketika bencana alam datang menimpa. Namun, hal yang sangat disayangkan adalah terjadinya penyelewengan, ataupun pemberian bantuan yang dirasa kurang tepat pada sasaran, bahkan terlihat berlebihan atau tidak berguna pada suatu daerah tertentu yang mengalami dampak langsung dari bencana alam yang sedang terjadi didaerahnya.Hal yang lebih spesifik terkait dengan pemaparan di atas, adalah banyaknya bantuan, yang terdiri dari: tenaga volunteer, bantuan logistik, pakaian, serta sumbangan berupa uang ataupun bahan materiil untuk pembangunan, tidak mampu disebarkan secara merata dan tepat sasaran. Koordinasi terlihat acak-acakan dan semrawut. Karena berbagai hal inilah, dewasa ini mulai terlihat sikap antipati dan cenderung bersikap tidak peduli (apatis) pada masyarakat, yang sebelumnya selalu aktif dalam kegiatan sosial ini. Individu memberi makna pada dunianya, tanpa diberi makna oleh individu maka dunia tidak ada sebagai dunia. (Zainal A, 2002:6)Karena perbagai permasalahan maupun keprihatinan yang telah dipaparkan secara singkat di atas, penulis tergerak untuk memformulasikan suatu program pelatihan yang nantinya mampu digunakan untuk membekali paduan kompetensi kepada para sukarelawan, seperti: koordinasi sesama sukarelawan dan dengan pemerintahan, membuka ruas jalan, kemampuan beradaptasi dan rasa empati yang mendalam, dan sebagainya. Dan nantinya hal ini akan dapat digunakan untuk mengantisipasi beralihnya rasa empati dan kebersamaan masyarakat yang tidak sedang dirundung bencana (volunter), menjadi antipati dan apatis. Melainkan lebih semangat lagi dalam membantu sesamanya, terlebih didukung perasaan, bahwa diri seseorang sangatlah dibutuhkan kehadiran dan bantuannya bagi orang lain yang sedang mengalami bencana.Pelatihan tanggap bencana ini tampaknya telah menjadi suatu hal yang dewasa ini makin sering terdengar. Diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintahan, LSM, PMI, ataupun komunitas-komunitas pemerhati bangsa yang lainnya. Namun demikian, pelatihan yang telah ada condong pada keahlian dengan spesifikasi bidang tertentu saja. Memang hal ini sangatlah penting, namun pada prakteknya dalam penanggulangan terhadap bencana yang dilakukan adalah penggabungan dari multi disiplin ilmu yang komprehensif. Terkait dengan hal ini, yang menjadi sorotan bersama adalah cara koordinasi para praktisi multi disiplin ilmu, secara horizontal ataupun secara vertikal dengan pemerintah. Dan terlihat terlalu mengutamakan kemampuan seseorang atau kelompok dalam upaya memberikan bantuan ketika bencana terjadi, serta mengabaikan potensi penduduk lokal tempat terjadinya bencana. Padahal dalam berbagai hal, penduduk lokal ini lebih mampu untuk memprediksi daerah-daerah yang mengalami bencana dengan tingkat kerusakan yang tinggi, serta akses membuka ruas jalan tercepat menuju ke daerah tertimpa bencana.Maka, penulis mencoba menawarkan pelatihan yang diberikan, tidak hanya mencangkup pemberian skill pada para sukarelawan yang telah bersedia, guna mampu memberikan penanganan pertama bagi para korban. Akan tetapi juga harus memiliki keahlian dalam pemetaan ataupun persebaran luas bencana, terlebih pemberian ketrampilan ini diutamakan merata pada tiap kecamatan di seluruh Indonesia. Sehingga, ketika bencana alam datang pada waktu tertentu, penanganan pertama dapat langsung dilakukan, dan koordinasi antara para sukarelawan dapat terjalin dengan baik, dan akhirnya mampu meminimalisir jumlah korban dan terhindarnya sikap antipati dan apatis masyarakat yang lain terhadap kondisi sesamanya yang sedang mengalami musibah.Sehubungan dengan hal tersebut, materi-materi yang diberikan dalam pelatihan ini akan disesuaikan dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, serta kondisi lapangan dimana tempat pasca bencana terjadi. Pada umumnya, materi yang diberikan dalam pelatihan ini berupa ceramah dan media pembelajaran, dialog interaktif, games, role play, diskusi, outbound training, serta pemberian penugasan pada tiap waktu sesi makan dan sebelum tidur.

1.2. Dasar1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 dan pasal 31 ;3. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001. 4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara ;5. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Hak Asasi Manusia ;6. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

1.3. NamaNama kegiatan adalah Pelatihan Tanggap Bencana Terpadu disingkat "Pelatihan TANAPA" Tingkat Nasional dan Tingkat daerah.

1.4. Fokus PelatihanBerangkat dari keinginan Penulis untuk memformulasikan suatu program pelatihan yang nantinya mampu digunakan untuk mengantisipasi beralihnya rasa empati dan kebersamaan masyarakat yang tidak sedang dirundung bencana (volunter), menjadi antipati dan apatis. Melainkan lebih semangat lagi dalam membantu sesamanya, terlebih didukung perasaan, bahwa diri seseorang sangatlah dibutuhkan kehadiran dan bantuannya bagi orang lain yang sedang mengalami bencana alam. Maka fokus pada pelatihan kali ini adalah:1. Pelatihan diberikan bagi para sukarelawan yang bersedia dan mempunyai waktu dalam mengikuti masa pelatihan.2. Minimal dalam satu kabupaten mengirimkan empat perwakilan sukarelawan, yang nantinya diwajibkan memberikan penyuluhan kepada para simpatisan yang lain, diderah tempatnya tinggal. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan pemberian informasi dari seseorang yang lebih dekat (bahasa, suku, dll) lebih mempermudah penyampaian materi.3. Kemampuan beradaptasi dan survive4. Dasar-dasar ataupun langkah utama dalam melakukan need assestment terhadap para korban. 5. Keahlian dalam membuka ruas jalan sebagai akses masuknya bala bantuan.6. Team Building7. Pemetaan persebaran luas bencana dan koordinasi bala bantuan yang ada.

1.6. Signifikansi dan Keunikan PelatihanPelatihan ini menjadi penting guna menanggapi fenomena semakin banyak beralihnya rasa empati dan kebersamaan masyarakat yang tidak sedang dirundung bencana (volunter), yang menjadi antipati dan apatis, diakibatkan pemetaan persebaran luas bencana, koordinasi bala bantuan, maupun penyelewangan yang terjadi dalam upaya pemberian bantuan. Memang telah banyak program pelatihan terkait dengan program tanggap bencana ini. Keunikan pada program pelatihan tanggap bencana kali ini adalah lebih memfokuskan pada persebaran jumlah sukarelawan atau para simpatisan, dan kemampuan dalam memetakan persebaran luas bencana yang dapat dilakukan oleh para praktisi yang berada di daerah sekitar terjadinya bencana secara tepat dan akurat. Dan nantinya mampu meringankan beban saudara kita yang sangat membutuhkan pertolongan, serta mengeliminasi bibit-bibit sikap antipasti dan apatis para sukarelawan ataupun penyumbang.Selain itu, pelatihan kali ini, lebih menekankan pada kemampuan para simpatisan dalam beradaptasi, bekerja secara tim dengan koordinasi yang terarah. Berkaitan dengan para sukarelawan, penulis berharap dukungan pemerintah pusat dalam menyelenggarakan pelatihan ini, serta partisipasi pemerintah daerah guna mengirimkan setidaknya empat perwakilan sukarelawan yang nantinya akan memberikan penyuluhan pada sukarelawan lainnya di daerah tempatnya tinggal.

1.7. Tujuan PelatihanPenulis memformulasikan program ini, bertujuan untuk membantu proses berbenah dirinya Bangsa dan Negeri ini, dalam hal meminimalisir korban yang diakibatkan bencana alam. Maka penulis harus mampu memformulasikan program pelatihan yang berkaitan dengan beberapa hal yang telah ditetapkan penulis menjadi fokus kajian pelatihan, sebagai berikut:1. Para peserta yang telah mengikuti pelatihan mampu memberikan penyuluhan berkaitan dengan materi yang telah diperoleh selama proses pelatihan dilangsungkan.2. Para peserta mempunyai kemampuan beradaptasi dan survive terhadap lingkungan pasca bencana terjadi.3. Para peserta mampu menguasai dan mengimplementasikan dasar-dasar ataupun langkah utama dalam melakukan need assestment terhadap para korban. 4. Para peserta memiliki keahlian dalam membuka ruas jalan sebagai akses masuknya bala bantuan.5. Para peserta mampu bekerja dengan tim6. Para peserta yang berada di daerah sekitar terjadinya bencana, mampu memetakan persebaran luas bencana dan mengkoordinasi bala bantuan yang ada dengan para penyumbang (donatur), maupun dengan pemerintahan.

1.8. Manfaat PelatihanDari hasil pelatihan ini, diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.1. Manfaat secara teoritis, antara lain: Memberikan sumbangan kajian berbagai disiplin ilmu dalam membantu meringankan beban dan meminimalisir jatuhnya korban yang diakibatkan bencana alam. Memperkaya kajian psikologi sosial dalam proses pasca bencana alam dan saat memberikan bantuan kepada para korban.

2. Manfaat secara praktis, antara lain: Tumbuhnya pada para sukarelawan sikap tanggungjawab, dapat dipercaya dan mentalitas yang bisa diandalkan dalam kehidupan berorganisasi, bermasyarakat serta bernegara. Para sukarelawan memiliki kecerdasan hati (Heart Intellegence), yang mampu mensinergikan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EI) dan kecerdasan spiritual (SI) dan kecerdasan fisik (PI). Adanya komitmen dan upaya yang sistematis, terarah, terkoordinasi, dan efektif dari instansi / lembaga terkait tingkat nasional/daerah dalam upaya tanggap bencana. Para sukarelawan yang telah mengikuti pelatihan mampu memberikan penanganan bencana yang komprehensif.

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

2.1. Pelatihan2.1.1. Pengertian PelatihanSikula dalam Sumantri (2000: 2) mengartikan pelatihan sebagai: proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir. Para peserta pelatihan akan mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu. Veithzal Rivai (2004: 226) menegaskan bahwa pelatihan adalah proses sistematis mengubah tingkah laku pekerja untuk mencapai tujuan organisasi. Pelatihan berkaitan dengan keahlian dan kemampuan pekerja dalam melaksanakan pekerjaan saat ini. Pelatihan memiliki orientasi saat ini dan membantu pegawai untuk mencapai keahlian dan kemampuan tertentu agar berhasil melaksanakan pekerjaan. Pengertian-pengertian di atas mengarahkan kepada penulis untuk menyimpulkan bahwa yang dimaksud pelatihan dalam hal ini adalah proses pendidikan yang di dalamnya ada proses pembelajaran dilaksanakan dalam jangka pendek, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan, sehingga mampu meningkatkan kompetensi individu untuk menghadapi tugasnya di dalam organisasi sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Dengan demikian dapat simpulkan bahwa pelatihan sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan kinerja saat ini dan kinerja mendatang (Veithzal Rifai: 2004: 226). 2.1.2. Dasar Pelatihan Dalam penyelenggaraan pelatihan, agar dapat bermanfaat bagi peserta dan dapat mencapai tujuan secara optimal, hendaknya penyelenggaraannya mengikuti dasar-dasar umum pelatihan. Menurut Dale Yoder dalam bukunya Personal Principles and Policies, menyebutkan sembilan dasar yang berlaku umum dalam kegiatan pelatihan yaitu (1) Individual differences; (2) relation to job analysis; (3) motivation (4) active participation, (5) selection of trainees, (6). Selection of trainers; (7) trainers of training (8) training methods dan (9) principles of learning (1962:235). Adapun demikian terdapat lima persyaratan minimal yang perlu diperhatikan pelatih dalam memilih metode pelatihan, yaitu: sesuai dengan keadaan dan jumlah sasaran; cukup dalam jumlah dan mutu materi; tepat menuju tujuan pada waktunya; amanat hendaknya mudah diterima, dipahami dan diterapkan; dan biaya ringan (Depdikbud, 1983: 97). Dalam pemilihan metode juga dapat mempertimbangkan beberapa faktor, sebagai berikut: tujuan instruksional khusus yang hendak- dicapai dalam proses penyampaian pesan atau bahan belajar, keadaan warga belajar yang akan menerima pesan, karakteristik metode yang akan digunakan dan sumber atau fasilitas yang tersedia untuk menunjang penggunaan metode tertentu yang hendak kita pilih (Direktorat Dikmas, 1985 : 18).Pelatihan yang berhasil adalah pelatihan yang menerapkan dasar-dasar pelatihan di atas dalam formulasi pelatihan yang akan diberikan pada peserta pelatihan.

2.1.3. Manajemen Pelatihan

Manajemen pelatihan memiliki dimensi tentang bagaimana hal pengelolaan pelatihan. Pengelolaan ini dilakukan agar pelatihan bisa berjalan dengan baik dan berhasil secara efektif dan efisien. Manajemen pelatihan secara konsep bisa diartikan Proses perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan dan pengevaluasian terhadap kegiatan pelatihan dengan memanfaatkan aspek-aspek pelatihan untuk mencapai tujuan pelatihan secara efektif dan efisien. Dalam konteks yang lain, manajemen pelatihan atau pengelolaan pelatihan identik dengan manajemen proyek atau pada istilah lain sama dengan mengelola proyek. Oleh karena itu daur Managing training dapat digambarkan sebagai berikut:

ANALISIS

UMPAN BALIK & REVISIEVALUASIDESAIN

PENGEMBANGANIMPLEMENTASI

Daur Managing Training

Gambar di atas menjelaskan bahwa proses manajemen pelatihan dimulai dengan analisis, yaitu analisis kebutuhan (need analysis) terhadap hal-hal yang akan menjadi objek pelatihan, kemudian dilanjutkan dengan desain program pelatihan, yaitu langkah mendesain program-program pelatihan. Tahapan berikutnya adalah pelaksanaan dan penerapan, yaitu proses pelaksanaan dan Penerapan program-program pelatihan. Kemudian diakhiri dengan evaluasi yaitu tahap untuk memberikan penilaian dan analisa pengembangan. Pada setiap tahapan tersebut akan ada proses umpan balik, yang bertujuan untuk mengontrol efektivitas pelaksanaan dan proses pelatihan.Perencanaan pelatihan pada hakekatnya adalah proses menyusun rancangan program pelatihan, yaitu proses menyiapkan berbagai hal mengenai persiapan pelatihan. Secara umum menurut Faustino Cardoso Gomes (2000:204) mengemukakan ada tiga tahap pada pelatihan yaitu tahap penilaian kebutuhan, tahap pelaksanaan pelatihan dan tahap evaluasi. Atau dengan istilah lain ada fase perencanaan pelatihan, fase pelaksanaan pelatihan dan fase pasca pelatihan. Secara umum ada tiga tahap pada pelatihan yaitu tahap penilaian kebutuhan, tahap pelaksanaan pelatihan dan tahap evaluasi. Atau dengan istilah lain ada fase perencanaan pelatihan, fase pelaksanaan pelatihan dan fase pasca pelatihan. Langkah-langkah yang umum digunakan dalam program pelatihan, seperti dikemukakan oleh Simamora (1997: 360), yang menyebutkan delapan langkah pelatihan, yaitu: (1) Tahap penilaian kebutuhan dan sumber daya untuk pelatihan; (2) Mengidentifikasi sasaran-sasaran pelatihan; (3) Menyusun kriteria; (4) Pre tes terhadap para peserta (5) Memilih teknik pelatihan dan prinsip-prinsip proses belajar; (6) Melaksanakan pelatihan; (7) Memantau pelatihan; (8) Membandingkan hasil pelatihan terhadap kriteria yang telah ditentukan.Penilaian kebutuhan (need assessment) pelatihan merupakan langkah yang paling penting dalam pengembangan program pelatihan. Langkah penilaian kebutuhan ini merupakan landasan yang sangat menentukan pada langkah-langkah berikutnya. Dalam penilaian kebutuhan dapat digunakan tiga tingkat analisis yaitu analisis pada tingkat organisasi, analisis pada tingkat program atau operasi dan analisis pada tingkat individu. Sedangkan teknik penilaian kebutuhan dapat digunakan analisis kinerja, analisis kemampuan, analisis tugas maupun survey kebutuhan (need survey).Isi program (program content) merupakan perwujudan dari hasil penilaian kebutuhan dan materi atau bahan guna mencapai tujuan pelatihan. Isi program ini berisi keahlian (keterampilan), pengetahuan dan sikap yang merupakan pengalaman belajar pada pelatihan yang diharapkan dapat menciptakan perubahan tingkah laku. Pengalaman belajar dan atau materi pada pelatihan harus relevan dengan kebutuhan peserta maupun lembaga tempat kerja.Prinsip-prinsip belajar (learning principles) yang efektif adalah yang memiliki kesesuaian antara metode dengan gaya belajar peserta pelatihan dan tipe-tipe pekerjaan, yang membutuhkan. Pada dasarnya prinsip belajar yang layak dipertimbangkan untuk diterapkan berkisar lima hal yaitu partisipasi, reputasi, relevansi, pengalihan, dan umpan balik (Sondang P. Siagian, 1994 :190). Pelaksanaan program (actual program) pelatihan pada prinsipnya sangat situasional sifatnya. Artinya dengan penekanan pada perhitungan kebutuhan organisasi dan peserta pelatihan, penggunaan prinsip-prinsip belajar dapat berbeda intensitasnya, sehingga tercermin pada penggunaan pendekatan, metode dan teknik tertentu dalam pelaksanaan proses pelatihan.Dan langkah terakhir dari pengembangan program pelatihan adalah evaluasi (evaluation) pelatihan. Pelaksanaan program pelatihan dikatakan berhasil apabila dalam diri peserta pelatihan terjadi suatu proses transformasi pengalaman belajar pada bidang pekerjaan dengan materi yang telah diterimanya. Sondang P. Siagian menegaskan proses transformasi dinyatakan berlangsung dengan baik apabila terjadi paling sedikit dua hal, yaitu: peningkatan kemampuan dalam melaksanakan tugas dan perubahan perilaku yang tercermin pada sikap, serta disiplin dan etos kerja (1994: 202). 2.1.4 Mekanisme PelatihanMekanisme pelatihan di sini diartikan sebagai cara atau metode yang digunakan dalam suatu kegiatan pelatihan. Dalam penyelenggaraan pelatihan, tidak ada satupun metode dan teknik pelatihan yang paling baik. Semuanya tergantung pada situasi kondisi kebutuhan.Dalam memilih metode dan teknik suatu pelatihan ditentukan oleh banyak hal. Seperti dikemukakan William B. Werther (1989 : 290) sebagai berikut : that is no simple technique is always best; the best method depends on : cost effectiveness; desired program content; learning principles; appropriateness of the facilities; trainee preference and capabilities; and trainer preferences and capabilities. Artinya tidak ada satu teknik pelatihan yang paling baik, metode yang paling baik tergantung pada efektivitas biaya, isi program yang diinginkan, prinsip-prinsip belajar, fasilitas yang layak, kemampuan dan preference peserta serta kemampuan dan preference pelatih. Metode pelatihan yang tepat adalah pelatihan yang dilaksanakan dengan mengkombinasikan metode indoor dan outdoor activity, dengan dikemas berdasarkan prinsip:

1. Andragogi; Yakni proses belajar bagi orang dewasa. Dengan metode ini, peserta tidak dijejali dengan teori-teori yang rumit, tetapi justru teori-teori tersebut muncul secara tidak disadari. 2. Discovery Approach;Yakni pendekatan penemuan. Disini narasumber bukan sekedar bertindak sebagai penyaji materi, melainkan sebagai fasilitator yang atraktif dan komunikatif. Pesertalah yang akan menemukan sendiri potensi dan kesimpulannya.3. Experiental learning;Peserta mengalami sendiri proses belajar yang melibatkan auditory, visual, dan kinestetik melalui games, simulasi, tantangan, outbound, mendengarkan musik, menonton film, dsb. Walaupun bersifat entertainment, peserta akan mendapatkan pengetahuan dan motivasi serta langsung dihantarkan pada aplikasi dan hikmahnya dalam aktivitas pekerjaan.4. Role PlayMenjelaskan suatu permasalahan dengan mendemontrasikan atau mendramakan.5. Study Lapangan Peserta akan diterjunkan langsung kelapangan untuk mempraktekan skill yang telah didapatkan selama pelatihan, mengamati, menganalisa dan menyimpulkan.

2.1.5. Penerapan Hasil PelatihanBerdasarkan tinjauan teoritis, pembahasan tentang pelatihan dapat dilihat dari berbagai sudut, pelatihan dilihat dari pengertian, tujuan, asas, efektivitas dan manajemen pelatihan. Pembahasan tersebut masih dalam tataran teoritis, sehingga baru diperoleh informasi-informasi yang bersifat umum. Informasi ini merupakan dasar rujukan dan pijakan dalam membahas dan menganalisis permasalahan pelatihan lebih jelas.Apabila ditinjau dari segi evaluasinya pelatihan akan memiliki keberartian yang lebih mendalam. Evaluasi ini akan memperlihatkan tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu program. Beberapa kriteria yang digunakan dalam evaluasi pelatihan akan berfokus pada outcome (hasil akhir). Veitzal Rifai (2004) dan Henry Simamora (2004), menunjukkan bahwa kriteria yang efektif dalam mengevaluasi pelatihan, yaitu: reaksi dari peserta, pengetahuan atau proses belajar mengajar, perubahan perilaku akibat pelatihan dan hasil atau perbaikan yang dapat diukur. Kriteria tersebut dalam konteks yang lebih luas dapat dikembangkan untuk mengetahui dampak keberhasilan suatu program pelatihan yang sudah dilaksanakan. Merujuk pada pendapat Veitzal dan Henry Simamora, dengan memperhatikan kriteria efektivitas evaluasi maka dalam penelitian ini akan diperluas pada Penerapan pelatihan. Selanjutnya kriteria efektivitas evaluasi di atas dijadikan dimensi untuk mengukur tingkat Penerapan hasil pelatihan pada suatu lembaga. Dimensi-dimensi tersebut adalah: dimensi pengetahuan, dimensi sikap, dimensi perilaku dan dimensi hasil. 2.1.6. Tujuan PelatihanMenurut Moekijat (1991:55) tujuan umum dari pada pelatihan adalah:a) Untuk mengembangkan keahlian sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif.b) Untuk mengembangkan pengetahuan sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional.c) Untuk mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kerja sama dengan teman-teman pegawai dan pimpinan.Pada umumnya disepakati paling tidak terdapat tiga bidang kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan proses manajemen Hersey dan Blanchart (1992: 5), yaitu:a. Kemampuan teknis (technical and skill), kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas tertentu yang diperoleh dari pengalaman, pendidikan dan training.b. Kemampuan sosial (human atau social skill), kemampuan dalam bekerja dengan melalui orang lain, yang mencakup pemahaman tentang motivasi dan penerapan kepemimpinan yang efektif.c. Kemampuan konseptual (conceptual skill) yaitu: kemampuan untuk memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian bidang gerak unit kerja masing-masing ke dalam bidang operasi secara menyeluruh. Kemampuan ini memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan tujuan organisasi secara menyeluruh dari pada hanya atas dasar obsesi ataupun tujuan kebutuhan keluarga sendiri.2.2. Bencana Alam2.2.1. Definisi Bencana Alam

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia definisi bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak, menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur sosial masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar (BAKORNAS PBP).Bencana adalah gangguan serius dari berfungsinya satu masyarakat, yang menyebabkan kerugian-kerugian besar terhadap jiwa (manusia), harta-benda, dan lingkungannya, yang melebihi kemampuan dari masyarakat yang tertimpa bencana untuk menanggulanginya dengan hanya menggunakan sumber-sumber daya masyarakat itu sendiri. (Lokakarya Kepedulian Terhadap Kebencanaan Geologi dan Lingkungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Goelogi ITB, 2004)Definisi konvensional dari frasa bencana alam ialah bencana yang ditimbulkan oleh alam. Penderitanya manusia, korbannya berupa harta benda dan nyawa. Sekarang, pengertian bencana alam tidak selalu seperti itu. Ada definisi tambahan untuk bencana alam, yaitu bencana yang disebabkan oleh manusia. Penderitanya (pada tahap pertama) justru alam, korbannya berupa kerusakan ekosistem alam. Derita yang dialami oleh alam kemudian, pada gilirannya, dialami pula oleh manusia.Bencana alam adalah konsekwensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas manusia. Karena ketidakberdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka. Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan: "bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan". Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia.Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak yang hebat/luas jika manusia yang berada disana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan valuasi kemampuan sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah & menangani tantangan-tantangan serius yang hadir. Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketetahanan terhadap bencana yang cukup. 2.2.2. Jenis BencanaKlasifikasi bencana biasanya didasarkan atas:1. Penyebab kejadian bencana (secara alami atau karena ulah manusia).2. Cepat-lambatnya kejadian bencana (perlahan-lahan atau tiba-tiba).Bencana alam dimana faktor geologi sangat dominan biasa disebut sebagai bencana alam geologi, diantaranya:1. Gempa bumi (earthquake) dan tsunami2. Letusan gunung berapi (vulcano)3. Longsoran (landslide)4. Penurunan tanah (land subsidence)Usep Solehudin (2005) mengelompokkan bencana menjadi dua jenis, yaitu:1. Bencana alam (natural disaster) yaitu kejadian-kejadian alami seperti kejadian-kejadian alami seperti banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus, badai, kekeringan, wabah, serangga dan lainnya.2. Bencana ulah manusia (man made disaster) yaitu kejadian-kejadian karena perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan, kebakaran, huru-hara, sabotase, ledakan, gangguan listrik, ganguan komunikasi, gangguan transportasi dan lainnya.

Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah, bencana terdiri dari:1. Bencana LokalBencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang berdekatan. Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-bangunan disekitarnya. Biasanya adalah karena akibat faktor manusia seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran bahan kimia dan lainnya.2. Bencana RegionalJenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis yang cukup luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam, seperti badai, banjir, letusan gunung, tornado dan lainnya.

2.2.3. Fase-fase BencanaMenurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu fase preimpact, fase impact dan fase postimpact.1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat. 2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.

2.3. Manajemen BencanaSesuai dengan pemaparan terkait dengan bencana di atas, maka dibutuhkan suatu manajemen yang tepat, dinamis, terpadu, dan berkelanjutan terkait dengan penanggulangan bencana. Adapun demikian, untuk lebih jelasnya digambarkan sebagai berikut:

Bencana TerjadiMitigasiKesiapan Bencana

Penyelamatan dan Bencana

Rekonstruksi dan Penataan Kembali

Rehabilitasi

Alur Manajemen BencanaKeterangan:1. Mitigasi adalah proses pengumpulan dan analisa data bencana sebagai upaya untuk meminimalisir kerentanan dan bahaya terhadap negara.2. Kesiapan Bencana adalah upaya memprediksi ataupun pemantauan fenomena alam yang terjadi, guna persiapan tanda bahaya, berkaitan dengan sistem evakuasi, serta sosialisasi kepada masyarakat.

BAB IIIPELAKSANAAN KEGIATAN

3.1. Sasaran Pelatihan3.1.1. Unsur PesertaPelatihan Tanggap Bencana Terpadu tingkat nasional diikuti oleh perwakilan sukarelawan ataupun praktisi dari tiap Kabupaten di seluruh Indonesia, yang nantinya akan menjadi fasilitator/pendamping pelatihan tanggap bencana terpadu di daerah/wilayah masing-masing.3.1.2. Persyaratan Peserta Peserta Pelatihan Tanggap Bencana Terpadu tingkat nasional dimaksudkan sebagai Fasilitator TANAPA di daerah/wilayah masing-masing dengan jumlah peserta sebanyak empat orang yang merupakan perwakilan dari tiap Kabupaten berdasarkan kriteria sebagai berikut:1. Pemuda berusia 18-40 tahun2. Pendidikan minimal SLTA atau sederajat3. Sehat jasmani rohani dan bebas dari NAPZA4. Tidak sedang terlibat dengan kriminalitas 5. Bersedia meluangkan waktu dan terjun di lapangan saat dibutuhkan.6. Memiliki pengalaman di bidang sosial7. Ditunjuk oleh Pemerintah Daerah sebanyak empat orang.3.2. Narasumber / Pendamping / Instruktur / Fasilitator3.2.1. Narasumber : a. Pejabat Pemerintahan: BNPP, BASARNAS, dll. b. Akademisi / Praktisi: PMI, Psikolog, Dokter. c. Pembicara tamu lainnya: IFRC, IOM, UNEP, BAKOSURTANAL.3.2.2. Pendamping Pejabat Dinas Bidang Penanggulangan Bencana Daerah.

3.2.3. Tim InstrukturPMI dan staff ahli dibidang penganggulangan bencana: IFRC, IOM, UNEP, BAKOSURTANAL, BNPP.3.2.4. Fasilitator :Tim kreator Pelatihan tanggap bencana.3.3. Waktu dan TempatPelatihan Tanggap Bencana Terpadu tingkat nasional dilaksanakan di Jakarta selama tujuh hari dan akan dilaksanakan di seluruh Kabupaten/Kotamadya secara bertahap, sesuai dengan jadwal yang terlampir. 3.4. Metode PembelajaranPelatihan Tanggap Bencana Terpadu tingkat nasional ini akan dilaksanakan dengan mengkombinasikan metode indoor dan outdoor activity, dengan dikemas berdasarkan prinsip:1. Andragogi; Yakni proses belajar bagi orang dewasa. Dengan metode ini, peserta tidak dijejali dengan teori-teori yang rumit, tetapi justru teori-teori tersebut muncul secara tidak disadari. 2. Discovery Approach;Yakni pendekatan penemuan. Narasumber bukan sekedar bertindak sebagai penyaji materi, melainkan sebagai fasilitator yang atraktif dan komunikatif. Pesertalah yang akan menemukan sendiri potensi dan kesimpulannya.3. Experiental learning;Peserta mengalami sendiri proses belajar yang melibatkan auditory, visual, dan kinestetik melalui games, simulasi, tantangan, outbound, mendengarkan musik, menonton film, dan sebagainya. Walaupun bersifat entertainment, peserta akan mendapatkan pengetahuan dan motivasi serta langsung dihantarkan pada aplikasi dan hikmahnya dalam aktivitas pekerjaan.4. Role PlayMenjelaskan suatu permasalahan dengan mendemontrasikan atau mendramakan.5. Study Lapangan Peserta akan diterjunkan langsung kelapangan untuk mempraktekan skill yang telah didapatkan selama pelatihan, mengamati, menganalisa dan menyimpulkan.3.5. Materi 3.5.1. Konsep Pemahaman Bencana dengan Konteksnya1. Cara mengumpulkan data dan menganalisis data bencana (mitigasi)2. Pentagon Capital (human, natural, financial, social, physical)3. Pemetaan kapasitas lokal4. Kondisi korban bencana yang dapat diselamatkan3.5.2. Pengembangan Personal1. Heart Intelligence Training2. Character Building:a. Personality (motivasi, empati dan persepsi)b. Effective Communication Skillc. Personality Building Exercise3.5.3. Pengembangan Tim1. Team Building (Outbound Experiential Learning) 2. Study Lapangan3. Diksusi & Workshop3.6. Sarana BelajarSarana belajar dalam ruang (indoor) yang digunakan antara lain :1. Makalah / buku panduan / Modul2. Lembar kasus3. Lembar Personality Style Assesment4. Formulir / blanko / angket5. Lembar evaluasi6. Multimedia ( Laptop, LCD, Screen )7. Sound System ( 1500 watt )

Perlengakapan peserta terdiri dari:1. Kaos Olahraga2. Tas3. Seminar Kit4. Sertifikat peserta

BAB IVPENUTUP4.1 EvaluasiUntuk memperoleh gambaran mengenai tingkat keberhasilan pelatihan, perlu diadakan evaluasi sebagai berikut:1. Pre TestYaitu tes awal yang dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan peserta terhadap materi-materi yang akan disampaikan. Berupa angket.2. Evaluasi tingkat keterampilan dan partisipasi peserta melalui praktek Yaitu tes yang dilakukan untuk mengetahui tingkat keterampilan dan partisipasi peserta dalam diskusi, serta kerja kelompok. Berupa observasi.3. Post TestYaitu tes akhir yang dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan peserta terhadap materi-materi pelatihan yang sudah diberikan. Berupa simulasi dan observasi.4. Evaluasi PenyelenggaraanYaitu penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan kegiatan. Berupa angket.

4.2. PelaporanSetelah kegiatan dilaksanakan, Penyelenggara berkewajiban menyusun laporan pelaksanaan kegiatan untuk selanjutnya diserahkan kepada penanggungjawab program. Sistematika pelaporan adalah sebagai berikut:a. Persiapanb. Pelaksanaanc. Hasild. Kendala yang dihadapie. Rekomendasi penyempurnaan pelaksanaan

4.3. Tindak Lanjut Program1. Terlaksananya pembinaan lanjutan bagi daerah/kabupaten tempat peserta tinggal2. Pembinaan berkesinambungan kepada para sukarelawan.3. Evaluasi perkembangan pelatihan yang diadakan di daerah tempat peserta pelatihan tinggal oleh Tim Pelatihan Tanggap Bencana Terpadu Tingkat Nasional.

1