RS1 2016 2 1670 Bab2 -...
Transcript of RS1 2016 2 1670 Bab2 -...
15
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
1.1 Manajemen
2.1.1 Pengertian Manajemen
Menurut Robbins dan Coulter (2014: 33) dalam buku berjudul
“Management” edisi 12 manajemen adalah kegiatan pengelolaan dalam
mengkoordinasikan dan mengawasi aktifitas kinerja orang lain sehingga
kegiatan mereka selesai secara efisien dan efektif.
Menurut Dyck or Neubert (2009: 7) dalam buku berjudul “Principle of
Management” manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian,
memimpin, dan mengendalikan sumber daya manusia dan organisasi lainnya
agar dapat secara efektif mencapai tujuan organisasi.
Menurut Daft or Marcic (2007: 7) dalam buku berjudul “ Management
The New Work Place” manajemen adalah pencapaian yang efektif dan efisien
dari tujuan organisasi melalui perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan
mengendalikan sumber daya organisasi.
2.1.2 Fungsi Manajemen
Menurut Robbins dan Coulter (2014: 35) terdapat empat fungsi
manajemen yaitu:
1. Planning
Menetapkan tujuan, menmbentuk strategi untuk mencapai tujuan,
dan mengembangkan rencana untuk mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan.
2. Organizing
Menentukan hal-hal yang dibutuhkan untuk kemudian dikerjakan,
cara mengerjakannya, cara mencapai tujuan, dan siapa saja yang
memiliki peranan dalam setiap pekerjaan dalam suatu organisasi.
3. Leading
16
Memimpin sebuah team dalam organisasi dengan memberikan
motivasi, menentukan saluran komunikasi yang efektif, dan
menghadapi masalah yang terjadi dengan perilaku karyawan.
4. Controlling
Menentukan setiap kegiatan yang dilakukan masing – masing
individu untuk memastikan bahwa mereka telah melakukan
pekerjaan yang sesuai dengan rencana yang sudah dibuat dengan
monitoring, comparing dan correcting
1.2 Manajemen Pemasaran
2.2.1 Pengertian Pemasaran
Menurut Kotler dan Armstrong (2014: 27) dalam buku berjudul
“Principle of Marketing” marketing adalah proses dimana perusahaan
menciptakan nilai bagi pelanggan dan membangun hubungan pelanggan yang
kuat untuk menangkap nilai dari pelanggan sebagai imbalan
Menurut Elliot Rundle - Thielle Waller (2014: 3) dalam buku yang
berjudul “Marketing” edisi 3 mengatakan bahwa marketing activity adalah
mengatur lembaga dan proses untuk menciptakan, berkomunikasi,
memberikan dan bertukar penawaran yang memiliki nilai bagi pelanggan,
klien, mitra dan masyarakat pada umumnya.
Menurut Philip Kotler dan Keller (2012: 27) dalam buku berjudul
“Marketing Management” memuat bahwa menurut America Marketing
Association pemasaran adalah kegiatan mengatur lembaga dan proses untuk
menciptakan, mengkomunikasikan, memberikan dan bertukar penawaran
yang memiliki nilai bagi pelanggan, klien, mitra dan masyarakat pada
umumnya.
Dalam bukunya yang berjudul “Principles of Marketing an Asian
Prespective” karangan Philip Kotler, Gary Armstrong, Swee Hon Ang, Siew
Meng Leong, et.al tahun 2008 mengatakan bahwa marketing adalah proses
sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok memperoleh apa yang
mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran produk dan
nilai dengan orang lain.
17
Jadi penulis dapat menyimpulkan marketing adalah proses bagaimana
perusahaan menciptakan nilai bagi pelanggan sehingga terjadi pertukaran
antara perusahaan dengan konsumen yaitu barang/jasa dengan uang / laba
bagi perusahaan, serta membangun hubungan yang erat dengan pelanggan
agar terus dapat berkesinambungan.
2.2.2 Pengertian Manajemen Pemasaran
Menurut Kotler dan Armstrong (2014: 30) marketing management itu
adalah seni dan ilmu memilih pasar sasaran dan membangun hubungan yang
menguntungkan dengan mereka
Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2012: 27) dalam
bukunya yang berjudul “Marketing Management” edisi 14e mengatakan
manajemen pemasaran adalah seni dan ilmu pengetahuan dalam memilih
pasar sasaran dan mendapatkan, menjaga serta menumbuhkan pelanggan
melalui penciptaan, penyampaian dan pengkomunikasian nilai pelanggan
yang lebih/ superior.
1.3 Technology Acceptance Model
Dalam jurnal karangan Aditya Arie Hanggono et.al (2015: 3) dijelaskan
bahwa metode TAM pertama kali diperkenalkan oleh Davis pada tahun 1989. TAM
adalah teori sistem informasi yang membuat model tentang proses pengguna mau
menerima dan menggunakan teknologi. Model ini menjelaskan bahwa ketika
pengguna menggunakan sistem informasi, sejumlah faktor mempengaruhi keputusan
mereka mengenai bagaimana dan kapan menggunakan sitem informasi tersebut.
Model TAM diadopsi dari model The Theory of Reasoned Action (TRA),
yaitu teori tindakan yang beralasan yang dikembangkan oleh Fishben dan Ajzen
(1975), dengan satu premis bahwa reaksi dan peresepsi seseorang terhadap sesuatu
hal akan menentukan sikap dan prilaku orang tersebut. Teori ini membuat model
prilaku seseorang sebagai suatu fungsi dari tujuan prilaku. Tujuan prilaku ditentukan
oleh sikap atas perilaku tersebut. Dapat disimpulkan reaksi dan persepsi pengguna TI
akan mempengaruhi sikapnya dalam penerimaan penggunaan TI, yaitu salah satu
factor yang mempengaruhi adalah peresepsi pengguna atas kemanfaatan dan
kemudahan penggunaan TI sebagai suatu tindakan yang beralasaan dalam konteks
18
penggunaa TI, maka dari itu alasan seseorang dalam melihat manfaat dan kemudahan
penggunaan TI menjadikan tindakan orang tersebut dapat menerima penggunaan TI.
a. Persepsi Kemanfaatan Penggunaan (Usefulness)
Persepsi kemanfaatan (perceived usefulness) merupakan suatu tingkatan
dimana seseorang percaya bahwa pengguna suatu sistem tertentu akan
meningkatkan prestasi kerja orang tersebut. Berdasarkan definisi tersebut
diartikan bahwa kemanfaatan dari penggunaan TIK dapat meningkatkan
kinerja, prestasi kerja orang yang menggunakannya. Thompsonet. al
(1991) menyimpulkan kemanfaatan teknologi informasi merupakan
manfaat yang diharapkan oleh pengguna teknologi informasi untuk
melaksanakan tugas. Thompson (1991) juga menyebutkan bahwa seorang
individu akan menggunakan TIK jika orang tersebut mengetahui manfaat
atau kegunaan berpengaruh positif atas penggunaanya.
Menurut Chin dan Todd (1995) dalam jurnal karangan Aditya Arie
Hanggono et.al (2015: 3) kemanfaatan dapat dibagi kedalam dua kategori,
antara lain:
1. Kemanfaatan (usefulness) dengan estimasi satu faktor, yang meliputi
dimensi:
- Membuat pekerjaan lebih mudah (makes job easier)
- Bermanfaat (Usefull)
- Meningkatkan produktivitas (Increase Productivity)
2. Kemanfaatan (usefulness) dengan estimasi dua faktor (kemanfaatan
dan efektifitas), yang meliputi dimensi:
Kemanfaatan:
- Membuat pekerjaan lebih mudah (makes job easier)
- Bermanfaat (Usefull)
- Meningkatkan produktivitas (Increase Productivity)
Efektifitas:
- Meningkatkan efektifitas (enchance my effectiveness)
- Mengembangkan kinerja pekerjaan (improve my job
performance)
b. Persepsi Kemudahan Penggunaan (Perceived Ease of Use)
19
Davis (1989) dalam jurnal karangan Aditya Arie Hanggono et.al (2015:3)
mendefinisikan kemudahan penggunaan (perceived ease of use) adalah
suatu tingkatan dimana seseorang mempercayai bahwa penggunaan system
tertentu dapat mengurangi usaha seseorang dalam mengerjakan sesuatu.
Menurut Goodwin (1987) dan Silver (1988), intensitas penggunaan dan
interaksi antara pengguna (user) dengan sistem dapat menunjukan tingkat
kemudahan penggunaan.
Davis (1989) memberikan beberapa indikator kemudahan penggunaan TI antara lain
meliputi:
(1) Komputer / teknologi informasi sangat mudah dipelajari
(2) Komputer / teknologi informasi mengerjakan dengan mudah sesuai yang
diinginkan oleh pengguna
(3) Keterampilan pengguna akan bertambah dengan menggunakan komputer/
teknologi informasi
(4) Komputer / teknologi informasi sangat mudah untuk dioperasikan.
Temuan studi Iqbaria (1994) membuktikan bahwa TI digunakan bukan mutlak
karena adanya tekanan sosial, sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan TI
bukan karena adanya unsur tekanan, tetapi karena memang mudah untuk digunakan.
c. Sikap Terhadap Penggunaan (Attitude Toward Using)
Sikap pada penggunaan sesuatu menurut Aakers dan Myers (dalam Aditya Arie
Hanggono et.al, 2015: 3-4) adalah sikap menyukai atau tidak menyukai terhadap
penggunaan dalam suatu produk. adalah sikap menyukai atau tidak menyukai
terhadap suatu produk ini dapat digunakan untuk memprediksii perilaku niat
seseorang dalam menggunakan suatu produk atau tidak menggunakannya. Sikap
terhadap penggunaan teknologi (attitude toward using technology), didefinisikan
sebagai evaluasi dari pemakai tentang ketertarikannya dalam menggunakan
teknoologi (Davis, 1989).
d. Minat Perilaku Penggunaan (Behavioral Intention to Use)
Behavioral intention to use adalah kecenderungan perilaku untuk tetap menggunakan
suatu teknologi (Davis, 1989). Tingkat penggunaan sebuah teknologi komputer pada
seseorang dapat diprediksi dari sikap perhatian pengguna terhadap teknologi
tersebut, misalkan keinginan menambah peripheral yang mendukung, motivasi untuk
20
tetap menggunakan, dan keinginan untuk memotivasi pengguna lainya. Arief
Hermawan dalam Aditya Arie Hanggono et.al (2015: 4) mendefinisikan bahwa minat
perilaku menggunakan teknologi (behavioral intention to use) sebagai minat
(keinginan) seseorang untuk melakukan perilaku tertentu.
2.4 Consumer Behavior
2.4.1 Pengertian Consumer Behavior / Perilaku Konsumen
Menurut Peter dan Jerry C. Olson dalam bukunya yang berjudul
“Consumer Behavior and Marketing Strategy” page 7, memuat bahwa
American Marketing Association mengidentifikasi consumer behavior
sebagai interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, perilaku, dan
lingkungan dimana manusia melakukan aspek pertukaran dalam kehidupan
mereka.
Menurut Hoyer / Maclnnis (2010:3) dalam bukunya yang berjudul
“Consumer Behavior” mengatakan bahwa totalitas keputusan konsumen
sehubungan dengan akuisisi, konsumsi, dan disposisi barang, jasa, waktu, dan
gagasan oleh unit pengambilan keputusan manusia (dari waktu ke waktu).
Dalam buku yang berjudul “Principle of Marketing” karangan Kotler
dan Armstrong (2016:166) menyatakan bahwa consumer behavior adalah
perilaku pembelian konsumen akhir - individu dan rumah tangga yang
membeli barang dan jasa untuk konsumsi pribadi.
Menurut buku yang berjudul “Marketing” page 113 pengarang
Rundle-thiele dan waller (2011:113) edisi ke 2 mengatakan bahwa consumer
behavior adalah analisis perilaku individu dan rumah tangga yang membeli
barang dan jasa untuk konsumsi pribadi.
Jadi menurut diatas penulis merangkum bahwa consumer behavior itu
sendiri adalah perilaku konsumen akhir yang membeli barang atau jasa
gunanya untuk konsumsi pribadi guna memuaskan kebutuhan konsumen itu
sendiri.
21
2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen
Sumber: Rundle dan Waller (2014)
Gambar 2.1 Factor influencing consumer behavior
Individual Factors: Rundle-Waller (2014, 130-139)
1. Personal Characteristic
• Demographic
Faktor demografis merupakam karakteristik vital dan karakteristik
sosial sebuah populasi, seperti usia, pendidikan, dan pendapatan.
Faktor demografis menggambarkan peningkatan populasi secara
umum dalam hal karakteristik yang ada, karakteristik terukur yang
diasumsikan atau ditunjukkan terkait dengan pembelian atau konsumsi
produk. Dalam pengertian yang ketat, karakteristik demografi tidak
menyebabkan perilaku belanja atau perilaku pilihan, namun berbeda
secara sistematis, hal ini dapat diprediksi dengan perilaku yang
diamati. Variasi ini sistematis, dan karena itu dapat diprediksi, maka
menarik perhatian bagi pemasar.
• Lifestyle
Gaya hidup seseorang didefinisikan oleh bagaimana mereka
menghabiskan waktu dan bagaimana mereka berinteraksi dengan
orang lain. Mungkin ada perbedaan yang signifikan antara gaya hidup
aktual seseorang dan gaya hidup yang preferred. Bagi banyak dari
kita, gaya hidup aktual (yang mungkin melibatkan kerja, belajar,
belanja dan pesta sesekali) jauh lebih mudah ditebak dan lebih tenang
22
daripada gaya hidup preferred (yang mungkin melibatkan pesona,
kegembiraan, perjalanan, dan mobil mewah dan kapal pesiar).
Konsumen secara teratur membeli produk yang berperan dalam gaya
hidup mereka.
• Personality
Kepribadian mungkin merupakan karakteristik yang paling khas
yang mendefinisikan perilaku individu, namun sangat sulit untuk
diukur dengan andal. Kita dapat mendefinisikan kepribadian sebagai
himpunan karakteristik psikologis dan kecenderungan perilaku yang
unik yang menjadi ciri seseorang. Sementara itu, relatif mudah untuk
menggambarkan kepribadian seseorang (dengan kata-kata seperti
'positif', 'intens', atau 'kompetitif'), usaha oleh periset untuk
membangun hubungan yang andal antara kepribadian dan perilaku
telah mencapai keberhasilan yang terbatas. Ini terbentuk melalui
kombinasi genetika dan pengalaman yang kompleks. Sementara
kepribadian relatif konsisten dan bertahan, hal itu berubah sepanjang
hidup sebagai respons terhadap pengaruh sosial dan lingkungan dan
pengalaman pribadi.
Pemasar tertarik untuk memahami aspek kepribadian yang terkait
dengan perilaku pembelian individu. Bahkan tanpa bukti ilmiah yang
andal, banyak pemasar yakin akan hubungan antara tipe kepribadian
dan pembelian tertentu dan mencurahkan banyak sumber daya untuk
mengarahkan kampanye pemasaran pada tipe kepribadian tertentu.
2 Psychological Characteristic
• Motivation
Motivasi digunakan untuk menggambarkan dorongan internal
individu untuk bertindak memenuhi kebutuhan terpenuhi atau
mencapai tujuan yang belum terpenuhi. Kekuatan internal ini
mendorong perilaku yang berusaha berpindah dari keadaan aktual dan
aktual ke keadaan yang diinginkan. Motivasi seringkali terdiri dari
23
motif individu. Motif spesifik untuk dorongan tertentu, seperti
kelaparan. Perilaku biasanya merupakan hasil kombinasi motif.
Teori motivasi yang paling banyak dikenal adalah hierarki
kebutuhan Maslow yang menunjukkan bahwa orang berusaha
memuaskan kebutuhan menurut hierarki yang menempatkan
kebutuhan orde rendah sebelum kebutuhan tingkat tinggi.
Sumber: Rundle dan Waller (2016)
Gambar 2.2 Maslow’s hierarcy of needs
Motif adalah minat dan kepentingan bagi pemasar, karena mereka
dapat menjelaskan alasan beberapa perilaku konsumen utama,
termasuk:
- Memilih untuk membeli produk tertentu
- Memilih untuk membeli merek tertentu
- Bersedia membayar harga tertentu
- Lebih memilih untuk berbelanja melalui outlet tertentu
• Perception
Pandangan yang dipegang secara luas di kalangan pemasar adalah
bahwa 'persepsi adalah kenyataan'. Ini mengakui pentingnya persepsi
sentral membentuk perilaku konsumen. Ini juga mengakui bahwa ada
dunia objektif 'fakta', dan dunia subjektif 'persepsi'. Persepsi adalah
24
proses psikologis yang menyaring, mengatur, dan atribut yang berarti
untuk rangsangan eksternal. Seseorang terkena rangsangan rangsangan
yang berpotensi tanpa batas melalui pengamatan indra, pendengaran,
sentuhan, rasa dan bau mereka. Tahap pertama dari proses
penyaringan persepsi - memungkinkan individu untuk hanya
menangani masukan-masukan yang sesuai dengan kebutuhan dan
keadaan masing-masing. Tahap kedua dalam proses persepsi
melibatkan pengorganisasian informasi baru dan mengintegrasikannya
dengan pengetahuan yang ada. Proses ini sering melibatkan
penyambungan informasi baru dengan ingatan yang ada melalui
ekspresi, penglihatan, dan suara yang familiar. Pengiklan sering
berusaha untuk memanfaatkan proses ini dengan membiarkan 'celah'
dalam iklan mereka dalam upaya agar penonton menghubungkan
produk yang ditawarkan dengan positif dalam formasi yang sudah
mereka miliki di memori.
• Beliefs and attitudes
Keyakinan dan sikap membentuk 'peta mental' yang diandalkan
konsumen saat membuat penilaian tentang masalah yang memerlukan
solusi (misalnya kebutuhan untuk membeli pakaian yang sesuai) dan
produk yang tidak memerlukan kebutuhan yang jelas. Peta mental
menyediakan konteks di mana keputusan dibuat. Konteks positif,
netral atau negatif ini memiliki implikasi yang signifikan bagi
kampanye pemasaran dan inisiatif yang mencoba mengenalkan
konsep produk atau komunikasi baru. Keyakinan terdiri dari
pemikiran deskriptif atau evaluatif yang dimiliki individu mengenai
pengetahuan atau penilaian mereka terhadap seseorang, gagasan,
produk dan sebagainya. Keyakinan mungkin didasarkan pada
pengetahuan, opini, atau keyakinan yang obyektif. Mereka mungkin
akurat atau tidak akurat Ketika mereka melibatkan komponen
penghakiman atau emosional, mereka dapat membentuk basis citra
merek yang kuat. Sikap menggambarkan pemikiran, perasaan, dan
niat individu yang relatif stabil dan konsisten terhadap objek atau
gagasan. Sikap yang jelas berhubungan dengan reputasi, brand image
25
dan brand equity serta sikap negatif bisa menghancurkan, terutama
dari mulut ke mulut.
Tiga komponen yang membentuk sikap adalah:
- Komponen kognitif, yang terdiri dari kesadaran dan
pengetahuan orang tentang objek atau isu
- Komponen afektif, yang mengacu pada perasaan terhadap, atau
persetujuan terhadap objek atau masalah
- Komponen perilaku, yang mencerminkan tindakan individu
atau niat terhadap objek atau masalah
Penting bahwa kampanye pemasaran menangani ketiga komponen
sikap dengan cara yang kuat dan positif
• Learning
Belajar adalah proses dimana individu mendapatkan pengetahuan
dan pengalaman baru yang dapat mereka terapkan pada masalah,
peluang, dan perilaku di masa depan. Dalam konteks perilaku
konsumen ini, pembelajaran berhubungan dengan memperoleh
pengetahuan tentang produk baru, gagasan atau masalah yang
memiliki beberapa aplikasi potensial untuk memenuhi kebutuhan atau
keinginan.
Secara umum, kita dapat membedakan dua aliran utama teori
pembelajaran:
- Behavioural learning theories
- Cognitive learning theories
Teori belajar perilaku menekankan peran pengalaman dan
pengulangan perilaku. Teori belajar perilaku menggambarkan
pembelajaran di mana perilaku yang menghasilkan pengalaman
menyenangkan kemungkinan akan berulang. Pengkondisian klasik
paling relevan dalam pembelian dengan keterlibatan rendah; Artinya,
26
di mana produk tersebut relatif tidak penting bagi konsumen dan biaya
kesalahan beli minimal.
Teori belajar kognitif menggambarkan pembelajaran yang
berlangsung melalui pemecahan masalah yang rasional, dan yang
menekankan perolehan dan pengolahan informasi baru. Dengan
demikian, teori pembelajaran kognitif umumnya lebih relevan dalam
kasus masalah kompleks yang kebutuhan konsumen untuk
mengembangkan solusi rasional. Pembelajaran kognitif umumnya
lebih relevan dalam keputusan pembelian dengan keterlibatan tinggi,
yang biasanya untuk pembelian mahal, penting dan jarang terjadi yang
melibatkan tingkat ketidakpastian dan risiko konsumen yang
signifikan dalam hal membuat keputusan yang salah.
2.4.3 Jenis Perilaku Purchase Decision
Menurut Kotler Armstrong (2016:182-183) mengatakan bahwa
buying decision behavior memiliki 4 tipe yaitu:
Perilaku pembelian yang kompleks: perilaku pembelian konsumen
dalam situasi yang ditandai dengan keterlibatan konsumen yang tinggi dalam
pembelian dan perbedaan persepsi yang signifikan antar merek.
Disonansi perilaku pembelian: situasi perilaku pembelian konsumen
ditandai dengan keterlibatan yang tinggi namun sedikit perbedaan antar
merek.
Kebiasaan perilaku pembelian: perilaku pembelian konsumen dalam
situasi yang ditandai dengan rendahnya keterlibatan konsumen dan sedikit
perbedaan merek yang dirasakan.
Keragaman perilaku pembelian: perilaku pembelian konsumen dalam
situasi yang ditandai dengan rendahnya keterlibatan konsumen namun
perbedaan merek yang dirasakan signifikan.
Tabel 2.1 Types of buying decision behavior
High Involvement Low Involvement
27
Complex buying behavior
Variety-seeking buying behavior
Dissonance-reducing buying
behavior
Habitual buying behavior
Sumber: Kotler Armstrong (2016)
Karakteristik High Involvement:
1. High Price
Dimana produk konsumen dengan harga tinggi menunjukkan
keterlibatan tinggi, misalnya membeli produk perancang. Saat membeli
mobil Mercedes, konsumen menampilkan keterlibatan tinggi, tapi tidak
saat membeli mobil bekas.
2. Technical Features
Ketika konsumen membeli produk yang memiliki fitur kompleks maka
mereka menghabiskan waktu untuk mengenal diri mereka dengan
produk yang menunjukkan keterlibatan tinggi. Produk seperti itu
meliputi komputer, kulkas, mesin cuci, TV, sistem musik, mobil, DVD,
dan sebagainya. Pabrikan menyediakan manual produk untuk
memudahkan pemahaman produk dengan mudah.
3. Major Differences Between Alternatives
Keterlibatan tinggi disebabkan ketika konsumen memperhatikan
perbedaan utama antara alternative, misalnya jam tangan tangan Swiss
dan Cina. Konsumen menghabiskan lebih banyak waktu untuk
mengevaluasi perbedaan sampai pada keputusan yang tepat.
4. Projection of Self
28
Beberapa konsumen sangat spesifik dengan apa yang mereka beli,
misalnya, jika konsumen mengklaim bahwa dia hanya menggunakan
produk bermerek, itu berarti konsumen siap membayar lebih untuk
merek dan meyakinkan dirinya bahwa dia bukan pembeli tipe run-of-
the-mill.
Perilaku yang sama terlihat saat memilih perhiasan, kosmetik, parfum,
mobil, pakaian, restoran, dan sebagainya. Karena citra diri lebih
mendominasi daripada harga produk, konsumen dengan sengaja
membayar lebih karena dia diperintah oleh variasi dan kekuatan uang.
5. Evaluation of Risks
Kehadiran risiko tinggi menyebabkan keterlibatan tinggi. Seorang
konsumen tertarik untuk mengevaluasi risiko untuk mengetahui
bagaimana meminimalkannya dan jika mungkin menghindarinya;
Misalnya pewarna rambut mengandung bahan kimia. Seorang
konsumen mengevaluasi apakah penggunaannya bisa mengakibatkan
masalah kesehatan, dan jika demikian, bagaimana cara menghindari
risiko tersebut.
Karakteristik Low Involvement:
1. Brand Hopping
Beberapa konsumen tidak menampilkan loyalitas merek. Mereka
beralih dari satu merek ke merek lainnya. Kapan pun produk konsumen
baru muncul di pasar, mereka membelinya secara percobaan. Merek
hopping umum terjadi dimana perbedaan antara merek minimum.
2. Availability of Alternative Brand
Ketika konsumen menemukan alternatif yang serupa di dalam kelas
produk yang sama, mereka puas dengan satu merek. Dalam hal ini,
proses pembelian tidak memakan waktu lama.
29
3. Effect on Consumer’s Self Image
Situasi ini umumnya muncul saat konsumen membeli barang konsumsi
sehari-hari, misalnya, jika mereka ingin membeli biskuit Marie, mereka
dapat mengambil Marie oleh Parle atau Britannia. Ini karena tidak
mencerminkan status atau merusak citra konsumen.
2.5 Online Behavior
2.5.1 Trust / Kepercayaan
Menurut Gefen et.al dalam jurnal karangan Dauw Song Zhu (2011: 5)
Kepercayaan diidentifikasi sebagai kondisi psikologis dimana konsumen
percaya pada competence, integrity, dan benevolence dari e-vendor, dan
prediktabilitas bahwa e-vendor akan memenuhi kewajiban transaksi.
Konsumen online rentan dan dapat mengekspos diri mereka untuk kerugian.
Belanja online memiliki risiko yang lebih besar dan ketidakpastian karena
penipuan kartu kredit, kesalahan dengan barang dagangan dan masalah
keamanan lainnya yang berkontribusi terhadap keengganan konsumen untuk
membeli
Oleh karena itu, membangun kepercayaan sangat penting untuk e-
vendor, karena ini akan meningkatkan sikap konsumen dan niat beli.
Membangun kepercayaan akan mengurangi persepsi risiko konsumen dan
keengganan untuk membeli. (Gefen, Pavlou dalam Dauw Song Zhu, 2011:5).
Trust juga menjadi prediktor manfaat website yang dirasakan
konsumen karena meningkatkan kenyamanan belanja dan mengurangi
persepsi bahwa website e-vendor akan terlibat dalam perilaku berbahaya dan
oportunistik, dengan demikian, e-vendor akan memenuhi harapan konsumen
untuk lebih tinggi manfaat yang dirasakan dari situs antarmuka. (Pavlou
dalam Dauw Song Zhu, 2011:5). Bukti empiris sebelumnya memperkenalkan
kepercayaan sebagai anteseden dari manfaat yang dirasakan dalam model
TAM dalam sistem teknis, serta persepsi risiko konsumen, dan sikap. Selain
menawarkan layanan seperti interaksi tatap muka dan diskusi informasi
produksi (misalnya, ukuran, tanggal pengiriman) yang mirip dengan fisik
30
belanja toko, desain keamanan e-vendor (misalnya segel keamanan,
pencegahan phishing, kode keamanan, scam peringatan, Paypal akun) di toko
online mereka juga dapat terus menjaga konsumen aman dari invasi privasi,
yang mempengaruhi kepercayaan dan kepuasan bagi citra toko securable.
(Pavlou and Gefen, Dixit and Datta dalam Dauw Song Zhu, 2011:5)
Dalam kondisi keterbatasan informasi, konsumen akan menggunakan
tampilan website sebagai salah satu faktor heuristik untuk menilai
kepercayaan dari situs web. Selain itu, website yang dapat memaksimalkan
efisiensi pencarian dan mengklarifikasi kesalahpahaman untuk lebih halus
mendorong terjadinya transaksi pembelian yang dikendalikan oleh persepsi
konsumen akan kemudahan penggunaan website dan juga kepercayaan untuk
e-vendor. Jadi, kami mengasumsikan bahwa persepsi konsumen tentang
kemudahan penggunaan mengasosiasikan ke tingkat yang lebih tinggi dari
keyakinan kepercayaan. Vance, Elie-Dit-Cosaque, and Straub, dalam Dauw
Song Zhu, 2011: 5)
2.5.1.1 Dimensi Trust
Penjabaran dimensi Trust / kepercayaan konsumen dalam
Online menurut Mayer et.al dalam jurnal karangan Vivi Susanti
(2013:2)
• Ability / Kemampuan
Kemampuan adalah sekelompok keahlian, kompetensi,
dan karakteristik yang memungkinkan satu pihak memiliki
domain spesifik. Kemampuan lebih dari sekedar pelayanan
terhadap individu, tetapi lebih pada semua aspek tentang
bagaimana melakukan bisnis. Dalam hal ini berkaitan dengan
bagaimana penjual mampu menyediakan, melayani, sampai
mengamankan transaksi dari gangguan pihak lain. Artinya
bahwa konsumen memperoleh jaminan kepuasan dan
keamanan dari penjual dalam melakukan transaksi.
• Benevolence / Kebaikan Hati
31
Benevolence adalah sejauh mana Trustee ingin
melakukan dan memberikan yang terbaik kepada Trustor,
terlepas dari motif keuntungan yang sifatnya egosentris.
Penjual bukan semata-mata mengejar profit maksimum
semata, melainkan juga memiliki perhatian yang besar dalam
mewujudkan kepuasan kosumen.
• Intergrity / Integritas
Integrity merupakan persepsi Trustor bahwa Trustee
akan bertahan pada seperangkat prinsip yang telah diberikan
kepada Trustor. Apa yang sudah diucapkan Trustee kepada
Trustor harus sama dengan tindakan yang akan Trustee
lakukan dan konsumen memiliki keingin tahuan apakah
Trustee dapat melakukan hal yang sama seperti dengan yang
telah dijanjikan. Informasi yang diberikan kepada konsumen
apakah benar sesuai dengan fakta atau tidak. Kualitas produk
yang dijual apakah dapat dipercaya atau tidak. Integrity dapat
dilihat dari sudut kewajaran, pemenuhan, kesetiaan, keterus-
terangan, keterkaitan.
• Prediktabilitas
Tingkat perkiraan konsumen dimana E-vendor akan
memenuhi kewajiban transaksi
2.5.2 Perceived Risk / Risiko yang Dirasakan
Risiko yang dirasakan (Perceived Risk) adalah fenomena
ketidakpastian yang dihadapi oleh pelanggan dalam proses pembelian karena
adanya keputusan salah atau tidak sesuai dihasilkan dari penilaian subyektif
mereka dalam proses pengambilan keputusan (Murphy dan Enis, 1986).
Menurut Kim, et. al. dalam jurnal karangan Kwek Choon Ling, et.al (2011: 3)
risiko yang dirasakan konsumen juga dapat didefinisikan sebagai sebuah
keyakinan konsumen tentang potensi hasil negatif yang tidak pasti dari
32
transaksi elektronik. Berdasarkan teori consumer perceived risk, konsumen
merasakan risiko karena menghadapi ketidakpastian dan konsekuensi yang
tidak diinginkan untuk keputusan yang tidak sesuai (Taylor, 1974).
Risiko yang dirasakan diidentifikasi oleh ketidaknyamanan dari
konsumen melalui interaksi impersonal dan efek tidak berwujud yang berasal
dari operasi secara online (Chen dan Mort, 2007, Pavolu, 2003, Pavlou &
Gefen, 2004). Konsumen takut perilaku oportunistik e-vendor, seperti tidak
memberikan produk yang tepat pada waktu yang dijanjikan, penipuan
langsung, kebocoran informasi pribadi, dan iklan menyesatkan. Persepsi
risiko ini dapat mengakibatkan sikap enggan terhadap pembelian online.
Membatasi risiko yang konsumen rasakan akan mendorong niat mereka untuk
membeli secara online.
Teori Reasoned Action menyatakan bahwa ekspresi individu dari
perilaku tertentu diatur oleh niat perilaku individu, yang ditentukan oleh sikap
dan keyakinan. Dengan kata lain, risiko yang dirasakan mendorong sikap
negatif konsumen dan mengurangi niat mereka untuk membeli Dengan
demikian, hubungan negatif diharapkan antara risiko yang dirasakan dan niat
beli. (Chen dan Mort, Nicolaou dan McKnight, Pavlou dan Gefen dalam
jurnal karangan Dauw Song Zhu et.al, 2011:8)
Tingkat risiko yang dirasakan dapat dikurangi oleh asosiasi dengan
proses transaksi (Pavlou, 2003; Koufaris dan Hampton-Sosa, 2004). Persepsi
risiko di pasar online bisa dikurangi dengan kepercayaan online karena risiko
yang dirasakan dibangun dari kepercayaan yang kuat sebelumnya atau
pengalaman sebelumnya (Gefen dan Pavlou, 2006; Mukherjee dan Nath,
2007; Park dan Jun, 2003). Chen dan Barnes dalam jurnal karangan Kwek
Choon Ling, et.al (2011:3) menjelaskan bahwa risiko yang dipersepsikan
berhubungan positif dengan kepercayaan awal pada perdagangan elektronik.
Mukherjee dan Nath dalam jurnal karangan Kwek Choon Ling, et.al (2011:3)
berpendapat bahwa ada hubungan positif antara risiko yang dirasakan
(perceived security and perceived privacy) dengan kepercayaan pada ritel
33
online. Menurut Warrington, Abgrab dan Caldwell (2000), dengan
mengurangi risiko lingkungan yang dirasakan atau dengan meningkatkan
keamanan situs web, kepercayaan online konsumen meningkat. Dalam hal
privasi yang dirasakan, ketika keandalan dan kredibilitas diketahui, konsumen
dapat mengungkapkan informasi pribadi mereka ke situs web dan selanjutnya
hal ini juga dapat mengurangi kekhawatiran privasi dan keamanan konsumen
dan membantu membangun kepercayaan online terhadap situs web (Culnan
dan Armstrong , 1999).
2.5.2.1 Dimensi Perceived Risk
Konsep risiko yang dirasakan dapat diklasifikasikan ke dalam
berbagai jenis risiko dalam literatur pemasaran (Zikmund dan Scott,
1973; Peter dan Ryan, 1976). Di lingkungan ritel online, menurut
Chen and Barnes, Murkherjee dan Nath dalam jurnal karangan Kwek
Choon Ling, et.al (2011:3) dua jenis risiko dikatakan dominan: risiko
keamanan dan risiko privasi.
Penjabaran dimensi Perceived Risk:
• Keamanan (Security)
Keamanan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
kepercayaan pelanggan terhadap ritel online dan keamanan
yang diberikan oleh retailer online mengacu pada keamanan
komputer dan kartu kredit atau informasi keuangan
• Privasi (Privacy)
Perceived privacy didefinisikan sebagai kemampuan
konsumen untuk mengendalikan penyebaran informasi yang
diberikan selama transaksi online dan kemampuan untuk
mengendalikan kehadiran orang lain di lingkungan selama
transaksi online
34
2.5.3 Attitude toward Online Purchasing / Sikap Terhadap Pembelian
Online
Menurut Schiffman dan Kanuk dalam jurnal berjudul “Analisa Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Niat Beli Pada Tiket Online Kereta Api
Surabaya” karangan Satria Binangkit Goenardi menyatakan bahwa sikap
merupakan ekspresi perasaan yang berasal dari dalam diri individu yang
mencerminkan apakah seseorang senang atau tidak senang, suka atau tidak
suka dan setuju atau tidak setuju terhadap suatu objek. Selain itu menurut
Allport sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon
terhadap suatu obyek dalam bentuk rasa suka atau tidak suka.
Sikap terhadap belanja online didefinisikan sebagai perasaan positif
atau negatif konsumen yang berkaitan dengan dicapainya perilaku pembelian
di internet. Untuk menyelidiki sikap konsumen, kita perlu mengetahui apa
karakteristik konsumen biasanya dalam berbelanja online dan apa sikap
mereka dalam belanja online. Dalam hal sederhana, ini berarti bahwa tidak
ada gunanya memiliki produk online yang sangat baik jika jenis konsumen
yang akan membelinya tampaknya tidak suka akan online. (Jusoh dan Ling,
dalam jurnal karangan Tjioe Amelia Soegiarto).
2.5.3.1 Dimensi Attitude toward Online Purchasing / Sikap Terhadap
Pembelian Online
Menurut Elliott Rundle dan Thiele Waller (2016:137) dalam
buku berjudul “Marketing” dimensi pembentuk attitude terdiri atas 3:
• Cognitive
yang terdiri dari kesadaran dan pengetahuan orang tentang
objek atau masalah
• Affective
yang mengacu pada perasaan terhadap, atau persetujuan,
terhadap objek atau masalah
• Behavioral
yang mencerminkan tindakan individu atau niat terhadap
objek atau masalah
35
2.5.4. Online Purchase Intention / Niat Beli Online
2.5.4.1 Definisi Online
Secara umum, sesuatu dikatakan online adalah bila terkoneksi/
terhubung dalam suatu jaringan ataupun sistem yang lebih besar.
Menurut Dedik Kurniawan, online adalah sebuah kegiatan
yang menggunakan fasilitas jaringan internet untuk melakukan
kegiatan yang dapat dilakukan secara online seperti halnya bisnis,
mencari berita, searching, daftar kuliah, dsb.
2.5.4.2 Definisi Purchase Intention / Niat Beli
Ajzen (2016) dalam jurnal Procedia Economics and Finance 35
p.4 karangan Yi Jin Lim et al mengemukakan bahwa niat (intention)
dianggap sebagai indikator sejauh mana orang mau mendekati
perilaku tertentu dan berapa banyak usaha yang mereka coba lakukan
untuk melakukan perilaku tertentu.
Peter and Olson (2016) dalam Jurnal Bisnis dan Manajemen
Vol. 3 No.1, p.2 karangan Syafaruddin Z, Suharyono dan Srikandi
mendefinisikan purchase intention sebagai kecenderungan konsumen
untuk membeli suatu merek atau mengambil tindakan yang
berhubungan dengan pembelian yang diukur dengan tingkat
kemungkinan konsumen melakukan pembelian. Niat beli konsumen
merupakan suatu kegiatan individu konsumen yang secara langsung
terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang yang
ditawarkan. Menurut Kotler (2000) dalam proses pembelian, niat beli
konsumen ini berkaitan erat dengan motif yang dimilikinya untuk
memakai ataupun membeli produk tertentu. Motif pembelian ini
berbeda-beda untuk setiap konsumen. Konsumen akan memilih
produk yang mengandung atribut-atribut yang diyakininya relevan
dengan yang dibutuhkannya.
36
2.5.4.3 Definisi Online Purchase Intention
Dari penjabaran diatas peneliti dapat menyimpulkan Online
Purchase Intention adalah kecenderungan seseorang untuk mengambil
tindakan yang berhubungan dengan pembelian yang diukur dengan
tingkat kemungkinan konsumen melakukan pembelian terhadap suatu
barang dan jasa melalui sebuah jaringan atau sistem transaksi yang
besar seperti website commerce, mobile apps,dsb.
2.5.4.4 Dimensi Online Purchase Intention
Menurut Ferdinand dalam jurnal karangan Setyo Ferry Wibowo
et.al (2015) minat beli dapat diidentifikasi melalui dimensi yaitu:
a. Minat transaksional, yaitu kecenderungan seseorang untuk
melakukan pembelian produk.
b. Minat refrensial, yaitu kecenderungan seseorang untuk
mereferensikan produk/ ide kepada orang lain.
c. Minat preferensial, yaitu minat yang menggambarkan
perilaku seseorang yang memiliki prefrensi utama pada
produk tersebut. Preferensi ini hanya dapat diganti jika
terjadi sesuatu dengan produk preferensinya.
d. Minat eksploratif, minat ini menggambarkan perilaku
seseorang yang selalu mencari informasi mengenai produk
yang diminatinya dan mencari informasi untuk
mendukung sifat-sifat positif dari produk tersebut.
2.6 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti
Jurnal Judul Artikel Hasil Penelitian
1 Dauw Song Zhu , Zui Chih (Rick) Lee, dan Gwendolyn S. O’Neal
Journal of Internet Banking and Commerce, December 2011, vol.
Mr. Risk! Please Trust Me: Trust Antecedents that Increase Online Consumer Purchase Intention
Dibuktikan adanya hubungan positif antara kepercayaan dan sikap konsumen
Adanya hubungan positif antara sikap
37
No Nama Peneliti
Jurnal Judul Artikel Hasil Penelitian
(2011)
16, no.3 konsumen dan niat membeli
Risiko yang dirasakan konsumen memiliki pengaruh secara negatif terhadap sikap dan niat membeli
2 Rosian Anwar, Wijaya Adidarma (2016)
Jurnal Manajemen dan Bisnis Sriwijaya Vol. 14 No.2
Pengaruh Kepercayaan dan Risiko pada Minat Beli Belanja Online
Dibuktikan kepercayaan berpengaruh positif pada minat beli konsumen dalam bertransaksi online.
3 Vivi Susanti, Cholichul Hadi (2013)
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Vol. 02. No. 01
Kepercayaan Konsumen dalam Melakukan Pembelian Gadget secara Online
Studi tentang dimensi kepercayaan dalam pembelian produk gadget secara online.
4 Kwek Choon Ling, Dazmin bin Daud, Tan Hoi Piew, et.al (2011)
International Journal of Business and Management Vol. 6, No. 6
Perceived Risk, Perceived Technology, Online Trust for the Online Purchase Intention in Malaysia
Studi dimensi Risiko yang dirasakan dalam lingkungan online.
5 Aditya Arie Hanggono, Siti Ragil Handayani, Heru Susilo (2015)
Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 26 No. 1
Analisis atas Praktek TAM (Technology Acceptance Model) Dalam Mendukung Bisnis Online dengan Memanfaatkan Jejaring Sosial Instagram
Studi tentang technology acceptance model, pengembangan TRA (Theory Reasoned Action)
6 Nurul Aqila Hasbullaha, Abdullah Osmanb, et. al ( 2016 )
Procedia Economics and Finance 35. 493 – 502
The Relationship of Attitude, Subjective Norm and Website Usability on Consumer Intention to Purchase Online: An Evidence of Malaysian Youth*
Ada hubungan signifikan antara Sikap dengan Niat Membeli Online.
38
No Nama Peneliti
Jurnal Judul Artikel Hasil Penelitian
7 Tjioe Amelia Soegiarto (2012)
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Manajemen Vol 1, No 5
Profile of The Electronic Commerce Consumer: A Study With Brazilian University Students
Studi tentang Sikap terhadap Pembelian Online dan indikatornya.
8 Setyo Ferry Wibowo, Dede Rosmauli, dan Usep Suhud (2015)
Jurnal Riset Manajemen Sains Indonesia (JRMSI) | Vol. 6, No. 1
Pengaruh Persepsi Manfaat, Persepsi Kemudahan, Fitur Layanan, dan Kepercayaan Terhadap Minat Menggunakan E-Money Card (Studi pada Pengguna Jasa Commuterline di Jakarta)
Studi Dimensi Niat Beli
Sumber: Diolah Peneliti
2.7 Kerangka Pemikiran
Sumber: Diolah Peneliti
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran