RJP

39
REFERAT RESUSITASI JANTUNG PARU Pembimbing: dr. Sabur Nugraha, Sp. An-KIC dr. Ucu Nurhadiat, Sp. An dr. Ade Nurkacan, Sp. An Penyusun: Angie Beatrice W 030.11.032 KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG 1

description

Anestesi

Transcript of RJP

Page 1: RJP

REFERAT

RESUSITASI JANTUNG PARU

Pembimbing:

dr. Sabur Nugraha, Sp. An-KIC

dr. Ucu Nurhadiat, Sp. An

dr. Ade Nurkacan, Sp. An

Penyusun:

Angie Beatrice W

030.11.032

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 1 FEBRUARI - 5 MARET 2016

1

Page 2: RJP

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

RESUSITASI JANTUNG PARU

Diajukan untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik Ilmu Anestesi

periode 1 Februari - 5 Maret 2016

di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang

Disusun oleh:

Angie Beatrice W

030.11.032

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta, .... Februari 2016

Pembimbing

2

Page 3: RJP

PENDAHULUAN

Salah satu tujuan utama dari anestesiologi adalah memelihara fungsi sistem organ-

organ vital selama pembedahan. Tidak mengejutkan bahwa pada ahli anestesi telah

memainkan peranan penting dalam perkembangan teknik resusitasi kardiopulmoner diluar

dari ruangan operasi. Resusitasi jantung paru merupakan rangkaian penyelamatan hidup pada

kasus henti jantung. Walaupun urutan maupun kompetensi tindakan yang dilakukan dapat

berbeda karena bergantung dari kualifikasi penolong, korban dan lingkungan sekitar

fokusnya hanyalah memberikan resusitasi yang berkualitas (high quality cardiopulmonary

resuscitation). High quality CPR memberikan resusitasi secara tepat, cepat dan efektid

sehingga untuk dapat melakukan ini penolong perlu mengenali ciri henti jantung serta henti

napas yang memerlukan tindakan segera.

Henti jantung masih menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara, baik yang

terjadi di dalam maupun di luar rumah sakit. Pada penelitian Berdowski J (2010) tentang

insiden global henti jantung di luar rumah sakit menyatakan insiden henti jantung di luar

rumah sakit yang tertangani lebih tinggi di Amerika Utara (54,6%) bila dibandingkan dengan

Eropa (35%), Asia (28,3%), dan Australia (44%). Selain itu angka kejadian yang masih tinggi

membuat negara-negara berkembang di Asia terutama Indonesia dapat memahami tentang

kondisi ini lebih lanjut sehingga mampu menjadi seorang penolong apabila sewaktu-waktu

diperlukan.

Sebagian besar korban henti jantung adalah orang dewasa, namun tidak menutup

kemungkinan bayi serta anak-anak dapat menjadi korban. Maka itu, pemahaman konsep

bantuan hidup dasar dan resusitasi kardiopulmoner ini ditujukan bagi masyarakat awan dan

praktisi kesehatan agar dapat mengenali tanda dan gejala serta mengambil langkah aktif

untuk menanganinya.

3

Page 4: RJP

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Resusitasi jantung paru atau Cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiac

care (CPR-ECC) adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi

pernapasan serta sirkulasi akibat terhentinya denyut jantung.(1) Resusitasi jantung paru ini

dilakukan pada setiap individu dalam keadaan oksigenasi atau perfusi organ-organ vital tidak

adekuat, hal ini dilakukan tidak terbatas pada henti napas atau henti jantung saja.(2)

II. Fisiologi respirasi

Sistem respirasi merupakan sistem yang sangat luas karena mencakup seluruh sel di

dalam tubuh. Sistem respirasi berjalan bersamaan dengan sistem sirkulasi yang melibatkan

dua organ utama yaitu jantung dan paru-paru. Organ-organ dalam sistem respirasi berfungsi

sebagai penyalur udara dan sebagai tempat pertukaran gas. Selain itu, organ-organ respirasi

juga berfungsi sebagai penyaring, penghangat dan pelembab udara inspirasi. Paru-paru

berfungsi untuk memfasilitasi pertukaran gas secara terus menerus antara udara inspirasi dan

darah yang berada dalam sirkulasi pulmonal, menyediakan O2 dan mengambil CO2 yang

dibuang melalui proses eksprasi. Pertukaran gas terjadi di alveoli dan kapiler paru. Darah

yang meninggalkan paru-paru mengandung O2 dalam kadar yang tinggi untuk kemudian

didistribusikan ke seluruh sel tubuh. Sistem respirasi juga berperan dalam keseimbangan

asam basa. Peningkatan CO2 akan menyebabkan peningkatan konsentrasi H+ dan menurunkan

pH darah. Jika pH darah lebih rendah dari nilai normal, maka tubuh akan berusaha

memperbaikinya dengan meningkatkan eliminasi CO2 melalui hiperventilasi.(3)

Secara singkat, anatomi sistem respirasi terdiri dari saluran napas atas, saluran napas

bawah, dan organ penunjang pernapasan. Saluran napas atas dimulai dari hidung sampai pita

suara dan termasuk sinus paranasalis dan laring. Saluran napas bawah berada di dalam rongga

thorax dan terdiri dari pohon trakeobronkial (tracheobronchial tree) dan alveoli. Sementara

organ-organ penunjang pernapasan terdiri dari pleura, mediastinum, diafragma, otot-otot

interkostal dan otot-otot abdomen.(3)

Proses respirasi adalah pertukaran gas antara organisme hidup dengan lingkungannya.

Pada manusia, respirasi dibagi menjadi respirasi eksternal dan internal. Respirasi

eksternal adalah pertukaran gas antara darah dengan lingkungan sekitarnya, yang

terdiri atas empat proses yang berurutan :

4

Page 5: RJP

Ventilasi : perpindahan udara dari luar ke alveoli

Pencampuran : distribusi molekul gas intra pulmonal

Difusi : perjalanan gas melewati membran kapiler alveoli

Perfusi alveolar-sirk kapiler : ambilan gas oleh aliran darah pulmonal.

Sementara respirasi internal adalah pertukaran gas antara darah dengan jaringan.

Proses respirasi internal terdiri dari :

Efisiensi kardiosirkular dalam memindahkan darah yang kaya O2

Distribusi kapiler

Difusi, aliran gas ke ruang interstisial dan kemudian melewati membran sel

Metabolisme sel dengan melibatkan enzim-enzim respirasi.

Mekanisme pernapasan dibagi menjadi 2 fase yaitu fase inspirasi dan ekspirasi. Kedua

fase ini dipengaruhi bentuk dan volume rongga thorax yang mempengaruhi tekanan udara di

dalam rongga thorax dan paru. Hal ini yang menyebabkan udara keluar dan masuk ke dalam

paru, serta otot-otot pernapasan mempunyai peran dalam perubahan rongga thorax ini.

Kapasitas udara di paru-paru kurang lebih 5000 ml atau sekitar 70 ml/kgBB. Spirometri

merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur jumlah udara yang keluar dan masuk

saat bernapas. Sebagai hasil dari pengukuran spirometri ini, volum paru dianggap sebagai

subdivisi primer yang terdiri dari volum tidal, volum cadangan inspirasi, volum cadangan

ekspirasi dan volum residual. Berbeda dengan kapasitas paru, terdiri dari kapasitas inspirasi,

kapasitas vital, kapasitas residu fungsional dan kapasitas total paru.(3)

III. Fisiologi kardiovaskular

Sistem kardiovaskular bertujuan mengantarkan perfusi ke jaringan demi tercukupinya

kebutuhan O2 dan nutrisi sel-sel tubuh dengan kata lain menjamin adekuasi oxygen delivery.

Organ utama pada sistem kardiovaskular ini adalah jantung yang berfungsi untuk

memompakan darah ke seluruh tubuh. Jantung dapat memompakan darah ke sistem sirkulasi

jika kedua aspek utama yang mendasari kerjanya dapat berfungsi dengan baik. Kedua aspek

ini merupakan fungsi konduksi dan fungsi kontraksi jantung.(3)

Fungsi konduksi merupakan aspek elektrisitas jantung yang bekerja sebagai produsen

impuls listrik jantung. Dipicu pertama kali oleh nodus sinoatrial (SA node), kemudian

berjalan melalui dinding atrium ke nodus atrioventrikular (AV node). Berjalannya impuls

listrik ini membuat atrium berkontraksi sehingga memompa darah masuk ke ventrikel.

5

Page 6: RJP

Kemudian impuls berjalan di septum interventrikular dalam dua jaras yang disebut Bundle of

his. Jaras ini mengawali sistem konduksi pada ventrikel jantung. Bundle of his kanan

mengalirkan impuls ke ventrikel kanan, sedangkan bundle of his kiri mengalirkan impuls ke

ventrikel kiri. Jaras ini akan berakhir pada serabut-seraut Purkinje yang mengalirkan impuls

hingga miokardium.(3)

Fungsi kontraksi jantung merupakan aspek mekanik yang berhubungan dengan

konsentrasi Ca2+ intraselular selama sistolik yang memperngaruhi kemampuan serabut otot

jantung berkontraksi dan beristirahat kembali. Kontraksi jantung akan adekuat jika preload

cukup untuk meregangkan otot jantung. Hal ini sesuai dengan hukum Frank-Starling : "energi

untuk kontraksi proporsional dengan panjang awal serabut otot jantung." Serabut otot jantung

memanjang berati teregang oleh volum darah sebelum kontraksi, yang dikenal dengan istilah

preload. Preload proporsional dengan volume akhir diastolik (EDV). Hubungan antara isi

sekuncup (stroke volume) dengan EDV dikenal sebagai kurva Frank-Starling. Jadi, apabila

volume sirkulasi menurun (hipovolemia) maka venous return akan turun. Akibatnya, stroke

volume juga menurun. Hal ini menyebabkan regangan otot jantung turun sehingga kontraksi

akan menurun. Turunnya kontraktilitas jantung menyebabkan cardiac output menurun yang

berdampak pada penurunan tekanan darah.(3)

IV. Indikasi resusitasi jantung paru

Henti napas dan henti jantung merupaka dua indikasi utama inisiasi resustasi jantung

paru. Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernapasan

dari korban. Henti napas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan bantuan hidup

dasar. Henti napas dapat terjadi dalam keadaan seperti: (1)

- Tenggelam atau lemas

- Stroke

- Obstruksi jalan napas oleh benda asing

- Radang epiglotitis

- Keracunan obat-obatan

- Tercekik (suffocation)

- Tesengat listrik

- Infark Miokard

- Tersambar petir

6

Page 7: RJP

Pada awal henti napas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa menit

dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada

keadaan ini diberikan bantuan resusitasi, ini sangat bermanfaat pada korban.(1)

Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti sirkulasi

ini akan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen secara mendadak.

Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti

jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis, femoralis, radialis) disertai

kebiruan atau pucat, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak

bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. Pengiriman O2 ke otak bergantung

pada cardiac output, kadar Hb, saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Resusitasi

jantung paru dilperlukan apabila O2 ke otak tidak cukup untuk menjalani fungsinya. Iskemia

melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kerusakan menetap pada korteks

serebri. Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan resusitas gawat darurat

medik yang bertujuan untuk:

a. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.

b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang

mengalami henti jantung atau henti jantung melalui resusitasi jantung paru (RJP).

V. Bantuan hidup dasar - Basic Life Support (BLS) 2015

Bantuan hidup dasar bertujuan untuk oksigenasi darurat secara efektif pada organ vital

seperti otak dan jantung melalui ventilasi serta sirkulasi buaan sampai paru dan jantung dapat

menyediakan oksigen secara adekuat dengan kemampuan sendiri. Resusitasi pada bantuan

hidup dasar ini mencegah sel-sel rusak akibat hipoksia. Bantuan hidup dasar ini berarti :

menjaga jalan napas agar tetap paten (A : airway), membuat napas buatan (B : breathing),

dan membuat sirkulasi buatan dengan cara pijat jantung (C : circulation).(1) Urutan bantuan

hidup dasar berisikan runutan penilaian dan tindakan yang digambarkan secara singkat pada

algoritme yang tetap tidak berubah dari konsensus tahun 2010. Algoritme ini berisikan

langkah-langkah untuk menjalankan bantuan hidup dasar secara logis dan mudah dipelajari,

diingat dan dilaksanakan bagi semua tipe penolong.(4,7)

7

Page 8: RJP

Gambar 1. Algoritme BLS pada dewasa oleh tenaga kesehatan berdasarkan AHA 2015

Gambar 2. Simplifikasi BLS dewasa AHA 2010

8

Page 9: RJP

Gambar 3. Chains of survival IHCA dan OHCA

Sebelum dilakukan tahapan A (airway) sebelumnya dilakukan prosedur awal pada

korban, seperti :

a. Memastikan keamanan lingkungan

Aman bagi penolong maupun aman bagi korban itu sendiri.

b. Memastikan kesadaran korban

Menepuk atau menggoyangkan bahu korban sambil memanggil namanya atau

Pak!/ Bu!/ Mas!/Mbak!

c. Meminta pertolongan

Apabila korban tidak sadar atau tidak ada respon segera mencari pertolongan

sembari memberitahukan posisi, atau mempergunakan alat komunikasi yang

ada, mengaktifkan sistem emergency yang ada.

d. Memperbaiki posisi korban

Posisi korban yang miring atau telungkup harus ditelentangkan dulu dengan

membalikkan tubuhnya secara langsung untuk mencegah cedera/komplikasi.

9

Page 10: RJP

Tindakan bantuan hidup dasar yang efektif bila pasien/korban dalam posisi

telentang, serta di permukaaan yang rata, keras dan kering.

e. Mengatur posisi penolong

Posisi penolong berlutut sejajar dengan bahu pasien/korban agar pada saat

memberikan batuan nafas dan bantuan sirkulasi penolong tidak perlu banyak

pergerakan.

Gambar 4. Recovery position setelah pemeriksaan kesadaran dan respons korban

Selanjutnya apabila hal-hal diatas sudah terpenuhi, maka selanjutnya akan dimulai

resusitasi bantuan hidup dasar :

Airway - Pembebasan jalan napas

Selain menilai jalan napas, langkah awal atau "A" pada bantuan hidup dasar perlu

mencakup assessment atau penilaian awal terhadap korban. Pada keadaan aliran darah yang

rendah misalnya pada henti jantung (cardiac arrest), aliran oksigen menuju organ vital

seperti otak dan jantung menjadi terbatas sehingga pada guidelines AHA 2010 ditekankan

untuk memulai kompresi dada sedini mungkin guna memperbaiki sirkulasi dibandingkan

dengan menyelamatkan pernapasan korban. Umumnya, jalan napas mengalami obstruksi

posterior akibat melemahnya tonus otot sehingga letak lidah dapat jatuh ke belakang menutup

epiglotis dan faring yang membuat tertutupnya jalan napas. Terdapat beberapa prosedur yang

dapat dilakukan untuk memeriksa jalan napas korban, antara lain : (1,2,7)

a. Head-tilt chin-lift

Sebelum melakukan manuver ini perlu diperhatikan bahwa tidak terdapat

cedera atau jejas pada servikal. Kemudian, salah satu tangan diletakkan pada

dahi korban sambil memberikan tekanan untuk mengekstensikan kepala ke

10

Page 11: RJP

belakang, sementara tangan yang lain membuka mulut korban dengan

menaikkan dagu.

Gambar 5. Teknik head tilt dan chin lift

b. Jaw-thrust

Teknik ini dapat lebih efektif dan aman dilakukan pada korban dengan

kecurigaan cedera pada area servikal untk membuka jalan napas. Pertama,

posisi penolong berada di puncak kepala korban kemudian meletakkan kedua

tangan pada kedua angulus mandibula dan mendorongnya ke bawah agar

terbuka tanpa menggerakkan kepala-leher. Lidah melekat pada rahang bawah,

maka lidah akan ikut tertarik dan jalan napas terbuka.

11

Page 12: RJP

Gambar 6. Teknik jaw thrust

Apabila henti jantung terjadi di luar rumah sakit, letakkan korban dalam posisi

terlentang dan lakukan manuver triple airway (kepala tengadah, rahang didorong ke depan

dan mulut dibuka). Saat jalan napas sudah tampak, benda asing yang tampak pada korban

yang tidak sadar harus segera diambil/dipindahkan.

Gambar 7. Teknik triple manuver airway

Breathing - Bantuan napas

Penilaian pernapasan spontan segera dilakukan setelah jalan napas terbuka/tampak.

Kompresi dada dan ventilasi sebaiknya tidak terlambat akibat tindakan intubasi jika jalan

napas paten dengan manuver. Keadaan apnea dapat dipastikan dengan 3 hal : minimnya

pergerakan thorax, nihilnya suara napas, dan menurunnya aliran udara yang terasa. Terdapat

regimen ventilasi spesifik untuk pasien apneutik yaitu 2 hembusan napas yang diberikan

perlahan (2s per napas pada dewasa dan 1-1,5 s pada anak dan bayi).(2) Korban yang didapati

henti napas, ditidurkan dalam posisi terlentang. Bantuan napas dapat diberikan dengan cara

mulut ke mulut (mouth to mouth), mulut ke hidung (mouth to nose), mulut ke stoma atau

mulut ke sungkup.

a. Mulut ke mulut (mouth-to-mouth)

12

Page 13: RJP

Merupakan cara yang  cepat dan efektif. Pada saat memberikan penolong tarik nafas

dan mulut penolong menutup seluruhnya mulut pasien/korban dan hidung

pasien/korban harus ditutup dengan telunjuk dan ibu jari penolong. Volume udara

yang berlebihan dapat menyebabkan udara masuk ke lambung.

b. Mulut ke hidung (mouth-to-nose)

Direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak memungkinkan, misalnya

pasien/korban mengalami trismus atau luka berat. Penolong sebaiknya menutup

mulut  pasien/korban pada saat memberikan bantuan nafas

c. Mulut ke stoma trakeostomi

Dilakukan pada pasien/korban yang terpasang trakheostomi atau mengalami

laringotomi.

Gambar 8. Teknik ventilasi mouth to mouth, mouth to mask, dan mouth to stoma

Circulation - Bantuan sirkulasi

Sirkulasi memegang peranan penting dibanding jalan napas dan napas itu sendiri pada

situasi henti jantung. Pada skenario ini sama seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,

kompresi dada dimulai sebelum pemberian napas pertama. Urutan tindakan untuk menilai

sirkulasi pada korban bervariasi, tergantung penolong saat itu.(2)

13

Page 14: RJP

Tabel 1. Urutan BLS berdasarkan tipe penolong(4)

Bila pada pasien didapatkan pulsasi nadi yang adekuat (a. karotis pada dewasa atau

anak, serta a. brakialis atau femoralis pada bayi) atau tekanan darah yang cukup, maka

pernapasan pada dewasa dan anak > 8 tahun dilanjutkan 10-12x/menit dan 20x/menit untuk

bayi atau anak < 8tahun. Namun, apabila pulsasi nadi tidak teraba atau hipotensi berat maka

sistem sirkulasi harus ditunjang dengan kombinasi antara kompresi dada eksternal, pemberian

obat-obatan I.V. dan defibrilasi apabila diperlukan. (2,7)

14

Page 15: RJP

Pijatan jantung luar (external chest compression) diawali dengan pasien ditidurkan

terlentang pada alas yang rata dan keras, kemudian sebelum kompresi dada dimulai penolong

melakukan pukulan pada tulang dada dari jarak ketinggian 20-30 cm untuk merangsang

jantung agar berdenyut (precordial thump).(1) Kompresi dada mendesak darah untuk mengalir

melalui peningkatan tekanan intratorakal (thoracic pump) ataupun melalui penekanan jantung

secara langsung (cardiac pump). Untuk melakukan kompresi dada pada korban yang tidak

responsif atau tanpa pulsasi nadi, posisi dan cara penolong harus tepat. Setelah pasien

ditidurkan, penolong berlutut di samping kanan/kiri pasien kemudian menempatkan tumit

tangan pada processus xiphoideus korban yang terletak di setengah sternum bawah dimana

tangan lainnya ditempatkan diatas tangan yang menempel pada bagian bawah sternum

dengan posisi jari-jari interlock. Bahu penolong diposisikan langsung diatas tangan dimana

bagian siku 'dikunci' dan lengan lurus sehingga berat tubuh bagian atas yang digunakan untuk

kekuatan kompresi. Dengan penekanan lurus, sternum terdorong 4-5 cm pada dewasa, dan 2-

4 cm pada anak lalu kemudian diberi waktu sepersekian detik agar dada mengembang ke

Gambar 8. Teknik kompresi dada

bentuk semula. Dilaksanakan oleh 1 atau 2 penolong, resusitasi pada dewasa tetap 30:2 atau

dengan arti setiap setelah 30x kompresi dada diberikan 2x ventilasi napas dengan kecepatan

kompresi dada harus mencapai 100x/menit.(2)

Pada AHA Cardiopulmonary Guidelines 2015, terdapat beberapa update mengenai

pijatan jantung luar walaupun mayoritas masih sama seperti 2010. Posisi tangan kompresi

dada masih konsisten dengan guidelines 2010 yaitu di bagian bawah sternum. Frekuensi yang

disarankan 100-120 x/menit dengan kedalaman min. 4 cm pada dewasa dan jangan melebihi

15

Page 16: RJP

6 cm. Rongga dada tetap diperkenankan untuk recoil. Rasio kompresi dan ventilasi yang

disarankan pada guidelines 2015 ini juga masih sama yaitu 30:2. (4)

Defibrilasi

Defibrilasi merupakan terapi dengan memberikan energi listrik yang dilakukan pada

korban dengan henti jantung mendadak dimana dugaannya adalah gangguan irama jantung.

Dengan peralatan elektrokardiogram (EKG) maka jenis henti jantung dapat diketahui.(1)

Seringkali, fibrilasi ventrikel atau ventricular fibrillation (VF) muncul dan menjadi penyebab

pada mayoritas dewasa yang mengalami non traumatic cardiac arrest. Waktu dari seseorang

kolaps sampai diberikan terapi defibrilasi sangat penting untuk menentukan survival rate

korban. Survival rate menurun 7-10% untuk setiap menit tanpa defibrilasi. Maka itu, korban

dengan henti jantung harus dilakukan defibrilasi sesegera mungkin. Defibrilasi sebaiknya

diberikan dalam jangka 3 menit setelah arrest (± 1 menit). Tidak terdapat hubungan bermakna

antara besarnya energi yang diperlukan untuk defibrilasi yang berhasil dengan ukuran badan.

Defibrilasi dengan energi yang terlalu kecil pun tidak akan mensukseskan defibrilasi,

sebaliknya, energi listrik yang terlampau tinggi dapat menimbulkan gangguan morfologi dan

fungsional. Defibrilator menghantarkan gelombang energi monofasik dan bifasik. Sampai

saat ini, gelombang bifasik yang direkomendasikan untuk penggunaan kardioversi dengan

tingkat keberhasilan yang tinggi, minim energi dan secara teoritis menimbulkan kerusakan

miokard yang lebih sedikit.(2)

Saat ini, sudah banyak tersedia Automated External Defibrilator (AED) yang tersedia

di tempat-tempat umum. Penggunaannya cukup mudah yaitu dengan mengikuti instruksi

yang disampaikan mesin AED. Saat menggunakan AED untuk defibrilasi, elektrode pad I

ditempatkan di tepi atas sternum kanan (upper right sternal border) tepat dibawah klavikula,

dan elektrode pad II ditempatkan di iga V antara line midklavikularis sinistra dan line

axillaris anterior sinistra sejajar dengan mamae. Berikut ini adalah besar energi (Joule) yang

digunakan untuk kardioversi dengan menggunakan biphasic truncated exponential (BTE).(2)

16

Page 17: RJP

Tabel 2. Kebutuhan energi untuk kardioversi berdasar diagnosis klinis

Karena penyebab henti jantung tersering pada dewasa adalah fibrilasi ventrikel, maka

berikut adalah urutan syok listrik untuk terapi dibrilasi ventrikel : (1)

Melakukan precordial thump untuk merangsang jantung dari luar, kalau tidak

berhasil (-),

Melakukan DC shock, pada dewasa dimulai dari 200 J. Dosis awal shock ini cukup

efektif dan dianggap meminimalisir kerusakan miokard.

DC shock (1) 200 J (-) DC shock (2) 200 J (-) DC shock (3) 200 J (-)

kompresi luar jantung/ventilasi paru 5:1 sebanyak 10x (-)

Intubasi trakea jalur vena dibuka adrenalin 1 mg diencerkan 10 ml I.V.

Apabila sulit membuka vena, berikan adrenalin 2-3 mg intratrakea via pipa trakea.

Kalau sulit intubasi, pasang sungkup laring atau sungkup muka untuk napas buatan

yang lebih aman.

Kompresi luar jantung/ventilasi paru 5:1 sebanyak 10 kali (-)

DC shock (4) 360 J yang dapat diulang sampai 2x

Penilaian ulang setelah penggunaan AED dilakukan sesudah 4 siklus ventilasi dan

kompresi kemudian pasien/korban dievaluasi kembali :

- Jika tidak ada denyut jantung dilakukan kompresi dan bantuan nafas dengan ratio

30:2

- Jika ada nafas dan denyut  jantung teraba letakkan korban pada recovery position.

- Jika tidak ada nafas tetapi teraba denyut jantung, berikan bantuan nafas sebanyak 12

kali permenit dan monitor denyut jantung setiap saat.    

VI. Panduan RJP 2015

17

Page 18: RJP

Beberapa komponen telah diperbaharui pada AHA Guidelines 2015, beberapa

diantaranya yaitu :

Urutan rantai kelangsungan hidup (Chains of Survival) pada pasien dengan

henti jantung (cardiac arrest) dapat berubah tergantung lokasi kejadian:

terjadi di dalam lingkungan rumah sakit (IHCA - In Hospital Cardiac Arrest)

atau di luar lingkungan rumah sakit (OHCA - Out Hospital Cardiac Arrest).

Urutan rantai ini dibedakan karena elemen dari struktur dan proses pada 2

keadaan ini berbeda. Keadaan pasien OHCA bergantung dari bantuan

komunitas sekitar. Penolong wajib menyadari keadaan henti jantung yang

dialami, meminta bantuan dan segera memulai resusitasi serta menyediakan

defibrilasi sampai tim penolong datang dan mentransportasikan pasien ke

centre emergency dengan atau tanpa fasilitas cathlab. Sebaliknya, pasien

IHCA bergantung pada sistem untuk mencegah keadaan cardiac arrest itu

sendiri (rapid response atau early warning system). Apabila timbul keadaan

cardiac arrest, pasien bergantung pada interaksi beragam institusi sebagai

suatu tim multidisiplin layanan kesehatan.(5)

Penggunaan media sosial untuk mengumpulkan bantuan dari jarak terdekat

dengan korban OHCA tanpa harus meninggalkan korban.(5)

Tim resusitasi : Early Warning Sign Systems, Rapid Response Teams and

Medical Emergency Team Systems dianggap efektif dalam menurunkan

insiden henti jantung, terutama dalam perawatan bangsal umum. Tim terdiri

dari kombinasi dokter, perawat dan terapis pernapasan yang terlatih dalam

menjalankan resusitasi.(5)

Direkomendasikan bagi komunitas/lingkungan dengan masyarakat yang

berada pada risiko henti jantung untuk mengimplementasikan program PAD.(5)

Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat mendorong

kesadaran segera terhadap ketidakresponsifan seseorang yang terjadi secara

tiba-tiba. Pada keadaan ini pengamanan tempat kejadian dilakukan kemudian

memeriksa respon korban. Nilai apakah korban tidak bernapas atau bernapas

dengan tidak normal (gasping). Penolong harus memanggil bantuan terdekat

(pengaktifan respon sistem emergensi) dan segera memulai resusitasi apabila

setelah tidak menunjukkan reaksi. Akan lebih baik bila penolong juga

18

Page 19: RJP

memeriksa pernapasan dan denyut nadi korban seiring pemeriksaan respon

pasien agar tidak menunda waktu dilakukannya RJP.(5)

Urutan yang dianjurkan untuk penolong tunggal telah dikonfirmasi, yaitu :

penolong tunggal wajib memulai kompresi dada sebelum memberi bantuan

napas. Resusitasi diberikan dengan 30x kompresi dada diikuti 2 ventilasi.(5)

Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka

bebaskan jalan nafas melalui head tilt – chin lift. Namun jika korban dicurigai

cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.(5)

Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa endotrakeal,

Combitube, atau saluran udar masker laring), penolong perlu memberikan 1

napas buatan setiap 6 detik (10 napas buatan per menit) untuk pasien dewasa,

anak-anak, dan bayi sambil tetap melakukan kompresi dada berkelanjutan.(5)

Terdapat penekanan tentang high quality CPR : kompresi dada pada kecepatan

dan kedalaman yang cukup, memberi kesempatan dada untuk mengembang

kembali (recoil) setelah kompresi sehingga penolong tidak boleh bertumpu di

atas dada pasien setelah setiap kompresi, meminimalisir interupsi selama

kompresi dan menghindari ventilasi yang berlebihan dengan memberi jarak 1

detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan

volume tidal yang masuk adekuat.(5)

Dianjurkan kecepatan kompresi dada berkisar antara minimal 100x/menit -

maksimal 120 x/menit. Kedalaman kompresi akan berkurang seiring semakin

cepatnya interval kompresi dada.(5)

Kompresi dada dewasa dilakukan dengan kedalaman minimal 5 cm namun

tidak melebihi 6 cm. Pembatasan kedalaman kompresi maksimal

diperuntukkan mengurangi potensi cedera akibat kedalaman kompresi yang

berlebihan. Pada pasien bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-

posterior dada atau sekitar 4 cm dan untuk anak sekitar 5 cm. Pada pasien

anak dalam masa pubertas (remaja), kedalam kompresi dilakukan seperti pada

pasien dewasa. (5)

19

Page 20: RJP

Tabel 3. Anjuran dan Larangan BLS untuk High Quality CPR pada Pasien Dewasa

Jika terdapat denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi

dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa

denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi

adalah 30 : 2.

RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau

petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan

lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan

advance airway.

1. Alat defibrilasi otomatis

AED digunakan sesegera mungkin setelah AED tersedia. Bila AED belum tiba,

lakukan kompresi dada dan ventilasi dengan rasio 30 : 2. Defibrilasi / shock diberikan bila

ada indikasi / instruksi setelah pemasangan AED. Pergunakan program/panduan yang

telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi shock atau tidak, jika iya lakukan

terapi shock sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali.

Namun jika ritme tidak dapat diterapi shock lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa

kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac

Life Support) datang, atau korban mulai bergerak.

2. Perbandingan Komponen RJP Dewasa, anak-anak, dan bayi

Pada pasien anak dan bayi, pada prinsipnya RJP dilakukan sama seperti pada

pasien dewasa dengan beberapa perbedaan. Beberapa perbedaan ini seperti yang tercantum

pada Tabel 4.

20

Page 21: RJP

Tabel 4.

Perbedaan Komponen RJP Pada dewasa, anak, dan bayi

Pada pasien anak, algoritma RJP bergantung pada jumlah penolong (satu atau

dua/lebih penolong). Bila ada satu orang penolong, rasio kompresi dada dan ventilasi seperti

pasien dewasa yaitu 30 : 2; tetapi bila ada dua orang penolong maka rasio kompresi dada dan

ventilasi menjadi 15 : 2. Jika anak/bayi mempunyai denyut nadi namun membutuhkan

pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 3-5 detik/nafas atau sekitar 12-20

nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus

perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2 untuk satu orang penolong dan 15 : 2

untuk dua orang atau lebih penolong.

21

Page 22: RJP

Gambar 9. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Satu Orang

Penolong

22

Page 23: RJP

Gambar 10. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Dua Orang

Penolong

VII. Perawatan pasca henti jantung

Perawatan pasca henti jantung secara signifikan telah mengurangi jumlah mortalitas

dini akibat instabilitas hemodinamik dan morbiditas serta mortalitas jangka panjang akibat

multiorgan failure dan brain injury. Secara objektif, perawatan pasca henti jantung ini

ditujukan untuk : mengoptimalkan fungsi kardiopulmonal dan perfusi organ vital;

mentransportasikan pasien ke centre bersarana lengkap agar mendapat perawatan secara

23

Page 24: RJP

komprehensif yang meliputi intervensi sindrom koroner akut, perawatan neuorologis, dan

hipotermia; mengidentifikasi dan mengobati pencetus henti jantung serta mencegah

berulangnya kejadian tersebut.(6)

Secara umum, pada perawatan pasca henti jantung penting melingkupi beberapa hal

vital seperti ventilasi, hemodinamik, kardiovaskular, neurologis, dan metabolik. Secara

umum, penolong yang melakukan resusitasi dengan kompresi eksternal (CPR) perlu

memastikan jalan napas yang adekuat serta menopang pernapasan segera setelah return of

spontaneous circulation (ROSC). Berikut sekilas tentang beberapa hal penting yang perlu

diperhatikan selama perawatan pasca henti jantung :(6)

o Penggantian endotracheal tube (ETT) untuk mempertahankan pembukaan

jalan napas.

o Penolong dan perawat rumah sakit hendaknya menghindari pemakaian tali

yang memfiksasi bagian leher pasien secara melingkar karena berpotensi

menyebabkan obstruksi venous return dari otak.

o Menaikkan bagian kepala tempat tidur setinggi 30° untuk mengurangi insiden

edema serebral, aspirasi dan ventilatory associated pneumonia (VAP).

o Walaupun digunakan oksigen 100% untuk resusitasi, penolong hendaknya

mentitrasi oksigen yang diinspirasi sampai level terendah yang dibutuhkan

untuk mencapai saturasi oksigen arteri ≥94% untuk mencegah potensi

terjadinya toksisitas oksigen.

o Mencegah terjadinya hiperventilasi atau overbagging yang dapat

menyebabkan peningkatan tekanan intratorakal yang dapat menyebabkan

penurunan cardiac output.

o Pemantauan tanda-tanda vital dan elektrokardiografi (EKG) secara kontinu.

o Akses I.V. untuk memberi cairan secara bolus selama resusitasi bila

didapatkan keadaan hipotensi (sistolik <90 mmHg). Selain cairan, pemberian

obat-obatan vasoaktif seperti dopamin, norepinefrin dan epinefrin dapat

dimulai guna mencapai tekanan darah sistolik minimum >90 mmHg atau

MAP ≥ 65 mmHg.

24

Page 25: RJP

25

Page 26: RJP

KESIMPULAN

Resusitasi jantung paru adalah usaha yang dilakukan untuk mengatasi berbagai kasus

henti nafas atau henti jantung dengan berbagai penyebab. Pada American Heart Association

2015 disebutkan bahwa jika korban henti napas atau henti jantung sudah teridentifikasi maka

langkah pertama yang dikerjakan adalah kompresi dada karena setiap detik yang dilewatkan

tanpa melakukan kompresi akan merugikan sirkulasi darah dan mengurangi angka ketahanan

hidup (survival rate) korban. Prosedur RJP terbaru adalah kompresi dada 30 kali dengan 2

kali napas buatan. Sistem RJP yang dilakukan sekarang adalah adaptasi dan pembaharuan

dari pedoman yang telah diperkenalkan oleh Peter Safar dan kemudiannya diadaptasi oleh

American Heart Association.

Pada guidelines terbaru juga diberikan pemahaman lengkap mengenai urutan

resusitasi berdasarkan tipe penolong. Selain itu banyak update lainnya yang tujuannya

memudahkan penolong untuk menyelamatkan nyawa korban. Pentingnya edukasi dan

sosialisasi mengenai guidelines AHA 2015 tentang resusitasi jantung paru ini turut

menurunkan insiden kematian akibat henti napas dan henti jantung yang terjadi baik di dalam

maupun di luar rumah sakit.

26

Page 27: RJP

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologis. 2nd ed. Jakarta:

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;

2010.

2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail's Clinical

Anesthesiology. 5th ed. USA : Mc Graw Hill; 2013.

3. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. 1st ed. Jakarta : Departemen

Anestesiologi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Indonesa / RS Cipto

Mangunkusumo; 2012.

4. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, Swor RA, Terry M, et al. Part 5 : Adult

basic life support and cardiopulmonary resuscitation quality: 2015 American Heart

Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency

Cardiovascular Care. Circulation 2015; 132 : S414-S435.

5. Hazinski MF, Shuster M, Donnino MW, Travers AH, Samson RA, et al. Highlights of

the 2015 American Heart Association Guidelines Update for CPR and ECC. 1st ed.

USA : American Heart Association; 2015.

6. Peberdy MA, Callaway CW, Neumar RW, Geocadin RG, Zimmerman JL, et al. Part 9

: Post-cardiac arrest care : 2010 American Heart Association Guidelines for

Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation

2010; 122: S768-786.

7. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. 4th

ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.

27