Rinitis Alergi

44
REFERAT SMF ILMU KESEHATAN ANAK RINITIS ALERGI Disusun Oleh : Antonius Yansen S. 2009.04.0.0017 Pembimbing : DR. Aniek Hartiwi, Sp.A KEPANITERIAAN KLINIK BAGIAN/SMF KESEHATAN ANAK RSU HAJI SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH

description

refrat anak

Transcript of Rinitis Alergi

REFERAT SMF ILMU KESEHATAN ANAKRINITIS ALERGI

Disusun Oleh :

Antonius Yansen S.2009.04.0.0017

Pembimbing :

DR. Aniek Hartiwi, Sp.A

KEPANITERIAAN KLINIK BAGIAN/SMF KESEHATAN ANAKRSU HAJI SURABAYAFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAHSURABAYA 2014DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAN1BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA32.1. Alergi3 2.1.1. Definisi alergi3 2.1.2. Faktor resiko4 2.1.3. Allergic march4 2.1.4. Pencegahan52.2. Definisi dan Klasifikasi Rinitis62.3. Definisi Rinitis Alergi72.4. Klasifikasi Rinitis Alergi82.5. Epidemiologi Rinitis Alergi92.6. Faktor resiko Rinitis Alergi102.7. Alergen pada Rinitis Alergi102.8. Patogenesis dan Patofisiologi Rinitis Alergi102.9. Diagnosis Rinitis Alergi14 2.9.1. Anamnesa14 2.9.2. Pemeriksaan fisik15 2.9.3. Tes alergi172.10. Diagnosis Banding182.11. Manajemen192.11.1. Edukasi192.11.2. Menghindari alergen192.11.3. Farmakoterapi202.11.4. Perbandingan efikasi dari berbagai jenis farmakote-rapi dalam mengurangi gejala rinitis alergi232.11.5. Immunoterapi242.11.6. Pembedahan242.11.7. Pedoman (guideline) manajemen dari rinitis alergi252.12. Komorbid262.13. Prevensi27BAB 3. KESIMPULAN28DAFTAR PUSTAKA29

BAB IPENDAHULUAN

Rinitis alergi (allergic rhinitis / AR), merupakan penyakit kronik yang paling sering terjadi pada anak, dengan prevalensi mencapai sekitar 40%. Akan tetapi, penyakit ini sering kali kurang diperhatikan dan kurang ditangani, karena sering kali disalah artikan sebagai infeksi saluran nafas berulang pada anak. Rinitis alergi secara umum bukan merupakan penyakit yang mengancam jiwa, namun masih merupakan salah satu alasan utama untuk mengunjungi dokter anak. 1Meskipun bukan merupakan penyakit yang mengancam jiwa, rinitis alergi seringkali bukan merupakan suatu penyakit yang berdiri sendiri dan dapat dianggap sebagai penyakit alergi sistemik dengan banyak kelainan komorbid, seperti asma, otitis media supurativa kronik, sinusitis, hipertrofi limfoid dengan obstructive sleep apnea, gangguan tidur, serta berimbas pada gangguan perilaku, pendidikan, pekerjaan dan menurunnya kualitas hidup. 2,3,4 Prevalensi rinitis alergi semakin meningkat di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, rinitis alergi diperkirakan mengenai sekitar 60 juta orang, dengan prevalensi sekitar 10-30% pada dewasa dan sekitar 40% pada anak. 5 Di Indonesia, prevalensi rinitis alergi belum diketahui pasti, namun data dari beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa frekuensi rinitis alergi berkisar antara 10-26%. 6 Rinitis alergi juga dihubungkan dengan besarnya dampak terhadap ekonomi. Pada sebuah studi di Amerika Serikat tahun 1996, biaya yang dikeluarkan untuk penanganan rinitis alergi mencapai 3 milyar Dolar AS dengan tambahan 4 milyar Dolar AS sebagai akibat dari komorbid dari rinitis alergi. 5Diagnosis dari rinitis alergi seringkali tidak sulit. Namun pada kebanyakan kasus, banyak pasien yang tidak terdiagnosa dengan baik, sering kali karena pasien tidak merasa bahwa penyakit yang mereka alami mengganggu kehidupan sosial, sekolah dan pekerjaan. 7 Pada makalah tinjauan pustaka ini, akan dibahas teori mengenai rinitis alergi meliputi definisi, klasifikasi, patofisiologi, diagnosis, dan penanganan dari rinitis alergi. Diharapkan makalah tinjauan pustaka ini dapat membantu pembaca memahami lebih lanjut mengenai penyakit rinitis alergi.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Alergi2.1.1. Definisi alergiIstilah alergi pertama kali didefinisikan oleh Clemens Von Pirquet sebagai perubahan kapasitas tubuh untuk bereaksi terhadap substansi asing. Alergi sekarang didefinisikan sebagai keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan terhadap suatu antigen (alergen) tertentu yang menimbulkan reaksi imunologik berbahaya pada pajanan berikutnya. Reaksi alergi adalah salah satu dari reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas diklasifikasikan menjadi 4 oleh Gell dan Combs. Alergi sering disamakan dengan reaksi hipersensitivitas tipe 1. 8

Gambar 1. Tipe dari reaksi hipersensitivitas 8

2.1.2. Faktor resikoAdanya riwayat atopi (predisposisi genetik dari penyakit yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas yang dimediasi IgE) merupakan faktor resiko terjadinya alergi. Selain itu, faktor lingkungan juga mempengaruhi kejadian alergi. Paparan alergen ke fetus dapat menyebabkan sensitisasi prenatal yang nantinya dapat berkembang menjadi alergi. Alergen penting yang menyebabkan sensitisasi prenatal antara lain makanan seperti kacang tanah, telur, dan susu sapi serta alergen inhalan seperti house dust mites. 9Paparan terhadap sejumlah bahan makanan terutama susu sapi pada awal post natal seringkali dapat menyebabkan alergi. Pemberian makanan padat terlalu dini (< 6 bulan) juga sering diasosiasikan dengan terjadinya alergi. Makanan seperti kacang-kacangan, telur, ikan laut, dan susu sapi seringkali berkontribusi dalam perkembangan alergi pada individu yang beresiko. Pada tahun pertama kehidupan, alergi terhadap makanan merupakan yang paling sering terjadi, sedangkan alergi terhadap paparan alergen inhalan lebih sering terjadi pada anak yang lebih besar. Selain paparan alergen, paparan bahan iritan seperti polusi dan asap rokok juga merupakan faktor resiko alergi. 9

2.1.3. Allergic marchAllergic march adalah fenomena perubahan dari satu ekspresi klinis dari alergi ke bentuk yang lain seiring dengan bertambahnya usia. Dalam perjalanannya, alergi ternyata dikarakteristikkan dengan kondisi klinis yang muncul pada usia dini yang kemudian menjadi menghilang seiring dengan berjalannya waktu, namun dapat muncul gejala lain yang menggantikannya. 10 Fenomena allergic march dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. Allergic march 10

Dalam allergic march, terdapat 4 karakteristik utama: (1) Alergi makanan dan dermatitis atopik biasanya terlihat paling awal, tidak saat lahir, namun mulai usia 3-12 bulan pertama kehidupan. (2) Pada kebanyakan anak, kondisi ini dapat berkurang atau menghilang pada usia prasekolah. (3) Asma dan rinitis alergi cenderung berkembang kemudian, dan mulai menjadi semakin umum terjadi pada usia sekitar 3-4 tahun dan pada usia sekolah. (4) Anak-anak yang mengalami alergi makanan dan atau dermatitis atopik sering kemudian akan berkembang menjadi rinitis alergi dan asma. 10

2.1.4. PencegahanPencegahan sebaiknya dimulai sejak dini untuk mencegah allergic march. Pencegahan tersebut meliputi:1. Menghindari makanan alergenik, seperti susu sapi, kacang, telur, dan ikan laut pada bayi yang beresiko dari trimester ketiga dari kehamilan hingga 24 bulan pertama post natal. 2. Mengurangi paparan alergen inhalan seperti debu, tungau, dan animal dander.3. Pemberian ASI4. Pengurangan paparan iritan inhalan seperti polusi udara dan asap rokok.5. Intervensi farmakologis. Sebuah studi menyatakan bahwa pemakaian antihistamin selama 18 bulan pada anak dapat menurunkan angka kejadian asma. Obat-obatan pengontrol asma seperti kortikosteroid inhalasi dapat memperbaiki derajat keparahan asma di kemudian hari, namun efek prefentifnya masih diragukan. Pemberian imunoterapi telah terbukti dapat mencegah perkembangan dari asma di kemudian hari. Probiotik diduga dapat mencegah atopi dengan cara meningkatkan limfosit Th1. 9

2.2. Definisi dan Klasifikasi RinitisRinitis didefinisikan secara luas sebagai penyakit inflamasi dari mukosa nasal. 11 Sumber lain menyatakan bahwa rinitis adalah inlamasi dari pelapis hidung dan dikarakteristikkan dengan gejala nasal meliputi rhinorrhea, bersin, hidung buntu dan gatal dari hidung. Gejala ini terjadi selama dua hari berturut-turut atau lebih selama lebih dari satu jam per hari. 7Rinitis berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2, rinitis alergi dan non alergi. 12 Keterangan mengenai pembagian dari rinitis dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi dari rinitis 3,12JenisDeskripsi

AlergiInflamasi mukosa nasal yang dimediasi Ig-E

Non alergi:

A. Inflamasi

OkupasionalDisebabkan karena iritan inhalan di tempat kerja

Drug inducedTerutama disebabkan karena hipersensitif terhadap obat-obatan seperti: NSAID, anti hipertensi, psikotropika, kontrasepsi oral dll

InfeksiDisebabkan karena infeksi virus (tersering), bakteri, jamur

NARESNon-allergic rhinitis with eosinophilia syndrome, ditandai dengan gejala nasal yang berlangsung sepanjang tahun (perennial) dan peningkatan bermakna dari eosinophil pada hapusan hidung tanpa disertai peningkatan IgE

B. Non inflamasi

EmosionalFaktor emosi seperti emosi atau rangsangan seksual (honeymoon rhinitis) dapat menyebabkan stimulasi saraf autonom yang dapat menyebabkan gejala nasal

GustatoryDisebabkan karena aktivitas nervus vagus yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah hidung, terutama setelah makan makanan pedas

MedikamentosaDisebabkan karena rebound congestion dari pemakaian jangka panjang obat vasokonstriktor topikal.

HormonalSering pada ibu hamil. Estrogen dapat meningkatkan jumlah asam hyaluronat di mukosa hidung sehingga menyebabkan edema dan kongesti. -estradiol dan progesterone dapat meningkatkan reseptor H1 di mukosa hidung

VasomotorDisebabkan karena gangguan regulasi autonomik pada fungsi hidung, terutama karena peningkatan stimulasi parasimpatik

AtrofiHilangnya fungsi sekresi dan melembabkan udara dari hidung

IdiopatiEtiologi tidak dapat ditentukan

Pengklasifikasian dari rinitis non alergi sulit, dikarenakan sering kali tumpang tindih antar kategorinya. 11,12 Menurut Krouse (2006), rinitis yang berkaitan dengan paparan iritan inhalan dan agen toksik seperti asap rokok dan bahan kimia, disebut irritative-toxic rhinitis. Rinitis jenis ini berarti meliputi juga rinitis okupasional. 11 Selain itu, menurut Krouse (2006), rinitis medikamentosa merupakan salah satu jenis dari drug induced rhinitis. 8 Sumber lain menyebutkan bahwa rinitis medikamentosa dan drug induced rhinitis adalah jenis rinitis yang sama. 3 Rinitis vasomotor menurut beberapa sumber, merupakan nama lain dari rinitis idiopatik. 11,13 Sedangkan menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) 2008, istilah rinitis vasomotor tidak lagi digunakan karena gejala vasomotor dapat disebabkan karena proses alergi dan juga non alergi. 7

2.2. 2.3. Definisi Rinitis AlergiRinitis alergi merupakan salah satu tipe dari rinitis kronis yang paling sering terjadi. 3 Rinitis alergi, menurut Gentile et al (2013), didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis dari saluran pernafasan atas, dan ditandai dengan gejala sumbatan hidung, rhinorrhea, bersin-bersin, dan gatal pada hidung. 4 Sedangkan menurut ARIA 2001, rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai kelainan simptomatis dari hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang dimediasi Ig-E setelah paparan alergen dari membran yang melapisi hidung. 13 2.4. Klasifikasi Rinitis AlergiDulunya, rinitis alergi dibagi menjadi seasonal (musiman) dan perennial. 12,13 Rinitis seasonal disebabkan karena alergen outdoor yang muncul pada musim-musim tertentu, misalnya serbuk sari, rumput, dan jamur (mould). Rinitis perennial paling sering disebabkan karena alergen indoor yang dapat muncul sepanjang tahun seperti debu, kecoak, dan animal danders. Namun, klasifikasi ini seringkali sulit dibedakan, misalnya karena beberapa alergen musiman muncul sepanjang tahun di daerah tertentu dan pasien mengalami alergi terhadap banyak alergen (baik alergen musiman dan yang bukan musiman). 12,13 Sebagai gantinya, ARIA 2001 membagi rinitis alergi berdasarkan frekuensinya menjadi intermiten dan persisten. Sedangkan berdasarkan derajat keparahannya, rinitis alergi dibagi menjadi ringan dan sedang-berat. 13 Penjelasan mengenai klasifikasi rinitis alergi menurut ARIA dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan ARIA 13 2.5. Epidemiologi Rinitis AlergiRinitis alergi merupakan penyakit yang sering terjadi di negara-negara barat. Selain itu, rinitis alergi juga cenderung mengalami peningkatan kejadian di negara-negara berkembang. Terlebih lagi, prevalensi kejadian rinitis alergi juga meningkat sepanjang tahunnya. Ada beberapa faktor yang diduga menyebabkan peningkatan prevalensi dari rinitis alergi, misalnya: peningkatan paparan terhadap alergen, iritan, dan polusi, perubahan gaya hidup, menurunnya jumlah infeksi, dan stress. 13Hipotesis higiene adalah sebuah hipotesis yang menjelaskan bahwa peningkatan kejadian alergi akan menyertai peningkatan kondisi hidup dan higiene. 14

Gambar 4. Hipotesis Higiene 11

Di Amerika Serikat, rinitis alergi diperkirakan mengenai sekitar 60 juta orang, dengan prevalensi sekitar 10-30% pada dewasa dan sekitar 40% pada anak. 5 Di Indonesia, prevalensi rinitis alergi belum diketahui pasti, namun data dari beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa frekuensi rinitis alergi berkisar antara 10-26%. 6

2.6. Faktor Resiko Rinitis AlergiFaktor genetik dan riwayat keluarga merupakan salah satu faktor resiko dari rinitis alergi dan penyakit alergi lainnya. Faktor resiko lainnya dari rinitis alergi adalah pengenalan makanan padat terlalu dini, riwayat paparan asap rokok pada usia 1 tahun pertama, polusi udara, paparan alergen, perubahan gaya hidup, dan tinggal di daerah padat penduduk. 13

2.7. Alergen pada Rinitis AlergiAlergen adalah antigen yang menginduksi dan bereaksi dengan antibodi IgE spesifik. Antigen merupakan protein atau glikoprotein, dan berasal dari binatang, serangga, tanaman, jamur atau dari tempat pekerjaan. 7 Alergen inhalan sangat sering terlibat dalam rinitis alergi. Alergen inhalan dibagi menjadi 3, indoor (tungau, pet dander, serangga), outdoor (serbuk sari dan jamur / molds), dan okupasional (partikel latex, kayu, tepung). Alergen outdoor seringkali dihubungkan dengan rinitis seasonal, sedangkan alergen indoor dihubungkan dengan rinitis perennial. 7 Alergi makanan jarang ditemukan pada pasien dengan rinitis alergi. Tetapi, rinitis merupakan gejala yang umum terjadi pada pasien yang alergi makanan. Pada bayi kurang dari 6 bulan, reaksi alergi paling sering karena susu. 50% pasien dengan alergi susu sapi mengalami rinitis. Pada orang dewasa, alergen makanan yang dapat menyebabkan reaksi berat adalah: kacang tanah, seafood, telur, susu, wijen, dan sejumlah buah-buahan seperti apel dan peach. 7

2.8. Patogenesis dan Patofisiologi Rinitis AlergiRinitis alergi dikarakteristikkan dengan dua fase reaksi alergi: (1) fase sensitisasi awal, dimana paparan alergen menyebabkan pembentukan IgE dan respons humoral; (2) fase klinis setelah paparan berulang dari alergen. Fase klinis dibagi menjadi dua yaitu fase reaksi early dan late. 15A. Fase sensitisasiAntigen presenting cells (APCs), seperti sel dendritik di permukaan mukosa, memproses alergen dan mempresentasikan peptida dari alergen ke molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas II. Molekul MHC kelas II dan kompleks antigen berperan sebagai ligan untuk reseptor sel T pada sel T CD4 naif, yang menyebabkan diferensiasi dari sel T CD4 naif menjadi sel Th2 yang spesifik terhadap alergen. Sel Th2 yang teraktivasi mensekresikan sejumlah sitokin, yang menyebabkan sel B memproduksi IgE spesifik dan proliferasi dari eosinofil, sel mast, dan neutrofil. IgE yang spesifik terhadap antigen akan menempel dengan kuat pada reseptor IgE pada sel mast atau basofil. 5

Gambar 5. Fase sensitisasi 5B. Reaksi early dan lateReaksi early diinisiasi dalam waktu beberapa menit setelah papa-ran alergen dan terutama disebabkan karena pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast (reaksi hipersensitivitas tipe 1), meliputi histamin, tryptase, cysteinil leukotrienes (CysLTs), sitokin (IL-4, IL-5, IL-6, dan TNF ), faktor kemotaktik, dan enzim. Efek dari pelepasan mediator ini adalah gejala awal dari rinitis alergi (bersin, gatal hidung, dan rhinorrhea) dan menstimulasi produksi, adhesi, dan infiltrasi leukosit terutama eosinofil ke jaringan lokal. 5,15

Gambar 6. Reaksi early terhadap paparan alergen pada pasien yang sudah tersentisisasi 15 Reaksi late dimulai 2 hingga 4 jam setelah paparan alergen dan merupakan reaksi seluler. Sel inflamatori menjadi teraktivasi dan melepaskan mediatornya, menyebabkan edema lokas dan kerusakan jaringan dan menyebabkan proses inflamasi. Secara simptomatis, reaksi late dari rinitis alergi dikarakteristikkan dengan adanya kongesti dan obstruksi nasal. 15

Gambar 7. Reaksi late (seluler) terhadap paparan alergen pada pasien yang sudah tersentisisasi 15C. Inflamasi neurogenikKetika epitel nasal telah rusak dan nerve endings terekspos oleh protein sitotoksik dari eosinofil, sabut saraf akan tereksitasi dan menstimulasi sabut sensori aferen dan eferen, yang disebut proses retrograde axonal reflex. Proses ini membuat sabut saraf sensoris mensekresi neuropeptida seperti substansi P dan neurokinin A, yang menginduksi kontraksi otot polos, sekresi mukus dari sel goblet dan eksudasi plasma dari kapiler. Proses ini dinamakan inflamasi neurogenik. 5 Mekanisme neurogenik ini juga menyebabkan bersin dan gatal pada hidung. 11D. Hiperresponsi non spesifikHiperresponsi non spesifik adalah salah satu karateristik klinis dari inflamasi alergi. Karena infiltrasi eosinofil dan kerusakan dari mukosa nasal, mukosa menjadi hiperaktif pada stimuli normal dan menyebabkan gejala hidung seperti bersin, rhinorrhea, gatal hidung, dan obstruksi. Ini merupakan reaksi non-imun dan tidak berhubungan dengan IgE. Hipersensitif terhadap stimuli non spesifik seperti asap rokok dan udara dingin serta alergen spesifik akan meningkat pada pasien rinitis alergi.

Gambar 8. Patofisiologi dari rinitis alergi 16

2.9. Diagnosis Rinitis AlergiRinitis alergi biasanya merupakan kondisi yang berlangsung lama yang seringkali tidak terdeteksi. Pasien yang mengalami gangguan seringkali juga tidak merasakan efek dari gangguan yang dialaminya terhadap kualitas hidup, sehingga tidak berobat. 3Anamnesa yang teliti mengenai riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik merupakan pokok utama dalam menegakkan diagnosis dari rinitis alergi. Rujukan ke ahli alergi dipertimbangkan jika diagnosis dari rinitis alergi masih dipertanyakan. 3

2.9.1. AnamnesaPada anamnesa, pasien seringkali mengeluhkan keluhan klasik dari rinitis alergi: hidung buntu (kongesti), gatal pada hidung, rhinorrhea, dan bersin. Konjungtivitis alergi juga sering kali dihubungkan dengan rinitis alergi dan gejalanya meliputi mata merah, berair, dan gatal. 3

Gambar 9. Algoritma diagnosis rinitis alergi berdasarkan gejala 7

Evaluasi dari lingkungan rumah, sekolah dan pekerjaan direkomendasikan untuk menentukan kemungkinan pemicu dari rinitis alergi. Pemakaian obat-obatan seperti NSAID, obat-obat anti hipertensi dan terapi hormonal, juga kemungkinan menyebabkan gejala rinitis, sehingga harus ditanyakan obat-obatan yang sedang dipakai sekarang oleh pasien. 3Anamnesa juga harus meliputi riwayat atopi dalam keluarga, efek dari gejala terhadap kualitas hidup dan keberadaan komorbiditas seperti asma, sleep apnea, sinusitis, otitis media, atau polip nasal. Selain itu, riwayat pemakaian obat-obatan yang telah digunakan pasien untuk menanggulangi gejalanya, juga ditanyakan karena dapat digunakan untuk menilai respon pasien terhadap obat-obatan. 3

2.9.2. Pemeriksaan fisikPemeriksaan fisik pada pasien yang diduga mengalami rinitis alergi sebaiknya meliputi pemeriksaan hidung, telinga, sinus, orofaring posterior, dada dan kulit. Tanda-tanda yang mengindikasikan rinitis alergi antara lain: pernafasan mulut yang persisten, menggosok hidung atau transverse nasal crease, sniffling, dan allergic shiners (lingkaran hitam dibawah mata disebabkan karena kongesti nasal). 3

Gambar 10. Tanda rinitis alergi pada wajah

Pemeriksaan dari hidung menampakkan adanya pembengkakan pada mukosa hidung serta adanya sekret yang jernih. Pemeriksaan endoskopi dari hidung dilakukan untuk menilai adanya kelainan struktural dan polip nasal. 3Telinga secara umum nampak normal, namun dapat dilakukan manuver valsava untuk menilai apakah ada cairan di belakang membran timpani. Pemeriksaan sinus dilakukan dengan cara palpasi untuk melihat apakah ada tenderness atau dengan tapping untuk menilai sensitivitas. Orofaring posterior diperiksa untuk melihat apakah ada post nasal drip (akumulasi mukus di belakang hidung dan tenggorokan) dan lymphoid island (Pembesaran kelenjar lymphoid di dinding faring posterior, kemerahan, cobble-stone appearance yang sering terlihat pada orang alergi). Pemeriksaan thorax dan kulit dilakukan untuk menilai apakah ada tanda dari asma atau dermatitis. 3 Rangkuman dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang penting untuk dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Komponen dari anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien suspek rinitis alergi 3AnamnesaPemeriksaan fisik

Personal Nasal itch Rhinorrhea Sneezing Eye involvement Seasonality TriggersFamily Allergy AsthmaEnvironmental Pollens Animals Flooring/upholstery Mould Humidity Tobacco exposureMedication/drug use Beta-blockers ASA NSAIDs ACE inhibitors Hormone therapy Recreational cocaine useQuality of life Rhinitis-specific questionnaireComorbidities Asthma Mouth breathing Snoring Sinus involvement Otitis media Nasal polyps ConjunctivitisResponse to previous medications Second-generation oral antihistamines Intranasal corticosteroidsOutward signs Mouth breathing Rubbing the nose/transverse nasal crease Frequent sniffling and/or throat clearing Allergic shiners (dark circles under eyes)Nose Mucosal swelling, bleeding Pale, thin secretions Polyps or other structural abnormalitiesEars Generally normal Pneumatic otoscopy to assess for Eustachian tube dysfunction Valsalvas maneuver to assess for fluid behind the ear drumSinuses Palpation of sinuses for signs of tenderness Maxillary tooth sensitivityPosterior oropharynx Postnasal drip Lymphoid hyperplasia (cobblestoning) Tonsillar hypertrophyChest and skin Atopic disease Wheezing

2.9.3. Tes alergiJika terdapat kecurigaan rinitis alergi, tes spesifik untuk alergi dapat dilakukan guna mengkonfirmasi diagnosis rinitis alergi dan membantu merencanakan terapi. 11A. Tes kulitSkin prick test adalah tes dengan memberikan sejumlah kecil antigen yang dicurigai ke epidermis melalui tusukan (puncture) kecil pada kulit. Pada pasien yang alergi, akan muncul eritema dan indurasi di sekitar tempat paparan. 11 Tes intradermal, dilakukan dengan cara memaparkan sejumlah kecil antigen ke dermis superfisial melalui injeksi antigen melalui spuit. Jika pasien sensitif terhadap antigen, akan muncul eritema dan indurasi di sekitar tempat paparan. 11B. Tes in vitroTes in vitro menggunakan studi laboratorium untuk menilai baik keberadaan sensitivitas alergi dan antigen spesifik yang menyebabkan pasien alergi. Skrining sederhana untuk alergi adalah penghitungan eosinofil total dan serum IgE, namun tes ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga kurang spesifik. Prosedur yang lebih berguna adalah menghitung level serum IgE yang spesifik untuk setiap antigen yang diduga berkaitan dengan alergi. Tes jenis ini disebut radioallergosorbent test (RAST). 11C. Sitologi nasalPada teknik ini, sampel mukus diambil dari hidung melalui swab atau scraping dan diperiksa secara mikroskopis untuk keberadaan dari eosinofil atau sel inflamasi lain. Namun, peningkatan eosinofil dapat mengindikasikan adanya alergi atau NARES, sehingga tes ini masih kurang akurat. 11D. Nasal challengeTes ini merupakan tes provokasi dengan cara memaparkan alergen secara langsung ke hidung dengan kontak langsung atau menggunakan spray. 11

2.10. Diagnosis BandingDiagnosis banding dari rinitis alergi dapat berupa rinitis jenis lain atau penyakit lain pada hidung. Diagnosis banding dari rinitis alergi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Diagnosis banding dari rinitis alergi 7Diagnosis banding dari rinitis alergi

Rhinosinusitis with or without nasal polyps Mechanical factorsDeviated septumHypertrophic turbinatesAdenoidal hypertrophyAnatomical variants in the ostiomeatal complexForeign bodiesChoanal atresia TumorsBenignMalignant GranulomasWegeners granulomatosisSarcoidInfectiousMalignant midline destructive granuloma Ciliary defects Cerebrospinal rhinorrhoea

2.11. Manajemen Manajemen dari rinitis alergi meliputi edukasi, menghindari alergen, farmakoterapi, dan imunoterapi.

2.11.1. EdukasiManajemen yang sukses dari rinitis alergi berdasarkan pada kepahaman pasien terhadap sifat, pencetus, dan strategi dari manajemen. Karena rinitis alergi adalah kondisi kronis yang membutuhkan penanganan dalam waktu lama, partisipasi pasien dalam penanganan jelas sangat dibutuhkan. Edukasi merupakan komponen yang penting dari penanganan rinitis alergi. 11

2.11.2. Menghindari alergenPada pasien rinitis alergi, menghindari alergen dapat mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Meskipun menghindari alergen perennial seperti animal dander dapat dilakukan, namun alergen musiman seperti serbuk sari dapat sulit dihindari karena penyebarannya secara luas lewat udara. 11Untuk menghindari alergen berupa debu dan tungau, menggunakan alat high efficiency filtration (HEPA), melepas karpet dan kelambu, serta menggunakan penutup kasur dan bantal dapat membantu mengurangi paparan. Untuk alergi binatang, diusahakan untuk mengeluarkan binatang dari rumah dan menghindari kontak dengan binatang. Sedangkan untuk menghindari alergen berupa jamur, rumah harus diusahakan dalam kondisi yang tidak lembab dan tanaman harus dikeluarkan dari dalam rumah. 7,11

2.11.3. FarmakoterapiPenggunaan medikasi topikal dan sistemik untuk menangani rinitis masih merupakan tulang punggung dalam terapi. 11 Terdapat beberapa jenis medikasi yang digunakan untuk menangani rinitis alergi, antara lain:A. Antihistamin oralAntihistamin adalah antagonis kompetitif dari reseptor H1. Anti histamin akan menempel pada reseptor H1, mencegah penempelan dari histamin ke reseptor. 11 Histamin sendiri merupakan salah satu mediator yang menyebabkan reaksi alergi. Antihistamin dapat mencegah efek dari histamin meliputi, sekresi mukus, peningkatan permeabilitas vaskuler, stimulasi sabut saraf sensoris, sehingga mengurangi gejala dari rinitis alergi. 17Antihistamin generasi pertama telah digunakan sejak 1940-an. Antihistamin generasi pertama memiliki afinitas yang rendah ke reseptor H1 dan memiliki indeks terapeutik yang rendah. Generasi pertama dari antihistamin meliputi: diphenhydramine, chlorpheniramine, triprolidine, dan promethazine. Obat-obatan jenis ini dapat menyebabkan sejumlah efek samping meliputi sedasi, lelah, dan gangguan status mental. Efek samping ini disebabkan karena anti histamin generasi pertama lebih larut dalam lipid dan lebih bisa menembus blood brain barrier dibandingkan generasi kedua. Pemakaian anti histamin generasi pertama juga dihubungkan dengan gangguan dalam belajar, kecelakaan lalu lintas, dan kecelakaan kerja. 11,17Dibandingkan dengan antihistamin generasi pertama, antihistamin generasi kedua seperti loratadine, cetirizine, fexofenadine, dan desloratadine memiliki efek samping yang lebih minimal dan kurang menyebabkan sedasi kecuali cetirizine. Secara umum, antihistamin generasi pertama dan kedua efektif untuk menangani gejala yang dimediasi histamin seperti, gatal, bersin, rhinorrhea, dan gejala pada mata, namun kurang efektif untuk menangani kongesti nasal dibandingkan kortikosteroid intranasal. Karena onset dari kerjanya sekitar 15-30 menit dan tergolong aman untuk anak berusia dibawah 6 bulan, antihistamin dapat berguna pada banyak pasien dengan gejala ringan. 11,17B. Antihistamin intranasalDibandingkan dengan antihistamin oral, antihistamin intranasal dapat memberikan keuntungan karena konsentrasinya lebih tinggi pada area target sehingga menyebabkan lebih sedikit efek samping. Terdapat dua jenis antihistamin intranasal yang disetujui FDA yaitu azelastine dan olopatadine. Onset aksinya dimulai sekitar 15 menit dan berakhir dalam 4 jam. Efek samping penggunaannya meliputi iritasi hidung, epistaxis, dan sakit kepala. Antihistamin intranasal penggunaannya terbatas dikarenakan kurang ekonomis dibandingkan antihistamin oral serta dapat menurunkan efektivitas kortikosteroid intranasal. 17C. DekongestanKarena kongesti nasal merupakan salah satu gejala utama dari kebanyakan pasien, pemberian dekongestan oral dan intranasal seringkali dilakukan. Dekongestan adalah agonis reseptor -adrenergic yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga menurunkan inflamasi. 11,17Dekongestan oral memiliki efikasi yang baik dalam mengurangi gejala obstruksi hidung. Jenis dekongestan oral yang sering digunakan adalah pseudoephedrine dan phenylpropanolamine. Efek sampingnya meliputi gejala CNS (insomnia, iritabilitas, cemas, sakit kepala), mual muntah, palpitasi, aritmia, hipertensi, dan retensi urine. 11,17Dekongestan intranasal yang sering digunakan adalah phenylephrine dan oxymetazoline. Dekongestan intranasal meskipun memiliki efikasi tinggi dalam mengurangi gejala obstruksi hidung, namun disarankan hanya dipakai selama 3-5 hari karena setelah periode tersebut, mukosa menjadi resisten pada efek dekongestan, sehingga menyebabkan rebound congestion jika digunakan dalam jangka waktu lama. 11,17D. Mast cell stabilizersMast cell stabilizers seperti cromolyn intranasal, menstabilisasi membran sel mast di mukosa hidung, menurunkan potensinya untuk degranulasi dan melepaskan histamin ke mukosa. Medikasi jenis ini memiliki efikasi yang kurang baik dan hanya berguna jika digunakan sebelum terpapar alergen, karena jika sel mast telah degranulasi, obat ini tidak akan efektif lagi. 11,17E. KortikosteroidPreparat steroid efektif untuk segala bentuk rinitis baik alergi maupun non alergi. Preparat ini tersedia dalam sediaan oral, parenteral, dan intranasal. Preparat oral dan parenteral kurang disarankan terutama jika digunakan dalam jangka panjang karena memiliki banyak efek samping. 11,17Kortikosteroid intranasal menjadi medikasi primer untuk pasien rinitis alergi, karena memiliki efikasi yang tinggi dibandingkan dengan antihistamin. Kortikosteroid intranasal terbukti menurunkan chemotaxis dari eosinofil dan neutrofil di hidung, menurunkan pelepasan mediator inflamasi, mengurangi edema intraseluler serta menurunkan gejala inflamasi di mukosa hidung. 11,17Kortikosteroid intranasal seperti mometasone, budesonide, dan fluticasone memiliki efek samping yang minimal baik secara lokal dan sistemik. Efek samping yang mungkin dapat terjadi antara lain: iritasi, epistaxis, sakit kepala, rasa perih dan terbakar. Medikasi jenis ini juga dapat digunakan untuk pengobatan rinitis medikamentosa. 11,17F. Leukotriene modifiers / leukotriene receptor antagonistLeukotriene modifiers seperti montelukast, memiliki kegunaan untuk menangani gejala di hidung maupun diluar hidung. 11,17G. Antikolinergik intranasalIpratropium bromida intranasal bekerja dengan mengeblok input parasimpatik ke mukosa nasal sehingga menurunkan rhinorrhea. Medikasi jenis ini kurang efektif dalam menangani gejala hidung lainnya serta gejala diluar hidung. 11,17H. Anti IgEAnti IgE (omalizumab) sangat berguna dalam mengobati baik rinitis alergi maupun asma. Medikasi ini diadministrasikan secara sub kutan. Medikasi ini menurunkan jumlah IgE bebas, sehingga mengurangi efek IgE dalam mempresipitasi reaksi alergi. 11,17

Gambar 11. Mekanisme kerja dari omalizumab 15

2.11.4. Perbandingan efikasi dari berbagai jenis farmakoterapi dalam mengurangi gejala rinitis alergiDari berbagai jenis terapi farmakologi, semuanya memiliki efikasi yang berbeda-beda dalam mengurangi gejala rinitis alergi. Sebagai contoh, dekongestan intranasal memiliki efikasi yang tinggi dalam mengurangi gejala obstruksi nasal, namun kurang efektif dalam mengurangi gejala bersin. Rangkuman dari berbagai efikasi obat-obatan dalam menangani gejala rinitis alergi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4. Terapi farmakologi untuk rinitis alergi: efek pada gejala 11AgentSneezingItchingCongestionRhinorrheaEye Symptoms

Oral antihistamines+++++/-++++

Nasal antihistamines++++-

Intranasal corticosteroid++++++++++

Leukotriene modifiers+++++

Oral decongestants--++--

Nasal decongestants--+++--

Nasal mast-cell stabilizers++++-

Topical anticholinergics---+++-

+++, marked benefit; ++, substantial benefit; +, some benefit; +/-, minimal benefit; -, no benefit.

2.11.5. ImmunoterapiImmunoterapi dilakukan dengan cara memberikan sejumlah kecil antigen ke pasien dimana pasien sensitif terhadap antigen tersebut dan dosisnya semakin lama akan makin ditingkatkan untuk mengurangi sensitivitas (desensitisasi) pasien terhadap antigen tersebut. Terapi ini memiliki efikasi tinggi dan diberikan terutama pada pasien yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis. Immunoterapi dapat diberikan secara subkutan dan sublingual. Secara umum terapi ini tergolong aman, namun ada sedikit resiko terjadi reaksi sistemik pada pemberian secara subkutan. 11

2.11.6. Pembedahan Pembedahan bukan merupakan terapi primer dalam manajemen rinitis alergi. Namun, pembedahan seperti reseksi konka nasalis inferior dapat menurunkan resistensi nasal sehingga meningkatkan aliran udara. Pembedahan juga berguna jika rinitis alergi disertai dengan komorbid seperti polip nasal dan sinusitis kronis. 11

2.11.7. Pedoman (guideline) manajemen dari rinitis alergiTerdapat sejumlah variasi dalam pedoman manajemen dari rinitis alergi. Pada tahun 1998, Task Force on Practice Parameters oleh ahli alergi, merekomendasikan suatu pedoman tatalaksana. Mereka menyarankan bahwa kortikosteroid intranasal merupakan kelas paling efektif dari penanganan gejala dari rinitis alergi. Antihistamin non sedasi merupakan terapi lini pertama pada pasien dengan gejala dominannya rhinorrhea, bersin, dan gatal. Pada pasien dengan gejala utama kongesti nasal, pemberian antihistamin disarankan diberikan bersama dekongestan oral atau kortikosteroid intranasal sebagai terapi alternatif. 11Pedoman yang sekarang dipergunakan secara luas adalah pedoman dari ARIA 2001. Penanganan rinitis alergi menurut ARIA disesuaikan dengan derajat keparahan dan frekuensi gejala dari rinitis alergi. 11 Pedoman tatalaksana rinitis alergi menurut ARIA 2001 adalah sebagai berikut:

Gambar 12. Pedoman tatalaksana menurut ARIA 2001 11Pada perkembangannya, ARIA mengeluarkan rekomendasi baru dalam penatalaksanaan rinitis alergi pada tahun 2008, yaitu sebagai berikut:

Gambar 13. Pedoman tatalaksana rinitis alergi menurut ARIA 2008 7

2.12. KomorbidSering kali, rinitis dihubungkan dengan sinusitis sehingga disebut rinosinusitis. Sebaliknya, sinusitis tidak terjadi jika tidak diawali oleh rinitis. Edema pada rinitis alergi akan mengganggu drainase dari sinus, sehingga menyebabkan sinusitis. Polip nasal, meskipun tidak disebabkan karena alergi, namun dapat muncul dengan latar belakang rinitis alergi. Belum jelas hubungan antara polip dengan rinitis alergi, namun diduga dikarenakan inflamasi kronis yang mengakibatkan pembengkakan dan protrusi mukosa nasal. 7,12Gejala telinga tengah seperti otitis media supurativa sering kali berhubungan dengan rinitis alergi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena gangguan fungsi dari tuba eustachius. Edema lokal dari hidung, meluas ke ruang post nasal sehingga mengganggu pembukaan dari tuba eustachius. Stimulasi dari alergi juga dapat meluas dan mengganggu fungsi laring. Selain itu, rinitis alergi juga dihubungkan dengan batuk dikarenakan adanya post nasal drip yang membawa mediator inflamasi ke saluran nafas bawah. GERD juga diasosiasikan dengan terjadinya rinitis alergi, dikarenakan GERD diduga menyebabkan inflamasi pada nasofaring yang sering kali dihubungkan dengan gejala rinitis. 7,12Rinitis alergi diduga juga merupakan prekursor dari perkembangan asma pada anak. Mekanisme yang diduga menyebabkan adanya hubungan antara rinitis alergi dengan asma adalah: post nasal drip yang membawa sitokin dan mediator inflamasi dari nasofaring ke saluran nafas bawah, migrasi sel T yang tersentisisasi ke organ lain, dan nasobronchial reflex (paparan iritan, alergen, udara dingin pada hidung menyebabkan bronkokonstriksi). 2 Komorbid lain yang menyertai rinitis alergi antara lain konjungtivitis, sleep apnea, dan gangguan belajar pada anak. 7,12

2.13. PrevensiPencegahan primer dari rinitis alergi antara lain pemberian ASI serta penghindaran paparan alergen dan iritan pada saat kehamilan dan usia dini. Pencegahan sekunder pada pasien yang telah tersentisisasi adalah dengan penghindaran dari alergen. 7

BAB 3KESIMPULAN

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi kronik dari mukosa hidung yang cukup sering terjadi. Selain itu, rinitis alergi juga dihubungkan dengan sejumlah komorbid yang tidak hanya mengurangi kualitas hidup namun juga berdampak pada keadaan sosial dan ekonomi. Rinitis alergi seringkali tidak terdiagnosa dengan baik, sehingga anamnesa yang teliti dari pasien, pemeriksaan fisik dan tes kulit merupakan elemen penting untuk menegakkan diagnosa pada pasien. Pedoman tatalaksana dari rinitis alergi telah disusun dengan baik melalui banyak penelitian, sehingga pasien dapat ditangani secara tepat, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dari pasien.

DAFTAR PUSTAKAx1.Mahr TA, Sheth K. Update on Allergic Rhinitis. 2005; 26.

2.Lack G. Pediatric allergic rhinitis and comorbid disorders. 2001; 108.

3.Small P, Kim H. Allergic Rhinitis. 2011; 7.

4.Gentile D, Bartholow A, Valovirta E, Scadding G, Skoner D. Current and Future Directions in Pediatric Allergic Rhinitis. 2013; 1.

5.Min YG. The Pathophysiology, Diagnosis and Treatment of Allergic Rhinitis. 2010; 2.

6.Utami TF, Sudarman K, Rianto BUD, Christanto A. Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis. CDK. 2010; 179: p. 425-429.

7.Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2008. 2008; 63 (Suppl.86).

8.Kindt TJ, Osborne BA, Goldsby RA. Kuby Immunology sixth edition New York: Mc Graw Hill; 2006.

9.Leung DYM, Sampson HA, Geha R, Szefler SJ. Pediatric Allergy Principles and Practice 2nd edition New York: Elsevier; 2010.

10.Van Bever HP, Samuel ST, Lee BW. Halting the Allergic March. WAO journal. 2008;: p. 57-62.

11.Krouse JH. Allergic and Nonallergic Rhinitis. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery-Otolaryngology 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 351-62.

12.Orban NT, Saleh H, Durham SR. Allergic and Non-Allergic Rhinitis. In Adkinson Jr. NF, Bochner BS, Busse WW, Holgate ST, Lemanskejr RF, Simons FER, editors. Middleton's Allergy: Principles and Practice seventh edition. Philadelphia: Elsevier Inc.; 2009. p. 973-87.

13.Bousquet and the ARIA Workshop Group. Allergic rhinitis and its impact on asthma. 2001; 108.

14.Lissauer T, Clayden G. Illustrated textbook of paediatrics third edition Philadelphia: Mosby elsevier; 2007.

15.Quraishi SA, Davies MJ, Craig TJ. Inflammatory Responses in Allergic Rhinitis: Traditional Approaches and Novel Treatment Strategies. 2004; 104.

16.Pinto JM, Naclerio RM. Allergic Rhinitis. In Snow JB, Ballenger JJ, editors. Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th edition. New York: BC Decker Inc; 2003. p. 708-39.

17.Sur DK, Scandale S. Treatment of Allergic Rhinitis. 2010; 81.

x

30