RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN -...

37
0 RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN Hibah Soetandyo Wignjosoebroto 2011 POLA MAKAN MIE INSTAN: STUDI ANTROPOLOGI GIZI PADA MAHASISWA ANTROPOLOGI FISIP-UNAIR Oleh: Nurcahyo Tri Arianto Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga 2011

Transcript of RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN -...

Page 1: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

0

RINGKASAN

LAPORAN PENELITIAN

Hibah Soetandyo Wignjosoebroto 2011

POLA MAKAN MIE INSTAN:

STUDI ANTROPOLOGI GIZI PADA MAHASISWA

ANTROPOLOGI FISIP-UNAIR

Oleh:

Nurcahyo Tri Arianto

Departemen Antropologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga

2011

Page 2: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

1

RINGKASAN

Pola konsumsi makanan, khususnya mie instan, sebagian besar

dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya, antara lain pengetahuan, nilai,

norma, kepercayaan, sikap, dan perilaku, khususnya yang berkaitan

dengan perubahan gaya hidup (life style), selera, dan gengsi. Penelitian

mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui. Oleh

karena itu, penelitian ini bermaksud: (1) mengisi kurangnya kajian aspek

sosial-budaya mengenai pola makan mie instan, dan (2) mengkaji

pengaruh aspek sosial-budaya terhadap pola makan mie instan, yang

berkaitan dengan: pengetahuan, nilai, kepercayaan (pantangan atau tabu),

bentuk atau pola (perilaku), alasan yang mendasari, serta perubahan yang

terjadi akibat pola konsumsi mie instan.

Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pola makan mie

instan pada mahasiswa Antropologi FISIP-UNAIR. Untuk menjawab

masalah tersebut, perlu diajukan tiga pertanyaan penelitian berikut ini: (1)

bagaimana pengetahuan, nilai, dan kepercayaan (pantangan atau tabu) yang

menjadi acuan bagi perilaku mahasiswa antropologi dalam mengkonsumsi

mie instan?, (2) bagaimana variasi pola makan mie instan mahasiswa

antropologi?, (3) perubahan apa saja yang terjadi sebagai akibat pola makan

mie instan tersebut?

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial-budaya, dengan

menggunakan metode kualitatif, yang menyangkut parameter ekonomi,

sosial, dan budaya. Pengumpulan data dengan metode kualitatif, dilakukan

dengan cara pengamatan dan wawancara mendalam (indepth interview)

pada 6 subyek penelitian (yang sudah terseleksi dari 15 subyek penelitian)

dari kalangan mahasiswa antropologi angkatan 2010-2011. Data yang

dikumpulkan melalui wawancara mendalam kemudian dilakukan transkrip,

editing, dan pengecekan guna memenuhi kualifikasi triangulasi. Analisis dan

interpretasi data dilakukan secara komparatif berdasarkan faktor-faktor

sosial, ekonomi, dan budaya dari masing-masing subyek penelitian, sehingga

bisa diketahui pola makannya.

Data hasil wawancara dengan mahasiswa antropologi, menunjukkan

adanya variasi pola makan mie instan berdasarkan waktu dan kualitas. Ada

6 variasi pola makan mie instan menurut waktu, yaitu: (1) pagi, (2) siang, (3)

malam, (4) pagi dan siang, (5) pagi dan malam, dan (6) pagi, siang, dan

malam. Di samping itu juga terdapat 3 variasi pola makan mie instan

menurut kualitas makanan, yaitu: (A) mie instan saja, (A) mie instan, nasi,

dan/atau lauk, dan (A) mie instan dan lauk. Lauk di sini bisa berupa sayur,

daging, dan/atau telur.

Page 3: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

2

PENGANTAR

Laporan Penelitian tentang Antropologi Gizi dengan biaya

dari Hibah Soetandyo FISIP-UNAIR tahun 2011 ini telah dapat

diselesaikan, walaupun masih banyak kekurangan. Kekurangan

laporan penelitian ini terutama berkaitan dengan keluasan dan

kedalaman data serta analisis dan interpretasi data, sehingga

hasilnya belum maksimal. Penelitian ini dilaksanakan selama 6

bulan, yaitu mulai bulan Maret hingga Juli 2011.

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran (data

dasar) mengenai pola makan mie instan yang berkaitan dengan

pengetahuan, nilai, norma, dan kepercayaan pada kelompok

mahasiswa antropologi Unair di kota Surabaya. Penelitian ini juga

dilakukan untuk mengkaji perubahan yang terjadi akibat pola

konsumsi mi instan dan pengaruhnya pada kehidupan mahasiswa

antropologi.

November 2011

Nurcahyo Tri Arianto

Page 4: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

3

DAFTAR ISI

Ringkasan .................................................................................. ii

Pengantar ................................................................................... iii

Daftar Isi ................................................................................... iv

Daftar Matrik ............................................................................. v

Daftar Gambar ........................................................................... vi

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................... 1

BAB II. PERUMUSAN MASALAH ............................................... 4

BAB III. TINJAUAN PUSTAKA DAN TEORI ................................. 6

A. Tinjauan Pustaka ................................................. 6

B. Teori ..................................................................... 9

BAB IV. TUJUAN PENELITIAN ................................................... 13

BAB V. METODE PENELITIAN ................................................... 14

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................... 16

A. Pengetahuan Mie Instan ....................................... 16

B. Nilai-nilai Pola Makan ........................................... 16

C. Kepercayaan Pola Makan ....................................... 18

D. Pola Makan Mie Instan .......................................... 18

E. Perubahan Pola Makan .......................................... 20

F. Analisis Struktural Pola Makan ............................. 24

BAB VII. KESIMPULAN ................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 29

LAMPIRAN .. ............................................................................. 31

Page 5: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

4

DAFTAR MATRIK

Matrik 1. Oposisi Makanan Inggris dan Perancis ………… ..................... 11 Matrik 2. Oposisi Makanan Endogeneus, Central, dan Marked ………… 25 Matrik 3. Oposisi Makanan Exogeneus, Peripheral, dan Not-Marked ….. 25

Page 6: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

5

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Segitiga Vokal ……………….. .............................................. 11

Gambar 2. Segitiga Konsonan ……………………… .............................. 11

Gambar 3. Konstruksi Oposisi-oposisi Biner dalam Segitiga Kuliner .. ... 12

Gambar 4. Perangkat Terstruktur Masakan dalam Segitiga Kuliner … . 12

Gambar 5. Skema Sistem Nilai Budaya ……………………………………. 17

Gambar 6. Pola Makan Mie Instan Berdasarkan Waktu dalam… ........... 19 Segitiga Kuliner

Gambar 7. Pola Makan Mie Instan Berdasarkan Kualitas dalam… ........ 19 Segitiga Kuliner

Gambar 8. Pola Makan Mie Instan Berdasarkan Waktu dan Kualitas … 20 Dalam Segitiga Kuliner

Page 7: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

6

BAB 1.

PENDAHULUAN

Pangan, makanan, dan gizi merupakan bagian penting dari

kehidupan manusia, yang sebagian besar dipengaruhi oleh faktor

sosial, budaya, dan lingkungan, yang sangat erat kaitannya dengan

kesehatan dan penyakit. Kekurangan gizi akan menurunkan daya

tahan tubuh terhadap infeksi, menyebabkan banyak penyakit

kronis, dan orang tidak mungkin melakukan kerja keras. Masalah

pangan, makanan, dan gizi merupakan masalah yang sangat

kompleks yang terkait dengan aspek ekonomi, pertanian,

lingkungan, gizi, kesehatan, sosial, budaya, politik, maupun agama.

Secara spesifik, masalah itu juga berkaitan dengan kemampuan

produksi, penyediaan pangan, kelancaran distribusi, struktur dan

jumlah penduduk, daya beli rumah tangga, hingga kesadaran gizi

masyarakat dan sanitasi lingkungan (cf. Martianto dan Ariani 2004:

1).

Salah satu kajian mengenai masalah pangan yang penting

adalah masalah pola konsumsi makanan, yang sebagian besar

dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya, antara lain pengetahuan,

nilai, norma, kepercayaan, sikap, dan perilaku, khususnya yang

berkaitan dengan perubahan gaya hidup (life style), selera, dan

gengsi, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Para ahli

antropologi sepakat bahwa kebiasaan makan keluarga beserta

susunan hidangannya merupakan salah satu manifestasi

kebudayaan suatu keluarga, yang disebut gaya hidup. Gaya hidup

merupakan kondensasi dari interaksi berbagai faktor, antara lain:

sosial (pekerjaaan, penghasilan, susunan keluarga, pola konsumsi

dan distribusi), budaya (pendidikan, suku bangsa, agama atau

kepercayaan, pengetahuan tentang gizi dan kesehatan), dan

lingkungan hidup desa-kota (produksi dan distribusi pangan).

Page 8: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

7

Manifestasi budaya yang diperlihatkan oleh suatu keluarga ini

disebut gaya hidup keluarga, yang menghasilkan bentuk atau

struktur perilaku konsumsi pangan atau kebiasaan makan (food

intake behavior) (Sediaoetama 1989:199).

Data tahun 1999-2002 (sesudah krisis ekonomi) mengenai

perkembangan konsumsi pangan, khususnya mie instan,

menunjukkan adanya laju pertumbuhan yang signifikan, yaitu

33,3% di kota dan 50% di desa (Martianto dan Ariani 2004: 4). Data

ini menunjukkan adanya peningkatan pendapatan atau daya beli

masyarakat sesudah krisis ekonomi, yang mempengaruhi

peningkatan konsumsi pangan. Keadaan ini sesuai dengan hukum

Bennet, yang menyatakan bahwa meningkatnya pendapatan

menyebabkan meningkatnya kemampuan membeli pangan yang

lebih mahal dan berkualitas. Demikian pula meningkatnya

pengetahuan mengenai gizi menyebabkan pengelolaan sumber daya

secara lebih baik, sehingga masyarakat dapat berkesempatan

memilih jenis pangan yang bermutu atau bergizi tinggi dengan

harga yang terjangkau, seperti mie instan.

Perilaku masyarakat dalam memilih dan menentukan jenis,

kuantitas, dan kualitas pangan dapat berubah karena faktor sosial-

budaya, khususnya berkaitan dengan pengetahuan, nilai (selera,

kepuasan), norma, maupun kepercayaan. Secara spesifik perubahan

itu berkaitan dengan meningkatnya pendapatan, meningkatnya

pengetahuan mengenai gizi dan kesehatan, serta beragamnya

produk makanan olahan yang praktis (instan), murah, dan mudah

didapat, seperti mi instan. Oleh karena itu, produksi dan

penyediaan pangan harus memperhatikan perubahan pola

konsumsi masyarakat yang erat berkaitan dengan faktor sosial-

budaya, khususnya di perkotaan, yang konsumsi pangannya tidak

tergantung pada beras.

Penelitian mengenai mie dari berbagai disiplin ilmu telah

Page 9: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

8

dilakukan, khususnya yang berkaitan dengan teknologi untuk

pengolahan pangan berbasis tepung serta produksi dan pemasaran

mi (Suhardjo 1995). Namun demikian penelitian mengenai mie,

khususnya mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang

ditemui. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud: (1) mengisi

kurangnya kajian aspek sosial-budaya mengenai pola makan mie

instan, dan (2) mengkaji pengaruh aspek sosial-budaya terhadap

pola makan mie instan, yang berkaitan dengan: pengetahuan, nilai,

kepercayaan (pantangan atau tabu), bentuk atau pola (perilaku),

alasan yang mendasari, serta perubahan yang terjadi akibat pola

konsumsi mie instan. Pantangan atau tabu makanan merupakan

larangan untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu karena

terdapat ancaman bahaya (sanksi) bagi yang melanggarnya.

Pantangan atau tabu bisa berdasarkan larangan agama/kepercayaan

dan bisa juga tidak berhubungan dengan agama/kepercayaan

(Sediaoetama 1989: 203)

Page 10: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

9

BAB 2

PERUMUSAN MASALAH

Kurangnya minat dan perhatian ilmu sosial dan budaya

terhadap pola konsumsi pangan menyebabkan kurangnya informasi

penelitian yang holistik dan multidisipliner mengenai hal itu.

Penelitian ini bermaksud mengisi kurangnya kajian aspek sosial-

budaya mengenai pola konsumsi pangan (khususnya mie instan) serta

mengkaji pengaruh aspek sosial-budaya terhadap pola makan mie

instan.

Berdasarkan uraian pada bagian Pendahuluan, maka

permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pola makan mie

instan pada mahasiswa Antropologi FISIP-UNAIR. Untuk menjawab

masalah tersebut, perlu diajukan tiga pertanyaan penelitian berikut

ini:

(1) bagaimana pengetahuan, nilai, kepercayaan (pantangan atau tabu)

yang menjadi acuan bagi perilaku mahasiswa antropologi dalam

mengkonsumsi mie instan?,

(2) bagaimana variasi pola makan mie instan mahasiswa antropologi?,

(3) perubahan apa saja yang terjadi sebagai akibat pola makan mie

instan tersebut?

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial-budaya, dengan

menggunakan metode kualitatif, yang menyangkut parameter

ekonomi, sosial, dan budaya. Usaha untuk menggunakan metode

kualitatif dengan teknik pengumpulan data, analisis data, dan

interpretasi data yang komprehensif, dan holistik diharapkan dapat

diperoleh hasil penelitian yang memadai sesuai dengan topik

penelitian ini.

Mahasiswa antropologi FISIP-UNAIR yang menjadi kajian

penelitian ini, dianggap mengetahui dan melakukan praktek sosial-

budaya, sebagaimana yang dipelajarinya dalam perkuliahan.

Page 11: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

10

Penelitian ini akan melihat bagaimana pengaruh pengetahuan dan

nilai budaya, khususnya berkaitan dengan masalah kesehatan dan

gizi, pada pola (perilaku) makan mie instan.

Hubungan antara variabel mahasiswa antropologi (variabel

pengaruh), faktor-faktor sosial-budaya (variabel antara), dan pola

makan mi instan (variabel terpengaruh) dapat digambarkan

sebagai berikut:

Model di atas akan dipakai sebagai acuan dalam pengumpulan

data, analisis data, dan interpretasi data dalam penelitian ini.

Mahasiswa Antropologi

Faktor Sosial-Budaya

Pola Makan Mie Instan

→ →

Page 12: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

11

BAB 3.

TINJAUAN PUSTAKA DAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Kebiasaan makan, sebagaimana halnya dengan semua

kebiasaan, hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya yang

menyeluruh. Oleh karena itu, program perbaikan kebiasaan

makan harus didasarkan atas pengertian tentang makanan

sebagai suatu pranata sosial yang memenuhi banyak fungsi.

Kebiasaan yang paling sulit berubah dari manusia adalah

kebiasaan makan. Lowenberg et all (1970: 85) mendefinisikan

kebiasaan makan (food habit) sebagai kebiasaan suatu kelompok

sebagai refleksi dari cara suatu kebudayaan menetapkan standar

perilaku individu dalam kelompoknya dalam hubungannya

dengan makanan, sehingga kelompok tersebut memiliki pola

makan (food pattern) yang umum.

Pendefinisian tentang makanan sangat berpengaruh pada pola

makan dan kecukupan gizi, sehingga seringkali pengertian makan

hanya ditujukan pada nasi atau produk olahan yang berasal dari bahan

beras, seperti lontong. Kalau belum makan nasi belum dianggap

makan, apapun lauknya. Kebiasaan makan nampaknya tidak dapat

dilepaskan dari nilai-nilai budaya yang berpengaruh pada kondisi gizi

dan kesehatan masyarakat. Kebiasaan makanan beragam dalam

konteks budaya, karena itu usaha mengubah kebiasaan makan

bukanlah hal yang mudah, mengingat dari semua kebiasaan yang

paling sulit diubah adalah kebiasaan makan (Kardjati, Kusin, dan

With 1977; Saptandari 2004: 3).

Makanan pokok adalah bahan (pangan) yang dimakan dalam

porsi besar, yang merupakan sumber tenaga yang utama, dan

terdiri dari bahan makanan setempat yang mudah didapat atau

Page 13: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

12

yang sesuai dengan selera keluarga. Bahan-bahan itu dapat berupa

beras, jagung, jagung, tepung gandum, singkong/gaplek, sagu, ubi

jalar, maupun campuran bahan-bahan tersebut (Lie 1985:84).

Kenyataan seperti itu telah mengakibatkan munculnya pandangan

yang memitoskan beras, sehingga orang yang memakan makanan

pokok yang bahannya terbuat dari jagung, umbi-umbian, dan sagu

dianggap sebagai orang yang tidak mampu atau miskin (Martianto

dan Ariani 2004:17-18).

Pada tahun 2002 (sesudah krisis ekonomi), pola konsumsi

pangan kedua (sesudah beras) sudah berubah, yaitu tidak lagi

berasal dari jagung dan umbi-umbian, melainkan dari mie, yang

terbuat dari gandum atau terigu. Meningkatnya konsumsi mie (di

samping roti dan kue) tidak lepas dari perubahan budaya mengenai

pola konsumsi pangan serta kebijakan pemerintah yang sangat

intensif memperkenalkan terigu kepada masyarakat luas. Kebijakan

pemerintah itu didasarkan atas harga gandum atau terigu yang

relatif stabil, cukup banyak diperdagangkan, serta beras dapat

bersubtitusi dengan terigu (Martianto dan Ariani 2004:18-19). Mie

sudah menjadi bagian penting dalam pola makan rumah tangga dan

masyarakat luas di perkotaan maupun perdesaan.

Secara budaya, mie tidak saja sebagai makanan pokok,

melainkan juga sebagai lauk pauk, sehingga sering dijumpai orang

makan nasi dengan lauk mie kuah atau mie goreng. Hal ini

dimungkinkan karena mie (khususnya mie instan), sebagai makanan

olahan dari gandum atau terigu tersebut, dapat diolah dengan

mudah, disajikan secara praktis, dan memenuhi selera berbagai

kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, pekerjaan,

usia, maupun jenis kelamin.

Promosi mie yang sangat intensif dalam berbagai jenis produk,

bentuk, ukuran, dan harga yang relatif murah, menyebabkan mie

(khususnya mie instan) mudah dan cepat dikenal masyarakat. Mie

Page 14: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

13

instan telah menggeser peranan makanan pokok tradisional

(jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan sagu) sebagai makanan pokok

kedua setelah beras, khususnya pada masyarakat berpendapatan

sedang dan tinggi di perkotaan (Martianto dan Ariani 2004:19, 26).

Antropologi Gizi merupakan cabang atau spesialisasi dari

Antropologi Kesehatan yang mengkhususkan perhatiannya pada

sistem budaya makanan serta kepentingan praktis dari kajian

mengenai masalah gizi. Lingkup perhatiannya mencakup evolusi

manusia, sejarah, kebudayaan, dan adaptasi manusia berkaitan

dengan masalah makanan dan gizi dalam berbagai keadaan

lingkungan hidup. Umumnya ahli antropologi gizi mempelajari

masalah makanan sebagai kompleks pengetahuan yang

menentukan boleh dan tidak boleh (keharusan dan pantangan),

kearifan, produksi, penyiapan, konsumsi, dan konsekuensi-

konsekuensi gizi (Kalangie 1985:45).

Beberapa premis dalam studi Antropologi Gizi antara lain

telah dikemukakan oleh Foster dan Anderson (1986: 313-322) dan

Kalangi (1985:46-50) sebagai berikut. Pertama, kebudayaan

menentukan pemilihan makanan. Sebagai gejala budaya, makanan

bukan hanya sebagai produk organik, melainkan makanan dibentuk

melalui budaya. Makanan bermaknakan ekspresi sosial, ekonomi,

kepercayaan, maupun kesehatan. Sistem budaya menentukan dan

mengembangkan jenis makanan pokok, lauk, dan makanan

tambahan. Kedua, pola makan yang diatur secara budaya

membentuk penyesuaian fisiologi, yang memunculkan reaksi

berupa nafsu makan dan rasa lapar. Nafsu makan, yang merupakan

konsep budaya yang berbeda-beda pada tiap masyarakat, muncul

sebagai akibat reaksi fisiologi. Rasa lapar merupakan keadaan

tubuh yang tidak mendapat nutrimen yang diperlukan, sehingga

menimbulkan keadaan fisiologi pada saat makan. Ketiga, setiap

masyarakat, dengan menggunakan kebudayaannya, mengenal

Page 15: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

14

berbagai klasifikasi makanan. Dasar klasifikasi makanan itu

antara lain adalah: jenis, kuantitas, kualitas, cara penyiapan,

maupun penyajian. Keempat, makanan secara budaya dapat

berperan secara simbolik. Makanan merupakan ungkapan ikatan

kehidupan sosial, karena perolehan (produksi) makanan itu tidak

dapat dilakukan secara individual. Secara sosial, makanan

merupakan ungkapan kasih sayang, perhatian, maupun

persahabatan. Budaya balas-membalas dalam pemberian dan

penerimaan makanan merupakan ungkapan ikatan sosial yang tidak

dapat diremehkan.

Makanan merupakan produk budaya yang dapat didistribusi-

kan pada berbagai masyarakat. Oleh kelompok-kelompok yang ada

dalam masyarakat, makanan hasil difusi budaya itu dapat

dimodifikasi sesuai dengan sistem budaya dan lingkungan

kelompok masyarakat yang menerima. Namun demikian, tidak

semua kelompok masyarakat menganggap dan menentukan

berbagai sumber gizi yang diperolehnya sebagai makanan. Oleh

karena itu, dari segi ilmu gizi, pengetahuan budaya setiap

kelompok masyarakat mempunyai keterbatasan, yang merupakan

sumber berbagai masalah.

B. Teori

Menurut Levi-Strauss (1970: 164), karena manusia memiliki

pancaindera, terdapat lima buah kode dasar yang masing-masing

berkorespondensi dengan kelima indera itu. Di antara kelima kode

dasar tersebut, salah satunya menduduki posisi yang istimewa,

yaitu yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan makan: kode

cecapan (gustatory code). Posisi khusus kode ini diperoleh karena

makanan menduduki tempat yang sangat esensial dalam budaya

manusia. Memasak makanan merupakan bentuk budaya yang sangat

penting, karena ia memasak merupakan transisi dari alam (nature)

ke budaya (culture). Menurut Edmund Leach (1985: 34), memasak

Page 16: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

15

merupakan cara yang universal untuk mentransformasikan alam ke

dalam budaya. Penelitian ini diarahkan untuk menelusuri

bagaimana pandangan struktural Levi-Strauss dapat diterapkan

untuk melihat sistem makanan (food system), karena pendekatan

struktural memandang semua fenomena kultural sebagai suatu

sistem.

Fenomena sistem makanan dapat ditelusuri secara lebih

mendalam dari pandangan struktural dari Levi-Strauss. Menurut

Levi-Strauss (1967: 85), santapan (cuisine) dalam suatu budaya

dapat dianalisis ke dalam elemen-elemennya. Elemen-elemen ini

dapat diatur sesuai dengan struktur-struktur oposisi dan korelasi

tertentu. Sebagai contoh, sistem santapan Inggris dan Perancis

(Levi-Strauss, 1967: 85-86). Dalam santapan Inggris, makanan utama

terbuat dari bahan-bahan yang endogenous, beraroma relatif lembut

(bland), dan dikelilingi oleh makanan sampingan yang lebih eksotik,

yang di dalamnya seluruh nilai diferensial tertandai (marked)

secara tegas (misalnya teh, fruitcake, orange marmalade, port

wine). Sebaliknya, di dalam santapan Perancis, perbedaan antara

endogenous dan exogenous menjadi sangat lemah atau bahkan

lenyap, serta dikombinasikan dalam posisi yang sentral maupun

periferal.

Menurut Levi-Strauss (1967: 85-86), sistem makanan Inggris

dan Perancis dapat dibedakan melalui sarana tiga oposisi, yaitu: (1)

endogenous/exogenous, yaitu kandungan bahan-bahan nasional

lawan eksotik; (2) central/peripheral, yaitu makanan utama lawan

makanan pengiring; dan (3) marked/not-marked, yaitu yang

beraroma keras lawan lembut. Ketiga oposisi itu dapat dibuat

konstruksi sebuah matrik (lihat Gambar 1), yang dapat ditandai

dengan plus (+) dan minus (-) berdasarkan masing-masing oposisi di

dalam sistem makanan Inggris dan Perancis.

Page 17: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

16

Matrik 1. Oposisi Makanan Inggris dan Perancis

ENGLISH CUISINE FRENCH CUISINE

endogenous/

exogenous + -

central /peripheral + -

marked/ not-marked - +

Metode analisis struktural Levi-Strauss ini mengadopsi yang

mengikuti langkah-langkah operasional berikut (Leach, 1985: 25):

1. mendefinisikan fenomena yang dikaji sebagai suatu relasi di

antara dua terma atau lebih, baik nyata maupun diandaikan;

2. mengkonstruk label permutasi-permutasi yang mungkin di

antara terma-terma ini;

3. memperlakukan matrik itu sebagai obyek analisis umum, yang

menghasilkan hubungan-hubungan yang penting.

Levi-Strauss (Leach 1985: 24,28-30) juga mengemukakan

sistem makanan, khususnya memasak (cooking), yang dianalisisnya

dengan model segitiga kuliner (culinary triangle), yang dianalogikan

dengan segitiga warna (colour triangle, yaitu: kuning, hijau, dan

merah), segitiga vokal (vocalic triangle, yaitu: u, a, dan i), serta

segitiga konsoan (consonant triangle, yaitu: k, p, dan t). (lihat

Gambar 1, dan Gambar 2).

a k

u i p t

Gambar 1. Segitiga Vokal Gambar 2. Segitiga Konsonan

Menurut Levi-Strauss (Leach, 1985:30-31; Koentjaraningrat,

1980: 213) bahwa seperti halnya bahasa, makanan juga mempunyai

oposisi biner. Makanan yang dimasak dapat dianggap sebagai bahan

mentah yang sudah dielaborasi (elaborated) atau ditransformasikan

Page 18: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

17

(transformed), sedangkan makanan yang dibusukkan adalah

makanan mentah yang telah dielaborasi secara alami (nature).

Gambar 3 berikut ini menunjukkan adanya oposisi biner, seperti:

dielaborasi/normal dan budaya/alam.

Budaya Alam

Normal MENTAH

(non-elabore)

(non-marque)

Keadaan material

(tingkat elaborasi)

Dielaborasi

(elabore)

(marque)

DIMASAK DIBUSUKKAN

Gambar 3. Konstruksi Oposisi-oposisi Biner dalam

Segitiga Kuliner

Aplikasi segitiga kuliner yang dikemukakan Levi-Strauss

(Leach, 1985: 31) dapat dilihat pada Gambar 4, yang menghubung-

kan elemen mentah, dimasak, dan difermentasi (dibusukkan) dalam

sistem makanan. Segitiga ini menjajikan hubungan antara cara

mengolah makanan (dibakar, diasapkan, dan direbus) berdasarkan

sarana udara dan air.

MENTAH

dibakar

( - ) ( - )

Udara Air

( + ) ( + )

diasapkan direbus

DIMASAK DIBUSUKKAN

Gambar 4. Perangkat Terstruktur Pola makan dalam

Segitiga Kuliner

Page 19: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

18

BAB 4

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah:

1. mendapatkan gambaran (data dasar) mengenai pengetahuan,

nilai, dan kepercayaan pada kelompok mahasiswa antropologi

di kota Surabaya,

2. mengkaji perubahan yang terjadi akibat pola konsumsi mie

instan dan pengaruhnya pada kehidupan masyarakat kota

Surabaya berdasarkan data dasar tersebut,

3. mempredisksi kecenderungan pola makan mie instan pada

berbagai kelompok mahasiswa di masa mendatang berdasarkan

data dasar tersebut.

Page 20: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

19

BAB 5

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilakukan di kota Surabaya,

yang dipilih berdasarkan atas pertimbangan perbedaan latar belakang

budaya dan lingkungan sosial di perkotaan. Konteks sosial, ekonomi,

budaya, dan lingkungan yang berbeda dari kelompok mahasiswa

antropologi FISIP-UNAIR di Surabaya diasumsikan akan memberikan

pemahaman yang mendalam bagi perumusan suatu model pola

makan mie instan yang lebih komprehensif. Mahasiswa sebagai

subyek penelitian ini juga memperlihatkan adanya perbedaan wilayah

kebudayaan dan corak sistem sosial yang mempengaruhi proses

konstruksi ekspresi-ekspresi simbolik (kebudayaan) dalam merespon

berbagai permasalahan hidup, khususnya yang berkaitan dengan

lingkungan perkotaan.

Jenis Rancangan Penelitian. Penelitian ini menggunakan

pendekatan sosial-budaya serta metode kualitatif, yang menyangkut

parameter ekonomi, sosial, dan budaya. Pendekatan kualitatif ini

dipakai dalam pengumpulan data (dengan menggunakan beberapa

subyek penelitian), analisis data, dan interpretasi data yang

komprehensif, dan holistik, yang diharapkan dapat diperoleh hasil

penelitian yang memadai sesuai dengan topik penelitian ini.

Teknik Pengumpulan Data. Pengumpulan data dengan metode

kualitatif, dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara

mendalam (indepth interview) pada 5 subyek penelitian (yang sudah

terseleksi dari 15 subyek penelitian) dari kalangan mahasiswa

antropologi angkatan 2010-2011. Kriteria pemilihan subyek penelitian

ini adalah: ketersediaan waktu wawancara, pengetahuan tentang mie

instan, kualitas dan kuantitas konsumsi mie instan, dan yang lebih

penting adalah variasi pola makan mie instan. Wawancara juga

Page 21: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

20

dilakukan pada beberapa penjual makanan mie instan (warung,

kantin, toko) guna mendapatkan gambaran mengenai latar sosial,

ekonomi, dan budaya di masing-masing subyek penelitian.

Teknik Analisis Data. Data yang dikumpulkan dengan metode

kualitatif melalui wawancara mendalam kemudian dilakukan

transkrip, editing, dan pengecekan guna memenuhi kualifikasi

triangulasi. Analisis dan interpretasi data dilakukan secara komparatif

berdasarkan faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya dari masing-

masing subyek penelitian, sehingga bisa diketahui pola makannya.

Dari temuan data hasil wawancara, di kalangan mahasiswa

antropologi didapat 6 variasi pola makan mie instan menurut waktu,

yaitu: (1) pagi, (2) siang, (3) malam, (4) pagi dan siang, (5) pagi dan

malam, dan (6) pagi, siang, dan malam. Di samping itu juga terdapat 3

variasi pola makan mie instan menurut kualitas makanan, yaitu: (A)

mie instan saja, (A) mie instan, nasi, dan/atau lauk, dan (A) mie instan

dan lauk. Lauk di sini bisa berupa sayur, daging, dan/ atau telur.

Untuk mendapatkan gambaran pola makan mis instan yang lebih

detil, maka pola makan mie instan berdasar waktu dan kualitas ini

perlu dianalisis secara komparatif dengan menggunakan segitiga

kuliner.

Page 22: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

21

Bab 6.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengetahuan Mie Instan

Pengetahuan di sini berkaitan dengan pengertian mahasiswa

tentang mie instan, baik yang menyangkut aspek positif maupun

negatifnya. Kebanyakan mahasiswa melihat mie instan sebagai

makanan yang positif, baik sebagai makanan utama ataupun

pendamping. Mie instan merupakan produk olahan siap dimakan,

walaupun masih memerlukan proses memasak, tetapi tidak

begitu sulit. Artinya, mie instan mudah didapat, praktis

pengolahannya, murah harganya, dan cukup kalori. Aspek

negatifnya, yang tidak banyak diketahui mahasiswa adalah bahwa

mie instan mengandung zat kimia, seperti MSG dan natrium

tripolifosfat sebagai bahan pengembangnnya. Apabila mie ini

dikonsumsi dalam jangka panjang akan mengakibatkan kanker

getah bening. Untuk mengurangi dampak negatif dari mengkonsi

mie instan tersebut adalah dengan mengurangi pemakaian bumbu

dan membuang air rebusan, dan diganti dengan air yang baru.

B. Nilai-nilai Pola Makan

Nilai (budaya) adalah suatu konsepsi abstrak yang dianggap

baik dan yang amat bernilai dalam hidup, yang menjadi pedoman

tertinggi bagi kelakuan dalam kehidupan suatu masyarakat. Nilai-

nilai ini terbagi atas 5 unsur, yaitu nilai pengetahuan, nilai sosial,

nilai, seni, nilai ekonomi, dan nilai religi (Melalatoa 1997: 5-6).

Kelima kategori nilai dari Melalatoa (1997:5) itu dapat dikemuka-

kan dalam Gambar 5 berikut ini.

Page 23: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

22

Gambar 5. Skema Sistem Nilai Budaya

Data hasil wawancara dengan mahasiswa menunjukkan

adanya nilai-nilai sebagai berikut. Pertama, nilai pengetahuan,

yaitu ”kreatif”, seperti kreatif dalam membuat sajian mie instan,

yang ditambah dengan daging, telor, atau sayuran. Kedua, nilai

sosial, yaitu ”tolong menolong” (membantu temannya dengan

memberikan atau tukar-menukar mie), makan bersama untuk

menjaga rasa ”kebersamaan” dan ”kerukunan”. Ketiga, nilai seni,

yaitu ”kreatif” (seperti nilai pengetahuan). Keempat, nilai

ekonomi, yaitu ”hemat” (biaya, waktu), dan ”efisien” (mudah).

Kelima, nilai religi, yaitu ”bersih” (memasak sendiri), ”selamat”

(menghindari aspek negatif makan mie instan).

Page 24: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

23

C. Kepercayaan Pola Makan

Kepercayaan mengenai pola makan mie instan terutama

berkaitan dengan nilai religi, yaitu nilai kebersihan dan selamat.

Kepercayaan pola makan juga berkaitan dengan diet (pengaturan

makanan). Sebagian besar mahasiswa percaya bahwa makan mie

instan, terutama pada malam hari, yang menggantikan nasi, akan

dapat menghindari resiko kegemukan maupun kolesterol. Bila

dimasak sendiri, mereka juga percaya akan kebersihannya,

sehingga terhindar dari sakit diare.

D. Pola Makan Mie Instan

Dari temuan data hasil wawancara pada mahasiswa antropologi,

didapat variasi pola makan mie instan berdasarkan waktu dan

kualitas. Ada 6 variasi pola makan mie instan menurut waktu, yaitu:

(1) pagi, (2) siang, (3) malam, (4) pagi dan siang, (5) pagi dan malam,

dan (6) pagi, siang, dan malam. Di samping itu juga terdapat 3 variasi

pola makan mie instan menurut kualitas makanan, yaitu: (A) mie

instan saja, (A) mie instan, nasi, dan/atau lauk, dan (A) mie instan dan

lauk. Lauk di sini bisa berupa sayur, daging, dan/atau telur. Untuk

mendapatkan gambaran pola makan mie instan yang lebih detil, maka

pola makan mie instan berdasar waktu dan kualitas ini perlu

dianalisis secara komparatif dengan menggunakan segitiga kuliner.

Berikut ini dikemukakan analisis pola makan mie instan dari

kedua kategori, yaitu waktu dan kualitas, serta kombinasi waktu

dan kualitas dengan menggunakan segitiga kuliner. Gambar 6

berikut ini menunjukkan pola makan mie instan berdasarkan waktu.

Page 25: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

24

Pola 1

Pola 3 Pola 2

Pola A

Pola C Pola B

PAGI

SIANG MALAM

Gambar 6. Pola Makan Mie Instan Berdasarkan Waktu Dalam

Segitiga Kuliner

Dari Gambar 6 ini dapat diketahui bahwa pola makan pagi

adalah pola 1, siang pola 2, dan malam pola 3. Hal ini menunjukkan

bahwa makan mie instan disesuaikan dengan kebutuhan atau

aktivitas mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa makan mie instan

pada pagi (sebelum berangkat kuliah) dan malam hari (pada waktu

belajar, mengerjakan tugas, atau persiapan ujian).

Gambar 7 berikut ini, menunjukkan pola makan mie instan

berdasarkan kualitas, yaitu konsumsi mie saja atau kombinasi

dengan nasi dan/atau lauk (daging, telor, dan/atau sayur).

MIE INSTAN

MIE INSTAN, NASI, LAUK MIE INSTAN & LAUK

Gambar 7. Pola Makan Mie Instan Berdasarkan Kualitas Dalam

Segitiga Kuliner

Pola 4 Pola 5

Pola 6

Page 26: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

25

Pola 1A

Pola 3A, 3B Pola 2B

Dari gambar 8 nampak bahwa pola A, B, dan C berhubungan

dalam bentuk segitiga. Artinya, hubungan itu menunjukkan adanya

kaitan antara mie instan (sebagai makanan utama atau pendamping)

dengan nasi (sebagai makanan utama, dan bisa juga pendamping,

tergantung posrsinya), serta lauk (daging, telor, dan/atau sayur)

sebagai pendamping. Untuk analisis yang lebih detil, maka Gambar

6 akan digabung dengan Gambar 7 (lihat Gambar 8).

PAGI

SIANG MALAM

Gambar 8. Pola Makan Mie Instan Berdasarkan Waktu dan

Kualitas Dalam Segitiga Kuliner

Gambar 8 menunjukkan bahwa pola makan mie instan pada

pagi dan malam, siang dn malam, serta malam hari merupakan

pola konsumsi yang dominan. Artinya, mahasiswa yang

kebanyakan kost, lebih sering makan mie instan pada ketiga

waktu itu. Konsumsi mie instan itu terutama intensif pada waktu

aktivitas mahasiswa meningkat, yaitu pada waktu belajar,

menyelesaikan tugas, maupun persiapan ujian.

E. Perubahan Pola Makan

Pola makan mie instan, terutama pada mahasiswa kost,

meningkat sejalan dengan aspek positif mie instan, yaitu mudah,

cepat, murah, dan praktis, sehingga tidak mengganggu aktivitas

mereka. Beberapa mahasiswa mengemukakan bahwa kebiasaan

Pola 4A Pola 5A, 5B

Pola 6A, 6C

Page 27: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

26

itu memang sudah terjadi pada waktu mereka masih ikut orang

tua, dan ketika mereka kost kebiasaan itu masih dilakukan,

bahkan lebih intensif. Hal ini berkaitan dengan selera atau pilihan

pribadi mahasiswa serta fungsi praktisnya mie instan. Dalam hal

ini Foster dan Anderson (1988: 315) mengemukakan bahwa

kesukaan pribadi merupakan kenyataan lain yang juga membatasi

keragaman makanan yang dikonsumsi. Hal ini bertolak belakang

dengan anggapan bahwa tidak ada seorangpun dalam setiap

kelompok masyarakat yang tidak mau menikmati segala sesuatu

kebutuhan (makanan) yang tersedia dan dapat disediakan.

Pengalaman dan pembelajaran seseorang sejak masa kecil hingga

dewasa akan banyak mempengaruhi selera makannya, dan tidak

semua makanan yang dikenalnya dalam kebudayaannya

merupakan kesukaan pribadinya.

Foster dan Anderson (1988: 315) juga menjelaskan bahwa

karena kebiasaan makanan telah terbukti merupakan yang paling

menentang perubahan di antara semua kebiasaan. Apa.yang kita

sukai dan tidak kita sukai, kepercayaan-kepercayaan kita

terhadap apa yang dapat dimakan dan yang tidak dapat dimakan,

dan keyakinan-keyakinan kita dalam hal makanan yang

berhubungan dengan keadaan kesehatan dan penanggalan ritual,

telah ditanamkan sejak usia muda. Hanya dengan sangat susah

payah orang dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan kebiasaan

makan sejak usia muda, untuk memulai dengan makanan yang

sama sekali berlainan. Karena kebiasaan makan, seperti semua

kebiasaan, hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya yang

menyeluruh. Perbaikan kebiasaan makan harus didasarkan atas

pengertian tentang makanan sebagai pranata sosial yang

memenuhi banyak fungsi. Para ahli antropologi memandang

kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak-

memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan lokal,

kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan, dan tahayul-

Page 28: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

27

tahayul yang berkaitan dengan produksi, persiapan dan konsumsi

makanan, yang merupakan kategori budaya yang penting.

Makanan sebagai sistem budaya merupakan kegiatan

ekspresif, yang berkaitan dengan aspek sosial, peranan simbolik,

ekonomi, agama dan kepercayaan, serta sanksi. Makanan sebagai

sistem budaya mencakup masalah: konsep makanan, kesukaan

pribadi, nafsu makan dan rasa lapar, klasifikasi makanan,

peranan simbolik dari makanan (Foster dan Anderson 1986: 313-

322; Kalangi 1985: 46-50).

Secara budaya, terdapat aturan dan nilai mengenai makanan,

yang meliputi: pemilihan bahan makanan, konsep makanan,

waktu makan, jenis makanan, dan etiket makan. Pola makan pada

waktu tertentu membentuk penyesuaian fisiologis yang

melahirkan reaksi berupa rasa lapar pada saat itu. Pola makan

yang diatur secara budaya ini akan membentuk penyesuaian

fisiologis, yang memunculkan reaksi, yaitu berupa nafsu makan

dan rasa lapar, yang keduanya berbeda namun berhubungan.

Nafsu makan, yang merupakan konsep budaya yang berbeda-beda

pada tiap masyarakat, muncul sebagai akibat reaksi fisiologiss.

Rasa lapar merupakan keadaan tubuh yang tidak mendapat

nutrimen yang diperlukan, sehingga menimbulkan keadaan

fisiologis pada saat makan.

Setiap masyarakat, dengan menggunakan kebudayaannya,

mampu mengenal berbagai klasifikasi makanan. Dasar klasifikasi

makanan itu antara lain adalah: jenis, kuantitas, kualitas, cara

penyiapan, maupun penyajian. Contoh cara klasifikasi makanan

adalah: (1) makanan pagi, makanan kecil/ringan, dan makanan

lengkap, (2) makanan sehari-hari dan makanan pesta/upacara, (3)

makanan atas dasar usia dan kelamin, (4) makanan sesuai

keadaan sehat, sakit, dan perawatan kuratif; (5) makanan yang

dianggap baik untuk kesehatan dan tidak baik bagi semua

Page 29: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

28

kelompok usia, (6) pembedaan antara makanan pokok dengan

lauk-pauk, (7) makanan yang disuguhkan dalam keadaan segar

(mentah) dan yang harus dimasak, (8) makanan yang dapat

disuguhkan baik dalam bentuk segar maupun dimasak, dan (9)

kualitas makanan panas dan dingin.

Makanan secara budaya dapat merupakan ungkapan ikatan

kehidupan sosial, karena perolehan (produksi) makanan itu tidak

dapat dilakukan secara individual. Secara sosial, makanan

merupakan ungkapan kasih sayang, perhatian, maupun

persahabatan. Budaya balas-membalas dalam pemberian dan

penerimaan makanan merupakan ungkapan ikatan sosial yang

tidak dapat diremehkan. Dalam kehidupan bermasyarakat,

menawarkan makanan ataupun minuman dapat dianggap sebagai

tawaran kasih sayang, perhatian, dan persahabatan. Orang yang

menerima makanan yang ditawarkan itu akan mengakui dan

menerima perasaan yang diungkapkan dan untuk membalasnya.

Sebaliknya, tidak memberi makanan atau gagal menawarkan

makanan dalam konteks budaya, dapat dianggap sebagai

menyatakan kemarahan atau permusuhan. Demikian pula,

menolak makanan yang ditawarkan dapat dianggap menolak

tawaran kasih sayang atau persahabatan, dan mengungkapkan

permusuhan terhadap si pemberi. Hal ini dapat diungkapkan

dalam peribahasa "menggigit tangan yang memberi makanan."

Orang seringkali merasa tenteram bila makan bersama dengan

teman-teman dan orang-orang yang disayangi.

Makanan dapat berperan sebagai cara untuk

mempertahankan ikatan keluarga dan persahabatan. Idealnya,

paling sedikit adalah makan bersama, berkumpul di meja besar,

yang melambangkan keakraban keluarga. Makanan seringkali

dihargai sebagai lambang-lambang identitas suku bangsa atau

nasional.

Page 30: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

29

Makanan secara khusus dapat merupakan cerminan

identitas dari yang memakannya, melebihi benda-benda budaya

lainnya. Makanan dapat memberi rasa tenteram dalam keadaan

yang menyebabkan stres. Orang desa yang hidup di kota tetap

melanjutkan pola makan mereka seperti yang mereka lakukan di

tempat asalnya. Nilai keamanan psikologis dari makanan juga

dibuktikan dengan suatu kecenderungan umum untuk makan

melebihi biasanya dan makan makanan kecil di antara waktu

makan, apabila seseorang merasa tidak bahagia atau mengalami

keadaan stres yang berat.

Sikap terhadap makanan sering mencerminkan persepsi

seseorang tentang bahaya maupun perasaan stres. Praktek

memberi makanan yang “dipanaskan” atau “didinginkan”,

khususnya dalam kondisi-kondisi klinis tertentu, dapat

merupakan salah satu bentuk teknik keseimbangan ini. Demikian

pula dalam menghindari makanan tertentu, tanpa disadari

merupakan suatu teknik magis untuk pengaruh yang mengancam,

yang tidak berhubungan dengan gizi.

F. Analisis Struktural Pola Makan

Berdasarkan deskripsi ketiga pola makan di atas, dapat

dianalisis dengan menggunakan dua model. Pertama, model

oposisi makanan, yang dibedakan atas tiga oposisi, yaitu: (1)

endogenous/exogenous, yaitu kandungan bahan-bahan nasional

lawan eksotik; (2) central/peripheral, yaitu makanan utama lawan

makanan pengiring; dan (3) marked/not-marked, yaitu yang

beraroma keras lawan lembut. Sesudah itu, dibuat konstruksi

sebuah matrik (lihat Matrik 2), yang memuat tanda plus (+) dan

minus (-) berdasarkan masing-masing oposisi di dalam sistem yang

bersangkutan. Untuk dapat dianalisis dengan tanda (+) dan (-), maka

oposisi harus dipisah menjadi dua bagian, agar memudahkan dalam

menganalisis.

Page 31: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

30

Matrik 2. Oposisi Makanan Endogeneus, Central, dan Marked

Cuisine Pagi Siang Malam

Endogenous - + -

Central + - +

Marked + - +

Dari Matrik 2 nampak bahwa terdapat perbedaan bentuk

hubungan. Pola makan dengan tanda (+) yang warna hijau

menunjukkan adanya kesamaan antara waktu dan kualitas makan

dalam hal central dan marked. Keduanya sebagai makanan utama

dan beraroma keras, yang diperkuat oleh adanya bahan makanan

yang beraroma keras (ketumbar, merica). Untuk oposisi (-) berwarna

kuning menunjukkan bahwa terdapat kesamaan waktu pola makan

mie instan dalam hal endogeneus, sedangkan kualitas pola makan

mie instan berbeda karena menunjukkan endogeneus yang (+). Hal

ini menunjukkan bahwa mie instan merupakan makanan olahan

pabrik yang sifat (bahan) lokalnya sangat kuat dan banyak pilihan

sesuai dengan selera konsumen.

Matrik 3. Oposisi Makanan Exogeneus, Peripheral, dan Not-

Marked

Cuisine Pagi Siang Malam

Exogenous + - +

Peripheral - + -

Not-Marked - + -

Matrik 3 menunjukkan kebalikan dari Matrik 2. Mie instan

merupakan jenis pengolahan (pabrik) yang kompleks, baik bahan

Page 32: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

31

maupun pengolahannya, sehingga mempunyai nilai exogeneus yang

(+). Kedua jenis pola makan yang sering dipakai untuk bermacam

keperluan ini juga sama-sama menunjukkan peripheral dan not-

marked yang (-). Hal ini menunjukkan adanya ciri mie instan

sebagai makanan utama maupun pendamping yang sangat kuat

aromanya, yaitu gurih dan pedas. Mie instan sebagai makanan

pengiring merupakan pola makan yang umum terjadi, yang

ditunjukkan dengan peripheral atau pola makan pengiring (+) dan

Not-Marked atau beraroma lembut (+).

Page 33: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

32

BAB 7

KESIMPULAN

Data hasil wawancara pada mahasiswa antropologi, didapat

variasi pola makan mie instan berdasarkan waktu dan kualitas.

Ada 6 variasi pola makan mie instan menurut waktu, yaitu: (1) pagi,

(2) siang, (3) malam, (4) pagi dan siang, (5) pagi dan malam, dan (6)

pagi, siang, dan malam. Di samping itu juga terdapat 3 variasi pola

makan mie instan menurut kualitas makanan, yaitu: (A) mie instan

saja, (A) mie instan, nasi, dan/atau lauk, dan (A) mie instan dan

lauk. Lauk di sini bisa berupa sayur, daging, dan/atau telur.

Pola makan pagi adalah pola 1, siang pola 2, dan malam pola

3. Hal ini menunjukkan bahwa makan mie instan disesuaikan

dengan kebutuhan atau aktivitas mahasiswa. Kebanyakan

mahasiswa makan mie instan pada pagi (sebelum berangkat kuliah)

dan malam hari (pada waktu belajar, mengerjakan tugas, atau

persiapan ujian). Pola A, B, dan C berhubungan dalam bentuk

segitiga. Artinya, hubungan itu menunjukkan adanya kaitan antara

mie instan (sebagai makanan utama atau pendamping) dengan nasi

(sebagai makanan utama, dan bisa juga pendamping, tergantung

posrsinya), serta lauk (daging, telor, dan/atau sayur) sebagai

pendamping.

Pola makan mie instan pada pagi dan malam, siang dan

malam, serta malam hari merupakan pola konsumsi yang dominan.

Artinya, mahasiswa yang kebanyakan kost, lebih sering makan mie

instan pada ketiga waktu itu. Konsumsi mie instan itu terutama

intensif pada waktu aktivitas mahasiswa meningkat, yaitu pada

waktu belajar, menyelesaikan tugas, maupun persiapan ujian. Pola

makan mie instan, terutama pada mahasiswa kost, meningkat

sejalan dengan aspek positif mie instan, yaitu mudah, cepat,

murah, dan praktis, sehingga tidak mengganggu aktivitas mereka.

Page 34: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

33

Beberapa mahasiswa mengemukakan bahwa kebiasaan itu memang

sudah terjadi pada waktu mereka masih ikut orang tua, dan ketika

mereka kost kebiasaan itu masih dilakukan. Hal ini berkaitan

dengan selera atau pilihan pribadi mahasiswa.

Kebiasaan makanan telah terbukti merupakan yang paling

menentang perubahan di antara semua kebiasaan. Kesukaan pribadi

merupakan kenyataan lain yang juga membatasi keragaman

makanan yang dikonsumsi. Dalam konteks sosial-budaya, makanan

merupakan produk budaya yang dapat didistribusikan pada

berbagai masyarakat. Makanan sebagai sistem budaya merupakan

kegiatan ekspresif, yang berkaitan dengan aspek sosial, peranan

simbolik, ekonomi, agama dan kepercayaan, serta sanksi.

Terdapat perbedaan bentuk hubungan antara kualitas makan

dengan waktu dan aroma. Pola makan dengan tanda (+) yang warna

hijau menunjukkan adanya kesamaan antara waktu dan kualitas

makan dalam hal central dan marked. Keduanya sebagai makanan

utama dan beraroma keras, yang diperkuat oleh adanya bahan pola

makan yang beraroma keras (ketumbar, merica). Hal ini

menunjukkan bahwa mie instan merupakan makanan olahan pabrik

yang sifat (bahan) lokalnya sangat kuat dan banyak pilihan sesuai

dengan selera konsumen.

Mie instan merupakan jenis pengolahan (pabrik) yang

kompleks, baik bahan maupun pengolahannya, sehingga

mempunyai nilai exogeneus yang (+). Kedua jenis pola makan yang

sering dipakai untuk bermacam keperluan ini juga sama-sama

menunjukkan peripheral dan not-marked yang (-). Hal ini

menunjukkan adanya ciri mie instan sebagai makanan utama

maupun pendamping yang sangat kuat aromanya (gurih). Mie instan

sebagai makanan pengiring merupakan pola makan yang umum

terjadi, yang ditunjukkan dengan peripheral atau pola makan

pengiring (+) dan not-marked atau beraroma lembut (+).

Page 35: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

34

DAFTAR PUSTAKA

Foster, George M. dan Barbara G. Anderson

1986 Antropologi Kesehatan. Penerjemah Priyanti Pakan

Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono. Jakarta: UI

Press.

Jerome, N.W., R.F. Kandel, dan G.H. Pelto, eds.

1980 Nutritional Antropology. New York: Redgrave.

Kalangi, Nico S.

1985 "Makanan sebagai suatu Sistem Budaya: Beberapa Pokok

Perhatian Antropologi Gizi". Dalam Koentjaraningrat dan

A.A. Loedin, (eds.), Ilmu-ilmu Sosial Dalam Pembangun-

an Kesehatan. Jakarta: Gramedia, hal. 42-53.

Kardjati, Sri, J.A. Kusin, dan C. de With

1977 East Java Nutrition Studies. Report I: Geographical

Distribution and Prevalence of Nutritional Deficiency

Diseases in East Java, Indonesia. Surabaya: School of

Medicine, University Airlangga.

Leach, Edmund

1985 Levi-Strauss. London: Fontana.

Levi-Strauss, Claude

1967 Structural Anthropology. New York: Doubleday.

1970 The Raw and the Cooked. New York: Harper & Row.

Lie Goan Hong

1985 "Pola Makan di Indonesia". Dalam Sri Karjati, Anna

Alisyahbana, dan J.A. Kusin, (eds.), Aspek Kesehatan

dan Gizi Anak Balita. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

ha173-86.

Lowenberg, Miriam E., et a1.

1970 Food and Man. New York: John Wiley & Sons.

Martianto, Drajat dan Mewa Ariani

2004 "Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi

Pangan Masyarakat Indonesia Dalam Dekade Terakhir".

Makalah disampaikan pada Widyakarya Nasional

Pangan dan Gizi, tangga117-19 Mei 2004 di Hotel

Bidakara, Jakarta.

Melalatoa, M. Junus, (ed.)

1997 Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: Pamator.

Page 36: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

35

Sediaoetama, Achmad Djaelani

1989 Ilmu Gizi. Jilid II. jakarta:Dian Rakyat.

Suhardjo

1995 "Mewaspadai Pergeseran Pola Konsumsi Pangan

Penduduk Perkotaan". Dalam Pangan, 22(6). Jakarta:

Bulog.

Saptandari, Pinky

2004 Analisis Sosial-Budaya Gizi dan Kesehatan Masyarakat

Jawa Timur. Makalah disusun sebagai persyaratan

peserta Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) ke

VIII, tanggal 17-19 Mei di Hotel Bidakara, Jakarta.

Page 37: RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN - web.unair.ac.idweb.unair.ac.id/admin/file/f_34835_penelitianmieinstan2011.pdf · mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui.

36

LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Wawancara

1. Biodata subyek penelitian

2. Tingkat intensitas makan mie (kuantitas, kualitas, dan waktu)

3. Efek yang dirasakan oleh tubuh setelah makan mie

4. Riwayat kesehatan subyek penelitian

5. Pengetahuaan subyek penelitian tentang :

1. Bahaya mie instan

2. Komposisi mie instan

3. Cara pengolahan mie instan

6. Nilai-nilai

7. Kepercayaan

8. Alasan mengapa suka mie instan

9. Makanan sehari-hari selain mie instan

10. Keuntungan makan mie instan

----- @ -----