RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN -...
Transcript of RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN -...
0
RINGKASAN
LAPORAN PENELITIAN
Hibah Soetandyo Wignjosoebroto 2011
POLA MAKAN MIE INSTAN:
STUDI ANTROPOLOGI GIZI PADA MAHASISWA
ANTROPOLOGI FISIP-UNAIR
Oleh:
Nurcahyo Tri Arianto
Departemen Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga
2011
1
RINGKASAN
Pola konsumsi makanan, khususnya mie instan, sebagian besar
dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya, antara lain pengetahuan, nilai,
norma, kepercayaan, sikap, dan perilaku, khususnya yang berkaitan
dengan perubahan gaya hidup (life style), selera, dan gengsi. Penelitian
mengenai mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang ditemui. Oleh
karena itu, penelitian ini bermaksud: (1) mengisi kurangnya kajian aspek
sosial-budaya mengenai pola makan mie instan, dan (2) mengkaji
pengaruh aspek sosial-budaya terhadap pola makan mie instan, yang
berkaitan dengan: pengetahuan, nilai, kepercayaan (pantangan atau tabu),
bentuk atau pola (perilaku), alasan yang mendasari, serta perubahan yang
terjadi akibat pola konsumsi mie instan.
Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pola makan mie
instan pada mahasiswa Antropologi FISIP-UNAIR. Untuk menjawab
masalah tersebut, perlu diajukan tiga pertanyaan penelitian berikut ini: (1)
bagaimana pengetahuan, nilai, dan kepercayaan (pantangan atau tabu) yang
menjadi acuan bagi perilaku mahasiswa antropologi dalam mengkonsumsi
mie instan?, (2) bagaimana variasi pola makan mie instan mahasiswa
antropologi?, (3) perubahan apa saja yang terjadi sebagai akibat pola makan
mie instan tersebut?
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial-budaya, dengan
menggunakan metode kualitatif, yang menyangkut parameter ekonomi,
sosial, dan budaya. Pengumpulan data dengan metode kualitatif, dilakukan
dengan cara pengamatan dan wawancara mendalam (indepth interview)
pada 6 subyek penelitian (yang sudah terseleksi dari 15 subyek penelitian)
dari kalangan mahasiswa antropologi angkatan 2010-2011. Data yang
dikumpulkan melalui wawancara mendalam kemudian dilakukan transkrip,
editing, dan pengecekan guna memenuhi kualifikasi triangulasi. Analisis dan
interpretasi data dilakukan secara komparatif berdasarkan faktor-faktor
sosial, ekonomi, dan budaya dari masing-masing subyek penelitian, sehingga
bisa diketahui pola makannya.
Data hasil wawancara dengan mahasiswa antropologi, menunjukkan
adanya variasi pola makan mie instan berdasarkan waktu dan kualitas. Ada
6 variasi pola makan mie instan menurut waktu, yaitu: (1) pagi, (2) siang, (3)
malam, (4) pagi dan siang, (5) pagi dan malam, dan (6) pagi, siang, dan
malam. Di samping itu juga terdapat 3 variasi pola makan mie instan
menurut kualitas makanan, yaitu: (A) mie instan saja, (A) mie instan, nasi,
dan/atau lauk, dan (A) mie instan dan lauk. Lauk di sini bisa berupa sayur,
daging, dan/atau telur.
2
PENGANTAR
Laporan Penelitian tentang Antropologi Gizi dengan biaya
dari Hibah Soetandyo FISIP-UNAIR tahun 2011 ini telah dapat
diselesaikan, walaupun masih banyak kekurangan. Kekurangan
laporan penelitian ini terutama berkaitan dengan keluasan dan
kedalaman data serta analisis dan interpretasi data, sehingga
hasilnya belum maksimal. Penelitian ini dilaksanakan selama 6
bulan, yaitu mulai bulan Maret hingga Juli 2011.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran (data
dasar) mengenai pola makan mie instan yang berkaitan dengan
pengetahuan, nilai, norma, dan kepercayaan pada kelompok
mahasiswa antropologi Unair di kota Surabaya. Penelitian ini juga
dilakukan untuk mengkaji perubahan yang terjadi akibat pola
konsumsi mi instan dan pengaruhnya pada kehidupan mahasiswa
antropologi.
November 2011
Nurcahyo Tri Arianto
3
DAFTAR ISI
Ringkasan .................................................................................. ii
Pengantar ................................................................................... iii
Daftar Isi ................................................................................... iv
Daftar Matrik ............................................................................. v
Daftar Gambar ........................................................................... vi
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................... 1
BAB II. PERUMUSAN MASALAH ............................................... 4
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA DAN TEORI ................................. 6
A. Tinjauan Pustaka ................................................. 6
B. Teori ..................................................................... 9
BAB IV. TUJUAN PENELITIAN ................................................... 13
BAB V. METODE PENELITIAN ................................................... 14
BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................... 16
A. Pengetahuan Mie Instan ....................................... 16
B. Nilai-nilai Pola Makan ........................................... 16
C. Kepercayaan Pola Makan ....................................... 18
D. Pola Makan Mie Instan .......................................... 18
E. Perubahan Pola Makan .......................................... 20
F. Analisis Struktural Pola Makan ............................. 24
BAB VII. KESIMPULAN ................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 29
LAMPIRAN .. ............................................................................. 31
4
DAFTAR MATRIK
Matrik 1. Oposisi Makanan Inggris dan Perancis ………… ..................... 11 Matrik 2. Oposisi Makanan Endogeneus, Central, dan Marked ………… 25 Matrik 3. Oposisi Makanan Exogeneus, Peripheral, dan Not-Marked ….. 25
5
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Segitiga Vokal ……………….. .............................................. 11
Gambar 2. Segitiga Konsonan ……………………… .............................. 11
Gambar 3. Konstruksi Oposisi-oposisi Biner dalam Segitiga Kuliner .. ... 12
Gambar 4. Perangkat Terstruktur Masakan dalam Segitiga Kuliner … . 12
Gambar 5. Skema Sistem Nilai Budaya ……………………………………. 17
Gambar 6. Pola Makan Mie Instan Berdasarkan Waktu dalam… ........... 19 Segitiga Kuliner
Gambar 7. Pola Makan Mie Instan Berdasarkan Kualitas dalam… ........ 19 Segitiga Kuliner
Gambar 8. Pola Makan Mie Instan Berdasarkan Waktu dan Kualitas … 20 Dalam Segitiga Kuliner
6
BAB 1.
PENDAHULUAN
Pangan, makanan, dan gizi merupakan bagian penting dari
kehidupan manusia, yang sebagian besar dipengaruhi oleh faktor
sosial, budaya, dan lingkungan, yang sangat erat kaitannya dengan
kesehatan dan penyakit. Kekurangan gizi akan menurunkan daya
tahan tubuh terhadap infeksi, menyebabkan banyak penyakit
kronis, dan orang tidak mungkin melakukan kerja keras. Masalah
pangan, makanan, dan gizi merupakan masalah yang sangat
kompleks yang terkait dengan aspek ekonomi, pertanian,
lingkungan, gizi, kesehatan, sosial, budaya, politik, maupun agama.
Secara spesifik, masalah itu juga berkaitan dengan kemampuan
produksi, penyediaan pangan, kelancaran distribusi, struktur dan
jumlah penduduk, daya beli rumah tangga, hingga kesadaran gizi
masyarakat dan sanitasi lingkungan (cf. Martianto dan Ariani 2004:
1).
Salah satu kajian mengenai masalah pangan yang penting
adalah masalah pola konsumsi makanan, yang sebagian besar
dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya, antara lain pengetahuan,
nilai, norma, kepercayaan, sikap, dan perilaku, khususnya yang
berkaitan dengan perubahan gaya hidup (life style), selera, dan
gengsi, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Para ahli
antropologi sepakat bahwa kebiasaan makan keluarga beserta
susunan hidangannya merupakan salah satu manifestasi
kebudayaan suatu keluarga, yang disebut gaya hidup. Gaya hidup
merupakan kondensasi dari interaksi berbagai faktor, antara lain:
sosial (pekerjaaan, penghasilan, susunan keluarga, pola konsumsi
dan distribusi), budaya (pendidikan, suku bangsa, agama atau
kepercayaan, pengetahuan tentang gizi dan kesehatan), dan
lingkungan hidup desa-kota (produksi dan distribusi pangan).
7
Manifestasi budaya yang diperlihatkan oleh suatu keluarga ini
disebut gaya hidup keluarga, yang menghasilkan bentuk atau
struktur perilaku konsumsi pangan atau kebiasaan makan (food
intake behavior) (Sediaoetama 1989:199).
Data tahun 1999-2002 (sesudah krisis ekonomi) mengenai
perkembangan konsumsi pangan, khususnya mie instan,
menunjukkan adanya laju pertumbuhan yang signifikan, yaitu
33,3% di kota dan 50% di desa (Martianto dan Ariani 2004: 4). Data
ini menunjukkan adanya peningkatan pendapatan atau daya beli
masyarakat sesudah krisis ekonomi, yang mempengaruhi
peningkatan konsumsi pangan. Keadaan ini sesuai dengan hukum
Bennet, yang menyatakan bahwa meningkatnya pendapatan
menyebabkan meningkatnya kemampuan membeli pangan yang
lebih mahal dan berkualitas. Demikian pula meningkatnya
pengetahuan mengenai gizi menyebabkan pengelolaan sumber daya
secara lebih baik, sehingga masyarakat dapat berkesempatan
memilih jenis pangan yang bermutu atau bergizi tinggi dengan
harga yang terjangkau, seperti mie instan.
Perilaku masyarakat dalam memilih dan menentukan jenis,
kuantitas, dan kualitas pangan dapat berubah karena faktor sosial-
budaya, khususnya berkaitan dengan pengetahuan, nilai (selera,
kepuasan), norma, maupun kepercayaan. Secara spesifik perubahan
itu berkaitan dengan meningkatnya pendapatan, meningkatnya
pengetahuan mengenai gizi dan kesehatan, serta beragamnya
produk makanan olahan yang praktis (instan), murah, dan mudah
didapat, seperti mi instan. Oleh karena itu, produksi dan
penyediaan pangan harus memperhatikan perubahan pola
konsumsi masyarakat yang erat berkaitan dengan faktor sosial-
budaya, khususnya di perkotaan, yang konsumsi pangannya tidak
tergantung pada beras.
Penelitian mengenai mie dari berbagai disiplin ilmu telah
8
dilakukan, khususnya yang berkaitan dengan teknologi untuk
pengolahan pangan berbasis tepung serta produksi dan pemasaran
mi (Suhardjo 1995). Namun demikian penelitian mengenai mie,
khususnya mie instan, dari aspek sosial-budaya masih jarang
ditemui. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud: (1) mengisi
kurangnya kajian aspek sosial-budaya mengenai pola makan mie
instan, dan (2) mengkaji pengaruh aspek sosial-budaya terhadap
pola makan mie instan, yang berkaitan dengan: pengetahuan, nilai,
kepercayaan (pantangan atau tabu), bentuk atau pola (perilaku),
alasan yang mendasari, serta perubahan yang terjadi akibat pola
konsumsi mie instan. Pantangan atau tabu makanan merupakan
larangan untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu karena
terdapat ancaman bahaya (sanksi) bagi yang melanggarnya.
Pantangan atau tabu bisa berdasarkan larangan agama/kepercayaan
dan bisa juga tidak berhubungan dengan agama/kepercayaan
(Sediaoetama 1989: 203)
9
BAB 2
PERUMUSAN MASALAH
Kurangnya minat dan perhatian ilmu sosial dan budaya
terhadap pola konsumsi pangan menyebabkan kurangnya informasi
penelitian yang holistik dan multidisipliner mengenai hal itu.
Penelitian ini bermaksud mengisi kurangnya kajian aspek sosial-
budaya mengenai pola konsumsi pangan (khususnya mie instan) serta
mengkaji pengaruh aspek sosial-budaya terhadap pola makan mie
instan.
Berdasarkan uraian pada bagian Pendahuluan, maka
permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pola makan mie
instan pada mahasiswa Antropologi FISIP-UNAIR. Untuk menjawab
masalah tersebut, perlu diajukan tiga pertanyaan penelitian berikut
ini:
(1) bagaimana pengetahuan, nilai, kepercayaan (pantangan atau tabu)
yang menjadi acuan bagi perilaku mahasiswa antropologi dalam
mengkonsumsi mie instan?,
(2) bagaimana variasi pola makan mie instan mahasiswa antropologi?,
(3) perubahan apa saja yang terjadi sebagai akibat pola makan mie
instan tersebut?
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial-budaya, dengan
menggunakan metode kualitatif, yang menyangkut parameter
ekonomi, sosial, dan budaya. Usaha untuk menggunakan metode
kualitatif dengan teknik pengumpulan data, analisis data, dan
interpretasi data yang komprehensif, dan holistik diharapkan dapat
diperoleh hasil penelitian yang memadai sesuai dengan topik
penelitian ini.
Mahasiswa antropologi FISIP-UNAIR yang menjadi kajian
penelitian ini, dianggap mengetahui dan melakukan praktek sosial-
budaya, sebagaimana yang dipelajarinya dalam perkuliahan.
10
Penelitian ini akan melihat bagaimana pengaruh pengetahuan dan
nilai budaya, khususnya berkaitan dengan masalah kesehatan dan
gizi, pada pola (perilaku) makan mie instan.
Hubungan antara variabel mahasiswa antropologi (variabel
pengaruh), faktor-faktor sosial-budaya (variabel antara), dan pola
makan mi instan (variabel terpengaruh) dapat digambarkan
sebagai berikut:
Model di atas akan dipakai sebagai acuan dalam pengumpulan
data, analisis data, dan interpretasi data dalam penelitian ini.
Mahasiswa Antropologi
Faktor Sosial-Budaya
Pola Makan Mie Instan
→ →
11
BAB 3.
TINJAUAN PUSTAKA DAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Kebiasaan makan, sebagaimana halnya dengan semua
kebiasaan, hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya yang
menyeluruh. Oleh karena itu, program perbaikan kebiasaan
makan harus didasarkan atas pengertian tentang makanan
sebagai suatu pranata sosial yang memenuhi banyak fungsi.
Kebiasaan yang paling sulit berubah dari manusia adalah
kebiasaan makan. Lowenberg et all (1970: 85) mendefinisikan
kebiasaan makan (food habit) sebagai kebiasaan suatu kelompok
sebagai refleksi dari cara suatu kebudayaan menetapkan standar
perilaku individu dalam kelompoknya dalam hubungannya
dengan makanan, sehingga kelompok tersebut memiliki pola
makan (food pattern) yang umum.
Pendefinisian tentang makanan sangat berpengaruh pada pola
makan dan kecukupan gizi, sehingga seringkali pengertian makan
hanya ditujukan pada nasi atau produk olahan yang berasal dari bahan
beras, seperti lontong. Kalau belum makan nasi belum dianggap
makan, apapun lauknya. Kebiasaan makan nampaknya tidak dapat
dilepaskan dari nilai-nilai budaya yang berpengaruh pada kondisi gizi
dan kesehatan masyarakat. Kebiasaan makanan beragam dalam
konteks budaya, karena itu usaha mengubah kebiasaan makan
bukanlah hal yang mudah, mengingat dari semua kebiasaan yang
paling sulit diubah adalah kebiasaan makan (Kardjati, Kusin, dan
With 1977; Saptandari 2004: 3).
Makanan pokok adalah bahan (pangan) yang dimakan dalam
porsi besar, yang merupakan sumber tenaga yang utama, dan
terdiri dari bahan makanan setempat yang mudah didapat atau
12
yang sesuai dengan selera keluarga. Bahan-bahan itu dapat berupa
beras, jagung, jagung, tepung gandum, singkong/gaplek, sagu, ubi
jalar, maupun campuran bahan-bahan tersebut (Lie 1985:84).
Kenyataan seperti itu telah mengakibatkan munculnya pandangan
yang memitoskan beras, sehingga orang yang memakan makanan
pokok yang bahannya terbuat dari jagung, umbi-umbian, dan sagu
dianggap sebagai orang yang tidak mampu atau miskin (Martianto
dan Ariani 2004:17-18).
Pada tahun 2002 (sesudah krisis ekonomi), pola konsumsi
pangan kedua (sesudah beras) sudah berubah, yaitu tidak lagi
berasal dari jagung dan umbi-umbian, melainkan dari mie, yang
terbuat dari gandum atau terigu. Meningkatnya konsumsi mie (di
samping roti dan kue) tidak lepas dari perubahan budaya mengenai
pola konsumsi pangan serta kebijakan pemerintah yang sangat
intensif memperkenalkan terigu kepada masyarakat luas. Kebijakan
pemerintah itu didasarkan atas harga gandum atau terigu yang
relatif stabil, cukup banyak diperdagangkan, serta beras dapat
bersubtitusi dengan terigu (Martianto dan Ariani 2004:18-19). Mie
sudah menjadi bagian penting dalam pola makan rumah tangga dan
masyarakat luas di perkotaan maupun perdesaan.
Secara budaya, mie tidak saja sebagai makanan pokok,
melainkan juga sebagai lauk pauk, sehingga sering dijumpai orang
makan nasi dengan lauk mie kuah atau mie goreng. Hal ini
dimungkinkan karena mie (khususnya mie instan), sebagai makanan
olahan dari gandum atau terigu tersebut, dapat diolah dengan
mudah, disajikan secara praktis, dan memenuhi selera berbagai
kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, pekerjaan,
usia, maupun jenis kelamin.
Promosi mie yang sangat intensif dalam berbagai jenis produk,
bentuk, ukuran, dan harga yang relatif murah, menyebabkan mie
(khususnya mie instan) mudah dan cepat dikenal masyarakat. Mie
13
instan telah menggeser peranan makanan pokok tradisional
(jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan sagu) sebagai makanan pokok
kedua setelah beras, khususnya pada masyarakat berpendapatan
sedang dan tinggi di perkotaan (Martianto dan Ariani 2004:19, 26).
Antropologi Gizi merupakan cabang atau spesialisasi dari
Antropologi Kesehatan yang mengkhususkan perhatiannya pada
sistem budaya makanan serta kepentingan praktis dari kajian
mengenai masalah gizi. Lingkup perhatiannya mencakup evolusi
manusia, sejarah, kebudayaan, dan adaptasi manusia berkaitan
dengan masalah makanan dan gizi dalam berbagai keadaan
lingkungan hidup. Umumnya ahli antropologi gizi mempelajari
masalah makanan sebagai kompleks pengetahuan yang
menentukan boleh dan tidak boleh (keharusan dan pantangan),
kearifan, produksi, penyiapan, konsumsi, dan konsekuensi-
konsekuensi gizi (Kalangie 1985:45).
Beberapa premis dalam studi Antropologi Gizi antara lain
telah dikemukakan oleh Foster dan Anderson (1986: 313-322) dan
Kalangi (1985:46-50) sebagai berikut. Pertama, kebudayaan
menentukan pemilihan makanan. Sebagai gejala budaya, makanan
bukan hanya sebagai produk organik, melainkan makanan dibentuk
melalui budaya. Makanan bermaknakan ekspresi sosial, ekonomi,
kepercayaan, maupun kesehatan. Sistem budaya menentukan dan
mengembangkan jenis makanan pokok, lauk, dan makanan
tambahan. Kedua, pola makan yang diatur secara budaya
membentuk penyesuaian fisiologi, yang memunculkan reaksi
berupa nafsu makan dan rasa lapar. Nafsu makan, yang merupakan
konsep budaya yang berbeda-beda pada tiap masyarakat, muncul
sebagai akibat reaksi fisiologi. Rasa lapar merupakan keadaan
tubuh yang tidak mendapat nutrimen yang diperlukan, sehingga
menimbulkan keadaan fisiologi pada saat makan. Ketiga, setiap
masyarakat, dengan menggunakan kebudayaannya, mengenal
14
berbagai klasifikasi makanan. Dasar klasifikasi makanan itu
antara lain adalah: jenis, kuantitas, kualitas, cara penyiapan,
maupun penyajian. Keempat, makanan secara budaya dapat
berperan secara simbolik. Makanan merupakan ungkapan ikatan
kehidupan sosial, karena perolehan (produksi) makanan itu tidak
dapat dilakukan secara individual. Secara sosial, makanan
merupakan ungkapan kasih sayang, perhatian, maupun
persahabatan. Budaya balas-membalas dalam pemberian dan
penerimaan makanan merupakan ungkapan ikatan sosial yang tidak
dapat diremehkan.
Makanan merupakan produk budaya yang dapat didistribusi-
kan pada berbagai masyarakat. Oleh kelompok-kelompok yang ada
dalam masyarakat, makanan hasil difusi budaya itu dapat
dimodifikasi sesuai dengan sistem budaya dan lingkungan
kelompok masyarakat yang menerima. Namun demikian, tidak
semua kelompok masyarakat menganggap dan menentukan
berbagai sumber gizi yang diperolehnya sebagai makanan. Oleh
karena itu, dari segi ilmu gizi, pengetahuan budaya setiap
kelompok masyarakat mempunyai keterbatasan, yang merupakan
sumber berbagai masalah.
B. Teori
Menurut Levi-Strauss (1970: 164), karena manusia memiliki
pancaindera, terdapat lima buah kode dasar yang masing-masing
berkorespondensi dengan kelima indera itu. Di antara kelima kode
dasar tersebut, salah satunya menduduki posisi yang istimewa,
yaitu yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan makan: kode
cecapan (gustatory code). Posisi khusus kode ini diperoleh karena
makanan menduduki tempat yang sangat esensial dalam budaya
manusia. Memasak makanan merupakan bentuk budaya yang sangat
penting, karena ia memasak merupakan transisi dari alam (nature)
ke budaya (culture). Menurut Edmund Leach (1985: 34), memasak
15
merupakan cara yang universal untuk mentransformasikan alam ke
dalam budaya. Penelitian ini diarahkan untuk menelusuri
bagaimana pandangan struktural Levi-Strauss dapat diterapkan
untuk melihat sistem makanan (food system), karena pendekatan
struktural memandang semua fenomena kultural sebagai suatu
sistem.
Fenomena sistem makanan dapat ditelusuri secara lebih
mendalam dari pandangan struktural dari Levi-Strauss. Menurut
Levi-Strauss (1967: 85), santapan (cuisine) dalam suatu budaya
dapat dianalisis ke dalam elemen-elemennya. Elemen-elemen ini
dapat diatur sesuai dengan struktur-struktur oposisi dan korelasi
tertentu. Sebagai contoh, sistem santapan Inggris dan Perancis
(Levi-Strauss, 1967: 85-86). Dalam santapan Inggris, makanan utama
terbuat dari bahan-bahan yang endogenous, beraroma relatif lembut
(bland), dan dikelilingi oleh makanan sampingan yang lebih eksotik,
yang di dalamnya seluruh nilai diferensial tertandai (marked)
secara tegas (misalnya teh, fruitcake, orange marmalade, port
wine). Sebaliknya, di dalam santapan Perancis, perbedaan antara
endogenous dan exogenous menjadi sangat lemah atau bahkan
lenyap, serta dikombinasikan dalam posisi yang sentral maupun
periferal.
Menurut Levi-Strauss (1967: 85-86), sistem makanan Inggris
dan Perancis dapat dibedakan melalui sarana tiga oposisi, yaitu: (1)
endogenous/exogenous, yaitu kandungan bahan-bahan nasional
lawan eksotik; (2) central/peripheral, yaitu makanan utama lawan
makanan pengiring; dan (3) marked/not-marked, yaitu yang
beraroma keras lawan lembut. Ketiga oposisi itu dapat dibuat
konstruksi sebuah matrik (lihat Gambar 1), yang dapat ditandai
dengan plus (+) dan minus (-) berdasarkan masing-masing oposisi di
dalam sistem makanan Inggris dan Perancis.
16
Matrik 1. Oposisi Makanan Inggris dan Perancis
ENGLISH CUISINE FRENCH CUISINE
endogenous/
exogenous + -
central /peripheral + -
marked/ not-marked - +
Metode analisis struktural Levi-Strauss ini mengadopsi yang
mengikuti langkah-langkah operasional berikut (Leach, 1985: 25):
1. mendefinisikan fenomena yang dikaji sebagai suatu relasi di
antara dua terma atau lebih, baik nyata maupun diandaikan;
2. mengkonstruk label permutasi-permutasi yang mungkin di
antara terma-terma ini;
3. memperlakukan matrik itu sebagai obyek analisis umum, yang
menghasilkan hubungan-hubungan yang penting.
Levi-Strauss (Leach 1985: 24,28-30) juga mengemukakan
sistem makanan, khususnya memasak (cooking), yang dianalisisnya
dengan model segitiga kuliner (culinary triangle), yang dianalogikan
dengan segitiga warna (colour triangle, yaitu: kuning, hijau, dan
merah), segitiga vokal (vocalic triangle, yaitu: u, a, dan i), serta
segitiga konsoan (consonant triangle, yaitu: k, p, dan t). (lihat
Gambar 1, dan Gambar 2).
a k
u i p t
Gambar 1. Segitiga Vokal Gambar 2. Segitiga Konsonan
Menurut Levi-Strauss (Leach, 1985:30-31; Koentjaraningrat,
1980: 213) bahwa seperti halnya bahasa, makanan juga mempunyai
oposisi biner. Makanan yang dimasak dapat dianggap sebagai bahan
mentah yang sudah dielaborasi (elaborated) atau ditransformasikan
17
(transformed), sedangkan makanan yang dibusukkan adalah
makanan mentah yang telah dielaborasi secara alami (nature).
Gambar 3 berikut ini menunjukkan adanya oposisi biner, seperti:
dielaborasi/normal dan budaya/alam.
Budaya Alam
Normal MENTAH
(non-elabore)
(non-marque)
Keadaan material
(tingkat elaborasi)
Dielaborasi
(elabore)
(marque)
DIMASAK DIBUSUKKAN
Gambar 3. Konstruksi Oposisi-oposisi Biner dalam
Segitiga Kuliner
Aplikasi segitiga kuliner yang dikemukakan Levi-Strauss
(Leach, 1985: 31) dapat dilihat pada Gambar 4, yang menghubung-
kan elemen mentah, dimasak, dan difermentasi (dibusukkan) dalam
sistem makanan. Segitiga ini menjajikan hubungan antara cara
mengolah makanan (dibakar, diasapkan, dan direbus) berdasarkan
sarana udara dan air.
MENTAH
dibakar
( - ) ( - )
Udara Air
( + ) ( + )
diasapkan direbus
DIMASAK DIBUSUKKAN
Gambar 4. Perangkat Terstruktur Pola makan dalam
Segitiga Kuliner
18
BAB 4
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah:
1. mendapatkan gambaran (data dasar) mengenai pengetahuan,
nilai, dan kepercayaan pada kelompok mahasiswa antropologi
di kota Surabaya,
2. mengkaji perubahan yang terjadi akibat pola konsumsi mie
instan dan pengaruhnya pada kehidupan masyarakat kota
Surabaya berdasarkan data dasar tersebut,
3. mempredisksi kecenderungan pola makan mie instan pada
berbagai kelompok mahasiswa di masa mendatang berdasarkan
data dasar tersebut.
19
BAB 5
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilakukan di kota Surabaya,
yang dipilih berdasarkan atas pertimbangan perbedaan latar belakang
budaya dan lingkungan sosial di perkotaan. Konteks sosial, ekonomi,
budaya, dan lingkungan yang berbeda dari kelompok mahasiswa
antropologi FISIP-UNAIR di Surabaya diasumsikan akan memberikan
pemahaman yang mendalam bagi perumusan suatu model pola
makan mie instan yang lebih komprehensif. Mahasiswa sebagai
subyek penelitian ini juga memperlihatkan adanya perbedaan wilayah
kebudayaan dan corak sistem sosial yang mempengaruhi proses
konstruksi ekspresi-ekspresi simbolik (kebudayaan) dalam merespon
berbagai permasalahan hidup, khususnya yang berkaitan dengan
lingkungan perkotaan.
Jenis Rancangan Penelitian. Penelitian ini menggunakan
pendekatan sosial-budaya serta metode kualitatif, yang menyangkut
parameter ekonomi, sosial, dan budaya. Pendekatan kualitatif ini
dipakai dalam pengumpulan data (dengan menggunakan beberapa
subyek penelitian), analisis data, dan interpretasi data yang
komprehensif, dan holistik, yang diharapkan dapat diperoleh hasil
penelitian yang memadai sesuai dengan topik penelitian ini.
Teknik Pengumpulan Data. Pengumpulan data dengan metode
kualitatif, dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara
mendalam (indepth interview) pada 5 subyek penelitian (yang sudah
terseleksi dari 15 subyek penelitian) dari kalangan mahasiswa
antropologi angkatan 2010-2011. Kriteria pemilihan subyek penelitian
ini adalah: ketersediaan waktu wawancara, pengetahuan tentang mie
instan, kualitas dan kuantitas konsumsi mie instan, dan yang lebih
penting adalah variasi pola makan mie instan. Wawancara juga
20
dilakukan pada beberapa penjual makanan mie instan (warung,
kantin, toko) guna mendapatkan gambaran mengenai latar sosial,
ekonomi, dan budaya di masing-masing subyek penelitian.
Teknik Analisis Data. Data yang dikumpulkan dengan metode
kualitatif melalui wawancara mendalam kemudian dilakukan
transkrip, editing, dan pengecekan guna memenuhi kualifikasi
triangulasi. Analisis dan interpretasi data dilakukan secara komparatif
berdasarkan faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya dari masing-
masing subyek penelitian, sehingga bisa diketahui pola makannya.
Dari temuan data hasil wawancara, di kalangan mahasiswa
antropologi didapat 6 variasi pola makan mie instan menurut waktu,
yaitu: (1) pagi, (2) siang, (3) malam, (4) pagi dan siang, (5) pagi dan
malam, dan (6) pagi, siang, dan malam. Di samping itu juga terdapat 3
variasi pola makan mie instan menurut kualitas makanan, yaitu: (A)
mie instan saja, (A) mie instan, nasi, dan/atau lauk, dan (A) mie instan
dan lauk. Lauk di sini bisa berupa sayur, daging, dan/ atau telur.
Untuk mendapatkan gambaran pola makan mis instan yang lebih
detil, maka pola makan mie instan berdasar waktu dan kualitas ini
perlu dianalisis secara komparatif dengan menggunakan segitiga
kuliner.
21
Bab 6.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengetahuan Mie Instan
Pengetahuan di sini berkaitan dengan pengertian mahasiswa
tentang mie instan, baik yang menyangkut aspek positif maupun
negatifnya. Kebanyakan mahasiswa melihat mie instan sebagai
makanan yang positif, baik sebagai makanan utama ataupun
pendamping. Mie instan merupakan produk olahan siap dimakan,
walaupun masih memerlukan proses memasak, tetapi tidak
begitu sulit. Artinya, mie instan mudah didapat, praktis
pengolahannya, murah harganya, dan cukup kalori. Aspek
negatifnya, yang tidak banyak diketahui mahasiswa adalah bahwa
mie instan mengandung zat kimia, seperti MSG dan natrium
tripolifosfat sebagai bahan pengembangnnya. Apabila mie ini
dikonsumsi dalam jangka panjang akan mengakibatkan kanker
getah bening. Untuk mengurangi dampak negatif dari mengkonsi
mie instan tersebut adalah dengan mengurangi pemakaian bumbu
dan membuang air rebusan, dan diganti dengan air yang baru.
B. Nilai-nilai Pola Makan
Nilai (budaya) adalah suatu konsepsi abstrak yang dianggap
baik dan yang amat bernilai dalam hidup, yang menjadi pedoman
tertinggi bagi kelakuan dalam kehidupan suatu masyarakat. Nilai-
nilai ini terbagi atas 5 unsur, yaitu nilai pengetahuan, nilai sosial,
nilai, seni, nilai ekonomi, dan nilai religi (Melalatoa 1997: 5-6).
Kelima kategori nilai dari Melalatoa (1997:5) itu dapat dikemuka-
kan dalam Gambar 5 berikut ini.
22
Gambar 5. Skema Sistem Nilai Budaya
Data hasil wawancara dengan mahasiswa menunjukkan
adanya nilai-nilai sebagai berikut. Pertama, nilai pengetahuan,
yaitu ”kreatif”, seperti kreatif dalam membuat sajian mie instan,
yang ditambah dengan daging, telor, atau sayuran. Kedua, nilai
sosial, yaitu ”tolong menolong” (membantu temannya dengan
memberikan atau tukar-menukar mie), makan bersama untuk
menjaga rasa ”kebersamaan” dan ”kerukunan”. Ketiga, nilai seni,
yaitu ”kreatif” (seperti nilai pengetahuan). Keempat, nilai
ekonomi, yaitu ”hemat” (biaya, waktu), dan ”efisien” (mudah).
Kelima, nilai religi, yaitu ”bersih” (memasak sendiri), ”selamat”
(menghindari aspek negatif makan mie instan).
23
C. Kepercayaan Pola Makan
Kepercayaan mengenai pola makan mie instan terutama
berkaitan dengan nilai religi, yaitu nilai kebersihan dan selamat.
Kepercayaan pola makan juga berkaitan dengan diet (pengaturan
makanan). Sebagian besar mahasiswa percaya bahwa makan mie
instan, terutama pada malam hari, yang menggantikan nasi, akan
dapat menghindari resiko kegemukan maupun kolesterol. Bila
dimasak sendiri, mereka juga percaya akan kebersihannya,
sehingga terhindar dari sakit diare.
D. Pola Makan Mie Instan
Dari temuan data hasil wawancara pada mahasiswa antropologi,
didapat variasi pola makan mie instan berdasarkan waktu dan
kualitas. Ada 6 variasi pola makan mie instan menurut waktu, yaitu:
(1) pagi, (2) siang, (3) malam, (4) pagi dan siang, (5) pagi dan malam,
dan (6) pagi, siang, dan malam. Di samping itu juga terdapat 3 variasi
pola makan mie instan menurut kualitas makanan, yaitu: (A) mie
instan saja, (A) mie instan, nasi, dan/atau lauk, dan (A) mie instan dan
lauk. Lauk di sini bisa berupa sayur, daging, dan/atau telur. Untuk
mendapatkan gambaran pola makan mie instan yang lebih detil, maka
pola makan mie instan berdasar waktu dan kualitas ini perlu
dianalisis secara komparatif dengan menggunakan segitiga kuliner.
Berikut ini dikemukakan analisis pola makan mie instan dari
kedua kategori, yaitu waktu dan kualitas, serta kombinasi waktu
dan kualitas dengan menggunakan segitiga kuliner. Gambar 6
berikut ini menunjukkan pola makan mie instan berdasarkan waktu.
24
Pola 1
Pola 3 Pola 2
Pola A
Pola C Pola B
PAGI
SIANG MALAM
Gambar 6. Pola Makan Mie Instan Berdasarkan Waktu Dalam
Segitiga Kuliner
Dari Gambar 6 ini dapat diketahui bahwa pola makan pagi
adalah pola 1, siang pola 2, dan malam pola 3. Hal ini menunjukkan
bahwa makan mie instan disesuaikan dengan kebutuhan atau
aktivitas mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa makan mie instan
pada pagi (sebelum berangkat kuliah) dan malam hari (pada waktu
belajar, mengerjakan tugas, atau persiapan ujian).
Gambar 7 berikut ini, menunjukkan pola makan mie instan
berdasarkan kualitas, yaitu konsumsi mie saja atau kombinasi
dengan nasi dan/atau lauk (daging, telor, dan/atau sayur).
MIE INSTAN
MIE INSTAN, NASI, LAUK MIE INSTAN & LAUK
Gambar 7. Pola Makan Mie Instan Berdasarkan Kualitas Dalam
Segitiga Kuliner
Pola 4 Pola 5
Pola 6
25
Pola 1A
Pola 3A, 3B Pola 2B
Dari gambar 8 nampak bahwa pola A, B, dan C berhubungan
dalam bentuk segitiga. Artinya, hubungan itu menunjukkan adanya
kaitan antara mie instan (sebagai makanan utama atau pendamping)
dengan nasi (sebagai makanan utama, dan bisa juga pendamping,
tergantung posrsinya), serta lauk (daging, telor, dan/atau sayur)
sebagai pendamping. Untuk analisis yang lebih detil, maka Gambar
6 akan digabung dengan Gambar 7 (lihat Gambar 8).
PAGI
SIANG MALAM
Gambar 8. Pola Makan Mie Instan Berdasarkan Waktu dan
Kualitas Dalam Segitiga Kuliner
Gambar 8 menunjukkan bahwa pola makan mie instan pada
pagi dan malam, siang dn malam, serta malam hari merupakan
pola konsumsi yang dominan. Artinya, mahasiswa yang
kebanyakan kost, lebih sering makan mie instan pada ketiga
waktu itu. Konsumsi mie instan itu terutama intensif pada waktu
aktivitas mahasiswa meningkat, yaitu pada waktu belajar,
menyelesaikan tugas, maupun persiapan ujian.
E. Perubahan Pola Makan
Pola makan mie instan, terutama pada mahasiswa kost,
meningkat sejalan dengan aspek positif mie instan, yaitu mudah,
cepat, murah, dan praktis, sehingga tidak mengganggu aktivitas
mereka. Beberapa mahasiswa mengemukakan bahwa kebiasaan
Pola 4A Pola 5A, 5B
Pola 6A, 6C
26
itu memang sudah terjadi pada waktu mereka masih ikut orang
tua, dan ketika mereka kost kebiasaan itu masih dilakukan,
bahkan lebih intensif. Hal ini berkaitan dengan selera atau pilihan
pribadi mahasiswa serta fungsi praktisnya mie instan. Dalam hal
ini Foster dan Anderson (1988: 315) mengemukakan bahwa
kesukaan pribadi merupakan kenyataan lain yang juga membatasi
keragaman makanan yang dikonsumsi. Hal ini bertolak belakang
dengan anggapan bahwa tidak ada seorangpun dalam setiap
kelompok masyarakat yang tidak mau menikmati segala sesuatu
kebutuhan (makanan) yang tersedia dan dapat disediakan.
Pengalaman dan pembelajaran seseorang sejak masa kecil hingga
dewasa akan banyak mempengaruhi selera makannya, dan tidak
semua makanan yang dikenalnya dalam kebudayaannya
merupakan kesukaan pribadinya.
Foster dan Anderson (1988: 315) juga menjelaskan bahwa
karena kebiasaan makanan telah terbukti merupakan yang paling
menentang perubahan di antara semua kebiasaan. Apa.yang kita
sukai dan tidak kita sukai, kepercayaan-kepercayaan kita
terhadap apa yang dapat dimakan dan yang tidak dapat dimakan,
dan keyakinan-keyakinan kita dalam hal makanan yang
berhubungan dengan keadaan kesehatan dan penanggalan ritual,
telah ditanamkan sejak usia muda. Hanya dengan sangat susah
payah orang dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan kebiasaan
makan sejak usia muda, untuk memulai dengan makanan yang
sama sekali berlainan. Karena kebiasaan makan, seperti semua
kebiasaan, hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya yang
menyeluruh. Perbaikan kebiasaan makan harus didasarkan atas
pengertian tentang makanan sebagai pranata sosial yang
memenuhi banyak fungsi. Para ahli antropologi memandang
kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak-
memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan lokal,
kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan, dan tahayul-
27
tahayul yang berkaitan dengan produksi, persiapan dan konsumsi
makanan, yang merupakan kategori budaya yang penting.
Makanan sebagai sistem budaya merupakan kegiatan
ekspresif, yang berkaitan dengan aspek sosial, peranan simbolik,
ekonomi, agama dan kepercayaan, serta sanksi. Makanan sebagai
sistem budaya mencakup masalah: konsep makanan, kesukaan
pribadi, nafsu makan dan rasa lapar, klasifikasi makanan,
peranan simbolik dari makanan (Foster dan Anderson 1986: 313-
322; Kalangi 1985: 46-50).
Secara budaya, terdapat aturan dan nilai mengenai makanan,
yang meliputi: pemilihan bahan makanan, konsep makanan,
waktu makan, jenis makanan, dan etiket makan. Pola makan pada
waktu tertentu membentuk penyesuaian fisiologis yang
melahirkan reaksi berupa rasa lapar pada saat itu. Pola makan
yang diatur secara budaya ini akan membentuk penyesuaian
fisiologis, yang memunculkan reaksi, yaitu berupa nafsu makan
dan rasa lapar, yang keduanya berbeda namun berhubungan.
Nafsu makan, yang merupakan konsep budaya yang berbeda-beda
pada tiap masyarakat, muncul sebagai akibat reaksi fisiologiss.
Rasa lapar merupakan keadaan tubuh yang tidak mendapat
nutrimen yang diperlukan, sehingga menimbulkan keadaan
fisiologis pada saat makan.
Setiap masyarakat, dengan menggunakan kebudayaannya,
mampu mengenal berbagai klasifikasi makanan. Dasar klasifikasi
makanan itu antara lain adalah: jenis, kuantitas, kualitas, cara
penyiapan, maupun penyajian. Contoh cara klasifikasi makanan
adalah: (1) makanan pagi, makanan kecil/ringan, dan makanan
lengkap, (2) makanan sehari-hari dan makanan pesta/upacara, (3)
makanan atas dasar usia dan kelamin, (4) makanan sesuai
keadaan sehat, sakit, dan perawatan kuratif; (5) makanan yang
dianggap baik untuk kesehatan dan tidak baik bagi semua
28
kelompok usia, (6) pembedaan antara makanan pokok dengan
lauk-pauk, (7) makanan yang disuguhkan dalam keadaan segar
(mentah) dan yang harus dimasak, (8) makanan yang dapat
disuguhkan baik dalam bentuk segar maupun dimasak, dan (9)
kualitas makanan panas dan dingin.
Makanan secara budaya dapat merupakan ungkapan ikatan
kehidupan sosial, karena perolehan (produksi) makanan itu tidak
dapat dilakukan secara individual. Secara sosial, makanan
merupakan ungkapan kasih sayang, perhatian, maupun
persahabatan. Budaya balas-membalas dalam pemberian dan
penerimaan makanan merupakan ungkapan ikatan sosial yang
tidak dapat diremehkan. Dalam kehidupan bermasyarakat,
menawarkan makanan ataupun minuman dapat dianggap sebagai
tawaran kasih sayang, perhatian, dan persahabatan. Orang yang
menerima makanan yang ditawarkan itu akan mengakui dan
menerima perasaan yang diungkapkan dan untuk membalasnya.
Sebaliknya, tidak memberi makanan atau gagal menawarkan
makanan dalam konteks budaya, dapat dianggap sebagai
menyatakan kemarahan atau permusuhan. Demikian pula,
menolak makanan yang ditawarkan dapat dianggap menolak
tawaran kasih sayang atau persahabatan, dan mengungkapkan
permusuhan terhadap si pemberi. Hal ini dapat diungkapkan
dalam peribahasa "menggigit tangan yang memberi makanan."
Orang seringkali merasa tenteram bila makan bersama dengan
teman-teman dan orang-orang yang disayangi.
Makanan dapat berperan sebagai cara untuk
mempertahankan ikatan keluarga dan persahabatan. Idealnya,
paling sedikit adalah makan bersama, berkumpul di meja besar,
yang melambangkan keakraban keluarga. Makanan seringkali
dihargai sebagai lambang-lambang identitas suku bangsa atau
nasional.
29
Makanan secara khusus dapat merupakan cerminan
identitas dari yang memakannya, melebihi benda-benda budaya
lainnya. Makanan dapat memberi rasa tenteram dalam keadaan
yang menyebabkan stres. Orang desa yang hidup di kota tetap
melanjutkan pola makan mereka seperti yang mereka lakukan di
tempat asalnya. Nilai keamanan psikologis dari makanan juga
dibuktikan dengan suatu kecenderungan umum untuk makan
melebihi biasanya dan makan makanan kecil di antara waktu
makan, apabila seseorang merasa tidak bahagia atau mengalami
keadaan stres yang berat.
Sikap terhadap makanan sering mencerminkan persepsi
seseorang tentang bahaya maupun perasaan stres. Praktek
memberi makanan yang “dipanaskan” atau “didinginkan”,
khususnya dalam kondisi-kondisi klinis tertentu, dapat
merupakan salah satu bentuk teknik keseimbangan ini. Demikian
pula dalam menghindari makanan tertentu, tanpa disadari
merupakan suatu teknik magis untuk pengaruh yang mengancam,
yang tidak berhubungan dengan gizi.
F. Analisis Struktural Pola Makan
Berdasarkan deskripsi ketiga pola makan di atas, dapat
dianalisis dengan menggunakan dua model. Pertama, model
oposisi makanan, yang dibedakan atas tiga oposisi, yaitu: (1)
endogenous/exogenous, yaitu kandungan bahan-bahan nasional
lawan eksotik; (2) central/peripheral, yaitu makanan utama lawan
makanan pengiring; dan (3) marked/not-marked, yaitu yang
beraroma keras lawan lembut. Sesudah itu, dibuat konstruksi
sebuah matrik (lihat Matrik 2), yang memuat tanda plus (+) dan
minus (-) berdasarkan masing-masing oposisi di dalam sistem yang
bersangkutan. Untuk dapat dianalisis dengan tanda (+) dan (-), maka
oposisi harus dipisah menjadi dua bagian, agar memudahkan dalam
menganalisis.
30
Matrik 2. Oposisi Makanan Endogeneus, Central, dan Marked
Cuisine Pagi Siang Malam
Endogenous - + -
Central + - +
Marked + - +
Dari Matrik 2 nampak bahwa terdapat perbedaan bentuk
hubungan. Pola makan dengan tanda (+) yang warna hijau
menunjukkan adanya kesamaan antara waktu dan kualitas makan
dalam hal central dan marked. Keduanya sebagai makanan utama
dan beraroma keras, yang diperkuat oleh adanya bahan makanan
yang beraroma keras (ketumbar, merica). Untuk oposisi (-) berwarna
kuning menunjukkan bahwa terdapat kesamaan waktu pola makan
mie instan dalam hal endogeneus, sedangkan kualitas pola makan
mie instan berbeda karena menunjukkan endogeneus yang (+). Hal
ini menunjukkan bahwa mie instan merupakan makanan olahan
pabrik yang sifat (bahan) lokalnya sangat kuat dan banyak pilihan
sesuai dengan selera konsumen.
Matrik 3. Oposisi Makanan Exogeneus, Peripheral, dan Not-
Marked
Cuisine Pagi Siang Malam
Exogenous + - +
Peripheral - + -
Not-Marked - + -
Matrik 3 menunjukkan kebalikan dari Matrik 2. Mie instan
merupakan jenis pengolahan (pabrik) yang kompleks, baik bahan
31
maupun pengolahannya, sehingga mempunyai nilai exogeneus yang
(+). Kedua jenis pola makan yang sering dipakai untuk bermacam
keperluan ini juga sama-sama menunjukkan peripheral dan not-
marked yang (-). Hal ini menunjukkan adanya ciri mie instan
sebagai makanan utama maupun pendamping yang sangat kuat
aromanya, yaitu gurih dan pedas. Mie instan sebagai makanan
pengiring merupakan pola makan yang umum terjadi, yang
ditunjukkan dengan peripheral atau pola makan pengiring (+) dan
Not-Marked atau beraroma lembut (+).
32
BAB 7
KESIMPULAN
Data hasil wawancara pada mahasiswa antropologi, didapat
variasi pola makan mie instan berdasarkan waktu dan kualitas.
Ada 6 variasi pola makan mie instan menurut waktu, yaitu: (1) pagi,
(2) siang, (3) malam, (4) pagi dan siang, (5) pagi dan malam, dan (6)
pagi, siang, dan malam. Di samping itu juga terdapat 3 variasi pola
makan mie instan menurut kualitas makanan, yaitu: (A) mie instan
saja, (A) mie instan, nasi, dan/atau lauk, dan (A) mie instan dan
lauk. Lauk di sini bisa berupa sayur, daging, dan/atau telur.
Pola makan pagi adalah pola 1, siang pola 2, dan malam pola
3. Hal ini menunjukkan bahwa makan mie instan disesuaikan
dengan kebutuhan atau aktivitas mahasiswa. Kebanyakan
mahasiswa makan mie instan pada pagi (sebelum berangkat kuliah)
dan malam hari (pada waktu belajar, mengerjakan tugas, atau
persiapan ujian). Pola A, B, dan C berhubungan dalam bentuk
segitiga. Artinya, hubungan itu menunjukkan adanya kaitan antara
mie instan (sebagai makanan utama atau pendamping) dengan nasi
(sebagai makanan utama, dan bisa juga pendamping, tergantung
posrsinya), serta lauk (daging, telor, dan/atau sayur) sebagai
pendamping.
Pola makan mie instan pada pagi dan malam, siang dan
malam, serta malam hari merupakan pola konsumsi yang dominan.
Artinya, mahasiswa yang kebanyakan kost, lebih sering makan mie
instan pada ketiga waktu itu. Konsumsi mie instan itu terutama
intensif pada waktu aktivitas mahasiswa meningkat, yaitu pada
waktu belajar, menyelesaikan tugas, maupun persiapan ujian. Pola
makan mie instan, terutama pada mahasiswa kost, meningkat
sejalan dengan aspek positif mie instan, yaitu mudah, cepat,
murah, dan praktis, sehingga tidak mengganggu aktivitas mereka.
33
Beberapa mahasiswa mengemukakan bahwa kebiasaan itu memang
sudah terjadi pada waktu mereka masih ikut orang tua, dan ketika
mereka kost kebiasaan itu masih dilakukan. Hal ini berkaitan
dengan selera atau pilihan pribadi mahasiswa.
Kebiasaan makanan telah terbukti merupakan yang paling
menentang perubahan di antara semua kebiasaan. Kesukaan pribadi
merupakan kenyataan lain yang juga membatasi keragaman
makanan yang dikonsumsi. Dalam konteks sosial-budaya, makanan
merupakan produk budaya yang dapat didistribusikan pada
berbagai masyarakat. Makanan sebagai sistem budaya merupakan
kegiatan ekspresif, yang berkaitan dengan aspek sosial, peranan
simbolik, ekonomi, agama dan kepercayaan, serta sanksi.
Terdapat perbedaan bentuk hubungan antara kualitas makan
dengan waktu dan aroma. Pola makan dengan tanda (+) yang warna
hijau menunjukkan adanya kesamaan antara waktu dan kualitas
makan dalam hal central dan marked. Keduanya sebagai makanan
utama dan beraroma keras, yang diperkuat oleh adanya bahan pola
makan yang beraroma keras (ketumbar, merica). Hal ini
menunjukkan bahwa mie instan merupakan makanan olahan pabrik
yang sifat (bahan) lokalnya sangat kuat dan banyak pilihan sesuai
dengan selera konsumen.
Mie instan merupakan jenis pengolahan (pabrik) yang
kompleks, baik bahan maupun pengolahannya, sehingga
mempunyai nilai exogeneus yang (+). Kedua jenis pola makan yang
sering dipakai untuk bermacam keperluan ini juga sama-sama
menunjukkan peripheral dan not-marked yang (-). Hal ini
menunjukkan adanya ciri mie instan sebagai makanan utama
maupun pendamping yang sangat kuat aromanya (gurih). Mie instan
sebagai makanan pengiring merupakan pola makan yang umum
terjadi, yang ditunjukkan dengan peripheral atau pola makan
pengiring (+) dan not-marked atau beraroma lembut (+).
34
DAFTAR PUSTAKA
Foster, George M. dan Barbara G. Anderson
1986 Antropologi Kesehatan. Penerjemah Priyanti Pakan
Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono. Jakarta: UI
Press.
Jerome, N.W., R.F. Kandel, dan G.H. Pelto, eds.
1980 Nutritional Antropology. New York: Redgrave.
Kalangi, Nico S.
1985 "Makanan sebagai suatu Sistem Budaya: Beberapa Pokok
Perhatian Antropologi Gizi". Dalam Koentjaraningrat dan
A.A. Loedin, (eds.), Ilmu-ilmu Sosial Dalam Pembangun-
an Kesehatan. Jakarta: Gramedia, hal. 42-53.
Kardjati, Sri, J.A. Kusin, dan C. de With
1977 East Java Nutrition Studies. Report I: Geographical
Distribution and Prevalence of Nutritional Deficiency
Diseases in East Java, Indonesia. Surabaya: School of
Medicine, University Airlangga.
Leach, Edmund
1985 Levi-Strauss. London: Fontana.
Levi-Strauss, Claude
1967 Structural Anthropology. New York: Doubleday.
1970 The Raw and the Cooked. New York: Harper & Row.
Lie Goan Hong
1985 "Pola Makan di Indonesia". Dalam Sri Karjati, Anna
Alisyahbana, dan J.A. Kusin, (eds.), Aspek Kesehatan
dan Gizi Anak Balita. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
ha173-86.
Lowenberg, Miriam E., et a1.
1970 Food and Man. New York: John Wiley & Sons.
Martianto, Drajat dan Mewa Ariani
2004 "Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi
Pangan Masyarakat Indonesia Dalam Dekade Terakhir".
Makalah disampaikan pada Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi, tangga117-19 Mei 2004 di Hotel
Bidakara, Jakarta.
Melalatoa, M. Junus, (ed.)
1997 Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: Pamator.
35
Sediaoetama, Achmad Djaelani
1989 Ilmu Gizi. Jilid II. jakarta:Dian Rakyat.
Suhardjo
1995 "Mewaspadai Pergeseran Pola Konsumsi Pangan
Penduduk Perkotaan". Dalam Pangan, 22(6). Jakarta:
Bulog.
Saptandari, Pinky
2004 Analisis Sosial-Budaya Gizi dan Kesehatan Masyarakat
Jawa Timur. Makalah disusun sebagai persyaratan
peserta Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) ke
VIII, tanggal 17-19 Mei di Hotel Bidakara, Jakarta.
36
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pedoman Wawancara
1. Biodata subyek penelitian
2. Tingkat intensitas makan mie (kuantitas, kualitas, dan waktu)
3. Efek yang dirasakan oleh tubuh setelah makan mie
4. Riwayat kesehatan subyek penelitian
5. Pengetahuaan subyek penelitian tentang :
1. Bahaya mie instan
2. Komposisi mie instan
3. Cara pengolahan mie instan
6. Nilai-nilai
7. Kepercayaan
8. Alasan mengapa suka mie instan
9. Makanan sehari-hari selain mie instan
10. Keuntungan makan mie instan
----- @ -----