Rinda Aulia Utami Penyakit PPOK

12
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) 1. Definisi penyakit dan manifestasi klinik PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif non reversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK. 2. Klasifikasi Diagnosis PPOK PPOK dapat diklasifikasikan kedalam 4 stadium, yaitu : Stadium 1: Ringan Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa fungsi paru mengalami penurunan. Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP < 70% dan VEP1 ≥80% nilai prediksi. Stadium 2: Sedang Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum.Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya. Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP <70% dan VEP1 50% -80 % nilai prediksi Stadium 3 : Berat Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup

Transcript of Rinda Aulia Utami Penyakit PPOK

Page 1: Rinda Aulia Utami Penyakit PPOK

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive

Pulmonary Disease (COPD)

1. Definisi penyakit dan manifestasi klinik

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran

udara di saluran napas yang bersifat progressif non reversibel atau reversibel

parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan

keduanya.

Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk

kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya

dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.

Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh

pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan

dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis

kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita

asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel

penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.

2. Klasifikasi Diagnosis PPOK

PPOK dapat diklasifikasikan kedalam 4 stadium, yaitu :

Stadium 1:

Ringan Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering.

Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa fungsi paru

mengalami penurunan. Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP < 70%

dan VEP1 ≥80% nilai prediksi.

Stadium 2:

Sedang Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan

gejala batuk dan produksi sputum.Pada derajat ini biasanya pasien mulai

memeriksakan kesehatannya. Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP

<70% dan VEP1 50% -80 % nilai prediksi

Stadium 3 :

Berat Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan

eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup

Page 2: Rinda Aulia Utami Penyakit PPOK

pasien.Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP < 70% dan VEP1 30%

- 50% nilai prediksi.

Stadium 4 :

Sangat Berat Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal

jantung kanan dan ketergantungan oksigen.Pada derajat ini kualitas hidup

pasien memburuk dan jikka eksaserbasi dapat mengancam jiwa. Hasil

spirometri menunjukkan VEP1 / KVP < 70% dan VEP1 < 30% nilai

prediksi atau VEP1< 50% nilai prediksi disertai gagal napas

kronik.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011)

3. Goal dan Terapi

Tujuan terapi PPOK adalah untuk mengetahui tingkat pembatasan

aliran udara, dampak penyakit terhadap status kesehatan pasien,

menurunkan persentase pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi yang

membutuhkan gawat darurat evaluasi atau penerimaan rumah sakit, dan

mengurangi resiko kematian (Vogelmeier et al., 2017).

Terapi non farmakologi :

1. Penghentian merokok. Berhenti merokok telah terbukti mencegah

penurunan fungsi paru.

2. Larangan kepada pengunjung atau tenaga kesehatan untuk tidak

merokok saat mengunjungi pasien.

3. Mengatur asupan nutrisi pasien.

4. Menyerankan pasien untuk melakukan olahraga ringan secara rutin.

Olahraga ringan akan memperbaiki kesehatan pernafasan

pasien.(Abraham & Symons, 201

Terapi farmakologi

1. Bronkodilator ; diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga

jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat

penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak

dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat

diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat

berefek panjang (long acting).

Page 3: Rinda Aulia Utami Penyakit PPOK

Golongan antikolinergik (first line), digunakan untuk derajat

ringan sampai berat dan mengurangi sekresi lendir. Disamping

digunakan sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir

(maksimal 4 kali per hari), contoh :Ipratropium.

Golongan agonis beta-2, untuk mengatasi sesak, peningkatan

jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya

eksaserbasi. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,

peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor

timbulnya eksaserbasi. Bentuk tablet baik digunakan sebagai

obat pemeliharaan dengan berefek lebih panjang. Bentuk

nebulizer dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut,

tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk

injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

Contoh: sorth-acting (salbutamol, terbutalin) dan long-acting

(salmeterol, formoterol).

Golongan xantin, sebagai pengobatan pemeliharaan jangka

panjang, terutama derajat sedang dan berat. Contoh: teofilin dan

aminofilin.

Golongan kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2, akan

memperkuat efek bronkodilator karena tempat kerja yang

berbeda.

2. Antiinflamasi, digunakan jika terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk

oral atau injeksi iv, berfungsi menekan inflamasi. Dipilih golongan

metilprednisolon atau prednisolon.

3. Antibiotik, diberikan jika terdapat infeksi. Lini I (amoksisilin,

makrolida) dan lini II (amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin,

kuinolon dan makrolid baru).

4. Antioksidan, mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas

hiudp, digunakan N-asetilsistein.

5. Mukolitik, diberikan pada eksaserbasi akut terutama pada bronkitis

kronik dengan sputum yang viscous.

6. Antitusif, diberikan dengan hati-hati

Page 4: Rinda Aulia Utami Penyakit PPOK

7. Oksigen, untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah

kerusakan sel baik otot maupun organ-organ lainnya.

Penatalaksanaan PPOK

A. Antikolinergik

1. Mekanisme kerja, memblok reseptor muskarin dari saraf-saraf kolinergis

di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf adrenergis menjadi dopamin

dengan efek bronchodilatasi.

2. Obat dan Indikasi

Contoh: ipratropium, tiotropium, dan deptropin.

Page 5: Rinda Aulia Utami Penyakit PPOK

Indikasi: penggunaan terutama untuk terapi pemeliharaan HRB, tetapi juga

berguna untuk meniadakan serangan asma akut (melalui inhalasi dengan

efek pesat).

Ipratropium dan tiotropium : khusus digunakan sebagai inhalasi,

kerjanya lebih panjang daripada salbutamol. Kombinasinya dengan β2-

mimetika sering kali digunakan karena menghasilkan efek aditif.

Deptropin (brontin) : berdaya mengurangi HRB tetapi kerja

spasmolitisnya ringan, sehingga diperlukan dosis tinggi dengan resiko

efek samping ynag lebih tinggi pula.

3. Interaksi

Ipratropium dan tiotropium: Antimuskarinik: harus diperhatikan bila

digunakan bersamaan karena berpotensi untuk terjadinya interaksi.

Kombinasi albuterol dan inhaler ipratropium harus diperhatikan bila

digunakan bersamaan dengan obat golongan beta adrenergik yang lain

karena meningkatkan risiko efek samping pada kardiovaskular. Secara

teori, interaksi dengan alkaloid belladona dapat meningkatkan efek

antikolinergik; dengan Cisaprid dapat menghilangkan atau

menurunkan efikasi Cisaprid; dengan makanan, ada beberapa bentuk

sediaan mengandung soya lecithin. Jangan diberikan pada pasien yang

alergi terhadap soya lecithin atau kedelai atau kacang. Betelnut

kemungkinan dapat menurunkan efek antikolinergik.

4. Kontra Indikasi

Ipratropium dan tiotropium : hipersensitif pada ipratropium, atropin

(beserta derivatnya).

5. Efek samping obat

Ipratropium dan tiotropium: pusing, dispepsia, mual, ISK, dipsnea,

rinitis, reaksi anafilaksis, angioedema, bronkospasme, glaukoma,

hipersensitifitas, hipotensi, palpitasi, stomatitis, takikardi.

6. Monitoring efek samping obat

Ipratropium dan tiotropium:-

Page 6: Rinda Aulia Utami Penyakit PPOK

7. Cara penggunaan

Ipratropium dan tiotropium: mengocok inhaler, jika penggunaan

pertama maka semprotkan ke udara terlebih dahulu untuk memastikan

tidak tersumbat, kemudian tarik nafas keluarkan lagi, lalu letakkan

inhaler pada mulut, semprotkan dan tarik nafas. Tunggu sampai 30

detik dan buang nafas. Terakhir tutup lagi inhalernya dan berkumur-

kumur.

8. Monitoring efek terapi

Ipratropium dan tiotropium: teknik penggunaan inhaler yang tepat,

pengurangan gejala bronkospasme

9. Dosis/ aturan pakai

Ipratropium dan tiotropium: nebulization (anak ≤ 12 tahun: 500 mcg

(1 vial untuk 1 dosis) 3-4 kali sehari; oral inhalasi MDI (> 12 tahun: 2

inhalasi 4 kali sehari, sampai 12 inhalasi/hari).

B. Agonis β-2

1. Mekanisme kerja, melalui stimulasi reseptor β-2 yang banyak terdapat

di trachea (batang tenggorokan) dan bronchi, yang menyebabkan

aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan

adenosintrifosfat (ATP) yang kaya enersi menjadi cyclic-adenosine-

monophosphate (cAMP) dengan pembebasan enersi yang digunakan

untuk proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam

sel menghasilkan beberapa efek melalui enzim fosfokinase, antara lain

bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh mastcell.

2. Obat dan indikasi

Contoh: sorth acting (salbutamol, terbutalin), long acting (salmeterol,

formoterol).

Indikasi: Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,

peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya

eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk

tablet yang berefek panjang. Bentuk nebulizer dapat digunakan untuk

mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka

Page 7: Rinda Aulia Utami Penyakit PPOK

panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi

eksaserbasi berat.

3. Interaksi, meningkatkan efek toksik (berinteraksi dengan obat-obat

Loop diuretik, sympathomimetics, diuretik thiazide); menurunkan efek

terapi (berinteraksi dengan obat-obat golongan β-Blocker, betahistine).

4. Kontra indikasi, hipersensitif pada komponen albuterol, salmeterol;

takiaritmia, risiko terjadi kegugurann pada trismester kedua.

5. Efek samping obat: palpitasi, takikardia, insomnia, angioedema,

urtikaria, hiperglikemia, diare, mulut kering, dispepsia, mual, muntah,

asma eksaserbasi, anafilaksis, reaksi alergi, ansietas, bronkospasme.

6. Monitoring efek samping obat: berhubungan dengan usia pasien, dosis,

rute pemberian.

7. Cara penggunaan: sama dengan inhaler

8. Monitoring efek terapi: FEV, peak flow, tes fungsi pulmonary

9. Dosis/ aturan pakai

Salmeterol (dewasa pemeliharaan: 50 mcg setiap 12 jam)

Terbutalin (2-3 kali sehari 2,5-5 mg, inhalasi 3-4 kali sehari 1-2

semprotan dari 250 mcg, maksimal 16 puff sehari)

Salbutamol (3-4 kali sehari 2-4 mg, inhalasi 3-4 kali sehari 2

semprotan dari 100 mcg, pada serangan akut 2 puff yang dapat

diulang sesudah 15 menit. Pada serangan hebat i.m atau s.c 250-

500 mcg, yang dapat diulang sesudah 4 jam).

C. Antiinflamasi (golongan kortikosteroid)

1. Mekanisme kerja: menghambat mekanisme kegiatan alergen yang

melalui IgE dapat menyebabkan degranulasi mastcells, juga

meningkatkan kepekaan reseptor β2 hingga efek β-mimetika diperkuat

2. Obat dan indikasi: prednison, prednisolon. Memiliki indikasi untuk

eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi

menekan inflamasi yang terjadi.

3. Interaksi: meningkatkan efek toksik (digunakan bersamaan dengan

obat-obat golongan inhibitor asetil kolinesterase, amfoterisin B,

siklosporin, Loop diuretik, natalizumab, diuretik tiazide, warfarin,

Page 8: Rinda Aulia Utami Penyakit PPOK

agen antifungi), menurunkan efek terapi (digunakan bersamaan dengan

obat-obat golongan agen antidiabetik, isoniazid, antasida,

aminolgikosida, fenitoin, derivat rifampisin)

4. Kontara indikasi: hipersensitifitas terhadap komponen formulanya,

infeksi jamur sistemik, pada pasien yang diberikan vaksin dengan

dosis imunosupresif prednison

5. Efek samping obat: reaksi alergi, glaukoma, pankreatitis, toleransi

karbohidrat, eritema, urtikaria, kongestif gagal ginjal, vertigo

6. Monitoring efek samping obat: tekanan intraokular pada penggunaan >

6 minggu, formasi katarak

7. Cara penggunaan: oral dan injeksi intravena

8. Monitoring efek terapi: tanda dan gejala dari infeksi, dilakukan tes

HPA

9. Dosis/ aturan pakai: prednison (5-60 mg/ hari)

D. Kombinasi antikolinergik dan agonis β-2

1. Mekanisme kerja: memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya

mempunyai tempat kerja yang berbeda. Memberikan pelepasan

ipratropium bromida dan salbutamol sulfat secara bersamaan dimana

efek aditif pada reseptor muskarinik dan adrenergik β-2 pada paru

menghasilkan bronkodilatasi yang lebih baik dari masing-masing obat

2. Obat dan indikasi:

Contoh obat: Combivent

Indikasi: pengobatan bronkospasme yang berhubungan dengan

penyakit penyumbatan paru kronis sedang sampai berta pada pasein

yang memerlukan lebih dari satu bronkodilator

3. Interaksi: pemberian bersama dengan derivat xantin, adrenergik β yang

lain dan antikolinergik mungkin memperberat efek samping

4. Kontra indikasi: hipertrofi obstruksi kardiomiopati, takiaritmia.

Hipersensitif terhadap salah satu komponen obat baik atropin ataupun

derivatnya

5. Efek samping obat: seperti pada agonis β-2

Page 9: Rinda Aulia Utami Penyakit PPOK

6. Monitoring efek samping obat: batuk, iritasi lokal dan jarang ditemui

adanya bronkokonstriksi

7. Cara penggunaan:arutan inhalasi combivent UDV dapat diberikan

melalui nebulizer yang sesuai atau “intermitten positif pressure

ventilator”

8. Monitoring efek terapi: berkurangnya sesak napas

9. Dosis/ aturan pakai: dewasa (1 vial dosis unit, diberikan dengan

nebulisasi dan inhalasi 3-4 kali sehari)

E. Terapi oksigen

1. Mekanisme kerja: memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan

yang mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang

rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2 > 60 mmHg atau Sat

O2 > 90%.

2. Obat dan indikasi

Contoh: Oksigen

Indikasi: pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting

untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel

baik di otot maupun organ-organ lainnya.

Pao2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90%

Pao2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,

perubahan Pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan,

sleep apnea, penyakit paru lain.

3. Interaksi: merokok

4. Kontra indikasi

Pasien dengan gangguan jalan napas yang berat dan keluhan utama

dispnue, tapi PaO2 ≥ 60 mmHg dan tidak ada hipoksia kronik

Merokok saat diterapi, sebab meningkatkan risiko kebakaran

Pasien tidak menerima terapi adekuat

5. Efek samping obat: kerusakan paru-paru, kebocoran atau keluarnya

cairan dari telinga bagian dalam, kerusakan di bagian sinus, perubahan

penglihatan menyebabkan rabun jauh atau myopia dan keracunan

Page 10: Rinda Aulia Utami Penyakit PPOK

oksigen yang berakibat pada kegagalan pernapasan, cairan di paru-paru

atau kejang

6. Monitoring efek samping obat: evaluasi ketat hiperkapnia, gunakan

sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan 24%, 28% atau 32%

7. Cara penggunaan

Alat bantu pemberian oksigen

Nasal kanul

Sungkup venturi

Sungkup rebreathing

Sungkup nonrebreathing

Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen

dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut

8. Monitoring efek terapi : analisis gas darah atau pulse oksimetri

F. Antibiotik

Pemberian antibiotik bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan

sebagai first line yaitu:

1. Obat dan indikasi: Amoksisilin golongan penisilin, yang memiliki

indikasi sebagai infeksi saluran napas

2. Mekanisme kerja: menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan

mengikat satu atau lebih pada ikatan penisilin protein (PBPs - protein

binding penisilin’s), sehingga menyebabkan penghambatan pada

tahapan akhir trans peptidase sintesis peptidoglikan dalam dinding sel

bakteri, akibatnya biosintesis dinding sel terhambat, dan sel bakteri

menjadi pecah (lisis).

3. Efek samping: mual, muntah, ruam, sakit kepala

4. Kontra indikasi: jangan menggunakan obat ini pada pasien yang

memiliki riwayat hipersensitif (alergi) pada amoksisilin dan antibiotik

betalaktam lainnya seperti penisilin dan sefalosporin

5. Cara penggunaan: per oral

6. Dosis: 500 mg setiap 8 jam. Minimal 10 hari dapat sampai 2 minggu

Page 11: Rinda Aulia Utami Penyakit PPOK

G. Mukolitik

Pemberian mukolitik terutama pada eksaserbasi akut karena akan

mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik

dengan sputum yang viscous.

1. Obat dan Indikasi: Glycerylguaicolat, mengurangi produk sputum yang

tidak normal

2. Mekanisme kerja: mengencerkan dahak pada saluran nafas sehingga

mempermudah pengeluaran dahak

3. Efek samping: mual dan muntah

4. Kontra indikasi: hipersensitivitas terhadap produk guaifenesin

5. Cara penggunaan: per oral

6. Dosis: 200-400 mg setiap 4 jam, dosis maksimum 2400mg/ hari

H. Antitusif

1. Obat dan indikasi: dekstrometorfan HBr, yang memiliki indikasi

sebagai penekan batuk atau meredakan batuk

2. Mekanisme kerja: menekan pusat batuk di otak, meringankan batuk

kering

3. Efek samping: mengantuk, pusing, mual, muntah

4. Kontra indikasi: -

5. Cara penggunaan: per oral

6. Dosis: 10-20 mg, 3 kali sehari 1 tablet

I. Golongan xantin

Aminophylline

1. Contoh obat : aminophylline

2. Mekanisme kerja: aminophylline bekerja sebagai antispasmodik,

bronchodilator. Aminophyline didalam lambung akan terhidrolisa

menjadi teofilin, efek bronchodilator diperlihatkan dengan merealisasi

otot bronchial

3. Dosis: dewasa 100-200 mg, 3 kali sehari

4. Efek samping: iritasi saluran gastrointestinal, sakit kepala, mual,

muntah dan gugup, insomnia, palpitasi, takikardia, aritmia verticular

tachypnea

Page 12: Rinda Aulia Utami Penyakit PPOK

5. Kontra indikasi: hipersensitivitas terhadap teofilin dan ethylendiamine

Teofilin

1. Indikasi: obstruksi saluran napas reversibel, asma akut berat

2. Mekanisme kerja: teofilin merupakan turunan metilxantin yang

mempunyai efek antara lain merangsang susunan saraf pusat dan

melemaskan otot polos, terutama bronkus

3. Dosis: dewasa 3 kali sehari 1 kapsul/ 15 ml

4. Efek samping: susunan saraf pusat, seperti: sakit kepala, insomnia.

Kardiovaskuler, seperti: palpitasi, takikardia, aritmia ventrikuler.

Pernapasan, seperti: tachypnea, rash, hiperglikemia. Gastrointestinal,

seperti: mual, muntah, diare.

5. Kontra indikasi: hati-hati penggunaan pada pasien dengan penyakit

jantung, hipertensi, hipertiroid, ulkus lambung, epilepsi, lanjut usia.

J. Antioksidan

Pemberian antioksidan dapat mengurangi eksaserbasi dan

memperbaiki kualitas hidup.

1. Obat dan indikasi

Contoh obat: Asetylsistein

Indikasi: terapi hipersekresi mukus kental dan tebal pada saluran

pernapasan

2. Mekanisme kerja, mencairkan dahak yang liat dengan jalan

memutuskan jembatan disulfida, sehingga rantai panjang antara

mukoprotein-mukoprotein panjang terbuka dan lebih mudah

dikeluarkan melalui batuk

3. Dosis: nebulasi 1 ampul, 1-2 kali sehari selama 5-10 hari

4. Efek samping: pada penggunaan sistemik, menimbulkan reaksi

hipersensitif seperti urtikaria dan bronkospasme (jarang terjadi). Pada

penggunaan aerosol, iritasi nasofaringetal dan saluran cerna seperti

pilek (rinore), stomatitis, mual, muntah

5. Kontra indikasi: hipersensitif terhadap N-asetilsistein