rhinosinusitis akut dan kronik

download rhinosinusitis akut dan kronik

of 37

description

rhinosinusitis akut dan kronik

Transcript of rhinosinusitis akut dan kronik

BAB IPENDAHULUAN

I.1 Latar BelakangRinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran finansial masyarakat.1,2 Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis.1,2 Rinosinusitis dibagi menjadi kelompok akut, subakut dan kronik.2 Berdasarkan data dari National Health Interview Survey 1995, sekitar 17,4 % penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) pernah mengidap sinusitis dalam jangka waktu 12 bulan.3 Dari survei yang dilakukan, diperkirakan angka prevalensi rinosinusitis kronik pada penduduk dewasa AS berkisar antara 13-16 %, dengan kata lain, sekitar 30 juta penduduk dewasa AS mengidap rinosinusitis kronik.1-4 Dengan demikian rinosinusitis kronik menjadi salah satu penyakit kronik yang paling populer di AS melebihi penyakit asma, penyakit jantung, diabetes dan sefalgia.2,4 Kennedy melaporkan pada tahun 1994 adanya peningkatan jumlah kunjungan pasien sinusitis kronik sebanyak 8 juta menjadi total 24 juta pertahun antara tahun 1989 dan 1992.5 Dari Kanada tahun 2003 diperoleh angka prevalensi rinosinusitis kronik sekitar 5 % dengan rasio wanita berbanding pria yaitu 6 berbanding 4 (lebih tinggi pada kelompok wanita).1,3 Berdasarkan penelitian divisi Rinologi Departemen THT-KL FKUI tahun 1996, dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50 % penderita sinusitis kronik.6 Dampak yang diakibatkan rinosinusitis kronik meliputi berbagai aspek, antara lain aspek kualitas hidup ( Quality of Life / QOL ) dan aspek sosioekonomi.1-4 Sejumlah konsensus, guidelines dan position papers yang mencakup epidemiologi, diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis kronik mulai berkembang pada dekade ini.1 Pada tahun 2005 European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) pertama kali dipublikasikan, dipelopori oleh European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI) dan diterima oleh European Rhinology Society.1 Pada tahun 2007, EPOS mengalami revisi seiring dengan meningkatnya perkembangan baru pada patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis dan polip nasi.1Diagnosis rinosinusitis kronik dibuat oleh berbagai bidang ilmu terkait termasuk didalamnya antara lain allergologist, otolaryngologist, pulmonologist, dokter umum dan lainnya, namun keseragaman definisi dan standar diagnosis rinosinusitis kronik belum tercapai.1 Mengingat luasnya cakupan ilmu terkait dengan rinosinusitis kronik, besarnya dampak kesehatan yang diakibatkan terutama bagi kelompok penduduk dewasa usia produktif namun disertai keterbatasan data yang ada, maka perlu dipelajari lebih jauh tentang rinosinusitis kronik tanpa polip nasi. Tujuan makalah ini dibuat adalah untuk menguraikan tentang patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi khususnya pada orang dewasa dengan berdasarkan pada makalah EP3OS 2007.Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis.1Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini.2Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan perjalanan klinis, di bantu pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan sering secara konservatif dengan pengobatan medika mentosa empirik dan bisa meningkat dengan tindakan operatif pada kasus dengan komplikasi atau pada kasus kronis yang gagal dengan pengobatan medika mentosa.1,3Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat dihindari. 1I.2 Tujuan dan ManfaatBerdasarkan latar belakang diatas, dapat diambil beberapa tujuan dan manfaat yang sesuai dengan topik yang akan dibahas. Tujuan dan manfaat yang didapat diantaranya :Tujuan : a. Untuk mengetahui struktur makroskopis dan fisiologi hidungb. Untuk lebih mengetahui dan memahami prosedur diagnosis dan penatalaksanaan rhinosinusitis akut dan kronik.Manfaat : a. Menambah wawasan keilmuan tentang rhinosinusitis akut dan kronik kepada penulis yang sangat bermanfaat bagi pembaca khususnya pada penulis.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

II.1Anatomi Hidung dan Sinus ParanasalII.1.1Anatomi HidungHidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu: sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor), beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum. Pada dinding lateral terdapat: 4 buah konka - konka inferior - konka media - konka superior - konka suprema (rudimenter) kartilago nasalis lateralis superior sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor) beberapa pasang kartilago alar minor tepi anterior kartilago septum. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

II.1.2Anatomi Sinus Paranasal Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung. Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila dan sinus kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk.Pada meatus Meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Fungsi sinus paranasal Membentuk pertumbuhan wajah Sebagai pengatur udara (air conditioning) Peringan cranium Resonansi suara Membantu produksi mukus

II.1.3 VaskularisasiBagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoidalis anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis eksterna. Bagian bawah mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,diantaranya ialah ujung arteri palatine mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,arteri edmoidalis anterior,arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang di sebut pleksus kisselbach.

Gambar 3. Vaskularisasi kavum nasiII.1.4 InnervasiHidung luar diinervasi oleh divisi oftalmika mempercabangkan n. Intocoklearis yang membawa sensasi dari dorsum nasi bagian tulang dan n. Nasalis eksternus yang membawa sensasi atap hidung bagian caudal. Pada kavum nasi dan sinus, N. Ethmoidalis anterior cabang n. Oftalmika membawa sensasi dari kavum nasi bagian antro-superior, septum dan sinus ethmoidalis, N.ethmoidalis posterior membawa sensasi dari cavum nasi posterior dan sinus yang berdekatan, N. Supraorbital dan supratroclear membawa sensasi dari sinus frontalis.Persarafan simpatis berasal dari N. Spinales T1-T2, menuju glandula cervicalis, manuju n. Petrusus propundus bersama-sama dengan n. Superfisial mayor ( canalis vidianus ) membentuk n. Sfenopalatinus yang berfungsi untuk mengecilkan konka. Persarafan parasimpatis berasal dari nucleus salivatorius superior, dibawa oleh n. Petrosus superfisialis mayor, melalui canalis n. Vidianus. bersinapsis pada ganglion sphenopalatina menjadi n. Sphenopalatinus yang berfungsi membengkakan konka misalnya dalam keadaan dingin.

II.1.5 Sistem LimfatikDrainase limfatik bagian luar dan bagian depan dari hidung drainase kearah mandibular limfenodi kemudian bagian atas limfenodi jugulare kemudian menuju limfe nodi retropharyngeal. drainase bagian atas dari rongga hidung berhungan dengan ruangan subarachnoid sekitar nervus olfactorius

II.2 RINOSINUSITIS AKUTII.2.1 DefinisiRinosinusitis akut adalah peradangan pada mukosa rongga hibung dan sinus paranasal yang berlangsung kurang dari 4 minggu dengan atau tanpa disertai cairan sinus. Karena kondisi peradangan selalu meluas ke rongga sinus maka dipakai istilah rinosinusitis daripada sinusitis.

II.2.2 EtiologiBentuk paling sering rinosinusitis akut adalah rinosinusitis viral akut (AVRS). Di Amerika Serikat diperkirakan 39% sampai dengan 87% dari infeksi saluran nafas bagian atas dapat mengakibatkan rinosinusitis viral akut. Rinosinusitis viral akut adalah penyakit yang sembuh sendiri, mungkin sulit dibedakan dengan dengan infeksi saluran nafas atas tanpa sinusitis. Infksi saluran nafas atas dalah faktor resiko utama dalam perkembangan rinosinusitis bakterial akut (ABRS), dengan kurang lebih 0,5% sampai dengan 2% infeksi saluran nafas bagian atas berkembang menjadi infeksi bakterial. Rinosinusitis bakterial akut juga merupakan penyakit yang kemungkinan besar sembuh sendiri dengan sekitar 40% sampai 60% dapat sembuh spontan. Hal ini berdasarkan review sistematik dari penelitian placebo-controlled clinical trials. Akan tetapi terapi antibiotik pada pasien ABRS dapat memperpendek lama timbulnya gejala.

Sejak infeksi viral atau bakterial dapat tumpang-tindih pada manifestasi klinis, hal ini menyebabkan kesulitan untuk membedakan etiologi infeksi tersebut viral atau bakterial. Pada hari kelima perjalanan penyakit, AVRS dan ABRS mungkin sulit dibedakan. Perbedaan diagnostik dibuat berdasarkan lama dan perkembangan dari gejala penyakit. Perkiraan perjalanan klinis penyakit AVRS ditandai dengan membaiknya gejala dalam 10 hari dari timbulnya gejala infeksi saluran nafas atas, sedangkan ABRS diperkirakan ketika gejala akut berlangsung 10 hari atau lebih. Rinosinusitis bakterial akut dapat juga didiagnosis bila gejala kompleks berlangsung kurang dari 10 hari tetapi menunjukkan memburuknya gejala klinis setelah perbaikan awal.Terdapat 3 presentasi klinis untuk ABRS : Terdapat tanda dan gejala yang persisten selama 10 hari dan tidak membaik Terdapat perburukan tanda dan gejala pada hari ke 3-4 dari permulaan gejala seperti demam tinggi minimal 39 celcius dan discar hidung purulen Terdapat tanda dan gejala AVRS yang membaik kemudian memburuk lagi pada hari ke 5-6 (double sickening).II.2.3 Patofisiologi Patofisiologi penyakit sinus terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan rinosinusitis. Obstruksi ostium menimbulkan drainase tidak adekuat, berakibat penumpukan cairan dalam sinus. Pada sinus maksilaris menjadi khusus karena mukus dibersihkan melawan pengaruh gravitasi.Faktor-faktor yang menyebabkan obstruksi ostium dapat menimbulkan sinusitis. Saat obstruksi terjadi hipoksia lokal dalam sinus, menimbulkan perubahan pH, kerusakan epitel dan fungsi silia. Cairan dalam sinus menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri, menimbulkan inflamasi jaringan dan penebalan mukosa sehingga menambah obstruksi pada ostium.

Perbandingan fisiologi sinus normal dan rinosinusitis (sumber: Strong JF, 2002)

Tabel. Patofisiologi penyakit rinosinusitisPatensi ostiumFungsi siliaMucus

Edema Allergen InfeksiPolip Atopi Kistik fibrosis Infeksi kronikStruktur Deviasi septum Konka bulosa Tampon Penurunan frekuensi gerakan silia Siliotoksin Udara dinginKehilangan koordinasi SinekiaKehilangan sel silia Polutan / iritan Mediator inflamasi Pembedahan Perubahan jumlah (meningkat / menurun) Allergen Iritan / polutan Metaplasia sel gobletPerubahan kualitas Gangguan transpor air dan elektrolit Dehidrasi Kistik fibrosis

(Pinheiro, 1998)Silia membutuhkan media cairan untuk menjalankan fungsinya secara normal, seperti diketahui sekresi mukosa sinus paranasal dan kavum nasi ditemukan dalam kondisi normal. Lingkungan silia normal tersusun atas dua lapis mukus; lapisan superfisial (berupa gel) dan lapisan di bawahnya berupa lapisan serous. Pada hidung dan sinus paranasal mukus diproduksi sel goblet dan kelenjar submukosa. Perubahan komposisi mukus (penurunan elastisitas dan atau peningkatan viskositas) mengganggu fungsi silia dalam mengeluarkan mukus dari sinus paranasal atau hidung. Rongga sinus dipercaya steril dari flora normal, akumulasi bakteri dan cairan, mampu menyebabkan penyakit. Komposisi mukus dapat terganggu oleh perubahan tranpsor elektrolit dan air, seperti pada dehidrasi. Faktor lain penyebab terjadinya perubahan komposisi mukus termasuk peningkatan produksi mukus, diinduksi oleh iritan, alergen atau paparan udara dingin. Jika produksi mukus melebihi kemampuan clearance maka terjadi akumulasi dan menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri.Rinosinusitis bakterial akut sangat sering berhubungan dengan infeksi virus pada saluran nafas atas, walaupun demikian alergi, trauma, neoplasma penyakit granulomatosa dan inflamasi, penyakit yang mendistruksi septum, faktor lingkungan, infeksi gigi dan variasi anatomi yang dapat mengganggu clearens normal mukosilier dapat pula menjadi predisposisi infeksi bakteri.

II.2.4 DiagnosisDiagnosis rinosinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis umumnya ditemukan: Keluhan rinitis akut berupa hidung tersumbat dengan sekret purulen Nyeri/rasa penekanan pada wajah terutama pada daerah sinus Sakit kepala dengan berbagai derajat keparahan Post-nasal drip yang dirasakan sebagai lender yang terasa pada tenggorok Keluhan sistemik berupa demam dan malaiseDiagnosis rinosinusitis terutama berdasarkan riwayat medis dan dikonfirmasi dengan penemuan pada pemeriksaan fisik. Terdapat panduan dalam diagnosis rinosin berdasarkan Rhinosiusitis Task Force 1996, yaitu berdasarkan tanda dan gejala mayor dan minor rinosinusitis. Faktor mayor dan minor tersebut dapat dilihat pada tabel. dibawah ini.

Tabel . Tanda dan gejala yang berhubungan denga rinosinusitis(Rhinosiusitis Task Force 1996)Faktor MayorFaktor Minor

Facial pain/pressureaHeadache

Nasal obstructionFever (all nonacute)

Nasal discharge/discolored postnasal drip Halitosis

Dental pain

Hyposmia/anosmiaFatigue

Purulence in examinationCough

Fever (acute only)bEar pain/pressure/fullness

Diagnosis rinosinusitis ditegakkan apabila terdapat minimal 2 tanda mayor atau terdapat 1 tanda mayor dan > 2 tanda minor.Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior serta endoskopi nasal sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Pada pemeriksaan ini tanda khasnya adalah ditemukan pus di meatus medius pada rinosinusitis sinus maksilaris, etmoidalis anterior, dan frontalis atau di meatus superior pada rinosinusitis sinus etmoidalis posterior dan sfenoidalis. Pada rinosinusitis akut, didapatkan mukosa edema dan hiperemis serta pada anak ditemukan pembengkakan dan kemerahan di kantus medius.Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan X-Ray, CTScan pemeriksaan transiluminasi, dan sinuskopi. Pemeriksaan X-Ray untuk menilai sinus maksila dilakukan dengan posisi Water, sinus frontalis dan etmoidalis dengan posisi postero anterior, dan sinus sfenoidalis dengan posisi lateral. Pemeriksaan X-Ray biasanya hanya mampu menilai kondisi sinus yang besar seperti sinus maksilaris dan frontalis. Kelainan yang ditemukan berupa adanya perselubungan, batas udara dan air atau air fluid level, ataupun penebalan mukosa. Pemeriksaan CT-scan merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosis rinosinusitis karena pemeriksaan ini dapat menilai anatomi sinus dan hidung secara keseluruhan. Namun dengan pertimbangan pemeriksaan CT-scan tergolong cukup mahal, pemeriksaan ini hanya dilakukan pada rinosinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau sebagai tindakan pra-operatif sebagai panduan bagi operator sebelum melakukan operasi sinus. Pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit dilakukan di ruangan gelap. Sinus yang mengalami peradangan kemudian akan terlihat berubah menjadi suram atau gelap. Namun pemeriksaan transiluminasi sudah jarang digunakan karena manfaatnya terbilang sangat terbatas. Pemeriksaan sinuskopi dilakukan dengan cara melakukan pungsi menembus dinding medial sinus maksilaris melalui meatus inferior. Dengan alat endoskopi kemudian dapat dinilai kondisi sinus maksilaris yang sesungguhnya. Lebih lanjut dapat dilakukan irigasi sinus sebagai metode penatalaksanaan.

II.2.5 PenatalaksanaanTujuan penatalaksanaan rinosinusitis meliputi: 1. Mempercepat penyembuhan rinosinusitis 2. Mencegah komplikasi orbital dan intrakranial 3. Mencegah rinosinusitis menjadi kronik Prinsip pengobatan rinosinusitis adalah membuka sumbatan di kompleks ostio-meatal sehingga drainase dan ventilasi sinus dapat pulih secara alami.Penatalaksanaan rinosinusitis diharuskan berdasarkan penyebabnya, hal ini untuk menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu. Apabila rinosinusitis akut berlangsung lebih dari 10 hari atau tanda serta gejala lain mendukung ke arah bakterial maka antibiotik dapat diberikan. Berdasar kuman penyebab yang telah dikemukakan di atas, maka pilihan pertama antibiotik pada ABRS adalah Amoksisilin, karena obat ini efektif terhadap Streptococcus pneumoniae dan Hemophilus influenzae yang merupakan kuman terbanyak ditemukan sebagai penyebab ABRS. Di Amerika kuman gram negatif penghasil enzim beta laktamase sudah banyak ditemukan sehingga antibiotik pilihan beralih pada kombinasi Amoksisilin dan Klavulanat. Antibiotik harus diberikan 10-14 hari untuk pasien anak dan 5-7 hari untuk dewasa, agar dapat dicapai hasil maksimal.

Untuk penderita yang alergi terhadap penisilin, dapat diberikan doksisiklin (tetapi tidak untuk pasien anak) atau fluorokuinolon. Terapi lini kedua yang dapat digunakan adalah doksisiklin karena dapat melawan bakteri pathogen di saluran respirasi dan memiliki farmakokinetik dan farmakodinamik yang bagus. Antibiotik jenis makrolid dan oral sepalosporin generasi kedua dan ketiga tidak dianjurkan karena resistensinya yang tinggi terhadap S.pneumoniae. Kotrimoxazol juga tidak direkomendasikan karena resistensinya terhadap S.pneumoniae dan Haemophilus influenza. Selain itu dapat pula diberikan terapi simptomatik lainnya seperti analgetik, mukolitik, dekongestan, steroid oral/topical (terutama pasien alergi), pencucian rongga hidung dengan NaCl, ataupun diatermi jika diperlukan. Terapi dengan antihistamin umumnya tidak diberikan karena sifat antikolinergik dapat menyebabkan sekret bertambah kental.Penatalaksanaan lain yaitu tindakan operatif/bedah namun pada umumnya rinosinusitis tidak membutuhkan tindakan operatif. Tindakan operatif yang dilakukan berupa bedah sinus endoskopi fungsional atau Functional Endoscopic Sinus Surgery. Indikasi tindakan operatif ini meliputi: Sinusitis kronik yang tidak membaik setelah pemberian terapi adekuat Sinusitis kronik yang disertai kista Sinusitis kronik dengan kelainan reversible Polip ekstensif Adanya komplikasi orbita dan intrakranial Sinusitis jamur

II.2.5 Prognosis dan KomplikasiPrognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Komplikasi dari penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang adekuat yang nantinya akan dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, brain abscess, atau komplikasi extra sinus lain

II.3 RHINOSINUSITIS KRONIKII.3.1 DEFINISIJohnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum nasi dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi yang terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus paranasal.7 Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa mukosa kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses inflamasi bersama-sama.8 Alasan lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis.9 Fakta tersebut menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang mendukung konsep one airway disease yaitu bahwa penyakit di salah satu bagian saluran napas akan cenderung berkembang ke bagian yang lain.9 Sejumlah kelompok konsensus menyetujui pernyataan tersebut sehingga terminologi yang lebih diterima hingga kini adalah rinosinusitis daripada sinusitis.7-11 Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1. Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi dan struktur yang terdapat pada kompleks ostiomeatal meatus medius.12

Sejak tahun 1984 sampai saat ini telah banyak dikemukakan definisi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi oleh para ahli, masing-masing dengan kriterianya, antara lain :5,7 1. Menurut Kennedy tahun 1993 (pada Konferensi Internasional Penyakit Sinus, Princeton New Jersey), sinusitis kronik adalah sinusitis persisten yang tidak dapat disembuhkan hanya dengan terapi medikamentosa, disertai adanya hiperplasia mukosa dan dibuktikan secara radiografik. Pada orang dewasa, keluhan dan gejala berlangsung persisten selama delapan minggu atau terdapat empat episode atau lebih sinusitis akut rekuren, masing-masing berlangsung minimal sepuluh hari, berkaitan dengan perubahan persisten pada CT-scan setelah terapi selama empat minggu tanpa ada pengaruh infeksi akut2. Menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 1996 disponsori oleh American Academy of Otolaryngology / Head and Neck Surgery (AAO-HNS), disebut rinosinusitis kronik bila rinosinusitis berlangsung lebih dari dua belas minggu dan diagnosa dikonfirmasi dengan kompleks faktor klinis mayor dan minor dengan atau tanpa adanya hasil pada pemeriksaan fisik. Tabel 1 menunjukkan faktor klinis mayor dan minor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik. Bila ada dua atau lebih faktor mayor atau satu faktor mayor disertai dua atau lebih faktor minor maka kemungkinan besar rinosinusitis kronik. Bila hanya satu faktor mayor atau hanya dua faktor minor maka rinosinusitis perlu menjadi diferensial diagnosa.

Tabel 1. Faktor-faktor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik, terdiri dari faktor mayor (utama) dan faktor minor (pelengkap).7Major factorsMinor factors

Facial pain, pressure (alone does not constitute a suggestive history for rhinosinusitis in absence of another major symptom)Facial congestion, fullness Nasal obstruction/blockageNasal discharge/ purulence/ discolored nasal drainageHyposmia/anosmiaPurulence in nasal cavity on examinationFever (acute rhinosinusitis only) in acute sinusitis alone does not constitute a strongly supportive history for acute in the absence of another major nasal symptom or signHeadacheFever (all nonacute)HalitosisFatigue Dental painCoughEar pain/pressure/fullness

3. 4. Definisi rinosinusitis kronik terbaru dinyatakan dalam makalah EP3OS tahun 2007 yaitu suatu inflamasi pada (mukosa) hidung dan sinus paranasal, berlangsung selama dua belas minggu atau lebih disertai dua atau lebih gejala dimana salah satunya adalah buntu hidung (nasal blockage / obstruction / congestion) atau nasal discharge (anterior / posterior nasal drip) :1 nyeri fasial / pressure penurunan / hilangnya daya penciumandan dapat di dukung oleh pemeriksaan penunjang antara lain4.1. Endoskopik, dimana terdapat : polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau udem mukosa primer pada meatus medius4.2. CT scan : perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau sinus paranasal.Berdasarkan definisi yang terakhir, dapat dilihat bahwa rinosinusitis dapat dibedakan lagi menjadi kelompok dengan polip nasi dan kelompok tanpa polip nasi. EP3OS 2007 menyatakan bahwa rinosinusitis kronik merupakan kelompok primer sedangkan polip nasi merupakan subkategori dari rinosinusitis kronik.5,7,11 Alasan rasional rinosinusitis kronik dibedakan antara dengan polip dan tanpa polip nasi berdasarkan pada beberapa studi yang menunjukkan adanya gambaran patologi jaringan sinus dan konka media yang berbeda pada kedua kelompok tersebut.11

II.3.2 ETIOLOGI, PATOFISIOLOGI DAN HISTOPATOLOGISenior dan Kennedy (1996) menyatakan bahwa: Kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang normal baik dari segi viskositas, volume dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk mencegah stasis mukus dan kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks ostiomeatal untuk mempertahankan drainase dan aerasi. 13,14Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik.14 Namun demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor diatas akan mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya kaskade yang berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan patologis pada mukosa sinus dan juga mukosa nasal, seperti yang tergambar pada gambar 2 dibawah ini.14

Gambar 2. Siklus patologis rinosinusitis kronik, perubahan pada salah satu faktor akan mengakibatkan terjadinya proses yang berkelanjutan dengan hasil akhirnya adalah rinosinusitis kronik.14Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara mendalam. Pada rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah ditetapkan sebagai penyebab utama.2,14 Namun sebaliknya, etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui; rinosinusitis kronik merupakan sindrom yang terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Ada beberapa pendapat dalam mengkategorikan etiologi rinosinusitis kronik. Berdasarkan EP3OS 2007, faktor yang dihubungkan dengan kejadian rinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu ciliary impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal.1 Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor yaitu faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan. 2,14 Berdasarkan ketiga kelompok tersebut, maka faktor etiologi rinosinusitis kronik dapat dibagi lagi menjadi berbagai penyebab secara spesifik, ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.2,14 James Baraniuk (2002) mengklasifikasikan bermacam kemungkinan patofisiologi penyebab rinosinusitis kronik menjadi rinosinusitis inflamatori (berdasarkan tipe infiltrat selular yang predominan) dan rinosinusitis non inflamatori (termasuk disfungsi neural dan penyebab lainnya seperti hormonal dan obat).15 Rinosinusitis inflamatori kemudian dibagi lagi berdasarkan tipe infiltrasi selular menjadi jenis eosinofilik, neutrofilik dan kelompok lain.15 Tabel 2. Faktor etiologi rinosinusitis kronik, dikelompokkan masing-masing berdasarkan faktor genetik/fisiologik, lingkungan dan struktural.2 Genetic/PhysiologicFactorsEnvironmental FactorsStructural Factors

Airway hyperreactivityAllergySeptal deviation

ImmunodeficiencySmokingConcha bullosa

Aspirin sensitivityIrritants/pollutionParadoxic middle turbinate

Ciliary dysfunctionVirusesHaller cells

Cystic fibrosisBacteriaFrontal cells

Autoimmune diseaseFungiScarring

Granulomatous disordersStressBone inflammationCraniofacial anomaliesForeign bodiesDental diseaseMechanical traumaBarotrauma

II.3.3 Faktor Genetik / Fisiologik

Hipereaktivitas saluran napas (asma) merupakan faktor yang berperan bagi rinosinusitis kronik, banyak penelitian menemukan ada asosiasi yang kuat antara asma dengan rinosinusitis kronik.1,2 Identifikasi gen ADAM-33 (disintegrin dan metaloprotease 33) pada pasien asma semakin memperkuat kemungkinan adanya hubungan tersebut.2 Imunodefisiensi (bawaan atau dapatan) juga berperan terhadap rinosinusitis kronik. Penelitian Chee dkk (2001) menunjukkan bahwa pada keadaan level imunoglobulin (IgG, IgA, IgM) yang rendah dan kurangnya fungsi sel limfosit T, maka kejadian sinusitis yang refrakter cenderung meningkat.1,2 Defisiensi IgG adalah yang paling sering menjadi penyebab bagi rinosinusitis kronik.2,14 Pada individu dengan HIV, rinosinusitis sering terjadi (38-68 %) dengan klinis yang lebih berat namun resisten terhadap terapi.1,2,16 Garcia-Rodriques dkk (1999) melaporkan adanya korelasi kuat antara jumlah sel CD4+ dengan probabilitas rinosinusitis.1 Juga disebutkan bahwa organisme atipikal seperti Aspergilus spp, Pseudomonas aeruginosa dan mikrosporidia sering diisolasi dari sinus penderita dan neoplasma seperti Limfoma Non Hodgkin dan sarkoma Kaposi dapat menjadi faktor penyebab gangguan sinonasal pasien HIV-AIDS.1,16 Keadaan hiperimun seperti pada sindroma vaskulitis Churg-Strauss dan sindroma Job dapat juga menjadi predisposisi bagi rinosinusitis kronik.2,14 Keadaan autoimun lain yang juga berhubungan dengan rinosinusitis kronik adalah sistemik lupus eritematosus, polikondritis relaps dan sindroma Sjogren. Sindroma Samter dimana terdapat polip nasi, asma bronkial dan intoleransi aspirin merupakan suatu kondisi dengan etiologi yang tidak jelas namun mempunyai hubungan dengan rinosinusitis onset dini.1,2,14 Kelainan bawaan seperti kistik fibrosis, sindroma Young, sindroma Kartagener atau diskinesia siliar primer, berkaitan dengan klirens mukosiliar sinus yang abnormal sehingga menyebabkan timbulnya rinosinusitis kronik. Wang dkk (2000) menemukan adanya mutasi gen pada pasien kistik fibrosis yang mengarah pada terjadinya rinosinusitis kronik.2 Pada diskinesia siliar primer dan sindroma Kartagener, terjadi disfungsi siliar yang menjadi faktor penyebab rinosinusitis. 1,2,14,16

Rinosinusitis juga sering ditemukan pada kelainan granulomatosis seperti sarkoidosis dan granulomatosis Wegener. Pada keadaan ini, terjadi respon inflamasi kronik diikuti dengan perubahan jaringan lokal yang bervariasi tingkat berat ringannya dari destruksi silia dan kelenjar mukus sampai destruksi jaringan lokal.1,2,14

II.3.4 Faktor LingkunganHubungan antara rinitis alergi dengan rinosinusitis telah banyak dipelajari dan tercatat walaupun hubungan kausal belum dapat ditegakkan secara pasti.2 Pada pasien dengan rinosinusitis kronik, prevalensi rinitis alergi berkisar antara 25-50 %.2 Pada pasien yang menjalani operasi sinus, prevalensi hasil test kulit positif berkisar antara 50-84 %, mayoritas (60%) dengan sensitivitas multipel.1,2,14 Namun bagaimana alergi bisa mengakibatkan rinosinusitis kronik, hingga hari ini belum diketahui secara jelas. Stammberger 1991 menyatakan bahwa: udem mukosa nasal pada pasien rinitis alergi yang terjadi pada ostium sinus dapat mengurangi ventilasi bahkan mengakibatkan obstruksi ostium sinus sehingga mengakibatkan retensi mukus dan infeksi.1 Namun hal ini lebih mengarah kepada rinosinusitis akut sedangkan sejauh mana perkembangan dan persistensi keadaan ini memberikan pengaruh bagi rinosinusitis kronik, hingga kini belum dapat dijelaskan.1,16Faktor iritan dan polutan banyak memberikan implikasi bagi perkembangan rinosinusitis kronik, antara lain : asap rokok, debu, ozon, sulfur dioksida, komponen volatil organik, dll.1,2,14 Bahan polutan ini bertindak sebagai iritan nasal mengakibatkan kekeringan dan inflamasi lokal diikuti influks neutrofil. Sebagai tambahan, asap rokok juga menyebabkan kelainan siliar sekunder dengan defek mikrotubular primer.14Peranan virus dalam menyebabkan rinosinusitis kronik belum sepenuhnya jelas. Pada studi epidemiologik skala besar, Gable dkk (1994) menemukan peningkatan insiden rinosinusitis kronik selama musim infeksi saluran pernapasan atas. Sedangkan studi yang melibatkan manusia dan hewan, menunjukkan bahwa virus menyebabkan perubahan morfologis dan fungsional multipel pada sel epitel nasal, termasuk peningkatan pelepasan sel epitel, pemendekan silia, berkurangnya frekuensi gerakan silia serta penurunan klirens mukosiliar.2 Adenovirus dan RSV (respiratory syncytial virus) didapatkan pada pasien rinosinusitis kronik yang menjalani operasi sinus endoskopik.16,17Walau ada hipotesis bahwa rinosinusitis kronik berkembang dari rinosinusitis akut, namun sejauh ini hal tersebut belum dapat dibuktikan.1 Gambaran bakteriologi rinosinusitis kronik pada kenyataannya berbeda dengan rinosinusitis akut.2,13 Pada rinosinusitis kronik, kuman yang predominan adalah S.aureus, Stafilokakus koagulase negatif, bakteri anaerob dan gram negatif. Sedangkan pada rinosinusitis akut, kuman predominan antara lain S.pneumoniae, H.influenzae dan M.catarrhalis.1,13,15 Beberapa penelitian retrospektif dan prospektif telah dilakukan untuk menilai bakteri penyebab rinosinusitis kronik baik pada orang dewasa maupun anak.14 Pada orang dewasa, gambaran kuman umumnya polimikrobial baik gram positif maupun gram negatif, aerob dan anaerob.1,14,17 Kuman aerob yang terisolasi berkisar antara 50-100 % sedangkan kuman anaerob berkisar antara 0-100 %.1,17 Kuman anaerob banyak terdapat pada infeksi sekunder akibat masalah gigi.1

Bakteri biofilm diperkirakan juga menjadi salah satu penyebab persistensi rinosinusitis kronik.2,14 Biofilm merupakan suatu matriks kompleks polisakarida yang disintesis oleh bakteri dan bertindak sebagai protektor lingkungan mikro bagi koloni bakteri. Keberadaan biofilm membantu menjelaskan adanya bentuk rinosinusitis kronik yang refrakter walaupun telah diberi terapi antimikroba poten.2,14 Cryer dkk (2004) berhasil mengidentifikasi bakteri biofilm dari mukosa sinus yang terinfeksi Pseudomonas aeruginosa, dengan mikroskop elektron.2,14 Biofilm juga ditemukan pada otitis media, kolesteatoma dan tonsilitis.1 Peranan bakteri anaerob pada rinosinusitis kronik telah ditunjukkan pada berbagai studi yang dilakukan oleh Nord (1995).17 Kemampuan potensial bakteri aerob dan anaerob memproduksi beta laktamase untuk melindungi organisme yang suseptibel terhadap penisilin ditunjukkan oleh Brook dkk (1996).13,17 Resistensi kuman Streptocossus pneumoniae penghasil protein pengikat penisilin berkisar antara 28 hingga 44 %.9,13 Para peneliti berpendapat bahwa bakteri dapat secara langsung bertindak mengaktifkan kaskade inflamatori, disamping fungsi tradisional mereka yang berlaku sebagai agen infeksius.2,8,14 Pada individu yang suseptibel, bakteri superantigen seperti staphylococcal enterotoxin dapat langsung mengaktifkan sel limfosit T melalui jalur aktivasi sel T dengan mekanisme antigen presenting cell.2,8,14 Istilah superantigen digunakan untuk menjelaskan kemampuan bakteri (S.aureus dan S.pyogenes) memproduksi partikel yang dapat mengaktifkan sejumlah besar suppopulasi sel T (berkisar antara 530 %) yang kontras dengan antigen topikal konvensional (kurang dari 0,01 %).8,14 Pada jalur tradisional, antigen difagosit oleh APC (antigen presenting cell), terdegradasi menjadi sejumlah fragmen peptida yang kemudian diproses pada permukaan sel setelah berikatan dengan reseptor MHC (major histocompatibility complex) kelas II, selanjutnya akan dikenal oleh sel limfosit T yang kompatibel dan dimulailah respon inflamasi.8,14 Superantigen mempunyai kemampuan memintas proses diatas, langsung berikatan dengan permukaan domain HLA-DR alpha pada MHC kelas II dan domain V beta pada reseptor sel T. Selanjutnya terjadi stimulasi ekspresi masif IL-2, kemudian IL-2 menstimulasi produksi sitokin lainnya seperti TNF-, IL-1, IL-8 dan PAF (platelet activating factor) yang memicu terjadinya respon inflamasi.14 Selain itu, superantigen juga bertindak sebagai antigen tradisional yang menstimulasi produksi antibodi superantigen.8,14 Hipotesis Schubert (2001) menyatakan bahwa potensi bakteri superantigen disertai persistensi mikroba, produksi superantigen dan respon sel limfosit T merupakan komponen fundamental yang menyatukan berbagai kelainan kronik mukosa respiratorik tipe eosinofilik-limfositik pada patogenesis rinosinusitis kronik.8Ponikau dkk (1999) mendapatkan 96 % kultur jamur positif pada 210 pasien rinosinusitis kronik.1,2 Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa spesies jamur memberikan bentuk yang bervariasi pada rinosinusitis kronik, dari yang non invasif sampai yang invasif.1,12,14,16 Bentuk rinosinusitis karena jamur antara lain: sinusitis fungal invasif baik dalam bentuk acute-fulminant maupun chronic-indolent (biasanya terjadi pada penderita immunocompromized), fungal ball (pembentukan massa berbentuk bola) dan rinosinusitis alergi fungal / AFS (allergic fungal rhinosinusitis) sebagai bentuk reaksi hipersensitivitas terhadap antigen fungal.1,12,14,16,17 AFS ditandai dengan pembentukan musin, reaksi inflamasi tanpa diperantarai IgE, eosinofilia disertai peningkatan IL-5 dan IL-13.1,2,12,14,16,17

II.3.5 Faktor StrukturalMukosa cavum nasi dan sinus paranasal memproduksi sekitar satu liter mukus per hari, yang dibersihkan oleh transport mukosiliar. Obstruksi ostium sinus KOM akan mengakibatkan akumulasi dan stagnasi cairan, membentuk lingkungan yang lembab dan suasana hipoksia yang ideal bagi pertumbuhan kuman patogen.1,2 Obstruksi KOM dapat disebabkan oleh berbagai kelainan anatomis seperti deviasi septum, konka bulosa, sel Haier (ethmoidal infraorbital), prosesus unsinatus horizontal, skar akibat bekas operasi dan anomali kraniofasial.1,2,9,13,14,16Perubahan tulang (ethmoid dan maksila) yang terjadi pada rinosinusitis kronik telah lama diamati secara klinis, radiografik dan histologik.8 Beberapa studi menunjukkan bahwa perubahan osteitis dimulai dari meningkatnya vaskularisasi, infiltrasi proses inflamasi dan selanjutnya terjadi fibrosis pada sistem kanal Haversian.1,2,8,13,14 Histomorfometri menunjukkan peningkatan jumlah sel inflamatori dan turnover tulang, seperti yang terdapat pada osteomielitis. Pada CT-scan terlihat adanya peningkatan densitas tulang dan penebalan tulang iregular. Penebalan tulang iregular yang terjadi merupakan tanda adanya proses inflamasi pada tulang yang berpengaruh pada inflamasi mukosa.1,2,8,13,14 Inflamasi memegang peranan penting dalam patogenesis rinosinusitis kronik.13 Fase inisial yang paling penting bagi terjadinya rinosinusitis kronik adalah iritasi mukosa.17 Gambaran skematik dibawah (gambar 3) menunjukkan alterasi potensial pada mukosa nasal yang terjadi setelah terpapar oleh bakteri, virus, alergen, polusi udara, superantigen maupun jamur. Semua itu mengakibatkan peningkatan ICAM-1 (intercellullar adhesion molecule 1) dan sitokin lainnya. Molekul HLA-DR (human leukocyte antigen DR) pada permukaan epitelial ikut meningkat, selanjutnya memegang peranan pada respon imun spesifik melalui sel TH1 dan TH2 untuk kemudian melepaskan berbagai sitokin spesifik. GM-CSF (granulocyte-macrophage-colony stimulating factor), IL-8 dan TNF- (tumor necrosing factor alpha) ikut dilepaskan yang kemudian memberikan efek kepada sel makrofag, mastosit, eosinofil dan neutrofil. Interferon gamma yang dilepaskan sel TH1 juga ikut meningkatkan produksi ICAM-1 pada permukaan sel epitel respiratorik.17

Gambaran histopatologi mukosa rinosinusitis kronik menunjukkan adanya penebalan dasar membran sel, hiperplasia sel goblet, udem subepitelial dan infiltrasi sel mononuklear.1,13 Proses inflamasi pada rinosinusitis dibagi menjadi golongan inflamasi infeksius dan golongan inflamasi noninfeksius.13 Inflamasi infeksius umumnya terjadi pada rinosinusitis akut sedangkan pada rinosinusitis kronik terjadi inflamasi noninfeksius.13Pada berbagai penelitian yang dilakukan ditemukan sel-sel inflamatori dan mediator rinosinusitis kronik.1,9,13 Dibawah ini akan dijabarkan berbagai sel inflamasi dan mediator yang ditemukan pada rinosinusitis kronik. Gambar 3. Skema perubahan sel epitel respiratorik yang terjadi setelah terpapar benda asing, diikuti berbagai proses yang melibatkan sel limfosit TH1 dan TH2, menghasilkan pelepasan sitokin dan mempengaruhi sel-sel fagosit.17

Sel inflamasi rinosinusitis kronik :1,13,171. LimfositSel T terutama CD4+ sel T helper, berperan pada proses inisiasi dan regulasi inflamasi2. EosinofilLevel eosinofil marker (eosinofil, eotaksin, eosinofil kationik protein / ECP) pada rinosinusitis kronik tanpa polip nasi lebih rendah bila dibandingkan dengan pada polip nasi, juga infiltrasi sel eosinofil dan sel plasma pada rinosinusitis kronik tanpa polip nasi berbeda dengan pada polip nasi.3. Makrofag (sel CD68+)Peningkatan makrofag pada rinosinusitis dengan polip nasi dan tanpa polip nasi menunjukkan perbedaan dalam bentuk fenotip yang ada.4. MastositPeningkatan mastosit berhubungan dengan proses inflamasi yang terjadi pada rinosinusitis kronik.5. NeutrofilPeningkatan neutrofil terjadi melalui pengaktifan IL-8 pada proses inflamasi rinosinusitis kronik.

Mediator inflamasi rinosinusitis kronik :1,8,13,14,17a. b. SitokinIL-3, IL-5, IL-6, IL-8 menunjukkan peningkatan pada rinosinusitis kronik tanpa polip nasi. Kadar IL-5 pada kelompok tanpa polip nasi masih lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok dengan polip nasi. Rinosinusitis tanpa polip nasi mempunyai karakteristik yaitu polarisasi TH1 dengan level IFN- dan TGF- yang tinggi; sedangkan pada rinosinusitis kronik dengan polip nasi menunjukkan polarisasi TH2 dengan level IL-5 dan IgE yang meningkat. Peningkatan TLR2 (toll-like receptor 2) dan sitokin proinflamatori (RANTES / Regulated on Activation, normal T-cell expressed and secreted dan GM-CSF / granulocyte-monocyte colony stimulating factor) juga ditemukan pada keadaan ini.c. KemokinEkspresi kemokin berbeda pada rinosinusitis kronik atopi (peningkatan sel CCR4+ dan EG2+) dan yang non atopi (penurunan sel CCR5+). Kemokin lain yang meningkat yaitu GRO- (growth-related oncogene alpha) dan GCP-2 (granulocyte chemotactic protein-2).d. Molekul adhesiMeningkatnya ligan L-selektin endotelial berkorelasi dengan tingkat keparahan inflamasi yang terjadi.e. EicosanoidTerdapat peningkatan: COX-2 mRNA, PGE2, 15-Lipooksigenase, LipoksinA, LTC4 sintase, 5-Lipooksigenase mRNA, peptida-LT, EP1 dan EP3.f. Metaloproteinase dan TGF-Level TGF-1 meningkat signifikan dibanding dengan kelompok polip nasi, disertai dengan peningkatan MMP-9 dan TIMP-1.g. ImunoglobulinIgE meningkat pada pasien rinosinusitis kronik alergik, fungal dan eosinofilik. IgG antibodi terhadap golongan fungal juga menunjukkan peningkatan. IgG spesifik fungal (IgG3) dan IgA menunjukkan peningkatan pada kondisi sinusitis alergik fungal. h. Nitrit oksida (NO)Sel epitel pada rinosinusitis kronik menunjukkan ekspresi TLR-4 dan iNOS yang kuat dibandingkan kontrol, sedangkan pada kelompok rinosinusitis kronik yang telah mendapat terapi kortikosteroid nasal menunjukkan peningkatan nNO.i. NeuropeptidaInflamasi neurogenik memegang peranan bagi manifestasi klinis rinosinusitis kronik. Level CGRP (sensoris trigeminal) dan VIP (parasimpatis) pada saliva meningkat signifikan pada pasien rinosinusitis kronik alergik.j. MusinMusin merupakan komponen utama dari mukus, jenis musin yang meningkat pada rinosinusitis kronik antara lain MUC5AC, MUC5B dan MUC8.k. Mediator lain :1. VEGF (vascular endothelial-cell growth factor), diproduksi oleh mukosa hidung dan sinus paranasal, berkaitan dengan kondisi hipoksia yang terjadi pada rinosinusitis.2. SP-A (surfactant protein A), juga meningkat pada mukosa pasien rinosinusitis kronik..

II.3.6 DIAGNOSISBerdasarkan definisi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi menurut TFR 1996, terdapat faktor klinis/ gejala mayor dan minor yang diperlukan untuk diagnosis.1,2,12,17,18 Selanjutnya menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada tiga kriteria yang dibutuhkan untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik, berdasarkan penemuan pada pemeriksaan fisik seperti ditampilkan pada tabel 3.2 Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi nasal, CT-scan dan lainnya.

Tabel 3. Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan pemeriksaan fisik. Bila hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa klinis lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.2 REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS (2003 TASK FORCE)

Duration Physical findings (on of the following must be present)

>12 weeks of continuous symptoms (as described by 1996 Task Force) or physical findings 1. Discolored nasal discharge, polyps, or polypoid swelling on anterior rhinoscopy (with decongestion) or nasal endoscopy 2. Edema or erythema in middle meatus on nasal endoscopy 3. Generalized or localized edema, erythema, or granulation tissue in nasal cavity. If it does not involve the middle meatus, imaging is required for diagnosis 4. Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or computerized tomography)b

Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya.1 Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu:11) Buntu hidung, kongesti atau sesak2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan4) Penurunan / hilangnya penciumanPemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior.1 Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior.Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.1 A. AnamnesisAnamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.18 Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.2 Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh melalui anamnesis dapat dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:1) Obstruksi nasalKeluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya2) Sekret / discharge nasalDapat berupa anterior atau posterior nasal drip3) Abnormalitas penciumanFluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius4) Nyeri / tekanan fasialLebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.

Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita, namun lebih sering digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan SNOT-20 (sinonasal outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31 (rhinosinusitis outcome measure)1,2,11

B. Pemeriksaan Fisik Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya)1,2,18 Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.18 Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung.18C. Pemeriksaan Penunjang Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.18 Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus.1,13 Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan.18 Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.18 Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon.1,18 Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan.1,2,18 Contoh gambaran CT-scan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa dapat dilihat pada gambar 4. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:1,2,13,181. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi2. Tes alergi3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop elektron dan nitrit oksida4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing 6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

Gambar 4. CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis kronik akibat konka bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan KOM.19

II.3.7 PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga.20

A. Terapi MedikamentosaTerapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan.20,21,22 Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.20,21Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:1,2,20,21,221. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum luas antara lain:a. Amoksisilin + asam klavulanatb. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefiximec. Florokuinolon : ciprofloksasind. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisine. Klindamisinf. Metronidazole2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.a. Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometasonb. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi.3. Terapi penunjang lainnya meliputi:a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis -adrenergikb. Antihistamin c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromild. Mukolitike. Antagonis leukotrienf. Imunoterapi g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan dan nutrisi yang cukupB. Terapi PembedahanTerapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi.23 Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:1,231. Sinus maksila:a. Irigasi sinus (antrum lavage)b. Nasal antrostomic. Operasi Caldwell-Luc2. Sinus etmoid: a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral3. Sinus frontal:a. Intranasal, ekstranasalb. Frontal sinus septoplastyc. Fronto-etmoidektomi4. Sinus sfenoid :a. Trans nasal b. Trans sfenoidal5. FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali oleh Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:a. Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronisb. Poliposis nasic. Mukokel sinus paranasald. Mikosis sinus paranasale. Benda asingf. Osteoma kecilg. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)h. Dekompresi orbita / n.optikusi. Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokelj. Atresia koanaek. Dakriosistorinotomil. Kontrol epistaksism. Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull bas. n. II.3.7 KOMPLIKASIPada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan seringkali membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.1 Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.14.3. Komplikasi orbita :a) Selulitis periorbitab) Selulitis orbitac) Abses subperiosteald) Abses orbita4.4. Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila dan frontal)4.5. Komplikasi endokranial:a) Abses epidural / subduralb) Abses otakc) Meningitisd) Serebritise) Trombosis sinus kavernosusKomplikasi lain yang sangat jarang terjadi : abses glandula lakrimalis, perforasi septum nasi, hilangnya lapangan pandang, mukokel/mukopiokel, septikemia

DAFTAR PUSTAKAFokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.1. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006; 406-416.2. Jr File. Sinusitis: Epidemiology. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis,2006; 1-13.3. Lund VJ. Impact of chronic rhinosinusitis on quality of life and health care expenditure. In Hamilos DL, Baroody FM, eds. Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical management. New York: Informa,2007; 15-21.4. Gosepath J, Mann WJ. Current concepts in therapy of chronic rhinosinusitis and nasal polyposis. ORL,2005; 67: 125-136.5. NN. Sinusitis termasuk penyakit mahal. Waspada Online.2007 Agustus 9. http://www.waspada.co.id. Accessed at 20th September 2008.6. Clement PAR. Classification of rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 15-34.7. Pawankar R, Nonaka M, Yamagishi S, et al. Pathophysiologic mechanisms of chronic rhinosinusitis. Immunol Allergy Clin N Am, 2004; 24:75-85.8. Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 1-16.9. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis : diagnosis and management. American Family Physician, 2001; 63:69-74.10. Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis pattern of illness. In Hamilos DL, Baroody FM, eds. Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical management. New York: Informa, 2007;1-12.11. Shah DR, Salamone FN, Tami TA. Acute & chronic rhinosinusitis. In Lalwani AK, eds. Current diagnosis and treatment in otolaryngology head and neck surgery. New York: Mc Graw Hill, 2008; 273-281.12. Hamilos DL. Chronic sinusitis. Current reviews of allergy and clinical immunology, 2000; 106: 213-226.13. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006;109-129.14. Ferguson BJ, Johnson JT. Chronic sinusitis. In Cummings CW, Flint PW,et al eds. Cummings: otolaryngology - head & neck surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005; 1-4.15. Naclerio RM, Gungor A. Etiologic factors in inflammatory sinus disease. In Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis and management. Hamilton: BC Decker Inc, 2001;47-53.16. Bernstein JM. Chronic rhinosinusitis with and without nasal polyposis. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006;371-398.17. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 17-23.18. Farina D, Tomenzoli D, et al. Inflammatory lessions. In Leuven ALB, Heidelberg KS, eds. Imaging in treatment planning for sinonasal diseases. New York : Springer, 2005; 68.19. Mulyarjo. Terapi medikamentosa pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 59-65.20. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus disease. In Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis and management. Hamilton: BC Decker Inc,2001;155-165.21. Chiu AG, Becker DG. Medical management of chronic rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 219-229.22. Siswantoro. Tatalaksana bedah pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 67-74

Sekresi mukus: berisi antibodi dan IgAMaterial terlarut diabsorbsi mukosaMaterial sisa dan bakteri dikeluarkan oleh mukosiliaMukosilia mencegah kerusakan mukosaInfeksi tercegahOstium terbukaSekresi mukus normalKompsisi mukus normalOstium tertutupEdema mukosa / kelainan anatomi hambat drainaseStagnasi sekretPengentalan sekret; perubahan pHPerubahan metabolisme udara mukosaKerusakan epitel dan mukosaRetensi sekret dan perubahan metabolisme sinus timbulkan inflamasi dan pertumbuhan bakteri Penebalan mukosa menambah obstruksi ostium