REVISI

19
I. PENDAHULUAN Pica adalah gangguan makan yang didefinisikan sebagai konsumsi zat-zat yang tidak bergizi secara terus menerus selama kurang lebih satu bulan. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV), ingesti zat tidak bergizi harus tidak sesuai untuk tingkat perkembangan anak. Pica mungkin saja jinak namun bisa juga mengancam nyawa (APA, 2000). Pica jauh lebih sering ditemukan pada anak kecil dibandingkan dengan dewasa. Individu yang terdiagnosis pica dilaporkan menelan berbagai macam zat non pangan termasuk tanah liat, kotoran, pasir, batu, kerikil, rambut, es, kuku, kertas, kapur, kayu, bahkan batu bara. Pada orang dewasa, bentuk pika tertentu, termasuk geofagia (makan tanah) dan amilofagia (makan kanji), telah dilaporkan terjadi pada wanita hamil. Walaupun pica diamati paling sering terjadi pada anak-anak, gangguan makan ini adalah suatu hal yang paling umum terjadi pada individu dengan retardasi mental. Dalam beberapa masyarakat, pica adalah suatu hal yang bersifat budaya dan tidak dianggap patologis (APA, 2000). Pica terjadi di seluruh dunia. Geofagia adalah bentuk paling umum dari pica pada orang yang hidup dalam kemiskinan serta orang yang hidup di daerah 1

description

12345

Transcript of REVISI

Page 1: REVISI

I. PENDAHULUAN

Pica adalah gangguan makan yang didefinisikan sebagai konsumsi zat-zat

yang tidak bergizi secara terus menerus selama kurang lebih satu bulan. Menurut

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV),

ingesti zat tidak bergizi harus tidak sesuai untuk tingkat perkembangan anak. Pica

mungkin saja jinak namun bisa juga mengancam nyawa (APA, 2000).

Pica jauh lebih sering ditemukan pada anak kecil dibandingkan dengan

dewasa. Individu yang terdiagnosis pica dilaporkan menelan berbagai macam zat

non pangan termasuk tanah liat, kotoran, pasir, batu, kerikil, rambut, es, kuku,

kertas, kapur, kayu, bahkan batu bara. Pada orang dewasa, bentuk pika tertentu,

termasuk geofagia (makan tanah) dan amilofagia (makan kanji), telah dilaporkan

terjadi pada wanita hamil. Walaupun pica diamati paling sering terjadi pada anak-

anak, gangguan makan ini adalah suatu hal yang paling umum terjadi pada

individu dengan retardasi mental. Dalam beberapa masyarakat, pica adalah suatu

hal yang bersifat budaya dan tidak dianggap patologis (APA, 2000).

Pica terjadi di seluruh dunia. Geofagia adalah bentuk paling umum dari

pica pada orang yang hidup dalam kemiskinan serta orang yang hidup di daerah

tropis dan bersuku-suku. Pica adalah hal yang lazim terjadi di bagian barat Kenya,

Afrika Selatan, dan India. Pica juga dilaporkan di Australia, Kanada, Israel, Iran,

Uganda, Wales, Turki, dan Jamaika. Di beberapa Negara, bahkan tanah dijual

untuk tujuan konsumsi. Di Indonesia sendiri belum ada data dan informasi yang

jelas mengenai gangguan makan jenis ini (Hagopian, 2011).

Pica diperkirakan terjadi pada usia 10 sampai 32 persen anak-anak antara

usia 1 dan 6 tahun. Pada anak yang lebih dari 10 tahun, laporan pika menyatakan

angka kira-kira 10 persen dari populasi. Terjadi penurunan linier seiring dengan

bertambahnya usia. Pica kadang-kadang meluas ke golongan remaja namun jarang

ditemukan pada orang dewasa yang tidak cacat mental. Pada individu dengan

keterbelakangan mental, pica paling sering terjadi pada mereka yang berusia 10-

20 tahun (Hagopian, 2011).

Bayi dan anak sering menelan cat, plester, tali, rambut, dan kani. Anak-

anak lebih cenderung suka menelan kotoran hewan, pasir, serangga, daun, kerikil,

1

Page 2: REVISI

dan punting rokok. Sedangkan remaja dan orang dewasa paling sering menelan

tanah liat atau tanah. Pada wanita hamil muda, pica terjadi selama kehamilan

pertama pada masa remaja akhir atau dewasa awal. Meskipun pica biasanya

berhenti pada akhir kehamilan, namun bisa saja terus berlanjut hingga bertahun-

tahun. Pica biasanya terjadi dengan frekuensi yang sama antara laki-laki dan

perempuan, namun sangat jarang pada pria remaja dan dewasa (Young, 2010).

2

Page 3: REVISI

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Pica ialah nafsu makan yang aneh, yaitu penderita menunjukkan nafsu

makan terhadap berbagai atau salah satu obyek yang bukan tergolong makan,

misalnya tanah, pasir, rumput, bulu, selimut wol, pecahan kaca, kotoran

hewan, cat kering, dinding tembok, dan sebagainya (Hasan dan Alatas, 1985).

B. FAKTOR RESIKO

1. Terdapat pada golongan anak di bawah umur 3 tahun, biasanya di atas 1

tahun, sebab bayi yang sedang belajar merangkak dan anak sapihan wajar

bila suka memasukkan benda-benda yang dipegangnya ke dalam

mulutnya.

2. Penderita defisiensi gizi

3. Penderita retardasi mental (Hasan dan Alatas, 1985).

4. Ibu hamil

5. Orang yang dietnya rendah mineral

6. Orang yang memiliki gangguan kejiwaan seperti histeria

7. Orang dengan cacat perkembangan atau gangguan serupa

8. Orang-orang yang keluarga atau etnisnya memakan zat non-makanan

9. Orang yang diet, menjadi lapar, dan mencoba untuk meringankan

kelaparan dan ngidam dengan zat rendah kalori (zat non-makanan)

(HopeInterprises Inc).

Meskipun sampai saat ini etiologi pica masih belum diketahui,

beberapa hipotesis dapat menjelaskan fenomena ini, dapat disebabkan

psikososial sampai biokimia murni. Beberapa hal yang diduga menjadi

penyebab adalah defisiensi nutrisi, factor budaya dan keluarga, stress, status

sosioekonomi rendah, kebiasaan makan yang tidak memilih, kebiasaan

belajar, dan kelainan biokimiawi (Ellis, 2012).

Pica merupakan masalah perilaku yang serius karena dapat

mengakibatkan gejala sisa medis yang signifikan. Sifat dan jumlah dari

substansi yang tertelan menentukan gejala sisa medis. Pica telah terbukti

3

Page 4: REVISI

menjadi faktor predisposisi di kecelakaan konsumsi racun, terutama

keracunan timah. Konsumsi zat aneh atau tidak biasa juga berpotensi

mengancam nyawa, seperti hiperkalemia setelah cautopyreiophagia (Ellis,

2012).

Paparan agen menular melalui konsumsi zat yang terkontaminasi

merupakan bahaya kesehatan potensial yang terkait dengan pica, sifat yang

bervariasi dengan isi materi yang tertelan. Secara khusus, geophagia (tanah

atau mencerna tanah liat) telah dikaitkan dengan penyakit parasit yang

menular melalui tanah, seperti toksoplasmosis dan Toxocariasis. Komplikasi

saluran cerna (GI), termasuk masalah mekanis usus, sembelit, ulserasi,

perforasi, dan penghalang usus, telah dihasilkan dari pica (Ellis, 2012).

C. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding pica (American Psychiatric Association, 2000)

1. Retardasi Mental

2. Pervasive Developmental Disorder

3. Skizofrenia

4. Autis

5. Kleine-Levin syndrome

D. PENEGAKAN DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Presentasi klinis pica sangat bervariasi dan berhubungan dengan

sifat spesifik dari kondisi medis yang dihasilkan dari zat yang tertelan.

Pada keracunan atau paparan agen infeksi, gejala dilaporkan sangat

bervariasi dan berhubungan dengan jenis toksin atau agen infeksi yang

tertelan. Gejala saluran gastrointestinal yang mungkin adalah sembelit,

sakit perut kronis atau akut yang mungkin menyebar atau terfokus, mual

dan muntah, distensi perut, dan kehilangan nafsu makan (Ellis, 2012).

Pasien mungkin menahan informasi mengenai perilaku pica dan

menyangkal adanya pica ketika dipertanyakan. Kerahasiaan ini sering

mengganggu diagnosis yang akurat dan pengobatan yang efektif.

4

Page 5: REVISI

Komplikasi yang timbul dari berbagai bentuk pica dan keterlambatan

diagnosis yang akurat dapat menyebabkan komplikasi ringan sampai

mengancam nyawa (Ellis, 2012).

2. Pemeriksaan Fisik

Temuan fisik yang terkait dengan pica sangat bervariasi dan

berhubungan langsung dengan bahan tertelan. Temuan yang mungkin

ditemukan adalah (Ellis, 2012) :

a. Manifestasi menelan racun

b. Manifestasi infeksi atau infestasi parasit

c. Manifestasi gastrointestinal

d. Manifestasi gigi

Toksisitas Timbal adalah keracunan yang paling umum yang

terkait dengan pica. Manifestasi fisik yang terjadi spesifik dan halus, dan

kebanyakan anak dengan keracunan timah tidak menunjukkan gejala.

Manifestasi fisiki dari keracunan timbal dapat termasuk gejala neurologis

(misalnya, mudah tersinggung, lesu, ataksia, inkoordinasi, sakit kepala,

kelumphan saraf cranial, papil edema, kejang, koma, dan kematian) dan

gejala saluran GI (misalnya, sembelit, sakit perut, kolik, muntah,

anoreksia, dan diare) (Ellis, 2012).

Toxokariasis (termasuk larva migrans visceral dan larva migrans

mata) dan ascariasis adalah infeksi parasit dengan media transmisi tanah

yang paling umum terkait dengan pica. Gejala dari toxocariasis beragam

yang terkait dengan jumlah larva tertelan dan organ mana yang menjadi

tempat migrasi untuk larva. Temuan fisik yang terkait dengan migrans

larva visceral mungkin termasuk demam, hepatomegali, malaise, batuk,

miokarditis, dan encephalitis sedangkan migrans okular larva dapat

menyebabkan lesi retina dan kehilangan penglihatan. Kelainan gigi dapat

terlihat pada pemeriksaan fisik, termasuk abrasi gigi yang parah, abfraksi,

dan kehilangan permukaan gigi (Ellis, 2012).

E. TERAPI

1. Terapi lama

5

Page 6: REVISI

Menurut ADAManual Clinical Dietetics tahun 2000, Pica

didefinisikan sebagai kelainan psikobehavioral yang melibatkan

keinginan-keinginan (ngidam) yang abnormal untuk memakan sesuatu

yang sebenarnya bukan merupakan makanan yang lazim dikonsumsi

seperti tanah, kapur, dan sebagainya. Pica menjadi sebuah perhatian

karena substansi-substansi yang bukan merupakan makanan itu

dikhawatirkan dapat menggantikan nutrisi-nutrisi dari makanan yang

sesungguhnya dan hal ini ias menjadi berbahaya. Menurut Andrews,

1998 sebenarnya tidak ada suatu panduan yang spesifik mengenai

rencana terapi pada pica, tetapi pendekatan personal dan pemberian

edukasi serta saran-saran yang baik mengenai nutrisi yang seimbang pada

pasien pica menjadi suatu hal penting untuk upaya mengurangi

keinginan-keinginan mengkonsumsi benda-benda yang aneh sehingga

dapat tercipta keseimbangan nutrisi dalam tubuh. Rose, 2000 menyatakan

bahwa penatalaksanaan pasien pica dengan cara yang sama belum tentu

mendapatkan hasil yang sama, kesadaran dari praktisi kesehatan adalah

hal yang paling penting dalam manajemen pasien pica (Cunningham dan

Marcason, 2001).

2. Terapi Baru

a. Farmakologis

1. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors

Terapi baru yang kemungkinan bisa digunakan dan telah

direkomendasikan karena hasil yang memuaskan saat diuji coba

pada pasien pica adalah terapi farmakologis dengan selective

serotonin reuptake inhibitors (SSRi) dan neuroleptic atipikal

lain. Terapi baru ini bekerja dengan memblok reuptake atau

reabsorpsi serotonin oleh sel-sel saraf di otak. Beberapa jenis

SSRi ini antara lain adalah fluvoxamin, zimelidin, paroxetin,

fluoxetin, dan citalopram. Salah satu yang paling sering

digunakan adalah fluxetin, efek antikolinergik dari obat ini cukup

rendah, hampir tidak menimbulkan sedasi. Dosis awal 20 mg/hari

6

Page 7: REVISI

tiap pagi, jika frekuensi pica tidak menurun maka dosis bisa

dinaikkan menjadi 30 mg/hari (Morrow, 2010).

2. Bupropion

Bupropion merupakan golongan obat dari aminoketone

norepinephrine and dopamine reuptake inhibitor yang terbukti

bisa digunakan sebagai terapi pada gangguan pica yang persisten,

kronik, dan mengalami ketergantungan nikotin yang parah

(Ginsberg, 2006). Intervensi perilaku pada pasien pica dengan

tujuan untuk mengalihkan perhatian, seperti menyusun ulang

llingkungannya, konseling, dan terapi-terapi perilaku yang lain

tidak berhasil, maka terapi farmakologis merupakan opsi

selanjutnya seperti bupropion (Ginsberg, 2006).

Pada juli 2003, bupropion dikeluarkan dengan regimen 100

mg dua kali sehari ditambah dengan lamotrigin 200 mg tiga kali

sehari, gabapentin 600 mg tiga kali sehari, topiramat 200 mg tiga

kali sehari, zonisamide 300 mg, loratadin 10 mg/hari, naltrexon

50 mg/hari, propanolol 60 mg dua kali sehari, paroxetin 40

mg/hari, risperidone 3 mg dua kali sehari, multivitamin setiap

hari, dan vitamin E 800 IU dua kali sehari. Pada penelitian yang

telah dikakukan, pemberian bupropion selama 12 bulan, pasien

mengalami penurunan episode pica menjadi 6.25 kali setiap

bulan, dan penurunan hampir 0.9 kali episode per bulan dalam 11

bulan pemakaian obat (Ginsberg, 2006).

b. Non Farmakologis

1. Response Effort (Pendekatan perilaku)

Response effort merupakan salah satu terapi pada pica dengan

pendekatan metode perilaku. Pada terapi ini, yang dinilai adalah usaha

pasien untuk berusaha memakan sesuatu yang menjadi objek pica dan

alternatif lain yang bukan objek pica. Pada penelitian yang dilakukan

oleh Piazza et al (2002), penelitian ini menggunakan tiga orang yang

mengalami gangguan kejiwaan dan datang ke klinik Neurobehavioral

7

Page 8: REVISI

di Kennedy Krieger Institute. Pasien pertama memiliki riwayat

memakan kunci mobil, batu, tongkat penunjuk, kotoran, sarung tangan,

dan baterai. Pasien kedua memiliki riwayat memakan batu, tongkat

penunjuk, plastic, dan kotoran. Pasien ketiga memiliki riwayat

memakan batu, tongkat penunjuk, kotoran, pakaian, sabun, dan feces

(Piazza, 2002).

Penelitian dilakukan di ruang tertutup yang terbuat dari bahan yang

aman jika dimakan, lalu disimpan benda objek yang biasa dimakan

(seperti kunci mobil, kotoran, dll) dan benda lain yang menjadi

alternatif), dari kedua benda tersebut akan diletakkan sedemikian

caranya sehingga pasien akan menggunakan low effort atau high effort

untuk menjangkau benda-benda tersebut. Penelitian dilakukan dengan

mengamati response effort pada pica dan benda alternatif. Hasil dari

penelitian ini menunjukkan bahwa pada usaha untuk mendapatkan

benda alternatif itu tinggi (high effort) sedangkan usaha untuk

mendapatkan objek pica mudah (low effort) maka pasien akan

menjangkau objek pica dan memakannya. Sehingga, jika kita

menurunkan usaha untuk menjangkau benda alternatif akan

menurunkan frekuensi kejadian pica. Pada keadaan objek pica mudah

dijangkau (low effort) misalnya benda-benda yang didapat bebas ketika

sedang bermain; dan benda alternatif disimpan susah untuk dijangkau

(misalnya di saku seseorang di sekitar anak) maka akan menurunkan

kejadian pica. Sehingga kesimpulannya, para orang tua atau yang

merawat pasien pica harus bisa menyimpan benda-benda yang

berbahaya untuk dimakan di tempat-tempat yang aman, dan

meletakkan benda-benda pengalih perhatian (benda alternatif) di

tempat-tempat yang menarik untuk pasien sehingga bisa mengurangi

frekuensi pica pada pasien (Piazza, 2002).

2. Response Blocking

Response Blocking merupakan usaha yang dilakukan oleh individu

yang merawat atau menjaga pasien pica agar tidak mengambil benda

(bukan makanan) untuk dimakan. McCord dan Grosser (2005)

8

Page 9: REVISI

melakukan penelitian tentang response blocking pada pasien pica yang

dilakukan selama 10 menit selama 3 sampai dengan 5 hari setiap

minggu. Pada penelitian ini, pasien ditempatkan di ruangan tertutup

yang di dalamnya terdapat kertas segi empat yang dilekatkan ke lantai

dan di atas kertas tersebut disimpan benda-benda (bukan makanan)

yang bisa dimakan oleh pasien pica. Lalu ada seorang terapis yang ada

di ujung ruangan berjarak 3.1 m dari benda yang ada di atas lantai.

Pada percobaan pertama, terapis tidak bereaksi apa-apa (tidak

mencegah/mem-block) pasien saat akan mengambil benda di atas

kertas. Percobaan kedua, terapis mencegah ketika benda sudah

berjarak 0.3 m dari mulut pasien, pada percobaan ketiga, terapis

mencegah pasien mengambil benda di atas kertas (McCord dan

Grosser, 2005).

Pada penelitian ini menunjukan bahwa jika pasien tidak dicegah

maka pasien akan dengan leluasa memakan benda-benda bukan

makanan tersebut, walaupun dicegah, tetapi jika dicegah saat makanan

sudah diambil maka efeknya tidak efektif, pasien tetap tidak mau

menjatuhkan makanan tersebut. Hasil dari pencegahan ini akan efektif

jika perawat atau seseorang yang menjaga pasien mencegah pasien

mengambil benda-benda berbahaya untuk dimakan. Sehingga,

kesimpulannya adalah pencegahan tidak efektif jika dilakukan setelah

pasien mengambil benda untuk dimakan, tetapi harus dilakukan usaha

untuk mencegah pasien menjangkau benda-benda berbahaya untuk

dimakan tersebut (McCord dan Grosser, 2005).

F. PROGNOSIS

Keberhasilan dalam pengobatan bervariasi, sebagian besar kasus pica

berlasung beberapa bulan dan akan sembuh dengan sendirinya, tapi ada

beberapa kasus yang ias berlanjut kemasa remaja dan dewasa terutama

ketika terjadi bersamaan dengan gangguan perkembangan.

9

Page 10: REVISI

G. KOMPLIKASI

Komplikasi pica (Ravinder, 2005)

1. Infeksi

2. Obstruksi usus

3. Menyebabkan keracunan

4. Malnutrisi

5. Diare

6. Anemia

7. Konstipasi

8. Kecacingan

10

Page 11: REVISI

III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pica ialah nafsu makan yang aneh, yaitu penderita menunjukkan nafsu

makan terhadap berbagai atau salah satu obyek yang bukan tergolong

makan, misalnya tanah, pasir, rumput, bulu, selimut wol, pecahan

kaca, kotoran hewan, cat kering, dinding tembok, dan sebagainya

2. Gejala pada saluran Gastrointestinal (GI) seperti sembelit, sakit perut

kronis atau akut yang mungkin menyebar atau terfokus, mual dan

muntah, distensi perut, dan kehilangan nafsu makan.

3. Terapi yang dapat diberikan diantaranya dengan farmakologis yaitu

Selective Serotonin Reuptake Inhibitors dan Bupropion, serta non

farmakologis dengan respons effort dan respons blocking.

B. Saran

1. Meskipun sampai saat ini etiologi pica masih belum diketahui, namun

terdapat beberapa hipotesis yang dapat menjelaskan fenomena ini.

Sehingga masyarakat dapat melakukan pencegahan dengan cara

menghindari etiologi dan factor risiko pica tersebut.

2. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memperdalam

pengetahuan mengenai pica.

3. Memberikan terapi perilaku pada pasien yang menderita PICA, yaitu

dengan mengalihkan perhatian pada benda yang dapat dimakan.

4. Jika terapi perilaku sudah tidak dapat mengatasi, disarankan untuk

memberikan terapi farmakologis, diantaranya yaitu fluvoxamin,

zimelidin, paroxetin, fluoxetin, dan citalopram, serta dapat diberikan

bupoprion.

1.

11

Page 12: REVISI

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. DSM-IV-TR: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Text Revision. American Psychiatric Press;2000:103-105.

Barker, D. 2005. Tooth Wear As A Result Of Pica. Br Dent J. Vol. 199(5):271-3.

Cunningham, Eleese dan Wendy Marcason. 2001. Question of the month: How do I help patients with pica?. Jurnal of the Academy of Nutrition and Dietettics. 101(3): 318

Ellis, Cynthia R. 2012. Pica. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/914765-overview#aw2aab6b5

Ginsberg, David L. 2006. Bupropion SR for Nicotine-Craving Pica in a Developmentally Disabled Adult: Primary Psychiatry. Vol 13(12):28-30

Hagopian, L. P; Rooker, G. W; Rolider, N. U. Identifying Empirically Supported Treatments for Pica in Individuals with Intellectual Disabilities. Res Dev Disabil. Nov-Dec 2011;32(6):2114-20.

Hassan, Rusepno., Alatas, Husein. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hope Interprises Inc. Pica. Available from URL: http://www.heionline.org/docs/training/pica.pdf

Johnson, C.D., Shynett, B., Dosch, R., Paulson, R. 2007. An Unusual Case Of Tooth Loss, Abrasion, and Erosion Associated with A Culturally Accepted Habit. Gen Dent. Vol. 55(5):445-8. 

McCord, Brandon dan Jason W. Grosser. 2005. An Analysis Of Response-Blocking Parameters In The Prevention Of Pica: Journal Of Applied Behavior Analysis. Vol (38): 391-4

Morrow, Alina. 2010. Condition & Disease: Eating & Weight Disorder. Online. Diunduh dari http://www.omnimedicalsearch.com/conditions-diseases/pica-disorder-treatment-options.html. pada tanggal 3 mei 2012.

Piazza, Cathleen., Henry S. Roanne., Kris M. Keeney et al. Varying Response Effort in The Treatment of Pica Maintained by Automatic Reinforcment: Journal Of Applied Behavior Analysis. Vol (35): 233-46

12

Page 13: REVISI

Ravinder K. Gupta, Ritu Gupta. 2005. Clinical Profile of Pica in Childhood. Vol. 7 No. 2: From Adval Pediatric Clinic, Nai Basti, Jammu and The Department of Physiology, Government Medical College Jammu.

Young, S. L. Pica in Pregnancy: New Ideas About an Old Condition. Annu Rev Nutr. Aug 21 2010;30:403-22.

13