REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

86

Transcript of REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Page 1: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI
Page 2: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Volume 18 Nomor 1, Juni 2019

TERAKREDITASI No. 21/E/KPT/2018

KATA PENGANTAR

Majalah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri Volume 18 Nomor 1, Juni 2019

memuat 6 artikel karya tulis ilmiah. Topik yang disajikan meliputi: (1) Peduli Konservasi

Tanah dan Air Tinggal Slogan? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat; (2) Prospek

Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol (C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama

Lalat Buah Bactrocera Spp. (Diptera : Tephritidae); (3) Pemanfaatan Brotowali (Tinospora

crispa (L.) Hook.F & Thomson) Sebagai Pestisida Nabati; (4) Kelayakan Teknis

Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering; (5) Peranan Agens Hayati dalam

Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih pada Tanaman Karet; dan (6) Perbanyakan

Iles-Iles (Amorphophallus Spp.) Secara Konvensional dan Kultur In Vitro Serta Strategi

Pengembangannya.

Semoga artikel yang disajikan dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan

bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Juni 2019

Ketua Dewan Redaksi

Prof. Dr. Ir. Deciyanto Soetopo

ISSN 1412-8004

e-ISSN 2540 - 8240

Page 3: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Volume 18 Nomor 1, Juni 2019

TERAKREDITASI No. 21/E/KPT/2018

Penanggung Jawab Redaksi : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Penanggung Jawab Pelaksana : Ir. Jelfina C. Alouw, M.Sc, Ph.D.

Pemimpin Redaksi merangkap Anggota : Prof. Dr. Ir. Deciyanto Soetopo (Entomologi)

Anggota Redaksi :

Prof. Dr. Ir. Elna Karmawati (Entomologi) Prof. Dr. Dra. Endang Gati Lestari (Bioteknologi Pertanian)

Dr. Ir. I Ketut Ardana (Sosial Ekonomi Pertanian) Dr. Ir. Suci Wulandari (Sosial Ekonomi Pertanian)

Dr. Ir. Saefudin (Agronomi)

Redaksi Pelaksana :

Sudarsono, SE Erriani Kristiyaningsih, S.Si, M.Si Anjas Satria Pamungkas, S.Ikom

Agus Budiharto

Alamat Redaksi : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Jl. Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111 Telp. (0251) 8313083. Faks. (0251) 8336194

e-mail :[email protected] Website: www.perkebunan.litbang.pertanian.go.id

Sumber Dana : DIPA 2019, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan

Foto Sampul Depan :

Tanaman Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.f & Thomson)/foto: Nurhayati (inset: Bagian batang dan

daun (atas/bawah)

Disain Sampul dan Tata Letak : Agus Budiharto

Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, memuat makalah tinjauan (review) penelitian tanaman perkebunan, terbit pertama kali Juni 2002 frekuensi terbit 2 (dua) kali setahun. Tulisan dan gambar yang dimuat dalam majalah ini dapat dikutip dengan mencantumkan (menuliskan) sumbernya.

ISSN 1412-8004

e-ISSN 2540 - 8240

Page 4: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Volume 18 Nomor 1, Juni 2019

TERAKREDITASI No. 21/E/KPT/2018

DAFTAR ISI

Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan? Studi Kasus

Lahan Perkebunan Rakyat

BARIOT HAFIF ....................................................................................................................................... 01 - 15

Prospek Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol

(C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama Lalat Buah Bactrocera Spp.

(Diptera : Tephritidae)

AGUS KARDINAN .............................................................................................................. 16 – 27

Pemanfaatan Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.F & Thomson)

Sebagai Pestisida Nabati

WIRATNO, HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO ................................................................ 28 - 39

Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim

Kering

BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID .............................................................. 40 - 51

Peranan Agens Hayati dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar

Putih pada Tanaman Karet

WIDI AMARIA, KHAERATI, dan RITA HARNI ................................................................................ 52 – 66

Perbanyakan Iles-Iles ( Amorphophallus Spp.) Secara Konvensional

dan Kultur In Vitro serta Strategi Pengembangannya

MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM ....................................................................................... 67 – 78

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN Jl. Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111

2019

ISSN 1412-8004

e-ISSN 2540 - 8240

Page 5: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Perspektif Vol. 18 No. 1 /Jun 2019. Hlm 01- 15 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n1.2019, 01 -15

ISSN: 1412-8004

Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 1

PEDULI KONSERVASI TANAH DAN AIR TINGGAL SLOGAN?

STUDI KASUS LAHAN PERKEBUNAN RAKYAT

A Soil and Water Conservation Only be a Slogan?

Case Study of Land of Smallholder Plantation

BARIOT HAFIF

Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar

Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops

Jln. Raya Pakuwon Km 2, Parungkuda Sukabumi, Indonesia

e- mail: [email protected]

ABSTRAK

Pengelolaan lahan yang kurang peduli kaidah

konservasi tanah dan air (KTA) berkontribusi nyata

terhadap kerusakan lahan. Hal itu diantaranya terjadi

pada areal perkebunan rakyat yang kebanyakan

dikelola secara konvensional. Dari 26,5 juta ha luas

perkebunan nasional, 65% merupakan lahan

perkebunan rakyat yang dominan berada pada

topografi berlereng dengan rata-rata umur tanaman

telah di atas 25 tahun. Cara pengelolaan konvensional

yang mendorong terjadinya erosi dan degradasi lahan

dan umur tanaman yang semakin tua mengakibatkan

produksi tanaman cenderung terus menurun, sehingga

jauh dibawah produktivitas perkebunan Swasta dan

Negara. Agar kerusakan sumberdaya lahan tidak

berkelanjutan dan produktivitas perkebunan rakyat

meningkat, perlu adanya revolusi kebijakan khususnya

terhadap KTA dan penerapan teknologinya. Namun

untuk sampai pada tahap tersebut akan menghadapi

tantangan seperti curah hujan dan intensitas hujan

tinggi, lahan berlereng, dan erodibilitas tanah tinggi.

Tantangan lain ialah efek erosi yang bertahap dalam

menurunkan produktivitas lahan, dan penerapan

teknologi KTA kadang tidak berpengaruh langsung

terhadap peningkatan produksi tanaman. Tantangan

selanjutnya adalah petani kebanyakan lemah dalam

modal dan kepercayaan mereka masih rendah untuk

berinvestasi ke lahan, disebabkan tingginya fluktuasi

harga komoditas perkebunan. Peluang yang

diharapkan memotivasi masyarakat perkebunan untuk

lebih peduli KTA antara lain perekonomian petani

perkebunan membaik dan ekspor komoditas

perkebunan berperan nyata sebagai sumber devisa

negara, dan teknologi KTA dapat berperan dalam

mitigasi perubahan iklim dan penyelamatan hutan

tropis. Implikasi kebijakan untuk hal itu antara lain

memberi semangat baru terhadap masyarakat

perkebunan untuk lebih peduli KTA, memperbaiki

Institusi penanggungjawab Tupoksi, memberikan

insentif terhadap setiap aksi konservasi, melindungi

petani dari fluktuasi harga komoditas dan

mempromosikan program KTA yang mampu

memperbaiki kinerja komoditas dalam waktu relatif

singkat seperti Program Nasional pengayaan bahan

organik tanah.

Kata kunci: perkebunan rakyat, konservasi tanah dan

air, erosi, degradasi

ABSTRACT

In inresponsible management of soil and water

conservation (SWC) contributes significantly to land

degradation. It occurs on smallholder plantations,

which are mostly conventionally managed. Of the 26.5

million ha of the national plantation, 65% is the

smallholder plantation which is dominantly located on

sloping topography with an average age of plants are

over 25 years. Inappropriate management, erosion,

land degradation and senile plants are some reasons

that the smallholder plantation productivity is below

the Private and State plantations. To avoid further

destruction of land resources and to increase the

productivity of smallholder plantations, the SWC and

strategies of its application require a policy revolution.

To reach that stage, however, it would face some

challenges such as high rainfall intensity, sloping land,

and high erodibility of soil. Other challenge, are the

gradual effects of erosion in reducing land

productivity, and the application of SWC technologies

sometimes does not directly affect crop production.

The next challenge is the farmers have low capital and

doesn't trust to invest in the land, due to high

fluctuation of the commodity price. The opportunity to

motivate the plantation community to care more about

SWC is through the economic improvement of

plantation farmers and the role of export of plantation

Page 6: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

2 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :01 - 15

commodities that are quite good into foreign exchange.

In addition, SWC technology can also play a role in

mitigating climate change and saving tropical forests.

The policy implications for all include giving a new

spirit to the plantation community to care more about

SWC, provide incentives for every conservation action,

commodity price protection and a National Program

for soil organic matter enrichment.

Keywords: smallholder plantation, soil and water

conservation, erosion, degradation

PENDAHULUAN

Penurunan kualitas tanah (soil degradation)

bahkan sampai ke tingkat kerusakan/kritis yang

berdampak langsung ke kehidupan manusia

seperti terjadinya bencana longsor, air bah,

pergerakan tanah (soil creep) sudah sering kita

dengar. Salah satu faktor pendorong untuk

kejadian itu adalah aktivitas manusia. Bagian

dari aktivitas manusia yang berperan cukup

besar medorong terjadinya degradasi lahan

adalah cara pengelolaan lahan pertanian yang

kurang memperhatikan kaidah-kaidah

konservasi tanah dan air, seperti yang banyak

dilakukan pada lahan perkebunan rakyat (Hobbs,

2007).

Di Indonesia luas lahan perkebunan rakyat

berkisar 17,2 juta ha atau 65 % dari total luas

perkebunan nasional seluas 26,5 juta ha (Badan

Pusat Statistik, 2018). Perkebunan rakyat

merupakan penggerak ekonomi rakyat dan

berperan besar sebagai penyumbang devisa

Negara, berkontribusi terhadap penyediaan

lapangan pekerjaan di sektor jasa dan

perdagangan di pedesaan, berpengaruh terhadap

stabilitas ekonomi makro, dan sumber bahan

baku bagi industri hilir hasil pertanian (Susila

and Dradjat, 2001; Mayrowani, 2013). Komoditas

perkebunan yang berkontribusi besar terhadap

devisa Negara adalah kelapa sawit, yaitu sebesar

20,34 miliar dolar US. Dari total luas perkebunan

kelapa sawit nasional yaitu 14,1 juta ha, 40%

merupakan perkebunan kelapa sawit rakyat

(Badan Pusat Statistik, 2018).

Produktivitas komoditas di lahan

perkebunan rakyat secara rata-rata lebih rendah

dibanding produktivitas perkebunan swasta atau

Negara (Chalid, 2011; Badan Pusat Statistik,

2018). Produktivitas rendah antara lain

disebabkan oleh kemunduran kualitas lahan

perkebunan rakyat dan akibat cara pengelolaan

lahan yang masih konvensional (Hobbs, 2007).

Cara konvensional cenderung memacu

kehilangan bahan organik tanah dan

menghilangkan banyak simpanan hara tanah

serta menurunkan daya simpan air tanah, juga

laju dan volume air yang masuk ke badan tanah

(infiltration). Akibatnya kapasitas aliran

permukaan dan erosi meningkat (Sutrisno dan

Heryani, 2013).

Sejauh ini cara pengelolaan perkebunan

rakyat yang relatif cepat berkembang hanyalah

kebun kelapa sawit. Petani perkebunan kelapa

sawit cenderung lebih cepat mengikuti cara

budidaya perkebunan swasta dan Negara, seperti

dalam menggunakan benih (klon) unggul, pupuk

kimia, pestisida, dan pemeliharaan tanaman

(Lifianthi et al., 2012). Meskipun demikian secara

rata-rata, produktivitas CPO (crude palm oil)

perkebunan kelapa sawit rakyat (2-3 ton/ha)

hanya separuh dari produktivitas perkebunan

kelapa sawit swasta (5-6 ton/ha) (Nurfatriani et

al., 2017).

Peduli KTA sangat penting dalam

pengelolaan lahan perkebunan rakyat yang

banyak dilakukan pada lahan miring. Cukup

banyak program percontohan dilaksanakan oleh

pemerintah untuk mengembangkan dan

mensosialisasikan sistem usahatani yang peduli

KTA atau diistilahkan sistem usahatani

konservasi (SUK) pada lahan-lahan berlereng,

khususnya yang berada pada daerah aliran

sungai (DAS). Program-program tersebut sudah

dilakukan secara intensif semenjak tahun delapan

puluhan seperti Proyek Penyelamatan Hutan

Tanah dan Air di DAS Citanduy (1982-1988);

Farming Systems Research – Upland Agriculture and

Coservation Project (FSR-UACP) di DAS

Jratunseluna dan Brantas (1984-1994); Yogyakarta

Upland Area Development Project (YUADP) tahun

1992 – 1996; Proyek Pembangunan Penelitian

Pertanian Nusa Tenggara, 1986-1995; Managing of

Soil Erosion Consortium (MSEC) di Jawa Tengah,

1995-2004 dan cukup banyak proyek lainnya.

Sayangnya output dari program-program

tersebut fisiknya lebih terlihat selama proyek

berjalan, selanjutnya rangkaian teknologi

konservasi tanah dan air yang seharusnya

Page 7: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 3

berkembang ke masyarakat pengguna lahan,

seperti lenyap ditelan waktu, kecuali teras-teras

bangku pengendali erosi yang dibangun pada

lahan-lahan miring.

Makalah ini bermaksud mengingatkan

masyarakat KTA untuk kembali bersinergi

menyuarakan pentingnya kepedulian terhadap

KTA, khususnya penyelamatan sumberdaya

lahan dan air pada lahan perkebunan rakyat

yang masih banyak dikelola secara konvensional.

KARAKTERISTIK DAN PRODUKTIVITAS

PERKEBUNAN RAKYAT

Karakteristik

Perkebunan rakyat dengan berbagai

komoditas seperti kelapa dalam, karet, kelapa

sawit, kopi, kakao, teh, tebu dan juga komoditas-

komoditas rempah telah berkembang semenjak

jaman Hindia Belanda yaitu diawali pada jaman

tanam paksa (culturstelsel). Di sebagian besar

tempat, sampai saat ini cara pengelolaan lahan

perkebunan rakyat belum banyak berubah baik

dari sisi teknis budidaya, cara pemeliharaan,

prosesing hasil dan bahkan pemasaran

(Aklimawati dan Mawardi, 2014).

Saat ini di beberapa daerah sentra produksi,

banyak tanaman perkebunan rakyat telah

berumur > 25 tahun, seperti tanaman kopi

robusta di daerah Lampung Barat (Hafif et al.,

2014a), kopi Robusta dan Arabika di Tabanan

Bali (Sutedja, 2018), tanaman kelapa sawit rakyat

di Kabupaten Muara Bungo Provinsi Jambi

(Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, dalam Sapitri

et al., 2014), tanaman kakao rakyat di Kabupaten

Sikka (Murwito dan Mulyati, 2013), tanaman

karet rakyat di Sumatera Selatan (Candra et al.,

2008) dan sebagian besar tanaman kelapa dalam

rakyat bahkan telah berumur > 50 tahun

(Benhard, 2005). Tanaman perkebunan rakyat

biasanya berkembang dari benih asalan, tidak

dipupuk atau dipupuk seadanya/tidak sesuai

kebutuhan tanaman, intensitas pemeliharaan dan

pemberantasan gulma tanaman rendah, dan

teknologi pascapanen rendah (Candra et al.,

2008). Disisi lain kalau petani menggunakan

pestisida untuk pengendalian organisme

pengganggu tanaman (OPT), takaran yang

dipakai cenderung melebihi takaran rekomendasi

(Edwina et al., 2012).

Petani perkebunan tergolong malas dalam

mengikuti petunjuk cara budidaya yang benar.

Sebagai contoh sedikit sekali petani yang

menanam tanaman penaung dan pemangkasan

daun secara berkala dalam budidaya tanaman

kopi robusta di Lampung Barat, meskipun

percontohan cara budidaya kopi yang baik telah

dibangun oleh Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia

(AEKI) di daerah tersebut.

Tabel 1. Luas areal perkebunan besar dan perkebunan rakyat serta persentase luas perkebunan rakyat

terhadap total luas perkebunan nasional

Komoditas

Luas Perkebunan Besar (Swasta+Negara)

Luas Perkebunan Rakyat

Luas Nasional

Persentase Kepemilikan Rakyat dari Luas

Nasional (ribu ha) (%)

Karet 555,8 3.103,3 3.659,1 84,8 Kelapa dalam 36,2 3.617,0 3.653,2 99,0 Kelapa sawit 8.417,3 5.613,3 14.030,6 40,0 Kopi 48,9 1.204,9 1.253,8 96,1 Kakao 42,8 1.687,2 1.730,0 97,5 Teh 61,3 52,4 113,7 46,1 Cengkeh 9,2 538,9 548,1 98,3 Tebu 158,5 267,5 426,0 62,8 Tembakau 0,7 185,0 185,7 99,6 Lada - 175,1 175,1 100,0 Pala - 179,7 179,7 100,0

Jambu mete - 510,1 510,1 100,0 Nilam - 18,8 18,8 100,0 Total 9.330,7 17.153,2 26.483,9 64,8

Sumber: (Badan Pusat Statistik, 2018)

Page 8: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

4 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :01 - 15

Produktivitas Perkebunan Rakyat

Umumnya lahan perkebunan rakyat

(smallholder plantation) lebih luas dari pada

perkebunan besar (swasta dan Negara). Luas

perkebunan rakyat yang lebih sedikit dibanding

luas lahan perkebunan besar hanyalah

perkebunan kelapa sawit (Tabel 1). Meskipun

lebih luas, produktivitas komoditas perkebunan

rakyat rata-rata lebih rendah dari pada

produktivitas perkebunan besar (Tabel 2). Seperti

yang dikemukakan Direktorat Jenderal

Perkebunan, (2018) permasalahan yang dihadapi

kebanyakan petani perkebunan rakyat untuk

memperbaiki kinerja tanaman perkebunan antara

lain kekurangan modal, produktivitas tanaman

menurun akibat kesuburan tanah menurun

(degradasi), serangan organisme pengganggu

tanaman (OPT) relatif tinggi yang berakibat

kuantitas dan mutu hasil rendah, serta peranan

kelembagaan petani belum optimal.

EROSI DAN DEGRADASI LAHAN PADA

AREAL PERKEBUNAN RAKYAT

Erosi

Hasil pengukuran besaran erosi dari lahan

perkebunan rakyat tanpa penerapan teknologi

KTA untuk berbagai komoditas, begitu beragam

(Tabel 3). Seperti pada areal perkebunan kopi

robusta rakyat di Lampung Barat, erosi terukur

mulai dari 2 sampai 37 ton/ha/tahun. Di bawah

tanaman kopi berumur 2 tahun pada lahan

berkemiringan 15% yang selalu disiang bersih

terukur erosi sebesar 22,7 ton/ha (Afandi et al.,

2002). Sementara dari lahan perkebunan kopi

berkemiringan 30 % dengan umur tanaman kopi

1 tahun dan hanya sekitar 12% tanah yang

tertutupi kanopi, terukur erosi sebesar 33,6

ton/ha/tahun (Widianto et al., 2004).

Sebaliknya Dariah et al., (2004) pada lahan

dengan kemiringan 50-60% dan tanaman kopi

berumur 3 tahun, melaporkan erosi yang lebih

kecil yaitu < 2 ton/ha. Perbedaan hasil

pengukuran besar erosi disebabkan oleh banyak

faktor, diantaranya sifat tanah, pola hujan dan

kerapatan penutupan kanopi oleh tanaman kopi

dan tanaman lainnya. Sebagai perbandingan

erosi pada lahan penanaman kopi yang

menggunakan tanaman pelindung di Negara

tropik lain seperti Venezuela, terukur cukup

rendah yaitu < 2 ton/ha/tahun, sementara tanpa

tanaman pelindung erosi mencapai 7

ton/ha/tahun (Hartemink, 2007). Menurut Dariah

et al., (2003) pada areal perkebunan

berkemiringan > 50%, erosi lebih besar terjadi

saat kondisi tanah banyak yang terbuka, yaitu

pada waktu pembukaan lahan dan umur

tanaman masih muda. Khusus untuk tanaman

kopi, besaran erosi akan jauh menurun saat

tanaman telah mencapai umur 2 tahunan

Tabel 2. Produksi dan produktivitas beberapa komoditas perkebunan rakyat dibandingkan dengan

perkebunan swasta dan Negara tahun 2016-2017

Komoditas Luas (ribu ha) Produksi (ribu ton) Produktivitas (ton/ha)

PR PBS PBN PR PBS PBN PR PBS PBN

Kelapa sawit

(kernel)

4.656,6 6.509,9 747,9 2.173,13 3.985,4 487,3 3,22 4,13 3,81

Karet 3.115,7 325,6 230,8 2.638,1 364,5 227,3 0,98 1,49 1,43

Kelapa dalam 3.507,8 32,8 3,87 2.859 30,22 2,52 1,11 1,06 1,28

Teh 53,1 29,1 36,2 49,34 39,34 57,47 1,44 1,51 1,92

Kakao 1.659,6 31,87 32,34 622,5 5,33 11,3 0,77 0,84 0,83

Kopi 1.180,6 18,9 26,78 602,4 2,75 5,51 0,69 0,97 1,02

Tebu 240, 2 136,5 81,6 1.238,7 752,7 341,1 5,16 5,52 4,18

Rata-rata 1,91 2,22 2,07

Sumber: (Badan Pusat Statistik, 2018)

Keterangan: PR= perkebunan rakyat,

PBS=perkebunan besar swasta,

PBN=perkebunan besar Negara

Page 9: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 5

Erosi juga terjadi pada areal perkebunan

kakao tanpa penerapan KTA di Sulawesi

mencapai 11,3 ton (Monde, 2010). Namun dengan

penerapan teknologi KTA berupa rorak erosi bisa

ditekan sampai 76%. Sebagai perbandingan erosi

terukur dari kebun kakao monokultur di

Malaysia juga dilaporkan berkisar 11

ton/ha/tahun, namun bila dalam sistem

multikultur dengan tanaman pisang dan tanah

dibawah kakao disiang bersih, erosi terukur lebih

besar bahkan mencapai 70 ton/ha/tahun

(Hartemink, 2007).

Pada lahan perkebunan kelapa sawit rakyat

berkemiringan 9-31 % di Kabupaten Siak Riau

terukur erosi selama 4 bulan sebesar 4,1 ton/ha

(Ardianto dan Amri, 2017). Erosi yang lebih besar

yaitu 57 ton/ha terjadi pada perkebunan kelapa

sawit rakyat berumur 5-7 tahun pada lahan

berkemiringan 30-40%, di kabupaten Bireuen,

Aceh. Penerapan teknologi KTA berupa

penanaman tanaman penutup tanah Mukuna

pada kelapa sawit tersebut mampu menurunkan

erosi sampai 11 ton/ha (Tabel 4) (Fuady et al.,

2014).

Pengukuran erosi dengan cara memonitor

kehilangan lapisan tanah olah pada perkebunan

karet rakyat yang baru ditanam, dimana

diterapkan pola tanam tanaman sela dengan

nanas, padi gogo dan umbi-umbian, dilakukan

oleh Bernas (2009). Hasil pengamatan

memperlihatkan pada lahan berkemiringan 2, 6,

9, 12, dan 18%, terhitung besaran erosi masing-

masing 6,96; 38,36; 78,96; 127,76; dan 167,04

ton/ha/tahun. Dalam hal ini faktor dominan yang

memperbesar kejadian erosi adalah kemiringan

lahan (Tabel 3), bahkan Bernas, (2009)

berpendapat teknologi KTA sudah harus

diterapkan pada lahan penanaman karet

berkemiringan 6%.

Erosi dari lahan perkebunan tembakau

rakyat di Kabupaten Temanggung dilaporkan

cenderung membawa ke pembentukan lahan

kritis. Pada lahan penanaman tembakau

Tabel 3. Besar erosi dari lahan perkebunan rakyat tanpa penerapan teknik konservasi tanah dan air

Komoditas Umur

Tanaman

Kemiringan

Lahan (%)

Erosi Lama

Pengamatan

Sumber

Kopi 2 tahun 30 22,7 ton/ha/th 1 tahun (Afandi et al., 2002)

1 tahun 30 37 ton/ha/th 3 tahun (Widianto et al., 2004)

3 tahun 50-60 < 2 ton/ha/th 2 tahun (Dariah et al., 2004)

Kakao

5-12 tahun 8-35 11,3 ton/ha/th 7 bulan (Monde, 2010)

15 tahun 9 7,72 ton/ha 1 tahun (Widjajanto dan Gailea,

2008) 38 14,54 ton/ha

Kelapa Sawit

5-7 bulan 15-25 45 ton/ha/4 bln 4 bulan (Fuady et al., 2014)

30-40 57 ton/ha/4 bln

7-25 bulan 15-25 40 ton/ha/4 bln

30-40 55 ton/ha/4 bln

7-8 tahun 10-30 0,24 ton/ha1 6 bulan (Sunarti, 2009)

0,23 ton/ha2

Karet

7-8 tahun 10-30 0,58 ton/ha3 6 bulan (Sunarti, 2009)

0,21 ton/ha4

0,12 ton/ha5

Karet6 2 tahun 2 7,0 ton/ha/th 6 bulan (Bernas, 2009)

6 38,4 ton/ha/th

9 79,0 ton/ha/th

12 128 ton/ha/th

18 167 ton/ha/th

Tembakau 43 30,22 ton/ha/th 1 tahun (Djajadi et al., 2008)

Keterangan: 1 kelapa sawit tanpa disiang, 2 kelapa sawit dicampur pisang, 3 karet disiang bersih, 4 karet tanpa disiang, 5 karet

bercampur hutan, 6 karet intercropping dengan padi, nanas dan umbi-umbian

Page 10: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

6 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :01 - 15

berkemiringan 43%, tanpa penerapan teknik

KTA, erosi mencapai 30,22 ton/ha/tahun (Tabel 3)

(Djajadi et al., 2008).

Degradasi Lahan

Degradasi lahan perkebunan selain

terindikasi dari memburuknya pertumbuhan dan

produksi tanaman juga dapat diinterpretasi dari

kemunduran sifat fisika dan kimia tanah.

Kemunduran sifat kimia tanah, karena hilangnya

unsur hara dan bahan organik tanah oleh erosi.

Memburuknya sifat fisika tanah oleh erosi akan

menurunkan kapasitas infiltrasi dan kemampuan

tanah dalam menahan air, meningkatkan

kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah dan

menurunkan kemantapan struktur tanah.

Sebagai ilustrasi dari dampak degradasi

tanah yakni di daerah Kabupaten Temanggung,

yaitu degradasi tanah menyebabkan

berkurangnya lahan untuk areal penanaman

tembakau. Dampaknya kebupaten ini tidak bisa

mencapai swasembada tembakau. Penyebab

utama dari degradasi tanah di daerah tersebut

adalah erosi. Bahkan dibeberapa tempat erosi

menyebabkan terbentuknya lahan kritis yang

tidak bisa lagi ditanami dengan tembakau.

Diperkirakan di daerah tersebut khususnya di

wilayah Sub‐DAS Progo Hulu, didapatkan lahan

kritis seluas 3.523 ha (GGWRM‐EU dalam

Suyana, 2009). Pengolahan tanah yang intensif

dan pembuatan bedeng searah lereng untuk

penanaman tembakau pada lahan berkemiringan

> 40% nyata mempercepat laju erosi (Djajadi et al.,

2008).

Hasil penelitian Pambudi dan Hermawan,

(2010) di Bengkulu Utara mendapatkan produksi

kelapa sawit cepat menurun pada lahan yang

semakin curam. Pada lahan tersebut struktur

tanah granular berkurang, demikian juga bahan

organik, hara, jasad-jasad renik dan cacing tanah

(Sabrina et al., 2009). Degradasi lahan perkebunan

kopi rakyat di Lampung Barat selain terindikasi

oleh rendahnya produktivitas kopi robusta yaitu

dalam tahun 2013 rata-rata produksi hanya 500

kg/ha, juga ditunjukkan oleh buruknya sifat

kimia tanah areal penanaman kopi, yaitu pH

tanah masam (4,28 – 4,91), tanah miskin hara (rat-

rata hara kategori rendah) dan kandungan Al-dd

tinggi (3,51 cmol(+)/kg) (Hafif et al., 2014b).

Dariah et al., (2003) juga melaporkan erosi yang

lebih besar pada lahan perkebunan kopi rakyat di

Lampung Barat yaitu mencapai 37 ton/ha,

berkorelasi dengan kondisi sifat fisika tanah yang

menurun yaitu porositas < 60%, pori makro tanah

< 13% dan permeabilitas tanah < 3 cm/jam. Cara

budidaya kopi secara monokultur lebih cepat

menurunkan kualitas tanah dibanding cara

Tabel 4. Hasil penelitian pengaruh teknologi KTA terhadap erosi pada lahan-lahan perkebunan rakyat

Teknologi KTA Komoditas Erosi (ton/ha) Penurunan

Erosi dari

kontrol

(%)

Sumber

Rumput paspalum sebagai

cover crop*

Kopi Robusta 0 100 (Afandi et al., 2002)

Rorak dengan mulsa vertikal Kakao 2,29 76 (Monde, 2010)

Intercropping padi, kedelai

dan strip mukuna

Kelapa sawit 11,96 79 (Fuady et al., 2014)

Sistem agroforestri Karet 0,12 79 (Sunarti, 2009)

Sistem agroforestry, pada

lereng 9%

Kakao 1,59 79 (Widjajanto dan Gailea,

2008)

Sistem agroforestry, pada

lereng 38%

4,06 72

Flemingia pada bidang

vertikal teras, rumput setaria

pada bibir teras dan rorak.

Tembakau 16,67 44,5 (Djajadi et al., 2008)

Keterangan: *berdampak kurang baik terhadap pertumbuhan kopi robusta

Page 11: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 7

multistrata pada daerah tersebut (Dariah et al.,

2005).

Degradasi lahan yang buruk juga terjadi

pada areal perkebunan karet rakyat yang

ditanam secara monokultur dengan budidaya

siang bersih di Muara Bungo Jambi. Tanah di

bawah cara pengelolaan tersebut didapatkan

lebih padat (Berat isi 1,24 g/cm3), dengan total

ruang pori tanah paling rendah (57%), dan

kandungan C-organik tanah juga paling rendah

(1,36%) (Sunarti, 2009).

Hasil penelitian Datukramat et al. (2013), di

desa Sejahtera Kabupaten Sigi Sulteng, juga

mendapatkan kondisi fisika tanah areal

penanaman kakao telah terdegradasi yang

ditandai oleh tekstur tanah lempung liat berpasir,

permeabilitas agak lambat, berat jenis (bulk

density) tinggi, dan porositas tanah kurang baik.

Sifat fisika tersebut lebih buruk dari sifat fisika

tanah daerah itu dalam kondisi alami (hutan)

yaitu tekstur lempung berpasir, permeabilitas

sedang, dan porositas baik. Perubahan tekstur

tanah dari lempung berpasir ke lempung liat

berpasir adalah indikasi hilangnya sebagian

partikel debu tanah oleh erosi.

Menurut Yasin (2007) degradasi tanah

dibawah hamparan perkebunan kelapa sawit

rakyat juga terjadi di Dhamasraya Sumatera

Barat. Hal itu terindikasi dari menurunnya

kandungan karbon organik dan meningkatnya

berat jenis tanah dibandingkan tanah hutan

sebelum konversi. Kealpaan petani untuk

menanam tanaman penutup diantara kelapa

sawit dan tidak mengembalikan tandan kelapa

sawit ke lahan adalah faktor penyebab terjadinya

degradasi tanah.

PENGARUH TEKNOLOGI KTA

TERHADAP PRODUKSI KOMODITAS

Penerapan teknologi KTA, kadang

memerlukan waktu untuk berpengaruh positif

terhadap peningkatan produksi komoditas,

meskipun secara cepat mampu mengendalikan

erosi. Hasil penelitian Marni (2009) di Lampung

Selatan mendapatkan produksi kelapa sawit lebih

tinggi pada lahan yang diperlakukan dengan

guludan dan rorak pengendali erosi yaitu

masing-masing 25,3 dan 24,2 ton/ha/tahun,

sementara pada lahan kontrol produksi hanya

berkisar 22,7 ton/ha/tahun. Hasil yang hampir

mirip didapatkan Murtilaksono et al., (2009) yaitu

produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit

dari lahan dengan aplikasi teras gulud dan rorak

masing-masing 25,2 dan 23,6 ton/ha, sedangkan

dari lahan tanpa aplikasi KTA hanya 20,8

ton/ha/tahun. Alasan terjadinya hal itu oleh

kedua peneliti hampir mirip yaitu teknologi KTA

tersebut mampu meningkatkan ketersediaan air

untuk tanaman.

Hasil penelitian Evizal et al. (2008) di

Lampung Barat mendapatkan produksi tanaman

kopi robusta yang diberi penaung tanaman

gamal (Gliricidia sepium) dan dadap (Erythrina

indica) masing-masing 0,99 dan 0,81 ton/ha/tahun

adalah lebih baik dibanding produksi biji kopi

tanpa penaung yaitu 0,58 ton/ha/tahun.

Perbedaan hasil disebabkan tanaman kopi yang

diberi penaung mengalami stress cekaman air

pada musim kemarau, karena tanaman penaung

merontokkan daun saat tersebut. Cekaman

lingkungan seperti itu menurut peneliti

berpengaruh positif terhadap pertumbuhan

generatif kopi (pembungaan dan pembuahan),

sehingga hasil kopi dengan tanaman penaung

lebih baik.

Penelitian pengaruh KTA terhadap kakao di

Sulawesi Tengah dilaporkan Widjajanto dan

Gailea, (2008) yakni dalam bentuk agroforestri,

perkebunan kakao rakyat memberikan

pendapatan yang lebih tinggi yaitu mencapai Rp.

44.047.802/ha/tahun, sedangkan secara

monokultur hanya mendapatkan hasil sebesar

Rp. 21.803.621/ha/tahun. Nilai pendapatan yang

lebih tinggi pada sistem agroforestri disebabkan

adanya tambahan pendapatan dari hasil

penjualan kayu-kayuan dan tanaman lainnya

seperti alpukat dan kemiri.

Namun demikian beberapa hasil penelitian

mengindikasikan untuk komoditas tertentu perlu

lebih selektif dalam memilih teknologi KTA.

Seperti hasil penelitian Djajadi (2000) di

Temanggung mendapatkan aplikasi teknologi

KTA berupa teras bangku, guludan dan rorak

cenderung menurunkan produksi tanaman

tembakau karena efeknya yang lebih lama dalam

menjaga kelembaban tanah yang tinggi. Kondisi

itu kurang sesuai dengan kebutuhan

Page 12: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

8 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :01 - 15

pertumbuhan tanaman tembakau yang sensitif

terhadap kelembaban tanah berlebihan. Contoh

lain adalah penanaman rumput paspalum

sebagai tanaman penutup tanah pada lahan

penanaman kopi Robusta. Keberadaan tanaman

penutup tersebut ternyata menimbulkan

persaingan dalam hal penggunaan air dan hara

dengan tanaman kopi robusta (Afandi et al.,

2002).

TEKNOLOGI KTA EKSISTING PADA

LAHAN PERKEBUNAN RAKYAT

Berbagai teknologi konservasi tanah dan air

telah diperkenalkan ke petani melalui bimbingan

teknis, percontohan dan penyuluhan. Sayangnya

masih sulit ditemui aplikasi teknologi-teknologi

tersebut di hamparan lahan perkebunan rakyat

pada skala cukup luas. Kebanyakan teknologi

KTA yang dterapkan kadang masih berbau

bantuan. Artinya teknologi tersebut hadir di

lahan petani karena adanya embel-embel bantuan

dari pemerintah daerah atau pusat.

Salah satu teknologi KTA yang cukup

favorit diterapkan ditingkat petani adalah rorak

(jebakan air untuk penahan laju aliran

permukaan). Ukuran rorak yang dibuat petani di

permukaan lahan perkebunan cukup beragam.

Namun secara umum panjang 2 – 4 m, lebar 30-

50 cm dan dalam berkisar 30-40 cm. Contoh

rorak yang dibuat petani pada lahan perkebuan

karet di Jambi, lada di Lampung Utara (Rokhmah

dan Hafif, 2016) dan kakao di Kalimantan Timur

(Rahayu, 2017) ditampilkan pada Gambar 1.

Teknologi KTA lainnya yang juga ditemui

pada areal perkebunan rakyat di beberapa daerah

seperti teras bangku dan rorak sederhana, serta

menumpuk serasah sisa tanaman secara

melintang lereng. Teknologi-teknologi tersebut

diantaranya ditemui di lahan perkebunan kopi

rakyat di Lampung Barat , dan perkebunan

kelapa sawit rakyat di Waykanan Lampung

Gambar 1. Keragaan teknik KTA berupa rorak pada (A) lahan perkebunan karet rakyat di Jambi, (B)

perkebunan lada rakyat di Lampung Utara (Rokhmah dan Hafif, 2017) dan (C) perkebunan

kakao rakyat di Kaltim (Rahayu, 2017)

Gambar 2. Keragaan teknologi KTA sederhana (A = tumpukan serasah melintang lereng pada

perkebunan kelapa sawit rakyat di Waykanan Lampung dan B = teras bangku pada

perkebunan kopi dan C = rorak sederhana pada perkebunan kopi rakyat di Lampung Barat

Page 13: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 9

(dokumentasi pribadi penulis). Keragaan

penerapan teknologi KTA tersebut disajikan pada

Gambar 2.

TANTANGAN DAN PELUANG DALAM

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KTA

Tantangan

Tantangan yang akan dihadapi dalam

memotivasi masyarakat tani untuk peduli KTA

dan mengadopsi serta menerapkan teknologi

KTA di lahan dapat memilah menjadi beberapa

bagian diantaranya tantangan dari kondisi lahan,

sifat erosi dan teknologi KTA serta sosial-

ekonomi petani.

1. Kondisi lahan

Laju erosi begitu besar di Indonesia selain

disebabkan oleh cara pengelolaan lahan yang

tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi

tanah dan air, juga disebabkan karakteristik

sumberdaya lahan seperti curah hujan tinggi,

lahan berlereng, dan kebanyakan tanah sangat

peka terhadap erosi (Adimihardja, 2008).

Seperti disajikan di dalam Tabel 5, lebih dari

60 % wilayah Indonesia mempunyai curah hujan

tahunan > 2000 mm/tahun (Subagyono et al

dalam Hafif, 2016). Mengendalikan sifat hujan

yang sangat erosive karena intensitas dan energi

kinetik tinggi merupakan tantangan yang berat.

Perkebunan rakyat kebanyakan berkembang

pada lahan kering dari topografi bergelobang

sampai berbukit bahkan bergunung (kemiringan

lahan > 40 %). Dari luas lahan yang bisa digarap

untuk pertanian di Indonesia yaitu seluas 87,37

juta ha, lebih kurang 34,51 juta ha berada pada

topografi berbukit sampai bergunung (lereng >

30%) dan 23,79 juta ha berada pada topografi

bergelombang sampai berbukit (lereng 15 - 30%)

(Tabel 6) (Subiksa et al., 2012). Artinya kondisi

topografi merupakan tantangan lainnya dalam

pengendalian erosi.

Kendala lain adalah sifat tanah yang peka

terhadap erosi (erodibility). Dua jenis tanah yang

banyak dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan

dan pertanian di Indonesia adalah Ultisols

(Podsolik merah kuning) (41,9 juta ha) dan

Inceptisols (Kambisol, Mediteran, tanah Aluvial)

(40,9 juta ha) (Mulyani et al., 2009). Kedua jenis

tanah tersebut tergolong agak peka sampai peka

terhadap erosi. Pada daerah yang lebih curam

(berbukit), perkebunan banyak memanfaatkan

tanah Andisols (Andosol). Tanah ini tergolong

peka sampai sangat peka terhadap erosi (Dariah,

2004). Sebagaimana dikemukakan oleh

Adimihardja, (2008), tanah-tanah yang terbentuk

di daerah tropis, cenderung rentan terhadap

bahaya erosi, karena curah hujan tinggi telah

mencuci dan menghanyutkan bahan-bahan

pemantap agregat tanah seperti bahan organik,

dan mineral-mineral tanah lainnya. Hilangnya

bahan-bahan tersebut membuat struktur tanah

lemah dan mudah hancur menjadi butiran lebih

halus sehingga tanah mudah tererosi.

Table 5. Luas lahan (%) di bawah jumlah curah hujan tahunan berbeda di masing-masing pulau di

Indonesia.

Pulau

Curah hujan Tahunan (mm)

>5000 3500-5000 2000-3500 1000-2000 <1000

Area (%)

Sumatera

Jawa

Kalimantan

Sulawesi

Maluku

Papua

Bali dan Nusa Tenggara

0,8

1,9

-

-

-

10,3

-

21,5

12,6

29,0

23,0

1,7

33,7

2,1

71,5

56,0

66,3

66,1

71,9

40,3

16,3

6,2

29,5

4,7

30,9

26,4

15,7

69,6

-

-

-

0,8

-

-

12,0

% dari luas Indonesia 2,6 20,5 59,7 16,2 1,0

Sumber: Subagyono et al., dalam Hafif (2016)

Page 14: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

10 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :01 - 15

2. Sifat erosi dan teknologi KTA

Pengaruh erosi terhadap produktivitas

tanaman berjalan secara bertahap (Lu et al., 2007).

Artinya erosi menurunkan pertumbuhan dan

produksi tanaman secara berangsur-angsur dan

biasanya terlihat nyata setelah 3 – 4 tahun,

sebagaimana petani perladangan pindah ke

tempat yang baru. Demikian pula sebaliknya

yakni teknologi KTA kadang tidak berpengaruh

langsung terhadap perbaikan produksi tanaman

atau memerlukan waktu untuk berdampak

terhadap perbaikan produktivitas lahan. Hal itu

membuat petani sering lupa dan cenderung

mengabaikan pentingnya penerapan teknologi

KTA. Apabila degradasi lahan sudah terjadi

maka akan sulit dan mahal bagi petani untuk

merehabilitasinya (Lu et al., 2007).

3. Sosial-ekonomi petani

Tingkat rata-rata pendidikan petani yang

relatif rendah dan keterbatasan modal petani

merupakan tantangan utama. Memberi

pemahaman akan pentingnya cara pengelolaan

lahan yang baik untuk mempertahankan

produktivitas tanaman kadang masih sulit

mereka terima. Cara mereka dalam mengelola

lahan cenderung lebih mengikuti pola yang

dilakukan oleh para pendahulu. Disisi lain

kebanyakan petani mengandalkan hasil

perkebunan sebagai sumber pendapatan utama

untuk kebutuhan sehari-hari. Hal itu membuat

hanya sebagian kecil dari hasil perkebunan yang

bisa mereka investasikan kembali ke lahan.

Bagian hasil yang diinvestasikan pun lebih

banyak digunakan untuk pembelian pupuk dan

pestisida. Penyebab lain dari keberatan petani

untuk berinvestasi di lahan mereka adalah harga

komoditas perkebunan yang sangat fluktuatif.

Hal itu membuat kepercayaan petani menjadi

lemah terhadap keuntungan yang akan di dapat

bila mereka melakukan investasi yang lebih besar

(Hafif dan Mawardi, 2015). Disisi lain Lembaga

yang mampu mendorong masyarakat/petani

untuk mengadopsi teknologi KTA dianggap

masih kurang kridibel dan lembaga konservasi

yang ada cenderung belum berfungsi sesuai

dengan yang diharapkan (Haryanti, 2014).

Peluang

Beberapa hal yang bisa dianggap sebagai

peluang untuk dapat meningkatkan kepedulian

pengambil kebijakan dan masyarakat tani

khususnya petani perkebunan rakyat terhadap

KTA sebagai berikut:

1. Pada tahun 2017 nilai ekspor komoditas

perkebunan mencapai Rp 431,4 T yang

merupakan penyumbang devisa Negara

terbesar dari sektor pertanian (Direktorat

Jenderal Perkebunan, 2018). Kontribusi

perkebunan rakyat tentu sangat besar karena

luas perkebunan rakyat mencapai 65 % dari

luas total perkebunan nasional. Adanya

kontribusi yang cukup besar dari sub-sektor

perkebunan terhadap devisa Negara maka

selayaknya kebijakan pemerintah dalam hal

penyelamatan sumberdaya lahan khususnya

lahan perkebunan rakyat juga menjadi lebih

baik. Seperti dikemukakan (Robbins and

Tabel 6. Sebaran luasan lahan pertanian berdasarkan kemiringan lahan di Indonesia

Pulau Datar

(< 3%)

Berombak

(3 – 8 %)

Berombak-

Bergelombang

(8 – 15)

Bergelombang –

Berbukit

(15 – 30%

Berbukit –

Bergunung (>

30 %)

............................................x 000 ha.........................................

Sumatera 13.516 6.611 10.244 6.758 9.680

Jawa 2.430 1.433 3.017 5.239 1.059

Nusatenggara 430 857 714 1.961 3.206

Kalimantan 10.045 15.900 6.427 7.702 12.444

Sulawesi 2.778 388 1.087 5.708 8.624

Maluku dan Papua 13.359 6.288 2.791 9.505 16.294

Total 42.568 31.477 24.290 36.871 51.307

Persentase (%) 22,6 16,7 12,9 19,6 27,3

Sumber: Subagyo dalam Subiksa et al., (2012)

Page 15: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 11

Williams, 2005) salah satu faktor penentu dari

tingkat adopsi dan kepedulian petani

terhadap KTA adalah kebijakan dan politik

pemerintahan.

2. Nilai jual produk perkebunan yang semakin

baik yang tercermin dari kontribusinya yang

cukup tinggi terhadap devisa Negara,

selayaknya juga berdampak terhadap

perbaikan perekonomian petani perkebunan.

Seandainya hal itu terjadi (perekonomian

petani perkebunan lebih baik) maka tingkat

adopsi petani perkebunan terhadap teknologi

KTA juga akan lebih baik karena salah satu

faktor penentu tingkat adopsi teknologi KTA

adalah perekonomian petani (Robbins and

Williams, 2005).

3. Terjadinya perubahan iklim cenderung

berpengaruh negatif terhadap hasil komoditas

perkebunan, sementara penerapan teknologi

KTA juga sebagai cara untuk mitigasi

perubahan iklim (Agus, 2013). Kondisi itu

diharapkan mampu memotivasi petani untuk

lebih peduli KTA.

4. Keselamatan hutan dan lahan di daerah tropis

semakin menjadi sorotan dunia. Ini juga

peluang untuk lebih mudah meyakinkan

petani, betapa pentingnya keselamatan

sumberdaya lahan bagi kehidupan manusia.

Lahan perkebunan rakyat yang mudah

dikembangkan ke pola agroforestri akan

berkontribusi besar terhadap hal tersebut.

5. Bermacam bentuk teknologi KTA sudah

tersedia, dan telah direkomendasikan. Tinggal

bagaimana pengambil kebijakan dapat

memfasilitasi cara pengembangan dan

penerapan yang lebih baik khususnya di

lahan perkebunan rakyat.

IMPLIKASI KEBIJAKAN

Hal-hal yang telah dipaparkan diatas

membawa implikasi ke beberapa kebijakan

sebagai berikut:

1. Gaung kepedulian terhadap kaidah-kaidah

KTA, akhir-akhir ini terasa semakin menurun.

Hal itu disebabkan tertutupnya perhatian

pengambil kebijakan terhadap pentingnya

KTA oleh kebijakan program pertanian yang

lebih diutamakan yaitu tercapainya

swasembada pangan. Kondisi ini tidak boleh

berjalan terus, selayaknya ada kebijakan

tersendiri terkait keselamatan sumberdaya

lahan khususnya lahan-lahan perkebunan

rakyat yang rentan terdegradasi.

2. Melemahnya kepedulian akan kaidah KTA,

kemungkinan juga disebabkan adanya

kejenuhan pada institusi tertentu yang diberi

tupoksi untuk mengurusi masalah

penyelamatan sumberdaya lahan. Salah satu

penyebabnya adalah kinerja yang sulit

optimal dalam membina petani untuk peduli

KTA. Untuk hal itu perlu ada koreksian

terhadap tanggungjawab dan wewenang yang

diberikan. Institusi yang diberi tupoksi juga

harus lebih kredibel dan didukung oleh

orang-orang yang lebih profesional dalam

bidang KTA.

3. Ke depan sudah diperlukan adanya

penghargaan/insentif untuk aksi konservasi

yang dilakukan oleh petani, sebagaimana

sudah dilakukan di banyak Negara (Hoag,

2004; Porras et al., 2007). Sumber pembiayaan

untuk insentif sebaiknya dialokasikan dari

pendapatan Negara yang bersumber dari

produk komoditas perkebunan.

4. Sampai saat ini tingkat investasi petani

perkebunan rakyat ke lahan masih sangat

rendah. Hal itu disebabkan fluktuasi harga

komoditas perkebunan yang begitu tinggi

sehingga melemahkan semangat petani untuk

berinvestasi. Untuk mengatasi hal itu

sebaiknya pemerintah mengeluarkan

kebijakan baru yang bisa melindungi petani

perkebunan dari fluktuasi harga.

5. Teknologi KTA yang dianjurkan ke petani

harus lebih bersifat spesifik dan dapat

menguntungkan petani dalam waktu yang

relatif singkat. Sebagai contoh, saat ini sudah

seharusnya ada gebrakan/Program Nasional

untuk kembali memperkaya bahan organik

tanah, karena hampir semua tanah

perkebunan rakyat sudah miskin bahan

organik (kondisi ini berlaku juga untuk lahan

pertanian lainnya). Aplikasi bahan organik

merupakan bagian dari teknologi KTA karena

selain memperbaiki kesuburan tanah bahan

Page 16: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

12 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :01 - 15

ini memperbaiki sifat fisika tanah seperti

kapasitas infiltrasi, dan daya jerap air tanah

sehingga erodibitas tanah menurun.

Pengadaan dalam skala besar mungkin dapat

dilakukan melalui program pengomposan

besar-besaran bahan tanaman yang kurang

terpakai seperti biomassa tanaman semak,

rumput liar dan tanaman lainnya, penyediaan

pupuk hijau, pengayaan mikro-organisme

tanah, pemanfaatan bahan-bahan sisa dari

lautan dan sisa produk olahan manusia,

disamping pupuk kandang dan pupuk

organik.

KESIMPULAN

Sekitar 17,2 juta ha luas lahan perkebunan

rakyat kebanyakan digarap secara konvensional

pada topografi berombak sampai berbukit.

Kondisi itu sangat rentan terhadap bahaya erosi

dan degradasi atau kerusakan lahan. Dalam

situasi seperti itu, ditambah umur tanaman yang

semakin tua (> 25 tahun), produksi tanaman

perkebunan rakyat jauh lebih rendah dibanding

perkebunan swasta dan negara.

Revolusi kebijakan, khususnya kebijakan

terhadap KTA, akan menemui banyak tantangan

seperti kondisi alam (curah hujan dan intensitas

hujan tinggi, lahan berlereng, dan erodibilitas

tanah tinggi), cara pandang petani yang

konvensional terhadap erosi karena erosi tidak

drastis menurunkan produktivitas lahan, dan

penerapan teknologi KTA kadang juga tidak

langsung meningkatkan produksi tanaman.

Tantangan lain yang cukup mendasar adalah

kebanyakan petani kurang modal dan cenderung

kurang percaya dalam berinvestasi ke lahan

disebabkan tingginya fluktuasi harga komoditas.

Peluang dalam memotivasi masyarakat

khususnya petani perkebunan untuk lebih peduli

KTA adalah membaiknya perekonomian petani

perkebunan, kontribusi nyata ekspor komoditas

terhadap pemasukan Negara, dan aplikasi

teknologi KTA bisa berfungsi untuk mitigasi

perubahan iklim dan penyelamatan hutan tropis.

Implikasi kebijakan yang diperlukan ialah

memberi semangat baru kepada masyarakat

perkebunan untuk lebih peduli KTA melalui

perbaikan institusi penanggungjawab tupoksi,

perlu penghargaan/insentif untuk setiap aksi

konservasi, melindungi petani dari fluktuasi

harga, dan merekomendasi teknologi KTA yang

cepat menguntungkan petani seperti pengayaan

bahan organik tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, A., 2008. Teknologi dan strategi

konservasi tanah dalam kerangka

revitalisasi pertanian 1). Pengemb. Inov.

Pertan. 1: 105–124.

Afandi, T.K. Manik, B. Rosadi, M. Utomo, M.

Senge, T. Adachi, and Y. Oki. 2002. Soil

erosion under coffee trees with different

weed managements in humid tropical hilly

area of Lampung , South Sumatr. J. Jpn. Soc.

Soil Phys 19: 3–14.

Agus, F. 2013. Perubahan Iklim Mendukung

Keberlanjutan Soil and Carbon

Conservation for Climate Change

Mitigation and. Pembang. Inov. Pertan. 6:

23–33.

Aklimawati, L., dan S. Mawardi. 2014.

Karakteristik Mutu dan Agribisnis Kopi

Robusta di Lereng Gunung Tambora,

Sumbawa Characteristics of Quality Profile

and Agribusiness of Robusta Coffee in

Tambora Mountainside , Sumbawa. Pelita

Perkeb. 30: 159–180.

Ardianto, K., dan A.I. Amri. 2017. Pengukuran

dan Pendugaan Erosi pada Lahan

Perkebunan Kelapa Sawit dengan

Kemiringan Berbeda. JOM Faperta 4: 1–15.

Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Indonesia

2018. Jakarta.

Benhard, M.R. 2005. Budidaya Peremajaan

Tebang Bertahap pada Usahatani Polikultur

Kelapa. Perspektif 4: 11–19.

Bernas, S.M. 2009. Perbandingan Besar Erosi

Yang di Prediksi Berdasarkan U.S.L.E. dan

Besar Erosi Yang Diukur Langsung Pada

Berbagai Lereng Dari Kebun Karet

Campuran Yang Baru Dibuka. Maj. Ilm.

Sriwij. 16: 499–507.

Candra, H., A. Mulyana, dan I. Zahri. 2008.

Analisis Tingkat Produktivitas Tanaman

Karet Tua Dalam Hubungannya dengan

Kondisi Ekonomi Rumah Tangga dan

Page 17: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 13

Kesiapan Pekebun untuk Meremajakan

Tanaman Karet di Sumatera Selatan.

Agribisnis dan Ind. Pertan. 7: 40–57.

Chalid, N. 2011. Perkembangan Perkebunan

Kelapa Sawit Di Provinsi Riau. J. Ekon. 19:

78–97.

Dariah, A., H. Subagyo, C. Tafakresnato dan S.

Marwanto. 2004. Kepekaan Tanah Terhadap

Erosi.

http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/

dokumentasi/buku/

lahankering/berlereng2.pdf. [17 Mei 2019]

Dariah, A., F. Agus, S. Arsyad, Sudarsono, dan

Maswar. 2004. Erosi Dan Aliran Permukaan

Pada Lahan Pertanian Berbasis Tanaman

Kopi di SumberJaya Lampung Barat.

Agrivita 26: 52–60.

Dariah, A., F. Agus, S. Arsyad, Sudarsono, dan

Maswar. 2003. Hubungan Antara

Karakteristik Tanah dengan Tingkat Erosi

pada Lahan Usahatani. J. Tanah dan Iklim

21: 78–86.

Dariah, A., A. Agus, dan Maswar, 2005. Kualitas

Tanah pada Lahan Usahatani Berbasis

Tanaman Kopi ( Studi Kasus di Sumber Jaya

, Lampung Barat ). Tanah dan Iklim 23: 48–

57.

Datukramat, R.S., A. Monde, dan A.K. Paloloang.

2013. Degradasi beberapa Sifat Fisik Tanah

Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi

Lahan Perkebunan Kakao (Theobroma cacao

L.) di Desa Sejahtera, Palolo. e-J. Agrotekbis

1: 346–352.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2018. Program

Pembangunan Perkebunan 2018.

Djajadi. 2000. Erosi dan Usaha Konservasi Lahan

Tembakau di Temanggung. Monogr.

Balittas 5: 40–46.

Djajadi, Masture, dan A. Murdiyati. 2008. Teknik

Konservasi untuk Menekan Erosi dan

Penyakit Lincat pada Lahan Tembakau

Temanggung. Littri 14: 101–106.

Edwina, S., Adiwirman, F. Puspita, dan G.M.

Manurung. 2012. Karakteristik dan Tingkat

Pengetahuan Petani Kelapa Sawit Rakyat

Tentang Pemupukan di Kecamatan Tanah

Putih Kabupaten Rokan Hilir. Indones. J.

Agric. Econ. 3: 163–176.

Evizal, R., I.D. Prijambada, J. Widada, dan D.

Widianto. 2008. Layanan Lingkungan

Pohon Pelindung pada Sumbangan Hara

dan Produktivitas Agroekosistem Kopi.

Pelita Perkeb. 25: 23–37.

Fuady, Z., H. Satriawan, dan N. Mayani. 2014.

Aliran Permukaan, Erosi dan Hara Sedimen

Akibat Tindakan Konservasi Tanah

Vegetatif Pada Kelapa Sawit. Sains Tanah

11: 95–103.

Hafif, B. 2016. Achieving food sovereignty

through water conservation : A review.

Agric. Rev. 37: 133–140.

https://doi.org/10.18805/ar.v37i2.10738

Hafif, B., dan R. Mawardi. 2015. Kondisi

Eksisting dan Prospek Keberlanjutan

Usahatani Lada (Piper nigrum L.) Di

Lampung Utara, in: Gusmaini, Barmawie,

N., Rizal, M., Wahyuno, D., Pribadi, E.R.,

Nurhayati, H. (Eds.), Seminar Teknologi

Budidaya Cengkeh, Lada, Dan Pala. IAARD

Press, Hlm. 127–132.

Hafif, B., B. Prastowo, dan B.R. Prawiradiputra.

2014a. Pengembangan Perkebunan Kopi

Berbasis Inovasi Di Lahan Kering Masam.

Pengemb. Inov. Pertan. 7: 199–206.

Hafif, B. Risfaheri, A.A. Rivaie, Jamhari, E.

Novrianti, E.M. Janah dan Suroso. 2014b.

Kegiatan Model Percepatan Pembangunan

Pertanian Berbasis Inovasi di Lahan Sub

Optimal di Kabupaten Lampung Barat.

Laporan Akhir. BPTP Lampung. 27 hlm.

Hartemink, A.E. 2007. Soil erosion: Perennial crop

plantations. In Encyclopedia of Soil Science.

DOI: 10.1081/E-ESS-120041234 Copyright #

2006 by Taylor & Francis. All rights

reserved. https://www.researchgate.net/

publication/40106781_Soil_erosion_Peren

nial_crop_plantations. [25 Juli 2018].

Haryanti, N. 2014. Disfungsi Institusi Konservasi

dan Dampaknya Pada Kegagalan Adopsi

Teknologi Konservasi Tanah dan Air, Studi

Kasus di Kabupaten Wonogiri dan

Temanggung Jawa Tengah. Penelit. Sos. dan

Ekon. Kehutan. 11: 44–58.

Hoag, D.L. 2004. Economic Incentives for Soil

Conservation in The United State, in:

Conservation Soil and Water for Society.

Brisbane, pp. 1–6.

Hobbs, P. 2007. Conservation agriculture : what is

Page 18: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

14 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :01 - 15

it and why is it important for future

sustainable food production ?. J. of

Agricultural Sci. 145: 127–137.

https://doi.org/10.1017/S0021859607006892

Lifianthi, H. Mustofa, and M. Yamin. 2012. The

Impact of Palm-oil Price Fall on Labor-use

Optimalization and Household Income of

Oil Palm Farmers in Ogan Komering Ilir

District of South Sumatra. IPCBEE 42: 20–24.

https://doi.org/10.7763/IPCBEE.

Lu, D., M. Batistella, and P.M.E. Moran, P.M.E.

2007. Mapping and Monitoring Land

Degradation Risk in The Western Brazilian

Amazon Using Multitemporal Landsat

TM/ETM + Image. L. Degrad. Dev. 18: 41–

54.

Marni, O. 2009. Penerapan Teknik Konservasi

Tanah dan Air dalam Meningkatkan

Produksi Kelapa Sawit. IPB.

Mayrowani, H. 2013. Kebijakan Penyediaan

Teknologi Pascapanen Kopi dan Masalah

Pengembangannya. Forum Penelit. Agro

Ekon. 31: 31–50.

Monde, A. 2010. Pengendalian aliran permukaan

dan erosi pada lahan berbasis kakao di das

gumbasa, Sulawesi Tengah. Media Litbang

Sulteng III: 131–136.

Murtilaksono, K., W. Dannosarkoro, dan E.S.

Sutarta. 2009. Upaya Peningkatan Produksi

Kelapa Sawit melalui Penerapan Teknik

Konservasi Tanah dan Air. Tanah Trop. 14:

135–141.

Mulyani, A., A. Rachman dan A. Dariah. 2009.

Penyebaran Lahan Masam, Potensi dan

ketersediaannya untuk Pengembangan

Pertanian, In Fosfat Alam: Pemanfaatan

fosfat alam yang digunakan langsung

sebagai sumber pupuk P. 141 hlm.

Murwito, I.S., dan S. Mulyati. 2013. Kebutuhan

Pengembangan Usaha Kakao dengan

Pendekatan Rantai Nilai & Evaluasi

Gerakan Nasional Peningkatan dan Mutu

Kakao (GERNAS KAKAO) Studi Kasus

Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.

Nurfatriani, F., Ramawati, G.K. Sari, dan H.

Komarudin. 2017. Optimalisasi dana sawit

dan pengaturan instrumen fiskal

penggunaan lahan hutan untuk perkebunan

dalam upaya mengurangi deforestasi.

Working Paper 238. Bogor, Indonesia:

CIFOR. 76 pp.

Pambudi, D.T., dan B. Hermawan. 2010.

Hubungan antara Beberapa Karakteristik

Fisik Lahan dan Produksi Kelapa Sawit.

Akta Agrosia 13: 35–39.

Porras, I., M. Grieg-Gran, and G. Meijerink. 2007.

Green Water Credits Farmers ’ adoption of

soil and water conservation: potential role

of payments for watershed services, in:

David, D. (Ed). Green Water Credits Report

5. Wageningen, 2007. p. 63.

Rahayu, S.P. 2017. Kiat Sukses Berusaha Tani

Kakao. BPTP Kaltim.

http://kaltim.litbang.pertanian.go.id/ind/ind

ex.php?option=com_content&view=article&

id=831&Itemid. [26 Nopember 2011].

Robbins, M., and T. Williams. 2005. Scientific and

Technical Advisory Panen to The Global

Environment Facility: Land Management

and Its Benefir – The Chalange, and The

Rasionale for Sustainabel Management of

Dry Lands, in: Kakabadse, Y. (Ed.),

‘Knowledge Generation and Research

Within the Context of the GEF’ at the 7th.

Global Environment Facility GEF,

Washington, p. 66.

Rokhmah, D.N., dan B. Hafif. 2016. Prospek

Teknologi Konservasi Tanah dan Air dalam

Mewujudkan Perkebunan Rakyat

Berkelanjutan. Sirinov 4: 151–163.

Sabrina, D.T., M.M. Hanafi, A.A.N. Azwady, and

T.M.M. Mahmud. 2009. Earthworm

Populations and Cast Properties in the Soils

of Oil Palm Plantations. Malaysian J. Soil

Sci. 13: 29–42.

Sapitri, D., Rosyani, dan A. Lubis. 2014. Faktor-

Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani

Terhadap Peremajaan Kelapa Sawit. Sosio

Ekon. Bisnis 17: 45–56.

Subiksa, I., Sukarman, dan A. Dariah. 2012.

Prioritisasi Pemanfaatan Lahan Kering

untuk Pengembangan Tanaman Pangan,

dalam: Prospek Pertanian Lahan Kering

Dalam Mendukung Ketahanan Pangan.

Hlm. 394.

Sunarti. 2009. Perencanaan Usahatani Karet dan

Kelapa Sawit Berkelanjutan di DAS Batang

Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi.

Page 19: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 15

Disertasi. IPB. 164 pp.

Susila, W.R., dan B. Dradjat. 2001. Agribisnis

Perkebunan Memasuki Awal Abad 21:

Beberapa Agenda Penting. SOCA, Februari

2001. https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/

article/view/3985/2975

Sutedja, I.N., 2018. Management Peremajaan

Tanaman Tanaman Kopi Robusta Pada

Perkebunan Kopi Rakyat di Kecamatan

Pupuan. Denpasar. 39 pp.

Sutrisno, N., dan N. Heryani. 2013. Teknologi

Konservasi Tanah dan Air untuk Mencegah

Degradasi Lahan Berlerreng. J. Litbang

Pertan. 32: 122–130.

Suyana, J. 2009. Kajian degradasi lahan pada

usahatani lahan kering berbasis tembakau

di sub ‐ DAS Progo hulu. Sains Tanah 6: 69–

80.

Widianto, D. Suprayogo, H. Noveras, R.H.

Widodo, dan P. Purnomosidhi. 2004. Alih

Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan

Pertanian: Apakah Fungsi Hidrologis Hutan

dapat Digantikan Sistem Kopi Monokultur?

Agrivita 26: 47–52.

Widjajanto, D., dan R. Gailea. 2008. Kajian

Pengembangan Agroforestri untuk

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Toranda

Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Propinsi

Sulawesi Tengah. J. Agrol. 15: 264–270.

Yasin, S. 2007. Degradasi Lahan Akibat Berbagai

Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten

Dhamasraya. Solum I: 69–73.

Page 20: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Perspektif Vol. 18 No. 1 /Jun 2019. Hlm 16- 27 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n1.2019, 16 -27

ISSN: 1412-8004

16 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 16 - 27

PROSPEK INSEKTISIDA NABATI BERBAHAN AKTIF METIL

EUGENOL (C12H24O2) SEBAGAI PENGENDALI HAMA LALAT BUAH

Bactrocera Spp. (Diptera : Tephritidae)

Prospect of Methyl Eugenol (C12H24O2) as Active Ingredient of Botanical Insecticide for

Controlling Fruit Flies, Bactrocera spp. (Diptera : Tephritidae)

AGUS KARDINAN

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute Jl. Tentara Pelajar no. 3, Bogor, Indonesia

Tlp/fax. 0251-8321879/0251-8321070

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Pengendalian organisme pengganggu tanamam (OPT)

di bidang hortikultura, khususnya dengan pestisida

cukup tinggi, yaitu dapat mencapai 30% dari biaya

usahataninya. Salah satu OPT di bidang hortikultura

adalah hama lalat buah (Bactrocera spp.) yang

mengakibatkan buah muda rontok, buah menjadi

busuk dan berbelatung dengan kerusakan berkisar

antara 30 - 60%, bahkan tidak jarang menggagalkan

panen. Petani sangat bergantung kepada pestisida

kimia sintetis yang sering menimbulkan dampak

negatif terhadap lingkungan dan kesehatan pengguna.

Salah satu alternatif pengendalian ramah lingkungan

adalah dengan penggunaan insektisida nabati, yaitu

dengan memanfaatkan tanaman yang mengandung

bahan aktif metil eugenol (C12H24O2), seperti Melaleuca

bracteata, Ocimum sanctum, Ocimum minimum dan

Ocimum tenuiflorum. Tulisan ini bertujuan untuk

memberikan informasi mengenai potensi insektisida

nabati berbahan aktif metil eugenol yang dapat

digunakan sebagai pengendali hama lalat buah

Bactrocera spp. Minyak atsiri yang dihasilkan dari hasil

penyulingan gabungan tanaman tersebut mengandung

metil eugenol ± 80%. Dari minyak atsiri tersebut dibuat

beberapa formula, diantaranya ; (1) atraktan lalat buah

berbentuk cair/minyak; (2) lem perangkap/sticky trap

dan (3) umpan beracun/poisonous bait. Pemanfaatan

senyawa ini sebagai pengendali lalat buah melalui

penggunaan umpan beracun dan lem perangkap

dilengkapi umpan sari buah (essence) a,l, mangga,

belimbing, jambu biji, jeruk, apel dan nenas serta gula

kelapa mampu menurunkan intensitas serangan lalat

buah pada mangga sebesar 38,6 - 58,9%. Penggunaan

perangkap berwarna kuning dapat meningkatkan

efektivitas pengendalian lalat buah.

Kata kunci : insektisida nabati, metil eugenol,

Bactrocera spp.

ABSTRACT

Pest control in horticulture commodities need high

cost, especially for buying pesticide that can reach

about 30% of total expenses. One of the pest problems

in horticulture is fruit fly (Bactrocera spp) which causes

young fruit fall, the fruit becomes rotten and contain

magot/larva with damage ranging from 30 - 60%, even

rarely causing fail in harvest. Farmers rely heavily on

synthetic chemical pesticides that often have a negative

impact on the environment and user health. An

alternative eco-friendly control is the use of botanical

insecticide by using plants containing active ingredient

of methyl eugenol (C12H24O2), such as Melaleuca

bracteata, Ocimum sanctum, Ocimum minimum and

Ocimum tenuiflorum. The essential oils resulted from

distillation of the mixed plant above contain methyl

eugenol ± 80%. Some products can be made from the

essential oils containing methyl eugenol, i.e. (1)

Attractant in the form of liquid/oil; (2) Glue/sticky trap

and 3) Poisonous bait. The objective of the paper is to

inform the pottency of botanical insecticide containing

active ingredient of methyl eugenol for controlling fruit

flies Bactrocera spp.

Keywords: botanical insecticide, methyl eugenol,

Bactrocera spp.

PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara agraris,

yaitu negara yang mayoritas masyarakatnya

hidup dari bidang pertanian. Hal tersebut

ditunjang dengan iklim tropis yang

memungkinkan kegiatan bertani berjalan

sepanjang tahun, karena memiliki kelimpahan

sumber energi dari matahari. Namun demikian,

Page 21: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

17 Prospek Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol (C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama Lalat Buah Bactrocera

Spp. (Diptera : Tephritidae) (AGUS KARDINAN)

keadaan tersebut merupakan ekosistem yang

ideal bagi berkembangnya organisme

pengganggu tanaman (OPT) yang dapat

menurunkan hasil panen 30 hingga 40 % bahkan

pada beberapa kasus dapat mengakibatkan gagal

panen (Susanto et al. 2017), sehingga biaya

pengendalian OPT yang diperlukan cukup besar,

terutama di bidang hortikultura yang dapat

menghabiskan antara 30 - 40% dari total biaya

produksi, khususnya untuk membeli pestisida

(Kardinan 2014).

Dampak dari penggunaan pestisida yang

intensif adalah terjadinya pencemaran

lingkungan yang mengakibatkan terganggunya

keseimbangan ekosistem, residu pestisida

terdapat di tanah, air, dan tanaman, terjadi

resistensi dan resurgensi pada hama sasaran,

serta terbunuhnya musuh alami dan serangga

bukan sasaran (Untung 2007). Untuk itu perlu

dicari cara pengendalian OPT yang ramah

lingkungan yang bahan dasarnya tersedia di

sekitar pengguna/petani dengan teknologi yang

relatif mudah dilakukan, sehingga dapat

menekan penggunaan pestisida sintetis dan

mengurangi dampak terhadap pencemaran

lingkungan dan kesehatan pengguna.

MASALAH LALAT BUAH (Bactrocera spp.) DI

INDONESIA

Salah satu hama penting dibidang

hortikultura yang saat ini menjadi isu nasional di

Indonesia, karena selain menurunkan produksi

juga menjadi faktor pembatas perdagangan (trade

barrier) adalah hama lalat buah Bactrocera spp

(Diptera : Tephritidae). Lalat buah merupakan

hama yang sangat merugikan di dunia,

khususnya di kawasan Asia dan sudah menyebar

di hampir seluruh dunia (Huan et al. 2018).

Komoditas ekspor paprika Indonesia pernah

ditolak oleh negara lain dengan alasan hama lalat

buah, demikian pula Indonesia pernah menolak

komoditas negara lain, seperti apel dari Amerika.

Lalat buah yang banyak terdapat di Indonesia

yaitu dari genus Bactrocera dan salah satu jenis

yang sangat penting dan ganas yaitu Bactrocera

dorsalis (Diptera : Tephritidae) Hendel Complex

(Gambar 1). Disebut kompleks karena terakhir

diketahui di Indonesia sebagai B. papayae Hendel

dan B. carambola Hendel yang satu dengan

lainnya sulit dibedakan secara kasat mata (Siwi et

al. 2006). Untuk mencegah masuknya spesies

baru lalat buah ke Indonesia, pemerintah

menerbitkan “PERMENTAN NO.37/KPTS/

HK.060/1/2006” yang menetapkan hanya 7 pintu

masuk buah segar ke Indonesia, yaitu Batu

Ampar – Batam; Ngurah Rai – Bali; Makassar;

Belawan – Medan; Tj. Priok – Jakarta; Tj. Perak –

Surabaya dan Cengkareng – Jakarta.

B. dorsalis merupakan lalat buah yang

bersifat polifag, yaitu mempunyai sekitar 26 jenis

inang, seperti belimbing, jambu biji, tomat, cabai

merah, melon, apel, nangka kuning, mangga, dan

jambu air yang menyebabkan buah muda yang

terserang jatuh, buah menjadi busuk (Gambar 3)

dan berbelatung (Gambar 2 dan 4) (Kardinan

2003). Kemampuan bertelur seekor lalat betina

selama hidupnya antara 800 hingga 1.500 butir

(Weems et al. 2004), maka potensi untuk

menghasilkan populasi generasi barupun cukup

tinggi.

Intensitas serangan lalat buah di Jawa Timur

dan Bali menunjukkan variasi yang cukup besar,

yaitu antara 6,4% - 70% (Sarwono 2003). Sodiq

(2004) menyatakan bahwa intensitas serangan

lalat buah pada mangga berkisar antara 14,8%-

23%, namun seringkali kerusakan yang

diakibatkan lalat buah khususnya pada

belimbing dan jambu biji dapat mencapai 100%.

Lalat buah merupakan hama yang serius di

negara lain, seperti halnya di Pakistan yang

diperkirakan setiap tahunnya mengakibatkan

kerugian sekitar $ 200 juta. Hal ini

Gambar 1. Bactrocera dorsalis Hendel Complex

(Kardinan et al. 2009)

Page 22: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

18 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :16 - 27

mengakibatkan penggunaan insektisida di

Pakistan untuk mengendalikan lalat buah

menjadi meluas dan meningkat (Stonehouse et al.

2002). Demikian pula di India, hama lalat buah

merupakan hama yang serius pada mangga,

namun dengan pengendalian yang teratur dapat

menurunkan tingkat serangan sebesar 77%

(Verghese et al. 2004). Vayssieres et al. (2009)

mengemukakan bahwa suhu, kelembaban udara

dan curah hujan merupakan faktor iklim yang

mempengaruhi populasi lalat buah. Curah hujan

harian merupakan faktor utama terhadap

populasi lalat, disusul dengan tanaman inang

(waktu berbuah). Pada awal musim hujan

kerusakan mangga mencapai 17% dan pada

puncak musim hujan kerusakan mencapai 73%.

Susanto et al. (2017) menyatakan bahwa populasi

hama lalat buah lebih dipengaruhi oleh faktor

biotik (ketersediaan buah buahan) daripada

faktor abiotik (curah hujan dan jumlah hari

hujan).

Gambar 2. Jambu biji terserang lalat buah

(Sumber foto : foto pribadi)

Gambar 3. Mangga muda rontok terserang lalat

buah.

Gambar 4. Mangga busuk terserang lalat buah.

USAHA PENGENDALIAN LALAT BUAH

Hingga saat ini petani masih menggunakan

insektisida sintetis untuk mengendalikan hama

lalat buah, namun penggunaannya di lapangan

seringkali tidak mengikuti anjuran, diantaranya

dosis maupun konsentrasi dilipatgandakan

menjadi 2 hingga 3 kali lipat, mencampur

beberapa jenis pestisida agar efisien dalam

aplikasinya yaitu dapat mengendalikan semua

jenis hama selain hama lalat buah, meningkatkan

frekwensi aplikasi sehingga residunya terlihat

secara kasat mata (Kardinan 2016) (Gambar 5 dan

6).

Gambar 5. Residu pestisida di lapangan (Foto:

Koleksi pribadi)

Page 23: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

19 Prospek Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol (C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama Lalat Buah Bactrocera

Spp. (Diptera : Tephritidae) (AGUS KARDINAN)

Gambar 6. Residu pestisida di pasaran (Foto:

Koleksi pribadi)

Tingginya residu pestisida yang dapat

terkonsumsi oleh konsumen akan sangat

membahayakan kesehatan konsumen, khususnya

anak anak yang bersifat lebih rentan terhadap

dampak negatif pestisida. Hasil penelitian yang

dilakukan Rasipin et al. (2014) terhadap salah

satu Sekolah Dasar di Brebes dimana di daerah

tersebut menggunakan pestisida secara intensif

menunjukkan bahwa 98% siswa mengalami

pembengkakan kelenjar tyroid yang merupakan

salah satu dampak/indikator dari terpaparnya

pestisida. Dampak dari pembekakan kelenjar

tyroid adalah bahwa siswa prestasinya jauh di

bawah siswa normal. Oleh karena itu perlu

dikaji penggunaan pestisida yang ramah

lingkungan, salah satunya pestisida nabati yang

berasal dari tumbuhan yang bersifat ecofriendly

pesticide yang relatif aman terhadap lingkungan

dan kesehatan konsumen.

Beberapa teknik pengendalian telah banyak

dikembangkan, di antaranya dengan penggunaan

GA (Gibberellic Acid), yang membuat penampilan

buah-buahan tidak matang, sehingga lalat buah

enggan meletakkan telur pada buah (Jessica

2007), penyemprotan buah dengan kaolin akan

menurunkan tingkat serangan lalat buah

(Mozhdehi 2014) atau penyemprotan dengan

minyak kelapa yang akan berperan sebagai anti-

ovipositant (menekan peneluran pada buah)

(Hidayat et al. 2018). Pengendalian lalat buah

dengan menggunakan umpan beracun

(insektisida) dianggap lebih banyak membunuh

lalat buah (Varikou et al. 2014; Stonehouse et al.

2002). Selain itu teknik aplikasi pelepasan

serangga mandul (khususnya jantan mandul)

telah banyak dilakukan dan membuahkan hasil

yang memuaskan. Teknik lainnya yang sudah

berhasil dikembangkan di Australia yaitu dengan

Foliage baiting (penggunaan umpan beracun),

Cover spraying (penyemprotan tanaman beserta

buahnya dengan insektisida) dan trapping

(perangkap dengan atraktan di dalamnya), selain

menjaga sanitasi kebun (Sarwar 2015; Broughton

et al. 2004). Para peneliti di Jerman

mengembangkan teknik rekayasa genetika

(Genetically Modified Organism) terhadap lalat

jantan, sehingga lalat jantan dengan normal

melakukan perkawinan dengan betina, namun

telur yang terbentuk tidak akan menjadi larva.

Cara demikian dianggap lebih baik daripada

teknik serangga mandul yang mengakibatkan

lalat buah jantan yang telah dimandulkan

seringkali kalah berkompetisi dengan lalat jantan

di alam untuk mendapatkan betina, sehingga

dianggap kurang efektif (Sawahel 2009). Salah

satu teknik pengendalian lalat buah yaitu dengan

penggunaan pestisida nabati yang bersifat

atraktan (pemikat lalat buah dengan bahan aktif

metil eugenol- C12H24O2) yang dapat mengurangi

penggunaan pestisida kimia sintetis hingga 75-

95% (Vargas 2007; Lengkong et al. 2011).

PESTISIDA NABATI – PESTISIDA RAMAH

LINGKUGAN

Penggunaan pestisida nabati di Indonesia

bukanlah hal yang baru, karena sejak jaman

dahulu nenek moyang telah menggunakannya

secara turun temurun dan merupakan kearifan

lokal atau pengetahuan asli masyarakat, misalnya

penggunaan akar tuba untuk menangkap ikan

dan mengendalikan hama, perasan daun

tembakau untuk membunuh lintah, penggunaan

daun suren di pematang sawah untuk menghalau

hama walang sangit, penggunaan gadung untuk

meracuni tikus, penggunaan mimba untuk

melindungi tanaman dari serangan hama,

pemanfaatan serai wangi untuk mengusir

serangga, khususnya nyamuk dan penggunaan

daun nilam pada pakaian atau kain agar

terhindar dari kutu busuk. Kehidupan nenek

Page 24: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

20 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :16 - 27

moyang ketika itu tentu saja masih sangat

sederhana dengan daya pikir dan akal serta

pengalaman-pengalaman warisan leluhur yang

juga sederhana. Kesederhanaan tersebut menjadi

kelebihan mereka dalam melakukan pendekatan

terhadap gejala-gejala alam dan berusaha keras

mengungkapkan apa yang harus diketahui dan

dikerjakan. Dengan cara demikian, gejala-gejala

alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bertani

(Indrowuryanto 2000). Salah satu kearifan lokal

yang perlu diangkat dan digali dengan melihat

gejala alam adalah pemanfaatan tanaman yang

mengandung Metil eugenol (C12H24O2) yang

dapat digunakan untuk mengendalikan hama

lalat buah (Bactrocera spp) pada komoditas

hortikultura.

Metil eugenol di alam terdapat pada

beberapa jenis tumbuhan, antara lain daun

Melaleuca bracteata von Mueler, beberapa jenis

Selasih (Ocimum spp.), pala (Myrustica fragans),

Bulbophyllum spp. dan lainnya. Selain metil

eugenol, pada bunga tanaman Bulbophyllum spp.

(Fruit Fly Orchid) teridentifikasi juga komponen

lain yang mampu berperan sebagai feromon

agregasi bagi lalat buah jantan, yaitu

phenylpropanoids (Nishida et al. 2004).

TANAMAN PENGHASIL METIL

EUGENOL

Melaleuca bracteata yang dikenal sebagai daun

wangi (karena daunnya kalau diremas wangi

baunya) merupakan tanaman hias dengan bentuk

seperti pohon cemara yang dapat mencapai

ketinggian hingga dua belas meter (Gambar 8).

Pohon ini sering ditemukan di daerah yang

lembab dan banyak mengandung air, seperti di

sepanjang sungai atau di pinggiran rawa atau

danau. Tumbuh baik pada ketinggian di atas 600

m di atas permukaan laut. Melaleuca merupakan

suatu genus dari Famili Myrtaceae. Semakin

tinggi tempat tumbuh akan semakin baik

pertumbuhannya (Kardinan 2003). Bagian

tanaman yang paling penting adalah daunnya.

Daunnya dapat disuling untuk menghasilkan

minyak atsiri. Kandungan metil eugenol yang

yang terkandung di dalam minyak atsirinya

berkisar antara 80% hingga 87%, di ikuti

kandungan komponen lainnya seperti eugenol

(5%), linalool (2%) dan komponen lainnya yang

tidak teridentifikasi. Minyaknya yang

mengandung metil eugenol menunjukkan daya

tangkap yang lebih baik terhadap hama lalat

buah (491 ekor/perangkap/minggu) bila

dibandingkan dengan atraktan sintetis yang

sudah komersil beredar di pasaran (315

ekor/perangkap/minggu) (Djatmiadi 2004).

Selasih (Ocimum spp. : Labiatae)

Selasih merupakan tanaman perdu dengan

tinggi antara 30 cm hingga 150 cm. Tanaman ini

tumbuh dengan baik pada ketinggian hingga

1.100 m. di atas permukaan laut, pada daerah

yang teduh dan tanah lembab. Perbanyakan

dapat dilakukan dengan bijinya (secara

generatif). Selasih merupakan tanaman yang

mudah beradaptasi dengan lingkungan. Bagian

tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan

pestisida nabati adalah daun dan bunganya. Pada

pagi hari di lapangan biasanya terlihat daun dan

khususnya bunganya sering dikerubuti hama

lalat buah (Bactrocera spp.) (Gambar 7). Bunga

dan daunnya dapat disuling untuk menghasilkan

minyak atsiri. Pada genus Ocimum, terdapat

beberapa spesies selasih dengan kandungan

bahan aktif utama metil eugenol, diantaranya; O.

tenuiflorum, O. sanctum, dan O. minimum.

Gambar 7. Lalat buah pada selasih (Foto: Koleksi

pribadia).

Page 25: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

21 Prospek Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol (C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama Lalat Buah Bactrocera

Spp. (Diptera : Tephritidae) (AGUS KARDINAN)

Gambar 8. Melaleuca bracteata (Foto: Koleksi

pribadi)

Ocimum tenuiflorum

O. tenuiflorum L. (Gambar 9) mempunyai

ciri khas dengan daun keriting dan bunga putih

memanjang. Daunnya berwarna hijau dengan

bau yang menyengat. Daunnya relatif lebih kecil

dibandingkan dengan selasih jenis lainnya.

Kandungan bahan aktif metil eugenol pada

minyak atsiri berkisar antara 50% hingga 55%

(Kardinan et al. 2009).

Ocimum sanctum

O. sanctum L. (Gambar 11) yang

mempunyai ciri khas daun dan bunga berwarna

keunguan merupakan tanaman perdu yang

mencapai tinggi 30 cm hingga 90 cm. Panjang

daunnya sekitar lima centimeter dan lebar tiga

centimeter. Kandungan metil eugenol pada

minyak atsirinya berkisar antara 55% hingga

65%, tergantung dari lokasi tempat tumbuh dan

waktu panen diikuti oleh komponen minor

lainnya seperti linalool (2%), terpineol (1%),

eugenol (5%), sineol (4%) dan komponen yang

tidak teridentifikasi (Kardinan 2003; Kardinan et

al. 2009).

Ocimum minimum

O. minimum L. (Gambar 10) sama seperti

jenis selasih lainnya, namun yang dapat

membedakannya adalah bunganya yang putih

bergerombol dan daunnya yang hijau. Seringkali

dipagi hari bunga dan juga daunnya dikerubuti

lalat buah. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman

Gambar 9. O. tenuiflorum (Foto: Koleksi pribadi)

Gambar 10. O. Minimum (Foto: Koleksi pribadi)

Gambar 11. O. Sanctum (Foto: Koleksi pribadi)

Page 26: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

22 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :16 - 27

ini mangandung metil eugenol yang relatif tinggi.

Hasil panen bunganya relatif lebih banyak bila

dibandingkan dengan hasil panen bunga jenis

selasih lain. Kandungan metil eugenol pada

minyak atsiri yang dihasilkan dari bunganya (±

78%) lebih tinggi dibandingkan dengan

kandungan metil eugenol dari minyak atsiri yang

dihasilkan dari daunnya (68-75%) (Kardinan

2003; Kardinan et al. 2009).

PENGENDALIAN LALAT BUAH DENGAN

METIL EUGENOL

Shorey dan Gaston (1987) menjelaskan

bahwa serangga memiliki beberapa jenis indera

dalam menerima rangsangan dari luar, yaitu

physical stimuli seperti mechanoreceptor yang

menerima energi mekanik seperti tekanan,

getaran, rabaan atau gerakan melalui air atau

udara; thermoreceptor yang menerima energi

dalam bentuk panas; photoreceptor yang

menerima energi cahaya dan chemical stimuli atau

chemoreceptor yang menerima energi berupa

bahan kimia. Sedangkan dalam mendeteksi atau

penerimaan bahan kimia, serangga memiliki dua

sistem penerimaan, yaitu alat pencium (olfactory)

untuk mendeteksi aroma di udara seperti halnya

atraktan yang mengandung metil eugenol yang

biasanya radius daya jangkaunya cukup jauh (20

– 100 m) dan alat pengecap (gustatory) untuk

mendeteksi rasa yang pada umumnya melalui

cairan.

Penggunaan metil eugenol (C12H24O2)

sebagai atraktan (pemikat) lalat buah merupakan

cara pengendalian yang ramah lingkungan

karena atraktan bukanlah suatu bahan beracun.

Penggunaan metil eugenol sebagai atraktan lalat

buah tidak meninggalkan residu pada buah dan

mudah diaplikasikan pada lahan yang luas.

Karena bersifat volatile (menguap), daya

jangkaunya atau radiusnya cukup jauh, yaitu

mencapai ratusan meter, bahkan dapat

menjangkau ribuan meter, tergantung arah

angin. Daya tangkap atraktan bervariasi

tergantung lokasi, cuaca, komoditas, dan

keadaan buah di lapangan. Atraktan dapat

digunakan untuk mengendalikan hama lalat

buah dalam tiga cara, yaitu : (a) mendeteksi atau

memonitor populasi lalat buah, sehingga akan

membantu dalam menentukan waktu tindakan

pengendalian yang tepat; (b) menarik lalat buah

untuk kemudian terbunuh di dalam perangkap

dan (c) mengacaukan lalat buah dalam

melakukan perkawinan (Weinzierl et al. 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan

penggunaan atraktan metil eugenol efektif

mengendalikan hama lalat buah (Simarmata et al.

2014) dapat menurunkan intensitas serangan lalat

buah pada mangga sebesar 38,67% hingga 58,9%

(Sarwono 2003; Priyono 2004). Penambahan sari

buah (essence) mangga, belimbing, jambu biji,

jeruk, apel dan nenas menambah daya tangkap

metil eugenol, juga dengan penambahan gula

kelapa terhadap atraktan dapat meningkatkan

daya tangkapnya, sehingga mampu menurunkan

serangan lalat buah sebesar sekitar 42% (Ullah et

al. 2015; Barba Jr and Tablizo 2014; Susanto et al.

2018). Shahabuddin (2012) menyatakan bahwa

kombinasi atraktan dengan warna kuning akan

lebih menarik lalat buah.

Klowden (2002) menyatakan bahwa dalam

aktivitas hidupnya, serangga melakukan

komunikasi salah satunya melalui bahan kimia

yang disebut semiochemical yang terbagi menjadi

dua, yaitu feromon untuk komunikasi antar

individu dalam satu spesies dan allelochemical

untuk komunikasi antar individu pada spesies

berbeda. Feromon terbagi menjadi beberapa

jenis, seperti feromon seks atau rangsangan seksual

untuk memanggil lawan jenis ; feromon agregasi

yaitu untuk berkumpul atau bergabung; feromon

alarm yaitu tanda bahaya dan siaga; feromon

eipidieiktik untuk menandakan daerah peletakan

telur bagi serangga betina kepada serangga

betina yang lain, feromon teritorial untuk

menandakan teritorial organisme tertentu,

feromon jejak (trail) memberi informasi kepada

kelompoknya dan feromon lainnya, sedangkan

allelochemical terdiri dari allomones (organisme

yang melepaskan senyawa kimia diuntungkan,

sedangkan yang menerima dirugikan), kairomones

(organisme yang melepaskan senyawa kimia

dirugikan, sedangkan yang menerima

diuntungkan) dan synomones (organisme yang

melepaskan dan menerima senyawa kimia sama-

sama diuntungkan). Metil eugenol termasuk

kedalam kairomones yang dapat menarik lalat

buah Bactrocera spp. berkelamin jantan lalu

Page 27: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

23 Prospek Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol (C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama Lalat Buah Bactrocera

Spp. (Diptera : Tephritidae) (AGUS KARDINAN)

dikonsumsi dan diproses di dalam tubuhnya

untuk menghasilkan sex feromon sebagai zat

penarik lalat buah betina dalam proses

perkawinan (Vargas et al. 2000). Pendapat senada

dikemukakan Nishida (1999) dan Hee and Tan

(2006) yang menyatakan bahwa atraktan

berbahan aktif metil eugenol tersebut tergolong

kepada ”Food lure” artinya lalat jantan tertarik

untuk kebutuhan makan dan setelah dikonsumsi

akan disintesis di dalam tubuh lalat buah jantan

menjadi senyawa pheylpropanoid dan coniferyl

alcohol (Gambar 12) yang digunakan sebagai seks

feromon untuk menarik lalat buah berkelamin

betina saat perkawinan.

FORMULASI DAN CARA APLIKASI

ATRAKTAN METIL EUGENOL

Metil eugenol dalam bentuk minyak atsiri

(Essential oil) yang merupakan hasil penyulingan

dari beberapa jenis tanaman yang mengandung

metil eugenol (Melaleuca bracteata, O. minimum, O.

sanctum dan O. tenuiflorum) dengan kandungan

metil eugenol ± 80% dapat dibuat menjadi

berbagai formula diantaranya; (a) atraktan, yaitu

berbentuk cairan/minyak yang diaplikasikan

dalam botol perangkap untuk memerangkap lalat

buah, (b) perangkap lem (sticky trap), yaitu

campuran minyak atsiri yang mengandung metil

eugenol dengan lem, sehingga lalat buah akan

datang dan menempel pada lem dan mati

terperangkap dan (3) umpan bracun (poisonous

bait), yaitu campuran metil eugenol dengan

insektisida nabati lainnya (piretrin, azadirachtin,

dan lainnya), sehingga lalat buah yang datang

dan menyentuh atraktan akan terpapar oleh

insektisida (racun) dan mati.

Atraktan

Atraktan merupakan formula dalam bentuk

cair/minyak. Atraktan jenis ini produksi inovasi

Balitbangtan dengan nama Atlabu (Atraktan

Lalat Buah) (Gambar 13). Cara aplikasinya

dengan cara meneteskan cairan atraktan pada

gumpalan kapas dan ditempatkan di dalam

perangkap yang terbuat dari botol minuman air

mineral yang diberi 3 buah lubang untuk

masuknya lalat buah, maka lalat buah akan

masuk dan terperangkap. Produk ini telah

dikembangkan secara komersial oleh pihak

swasta dengan perjanjian lisensi rahasia dagang

antara Badan Litbang Pertanian dengan pihak

swasta.

A B C

Gambar 13. Atraktan (A), Lalat buah terperang-

kap (B), Perangkap lalat buah (C)

(Foto: Koleksi pribadi).

Umpan beracun (Poisonous Bait)

Formula ini merupakan campuran atraktan

dengan insektisida nabati yang bersifat kontak,

seperti ekstrak piretrum (Chrysanthemum

cinerariaefolium) dengan bahan aktif utama

piretrin dan minyak mimba (Azadirachta indica)

dengan bahan aktif utama azadirachtin. Azanol

merupakan formula yang telah dibuat oleh

Balittro. Dalam aplikasi di lapangan, umpan

beracun yang berbentuk cairan/minyak ini

diteteskan pada segumpal kapas atau sabut

Gambar 12. Transportasi struktur molekul

metil eugenol di dalam tubuh

lalat jantan (Nisihida, 1999).

Page 28: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

24 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :16 - 27

kelapa, kemudian ditempatkan di kebun

sehingga hama lalat buah akan tertarik (oleh

atraktan) untuk menyentuh formula, selanjutnya

akan kontak dengan insektisida/racun dan mati

(Gambar 14).

Perangkap lem (Sticky Trap)

Perangkap lem merupakan campuran metil

eugenol dengan perekat, sehingga hama lalat

buah akan tertarik untuk mendekat dan

menyentuh dan kemudian sesaat setelah

menyentuh akan terjebak dan menempel pada

perekat (Gambar 15). Menurut pengamatan di

lapangan, dengan penggunaan perangkap lem,

jumlah hama lalat buah yang terperangkap per

perangkap per minggu jauh lebih banyak

dibandingkan dengan cara menempatkan

atraktan (atlabu) di dalam botol perangkap. Hal

ini dikarenakan lalat pada cara perangkap

atraktan perlu beradaptasi untuk mencari lubang

masuk ke dalam perangkap, sehingga ada

kemungkinan lalat buah terbang kembali tidak

terperangkap, sedangkan dengan perangkap lem,

lalat buah tidak mempunyai kesempatan untuk

beradaptasi dan terbang lagi, karena akan

langsung terperangkap pada perekat. Dengan

aplikasi metil eugenol pada kebun buah-buahan,

dapat menekan tingkat kerusakan buah-buahan

sebesar 30% hingga 40% yang diakibatkan

serangan hama lalat buah. Produk ini telah

dikembangkan komersial oleh perusahaan swasta

dengan perjanjian lisensi rahasia dagang antara

Badan Litbang Pertanian dengan pihak swasta.

Gambar 15. Lem perangkap pada alat Multi Trap

(Light Trap) (Foto pribadi)

KESIMPULAN DAN SARAN

Metil eugenol (C12H24O2) adalah salah satu

senyawa kimia yang dikandung oleh beberapa

jenis tanaman antara lain Melaleuca bracteata,

O.minimum, O.sanctum dan O.tenuiflorum, yang

berfungsi sebagai atraktan (pemikat) hama lalat

buah. Senyawa ini sangat prospektif untuk

dikembangkan sebagai insektisida nabati di

Indonesia guna menanggulangi kerugian yang

ditimbulkan oleh serangan hama lalat buah di

bidang hortikultura.

Pemanfaatan senyawa ini sebagai

pengendali lalat buah melalui penggunaan

umpan beracun dan lem perangkap dilengkapi

umpan sari buah (essence) a,l, mangga,

belimbing, jambu biji, jeruk, apel dan nenas serta

gula kelapa mampu menurunkan intensitas

serangan lalat buah pada mangga sebesar 38,6 -

58,9%. Penggunaan perangkap berwarna kuning

dapat meningkatkan efektivitas pengendalian

lalat buah.

DAFTAR PUSTAKA

Barba Jr, R.B. and Tablizo, R.P. (2014) Organic-

Based Attractant for the control of fruit

flies (Diptera : Tephritidae). International

Journal of Scientific & Technology

Research. Catanduanes State University,

Philippines. 3 (3), 348–355.

Broughton, S., Lima, F.D. and Woods, B. (2004)

Control of fruit fliy in backyards. Dept. of

Agric. State of Western Australia Press.

Bulletin. 24 (2), 9–14.

Djatmiadi, D. (2004) Perkembangan serangan

hama lalat buah pada tanaman buah-

Gambar 14. Umpan pada sabut kelapa dan

pada gumpalan kapas (Foto:

Dokumen pribadi)

Page 29: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

25 Prospek Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol (C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama Lalat Buah Bactrocera

Spp. (Diptera : Tephritidae) (AGUS KARDINAN)

buahan di Wilayah Indonesia Bagian

Barat.In: Pros. Lokakarya masalah kritis

pengendalian layu pisang, nematode sista

kuning pada kentang dan lalat buah.

Puslitbang Hortikultura, p.30 hlm.

Hee, A.K.-W. and Tan, K.-H. (2006) Transport of

methyl eugenol-derived sex pheromonal

components in the male fruit fly,

Bactrocera dorsalis. Journal of Chemical

Ecology. [Online] 143 (4), 422–428.

Available from:

doi:10.1016/j.cbpc.2006.04.009.

Hidayat, Y., Fauziaty, M.R. and Dono, D. (2018)

The effectiveness of vegetable oil

formulations in reducing oviposition of

Bactrocera dorsalis Hendel (Diptera:

Tephritidae) in large red chili fruits. Jurnal

Entomologi Indonesia. 15 (2), 93–100.

Huan, L., Yi, J., Dong, J.Z. and Lei, W. (2018)

Science direct invasion, expansion and

control of Bactrocera dorsalis (Hendel) in

China. Journal of Integrative Agriculture.

18 (4), 1–11.

Indrowuryanto (2000) Pranata Mangsa Dalam

Aktivitas Pertanian Di Jawa.In: dalam

Adimihardja (2000). Pendayagunaan

Sistem Pengetahuan Lokal dalam

Pembangunan. Humaniora Utama Press,

Bandung. pp.17–56.

Jessica, S. (2007) Tougher peel repells fruit flies.

15 Februari 2007. http://www.

encyclopedia.com/doc/IGI-13418916.htm.

Februari 2009.2007

Kardinan, A. (2014) Prinsip Prinsip dTeknologi

Pertanian Organik. Badan Litbang

Pertanian, IAARD Press.

Kardinan, A. (2016) Sistem Pertanian Organik.

PT. Inti Media ; Kelompok Intrans

Publishing.

Kardinan, A. (2003) Tanaman Pengendali Hama

Lalat Buah. PT. Agromedia Pustaka-

Jakarta.

Kardinan, A., Bintoro, M.H., Syakir, M. & Amin,

A.A. (2009) Penggunaan selasih dalam

pengendalian hama lalat buah pada

mangga. Jurnal Penelitian Tanaman

Industri. 15 (3), 101–109.

Klowden, M.J. (2002) Psysiological System in

Insect. Academic Press, London.

Lengkong, M., Rante, C.S. and Meray, M. (2011)

Alikasi MAT (Male Annihilation

Technique) dalam pengendalian lalat buah

Bactrocera spp (Diptera : Tephritidae) pada

tanaman Cabe. Jurnal Eugenia. 17 (2),

121:127.

Mozhdehi, M.R. (2014) Application of detterent

compound for control of fruit fly

Bactrocera (Diptera : Tephritidae).

Agriculture and Natural Resorches

Research Center of Gulan – Iran. Journal of

Plant Protection Research. 7 (1), 24–30.

Nishida, R. (1999) Pheromone communication in

the oriental fruit moth and oriental fruit

fly.In: Proc. Int. Symp. In-sect Pest Control

with Pheromone, Oct. p.pp.102-113.

Nishida, R., Tan, K.H., Wee, S.L., Hee, A.K.W. &

Toong, Y.C. (2004) Phenylpropanoids in

the Fragance of Fruit Fly Orchid,

Bulbophyllum cheiri and Their

Relationship to The Pollinator Bactrocera

papaye. Journal Biochemical Systematics

and Ecology. 32 (4), 245–252.

Priyono, D. (2004) Evaluasi dan pengembangan

peramalan dan pengendalian lalat buah

pada tanaman mangga di Kabupaten

Majalengka - Jawa Barat. Lokakarya

masalah kritis pengendalian layu pisang,

nematode sista kuning pada kentang dan

lalat buah. Puslitbanghor, Deptan.

Rasipin, Suhartono, Kartini, A. dan Aeny, N.

(2014) Dampak pestisida terhadap kejadian

goiter (gondok) pada siswa Sekolah Dasar

di wilayah pertanian, dalam Kardinan

(2014). Prinsip Prinsip dan Teknologi

Pertanian Organik. Badan Litbang

Pertanian. IAARD Press.

Sarwar, M. (2015) Attraction of Female and Male

Fruit Flies (Diptera: Tephritidae) to Bait

Spray Applications for Reduction of Pest

Populations. International Journal of

Animal Biology. Nuclear Institute for

Agricultural & Biology, Pakistan. 1 (5),

225–230.

Sarwono (2003) PHT Lalat buah pada mangga.In:

Pros. Lokakarya masalah kritis

pengendalian layu pisang, nematode sista

kuning pada kentang dan lalat buah.

Puslitbang Hortikultura. Buletin Teknologi

Page 30: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

26 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :16 - 27

dan Informasi Pertanian. Litbang

Pertanian, BPTP – Jatim, pp.142–149.

Sawahel, W. (2009) Self-destructing fruit flies

could protect crops. Agriculture and

Environment News.2009 [Online]

Available from: http:www.scidev.net/en/

agriculture-and-environment/news/-self-

destructing-fruit-flies-could-protect-

crops.htm [Accessed: 3 February 2009].

Shahabuddin (2012) Teknik pengendalian lalat

buah Bactrocera spp. (Diptera :

Tephritidae) pada pertanaman cabai

menggunakan perangkap dengan isyarat

kimia dan visual. Jurnal Agroland .

Universitas Taduloko – Sulteng. 19 (1), 56–

62.

Shorey, H.H. and Gaston, L.K. (1987) Pest

Control ; Pheromones. Academic Press,

New York and London.

Simarmata, J., Ningsih, Y.P. dan Zahara, F. (2014)

Uji Efektifitas Beberapa Jenis Atraktan

Untuk Mengendalikan Hama Lalat Buah

(Bactrocera Dorsalis Hend.) Pada Tanaman

Jambu Biji (Psidium Guajava L.). Jurnal

Agroekoteknologi Universitas Sumatera

Utara. 2 (1), University of North Sumatra,

192–200.

Siwi, S.S., Hidayat, P. dan Suputa (2006) Lalat

buah penting di Indonesia. Cet. 2, Rev.

Pertama. Balai Besar Litbang Bioteknologi

dan Sumberdaya genetik pertanian dengan

Dapartement of Agriculture, Fisheries and

Forestry Australia.

Sodiq, M. (2004) Kehidupan lalat buah pada

tanaman sayuran dan buah-buahan.In:

Pros. Lokakarya masalah kritis

pengendalian layu pisang, nematode sista

kuning pada kentang dan lalat buah.

Puslitbang Hortikultura. Jakarta, p.18 hlm.

Stonehouse, J., Afzal, M., Zia, Q., Mumford, J.,

Poswal, A. and Mahmood, R. (2002)

“Single-killing-point” field assessment of

bait and lure control of fruit flies (Diptera:

Tephritidae) in Pakistan. Journal Crop

Protection. [Online] 21 (8), 651–659.

Available from: doi:10.1016/S0261-

2194(02)00019-4.

Susanto, A., Faisal, F., Nurul, A. dan Tohidin

(2017) Fluktuasi populasi lalat buah

Bactrocera dorsalis Kompleks (Diptera :

Tephritidae) pada pertanaman pepaya di

Desa Margahayu, Kabupaten Garut. Jurnal

Agrikultura. 28 (1), 32–38.

Susanto, A., Natawigena, W.D., Puspasari, L.T.

dan Atami, N.I.N. (2018) Pengaruh

Penambahan Beberapa Esens Buah pada

Perangkap Metil Eugenol terhadap

Ketertarikan Lalat Buah Bactrocera dorsalis

Kompleks pada Pertanaman Mangga di

Desa Pasirmuncang, Majalengka. Jurnal

Perlindungan Tanaman Indonesia. [Online]

22 (2), 150–159. Available from:

doi:10.22146/jpti.27001.

Ullah, F., Wardak, H., Badshah, H., Ahmad, A.

and Kakar, M.Q. (2015) Response of male

fruit fly (Diptera: Tephritidae) to various

food essences in Methyl Eugenol and Cue-

Lure baited traps. Journal of Entomology

and Zoology Studies. Univ.of Agriculture,

Pakistan. 3 (5), 239–245.

Untung, K. (2007) Kebijakan Perlindungan

Tanaman. Universitas Gajah Mada Press.

Yogyakarta.

Vargas, R. (2007) Local research, but everyone

watching. Agriculture Research Service –

Hawaii Area Wide Fruit Fly Control

Program.2007 [Online] p.p.4. Available

from:

http://www.findarticles.com/p/articles/mi.

m3741/is.2.52/ai.113457520.

Vargas, R.I., Stark, J.D., Kido, M.H., Ketter, H.M.

and Whitehand, L.C. (2000) Methyl

eugenol and cue-lure traps for suppression

of male oriental fruit flies and melon flies

(Diptera: Tephritidae) in Hawaii: effects of

lure mixtures and weathering. Journal of

Economic Entomology. [Online] 93 (1),

Oxford University Press Oxford, UK, 81–

87. Available from: doi:10.1603/0022-0493-

93.1.81.

Varikou, K., Garantonakis, N. and Birouraki, A.

(2014) Response of olive fruit fly Bactrocera

oleae to various attractants combinations,

in orchards of Crete. Bulletin of

Insectology. 67 (1), 109–114.

Vayssieres, J.-F., Korie, S. and Ayegnon, D. (2009)

Correlation of fruit fly (Diptera

Tephritidae) infestation of major mango

Page 31: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

27 Prospek Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol (C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama Lalat Buah Bactrocera

Spp. (Diptera : Tephritidae) (AGUS KARDINAN)

cultivars in Borgou (Benin) with abiotic

and biotic factors and assessment of

damage. Journal Crop protection. [Online]

28 (6), 477–488. Available from:

doi:10.1016/j.cropro.2009.01.010.

Verghese, A., Tandon, P.L. and Stonehouse, J.M.

(2004) Economic evaluation of the

integrated management of the oriental fruit

fly Bactrocera dorsalis (Diptera:

Tephritidae) in mango in India. Journal

Crop protection. [Online] 23 (1), 61–63.

Available from: doi:10.1016/S0261-

2194(03)00087-5.

Weems, H.V., Heppner, J.B., Nation, J.L. and

Fasulo, T.R. (2004) Oriental Fruit Fly,

Bactrocera dorsalis (Hendel)(Insecta:

Diptera: Tephritidae). Florida Departement

of Agriculture and Consumer Services,

Div. of Plant Industry, University of

Florida.

Weinzierl, R., Henn, T., Koehler, P.G. and Tucker,

C.L. (2005) Insect attractants and traps.

Agric Entomology, Univ. Of Illinois-USA.

Page 32: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Perspektif Vol. 18 No. 1 /Jun 2019. Hlm 28- 39 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n1.2019, 28 -39

ISSN: 1412-8004

28 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :28 - 39

PEMANFAATAN BROTOWALI (Tinospora crispa (L.) Hook.f & Thomson)

SEBAGAI PESTISIDA NABATI

The utilization of bitter grape (Tinospora crispa (L.) Hook.f & Thomson) as botanical

pesticide

WIRATNO, HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

Indonesian Spices and Medicinal Crops Research Institute

Jl. Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111, Indonesia

[email protected]

[email protected]

ABSTRAK

Penggunaan pestisida kimia menyebabkan berbagai

masalah yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan

dan kesehatan manusia. Oleh karena itu, penggunaan

pestisida berbahan baku alami merupakan salah satu

alternatif yang digunakan untuk mengendalikan

organisme pengganggu tanaman (OPT). Brotowali

(Tinospora crispa) merupakan tanaman berkhasiat obat

yang tumbuh di daerah tropis termasuk Indonesia.

Tanaman tersebut sering digunakan sebagai obat

untuk demam, kolera, rematik, penyakit kuning dan

diabetes tipe II. Bahan aktif yang terkandung di dalam

akar, batang, daun, buah dan bunga brotowali, yang

dapat mengendalikan OPT di antaranya adalah

alkaloid, tanin, saponin, glikosida, terpenoid dan

flavonoid beserta turunannya. Selain bersifat toksik

untuk serangga, tanaman brotowali juga bersifat

antijamur, antinematisida dan antimoluska. Batang

brotowali dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan

serangga diantaranya tungau, Spodoptera exigua,

Nephotettix spp, Nilaparvata lugens, Plutella xylostella,

Phyliotera sinuata Ateph, Scirtothrips dorsalis Hood,

Phyllocnistis citrella Stainton dan larva nyamuk Culex

quinquefasciatus (vektor penyakit filariasis) dengan nilai

efektivitas diatas 50% dan rasio efisiensi biaya

produksi yang lebih rendah dari pestisida sintetik.

Selain itu juga brotowali dapat digunakan sebagai

bahan untuk campuran pestisida organik. Budidaya

brotowali cukup mudah, walaupun belum banyak

diteliti, sehingga ketersediaan bahan baku juga dapat

berkelanjutan. Review ini bertujuan untuk

mengemukakan hasil-hasil penelitian yang terkait

dengan penggunaan brotowali sebagai bahan untuk

pestisida nabati.

Kata kunci: Tinospora crispa, pestisida nabati, metabolit

sekunder

ABSTRACT

Excessive use of chemical pesticides cause various

problems related to environmental sustainability and

human health. Therefore, the use of pesticides made

from natural materials, such as from plants known as

botanical pesticides, is one of the alternatives used to

control plant pests. Bitter grape (Tinospora crispa) is a

medicinal plant grows in tropical regions including

Indonesia. The plant is often used as medicine for

fever, cholera, rheumatism, jaundice and type II

diabetes. The active ingredients contained in the roots,

stems, leaves, fruits and flowers of this plant, which are

able to control pests, are alkaloids, tannins, saponins,

glycosides, terpenoids, flavonoids and their

derivatives. Besides being toxic to insects, bitter grape

also has antifungal, antinematicidal and antimollusca

activities. The extract or directly used of bitter grape

stem had been utilized to control insects such as mites,

Spodoptera exigua, Nephotettix spp, Nilaparvata lugens,

Plutella xylostella, Phyliotera sinuata ateph, Scirtothrips

dorsalis Hood, Phyllocnistis citrella Stainton and larvae

of Culex quinquefasciatus (phyllariasis disease vector),

with the pesticide effectiveness above 50% and

efficiency ratio of cost production lower than synthetic

pesticide. Moreover, it can be mixed with other plants

as raw material for organic pesticide. Bitter grape can

be cultivated easily, although its cultivation technology

has not been widely studied. Thus, the sustainability

of the raw materials will not be a problem. This review

aimed to present the results of research related to the

use of bitter grape as the material for botanical

pestiside.

Keywords: Tinospora crispa, botanical pesticide,

secondary metabolite

Page 33: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

29 Pemanfaatan Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.F & Thomson) Sebagai Pestisida Nabat (WIRATNO,

HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO)

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara penghasil

produk pertanian yang menggunakan pestisida

untuk mengontrol organisme pengganggu

tanaman (OPT). Kulkarni et al. (2009) menyatakan

bahwa pestisida digunakan pada 35% tanaman

pertanian selama pertumbuhan di lapangan dan

14% produk-produk pertanian yang disimpan di

gudang penyimpanan terserang OPT, sehingga

mempengaruhi produksi makanan secara global.

Pestisida adalah bahan atau campuran bahan

yang digunakan untuk mengendalikan OPT baik

itu untuk mencegah, memusnahkan, membunuh,

mengontrol dan mengurangi serangan OPT

(Anjarwalla et al. 2016). Penggunaan pestisida

kimia yang berlebihan menyebabkan berbagai

macam masalah diantaranya mencemari

lingkungan, menyebabkan resistensi OPT,

menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia

karena dapat memicu berbagai macam penyakit

diantaranya kanker, diabetes, infertilitas,

penurunan imunitas dan lain-lain (Anjarwalla et

al. 2016). WHO memperkirakan 200.000 orang

meninggal karena keracunan pestisida kimia

(Belmain et al. 2012). Lebih lanjut Khater (2012)

melaporkan penggunaan pestisida kimia secara

terus-menerus menyebabkan resistensi kurang

lebih 500 spesies serangga dan tungau.

Pestisida nabati berpotensi untuk

menanggulangi masalah yang ditimbulkan oleh

penggunaan pestisida kimia secara terus-

menerus. Kelebihan dari pestisida nabati dapat

terdegradasi secara cepat sehingga tidak

mencemari lingkungan dan mengurangi resiko

adanya residu pada makanan yang dikonsumsi

manusia (Singh dan Saratchandra 2005). Selain

itu pestisida nabati juga tidak membunuh spesies

bukan target dan organisme lainnya yang

menguntungkan (Amoabeng et al. 2013) dan

secara umum lebih hemat dibanding pestisida

kimia. Mkenda et al. (2015) melaporkan

penggunaan pestisida nabati pada budidaya

tanaman kedelai memberikan keuntungan

US$5,50 dibanding dengan penggunaan pestisida

sintetik yang memberikan keuntungan sebesar

US$4 dan tidak berbeda nyata dengan kontrol.

Tanaman memproduksi senyawa yang memiliki

fungsi untuk mengganggu pertumbuhan

serangga (insect growth regulator), antifeedant, dan

repelen. Ekstrak dan minyak atsiri yang berasal

dari tanaman umumnya aman dan ramah

lingkungan dibanding pestisida kimia. Hal ini

menyebabkan meningkatnya kecenderungan

permintaan untuk pestisida nabati dengan lebih

dari 2.400 bahan aktif yang telah teridentifikasi

berasal dari tanaman yang memiliki potensi

sebagai insektisida dan antipatogen

(Karunamoorthi 2012). Mamun dan Ahmed

(2011) menyarankan agar pestisida nabati

diformulasikan dari tanaman yang mudah

dibudidayakan dan diekstraksi sehingga

memudahkan petani dalam pemanfaatannya.

Brotowali (Tinospora crispa) merupakan salah

satu tanaman obat dan berpotensi sebagai

insektisida nabati. Di negara-negara Asia seperti

Filipina, Malaysia, Indonesia, Thailand (Ahmad

et al. 2016), India, Cina dan Vietnam (Pal et al.

2016). Tanaman ini digunakan sebagai obat

demam, kolera, rematik, penyakit kuning (Pal et

al. 2016), perangsang nafsu makan dan juga

dimanfaatkan sebagai antiparasit baik pada

hewan maupun manusia (Aminul Md et al. 2011).

Selain itu juga digunakan dalam pengobatan

modern untuk pengobatan diabetes tipe II (Pal et

al. 2016). Bahan aktif yang terkandung dalam

brotowali berfungsi sebagai imunomodulator,

antimalaria, antibakteri, antivirus, antialergi,

antiproliferatif dan antioksidan (Nidhi et al. 2013).

Masyarakat di Indonesia biasa memanfaatkan

batang brotowali dengan cara direbus untuk

menurunkan kadar glukosa dan sebagai

antidemam (Rozaq dan Sofriani 2009).

Saat ini, brotowali belum banyak

dimanfaatkan sebagai insektisida nabati secara

komersial, walaupun sudah ada hasil-hasil

penelitian yang mengindikasikan pemanfaatan-

nya sebagai pestisida nabati. Review ini

bertujuan untuk mengemukakan hasil-hasil

penelitian yang terkait dengan penggunaan

brotowali sebagai bahan untuk pestisida nabati.

KARAKTERISTIK TANAMAN DAN

BUDIDAYA

Karakteristik Tanaman

Brotowali merupakan tanaman merambat

(Gambar 1a.) yang termasuk dalam famili

Page 34: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

30 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 28 - 39 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

Menispermaceae yang tersebar di daerah tropis

dan subtropis di Asia dan Afrika (Chittur dan

Gunjan 2012), tetapi belum ada informasi data

penyebaran brotowali di Indonesia. Tanaman ini

tumbuh sampai dengan ketinggian 1.000 m dpl

dan tumbuh optimal pada daerah bersuhu tinggi

(Rozaq dan Sofriani 2009). Jenis tanah yang cocok

untuk pertumbuhannya adalah tanah

berlempung dengan pH 5-7, suhu 25-37°C,

kelembaban sedang, curah hujan 1.500-3.000

mm/tahun dengan intensitas matahari 70-100%

(Rahmaniar et al. 2015).

Panjang batang dapat mencapai 2,5 m,

dengan daun berbentuk hati, panjang tangkai

daun 7-12 cm, memiliki bunga kecil yang

berwarna hijau (Rozaq dan Sofriani 2009).

Batang yang tua berwarna kecoklatan dan

memiliki benjolan-benjolan (Gambar 1b.),

sedangkan batang mudanya berwarna hijau dan

licin tidak berbulu. Daunnya lebar berbentuk

hati dengan panjang 6-12 cm dan lebar 7-12 cm.

Tangkai daun licin dengan panjang 5-15 cm.

Bunga majemuk berukuran kecil, berwarna

kuning atau kuning kehijauan. Buah memiliki

panjang 7-8 mm, berwarna hijau (Ahmad et al.

2016; Yusuf et al. 1999).

Budidaya

Tanaman brotowali belum dibudidayakan

dalam skala luas dan penelitian mengenai

budidayapun belum banyak dilakukan.

Brotowali dapat diperbanyak secara vegetatif

dengan setek batang. Setek batang brotowali

dapat bertahan selama satu tahun bila disimpan

dalam wadah tertutup (Yusuf et al. 1999). Setek

diambil dari batang sehat dan cukup tua dengan

panjang ± 10 cm. Penyemaian dilakukan selama

3-4 minggu dengan jarak tanam 60-100 cm x 60-

100 cm.

Brotowali merupakan tanaman merambat

sehingga dibutuhkan tiang panjat mati atau

hidup (dapat menggunakan glirisidia). Dosis

pupuk yang digunakan adalah 1 kg pupuk

kandang per tanaman. Batang brotowali dapat

mulai dipanen pada umur 5,5 bulan setelah

tanam saat batang mulai berwarna coklat

kehitaman (Rahmaniar et al. 2015). Brotowali

juga dapat diperbanyak secara kultur jaringan

untuk mendapatkan kandungan bahan aktif yang

tinggi (Yusuf et al. 1999).

KANDUNGAN BAHAN AKTIF UNTUK

INSEKTISIDA NABATI

Pestisida nabati merupakan pestisida yang

berasal dari bahan aktif tunggal maupun

campuran yang berasal dari tanaman (daun,

buah, biji atau akar). Cara kerja pestisida nabati

adalah sebagai repelen, atraktan, menyebabkan

infertilitas, antimakan dan mempengaruhi proses

molting (Mamun dan Ahmed 2011; Yunita et al.

2009). Kandungan metabolit sekunder yang

biasanya memiliki aktivitas sebagai pestisida

adalah alkaloid, terpenoid dan fenol (Raden

2016).

Kandungan bahan aktif pada tanaman

brotowali telah dipelajari secara intensif sejak

tahun 1980-an. Ahmad et al. (2016) melaporkan

ada lebih dari 65 jenis senyawa pada brotowali

diantaranya alkaloids, flavonoids, flavone

glikosida, triterpenes, diterpenes dan diterpene

glikosida, cis clerodane-typefurano diterpenoids,

lactones, sterols, lignans, dan nukleosida. Bagian

a b c

Gambar 1. Tanaman (a), batang (b) dan daun (c) brotowali (Tinospora crispa) (dok. Nurhayati)

Page 35: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

31 Pemanfaatan Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.F & Thomson) Sebagai Pestisida Nabat (WIRATNO,

HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO)

tanaman yang berpotensi sebagai bahan untuk

pestisida nabati adalah daun, batang dan buah.

Senyawa aktif dari ekstrak kasar daun brotowali

diperoleh beberapa golongan senyawa yaitu

steroid, terpenoid, saponin dan fenolik, alkaloid,

damar lunak, pati, glikosida pikroretosid, zat

pahit pikroretin, harsa, berberin dan palmatin

sedangkan akarnya mengandung alkaloid

berberin dan kolumbin (Darmayasa dan

Parwanayoni 2014). Nor Aziyah et al. (2014)

menyatakan adanya kandungan alkaloid,

terpenoid dan glikosida pada ekstrak etanol

batang brotowali. Pal et al. (2016)

mengungkapkan adanya kandungan tanin dan

steroid dari ekstrak buah brotowali.

Sebagian bahan aktif yang terkandung, yaitu

alkaloid, terpenoid, dan fenolik, memiliki sifat

sebagai antimakan, sedangkan steroid memiliki

fungsi dalam mengganggu proses perubahan

bentuk serangga (molting cycle) apabila terhirup

oleh serangga (Huner dan Hopkins 2009).

Senyawa antimakan didefinisikan sebagai zat

yang apabila diujikan pada serangga akan

menghentikan aktivitas makan secara sementara

atau permanen tergantung potensi zat tersebut

(Reddy et al. 2009). Beberapa metabolit sekunder

dari tanaman brotowali yang memiliki aktivitas

sebagai pestisida adalah sebagai berikut :

Alkaloid

Alkaloid yang terdapat dalam batang

brotowali bersifat racun aktif yang tersusun dari

karbon, hidrogen, dan nitrogen yang dapat

merusak sistem syaraf, mengganggu pernapasan,

dan mengganggu kemampuan reproduksi,

sehingga penggunaan ekstrak batang brotowali

dapat mengurangi penyebaran dan mengusir

nyamuk, mengganggu produksi feses dan urin

serangga (Nor Aziyah et al. 2014; Dumeva et al.

2016). Berberin dan palmatin yang termasuk

dalam kelompok alkaloid, terdapat dalam akar

dan batang brotowali juga bersifat toksik untuk

serangga (Rozaq dan Sofriani 2009). Senyawa

tersebut mempengaruhi kerja

acetylcholinesterase sehingga mengganggu kerja

syaraf serangga dan dapat menyebabkan

kematian (Rattan 2010; Liu et al. 2014). Selain itu

berberin juga menghambat sintesis dan

transkripsi DNA (Rattan 2010). Palmatin iodide

dan berberin klorida dari tanaman Coptis javanica

dilaporkan memiliki aktivitas antimakan pada

serangga Hyphantria cunea (Park et al. 2000).

Selain sebagai antimakan, palmatin dan berberin

juga berfungsi sebagai repelen (Schmeller et al.

1997; Malikova et al. 2006).

Tanin

Tanin terdapat dalam daun dan batang

brotowali. Tanin yang termasuk dalam

kelompok fenol umumnya terdapat dalam semua

tanaman yang mempunyai aktivitas sebagai

pestisida (Raden 2016). Menurut Shaalan et al.

(2005) tanin bersifat toksik untuk larva Culex

quinquefasciatus. Toksisitas tanin ditentukan oleh

perannya dalam merusak membran (Nas 2004).

Tanin dapat menghambat serangan

mikroorganisme termasuk virus pada tanaman

(Ünver et al. 2014). Selain itu rasanya pahit

sehingga dapat berperan sebagai antifeedant

(Yunita et al. 2009). Pemanfaatan senyawa tanin

dilaporkan dapat mengendalikan hama gudang

yaitu menghambat pertumbuhan larva sehingga

perkembangan larva menjadi serangga akan

trerhambat (Oyeniyi et al. 2015).Tanin juga

dilaporkan memiliki aktivitas sebagai nematisida

untuk Meloidogyne javanica secara in vitro dan

percobaan di pot (Maistrello et al. 2010).

Saponin

Saponin juga merupakan metabolit sekunder

yang terkandung dalam tanaman untuk pestisida

(Raden 2016), terdapat dalam ekstrak kasar daun

brotowali (Darmayasa dan Parwanayoni 2014).

Saponin pada brotowali bersifat sebagai racun

perut dan racun kontak pada larva serangga

(Septian dan Ratnasari 2010). Makanan yang

telah terkontaminasi saponin akan diserap dan

disebarkan ke seluruh tubuh dan memasuki

peredaran darah sehingga menyebabkan

hemolisis yang akan mengganggu proses

fisiologis larva dan menyebabkan kematian

(Budianto dan Tukiran 2012). Selain itu saponin

juga bersifat antimakan dan mengganggu

pertumbuhan serangga melalui penghambatan

sintesis ecdysteroid (Chaieb 2010).

Page 36: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

32 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 28 - 39 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

Glikosida

Pikroretin, pikroretosid dan tinokrisposid

yang terdapat dalam batang brotowali

merupakan bahan aktif bersifat insektisidal

(Rozaq dan Sofriani 2009; Dumeva et al. 2016).

Tinokrisposid bersifat racun untuk larva nyamuk

Aedes aegepty. Rasa pahit yang dimiliki oleh

tinokrisposid dapat menyebabkan iritasi pada

lambung karena penyerapan tinokrisposid ke

dalam usus larva dapat menghambat kerja enzim

pencernaan serta mengakibatkan kerusakan sel-

sel pada saluran pencernaan dan menyebabkan

kematian pada larva (Dumeva et al. 2016).

Terpenoid

Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa

senyawa triterpenoid dari golongan terpenoid

bersifat antimakan (Sukadana et al. 2018; Raden

2016). Selain itu golongan terpenoid juga bersifat

molluscicidal untuk keong (Abdelgaleil 2010),

racun perut untuk serangga pengunyah (chewing

insects) dan larva nyamuk (El-Wakeil 2013).

Senyawa meliacarpins dari tanaman Melia

azedarachta, yang juga termasuk golongan

terpenoid memiliki aktivitas menghambat

pertumbuhan serangga (El-Wakeil 2013).

Senyawa terpenoid menghambat kerja enzim-

enzim pencernaan, sistem syaraf, molting dan

sklerotisasi pada serangga (Miyazawa et al. 1997;

Kubo 2000).

Flavonoid

Flavonoid terdapat dalam akar, daun dan

batang brotowali, termasuk dalam golongan

senyawa fenol (Raden 2016). Fenolik sendiri

merupakan golongan senyawa yang bersifat

toksik terhadap serangga, jamur, nematoda dan

gulma (Ntalli dan Menkissoglu-Spiroudi 2011).

Flavonoid sifatnya toksik untuk beberapa

serangga, merupakan antimikroba dan

merupakan mekanisme tanaman untuk

melindungi diri dari serangan patogen.

Flavonoid juga bersifat antimakan karena dapat

mengganggu sistem metabolisme dan kerja

syaraf sehingga serangga dapat mengalami

kelumpuhan pada mulutnya (Septian dan

Ratnasari 2010). Senyawa flavonoid dapat

menurunkan kemampuan mencerna makanan

pada serangga dengan menurunkan aktivitas

enzim protease dan amilase. Oleh karena itu

pertumbuhan serangga menjadi terganggu

(Shahabuddin 2009). Flavonoid memiliki

peranan penting dalam menanggulangi stres

pada tanaman terutama untuk menahan serang

patogen seperti bakteri, jamur, virus dan

serangga. Peran flavonoid berkaitan dengan

stres adalah antioksidan atau penghambat enzim

yang terlibat dalam fotosintesis dan transfer

energi yang berperan sebagai prekursor dalam

menghasilkan zat toksik (Ateyyat 2012). Salunke

et al. (2005) menyatakan bahwa flavonoid juga

berperan dalam melindungi biji-bijian di gudang

penyimpanan berkaitan dengan sifatnya sebagai

racun kontak, oviposition deterrent dan ovicidal

action. Selain itu juga berperan dalam

mengganggu proses molting pada serangga dan

dapat menyebabkan kematian. Flavonoid juga

berperan sebagai antiestrogen maupun

menghambat ekspresi dan aktivitas sitokron P450

isozyme. Penambahan konsentrasi flavonoid

dapat meningkatkan kematian nimfa Eriosoma

lanigerum (Ateyyat 2012).

PEMANFAATAN BROTOWALI

SEBAGAI PESTISIDA NABATI

Di Laos, batang brotowali dimanfaatkan

untuk mengendalikan lintah dan tungau (de Boer

et al. 2010) dan sudah umum digunakan sebagai

pestisida dalam praktek pertanian organik di

Thailand (Iwai et al. 2008). Ekstrak etanol dari

batang brotowali dilaporkan dapat melindungi

tanaman Spinacia oleracea dari Spodoptera exigua

dan mengurangi populasi serangga sampai 61,2%

(Isa et al. 2013). Selain itu juga efektif untuk

mengendalikan hama Nephotettix spp dan

Nilaparvata lugens. Ekstrak air dari batang

brotowali menunjukkan aktivitas secara sistemik,

bersifat racun untuk telur serangga dan

menghambat pertumbuhan serangga Plutella

xylostella (Morallo-Rejesus, 1992 dalam Isa et al.

2013). Ekstrak daun juga bersifat antimakan

untuk larva P. xylostella yang menyerang kubis

baik di laboratorium maupun di lapang. Aplikasi

ekstrak daun brotowali 0,1-0,4% dapat

mengurangi aktivitas makan 19,5-100%. Lebih

lanjut, hasil percobaan di lapang menunjukkan

pemberian ekstrak daun brotowali 0,1 sampai

Page 37: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

33 Pemanfaatan Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.F & Thomson) Sebagai Pestisida Nabat (WIRATNO,

HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO)

1,0% mengurangi populasi larva P. xylostella.

Aplikasi pada konsentrasi 0,5; 0;7 dan 1,0%

sebanding dengan penggunaan profenos pada

konsentrasi 0,075% (Suprapta et al. 2003).

Selain digunakan sebagai ekstrak tunggal,

Rozaq dan Sofriani (2009) juga menyatakan

penggunaan batang brotowali sebagai bahan

campuran pestisida yang terbuat dari urin yang

dicampur dengan Curcuma domestica Capsicum

frutescens, Allium ascalonicum, Pithecellobium

jiringa dan Parkia speciosa yang difermentasikan.

USAID HARVEST (2012) dalam Rahman et al.

2016) juga mengungkapkan penggunaan batang

browotali sebagai bahan untuk pestisida yang

terbuat dari campuran umbi Dioscorea hispida (3

kg) kulit batang Phyllanthus emplica (5 kg), Annona

sqamosa (2 kg), buah Strychnos nux-vomica (5 kg),

Datura metel (4 kg), Capsicum frutescens (2 kg),

Azadirachta indica (5 kg), daun Derris elliptica (3

kg), rimpang Alpinia galanga (2 kg), Ocimum

basilicum (0,5 kg), Nicotiana tabacum (1 kg) dan

Cuscuta maritime (2 kg). Bahan-bahan tersebut

dicampurkan dicampur dengan 200 l air dan

difermentasikan selama 15-20 hari. Satu liter

campuran tersebut dilarutkan dalam 15 l air dan

5 g detergen dan disemprotkan 2 kali seminggu

pada sayuran atau padi. Pestisida tersebut

dilaporkan dapat mengendalikan serangga

seperti kutu, lalat, belalang, thrips, kumbang dan

ulat dan digunakan oleh petani di Kamboja.

Kombinasi ekstrak biji mahoni dan batang

brotowali juga dapat menyebabkan mortalitas

dan penurunan aktivitas makan pada ulat

grayak. Konsentrasi yang efektif untuk

mengendalikan ulat grayak pada tanaman cabai

adalah 55 ml/l dengan mortalitas 80%. Senyawa-

senyawa yang terkandung pada batang brotowali

seperti flavonoid, saponin, dan triterpenoid akan

terabsorpsi ke dalam tubuh ulat grayak sehingga

akan menghambat pertumbuhan larva. Senyawa-

senyawa tersebut akan mengganggu fungsi dari

tiga hormon utama serangga, yaitu hormon otak

yang menyerang sistem saraf, hormon ekdison

yang menghambat proses molting, dan hormon

pertumbuhan. Hal tersebut akan mengganggu

metabolisme ulat grayak menyebabkan kematian

(Septian dan Ratnasari 2010).

Ekstrak brotowali juga dilaporkan efektif

untuk mengendalikan Nephotettix spp, Nilaparvata

lugens, Spodoptera spp (Isa et al. 2013), Plutella

xylostella (Ruenrom et al. 2011) dan rayap (Dweck

dan Cavin 2006). Nor Aziyah et al. (2014)

menyatakan penggunaan 1,0 g/l ekstrak etanol

batang brotowali dapat menurunkan populasi

Phyliotera sinuata 30-89% pada tanaman Brassica

juncea. Penurunan populasi P. sinuata sama

baiknya dengan penggunaan cyperin yang

merupakan pestisida kimia komersial. Brotowali

yang difermentasikan dalam molase memiliki

efektiftas tertinggi dalam menurunkan populasi

Scirtothrips dorsalis Hood dan Phyllocnistis citrella

Stainton berturut-turut 80 dan 82% dibanding

kontrol (Pangnakorn dan Chuenchooklin 2015).

Pada penelitian lain, ekstrak metanol daun

brotowali menunjukkan 100% feeding deterrency

pada larva instar keempat Spodoptera litura pada

konsentrasi 500 ppm dan juga 100%

menyebabkan kematian pada telur S. litura pada

160 ppm (Elanchezhiyan et al. 2015).

Penelitian secara in-vitro menunjukkan

bahwa ekstrak kasar daun brotowali memiliki

kemampuan menghambat yang cukup kuat

(zona hambat 16,75 mm) terhadap pertumbuhan

jamur Fusarium sp yang diisolasi dari tanaman

cabai yang sakit. Percobaan secara in-vivo

menunjukkan pemberian formulasi ekstrak kasar

daun brotowali pada konsentrasi 5% mampu

mempertahankan populasi tanaman cabai

sebesar 70% (Darmayasa dan Parwanayoni 2014).

Lebih lanjut, Darmayasa dan Parwanayoni (2014)

juga menyatakan berdasarkan hasil pengujian

daya hambat fraksi brotowali terhadap Fusarium

sp. secara in vitro hanya fraksi 10, 11 dan 12 yang

memiliki kemampuan menghambat

pertumbuhan jamur tersebut dengan daya

hambat masing-masing 12,50 mm; 20,25 mm dan

13,75 mm. Hasil uji identifikasi senyawa kimia

pada fraksi 11 positif mengandung steroid,

terpenoid, saponin dan fenolik. Senyawa-

senyawa tersebut diduga berpotensi

menghambat pertumbuhan Fusarium sp.

Golongan senyawa fenol, terpenoid dan saponin

memiliki aktivitas sebagai antijamur, yang dapat

menghambat aktivitas enzim dan merusak

membran sel jamur (Rao et al. 2010; Cho et al.

2013).

Page 38: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

34 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 28 - 39 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

Selain digunakan sebagai pestisida untuk

tanaman, buah brotowali juga digunakan untuk

mengendalikan larva nyamuk Culex

quinquefasciatus pembawa vektor penyakit

filariasis. Ekstrak kasar dan terlarut dari buah

brotowali berpotensi digunakan untuk

mengendalikan larva C. quinquefasciatus. Nilai

LC50 pada larva yang diperlakukan dengan

ekstrak kasar berturut-turut 0,04% untuk larva

instar pertama, 0,06% untuk instar kedua dan

ketiga serta 0,07% untuk larva instar keempat

pada 72 jam setelah perlakuan. Perlakuan

dengan ekstrak terlarut menggunakan petroleum

ether menunjukkan nilai LC50 64,49 ppm untuk

larva instar pertama, 66,29; 68,36 dan 69,37 ppm

untuk instar kedua, ketiga dan keempat (Pal et al.

2016). Senyawa kimia yang diduga tidak disukai

nyamuk adalah fersenel, sirat, sitonella,

flavonoid, saponin, risin polivenol, alkaloid,

glikosida pikroretosid, tinokrisposid, pikroretin.

Bahan-bahan yang tidak disukai nyamuk di atas

sebagian diantaranya seperti alkaloid,

tinokrisposid, glikosida terkandung pada

tanaman brotowali (Dumeva et al. 2016). Selain

buah, Prihastuti et al. (2012) juga

mengungkapkan pemanfaatan batang tanaman

brotowali sebagai lotion anti nyamuk yang aman

untuk kulit. Hasil analisis menunjukkan lotion

anti nyamuk dari batang brotowali yang masih

murni teruji dapat menurunkan aktivitas nyamuk

karena mengandung glikosida dan alkaloid.

KAJIAN EKONOMI PEMANFAATAN

BROTOWALI SEBAGAI PESTISIDA

NABATI

Potensi ekonomi tanaman brotowali dapat

dilihat dari dua pendekatan yaitu pengurangan

biaya produksi dan dampak kerugian ekonomi

yang dapat ditanggulangi. Biaya produksi

pestisida nabati berbahan baku tanaman

brotowali relatif murah bila dibandingkan

dengan harga pestisida sintetis di pasaran. Petani

dapat membuatnya sendiri dengan teknologi

sederhana dan mencari secara langsung bahan

baku yang tersedia di alam (Wiranti 2005). Lebih

lanjut, analisis finansial pembuatan pestisida

nabati telah dilakukan dan menghasilkan biaya

rendah termasuk menghitung tenaga kerja dan

bahan yang digunakan (Ermiati 2017). Apabila

dibandingkan dengan harga pestisida sintetik

berdasarkan kebutuhan per satuan luas (1 ha),

dapat diperoleh hasil perhitungan rasio efisiensi

biaya produksi 0,45 untuk biaya pestisida nabati

berbahan baku brotowali yang lebih rendah dari

pada pestisida sintetik berbahan profenos 50%

EC (Tabel 1). Hal ini akan mengurangi biaya

yang dikeluarkan petani. Contohnya, rata-rata

tingkat kehilangan hasil akibat wereng coklat

Tabel 1. Estimasi potensi rasio biaya produksi penggunaan pestisida nabati brotowali terhadap

penggunaan pestisida sintetik serta dampak ekonominya

Jenis Pestisida Estimasi biaya

produksi/harga pasar*

Ratio

biaya

produksi

Dampak ekonomi

terhadap

lingkungan

Acuan pustaka

Pembuatan pestisida

nabati mandiri

Rp. 67.800,-/ha - Ramah lingkungan (Ermiati 2017; Wiranti

2005)

Profenos 50% Insectisida EC

untuk mengendalikan kutu

daun, ulat dan lalat buah

1-2 liter per ha ≈ Rp.

110.000 - Rp. 150.000,-

gus0,45 Merusak hayati

seperti ikan nila

dan organisme

perairan lain

(Adharini et al. 2016;

Pamungkas 2016)

Insektisida sistemik

berbahan aktif fipronil,

klorantaniliprol dan

tiametoksan untuk

mengendalikan kutu dan

wereng coklat

1-2 liter per ha

≈Rp180.000,- Rp

220.000,-

0,37 Kategori insektisida

berbahaya kelas II,

dapat meracuni

organisme dan

lingkungan

(Wartono et al. 2018)

Keterangan: *) Harga dikalkulasikan berdasarkan harga pestisida di tingkat petani

Page 39: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

35 Pemanfaatan Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.F & Thomson) Sebagai Pestisida Nabat (WIRATNO,

HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO)

pada tanaman padi adalah 528 kg/tahun/ha,

setara dengan nilai kerugian ekonomi Rp

2.376.000,-/ha/tahun, maka kerugian petani akan

terselamatkan dengan nilai ekonomi yang cukup

signifikan (Yahya et al. 2012).

Namun demikian, aplikasi pestisida nabati

berbasis tanaman brotowali tentunya

memerlukan edukasi kesadaran petani

(awareness) terhadap penggunaan pestisida alami

mengingat persepsi petani terhadap pestisida

nabati walaupun bernilai positif tidak sebaik

penggunaan pestisida sintetis. Pengujian

efektivitas ekstrak brotowali baik tunggal

maupun bersama dengan bahan lain pada hama

padi dan cabai menghasilkan tingkat efektivitas

yang cukup beragam yaitu pada Phyliotera

sinuate sebesar 30-90%, ulat grayak (Spodoptera

litura) (80-100%), Scrirtotrips dorsalis Hood (80%),

Phyllocnistis citrella Stainton (82%) (Darmayasa

dan Parwanayoni 2014). Untuk itu masih

diperlukan kajian lebih mendalam terhadap

formulasi pestisida nabati berbasis tanaman

brotowali dalam hal adopsi teknologi, dampak

ekonomi terhadap petani dan dampaknya

terhadap lingkungan.

KESIMPULAN

Brotowali merupakan tanaman obat yang

berpotensi digunakan sebagai pestisida nabati

karena selain kandungan bahan aktifnya bersifat

toksik untuk OPT, tanaman ini mudah

dibudidayakan. Kandungan utama tanaman ini

yang bersifat toksik untuk OPT adalah alkaloid,

tanin, saponin, glikosida, terpenoid dan

flavonoid yang dapat diekstrak dengan air,

etanol maupun metanol. Batang brotowali baik

dalam bentuk ekstrak maupun digunakan secara

langsung telah dimanfaatkan untuk

mengendalikan serangga diantaranya tungau di

Laos, Spodoptera exigua dan Phyliotera sinuata

ateph di Malaysia, Nephotettix spp, Plutella

xylostella dan Nilaparvata lugens di Filipina,

Scirtothrips dorsalis Hood dan Phyllocnistis citrella

Stainton di Thailand dan larva nyamuk Culex

quinquefasciatus (vektor penyakit filariasis) di

India dengan nilai efektivitas diatas 50%. Selain

itu juga digunakan sebagai bahan untuk

campuran pestisida organik di Indonesia dan

Bangladesh. Oleh karena itu berdasarkan

kandungan bahan aktifnya, tanaman brotowali

dapat dikembangkan sebagai insektisida,

fungisida, nematisida dan moluscicida sehingga

meningkatkan pemanfaatannya pada berbagai

tanaman pertanian dan perkebunan. Namun

kajian mendalam dalam hal adopsi teknologi,

dampak ekonomi terhadap petani dan

dampaknya terhadap lingkungan masih perlu

dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdelgaleil, S.A.M. (2010) Molluscicidal and

insecticidal potential of monoterpenes on

the white garden snail, Theba pisana

(Muller) and the cotton leafworm,

Spodoptera littoralis (Boisduval). Applied

Entomology and Zoology. 45 (3), Japanese

Society of Applied Entomology and

Zoology, 425–433.

Adharini, R.I., Hartiko, H., Perikanan, D.,

Pertanian, F., Mada, U.G., Flora, J., Gd, A.,

Fisiologi, D., Biologi, F., Mada, U.G.,

Selatan, J.T. & Utara, S. (2016) Pengaruh

kontaminasi insektisida profenofos

terhadap fisiologis ikan nila merah

(Oreochromis sp.). Jurnal Manusia dan

Lingkungan. 22 (2), 365–373.

Ahmad, W., Jantan, I. & Bukhari, S.N.A. (2016)

Tinospora crispa (L.) Hook. f. & Thomson: A

review of its ethnobotanical,

phytochemical, and pharmacological

aspects. Frontiers in Pharmacology. [Online]

7 (MAR), 1–19. Available from:

doi:10.3389/fphar.2016.00059.

Aminul Md, H., Ashraful SM, I. & Mohammad, S.

(2011) Antimicrobial, cytotoxicity and

antioxidant activity of Tinospora crispa.

Journal of Pharmaceutical and Biomedical

Sciences (JPBMS). 13 (13).

Amoabeng, B.W., Gurr, G.M., Gitau, C.W., Nicol,

H.I., Munyakazi, L. & Stevenson, P.C.

(2013) Tri-trophic insecticidal effects of

African plants against cabbage pests. PloS

one. 8 (10), Public Library of Science,

e78651.

Anjarwalla, P., Belmain, S., Ofori, D., Sola, P.,

Jamnadas, R. & Stevenson, P. (2016)

Page 40: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

36 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 28 - 39 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

Handbook on pesticidal plants Optimization of

Pesticidal plants : Technology, Innovation,

Sensibilization, Research. (May), Nairobi,

World Agroforestry Centre.

Ateyyat, M. (2012) Selectivity of four insecticides

to woolly apple aphid, Eriosoma lanigerum

(Hausmann) and its sole parasitoid,

Aphelinus mali (Hald.). World Applied

Sciences Journal. [Online] 16 (8), 1060–1064.

Available from: doi:10.5539/jas.v4n2p227.

Belmain, S.R., Amoah, B.A., Nyirenda, S.P.,

Kamanula, J.F. & Stevenson, P.C. (2012)

Highly variable insect control efficacy of

Tephrosia vogelii chemotypes. Journal of

Agricultural and Food Chemistry. 60 (40),

ACS Publications, 10055–10063.

de Boer, H., Vongsombath, C., Pålsson, K., Björk,

L. & Jaenson, T.G.T. (2010) Botanical

repellents and pesticides traditionally used

against hematophagous invertebrates in

Lao People’s Democratic Republic: A

comparative study of plants used in 66

villages. Journal of Medical Entomology.

[Online] 47 (3), 400–414. Available from:

doi:10.1603/ME09273.

Budianto, F. & Tukiran (2012) Bioinsektisida dari

tumbuhan bakau merah (Rhizhopora stylosa.

Griff) (Rhizophoraceae). UNESA Journal of

Chemistry. 1 (1), 19–25.

Chaieb, I. (2010) Saponins as insecticides: a

review. Tunisian Journal of Plant Protection.

5 (1), 39–50.

Chittur, M.A.I. & Gunjan, M. (2012)

Antimicrobial activity of Tinospora crispa

root extracts. International Journal of

Research in Ayurveda & Pharmacy. 3 (3).

Cho, J., Choi, H., Lee, J., Kim, M.S., Sohn, H.Y. &

Lee, D.G. (2013) The antifungal activity and

membrane-disruptive action of dioscin

extracted from Dioscorea nipponica.

Biochimica et Biophysica Acta - Biomembranes.

[Online] 1828 (3), Elsevier B.V., 1153–1158.

Available from:

doi:10.1016/j.bbamem.2012.12.010.

Darmayasa, I.B.G. & Parwanayoni, N.M.S. (2014)

Potensi ekstrak daun brotowali (Tinospora

crispa (L) Miers) sebagai fungisida nabati

terhadap penyakit layu fusarium pada tanaman

cabai (Capsicum annum L.).In: Aryanta, I.,

Pangkahila, A., Marina Silalahi, M.,

Adiputra, I. & Nyoman Arsana, I. (eds.)

Integrasi Keanekaragaman Hayati Dan

Kebudayaan Dalam Pembangunan

Berkelanjutan. Denpasar, FMIPA,

Universitas Hindu Indonesia, pp.197–205.

Dumeva, A., Syarifah & Fitriah, S. (2016)

Pengaruh ekstrak batang brotowali

(Tinospora crispa) terhadap kematian larva

nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Biota. 2 (2),

166–172.

Dweck, A.C. & Cavin, J.-P. (2006) Andawali

(Tinospora crispa): a review. Personal Care

Magazine. 7, 33–39.

El-Wakeil, N.E. (2013) Botanical pesticides and

their mode of action. Gesunde Pflanzen.

[Online] 65 (4), 125–149. Available from:

doi:10.1007/s10343-013-0308-3.

Elanchezhiyan, K., Gokulakrishnan, J., Deepa, J.

& Selvakumar, B. (2015) Botanical extracts

of Tinospora crispa (Menispermaceae ) and

Psidium guajava (Myrtaceae) against

important agricultural polyphagous field

pest armyworm, Spodoptera litura (Fab.).

International Journal of Recent Scientific

Research. [Online] 6 (2), 2703–2709.

Available from: www.recentscientific.com.

Ermiati (2017) analisis finansial penggunaan

pestisida nabati pada usahatani jahe putih

besar (studi kasus Kecamatan

Tanjungkerta, Sumedang). Buletin

Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 28 (2),

199–209.

Huner, N.P.A. & Hopkins, W. (2009) Introduction

to Plant Physiology. John Wiley & Sons, NY.

4th edition. New York.

Isa, N., Satar, S.A., Bakhari, N.A., Nur, S., Diana,

A., Tik, L.B. & Wan, W.Z. (2013) The effect

of Tinospora crispa extract against Spodoptera

exigua on Spinacia oleracea. Malaysian Journal

of Fundamental and Applied Sciences. 9 (2),

110–114.

Iwai, C.B., Pratad, Y., Sereepong, S. & Noller, B.

(2008) Earthworm : potential bioindicator

for monitoring diffuse pollution. 13

(October), 1081–1088.

Karunamoorthi, K. (2012) Medicinal and aromatic

plants: a major source of green

pesticides/risk-reduced pesticides. Med

Page 41: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

37 Pemanfaatan Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.F & Thomson) Sebagai Pestisida Nabat (WIRATNO,

HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO)

Aromat Plants. 1, 137.

Khater, H.F. (2012) Prospect of botanical

biopesticides in insect pest management.

Pharmacologica. 3 (12), 641–656.

Kubo, I. (2000) Tyrosinase inhibitors from plants.

Revista Latinoamericana de Química. 28 (1),

Laboratorios Mixim, SA de CV, 7–20.

Kulkarni, J., Kapse, N. & Kulnarni, D.K. (2009)

Plant based pesticide for control of

Helicoverpa armigera on Cucumis sativus.

Asian Agri-History. 13 (4), 327–332.

Liu, X., Tian, Y., Dong, F., Xu, J., Li, Y., Liang, X.,

Wang, Y. & Zheng, Y. (2014) Simultaneous

determination of matrine and berberine in

fruits, vegetables, and soil using ultra-

performance liquid

chromatography/tandem mass

spectrometry. Journal of AOAC

International. [Online] 97 (1), 218–224.

Available from: doi:10.5740/jaoacint.12-328.

Maistrello, L., Vaccari, G. & Sasanelli, N. (2010)

Effect of chestnut tannins on the root-knot

nematode Meloidogyne javanica.

Helminthologia. 47 (1), Springer, 48–57.

Malikova, J., Zdarilova, A. & Hlobilkova, A.

(2006) Effects of sanguinarine and

chelerythrine on the cell cycle and

apoptosis. Biomedical Papers-Palacky

University Olomouc. 150 (1), 5.

Mamun, M.S.A. & Ahmed, M. (2011) Prospect of

indigenous plant extracts in tea pest

management. Int. J. Agril. Res. Innov. &

Tech. 1 (1&2), 16–23.

Miyazawa, M., Watanabe, H. & Kameoka, H.

(1997) Inhibition of acetylcholinesterase

activity by monoterpenoids with ap-

menthane skeleton. Journal of Agricultural

and Food Chemistry. 45 (3), ACS

Publications, 677–679.

Mkenda, P., Mwanauta, R., Stevenson, P.C.,

Ndakidemi, P., Mtei, K. & Belmain, S.R.

(2015) Extracts from field margin weeds

provide economically viable and

environmentally benign pest control

compared to synthetic pesticides. PLoS

One. 10 (11), Public Library of Science,

e0143530.

Nas, M.N. (2004) In vitro studies on some natural

beverages as botanical pesticides against

Erwinia amylovora and Curtobacterium

flaccumfaciensis subsp . poinsettiae. Ecology.

[Online] 28, 57–61. Available from:

doi:10.3906/tar-0307-2.

Nidhi, P., Swati, P. & Krishnamurthy, R. (2013)

Indian Tinospora species: natural

immunomodulators and therapeutic

agents. International Journal of

Pharmaceutical, Biological and Chemical

Science. 2 (2), 1–9.

Nor Aziyah, B., Norain, I., Nor Aimi, A.W., Lim,

B.T., Wan Zarina, W.K. & Siti Nur Amirah

Diana, F. (2014) Biopesticidal effect of

Tinospora crispa extracts against flea beetles,

Phyliotera sinuata ateph. Research Journal of

Biotechnology. 9, 1.

Ntalli, N.G. & Menkissoglu-Spiroudi, U. (2011)

Pesticides of botanical origin: a promising

tool in plant protection.In: Pesticides-

Formulations, Effects, Fate. InTech, pp.2–24.

Oyeniyi, E.A., Gbaye, O.A. & Holloway, G.J.

(2015) The influence of geographic origin

and food type on the susceptibility of

Callosobruchus maculatus (Fabricius) to Piper

guineense (Schum and Thonn). Journal of

Stored Products Research. [Online] 63, 15–21.

Available from:

doi:10.1016/j.jspr.2015.05.005.

Pal, J.K., Singh, A., Rawani, A. & Chandra, G.

(2016) Larvicidal activity of Tinospora crispa

(Menispermaceae) fruit extract against

filarial vector Culex quinquefasciatus. Journal

of Mosquito Research. 6.

Pamungkas, O.S. (2016) Bahaya paparan pestisida

terhadap kesehatan manusia. Bioedukasi. 16

(1), 27–31.

Pangnakorn, U. & Chuenchooklin, S. (2015)

Effectiveness of biopesticide against insects

pest and its quality of pomelo (Citrus

maxima Merr.). International Journal of

Biological, Biomolecular, Agricultural, Food

and Biotechnological Engineering. 9 (3), 285–

288.

Park, I.K., Lee, H.S., Lee, S.G., Park, J.D. & Ahn,

Y.J. (2000) Antifeeding activity of

isoquinoline alkaloids identified in coptis

japonica roots against Hyphantria cunea

(Lepidoptera: Arctiidae) and Agelastica

coerulea (Coleoptera: Galerucinae). Journal

Page 42: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

38 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 28 - 39 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

of Economic Entomology. [Online] 93 (2),

331–335. Available from: doi:10.1603/0022-

0493-93.2.331.

Raden, I. (2016) Qualitative determination of

secondary metabolic compounds and

macro-nutrients some botanical pesticide

plants of East Kalimantan, Indonesia.

Nusantara Bioscience. [Online] 8 (2), 141–

144. Available from:

doi:10.13057/nusbiosci/n080202.

Rahman, S., Biswas, S., Barman, N. & Tamanna,

F. (2016) Plant extract as selective pesticide

for plant extract as selective pesticide for

integrated pest management. 2 (1), 6–10.

Rahmaniar, D., Bermawie, N., Pribadi, E., Noor,

S., Hartono, B., Banjarnahor, D., Julianto,

A., Rachmi, D., Rahmawati, F., Waludin, J.,

Sumaryo, A. & Royanih (2015) Buku Saku

Budidaya Tanaman Obat. Jakarta, Direktorat

Budidaya dan Pascapanen Sayuran dan

Tanaman Obat, Dirjen Hortikultura.

Kementerian Pertanian.

Rao, A., Zhang, Y., Muend, S. & Rao, R. (2010)

Mechanism of antifungal activity of

terpenoid phenols resembles calcium stress

and inhibition of the TOR pathway.

Antimicrobial Agents and Chemotherapy.

[Online] 54 (12), 5062–5069. Available from:

doi:10.1128/AAC.01050-10.

Rattan, R. (2010) Mechanism of action of

insecticidal secondary metabolites of plant

origin. Crop Protection. 29 (0), 913–920.

Reddy, B.K., Balaji, M., Reddy, P.U., Sailaja, G.,

Vaidyanath, K. & Narasimha, G. (2009)

Antifeedant and antimicrobial activity of

Tylophora indica. African Journal of

Biochemistry Research. 3 (12), 393–397.

Rozaq, P. & Sofriani, N. (2009) Organic pesticide

from urine and spices modification. Asian

Journal of Food and Agro-Industry. 2 (Special

Issue), King Mongkut’s University of

Technology Thonburi (KMUTT).

Ruenrom, K., Tantakom, S. & Thongket, T. (2011)

Insecticidal efficacy of Tinospora crispa Miers.

extracts by different solvents on diamondback

moth larvae.In: Proceedings of the 49th

Kasetsart University Annual Conference,

Kasetsart University, Thailand, 1-4 February,

2011. Volume 1. Subject: Plants. Kasetsart

University, pp.93–98.

Salunke, B.K., Kotkar, H.M., Mendki, P.S.,

Upasani, S.M. & Maheshwari, V.L. (2005)

Efficacy of flavonoids in controlling

Callosobruchus chinensis (L.)(Coleoptera:

Bruchidae), a post-harvest pest of grain

legumes. Crop Protection. 24 (10), Elsevier,

888–893.

Schmeller, T., Latz-Brüning, B. & Wink, M. (1997)

Biochemical activities of berberine,

palmatine and sanguinarine mediating

chemical defence against microorganisms

and herbivores. Phytochemistry. 44 (2),

Elsevier, 257–266.

Septian, R.E. & Ratnasari, E. (2010) Pengaruh

kombinasi ekstrak biji mahoni dan batang

brotowali terhadap mortalitas dan aktivitas

makan ulat grayak pada tanaman cabai

rawit. Lentera Bio. 2 (1), 107–112.

Shaalan, E.A.-S., Canyon, D., Younes, M.W.F.,

Abdel-Wahab, H. & Mansour, A.-H. (2005)

A review of botanical phytochemicals with

mosquitocidal potential. Environment

International. 31 (8), Elsevier, 1149–1166.

Shahabuddin, P. (2009) Pengujian efek

penghambatan ekstrak daun widuri

terhadap pertumbuhan larva Spodoptera

exigua Hubn dengan menggunakan indeks

pertumbuhan relatif. J. Agroland. 16 (2),

148–154.

Singh, R.N. & Saratchandra, B. (2005) The

development of botanical products with

special reference to seri-ecosystem. Caspian

Journal of Environmental Sciences. 3 (1), 1–8.

Sukadana, I.M., Rita, W.S. & Koreh, F.R. (2007)

Isolasi dan identifikasi senyawa antimakan

dari batang tumbuhan brotowali (Tinospora

tuberculata Beumee.). Jurnal Kimia. 1 (1), 55–

61.

Suprapta, D.N., Suanda, I.W., Arya, N. &

Ohsawa, K. (2003) Insecticidal activity of

Tinospora crispa leaf extract against

diamond back mouth in cabbage. Journal of

ISSAAS. 9 (2), 18–24.

Ünver, E., Okur, A.A., Tahtabiçen, E., Kara, B. &

Şamlı, H.E. (2014) Tannins and their

impacts on animal nutrition. Turkish Journal

of Agriculture-Food Science and Technology. 2

(6), 263–267.

Page 43: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

39 Pemanfaatan Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.F & Thomson) Sebagai Pestisida Nabat (WIRATNO,

HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO)

Wartono, Suwignyo, R.A., Napoleon, A. &

Suheryanto (2018) Insecticides Residue in the

Centre of Paddy Field in Musi Rawas, South

Sumatra, Indonesia.In: First SRICOENV

2018. 68, pp.1–6.

Wiranti, E.W. (2005) Ulasan (review)

pemasyarakatan penggunaan pestisida

nabati dalam mendukung agribisnis. Planta

Tropika. 1 (2), 84–88.

Yahya, H., Wong, K.-C. & Yang, P.-S. (2012)

Integrated pest management practices for rice

crops: Review of Indonesia and Taiwan.In: The

Proceedings of The 2nd Annual International

Conference Syiah Kuala University 2012 &

The 8th IMT-GT Uninet Biosciences

Conference. 2 (1), Banda aceh, 22-24

November 2012, pp.100–105.

Yunita, E.A., Suparpti, N.H. & Hidayat, J.W.

(2009) Pengaruh ekstrak daun teklan

(Eupatorium riparium) terhadap mortalitas

dan perkembangan larva Aedes aegypti.

Bioma. 11 (1), Department of Biology, MIPA

UNDIP, 11–17.

Yusuf, U., Horsten, S. & Lemmens, R. (1999)

Tinospora spp.In: de Padua, L.,

Bunyapraphatsara, N. & Lemmens, R.

(eds.) PROSEA Medicinal and Poisonous

Plants 1. Leiden, Backhuys Publishers,

pp.479–484.

Page 44: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Perspektif Vol. 18 No. 1 /Jun 2019. Hlm 40- 51 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n1.2019, 40 -51

ISSN: 1412-8004

40 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :40 - 51

KELAYAKAN TEKNIS PENGEMBANGAN AGAVE DI LAHAN KERING

BERIKLIM KERING

Technical Feasibility of Agave Development in Dry Land, Dry Climate

BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID

Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Indonesian Sweetener and Fiber Crops Research Institute

Jalan Raya Karangploso Kotak Pos 199 Malang 65152, Indonesia

Telp (0341) 491447Faks (0341) 485121.

E-mail:[email protected]

ABSTRAK

Pengembangan agave diarahkan pada lahan kering

beriklim kering yang cukup luas ketersediaannya.

Potensi curah hujan yang terbatas sekitar 1.347,71

mm/tahun masih dapat mendukung pertumbuhan

agave. Tujuan dari penulisan tinjauan ini adalah untuk

menginformasikan pola rintisan pengembangan agave

di lahan kering, iklim kering di Sumbawa Barat,

sehingga dapat diekstrapolasikan ke daerah lain yang

memiliki kemiripan sumber daya alam, ekosistem dan

kondisi sosial. Program pola rintisan pengembangan

agave di Sumbawa Barat mengikuti azas plasma dan

inti. Investor nasional sebagai inti dan para petani

sebagai pelaku plasma. Investor berkewajiban

membeli serat kering agave pada saat panen dari para

petani plasma dengan harga yang disepakati bersama.

Selain itu investor menyediakan sarana produksi dan

mesin dekortikator dengan sistem bantuan sosial.

Benih Agave disediakan oleh Investor. Pola rintisan

pengembanan agave di Sumbawa Barat dilaksanakan

di Kecamatan Sekongkang, Poto Tano, dan Alas seluas

5.000 ha yang didukung oleh 10.000 Kepala Keluarga

(KK). Dalam pelaksanaan pengembangan pola rintisan

agave ini didukung dengan penyediaan paket

teknologi berupa benih agave dari kultur jaringan;

sistem tanam double row dan rapat; pengendalian

penyakit; pengendalian gulma; aplikasi Ca dan Mg;

dan teknologi pasca panen. Pengembangan agave di

daerah rintisan hendaknya secara sosial dapat diterima

oleh masyarakat, secara ekonomi menguntungkan dan

mempunyai nilai tambah, tidak merusak lingkungan,

dapat dikerjakan oleh petani, produk yang dihasilkan

memiliki daya saing yang tinggi serta berorientasi dari

produk primer ke sekunder.

Kata kunci: Agave, Sumbawa Barat, lahan kering, iklim

kering

ABSTRACT

Agave development is allocated to a dry up land area with dry climate, which is still available in large extent. The low annual rainfall of 1.347,71 mm is potentially sufficient for agave development. The purpose of this review is to provide information of the development of agave pioneer pattern on dry upland with dry climate in West Sumbawa, with the expectation that it can be extrapolated to other areas with similar natural resources, ecosystems and social conditions. The initial agave development program in West Sumbawa was based on nucleus and plasma principles. National investors as a nucleus and farmers as actors of plasma. Investors were obliged to buy a dry fiber agave at the harvesting from the farmers with a mutually agreed price. Additionally, investor provided production facilities, machinery decorticator and seeds in the form of social assistance system. The pioneer pattern of agave development in West Sumbawa was carried out in Sekongkang, Poto Tano and Alas districts and covered the areas of 5,000 ha involving 10,000 household (HH). In the implementation of the agave development pattern, it was supported by the provision of technological package consisting of agave seeds derived from tissue culture; densely double row planting system; disease control; weed control, application of Ca and Mg; and post-harvest technology. Stub pattern agave development in the area should be socially acceptable by society, economically profitable and value-added, do not damage the environment, can be done by farmers, the products have high competitiveness and oriented from primary to secondary products. The development of agave in the pilot area should be socially acceptable to the community, economically profitable and has added value, does not damage the environment, can be done by farmers, the products produced have high competitiveness and are concentrated from primary to secondary products.

Keywords : Agave, West Sumbawa, dry land, a climate dry

Page 45: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

41 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)

PENDAHULUAN

Serat alam merupakan bahan berligno

selulosa yang dapat digunakan sebagai bahan

dasar industri dengan keunggulan dapat

diperbarui, dapat didaur ulang dan mudah

terdegradasi secara alami atau sering disebut

ramah lingkungan (Nugraheni & M, 2012).

Menurut Kusumastuti (2009) agave merupakan

tanaman serat alam yang paling banyak

digunakan dan paling mudah dibudidayakan.

Serat kering agave secara global banyak

digunakan untuk keperluan industri. Dewasa ini

kebutuhan serat Agave, baik dunia maupun

nasional masih dipenuhi dari impor. Negara-

negara produsen serat Agave sebagian besar

berada di Afrika, Amerika Latin dan Asia.

Kenya, Tanzania, Brazil, Mexico dan China

penghasil serat agave terbesar dunia (FAO, 2009).

Industri yang mengunakan bahan baku serat

agave antara lain pabrik karpet, tali kapal laut,

kabel listrik, karung pengemas hasil-hasil

pertanian, pemoles mesin mobil, kerajinan lokal

(topi, kuas, sapu, keset, sikat kamar mandi dan

sandal) dan geotekstil. Disamping itu, serat agave

juga digunakan untuk bahan baku pulp kertas,

pelapis dinding, interior, door trim dan

dashboard (FAO, 2009). Menurut Gutierrez,

Rodriguez, & Rio (2008) dan Hunter (2001) serat

agave dapat digunakan sebagai bahan baku

kertas khusus diantaranya kertas rokok, kertas

semen, kantong teh celup, kertas saring dan

kertas tulis.

Tingkat produktivitas serat kering agave

sebesar 1,5 ton per hektar dengan rendemen serat

kering sebesar 5% (Santos-Zea, Leal-Diaz, Cortes-

Ceballos, E., & A., 2012). Panen perdana pada

umur 15 bulan, kemudian untuk panen

berikutnya setiap 6 bulan. Serat yang didapat

berasal dari daun tanaman agave yang sudah

masak. Panen daun dimulai dari bagian bawah,

kemudian berurutan keatas. Setiap pohon

menghasilkan sekitar 30 sampai dengan 60

lembar helai daun. Hasil panen selanjutnya

diproses dalam mesin dekortikator untuk

mendapatkan serat kering. Rendemen serat

kering dari agave sekitar 3% sampai dengan 5%.

Pulau Sumbawa Barat merupakan daerah

yang dicirikan dengan kondisi tandus, berbatu,

kering dan bercurah hujan sedikit. Pada kondisi

yang demikian perlu dicari tanaman yang sesuai

dan mampu hidup serta berproduksi. Agave

(Agave sisalana L) atau sering disebut dengan sisal

sebagai tanaman penghasil serat alam, sangat

sesuai dikembangkan di daerah kering dan

marginal. Agave mempunyai tipe lintasan

karbon CAM (Crasulation Acid Metabolisme) yang

dapat tumbuh baik dalam kondisi kering

(Santoso, 2009); (Arizaga & Ezcurra, 2002).

Tanaman agave tergolong sukulen, bersifat

xeropitik yang memungkinkan tanaman dapat

bertahan di daerah kering, karena daunnya kecil,

kutikula tebal dan stomata tersembunyi. Pada

siang hari sering terjadi stomata tertutup untuk

mengurangi penguapan air, sehingga tanaman

kelihatan tetap segar, tidak layu. Proses

fotosintesa tetap berlangsung saat matahari

bersinar terang dengan bantuan CO2 yang

diambil pada malam hari. Fiksasi karbon

dioksida (CO2) berlangsung pada malam hari

yang bersenyawa dengan fosfo enol piruvat

membentuk asam malat (Summer, 2002).

Agave yang dikembangkan di Sumbawa

adalah klon (xy+1168) karena mempunyai jumlah

daun yang lebih banyak dalam satu tanaman,

daging daunnya tebal, lebih toleran terhadap

penyakit Fusarium dan tingkat produktivitas

sebesar 2- 2,50 ton serat per ha. Produktivitas

klon ini jauh lebih tinggi dari pada yang

dilaporkan oleh Santoso (2012).

Pengembangan agave di daerah rintisan

hendaknya secara sosial dapat diterima oleh

masyarakat, secara ekonomi menguntungkan dan

mempunyai nilai tambah, tidak merusak

lingkungan, dapat dikerjakan oleh petani, produk

yang dihasilkan memiliki daya saing yang tinggi

dan berorentasi dari produk primer ke sekunder.

Oleh karena itu, tujuan penulisan tinjauan ini

adalah untuk mengevaluasi penerapan konsep

pola rintisan pengembangan agave klon

(xy+1168) di lahan kering, iklim kering di

Sumbawa Barat, sehingga dapat

diekstrapolasikan ke daerah lain yang memiliki

kemiripan sumber daya alam, ekosistem dan

kondisi sosial.

Lahan kering secara teknis dan kimiawi,

masalah utamanya adalah kesuburan tanah,

topografi dan ketersediaan air. Secara umum

Page 46: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

42 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 40 - 51 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

lahan kering memiliki tingkat keseburan tanah

yang rendah, mudah tererosi, sehingga lapisan

olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik

sedikit sekali. Dengan demikian dalam pola

usahatani lahan kering kiranya berbeda dengan

usahatani lahan tadah hujan. Menurut Oram

(dalam FAO (2009) mendifinisikan bahwa

usahatani lahan kering dengan sistem budidaya

pada kondisi stres kelembaban lahan yang

moderat selama masa pertanaman setahun,

sehingga memerlukan sistem budidaya dan

teknologi yang dapat menjamin keuntungan bagi

petani dan dalam bentuk usahatani yang

berkelanjutan. Pemilihan komoditas perkebunan

yang sesuai dengan kondisi lahan kering

merupakan tindakan yang bijak. Agave sebagai

tanaman perkebunan yang sangat tahan terhadap

kekeringan karena mempunyai karakter fisiologis

yang spesifik serta mampu tumbuh pada tanah

yang kurang subur.

KONDISI AGROEKOSISTEM DAERAH

RINTISAN PENGEMBANGAN AGAVE DI

SUMBAWA BARAT

Kondisi Sumber Daya Alam

Lokasi daerah rintisan pengembangan agave

di Sumbawa Barat berada di kecamatan

Sekongkang, Poto Tano, dan Alas. Potensi

wilayah yang dapat ditanami agave diperkirakan

seluas 5.000 ha. Lokasi-lokasi tersebut dipilih

berdasarkan hasil studi kelayakan proyek

pengembangan agave (Menakertrans., 2012).

Lokasi-lokasi tersebut memiliki sumber daya

alam yang mendukung, walaupun kondisinya

kering, tetapi tingkat kesuburan lahan masih

baik, dapat diusahakan untuk perkebunan dan

pertanian (Suyamto, 1982). Selain itu sumber

daya manusia juga tersedia. Data statistik dari

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

menunjukkan bahwa ketiga daerah tersebut

dihuni oleh sekitar 1.000 Kepala Keluarga. Setiap

Kepala Keluarga, rata-rata mempunyai 3-4 tenaga

kerja dalam keluarga. Kemampuan dari ketiga

daerah tersebut dapat menghasilkan 3.000-4.000

tenaga kerja potensial. Jumlah ini dapat

dimanfaatkan untuk sumber tenaga kerja dalam

pola pengembangan.

Klon unggul agave yang ditanam adalah

xy+1168 Pola tanam yang digunakan di lokasi

pengembangan adalah sistem tumpangsari

karena agave ditanam dalam bentuk double row.

Jarak tanam agave panjang 1,2 m dengan lebar

0,9 m dengan tambahan ruang untuk panen

sebesar 3,8 m. Ruang panen ini dapat digunakan

menanam tanaman lain (Santoso, 2012). Tanaman

yang dapat ditumpangsarikan dengan agave

adalah kacang tanah, kacang hijau, wijen dan

padi gogo. Keempat komoditas itu sesuai

ditumpangsarikan karena mempunyai lintasan

karbon yang berbeda dengan agave. Prinsip

sistem tanam tumpangsari adalah tanaman yang

ditumpangsarikan mempunyai perbedaan

pertumbuhan tinggi, kebutuhan cahaya, air dan

CO2, pengambilan unsur hara dan tata ruang

(Guritno, 1998). Selama menunggu panen agave,

petani dapat memperoleh salah satu hasil dari

keempat tanaman semusim tersebut.

Keunggulan lain dari tumpangsari adalah

pertumbuhan gulma lebih tertekan, sehingga

dapat mengurangi biaya pengendalian. Santoso

(2007) menyatakan bahwa pola tumpangsari

jagung dan agave menghasilkan penerimaan

sebesar Rp.10.760.000,00, apabila ditumpang-

sarikan dengan kacang tanah, maka total

penerimaan petani sebesar Rp. 8.300.000,00. Nilai

ini lebih besar dibandingkan dengan penerimaan

petani dengan sistem tanam monokultur agave

yaitu sebesar Rp. 6.000.000,00.

Kondisi Iklim

Secara umum kondisi iklim di Sumbawa

Barat kering sampai sangat kering yang ditandai

dengan pendeknya musim hujan yang

berlangsung mulai akhir November sampai

Maret (Tabel 1). Beberapa wilayah di Dompu

dan Bima memiliki kondisi curah hujan yang

relatif sama dengan Sumbawa Barat. Dengan

demikian pengembangan tanaman agave ke

depan dapat diperluas ke arah timur Pulau

Sumbawa. Curah hujan di wilayah Timur Pulau

Lombok hampir sama dengan di wilayah Pulau

Sumbawa (Riajaya, 2013). Tipe iklim di pulau

Sumbawa menurut (Oldeman & Darmijati, 1977) ;

(Oldeman, L., & Muladi., 1980) D3 dan D4

dengan 3-4 bulan basah dan 4-6 atau lebih dari 6

bulan kering (Gambar 1).

Page 47: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

43 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)

Curah hujan selama musim hujan berkisar

125-150 mm/bulan selanjutnya memasuki musim

kemarau pada bulan April curah hujan mulai

berkurang yaitu kurang dari 100 mm/bulan, dan

pada bulan Juli-September terjadi puncak musim

kemarau.

Berdasarkan pola ketersediaan air dari curah

hujan di lokasi pengembangan, agave hendaknya

ditanam pada awal musim hujan agar

mendapatkan cukup air selama pertumbuhan

sampai tanaman berumur 15 bulan, saat

dilakukan panen pertama. Selanjutnya setelah

panen pertama tanaman agave masih

mendapatkan curah hujan (musim hujan) selama

dua bulan sampai Maret dan curah hujan

menjelang musim kemarau mulai April sampai

Juni. Tanaman agave merupakan tanaman yang

toleran terhadap kekeringan, asal pada waktu

tanam harus cukup air, pada saat kemarau

tanaman sudah besar dan pertumbuhan daun

masih tetap walaupun hujan tinggal sedikit,

sehingga pada panen ke II tingkat produktivitas

seratnya masih stabil, (tidak terjadi penurunan

produksi serat kering yang mencolok). Panen

kedua dapat dilakukan pada bulan Agustus

(puncak musim kemarau), panen selanjutnya

dilakukan setiap enam bulan. Produksi agave

setiap periode panen tentu berkorelasi dengan

curah hujan yang diperoleh selama

pertumbuhannya, oleh karena itu perlu

dilakukan monitor produksi setiap periode

panen. Meskipun tanaman agave relatif tahan

terhadap kekeringan, produksi seratnya sangat

dipengaruhi oleh kondisi curah hujan. Selama

Tabel 1. Periode hujan di Pulau Sumbawa

Lokasi November Desember Januari Februari Maret April

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

SUMBAWA

- Moyohilir

- Lape

- Batubulan

- Plampang

- Sumbawa

DOMPU

- Kempo

BIMA

- Rasanae

- Donggo

- Wawo

Keterangan: : Periode hujan

Sumber: (Riajaya, Kadarwati, & Machfud, 2003)

Gambar 1. Klasifikasi iklim di Sumbawa Barat lahan kering dan beriklim kering. (Oldeman et al., 1980)

Page 48: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

44 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 40 - 51 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

musim hujan lama penyinaran dibawah 60%

dengan kelembaban udara diatas 80%, sebaliknya

selama musim kemarau lama penyinaran rata-

rata 80% dan pada bulan Agustus lama

penyinaran mencapai 90%, dan kelembaban

udara dibawah 80%. Kondisi yang cukup kering

selama musim kemarau menyebabkan

evapotranspirasi meningkat, tanaman agave

mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi

terhadap kondisi kering dengan menutup

stomata untuk mengurangi transpirasi. Hasil

serat kering dari panen periode I adalah 1,50

ton/ha dan pada periode ke II 1,40 ton/ha (PT.

Agro Sumbawa, 2013).

Kondisi tanah kering, menyebabkan

tanaman mengalami cekaman lingkungan,

terutama dalam penyediaan air. Menurut Cholid

(2014) cekaman kekeringan dapat menganggu

proses metabolisme tanaman, karena air

merupakan senyawa esensial dalam proses

pertumbuhan, transportasi hara, fotosintesis, dan

mobilisasi hasil fotosintat. Lebih lanjut

dikemukakan bahwa dalam pembentuk daun

baru, dibutuhkan distribusi dan akumulasi

fotosintat. Kondisi iklim terdiri dari suhu,

kelembaban lama penyinaran, kecepatan angin,

curah hujan bulanan evapotranspirasi potensial

di Sumbawa Besar disajikan pada Gambar 2.

Hasil perhitungan evapotranspirasi

potensial (Eto) di P. Sumbawa menunjukkan

bahwa surplus air terjadi mulai Desember

sampai Maret dimana curah hujan lebih tinggi

dibanding Eto , sebaliknya mulai April sampai

November terjadi defisit air karena curah hujan

lebih rendah dari Eto. Rata-rata curah hujan

tahunan di Sumbawa Barat adalah 1.347,71 mm

dan total ETo 1.596,93 mm sehingga total defisit

dalam setahun adalah 249,22 mm (Gambar 2).

Upaya untuk membuat embung untuk

menampung air selama musim hujan sangat

diperlukan untuk mengurangi defisit air selama

musim kemarau.

Penanaman agave yang ditumpangsarikan

dengan palawija dapat mengurangi evaporasi

mengingat jarak tanam cukup lebar dan bentuk

daun yang sempit dan memanjang sehingga

tingkat penutupan lahan sangat rendah.

Tanaman palawija yang ditumpangsarikan dapat

ditanam bersamaan dengan agave pada awal

musim hujan dengan populasi yang tidak

berbeda jauh dengan monokulturnya sehingga

tidak akan menurunkan produksi palawija yang

tinggi. Pemilihan jenis palawija disesuaikan

dengan minat petani dan yang biasa berkembang

di wilayah tersebut, seperti kacang tanah, kacang

hijau, wijen, dan padi gogo. Panen palawija

dilakukan pada awal musim kemarau sehingga

sisa panen (biomas) dapat dikembalikan ke

lahan dan meletakan disamping tanaman agave

sebagai mulsa pada musim kemarau untuk

menjaga kelembaban tanah, mengurangi

pertumbuhan gulma dan mengurangi evaporasi.

Untuk memanfaatkan lahan di sekitar tanaman

agave setelah palawija dipanen dapat dilakukan

Gambar 2. a. Rata-rata kondisi iklim terdiri dari suhu rata-rata, maksimum, minimum (oC), kelembaban

udara, RH(%), lama penyinaran, LP (%), kecepatan angin, U (knots/hari), b. curah hujan

bulanan (mm) dan evapotranspirasi potensial, Eto (mm/bulan) di Sumbawa Besar.

Page 49: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

45 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)

penanaman Crotalaria juncea yang dapat dipanen

umur 30 hari, kemudian dibuatkan lubang untuk

tempat biomasa dari crotalaria, kembali ke lahan

untuk memperbaiki tingkat kesuburan lahan dan

memasuki musim hujan berikutnya

pertumbuhan tanaman agave akan lebih baik.

Sebagai tanaman yang menghasilkan serat

sepanjang tahun maka perlu upaya untuk

memperbaiki kesuburan lahan untuk mengganti

hara yang terangkut saat panen.

Kondisi Tanah

Agroekosistem pulau Sumbawa, ditinjau

dari kondisi wilayah, sebagian besar atau hampir

70% berupa ladang ilalang, savana, padang

rumput dan hutan tropis. Berdasarkan kondisi

geologi, fisiografi dan iklim, tanah di Nusa

Tenggara Barat diklasifikasikan kedalam 6 ordo

dan diturunkan menjadi sekitar 10-sub ordo dan

17 great-group yaitu Entisols (Ustifluvents,

Ustipsamments, Troposamments, Ustorhents,

Troporthents), Inceptisols (Ustropepts,

Tropaquepts, Halaquepts), Mollisols

(Haplustols), Vertisol (Haplusterts), Andisols

(Hapludands dan Haplustands) dan Alfisol

(Haplustalfs, dan Rhodustlafs) (Suwardji, 2009).

Berdasarkan bentuk wilayah dan lereng,

daerah ini dapat dibedakan dalam 4 satuan yaitu

(1) datar (7,2%), (2) datar-berombak (10,8%), (3)

berombak-bergelombang (17,6%), (4) bergelom-

bang sampai berbukit serta gunung (63,4%)

(Suwardji, 2009). Hasil analisis tanah dibeberapa

lokasi pengembangan agave disajikan pada Tabel

2.

Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa pH tanah

mulai dari 6,8 sampai 7,2 pada masing-masing

lokasi pengembangan agave. Hal ini

menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah

cukup baik. Kandungan nitrogen dari analisis

tanah dari rendah sampai dengan sangat rendah,

tetapi Kapasitas Tukar Kation (KTK) mempunyai

nilai dari rendah, sedang dan tinggi. Menurut

Wahyunto & Shofiyati (2013), lahan kering

beriklim kering umumnya mempunyai sifat fisik-

kimia tanah (tingkat kesuburan) yang lebih baik

dibanding dengan lahan kering beriklim basah.

Kandungan hara dan basa-basa tinggi dengan pH

netral sampai dengan alkalis. Secara umum

nitrogen dalam tanah pada umumnya sedikit,

sehingga harus ditambahkan melalui

pemupukan. Sedang bila dilihat dari KTK,

nilainya bervariasi dari sedang, tinggi dan sangat

tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kation yang

dapat dipertukarkan di dalam tanah di setiap

lokasi pengembangan berbeda-beda. Tetapi ada

kecenderungan kapasitas tukar kationnya tinggi.

Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa unsur

hara pada tanah yang dijadikan areal

Tabel 2. Sifat fisik dan kimia tanah, di beberapa daerah Sumbawa Barat (2012)

Sifat Tanah Alas Barat Tano Sekokang Sekokang pantai Tatar Atas Tatar Pantai

Nilai Kategori Nilai Kategori Nilai Kategori Niila Kategori Nilai Kategori Nilai Kategori

pH-H2O 7,0 netral 7,0 netral 7,0 netral 7,2 netral 6,8 netral 6,9 netral

C-Orga % 0,31 Sangat

rendah

1,05 Rendah 1,83 Rendah 1,34 Rendah 1,36 Rendah 1,55 Rendah

N-total % 0,02 Sangat

rendah

0,09 Sangat

rendah

0,19 Rendah 0,14 Rendah 0,14 Rendah 0,18 Rendah

C/N ratio 17 Tinggi 12 Sedang 9 Rendah 9 Rendah 10 Rendah 9 Rendah

P2O5 Olsen 10,51 Rendah 1,30 Sangat

rendah

0,54 Sangat

rendah

19,97 Rendah 7,12 Sangat

rendah

10,47 Rendah

NH4OAC

1N pH 7

K

Na

Ca

Mg (me/100g)

0,15

0,22

14,57

0,32

Rendah

Rendah

Tinggi

SR

0,28

0,74

7,31

0,30

Rendah

Sedang

Sedang

SR

1,08

0,97

12,04

1,43

ST

Tinggi

Tinggi

Sedang

0,35

0,90

18,47

0,63

Sedang

Tinggi

Tinggi

Rendah

0,66

1,04

10,41

0,32

Tinggi

ST

Sedang

SR

1,21

1,29

9,03

1,61

ST

ST

Sedang

Sedang

KTK(me/100g) 24,80 Sedang 10,14 Rendah 31,67 Tinggi 22,09 Sedang 29,89 Tinggi 29,00 Tinggi

KB (%) 62 Tinggi 85 ST 49 Sedang 92 ST 42 Sedang 45 Sedang

Tekstur

Pasir %

Debu %

Liat %

14

53

33

Liat

berdebu

62

36

3

Lempu

berpasir

42

58

0

Lemp

berdebu

36

58

7

Lemp

berdebu

16

67

17

Lemp

berdebu

14

72

14

Berdebu

kasar

Keterangan : Tanah diambil dari kedalaman 0-20 cm. SR= Sangat Rendah; ST=Sangat Tinggi

Sumber : Setyo-Budi & Marjani, 2013.

Page 50: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

46 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 40 - 51 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

pengembangan agave masih baik. Demikian juga

kejenuhan basa menunjukkan bahwa nilai pada

tataran antara sedang, tinggi sampai dengan

sangat tinggi.

Limbah dari hasil panen agave yang berupa

sumber bahan organik cukup banyak yaitu

sekitar 28,5 ton per ha. Pemanfaatan limbah

tersebut untuk pupuk organik sangat membantu

dalam mengembalikan hara didalam tanah.

Hasil limbah perlu dikomposkan lebih dahulu

sebelum diberikan pada pertanaman agave.

Pengelolaan limbah bahan organik merupakan

bagian dalam pengelolaan hara terpadu dan

pertanian bioindustri (Saraswati, 2014).

Ketersediaan bahan organik akan meningkatkan

siklus hara di tanah dan limbah tanaman yang

jumlahnya cukup besar sebagai sumber bahan

organik yang sangat potensial bagi penyediaan

pupuk organik hayati, sehingga jika limbah

kompos itu diberikan pada tanah akan dapat

meningkatkan kesuburan tanah karena terjadi

perbaikan fisik, kimia dan biologi tanah

(Saraswati, 2014);(Subowo & Purwati., 2013).

Penambahan substrat Carbon berdampak

terhadap peningkatan kandungan C-organik,

populasi mikroba dan aktivitas enzim terutama

higrolase, urease, protease, phosphatase, dan β-

glucosidase di dalam tanah.

MODEL PENGEMBANGAN AGAVE

Pola kolaborasi yang berintergrasi sangat

dianjurkan dalam rintisan pengembangan agave.

Pola rintisan pengembangan agave di Sumbawa

Barat mengikuti sistem kerjasama atau kemitraan

antara petani setempat dengan pengembang atau

investor. Pada perusahaan perkebunan besar

sering disebut plasma dan inti. Para petani yang

ikut program pengembangan agave membentuk

kelompok tani. Setiap kelompok tani terdiri dari

30-40 petani, dengan kepemilikan lahan seluas

sekitar 0,30-0,50 ha sebagai plasma. Perusahaan

besar atau yang juga sebagai investor yang

menanam agave 100-200 ha disebut dengan inti.

Plasma akan dibina oleh investor dalam

pengusahaan agave mulai dari tanam hingga

proses produksi serat. Petani akan menjual serat

kering agave ke investor dengan harga yang telah

disepakati bersama sesuai dengan harga di

pasaran.

Pola pengembangan inti oleh investor

nasional adalah sistem tanam monokultur dan

menggunakan pengelolaan secara mekanis, yang

meliputi pengolahan lahan, membuat petakan,

saluran drainase, tanam dan aplikasi pupuk.

Mekanisasi tersebut dilakukan karena

kelangkaan tenaga kerja. Pola pengembangan

plasma mengikuti kebiasaan petani agave yang

menanam secara tumpangsari dengan tanaman

kacang-kacangan. Pola pengembangan ini

diharapkan berdampak luas terhadap kemajuan

perekonomian daerah.

Perusahaan besar bermitra dengan petani

dalam penyediakan benih agave, dan sarana

produksi yang lain (pupuk dan mesin

dekortikator). Biaya garap diperoleh melalui

bantuan sosial (bansos) dari pemerintah daerah.

Peran pemerintah daerah dan pemerintah pusat

sangat diperlukan dalam mendukung

pengembangan agave di daerah Sumbawa Barat,

pemberdayaan petani di lahan kering (marginal)

membutuhkan bantuan modal cuma-cuma,

kemudian dilanjutkan dengan bantuan kredit

bergulir untuk kelompok lain yang belum

mendapat kredit, dan jika kredit bergulir berhasil

dengan baik, maka diteruskan ke kredit

bersubsidi tanpa ada agunan (Sayaka, Rudy,

Rivai, & Supriyadi., 2013).

Konsep model pengembangan agave yang

bertumpu pada usahatani yang berkelanjutan

diperlukan perencanaan yang berintegritas secara

menyeluruh, sehingga hasil yang diharapkan

mudah dicapai. Pada usahatani lahan kering

harus memperhatikan peningkatan pendapatan,

keuntungan dan kestabilan produksi, tetapi juga

tidak meninggalkan kelestarian lingkungan yang

bermuatan kearifan lokal, budaya dan adat-

istiadat setempat.

Keberadaan ulama, pemimpin adat, kepala

desa dan kepala suku, sangat besar terhadap

keberhasilan pengembangan agave di Sumbawa

Barat. Komoditas agave mempunyai keunggulan

komperatif di lahan kering karena dapat

menghasilkan serat sepanjang tahun dan

mempunyai nilai ekonomi untuk industri.

Page 51: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

47 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)

TEKNOLOGI YANG DIBUTUHKAN

UNTUK MENDUKUNG

PENGEMBANGAN AGAVE DI LAHAN

KERING

Perbanyakan Benih Dengan Metode Kultur

Jaringan

Perbanyakan benih dengan menggunakan

metode kultur jaringan merupakan teknik

propagasi benih tanaman yang cepat, kualitas

benih yang relatif seragam, bebas dari hama dan

penyakit yang terbawa benih, serta efisien.

Perbanyakan benih agave dengan metode kultur

jaringan yang dilakukan di Laboratorium Kultur

Jaringan Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan

Serat (Balittas) mampu menghasilkan 10,000

benih agave/bulan (Purwati, 2005).

Sistem Tanam

Penanaman agave berbeda dengan tanaman

lain, mengingat agave yang diambil adalah

daunnya dan ujung daun mempunyai duri yang

tajam maka pada jarak tanam harus diberi ruang

agar mudah dalam pemanenan. Disamping itu

bagian ruang digunakan untuk mengangkut hasil

panen. Sistem tanamnya sebaiknya

menggunakan model double row. Jarak tanam

yang optimal untuk agave 3 m x 4 m dengan satu

lubang tanam (Santoso, 2009). Dengan demikian,

maka untuk 1 ha lahan diperlukan 833 pohon.

Pengendalian Penyakit Fusarium Dan Busuk

Pangkal Batang

Agave merupakan tanaman sukulen yang

mudah sekali terserang jamur patogen penyebab

penyakit. Penyakit yang paling banyak ditemui

di daerah pengembangan adalah Fusarium. Oleh

karena itu, bahan tanam yang digunakan

sebaiknya menggunakan bahan tanam yang

memiliki ketahanan terhadap penyakit tersebut

(imunitas). Apabila dalam pertanaman agave

sudah ada yang terserang Fusarium atau

Phytophthora, sebaiknya tanaman dibongkar dan

dibakar, atau dipendam dalam tanah. Bekas

tanah yang dijangkiti fusarium diberi kapur

dengan dosis 5 kg/lubang tanam. Pengendalian

secara kimiawi dengan disemprot menggunakan

fungisida dengan dosis karbendazim 0,19 g/l dan

mankozeb 2,21 g/l (3 g Delsene 2000 MX,

mankonzeb 2,21 g/l (Dithane 80 WP), mankonzeb

2,21 g/l Antila 80 WP dan Klorotalonil 3,4 g/l

(Dakonil 75 WP).

Pengendalian Gulma dan Sapi Ternak Liar

Serta Babi Hutan

Gulma yang sering dijumpai adalah alang-

alang (Imperata cylindrica) dan (Cyperus rotundus).

Kedua tanaman pengganggu tersebut tumbuh di

ruang terbuka dan mudah tumbuh bila ada

cahaya serta air. Cara pengendaliannya

disemprot dengan herbisida berbahan aktif

isopropil amina glifosat 480 g/l (Roundup dengan

dosis 2-5 ml/liter air), pada saat gulma masih

muda dan jangan sampai terlambat.

Sapi ternak di Sumbawa Barat tidak

dikandangkan, tetapi dibiarkan berkeliaran di

lapangan, sehingga sering memakan agave yang

baru tumbuh dan berakhir dengan kematian

tanaman. Untuk itu perlu adanya kerjasama

dengan pemda setempat membuat peraturan

daerah (Perda) mengenai sapi ternak, supaya

dilakukan pengikatan atau dibuatkan kandang.

Kalau itu tidak dapat ditempuh maka

pertanaman agave harus dipagar dengan kayu

atau bambu.

Hama babi hutan muncul disekitar hutan

atau semak belukar. Pada malam hari hama babi

mencari makanan, agave yang lagi tumbuh itu

dirusak oleh babi hutan dengan memakan pucuk

atau titik tumbuh tanaman. Oleh karena itu,

antisipasi adanya perusakan tanaman oleh babi

hutan ini dapat dilakukan dengan memberi

pagar yang kuat di setiap kebun.

Pemberian Kapur (Ca) dan Magnesium (Mg).

Kebutuhan Ca untuk Agave dalam 1 tahun

sebesar 1,500 kg/ha. Agave sangat respon

terhadap kapur pertanian (Ca) (Santoso,

2009)(Santoso, 2009). Pada tanah berkapur laju

pertumbuhan agave sangat cepat dan produksi

serat yang dihasilkan tinggi. Ion kalsium

diperlukan dalam membentuk Ca pectat pada

dinding sel agave. Dalam keadaan terang Ca 2+

diambil oleh kloroplas daun mengaativasi NAD

kinase sehingga mendukung fotosintesa (Sofyan,

2010). Hasil analisis tanah lokasi pengembangan

Page 52: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

48 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 40 - 51 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

agave di Sumbawa Barat kandungan Ca antara

sedang (7,50 me/100 gram) sampai dengan tinggi

(18,50 me/100 gram). Hal ini menyebabkan

pertumbuhan agave di lokasi pengembangan

sangat baik. Hasil analisis tanah untuk

kandungan Mg didapatkan nilai sedang, rendah

dan sangat rendah. Oleh karena itu diperlukan

penambahan Mg melalui pupuk Dolomit.

Menurut Suyamto (1982), pH tanah yang nilainya

6,5-7,2 sangat berhubungan erat dengan

kekahatan Mg. Berdasarkan hal tersebut maka

tanah pengembangan yang nilai pH 6-7 perlu

ditambah Mg bersumber dari Dolomit, karena

juga mengandung Ca, sehingga berfungsi ganda

bagi tanaman agave.

Kerapatan Tanaman.

Tanah yang subur dicirikan dengan nilai pH

mendekati 7 dan kapasitas tukar kation dengan

nilai 30. Tingkat kesuburan lahan akan

berpengaruh terhadap kerapatan tanaman.

Manakala lahan yang akan ditanami agave subur

maka kerapatan tanaman dikurangi, sebaliknya

apabila lahan yang ditanami agave kurang subur

maka kerapatan tanaman di padatkan agar

produksi serat yang dihasilkan mencapai optimal

yaitu sebesar lebih dari 1,500 kg serat kering/ha

Santoso, (2009). Penamanan agave pada lahan

kering seperti di Sumbawa Barat hendaknya

menggunakan sistem tanam rapat, karena jika

terdapat ruang yang kosong akan ditumbuhi

gulma.

Pasca Panen

Mesin dekortikator model konveyer sangat

diperlukan dalam pengembangan agave, karena

untuk mendapatkan hasil serat harus melalui

proses pengambilan untaian serat atau benang

yang ada di daun. Lembaran daun agave

dimasukan ke dalam mesin dekortikator yang ,

kemudian menjadi serat yang terurai. Sifat dari

mesin dekortikator harus fortable, artinya dapat

dipindah-pindah ke pertanaman agave, sehingga

dapat mengurangi biaya pengangkutan hasil

panen daun agave. Sedangkan untuk

pengolahan serat dari kebun inti dapat

digunakan mesin prosesing serat agave dengan

sistem mekanisasi penuh dan berkapasitas besar

hingga 20 ton/jam Brown, (2002). Tampilan

mesin dekortikasi dalam proses penyeratan

model konveyer didajikan pada Gambar 3; 4; 5; 6

dan 7.

Gambar 3. Mesin dekortikator konveyer, daun

Agave berjalan masuk mesin

Gambar 4. Mesin dekortikator konveyer mengilas

daun agave menjadi serat

Gambar 5. Mesin dekortikator konveyer serat

dibersikan dari kotoran

Page 53: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

49 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)

Pola usahatani Agave menghasilkan

pendapatan yang menguntungkan bagi petani

seperti terlihat pada Tabel 3.

Dari Tabel 3 terlihat bahwa R/C

(Reception/Cost) ratio = Rp. 7.500.000,- : Rp.

5.782.500 = 1,29 artinya bahwa usahatani Agave

memberikan keuntungan. Pendapatan

monokultur Agave mencapai Rp. 1.717.500,- per

hektar. Disamping itu pola monokultur Agave

masih dapat ditumpangsari dengan tanaman

pangan seperti jagung, kacang hijau, kacang

tanah dan wijen. Pola tumpangsari tersebut jelas

memberikan nilai tambah bagi pendapatan

petani terutama di Sumbawa Barat.

Budaya para petani Sumbawa Barat pada

umumnya suka menanam tanaman Jagung.

Hadirnya Agave tidak merusak adat setempat

tapi justru ada sinergis antara tanaman Agave

dan tanaman Jagung. Disisi lain penanaman

tanaman Agave, hanya sekali dalam pengolahan

tanah, sehingga sangat membantu dalam kaidah

kaidah konservasi lahan atau mencegah

terjadinya erosi dan membantu dalam

meningkatkan lingkungan utamanya tanah.

Gambar 6. Mesin dekortikator konveyer serat

yang sudah bersih diambil untuk

dijemur

Gambar 7. Mesin dekortikator konveyer terlihat

membuang limbah.

Tabel 3. Analisis usahatani Agave secara monokultur

Uraian Sistem monokultur Agave

Fisik Nilai

I. Produksi Serat kering 1.500. Rp. 7.500.000,-

II. Biaya produksi

Bibit agave 4.000 Rp. 400.000,-

Pupuk organik 140 karung Rp. 700.000,-

Pengolahan tanah 1 ha Rp. 300.000,-

Mesin dekortikator 1 unit Rp.1.750.000,-

Solar 175 liter Rp. 787.500,-

Penanaman bibit 15 HOK Rp. 225.000,-

Pemupukan 8 HOK Rp. 120.000,-

Pemanenan serat dan pejemuran 100 HOK Rp.1.500.000,-

Total biaya prosduksi 1 ha Rp.5.782.500,-

Pendapatan (I - II) Rp.1.717.500,-

Keterangan :Harga bibit agave Rp. 100/bibit; Pupuk organik Rp. 5000,-/karung; Minyak Solar Rp. 4.000,-/liter:

HOK Rp. 15.000/hari dan harga serat kering Agave Rp. 5.000/kg

Sumber : Sudjindro, (2011).

Page 54: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

50 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 40 - 51 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

Hasil penelitian tumpangsari Agave +

jagung dan tumpangsari Agave + Kacang tanah

Santoso, (2007) menunjukkan bahwa untuk

jagung ada tambahan penerimaan sebesar

Rp.5.160.000,- per hektar dan untuk kacang

tanah ada tambahan penerimaan sebesar Rp.

2.250.000,- per hektar dengan nilai kesetaraan

lahan (NKL) masing masing 1,79 dan 1,54.

KESIMPULAN

Sumbawa Barat dengan karakter lahan

kering, beriklim kering sesuai untuk

pengembangan agave dengan sistem plasma dan

inti. Potensi wilayah pengembangan di Sumbawa

Barat diperkirakan seluas 5.000 ha.

Pengembangan agave di wilayah ini didukung

oleh ketersediaan tenaga kerja yang cukup untuk

kebun plasma dan investor nasional yang

mengelola kebun inti. Pola rintisan

pengembangan agave di Sumbawa Barat

dilakukan dengan penjualan serat kering

produksi kebun plasma kepada investor yang

juga mengelola kebun inti dengan harga yang

disepakti bersama pada saat panen. Selain itu

investor juga menyediakan saprodi dan mesin

dekortikator. Peran pemerintah daerah Sumbawa

Barat dan Pemerintah Pusat sangat penting

dalam mendukung keberhasilan pengembangan

agave. Dukungan teknologi budidaya dan pasca

panen telah tersedia. Hasil analisa usahatani

monokultur Agave sebesar Rp. 1.717.500,-/ha.

Sedang pola tumpangsari Agave + Jagung dan

tumpangsari Agave +Kacang tanah masing

masing mendapat tambahan penerimaan Rp

5.160.000,-/ha dan Rp. 2.250.000/ha. Secara sosial

ekonomi usahatani Agave sudah memberikan

keuntungan apalagi bila ditanam secara

tumpangsari akan memperoleh pendapatan

ganda yaitu penghasilan dari tanaman agave dan

tanaman palawija (jagung atau kacang tanah).

Limbah seresah dari hasil panenan tanaman

pangan yang berupa daun kering dapat dibenam

kedalam tanah sehingga dapat membantu

meningkatkan kesuburan lahan, sekaligus

berwawasan lingkungan.

Disarankan agar dibentuk gabungan

kelompok tani (Gapotan) agave, sehingga mudah

dalam pengelolaannya, terutama dalam

medistribusikan bantuan kredit usahatani dalam

bentuk perguliran. Disamping itu juga didirikan

kelembagaan seperti koperasi mengingat agave

merupakan tanaman perkebunan yang hasilnya

tidak dapat langsung dikomsumsi, kiranya perlu

kemudahan dalam mendapatkan uang, untuk

kebutuhan sehari-hari bagi petani.

UCAPAN TERIMA KASIH

Disampaikan ucapan terima kasih kepada

semua pihak yang telah membantu dalam

penulisan review ini. Penulis juga

menyampaikan rasa terima kasih kepada Balai

Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat yang

telah menyediakan fasilitas untuk penulisan

tinjauan ini. Juga tidak lupa Ucapan terima kasih

disampaikan kepada pimpinan PT. Sumbawa

Agro yang telah menyediakan tempat dan Kebun

Agave selama beberapa waktu untuk dijadikan

obyek kajian tentang pola pengembangan agave.

DAFTAR PUSTAKA

Arizaga, S., & Ezcurra, E. (2002). Propagation

mechanis ms. In Agave macrocatta

(Agavaceae), a tropical arid land succulent

rosette. American Journal of Botany, 84(no4),

632–641.

Brown, K. (2002). Agave Sisalana Perrine. In

Agave Sisalana Perrine (pp. 18–21).

University of Florida Center for Aquatic and

Invasive Plants.

Cholid, M. (2014). Seleksi Batang Bawah dan

Kompatibilitas Penyambungan Tanaman Jarak

Pagar (Jatropha curcas L.) untuk Meningkatkan

Produksi dan Toleransi Cekaman Kekeringan.

Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian

Bogor.

FAO. (2009). Natural Fibre. Retrieved from IYNF-

2009website:http://www.naturalfibre2009.or

g/en/fibres/sisal.html.

Guritno, B. (1998). Pengaturan pola tanam dalam

upaya peningkatan produktivitas lahan kering.

Malang.

Gutierrez, A., Rodriguez, I. M., & Rio., J. C. del.

(2008). Chemical compotion of lipophilic

extractive from sisal (Agave sisalana) fibers.

Industrial Crops and Product. P., 81–87.

Page 55: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

51 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)

Hunter, R. W. (2001). Sisal Fibre. Market

opportunities in the pulp and paper industry.

Retrieved from

http://www.irnase.csic.es/users/delrio/repos

itory/2008-Gutierrez-ICP-28-81.pdf

Kusumastuti, A. (2009). Aplikasi Serat Sisal

sebagai Komposit Polimer. Jurnal Kompetensi

Teknik, 1(1), 27–32. Retrieved from

http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mo

d=viewarticle&article=136027

Menakertrans. (2012). Kemnakertrans Kembangkan

Sisal di Lahan Transmigrasi. Nasional

Sumbawa.

Nugraheni, S. D., & M, M. (2012). Pengembangan

Agave (Agave sisalana) di Madura.

Prosiding Seminar Nasional Serat Alam.

Prosiding Seminar Nasional Serat Alam:Inovasi

Teknologi Serat Alam Mendukung Agroindustri

Yang Berkelanjutan, 358–363. Malang:

Balittas.

Oldeman, L. ., & Darmijati, S. (1977). An

Agroclimate Map of Sulawesi ans Nusa

Tenggara Barat. Bogor.

Oldeman, L., I., & Muladi. (1980). An Agroclimate

Map of Java. Bogor.

PT. Agro Sumbawa. (2013). Kunjungan Balittas

dalam rangka pengamatan parameter produksi

agave untuk data pelepasan varietas.

Purwati, R. . (2005). Wawan cara langsung mengenai

perbanyakan benih Agave melalui Kultur

Jaringan. Malang.

Riajaya, P. D. (2013). Periode Musim Hujan dan

Penyempurnaan Waktu Tanam di Berbagai

Daerah Pengembangan Kapas Indonesia.

Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan

Petani Kapas. Jakarta.

Riajaya, P. D., Kadarwati, F. T., & Machfud, M.

(2003). Perkiraan peluang hujan untuk

menentukan waktu tanam kapas di Nusa

Tenggara Barat. Journal Penelitian Tanaman

Industri, 9(2), 39–47.

Santos-Zea, L., Leal-Diaz, A. M., Cortes-Ceballos,

E., G.-U., & A., J. (2012). . Agave (Agave

spp) and its Traditional Product as a source

of Bioactive Compouds. Current Bioactive

Compounds, 8(3), 1–14.

Santoso, B. (2007). Pengaruh Tanaman Kacang

Tanah dan Jagung terhadap Pertumbuhan

Agave sisalana Perrine dalam Sistem

Tumpangsari di Ahan Kering Berkapur.

Agritek, 15(6), 1358–1363.

Santoso, B. (2009). Peluang Pengembangan Agave

Sebagai Sumber Serat Alam. Prespektif, 8(2),

84–95.

Santoso, B. (2012). Wawancara langsung dilapangan

mengenai keunggulan klon agave xy+1168 pada

PT. Agro Sumbawa.

Saraswati, R. (2014). Inovasi Teknologi Pupuk

Hayati Mendukung Pengembangan Pertanian

Bioindustri. Badan Litbang Pertanian.

Sayaka, B., Rudy, S., Rivai, & Supriyadi. (2013).

Peningkatan Akses Petani Terhadap Permodalan

Usahatani. Prospek Pertanian Lahan Kering

dalam Mendukung Ketahanan Pangan.

Setyo-Budi, U., & Marjani. (2013). Laporan Hasil

Kunjungan Ke Kebun Sisal (Agave sisalana)

PT. Pulau Sumbawa Agro. Sumbawa.

Sofyan. (2010). Laporan Dingding Sel, Kloroplas

pada Tanaman.

Subowo, G., & Purwati., J. (2013). Pemberdayaan

Sumber Daya Hayati Tanah Mendukung

Pengembangan Pertanian Ramah

Lingkungan. Jurnal Penelitian Dan

Pengembangan Pertanian, 32(4), 178–179.

Sudjindro. (2011). Prospek Serat Alam Untuk

Bahan Baku Kertas Uang. Prespektif, 10(2),

90–104.

Summer, W. (2002). Acrobat acid metabolism of

Agave sisalana plants growing in a

neotropical savanna. Journal of Experimental.

Botany, 46(267), 639–646.

Suwardji. (2009). Mencari Skenario

Pengembangan Pertanian Lahan Kering

yang Berkelanjutan di Propinsi NTB.

Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Miskin

Di Lahan Marginal Melalui Inovasi Teknologi

Tepat Guna. Kerjasama Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian, UNRAM, BPM Dan

Bappeda NTB, 1–10.

Suyamto. (1982). Hara Mineral dan Pengelolaan

air pada Tanaman Kacang Tanah. Prosiding

Kacang Tanah Balai Penelitian Tanaman

Pangan Malang, 108–137.

Wahyunto, & Shofiyati, R. (2013). Wilayah Potensi

Lahan Kering Untuk Mendukung Pemenuhan

Kebutuhan Pangan di Indonesia.

Page 56: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Perspektif Vol. 18 No. 1 /Jun 2019. Hlm 52- 66 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n1.2019, 52 -66

ISSN: 1412-8004

52 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :52 - 51

PERANAN AGENS HAYATI DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT

JAMUR AKAR PUTIH PADA TANAMAN KARET

The Role Of Biocontrol Agents To Control White Root Disease In Rubber

WIDI AMARIA, KHAERATI, dan RITA HARNI

Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar

Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops

Jalan Raya Pakuwon Km 2 Parungkuda, Sukabumi 43357, Indonesia

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penyakit jamur akar putih (JAP) yang disebabkan oleh

Rigidoporus microporus merupakan penyakit penting

pada tanaman karet (Hevea brasiliensis). Daerah

serangan cukup luas dan menyebabkan kerugian

ekonomi mencapai 1,8 trilliun rupiah. R. microporus

merupakan patogen tular tanah yang menginfeksi

mulai pembibitan sampai tanaman dewasa di lapang

melalui proses mekanis dan enzimatis. Patogen R.

microporus menginfeksi Rhizomorf R. microporus cepat

berkembang dan mampu bertahan selama bertahun-

tahun di dalam tanah. Pengendalian dengan

menggunakan fungisida kimia secara terus menerus

dapat mengganggu kestabilan lingkungan. Upaya

mengurangi dampak negatif tersebut, dilakukan

melalui penerapan teknologi pengendalian hayati

dengan pemanfaatan agens hayati. Keunggulan

penggunaan agens hayati antagonis adalah mudah

berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan,

mengurangi inokulum patogen, mudah didapatkan

dan diperbanyak, serta aman untuk lingkungan. Agens

hayati antagonis yang telah digunakan untuk

mengendalikan penyakit JAP, antara lain dari

kelompok jamur Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus,

Chaetomium, Botryodiplodia, Penicillium, Paecilomyces,

dan Eupenicillium, kelompok bakteri adalah Bacillus

dan Pseudomonas, serta kelompok aktinobakteri dari

marga Streptomyces. Mekanisme agens hayati menekan

infeksi R. microporus dengan kompetisi, antibiosis,

hiperparasitisme, lisis, dan secara tidak langsung

menginduksi ketahanan serta pertumbuhan tanaman.

Keefektifan dan kestabilan agens hayati perlu

diformulasi dalam bentuk biofungsida dengan

menggunakan bahan pembawa dan tambahan

tertentu. Keberhasilan aplikasi biofungisida sangat

dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu,

kelembapan, dan pH. Selain itu, juga didukung oleh

komponen budi daya tanaman, seperti penggunaan

pupuk organik, dan sanitasi lingkungan dengan

pemusnahan sumber inokulum.

Kata kunci: Hevea brasiliensis, pengendalian hayati,

jamur akar putih

ABSTRACT

White root disease (WRD) caused by Rigidoporus

microporus is an important disease in rubber (Hevea

brasiliensis). The area of attack was quite extensive and

caused economic losses up to 1.8 trillion rupiahs. R.

microporus is a soil-borne pathogen that infects from

seedlings to mature plants in the field through

mechanical and enzymatic processes. Rhizomorph able

to spreads and survives for years in the soil. Control

using chemical fungicides continuously affects the

environment stability. The efforts to reduce are

conducted through the application of biological control

technology with the use of antagonistic biological

agents. The benefits of antagonistic biological agents

include: easy to develop and adapt to the environment,

reducing pathogen inoculum, easily obtained and

reproduced, and safe for the environment. The

antagonistic biological agents to control WRD include

fungus: Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus,

Chaetomium, Botryodiplodia, Penicillium,

Paecilomyces, Eupenicillium, bacteria: Bacillus and

Pseudomonas, and actinobacteria: Streptomyces. The

mechanism of biological agents that suppress R.

microporus infections with the competition, antibiosis,

hyperparasitism, lysis, and indirectly induce resistance

and plant growth-promoting. The effectiveness and

stability of biological agents need to be formulated into

bio fungicide using carriers and additives. The

successful application of bio fungicide is strongly

influenced by environmental factors such as

temperature, humidity, and pH. It is also supported by

the cultivation techniques and environmental

sanitation, including inoculum source.

Page 57: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

53 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)

Keywords: Hevea brasiliensis, biological control, white

root disease

PENDAHULUAN

Penyakit jamur akar putih (JAP) yang

disebabkan oleh Rigidoporus microporus syn.

Rigidoporus lignosus merupakan penyakit penting

pada tanaman karet. Infeksi R. microporus

mengakibatkan penurunan produksi dan

kematian tanaman. Kehilangan hasil akibat

penyakit ini secara ekonomis cukup tinggi, tidak

hanya kehilangan produksi akibat infeksi

penyakit tetapi juga mahalnya biaya yang

diperlukan dalam pengendalian. Di Indonesia,

kerugian finansial akibat kematian tanaman

mencapai 1,8 triliun rupiah per tahun dengan

perkiraan keparahan penyakit sebesar 3% di

perkebunan besar dan 5% di perkebunan rakyat

(Situmorang et al. 2007). Selanjutnya Natawijaya

(2007) melaporkan dari 12 provinsi di Indonesia

dengan kejadian penyakit JAP seluas 80.204

hektar, diperkirakan menyebabkan kerugian

sebesar 10,39 milyar rupiah. Luas serangan JAP

dari tahun ketahun mengalami peningkatan,

seperti yang dilaporkan Muklasin dan

Matondang (2010), pada tahun 2009 luas

serangan 12.535,06 ha, meningkat menjadi

26.539,47 ha pada tahun 2010, dan tahun 2011

menjadi 16.251,49 ha. Kejadian penyakit JAP

bahkan mencapai 100% dengan keparahan

penyakit 52,50% seperti yang dilaporkan Rahayu

et al. (2017) di Kecamatan Air Batu Kabupaten

Asahan, Sumatera Utara.

Patogen menginfeksi semua stadia umur

tanaman karet, namun gejala penyakit lebih

banyak ditemukan pada fase tanaman belum

menghasilkan (TBM). Menurut Situmorang et al.

(2007), umur tanaman 2-4 tahun merupakan fase

yang rentan terhadap infeksi R. microporus.

Infeksi terjadi melalui proses patogenesis mulai

dari kontak patogen dengan permukaan jaringan

inang, penetrasi, invasi dan kolonisasi, sampai

dengan menimbulkan gejala penyakit.

Keberhasilan infeksi juga ditentukan oleh

peranan cell wall degrading enzyme (CWDE) yang

dihasilkan oleh patogen (Omorusi et al. 2014;

Omorusi 2012).

Miselium yang menginfeksi inang, banyak

ditemukan di sekitar leher akar, pangkal batang,

dan di daerah perakaran. Infeksi tersebut

menyebabkan batang dan akar tanaman

menghitam, membusuk, lunak, mudah patah,

sedangkan pada bagian atas tanaman

memperlihatkan daun menjadi kusam, layu,

menguning, kering, dan menyebabkan kematian

tanaman (Amaria dan Wardiana 2014; Omorusi et

al. 2014; Omorusi 2012). Kondisi ini banyak

ditemukan pada kebun karet yang kurang

terpelihara dengan baik, kebersihan maupun

budi daya tanaman kurang diperhatikan

sehingga selain kondisi lingkungan yang

mendukung perkembangan penyakit, tanaman

juga mudah terserang.

Teknologi pengendalian JAP sudah banyak

dilaporkan salah satunya adalah pengendalian

hayati. Pengendalian hayati merupakan salah

satu pengendalian organisme pengganggu

tanaman (OPT) ramah lingkungan, terutama

memanfaatkan agens hayati berupa jamur,

bakteri, maupun aktinobakteri yang bersifat

antagonis. Soesanto (2008) mengemukakan,

pengendalian hayati sangat dianjurkan terutama

untuk mencegah dan menekan infeksi patogen

tular tanah karena agens hayati lebih mudah

berkembang dan beradaptasi dalam tanah. Di

samping itu, keuntungan lainnya adalah agens

hayati mudah diperoleh dan diperbanyak,

kompatibel dengan komponen pengendalian lain,

serta mendukung keanekaragaman hayati.

Pengendalian ini akan lebih efektif jika dalam

aplikasinya dikombinasikan dengan teknologi

budi daya yang direkomendasikan, seperti

pemupukan dan sanitasi lingkungan.

Dampak aplikasi agens hayati tidak

langsung terlihat dalam waktu singkat, namun

membutuhkan waktu panjang untuk

memberikan kestabilan lingkungan dalam

menekan perkembangan infeksi patogen serta

menurunkan intensitas penyakit. Agens hayati

yang telah digunakan untuk pengendalian JAP,

di antaranya dari kelompok jamur adalah

Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus, Chaetomium,

Botryodiplodia, Penicillium, Paecilomyces, dan

Eupenicillium (Amaria et al. 2013; Amaria dan

Wardiana 2014; Fairuzah et al. 2014; Kaewchai

dan Soytong 2010; Kusdiana et al. 2015; Ogbebor

Page 58: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

54 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

et al. 2015; Ubogu 2013), dari kelompok bakteri

adalah Bacillus dan Pseudomonas (Muharni dan

Widjajanti 2011; Nasrun dan Nurmansyah 2015),

dan aktinobakteri adalah Streptomyces (Nakaew et

al. 2015).

Penggunaan agens hayati untuk

mengendalikan JAP telah dilaporkan oleh

Amaria et al. (2015), T. harzianum, T. virens, T.

amazonicum, T. atroviride mempunyai daya

hambat tinggi (>70%) terhadap R. microporus dan

mampu mencegah perkembangan infeksi JAP

pada bibit karet. Selanjutnya Ogbebor et al. (2015)

menggunakan Hypocrea jecorina efektif

menghambat R. lignosus 86,83%, sementara P.

fluorescens dan Bacillus sp. dapat menekan

intensitas penyakit JAP 80,95%−82,91% (Nasrun

dan Nurmansyah 2015).

Dalam rangka menyusun strategi

pengendalian hayati JAP pada tanaman karet,

perlu diketahui tentang bioekologi patogen,

faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan

penyakit, serta evaluasi agens hayati yang

digunakan terutama dalam formula biofungsida

agar sesuai dengan lingkungan dan memiliki

kemampuan yang tinggi dalam menekan

penyakit JAP. Tujuan penulisan adalah mengkaji

bioekologi patogen R. microporus, serta mengulas

tentang teknologi pengendalian hayati JAP pada

tanaman karet yang sampai saat ini sedang

dikembangkan.

BIOLOGI DAN EKOLOGI PATOGEN

PENYEBAB PENYAKIT

JAMUR AKAR PUTIH

Patogen Penyebab Penyakit

Patogen penyebab JAP adalah R. microporus

(Swartz: Fr.) van Ov. sinonim dari R. lignosus

(Kloztch) Imazeki, Polyporus lignosus Klotzch, dan

Fomes lignosus (Klotzch) Bres. Jamur ini termasuk

dalam kelas Basidiomycetes yang menghasilkan

badan buah (basidiokarp), mempunyai dinding

sel mengandung kitin dan glukan (Nicole dan

Benhamou 1991; Semangun 2008). R. microporus

bersifat saprofit yang mampu bertahan hidup

pada food base berupa tunggul atau bekas pohon

tumbang dan sisa-sisa tanaman, serta sebagai

parasit apabila bertemu inang dan menyebabkan

kematian tanaman.

Rizomorf (kumpulan miselium yang

kompak) berwarna putih sampai jingga, tumbuh

menjalar, bercabang seperti akar pada

permukaan tanaman. Miselium dengan ketebalan

1–2 mm ini, mampu berada di dalam tanah yang

bebas dan terlepas dari akar atau kayu sebagai

sumber nutrisinya (Nandris et al. 1987; Omorusi

et al. 2014). Kemampuan hidup di dalam tanah

tersebut menyebabkan rizomorf mampu bertahan

dalam tanah dalam waktu yang lama, selama

bertahun-tahun sehingga mudah menyebar dan

melakukan penularan dengan melekat langsung

di permukaan akar tanaman (attachment) atau

melalui kontak akar sakit dengan akar sehat.

R. microporus bersifat polifag, mempunyai

kisaran inang yang luas. Selain menginfeksi

tanaman perkebunan dan tanaman hutan, seperti

karet, kopi, kakao, teh, kelapa sawit, cengkeh,

mangga, nangka, jambu mete, jati, sengon,

cemara, meranti, akasia, patogen ini juga

menginfeksi tanaman penutup tanah jenis

kacang-kacangan yang menjalar (Semangun

2008).

Mekanisme Infeksi dan Gejala Penyakit JAP

Mekanisme infeksi R. microporus pada proses

patogenesis, dilakukan secara mekanis dengan

membentuk struktur infeksi untuk menembus

permukaan jaringan tanaman. Selain mekanis,

juga dengan enzimatis, yaitu menghasilkan

CWDE berupa kutinase, selulase, hemiselulase,

pektinase, dan ligninase yang masing-masing

memiliki fungsi mendegradasi sesuai dengan

dinding sel inang.

Nandris et al. (1987), Omorusi (2012), dan

Omorusi et al. (2014) menjelaskan bahwa setelah

rizomorf menempel pada permukaan akar

tanaman karet, hifa patogen mengalami

diferensiasi membentuk struktur infeksi, yaitu

hifa penetrasi yang mampu menembus masuk ke

dalam jaringan inang melalui lentisel, luka, atau

secara langsung. Patogen menghasilkan CWDE

kutinase untuk mendegradasi kutin yang

merupakan halangan pertama di permukaan

jaringan inang. Rizomorf masuk dalam jaringan

inang dengan menekan epidermis dan korteks.

Tahap kolonisasi secara intra dan interseluler

dengan bantuan CWDE mampu mendegradasi

pektin dan lignin yang terdapat pada lamela

Page 59: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

55 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)

tengah, mengakibatkan bagian ini hancur.

Kolonisasi juga meluas sampai ke jaringan xylem,

dan mendegradasi dinding sel secara progresif.

Enzim yang berperan dalam mendegradasi lignin

adalah lakase, Mangan Peroksidase, dan Lignin

Peroksidase, yang mengakibatkan akar tanaman

membusuk, kecokelatan, lunak, lapuk, serta

basah. Oghenekaro et al. (2015) menambahkan

bahwa pada saat proses delignifikasi oleh R.

microporus, dinding sel inang akan menipis

karena hilangnya lignin, serta terjadinya

pemisahan fiber (serat kayu). Hal ini

menyebabkan jaringan inang yang mengandung

kayu mudah remah dan patah. Lebih lanjut

dijelaskan, CWDE lakase diproduksi dalam

jumlah tinggi oleh patogen karena sangat

berperan dalam mendegradasi lignin jaringan

inang serta terlibat dalam berbagai proses

biologis.

Infeksi R. microporus ditentukan dari sumber

inokulum, baik berasal dari kebun karet maupun

lokasi di sekitarnya. Sumber inokulum JAP dapat

berupa tunggul bekas pohon tumbang (Gambar

1a), sisa-sisa kayu dan ranting (Gambar 1b),

daun-daun karet kering (Gambar 1c) yang gugur

di sekitar tanaman, pohon tumbang (Gambar 1d),

badan buah dan miselium R. microporus (Gambar

1e), serta. Sumber inokulum yang merupakan

sisa-sisa akar terinfeksi di dalam tanah juga

sangat menentukan penyebaran rizomorf

patogen. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh

Omorusi et al. (2014) bahwa kondisi ini dapat

mendukung terjadinya kontak akar tanaman

sakit dengan sehat. Oleh karena itu, pohon karet

atau pohon lain yang mati/tumbang di sekitar

lokasi harus segera dimusnahkan atau

disingkirkan dari kebun sampai dengan

perakarannya. Pada saat dilakukan pengolahan

tanah untuk peremajaan karet juga perlu

diperhatikan karena sisa-sisa akar tanaman

terinfeksi patogen di dalam tanah, jika dibiarkan

akan menjadi sumber inokulum yang dapat

menginfeksi dan menyebabkan kematian bagi

tanaman lainnya.

Gejala penyakit JAP baik pada bibit maupun

tanaman dewasa di lapang mempunyai

kesamaan, yaitu rizomorf yang melekat kuat

pada perakaran, leher akar, dan pangkal batang.

Gambar 1. Sumber infeksi JAP di sekitar kebun karet: (a) tanggul, (b) ranting, (c) daun kering, (d) pohon

tumbang, (e) badan buah dan miselium R. microporus (Sumber: Koleksi penulis)

a b c

d e

Page 60: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

56 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

Hasil penelitian Amaria dan Wardiana (2014)

menunjukkan bahwa gejala penyakit JAP muncul

pada 24 hari setelah inokulasi (HSI), dan bibit

karet akan mengalami kematian pada 60 sampai

100 HSI. Gejala JAP pada bibit karet diawali

munculnya miselium berwarna putih di

perakaran, yaitu akar tunggang dan lateral

(Gambar 2a), rizomorf melekat kuat pada

permukaan akar tunggang (Gambar 2b),

selanjutnya menghitam dan membusuk (Gambar

2c).

Pada tanaman dewasa di lapang, gejala pada

tajuk tanaman, yaitu daun kusam, menguning,

serta batang dan daun mengering (Gambar 3a)

karena translokasi air, mineral, dan nutrisi

terganggu. Gejala pada bagian perakaran

menunjukkan rizomorf melekat di permukaan

akar dan pangkal batang disertai dengan

munculnya warna hitam yang menyebabkan

pembusukan, tekstur remah, rapuh, dan mudah

patah. Apabila infeksi R. microporus meningkat

maka ditandai dengan kolonisasi rizomorf, dan

pada pohon karet akan tampak badan buah di

sekitar leher akar atau pangkal batang (Gambar

3b). Perkembangan badan buah diikuti dengan

pembusukan jaringan tanaman di dalamnya. Hal

ini menyebabkan pertumbuhan tanaman

terhambat sehingga menyebabkan pohon

tumbang atau kematian tanaman.

Faktor-faktor yang Memengaruhi

Perkembangan Penyakit

Potensi kejadian penyakit JAP pada suatu

areal ditentukan oleh kondisi vegetasi

Gambar 2. Gejala penyakit JAP pada bibit karet: (a) miselium putih, (b) rizomorf, (c) pembusukan akar

(Sumber: Koleksi penulis)

a b c

Gambar 3. Gejala lanjut JAP pada pohon karet di

lapang: (a) daun kusam, menguning,

kering, dan gugur; (b) badan buah R.

microporus, (Sumber: Koleksi penulis)

a b

Page 61: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

57 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)

sebelumnya, tekstur, atau struktur tanah,

keasaman tanah (pH), kadar air tanah, curah

hujan per tahun, dan topografi (Tabel 1).

Curah hujan yang tinggi lebih dari 4.000

mm/tahun dapat meningkatkan kejadian

penyakit karena kelembapan udara dan tanah

juga meningkat sehingga patogen R. microporus

cepat berkembang. Pada curah hujan kurang dari

2.500 mm/tahun atau sampai 4.000 mm/tahun,

kelembapan udara berkurang, namun jika

kelembapan tanah masih tinggi maka patogen

juga tetap dapat menginfeksi perakaran.

Kondisi topografi kebun yang datar atau

landai, menyebabkan air hujan mudah tergenang

sehingga mendukung perkembangan penyakit.

Demikian juga dengan tekstur tanah gembur atau

berpasir, meningkatkan kemampuan rizomorf

untuk menembus tanah berpori. Selain itu,

menurut Situmorang (2004), sumber inokulum

dari bekas kebun karet tua dan hutan primer,

yaitu akar-akar tunggul dalam tanah yang

berongga, akan mempermudah pergerakan

rizomorf sehingga mempercepat terjadinya

infeksi dan penyebaran patogen.

Faktor-faktor lainnya seperti kelembapan

tinggi di atas 80%, kandungan bahan organik

tinggi, aerasi yang baik, dan pH 5–7 dapat

meningkatkan infeksi R. microporus (Sinulingga

dan Eddy 1989). Basuki (1986) dalam Setyawan et

al. (2013) melaporkan hasil pengamatan di

laboratorium, bahwa R. microporus mudah

berkembang secara optimal pada pH netral (5,5–

6,5), sedangkan pada pH asam pertumbuhannya

semakin terhambat dan tidak berkembang pada

pH 4.

Persiapan lahan merupakan faktor penting

yang memengaruhi intensitas penyakit JAP di

perkebunan karet. Pada perkebunan rakyat

umumnya dilakukan tanpa adanya

pembongkaran tunggul, hanya ditebang, dan

diikuti dengan pembakaran lahan. Oleh karena

itu, sisa-sisa akar yang tertinggal di dalam tanah

merupakan food base R. microporus. Berbeda pada

perkebunan besar, persiapan lahan telah

dilakukan dengan baik agar tunggul dan sisa-sisa

akar dicabut dan dibersihkan secara mekanik

kemudian dibakar. Namun, dengan adanya

larangan pembakaran pada saat persiapan lahan

oleh pemerintah, tunggul dan sisa-sisa akar

ditumpuk di areal gawangan. Tumpukan

tersebut juga berpotensi menjadi sumber

inokulum pada pertanaman yang baru dan

kondisi ini akan meningkatkan tingkat kejadian

penyakit JAP (Situmorang et al. 2007).

AGENS HAYATI UNTUK

MENGENDALIKAN PENYAKIT JAMUR

AKAR PUTIH PADA TANAMAN KARET

Agens Hayati

Agens hayati pengendali JAP dapat

diperoleh dari sampel yang diambil di sekitar

perakaran tanaman (rizosfir), atau di dalam tanah

dengan kedalaman tertentu, serta jaringan

tanaman (endofit) terutama bagian perakaran.

Sampel tersebut selain berasal dari ekosistem

tanaman karet (indigenous), juga dapat berasal

dari tanaman lain.

Berbagai jenis agens hayati baik dari kelompok jamur, bakteri, maupun aktinobakteri telah dimanfaatkan untuk menghambat perkembangan R. microporus baik in vitro maupun pada tanaman karet. Kelompok jamur adalah A.

Tabel 1. Faktor lingkungan yang memengaruhi kejadian penyakit JAP pada tanaman karet

Potensi

kejadian

Faktor lingkungan

Tanah asal Struktur/tekstur

tanah

pH Lengas

tanah (%)

Hujan

(mm/tahun)

Topografi

Ringan Rumput, semak-

semak

Lempungan/padat 3-4 <50 < 2.500 Berbukit

Sedang Hutan sekunder Lempungan/ sedang 4-5 50-80 2.500-4.000 Bergelombang

Berat Lahan replanting

karet/hutan

primer

Berpasir/gembur 5-7 80-90 >4.000 Datar

Sumber: Wijewantha (1964), Basuki (1981), Peries dan Liyange (1983) dalam Situmorang et al. (2007)

Page 62: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

58 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

niger, Chaetomium bostrychodes, Ch. cupreum, T. hamatum, T. harzianum, Botryodiplodia theobromae mampu menghambat pertumbuhan koloni patogen lebih dari 50% (Kaewchai dan Soytong 2010; Ubogu 2013). Hasil penelitian lain, T. harzianum, T. virens, T. amazonicum, T. atroviride mempunyai daya hambat tinggi terhadap R. microporus di atas 70% dan mampu mencegah perkembangan infeksi JAP pada bibit karet (Amaria et al. 2015; Amaria et al. 2013; Amaria dan Wardiana 2014). Demikian juga, Hypocrea jecorina efektif menghambat R. lignosus sampai 86,83% (Ogbebor et al. 2015). Potensi kelompok bakteri yang mampu menghambat R. microporus adalah Bacillus sp. dan B. apiarus asal rizosfir tanaman karet, P. fluorescens dari akar kunyit dan karet (Damiri et al. 2019; Muharni dan Widjajanti 2011). Rizobakteria P. fluorescens dan Bacillus sp., dapat diaplikasikan di daerah endemik JAP pada tanaman karet berumur 5 tahun dengan penekanan intensitas penyakit 80,95%−82,91% (Nasrun dan Nurmansyah 2015). Sementara itu, dari jenis aktinobakteri Streptomyces asal rizosfir tanaman kunyit dan jahe dapat menekan intensitas penyakit JAP hingga 20% lebih tinggi dibandingkan fungisida kimia sintetik (Nakaew et al. 2015).

Mekanisme Agens Hayati

Setiap jenis agens hayati mempunyai satu

atau lebih mekanisme penting dalam mencegah,

menghalangi, ataupun menghambat

perkembangan infeksi patogen. Komponen dasar

yang penting dalam keberhasilan penghambatan

tersebut, sesuai yang dijelaskan Harman (2000),

yaitu agens hayati dapat bersaing dan bertahan

di dalam lingkungan tertentu, berkoloni dan

berproliferasi pada tempat aplikasi, serta mampu

bersimbiosis dengan tanaman. Mekanisme agens

hayati menentukan keberhasilan aktivitas dalam

mencegah perkembangan infeksi patogen.

Mekanisme secara langsung dengan antibiosis,

kompetisi, hiperparasitisme, CWDE (enzim litik),

dan tidak langsung misalnya dengan induksi

ketahanan tanaman dan plant growth promoting.

Penelitian tentang mekanisme agens hayati

dalam menekan perkembangan R. microporus

yang banyak dilaporkan adalah mekanisme

secara langsung, di antaranya kompetisi,

antibiosis, hiperparasitisme, dan enzim litik

(Tabel 2).

Tabel 2. Mekanisme agens hayati dalam mengendalikan JAP

No Mekanisme Agens hayati Referensi

1 Kompetisi T. virens, T. hamatum, T. amazonicum, H. atroviridis, Trichoderma sp.

Amaria et al. (2015); Yulia et al. (2017)

2 Antibiosis Trichoderma sp. Damiri et al. (2019); Yulia et al. (2017)

B. siamensis B. amylolyquifaciens P. fluorescens

Damiri et al. (2019); Hardiyanti et al. (2018)

3 Hiperparasitisme T. virens, H. atroviridis,

Amaria et al. (2015); Suwandi (2008)

Chaetomium sp. Penicillium sp.

Hardiyanti et al. (2018)

4 Lisis (enzim litik) Kitinase Trichoderma sp.

Penicillium sp. Herath et al. (2017)

B. apiarus Bacillus sp.

Muharni dan Widjajanti (2011)

Pseudomonas sp. Burkholderia sp. Streptomyces sp.

Maiden et al. (2017); Nakaew et al. (2015)

Glukanase Trichoderma sp. Penicillium sp. Aspergillus sp.

Herath et al. (2017)

Protease Streptomyces sp. Nakaew et al. (2015)

Page 63: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

59 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)

Menurut Pal dan Gardener (2006),

mekanisme antibiosis menghasilkan senyawa

antibiotik yang dapat menyebabkan hifa patogen

abnormal (malformasi). Senyawa antibiotik

termasuk 2,4-diacetylphloroglucinol, phenazines,

cyclic lipopeptides, pyoluteorin, pyrrolnitrin,

viscosinamide dan 2,4-diacetyl phloroglucinol, di

antaranya dihasilkan oleh Pseudomonas spp.,

Bacillus siamensis, dan B. amylolyquifaciens,

sedangkan Trichoderma spp. menghasilkan

viridin, trikomidin, dan gliotoksin untuk

menghambat R. microporus (Damiri et al. 2019;

Hardiyanti et al. 2018; Pal dan Gardener 2006).

Hiperparasitisme yang melibatkan kontak

langsung antara hifa agens hayati dengan hifa

patogen, serta dibantu dengan mekanisme lain

yang menghasilkan senyawa tertentu untuk

menghambat perkembangan patogen. Sebagai

contoh hifa T. virens, H. atroviridis, Chaetomium sp.

dan Penicillium sp. memparasit hifa patogen R.

microporus (Amaria et al. 2015; Hardiyanti et al.

2018; Suwandi 2008). Kemampuan

hiperparasitime T. virens, selain melilit hifat

patogen juga menghasilkan senyawa antifungal

trichodermin, gliotoxin, dan gliovirin. Sementara

itu, H. atroviridis membentuk kumparan yang

mengelilingi hifa patogen dan dibantu enzim β-

1,3-glucanases, β-1,6-glucanases, kitinase, dan

protease yang menyebabkan dinding sel patogen

lisis (Gupta et al. 2014)

Lebih lanjut Pal dan Gardener (2006)

menjelaskan mekanisme enzim litik, yaitu

memproduksi enzim seperti kitinase, glukanase,

dan protease. Enzim ekstraseluler tersebut

dihasilkan oleh mikrob, bekerja mendegradasi

dengan cara menghidrolisis struktur dinding sel

patogen yang mengandung kitin, glukan, dan

protein sehingga dinding sel mengalami lisis

(hancur atau rusak). Menurut Harman (2000)

enzim yang menghidrolisis dinding sel patogen

akan menghambat sintesis selaput dinding sel

sehingga menyebabkan menurunnya

kemampuan patogen dalam menginfeksi

tanaman. Degradasi enzim kitinase dengan cara

menghidrolisis polimer kitin menjadi monomer

N-asetil-glukosamin, β-glukanase menghidrolisis

ikatan β-1,3-glukan dan β-1,4-glukan, sedangkan

protease mampu menguraikan protein menjadi

monomer peptida dan asam amino. Secara

umum, penghambatan oleh agens hayati dengan

cara merusak struktur atau dinding sel patogen,

memengaruhi permeabilitas membran sel,

sebagai inhibitor enzim sehingga aktivitas

metabolisme patogen terganggu, dan sintesis

protein terhambat, selanjutnya menyebabkan

pertumbuhan dan perkecambahan patogen

terhambat. Agens hayati yang menghasilkan

enzim litik di antaranya Trichoderma spp., Bacillus

spp., dan Streptomyces spp., memproduksi

kitinase, glukanase, dan protease untuk

mendegradasi dinding sel R. microporus (Muharni

dan Widjajanti 2011; Nakaew et al. 2015; Pal dan

Gardener 2006). Demikian juga hasil seleksi

Maiden et al. (2017) yang membuktikan

penghambatan sembilan isolat kitinolitik dari

marga Pseudomonas, Burkholderia, dan

Streptomyces terhadap perkembangan miselium

R. microporus mencapai 31,69–91,63%.

Kemampuan setiap jenis agens hayati dalam

menekan perkembangan patogen berbeda-beda.

Satu jenis agens hayati dapat mempunyai lebih

dari dua mekanisme penting. Seperti yang telah

diuraikan sebelumnya bahwa marga Trichoderma

mempunyai beberapa mekanisme penting, yaitu

antibiosis, hiperparastisme, maupun

menghasilkan enzim litik. Contoh lain adalah

dari jenis aktinobakteri yang berpotensi untuk

mengendalikan JAP pada tanaman karet adalah

dari marga Streptomyces. Aktinobakteri tersebut

mempunyai beberapa mekanisme penting, yaitu

antibiosis, produksi CWDE (kitinase, glukanase,

selulase, dan protease), siderofor, fitohormon

IAA, serta sebagai pelarut fosfat (Nakaew et al.

2015).

Gambar 4. Mekanisme agens hayati: (a) hifa

patogen abnormal; (b) hifa patogen

lisis (Sumber: Amaria et al. 2015)

a b

Page 64: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

60 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAYATI

Berbagai teknik pengendalian hayati sampai

saat ini terus dikembangkan, bahkan menjadi

rekomendasi utama dalam kegiatan

pengendalian OPT. Keunggulan penggunaan

teknik pengendalian ini karena dapat

meminimalisir aplikasi pestisida kimia sintetis,

menjaga keberlangsungan ekosistem, serta

mendukung keanekaragaman hayati. Untuk

meningkatkan keefektifan agens hayati dan

mempermudah aplikasi maka agens hayati perlu

dibuat dalam bentuk formula biofungisida.

Formula adalah memformulasi agens hayati

dengan komposisi tertentu untuk meningkatkan

keefektifan dan kestabilannya.

Formula Biofungisida

Biofungisida merupakan salah satu

komponen pendukung pengendalian hayati yang

banyak dikembangkan. Kondisi ini dibuktikan

semakin meningkatnya penelitian maupun

munculnya produk-produk biofungisida

komersial yang telah terbukti keunggulannya

dalam mengendalikan penyakit tanaman.

Formula biofungisida dibuat dengan komposisi

tertentu menggunakan bahan pembawa (carrier)

dan tambahan (additive). Komposisi dalam

formula berpengaruh terhadap shelf-life agens

hayati selama di penyimpanan sehingga juga

memengaruhi keefektifan serta kestabilannya.

Komposisi yang sesuai menyebabkan agens

hayati dalam formula biofungisida mampu

beradaptasi dan bekerja dengan baik sesuai

dengan mekanisme dalam menekan

perkembangan infeksi patogen.

Tahap pertama sebelum formulasi adalah

produksi massal agens hayati dengan fermentasi

media cair atau padat. Agens hayati yang

diperbanyak dalam bentuk propagul mikrob

(misalnya konidia, miselium, dan klamidospora)

ataupun metabolit sekunder. Media yang dipilih

sebaiknya dengan harga terjangkau, tersedia, dan

mempunyai keseimbangan nutrisi yang tepat

(Nakkeeran et al. 2018). Media cair yang

digunakan antara lain molase, ragi molase,

kedelai molase, ekstrak kentang gula, V-8 juice,

dan limbah cair sulfat (Amaria et al. 2015; Harni et

al. 2017; Mukesh et al. 2016; Nakkeeran et al.

2018). Media padat seperti sorgum, jagung,

dedak, gandum, serbuk gergaji, ampas tebu yang

dibasahi, padi sekam, empulur sabut busuk,

pupuk kandang, dan substrat lain yang kaya

selulosa (Nakkeeran et al. 2018). Produksi massal

sangat penting untuk diperhatikan karena

kesesuain media, pH, dan suhu menentukan

jumlah propagul maupun metabolit yang

dihasilkan. Papavizas dan Lewis (1989) dalam

Nakkeeran et al. (2018) mengemukakan bahwa

fermentasi Trichoderma dalam media ragi molase

mampu memproduksi klamidospora yang

berlimpah. Penggunaan klamidospora lebih

efektif dibandingkan dengan konidia. Sementara

itu, produksi konidia Trichoderma di media padat

juga berhasil dilakukan oleh Cavalcante et al.

(2008), melaporkan penggunaan gandum dedak

mampu memproduksi konidia T. harzianum, T.

viride, dan T. polysporum empat kali lebih tinggi

dibandingkan jika menggunakan beras pada

kondisi kelembapan terbaik.

Tahap formulasi merupakan kegiatan

mencampur bahan aktif agens hayati, bahan

pembawa, serta tambahan dalam kadar dan

bentuk tertentu yang mempunyai daya kerja

sesuai dengan tujuan. Bahan aktif agens hayati

mempunyai kemampuan selektif tinggi terhadap

patogen, tidak bersifat toksik atau toksisitasnya

rendah terhadap manusia dan hewan

dibandingkan dengan fungisida kimia sintetik.

Sementara itu, bahan pembawa yang dipilih

tidak secara langsung memengaruhi penekanan

patogen, namun berpengaruh terhadap shelf-life

agens hayati selama penyimpanan dan kestabilan

pada saat efikasi biofungsida (Fravel et al. 1998).

Pengembangan formula biofungisida telah

berhasil dilakukan untuk jenis jamur dan bakteri.

Formula tepung (powder) digunakan dalam

formulasi T. asperellum dengan menggunakan

bahan pembawa talk, efektif mengendalikan

penyakit busuk pangkal batang Thielaviopsis

paradoxa (Wijesinghe et al. 2011). Bahan pembawa

talk juga digunakan dalam formulasi

biofungisida T. harzianum dan T. viride untuk

mengurangi kejadian penyakit layu Fusarium.

Biofungisida ini dapat disimpan 6-12 bulan (Patel

dan Patel 2014; Sriram et al. 2011). Widodo dan

Wiyono (2012) juga memformulasi bakteri

antagonis dengan komposisi bahan pembawa

Page 65: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

61 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)

talk dan tambahan tepung cangkang rajungan

0,25% pada kadar air 20%. Biofungisida yang

disimpan selama 8 bulan mampu

mempertahankan populasi P. fluorescens dan B.

polymixa serta efektif untuk diaplikasikan. Selain

formula tepung, bentuk cair menggunakan

minyak jagung untuk formulasi T. virens dapat

memperpanjang masa inkubasi P. palmivora serta

menurunkan kejadian penyakit busuk buah

kakao (Chamzurni et al. 2014).

Formula biofungisida yang telah

diaplikasikan dan efektif mengendalikan

penyakit JAP, antara lain oleh Amaria et al.

(2016), masing-masing dengan bahan aktif T.

virens dan T. amazonicum yang diformulasi

menggunakan bahan pembawa talk. Populasi

Trichoderma dapat dipertahankan selama

penyimpanan 4 bulan dengan penambahan

gliserol di media perbanyakan. Benny et al. (2013)

menggunakan Bacillus sp. sebagai bahan aktif

biofungisida yang diaplikasikan untuk

perendaman maupun penyiraman di sekeliling

perakaran bibit stump karet. Formula

biofungisida berbahan aktif konsorsium antara

lain T. koningii dan T. viridae yang diformulasi

menjadi Triko SPPLUS (Sujatno dan

Pawirosoemardjo 2001), T. viridae, T. harzianum,

Paecilomyces lilacinus, dan B. subtilis (Kusdiana et

al. 2015), Triko Combi berbahan aktif T. koningii,

T. viride, T. harzianum, dan satu isolat lokal

(Setyawan et al. 2013), dan Endohevea

mengandung T. koningii, T. viridae, dan T.

harzianum (Fairuzah et al. 2014).

Aplikasi Biofungisida dalam Pengendalian JAP

pada Tanaman Karet

Pengendalian penyakit JAP dilaksanakan

secara terpadu berdasarkan prinsip integrated

disease management (IDM). Khokhar dan Gupta

(2014) menjelaskan IDM adalah menggabungkan

semua komponen pengendalian yang tersedia

seperti varietas tahan, kultur teknis, fisik, biologi,

kimiawi dalam satu kesatuan pengelolaan

sehingga populasi patogen tetap berada di bawah

ambang kerusakan ekonomi. Prinsip tersebut

mengacu pada integrasi konsep pengendalian

penyakit seperti penghindaran, eksklusi,

eradikasi, proteksi/perlindungan, dan

terapi/pengobatan.

Berdasarkan konsep IDM maka aplikasi

biofungsida sebagai salah satu komponen

pengendalian hayati penyakit JAP sebaiknya

dilakukan secara terpadu. Hal ini bertujuan

meningkatkan keefektifan biofungisida dalam

mencegah maupun menghambat perkembangan

infeksi patogen. Penggunaan biofungisida

sebagai tindakan untuk mengurangi laju infeksi

patogen dapat dilakukan sejak di pembibitan

sampai tanaman dewasa di lapang, yang

diaplikasikan pada saat persiapan tanam, saat

tanam, maupun untuk pengendalian sesuai

dengan perkembangan infeksi.

Pada makalah ini, diberikan contoh

keberhasilan aplikasi biofungisida dengan bahan

aktif Trichoderma untuk mengendalikan JAP pada

tanaman karet yang sampai saat ini paling

banyak dikembangkan. Keunggulan Trichoderma

sebagai agens hayati adalah mempunyai daya

adaptasi dan perkembangan yang baik, mampu

mengkolonisasi rizosfir dengan cepat,

melindungi akar dan menghambat infeksi

patogen, mudah diperbanyak, mempunyai

spektrum luas, aman untuk lingkungan, dan

kompatibel dengan agens hayati lain (Faheem et

al. 2010; Jeyarajan dan Nakkeeran 2000).

Dosis, waktu, dan cara aplikasi biofungisida

Trichoderma memengaruhi keberhasilan dalam

mengendalikan JAP. Aplikasi dapat ditaburkan

atau disiramkan di sekeliling akar tanaman (bibit

atau pohon karet). Di samping itu, dapat juga

dicampur dengan kompos, pupuk hayati atau

pupuk organik terlebih dahulu, selanjutnya

ditaburkan atau dibenamkan di sekeliling akar

tanaman. Penggunaan bahan organik untuk

mendukung perkembangan agens hayati juga

dipilih yang bukan merupakan food base R.

microporus, yaitu tidak mudah melapuk sehingga

tidak mengakibatkan peningkatan intensitas

penyakit.

Aplikasi biofungisida di pembibitan karet

dilaporkan oleh Amaria et al. (2016) bahwa

penggunaan biofungisida berbahan aktif

Trichoderma spp. dengan bahan pembawa

kompos, dapat meningkatkan populasi

Trichoderma spp. tetapi juga meningkatkan infeksi

JAP pada bibit karet. Namun, berbeda hasilnya

jika biofungisida Trichoderma spp. dengan bahan

pembawa talk yang diaplikasikan pada media

Page 66: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

62 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

tanam campuran tanah dan rumput kering. Dosis

50 g/tanaman dalam satu kali aplikasi efektif

menekan intensitas penyakit JAP 54,59–59,38%

(Amaria et al. 2018). Keberhasilan aplikasi pada

bibit karet dengan kombinasi biofungisida dan

pupuk hayati dilaporkan oleh Kusdiana et al.

(2015), bahwa biofungisida 100 g dan pupuk

hayati 200 g yang dibenamkan di dekat

perakaran bibit karet, efektif menurunkan

intensitas penyakit JAP sebesar 5,56% dan

meningkatkan pertumbuhan tanaman.

Aplikasi biofungisida juga dilakukan

Kusdiana et al. (2015) pada tanaman dewasa di

lapang. Dosis 20 g/pohon setiap enam bulan

sekali dengan cara dibenamkan pada empat titik

di sekitar perakaran pohon karet TBM bergejala

JAP. Hasil penelitian melaporkan bahwa

biofungisida efektif menekan JAP, dengan

penurunan intensitas penyakit 18,33–23,33%.

Keefektifan biofungisida Trichoderma pada

tanaman dewasa di lapang, juga dibuktikan oleh

Fairuzah et al. (2014), Endohevea dosis 1 tablet/5

tanaman yang diaplikasikan setiap 3 bulan sekali

pada tanaman karet efektif mengendalikan

penyakit JAP dengan tingkat persentase

kesembuhan sebesar 78,94%.

Peningkatan keefektifan biofungisida

Trichoderma pada tanaman dewasa di lapang juga

telah dilakukan secara terpadu melalui

kombinasi dengan teknik pengendalian lain.

Tindakan pencegahan, proteksi, dan kuratif

untuk mengendalikan JAP telah dilakukan oleh

Situmorang et al. (2007). Tindakan pencegahan,

mulai dari persiapan lahan dengan

pembongkaran tunggul dan pengolahan tanah,

penggunaan belerang, biofungisida Trichoderma,

tanaman antagonis, dan penutup tanah. Proteksi

tanaman pada TBM melalui penggunaan

fungisida sintetis Triadimenol, penggunaan

belerang, aplikasi biofungisida Trichoderma,

tanaman antagonis (lidah mertua, kunyit, laos).

Tindakan kuratif dengan menggunakan

fungisida sintetis dan biofungisida Trichoderma.

Penggunaan biofungisida Trichoderma tersebut

dengan Triko SPPLUS, dosis di pembibitan karet

(ground nursery) 600 kg/ha, polybag 25 g/pohon,

lubang tanam 50 g/pohon, TBM 75–100 g/pohon

dan TM 100–150 g/pohon yang diberikan setiap 6

bulan sekali berdasarkan keparahan penyakit

(Sujatno dan Pawirosoemardjo 2001).

Biofungisida Triko Combi dengan dosis dan

interval sama dengan Triko SPPLUS, yang

diaplikasikan sejak awal pada setiap tahap

pertumbuhan tanaman, awal dan akhir musim

penghujan, serta dilakukan juga pembongkaran

tunggul dan penanaman tanaman penutup tanah.

Kombinasi tersebut menunjukkan lebih efektif

meminimalkan kehilangan hasil akibat penyakit

JAP (Setyawan et al. 2013).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut

menunjukkan aplikasi biofungisida Trichoderma,

lebih efektif jika dilakukan sebagai pencegahan

infeksi patogen, yaitu pada saat penanaman atau

pengendalian dengan gejala penyakit pada skala

1, yaitu miselium patogen menempel di

permukaan akar. Oleh karena patogen yang telah

masuk dan kolonisasi pada jaringan tanaman dan

telah memanfaatkan nutrisi di dalamnya maka

lebih sulit untuk dikendalikan. Peningkatan

keefektifan biofungisida melalui pengendalian

terpadu perlu mempertimbangkan metode

aplikasi yang tepat serta disesuaikan dengan

karakteristik biofungisida karena akan

memengaruhi keberhasilan dalam

mengendalikan JAP.

KESIMPULAN

Pengendalian hayati untuk menekan

intensitas penyakit JAP pada tanaman karet

dapat dilakukan melalui pemanfaatan agens

hayati bersifat antagonis. Agens hayati antagonis

yang diaplikasikan pada saat penanaman atau di

sekitar perakaran tanaman dapat berkembang

baik dengan mekanisme kompetisi, antibiosis,

hiperparasit, maupun enzim litik. Penghambatan

agens hayati dengan cara mendegradasi dinding

sel patogen, memengaruhi permeabilitas

membran sel, inhibitor enzim, dan mengganggu

sintesis protein.

Pengembangan biofungisida yang

diformulasi menggunakan bahan aktif agens

hayati, bahan pembawa dan tambahan tertentu,

bertujuan meningkatkan keefektifan dan

kestabilan pada saat aplikasi. Keberhasilan

aplikasi beberapa biofungisida untuk

mengendalikan JAP di tingkat pembibitan

maupun tanaman dewasa di lapang secara

Page 67: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

63 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)

terpadu merupakan salah satu komponen

penting dalam rangka menyusun strategi

pengendalian JAP pada tanaman karet.

DAFTAR PUSTAKA

Amaria, W., Ferry, Y., Samsudin, & Harni, R.

(2016) Pengaruh penambahan gliserol

pada media perbanyakan terhadap daya

simpan biofungisida Trichoderma. Jurnal

Tanaman Industri dan Penyegar. [Online] 3

(3), 159–166. Available from:

doi:10.21082/jtidp.v3n3.2016.p159-166.

Amaria, W., Harni, R. & Samsudin (2015)

Evaluasi jamur antagonis dalam

menghambat pertumbuhan Rigidoporus

microporus penyebab penyakit jamur akar

putih pada tanaman karet. Jurnal

Tanaman Industri dan Penyegar. [Online] 2

(1), 51. Available from:

doi:10.21082/jtidp.v2n1.2015.p51-60.

Amaria, W., Harni, R. & Wardiana, E. (2018)

Pengaruh dosis dan frekuensi aplikasi

biofungisida Trichoderma terhadap infeksi

Rigidoporus microporus pada benih karet.

Jurnal Tanaman Industri dan Penyegar.

[Online] 5 (2), 49–58. Available from: doi:

http://dx.doi.org/10.21082/jtidp.v5n2.2018

.p49-58.

Amaria, W., Soesanthy, F. & Ferry, Y. (2016)

Keefektifan biofungisida Trichoderma sp.

dengan tiga jenis bahan pembawa

terhadap jamur akar putih Rigidoporus

microporus. Jurnal Tanaman Industri dan

Penyegar. [Online] 3 (1), 37–44. Available

from: doi:10.21082/jtidp.v3n1.2016.p37-

44.

Amaria, W., Taufiq, E. & Harni, R. (2013) Seleksi

dan identifikasi jamur antagonis sebagai

agens hayati jamur akar putih Rigidoporus

microporus pada tanaman karet. Jurnal

Tanaman Industri dan Penyegar. [Online] 4

(1), 55–64. Available from:

doi:10.21082/jtidp.v4n1.2013.p55-64.

Amaria, W. & Wardiana, E. (2014) Pengaruh

waktu aplikasi dan jenis Trichoderma

terhadap penyakit jamur akar putih pada

bibit tanaman karet. Jurnal Tanaman

Industri dan Penyegar. [Online] 1 (2), 79.

Available from:

doi:10.21082/jtidp.v1n2.2014.p79-86.

Benny, Lubis, L., Oemry, S. & Fairuzah, Z. (2013)

Uji dosis dan cara aplikasi biofungisida

Bacillus sp. terhadap penyakit jamur akar

putiH (Rigidoporus lignosus) pada

tanaman karet di pembibitan. Jurnal

Online Agroekoteknologi. 1 (2), 58–66.

Cavalcante, R.S., Lima, H.L.S., Pinto, G.A.S.,

Gava, C.A.T. & Rodrigues, S. (2008) Effect

of moisture on Trichoderma conidia

production on corn and wheat bran by

solid state fermentation. Food and

Bioprocess Technology. [Online] 1 (1), 100–

104. Available from: doi:10.1007/s11947-

007-0034-x.

Chamzurni, T., Sriwati, R., Muarif, R., Amin, B.

& Ulim, A. (2014) Formulation of

Trichoderma virens origin of Aceh cocoa

controlling black pod disease caused by

Phytophthora palmivora. In: Proceedings of

Thr 4th Annual International Conference

Syah Kuala University (AIC Unsyiah) 2014

In conjuction with 9th Annual International

Workshop and Expo on Sumatra Tsunami

Disaster and Recovery (AIWEST-DR).

pp.140–145.

Damiri, N., Mulawarman & Efendi, R.S. (2019)

Antagonism of Pseudomonas fluorescens

from plant roots to Rigidoporus lignosus

pathogen of rubber white roots in vitro.

Biodiversitas. [Online] 20 (5), 1549–1554.

Available from:

doi:10.13057/biodiv/d200509.

Faheem, A., Razdan, V.K., Mohiddin, F. A., Bhat,

K. A. & Banday, S. (2010) Potential of

Trichoderma species as biocontrol agents

of soil borne fungal propagules. Journal of

Phytology. [Online] 2 (10), 38–41.

Available from: 10.5897/AJB2017.15905.

Fairuzah, Z. Dalimunthe, C.I., Karyudi,

Suryaman, S. & Widhayati, W.E. (2014)

Keefektifan beberapa fungi antagonis

(Trichoderma sp.) dalam biofungisida

Endohevea terhadap penyakit jamur.

Jurnal Penelitian Karet. 32 (2), 122–128.

Fravel, D.R., Connick, W.J.J. & Lewis, J.A. (1998)

Formulation of microorganisms to control

plant diseases. In: Burges,H.D. (ed.)

Page 68: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

64 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

Formulation of Microbial Biopesticides.

Beneficial Microorganisms, Nematodes, and

Seedtreatment. Netherland, Kluwer

Academic Publisher, pp.187–202.

Gupta, V.K., SchMoll, M., Herrera-EStrella, A.,

Upadhyay, R.S., Druzhinina, I. & Tuohy,

M.G. (2014) Biotechnology and Biology of

Trichoderma. Amsterdam, Netherlands,

Elsevier B.V.

Hardiyanti, S., Soekarno, B.P.W. & Yuliani, T.S.

(2018) Kemampuan mikrob endofit dan

rizosfer tanaman karet dalam

mengendalikan Rigidoporus lignosus.

Jurnal Fitopatologi Indonesia. [Online] 13

(5), 153. Available from:

doi:10.14692/jfi.13.5.153.

Harman, G.E. (2000) Myths and dogmas of

biological control: Changes in perceptions

derived from research on Trichoderma

harzianum T-22. Plant Disease. (D)-(2000)–

(0208)–(01F), 377–393.

Harni, R., Amaria, W., Syafaruddin & Mahsunah,

H. (2017) Potensi metabolit sekunder

Trichoderma spp . untuk mengendalikan

penyakit vascular streak dieback (VSD)

pada bibit kakao. Jurnal Tanaman Industri

dan Penyegar. [Online] 4 (2), 57–66.

Available from: doi:

http://dx.doi.org/10.21082/jtidp.v4n2.2017

.p57-66.

Herath, H.H.M.A.U., Wijesundera, R.L.C.,

Chandrasekharan, N. V. & Wijesundera,

W.S.S. (2017) Exploration of Sri Lankan

soil fungi for biocontrol properties.

African Journal of Biotechnology. [Online]

16 (20), 1168–1175. Available from:

doi:10.5897/AJB2017.15905.

Jeyarajan, R. & Nakkeeran, S. (2000) Exploitation

of microorganisms and viruses as

biocontrol agents for crop disease

mangement.In: Upadhyay et al. (eds.)

Biocontrol Potential and their

Exploitation in Sustainable agriculture.

USA, Kluwer Academic/Plenum

Publishers, pp.95–116.

Kaewchai, S. & Soytong, K. (2010) Application of

biofungicides against Rigidoporus

microporus causing white root disease of

rubber trees. Journal of Agricultural

Technology. 6 (2), 349–363.

Khokhar, M.K. & Gupta, R. (2014) Integrated

disease management. Popular Kheti. 2 (1),

87–91.

Kusdiana, A.P.J., Munir, M. & Suryaningtyas, H.

(2015) Pengujian biofungisida berbasis

mikroorganisme antagonis untuk

pengendalian penyakit jamur akar putih

pada tanaman karet. Jurnal Penelitian

Karet. [Online] 33 (2), 143. Available from:

doi:10.22302/jpk.v33i2.179.

Maiden, N.A., Noran, A.S., Fauzi, M.A.F.A. &

Atan, S. (2017) Screening and

characterisation of chitinolytic

microorganisms with potential to control

white root disease of Hevea brasiliensis.

Journal of Rubber Research. [Online] 20 (3),

182–202. Available from:

doi:10.1007/BF03449151.

Muharni, M. & Widjajanti, H. (2011) Skrining

bakteri kitinolitik antagonis terhadap

pertumbuhan jamur akar putih

(Rigidoporus lignosus) dari rizosfir

tanaman karet. Jurnal Penelitian Sains. 14

(1), 51–56.

Mukesh, S., Kumar, V., Shahid, M., Pandey, S., &

Singh, A. (2016) Trichoderma-A potential

and effective bio fungicide and

alternative source against notable

phytopathogens: A review. African

Journal of Agricultural Research. [Online]

11 (5), 310–316. Available from:

doi:10.5897/ajar2015.9568.

Muklasin & Matondang, C.O. (2010) Trend

Perkembangan Serangan Hama dan Penyakit

Tanaman Karet Di Provinsi Sumatera Utara.

Medan.

Nakaew, N., Rangjaroen, C. & Sungthong, R.

(2015) Utilization of rhizospheric

Streptomyces for biological control of

Rigidoporus sp. causing white root disease

in rubber tree. European Journal of Plant

Pathology. [Online] 142 (1), 93–105.

Available from: doi:10.1007/s10658-015-

0592-0.

Nakkeeran, S., Karthikeyan, G., Brindhadevi, S. &

Vinodkumar, S. (2018) Mass production

of fungal and bacterial antagonists. In:

Biocontrol of Soil Borne Pathogens and

Page 69: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

65 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)

Nematodes. Tamil Nadu Agricultural

University, Coimbatore, pp.96–112.

Nandris, D., Nicole, M. & Geiger, J.P. (1987) Root

Rot Diseases. Plant Disease. 71 (4), 298–

306.

Nasrun & Nurmansyah (2015) Potensi

rizobakteria dan fungisida nabati untuk

pengendalian penyakit jamur akar putih

tanaman karet. Jurnal Tanaman Industri

dan Penyegar. [Online] 2 (2), 61–68.

Available from: doi:

http://dx.doi.org/10.21082/jtidp.v2n2.2015

.p61-68.

Natawijaya, H. (2007) Government policy on the

control of white root disease Rigidoporus

lignosus. In: Pawirosoemardjo,S. et al.

(eds.) Proceedings International Workshop

on White Root Disease of Hevea Rubber.

Salatiga, Indonesian Rubber Research

Institute, pp.3–13.

Nicole, M.R. & Benhamou, N. (1991)

Cytochemical aspects of cellulose

breakdown during the infection process

of rubber tree roots by Rigidoporus

lignosus. Phytopathology. 81, 1412–1420.

Ogbebor, N.O. Adekunle, A.T., Eghafona, O.N. &

Ogboghodo, A.I. (2015) Biological control

of Rigidoporus lignosus in Hevea brasiliensis

in Nigeria. Fungal Biology. [Online] 119

(1), Elsevier Ltd, 1–6. Available from:

doi:10.1016/j.funbio.2014.10.002.

Oghenekaro, A.O., Daniel, G. & Asiegbu, F.O.

(2015) The saprotrophic wood-degrading

abilities of Rigidoporus microporus. Silva

Fennica. [Online] 49 (4), 1–10. Available

from: doi:10.14214/sf.1320.

Omorusi, V.I. et al. (2014) Control of white root

rot disease in rubber plantations in

Nigeria. International Journal of

Microbiology and Immunology Research. 3

(4), 046–051.

Omorusi, V.I. (2012) Effects of white root rot

disease on Hevea brasiliensis (Muell. Arg.)

– Challenges and control approach. Plant

Science. [Online] 139–152. Available from:

doi:10.5772/54024.

Pal, K.K. & Gardener, B.M. (2006) Biological

control of plant pathogens. [Online] 1–25.

Available from: doi:10.1094/PHI-A-2006-

1117-02.Biological.

Patel, R. & Patel, D. (2014) Screening of

Trichoderma and antagonistic analysis of a

potential strain of Trichoderma for

production of a bioformulation.

International Journal of Scientific and

Research Publications. 4 (10), 1–6.

Rahayu, M.S., Lubis, L. & S., O. (2017) Distribusi

peta awal serangan penyakit jamur akar

putih (Rigidoporus microporus (Swartz: Fr))

pada beberapa perkebunan karet rakyat

di Kabupaten Asahan. Jurnal

Agroekoteknologi FP USU. 5 (1), 131–137.

Semangun, H. (2008) Penyakit-Penyakit Tanaman

Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta,

Gadjah Mada University Press.

Setyawan, B., Pawirosoemardjo, S. & Hadi, H.

(2013) Biofungisida Triko combi sebagai

salah satu pengendali jamur akar putih

pada tanaman karet. Warta Perkaretan. 32

(2), 83–94.

Sinulingga, W. & Eddy (1989) Pengendalian

Penyakit Jamur Akar Putih Pada

Tanaman Karet. Medan.

Situmorang, A. (2004) Status dan manajemen

pengendalian penyakit akar putih di

perkebunan karet. In: Situmorang, et al

(ed.) Prosiding Pertemuan Teknis. Strategi

Pengelolaan Penyakit Tanaman Karet untuk

Mempertahankan Potensi Produksi

Mendukung Industri Perkaretan Indonesia

Tahun 2020. Palembang, Pusat Penelitian

Karet, pp.66–68.

Situmorang, A., Suryaningtyas, H. &

Pawirosoemardjo, S. (2007) Current

status of white root disease (R.

microporus) and the disease control

management in rubber plantation of

Indonesia. In: Pawirosoemardjo, S. et al.

(eds.) Proceedings International Workshop

on White Root Disease of Hevea Rubber.

Salatiga, Indonesian Rubber Research

Institute, pp.82–96.

Soesanto, L. (2008) Pengantar Pengendalian

Hayati Penyakit Tanaman. Depok, Raja

Grafindo Persada.

Sriram, S., Roopa, K.P. & Savitha, M.J. (2011)

Extended shelf-life of liquid fermentation

derived talc formulations of Trichoderma

Page 70: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

66 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

harzianum with the addition of glycerol in

the production medium. Crop Protection.

[Online] 30 (10), Elsevier Ltd, 1334–1339.

Available from:

doi:10.1016/j.cropro.2011.06.003.

Sujatno & Pawirosoemardjo, S. (2001) Pengenalan

dan teknik pengendalian penyakit jamur

akar putih pada tanaman karet secara

terpadu. Warta Puslit Karet. 20 (1)–(3), 64–

75.

Suwandi, S. (2008) Evaluasi kombinasi isolat

Trichoderma mikoparasit dalam

mengendalikan penyakit akar putih pada

bibit karet. J.HPT Tropika. 8 (1), 55–62.

Ubogu, M. (2013) Assessment of root zone

mycoflora of three Hevea brasiliensis

(Rubber) clones at Akwete plantations

and their in vitro growth inhibition of

Rigidoporus lignosus. 3 (2), 618–623.

Wijesinghe, C.J., Wilson Wijeratnam, R.S.,

Samarasekara, J.K.R.R. & Wijesundera, R.

L.C. (2011) Development of a formulation

of Trichoderma asperellum to control black

rot disease on pineapple caused by

(Thielaviopsis paradoxa). Crop Protection.

[Online] 30 (3), Elsevier Ltd, 300–306.

Available from:

doi:10.1016/j.cropro.2010.11.020.

Yulia, E., Istifadah,N., Widiantini, F., Utami, H.S.

(2017) Antagonisme Trichoderma spp.

terhadap jamur Rigidoporus lignosus

(Klotzsch) dan penekanan penyakit

jamur akar putih pada tanaman karet.

Jurnal Agrikultura. [Online] 28 (1), 47–55.

Available from:

http://jurnal.unpad.ac.id/agrikultura/

article/view/13226/6071.

Page 71: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Perspektif Vol. 18 No. 1 /Jun 2019. Hlm 67-78 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n1.2019, 67 -78

ISSN: 1412-8004

67 Perbanyakan Iles-Iles ( Amorphophallus spp.) Secara Konvensional dan Kultur In Vitro serta Strategi Pengembangannya (MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM)

PERBANYAKAN ILES-ILES ( Amorphophallus spp.) SECARA

KONVENSIONAL DAN KULTUR IN VITRO SERTA STRATEGI

PENGEMBANGANNYA

Conventional Propogation and In Vitro Culture of Iles-Iles (Amorphophallus spp.)

and Its Development Strategy

MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM

Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar

Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops

Jl. Raya Pakuwon – Parungkuda km. 2 Sukabumi, Jawa Barat. 43357, Indonesia

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Iles-iles (Amorphophallus spp.) tergolong ke dalam suku

talas-talasan yang saat ini karena kandungan gizinya

mulai dilirik sebagai bahan baku pangan fungsional.

Nilai ekonomi Iles-iles ada pada kandungan

glukomanannya. Glukomanan merupakan suatu

senyawa polisakarida jenis hemiselulosa yang bersifat

hidrokoloid, larut dalam air, rendah kalori, dan bebas

dari gluten. Sifat ini menjadikan tepung glokomanan

selain untuk kebutuhan bahan pangan, juga digunakan

untuk bahan baku industri. Permasalahan dalam

pengembangan tanaman iles-iles sebagai alternatif

pengganti pangan antara lain ketersediaan bahan baku

yang tidak dapat terpenuhi secara kontiyu. Hal ini

kemungkinan besar karena siklus hidupnya yang

lama, dan masih banyak petani maupun masyarakat

yang belum mengetahui prospek tanaman iles-iles,

sehingga belum tertarik untuk membudidayakannya.

Ketersediaan bahan baku secara kontiyu tentu saja

memerlukan bahan tanam yang tidak sedikit. Untuk

menyediakan benih tanaman iles-iles, perbanyakan

dapat dilakukan secara konvensional dan secara in

vitro. Secara konvensional perbanyakan menggunakan

umbi batang merupakan cara yang lebih praktis

dibandingkan bulbil, biji atau stek daun. Pada kultur

in vitro, penggunaan tangkai daun (petiol) paling

efisien dibandingkan eksplan lainnya. Media

multipikasi tunas terbaik adalah Media MS yang diberi

kombinasi Thidiazuron (0,2 mg/1) dan

Benzylaminopurine (0,5 mg/1). Jumlah tunas yang

didapatkan melalui kultur in vitro jauh lebih banyak

(37 tunas) dibandingkan perbanyakan konvensional

yang hanya menghasilkan 1 tunas. Untuk perakaran,

media terbaik menggunakan MS yang diberi IBA 1,0

mg/l. Informasi perbanyakan iles-iles secara

konvensional dan kultur in vitro serta stategi

pengembangannya diharapkan dapat membantu

mengatasi masalah ketersedian benih.

Kata kunci : Amorphophallus spp., benih, eksplan,

kultur in vitro, pangan fungsional.

ABSTRACT

Iles-iles (Amorphophallus spp.) belongs to the taro

family, which has gained increasing attention due to its

nutritional content for functional food materials. The

economic value of Iles-iles lies in the glucomannan

content that is a hemicellulose type polysaccharide

compound that is hydrocolloid, water soluble, low in

calories, and free of gluten. Additionally, iles-iles is

also potential for industry. However, sustainability of

iles-iles supply is one main problem due to its long life

cycle and its potential is not yet known among farmers

and communities hence lack of interest in cultivating.

Providing sufficient planting materials is then required

which can be achieved through propagation, both

conventionally and nonconventionally using in vitro

culture. Conventional propagation using stem tubers is

more practical than that of bulbates, seeds or leaf

cuttings. In in vitro culture, previous studies on

several explants found that the use of petiol is most

efficient compared with other explants. The best

media for multiplication is combination of thidiazuron

(0.2 mg/1) and Benzylaminopurine (0.5 mg/1). The

number of shoots obtained through in vitro is much

more (37 shoots ) than conventional propagation which

only produced 1 shoot. For rooting, the best medium is

MS which is given IBA 1.0 mg / l. Information on

conventional propagation of iles-iles and in vitro

culture and it, development strategies are expected to

help solving the problem of seed availability.

Keywords: Amorphophallus spp, explant, functional

food, in vitro culture, seed.

Page 72: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

68 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :67 - 78 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

PENDAHULUAN

Bahan pangan sumber karbohidrat

masyarakat dunia cukup beragam

keberadaannya, diantaranya ; beras, jagung,

sorghum, gandum, dan umbi-umbian. Di

Indonesia untuk saat ini beras merupakan bahan

makanan pokok yang utama. Meningkatnya

ketergantungan akan beras menyebabkan

produksi dalam negeri tidak lagi mencukupi

kebutuhan masyarakat (Lastinawati 2010).

Ketergantungan terhadap bahan pangan

impor menjadi masalah, sehingga untuk

mengatasinya perlu dikembangkan bahan

pangan lokal yang dapat menggantikan beras

(Irawan and Sutrisna 2016). Tanaman jenis umbi

merupakan bahan pangan lokal yang dapat

menjadi subtitusi beras. Jenis umbi yang dapat

dijadikan bahan pangan, diantaranya ; ubi kayu,

ubi jalar, talas, gadung, garut, iles-iles, dan

ganyong (Hatmi and Djaafar 2014).

Tanaman Iles-iles (Amorphophallus spp)

merupakan jenis umbi yang berpotensi untuk

dikembangkan sebagai bahan pangan lokal atau

pangan fungsional. Bahan pangan dapat

dikategorikan bernilai fungsional jika memiliki

tiga aspek, yaitu; memiliki kandungan gizi,

warna dan penampilannya dapat diterima oleh

konsumen, dan memiliki kemampuan fisiologis

yang berguna untuk kesehatan (Yasin and Suarni

2011). Umbi iles-iles mengandung karbohidrat

yang terdiri atas pati, glukosa, serat kasar, dan

gula bebas sehingga dapat dijadikan sebagai

pengganti beras. Sama seperti ubi kayu dan ubi

jalar Iles-iles termasuk umbi yang berserat

rendah. Jenis umbi berserat rendah biasanya

sesuai untuk bahan baku pembuatan gaplek,

sawut kering, tepung dan pati (Suismono 2008).

Senyawa glukomanan pada iles-iles

mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga

potensi untuk dikembangkan (Rokhmah and

Supriadi 2015). Glukomanan merupakan suatu

senyawa polisakarida jenis hemisellulosa yang

mempunyai sifat hirokoloid, larut dalam air,

rendah kalori, dan tidak mengandung gluten.

Sifat tersebut menjadikan tepung glukomanan

selain untuk kebutuhan pangan, juga digunakan

dalam bahan baku industri. Industri yang

menggunakan iles-iles sebagai bahan baku

diantaranya ; Industri pangan (kue, roti, es krim,

permen, jeli, selai, sirup, sari buah, shirataki dan

konyaku), Farmasi (obat diabetes, penurun

kolesterol, penurun berat badan, anti HIV, anti-

inflamasi), tekstil, kertas, kosmetika, industri

minyak kasar, penjernih limbah pertambangan,

dan bioetanol (Chua et al. 2012; Kasno 2008);

Tarigan and Tawaha (2014) ; (Zhang, Wang and

George 2010) ; (Huang et al. 2002); (Yao-Ling et

al. 2013).

Berdasarkan simulasi, untuk memenuhi

kebutuhan glukomanan dan kemampuan

mengekspor sesuai kuota, diperlukan produksi

umbi sekitar 35.000 ton/tahun (Santosa et al.

2016b). Memenuhi permintaan tersebut perlu

dukungan ketersediaan benih dan budidaya yang

memadai. Saat ini aspek ketersediaan benih

merupakan penghambat utama dalam perluasan

tanam. Akibat kelangkaan bibit tersebut, harga

biji dan bulbil iles-iles menjadi meningkat

(Santosa 2014).

Pemenuhan kebutuhan benih iles-iles dapat

dilakukan melalui perbanyakan tanaman secara

konvensional, namun tidak tertutup

kemungkinan untuk dilakukan secara non

konvensional (Kultur in vitro). Tulisan ini

diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai perbanyakan lles-iles secara

konvensional maupun kultur in vitro serta

strategi pengembangannya, sehingga dapat

membantu mengatasi masalah ketersedian benih.

BUDIDAYA TANAMAN ILES-ILES

Di dunia tercatat ada 200 spesies iles-iles

(Amorphophallus spp.) menyebar terutama di

benua Asia, namun sampai saat ini baru tiga

spesies yang dibudidayakan di Indonesia, yaitu ;

Amorphophallus companulatus (Roxb.), A. variabilis

Blume, dan A. Oncophyllus Prain ex Hook.f.

synonym A. moelleri Blume (Supriati 2016).

Budidaya Iles-iles di Indonesia belum dilakukan

secara optimal. Beberapa daerah seperti di Jawa

Timur dan Jawa Tengah, petani menanamnya

sebagai tanaman tumpang sari dengan tanaman

budi daya. Untuk mendapatkan hasil yang

optimal ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam membudidayakan iles-iles,

yaitu:

Page 73: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

69 Perbanyakan Iles-Iles ( Amorphophallus spp.) Secara Konvensional dan Kultur In Vitro serta Strategi Pengembangannya (MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM)

Persyaratan Tumbuh

Tanaman iles-iles umumnya tumbuh

optimal pada kondisi lingkungan yang lembab,

sehingga beberapa spesiesnya banyak ditemukan

di hutan, di antara semak, di kebun atau

pekarangan (Supriati, 2016). Iles-iles banyak

ditanam secara tumpangsari di hutan karena

dapat beradaptasi dalam kondisi ada naungan.

Kemampuan tumbuh di bawah tegakan pohon

dengan kerapatan minimal 40%, menjadikan iles-

iles dapat dijadikan tanaman sela, sehingga dapat

dibudidayakan di lahan hutan industri, di bawah

tegakan pohon jati, sonokeling, mahoni, sengon,

atau tanaman karet (Afifah, Nugrahani and

Setiono 2014). Di India tanaman iles-iles

dibudidayakan dibawah tegakan pohon kelapa,

pisang dan pepaya (Thangam et al. 2013)

(Gambar 1).

Walaupun umumnya tumbuh di bawah

naungan, tanaman iles-iles mampu beradaptasi

dengan kondisi air terbatas (Santosa et al. 2006).

Iles-iles akan tumbuh dan menghasilkan umbi

dengan baik, jika di tanam pada tanah bertekstur

ringan hingga sedang, gembur, subur, dan

kandungan bahan organiknya cukup tinggi. Ph

tanah yang di kehendaki berada pada kisaran 6 -

7 (Sumarwoto and Maryana 2011). Jika tumbuh

pada kondisi tanah kurang subur dan berbatu,

iles-iles tetap hidup, tetapi perkembangan

tanaman dan pembesaran umbi menjadi tidak

optimal (Prana 2008).

Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan

tanaman ile-iles 20-30 oC, dan curah hujan 1.200-

2.000 mm/tahun tersebar rata sepanjang tahun,

dengan rataan 300-500 mm/bln. Pada suhu tinggi,

daun iles-iles dapat mengering, sedangkan pada

suhu rendah dapat menyebabkan tanaman

mengalami dorman (Siswanto and Karamina

2016; Sumarwoto, 2005a.).

Penanaman

Penanaman benih iles-iles perlu

memperhatikan kedalaman tanah agar diperoleh

pertumbuhan yang baik. Apabila benih berupa

umbi daun (bulbil) berukuran besar maka

kedalaman tanam ± 5 cm, sedangkan apabila

menggunakan umbi batang dengan bobot kurang

dari 200 gram, maka kedalaman tanam ±10 cm,

dan jika bobot umbi lebih berat maka kedalaman

tanamnya ±15 cm (Sumarwoto 2012). Untuk

mendapatkan produksi umbi yang maksimal,

jarak tanam yang digunakan ketika menanam

umbi iles-iles berbeda untuk masa panen yang

berbeda. Jika hendak dipanen pada periode

tumbuh pertama kisaran jarak tanamnya 37,5 x

37,5 cm, periode kedua 57,5 x 57,5 cm, dan

periode tumbuh ketiga meningkat menjadi 100 x

100 cm (Sumarwoto, 2005a.).

Gambar 1. Keragaan Iles-iles (Amorphopllus spp) di bawah tegakan A. Pohon Jati (Sumber: Ibrahim,

2018), B. Pohon Pepaya. C. Pohon Pisang. D. Pohon Kelapa (Thangam et al. 2013).

Page 74: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

70 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :67 - 78 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

Di Agricultural Collage Farm, Poona (India),

jarak tanam yang digunakan 30 cm x 30 cm untuk

satu periode pemanenan, pada periode kedua 45

cm x 45 cm, dan periode ketiga dan keempat

masing-masing 60 cm x 60 cm dan 120 cm x 90

cm. Umbi bibit yang ditanam seberat 28 sampai

56 gram dapat menghasilkan 113 sampai 226

gram umbi pada periode pemanenan pertama.

Apabila umbi ini dijadikan bibit dan dibiarkan

tumbuh sampai periode pemanenan kedua, maka

dapat menghasilkan umbi seberat 454 sampai 908

gram, pada periode ketiga dapat menjadi 1,4

sampai 2,3 kg, sedangkan sampai periode

keempat dapat menghasilkan umbi seberat 6,8

sampai 9,1 kg. Dengan cara ini umbi yang

dipanen pada periode pertama akan

menghasilkan 11 ton umbi per hektar, pada

periode kedua, ketiga dan keempat berutan akan

menghasilkan umbi sebanyak 18, 28, 45 ton per

hektar (Patel et al. 2013).

Pemeliharaan Tanaman

Sama seperti tanaman lain, iles-iles

memerlukan pemeliharaan dan pemupukan.

Pemberian pupuk dengan urea sampai 2 periode

pertumbuhan dapat memacu pertumbuhan

tanaman, selain itu penambahan kapur dan

kalium akan meningkatkan hasil umbi tanaman

iles-iles. Penambahan pupuk kandang 7,5 ton/ha

dan kapur 4 ton/ha dapat membantu

pertumbuhan dan meningkatkan ukuran umbi

sebesar 44,32% (Sumarwoto 2004). Sementara

penelitian Nurdianti (2013) memperlihatkan

bahwa pemberian pupuk kandang sebanyak 5

ton ha-1, dan NPK dengan perbandingan 100 : 60

: 80 kg ha-1 dapat meningkatkan produksi iles-

iles. Kualitas umbi dapat ditingkatkan dengan

pemberian pupuk kalium dengan dosis 2,16 g/12

kg tanah. Berdasarkan penelitian Ardhian, Dhike

& Indriyani (2013), pemupukan kalium pada

dosis 2,16 g/12 kg tanah dapat menurunkan

kandungan oksalat penyebab rasa gatal dan pahit

pada umbi iles-iles.

Penyiangan gulma dilakukan untuk

menghindari persaingan hara tanaman.

Frekwensi penyiangan disesuaikan dengan

kondisi lahan tanam. Genangan air yang cukup

lama dapat mengakibatkan tanaman mati karena

membusuk. Untuk mencengah adanya genangan

air, pada lahan yang berpotensi terjadi genangan,

dibuat parit pembuangan air (Sari and Suhartati

2015).

Selain gulma hal lain yang dapat

mengganggu pertumbuhan dan perkembangan

tanaman iles-iles adalah penyakit. Penyakit yang

dilaporkan dapat menyerang tanaman iles-iles

adalah ; Mosaik Amorphophallus, busuk akar dan

hawar daun (Thangam et al. 2013).

Pemanenan

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal,

pemanenan umbi iles-iles dilakukan setelah

tanaman berumur 3 tahun (3 kali pertumbuhan).

Setiap tanaman iles-iles dapat menghasilkan

sebanyak 2 kg umbi, dan dalam setiap hektarnya

dapat diperoleh 12 ton atau sekitar 1,5 ton kering.

Pada saat ini ukuran umbi telah lebih dari 15 cm

dan kadar glukomanan umbi sudah maksimum

yaitu lebih dari 41,8% (Sumarwoto 2004).

Budidaya iles-iles, sebaiknya ada pemisahan

penggunaan lahan atau dilakukan tanam bergilir

pada lahan yang tersedia yaitu lahan untuk

pembibitan terpisah dengan lahan untuk

produksi sehingga dapat dilakukan pemanenan

secara rutin (Sumarwoto 2012). Pemanenan

biasanya dilakukan pada bulan April-Juli, ketika

tanaman mengalami masa dorman, saat ini

daunnya telah kering dan rebah. Kandungan

glukomanan lebih tinggi dibandingkan pada saat

sebelum rebah. Hal ini karena setelah daun

mengalami pertumbuhan yang maksimal,

glukomanan tidak digunakan untuk proses

metabolisme, sehingga terakumulasi pada umbi

hingga mencapai fase dormansi (Chairiyah,

Harijati and Mastuti 2014).

PERBANYAKAN TANAMAN

Pada tanaman iles-iles, sebaiknya ada

pemisahan penggunaan lahan untuk

memproduksi umbi (panen umbi) dan benih

(panen benih), sehingga ketersediaan benih

untuk perbanyakan konvensional terutama yang

menggunakan umbi dan biji dapat tersedia

secara rutin. Pengadaan benih iles-iles dapat

dilakukan secara konvensional dan non

konvensional. Secara konvensional dilakukan

secara generatif (menggunakan biji) dan vegetatif

Page 75: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

71 Perbanyakan Iles-Iles ( Amorphophallus spp.) Secara Konvensional dan Kultur In Vitro serta Strategi Pengembangannya (MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM)

(menggunakan bulbil, umbi dan stek daun),

sementara non konvensional menggunakan

kultur in vitro (menggunakan bulbil, tunas umbi

batang, daun, dan biji)

Perbanyakan Konvensional

- Biji (Generatif)

Iles-iles merupakan tanaman triploid (3n=39)

dimana biji yang dihasilkan merupakan benih

apomiksis tanpa penyerbukan. Tanaman iles-

iles biasanya akan berbunga ditahun ke tiga

setelah tanam (Santosa et al. 2016a). Untuk

mempercepat pembungaan, dapat digunakan zat

pengatur tumbuh seperti GA3. Menurut Santosa

et al. (2006) GA3 dapat menginduksi

pembungaan pada Amorphopallus paeoniifolius

(Dennst.) Dalam satu tongkol buah bisa

menghasilkan 250 sampai 1000 butir, tergantung

spesiesnya. Polong biji berbentuk silinder seperti

bulat telur dengan panjang 12-18 mm. Warna

kulit buah akan berubah warna dari hijau

menjadi merah terang setelah 22-24 minggu

pasca anthesis (Sigiyama 2008 ; Zhang, Wang and

George 2010).

Biji biasanya mengalami dormansi

sepanjang musim kemarau, oleh karena itu untuk

perbanyakan diusahakan dapat dilakukan pada

musim hujan. Perkecambahan biji dapat

dipercepat dengan menggunakan zat pemecah

dormansi, seperti CPPU (N-(2-chloro-4-pyridinyl)-

N-phenylurea). Penggunaan CPPU konsentrasi 40

ppm memberikan pertumbuhan dan

perkembangan yang lebih baik dibandingkan

dengan kontrol (Lebi 2013). Berbeda dengan

hasil penelitian Lebi (2013), penggunaan zat

pemecah dormasi GA3 konsentrasi 1000 ppm

pada benih iles-iles tidak dapat mempercepat

kecambahan (Hidayah, Suhartanto and Santosa

2018).

Biji iles-iles termasuk polyembrio (dalam

satu biji terdapat beberapa embrio), sehingga

untuk dapat mendapatkan benih yang lebih

banyak dapat dilakukan dengan cara membelah

biji. Dibutuhkan 6-7 minggu sejak embrio

disemai untuk dapat berkecambah. Sementara

untuk siap di tanam di lapangan, kecambah

membutuhkan waktu ± 8 minggu (Sari and

Suhartati 2015).

- Umbi daun (Bulbil)

Bulbil merupakan umbi daun atau umbi

tetas yang terletak di antara percabangan tulang-

tulang helaian daun. Pada beberapa daerah bulbil

dikenal juga dengan sebutan umbi katak. Bulbil

biasanya diperoleh dari hasil pengurangan

tanaman yang sudah terlalu rapat. Umumnya

tanaman iles-iles dalam satu periode tumbuh

menghasilkan 1 bulbil, dua periode 4-7 bulbil,

dan tiga periode 10-20 bulbil. Ukuran dan berat

bulbil beragam tergantung pada letaknya di

percabangan tulang daun dan umur tanaman

(Sumarwoto 2008a).

Berbagai macam ukuran bulbil dapat

digunakan sebagai benih. Bulbil berukuran kecil

sebaiknya disemai terlebih dahulu, namun jika

berukuran lebih besar dari 10 gram atau ukuran

garis tengah 2,5 cm dapat langsung ditanam di

lapangan (Sumarwoto 2004; Sumarwoto and

Maryana 2011). Bulbil akan mulai bertunas 3

minggu setelah ditanam. Apabila bibit berupa

bulbil besar maka kedalaman tanam ± 5 cm, bibit

yang menggunakan umbi batang dengan bobot

kurang dari 200 g kedalaman tanam adalah ± 10

cm, dan jika bobot umbi lebih berat maka

kedalaman tanamnya ± 15 cm. Untuk menghemat

kebutuhan bibit, bulbil yang berukuran 1,5

sampai 2,5 cm dapat dibelah menjadi 2,

sementara jika berukuran > 3 cm dapat dibelah 4

bagian. Pemotongan umbi menggunakan pisau

sebaiknya dilakukan secara vertikal (Santosa and

Wirnas 2009).

- Umbi Batang

Perbanyakan tanaman menggunakan umbi

batang merupakan cara yang paling umum

dilakukan. Dengan cara ini umbi batang

langsung ditanam di lahan. Umbi batang yang

tumbuh sehat dan subur berumur ± 1 tahun

dapat dijadikan bibit. Satu umbi hanya

menghasilkan satu bibit untuk ditanam.

Perbanyakan menggunakan umbi batang

dengan cara ini lebih praktis dibandingkan

dengan cara lainnya. Umur panen juga lebih

cepat dibandingkan penggunaan biji atau bulbil.

Namun cara ini dapat mengurangi produksi,

karena umbi yang dipanen sebagian harus di

bibitkan kembali. Untuk mengatasi hal ini telah

dilakukan penelitian untuk membelah umbi

Page 76: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

72 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :67 - 78 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

batang menjadi 2, 4 dan 6 bagian. Hasilnya

walaupun tidak dapat mencapai hasil 100%

seperti perlakuan kontrol (tampa pembelahan),

pembelahan umbi menjadi 2 bagian dapat

tumbuh 93,78%, sementara pembelahan menjadi

4 dan 6 masing-masing 85,25% dan 82,95 %

(Sumarwoto 2007; Sumarwoto and Maryana 2011

; Hobir 2002 ; Sumarwoto 2007b ; Sumarwoto

and Maryana 2015)

- Daun

Perbanyakan menggunakan stek daun dapat

digunakan untuk memperbanyak iles-iles. Stek,

diambil dari daun berumur 5 bulan pada

tanaman yang telah berumur 24 bulan. Ukuran

stek dianjurkan ± 5 cm. Setelah dipotong, bagian

pangkalnya dicelupkan Zat Pengatur Tumbuh

IBA, NAA atau IAA pada konsentrasi 500 ppm

selama ± 5 detik. Stek kemudian ditanam di bak

pesemaian dengan cara bagian pangkal ke dalam

media semai. Untuk menjaga kelembaban bak

ditutup dengan plastik, dan penyiraman

dilakukan menyesuaikan kondisi kelembaban.

Kelemahan menggunakan cara ini adalah adanya

masa dormasi, setelah ditanam stek baru akan

tumbuh setelah 5-6 bulan. Setelah tumbuh bibit

siap dipindah ke lapangan (Sumarwoto 2008b).

Perbanyakan Secara Kultur In Vitro

Kebutuhan benih dalam jumlah banyak dan

berkualitas dapat dipenuhi dengan

menggunakan teknik kultur in vitro. Dalam

kultur in vitro, bagian vegetatif tanaman

ditumbuhkan dalam kondisi aseptik, sehingga

dapat memperbanyak diri dan tumbuh menjadi

tanaman yang lengkap. Keuntungan dari teknik

ini selain cepat adalah bibit yang dihasilkan

seragam, bebas hama penyakit, tidak

mengganggu hasil panen, dan dapat memenuhi

permintaan dalam jumlah banyak. Keragaan

kultur in vitro ies-iles dapat dilihat pada Gambar

2.

Perbanyakan tanaman iles-iles

menggunakan kultur in vitro telah lama

dikembangkan. Beberapa sumber eksplan yang

dapat digunakan untuk memperbanyak tanaman

iles-iles antara lain:

- Mata Tunas/Tunas muda dari Umbi Batang

Mata tunas atau tunas muda dari umbi

batang iles-iles merupakan sumber eksplan yang

paling umum digunakan dalam kultur in vitro

sebelum didapatkan metode menggunakan

eksplan petiol. Penelitian Supriati et al. (2001)

menunjukkan bahwa mata tunas yang terdapat

pada umbi batang dapat digunakan untuk bahan

perbanyakan secara kultur in vitro. Pemberian

kinetin 3 mg/l pada media dasar Murasige and

Skoog (MS) menghasilkan tiga tunas per eksplan,

sementara pemberian 6-benzylaminopurine

(BAP) 2 mg/l pada media MS dapat

meningkatkan jumlah tunas menjadi 7 - 8 tunas/

eksplan (Supriati et al. 2001; Supriati et al. 2002b).

Peneliti lain yang juga menggunakan mata

tunas atau tunas dari umbi batang adalah

(Imelda, Wulansari and Poerba 2007).

Penggunaaan kombinasi zat pengatur tumbuh

Thidiazuron konsentrasi 0, 0,1 dan 0,2 mg/1, serta

BAP dan Kinetin konsentrasi 0, 0,5 dan 1,0 mg/1

untuk meningkatkan faktor memulthiphikasi

tunas. Hasil penelitiannya memperlihatkan

media MS tanpa pemberian zat pengatur tumbuh

tidak menghasilkan tunas, sementara

penambahan thidiazuron atau BAP secara

Gambar 2. Keragaan kultur in vitro iles-iles

dari mulai induksi kalus sampai

aklimatisasi (Sumber; (Kamala

and Makeshkumar 2014)

Page 77: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

73 Perbanyakan Iles-Iles ( Amorphophallus spp.) Secara Konvensional dan Kultur In Vitro serta Strategi Pengembangannya (MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM)

tunggal hanya menghasilkan 1 tunas saja. Dari

penelitian ini media terbaik untuk penggandaan

tunas iles-illes adalah media MS yang

mengandung kombinasi zat pengatur tumbuh

TDZ (0,2 mg/1) dan BAP (0,5 mg/1). Dalam waktu

12 minggu perlakuan media ini menghasilkan

tunas sebanyak 37 buah. Penelitian ini lebih

efektif dan efisien dibandingkan dengan

penelitian sebelumnya dalam menghasilkan

jumlah plantlet.

- Umbi Batang

Penggunaan umbi batang tanaman iles-

iles sebagai eksplan telah diteliti keberadaannya

oleh beberapa orang peneliti. Penelitian awal

dilakukan oleh (Aziz, Ratnasari and Rahayu

2014), yang menggunakan Amorpophallus muelleri

sebagai sumber eksplan diambil dari lapangan.

Pengupasan umbi pada penelitian ini ternyata

merangsang terjadinya oksidasi fenol, sehingga

persentasi keberhasil pembentukan kalus masih

rendah, dan belum berhasil menghasilkan tunas

kalus.

Potongan umbi batang sebagai sumber

eksplan berhasil digunakan sebagai bahan

perbanyakan ketika kulit umbi tidak dikupas.

Potongan umbi Amorphopllus corrugatus yang

ditanam pada Media MS yang diberi BA 3mg / L

dan IBA 0,1 mg / L dapat menghasilkan 8,33

tunas/potong umbi (Thach et al. 2016).

- Biji

Biji iles-iles sebagai eksplan telah digunakan

untuk sumber perbanyakan tanaman secara

kulur in vitro. Biji iles-iles untuk perbanyakan

tanaman akan menghasilkan sifat tanaman yang

sama dengan induknya karena bersifat

apomiksis. Dari beberapa penelitian yang telah

berhasil menggunakan eksplan biji, Suheriyanto,

Romaidi and Resmisari (2012), merupakan

peneliti yang telah berhasil. Eksplan biji

disterilisasi dan ditumbuhkan menggunakan

media MS. Benih yang berupa planlet kemudian

digunakan sebagai sumber untuk mendapatkan

tunas yang lebih banyak. Pemberian BAP 2,0

mg/l pada media MS mendapatkan rataan tunas

sebanyak 1,22 (Suheriyanto, Romaidi and

Resmisari 2012).

- Petiol (Tangkai Daun )

Eksplan tangkai daun iles-iles berasal dari

tanaman lapangan, dapat digunakan sebagai

bahan tanam atau eksplan. Penelitian Imelda et

al., (2008) memperlihatkan pemberian BAP 2

mg/l pada media MS selama 3 bulan dapat

meningkatkan jumlah tunas Amorphopallus moeller

(menghasilkan 19 tunas). Perbanyakan iles-iles

menggunakan eksplan tangkai daun lebih efisien

karena tidak mengganggu hasil panen.

Selain menggunakan eksplan petiol dari

tanaman dari lapangan, multiphikasi tunas

A.muelleri menggunakan eksplan petiol dari

planlet steril untuk menggandakan tunas telah

dilakukan oleh (Prayana, Djenal and Wardana

2017). Hasilnya, pemberian BAP dan NAA secara

bersamaan selain dapat membentuk tunas, juga

terbentuk kalus. Jumlah tunas terbanyak

dihasilkan pada terlakuan BAP dan NAA

masing-masing 1 mg/l, namun hasilnya jauh lebih

rendah dibandingkan dengan penelitian Imelda

et al., (2008) yang hanya menggunakan BAP

secara tunggal. Pada species Amorphopallus

oncophyllus penggunaan petiol yang di kulturkan

di media MS ditambah 2,4-dichlorophenoxy acetic

acid (2,4 D) konsentrasi 0,5 mg/l (Chotigamas et

al. 2009), spesies Amorphopallus muelleri

menggunakan kombinasi BAP 1 mg/l dan 2,4-D 1

mg/l (Aziz, Ratnasari and Rahayu 2014)

Penggunaan eksplan petiol juga dilakukan

oleh Paul, Bari, Islam, & Debnath (2013),

Chotigamas et al., (2014) dan Aziz et al., (2014).

Berbeda dengan Imelda et al., (2008) dan (Aziz,

Ratnasari and Rahayu 2014) yang menggunakan

Amorphopallus muelleri, Paul et al., (2013)

menggunakan A. campanulatus Blume, sementara

(Chotigamas et al. 2009b) Amorphopallus

oncophyllus untuk menghasilkan kalus

embriogenik. Kalus yang terbentuk bervarias

warnanya, ada putih, merah muda dan

kecoklatan. Regenerasi tunas adventif tertinggi

(60%) diperoleh di MS mengandung 4,0 mg / l

BAP + 1,5 mg / l NAA (Paul et al. 2013).

Eksplan petiole untuk perbanyakan spesies

A. paeoniifolius var. campanulatus (Decne) Sivad.

CV. Gajendra juga telah dilaporkan Nicolson,

Anil, Siril, & Beevy, (2012). Potongan petiole

dikulturkan di media MS mengandung 6-

Benzyladenine (BA), dan 1-Naphthaleneacetic acid

Page 78: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

74 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :67 - 78 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

(NAA) menghasilkan kalus dalam waktu empat

minggu. Sub kultur berulang menghasilkan tunas

adventif, akar dan protocorm like bodies (PLB) atau

corm like structures (CLS), yang kemudian

berkembang menjadi planlet. Medium MS yang

dilengkapi dengan NAA (2,5 μM) dalam

kombinasi dengan BA (5,0 μM) merupakan

media terbaik untuk induksi CLS. Dalam

penelitian ini pengembangan tanaman melalui

CLS dari eksplan petiole dapat diadopsi untuk

produksi planlet skala besar (Nicolson et al.

2012).

- Daun

Penggunaan eksplan daun dilakukan untuk

mendapatkan kalus embriogenik telah di

laporkan oleh Chotigamas et al. (2009). Sama

dengan perlakuan yang dilakukannya pada

petiole, induksi kalus dari daun Amorphopallus

muelleri juga dibiakkan pada media dasar MS

ditambahkan 0,25 mg/l naphthalene acetic acid

(NAA) dalam kondisi terang menghasilkan kalus

sekitar 80%. Kalus yang remah kemudian di

inkubasi dalam ruangan gelap untuk

menghasilkan suspensi sel. Suspensi sel ini akan

dioptimalkan lebih lanjut untuk memperoduksi

glukaman dalam bioreaktor.

Induksi Perakar

Tunas yang dihasilkan dari proses kultur in

vitro tidak memiliki akar, atau kalaupun ada

sebagian tunas memiliki dengan jumlah yang

sedikit. Untuk mendapatkan hasil yang baik,

tunas sebaiknya disubkultur ke media perakaran.

Media untuk induksi akar iles-iles dapat

menggunakan media MS tanpa zat pengatur

tumbuh (Imelda et al. 2008), atau media dasar ¼

MS (Supriati et al. 2002b). Akan tetapi untuk

menghasilkan jumlah akar yang memadai

penambahan zat pengatur tumbuh akar pada

media MS sangat dipelukan. Penambahan IBA

sebesar 1,0 mg/l dilaporkan menghasilkan jumlah

akar yang lebih baik dibandingkan kontrol

(Suheriyanto, Romaidi and Resmisari 2012).

Aklimatisasi

Aklimatisasi merupakan proses adaptasi

pada plantlet dari kultur in vitro ke kondisi eks

vitro, sebelum ditanam di lapang. Aklimatisasi

salah satu tahapan kritis dalam perbanyakan

tanaman iles-iles karena peralihan dari sifat

planlet yang heterotrof ke autotrof. Beberapa

peneliti telah melakukan penelitian tentang

tahapan aklimatisasi pada planlet iles-iles.

Beberapa penelitian yang berhasil

melaporkannya adalah Supriati et al.( 2002a),

Imelda et al., (2007), Poerba, Imelda, Wulansari,

& Martanti, (2009) dan Paul et al., (2013).

Media yang dapat digunakan untuk

aklimatisasi dapat berupa campuran tanah,

kompos dan cocopeat (1:1:1) (Imelda, Wulansari

and Poerba 2007; Poerba et al. 2009), atau

campuran tanah dan casting atau campuran

tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan

1 : 1 (Supriati et al. 2003). Penggunaan tanah

lempung yang memiliki kandungan bahan

organik juga dapat digunakan untuk aklimatisasi

planlet iles-iles (Paul et al. 2013).

STARTEGI PENGEMBANGAN ILES-ILES

Iles-iles merupakan tanaman potensial

untuk dikembangkan. Untuk memenuhi

kebutuhan pasar masih diperlukan produksi

umbi 35.00 ton/tahun (Santosa et al. 2016b),

sehingga masih diperlukan perluasan areal iles-

iles ± 10.000 ha (Santosa 2014). Dalam

pengembangannya di perlukan strategi yang baik

supaya tidak menimbulkan permasalahan.

Tumpang sari tanaman iles-iles dengan tanaman

kehutanan bukan hal yang sama sekali baru.

Kenyataannya, usaha tersebut belum sesuai

dengan yang harapan. Oleh karena itu perlu

mengetahui permasalahan yang ada dalam

pengembangannya.

Menurut Santosa (2014) ada beberapa faktor

yang menentukan keberhasilan pengembangan

tanaman iles-iles yaitu ; penyediaan benih, lahan,

modal, dan pemantapan pemasaran. Diantara ke

empat faktor tersebut yang menjadi pembatas

utama dalam perluasan areal tersebut adalah

penyediaan benih. Perbanyakan iles-iles secara

konvensional menggunakan umbi batang dan

umbi daun memerlukan waktu minimal 1 tahun,

sementara untuk mendapatkan biji diperlukan

waktu sekitar 3 tahun. Untuk mengatasi hal ini

diperlukan adanya metode perbanyakan benih

Page 79: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

75 Perbanyakan Iles-Iles ( Amorphophallus spp.) Secara Konvensional dan Kultur In Vitro serta Strategi Pengembangannya (MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM)

iles-iles dalam jumlah yang banyak, dengan

waktu yang lebih singkat.

Penggunaan metoda non konvensional yaitu

melalui tehnik kultur in vitro dalam perbanyakan

iles-iles diharapkan dapat menghasilkan benih

iles-iles dalam jumlah yang banyak, cepat, dan

bebas hama penyakit. Keuntungan lain dari

perbanyakan menggunakan tehnik ini adalah

tidak mengganggu produksi, karena bahan

tanaman (eksplan) yang digunakan dapat berupa

daun dan tangkai daun, atau tunas umbi.

KESIMPULAN

Tanaman Iles-iles merupakan salah satu

jenis umbi-umbian yang potensial dikembangkan

tidak hanya untuk bahan pangan, tetapi juga

Industri. Kandungan umbi yang penting adalah

glukomanan. Untuk penyediaan benih dapat

dilakukan melalui perbanyakan secara

konvensional, dan menggunakan tehnik non

konvensional (kultur in vitro). Pada perbanyakan

secara konvensional, penggunaan umbi batang

merupakan cara yang lebih praktis dibandingkan

bulbil, biji atau stek daun. Secara kultur in vitro,

dari beberapa jenis eksplan yang telah diteliti,

penggunaan tangkai daun lebih efisien

dibandingkan dengan eksplan lainnya, karena

tidak mengganggu hasil panen. Multhipikasi

tunas dapat menggunakan media MS yang diberi

kombinasi thidiazuron (0,2 mg/1) dan

Benzylaminopurine (0,5 mg/1), karena dalam

waktu 12 minggu dapat menghasilkan 37 tunas.

Jumlah tunas ini jauh lebih banyak dibandingkan

perbanyakan konvensional yang hanya

menghasilkan 1 tunas. Untuk perakaran, media

MS yang diberi IBA 1,0 mg/l merupakan media

terbaik dibandingkan media lainnya.

DAFTAR PUTAKA

Afifah, E., Nugrahani, M.O. & Setiono (2014)

Peluang budidaya iles-iles

(Amorphophallus spp.) sebagai tanaman

sela di perkebunan karet. Warta

Perkaretan. 33 (1), 35–46.

Ardhian, Dhike & Indriyani, S. (2013) Kandungan

oksalat umbi Porang (Amorphophallus

muelleri Blume) Hasil Penanaman dengan

Perlakuan Pupuk P dan K. Biotropika |.

53–56.

Aziz, M.M., Ratnasari, E. & Rahayu, Y.S. (2014)

Induksi Kalus Umbi Iles-Iles (

Amorphophallus muelleri ) dengan

Kombinasi Konsentrasi 2 , 4-D dan BAP

Secara In Vitro Callus Induction of Iles-

Iles (Amorphophallus Mueller) Tuber Using

Concentation. LenteraBio. 3 (2), 109–114.

Chairiyah, N., Harijati, N. & Mastuti, R. (2014)

Pengaruh waktu panen terhadap

kandungan glukomannan pada umbi

porang (Amorphophallus muelleri blume)

periode tumbuh ketiga. Research Journal of

Life Science. 01 (01), 37–42.

Chotigamas, T. et al. (2009) The tissue culture

optimization for Amorphophallus

oncophyllus Cell suspension for konjac

glucomannan production. :

https://www.researchgate.net/publication/267

685813 THE. [Online] pp.1–7. Available

from:

https://www.researchgate.net/profile/Sar

ote_Sirisansaneeyakul/publication/267685

813_THE_TISSUE_CULTURE_OPTIMIZ

ATION_FOR_AMORPHOPHALLUS_O

NCOPHYLLUS_CELL_SUSPENSION_F

OR_KONJAC_GLUCOMANNAN_PRO

DUCTION/links/548e35720cf225bf66a5f9

a1.pdf.

Chua, M. et al. (2012) Methodologhi for the

extraction and analysis of konjac

glucomannan from corns of

Amorphophallus konjac k.

koch.carbohyhdra.pdf. Carbohydrate

Polymers. 87 (3), 2202–2210.

Hatmi, R.U. & Djaafar, T.F. (2014) Keberagaman

Umbi-Umbian Sebagai Pangan

Fungsional. Prosiding Seminar Hasil

Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi

2014. (22), 950–960.

Hidayah, N., Suhartanto, M.R. & Santosa, E.

(2018) Pertumbuhan dan produksi benih

iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume)

asal teknik budi daya yang berbeda.

Buletin Agrohorti. 6 (3), 405–411.

Hobir (2002) Pengaruh ukuran dan perlakuan

bibit dan produksi iles-iles. Edisi khusus

Littro. 60–65.

Page 80: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

76 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :67 - 78 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

Huang, L. et al. (2002) Gelation behavior of native

and acetylated konjac glucomannan.

Biomacromolecules. 1, 1296–1303.

Imelda, M. et al. (2008) Regenerasi Tunas dari

Kultur Tangkai Daun Iles-iles

(Amorphophallus muelleri Blume) [Online]

9, 173–176. Available from:

doi:10.13057/biodiv/d090304.

Imelda, M., Wulansari, A. & Poerba, Y.S. (2007)

Mikropropagasi tanaman iles-iles

(Amorphophallus muelleri blume). Berita

Biologi. 8 (4), 271–277.

Irawan, B. & Sutrisna, N. (2016) Prospek

Pengembangan Sorgum di Jawa Barat

Mendukung Diversifikasi Pangan. Forum

penelitian Agro Ekonomi. [Online]

Available from:

doi:10.21082/fae.v29n2.2011.99-113.

Kamala, S. & Makeshkumar, T. (2014)

Optimization of in vitro regeneration and

microcorm induction in elephant foot

yam (Amorphophallus paeoniifolius).

Academic journal. [Online] 13 (49), 4508–

4514. Available from: doi:10.5897/A.

Kasno, A. (2008) Iles-iles umbi-umbian potensial

sebagai tabungan tahunan. Buletin

Palawija. 20 (15), 15–20.

Lastinawati, E. (2010) Diversifikasi Pangan dalam

Mencapai Ketahanan Pangan.

Agronobis.2(4): 11-18.

Lebi, M.E. (2013) Kajian konsentrasi CPPU dan dosis

pupuk anorganik terhadap pertumbuhan

tanaman porang (Amorphophallus

onchophyllus). Universitas Pembangunan

Nasional ‘Veteran’ Jawa Timur.

Nicolson, D. et al. (2012) In Vitro Propagation

Strategies for Elephant Foot Yam (

Amorphophallus paeoniifolius. 38 (2), 97–

108.

Nurdianti, R. (2013) Pengaruh pupuk kandang dan

npk pada tanaman suweg, talas, dan iles-iles

riri nurdianti. Institute Pertanian Bogor.

Patel, N.B. et.al. (2013) Effect of Plant Density

and Corm Size on the Growth and Yield

of Elephant Foot Yam (Amorphophallus

paeoniifolius (Dennst.) Journal of Root

Crops, 2013, Vol. 39 No. 2, pp. 255-256

Paul, K.K. et al. (2013) In vitro shoot regeneration

in elephant foot yam, Amorphophallus

campanulatus Blume. Plant Tissue Culture

and Biotechnology. [Online] 23 (1), 121–126.

Available from:

doi:10.3329/ptcb.v23i1.15569.

Poerba, Y. et al. (2009) Induksi mutasi kultur in

vitro Amorphophallus muelleri Blume

dengan irradiasi gamma. Jurnal Teknik

Lingkungan. [Online] 10 (3), 355–364.

Available from:

doi:10.29122/jtl.v10i3.1482.

Prana, M.S. (2008) Penyerbukan buatan pada

acung ( Amorphophallus decus-silvae

back. & v.A.vR.). Biodiversitas. [Online] 9

(4), 292–295. Available from:

doi:10.13057/biodiv/d090411.

Prayana, F.A., Djenal & Wardana, R. (2017)

Mikropropagasi tangkai daun iles-iles

(Amorphophallus muelleri blume) secara

in vitro dengan penambahan ZPT BAP

dan NAA. Agriprima, Journal of Applied

Agricultural Sciences. [Online] 1 (2), 104–

114. Available from:

doi:10.25047/agriprima.v1i2.45.

Rokhmah, D.N. & Supriadi, H. (2015) Prospek

pengembangan iles-iles (Amorphophallus

muelleri Blume) sebagai upaya

diversifikasi pangan di Indonesia. Sirinov.

3 (1) (April), 1–10.

Santosa, E. et al. (2016a) Flower development and

its implication for seed production on

flower development and its implication

for seed production on Amorphophallus

muelleri blume (Araceae). J. Hort Indonesia.

[Online] 7 (2), 65–74. Available from:

doi:10.29244/jhi.7.2.65-74.

Santosa, E. et al. (2006) Flower Induction in

Elephant Foot Yams using Gibberellic

Acid (GA3). Japanese Journal of Tropical

Agriculture. [Online] 50 (2), 82–86.

Available from:

doi:10.11248/jsta1957.50.82.

Santosa, E. et al. (2016b) Manipulasi Agronomi

Bunga Iles-iles (Amorphophallus muelleri

Blume) untuk Meningkatkan Produksi

Biji. [Online] 21 (2), 133–139. Available

from: doi:10.18343/jipi.21.2.133.

Santosa, E. (2014) Pengembangan tanaman iles-

iles tumpangsari untuk kesejahteraan

petani dan kemandirian industri pangan

Page 81: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

77 Perbanyakan Iles-Iles ( Amorphophallus spp.) Secara Konvensional dan Kultur In Vitro serta Strategi Pengembangannya (MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM)

nasional. Risalah Kebijakan Pertanian dan

Lingkungan. [Online] 1 (2), 73–79.

Available from:

doi:10.20957/jkebijakan.v1i2.10288.

Santosa, E. & Wirnas, D. (2009) Teknik

perbanyakan cepat sumberdaya genetik

iles-iles untuk mendukung percepatan

komersialisai secara berkelanjutan. Jurnal

llmu Pertanian Indonesia, Agustus. 14 (2),

91–96.

Sari, R. & Suhartati (2015) Tumbuhan Porang:

Prospek Budidaya Sebagai Salah Satu

Sistem Agroforestry. Info Teknis EBONI.

12 (2), 97–110.

Sigiyama, N. (2008) Edible Amorphophallus in

Indonesia-Potential Crops in Agroforestry.

Yogyakarta, Gajah Mada University

Press.

Siswanto, B. & Karamina, H. (2016) Persyaratan

lahan tanaman Porang (Amarphopallus

oncophillus ). Buana Sains. 16 (1), 57–70.

Suheriyanto, D., Romaidi & Resmisari, R.S. (2012)

Pengembangan bibit unggul porang

(Amarphopallus oncophilus ) melalui teknik

kultur in vitro untuk mendukung

ketahanan. El-Hayah. [Online] 3 (1), 16–

23. Available from:

doi:10.18860/elha.v3i1.2216.

Suismono (2008) Teknologi pengolahan dan

pemanfaatan pangan lokal berbasis

umbi-umbian. Pangan. 17 (52), 38–50.

Sumarwoto (2005) Iles-iles (Amorphophallus

muelleri Blume); description and other

characteristics. Biodiversitas. [Online] 6

(3), 185–189. Available from:

doi:10.13057/biodiv/d060310.

Sumarwoto (2008a) Letak Biji pada Tongkol Buah

dan Media Persemaian Pengaruhnya pada

Mutu Benih Iles-iles In: Prosiding Seminar

Nasional dan Workshop Perbenihan dan

Kelembangaan dengan Tema Peran

Perbenihan Nasional dan Kelembagaan dalam

Memperkokoh Ketahanan Pangan.

Yogyakarta.

Sumarwoto (2012) Peluang bisnis beberapa macam

produk hasil tanaman iles kuning di DIY

melalui kemitraan dan teknik budidaya.

pp.1–13.

Sumarwoto (2004) Pengaruh pemberian kapur

dan ukuran bulbil terhadap

pertumbuhan iles-iles (Amorphophallus

muelleri blume) pada tanah ber-Al tinggi.

Ilmu Pertanian. 11 (2), 45–53.

Sumarwoto (2007) Review  : Kandungan Mannan

pada Tanaman Iles-iles (Amorphophallus

muelleri Blume). Bioteknologi. 4 (1), 28–32.

Sumarwoto (2008) Uji zat pengatur tumbuh dari

berbagai jenis dan konsentrasi pada stek

daun iles-iles (Amorphophallus muelleri

blume). Jurnal Agroland. 15 (1), 7–11.

Sumarwoto & Maryana (2011) Pertumbuhan

bumbil iles-iles (Amorphophallus muelleri

blume) berbagai ukuran pada berbagai

media tanam. Jurnal Ilmu Kehutanan. 5 (2),

91–98.

Sumarwoto, S. & Maryana, M. (2015)

Perbanyakan Bibit Melalui Pembelahan

dan Penutupan Luka Umbi Batang

Iles.Iles (Amorphophallus muelleri Blume).

Agro UPY. VI (2), 71–79.

Supriati, Y. (2016) Keanekaragaman iles-iles

(Amorphophallus spp.) dan potensinya

untuk industri pangan fungsional,

kosmetik, dan bioetanol. Jurnal Litbang

Pertanian. [Online] 33 (2), 69–80.

Available from:

doi:10.21082/jp3.v35n2.2016.p69-80.

Supriati, Y. et al. (2001) Multiplikasi tunas iles-iles

dan duku. Laporan Akhir Hasil Penelitian

Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman

Pangan. 2001st edition. Bogor, Balai

Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan.

Supriati, Y. et al. (2002a) Optimasi Sistem Perakaran

dan Aklimatisasi Iles-iles. In: Prosiding

Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan

Bioteknologi Tanaman Bogor, 26-27

Desember 2001. Bogor, BB Biogen

(Pusat/Puslit.Puslitbang/Balai Besar),

pp.250–256.

Supriati, Y. et al. (2002b) Peningkatan Multiplikasi

Tunas dan Induksi Akar Tanaman Iles-iles

melalui Kultur In Vitro. Prosiding Seminar

Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi

Tanaman. Bogor, BB Biogen

(Pusat/Puslit.Puslitbang/Balai Besar).

Tarigan, E. & Tawaha, J. (2014) Potensi iles-iles

sebagai sumber bioetanol nabati. Infotek

Perkebunan. 6 (10), 37–37.

Page 82: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

78 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :67 - 78 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100

Thach, B.D. et al. (2016) Preliminary Selection and

in Vitro Propagation of Amorphophallus

Species With High Content of

Glucomannan Distributed In Vietnam.

European Journal of Advanced Research in

Biological and Life Sciences. 4 (1), 1–7.

Thangam, M. et al. (2013) Improved production

technology for elephant foot yam. Silver

Jubilee Publication. 61, ICAR Research

Complex for Goa, Old Goa, India, p.5.

Yao-Ling, L. et al. (2013) Review of konjac

glucomannan: Isolation, structure, chain

conformation and bioactivitas. Jurnal

Single Mole MRRes. 1 (1), 7–14.

Yasin, M. & Suarni (2011) Jagung sebagai sumber

pangan fungsional. Iptek Tanaman Pangan.

6 (1), 41–56.

Zhang, D., Wang, Q. & George, S.S. (2010)

Mechanism of Staggered Multiple

Seedling Production from Amorphophallus

bulbifer and Amorphophallus muelleri and

its Application to Cultivation in

Southeast Asia. Tropical Agriculture and

Development. [Online] 54 (3), 84–90.

Available from: doi:10.11248/jsta.54.84.

Page 83: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada para pakar yang telah bersedia

sebagai penelaah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri. Berikut ini nama pakar

yang telah berpartisipasi:

Nama Alamat Disiplin Ilmu

Dr. Ir. Djadja Subardja

Sutaatmadja , M.Sc.

Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya

Lahan Pertanian (BB SDLP),

Balitbang Pertanian, Kementerian

Pertanian.

Jl. Tentara Pelajar, Cimanggu,

Bogor

Ilmu Tanah

Prof. Dr. Subiyakto Balai Penelitian Tanaman Pemanis

dan Serat, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perkebunan,

Balitbang Pertanian, Kementerian

Pertanian

Jl. Raya Karang Ploso. PO Box 199.

Malang – Jaw Timur

Hama dan Penyakit

Tanaman

Prof. Dr. I Wayan Laba Forum Komunikasi Profesor Riset

Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian,

Kementerian Pertanian

Jl. Raya Pajajaran, Bogor

Hama dan Penyakit

Tanaman

Dr. Ir. Markus Anda, M.Sc. Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Lahan

Pertanian (BB SDLP), Balitbang

Pertanian, Kementerian Pertanian.

Jl. Tentara Pelajar, Cimanggu, Bogor

Ilmu Tanah

Ir. Titek Yulianti, M.Ag., Sc.PhD. Balai Penelitian Tanaman Pemanis

dan Serat, Balitbang Pertanian,

Kementerian Pertanian.

Jl. Raya Karang Ploso. PO Box 199.

Malang – Jawa Timur

Hama dan Penyakit

Tanaman

Prof. Dr. Ir Ika Mariska Forum Komunikasi Profesor Riset

Batitbang Pertanian, Kementerian

Pertanian.

Jl. Raya Pajajaran, Bogor

Fisionologi

Tumbuhan dan

Bioteknologi

Page 84: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

PEDOMAN BAGI PENULIS

Pengertian : Review Penelitian Tanaman Industri merupakan karya

tulis tinjauan yang berisi suatu kajian hasil-hasil penelitian yang

berupa olah pikir analisis dan sintesis sejumlah hasil penelitian

yang telah diterbitkan, agar diperoleh informasi yang benar, valid,

dan relevan dengan tujuan untuk memacu dan memberi informasi

perkembangan ilmu dan teknologi di Indonesia.

Bahasa : Review memuat tulisan dalam Bahasa Indonesia dan

Bahasa Inggris dengan baik sesuai kode etik penulisan serta

mengikuti Pedoman Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Struktur : Naskah disusun dalam urutan sebagai berikut : judul

tulisan, nama penulis dengan alamat instansinya, abstrak dalam

Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (200 – 300 kata) dan kata

kunci (Bahasa Indonesia dan Inggris), pendahuluan, topik-topik

yang dibahas, kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka.

Bentuk Naskah : Naskah diketik di atas kertas kuarto putih pada

satu permukaan saja, memakai dua spasi dan bentuk huruf Arial

ukuran 12 pt. Pinggir kiri kanan tulisan disediakan ruang kosong

minimal 3,5 cm dari pinggir kertas. Panjang naskah sebaiknya tidak

melebihi 20 halaman termasuk tabel dan gambar.

Judul Naskah : Judul tulisan merupakan suatu ungkapan yang

dapat menggambarkan fokus masalah yang dibahas dalam tulisan

tersebut, dan dicantumkan dengan dua bahasa, Indonesia dan

Inggris. Nama dan instansi tempat kerja penulis dengan alamat yang

jelas dicantumkan di bawah judul. Apabila penulisnya lebih dari satu

maka penulisannya disesuaikan dengan kode etik penulisan.

Pendahuluan: Berisi suatu pengantar atau paparan tentang latar

belakang topik, ruang lingkup bahasan dan tujuan review. Jika

diperlukan, sajikan pengertian-pengertian dan cakupan bahasan.

Topik bahasan : Informasi tentang topik yang dibahas dan disusun

dengan urutan logika secara sistematis, termasuk sintesis dan

analisis. Misalnya, pengungkapan status perkembangan ilmu dan

teknologi, penjelasan tentang perbedaan pendapat, pengungkapan

konsepsi baru, pengungkapan pemecahan masalah untuk bahan

kebijakan, dan pengungkapan aspek yang perlu dibuktikan

kebenarannya atau yang perlu memperoleh dukungan disiplin lain.

Kesimpulan dan Saran : Merupakan inti sari pembahasan dan

dapat berisi himbauan tergantung dari materi bahasan.

Daftar Pustaka : Pustaka yang dirujuk hendaknya rujukan yang

terbaru dan mutakhir yaitu rujukan yang terbit dalam 5-10 tahun

terakhir. Pustaka primer diharapkan lebih banyak daripada pustaka

sekunder. Jumlah rujukan tergantung pada luasnya topik atau

banyaknya penelitian dari topik yang dibahas dan disarankan karya

tulis tinjauan kurang lebih menggunakan 30 rujukan yang relevan,

agar topik yang dibahas terdiri atas hasil penelitian yang cukup

banyak. Contoh Penulisan Sumber Acuan :

Jurnal

Azrai, M., F. Kasim, Sutrisno, dan S. Moeljopawiro. 2003. Identifikasi

lokus karakter kuantitatif ketahanan penyakit bulai pada

jagung menggunakan RFLP. Jurnal Bioteknologi Pertanian

8(1) : 8-14.

Trisawa, I.M. dan I.W. Laba. 2006. Keefektifan Beauveria bassiana

dan Spicaria sp. terhadap kepik renda lada Diconocoris

hewetti (Dist.) (Hemiptera: Tingidae). Bulletin Penelitian

Tanaman Rempah dan Obat XVII(2) : 99-106.

Buku

Bradbury, J.F. 1986. Guide to Plant Pathogenic Bacteria. CAB

International Mycological Institute. Ferry Lane, Kew Surrey,

England. 329 pp.

Bab dalam buku

Weiss, R. 1984. Experimental biology and assay of RNA tumor

viruses. Dalam : R. Weiss, N. Teich, H. Varmus, and Coffin

J. (ed). RNA Tumor Viruses. Vol. 1, New York : Cold Spring

Harbor Laboratory. p. 209-260.

Abstrak

Rusmana I., R.S. Hadioetomo 1991. Bacillus thuringiensis Berl. dari

peternakan ulat sutera dan toksisitasnya. Abstrak

Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi

Indonesia. Bogor, 2-3 Des 1991, A-26, hlm 26.

Prosiding

Raffiudin, R., D. Nandika, M. Amir, and N. Sugiri. 1991. Populasi

flagelata pada usus rayap Captotermes curvignatus

Holmgren dengan pemberian pakan tiga jenis kayu. Dalam

Prosiding Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X,

Vol. 2. Bogor, 24-26 September 1991. Hlm 482-487.

Skripsi/Tesis/Disertasi

Tjahyadi, M.R. 1994. Bakteri penghambat Vibrio harveyi untuk

menanggulangi penyakit berpendar pada larva udang windu

(Panacus monodon Fab.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

45 hlm.

Informasi dari Internet

Anonymous. 2006. Bukholderia cepacia and other Burkholderia.

http://www3.nbnet.nb.ca/normap/bcepacia.htm.[Sept 2006]

Chen, H.J., W.C. Hou, and Y.H. Lin. 2000. Isolation and charac-

terization of a cDNA clone for type II metallo-thionein-like

protein from senescent leaves of sweet potato (Ipomoea

batatas cv. Tainong 57). (PGR00-001) Plant Physiol

122:291. http://www.tarweed.com/ pgr/. [18 Jan 2001].

Tabel : Judul tabel singkat dan jelas, dengan catatan bawah

termasuk sumbernya (apabila data atau angka-angka dalam tabel

tersebut berasal dari sumber lain).

Gambar dan Grafik : Gambar dan grafik disajikan dengan jelas.

Keterangan gambar dan grafik dibuat dalam bentuk catatan bawah

disertai dengan sumbernya. Foto hitam putih atau berwarna dicetak

ukuran poscard dengan mutu tajam dan jelas dengan posisi

berdiri/vertikal disertai dengan asal sumber dan keterangannya.

Lain-lain : Redaksi hanya menerima naskah yang belum pernah

dipublikasikan dan tidak dalam proses penerbitan pada publikasi

lain. Dewan Redaksi melakukan koreksi dan perbaikan serta

mengubah format sesuai dengan sifat Review yang informatif tanpa

mengubah arti dari naskah. Dewan Redaksi akan mengembalikan

naskah kepada penulis untuk diperbaiki sesuai dengan hasil koreksi

redaksi. Naskah yang tidak dapat diterima dengan alasan sesuai

dengan keputusan rapat Dewan Redaksi akan diberitahukan kepada

penulis melalui surat.

Surat Menyurat : Naskah tulisan dikirim rangkap dua dan diberi

pengantar dari Kepala Satuan Kerja, serta dialamatkan kepada :

Redaksi Pelaksana Perspektif, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Perkebunan, Jl. Tentara Pelajar No.1 Bogor 16111, Telp. 0251-

8313083, Fax. 0251– 8336194.

Page 85: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI
Page 86: REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI