REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI
Transcript of REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI
REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI
Volume 18 Nomor 1, Juni 2019
TERAKREDITASI No. 21/E/KPT/2018
KATA PENGANTAR
Majalah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri Volume 18 Nomor 1, Juni 2019
memuat 6 artikel karya tulis ilmiah. Topik yang disajikan meliputi: (1) Peduli Konservasi
Tanah dan Air Tinggal Slogan? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat; (2) Prospek
Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol (C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama
Lalat Buah Bactrocera Spp. (Diptera : Tephritidae); (3) Pemanfaatan Brotowali (Tinospora
crispa (L.) Hook.F & Thomson) Sebagai Pestisida Nabati; (4) Kelayakan Teknis
Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering; (5) Peranan Agens Hayati dalam
Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih pada Tanaman Karet; dan (6) Perbanyakan
Iles-Iles (Amorphophallus Spp.) Secara Konvensional dan Kultur In Vitro Serta Strategi
Pengembangannya.
Semoga artikel yang disajikan dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan
bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, Juni 2019
Ketua Dewan Redaksi
Prof. Dr. Ir. Deciyanto Soetopo
ISSN 1412-8004
e-ISSN 2540 - 8240
REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI
Volume 18 Nomor 1, Juni 2019
TERAKREDITASI No. 21/E/KPT/2018
Penanggung Jawab Redaksi : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Penanggung Jawab Pelaksana : Ir. Jelfina C. Alouw, M.Sc, Ph.D.
Pemimpin Redaksi merangkap Anggota : Prof. Dr. Ir. Deciyanto Soetopo (Entomologi)
Anggota Redaksi :
Prof. Dr. Ir. Elna Karmawati (Entomologi) Prof. Dr. Dra. Endang Gati Lestari (Bioteknologi Pertanian)
Dr. Ir. I Ketut Ardana (Sosial Ekonomi Pertanian) Dr. Ir. Suci Wulandari (Sosial Ekonomi Pertanian)
Dr. Ir. Saefudin (Agronomi)
Redaksi Pelaksana :
Sudarsono, SE Erriani Kristiyaningsih, S.Si, M.Si Anjas Satria Pamungkas, S.Ikom
Agus Budiharto
Alamat Redaksi : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Jl. Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111 Telp. (0251) 8313083. Faks. (0251) 8336194
e-mail :[email protected] Website: www.perkebunan.litbang.pertanian.go.id
Sumber Dana : DIPA 2019, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan
Foto Sampul Depan :
Tanaman Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.f & Thomson)/foto: Nurhayati (inset: Bagian batang dan
daun (atas/bawah)
Disain Sampul dan Tata Letak : Agus Budiharto
Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, memuat makalah tinjauan (review) penelitian tanaman perkebunan, terbit pertama kali Juni 2002 frekuensi terbit 2 (dua) kali setahun. Tulisan dan gambar yang dimuat dalam majalah ini dapat dikutip dengan mencantumkan (menuliskan) sumbernya.
ISSN 1412-8004
e-ISSN 2540 - 8240
REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI
Volume 18 Nomor 1, Juni 2019
TERAKREDITASI No. 21/E/KPT/2018
DAFTAR ISI
Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan? Studi Kasus
Lahan Perkebunan Rakyat
BARIOT HAFIF ....................................................................................................................................... 01 - 15
Prospek Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol
(C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama Lalat Buah Bactrocera Spp.
(Diptera : Tephritidae)
AGUS KARDINAN .............................................................................................................. 16 – 27
Pemanfaatan Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.F & Thomson)
Sebagai Pestisida Nabati
WIRATNO, HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO ................................................................ 28 - 39
Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim
Kering
BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID .............................................................. 40 - 51
Peranan Agens Hayati dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar
Putih pada Tanaman Karet
WIDI AMARIA, KHAERATI, dan RITA HARNI ................................................................................ 52 – 66
Perbanyakan Iles-Iles ( Amorphophallus Spp.) Secara Konvensional
dan Kultur In Vitro serta Strategi Pengembangannya
MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM ....................................................................................... 67 – 78
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN Jl. Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111
2019
ISSN 1412-8004
e-ISSN 2540 - 8240
Perspektif Vol. 18 No. 1 /Jun 2019. Hlm 01- 15 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n1.2019, 01 -15
ISSN: 1412-8004
Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 1
PEDULI KONSERVASI TANAH DAN AIR TINGGAL SLOGAN?
STUDI KASUS LAHAN PERKEBUNAN RAKYAT
A Soil and Water Conservation Only be a Slogan?
Case Study of Land of Smallholder Plantation
BARIOT HAFIF
Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar
Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops
Jln. Raya Pakuwon Km 2, Parungkuda Sukabumi, Indonesia
e- mail: [email protected]
ABSTRAK
Pengelolaan lahan yang kurang peduli kaidah
konservasi tanah dan air (KTA) berkontribusi nyata
terhadap kerusakan lahan. Hal itu diantaranya terjadi
pada areal perkebunan rakyat yang kebanyakan
dikelola secara konvensional. Dari 26,5 juta ha luas
perkebunan nasional, 65% merupakan lahan
perkebunan rakyat yang dominan berada pada
topografi berlereng dengan rata-rata umur tanaman
telah di atas 25 tahun. Cara pengelolaan konvensional
yang mendorong terjadinya erosi dan degradasi lahan
dan umur tanaman yang semakin tua mengakibatkan
produksi tanaman cenderung terus menurun, sehingga
jauh dibawah produktivitas perkebunan Swasta dan
Negara. Agar kerusakan sumberdaya lahan tidak
berkelanjutan dan produktivitas perkebunan rakyat
meningkat, perlu adanya revolusi kebijakan khususnya
terhadap KTA dan penerapan teknologinya. Namun
untuk sampai pada tahap tersebut akan menghadapi
tantangan seperti curah hujan dan intensitas hujan
tinggi, lahan berlereng, dan erodibilitas tanah tinggi.
Tantangan lain ialah efek erosi yang bertahap dalam
menurunkan produktivitas lahan, dan penerapan
teknologi KTA kadang tidak berpengaruh langsung
terhadap peningkatan produksi tanaman. Tantangan
selanjutnya adalah petani kebanyakan lemah dalam
modal dan kepercayaan mereka masih rendah untuk
berinvestasi ke lahan, disebabkan tingginya fluktuasi
harga komoditas perkebunan. Peluang yang
diharapkan memotivasi masyarakat perkebunan untuk
lebih peduli KTA antara lain perekonomian petani
perkebunan membaik dan ekspor komoditas
perkebunan berperan nyata sebagai sumber devisa
negara, dan teknologi KTA dapat berperan dalam
mitigasi perubahan iklim dan penyelamatan hutan
tropis. Implikasi kebijakan untuk hal itu antara lain
memberi semangat baru terhadap masyarakat
perkebunan untuk lebih peduli KTA, memperbaiki
Institusi penanggungjawab Tupoksi, memberikan
insentif terhadap setiap aksi konservasi, melindungi
petani dari fluktuasi harga komoditas dan
mempromosikan program KTA yang mampu
memperbaiki kinerja komoditas dalam waktu relatif
singkat seperti Program Nasional pengayaan bahan
organik tanah.
Kata kunci: perkebunan rakyat, konservasi tanah dan
air, erosi, degradasi
ABSTRACT
In inresponsible management of soil and water
conservation (SWC) contributes significantly to land
degradation. It occurs on smallholder plantations,
which are mostly conventionally managed. Of the 26.5
million ha of the national plantation, 65% is the
smallholder plantation which is dominantly located on
sloping topography with an average age of plants are
over 25 years. Inappropriate management, erosion,
land degradation and senile plants are some reasons
that the smallholder plantation productivity is below
the Private and State plantations. To avoid further
destruction of land resources and to increase the
productivity of smallholder plantations, the SWC and
strategies of its application require a policy revolution.
To reach that stage, however, it would face some
challenges such as high rainfall intensity, sloping land,
and high erodibility of soil. Other challenge, are the
gradual effects of erosion in reducing land
productivity, and the application of SWC technologies
sometimes does not directly affect crop production.
The next challenge is the farmers have low capital and
doesn't trust to invest in the land, due to high
fluctuation of the commodity price. The opportunity to
motivate the plantation community to care more about
SWC is through the economic improvement of
plantation farmers and the role of export of plantation
2 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :01 - 15
commodities that are quite good into foreign exchange.
In addition, SWC technology can also play a role in
mitigating climate change and saving tropical forests.
The policy implications for all include giving a new
spirit to the plantation community to care more about
SWC, provide incentives for every conservation action,
commodity price protection and a National Program
for soil organic matter enrichment.
Keywords: smallholder plantation, soil and water
conservation, erosion, degradation
PENDAHULUAN
Penurunan kualitas tanah (soil degradation)
bahkan sampai ke tingkat kerusakan/kritis yang
berdampak langsung ke kehidupan manusia
seperti terjadinya bencana longsor, air bah,
pergerakan tanah (soil creep) sudah sering kita
dengar. Salah satu faktor pendorong untuk
kejadian itu adalah aktivitas manusia. Bagian
dari aktivitas manusia yang berperan cukup
besar medorong terjadinya degradasi lahan
adalah cara pengelolaan lahan pertanian yang
kurang memperhatikan kaidah-kaidah
konservasi tanah dan air, seperti yang banyak
dilakukan pada lahan perkebunan rakyat (Hobbs,
2007).
Di Indonesia luas lahan perkebunan rakyat
berkisar 17,2 juta ha atau 65 % dari total luas
perkebunan nasional seluas 26,5 juta ha (Badan
Pusat Statistik, 2018). Perkebunan rakyat
merupakan penggerak ekonomi rakyat dan
berperan besar sebagai penyumbang devisa
Negara, berkontribusi terhadap penyediaan
lapangan pekerjaan di sektor jasa dan
perdagangan di pedesaan, berpengaruh terhadap
stabilitas ekonomi makro, dan sumber bahan
baku bagi industri hilir hasil pertanian (Susila
and Dradjat, 2001; Mayrowani, 2013). Komoditas
perkebunan yang berkontribusi besar terhadap
devisa Negara adalah kelapa sawit, yaitu sebesar
20,34 miliar dolar US. Dari total luas perkebunan
kelapa sawit nasional yaitu 14,1 juta ha, 40%
merupakan perkebunan kelapa sawit rakyat
(Badan Pusat Statistik, 2018).
Produktivitas komoditas di lahan
perkebunan rakyat secara rata-rata lebih rendah
dibanding produktivitas perkebunan swasta atau
Negara (Chalid, 2011; Badan Pusat Statistik,
2018). Produktivitas rendah antara lain
disebabkan oleh kemunduran kualitas lahan
perkebunan rakyat dan akibat cara pengelolaan
lahan yang masih konvensional (Hobbs, 2007).
Cara konvensional cenderung memacu
kehilangan bahan organik tanah dan
menghilangkan banyak simpanan hara tanah
serta menurunkan daya simpan air tanah, juga
laju dan volume air yang masuk ke badan tanah
(infiltration). Akibatnya kapasitas aliran
permukaan dan erosi meningkat (Sutrisno dan
Heryani, 2013).
Sejauh ini cara pengelolaan perkebunan
rakyat yang relatif cepat berkembang hanyalah
kebun kelapa sawit. Petani perkebunan kelapa
sawit cenderung lebih cepat mengikuti cara
budidaya perkebunan swasta dan Negara, seperti
dalam menggunakan benih (klon) unggul, pupuk
kimia, pestisida, dan pemeliharaan tanaman
(Lifianthi et al., 2012). Meskipun demikian secara
rata-rata, produktivitas CPO (crude palm oil)
perkebunan kelapa sawit rakyat (2-3 ton/ha)
hanya separuh dari produktivitas perkebunan
kelapa sawit swasta (5-6 ton/ha) (Nurfatriani et
al., 2017).
Peduli KTA sangat penting dalam
pengelolaan lahan perkebunan rakyat yang
banyak dilakukan pada lahan miring. Cukup
banyak program percontohan dilaksanakan oleh
pemerintah untuk mengembangkan dan
mensosialisasikan sistem usahatani yang peduli
KTA atau diistilahkan sistem usahatani
konservasi (SUK) pada lahan-lahan berlereng,
khususnya yang berada pada daerah aliran
sungai (DAS). Program-program tersebut sudah
dilakukan secara intensif semenjak tahun delapan
puluhan seperti Proyek Penyelamatan Hutan
Tanah dan Air di DAS Citanduy (1982-1988);
Farming Systems Research – Upland Agriculture and
Coservation Project (FSR-UACP) di DAS
Jratunseluna dan Brantas (1984-1994); Yogyakarta
Upland Area Development Project (YUADP) tahun
1992 – 1996; Proyek Pembangunan Penelitian
Pertanian Nusa Tenggara, 1986-1995; Managing of
Soil Erosion Consortium (MSEC) di Jawa Tengah,
1995-2004 dan cukup banyak proyek lainnya.
Sayangnya output dari program-program
tersebut fisiknya lebih terlihat selama proyek
berjalan, selanjutnya rangkaian teknologi
konservasi tanah dan air yang seharusnya
Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 3
berkembang ke masyarakat pengguna lahan,
seperti lenyap ditelan waktu, kecuali teras-teras
bangku pengendali erosi yang dibangun pada
lahan-lahan miring.
Makalah ini bermaksud mengingatkan
masyarakat KTA untuk kembali bersinergi
menyuarakan pentingnya kepedulian terhadap
KTA, khususnya penyelamatan sumberdaya
lahan dan air pada lahan perkebunan rakyat
yang masih banyak dikelola secara konvensional.
KARAKTERISTIK DAN PRODUKTIVITAS
PERKEBUNAN RAKYAT
Karakteristik
Perkebunan rakyat dengan berbagai
komoditas seperti kelapa dalam, karet, kelapa
sawit, kopi, kakao, teh, tebu dan juga komoditas-
komoditas rempah telah berkembang semenjak
jaman Hindia Belanda yaitu diawali pada jaman
tanam paksa (culturstelsel). Di sebagian besar
tempat, sampai saat ini cara pengelolaan lahan
perkebunan rakyat belum banyak berubah baik
dari sisi teknis budidaya, cara pemeliharaan,
prosesing hasil dan bahkan pemasaran
(Aklimawati dan Mawardi, 2014).
Saat ini di beberapa daerah sentra produksi,
banyak tanaman perkebunan rakyat telah
berumur > 25 tahun, seperti tanaman kopi
robusta di daerah Lampung Barat (Hafif et al.,
2014a), kopi Robusta dan Arabika di Tabanan
Bali (Sutedja, 2018), tanaman kelapa sawit rakyat
di Kabupaten Muara Bungo Provinsi Jambi
(Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, dalam Sapitri
et al., 2014), tanaman kakao rakyat di Kabupaten
Sikka (Murwito dan Mulyati, 2013), tanaman
karet rakyat di Sumatera Selatan (Candra et al.,
2008) dan sebagian besar tanaman kelapa dalam
rakyat bahkan telah berumur > 50 tahun
(Benhard, 2005). Tanaman perkebunan rakyat
biasanya berkembang dari benih asalan, tidak
dipupuk atau dipupuk seadanya/tidak sesuai
kebutuhan tanaman, intensitas pemeliharaan dan
pemberantasan gulma tanaman rendah, dan
teknologi pascapanen rendah (Candra et al.,
2008). Disisi lain kalau petani menggunakan
pestisida untuk pengendalian organisme
pengganggu tanaman (OPT), takaran yang
dipakai cenderung melebihi takaran rekomendasi
(Edwina et al., 2012).
Petani perkebunan tergolong malas dalam
mengikuti petunjuk cara budidaya yang benar.
Sebagai contoh sedikit sekali petani yang
menanam tanaman penaung dan pemangkasan
daun secara berkala dalam budidaya tanaman
kopi robusta di Lampung Barat, meskipun
percontohan cara budidaya kopi yang baik telah
dibangun oleh Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia
(AEKI) di daerah tersebut.
Tabel 1. Luas areal perkebunan besar dan perkebunan rakyat serta persentase luas perkebunan rakyat
terhadap total luas perkebunan nasional
Komoditas
Luas Perkebunan Besar (Swasta+Negara)
Luas Perkebunan Rakyat
Luas Nasional
Persentase Kepemilikan Rakyat dari Luas
Nasional (ribu ha) (%)
Karet 555,8 3.103,3 3.659,1 84,8 Kelapa dalam 36,2 3.617,0 3.653,2 99,0 Kelapa sawit 8.417,3 5.613,3 14.030,6 40,0 Kopi 48,9 1.204,9 1.253,8 96,1 Kakao 42,8 1.687,2 1.730,0 97,5 Teh 61,3 52,4 113,7 46,1 Cengkeh 9,2 538,9 548,1 98,3 Tebu 158,5 267,5 426,0 62,8 Tembakau 0,7 185,0 185,7 99,6 Lada - 175,1 175,1 100,0 Pala - 179,7 179,7 100,0
Jambu mete - 510,1 510,1 100,0 Nilam - 18,8 18,8 100,0 Total 9.330,7 17.153,2 26.483,9 64,8
Sumber: (Badan Pusat Statistik, 2018)
4 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :01 - 15
Produktivitas Perkebunan Rakyat
Umumnya lahan perkebunan rakyat
(smallholder plantation) lebih luas dari pada
perkebunan besar (swasta dan Negara). Luas
perkebunan rakyat yang lebih sedikit dibanding
luas lahan perkebunan besar hanyalah
perkebunan kelapa sawit (Tabel 1). Meskipun
lebih luas, produktivitas komoditas perkebunan
rakyat rata-rata lebih rendah dari pada
produktivitas perkebunan besar (Tabel 2). Seperti
yang dikemukakan Direktorat Jenderal
Perkebunan, (2018) permasalahan yang dihadapi
kebanyakan petani perkebunan rakyat untuk
memperbaiki kinerja tanaman perkebunan antara
lain kekurangan modal, produktivitas tanaman
menurun akibat kesuburan tanah menurun
(degradasi), serangan organisme pengganggu
tanaman (OPT) relatif tinggi yang berakibat
kuantitas dan mutu hasil rendah, serta peranan
kelembagaan petani belum optimal.
EROSI DAN DEGRADASI LAHAN PADA
AREAL PERKEBUNAN RAKYAT
Erosi
Hasil pengukuran besaran erosi dari lahan
perkebunan rakyat tanpa penerapan teknologi
KTA untuk berbagai komoditas, begitu beragam
(Tabel 3). Seperti pada areal perkebunan kopi
robusta rakyat di Lampung Barat, erosi terukur
mulai dari 2 sampai 37 ton/ha/tahun. Di bawah
tanaman kopi berumur 2 tahun pada lahan
berkemiringan 15% yang selalu disiang bersih
terukur erosi sebesar 22,7 ton/ha (Afandi et al.,
2002). Sementara dari lahan perkebunan kopi
berkemiringan 30 % dengan umur tanaman kopi
1 tahun dan hanya sekitar 12% tanah yang
tertutupi kanopi, terukur erosi sebesar 33,6
ton/ha/tahun (Widianto et al., 2004).
Sebaliknya Dariah et al., (2004) pada lahan
dengan kemiringan 50-60% dan tanaman kopi
berumur 3 tahun, melaporkan erosi yang lebih
kecil yaitu < 2 ton/ha. Perbedaan hasil
pengukuran besar erosi disebabkan oleh banyak
faktor, diantaranya sifat tanah, pola hujan dan
kerapatan penutupan kanopi oleh tanaman kopi
dan tanaman lainnya. Sebagai perbandingan
erosi pada lahan penanaman kopi yang
menggunakan tanaman pelindung di Negara
tropik lain seperti Venezuela, terukur cukup
rendah yaitu < 2 ton/ha/tahun, sementara tanpa
tanaman pelindung erosi mencapai 7
ton/ha/tahun (Hartemink, 2007). Menurut Dariah
et al., (2003) pada areal perkebunan
berkemiringan > 50%, erosi lebih besar terjadi
saat kondisi tanah banyak yang terbuka, yaitu
pada waktu pembukaan lahan dan umur
tanaman masih muda. Khusus untuk tanaman
kopi, besaran erosi akan jauh menurun saat
tanaman telah mencapai umur 2 tahunan
Tabel 2. Produksi dan produktivitas beberapa komoditas perkebunan rakyat dibandingkan dengan
perkebunan swasta dan Negara tahun 2016-2017
Komoditas Luas (ribu ha) Produksi (ribu ton) Produktivitas (ton/ha)
PR PBS PBN PR PBS PBN PR PBS PBN
Kelapa sawit
(kernel)
4.656,6 6.509,9 747,9 2.173,13 3.985,4 487,3 3,22 4,13 3,81
Karet 3.115,7 325,6 230,8 2.638,1 364,5 227,3 0,98 1,49 1,43
Kelapa dalam 3.507,8 32,8 3,87 2.859 30,22 2,52 1,11 1,06 1,28
Teh 53,1 29,1 36,2 49,34 39,34 57,47 1,44 1,51 1,92
Kakao 1.659,6 31,87 32,34 622,5 5,33 11,3 0,77 0,84 0,83
Kopi 1.180,6 18,9 26,78 602,4 2,75 5,51 0,69 0,97 1,02
Tebu 240, 2 136,5 81,6 1.238,7 752,7 341,1 5,16 5,52 4,18
Rata-rata 1,91 2,22 2,07
Sumber: (Badan Pusat Statistik, 2018)
Keterangan: PR= perkebunan rakyat,
PBS=perkebunan besar swasta,
PBN=perkebunan besar Negara
Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 5
Erosi juga terjadi pada areal perkebunan
kakao tanpa penerapan KTA di Sulawesi
mencapai 11,3 ton (Monde, 2010). Namun dengan
penerapan teknologi KTA berupa rorak erosi bisa
ditekan sampai 76%. Sebagai perbandingan erosi
terukur dari kebun kakao monokultur di
Malaysia juga dilaporkan berkisar 11
ton/ha/tahun, namun bila dalam sistem
multikultur dengan tanaman pisang dan tanah
dibawah kakao disiang bersih, erosi terukur lebih
besar bahkan mencapai 70 ton/ha/tahun
(Hartemink, 2007).
Pada lahan perkebunan kelapa sawit rakyat
berkemiringan 9-31 % di Kabupaten Siak Riau
terukur erosi selama 4 bulan sebesar 4,1 ton/ha
(Ardianto dan Amri, 2017). Erosi yang lebih besar
yaitu 57 ton/ha terjadi pada perkebunan kelapa
sawit rakyat berumur 5-7 tahun pada lahan
berkemiringan 30-40%, di kabupaten Bireuen,
Aceh. Penerapan teknologi KTA berupa
penanaman tanaman penutup tanah Mukuna
pada kelapa sawit tersebut mampu menurunkan
erosi sampai 11 ton/ha (Tabel 4) (Fuady et al.,
2014).
Pengukuran erosi dengan cara memonitor
kehilangan lapisan tanah olah pada perkebunan
karet rakyat yang baru ditanam, dimana
diterapkan pola tanam tanaman sela dengan
nanas, padi gogo dan umbi-umbian, dilakukan
oleh Bernas (2009). Hasil pengamatan
memperlihatkan pada lahan berkemiringan 2, 6,
9, 12, dan 18%, terhitung besaran erosi masing-
masing 6,96; 38,36; 78,96; 127,76; dan 167,04
ton/ha/tahun. Dalam hal ini faktor dominan yang
memperbesar kejadian erosi adalah kemiringan
lahan (Tabel 3), bahkan Bernas, (2009)
berpendapat teknologi KTA sudah harus
diterapkan pada lahan penanaman karet
berkemiringan 6%.
Erosi dari lahan perkebunan tembakau
rakyat di Kabupaten Temanggung dilaporkan
cenderung membawa ke pembentukan lahan
kritis. Pada lahan penanaman tembakau
Tabel 3. Besar erosi dari lahan perkebunan rakyat tanpa penerapan teknik konservasi tanah dan air
Komoditas Umur
Tanaman
Kemiringan
Lahan (%)
Erosi Lama
Pengamatan
Sumber
Kopi 2 tahun 30 22,7 ton/ha/th 1 tahun (Afandi et al., 2002)
1 tahun 30 37 ton/ha/th 3 tahun (Widianto et al., 2004)
3 tahun 50-60 < 2 ton/ha/th 2 tahun (Dariah et al., 2004)
Kakao
5-12 tahun 8-35 11,3 ton/ha/th 7 bulan (Monde, 2010)
15 tahun 9 7,72 ton/ha 1 tahun (Widjajanto dan Gailea,
2008) 38 14,54 ton/ha
Kelapa Sawit
5-7 bulan 15-25 45 ton/ha/4 bln 4 bulan (Fuady et al., 2014)
30-40 57 ton/ha/4 bln
7-25 bulan 15-25 40 ton/ha/4 bln
30-40 55 ton/ha/4 bln
7-8 tahun 10-30 0,24 ton/ha1 6 bulan (Sunarti, 2009)
0,23 ton/ha2
Karet
7-8 tahun 10-30 0,58 ton/ha3 6 bulan (Sunarti, 2009)
0,21 ton/ha4
0,12 ton/ha5
Karet6 2 tahun 2 7,0 ton/ha/th 6 bulan (Bernas, 2009)
6 38,4 ton/ha/th
9 79,0 ton/ha/th
12 128 ton/ha/th
18 167 ton/ha/th
Tembakau 43 30,22 ton/ha/th 1 tahun (Djajadi et al., 2008)
Keterangan: 1 kelapa sawit tanpa disiang, 2 kelapa sawit dicampur pisang, 3 karet disiang bersih, 4 karet tanpa disiang, 5 karet
bercampur hutan, 6 karet intercropping dengan padi, nanas dan umbi-umbian
6 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :01 - 15
berkemiringan 43%, tanpa penerapan teknik
KTA, erosi mencapai 30,22 ton/ha/tahun (Tabel 3)
(Djajadi et al., 2008).
Degradasi Lahan
Degradasi lahan perkebunan selain
terindikasi dari memburuknya pertumbuhan dan
produksi tanaman juga dapat diinterpretasi dari
kemunduran sifat fisika dan kimia tanah.
Kemunduran sifat kimia tanah, karena hilangnya
unsur hara dan bahan organik tanah oleh erosi.
Memburuknya sifat fisika tanah oleh erosi akan
menurunkan kapasitas infiltrasi dan kemampuan
tanah dalam menahan air, meningkatkan
kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah dan
menurunkan kemantapan struktur tanah.
Sebagai ilustrasi dari dampak degradasi
tanah yakni di daerah Kabupaten Temanggung,
yaitu degradasi tanah menyebabkan
berkurangnya lahan untuk areal penanaman
tembakau. Dampaknya kebupaten ini tidak bisa
mencapai swasembada tembakau. Penyebab
utama dari degradasi tanah di daerah tersebut
adalah erosi. Bahkan dibeberapa tempat erosi
menyebabkan terbentuknya lahan kritis yang
tidak bisa lagi ditanami dengan tembakau.
Diperkirakan di daerah tersebut khususnya di
wilayah Sub‐DAS Progo Hulu, didapatkan lahan
kritis seluas 3.523 ha (GGWRM‐EU dalam
Suyana, 2009). Pengolahan tanah yang intensif
dan pembuatan bedeng searah lereng untuk
penanaman tembakau pada lahan berkemiringan
> 40% nyata mempercepat laju erosi (Djajadi et al.,
2008).
Hasil penelitian Pambudi dan Hermawan,
(2010) di Bengkulu Utara mendapatkan produksi
kelapa sawit cepat menurun pada lahan yang
semakin curam. Pada lahan tersebut struktur
tanah granular berkurang, demikian juga bahan
organik, hara, jasad-jasad renik dan cacing tanah
(Sabrina et al., 2009). Degradasi lahan perkebunan
kopi rakyat di Lampung Barat selain terindikasi
oleh rendahnya produktivitas kopi robusta yaitu
dalam tahun 2013 rata-rata produksi hanya 500
kg/ha, juga ditunjukkan oleh buruknya sifat
kimia tanah areal penanaman kopi, yaitu pH
tanah masam (4,28 – 4,91), tanah miskin hara (rat-
rata hara kategori rendah) dan kandungan Al-dd
tinggi (3,51 cmol(+)/kg) (Hafif et al., 2014b).
Dariah et al., (2003) juga melaporkan erosi yang
lebih besar pada lahan perkebunan kopi rakyat di
Lampung Barat yaitu mencapai 37 ton/ha,
berkorelasi dengan kondisi sifat fisika tanah yang
menurun yaitu porositas < 60%, pori makro tanah
< 13% dan permeabilitas tanah < 3 cm/jam. Cara
budidaya kopi secara monokultur lebih cepat
menurunkan kualitas tanah dibanding cara
Tabel 4. Hasil penelitian pengaruh teknologi KTA terhadap erosi pada lahan-lahan perkebunan rakyat
Teknologi KTA Komoditas Erosi (ton/ha) Penurunan
Erosi dari
kontrol
(%)
Sumber
Rumput paspalum sebagai
cover crop*
Kopi Robusta 0 100 (Afandi et al., 2002)
Rorak dengan mulsa vertikal Kakao 2,29 76 (Monde, 2010)
Intercropping padi, kedelai
dan strip mukuna
Kelapa sawit 11,96 79 (Fuady et al., 2014)
Sistem agroforestri Karet 0,12 79 (Sunarti, 2009)
Sistem agroforestry, pada
lereng 9%
Kakao 1,59 79 (Widjajanto dan Gailea,
2008)
Sistem agroforestry, pada
lereng 38%
4,06 72
Flemingia pada bidang
vertikal teras, rumput setaria
pada bibir teras dan rorak.
Tembakau 16,67 44,5 (Djajadi et al., 2008)
Keterangan: *berdampak kurang baik terhadap pertumbuhan kopi robusta
Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 7
multistrata pada daerah tersebut (Dariah et al.,
2005).
Degradasi lahan yang buruk juga terjadi
pada areal perkebunan karet rakyat yang
ditanam secara monokultur dengan budidaya
siang bersih di Muara Bungo Jambi. Tanah di
bawah cara pengelolaan tersebut didapatkan
lebih padat (Berat isi 1,24 g/cm3), dengan total
ruang pori tanah paling rendah (57%), dan
kandungan C-organik tanah juga paling rendah
(1,36%) (Sunarti, 2009).
Hasil penelitian Datukramat et al. (2013), di
desa Sejahtera Kabupaten Sigi Sulteng, juga
mendapatkan kondisi fisika tanah areal
penanaman kakao telah terdegradasi yang
ditandai oleh tekstur tanah lempung liat berpasir,
permeabilitas agak lambat, berat jenis (bulk
density) tinggi, dan porositas tanah kurang baik.
Sifat fisika tersebut lebih buruk dari sifat fisika
tanah daerah itu dalam kondisi alami (hutan)
yaitu tekstur lempung berpasir, permeabilitas
sedang, dan porositas baik. Perubahan tekstur
tanah dari lempung berpasir ke lempung liat
berpasir adalah indikasi hilangnya sebagian
partikel debu tanah oleh erosi.
Menurut Yasin (2007) degradasi tanah
dibawah hamparan perkebunan kelapa sawit
rakyat juga terjadi di Dhamasraya Sumatera
Barat. Hal itu terindikasi dari menurunnya
kandungan karbon organik dan meningkatnya
berat jenis tanah dibandingkan tanah hutan
sebelum konversi. Kealpaan petani untuk
menanam tanaman penutup diantara kelapa
sawit dan tidak mengembalikan tandan kelapa
sawit ke lahan adalah faktor penyebab terjadinya
degradasi tanah.
PENGARUH TEKNOLOGI KTA
TERHADAP PRODUKSI KOMODITAS
Penerapan teknologi KTA, kadang
memerlukan waktu untuk berpengaruh positif
terhadap peningkatan produksi komoditas,
meskipun secara cepat mampu mengendalikan
erosi. Hasil penelitian Marni (2009) di Lampung
Selatan mendapatkan produksi kelapa sawit lebih
tinggi pada lahan yang diperlakukan dengan
guludan dan rorak pengendali erosi yaitu
masing-masing 25,3 dan 24,2 ton/ha/tahun,
sementara pada lahan kontrol produksi hanya
berkisar 22,7 ton/ha/tahun. Hasil yang hampir
mirip didapatkan Murtilaksono et al., (2009) yaitu
produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit
dari lahan dengan aplikasi teras gulud dan rorak
masing-masing 25,2 dan 23,6 ton/ha, sedangkan
dari lahan tanpa aplikasi KTA hanya 20,8
ton/ha/tahun. Alasan terjadinya hal itu oleh
kedua peneliti hampir mirip yaitu teknologi KTA
tersebut mampu meningkatkan ketersediaan air
untuk tanaman.
Hasil penelitian Evizal et al. (2008) di
Lampung Barat mendapatkan produksi tanaman
kopi robusta yang diberi penaung tanaman
gamal (Gliricidia sepium) dan dadap (Erythrina
indica) masing-masing 0,99 dan 0,81 ton/ha/tahun
adalah lebih baik dibanding produksi biji kopi
tanpa penaung yaitu 0,58 ton/ha/tahun.
Perbedaan hasil disebabkan tanaman kopi yang
diberi penaung mengalami stress cekaman air
pada musim kemarau, karena tanaman penaung
merontokkan daun saat tersebut. Cekaman
lingkungan seperti itu menurut peneliti
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
generatif kopi (pembungaan dan pembuahan),
sehingga hasil kopi dengan tanaman penaung
lebih baik.
Penelitian pengaruh KTA terhadap kakao di
Sulawesi Tengah dilaporkan Widjajanto dan
Gailea, (2008) yakni dalam bentuk agroforestri,
perkebunan kakao rakyat memberikan
pendapatan yang lebih tinggi yaitu mencapai Rp.
44.047.802/ha/tahun, sedangkan secara
monokultur hanya mendapatkan hasil sebesar
Rp. 21.803.621/ha/tahun. Nilai pendapatan yang
lebih tinggi pada sistem agroforestri disebabkan
adanya tambahan pendapatan dari hasil
penjualan kayu-kayuan dan tanaman lainnya
seperti alpukat dan kemiri.
Namun demikian beberapa hasil penelitian
mengindikasikan untuk komoditas tertentu perlu
lebih selektif dalam memilih teknologi KTA.
Seperti hasil penelitian Djajadi (2000) di
Temanggung mendapatkan aplikasi teknologi
KTA berupa teras bangku, guludan dan rorak
cenderung menurunkan produksi tanaman
tembakau karena efeknya yang lebih lama dalam
menjaga kelembaban tanah yang tinggi. Kondisi
itu kurang sesuai dengan kebutuhan
8 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :01 - 15
pertumbuhan tanaman tembakau yang sensitif
terhadap kelembaban tanah berlebihan. Contoh
lain adalah penanaman rumput paspalum
sebagai tanaman penutup tanah pada lahan
penanaman kopi Robusta. Keberadaan tanaman
penutup tersebut ternyata menimbulkan
persaingan dalam hal penggunaan air dan hara
dengan tanaman kopi robusta (Afandi et al.,
2002).
TEKNOLOGI KTA EKSISTING PADA
LAHAN PERKEBUNAN RAKYAT
Berbagai teknologi konservasi tanah dan air
telah diperkenalkan ke petani melalui bimbingan
teknis, percontohan dan penyuluhan. Sayangnya
masih sulit ditemui aplikasi teknologi-teknologi
tersebut di hamparan lahan perkebunan rakyat
pada skala cukup luas. Kebanyakan teknologi
KTA yang dterapkan kadang masih berbau
bantuan. Artinya teknologi tersebut hadir di
lahan petani karena adanya embel-embel bantuan
dari pemerintah daerah atau pusat.
Salah satu teknologi KTA yang cukup
favorit diterapkan ditingkat petani adalah rorak
(jebakan air untuk penahan laju aliran
permukaan). Ukuran rorak yang dibuat petani di
permukaan lahan perkebunan cukup beragam.
Namun secara umum panjang 2 – 4 m, lebar 30-
50 cm dan dalam berkisar 30-40 cm. Contoh
rorak yang dibuat petani pada lahan perkebuan
karet di Jambi, lada di Lampung Utara (Rokhmah
dan Hafif, 2016) dan kakao di Kalimantan Timur
(Rahayu, 2017) ditampilkan pada Gambar 1.
Teknologi KTA lainnya yang juga ditemui
pada areal perkebunan rakyat di beberapa daerah
seperti teras bangku dan rorak sederhana, serta
menumpuk serasah sisa tanaman secara
melintang lereng. Teknologi-teknologi tersebut
diantaranya ditemui di lahan perkebunan kopi
rakyat di Lampung Barat , dan perkebunan
kelapa sawit rakyat di Waykanan Lampung
Gambar 1. Keragaan teknik KTA berupa rorak pada (A) lahan perkebunan karet rakyat di Jambi, (B)
perkebunan lada rakyat di Lampung Utara (Rokhmah dan Hafif, 2017) dan (C) perkebunan
kakao rakyat di Kaltim (Rahayu, 2017)
Gambar 2. Keragaan teknologi KTA sederhana (A = tumpukan serasah melintang lereng pada
perkebunan kelapa sawit rakyat di Waykanan Lampung dan B = teras bangku pada
perkebunan kopi dan C = rorak sederhana pada perkebunan kopi rakyat di Lampung Barat
Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 9
(dokumentasi pribadi penulis). Keragaan
penerapan teknologi KTA tersebut disajikan pada
Gambar 2.
TANTANGAN DAN PELUANG DALAM
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KTA
Tantangan
Tantangan yang akan dihadapi dalam
memotivasi masyarakat tani untuk peduli KTA
dan mengadopsi serta menerapkan teknologi
KTA di lahan dapat memilah menjadi beberapa
bagian diantaranya tantangan dari kondisi lahan,
sifat erosi dan teknologi KTA serta sosial-
ekonomi petani.
1. Kondisi lahan
Laju erosi begitu besar di Indonesia selain
disebabkan oleh cara pengelolaan lahan yang
tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi
tanah dan air, juga disebabkan karakteristik
sumberdaya lahan seperti curah hujan tinggi,
lahan berlereng, dan kebanyakan tanah sangat
peka terhadap erosi (Adimihardja, 2008).
Seperti disajikan di dalam Tabel 5, lebih dari
60 % wilayah Indonesia mempunyai curah hujan
tahunan > 2000 mm/tahun (Subagyono et al
dalam Hafif, 2016). Mengendalikan sifat hujan
yang sangat erosive karena intensitas dan energi
kinetik tinggi merupakan tantangan yang berat.
Perkebunan rakyat kebanyakan berkembang
pada lahan kering dari topografi bergelobang
sampai berbukit bahkan bergunung (kemiringan
lahan > 40 %). Dari luas lahan yang bisa digarap
untuk pertanian di Indonesia yaitu seluas 87,37
juta ha, lebih kurang 34,51 juta ha berada pada
topografi berbukit sampai bergunung (lereng >
30%) dan 23,79 juta ha berada pada topografi
bergelombang sampai berbukit (lereng 15 - 30%)
(Tabel 6) (Subiksa et al., 2012). Artinya kondisi
topografi merupakan tantangan lainnya dalam
pengendalian erosi.
Kendala lain adalah sifat tanah yang peka
terhadap erosi (erodibility). Dua jenis tanah yang
banyak dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan
dan pertanian di Indonesia adalah Ultisols
(Podsolik merah kuning) (41,9 juta ha) dan
Inceptisols (Kambisol, Mediteran, tanah Aluvial)
(40,9 juta ha) (Mulyani et al., 2009). Kedua jenis
tanah tersebut tergolong agak peka sampai peka
terhadap erosi. Pada daerah yang lebih curam
(berbukit), perkebunan banyak memanfaatkan
tanah Andisols (Andosol). Tanah ini tergolong
peka sampai sangat peka terhadap erosi (Dariah,
2004). Sebagaimana dikemukakan oleh
Adimihardja, (2008), tanah-tanah yang terbentuk
di daerah tropis, cenderung rentan terhadap
bahaya erosi, karena curah hujan tinggi telah
mencuci dan menghanyutkan bahan-bahan
pemantap agregat tanah seperti bahan organik,
dan mineral-mineral tanah lainnya. Hilangnya
bahan-bahan tersebut membuat struktur tanah
lemah dan mudah hancur menjadi butiran lebih
halus sehingga tanah mudah tererosi.
Table 5. Luas lahan (%) di bawah jumlah curah hujan tahunan berbeda di masing-masing pulau di
Indonesia.
Pulau
Curah hujan Tahunan (mm)
>5000 3500-5000 2000-3500 1000-2000 <1000
Area (%)
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
Bali dan Nusa Tenggara
0,8
1,9
-
-
-
10,3
-
21,5
12,6
29,0
23,0
1,7
33,7
2,1
71,5
56,0
66,3
66,1
71,9
40,3
16,3
6,2
29,5
4,7
30,9
26,4
15,7
69,6
-
-
-
0,8
-
-
12,0
% dari luas Indonesia 2,6 20,5 59,7 16,2 1,0
Sumber: Subagyono et al., dalam Hafif (2016)
10 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :01 - 15
2. Sifat erosi dan teknologi KTA
Pengaruh erosi terhadap produktivitas
tanaman berjalan secara bertahap (Lu et al., 2007).
Artinya erosi menurunkan pertumbuhan dan
produksi tanaman secara berangsur-angsur dan
biasanya terlihat nyata setelah 3 – 4 tahun,
sebagaimana petani perladangan pindah ke
tempat yang baru. Demikian pula sebaliknya
yakni teknologi KTA kadang tidak berpengaruh
langsung terhadap perbaikan produksi tanaman
atau memerlukan waktu untuk berdampak
terhadap perbaikan produktivitas lahan. Hal itu
membuat petani sering lupa dan cenderung
mengabaikan pentingnya penerapan teknologi
KTA. Apabila degradasi lahan sudah terjadi
maka akan sulit dan mahal bagi petani untuk
merehabilitasinya (Lu et al., 2007).
3. Sosial-ekonomi petani
Tingkat rata-rata pendidikan petani yang
relatif rendah dan keterbatasan modal petani
merupakan tantangan utama. Memberi
pemahaman akan pentingnya cara pengelolaan
lahan yang baik untuk mempertahankan
produktivitas tanaman kadang masih sulit
mereka terima. Cara mereka dalam mengelola
lahan cenderung lebih mengikuti pola yang
dilakukan oleh para pendahulu. Disisi lain
kebanyakan petani mengandalkan hasil
perkebunan sebagai sumber pendapatan utama
untuk kebutuhan sehari-hari. Hal itu membuat
hanya sebagian kecil dari hasil perkebunan yang
bisa mereka investasikan kembali ke lahan.
Bagian hasil yang diinvestasikan pun lebih
banyak digunakan untuk pembelian pupuk dan
pestisida. Penyebab lain dari keberatan petani
untuk berinvestasi di lahan mereka adalah harga
komoditas perkebunan yang sangat fluktuatif.
Hal itu membuat kepercayaan petani menjadi
lemah terhadap keuntungan yang akan di dapat
bila mereka melakukan investasi yang lebih besar
(Hafif dan Mawardi, 2015). Disisi lain Lembaga
yang mampu mendorong masyarakat/petani
untuk mengadopsi teknologi KTA dianggap
masih kurang kridibel dan lembaga konservasi
yang ada cenderung belum berfungsi sesuai
dengan yang diharapkan (Haryanti, 2014).
Peluang
Beberapa hal yang bisa dianggap sebagai
peluang untuk dapat meningkatkan kepedulian
pengambil kebijakan dan masyarakat tani
khususnya petani perkebunan rakyat terhadap
KTA sebagai berikut:
1. Pada tahun 2017 nilai ekspor komoditas
perkebunan mencapai Rp 431,4 T yang
merupakan penyumbang devisa Negara
terbesar dari sektor pertanian (Direktorat
Jenderal Perkebunan, 2018). Kontribusi
perkebunan rakyat tentu sangat besar karena
luas perkebunan rakyat mencapai 65 % dari
luas total perkebunan nasional. Adanya
kontribusi yang cukup besar dari sub-sektor
perkebunan terhadap devisa Negara maka
selayaknya kebijakan pemerintah dalam hal
penyelamatan sumberdaya lahan khususnya
lahan perkebunan rakyat juga menjadi lebih
baik. Seperti dikemukakan (Robbins and
Tabel 6. Sebaran luasan lahan pertanian berdasarkan kemiringan lahan di Indonesia
Pulau Datar
(< 3%)
Berombak
(3 – 8 %)
Berombak-
Bergelombang
(8 – 15)
Bergelombang –
Berbukit
(15 – 30%
Berbukit –
Bergunung (>
30 %)
............................................x 000 ha.........................................
Sumatera 13.516 6.611 10.244 6.758 9.680
Jawa 2.430 1.433 3.017 5.239 1.059
Nusatenggara 430 857 714 1.961 3.206
Kalimantan 10.045 15.900 6.427 7.702 12.444
Sulawesi 2.778 388 1.087 5.708 8.624
Maluku dan Papua 13.359 6.288 2.791 9.505 16.294
Total 42.568 31.477 24.290 36.871 51.307
Persentase (%) 22,6 16,7 12,9 19,6 27,3
Sumber: Subagyo dalam Subiksa et al., (2012)
Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 11
Williams, 2005) salah satu faktor penentu dari
tingkat adopsi dan kepedulian petani
terhadap KTA adalah kebijakan dan politik
pemerintahan.
2. Nilai jual produk perkebunan yang semakin
baik yang tercermin dari kontribusinya yang
cukup tinggi terhadap devisa Negara,
selayaknya juga berdampak terhadap
perbaikan perekonomian petani perkebunan.
Seandainya hal itu terjadi (perekonomian
petani perkebunan lebih baik) maka tingkat
adopsi petani perkebunan terhadap teknologi
KTA juga akan lebih baik karena salah satu
faktor penentu tingkat adopsi teknologi KTA
adalah perekonomian petani (Robbins and
Williams, 2005).
3. Terjadinya perubahan iklim cenderung
berpengaruh negatif terhadap hasil komoditas
perkebunan, sementara penerapan teknologi
KTA juga sebagai cara untuk mitigasi
perubahan iklim (Agus, 2013). Kondisi itu
diharapkan mampu memotivasi petani untuk
lebih peduli KTA.
4. Keselamatan hutan dan lahan di daerah tropis
semakin menjadi sorotan dunia. Ini juga
peluang untuk lebih mudah meyakinkan
petani, betapa pentingnya keselamatan
sumberdaya lahan bagi kehidupan manusia.
Lahan perkebunan rakyat yang mudah
dikembangkan ke pola agroforestri akan
berkontribusi besar terhadap hal tersebut.
5. Bermacam bentuk teknologi KTA sudah
tersedia, dan telah direkomendasikan. Tinggal
bagaimana pengambil kebijakan dapat
memfasilitasi cara pengembangan dan
penerapan yang lebih baik khususnya di
lahan perkebunan rakyat.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Hal-hal yang telah dipaparkan diatas
membawa implikasi ke beberapa kebijakan
sebagai berikut:
1. Gaung kepedulian terhadap kaidah-kaidah
KTA, akhir-akhir ini terasa semakin menurun.
Hal itu disebabkan tertutupnya perhatian
pengambil kebijakan terhadap pentingnya
KTA oleh kebijakan program pertanian yang
lebih diutamakan yaitu tercapainya
swasembada pangan. Kondisi ini tidak boleh
berjalan terus, selayaknya ada kebijakan
tersendiri terkait keselamatan sumberdaya
lahan khususnya lahan-lahan perkebunan
rakyat yang rentan terdegradasi.
2. Melemahnya kepedulian akan kaidah KTA,
kemungkinan juga disebabkan adanya
kejenuhan pada institusi tertentu yang diberi
tupoksi untuk mengurusi masalah
penyelamatan sumberdaya lahan. Salah satu
penyebabnya adalah kinerja yang sulit
optimal dalam membina petani untuk peduli
KTA. Untuk hal itu perlu ada koreksian
terhadap tanggungjawab dan wewenang yang
diberikan. Institusi yang diberi tupoksi juga
harus lebih kredibel dan didukung oleh
orang-orang yang lebih profesional dalam
bidang KTA.
3. Ke depan sudah diperlukan adanya
penghargaan/insentif untuk aksi konservasi
yang dilakukan oleh petani, sebagaimana
sudah dilakukan di banyak Negara (Hoag,
2004; Porras et al., 2007). Sumber pembiayaan
untuk insentif sebaiknya dialokasikan dari
pendapatan Negara yang bersumber dari
produk komoditas perkebunan.
4. Sampai saat ini tingkat investasi petani
perkebunan rakyat ke lahan masih sangat
rendah. Hal itu disebabkan fluktuasi harga
komoditas perkebunan yang begitu tinggi
sehingga melemahkan semangat petani untuk
berinvestasi. Untuk mengatasi hal itu
sebaiknya pemerintah mengeluarkan
kebijakan baru yang bisa melindungi petani
perkebunan dari fluktuasi harga.
5. Teknologi KTA yang dianjurkan ke petani
harus lebih bersifat spesifik dan dapat
menguntungkan petani dalam waktu yang
relatif singkat. Sebagai contoh, saat ini sudah
seharusnya ada gebrakan/Program Nasional
untuk kembali memperkaya bahan organik
tanah, karena hampir semua tanah
perkebunan rakyat sudah miskin bahan
organik (kondisi ini berlaku juga untuk lahan
pertanian lainnya). Aplikasi bahan organik
merupakan bagian dari teknologi KTA karena
selain memperbaiki kesuburan tanah bahan
12 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :01 - 15
ini memperbaiki sifat fisika tanah seperti
kapasitas infiltrasi, dan daya jerap air tanah
sehingga erodibitas tanah menurun.
Pengadaan dalam skala besar mungkin dapat
dilakukan melalui program pengomposan
besar-besaran bahan tanaman yang kurang
terpakai seperti biomassa tanaman semak,
rumput liar dan tanaman lainnya, penyediaan
pupuk hijau, pengayaan mikro-organisme
tanah, pemanfaatan bahan-bahan sisa dari
lautan dan sisa produk olahan manusia,
disamping pupuk kandang dan pupuk
organik.
KESIMPULAN
Sekitar 17,2 juta ha luas lahan perkebunan
rakyat kebanyakan digarap secara konvensional
pada topografi berombak sampai berbukit.
Kondisi itu sangat rentan terhadap bahaya erosi
dan degradasi atau kerusakan lahan. Dalam
situasi seperti itu, ditambah umur tanaman yang
semakin tua (> 25 tahun), produksi tanaman
perkebunan rakyat jauh lebih rendah dibanding
perkebunan swasta dan negara.
Revolusi kebijakan, khususnya kebijakan
terhadap KTA, akan menemui banyak tantangan
seperti kondisi alam (curah hujan dan intensitas
hujan tinggi, lahan berlereng, dan erodibilitas
tanah tinggi), cara pandang petani yang
konvensional terhadap erosi karena erosi tidak
drastis menurunkan produktivitas lahan, dan
penerapan teknologi KTA kadang juga tidak
langsung meningkatkan produksi tanaman.
Tantangan lain yang cukup mendasar adalah
kebanyakan petani kurang modal dan cenderung
kurang percaya dalam berinvestasi ke lahan
disebabkan tingginya fluktuasi harga komoditas.
Peluang dalam memotivasi masyarakat
khususnya petani perkebunan untuk lebih peduli
KTA adalah membaiknya perekonomian petani
perkebunan, kontribusi nyata ekspor komoditas
terhadap pemasukan Negara, dan aplikasi
teknologi KTA bisa berfungsi untuk mitigasi
perubahan iklim dan penyelamatan hutan tropis.
Implikasi kebijakan yang diperlukan ialah
memberi semangat baru kepada masyarakat
perkebunan untuk lebih peduli KTA melalui
perbaikan institusi penanggungjawab tupoksi,
perlu penghargaan/insentif untuk setiap aksi
konservasi, melindungi petani dari fluktuasi
harga, dan merekomendasi teknologi KTA yang
cepat menguntungkan petani seperti pengayaan
bahan organik tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, A., 2008. Teknologi dan strategi
konservasi tanah dalam kerangka
revitalisasi pertanian 1). Pengemb. Inov.
Pertan. 1: 105–124.
Afandi, T.K. Manik, B. Rosadi, M. Utomo, M.
Senge, T. Adachi, and Y. Oki. 2002. Soil
erosion under coffee trees with different
weed managements in humid tropical hilly
area of Lampung , South Sumatr. J. Jpn. Soc.
Soil Phys 19: 3–14.
Agus, F. 2013. Perubahan Iklim Mendukung
Keberlanjutan Soil and Carbon
Conservation for Climate Change
Mitigation and. Pembang. Inov. Pertan. 6:
23–33.
Aklimawati, L., dan S. Mawardi. 2014.
Karakteristik Mutu dan Agribisnis Kopi
Robusta di Lereng Gunung Tambora,
Sumbawa Characteristics of Quality Profile
and Agribusiness of Robusta Coffee in
Tambora Mountainside , Sumbawa. Pelita
Perkeb. 30: 159–180.
Ardianto, K., dan A.I. Amri. 2017. Pengukuran
dan Pendugaan Erosi pada Lahan
Perkebunan Kelapa Sawit dengan
Kemiringan Berbeda. JOM Faperta 4: 1–15.
Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Indonesia
2018. Jakarta.
Benhard, M.R. 2005. Budidaya Peremajaan
Tebang Bertahap pada Usahatani Polikultur
Kelapa. Perspektif 4: 11–19.
Bernas, S.M. 2009. Perbandingan Besar Erosi
Yang di Prediksi Berdasarkan U.S.L.E. dan
Besar Erosi Yang Diukur Langsung Pada
Berbagai Lereng Dari Kebun Karet
Campuran Yang Baru Dibuka. Maj. Ilm.
Sriwij. 16: 499–507.
Candra, H., A. Mulyana, dan I. Zahri. 2008.
Analisis Tingkat Produktivitas Tanaman
Karet Tua Dalam Hubungannya dengan
Kondisi Ekonomi Rumah Tangga dan
Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 13
Kesiapan Pekebun untuk Meremajakan
Tanaman Karet di Sumatera Selatan.
Agribisnis dan Ind. Pertan. 7: 40–57.
Chalid, N. 2011. Perkembangan Perkebunan
Kelapa Sawit Di Provinsi Riau. J. Ekon. 19:
78–97.
Dariah, A., H. Subagyo, C. Tafakresnato dan S.
Marwanto. 2004. Kepekaan Tanah Terhadap
Erosi.
http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/
dokumentasi/buku/
lahankering/berlereng2.pdf. [17 Mei 2019]
Dariah, A., F. Agus, S. Arsyad, Sudarsono, dan
Maswar. 2004. Erosi Dan Aliran Permukaan
Pada Lahan Pertanian Berbasis Tanaman
Kopi di SumberJaya Lampung Barat.
Agrivita 26: 52–60.
Dariah, A., F. Agus, S. Arsyad, Sudarsono, dan
Maswar. 2003. Hubungan Antara
Karakteristik Tanah dengan Tingkat Erosi
pada Lahan Usahatani. J. Tanah dan Iklim
21: 78–86.
Dariah, A., A. Agus, dan Maswar, 2005. Kualitas
Tanah pada Lahan Usahatani Berbasis
Tanaman Kopi ( Studi Kasus di Sumber Jaya
, Lampung Barat ). Tanah dan Iklim 23: 48–
57.
Datukramat, R.S., A. Monde, dan A.K. Paloloang.
2013. Degradasi beberapa Sifat Fisik Tanah
Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi
Lahan Perkebunan Kakao (Theobroma cacao
L.) di Desa Sejahtera, Palolo. e-J. Agrotekbis
1: 346–352.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2018. Program
Pembangunan Perkebunan 2018.
Djajadi. 2000. Erosi dan Usaha Konservasi Lahan
Tembakau di Temanggung. Monogr.
Balittas 5: 40–46.
Djajadi, Masture, dan A. Murdiyati. 2008. Teknik
Konservasi untuk Menekan Erosi dan
Penyakit Lincat pada Lahan Tembakau
Temanggung. Littri 14: 101–106.
Edwina, S., Adiwirman, F. Puspita, dan G.M.
Manurung. 2012. Karakteristik dan Tingkat
Pengetahuan Petani Kelapa Sawit Rakyat
Tentang Pemupukan di Kecamatan Tanah
Putih Kabupaten Rokan Hilir. Indones. J.
Agric. Econ. 3: 163–176.
Evizal, R., I.D. Prijambada, J. Widada, dan D.
Widianto. 2008. Layanan Lingkungan
Pohon Pelindung pada Sumbangan Hara
dan Produktivitas Agroekosistem Kopi.
Pelita Perkeb. 25: 23–37.
Fuady, Z., H. Satriawan, dan N. Mayani. 2014.
Aliran Permukaan, Erosi dan Hara Sedimen
Akibat Tindakan Konservasi Tanah
Vegetatif Pada Kelapa Sawit. Sains Tanah
11: 95–103.
Hafif, B. 2016. Achieving food sovereignty
through water conservation : A review.
Agric. Rev. 37: 133–140.
https://doi.org/10.18805/ar.v37i2.10738
Hafif, B., dan R. Mawardi. 2015. Kondisi
Eksisting dan Prospek Keberlanjutan
Usahatani Lada (Piper nigrum L.) Di
Lampung Utara, in: Gusmaini, Barmawie,
N., Rizal, M., Wahyuno, D., Pribadi, E.R.,
Nurhayati, H. (Eds.), Seminar Teknologi
Budidaya Cengkeh, Lada, Dan Pala. IAARD
Press, Hlm. 127–132.
Hafif, B., B. Prastowo, dan B.R. Prawiradiputra.
2014a. Pengembangan Perkebunan Kopi
Berbasis Inovasi Di Lahan Kering Masam.
Pengemb. Inov. Pertan. 7: 199–206.
Hafif, B. Risfaheri, A.A. Rivaie, Jamhari, E.
Novrianti, E.M. Janah dan Suroso. 2014b.
Kegiatan Model Percepatan Pembangunan
Pertanian Berbasis Inovasi di Lahan Sub
Optimal di Kabupaten Lampung Barat.
Laporan Akhir. BPTP Lampung. 27 hlm.
Hartemink, A.E. 2007. Soil erosion: Perennial crop
plantations. In Encyclopedia of Soil Science.
DOI: 10.1081/E-ESS-120041234 Copyright #
2006 by Taylor & Francis. All rights
reserved. https://www.researchgate.net/
publication/40106781_Soil_erosion_Peren
nial_crop_plantations. [25 Juli 2018].
Haryanti, N. 2014. Disfungsi Institusi Konservasi
dan Dampaknya Pada Kegagalan Adopsi
Teknologi Konservasi Tanah dan Air, Studi
Kasus di Kabupaten Wonogiri dan
Temanggung Jawa Tengah. Penelit. Sos. dan
Ekon. Kehutan. 11: 44–58.
Hoag, D.L. 2004. Economic Incentives for Soil
Conservation in The United State, in:
Conservation Soil and Water for Society.
Brisbane, pp. 1–6.
Hobbs, P. 2007. Conservation agriculture : what is
14 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :01 - 15
it and why is it important for future
sustainable food production ?. J. of
Agricultural Sci. 145: 127–137.
https://doi.org/10.1017/S0021859607006892
Lifianthi, H. Mustofa, and M. Yamin. 2012. The
Impact of Palm-oil Price Fall on Labor-use
Optimalization and Household Income of
Oil Palm Farmers in Ogan Komering Ilir
District of South Sumatra. IPCBEE 42: 20–24.
https://doi.org/10.7763/IPCBEE.
Lu, D., M. Batistella, and P.M.E. Moran, P.M.E.
2007. Mapping and Monitoring Land
Degradation Risk in The Western Brazilian
Amazon Using Multitemporal Landsat
TM/ETM + Image. L. Degrad. Dev. 18: 41–
54.
Marni, O. 2009. Penerapan Teknik Konservasi
Tanah dan Air dalam Meningkatkan
Produksi Kelapa Sawit. IPB.
Mayrowani, H. 2013. Kebijakan Penyediaan
Teknologi Pascapanen Kopi dan Masalah
Pengembangannya. Forum Penelit. Agro
Ekon. 31: 31–50.
Monde, A. 2010. Pengendalian aliran permukaan
dan erosi pada lahan berbasis kakao di das
gumbasa, Sulawesi Tengah. Media Litbang
Sulteng III: 131–136.
Murtilaksono, K., W. Dannosarkoro, dan E.S.
Sutarta. 2009. Upaya Peningkatan Produksi
Kelapa Sawit melalui Penerapan Teknik
Konservasi Tanah dan Air. Tanah Trop. 14:
135–141.
Mulyani, A., A. Rachman dan A. Dariah. 2009.
Penyebaran Lahan Masam, Potensi dan
ketersediaannya untuk Pengembangan
Pertanian, In Fosfat Alam: Pemanfaatan
fosfat alam yang digunakan langsung
sebagai sumber pupuk P. 141 hlm.
Murwito, I.S., dan S. Mulyati. 2013. Kebutuhan
Pengembangan Usaha Kakao dengan
Pendekatan Rantai Nilai & Evaluasi
Gerakan Nasional Peningkatan dan Mutu
Kakao (GERNAS KAKAO) Studi Kasus
Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.
Nurfatriani, F., Ramawati, G.K. Sari, dan H.
Komarudin. 2017. Optimalisasi dana sawit
dan pengaturan instrumen fiskal
penggunaan lahan hutan untuk perkebunan
dalam upaya mengurangi deforestasi.
Working Paper 238. Bogor, Indonesia:
CIFOR. 76 pp.
Pambudi, D.T., dan B. Hermawan. 2010.
Hubungan antara Beberapa Karakteristik
Fisik Lahan dan Produksi Kelapa Sawit.
Akta Agrosia 13: 35–39.
Porras, I., M. Grieg-Gran, and G. Meijerink. 2007.
Green Water Credits Farmers ’ adoption of
soil and water conservation: potential role
of payments for watershed services, in:
David, D. (Ed). Green Water Credits Report
5. Wageningen, 2007. p. 63.
Rahayu, S.P. 2017. Kiat Sukses Berusaha Tani
Kakao. BPTP Kaltim.
http://kaltim.litbang.pertanian.go.id/ind/ind
ex.php?option=com_content&view=article&
id=831&Itemid. [26 Nopember 2011].
Robbins, M., and T. Williams. 2005. Scientific and
Technical Advisory Panen to The Global
Environment Facility: Land Management
and Its Benefir – The Chalange, and The
Rasionale for Sustainabel Management of
Dry Lands, in: Kakabadse, Y. (Ed.),
‘Knowledge Generation and Research
Within the Context of the GEF’ at the 7th.
Global Environment Facility GEF,
Washington, p. 66.
Rokhmah, D.N., dan B. Hafif. 2016. Prospek
Teknologi Konservasi Tanah dan Air dalam
Mewujudkan Perkebunan Rakyat
Berkelanjutan. Sirinov 4: 151–163.
Sabrina, D.T., M.M. Hanafi, A.A.N. Azwady, and
T.M.M. Mahmud. 2009. Earthworm
Populations and Cast Properties in the Soils
of Oil Palm Plantations. Malaysian J. Soil
Sci. 13: 29–42.
Sapitri, D., Rosyani, dan A. Lubis. 2014. Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani
Terhadap Peremajaan Kelapa Sawit. Sosio
Ekon. Bisnis 17: 45–56.
Subiksa, I., Sukarman, dan A. Dariah. 2012.
Prioritisasi Pemanfaatan Lahan Kering
untuk Pengembangan Tanaman Pangan,
dalam: Prospek Pertanian Lahan Kering
Dalam Mendukung Ketahanan Pangan.
Hlm. 394.
Sunarti. 2009. Perencanaan Usahatani Karet dan
Kelapa Sawit Berkelanjutan di DAS Batang
Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi.
Peduli Konservasi Tanah dan Air Tinggal Slogan ? Studi Kasus Lahan Perkebunan Rakyat (BARIOT HAFIF) 15
Disertasi. IPB. 164 pp.
Susila, W.R., dan B. Dradjat. 2001. Agribisnis
Perkebunan Memasuki Awal Abad 21:
Beberapa Agenda Penting. SOCA, Februari
2001. https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/
article/view/3985/2975
Sutedja, I.N., 2018. Management Peremajaan
Tanaman Tanaman Kopi Robusta Pada
Perkebunan Kopi Rakyat di Kecamatan
Pupuan. Denpasar. 39 pp.
Sutrisno, N., dan N. Heryani. 2013. Teknologi
Konservasi Tanah dan Air untuk Mencegah
Degradasi Lahan Berlerreng. J. Litbang
Pertan. 32: 122–130.
Suyana, J. 2009. Kajian degradasi lahan pada
usahatani lahan kering berbasis tembakau
di sub ‐ DAS Progo hulu. Sains Tanah 6: 69–
80.
Widianto, D. Suprayogo, H. Noveras, R.H.
Widodo, dan P. Purnomosidhi. 2004. Alih
Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan
Pertanian: Apakah Fungsi Hidrologis Hutan
dapat Digantikan Sistem Kopi Monokultur?
Agrivita 26: 47–52.
Widjajanto, D., dan R. Gailea. 2008. Kajian
Pengembangan Agroforestri untuk
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Toranda
Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Propinsi
Sulawesi Tengah. J. Agrol. 15: 264–270.
Yasin, S. 2007. Degradasi Lahan Akibat Berbagai
Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten
Dhamasraya. Solum I: 69–73.
Perspektif Vol. 18 No. 1 /Jun 2019. Hlm 16- 27 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n1.2019, 16 -27
ISSN: 1412-8004
16 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 16 - 27
PROSPEK INSEKTISIDA NABATI BERBAHAN AKTIF METIL
EUGENOL (C12H24O2) SEBAGAI PENGENDALI HAMA LALAT BUAH
Bactrocera Spp. (Diptera : Tephritidae)
Prospect of Methyl Eugenol (C12H24O2) as Active Ingredient of Botanical Insecticide for
Controlling Fruit Flies, Bactrocera spp. (Diptera : Tephritidae)
AGUS KARDINAN
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute Jl. Tentara Pelajar no. 3, Bogor, Indonesia
Tlp/fax. 0251-8321879/0251-8321070
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Pengendalian organisme pengganggu tanamam (OPT)
di bidang hortikultura, khususnya dengan pestisida
cukup tinggi, yaitu dapat mencapai 30% dari biaya
usahataninya. Salah satu OPT di bidang hortikultura
adalah hama lalat buah (Bactrocera spp.) yang
mengakibatkan buah muda rontok, buah menjadi
busuk dan berbelatung dengan kerusakan berkisar
antara 30 - 60%, bahkan tidak jarang menggagalkan
panen. Petani sangat bergantung kepada pestisida
kimia sintetis yang sering menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan dan kesehatan pengguna.
Salah satu alternatif pengendalian ramah lingkungan
adalah dengan penggunaan insektisida nabati, yaitu
dengan memanfaatkan tanaman yang mengandung
bahan aktif metil eugenol (C12H24O2), seperti Melaleuca
bracteata, Ocimum sanctum, Ocimum minimum dan
Ocimum tenuiflorum. Tulisan ini bertujuan untuk
memberikan informasi mengenai potensi insektisida
nabati berbahan aktif metil eugenol yang dapat
digunakan sebagai pengendali hama lalat buah
Bactrocera spp. Minyak atsiri yang dihasilkan dari hasil
penyulingan gabungan tanaman tersebut mengandung
metil eugenol ± 80%. Dari minyak atsiri tersebut dibuat
beberapa formula, diantaranya ; (1) atraktan lalat buah
berbentuk cair/minyak; (2) lem perangkap/sticky trap
dan (3) umpan beracun/poisonous bait. Pemanfaatan
senyawa ini sebagai pengendali lalat buah melalui
penggunaan umpan beracun dan lem perangkap
dilengkapi umpan sari buah (essence) a,l, mangga,
belimbing, jambu biji, jeruk, apel dan nenas serta gula
kelapa mampu menurunkan intensitas serangan lalat
buah pada mangga sebesar 38,6 - 58,9%. Penggunaan
perangkap berwarna kuning dapat meningkatkan
efektivitas pengendalian lalat buah.
Kata kunci : insektisida nabati, metil eugenol,
Bactrocera spp.
ABSTRACT
Pest control in horticulture commodities need high
cost, especially for buying pesticide that can reach
about 30% of total expenses. One of the pest problems
in horticulture is fruit fly (Bactrocera spp) which causes
young fruit fall, the fruit becomes rotten and contain
magot/larva with damage ranging from 30 - 60%, even
rarely causing fail in harvest. Farmers rely heavily on
synthetic chemical pesticides that often have a negative
impact on the environment and user health. An
alternative eco-friendly control is the use of botanical
insecticide by using plants containing active ingredient
of methyl eugenol (C12H24O2), such as Melaleuca
bracteata, Ocimum sanctum, Ocimum minimum and
Ocimum tenuiflorum. The essential oils resulted from
distillation of the mixed plant above contain methyl
eugenol ± 80%. Some products can be made from the
essential oils containing methyl eugenol, i.e. (1)
Attractant in the form of liquid/oil; (2) Glue/sticky trap
and 3) Poisonous bait. The objective of the paper is to
inform the pottency of botanical insecticide containing
active ingredient of methyl eugenol for controlling fruit
flies Bactrocera spp.
Keywords: botanical insecticide, methyl eugenol,
Bactrocera spp.
PENDAHULUAN
Indonesia dikenal sebagai negara agraris,
yaitu negara yang mayoritas masyarakatnya
hidup dari bidang pertanian. Hal tersebut
ditunjang dengan iklim tropis yang
memungkinkan kegiatan bertani berjalan
sepanjang tahun, karena memiliki kelimpahan
sumber energi dari matahari. Namun demikian,
17 Prospek Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol (C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama Lalat Buah Bactrocera
Spp. (Diptera : Tephritidae) (AGUS KARDINAN)
keadaan tersebut merupakan ekosistem yang
ideal bagi berkembangnya organisme
pengganggu tanaman (OPT) yang dapat
menurunkan hasil panen 30 hingga 40 % bahkan
pada beberapa kasus dapat mengakibatkan gagal
panen (Susanto et al. 2017), sehingga biaya
pengendalian OPT yang diperlukan cukup besar,
terutama di bidang hortikultura yang dapat
menghabiskan antara 30 - 40% dari total biaya
produksi, khususnya untuk membeli pestisida
(Kardinan 2014).
Dampak dari penggunaan pestisida yang
intensif adalah terjadinya pencemaran
lingkungan yang mengakibatkan terganggunya
keseimbangan ekosistem, residu pestisida
terdapat di tanah, air, dan tanaman, terjadi
resistensi dan resurgensi pada hama sasaran,
serta terbunuhnya musuh alami dan serangga
bukan sasaran (Untung 2007). Untuk itu perlu
dicari cara pengendalian OPT yang ramah
lingkungan yang bahan dasarnya tersedia di
sekitar pengguna/petani dengan teknologi yang
relatif mudah dilakukan, sehingga dapat
menekan penggunaan pestisida sintetis dan
mengurangi dampak terhadap pencemaran
lingkungan dan kesehatan pengguna.
MASALAH LALAT BUAH (Bactrocera spp.) DI
INDONESIA
Salah satu hama penting dibidang
hortikultura yang saat ini menjadi isu nasional di
Indonesia, karena selain menurunkan produksi
juga menjadi faktor pembatas perdagangan (trade
barrier) adalah hama lalat buah Bactrocera spp
(Diptera : Tephritidae). Lalat buah merupakan
hama yang sangat merugikan di dunia,
khususnya di kawasan Asia dan sudah menyebar
di hampir seluruh dunia (Huan et al. 2018).
Komoditas ekspor paprika Indonesia pernah
ditolak oleh negara lain dengan alasan hama lalat
buah, demikian pula Indonesia pernah menolak
komoditas negara lain, seperti apel dari Amerika.
Lalat buah yang banyak terdapat di Indonesia
yaitu dari genus Bactrocera dan salah satu jenis
yang sangat penting dan ganas yaitu Bactrocera
dorsalis (Diptera : Tephritidae) Hendel Complex
(Gambar 1). Disebut kompleks karena terakhir
diketahui di Indonesia sebagai B. papayae Hendel
dan B. carambola Hendel yang satu dengan
lainnya sulit dibedakan secara kasat mata (Siwi et
al. 2006). Untuk mencegah masuknya spesies
baru lalat buah ke Indonesia, pemerintah
menerbitkan “PERMENTAN NO.37/KPTS/
HK.060/1/2006” yang menetapkan hanya 7 pintu
masuk buah segar ke Indonesia, yaitu Batu
Ampar – Batam; Ngurah Rai – Bali; Makassar;
Belawan – Medan; Tj. Priok – Jakarta; Tj. Perak –
Surabaya dan Cengkareng – Jakarta.
B. dorsalis merupakan lalat buah yang
bersifat polifag, yaitu mempunyai sekitar 26 jenis
inang, seperti belimbing, jambu biji, tomat, cabai
merah, melon, apel, nangka kuning, mangga, dan
jambu air yang menyebabkan buah muda yang
terserang jatuh, buah menjadi busuk (Gambar 3)
dan berbelatung (Gambar 2 dan 4) (Kardinan
2003). Kemampuan bertelur seekor lalat betina
selama hidupnya antara 800 hingga 1.500 butir
(Weems et al. 2004), maka potensi untuk
menghasilkan populasi generasi barupun cukup
tinggi.
Intensitas serangan lalat buah di Jawa Timur
dan Bali menunjukkan variasi yang cukup besar,
yaitu antara 6,4% - 70% (Sarwono 2003). Sodiq
(2004) menyatakan bahwa intensitas serangan
lalat buah pada mangga berkisar antara 14,8%-
23%, namun seringkali kerusakan yang
diakibatkan lalat buah khususnya pada
belimbing dan jambu biji dapat mencapai 100%.
Lalat buah merupakan hama yang serius di
negara lain, seperti halnya di Pakistan yang
diperkirakan setiap tahunnya mengakibatkan
kerugian sekitar $ 200 juta. Hal ini
Gambar 1. Bactrocera dorsalis Hendel Complex
(Kardinan et al. 2009)
18 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :16 - 27
mengakibatkan penggunaan insektisida di
Pakistan untuk mengendalikan lalat buah
menjadi meluas dan meningkat (Stonehouse et al.
2002). Demikian pula di India, hama lalat buah
merupakan hama yang serius pada mangga,
namun dengan pengendalian yang teratur dapat
menurunkan tingkat serangan sebesar 77%
(Verghese et al. 2004). Vayssieres et al. (2009)
mengemukakan bahwa suhu, kelembaban udara
dan curah hujan merupakan faktor iklim yang
mempengaruhi populasi lalat buah. Curah hujan
harian merupakan faktor utama terhadap
populasi lalat, disusul dengan tanaman inang
(waktu berbuah). Pada awal musim hujan
kerusakan mangga mencapai 17% dan pada
puncak musim hujan kerusakan mencapai 73%.
Susanto et al. (2017) menyatakan bahwa populasi
hama lalat buah lebih dipengaruhi oleh faktor
biotik (ketersediaan buah buahan) daripada
faktor abiotik (curah hujan dan jumlah hari
hujan).
Gambar 2. Jambu biji terserang lalat buah
(Sumber foto : foto pribadi)
Gambar 3. Mangga muda rontok terserang lalat
buah.
Gambar 4. Mangga busuk terserang lalat buah.
USAHA PENGENDALIAN LALAT BUAH
Hingga saat ini petani masih menggunakan
insektisida sintetis untuk mengendalikan hama
lalat buah, namun penggunaannya di lapangan
seringkali tidak mengikuti anjuran, diantaranya
dosis maupun konsentrasi dilipatgandakan
menjadi 2 hingga 3 kali lipat, mencampur
beberapa jenis pestisida agar efisien dalam
aplikasinya yaitu dapat mengendalikan semua
jenis hama selain hama lalat buah, meningkatkan
frekwensi aplikasi sehingga residunya terlihat
secara kasat mata (Kardinan 2016) (Gambar 5 dan
6).
Gambar 5. Residu pestisida di lapangan (Foto:
Koleksi pribadi)
19 Prospek Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol (C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama Lalat Buah Bactrocera
Spp. (Diptera : Tephritidae) (AGUS KARDINAN)
Gambar 6. Residu pestisida di pasaran (Foto:
Koleksi pribadi)
Tingginya residu pestisida yang dapat
terkonsumsi oleh konsumen akan sangat
membahayakan kesehatan konsumen, khususnya
anak anak yang bersifat lebih rentan terhadap
dampak negatif pestisida. Hasil penelitian yang
dilakukan Rasipin et al. (2014) terhadap salah
satu Sekolah Dasar di Brebes dimana di daerah
tersebut menggunakan pestisida secara intensif
menunjukkan bahwa 98% siswa mengalami
pembengkakan kelenjar tyroid yang merupakan
salah satu dampak/indikator dari terpaparnya
pestisida. Dampak dari pembekakan kelenjar
tyroid adalah bahwa siswa prestasinya jauh di
bawah siswa normal. Oleh karena itu perlu
dikaji penggunaan pestisida yang ramah
lingkungan, salah satunya pestisida nabati yang
berasal dari tumbuhan yang bersifat ecofriendly
pesticide yang relatif aman terhadap lingkungan
dan kesehatan konsumen.
Beberapa teknik pengendalian telah banyak
dikembangkan, di antaranya dengan penggunaan
GA (Gibberellic Acid), yang membuat penampilan
buah-buahan tidak matang, sehingga lalat buah
enggan meletakkan telur pada buah (Jessica
2007), penyemprotan buah dengan kaolin akan
menurunkan tingkat serangan lalat buah
(Mozhdehi 2014) atau penyemprotan dengan
minyak kelapa yang akan berperan sebagai anti-
ovipositant (menekan peneluran pada buah)
(Hidayat et al. 2018). Pengendalian lalat buah
dengan menggunakan umpan beracun
(insektisida) dianggap lebih banyak membunuh
lalat buah (Varikou et al. 2014; Stonehouse et al.
2002). Selain itu teknik aplikasi pelepasan
serangga mandul (khususnya jantan mandul)
telah banyak dilakukan dan membuahkan hasil
yang memuaskan. Teknik lainnya yang sudah
berhasil dikembangkan di Australia yaitu dengan
Foliage baiting (penggunaan umpan beracun),
Cover spraying (penyemprotan tanaman beserta
buahnya dengan insektisida) dan trapping
(perangkap dengan atraktan di dalamnya), selain
menjaga sanitasi kebun (Sarwar 2015; Broughton
et al. 2004). Para peneliti di Jerman
mengembangkan teknik rekayasa genetika
(Genetically Modified Organism) terhadap lalat
jantan, sehingga lalat jantan dengan normal
melakukan perkawinan dengan betina, namun
telur yang terbentuk tidak akan menjadi larva.
Cara demikian dianggap lebih baik daripada
teknik serangga mandul yang mengakibatkan
lalat buah jantan yang telah dimandulkan
seringkali kalah berkompetisi dengan lalat jantan
di alam untuk mendapatkan betina, sehingga
dianggap kurang efektif (Sawahel 2009). Salah
satu teknik pengendalian lalat buah yaitu dengan
penggunaan pestisida nabati yang bersifat
atraktan (pemikat lalat buah dengan bahan aktif
metil eugenol- C12H24O2) yang dapat mengurangi
penggunaan pestisida kimia sintetis hingga 75-
95% (Vargas 2007; Lengkong et al. 2011).
PESTISIDA NABATI – PESTISIDA RAMAH
LINGKUGAN
Penggunaan pestisida nabati di Indonesia
bukanlah hal yang baru, karena sejak jaman
dahulu nenek moyang telah menggunakannya
secara turun temurun dan merupakan kearifan
lokal atau pengetahuan asli masyarakat, misalnya
penggunaan akar tuba untuk menangkap ikan
dan mengendalikan hama, perasan daun
tembakau untuk membunuh lintah, penggunaan
daun suren di pematang sawah untuk menghalau
hama walang sangit, penggunaan gadung untuk
meracuni tikus, penggunaan mimba untuk
melindungi tanaman dari serangan hama,
pemanfaatan serai wangi untuk mengusir
serangga, khususnya nyamuk dan penggunaan
daun nilam pada pakaian atau kain agar
terhindar dari kutu busuk. Kehidupan nenek
20 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :16 - 27
moyang ketika itu tentu saja masih sangat
sederhana dengan daya pikir dan akal serta
pengalaman-pengalaman warisan leluhur yang
juga sederhana. Kesederhanaan tersebut menjadi
kelebihan mereka dalam melakukan pendekatan
terhadap gejala-gejala alam dan berusaha keras
mengungkapkan apa yang harus diketahui dan
dikerjakan. Dengan cara demikian, gejala-gejala
alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bertani
(Indrowuryanto 2000). Salah satu kearifan lokal
yang perlu diangkat dan digali dengan melihat
gejala alam adalah pemanfaatan tanaman yang
mengandung Metil eugenol (C12H24O2) yang
dapat digunakan untuk mengendalikan hama
lalat buah (Bactrocera spp) pada komoditas
hortikultura.
Metil eugenol di alam terdapat pada
beberapa jenis tumbuhan, antara lain daun
Melaleuca bracteata von Mueler, beberapa jenis
Selasih (Ocimum spp.), pala (Myrustica fragans),
Bulbophyllum spp. dan lainnya. Selain metil
eugenol, pada bunga tanaman Bulbophyllum spp.
(Fruit Fly Orchid) teridentifikasi juga komponen
lain yang mampu berperan sebagai feromon
agregasi bagi lalat buah jantan, yaitu
phenylpropanoids (Nishida et al. 2004).
TANAMAN PENGHASIL METIL
EUGENOL
Melaleuca bracteata yang dikenal sebagai daun
wangi (karena daunnya kalau diremas wangi
baunya) merupakan tanaman hias dengan bentuk
seperti pohon cemara yang dapat mencapai
ketinggian hingga dua belas meter (Gambar 8).
Pohon ini sering ditemukan di daerah yang
lembab dan banyak mengandung air, seperti di
sepanjang sungai atau di pinggiran rawa atau
danau. Tumbuh baik pada ketinggian di atas 600
m di atas permukaan laut. Melaleuca merupakan
suatu genus dari Famili Myrtaceae. Semakin
tinggi tempat tumbuh akan semakin baik
pertumbuhannya (Kardinan 2003). Bagian
tanaman yang paling penting adalah daunnya.
Daunnya dapat disuling untuk menghasilkan
minyak atsiri. Kandungan metil eugenol yang
yang terkandung di dalam minyak atsirinya
berkisar antara 80% hingga 87%, di ikuti
kandungan komponen lainnya seperti eugenol
(5%), linalool (2%) dan komponen lainnya yang
tidak teridentifikasi. Minyaknya yang
mengandung metil eugenol menunjukkan daya
tangkap yang lebih baik terhadap hama lalat
buah (491 ekor/perangkap/minggu) bila
dibandingkan dengan atraktan sintetis yang
sudah komersil beredar di pasaran (315
ekor/perangkap/minggu) (Djatmiadi 2004).
Selasih (Ocimum spp. : Labiatae)
Selasih merupakan tanaman perdu dengan
tinggi antara 30 cm hingga 150 cm. Tanaman ini
tumbuh dengan baik pada ketinggian hingga
1.100 m. di atas permukaan laut, pada daerah
yang teduh dan tanah lembab. Perbanyakan
dapat dilakukan dengan bijinya (secara
generatif). Selasih merupakan tanaman yang
mudah beradaptasi dengan lingkungan. Bagian
tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan
pestisida nabati adalah daun dan bunganya. Pada
pagi hari di lapangan biasanya terlihat daun dan
khususnya bunganya sering dikerubuti hama
lalat buah (Bactrocera spp.) (Gambar 7). Bunga
dan daunnya dapat disuling untuk menghasilkan
minyak atsiri. Pada genus Ocimum, terdapat
beberapa spesies selasih dengan kandungan
bahan aktif utama metil eugenol, diantaranya; O.
tenuiflorum, O. sanctum, dan O. minimum.
Gambar 7. Lalat buah pada selasih (Foto: Koleksi
pribadia).
21 Prospek Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol (C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama Lalat Buah Bactrocera
Spp. (Diptera : Tephritidae) (AGUS KARDINAN)
Gambar 8. Melaleuca bracteata (Foto: Koleksi
pribadi)
Ocimum tenuiflorum
O. tenuiflorum L. (Gambar 9) mempunyai
ciri khas dengan daun keriting dan bunga putih
memanjang. Daunnya berwarna hijau dengan
bau yang menyengat. Daunnya relatif lebih kecil
dibandingkan dengan selasih jenis lainnya.
Kandungan bahan aktif metil eugenol pada
minyak atsiri berkisar antara 50% hingga 55%
(Kardinan et al. 2009).
Ocimum sanctum
O. sanctum L. (Gambar 11) yang
mempunyai ciri khas daun dan bunga berwarna
keunguan merupakan tanaman perdu yang
mencapai tinggi 30 cm hingga 90 cm. Panjang
daunnya sekitar lima centimeter dan lebar tiga
centimeter. Kandungan metil eugenol pada
minyak atsirinya berkisar antara 55% hingga
65%, tergantung dari lokasi tempat tumbuh dan
waktu panen diikuti oleh komponen minor
lainnya seperti linalool (2%), terpineol (1%),
eugenol (5%), sineol (4%) dan komponen yang
tidak teridentifikasi (Kardinan 2003; Kardinan et
al. 2009).
Ocimum minimum
O. minimum L. (Gambar 10) sama seperti
jenis selasih lainnya, namun yang dapat
membedakannya adalah bunganya yang putih
bergerombol dan daunnya yang hijau. Seringkali
dipagi hari bunga dan juga daunnya dikerubuti
lalat buah. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman
Gambar 9. O. tenuiflorum (Foto: Koleksi pribadi)
Gambar 10. O. Minimum (Foto: Koleksi pribadi)
Gambar 11. O. Sanctum (Foto: Koleksi pribadi)
22 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :16 - 27
ini mangandung metil eugenol yang relatif tinggi.
Hasil panen bunganya relatif lebih banyak bila
dibandingkan dengan hasil panen bunga jenis
selasih lain. Kandungan metil eugenol pada
minyak atsiri yang dihasilkan dari bunganya (±
78%) lebih tinggi dibandingkan dengan
kandungan metil eugenol dari minyak atsiri yang
dihasilkan dari daunnya (68-75%) (Kardinan
2003; Kardinan et al. 2009).
PENGENDALIAN LALAT BUAH DENGAN
METIL EUGENOL
Shorey dan Gaston (1987) menjelaskan
bahwa serangga memiliki beberapa jenis indera
dalam menerima rangsangan dari luar, yaitu
physical stimuli seperti mechanoreceptor yang
menerima energi mekanik seperti tekanan,
getaran, rabaan atau gerakan melalui air atau
udara; thermoreceptor yang menerima energi
dalam bentuk panas; photoreceptor yang
menerima energi cahaya dan chemical stimuli atau
chemoreceptor yang menerima energi berupa
bahan kimia. Sedangkan dalam mendeteksi atau
penerimaan bahan kimia, serangga memiliki dua
sistem penerimaan, yaitu alat pencium (olfactory)
untuk mendeteksi aroma di udara seperti halnya
atraktan yang mengandung metil eugenol yang
biasanya radius daya jangkaunya cukup jauh (20
– 100 m) dan alat pengecap (gustatory) untuk
mendeteksi rasa yang pada umumnya melalui
cairan.
Penggunaan metil eugenol (C12H24O2)
sebagai atraktan (pemikat) lalat buah merupakan
cara pengendalian yang ramah lingkungan
karena atraktan bukanlah suatu bahan beracun.
Penggunaan metil eugenol sebagai atraktan lalat
buah tidak meninggalkan residu pada buah dan
mudah diaplikasikan pada lahan yang luas.
Karena bersifat volatile (menguap), daya
jangkaunya atau radiusnya cukup jauh, yaitu
mencapai ratusan meter, bahkan dapat
menjangkau ribuan meter, tergantung arah
angin. Daya tangkap atraktan bervariasi
tergantung lokasi, cuaca, komoditas, dan
keadaan buah di lapangan. Atraktan dapat
digunakan untuk mengendalikan hama lalat
buah dalam tiga cara, yaitu : (a) mendeteksi atau
memonitor populasi lalat buah, sehingga akan
membantu dalam menentukan waktu tindakan
pengendalian yang tepat; (b) menarik lalat buah
untuk kemudian terbunuh di dalam perangkap
dan (c) mengacaukan lalat buah dalam
melakukan perkawinan (Weinzierl et al. 2005).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan
penggunaan atraktan metil eugenol efektif
mengendalikan hama lalat buah (Simarmata et al.
2014) dapat menurunkan intensitas serangan lalat
buah pada mangga sebesar 38,67% hingga 58,9%
(Sarwono 2003; Priyono 2004). Penambahan sari
buah (essence) mangga, belimbing, jambu biji,
jeruk, apel dan nenas menambah daya tangkap
metil eugenol, juga dengan penambahan gula
kelapa terhadap atraktan dapat meningkatkan
daya tangkapnya, sehingga mampu menurunkan
serangan lalat buah sebesar sekitar 42% (Ullah et
al. 2015; Barba Jr and Tablizo 2014; Susanto et al.
2018). Shahabuddin (2012) menyatakan bahwa
kombinasi atraktan dengan warna kuning akan
lebih menarik lalat buah.
Klowden (2002) menyatakan bahwa dalam
aktivitas hidupnya, serangga melakukan
komunikasi salah satunya melalui bahan kimia
yang disebut semiochemical yang terbagi menjadi
dua, yaitu feromon untuk komunikasi antar
individu dalam satu spesies dan allelochemical
untuk komunikasi antar individu pada spesies
berbeda. Feromon terbagi menjadi beberapa
jenis, seperti feromon seks atau rangsangan seksual
untuk memanggil lawan jenis ; feromon agregasi
yaitu untuk berkumpul atau bergabung; feromon
alarm yaitu tanda bahaya dan siaga; feromon
eipidieiktik untuk menandakan daerah peletakan
telur bagi serangga betina kepada serangga
betina yang lain, feromon teritorial untuk
menandakan teritorial organisme tertentu,
feromon jejak (trail) memberi informasi kepada
kelompoknya dan feromon lainnya, sedangkan
allelochemical terdiri dari allomones (organisme
yang melepaskan senyawa kimia diuntungkan,
sedangkan yang menerima dirugikan), kairomones
(organisme yang melepaskan senyawa kimia
dirugikan, sedangkan yang menerima
diuntungkan) dan synomones (organisme yang
melepaskan dan menerima senyawa kimia sama-
sama diuntungkan). Metil eugenol termasuk
kedalam kairomones yang dapat menarik lalat
buah Bactrocera spp. berkelamin jantan lalu
23 Prospek Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol (C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama Lalat Buah Bactrocera
Spp. (Diptera : Tephritidae) (AGUS KARDINAN)
dikonsumsi dan diproses di dalam tubuhnya
untuk menghasilkan sex feromon sebagai zat
penarik lalat buah betina dalam proses
perkawinan (Vargas et al. 2000). Pendapat senada
dikemukakan Nishida (1999) dan Hee and Tan
(2006) yang menyatakan bahwa atraktan
berbahan aktif metil eugenol tersebut tergolong
kepada ”Food lure” artinya lalat jantan tertarik
untuk kebutuhan makan dan setelah dikonsumsi
akan disintesis di dalam tubuh lalat buah jantan
menjadi senyawa pheylpropanoid dan coniferyl
alcohol (Gambar 12) yang digunakan sebagai seks
feromon untuk menarik lalat buah berkelamin
betina saat perkawinan.
FORMULASI DAN CARA APLIKASI
ATRAKTAN METIL EUGENOL
Metil eugenol dalam bentuk minyak atsiri
(Essential oil) yang merupakan hasil penyulingan
dari beberapa jenis tanaman yang mengandung
metil eugenol (Melaleuca bracteata, O. minimum, O.
sanctum dan O. tenuiflorum) dengan kandungan
metil eugenol ± 80% dapat dibuat menjadi
berbagai formula diantaranya; (a) atraktan, yaitu
berbentuk cairan/minyak yang diaplikasikan
dalam botol perangkap untuk memerangkap lalat
buah, (b) perangkap lem (sticky trap), yaitu
campuran minyak atsiri yang mengandung metil
eugenol dengan lem, sehingga lalat buah akan
datang dan menempel pada lem dan mati
terperangkap dan (3) umpan bracun (poisonous
bait), yaitu campuran metil eugenol dengan
insektisida nabati lainnya (piretrin, azadirachtin,
dan lainnya), sehingga lalat buah yang datang
dan menyentuh atraktan akan terpapar oleh
insektisida (racun) dan mati.
Atraktan
Atraktan merupakan formula dalam bentuk
cair/minyak. Atraktan jenis ini produksi inovasi
Balitbangtan dengan nama Atlabu (Atraktan
Lalat Buah) (Gambar 13). Cara aplikasinya
dengan cara meneteskan cairan atraktan pada
gumpalan kapas dan ditempatkan di dalam
perangkap yang terbuat dari botol minuman air
mineral yang diberi 3 buah lubang untuk
masuknya lalat buah, maka lalat buah akan
masuk dan terperangkap. Produk ini telah
dikembangkan secara komersial oleh pihak
swasta dengan perjanjian lisensi rahasia dagang
antara Badan Litbang Pertanian dengan pihak
swasta.
A B C
Gambar 13. Atraktan (A), Lalat buah terperang-
kap (B), Perangkap lalat buah (C)
(Foto: Koleksi pribadi).
Umpan beracun (Poisonous Bait)
Formula ini merupakan campuran atraktan
dengan insektisida nabati yang bersifat kontak,
seperti ekstrak piretrum (Chrysanthemum
cinerariaefolium) dengan bahan aktif utama
piretrin dan minyak mimba (Azadirachta indica)
dengan bahan aktif utama azadirachtin. Azanol
merupakan formula yang telah dibuat oleh
Balittro. Dalam aplikasi di lapangan, umpan
beracun yang berbentuk cairan/minyak ini
diteteskan pada segumpal kapas atau sabut
Gambar 12. Transportasi struktur molekul
metil eugenol di dalam tubuh
lalat jantan (Nisihida, 1999).
24 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :16 - 27
kelapa, kemudian ditempatkan di kebun
sehingga hama lalat buah akan tertarik (oleh
atraktan) untuk menyentuh formula, selanjutnya
akan kontak dengan insektisida/racun dan mati
(Gambar 14).
Perangkap lem (Sticky Trap)
Perangkap lem merupakan campuran metil
eugenol dengan perekat, sehingga hama lalat
buah akan tertarik untuk mendekat dan
menyentuh dan kemudian sesaat setelah
menyentuh akan terjebak dan menempel pada
perekat (Gambar 15). Menurut pengamatan di
lapangan, dengan penggunaan perangkap lem,
jumlah hama lalat buah yang terperangkap per
perangkap per minggu jauh lebih banyak
dibandingkan dengan cara menempatkan
atraktan (atlabu) di dalam botol perangkap. Hal
ini dikarenakan lalat pada cara perangkap
atraktan perlu beradaptasi untuk mencari lubang
masuk ke dalam perangkap, sehingga ada
kemungkinan lalat buah terbang kembali tidak
terperangkap, sedangkan dengan perangkap lem,
lalat buah tidak mempunyai kesempatan untuk
beradaptasi dan terbang lagi, karena akan
langsung terperangkap pada perekat. Dengan
aplikasi metil eugenol pada kebun buah-buahan,
dapat menekan tingkat kerusakan buah-buahan
sebesar 30% hingga 40% yang diakibatkan
serangan hama lalat buah. Produk ini telah
dikembangkan komersial oleh perusahaan swasta
dengan perjanjian lisensi rahasia dagang antara
Badan Litbang Pertanian dengan pihak swasta.
Gambar 15. Lem perangkap pada alat Multi Trap
(Light Trap) (Foto pribadi)
KESIMPULAN DAN SARAN
Metil eugenol (C12H24O2) adalah salah satu
senyawa kimia yang dikandung oleh beberapa
jenis tanaman antara lain Melaleuca bracteata,
O.minimum, O.sanctum dan O.tenuiflorum, yang
berfungsi sebagai atraktan (pemikat) hama lalat
buah. Senyawa ini sangat prospektif untuk
dikembangkan sebagai insektisida nabati di
Indonesia guna menanggulangi kerugian yang
ditimbulkan oleh serangan hama lalat buah di
bidang hortikultura.
Pemanfaatan senyawa ini sebagai
pengendali lalat buah melalui penggunaan
umpan beracun dan lem perangkap dilengkapi
umpan sari buah (essence) a,l, mangga,
belimbing, jambu biji, jeruk, apel dan nenas serta
gula kelapa mampu menurunkan intensitas
serangan lalat buah pada mangga sebesar 38,6 -
58,9%. Penggunaan perangkap berwarna kuning
dapat meningkatkan efektivitas pengendalian
lalat buah.
DAFTAR PUSTAKA
Barba Jr, R.B. and Tablizo, R.P. (2014) Organic-
Based Attractant for the control of fruit
flies (Diptera : Tephritidae). International
Journal of Scientific & Technology
Research. Catanduanes State University,
Philippines. 3 (3), 348–355.
Broughton, S., Lima, F.D. and Woods, B. (2004)
Control of fruit fliy in backyards. Dept. of
Agric. State of Western Australia Press.
Bulletin. 24 (2), 9–14.
Djatmiadi, D. (2004) Perkembangan serangan
hama lalat buah pada tanaman buah-
Gambar 14. Umpan pada sabut kelapa dan
pada gumpalan kapas (Foto:
Dokumen pribadi)
25 Prospek Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol (C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama Lalat Buah Bactrocera
Spp. (Diptera : Tephritidae) (AGUS KARDINAN)
buahan di Wilayah Indonesia Bagian
Barat.In: Pros. Lokakarya masalah kritis
pengendalian layu pisang, nematode sista
kuning pada kentang dan lalat buah.
Puslitbang Hortikultura, p.30 hlm.
Hee, A.K.-W. and Tan, K.-H. (2006) Transport of
methyl eugenol-derived sex pheromonal
components in the male fruit fly,
Bactrocera dorsalis. Journal of Chemical
Ecology. [Online] 143 (4), 422–428.
Available from:
doi:10.1016/j.cbpc.2006.04.009.
Hidayat, Y., Fauziaty, M.R. and Dono, D. (2018)
The effectiveness of vegetable oil
formulations in reducing oviposition of
Bactrocera dorsalis Hendel (Diptera:
Tephritidae) in large red chili fruits. Jurnal
Entomologi Indonesia. 15 (2), 93–100.
Huan, L., Yi, J., Dong, J.Z. and Lei, W. (2018)
Science direct invasion, expansion and
control of Bactrocera dorsalis (Hendel) in
China. Journal of Integrative Agriculture.
18 (4), 1–11.
Indrowuryanto (2000) Pranata Mangsa Dalam
Aktivitas Pertanian Di Jawa.In: dalam
Adimihardja (2000). Pendayagunaan
Sistem Pengetahuan Lokal dalam
Pembangunan. Humaniora Utama Press,
Bandung. pp.17–56.
Jessica, S. (2007) Tougher peel repells fruit flies.
15 Februari 2007. http://www.
encyclopedia.com/doc/IGI-13418916.htm.
Februari 2009.2007
Kardinan, A. (2014) Prinsip Prinsip dTeknologi
Pertanian Organik. Badan Litbang
Pertanian, IAARD Press.
Kardinan, A. (2016) Sistem Pertanian Organik.
PT. Inti Media ; Kelompok Intrans
Publishing.
Kardinan, A. (2003) Tanaman Pengendali Hama
Lalat Buah. PT. Agromedia Pustaka-
Jakarta.
Kardinan, A., Bintoro, M.H., Syakir, M. & Amin,
A.A. (2009) Penggunaan selasih dalam
pengendalian hama lalat buah pada
mangga. Jurnal Penelitian Tanaman
Industri. 15 (3), 101–109.
Klowden, M.J. (2002) Psysiological System in
Insect. Academic Press, London.
Lengkong, M., Rante, C.S. and Meray, M. (2011)
Alikasi MAT (Male Annihilation
Technique) dalam pengendalian lalat buah
Bactrocera spp (Diptera : Tephritidae) pada
tanaman Cabe. Jurnal Eugenia. 17 (2),
121:127.
Mozhdehi, M.R. (2014) Application of detterent
compound for control of fruit fly
Bactrocera (Diptera : Tephritidae).
Agriculture and Natural Resorches
Research Center of Gulan – Iran. Journal of
Plant Protection Research. 7 (1), 24–30.
Nishida, R. (1999) Pheromone communication in
the oriental fruit moth and oriental fruit
fly.In: Proc. Int. Symp. In-sect Pest Control
with Pheromone, Oct. p.pp.102-113.
Nishida, R., Tan, K.H., Wee, S.L., Hee, A.K.W. &
Toong, Y.C. (2004) Phenylpropanoids in
the Fragance of Fruit Fly Orchid,
Bulbophyllum cheiri and Their
Relationship to The Pollinator Bactrocera
papaye. Journal Biochemical Systematics
and Ecology. 32 (4), 245–252.
Priyono, D. (2004) Evaluasi dan pengembangan
peramalan dan pengendalian lalat buah
pada tanaman mangga di Kabupaten
Majalengka - Jawa Barat. Lokakarya
masalah kritis pengendalian layu pisang,
nematode sista kuning pada kentang dan
lalat buah. Puslitbanghor, Deptan.
Rasipin, Suhartono, Kartini, A. dan Aeny, N.
(2014) Dampak pestisida terhadap kejadian
goiter (gondok) pada siswa Sekolah Dasar
di wilayah pertanian, dalam Kardinan
(2014). Prinsip Prinsip dan Teknologi
Pertanian Organik. Badan Litbang
Pertanian. IAARD Press.
Sarwar, M. (2015) Attraction of Female and Male
Fruit Flies (Diptera: Tephritidae) to Bait
Spray Applications for Reduction of Pest
Populations. International Journal of
Animal Biology. Nuclear Institute for
Agricultural & Biology, Pakistan. 1 (5),
225–230.
Sarwono (2003) PHT Lalat buah pada mangga.In:
Pros. Lokakarya masalah kritis
pengendalian layu pisang, nematode sista
kuning pada kentang dan lalat buah.
Puslitbang Hortikultura. Buletin Teknologi
26 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :16 - 27
dan Informasi Pertanian. Litbang
Pertanian, BPTP – Jatim, pp.142–149.
Sawahel, W. (2009) Self-destructing fruit flies
could protect crops. Agriculture and
Environment News.2009 [Online]
Available from: http:www.scidev.net/en/
agriculture-and-environment/news/-self-
destructing-fruit-flies-could-protect-
crops.htm [Accessed: 3 February 2009].
Shahabuddin (2012) Teknik pengendalian lalat
buah Bactrocera spp. (Diptera :
Tephritidae) pada pertanaman cabai
menggunakan perangkap dengan isyarat
kimia dan visual. Jurnal Agroland .
Universitas Taduloko – Sulteng. 19 (1), 56–
62.
Shorey, H.H. and Gaston, L.K. (1987) Pest
Control ; Pheromones. Academic Press,
New York and London.
Simarmata, J., Ningsih, Y.P. dan Zahara, F. (2014)
Uji Efektifitas Beberapa Jenis Atraktan
Untuk Mengendalikan Hama Lalat Buah
(Bactrocera Dorsalis Hend.) Pada Tanaman
Jambu Biji (Psidium Guajava L.). Jurnal
Agroekoteknologi Universitas Sumatera
Utara. 2 (1), University of North Sumatra,
192–200.
Siwi, S.S., Hidayat, P. dan Suputa (2006) Lalat
buah penting di Indonesia. Cet. 2, Rev.
Pertama. Balai Besar Litbang Bioteknologi
dan Sumberdaya genetik pertanian dengan
Dapartement of Agriculture, Fisheries and
Forestry Australia.
Sodiq, M. (2004) Kehidupan lalat buah pada
tanaman sayuran dan buah-buahan.In:
Pros. Lokakarya masalah kritis
pengendalian layu pisang, nematode sista
kuning pada kentang dan lalat buah.
Puslitbang Hortikultura. Jakarta, p.18 hlm.
Stonehouse, J., Afzal, M., Zia, Q., Mumford, J.,
Poswal, A. and Mahmood, R. (2002)
“Single-killing-point” field assessment of
bait and lure control of fruit flies (Diptera:
Tephritidae) in Pakistan. Journal Crop
Protection. [Online] 21 (8), 651–659.
Available from: doi:10.1016/S0261-
2194(02)00019-4.
Susanto, A., Faisal, F., Nurul, A. dan Tohidin
(2017) Fluktuasi populasi lalat buah
Bactrocera dorsalis Kompleks (Diptera :
Tephritidae) pada pertanaman pepaya di
Desa Margahayu, Kabupaten Garut. Jurnal
Agrikultura. 28 (1), 32–38.
Susanto, A., Natawigena, W.D., Puspasari, L.T.
dan Atami, N.I.N. (2018) Pengaruh
Penambahan Beberapa Esens Buah pada
Perangkap Metil Eugenol terhadap
Ketertarikan Lalat Buah Bactrocera dorsalis
Kompleks pada Pertanaman Mangga di
Desa Pasirmuncang, Majalengka. Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia. [Online]
22 (2), 150–159. Available from:
doi:10.22146/jpti.27001.
Ullah, F., Wardak, H., Badshah, H., Ahmad, A.
and Kakar, M.Q. (2015) Response of male
fruit fly (Diptera: Tephritidae) to various
food essences in Methyl Eugenol and Cue-
Lure baited traps. Journal of Entomology
and Zoology Studies. Univ.of Agriculture,
Pakistan. 3 (5), 239–245.
Untung, K. (2007) Kebijakan Perlindungan
Tanaman. Universitas Gajah Mada Press.
Yogyakarta.
Vargas, R. (2007) Local research, but everyone
watching. Agriculture Research Service –
Hawaii Area Wide Fruit Fly Control
Program.2007 [Online] p.p.4. Available
from:
http://www.findarticles.com/p/articles/mi.
m3741/is.2.52/ai.113457520.
Vargas, R.I., Stark, J.D., Kido, M.H., Ketter, H.M.
and Whitehand, L.C. (2000) Methyl
eugenol and cue-lure traps for suppression
of male oriental fruit flies and melon flies
(Diptera: Tephritidae) in Hawaii: effects of
lure mixtures and weathering. Journal of
Economic Entomology. [Online] 93 (1),
Oxford University Press Oxford, UK, 81–
87. Available from: doi:10.1603/0022-0493-
93.1.81.
Varikou, K., Garantonakis, N. and Birouraki, A.
(2014) Response of olive fruit fly Bactrocera
oleae to various attractants combinations,
in orchards of Crete. Bulletin of
Insectology. 67 (1), 109–114.
Vayssieres, J.-F., Korie, S. and Ayegnon, D. (2009)
Correlation of fruit fly (Diptera
Tephritidae) infestation of major mango
27 Prospek Insektisida Nabati Berbahan Aktif Metil Eugenol (C12H24O2) Sebagai Pengendali Hama Lalat Buah Bactrocera
Spp. (Diptera : Tephritidae) (AGUS KARDINAN)
cultivars in Borgou (Benin) with abiotic
and biotic factors and assessment of
damage. Journal Crop protection. [Online]
28 (6), 477–488. Available from:
doi:10.1016/j.cropro.2009.01.010.
Verghese, A., Tandon, P.L. and Stonehouse, J.M.
(2004) Economic evaluation of the
integrated management of the oriental fruit
fly Bactrocera dorsalis (Diptera:
Tephritidae) in mango in India. Journal
Crop protection. [Online] 23 (1), 61–63.
Available from: doi:10.1016/S0261-
2194(03)00087-5.
Weems, H.V., Heppner, J.B., Nation, J.L. and
Fasulo, T.R. (2004) Oriental Fruit Fly,
Bactrocera dorsalis (Hendel)(Insecta:
Diptera: Tephritidae). Florida Departement
of Agriculture and Consumer Services,
Div. of Plant Industry, University of
Florida.
Weinzierl, R., Henn, T., Koehler, P.G. and Tucker,
C.L. (2005) Insect attractants and traps.
Agric Entomology, Univ. Of Illinois-USA.
Perspektif Vol. 18 No. 1 /Jun 2019. Hlm 28- 39 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n1.2019, 28 -39
ISSN: 1412-8004
28 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :28 - 39
PEMANFAATAN BROTOWALI (Tinospora crispa (L.) Hook.f & Thomson)
SEBAGAI PESTISIDA NABATI
The utilization of bitter grape (Tinospora crispa (L.) Hook.f & Thomson) as botanical
pesticide
WIRATNO, HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
Indonesian Spices and Medicinal Crops Research Institute
Jl. Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111, Indonesia
ABSTRAK
Penggunaan pestisida kimia menyebabkan berbagai
masalah yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan
dan kesehatan manusia. Oleh karena itu, penggunaan
pestisida berbahan baku alami merupakan salah satu
alternatif yang digunakan untuk mengendalikan
organisme pengganggu tanaman (OPT). Brotowali
(Tinospora crispa) merupakan tanaman berkhasiat obat
yang tumbuh di daerah tropis termasuk Indonesia.
Tanaman tersebut sering digunakan sebagai obat
untuk demam, kolera, rematik, penyakit kuning dan
diabetes tipe II. Bahan aktif yang terkandung di dalam
akar, batang, daun, buah dan bunga brotowali, yang
dapat mengendalikan OPT di antaranya adalah
alkaloid, tanin, saponin, glikosida, terpenoid dan
flavonoid beserta turunannya. Selain bersifat toksik
untuk serangga, tanaman brotowali juga bersifat
antijamur, antinematisida dan antimoluska. Batang
brotowali dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan
serangga diantaranya tungau, Spodoptera exigua,
Nephotettix spp, Nilaparvata lugens, Plutella xylostella,
Phyliotera sinuata Ateph, Scirtothrips dorsalis Hood,
Phyllocnistis citrella Stainton dan larva nyamuk Culex
quinquefasciatus (vektor penyakit filariasis) dengan nilai
efektivitas diatas 50% dan rasio efisiensi biaya
produksi yang lebih rendah dari pestisida sintetik.
Selain itu juga brotowali dapat digunakan sebagai
bahan untuk campuran pestisida organik. Budidaya
brotowali cukup mudah, walaupun belum banyak
diteliti, sehingga ketersediaan bahan baku juga dapat
berkelanjutan. Review ini bertujuan untuk
mengemukakan hasil-hasil penelitian yang terkait
dengan penggunaan brotowali sebagai bahan untuk
pestisida nabati.
Kata kunci: Tinospora crispa, pestisida nabati, metabolit
sekunder
ABSTRACT
Excessive use of chemical pesticides cause various
problems related to environmental sustainability and
human health. Therefore, the use of pesticides made
from natural materials, such as from plants known as
botanical pesticides, is one of the alternatives used to
control plant pests. Bitter grape (Tinospora crispa) is a
medicinal plant grows in tropical regions including
Indonesia. The plant is often used as medicine for
fever, cholera, rheumatism, jaundice and type II
diabetes. The active ingredients contained in the roots,
stems, leaves, fruits and flowers of this plant, which are
able to control pests, are alkaloids, tannins, saponins,
glycosides, terpenoids, flavonoids and their
derivatives. Besides being toxic to insects, bitter grape
also has antifungal, antinematicidal and antimollusca
activities. The extract or directly used of bitter grape
stem had been utilized to control insects such as mites,
Spodoptera exigua, Nephotettix spp, Nilaparvata lugens,
Plutella xylostella, Phyliotera sinuata ateph, Scirtothrips
dorsalis Hood, Phyllocnistis citrella Stainton and larvae
of Culex quinquefasciatus (phyllariasis disease vector),
with the pesticide effectiveness above 50% and
efficiency ratio of cost production lower than synthetic
pesticide. Moreover, it can be mixed with other plants
as raw material for organic pesticide. Bitter grape can
be cultivated easily, although its cultivation technology
has not been widely studied. Thus, the sustainability
of the raw materials will not be a problem. This review
aimed to present the results of research related to the
use of bitter grape as the material for botanical
pestiside.
Keywords: Tinospora crispa, botanical pesticide,
secondary metabolite
29 Pemanfaatan Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.F & Thomson) Sebagai Pestisida Nabat (WIRATNO,
HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO)
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara penghasil
produk pertanian yang menggunakan pestisida
untuk mengontrol organisme pengganggu
tanaman (OPT). Kulkarni et al. (2009) menyatakan
bahwa pestisida digunakan pada 35% tanaman
pertanian selama pertumbuhan di lapangan dan
14% produk-produk pertanian yang disimpan di
gudang penyimpanan terserang OPT, sehingga
mempengaruhi produksi makanan secara global.
Pestisida adalah bahan atau campuran bahan
yang digunakan untuk mengendalikan OPT baik
itu untuk mencegah, memusnahkan, membunuh,
mengontrol dan mengurangi serangan OPT
(Anjarwalla et al. 2016). Penggunaan pestisida
kimia yang berlebihan menyebabkan berbagai
macam masalah diantaranya mencemari
lingkungan, menyebabkan resistensi OPT,
menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia
karena dapat memicu berbagai macam penyakit
diantaranya kanker, diabetes, infertilitas,
penurunan imunitas dan lain-lain (Anjarwalla et
al. 2016). WHO memperkirakan 200.000 orang
meninggal karena keracunan pestisida kimia
(Belmain et al. 2012). Lebih lanjut Khater (2012)
melaporkan penggunaan pestisida kimia secara
terus-menerus menyebabkan resistensi kurang
lebih 500 spesies serangga dan tungau.
Pestisida nabati berpotensi untuk
menanggulangi masalah yang ditimbulkan oleh
penggunaan pestisida kimia secara terus-
menerus. Kelebihan dari pestisida nabati dapat
terdegradasi secara cepat sehingga tidak
mencemari lingkungan dan mengurangi resiko
adanya residu pada makanan yang dikonsumsi
manusia (Singh dan Saratchandra 2005). Selain
itu pestisida nabati juga tidak membunuh spesies
bukan target dan organisme lainnya yang
menguntungkan (Amoabeng et al. 2013) dan
secara umum lebih hemat dibanding pestisida
kimia. Mkenda et al. (2015) melaporkan
penggunaan pestisida nabati pada budidaya
tanaman kedelai memberikan keuntungan
US$5,50 dibanding dengan penggunaan pestisida
sintetik yang memberikan keuntungan sebesar
US$4 dan tidak berbeda nyata dengan kontrol.
Tanaman memproduksi senyawa yang memiliki
fungsi untuk mengganggu pertumbuhan
serangga (insect growth regulator), antifeedant, dan
repelen. Ekstrak dan minyak atsiri yang berasal
dari tanaman umumnya aman dan ramah
lingkungan dibanding pestisida kimia. Hal ini
menyebabkan meningkatnya kecenderungan
permintaan untuk pestisida nabati dengan lebih
dari 2.400 bahan aktif yang telah teridentifikasi
berasal dari tanaman yang memiliki potensi
sebagai insektisida dan antipatogen
(Karunamoorthi 2012). Mamun dan Ahmed
(2011) menyarankan agar pestisida nabati
diformulasikan dari tanaman yang mudah
dibudidayakan dan diekstraksi sehingga
memudahkan petani dalam pemanfaatannya.
Brotowali (Tinospora crispa) merupakan salah
satu tanaman obat dan berpotensi sebagai
insektisida nabati. Di negara-negara Asia seperti
Filipina, Malaysia, Indonesia, Thailand (Ahmad
et al. 2016), India, Cina dan Vietnam (Pal et al.
2016). Tanaman ini digunakan sebagai obat
demam, kolera, rematik, penyakit kuning (Pal et
al. 2016), perangsang nafsu makan dan juga
dimanfaatkan sebagai antiparasit baik pada
hewan maupun manusia (Aminul Md et al. 2011).
Selain itu juga digunakan dalam pengobatan
modern untuk pengobatan diabetes tipe II (Pal et
al. 2016). Bahan aktif yang terkandung dalam
brotowali berfungsi sebagai imunomodulator,
antimalaria, antibakteri, antivirus, antialergi,
antiproliferatif dan antioksidan (Nidhi et al. 2013).
Masyarakat di Indonesia biasa memanfaatkan
batang brotowali dengan cara direbus untuk
menurunkan kadar glukosa dan sebagai
antidemam (Rozaq dan Sofriani 2009).
Saat ini, brotowali belum banyak
dimanfaatkan sebagai insektisida nabati secara
komersial, walaupun sudah ada hasil-hasil
penelitian yang mengindikasikan pemanfaatan-
nya sebagai pestisida nabati. Review ini
bertujuan untuk mengemukakan hasil-hasil
penelitian yang terkait dengan penggunaan
brotowali sebagai bahan untuk pestisida nabati.
KARAKTERISTIK TANAMAN DAN
BUDIDAYA
Karakteristik Tanaman
Brotowali merupakan tanaman merambat
(Gambar 1a.) yang termasuk dalam famili
30 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 28 - 39 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
Menispermaceae yang tersebar di daerah tropis
dan subtropis di Asia dan Afrika (Chittur dan
Gunjan 2012), tetapi belum ada informasi data
penyebaran brotowali di Indonesia. Tanaman ini
tumbuh sampai dengan ketinggian 1.000 m dpl
dan tumbuh optimal pada daerah bersuhu tinggi
(Rozaq dan Sofriani 2009). Jenis tanah yang cocok
untuk pertumbuhannya adalah tanah
berlempung dengan pH 5-7, suhu 25-37°C,
kelembaban sedang, curah hujan 1.500-3.000
mm/tahun dengan intensitas matahari 70-100%
(Rahmaniar et al. 2015).
Panjang batang dapat mencapai 2,5 m,
dengan daun berbentuk hati, panjang tangkai
daun 7-12 cm, memiliki bunga kecil yang
berwarna hijau (Rozaq dan Sofriani 2009).
Batang yang tua berwarna kecoklatan dan
memiliki benjolan-benjolan (Gambar 1b.),
sedangkan batang mudanya berwarna hijau dan
licin tidak berbulu. Daunnya lebar berbentuk
hati dengan panjang 6-12 cm dan lebar 7-12 cm.
Tangkai daun licin dengan panjang 5-15 cm.
Bunga majemuk berukuran kecil, berwarna
kuning atau kuning kehijauan. Buah memiliki
panjang 7-8 mm, berwarna hijau (Ahmad et al.
2016; Yusuf et al. 1999).
Budidaya
Tanaman brotowali belum dibudidayakan
dalam skala luas dan penelitian mengenai
budidayapun belum banyak dilakukan.
Brotowali dapat diperbanyak secara vegetatif
dengan setek batang. Setek batang brotowali
dapat bertahan selama satu tahun bila disimpan
dalam wadah tertutup (Yusuf et al. 1999). Setek
diambil dari batang sehat dan cukup tua dengan
panjang ± 10 cm. Penyemaian dilakukan selama
3-4 minggu dengan jarak tanam 60-100 cm x 60-
100 cm.
Brotowali merupakan tanaman merambat
sehingga dibutuhkan tiang panjat mati atau
hidup (dapat menggunakan glirisidia). Dosis
pupuk yang digunakan adalah 1 kg pupuk
kandang per tanaman. Batang brotowali dapat
mulai dipanen pada umur 5,5 bulan setelah
tanam saat batang mulai berwarna coklat
kehitaman (Rahmaniar et al. 2015). Brotowali
juga dapat diperbanyak secara kultur jaringan
untuk mendapatkan kandungan bahan aktif yang
tinggi (Yusuf et al. 1999).
KANDUNGAN BAHAN AKTIF UNTUK
INSEKTISIDA NABATI
Pestisida nabati merupakan pestisida yang
berasal dari bahan aktif tunggal maupun
campuran yang berasal dari tanaman (daun,
buah, biji atau akar). Cara kerja pestisida nabati
adalah sebagai repelen, atraktan, menyebabkan
infertilitas, antimakan dan mempengaruhi proses
molting (Mamun dan Ahmed 2011; Yunita et al.
2009). Kandungan metabolit sekunder yang
biasanya memiliki aktivitas sebagai pestisida
adalah alkaloid, terpenoid dan fenol (Raden
2016).
Kandungan bahan aktif pada tanaman
brotowali telah dipelajari secara intensif sejak
tahun 1980-an. Ahmad et al. (2016) melaporkan
ada lebih dari 65 jenis senyawa pada brotowali
diantaranya alkaloids, flavonoids, flavone
glikosida, triterpenes, diterpenes dan diterpene
glikosida, cis clerodane-typefurano diterpenoids,
lactones, sterols, lignans, dan nukleosida. Bagian
a b c
Gambar 1. Tanaman (a), batang (b) dan daun (c) brotowali (Tinospora crispa) (dok. Nurhayati)
31 Pemanfaatan Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.F & Thomson) Sebagai Pestisida Nabat (WIRATNO,
HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO)
tanaman yang berpotensi sebagai bahan untuk
pestisida nabati adalah daun, batang dan buah.
Senyawa aktif dari ekstrak kasar daun brotowali
diperoleh beberapa golongan senyawa yaitu
steroid, terpenoid, saponin dan fenolik, alkaloid,
damar lunak, pati, glikosida pikroretosid, zat
pahit pikroretin, harsa, berberin dan palmatin
sedangkan akarnya mengandung alkaloid
berberin dan kolumbin (Darmayasa dan
Parwanayoni 2014). Nor Aziyah et al. (2014)
menyatakan adanya kandungan alkaloid,
terpenoid dan glikosida pada ekstrak etanol
batang brotowali. Pal et al. (2016)
mengungkapkan adanya kandungan tanin dan
steroid dari ekstrak buah brotowali.
Sebagian bahan aktif yang terkandung, yaitu
alkaloid, terpenoid, dan fenolik, memiliki sifat
sebagai antimakan, sedangkan steroid memiliki
fungsi dalam mengganggu proses perubahan
bentuk serangga (molting cycle) apabila terhirup
oleh serangga (Huner dan Hopkins 2009).
Senyawa antimakan didefinisikan sebagai zat
yang apabila diujikan pada serangga akan
menghentikan aktivitas makan secara sementara
atau permanen tergantung potensi zat tersebut
(Reddy et al. 2009). Beberapa metabolit sekunder
dari tanaman brotowali yang memiliki aktivitas
sebagai pestisida adalah sebagai berikut :
Alkaloid
Alkaloid yang terdapat dalam batang
brotowali bersifat racun aktif yang tersusun dari
karbon, hidrogen, dan nitrogen yang dapat
merusak sistem syaraf, mengganggu pernapasan,
dan mengganggu kemampuan reproduksi,
sehingga penggunaan ekstrak batang brotowali
dapat mengurangi penyebaran dan mengusir
nyamuk, mengganggu produksi feses dan urin
serangga (Nor Aziyah et al. 2014; Dumeva et al.
2016). Berberin dan palmatin yang termasuk
dalam kelompok alkaloid, terdapat dalam akar
dan batang brotowali juga bersifat toksik untuk
serangga (Rozaq dan Sofriani 2009). Senyawa
tersebut mempengaruhi kerja
acetylcholinesterase sehingga mengganggu kerja
syaraf serangga dan dapat menyebabkan
kematian (Rattan 2010; Liu et al. 2014). Selain itu
berberin juga menghambat sintesis dan
transkripsi DNA (Rattan 2010). Palmatin iodide
dan berberin klorida dari tanaman Coptis javanica
dilaporkan memiliki aktivitas antimakan pada
serangga Hyphantria cunea (Park et al. 2000).
Selain sebagai antimakan, palmatin dan berberin
juga berfungsi sebagai repelen (Schmeller et al.
1997; Malikova et al. 2006).
Tanin
Tanin terdapat dalam daun dan batang
brotowali. Tanin yang termasuk dalam
kelompok fenol umumnya terdapat dalam semua
tanaman yang mempunyai aktivitas sebagai
pestisida (Raden 2016). Menurut Shaalan et al.
(2005) tanin bersifat toksik untuk larva Culex
quinquefasciatus. Toksisitas tanin ditentukan oleh
perannya dalam merusak membran (Nas 2004).
Tanin dapat menghambat serangan
mikroorganisme termasuk virus pada tanaman
(Ünver et al. 2014). Selain itu rasanya pahit
sehingga dapat berperan sebagai antifeedant
(Yunita et al. 2009). Pemanfaatan senyawa tanin
dilaporkan dapat mengendalikan hama gudang
yaitu menghambat pertumbuhan larva sehingga
perkembangan larva menjadi serangga akan
trerhambat (Oyeniyi et al. 2015).Tanin juga
dilaporkan memiliki aktivitas sebagai nematisida
untuk Meloidogyne javanica secara in vitro dan
percobaan di pot (Maistrello et al. 2010).
Saponin
Saponin juga merupakan metabolit sekunder
yang terkandung dalam tanaman untuk pestisida
(Raden 2016), terdapat dalam ekstrak kasar daun
brotowali (Darmayasa dan Parwanayoni 2014).
Saponin pada brotowali bersifat sebagai racun
perut dan racun kontak pada larva serangga
(Septian dan Ratnasari 2010). Makanan yang
telah terkontaminasi saponin akan diserap dan
disebarkan ke seluruh tubuh dan memasuki
peredaran darah sehingga menyebabkan
hemolisis yang akan mengganggu proses
fisiologis larva dan menyebabkan kematian
(Budianto dan Tukiran 2012). Selain itu saponin
juga bersifat antimakan dan mengganggu
pertumbuhan serangga melalui penghambatan
sintesis ecdysteroid (Chaieb 2010).
32 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 28 - 39 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
Glikosida
Pikroretin, pikroretosid dan tinokrisposid
yang terdapat dalam batang brotowali
merupakan bahan aktif bersifat insektisidal
(Rozaq dan Sofriani 2009; Dumeva et al. 2016).
Tinokrisposid bersifat racun untuk larva nyamuk
Aedes aegepty. Rasa pahit yang dimiliki oleh
tinokrisposid dapat menyebabkan iritasi pada
lambung karena penyerapan tinokrisposid ke
dalam usus larva dapat menghambat kerja enzim
pencernaan serta mengakibatkan kerusakan sel-
sel pada saluran pencernaan dan menyebabkan
kematian pada larva (Dumeva et al. 2016).
Terpenoid
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa
senyawa triterpenoid dari golongan terpenoid
bersifat antimakan (Sukadana et al. 2018; Raden
2016). Selain itu golongan terpenoid juga bersifat
molluscicidal untuk keong (Abdelgaleil 2010),
racun perut untuk serangga pengunyah (chewing
insects) dan larva nyamuk (El-Wakeil 2013).
Senyawa meliacarpins dari tanaman Melia
azedarachta, yang juga termasuk golongan
terpenoid memiliki aktivitas menghambat
pertumbuhan serangga (El-Wakeil 2013).
Senyawa terpenoid menghambat kerja enzim-
enzim pencernaan, sistem syaraf, molting dan
sklerotisasi pada serangga (Miyazawa et al. 1997;
Kubo 2000).
Flavonoid
Flavonoid terdapat dalam akar, daun dan
batang brotowali, termasuk dalam golongan
senyawa fenol (Raden 2016). Fenolik sendiri
merupakan golongan senyawa yang bersifat
toksik terhadap serangga, jamur, nematoda dan
gulma (Ntalli dan Menkissoglu-Spiroudi 2011).
Flavonoid sifatnya toksik untuk beberapa
serangga, merupakan antimikroba dan
merupakan mekanisme tanaman untuk
melindungi diri dari serangan patogen.
Flavonoid juga bersifat antimakan karena dapat
mengganggu sistem metabolisme dan kerja
syaraf sehingga serangga dapat mengalami
kelumpuhan pada mulutnya (Septian dan
Ratnasari 2010). Senyawa flavonoid dapat
menurunkan kemampuan mencerna makanan
pada serangga dengan menurunkan aktivitas
enzim protease dan amilase. Oleh karena itu
pertumbuhan serangga menjadi terganggu
(Shahabuddin 2009). Flavonoid memiliki
peranan penting dalam menanggulangi stres
pada tanaman terutama untuk menahan serang
patogen seperti bakteri, jamur, virus dan
serangga. Peran flavonoid berkaitan dengan
stres adalah antioksidan atau penghambat enzim
yang terlibat dalam fotosintesis dan transfer
energi yang berperan sebagai prekursor dalam
menghasilkan zat toksik (Ateyyat 2012). Salunke
et al. (2005) menyatakan bahwa flavonoid juga
berperan dalam melindungi biji-bijian di gudang
penyimpanan berkaitan dengan sifatnya sebagai
racun kontak, oviposition deterrent dan ovicidal
action. Selain itu juga berperan dalam
mengganggu proses molting pada serangga dan
dapat menyebabkan kematian. Flavonoid juga
berperan sebagai antiestrogen maupun
menghambat ekspresi dan aktivitas sitokron P450
isozyme. Penambahan konsentrasi flavonoid
dapat meningkatkan kematian nimfa Eriosoma
lanigerum (Ateyyat 2012).
PEMANFAATAN BROTOWALI
SEBAGAI PESTISIDA NABATI
Di Laos, batang brotowali dimanfaatkan
untuk mengendalikan lintah dan tungau (de Boer
et al. 2010) dan sudah umum digunakan sebagai
pestisida dalam praktek pertanian organik di
Thailand (Iwai et al. 2008). Ekstrak etanol dari
batang brotowali dilaporkan dapat melindungi
tanaman Spinacia oleracea dari Spodoptera exigua
dan mengurangi populasi serangga sampai 61,2%
(Isa et al. 2013). Selain itu juga efektif untuk
mengendalikan hama Nephotettix spp dan
Nilaparvata lugens. Ekstrak air dari batang
brotowali menunjukkan aktivitas secara sistemik,
bersifat racun untuk telur serangga dan
menghambat pertumbuhan serangga Plutella
xylostella (Morallo-Rejesus, 1992 dalam Isa et al.
2013). Ekstrak daun juga bersifat antimakan
untuk larva P. xylostella yang menyerang kubis
baik di laboratorium maupun di lapang. Aplikasi
ekstrak daun brotowali 0,1-0,4% dapat
mengurangi aktivitas makan 19,5-100%. Lebih
lanjut, hasil percobaan di lapang menunjukkan
pemberian ekstrak daun brotowali 0,1 sampai
33 Pemanfaatan Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.F & Thomson) Sebagai Pestisida Nabat (WIRATNO,
HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO)
1,0% mengurangi populasi larva P. xylostella.
Aplikasi pada konsentrasi 0,5; 0;7 dan 1,0%
sebanding dengan penggunaan profenos pada
konsentrasi 0,075% (Suprapta et al. 2003).
Selain digunakan sebagai ekstrak tunggal,
Rozaq dan Sofriani (2009) juga menyatakan
penggunaan batang brotowali sebagai bahan
campuran pestisida yang terbuat dari urin yang
dicampur dengan Curcuma domestica Capsicum
frutescens, Allium ascalonicum, Pithecellobium
jiringa dan Parkia speciosa yang difermentasikan.
USAID HARVEST (2012) dalam Rahman et al.
2016) juga mengungkapkan penggunaan batang
browotali sebagai bahan untuk pestisida yang
terbuat dari campuran umbi Dioscorea hispida (3
kg) kulit batang Phyllanthus emplica (5 kg), Annona
sqamosa (2 kg), buah Strychnos nux-vomica (5 kg),
Datura metel (4 kg), Capsicum frutescens (2 kg),
Azadirachta indica (5 kg), daun Derris elliptica (3
kg), rimpang Alpinia galanga (2 kg), Ocimum
basilicum (0,5 kg), Nicotiana tabacum (1 kg) dan
Cuscuta maritime (2 kg). Bahan-bahan tersebut
dicampurkan dicampur dengan 200 l air dan
difermentasikan selama 15-20 hari. Satu liter
campuran tersebut dilarutkan dalam 15 l air dan
5 g detergen dan disemprotkan 2 kali seminggu
pada sayuran atau padi. Pestisida tersebut
dilaporkan dapat mengendalikan serangga
seperti kutu, lalat, belalang, thrips, kumbang dan
ulat dan digunakan oleh petani di Kamboja.
Kombinasi ekstrak biji mahoni dan batang
brotowali juga dapat menyebabkan mortalitas
dan penurunan aktivitas makan pada ulat
grayak. Konsentrasi yang efektif untuk
mengendalikan ulat grayak pada tanaman cabai
adalah 55 ml/l dengan mortalitas 80%. Senyawa-
senyawa yang terkandung pada batang brotowali
seperti flavonoid, saponin, dan triterpenoid akan
terabsorpsi ke dalam tubuh ulat grayak sehingga
akan menghambat pertumbuhan larva. Senyawa-
senyawa tersebut akan mengganggu fungsi dari
tiga hormon utama serangga, yaitu hormon otak
yang menyerang sistem saraf, hormon ekdison
yang menghambat proses molting, dan hormon
pertumbuhan. Hal tersebut akan mengganggu
metabolisme ulat grayak menyebabkan kematian
(Septian dan Ratnasari 2010).
Ekstrak brotowali juga dilaporkan efektif
untuk mengendalikan Nephotettix spp, Nilaparvata
lugens, Spodoptera spp (Isa et al. 2013), Plutella
xylostella (Ruenrom et al. 2011) dan rayap (Dweck
dan Cavin 2006). Nor Aziyah et al. (2014)
menyatakan penggunaan 1,0 g/l ekstrak etanol
batang brotowali dapat menurunkan populasi
Phyliotera sinuata 30-89% pada tanaman Brassica
juncea. Penurunan populasi P. sinuata sama
baiknya dengan penggunaan cyperin yang
merupakan pestisida kimia komersial. Brotowali
yang difermentasikan dalam molase memiliki
efektiftas tertinggi dalam menurunkan populasi
Scirtothrips dorsalis Hood dan Phyllocnistis citrella
Stainton berturut-turut 80 dan 82% dibanding
kontrol (Pangnakorn dan Chuenchooklin 2015).
Pada penelitian lain, ekstrak metanol daun
brotowali menunjukkan 100% feeding deterrency
pada larva instar keempat Spodoptera litura pada
konsentrasi 500 ppm dan juga 100%
menyebabkan kematian pada telur S. litura pada
160 ppm (Elanchezhiyan et al. 2015).
Penelitian secara in-vitro menunjukkan
bahwa ekstrak kasar daun brotowali memiliki
kemampuan menghambat yang cukup kuat
(zona hambat 16,75 mm) terhadap pertumbuhan
jamur Fusarium sp yang diisolasi dari tanaman
cabai yang sakit. Percobaan secara in-vivo
menunjukkan pemberian formulasi ekstrak kasar
daun brotowali pada konsentrasi 5% mampu
mempertahankan populasi tanaman cabai
sebesar 70% (Darmayasa dan Parwanayoni 2014).
Lebih lanjut, Darmayasa dan Parwanayoni (2014)
juga menyatakan berdasarkan hasil pengujian
daya hambat fraksi brotowali terhadap Fusarium
sp. secara in vitro hanya fraksi 10, 11 dan 12 yang
memiliki kemampuan menghambat
pertumbuhan jamur tersebut dengan daya
hambat masing-masing 12,50 mm; 20,25 mm dan
13,75 mm. Hasil uji identifikasi senyawa kimia
pada fraksi 11 positif mengandung steroid,
terpenoid, saponin dan fenolik. Senyawa-
senyawa tersebut diduga berpotensi
menghambat pertumbuhan Fusarium sp.
Golongan senyawa fenol, terpenoid dan saponin
memiliki aktivitas sebagai antijamur, yang dapat
menghambat aktivitas enzim dan merusak
membran sel jamur (Rao et al. 2010; Cho et al.
2013).
34 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 28 - 39 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
Selain digunakan sebagai pestisida untuk
tanaman, buah brotowali juga digunakan untuk
mengendalikan larva nyamuk Culex
quinquefasciatus pembawa vektor penyakit
filariasis. Ekstrak kasar dan terlarut dari buah
brotowali berpotensi digunakan untuk
mengendalikan larva C. quinquefasciatus. Nilai
LC50 pada larva yang diperlakukan dengan
ekstrak kasar berturut-turut 0,04% untuk larva
instar pertama, 0,06% untuk instar kedua dan
ketiga serta 0,07% untuk larva instar keempat
pada 72 jam setelah perlakuan. Perlakuan
dengan ekstrak terlarut menggunakan petroleum
ether menunjukkan nilai LC50 64,49 ppm untuk
larva instar pertama, 66,29; 68,36 dan 69,37 ppm
untuk instar kedua, ketiga dan keempat (Pal et al.
2016). Senyawa kimia yang diduga tidak disukai
nyamuk adalah fersenel, sirat, sitonella,
flavonoid, saponin, risin polivenol, alkaloid,
glikosida pikroretosid, tinokrisposid, pikroretin.
Bahan-bahan yang tidak disukai nyamuk di atas
sebagian diantaranya seperti alkaloid,
tinokrisposid, glikosida terkandung pada
tanaman brotowali (Dumeva et al. 2016). Selain
buah, Prihastuti et al. (2012) juga
mengungkapkan pemanfaatan batang tanaman
brotowali sebagai lotion anti nyamuk yang aman
untuk kulit. Hasil analisis menunjukkan lotion
anti nyamuk dari batang brotowali yang masih
murni teruji dapat menurunkan aktivitas nyamuk
karena mengandung glikosida dan alkaloid.
KAJIAN EKONOMI PEMANFAATAN
BROTOWALI SEBAGAI PESTISIDA
NABATI
Potensi ekonomi tanaman brotowali dapat
dilihat dari dua pendekatan yaitu pengurangan
biaya produksi dan dampak kerugian ekonomi
yang dapat ditanggulangi. Biaya produksi
pestisida nabati berbahan baku tanaman
brotowali relatif murah bila dibandingkan
dengan harga pestisida sintetis di pasaran. Petani
dapat membuatnya sendiri dengan teknologi
sederhana dan mencari secara langsung bahan
baku yang tersedia di alam (Wiranti 2005). Lebih
lanjut, analisis finansial pembuatan pestisida
nabati telah dilakukan dan menghasilkan biaya
rendah termasuk menghitung tenaga kerja dan
bahan yang digunakan (Ermiati 2017). Apabila
dibandingkan dengan harga pestisida sintetik
berdasarkan kebutuhan per satuan luas (1 ha),
dapat diperoleh hasil perhitungan rasio efisiensi
biaya produksi 0,45 untuk biaya pestisida nabati
berbahan baku brotowali yang lebih rendah dari
pada pestisida sintetik berbahan profenos 50%
EC (Tabel 1). Hal ini akan mengurangi biaya
yang dikeluarkan petani. Contohnya, rata-rata
tingkat kehilangan hasil akibat wereng coklat
Tabel 1. Estimasi potensi rasio biaya produksi penggunaan pestisida nabati brotowali terhadap
penggunaan pestisida sintetik serta dampak ekonominya
Jenis Pestisida Estimasi biaya
produksi/harga pasar*
Ratio
biaya
produksi
Dampak ekonomi
terhadap
lingkungan
Acuan pustaka
Pembuatan pestisida
nabati mandiri
Rp. 67.800,-/ha - Ramah lingkungan (Ermiati 2017; Wiranti
2005)
Profenos 50% Insectisida EC
untuk mengendalikan kutu
daun, ulat dan lalat buah
1-2 liter per ha ≈ Rp.
110.000 - Rp. 150.000,-
gus0,45 Merusak hayati
seperti ikan nila
dan organisme
perairan lain
(Adharini et al. 2016;
Pamungkas 2016)
Insektisida sistemik
berbahan aktif fipronil,
klorantaniliprol dan
tiametoksan untuk
mengendalikan kutu dan
wereng coklat
1-2 liter per ha
≈Rp180.000,- Rp
220.000,-
0,37 Kategori insektisida
berbahaya kelas II,
dapat meracuni
organisme dan
lingkungan
(Wartono et al. 2018)
Keterangan: *) Harga dikalkulasikan berdasarkan harga pestisida di tingkat petani
35 Pemanfaatan Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.F & Thomson) Sebagai Pestisida Nabat (WIRATNO,
HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO)
pada tanaman padi adalah 528 kg/tahun/ha,
setara dengan nilai kerugian ekonomi Rp
2.376.000,-/ha/tahun, maka kerugian petani akan
terselamatkan dengan nilai ekonomi yang cukup
signifikan (Yahya et al. 2012).
Namun demikian, aplikasi pestisida nabati
berbasis tanaman brotowali tentunya
memerlukan edukasi kesadaran petani
(awareness) terhadap penggunaan pestisida alami
mengingat persepsi petani terhadap pestisida
nabati walaupun bernilai positif tidak sebaik
penggunaan pestisida sintetis. Pengujian
efektivitas ekstrak brotowali baik tunggal
maupun bersama dengan bahan lain pada hama
padi dan cabai menghasilkan tingkat efektivitas
yang cukup beragam yaitu pada Phyliotera
sinuate sebesar 30-90%, ulat grayak (Spodoptera
litura) (80-100%), Scrirtotrips dorsalis Hood (80%),
Phyllocnistis citrella Stainton (82%) (Darmayasa
dan Parwanayoni 2014). Untuk itu masih
diperlukan kajian lebih mendalam terhadap
formulasi pestisida nabati berbasis tanaman
brotowali dalam hal adopsi teknologi, dampak
ekonomi terhadap petani dan dampaknya
terhadap lingkungan.
KESIMPULAN
Brotowali merupakan tanaman obat yang
berpotensi digunakan sebagai pestisida nabati
karena selain kandungan bahan aktifnya bersifat
toksik untuk OPT, tanaman ini mudah
dibudidayakan. Kandungan utama tanaman ini
yang bersifat toksik untuk OPT adalah alkaloid,
tanin, saponin, glikosida, terpenoid dan
flavonoid yang dapat diekstrak dengan air,
etanol maupun metanol. Batang brotowali baik
dalam bentuk ekstrak maupun digunakan secara
langsung telah dimanfaatkan untuk
mengendalikan serangga diantaranya tungau di
Laos, Spodoptera exigua dan Phyliotera sinuata
ateph di Malaysia, Nephotettix spp, Plutella
xylostella dan Nilaparvata lugens di Filipina,
Scirtothrips dorsalis Hood dan Phyllocnistis citrella
Stainton di Thailand dan larva nyamuk Culex
quinquefasciatus (vektor penyakit filariasis) di
India dengan nilai efektivitas diatas 50%. Selain
itu juga digunakan sebagai bahan untuk
campuran pestisida organik di Indonesia dan
Bangladesh. Oleh karena itu berdasarkan
kandungan bahan aktifnya, tanaman brotowali
dapat dikembangkan sebagai insektisida,
fungisida, nematisida dan moluscicida sehingga
meningkatkan pemanfaatannya pada berbagai
tanaman pertanian dan perkebunan. Namun
kajian mendalam dalam hal adopsi teknologi,
dampak ekonomi terhadap petani dan
dampaknya terhadap lingkungan masih perlu
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdelgaleil, S.A.M. (2010) Molluscicidal and
insecticidal potential of monoterpenes on
the white garden snail, Theba pisana
(Muller) and the cotton leafworm,
Spodoptera littoralis (Boisduval). Applied
Entomology and Zoology. 45 (3), Japanese
Society of Applied Entomology and
Zoology, 425–433.
Adharini, R.I., Hartiko, H., Perikanan, D.,
Pertanian, F., Mada, U.G., Flora, J., Gd, A.,
Fisiologi, D., Biologi, F., Mada, U.G.,
Selatan, J.T. & Utara, S. (2016) Pengaruh
kontaminasi insektisida profenofos
terhadap fisiologis ikan nila merah
(Oreochromis sp.). Jurnal Manusia dan
Lingkungan. 22 (2), 365–373.
Ahmad, W., Jantan, I. & Bukhari, S.N.A. (2016)
Tinospora crispa (L.) Hook. f. & Thomson: A
review of its ethnobotanical,
phytochemical, and pharmacological
aspects. Frontiers in Pharmacology. [Online]
7 (MAR), 1–19. Available from:
doi:10.3389/fphar.2016.00059.
Aminul Md, H., Ashraful SM, I. & Mohammad, S.
(2011) Antimicrobial, cytotoxicity and
antioxidant activity of Tinospora crispa.
Journal of Pharmaceutical and Biomedical
Sciences (JPBMS). 13 (13).
Amoabeng, B.W., Gurr, G.M., Gitau, C.W., Nicol,
H.I., Munyakazi, L. & Stevenson, P.C.
(2013) Tri-trophic insecticidal effects of
African plants against cabbage pests. PloS
one. 8 (10), Public Library of Science,
e78651.
Anjarwalla, P., Belmain, S., Ofori, D., Sola, P.,
Jamnadas, R. & Stevenson, P. (2016)
36 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 28 - 39 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
Handbook on pesticidal plants Optimization of
Pesticidal plants : Technology, Innovation,
Sensibilization, Research. (May), Nairobi,
World Agroforestry Centre.
Ateyyat, M. (2012) Selectivity of four insecticides
to woolly apple aphid, Eriosoma lanigerum
(Hausmann) and its sole parasitoid,
Aphelinus mali (Hald.). World Applied
Sciences Journal. [Online] 16 (8), 1060–1064.
Available from: doi:10.5539/jas.v4n2p227.
Belmain, S.R., Amoah, B.A., Nyirenda, S.P.,
Kamanula, J.F. & Stevenson, P.C. (2012)
Highly variable insect control efficacy of
Tephrosia vogelii chemotypes. Journal of
Agricultural and Food Chemistry. 60 (40),
ACS Publications, 10055–10063.
de Boer, H., Vongsombath, C., Pålsson, K., Björk,
L. & Jaenson, T.G.T. (2010) Botanical
repellents and pesticides traditionally used
against hematophagous invertebrates in
Lao People’s Democratic Republic: A
comparative study of plants used in 66
villages. Journal of Medical Entomology.
[Online] 47 (3), 400–414. Available from:
doi:10.1603/ME09273.
Budianto, F. & Tukiran (2012) Bioinsektisida dari
tumbuhan bakau merah (Rhizhopora stylosa.
Griff) (Rhizophoraceae). UNESA Journal of
Chemistry. 1 (1), 19–25.
Chaieb, I. (2010) Saponins as insecticides: a
review. Tunisian Journal of Plant Protection.
5 (1), 39–50.
Chittur, M.A.I. & Gunjan, M. (2012)
Antimicrobial activity of Tinospora crispa
root extracts. International Journal of
Research in Ayurveda & Pharmacy. 3 (3).
Cho, J., Choi, H., Lee, J., Kim, M.S., Sohn, H.Y. &
Lee, D.G. (2013) The antifungal activity and
membrane-disruptive action of dioscin
extracted from Dioscorea nipponica.
Biochimica et Biophysica Acta - Biomembranes.
[Online] 1828 (3), Elsevier B.V., 1153–1158.
Available from:
doi:10.1016/j.bbamem.2012.12.010.
Darmayasa, I.B.G. & Parwanayoni, N.M.S. (2014)
Potensi ekstrak daun brotowali (Tinospora
crispa (L) Miers) sebagai fungisida nabati
terhadap penyakit layu fusarium pada tanaman
cabai (Capsicum annum L.).In: Aryanta, I.,
Pangkahila, A., Marina Silalahi, M.,
Adiputra, I. & Nyoman Arsana, I. (eds.)
Integrasi Keanekaragaman Hayati Dan
Kebudayaan Dalam Pembangunan
Berkelanjutan. Denpasar, FMIPA,
Universitas Hindu Indonesia, pp.197–205.
Dumeva, A., Syarifah & Fitriah, S. (2016)
Pengaruh ekstrak batang brotowali
(Tinospora crispa) terhadap kematian larva
nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Biota. 2 (2),
166–172.
Dweck, A.C. & Cavin, J.-P. (2006) Andawali
(Tinospora crispa): a review. Personal Care
Magazine. 7, 33–39.
El-Wakeil, N.E. (2013) Botanical pesticides and
their mode of action. Gesunde Pflanzen.
[Online] 65 (4), 125–149. Available from:
doi:10.1007/s10343-013-0308-3.
Elanchezhiyan, K., Gokulakrishnan, J., Deepa, J.
& Selvakumar, B. (2015) Botanical extracts
of Tinospora crispa (Menispermaceae ) and
Psidium guajava (Myrtaceae) against
important agricultural polyphagous field
pest armyworm, Spodoptera litura (Fab.).
International Journal of Recent Scientific
Research. [Online] 6 (2), 2703–2709.
Available from: www.recentscientific.com.
Ermiati (2017) analisis finansial penggunaan
pestisida nabati pada usahatani jahe putih
besar (studi kasus Kecamatan
Tanjungkerta, Sumedang). Buletin
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 28 (2),
199–209.
Huner, N.P.A. & Hopkins, W. (2009) Introduction
to Plant Physiology. John Wiley & Sons, NY.
4th edition. New York.
Isa, N., Satar, S.A., Bakhari, N.A., Nur, S., Diana,
A., Tik, L.B. & Wan, W.Z. (2013) The effect
of Tinospora crispa extract against Spodoptera
exigua on Spinacia oleracea. Malaysian Journal
of Fundamental and Applied Sciences. 9 (2),
110–114.
Iwai, C.B., Pratad, Y., Sereepong, S. & Noller, B.
(2008) Earthworm : potential bioindicator
for monitoring diffuse pollution. 13
(October), 1081–1088.
Karunamoorthi, K. (2012) Medicinal and aromatic
plants: a major source of green
pesticides/risk-reduced pesticides. Med
37 Pemanfaatan Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.F & Thomson) Sebagai Pestisida Nabat (WIRATNO,
HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO)
Aromat Plants. 1, 137.
Khater, H.F. (2012) Prospect of botanical
biopesticides in insect pest management.
Pharmacologica. 3 (12), 641–656.
Kubo, I. (2000) Tyrosinase inhibitors from plants.
Revista Latinoamericana de Química. 28 (1),
Laboratorios Mixim, SA de CV, 7–20.
Kulkarni, J., Kapse, N. & Kulnarni, D.K. (2009)
Plant based pesticide for control of
Helicoverpa armigera on Cucumis sativus.
Asian Agri-History. 13 (4), 327–332.
Liu, X., Tian, Y., Dong, F., Xu, J., Li, Y., Liang, X.,
Wang, Y. & Zheng, Y. (2014) Simultaneous
determination of matrine and berberine in
fruits, vegetables, and soil using ultra-
performance liquid
chromatography/tandem mass
spectrometry. Journal of AOAC
International. [Online] 97 (1), 218–224.
Available from: doi:10.5740/jaoacint.12-328.
Maistrello, L., Vaccari, G. & Sasanelli, N. (2010)
Effect of chestnut tannins on the root-knot
nematode Meloidogyne javanica.
Helminthologia. 47 (1), Springer, 48–57.
Malikova, J., Zdarilova, A. & Hlobilkova, A.
(2006) Effects of sanguinarine and
chelerythrine on the cell cycle and
apoptosis. Biomedical Papers-Palacky
University Olomouc. 150 (1), 5.
Mamun, M.S.A. & Ahmed, M. (2011) Prospect of
indigenous plant extracts in tea pest
management. Int. J. Agril. Res. Innov. &
Tech. 1 (1&2), 16–23.
Miyazawa, M., Watanabe, H. & Kameoka, H.
(1997) Inhibition of acetylcholinesterase
activity by monoterpenoids with ap-
menthane skeleton. Journal of Agricultural
and Food Chemistry. 45 (3), ACS
Publications, 677–679.
Mkenda, P., Mwanauta, R., Stevenson, P.C.,
Ndakidemi, P., Mtei, K. & Belmain, S.R.
(2015) Extracts from field margin weeds
provide economically viable and
environmentally benign pest control
compared to synthetic pesticides. PLoS
One. 10 (11), Public Library of Science,
e0143530.
Nas, M.N. (2004) In vitro studies on some natural
beverages as botanical pesticides against
Erwinia amylovora and Curtobacterium
flaccumfaciensis subsp . poinsettiae. Ecology.
[Online] 28, 57–61. Available from:
doi:10.3906/tar-0307-2.
Nidhi, P., Swati, P. & Krishnamurthy, R. (2013)
Indian Tinospora species: natural
immunomodulators and therapeutic
agents. International Journal of
Pharmaceutical, Biological and Chemical
Science. 2 (2), 1–9.
Nor Aziyah, B., Norain, I., Nor Aimi, A.W., Lim,
B.T., Wan Zarina, W.K. & Siti Nur Amirah
Diana, F. (2014) Biopesticidal effect of
Tinospora crispa extracts against flea beetles,
Phyliotera sinuata ateph. Research Journal of
Biotechnology. 9, 1.
Ntalli, N.G. & Menkissoglu-Spiroudi, U. (2011)
Pesticides of botanical origin: a promising
tool in plant protection.In: Pesticides-
Formulations, Effects, Fate. InTech, pp.2–24.
Oyeniyi, E.A., Gbaye, O.A. & Holloway, G.J.
(2015) The influence of geographic origin
and food type on the susceptibility of
Callosobruchus maculatus (Fabricius) to Piper
guineense (Schum and Thonn). Journal of
Stored Products Research. [Online] 63, 15–21.
Available from:
doi:10.1016/j.jspr.2015.05.005.
Pal, J.K., Singh, A., Rawani, A. & Chandra, G.
(2016) Larvicidal activity of Tinospora crispa
(Menispermaceae) fruit extract against
filarial vector Culex quinquefasciatus. Journal
of Mosquito Research. 6.
Pamungkas, O.S. (2016) Bahaya paparan pestisida
terhadap kesehatan manusia. Bioedukasi. 16
(1), 27–31.
Pangnakorn, U. & Chuenchooklin, S. (2015)
Effectiveness of biopesticide against insects
pest and its quality of pomelo (Citrus
maxima Merr.). International Journal of
Biological, Biomolecular, Agricultural, Food
and Biotechnological Engineering. 9 (3), 285–
288.
Park, I.K., Lee, H.S., Lee, S.G., Park, J.D. & Ahn,
Y.J. (2000) Antifeeding activity of
isoquinoline alkaloids identified in coptis
japonica roots against Hyphantria cunea
(Lepidoptera: Arctiidae) and Agelastica
coerulea (Coleoptera: Galerucinae). Journal
38 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 28 - 39 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
of Economic Entomology. [Online] 93 (2),
331–335. Available from: doi:10.1603/0022-
0493-93.2.331.
Raden, I. (2016) Qualitative determination of
secondary metabolic compounds and
macro-nutrients some botanical pesticide
plants of East Kalimantan, Indonesia.
Nusantara Bioscience. [Online] 8 (2), 141–
144. Available from:
doi:10.13057/nusbiosci/n080202.
Rahman, S., Biswas, S., Barman, N. & Tamanna,
F. (2016) Plant extract as selective pesticide
for plant extract as selective pesticide for
integrated pest management. 2 (1), 6–10.
Rahmaniar, D., Bermawie, N., Pribadi, E., Noor,
S., Hartono, B., Banjarnahor, D., Julianto,
A., Rachmi, D., Rahmawati, F., Waludin, J.,
Sumaryo, A. & Royanih (2015) Buku Saku
Budidaya Tanaman Obat. Jakarta, Direktorat
Budidaya dan Pascapanen Sayuran dan
Tanaman Obat, Dirjen Hortikultura.
Kementerian Pertanian.
Rao, A., Zhang, Y., Muend, S. & Rao, R. (2010)
Mechanism of antifungal activity of
terpenoid phenols resembles calcium stress
and inhibition of the TOR pathway.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy.
[Online] 54 (12), 5062–5069. Available from:
doi:10.1128/AAC.01050-10.
Rattan, R. (2010) Mechanism of action of
insecticidal secondary metabolites of plant
origin. Crop Protection. 29 (0), 913–920.
Reddy, B.K., Balaji, M., Reddy, P.U., Sailaja, G.,
Vaidyanath, K. & Narasimha, G. (2009)
Antifeedant and antimicrobial activity of
Tylophora indica. African Journal of
Biochemistry Research. 3 (12), 393–397.
Rozaq, P. & Sofriani, N. (2009) Organic pesticide
from urine and spices modification. Asian
Journal of Food and Agro-Industry. 2 (Special
Issue), King Mongkut’s University of
Technology Thonburi (KMUTT).
Ruenrom, K., Tantakom, S. & Thongket, T. (2011)
Insecticidal efficacy of Tinospora crispa Miers.
extracts by different solvents on diamondback
moth larvae.In: Proceedings of the 49th
Kasetsart University Annual Conference,
Kasetsart University, Thailand, 1-4 February,
2011. Volume 1. Subject: Plants. Kasetsart
University, pp.93–98.
Salunke, B.K., Kotkar, H.M., Mendki, P.S.,
Upasani, S.M. & Maheshwari, V.L. (2005)
Efficacy of flavonoids in controlling
Callosobruchus chinensis (L.)(Coleoptera:
Bruchidae), a post-harvest pest of grain
legumes. Crop Protection. 24 (10), Elsevier,
888–893.
Schmeller, T., Latz-Brüning, B. & Wink, M. (1997)
Biochemical activities of berberine,
palmatine and sanguinarine mediating
chemical defence against microorganisms
and herbivores. Phytochemistry. 44 (2),
Elsevier, 257–266.
Septian, R.E. & Ratnasari, E. (2010) Pengaruh
kombinasi ekstrak biji mahoni dan batang
brotowali terhadap mortalitas dan aktivitas
makan ulat grayak pada tanaman cabai
rawit. Lentera Bio. 2 (1), 107–112.
Shaalan, E.A.-S., Canyon, D., Younes, M.W.F.,
Abdel-Wahab, H. & Mansour, A.-H. (2005)
A review of botanical phytochemicals with
mosquitocidal potential. Environment
International. 31 (8), Elsevier, 1149–1166.
Shahabuddin, P. (2009) Pengujian efek
penghambatan ekstrak daun widuri
terhadap pertumbuhan larva Spodoptera
exigua Hubn dengan menggunakan indeks
pertumbuhan relatif. J. Agroland. 16 (2),
148–154.
Singh, R.N. & Saratchandra, B. (2005) The
development of botanical products with
special reference to seri-ecosystem. Caspian
Journal of Environmental Sciences. 3 (1), 1–8.
Sukadana, I.M., Rita, W.S. & Koreh, F.R. (2007)
Isolasi dan identifikasi senyawa antimakan
dari batang tumbuhan brotowali (Tinospora
tuberculata Beumee.). Jurnal Kimia. 1 (1), 55–
61.
Suprapta, D.N., Suanda, I.W., Arya, N. &
Ohsawa, K. (2003) Insecticidal activity of
Tinospora crispa leaf extract against
diamond back mouth in cabbage. Journal of
ISSAAS. 9 (2), 18–24.
Ünver, E., Okur, A.A., Tahtabiçen, E., Kara, B. &
Şamlı, H.E. (2014) Tannins and their
impacts on animal nutrition. Turkish Journal
of Agriculture-Food Science and Technology. 2
(6), 263–267.
39 Pemanfaatan Brotowali (Tinospora crispa (L.) Hook.F & Thomson) Sebagai Pestisida Nabat (WIRATNO,
HERA NURHAYATI, dan SUJIANTO)
Wartono, Suwignyo, R.A., Napoleon, A. &
Suheryanto (2018) Insecticides Residue in the
Centre of Paddy Field in Musi Rawas, South
Sumatra, Indonesia.In: First SRICOENV
2018. 68, pp.1–6.
Wiranti, E.W. (2005) Ulasan (review)
pemasyarakatan penggunaan pestisida
nabati dalam mendukung agribisnis. Planta
Tropika. 1 (2), 84–88.
Yahya, H., Wong, K.-C. & Yang, P.-S. (2012)
Integrated pest management practices for rice
crops: Review of Indonesia and Taiwan.In: The
Proceedings of The 2nd Annual International
Conference Syiah Kuala University 2012 &
The 8th IMT-GT Uninet Biosciences
Conference. 2 (1), Banda aceh, 22-24
November 2012, pp.100–105.
Yunita, E.A., Suparpti, N.H. & Hidayat, J.W.
(2009) Pengaruh ekstrak daun teklan
(Eupatorium riparium) terhadap mortalitas
dan perkembangan larva Aedes aegypti.
Bioma. 11 (1), Department of Biology, MIPA
UNDIP, 11–17.
Yusuf, U., Horsten, S. & Lemmens, R. (1999)
Tinospora spp.In: de Padua, L.,
Bunyapraphatsara, N. & Lemmens, R.
(eds.) PROSEA Medicinal and Poisonous
Plants 1. Leiden, Backhuys Publishers,
pp.479–484.
Perspektif Vol. 18 No. 1 /Jun 2019. Hlm 40- 51 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n1.2019, 40 -51
ISSN: 1412-8004
40 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :40 - 51
KELAYAKAN TEKNIS PENGEMBANGAN AGAVE DI LAHAN KERING
BERIKLIM KERING
Technical Feasibility of Agave Development in Dry Land, Dry Climate
BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat
Indonesian Sweetener and Fiber Crops Research Institute
Jalan Raya Karangploso Kotak Pos 199 Malang 65152, Indonesia
Telp (0341) 491447Faks (0341) 485121.
E-mail:[email protected]
ABSTRAK
Pengembangan agave diarahkan pada lahan kering
beriklim kering yang cukup luas ketersediaannya.
Potensi curah hujan yang terbatas sekitar 1.347,71
mm/tahun masih dapat mendukung pertumbuhan
agave. Tujuan dari penulisan tinjauan ini adalah untuk
menginformasikan pola rintisan pengembangan agave
di lahan kering, iklim kering di Sumbawa Barat,
sehingga dapat diekstrapolasikan ke daerah lain yang
memiliki kemiripan sumber daya alam, ekosistem dan
kondisi sosial. Program pola rintisan pengembangan
agave di Sumbawa Barat mengikuti azas plasma dan
inti. Investor nasional sebagai inti dan para petani
sebagai pelaku plasma. Investor berkewajiban
membeli serat kering agave pada saat panen dari para
petani plasma dengan harga yang disepakati bersama.
Selain itu investor menyediakan sarana produksi dan
mesin dekortikator dengan sistem bantuan sosial.
Benih Agave disediakan oleh Investor. Pola rintisan
pengembanan agave di Sumbawa Barat dilaksanakan
di Kecamatan Sekongkang, Poto Tano, dan Alas seluas
5.000 ha yang didukung oleh 10.000 Kepala Keluarga
(KK). Dalam pelaksanaan pengembangan pola rintisan
agave ini didukung dengan penyediaan paket
teknologi berupa benih agave dari kultur jaringan;
sistem tanam double row dan rapat; pengendalian
penyakit; pengendalian gulma; aplikasi Ca dan Mg;
dan teknologi pasca panen. Pengembangan agave di
daerah rintisan hendaknya secara sosial dapat diterima
oleh masyarakat, secara ekonomi menguntungkan dan
mempunyai nilai tambah, tidak merusak lingkungan,
dapat dikerjakan oleh petani, produk yang dihasilkan
memiliki daya saing yang tinggi serta berorientasi dari
produk primer ke sekunder.
Kata kunci: Agave, Sumbawa Barat, lahan kering, iklim
kering
ABSTRACT
Agave development is allocated to a dry up land area with dry climate, which is still available in large extent. The low annual rainfall of 1.347,71 mm is potentially sufficient for agave development. The purpose of this review is to provide information of the development of agave pioneer pattern on dry upland with dry climate in West Sumbawa, with the expectation that it can be extrapolated to other areas with similar natural resources, ecosystems and social conditions. The initial agave development program in West Sumbawa was based on nucleus and plasma principles. National investors as a nucleus and farmers as actors of plasma. Investors were obliged to buy a dry fiber agave at the harvesting from the farmers with a mutually agreed price. Additionally, investor provided production facilities, machinery decorticator and seeds in the form of social assistance system. The pioneer pattern of agave development in West Sumbawa was carried out in Sekongkang, Poto Tano and Alas districts and covered the areas of 5,000 ha involving 10,000 household (HH). In the implementation of the agave development pattern, it was supported by the provision of technological package consisting of agave seeds derived from tissue culture; densely double row planting system; disease control; weed control, application of Ca and Mg; and post-harvest technology. Stub pattern agave development in the area should be socially acceptable by society, economically profitable and value-added, do not damage the environment, can be done by farmers, the products have high competitiveness and oriented from primary to secondary products. The development of agave in the pilot area should be socially acceptable to the community, economically profitable and has added value, does not damage the environment, can be done by farmers, the products produced have high competitiveness and are concentrated from primary to secondary products.
Keywords : Agave, West Sumbawa, dry land, a climate dry
41 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)
PENDAHULUAN
Serat alam merupakan bahan berligno
selulosa yang dapat digunakan sebagai bahan
dasar industri dengan keunggulan dapat
diperbarui, dapat didaur ulang dan mudah
terdegradasi secara alami atau sering disebut
ramah lingkungan (Nugraheni & M, 2012).
Menurut Kusumastuti (2009) agave merupakan
tanaman serat alam yang paling banyak
digunakan dan paling mudah dibudidayakan.
Serat kering agave secara global banyak
digunakan untuk keperluan industri. Dewasa ini
kebutuhan serat Agave, baik dunia maupun
nasional masih dipenuhi dari impor. Negara-
negara produsen serat Agave sebagian besar
berada di Afrika, Amerika Latin dan Asia.
Kenya, Tanzania, Brazil, Mexico dan China
penghasil serat agave terbesar dunia (FAO, 2009).
Industri yang mengunakan bahan baku serat
agave antara lain pabrik karpet, tali kapal laut,
kabel listrik, karung pengemas hasil-hasil
pertanian, pemoles mesin mobil, kerajinan lokal
(topi, kuas, sapu, keset, sikat kamar mandi dan
sandal) dan geotekstil. Disamping itu, serat agave
juga digunakan untuk bahan baku pulp kertas,
pelapis dinding, interior, door trim dan
dashboard (FAO, 2009). Menurut Gutierrez,
Rodriguez, & Rio (2008) dan Hunter (2001) serat
agave dapat digunakan sebagai bahan baku
kertas khusus diantaranya kertas rokok, kertas
semen, kantong teh celup, kertas saring dan
kertas tulis.
Tingkat produktivitas serat kering agave
sebesar 1,5 ton per hektar dengan rendemen serat
kering sebesar 5% (Santos-Zea, Leal-Diaz, Cortes-
Ceballos, E., & A., 2012). Panen perdana pada
umur 15 bulan, kemudian untuk panen
berikutnya setiap 6 bulan. Serat yang didapat
berasal dari daun tanaman agave yang sudah
masak. Panen daun dimulai dari bagian bawah,
kemudian berurutan keatas. Setiap pohon
menghasilkan sekitar 30 sampai dengan 60
lembar helai daun. Hasil panen selanjutnya
diproses dalam mesin dekortikator untuk
mendapatkan serat kering. Rendemen serat
kering dari agave sekitar 3% sampai dengan 5%.
Pulau Sumbawa Barat merupakan daerah
yang dicirikan dengan kondisi tandus, berbatu,
kering dan bercurah hujan sedikit. Pada kondisi
yang demikian perlu dicari tanaman yang sesuai
dan mampu hidup serta berproduksi. Agave
(Agave sisalana L) atau sering disebut dengan sisal
sebagai tanaman penghasil serat alam, sangat
sesuai dikembangkan di daerah kering dan
marginal. Agave mempunyai tipe lintasan
karbon CAM (Crasulation Acid Metabolisme) yang
dapat tumbuh baik dalam kondisi kering
(Santoso, 2009); (Arizaga & Ezcurra, 2002).
Tanaman agave tergolong sukulen, bersifat
xeropitik yang memungkinkan tanaman dapat
bertahan di daerah kering, karena daunnya kecil,
kutikula tebal dan stomata tersembunyi. Pada
siang hari sering terjadi stomata tertutup untuk
mengurangi penguapan air, sehingga tanaman
kelihatan tetap segar, tidak layu. Proses
fotosintesa tetap berlangsung saat matahari
bersinar terang dengan bantuan CO2 yang
diambil pada malam hari. Fiksasi karbon
dioksida (CO2) berlangsung pada malam hari
yang bersenyawa dengan fosfo enol piruvat
membentuk asam malat (Summer, 2002).
Agave yang dikembangkan di Sumbawa
adalah klon (xy+1168) karena mempunyai jumlah
daun yang lebih banyak dalam satu tanaman,
daging daunnya tebal, lebih toleran terhadap
penyakit Fusarium dan tingkat produktivitas
sebesar 2- 2,50 ton serat per ha. Produktivitas
klon ini jauh lebih tinggi dari pada yang
dilaporkan oleh Santoso (2012).
Pengembangan agave di daerah rintisan
hendaknya secara sosial dapat diterima oleh
masyarakat, secara ekonomi menguntungkan dan
mempunyai nilai tambah, tidak merusak
lingkungan, dapat dikerjakan oleh petani, produk
yang dihasilkan memiliki daya saing yang tinggi
dan berorentasi dari produk primer ke sekunder.
Oleh karena itu, tujuan penulisan tinjauan ini
adalah untuk mengevaluasi penerapan konsep
pola rintisan pengembangan agave klon
(xy+1168) di lahan kering, iklim kering di
Sumbawa Barat, sehingga dapat
diekstrapolasikan ke daerah lain yang memiliki
kemiripan sumber daya alam, ekosistem dan
kondisi sosial.
Lahan kering secara teknis dan kimiawi,
masalah utamanya adalah kesuburan tanah,
topografi dan ketersediaan air. Secara umum
42 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 40 - 51 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
lahan kering memiliki tingkat keseburan tanah
yang rendah, mudah tererosi, sehingga lapisan
olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik
sedikit sekali. Dengan demikian dalam pola
usahatani lahan kering kiranya berbeda dengan
usahatani lahan tadah hujan. Menurut Oram
(dalam FAO (2009) mendifinisikan bahwa
usahatani lahan kering dengan sistem budidaya
pada kondisi stres kelembaban lahan yang
moderat selama masa pertanaman setahun,
sehingga memerlukan sistem budidaya dan
teknologi yang dapat menjamin keuntungan bagi
petani dan dalam bentuk usahatani yang
berkelanjutan. Pemilihan komoditas perkebunan
yang sesuai dengan kondisi lahan kering
merupakan tindakan yang bijak. Agave sebagai
tanaman perkebunan yang sangat tahan terhadap
kekeringan karena mempunyai karakter fisiologis
yang spesifik serta mampu tumbuh pada tanah
yang kurang subur.
KONDISI AGROEKOSISTEM DAERAH
RINTISAN PENGEMBANGAN AGAVE DI
SUMBAWA BARAT
Kondisi Sumber Daya Alam
Lokasi daerah rintisan pengembangan agave
di Sumbawa Barat berada di kecamatan
Sekongkang, Poto Tano, dan Alas. Potensi
wilayah yang dapat ditanami agave diperkirakan
seluas 5.000 ha. Lokasi-lokasi tersebut dipilih
berdasarkan hasil studi kelayakan proyek
pengembangan agave (Menakertrans., 2012).
Lokasi-lokasi tersebut memiliki sumber daya
alam yang mendukung, walaupun kondisinya
kering, tetapi tingkat kesuburan lahan masih
baik, dapat diusahakan untuk perkebunan dan
pertanian (Suyamto, 1982). Selain itu sumber
daya manusia juga tersedia. Data statistik dari
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
menunjukkan bahwa ketiga daerah tersebut
dihuni oleh sekitar 1.000 Kepala Keluarga. Setiap
Kepala Keluarga, rata-rata mempunyai 3-4 tenaga
kerja dalam keluarga. Kemampuan dari ketiga
daerah tersebut dapat menghasilkan 3.000-4.000
tenaga kerja potensial. Jumlah ini dapat
dimanfaatkan untuk sumber tenaga kerja dalam
pola pengembangan.
Klon unggul agave yang ditanam adalah
xy+1168 Pola tanam yang digunakan di lokasi
pengembangan adalah sistem tumpangsari
karena agave ditanam dalam bentuk double row.
Jarak tanam agave panjang 1,2 m dengan lebar
0,9 m dengan tambahan ruang untuk panen
sebesar 3,8 m. Ruang panen ini dapat digunakan
menanam tanaman lain (Santoso, 2012). Tanaman
yang dapat ditumpangsarikan dengan agave
adalah kacang tanah, kacang hijau, wijen dan
padi gogo. Keempat komoditas itu sesuai
ditumpangsarikan karena mempunyai lintasan
karbon yang berbeda dengan agave. Prinsip
sistem tanam tumpangsari adalah tanaman yang
ditumpangsarikan mempunyai perbedaan
pertumbuhan tinggi, kebutuhan cahaya, air dan
CO2, pengambilan unsur hara dan tata ruang
(Guritno, 1998). Selama menunggu panen agave,
petani dapat memperoleh salah satu hasil dari
keempat tanaman semusim tersebut.
Keunggulan lain dari tumpangsari adalah
pertumbuhan gulma lebih tertekan, sehingga
dapat mengurangi biaya pengendalian. Santoso
(2007) menyatakan bahwa pola tumpangsari
jagung dan agave menghasilkan penerimaan
sebesar Rp.10.760.000,00, apabila ditumpang-
sarikan dengan kacang tanah, maka total
penerimaan petani sebesar Rp. 8.300.000,00. Nilai
ini lebih besar dibandingkan dengan penerimaan
petani dengan sistem tanam monokultur agave
yaitu sebesar Rp. 6.000.000,00.
Kondisi Iklim
Secara umum kondisi iklim di Sumbawa
Barat kering sampai sangat kering yang ditandai
dengan pendeknya musim hujan yang
berlangsung mulai akhir November sampai
Maret (Tabel 1). Beberapa wilayah di Dompu
dan Bima memiliki kondisi curah hujan yang
relatif sama dengan Sumbawa Barat. Dengan
demikian pengembangan tanaman agave ke
depan dapat diperluas ke arah timur Pulau
Sumbawa. Curah hujan di wilayah Timur Pulau
Lombok hampir sama dengan di wilayah Pulau
Sumbawa (Riajaya, 2013). Tipe iklim di pulau
Sumbawa menurut (Oldeman & Darmijati, 1977) ;
(Oldeman, L., & Muladi., 1980) D3 dan D4
dengan 3-4 bulan basah dan 4-6 atau lebih dari 6
bulan kering (Gambar 1).
43 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)
Curah hujan selama musim hujan berkisar
125-150 mm/bulan selanjutnya memasuki musim
kemarau pada bulan April curah hujan mulai
berkurang yaitu kurang dari 100 mm/bulan, dan
pada bulan Juli-September terjadi puncak musim
kemarau.
Berdasarkan pola ketersediaan air dari curah
hujan di lokasi pengembangan, agave hendaknya
ditanam pada awal musim hujan agar
mendapatkan cukup air selama pertumbuhan
sampai tanaman berumur 15 bulan, saat
dilakukan panen pertama. Selanjutnya setelah
panen pertama tanaman agave masih
mendapatkan curah hujan (musim hujan) selama
dua bulan sampai Maret dan curah hujan
menjelang musim kemarau mulai April sampai
Juni. Tanaman agave merupakan tanaman yang
toleran terhadap kekeringan, asal pada waktu
tanam harus cukup air, pada saat kemarau
tanaman sudah besar dan pertumbuhan daun
masih tetap walaupun hujan tinggal sedikit,
sehingga pada panen ke II tingkat produktivitas
seratnya masih stabil, (tidak terjadi penurunan
produksi serat kering yang mencolok). Panen
kedua dapat dilakukan pada bulan Agustus
(puncak musim kemarau), panen selanjutnya
dilakukan setiap enam bulan. Produksi agave
setiap periode panen tentu berkorelasi dengan
curah hujan yang diperoleh selama
pertumbuhannya, oleh karena itu perlu
dilakukan monitor produksi setiap periode
panen. Meskipun tanaman agave relatif tahan
terhadap kekeringan, produksi seratnya sangat
dipengaruhi oleh kondisi curah hujan. Selama
Tabel 1. Periode hujan di Pulau Sumbawa
Lokasi November Desember Januari Februari Maret April
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
SUMBAWA
- Moyohilir
- Lape
- Batubulan
- Plampang
- Sumbawa
DOMPU
- Kempo
BIMA
- Rasanae
- Donggo
- Wawo
Keterangan: : Periode hujan
Sumber: (Riajaya, Kadarwati, & Machfud, 2003)
Gambar 1. Klasifikasi iklim di Sumbawa Barat lahan kering dan beriklim kering. (Oldeman et al., 1980)
44 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 40 - 51 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
musim hujan lama penyinaran dibawah 60%
dengan kelembaban udara diatas 80%, sebaliknya
selama musim kemarau lama penyinaran rata-
rata 80% dan pada bulan Agustus lama
penyinaran mencapai 90%, dan kelembaban
udara dibawah 80%. Kondisi yang cukup kering
selama musim kemarau menyebabkan
evapotranspirasi meningkat, tanaman agave
mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi
terhadap kondisi kering dengan menutup
stomata untuk mengurangi transpirasi. Hasil
serat kering dari panen periode I adalah 1,50
ton/ha dan pada periode ke II 1,40 ton/ha (PT.
Agro Sumbawa, 2013).
Kondisi tanah kering, menyebabkan
tanaman mengalami cekaman lingkungan,
terutama dalam penyediaan air. Menurut Cholid
(2014) cekaman kekeringan dapat menganggu
proses metabolisme tanaman, karena air
merupakan senyawa esensial dalam proses
pertumbuhan, transportasi hara, fotosintesis, dan
mobilisasi hasil fotosintat. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa dalam pembentuk daun
baru, dibutuhkan distribusi dan akumulasi
fotosintat. Kondisi iklim terdiri dari suhu,
kelembaban lama penyinaran, kecepatan angin,
curah hujan bulanan evapotranspirasi potensial
di Sumbawa Besar disajikan pada Gambar 2.
Hasil perhitungan evapotranspirasi
potensial (Eto) di P. Sumbawa menunjukkan
bahwa surplus air terjadi mulai Desember
sampai Maret dimana curah hujan lebih tinggi
dibanding Eto , sebaliknya mulai April sampai
November terjadi defisit air karena curah hujan
lebih rendah dari Eto. Rata-rata curah hujan
tahunan di Sumbawa Barat adalah 1.347,71 mm
dan total ETo 1.596,93 mm sehingga total defisit
dalam setahun adalah 249,22 mm (Gambar 2).
Upaya untuk membuat embung untuk
menampung air selama musim hujan sangat
diperlukan untuk mengurangi defisit air selama
musim kemarau.
Penanaman agave yang ditumpangsarikan
dengan palawija dapat mengurangi evaporasi
mengingat jarak tanam cukup lebar dan bentuk
daun yang sempit dan memanjang sehingga
tingkat penutupan lahan sangat rendah.
Tanaman palawija yang ditumpangsarikan dapat
ditanam bersamaan dengan agave pada awal
musim hujan dengan populasi yang tidak
berbeda jauh dengan monokulturnya sehingga
tidak akan menurunkan produksi palawija yang
tinggi. Pemilihan jenis palawija disesuaikan
dengan minat petani dan yang biasa berkembang
di wilayah tersebut, seperti kacang tanah, kacang
hijau, wijen, dan padi gogo. Panen palawija
dilakukan pada awal musim kemarau sehingga
sisa panen (biomas) dapat dikembalikan ke
lahan dan meletakan disamping tanaman agave
sebagai mulsa pada musim kemarau untuk
menjaga kelembaban tanah, mengurangi
pertumbuhan gulma dan mengurangi evaporasi.
Untuk memanfaatkan lahan di sekitar tanaman
agave setelah palawija dipanen dapat dilakukan
Gambar 2. a. Rata-rata kondisi iklim terdiri dari suhu rata-rata, maksimum, minimum (oC), kelembaban
udara, RH(%), lama penyinaran, LP (%), kecepatan angin, U (knots/hari), b. curah hujan
bulanan (mm) dan evapotranspirasi potensial, Eto (mm/bulan) di Sumbawa Besar.
45 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)
penanaman Crotalaria juncea yang dapat dipanen
umur 30 hari, kemudian dibuatkan lubang untuk
tempat biomasa dari crotalaria, kembali ke lahan
untuk memperbaiki tingkat kesuburan lahan dan
memasuki musim hujan berikutnya
pertumbuhan tanaman agave akan lebih baik.
Sebagai tanaman yang menghasilkan serat
sepanjang tahun maka perlu upaya untuk
memperbaiki kesuburan lahan untuk mengganti
hara yang terangkut saat panen.
Kondisi Tanah
Agroekosistem pulau Sumbawa, ditinjau
dari kondisi wilayah, sebagian besar atau hampir
70% berupa ladang ilalang, savana, padang
rumput dan hutan tropis. Berdasarkan kondisi
geologi, fisiografi dan iklim, tanah di Nusa
Tenggara Barat diklasifikasikan kedalam 6 ordo
dan diturunkan menjadi sekitar 10-sub ordo dan
17 great-group yaitu Entisols (Ustifluvents,
Ustipsamments, Troposamments, Ustorhents,
Troporthents), Inceptisols (Ustropepts,
Tropaquepts, Halaquepts), Mollisols
(Haplustols), Vertisol (Haplusterts), Andisols
(Hapludands dan Haplustands) dan Alfisol
(Haplustalfs, dan Rhodustlafs) (Suwardji, 2009).
Berdasarkan bentuk wilayah dan lereng,
daerah ini dapat dibedakan dalam 4 satuan yaitu
(1) datar (7,2%), (2) datar-berombak (10,8%), (3)
berombak-bergelombang (17,6%), (4) bergelom-
bang sampai berbukit serta gunung (63,4%)
(Suwardji, 2009). Hasil analisis tanah dibeberapa
lokasi pengembangan agave disajikan pada Tabel
2.
Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa pH tanah
mulai dari 6,8 sampai 7,2 pada masing-masing
lokasi pengembangan agave. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah
cukup baik. Kandungan nitrogen dari analisis
tanah dari rendah sampai dengan sangat rendah,
tetapi Kapasitas Tukar Kation (KTK) mempunyai
nilai dari rendah, sedang dan tinggi. Menurut
Wahyunto & Shofiyati (2013), lahan kering
beriklim kering umumnya mempunyai sifat fisik-
kimia tanah (tingkat kesuburan) yang lebih baik
dibanding dengan lahan kering beriklim basah.
Kandungan hara dan basa-basa tinggi dengan pH
netral sampai dengan alkalis. Secara umum
nitrogen dalam tanah pada umumnya sedikit,
sehingga harus ditambahkan melalui
pemupukan. Sedang bila dilihat dari KTK,
nilainya bervariasi dari sedang, tinggi dan sangat
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kation yang
dapat dipertukarkan di dalam tanah di setiap
lokasi pengembangan berbeda-beda. Tetapi ada
kecenderungan kapasitas tukar kationnya tinggi.
Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa unsur
hara pada tanah yang dijadikan areal
Tabel 2. Sifat fisik dan kimia tanah, di beberapa daerah Sumbawa Barat (2012)
Sifat Tanah Alas Barat Tano Sekokang Sekokang pantai Tatar Atas Tatar Pantai
Nilai Kategori Nilai Kategori Nilai Kategori Niila Kategori Nilai Kategori Nilai Kategori
pH-H2O 7,0 netral 7,0 netral 7,0 netral 7,2 netral 6,8 netral 6,9 netral
C-Orga % 0,31 Sangat
rendah
1,05 Rendah 1,83 Rendah 1,34 Rendah 1,36 Rendah 1,55 Rendah
N-total % 0,02 Sangat
rendah
0,09 Sangat
rendah
0,19 Rendah 0,14 Rendah 0,14 Rendah 0,18 Rendah
C/N ratio 17 Tinggi 12 Sedang 9 Rendah 9 Rendah 10 Rendah 9 Rendah
P2O5 Olsen 10,51 Rendah 1,30 Sangat
rendah
0,54 Sangat
rendah
19,97 Rendah 7,12 Sangat
rendah
10,47 Rendah
NH4OAC
1N pH 7
K
Na
Ca
Mg (me/100g)
0,15
0,22
14,57
0,32
Rendah
Rendah
Tinggi
SR
0,28
0,74
7,31
0,30
Rendah
Sedang
Sedang
SR
1,08
0,97
12,04
1,43
ST
Tinggi
Tinggi
Sedang
0,35
0,90
18,47
0,63
Sedang
Tinggi
Tinggi
Rendah
0,66
1,04
10,41
0,32
Tinggi
ST
Sedang
SR
1,21
1,29
9,03
1,61
ST
ST
Sedang
Sedang
KTK(me/100g) 24,80 Sedang 10,14 Rendah 31,67 Tinggi 22,09 Sedang 29,89 Tinggi 29,00 Tinggi
KB (%) 62 Tinggi 85 ST 49 Sedang 92 ST 42 Sedang 45 Sedang
Tekstur
Pasir %
Debu %
Liat %
14
53
33
Liat
berdebu
62
36
3
Lempu
berpasir
42
58
0
Lemp
berdebu
36
58
7
Lemp
berdebu
16
67
17
Lemp
berdebu
14
72
14
Berdebu
kasar
Keterangan : Tanah diambil dari kedalaman 0-20 cm. SR= Sangat Rendah; ST=Sangat Tinggi
Sumber : Setyo-Budi & Marjani, 2013.
46 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 40 - 51 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
pengembangan agave masih baik. Demikian juga
kejenuhan basa menunjukkan bahwa nilai pada
tataran antara sedang, tinggi sampai dengan
sangat tinggi.
Limbah dari hasil panen agave yang berupa
sumber bahan organik cukup banyak yaitu
sekitar 28,5 ton per ha. Pemanfaatan limbah
tersebut untuk pupuk organik sangat membantu
dalam mengembalikan hara didalam tanah.
Hasil limbah perlu dikomposkan lebih dahulu
sebelum diberikan pada pertanaman agave.
Pengelolaan limbah bahan organik merupakan
bagian dalam pengelolaan hara terpadu dan
pertanian bioindustri (Saraswati, 2014).
Ketersediaan bahan organik akan meningkatkan
siklus hara di tanah dan limbah tanaman yang
jumlahnya cukup besar sebagai sumber bahan
organik yang sangat potensial bagi penyediaan
pupuk organik hayati, sehingga jika limbah
kompos itu diberikan pada tanah akan dapat
meningkatkan kesuburan tanah karena terjadi
perbaikan fisik, kimia dan biologi tanah
(Saraswati, 2014);(Subowo & Purwati., 2013).
Penambahan substrat Carbon berdampak
terhadap peningkatan kandungan C-organik,
populasi mikroba dan aktivitas enzim terutama
higrolase, urease, protease, phosphatase, dan β-
glucosidase di dalam tanah.
MODEL PENGEMBANGAN AGAVE
Pola kolaborasi yang berintergrasi sangat
dianjurkan dalam rintisan pengembangan agave.
Pola rintisan pengembangan agave di Sumbawa
Barat mengikuti sistem kerjasama atau kemitraan
antara petani setempat dengan pengembang atau
investor. Pada perusahaan perkebunan besar
sering disebut plasma dan inti. Para petani yang
ikut program pengembangan agave membentuk
kelompok tani. Setiap kelompok tani terdiri dari
30-40 petani, dengan kepemilikan lahan seluas
sekitar 0,30-0,50 ha sebagai plasma. Perusahaan
besar atau yang juga sebagai investor yang
menanam agave 100-200 ha disebut dengan inti.
Plasma akan dibina oleh investor dalam
pengusahaan agave mulai dari tanam hingga
proses produksi serat. Petani akan menjual serat
kering agave ke investor dengan harga yang telah
disepakati bersama sesuai dengan harga di
pasaran.
Pola pengembangan inti oleh investor
nasional adalah sistem tanam monokultur dan
menggunakan pengelolaan secara mekanis, yang
meliputi pengolahan lahan, membuat petakan,
saluran drainase, tanam dan aplikasi pupuk.
Mekanisasi tersebut dilakukan karena
kelangkaan tenaga kerja. Pola pengembangan
plasma mengikuti kebiasaan petani agave yang
menanam secara tumpangsari dengan tanaman
kacang-kacangan. Pola pengembangan ini
diharapkan berdampak luas terhadap kemajuan
perekonomian daerah.
Perusahaan besar bermitra dengan petani
dalam penyediakan benih agave, dan sarana
produksi yang lain (pupuk dan mesin
dekortikator). Biaya garap diperoleh melalui
bantuan sosial (bansos) dari pemerintah daerah.
Peran pemerintah daerah dan pemerintah pusat
sangat diperlukan dalam mendukung
pengembangan agave di daerah Sumbawa Barat,
pemberdayaan petani di lahan kering (marginal)
membutuhkan bantuan modal cuma-cuma,
kemudian dilanjutkan dengan bantuan kredit
bergulir untuk kelompok lain yang belum
mendapat kredit, dan jika kredit bergulir berhasil
dengan baik, maka diteruskan ke kredit
bersubsidi tanpa ada agunan (Sayaka, Rudy,
Rivai, & Supriyadi., 2013).
Konsep model pengembangan agave yang
bertumpu pada usahatani yang berkelanjutan
diperlukan perencanaan yang berintegritas secara
menyeluruh, sehingga hasil yang diharapkan
mudah dicapai. Pada usahatani lahan kering
harus memperhatikan peningkatan pendapatan,
keuntungan dan kestabilan produksi, tetapi juga
tidak meninggalkan kelestarian lingkungan yang
bermuatan kearifan lokal, budaya dan adat-
istiadat setempat.
Keberadaan ulama, pemimpin adat, kepala
desa dan kepala suku, sangat besar terhadap
keberhasilan pengembangan agave di Sumbawa
Barat. Komoditas agave mempunyai keunggulan
komperatif di lahan kering karena dapat
menghasilkan serat sepanjang tahun dan
mempunyai nilai ekonomi untuk industri.
47 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)
TEKNOLOGI YANG DIBUTUHKAN
UNTUK MENDUKUNG
PENGEMBANGAN AGAVE DI LAHAN
KERING
Perbanyakan Benih Dengan Metode Kultur
Jaringan
Perbanyakan benih dengan menggunakan
metode kultur jaringan merupakan teknik
propagasi benih tanaman yang cepat, kualitas
benih yang relatif seragam, bebas dari hama dan
penyakit yang terbawa benih, serta efisien.
Perbanyakan benih agave dengan metode kultur
jaringan yang dilakukan di Laboratorium Kultur
Jaringan Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan
Serat (Balittas) mampu menghasilkan 10,000
benih agave/bulan (Purwati, 2005).
Sistem Tanam
Penanaman agave berbeda dengan tanaman
lain, mengingat agave yang diambil adalah
daunnya dan ujung daun mempunyai duri yang
tajam maka pada jarak tanam harus diberi ruang
agar mudah dalam pemanenan. Disamping itu
bagian ruang digunakan untuk mengangkut hasil
panen. Sistem tanamnya sebaiknya
menggunakan model double row. Jarak tanam
yang optimal untuk agave 3 m x 4 m dengan satu
lubang tanam (Santoso, 2009). Dengan demikian,
maka untuk 1 ha lahan diperlukan 833 pohon.
Pengendalian Penyakit Fusarium Dan Busuk
Pangkal Batang
Agave merupakan tanaman sukulen yang
mudah sekali terserang jamur patogen penyebab
penyakit. Penyakit yang paling banyak ditemui
di daerah pengembangan adalah Fusarium. Oleh
karena itu, bahan tanam yang digunakan
sebaiknya menggunakan bahan tanam yang
memiliki ketahanan terhadap penyakit tersebut
(imunitas). Apabila dalam pertanaman agave
sudah ada yang terserang Fusarium atau
Phytophthora, sebaiknya tanaman dibongkar dan
dibakar, atau dipendam dalam tanah. Bekas
tanah yang dijangkiti fusarium diberi kapur
dengan dosis 5 kg/lubang tanam. Pengendalian
secara kimiawi dengan disemprot menggunakan
fungisida dengan dosis karbendazim 0,19 g/l dan
mankozeb 2,21 g/l (3 g Delsene 2000 MX,
mankonzeb 2,21 g/l (Dithane 80 WP), mankonzeb
2,21 g/l Antila 80 WP dan Klorotalonil 3,4 g/l
(Dakonil 75 WP).
Pengendalian Gulma dan Sapi Ternak Liar
Serta Babi Hutan
Gulma yang sering dijumpai adalah alang-
alang (Imperata cylindrica) dan (Cyperus rotundus).
Kedua tanaman pengganggu tersebut tumbuh di
ruang terbuka dan mudah tumbuh bila ada
cahaya serta air. Cara pengendaliannya
disemprot dengan herbisida berbahan aktif
isopropil amina glifosat 480 g/l (Roundup dengan
dosis 2-5 ml/liter air), pada saat gulma masih
muda dan jangan sampai terlambat.
Sapi ternak di Sumbawa Barat tidak
dikandangkan, tetapi dibiarkan berkeliaran di
lapangan, sehingga sering memakan agave yang
baru tumbuh dan berakhir dengan kematian
tanaman. Untuk itu perlu adanya kerjasama
dengan pemda setempat membuat peraturan
daerah (Perda) mengenai sapi ternak, supaya
dilakukan pengikatan atau dibuatkan kandang.
Kalau itu tidak dapat ditempuh maka
pertanaman agave harus dipagar dengan kayu
atau bambu.
Hama babi hutan muncul disekitar hutan
atau semak belukar. Pada malam hari hama babi
mencari makanan, agave yang lagi tumbuh itu
dirusak oleh babi hutan dengan memakan pucuk
atau titik tumbuh tanaman. Oleh karena itu,
antisipasi adanya perusakan tanaman oleh babi
hutan ini dapat dilakukan dengan memberi
pagar yang kuat di setiap kebun.
Pemberian Kapur (Ca) dan Magnesium (Mg).
Kebutuhan Ca untuk Agave dalam 1 tahun
sebesar 1,500 kg/ha. Agave sangat respon
terhadap kapur pertanian (Ca) (Santoso,
2009)(Santoso, 2009). Pada tanah berkapur laju
pertumbuhan agave sangat cepat dan produksi
serat yang dihasilkan tinggi. Ion kalsium
diperlukan dalam membentuk Ca pectat pada
dinding sel agave. Dalam keadaan terang Ca 2+
diambil oleh kloroplas daun mengaativasi NAD
kinase sehingga mendukung fotosintesa (Sofyan,
2010). Hasil analisis tanah lokasi pengembangan
48 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 40 - 51 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
agave di Sumbawa Barat kandungan Ca antara
sedang (7,50 me/100 gram) sampai dengan tinggi
(18,50 me/100 gram). Hal ini menyebabkan
pertumbuhan agave di lokasi pengembangan
sangat baik. Hasil analisis tanah untuk
kandungan Mg didapatkan nilai sedang, rendah
dan sangat rendah. Oleh karena itu diperlukan
penambahan Mg melalui pupuk Dolomit.
Menurut Suyamto (1982), pH tanah yang nilainya
6,5-7,2 sangat berhubungan erat dengan
kekahatan Mg. Berdasarkan hal tersebut maka
tanah pengembangan yang nilai pH 6-7 perlu
ditambah Mg bersumber dari Dolomit, karena
juga mengandung Ca, sehingga berfungsi ganda
bagi tanaman agave.
Kerapatan Tanaman.
Tanah yang subur dicirikan dengan nilai pH
mendekati 7 dan kapasitas tukar kation dengan
nilai 30. Tingkat kesuburan lahan akan
berpengaruh terhadap kerapatan tanaman.
Manakala lahan yang akan ditanami agave subur
maka kerapatan tanaman dikurangi, sebaliknya
apabila lahan yang ditanami agave kurang subur
maka kerapatan tanaman di padatkan agar
produksi serat yang dihasilkan mencapai optimal
yaitu sebesar lebih dari 1,500 kg serat kering/ha
Santoso, (2009). Penamanan agave pada lahan
kering seperti di Sumbawa Barat hendaknya
menggunakan sistem tanam rapat, karena jika
terdapat ruang yang kosong akan ditumbuhi
gulma.
Pasca Panen
Mesin dekortikator model konveyer sangat
diperlukan dalam pengembangan agave, karena
untuk mendapatkan hasil serat harus melalui
proses pengambilan untaian serat atau benang
yang ada di daun. Lembaran daun agave
dimasukan ke dalam mesin dekortikator yang ,
kemudian menjadi serat yang terurai. Sifat dari
mesin dekortikator harus fortable, artinya dapat
dipindah-pindah ke pertanaman agave, sehingga
dapat mengurangi biaya pengangkutan hasil
panen daun agave. Sedangkan untuk
pengolahan serat dari kebun inti dapat
digunakan mesin prosesing serat agave dengan
sistem mekanisasi penuh dan berkapasitas besar
hingga 20 ton/jam Brown, (2002). Tampilan
mesin dekortikasi dalam proses penyeratan
model konveyer didajikan pada Gambar 3; 4; 5; 6
dan 7.
Gambar 3. Mesin dekortikator konveyer, daun
Agave berjalan masuk mesin
Gambar 4. Mesin dekortikator konveyer mengilas
daun agave menjadi serat
Gambar 5. Mesin dekortikator konveyer serat
dibersikan dari kotoran
49 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)
Pola usahatani Agave menghasilkan
pendapatan yang menguntungkan bagi petani
seperti terlihat pada Tabel 3.
Dari Tabel 3 terlihat bahwa R/C
(Reception/Cost) ratio = Rp. 7.500.000,- : Rp.
5.782.500 = 1,29 artinya bahwa usahatani Agave
memberikan keuntungan. Pendapatan
monokultur Agave mencapai Rp. 1.717.500,- per
hektar. Disamping itu pola monokultur Agave
masih dapat ditumpangsari dengan tanaman
pangan seperti jagung, kacang hijau, kacang
tanah dan wijen. Pola tumpangsari tersebut jelas
memberikan nilai tambah bagi pendapatan
petani terutama di Sumbawa Barat.
Budaya para petani Sumbawa Barat pada
umumnya suka menanam tanaman Jagung.
Hadirnya Agave tidak merusak adat setempat
tapi justru ada sinergis antara tanaman Agave
dan tanaman Jagung. Disisi lain penanaman
tanaman Agave, hanya sekali dalam pengolahan
tanah, sehingga sangat membantu dalam kaidah
kaidah konservasi lahan atau mencegah
terjadinya erosi dan membantu dalam
meningkatkan lingkungan utamanya tanah.
Gambar 6. Mesin dekortikator konveyer serat
yang sudah bersih diambil untuk
dijemur
Gambar 7. Mesin dekortikator konveyer terlihat
membuang limbah.
Tabel 3. Analisis usahatani Agave secara monokultur
Uraian Sistem monokultur Agave
Fisik Nilai
I. Produksi Serat kering 1.500. Rp. 7.500.000,-
II. Biaya produksi
Bibit agave 4.000 Rp. 400.000,-
Pupuk organik 140 karung Rp. 700.000,-
Pengolahan tanah 1 ha Rp. 300.000,-
Mesin dekortikator 1 unit Rp.1.750.000,-
Solar 175 liter Rp. 787.500,-
Penanaman bibit 15 HOK Rp. 225.000,-
Pemupukan 8 HOK Rp. 120.000,-
Pemanenan serat dan pejemuran 100 HOK Rp.1.500.000,-
Total biaya prosduksi 1 ha Rp.5.782.500,-
Pendapatan (I - II) Rp.1.717.500,-
Keterangan :Harga bibit agave Rp. 100/bibit; Pupuk organik Rp. 5000,-/karung; Minyak Solar Rp. 4.000,-/liter:
HOK Rp. 15.000/hari dan harga serat kering Agave Rp. 5.000/kg
Sumber : Sudjindro, (2011).
50 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 40 - 51 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
Hasil penelitian tumpangsari Agave +
jagung dan tumpangsari Agave + Kacang tanah
Santoso, (2007) menunjukkan bahwa untuk
jagung ada tambahan penerimaan sebesar
Rp.5.160.000,- per hektar dan untuk kacang
tanah ada tambahan penerimaan sebesar Rp.
2.250.000,- per hektar dengan nilai kesetaraan
lahan (NKL) masing masing 1,79 dan 1,54.
KESIMPULAN
Sumbawa Barat dengan karakter lahan
kering, beriklim kering sesuai untuk
pengembangan agave dengan sistem plasma dan
inti. Potensi wilayah pengembangan di Sumbawa
Barat diperkirakan seluas 5.000 ha.
Pengembangan agave di wilayah ini didukung
oleh ketersediaan tenaga kerja yang cukup untuk
kebun plasma dan investor nasional yang
mengelola kebun inti. Pola rintisan
pengembangan agave di Sumbawa Barat
dilakukan dengan penjualan serat kering
produksi kebun plasma kepada investor yang
juga mengelola kebun inti dengan harga yang
disepakti bersama pada saat panen. Selain itu
investor juga menyediakan saprodi dan mesin
dekortikator. Peran pemerintah daerah Sumbawa
Barat dan Pemerintah Pusat sangat penting
dalam mendukung keberhasilan pengembangan
agave. Dukungan teknologi budidaya dan pasca
panen telah tersedia. Hasil analisa usahatani
monokultur Agave sebesar Rp. 1.717.500,-/ha.
Sedang pola tumpangsari Agave + Jagung dan
tumpangsari Agave +Kacang tanah masing
masing mendapat tambahan penerimaan Rp
5.160.000,-/ha dan Rp. 2.250.000/ha. Secara sosial
ekonomi usahatani Agave sudah memberikan
keuntungan apalagi bila ditanam secara
tumpangsari akan memperoleh pendapatan
ganda yaitu penghasilan dari tanaman agave dan
tanaman palawija (jagung atau kacang tanah).
Limbah seresah dari hasil panenan tanaman
pangan yang berupa daun kering dapat dibenam
kedalam tanah sehingga dapat membantu
meningkatkan kesuburan lahan, sekaligus
berwawasan lingkungan.
Disarankan agar dibentuk gabungan
kelompok tani (Gapotan) agave, sehingga mudah
dalam pengelolaannya, terutama dalam
medistribusikan bantuan kredit usahatani dalam
bentuk perguliran. Disamping itu juga didirikan
kelembagaan seperti koperasi mengingat agave
merupakan tanaman perkebunan yang hasilnya
tidak dapat langsung dikomsumsi, kiranya perlu
kemudahan dalam mendapatkan uang, untuk
kebutuhan sehari-hari bagi petani.
UCAPAN TERIMA KASIH
Disampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam
penulisan review ini. Penulis juga
menyampaikan rasa terima kasih kepada Balai
Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat yang
telah menyediakan fasilitas untuk penulisan
tinjauan ini. Juga tidak lupa Ucapan terima kasih
disampaikan kepada pimpinan PT. Sumbawa
Agro yang telah menyediakan tempat dan Kebun
Agave selama beberapa waktu untuk dijadikan
obyek kajian tentang pola pengembangan agave.
DAFTAR PUSTAKA
Arizaga, S., & Ezcurra, E. (2002). Propagation
mechanis ms. In Agave macrocatta
(Agavaceae), a tropical arid land succulent
rosette. American Journal of Botany, 84(no4),
632–641.
Brown, K. (2002). Agave Sisalana Perrine. In
Agave Sisalana Perrine (pp. 18–21).
University of Florida Center for Aquatic and
Invasive Plants.
Cholid, M. (2014). Seleksi Batang Bawah dan
Kompatibilitas Penyambungan Tanaman Jarak
Pagar (Jatropha curcas L.) untuk Meningkatkan
Produksi dan Toleransi Cekaman Kekeringan.
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor.
FAO. (2009). Natural Fibre. Retrieved from IYNF-
2009website:http://www.naturalfibre2009.or
g/en/fibres/sisal.html.
Guritno, B. (1998). Pengaturan pola tanam dalam
upaya peningkatan produktivitas lahan kering.
Malang.
Gutierrez, A., Rodriguez, I. M., & Rio., J. C. del.
(2008). Chemical compotion of lipophilic
extractive from sisal (Agave sisalana) fibers.
Industrial Crops and Product. P., 81–87.
51 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)
Hunter, R. W. (2001). Sisal Fibre. Market
opportunities in the pulp and paper industry.
Retrieved from
http://www.irnase.csic.es/users/delrio/repos
itory/2008-Gutierrez-ICP-28-81.pdf
Kusumastuti, A. (2009). Aplikasi Serat Sisal
sebagai Komposit Polimer. Jurnal Kompetensi
Teknik, 1(1), 27–32. Retrieved from
http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mo
d=viewarticle&article=136027
Menakertrans. (2012). Kemnakertrans Kembangkan
Sisal di Lahan Transmigrasi. Nasional
Sumbawa.
Nugraheni, S. D., & M, M. (2012). Pengembangan
Agave (Agave sisalana) di Madura.
Prosiding Seminar Nasional Serat Alam.
Prosiding Seminar Nasional Serat Alam:Inovasi
Teknologi Serat Alam Mendukung Agroindustri
Yang Berkelanjutan, 358–363. Malang:
Balittas.
Oldeman, L. ., & Darmijati, S. (1977). An
Agroclimate Map of Sulawesi ans Nusa
Tenggara Barat. Bogor.
Oldeman, L., I., & Muladi. (1980). An Agroclimate
Map of Java. Bogor.
PT. Agro Sumbawa. (2013). Kunjungan Balittas
dalam rangka pengamatan parameter produksi
agave untuk data pelepasan varietas.
Purwati, R. . (2005). Wawan cara langsung mengenai
perbanyakan benih Agave melalui Kultur
Jaringan. Malang.
Riajaya, P. D. (2013). Periode Musim Hujan dan
Penyempurnaan Waktu Tanam di Berbagai
Daerah Pengembangan Kapas Indonesia.
Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan
Petani Kapas. Jakarta.
Riajaya, P. D., Kadarwati, F. T., & Machfud, M.
(2003). Perkiraan peluang hujan untuk
menentukan waktu tanam kapas di Nusa
Tenggara Barat. Journal Penelitian Tanaman
Industri, 9(2), 39–47.
Santos-Zea, L., Leal-Diaz, A. M., Cortes-Ceballos,
E., G.-U., & A., J. (2012). . Agave (Agave
spp) and its Traditional Product as a source
of Bioactive Compouds. Current Bioactive
Compounds, 8(3), 1–14.
Santoso, B. (2007). Pengaruh Tanaman Kacang
Tanah dan Jagung terhadap Pertumbuhan
Agave sisalana Perrine dalam Sistem
Tumpangsari di Ahan Kering Berkapur.
Agritek, 15(6), 1358–1363.
Santoso, B. (2009). Peluang Pengembangan Agave
Sebagai Sumber Serat Alam. Prespektif, 8(2),
84–95.
Santoso, B. (2012). Wawancara langsung dilapangan
mengenai keunggulan klon agave xy+1168 pada
PT. Agro Sumbawa.
Saraswati, R. (2014). Inovasi Teknologi Pupuk
Hayati Mendukung Pengembangan Pertanian
Bioindustri. Badan Litbang Pertanian.
Sayaka, B., Rudy, S., Rivai, & Supriyadi. (2013).
Peningkatan Akses Petani Terhadap Permodalan
Usahatani. Prospek Pertanian Lahan Kering
dalam Mendukung Ketahanan Pangan.
Setyo-Budi, U., & Marjani. (2013). Laporan Hasil
Kunjungan Ke Kebun Sisal (Agave sisalana)
PT. Pulau Sumbawa Agro. Sumbawa.
Sofyan. (2010). Laporan Dingding Sel, Kloroplas
pada Tanaman.
Subowo, G., & Purwati., J. (2013). Pemberdayaan
Sumber Daya Hayati Tanah Mendukung
Pengembangan Pertanian Ramah
Lingkungan. Jurnal Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian, 32(4), 178–179.
Sudjindro. (2011). Prospek Serat Alam Untuk
Bahan Baku Kertas Uang. Prespektif, 10(2),
90–104.
Summer, W. (2002). Acrobat acid metabolism of
Agave sisalana plants growing in a
neotropical savanna. Journal of Experimental.
Botany, 46(267), 639–646.
Suwardji. (2009). Mencari Skenario
Pengembangan Pertanian Lahan Kering
yang Berkelanjutan di Propinsi NTB.
Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Miskin
Di Lahan Marginal Melalui Inovasi Teknologi
Tepat Guna. Kerjasama Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian, UNRAM, BPM Dan
Bappeda NTB, 1–10.
Suyamto. (1982). Hara Mineral dan Pengelolaan
air pada Tanaman Kacang Tanah. Prosiding
Kacang Tanah Balai Penelitian Tanaman
Pangan Malang, 108–137.
Wahyunto, & Shofiyati, R. (2013). Wilayah Potensi
Lahan Kering Untuk Mendukung Pemenuhan
Kebutuhan Pangan di Indonesia.
Perspektif Vol. 18 No. 1 /Jun 2019. Hlm 52- 66 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n1.2019, 52 -66
ISSN: 1412-8004
52 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :52 - 51
PERANAN AGENS HAYATI DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT
JAMUR AKAR PUTIH PADA TANAMAN KARET
The Role Of Biocontrol Agents To Control White Root Disease In Rubber
WIDI AMARIA, KHAERATI, dan RITA HARNI
Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar
Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops
Jalan Raya Pakuwon Km 2 Parungkuda, Sukabumi 43357, Indonesia
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penyakit jamur akar putih (JAP) yang disebabkan oleh
Rigidoporus microporus merupakan penyakit penting
pada tanaman karet (Hevea brasiliensis). Daerah
serangan cukup luas dan menyebabkan kerugian
ekonomi mencapai 1,8 trilliun rupiah. R. microporus
merupakan patogen tular tanah yang menginfeksi
mulai pembibitan sampai tanaman dewasa di lapang
melalui proses mekanis dan enzimatis. Patogen R.
microporus menginfeksi Rhizomorf R. microporus cepat
berkembang dan mampu bertahan selama bertahun-
tahun di dalam tanah. Pengendalian dengan
menggunakan fungisida kimia secara terus menerus
dapat mengganggu kestabilan lingkungan. Upaya
mengurangi dampak negatif tersebut, dilakukan
melalui penerapan teknologi pengendalian hayati
dengan pemanfaatan agens hayati. Keunggulan
penggunaan agens hayati antagonis adalah mudah
berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan,
mengurangi inokulum patogen, mudah didapatkan
dan diperbanyak, serta aman untuk lingkungan. Agens
hayati antagonis yang telah digunakan untuk
mengendalikan penyakit JAP, antara lain dari
kelompok jamur Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus,
Chaetomium, Botryodiplodia, Penicillium, Paecilomyces,
dan Eupenicillium, kelompok bakteri adalah Bacillus
dan Pseudomonas, serta kelompok aktinobakteri dari
marga Streptomyces. Mekanisme agens hayati menekan
infeksi R. microporus dengan kompetisi, antibiosis,
hiperparasitisme, lisis, dan secara tidak langsung
menginduksi ketahanan serta pertumbuhan tanaman.
Keefektifan dan kestabilan agens hayati perlu
diformulasi dalam bentuk biofungsida dengan
menggunakan bahan pembawa dan tambahan
tertentu. Keberhasilan aplikasi biofungisida sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu,
kelembapan, dan pH. Selain itu, juga didukung oleh
komponen budi daya tanaman, seperti penggunaan
pupuk organik, dan sanitasi lingkungan dengan
pemusnahan sumber inokulum.
Kata kunci: Hevea brasiliensis, pengendalian hayati,
jamur akar putih
ABSTRACT
White root disease (WRD) caused by Rigidoporus
microporus is an important disease in rubber (Hevea
brasiliensis). The area of attack was quite extensive and
caused economic losses up to 1.8 trillion rupiahs. R.
microporus is a soil-borne pathogen that infects from
seedlings to mature plants in the field through
mechanical and enzymatic processes. Rhizomorph able
to spreads and survives for years in the soil. Control
using chemical fungicides continuously affects the
environment stability. The efforts to reduce are
conducted through the application of biological control
technology with the use of antagonistic biological
agents. The benefits of antagonistic biological agents
include: easy to develop and adapt to the environment,
reducing pathogen inoculum, easily obtained and
reproduced, and safe for the environment. The
antagonistic biological agents to control WRD include
fungus: Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus,
Chaetomium, Botryodiplodia, Penicillium,
Paecilomyces, Eupenicillium, bacteria: Bacillus and
Pseudomonas, and actinobacteria: Streptomyces. The
mechanism of biological agents that suppress R.
microporus infections with the competition, antibiosis,
hyperparasitism, lysis, and indirectly induce resistance
and plant growth-promoting. The effectiveness and
stability of biological agents need to be formulated into
bio fungicide using carriers and additives. The
successful application of bio fungicide is strongly
influenced by environmental factors such as
temperature, humidity, and pH. It is also supported by
the cultivation techniques and environmental
sanitation, including inoculum source.
53 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)
Keywords: Hevea brasiliensis, biological control, white
root disease
PENDAHULUAN
Penyakit jamur akar putih (JAP) yang
disebabkan oleh Rigidoporus microporus syn.
Rigidoporus lignosus merupakan penyakit penting
pada tanaman karet. Infeksi R. microporus
mengakibatkan penurunan produksi dan
kematian tanaman. Kehilangan hasil akibat
penyakit ini secara ekonomis cukup tinggi, tidak
hanya kehilangan produksi akibat infeksi
penyakit tetapi juga mahalnya biaya yang
diperlukan dalam pengendalian. Di Indonesia,
kerugian finansial akibat kematian tanaman
mencapai 1,8 triliun rupiah per tahun dengan
perkiraan keparahan penyakit sebesar 3% di
perkebunan besar dan 5% di perkebunan rakyat
(Situmorang et al. 2007). Selanjutnya Natawijaya
(2007) melaporkan dari 12 provinsi di Indonesia
dengan kejadian penyakit JAP seluas 80.204
hektar, diperkirakan menyebabkan kerugian
sebesar 10,39 milyar rupiah. Luas serangan JAP
dari tahun ketahun mengalami peningkatan,
seperti yang dilaporkan Muklasin dan
Matondang (2010), pada tahun 2009 luas
serangan 12.535,06 ha, meningkat menjadi
26.539,47 ha pada tahun 2010, dan tahun 2011
menjadi 16.251,49 ha. Kejadian penyakit JAP
bahkan mencapai 100% dengan keparahan
penyakit 52,50% seperti yang dilaporkan Rahayu
et al. (2017) di Kecamatan Air Batu Kabupaten
Asahan, Sumatera Utara.
Patogen menginfeksi semua stadia umur
tanaman karet, namun gejala penyakit lebih
banyak ditemukan pada fase tanaman belum
menghasilkan (TBM). Menurut Situmorang et al.
(2007), umur tanaman 2-4 tahun merupakan fase
yang rentan terhadap infeksi R. microporus.
Infeksi terjadi melalui proses patogenesis mulai
dari kontak patogen dengan permukaan jaringan
inang, penetrasi, invasi dan kolonisasi, sampai
dengan menimbulkan gejala penyakit.
Keberhasilan infeksi juga ditentukan oleh
peranan cell wall degrading enzyme (CWDE) yang
dihasilkan oleh patogen (Omorusi et al. 2014;
Omorusi 2012).
Miselium yang menginfeksi inang, banyak
ditemukan di sekitar leher akar, pangkal batang,
dan di daerah perakaran. Infeksi tersebut
menyebabkan batang dan akar tanaman
menghitam, membusuk, lunak, mudah patah,
sedangkan pada bagian atas tanaman
memperlihatkan daun menjadi kusam, layu,
menguning, kering, dan menyebabkan kematian
tanaman (Amaria dan Wardiana 2014; Omorusi et
al. 2014; Omorusi 2012). Kondisi ini banyak
ditemukan pada kebun karet yang kurang
terpelihara dengan baik, kebersihan maupun
budi daya tanaman kurang diperhatikan
sehingga selain kondisi lingkungan yang
mendukung perkembangan penyakit, tanaman
juga mudah terserang.
Teknologi pengendalian JAP sudah banyak
dilaporkan salah satunya adalah pengendalian
hayati. Pengendalian hayati merupakan salah
satu pengendalian organisme pengganggu
tanaman (OPT) ramah lingkungan, terutama
memanfaatkan agens hayati berupa jamur,
bakteri, maupun aktinobakteri yang bersifat
antagonis. Soesanto (2008) mengemukakan,
pengendalian hayati sangat dianjurkan terutama
untuk mencegah dan menekan infeksi patogen
tular tanah karena agens hayati lebih mudah
berkembang dan beradaptasi dalam tanah. Di
samping itu, keuntungan lainnya adalah agens
hayati mudah diperoleh dan diperbanyak,
kompatibel dengan komponen pengendalian lain,
serta mendukung keanekaragaman hayati.
Pengendalian ini akan lebih efektif jika dalam
aplikasinya dikombinasikan dengan teknologi
budi daya yang direkomendasikan, seperti
pemupukan dan sanitasi lingkungan.
Dampak aplikasi agens hayati tidak
langsung terlihat dalam waktu singkat, namun
membutuhkan waktu panjang untuk
memberikan kestabilan lingkungan dalam
menekan perkembangan infeksi patogen serta
menurunkan intensitas penyakit. Agens hayati
yang telah digunakan untuk pengendalian JAP,
di antaranya dari kelompok jamur adalah
Trichoderma, Hypocrea, Aspergillus, Chaetomium,
Botryodiplodia, Penicillium, Paecilomyces, dan
Eupenicillium (Amaria et al. 2013; Amaria dan
Wardiana 2014; Fairuzah et al. 2014; Kaewchai
dan Soytong 2010; Kusdiana et al. 2015; Ogbebor
54 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
et al. 2015; Ubogu 2013), dari kelompok bakteri
adalah Bacillus dan Pseudomonas (Muharni dan
Widjajanti 2011; Nasrun dan Nurmansyah 2015),
dan aktinobakteri adalah Streptomyces (Nakaew et
al. 2015).
Penggunaan agens hayati untuk
mengendalikan JAP telah dilaporkan oleh
Amaria et al. (2015), T. harzianum, T. virens, T.
amazonicum, T. atroviride mempunyai daya
hambat tinggi (>70%) terhadap R. microporus dan
mampu mencegah perkembangan infeksi JAP
pada bibit karet. Selanjutnya Ogbebor et al. (2015)
menggunakan Hypocrea jecorina efektif
menghambat R. lignosus 86,83%, sementara P.
fluorescens dan Bacillus sp. dapat menekan
intensitas penyakit JAP 80,95%−82,91% (Nasrun
dan Nurmansyah 2015).
Dalam rangka menyusun strategi
pengendalian hayati JAP pada tanaman karet,
perlu diketahui tentang bioekologi patogen,
faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan
penyakit, serta evaluasi agens hayati yang
digunakan terutama dalam formula biofungsida
agar sesuai dengan lingkungan dan memiliki
kemampuan yang tinggi dalam menekan
penyakit JAP. Tujuan penulisan adalah mengkaji
bioekologi patogen R. microporus, serta mengulas
tentang teknologi pengendalian hayati JAP pada
tanaman karet yang sampai saat ini sedang
dikembangkan.
BIOLOGI DAN EKOLOGI PATOGEN
PENYEBAB PENYAKIT
JAMUR AKAR PUTIH
Patogen Penyebab Penyakit
Patogen penyebab JAP adalah R. microporus
(Swartz: Fr.) van Ov. sinonim dari R. lignosus
(Kloztch) Imazeki, Polyporus lignosus Klotzch, dan
Fomes lignosus (Klotzch) Bres. Jamur ini termasuk
dalam kelas Basidiomycetes yang menghasilkan
badan buah (basidiokarp), mempunyai dinding
sel mengandung kitin dan glukan (Nicole dan
Benhamou 1991; Semangun 2008). R. microporus
bersifat saprofit yang mampu bertahan hidup
pada food base berupa tunggul atau bekas pohon
tumbang dan sisa-sisa tanaman, serta sebagai
parasit apabila bertemu inang dan menyebabkan
kematian tanaman.
Rizomorf (kumpulan miselium yang
kompak) berwarna putih sampai jingga, tumbuh
menjalar, bercabang seperti akar pada
permukaan tanaman. Miselium dengan ketebalan
1–2 mm ini, mampu berada di dalam tanah yang
bebas dan terlepas dari akar atau kayu sebagai
sumber nutrisinya (Nandris et al. 1987; Omorusi
et al. 2014). Kemampuan hidup di dalam tanah
tersebut menyebabkan rizomorf mampu bertahan
dalam tanah dalam waktu yang lama, selama
bertahun-tahun sehingga mudah menyebar dan
melakukan penularan dengan melekat langsung
di permukaan akar tanaman (attachment) atau
melalui kontak akar sakit dengan akar sehat.
R. microporus bersifat polifag, mempunyai
kisaran inang yang luas. Selain menginfeksi
tanaman perkebunan dan tanaman hutan, seperti
karet, kopi, kakao, teh, kelapa sawit, cengkeh,
mangga, nangka, jambu mete, jati, sengon,
cemara, meranti, akasia, patogen ini juga
menginfeksi tanaman penutup tanah jenis
kacang-kacangan yang menjalar (Semangun
2008).
Mekanisme Infeksi dan Gejala Penyakit JAP
Mekanisme infeksi R. microporus pada proses
patogenesis, dilakukan secara mekanis dengan
membentuk struktur infeksi untuk menembus
permukaan jaringan tanaman. Selain mekanis,
juga dengan enzimatis, yaitu menghasilkan
CWDE berupa kutinase, selulase, hemiselulase,
pektinase, dan ligninase yang masing-masing
memiliki fungsi mendegradasi sesuai dengan
dinding sel inang.
Nandris et al. (1987), Omorusi (2012), dan
Omorusi et al. (2014) menjelaskan bahwa setelah
rizomorf menempel pada permukaan akar
tanaman karet, hifa patogen mengalami
diferensiasi membentuk struktur infeksi, yaitu
hifa penetrasi yang mampu menembus masuk ke
dalam jaringan inang melalui lentisel, luka, atau
secara langsung. Patogen menghasilkan CWDE
kutinase untuk mendegradasi kutin yang
merupakan halangan pertama di permukaan
jaringan inang. Rizomorf masuk dalam jaringan
inang dengan menekan epidermis dan korteks.
Tahap kolonisasi secara intra dan interseluler
dengan bantuan CWDE mampu mendegradasi
pektin dan lignin yang terdapat pada lamela
55 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)
tengah, mengakibatkan bagian ini hancur.
Kolonisasi juga meluas sampai ke jaringan xylem,
dan mendegradasi dinding sel secara progresif.
Enzim yang berperan dalam mendegradasi lignin
adalah lakase, Mangan Peroksidase, dan Lignin
Peroksidase, yang mengakibatkan akar tanaman
membusuk, kecokelatan, lunak, lapuk, serta
basah. Oghenekaro et al. (2015) menambahkan
bahwa pada saat proses delignifikasi oleh R.
microporus, dinding sel inang akan menipis
karena hilangnya lignin, serta terjadinya
pemisahan fiber (serat kayu). Hal ini
menyebabkan jaringan inang yang mengandung
kayu mudah remah dan patah. Lebih lanjut
dijelaskan, CWDE lakase diproduksi dalam
jumlah tinggi oleh patogen karena sangat
berperan dalam mendegradasi lignin jaringan
inang serta terlibat dalam berbagai proses
biologis.
Infeksi R. microporus ditentukan dari sumber
inokulum, baik berasal dari kebun karet maupun
lokasi di sekitarnya. Sumber inokulum JAP dapat
berupa tunggul bekas pohon tumbang (Gambar
1a), sisa-sisa kayu dan ranting (Gambar 1b),
daun-daun karet kering (Gambar 1c) yang gugur
di sekitar tanaman, pohon tumbang (Gambar 1d),
badan buah dan miselium R. microporus (Gambar
1e), serta. Sumber inokulum yang merupakan
sisa-sisa akar terinfeksi di dalam tanah juga
sangat menentukan penyebaran rizomorf
patogen. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Omorusi et al. (2014) bahwa kondisi ini dapat
mendukung terjadinya kontak akar tanaman
sakit dengan sehat. Oleh karena itu, pohon karet
atau pohon lain yang mati/tumbang di sekitar
lokasi harus segera dimusnahkan atau
disingkirkan dari kebun sampai dengan
perakarannya. Pada saat dilakukan pengolahan
tanah untuk peremajaan karet juga perlu
diperhatikan karena sisa-sisa akar tanaman
terinfeksi patogen di dalam tanah, jika dibiarkan
akan menjadi sumber inokulum yang dapat
menginfeksi dan menyebabkan kematian bagi
tanaman lainnya.
Gejala penyakit JAP baik pada bibit maupun
tanaman dewasa di lapang mempunyai
kesamaan, yaitu rizomorf yang melekat kuat
pada perakaran, leher akar, dan pangkal batang.
Gambar 1. Sumber infeksi JAP di sekitar kebun karet: (a) tanggul, (b) ranting, (c) daun kering, (d) pohon
tumbang, (e) badan buah dan miselium R. microporus (Sumber: Koleksi penulis)
a b c
d e
56 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
Hasil penelitian Amaria dan Wardiana (2014)
menunjukkan bahwa gejala penyakit JAP muncul
pada 24 hari setelah inokulasi (HSI), dan bibit
karet akan mengalami kematian pada 60 sampai
100 HSI. Gejala JAP pada bibit karet diawali
munculnya miselium berwarna putih di
perakaran, yaitu akar tunggang dan lateral
(Gambar 2a), rizomorf melekat kuat pada
permukaan akar tunggang (Gambar 2b),
selanjutnya menghitam dan membusuk (Gambar
2c).
Pada tanaman dewasa di lapang, gejala pada
tajuk tanaman, yaitu daun kusam, menguning,
serta batang dan daun mengering (Gambar 3a)
karena translokasi air, mineral, dan nutrisi
terganggu. Gejala pada bagian perakaran
menunjukkan rizomorf melekat di permukaan
akar dan pangkal batang disertai dengan
munculnya warna hitam yang menyebabkan
pembusukan, tekstur remah, rapuh, dan mudah
patah. Apabila infeksi R. microporus meningkat
maka ditandai dengan kolonisasi rizomorf, dan
pada pohon karet akan tampak badan buah di
sekitar leher akar atau pangkal batang (Gambar
3b). Perkembangan badan buah diikuti dengan
pembusukan jaringan tanaman di dalamnya. Hal
ini menyebabkan pertumbuhan tanaman
terhambat sehingga menyebabkan pohon
tumbang atau kematian tanaman.
Faktor-faktor yang Memengaruhi
Perkembangan Penyakit
Potensi kejadian penyakit JAP pada suatu
areal ditentukan oleh kondisi vegetasi
Gambar 2. Gejala penyakit JAP pada bibit karet: (a) miselium putih, (b) rizomorf, (c) pembusukan akar
(Sumber: Koleksi penulis)
a b c
Gambar 3. Gejala lanjut JAP pada pohon karet di
lapang: (a) daun kusam, menguning,
kering, dan gugur; (b) badan buah R.
microporus, (Sumber: Koleksi penulis)
a b
57 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)
sebelumnya, tekstur, atau struktur tanah,
keasaman tanah (pH), kadar air tanah, curah
hujan per tahun, dan topografi (Tabel 1).
Curah hujan yang tinggi lebih dari 4.000
mm/tahun dapat meningkatkan kejadian
penyakit karena kelembapan udara dan tanah
juga meningkat sehingga patogen R. microporus
cepat berkembang. Pada curah hujan kurang dari
2.500 mm/tahun atau sampai 4.000 mm/tahun,
kelembapan udara berkurang, namun jika
kelembapan tanah masih tinggi maka patogen
juga tetap dapat menginfeksi perakaran.
Kondisi topografi kebun yang datar atau
landai, menyebabkan air hujan mudah tergenang
sehingga mendukung perkembangan penyakit.
Demikian juga dengan tekstur tanah gembur atau
berpasir, meningkatkan kemampuan rizomorf
untuk menembus tanah berpori. Selain itu,
menurut Situmorang (2004), sumber inokulum
dari bekas kebun karet tua dan hutan primer,
yaitu akar-akar tunggul dalam tanah yang
berongga, akan mempermudah pergerakan
rizomorf sehingga mempercepat terjadinya
infeksi dan penyebaran patogen.
Faktor-faktor lainnya seperti kelembapan
tinggi di atas 80%, kandungan bahan organik
tinggi, aerasi yang baik, dan pH 5–7 dapat
meningkatkan infeksi R. microporus (Sinulingga
dan Eddy 1989). Basuki (1986) dalam Setyawan et
al. (2013) melaporkan hasil pengamatan di
laboratorium, bahwa R. microporus mudah
berkembang secara optimal pada pH netral (5,5–
6,5), sedangkan pada pH asam pertumbuhannya
semakin terhambat dan tidak berkembang pada
pH 4.
Persiapan lahan merupakan faktor penting
yang memengaruhi intensitas penyakit JAP di
perkebunan karet. Pada perkebunan rakyat
umumnya dilakukan tanpa adanya
pembongkaran tunggul, hanya ditebang, dan
diikuti dengan pembakaran lahan. Oleh karena
itu, sisa-sisa akar yang tertinggal di dalam tanah
merupakan food base R. microporus. Berbeda pada
perkebunan besar, persiapan lahan telah
dilakukan dengan baik agar tunggul dan sisa-sisa
akar dicabut dan dibersihkan secara mekanik
kemudian dibakar. Namun, dengan adanya
larangan pembakaran pada saat persiapan lahan
oleh pemerintah, tunggul dan sisa-sisa akar
ditumpuk di areal gawangan. Tumpukan
tersebut juga berpotensi menjadi sumber
inokulum pada pertanaman yang baru dan
kondisi ini akan meningkatkan tingkat kejadian
penyakit JAP (Situmorang et al. 2007).
AGENS HAYATI UNTUK
MENGENDALIKAN PENYAKIT JAMUR
AKAR PUTIH PADA TANAMAN KARET
Agens Hayati
Agens hayati pengendali JAP dapat
diperoleh dari sampel yang diambil di sekitar
perakaran tanaman (rizosfir), atau di dalam tanah
dengan kedalaman tertentu, serta jaringan
tanaman (endofit) terutama bagian perakaran.
Sampel tersebut selain berasal dari ekosistem
tanaman karet (indigenous), juga dapat berasal
dari tanaman lain.
Berbagai jenis agens hayati baik dari kelompok jamur, bakteri, maupun aktinobakteri telah dimanfaatkan untuk menghambat perkembangan R. microporus baik in vitro maupun pada tanaman karet. Kelompok jamur adalah A.
Tabel 1. Faktor lingkungan yang memengaruhi kejadian penyakit JAP pada tanaman karet
Potensi
kejadian
Faktor lingkungan
Tanah asal Struktur/tekstur
tanah
pH Lengas
tanah (%)
Hujan
(mm/tahun)
Topografi
Ringan Rumput, semak-
semak
Lempungan/padat 3-4 <50 < 2.500 Berbukit
Sedang Hutan sekunder Lempungan/ sedang 4-5 50-80 2.500-4.000 Bergelombang
Berat Lahan replanting
karet/hutan
primer
Berpasir/gembur 5-7 80-90 >4.000 Datar
Sumber: Wijewantha (1964), Basuki (1981), Peries dan Liyange (1983) dalam Situmorang et al. (2007)
58 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
niger, Chaetomium bostrychodes, Ch. cupreum, T. hamatum, T. harzianum, Botryodiplodia theobromae mampu menghambat pertumbuhan koloni patogen lebih dari 50% (Kaewchai dan Soytong 2010; Ubogu 2013). Hasil penelitian lain, T. harzianum, T. virens, T. amazonicum, T. atroviride mempunyai daya hambat tinggi terhadap R. microporus di atas 70% dan mampu mencegah perkembangan infeksi JAP pada bibit karet (Amaria et al. 2015; Amaria et al. 2013; Amaria dan Wardiana 2014). Demikian juga, Hypocrea jecorina efektif menghambat R. lignosus sampai 86,83% (Ogbebor et al. 2015). Potensi kelompok bakteri yang mampu menghambat R. microporus adalah Bacillus sp. dan B. apiarus asal rizosfir tanaman karet, P. fluorescens dari akar kunyit dan karet (Damiri et al. 2019; Muharni dan Widjajanti 2011). Rizobakteria P. fluorescens dan Bacillus sp., dapat diaplikasikan di daerah endemik JAP pada tanaman karet berumur 5 tahun dengan penekanan intensitas penyakit 80,95%−82,91% (Nasrun dan Nurmansyah 2015). Sementara itu, dari jenis aktinobakteri Streptomyces asal rizosfir tanaman kunyit dan jahe dapat menekan intensitas penyakit JAP hingga 20% lebih tinggi dibandingkan fungisida kimia sintetik (Nakaew et al. 2015).
Mekanisme Agens Hayati
Setiap jenis agens hayati mempunyai satu
atau lebih mekanisme penting dalam mencegah,
menghalangi, ataupun menghambat
perkembangan infeksi patogen. Komponen dasar
yang penting dalam keberhasilan penghambatan
tersebut, sesuai yang dijelaskan Harman (2000),
yaitu agens hayati dapat bersaing dan bertahan
di dalam lingkungan tertentu, berkoloni dan
berproliferasi pada tempat aplikasi, serta mampu
bersimbiosis dengan tanaman. Mekanisme agens
hayati menentukan keberhasilan aktivitas dalam
mencegah perkembangan infeksi patogen.
Mekanisme secara langsung dengan antibiosis,
kompetisi, hiperparasitisme, CWDE (enzim litik),
dan tidak langsung misalnya dengan induksi
ketahanan tanaman dan plant growth promoting.
Penelitian tentang mekanisme agens hayati
dalam menekan perkembangan R. microporus
yang banyak dilaporkan adalah mekanisme
secara langsung, di antaranya kompetisi,
antibiosis, hiperparasitisme, dan enzim litik
(Tabel 2).
Tabel 2. Mekanisme agens hayati dalam mengendalikan JAP
No Mekanisme Agens hayati Referensi
1 Kompetisi T. virens, T. hamatum, T. amazonicum, H. atroviridis, Trichoderma sp.
Amaria et al. (2015); Yulia et al. (2017)
2 Antibiosis Trichoderma sp. Damiri et al. (2019); Yulia et al. (2017)
B. siamensis B. amylolyquifaciens P. fluorescens
Damiri et al. (2019); Hardiyanti et al. (2018)
3 Hiperparasitisme T. virens, H. atroviridis,
Amaria et al. (2015); Suwandi (2008)
Chaetomium sp. Penicillium sp.
Hardiyanti et al. (2018)
4 Lisis (enzim litik) Kitinase Trichoderma sp.
Penicillium sp. Herath et al. (2017)
B. apiarus Bacillus sp.
Muharni dan Widjajanti (2011)
Pseudomonas sp. Burkholderia sp. Streptomyces sp.
Maiden et al. (2017); Nakaew et al. (2015)
Glukanase Trichoderma sp. Penicillium sp. Aspergillus sp.
Herath et al. (2017)
Protease Streptomyces sp. Nakaew et al. (2015)
59 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)
Menurut Pal dan Gardener (2006),
mekanisme antibiosis menghasilkan senyawa
antibiotik yang dapat menyebabkan hifa patogen
abnormal (malformasi). Senyawa antibiotik
termasuk 2,4-diacetylphloroglucinol, phenazines,
cyclic lipopeptides, pyoluteorin, pyrrolnitrin,
viscosinamide dan 2,4-diacetyl phloroglucinol, di
antaranya dihasilkan oleh Pseudomonas spp.,
Bacillus siamensis, dan B. amylolyquifaciens,
sedangkan Trichoderma spp. menghasilkan
viridin, trikomidin, dan gliotoksin untuk
menghambat R. microporus (Damiri et al. 2019;
Hardiyanti et al. 2018; Pal dan Gardener 2006).
Hiperparasitisme yang melibatkan kontak
langsung antara hifa agens hayati dengan hifa
patogen, serta dibantu dengan mekanisme lain
yang menghasilkan senyawa tertentu untuk
menghambat perkembangan patogen. Sebagai
contoh hifa T. virens, H. atroviridis, Chaetomium sp.
dan Penicillium sp. memparasit hifa patogen R.
microporus (Amaria et al. 2015; Hardiyanti et al.
2018; Suwandi 2008). Kemampuan
hiperparasitime T. virens, selain melilit hifat
patogen juga menghasilkan senyawa antifungal
trichodermin, gliotoxin, dan gliovirin. Sementara
itu, H. atroviridis membentuk kumparan yang
mengelilingi hifa patogen dan dibantu enzim β-
1,3-glucanases, β-1,6-glucanases, kitinase, dan
protease yang menyebabkan dinding sel patogen
lisis (Gupta et al. 2014)
Lebih lanjut Pal dan Gardener (2006)
menjelaskan mekanisme enzim litik, yaitu
memproduksi enzim seperti kitinase, glukanase,
dan protease. Enzim ekstraseluler tersebut
dihasilkan oleh mikrob, bekerja mendegradasi
dengan cara menghidrolisis struktur dinding sel
patogen yang mengandung kitin, glukan, dan
protein sehingga dinding sel mengalami lisis
(hancur atau rusak). Menurut Harman (2000)
enzim yang menghidrolisis dinding sel patogen
akan menghambat sintesis selaput dinding sel
sehingga menyebabkan menurunnya
kemampuan patogen dalam menginfeksi
tanaman. Degradasi enzim kitinase dengan cara
menghidrolisis polimer kitin menjadi monomer
N-asetil-glukosamin, β-glukanase menghidrolisis
ikatan β-1,3-glukan dan β-1,4-glukan, sedangkan
protease mampu menguraikan protein menjadi
monomer peptida dan asam amino. Secara
umum, penghambatan oleh agens hayati dengan
cara merusak struktur atau dinding sel patogen,
memengaruhi permeabilitas membran sel,
sebagai inhibitor enzim sehingga aktivitas
metabolisme patogen terganggu, dan sintesis
protein terhambat, selanjutnya menyebabkan
pertumbuhan dan perkecambahan patogen
terhambat. Agens hayati yang menghasilkan
enzim litik di antaranya Trichoderma spp., Bacillus
spp., dan Streptomyces spp., memproduksi
kitinase, glukanase, dan protease untuk
mendegradasi dinding sel R. microporus (Muharni
dan Widjajanti 2011; Nakaew et al. 2015; Pal dan
Gardener 2006). Demikian juga hasil seleksi
Maiden et al. (2017) yang membuktikan
penghambatan sembilan isolat kitinolitik dari
marga Pseudomonas, Burkholderia, dan
Streptomyces terhadap perkembangan miselium
R. microporus mencapai 31,69–91,63%.
Kemampuan setiap jenis agens hayati dalam
menekan perkembangan patogen berbeda-beda.
Satu jenis agens hayati dapat mempunyai lebih
dari dua mekanisme penting. Seperti yang telah
diuraikan sebelumnya bahwa marga Trichoderma
mempunyai beberapa mekanisme penting, yaitu
antibiosis, hiperparastisme, maupun
menghasilkan enzim litik. Contoh lain adalah
dari jenis aktinobakteri yang berpotensi untuk
mengendalikan JAP pada tanaman karet adalah
dari marga Streptomyces. Aktinobakteri tersebut
mempunyai beberapa mekanisme penting, yaitu
antibiosis, produksi CWDE (kitinase, glukanase,
selulase, dan protease), siderofor, fitohormon
IAA, serta sebagai pelarut fosfat (Nakaew et al.
2015).
Gambar 4. Mekanisme agens hayati: (a) hifa
patogen abnormal; (b) hifa patogen
lisis (Sumber: Amaria et al. 2015)
a b
60 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAYATI
Berbagai teknik pengendalian hayati sampai
saat ini terus dikembangkan, bahkan menjadi
rekomendasi utama dalam kegiatan
pengendalian OPT. Keunggulan penggunaan
teknik pengendalian ini karena dapat
meminimalisir aplikasi pestisida kimia sintetis,
menjaga keberlangsungan ekosistem, serta
mendukung keanekaragaman hayati. Untuk
meningkatkan keefektifan agens hayati dan
mempermudah aplikasi maka agens hayati perlu
dibuat dalam bentuk formula biofungisida.
Formula adalah memformulasi agens hayati
dengan komposisi tertentu untuk meningkatkan
keefektifan dan kestabilannya.
Formula Biofungisida
Biofungisida merupakan salah satu
komponen pendukung pengendalian hayati yang
banyak dikembangkan. Kondisi ini dibuktikan
semakin meningkatnya penelitian maupun
munculnya produk-produk biofungisida
komersial yang telah terbukti keunggulannya
dalam mengendalikan penyakit tanaman.
Formula biofungisida dibuat dengan komposisi
tertentu menggunakan bahan pembawa (carrier)
dan tambahan (additive). Komposisi dalam
formula berpengaruh terhadap shelf-life agens
hayati selama di penyimpanan sehingga juga
memengaruhi keefektifan serta kestabilannya.
Komposisi yang sesuai menyebabkan agens
hayati dalam formula biofungisida mampu
beradaptasi dan bekerja dengan baik sesuai
dengan mekanisme dalam menekan
perkembangan infeksi patogen.
Tahap pertama sebelum formulasi adalah
produksi massal agens hayati dengan fermentasi
media cair atau padat. Agens hayati yang
diperbanyak dalam bentuk propagul mikrob
(misalnya konidia, miselium, dan klamidospora)
ataupun metabolit sekunder. Media yang dipilih
sebaiknya dengan harga terjangkau, tersedia, dan
mempunyai keseimbangan nutrisi yang tepat
(Nakkeeran et al. 2018). Media cair yang
digunakan antara lain molase, ragi molase,
kedelai molase, ekstrak kentang gula, V-8 juice,
dan limbah cair sulfat (Amaria et al. 2015; Harni et
al. 2017; Mukesh et al. 2016; Nakkeeran et al.
2018). Media padat seperti sorgum, jagung,
dedak, gandum, serbuk gergaji, ampas tebu yang
dibasahi, padi sekam, empulur sabut busuk,
pupuk kandang, dan substrat lain yang kaya
selulosa (Nakkeeran et al. 2018). Produksi massal
sangat penting untuk diperhatikan karena
kesesuain media, pH, dan suhu menentukan
jumlah propagul maupun metabolit yang
dihasilkan. Papavizas dan Lewis (1989) dalam
Nakkeeran et al. (2018) mengemukakan bahwa
fermentasi Trichoderma dalam media ragi molase
mampu memproduksi klamidospora yang
berlimpah. Penggunaan klamidospora lebih
efektif dibandingkan dengan konidia. Sementara
itu, produksi konidia Trichoderma di media padat
juga berhasil dilakukan oleh Cavalcante et al.
(2008), melaporkan penggunaan gandum dedak
mampu memproduksi konidia T. harzianum, T.
viride, dan T. polysporum empat kali lebih tinggi
dibandingkan jika menggunakan beras pada
kondisi kelembapan terbaik.
Tahap formulasi merupakan kegiatan
mencampur bahan aktif agens hayati, bahan
pembawa, serta tambahan dalam kadar dan
bentuk tertentu yang mempunyai daya kerja
sesuai dengan tujuan. Bahan aktif agens hayati
mempunyai kemampuan selektif tinggi terhadap
patogen, tidak bersifat toksik atau toksisitasnya
rendah terhadap manusia dan hewan
dibandingkan dengan fungisida kimia sintetik.
Sementara itu, bahan pembawa yang dipilih
tidak secara langsung memengaruhi penekanan
patogen, namun berpengaruh terhadap shelf-life
agens hayati selama penyimpanan dan kestabilan
pada saat efikasi biofungsida (Fravel et al. 1998).
Pengembangan formula biofungisida telah
berhasil dilakukan untuk jenis jamur dan bakteri.
Formula tepung (powder) digunakan dalam
formulasi T. asperellum dengan menggunakan
bahan pembawa talk, efektif mengendalikan
penyakit busuk pangkal batang Thielaviopsis
paradoxa (Wijesinghe et al. 2011). Bahan pembawa
talk juga digunakan dalam formulasi
biofungisida T. harzianum dan T. viride untuk
mengurangi kejadian penyakit layu Fusarium.
Biofungisida ini dapat disimpan 6-12 bulan (Patel
dan Patel 2014; Sriram et al. 2011). Widodo dan
Wiyono (2012) juga memformulasi bakteri
antagonis dengan komposisi bahan pembawa
61 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)
talk dan tambahan tepung cangkang rajungan
0,25% pada kadar air 20%. Biofungisida yang
disimpan selama 8 bulan mampu
mempertahankan populasi P. fluorescens dan B.
polymixa serta efektif untuk diaplikasikan. Selain
formula tepung, bentuk cair menggunakan
minyak jagung untuk formulasi T. virens dapat
memperpanjang masa inkubasi P. palmivora serta
menurunkan kejadian penyakit busuk buah
kakao (Chamzurni et al. 2014).
Formula biofungisida yang telah
diaplikasikan dan efektif mengendalikan
penyakit JAP, antara lain oleh Amaria et al.
(2016), masing-masing dengan bahan aktif T.
virens dan T. amazonicum yang diformulasi
menggunakan bahan pembawa talk. Populasi
Trichoderma dapat dipertahankan selama
penyimpanan 4 bulan dengan penambahan
gliserol di media perbanyakan. Benny et al. (2013)
menggunakan Bacillus sp. sebagai bahan aktif
biofungisida yang diaplikasikan untuk
perendaman maupun penyiraman di sekeliling
perakaran bibit stump karet. Formula
biofungisida berbahan aktif konsorsium antara
lain T. koningii dan T. viridae yang diformulasi
menjadi Triko SPPLUS (Sujatno dan
Pawirosoemardjo 2001), T. viridae, T. harzianum,
Paecilomyces lilacinus, dan B. subtilis (Kusdiana et
al. 2015), Triko Combi berbahan aktif T. koningii,
T. viride, T. harzianum, dan satu isolat lokal
(Setyawan et al. 2013), dan Endohevea
mengandung T. koningii, T. viridae, dan T.
harzianum (Fairuzah et al. 2014).
Aplikasi Biofungisida dalam Pengendalian JAP
pada Tanaman Karet
Pengendalian penyakit JAP dilaksanakan
secara terpadu berdasarkan prinsip integrated
disease management (IDM). Khokhar dan Gupta
(2014) menjelaskan IDM adalah menggabungkan
semua komponen pengendalian yang tersedia
seperti varietas tahan, kultur teknis, fisik, biologi,
kimiawi dalam satu kesatuan pengelolaan
sehingga populasi patogen tetap berada di bawah
ambang kerusakan ekonomi. Prinsip tersebut
mengacu pada integrasi konsep pengendalian
penyakit seperti penghindaran, eksklusi,
eradikasi, proteksi/perlindungan, dan
terapi/pengobatan.
Berdasarkan konsep IDM maka aplikasi
biofungsida sebagai salah satu komponen
pengendalian hayati penyakit JAP sebaiknya
dilakukan secara terpadu. Hal ini bertujuan
meningkatkan keefektifan biofungisida dalam
mencegah maupun menghambat perkembangan
infeksi patogen. Penggunaan biofungisida
sebagai tindakan untuk mengurangi laju infeksi
patogen dapat dilakukan sejak di pembibitan
sampai tanaman dewasa di lapang, yang
diaplikasikan pada saat persiapan tanam, saat
tanam, maupun untuk pengendalian sesuai
dengan perkembangan infeksi.
Pada makalah ini, diberikan contoh
keberhasilan aplikasi biofungisida dengan bahan
aktif Trichoderma untuk mengendalikan JAP pada
tanaman karet yang sampai saat ini paling
banyak dikembangkan. Keunggulan Trichoderma
sebagai agens hayati adalah mempunyai daya
adaptasi dan perkembangan yang baik, mampu
mengkolonisasi rizosfir dengan cepat,
melindungi akar dan menghambat infeksi
patogen, mudah diperbanyak, mempunyai
spektrum luas, aman untuk lingkungan, dan
kompatibel dengan agens hayati lain (Faheem et
al. 2010; Jeyarajan dan Nakkeeran 2000).
Dosis, waktu, dan cara aplikasi biofungisida
Trichoderma memengaruhi keberhasilan dalam
mengendalikan JAP. Aplikasi dapat ditaburkan
atau disiramkan di sekeliling akar tanaman (bibit
atau pohon karet). Di samping itu, dapat juga
dicampur dengan kompos, pupuk hayati atau
pupuk organik terlebih dahulu, selanjutnya
ditaburkan atau dibenamkan di sekeliling akar
tanaman. Penggunaan bahan organik untuk
mendukung perkembangan agens hayati juga
dipilih yang bukan merupakan food base R.
microporus, yaitu tidak mudah melapuk sehingga
tidak mengakibatkan peningkatan intensitas
penyakit.
Aplikasi biofungisida di pembibitan karet
dilaporkan oleh Amaria et al. (2016) bahwa
penggunaan biofungisida berbahan aktif
Trichoderma spp. dengan bahan pembawa
kompos, dapat meningkatkan populasi
Trichoderma spp. tetapi juga meningkatkan infeksi
JAP pada bibit karet. Namun, berbeda hasilnya
jika biofungisida Trichoderma spp. dengan bahan
pembawa talk yang diaplikasikan pada media
62 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
tanam campuran tanah dan rumput kering. Dosis
50 g/tanaman dalam satu kali aplikasi efektif
menekan intensitas penyakit JAP 54,59–59,38%
(Amaria et al. 2018). Keberhasilan aplikasi pada
bibit karet dengan kombinasi biofungisida dan
pupuk hayati dilaporkan oleh Kusdiana et al.
(2015), bahwa biofungisida 100 g dan pupuk
hayati 200 g yang dibenamkan di dekat
perakaran bibit karet, efektif menurunkan
intensitas penyakit JAP sebesar 5,56% dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Aplikasi biofungisida juga dilakukan
Kusdiana et al. (2015) pada tanaman dewasa di
lapang. Dosis 20 g/pohon setiap enam bulan
sekali dengan cara dibenamkan pada empat titik
di sekitar perakaran pohon karet TBM bergejala
JAP. Hasil penelitian melaporkan bahwa
biofungisida efektif menekan JAP, dengan
penurunan intensitas penyakit 18,33–23,33%.
Keefektifan biofungisida Trichoderma pada
tanaman dewasa di lapang, juga dibuktikan oleh
Fairuzah et al. (2014), Endohevea dosis 1 tablet/5
tanaman yang diaplikasikan setiap 3 bulan sekali
pada tanaman karet efektif mengendalikan
penyakit JAP dengan tingkat persentase
kesembuhan sebesar 78,94%.
Peningkatan keefektifan biofungisida
Trichoderma pada tanaman dewasa di lapang juga
telah dilakukan secara terpadu melalui
kombinasi dengan teknik pengendalian lain.
Tindakan pencegahan, proteksi, dan kuratif
untuk mengendalikan JAP telah dilakukan oleh
Situmorang et al. (2007). Tindakan pencegahan,
mulai dari persiapan lahan dengan
pembongkaran tunggul dan pengolahan tanah,
penggunaan belerang, biofungisida Trichoderma,
tanaman antagonis, dan penutup tanah. Proteksi
tanaman pada TBM melalui penggunaan
fungisida sintetis Triadimenol, penggunaan
belerang, aplikasi biofungisida Trichoderma,
tanaman antagonis (lidah mertua, kunyit, laos).
Tindakan kuratif dengan menggunakan
fungisida sintetis dan biofungisida Trichoderma.
Penggunaan biofungisida Trichoderma tersebut
dengan Triko SPPLUS, dosis di pembibitan karet
(ground nursery) 600 kg/ha, polybag 25 g/pohon,
lubang tanam 50 g/pohon, TBM 75–100 g/pohon
dan TM 100–150 g/pohon yang diberikan setiap 6
bulan sekali berdasarkan keparahan penyakit
(Sujatno dan Pawirosoemardjo 2001).
Biofungisida Triko Combi dengan dosis dan
interval sama dengan Triko SPPLUS, yang
diaplikasikan sejak awal pada setiap tahap
pertumbuhan tanaman, awal dan akhir musim
penghujan, serta dilakukan juga pembongkaran
tunggul dan penanaman tanaman penutup tanah.
Kombinasi tersebut menunjukkan lebih efektif
meminimalkan kehilangan hasil akibat penyakit
JAP (Setyawan et al. 2013).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut
menunjukkan aplikasi biofungisida Trichoderma,
lebih efektif jika dilakukan sebagai pencegahan
infeksi patogen, yaitu pada saat penanaman atau
pengendalian dengan gejala penyakit pada skala
1, yaitu miselium patogen menempel di
permukaan akar. Oleh karena patogen yang telah
masuk dan kolonisasi pada jaringan tanaman dan
telah memanfaatkan nutrisi di dalamnya maka
lebih sulit untuk dikendalikan. Peningkatan
keefektifan biofungisida melalui pengendalian
terpadu perlu mempertimbangkan metode
aplikasi yang tepat serta disesuaikan dengan
karakteristik biofungisida karena akan
memengaruhi keberhasilan dalam
mengendalikan JAP.
KESIMPULAN
Pengendalian hayati untuk menekan
intensitas penyakit JAP pada tanaman karet
dapat dilakukan melalui pemanfaatan agens
hayati bersifat antagonis. Agens hayati antagonis
yang diaplikasikan pada saat penanaman atau di
sekitar perakaran tanaman dapat berkembang
baik dengan mekanisme kompetisi, antibiosis,
hiperparasit, maupun enzim litik. Penghambatan
agens hayati dengan cara mendegradasi dinding
sel patogen, memengaruhi permeabilitas
membran sel, inhibitor enzim, dan mengganggu
sintesis protein.
Pengembangan biofungisida yang
diformulasi menggunakan bahan aktif agens
hayati, bahan pembawa dan tambahan tertentu,
bertujuan meningkatkan keefektifan dan
kestabilan pada saat aplikasi. Keberhasilan
aplikasi beberapa biofungisida untuk
mengendalikan JAP di tingkat pembibitan
maupun tanaman dewasa di lapang secara
63 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)
terpadu merupakan salah satu komponen
penting dalam rangka menyusun strategi
pengendalian JAP pada tanaman karet.
DAFTAR PUSTAKA
Amaria, W., Ferry, Y., Samsudin, & Harni, R.
(2016) Pengaruh penambahan gliserol
pada media perbanyakan terhadap daya
simpan biofungisida Trichoderma. Jurnal
Tanaman Industri dan Penyegar. [Online] 3
(3), 159–166. Available from:
doi:10.21082/jtidp.v3n3.2016.p159-166.
Amaria, W., Harni, R. & Samsudin (2015)
Evaluasi jamur antagonis dalam
menghambat pertumbuhan Rigidoporus
microporus penyebab penyakit jamur akar
putih pada tanaman karet. Jurnal
Tanaman Industri dan Penyegar. [Online] 2
(1), 51. Available from:
doi:10.21082/jtidp.v2n1.2015.p51-60.
Amaria, W., Harni, R. & Wardiana, E. (2018)
Pengaruh dosis dan frekuensi aplikasi
biofungisida Trichoderma terhadap infeksi
Rigidoporus microporus pada benih karet.
Jurnal Tanaman Industri dan Penyegar.
[Online] 5 (2), 49–58. Available from: doi:
http://dx.doi.org/10.21082/jtidp.v5n2.2018
.p49-58.
Amaria, W., Soesanthy, F. & Ferry, Y. (2016)
Keefektifan biofungisida Trichoderma sp.
dengan tiga jenis bahan pembawa
terhadap jamur akar putih Rigidoporus
microporus. Jurnal Tanaman Industri dan
Penyegar. [Online] 3 (1), 37–44. Available
from: doi:10.21082/jtidp.v3n1.2016.p37-
44.
Amaria, W., Taufiq, E. & Harni, R. (2013) Seleksi
dan identifikasi jamur antagonis sebagai
agens hayati jamur akar putih Rigidoporus
microporus pada tanaman karet. Jurnal
Tanaman Industri dan Penyegar. [Online] 4
(1), 55–64. Available from:
doi:10.21082/jtidp.v4n1.2013.p55-64.
Amaria, W. & Wardiana, E. (2014) Pengaruh
waktu aplikasi dan jenis Trichoderma
terhadap penyakit jamur akar putih pada
bibit tanaman karet. Jurnal Tanaman
Industri dan Penyegar. [Online] 1 (2), 79.
Available from:
doi:10.21082/jtidp.v1n2.2014.p79-86.
Benny, Lubis, L., Oemry, S. & Fairuzah, Z. (2013)
Uji dosis dan cara aplikasi biofungisida
Bacillus sp. terhadap penyakit jamur akar
putiH (Rigidoporus lignosus) pada
tanaman karet di pembibitan. Jurnal
Online Agroekoteknologi. 1 (2), 58–66.
Cavalcante, R.S., Lima, H.L.S., Pinto, G.A.S.,
Gava, C.A.T. & Rodrigues, S. (2008) Effect
of moisture on Trichoderma conidia
production on corn and wheat bran by
solid state fermentation. Food and
Bioprocess Technology. [Online] 1 (1), 100–
104. Available from: doi:10.1007/s11947-
007-0034-x.
Chamzurni, T., Sriwati, R., Muarif, R., Amin, B.
& Ulim, A. (2014) Formulation of
Trichoderma virens origin of Aceh cocoa
controlling black pod disease caused by
Phytophthora palmivora. In: Proceedings of
Thr 4th Annual International Conference
Syah Kuala University (AIC Unsyiah) 2014
In conjuction with 9th Annual International
Workshop and Expo on Sumatra Tsunami
Disaster and Recovery (AIWEST-DR).
pp.140–145.
Damiri, N., Mulawarman & Efendi, R.S. (2019)
Antagonism of Pseudomonas fluorescens
from plant roots to Rigidoporus lignosus
pathogen of rubber white roots in vitro.
Biodiversitas. [Online] 20 (5), 1549–1554.
Available from:
doi:10.13057/biodiv/d200509.
Faheem, A., Razdan, V.K., Mohiddin, F. A., Bhat,
K. A. & Banday, S. (2010) Potential of
Trichoderma species as biocontrol agents
of soil borne fungal propagules. Journal of
Phytology. [Online] 2 (10), 38–41.
Available from: 10.5897/AJB2017.15905.
Fairuzah, Z. Dalimunthe, C.I., Karyudi,
Suryaman, S. & Widhayati, W.E. (2014)
Keefektifan beberapa fungi antagonis
(Trichoderma sp.) dalam biofungisida
Endohevea terhadap penyakit jamur.
Jurnal Penelitian Karet. 32 (2), 122–128.
Fravel, D.R., Connick, W.J.J. & Lewis, J.A. (1998)
Formulation of microorganisms to control
plant diseases. In: Burges,H.D. (ed.)
64 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
Formulation of Microbial Biopesticides.
Beneficial Microorganisms, Nematodes, and
Seedtreatment. Netherland, Kluwer
Academic Publisher, pp.187–202.
Gupta, V.K., SchMoll, M., Herrera-EStrella, A.,
Upadhyay, R.S., Druzhinina, I. & Tuohy,
M.G. (2014) Biotechnology and Biology of
Trichoderma. Amsterdam, Netherlands,
Elsevier B.V.
Hardiyanti, S., Soekarno, B.P.W. & Yuliani, T.S.
(2018) Kemampuan mikrob endofit dan
rizosfer tanaman karet dalam
mengendalikan Rigidoporus lignosus.
Jurnal Fitopatologi Indonesia. [Online] 13
(5), 153. Available from:
doi:10.14692/jfi.13.5.153.
Harman, G.E. (2000) Myths and dogmas of
biological control: Changes in perceptions
derived from research on Trichoderma
harzianum T-22. Plant Disease. (D)-(2000)–
(0208)–(01F), 377–393.
Harni, R., Amaria, W., Syafaruddin & Mahsunah,
H. (2017) Potensi metabolit sekunder
Trichoderma spp . untuk mengendalikan
penyakit vascular streak dieback (VSD)
pada bibit kakao. Jurnal Tanaman Industri
dan Penyegar. [Online] 4 (2), 57–66.
Available from: doi:
http://dx.doi.org/10.21082/jtidp.v4n2.2017
.p57-66.
Herath, H.H.M.A.U., Wijesundera, R.L.C.,
Chandrasekharan, N. V. & Wijesundera,
W.S.S. (2017) Exploration of Sri Lankan
soil fungi for biocontrol properties.
African Journal of Biotechnology. [Online]
16 (20), 1168–1175. Available from:
doi:10.5897/AJB2017.15905.
Jeyarajan, R. & Nakkeeran, S. (2000) Exploitation
of microorganisms and viruses as
biocontrol agents for crop disease
mangement.In: Upadhyay et al. (eds.)
Biocontrol Potential and their
Exploitation in Sustainable agriculture.
USA, Kluwer Academic/Plenum
Publishers, pp.95–116.
Kaewchai, S. & Soytong, K. (2010) Application of
biofungicides against Rigidoporus
microporus causing white root disease of
rubber trees. Journal of Agricultural
Technology. 6 (2), 349–363.
Khokhar, M.K. & Gupta, R. (2014) Integrated
disease management. Popular Kheti. 2 (1),
87–91.
Kusdiana, A.P.J., Munir, M. & Suryaningtyas, H.
(2015) Pengujian biofungisida berbasis
mikroorganisme antagonis untuk
pengendalian penyakit jamur akar putih
pada tanaman karet. Jurnal Penelitian
Karet. [Online] 33 (2), 143. Available from:
doi:10.22302/jpk.v33i2.179.
Maiden, N.A., Noran, A.S., Fauzi, M.A.F.A. &
Atan, S. (2017) Screening and
characterisation of chitinolytic
microorganisms with potential to control
white root disease of Hevea brasiliensis.
Journal of Rubber Research. [Online] 20 (3),
182–202. Available from:
doi:10.1007/BF03449151.
Muharni, M. & Widjajanti, H. (2011) Skrining
bakteri kitinolitik antagonis terhadap
pertumbuhan jamur akar putih
(Rigidoporus lignosus) dari rizosfir
tanaman karet. Jurnal Penelitian Sains. 14
(1), 51–56.
Mukesh, S., Kumar, V., Shahid, M., Pandey, S., &
Singh, A. (2016) Trichoderma-A potential
and effective bio fungicide and
alternative source against notable
phytopathogens: A review. African
Journal of Agricultural Research. [Online]
11 (5), 310–316. Available from:
doi:10.5897/ajar2015.9568.
Muklasin & Matondang, C.O. (2010) Trend
Perkembangan Serangan Hama dan Penyakit
Tanaman Karet Di Provinsi Sumatera Utara.
Medan.
Nakaew, N., Rangjaroen, C. & Sungthong, R.
(2015) Utilization of rhizospheric
Streptomyces for biological control of
Rigidoporus sp. causing white root disease
in rubber tree. European Journal of Plant
Pathology. [Online] 142 (1), 93–105.
Available from: doi:10.1007/s10658-015-
0592-0.
Nakkeeran, S., Karthikeyan, G., Brindhadevi, S. &
Vinodkumar, S. (2018) Mass production
of fungal and bacterial antagonists. In:
Biocontrol of Soil Borne Pathogens and
65 Kelayakan Teknis Pengembangan Agave di Lahan Kering Beriklim Kering (BUDI SANTOSO dan MOHAMMAD CHOLID)
Nematodes. Tamil Nadu Agricultural
University, Coimbatore, pp.96–112.
Nandris, D., Nicole, M. & Geiger, J.P. (1987) Root
Rot Diseases. Plant Disease. 71 (4), 298–
306.
Nasrun & Nurmansyah (2015) Potensi
rizobakteria dan fungisida nabati untuk
pengendalian penyakit jamur akar putih
tanaman karet. Jurnal Tanaman Industri
dan Penyegar. [Online] 2 (2), 61–68.
Available from: doi:
http://dx.doi.org/10.21082/jtidp.v2n2.2015
.p61-68.
Natawijaya, H. (2007) Government policy on the
control of white root disease Rigidoporus
lignosus. In: Pawirosoemardjo,S. et al.
(eds.) Proceedings International Workshop
on White Root Disease of Hevea Rubber.
Salatiga, Indonesian Rubber Research
Institute, pp.3–13.
Nicole, M.R. & Benhamou, N. (1991)
Cytochemical aspects of cellulose
breakdown during the infection process
of rubber tree roots by Rigidoporus
lignosus. Phytopathology. 81, 1412–1420.
Ogbebor, N.O. Adekunle, A.T., Eghafona, O.N. &
Ogboghodo, A.I. (2015) Biological control
of Rigidoporus lignosus in Hevea brasiliensis
in Nigeria. Fungal Biology. [Online] 119
(1), Elsevier Ltd, 1–6. Available from:
doi:10.1016/j.funbio.2014.10.002.
Oghenekaro, A.O., Daniel, G. & Asiegbu, F.O.
(2015) The saprotrophic wood-degrading
abilities of Rigidoporus microporus. Silva
Fennica. [Online] 49 (4), 1–10. Available
from: doi:10.14214/sf.1320.
Omorusi, V.I. et al. (2014) Control of white root
rot disease in rubber plantations in
Nigeria. International Journal of
Microbiology and Immunology Research. 3
(4), 046–051.
Omorusi, V.I. (2012) Effects of white root rot
disease on Hevea brasiliensis (Muell. Arg.)
– Challenges and control approach. Plant
Science. [Online] 139–152. Available from:
doi:10.5772/54024.
Pal, K.K. & Gardener, B.M. (2006) Biological
control of plant pathogens. [Online] 1–25.
Available from: doi:10.1094/PHI-A-2006-
1117-02.Biological.
Patel, R. & Patel, D. (2014) Screening of
Trichoderma and antagonistic analysis of a
potential strain of Trichoderma for
production of a bioformulation.
International Journal of Scientific and
Research Publications. 4 (10), 1–6.
Rahayu, M.S., Lubis, L. & S., O. (2017) Distribusi
peta awal serangan penyakit jamur akar
putih (Rigidoporus microporus (Swartz: Fr))
pada beberapa perkebunan karet rakyat
di Kabupaten Asahan. Jurnal
Agroekoteknologi FP USU. 5 (1), 131–137.
Semangun, H. (2008) Penyakit-Penyakit Tanaman
Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press.
Setyawan, B., Pawirosoemardjo, S. & Hadi, H.
(2013) Biofungisida Triko combi sebagai
salah satu pengendali jamur akar putih
pada tanaman karet. Warta Perkaretan. 32
(2), 83–94.
Sinulingga, W. & Eddy (1989) Pengendalian
Penyakit Jamur Akar Putih Pada
Tanaman Karet. Medan.
Situmorang, A. (2004) Status dan manajemen
pengendalian penyakit akar putih di
perkebunan karet. In: Situmorang, et al
(ed.) Prosiding Pertemuan Teknis. Strategi
Pengelolaan Penyakit Tanaman Karet untuk
Mempertahankan Potensi Produksi
Mendukung Industri Perkaretan Indonesia
Tahun 2020. Palembang, Pusat Penelitian
Karet, pp.66–68.
Situmorang, A., Suryaningtyas, H. &
Pawirosoemardjo, S. (2007) Current
status of white root disease (R.
microporus) and the disease control
management in rubber plantation of
Indonesia. In: Pawirosoemardjo, S. et al.
(eds.) Proceedings International Workshop
on White Root Disease of Hevea Rubber.
Salatiga, Indonesian Rubber Research
Institute, pp.82–96.
Soesanto, L. (2008) Pengantar Pengendalian
Hayati Penyakit Tanaman. Depok, Raja
Grafindo Persada.
Sriram, S., Roopa, K.P. & Savitha, M.J. (2011)
Extended shelf-life of liquid fermentation
derived talc formulations of Trichoderma
66 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 : 52 - 66 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
harzianum with the addition of glycerol in
the production medium. Crop Protection.
[Online] 30 (10), Elsevier Ltd, 1334–1339.
Available from:
doi:10.1016/j.cropro.2011.06.003.
Sujatno & Pawirosoemardjo, S. (2001) Pengenalan
dan teknik pengendalian penyakit jamur
akar putih pada tanaman karet secara
terpadu. Warta Puslit Karet. 20 (1)–(3), 64–
75.
Suwandi, S. (2008) Evaluasi kombinasi isolat
Trichoderma mikoparasit dalam
mengendalikan penyakit akar putih pada
bibit karet. J.HPT Tropika. 8 (1), 55–62.
Ubogu, M. (2013) Assessment of root zone
mycoflora of three Hevea brasiliensis
(Rubber) clones at Akwete plantations
and their in vitro growth inhibition of
Rigidoporus lignosus. 3 (2), 618–623.
Wijesinghe, C.J., Wilson Wijeratnam, R.S.,
Samarasekara, J.K.R.R. & Wijesundera, R.
L.C. (2011) Development of a formulation
of Trichoderma asperellum to control black
rot disease on pineapple caused by
(Thielaviopsis paradoxa). Crop Protection.
[Online] 30 (3), Elsevier Ltd, 300–306.
Available from:
doi:10.1016/j.cropro.2010.11.020.
Yulia, E., Istifadah,N., Widiantini, F., Utami, H.S.
(2017) Antagonisme Trichoderma spp.
terhadap jamur Rigidoporus lignosus
(Klotzsch) dan penekanan penyakit
jamur akar putih pada tanaman karet.
Jurnal Agrikultura. [Online] 28 (1), 47–55.
Available from:
http://jurnal.unpad.ac.id/agrikultura/
article/view/13226/6071.
Perspektif Vol. 18 No. 1 /Jun 2019. Hlm 67-78 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n1.2019, 67 -78
ISSN: 1412-8004
67 Perbanyakan Iles-Iles ( Amorphophallus spp.) Secara Konvensional dan Kultur In Vitro serta Strategi Pengembangannya (MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM)
PERBANYAKAN ILES-ILES ( Amorphophallus spp.) SECARA
KONVENSIONAL DAN KULTUR IN VITRO SERTA STRATEGI
PENGEMBANGANNYA
Conventional Propogation and In Vitro Culture of Iles-Iles (Amorphophallus spp.)
and Its Development Strategy
MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM
Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar
Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops
Jl. Raya Pakuwon – Parungkuda km. 2 Sukabumi, Jawa Barat. 43357, Indonesia
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Iles-iles (Amorphophallus spp.) tergolong ke dalam suku
talas-talasan yang saat ini karena kandungan gizinya
mulai dilirik sebagai bahan baku pangan fungsional.
Nilai ekonomi Iles-iles ada pada kandungan
glukomanannya. Glukomanan merupakan suatu
senyawa polisakarida jenis hemiselulosa yang bersifat
hidrokoloid, larut dalam air, rendah kalori, dan bebas
dari gluten. Sifat ini menjadikan tepung glokomanan
selain untuk kebutuhan bahan pangan, juga digunakan
untuk bahan baku industri. Permasalahan dalam
pengembangan tanaman iles-iles sebagai alternatif
pengganti pangan antara lain ketersediaan bahan baku
yang tidak dapat terpenuhi secara kontiyu. Hal ini
kemungkinan besar karena siklus hidupnya yang
lama, dan masih banyak petani maupun masyarakat
yang belum mengetahui prospek tanaman iles-iles,
sehingga belum tertarik untuk membudidayakannya.
Ketersediaan bahan baku secara kontiyu tentu saja
memerlukan bahan tanam yang tidak sedikit. Untuk
menyediakan benih tanaman iles-iles, perbanyakan
dapat dilakukan secara konvensional dan secara in
vitro. Secara konvensional perbanyakan menggunakan
umbi batang merupakan cara yang lebih praktis
dibandingkan bulbil, biji atau stek daun. Pada kultur
in vitro, penggunaan tangkai daun (petiol) paling
efisien dibandingkan eksplan lainnya. Media
multipikasi tunas terbaik adalah Media MS yang diberi
kombinasi Thidiazuron (0,2 mg/1) dan
Benzylaminopurine (0,5 mg/1). Jumlah tunas yang
didapatkan melalui kultur in vitro jauh lebih banyak
(37 tunas) dibandingkan perbanyakan konvensional
yang hanya menghasilkan 1 tunas. Untuk perakaran,
media terbaik menggunakan MS yang diberi IBA 1,0
mg/l. Informasi perbanyakan iles-iles secara
konvensional dan kultur in vitro serta stategi
pengembangannya diharapkan dapat membantu
mengatasi masalah ketersedian benih.
Kata kunci : Amorphophallus spp., benih, eksplan,
kultur in vitro, pangan fungsional.
ABSTRACT
Iles-iles (Amorphophallus spp.) belongs to the taro
family, which has gained increasing attention due to its
nutritional content for functional food materials. The
economic value of Iles-iles lies in the glucomannan
content that is a hemicellulose type polysaccharide
compound that is hydrocolloid, water soluble, low in
calories, and free of gluten. Additionally, iles-iles is
also potential for industry. However, sustainability of
iles-iles supply is one main problem due to its long life
cycle and its potential is not yet known among farmers
and communities hence lack of interest in cultivating.
Providing sufficient planting materials is then required
which can be achieved through propagation, both
conventionally and nonconventionally using in vitro
culture. Conventional propagation using stem tubers is
more practical than that of bulbates, seeds or leaf
cuttings. In in vitro culture, previous studies on
several explants found that the use of petiol is most
efficient compared with other explants. The best
media for multiplication is combination of thidiazuron
(0.2 mg/1) and Benzylaminopurine (0.5 mg/1). The
number of shoots obtained through in vitro is much
more (37 shoots ) than conventional propagation which
only produced 1 shoot. For rooting, the best medium is
MS which is given IBA 1.0 mg / l. Information on
conventional propagation of iles-iles and in vitro
culture and it, development strategies are expected to
help solving the problem of seed availability.
Keywords: Amorphophallus spp, explant, functional
food, in vitro culture, seed.
68 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :67 - 78 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
PENDAHULUAN
Bahan pangan sumber karbohidrat
masyarakat dunia cukup beragam
keberadaannya, diantaranya ; beras, jagung,
sorghum, gandum, dan umbi-umbian. Di
Indonesia untuk saat ini beras merupakan bahan
makanan pokok yang utama. Meningkatnya
ketergantungan akan beras menyebabkan
produksi dalam negeri tidak lagi mencukupi
kebutuhan masyarakat (Lastinawati 2010).
Ketergantungan terhadap bahan pangan
impor menjadi masalah, sehingga untuk
mengatasinya perlu dikembangkan bahan
pangan lokal yang dapat menggantikan beras
(Irawan and Sutrisna 2016). Tanaman jenis umbi
merupakan bahan pangan lokal yang dapat
menjadi subtitusi beras. Jenis umbi yang dapat
dijadikan bahan pangan, diantaranya ; ubi kayu,
ubi jalar, talas, gadung, garut, iles-iles, dan
ganyong (Hatmi and Djaafar 2014).
Tanaman Iles-iles (Amorphophallus spp)
merupakan jenis umbi yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bahan pangan lokal atau
pangan fungsional. Bahan pangan dapat
dikategorikan bernilai fungsional jika memiliki
tiga aspek, yaitu; memiliki kandungan gizi,
warna dan penampilannya dapat diterima oleh
konsumen, dan memiliki kemampuan fisiologis
yang berguna untuk kesehatan (Yasin and Suarni
2011). Umbi iles-iles mengandung karbohidrat
yang terdiri atas pati, glukosa, serat kasar, dan
gula bebas sehingga dapat dijadikan sebagai
pengganti beras. Sama seperti ubi kayu dan ubi
jalar Iles-iles termasuk umbi yang berserat
rendah. Jenis umbi berserat rendah biasanya
sesuai untuk bahan baku pembuatan gaplek,
sawut kering, tepung dan pati (Suismono 2008).
Senyawa glukomanan pada iles-iles
mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga
potensi untuk dikembangkan (Rokhmah and
Supriadi 2015). Glukomanan merupakan suatu
senyawa polisakarida jenis hemisellulosa yang
mempunyai sifat hirokoloid, larut dalam air,
rendah kalori, dan tidak mengandung gluten.
Sifat tersebut menjadikan tepung glukomanan
selain untuk kebutuhan pangan, juga digunakan
dalam bahan baku industri. Industri yang
menggunakan iles-iles sebagai bahan baku
diantaranya ; Industri pangan (kue, roti, es krim,
permen, jeli, selai, sirup, sari buah, shirataki dan
konyaku), Farmasi (obat diabetes, penurun
kolesterol, penurun berat badan, anti HIV, anti-
inflamasi), tekstil, kertas, kosmetika, industri
minyak kasar, penjernih limbah pertambangan,
dan bioetanol (Chua et al. 2012; Kasno 2008);
Tarigan and Tawaha (2014) ; (Zhang, Wang and
George 2010) ; (Huang et al. 2002); (Yao-Ling et
al. 2013).
Berdasarkan simulasi, untuk memenuhi
kebutuhan glukomanan dan kemampuan
mengekspor sesuai kuota, diperlukan produksi
umbi sekitar 35.000 ton/tahun (Santosa et al.
2016b). Memenuhi permintaan tersebut perlu
dukungan ketersediaan benih dan budidaya yang
memadai. Saat ini aspek ketersediaan benih
merupakan penghambat utama dalam perluasan
tanam. Akibat kelangkaan bibit tersebut, harga
biji dan bulbil iles-iles menjadi meningkat
(Santosa 2014).
Pemenuhan kebutuhan benih iles-iles dapat
dilakukan melalui perbanyakan tanaman secara
konvensional, namun tidak tertutup
kemungkinan untuk dilakukan secara non
konvensional (Kultur in vitro). Tulisan ini
diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai perbanyakan lles-iles secara
konvensional maupun kultur in vitro serta
strategi pengembangannya, sehingga dapat
membantu mengatasi masalah ketersedian benih.
BUDIDAYA TANAMAN ILES-ILES
Di dunia tercatat ada 200 spesies iles-iles
(Amorphophallus spp.) menyebar terutama di
benua Asia, namun sampai saat ini baru tiga
spesies yang dibudidayakan di Indonesia, yaitu ;
Amorphophallus companulatus (Roxb.), A. variabilis
Blume, dan A. Oncophyllus Prain ex Hook.f.
synonym A. moelleri Blume (Supriati 2016).
Budidaya Iles-iles di Indonesia belum dilakukan
secara optimal. Beberapa daerah seperti di Jawa
Timur dan Jawa Tengah, petani menanamnya
sebagai tanaman tumpang sari dengan tanaman
budi daya. Untuk mendapatkan hasil yang
optimal ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam membudidayakan iles-iles,
yaitu:
69 Perbanyakan Iles-Iles ( Amorphophallus spp.) Secara Konvensional dan Kultur In Vitro serta Strategi Pengembangannya (MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM)
Persyaratan Tumbuh
Tanaman iles-iles umumnya tumbuh
optimal pada kondisi lingkungan yang lembab,
sehingga beberapa spesiesnya banyak ditemukan
di hutan, di antara semak, di kebun atau
pekarangan (Supriati, 2016). Iles-iles banyak
ditanam secara tumpangsari di hutan karena
dapat beradaptasi dalam kondisi ada naungan.
Kemampuan tumbuh di bawah tegakan pohon
dengan kerapatan minimal 40%, menjadikan iles-
iles dapat dijadikan tanaman sela, sehingga dapat
dibudidayakan di lahan hutan industri, di bawah
tegakan pohon jati, sonokeling, mahoni, sengon,
atau tanaman karet (Afifah, Nugrahani and
Setiono 2014). Di India tanaman iles-iles
dibudidayakan dibawah tegakan pohon kelapa,
pisang dan pepaya (Thangam et al. 2013)
(Gambar 1).
Walaupun umumnya tumbuh di bawah
naungan, tanaman iles-iles mampu beradaptasi
dengan kondisi air terbatas (Santosa et al. 2006).
Iles-iles akan tumbuh dan menghasilkan umbi
dengan baik, jika di tanam pada tanah bertekstur
ringan hingga sedang, gembur, subur, dan
kandungan bahan organiknya cukup tinggi. Ph
tanah yang di kehendaki berada pada kisaran 6 -
7 (Sumarwoto and Maryana 2011). Jika tumbuh
pada kondisi tanah kurang subur dan berbatu,
iles-iles tetap hidup, tetapi perkembangan
tanaman dan pembesaran umbi menjadi tidak
optimal (Prana 2008).
Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan
tanaman ile-iles 20-30 oC, dan curah hujan 1.200-
2.000 mm/tahun tersebar rata sepanjang tahun,
dengan rataan 300-500 mm/bln. Pada suhu tinggi,
daun iles-iles dapat mengering, sedangkan pada
suhu rendah dapat menyebabkan tanaman
mengalami dorman (Siswanto and Karamina
2016; Sumarwoto, 2005a.).
Penanaman
Penanaman benih iles-iles perlu
memperhatikan kedalaman tanah agar diperoleh
pertumbuhan yang baik. Apabila benih berupa
umbi daun (bulbil) berukuran besar maka
kedalaman tanam ± 5 cm, sedangkan apabila
menggunakan umbi batang dengan bobot kurang
dari 200 gram, maka kedalaman tanam ±10 cm,
dan jika bobot umbi lebih berat maka kedalaman
tanamnya ±15 cm (Sumarwoto 2012). Untuk
mendapatkan produksi umbi yang maksimal,
jarak tanam yang digunakan ketika menanam
umbi iles-iles berbeda untuk masa panen yang
berbeda. Jika hendak dipanen pada periode
tumbuh pertama kisaran jarak tanamnya 37,5 x
37,5 cm, periode kedua 57,5 x 57,5 cm, dan
periode tumbuh ketiga meningkat menjadi 100 x
100 cm (Sumarwoto, 2005a.).
Gambar 1. Keragaan Iles-iles (Amorphopllus spp) di bawah tegakan A. Pohon Jati (Sumber: Ibrahim,
2018), B. Pohon Pepaya. C. Pohon Pisang. D. Pohon Kelapa (Thangam et al. 2013).
70 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :67 - 78 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
Di Agricultural Collage Farm, Poona (India),
jarak tanam yang digunakan 30 cm x 30 cm untuk
satu periode pemanenan, pada periode kedua 45
cm x 45 cm, dan periode ketiga dan keempat
masing-masing 60 cm x 60 cm dan 120 cm x 90
cm. Umbi bibit yang ditanam seberat 28 sampai
56 gram dapat menghasilkan 113 sampai 226
gram umbi pada periode pemanenan pertama.
Apabila umbi ini dijadikan bibit dan dibiarkan
tumbuh sampai periode pemanenan kedua, maka
dapat menghasilkan umbi seberat 454 sampai 908
gram, pada periode ketiga dapat menjadi 1,4
sampai 2,3 kg, sedangkan sampai periode
keempat dapat menghasilkan umbi seberat 6,8
sampai 9,1 kg. Dengan cara ini umbi yang
dipanen pada periode pertama akan
menghasilkan 11 ton umbi per hektar, pada
periode kedua, ketiga dan keempat berutan akan
menghasilkan umbi sebanyak 18, 28, 45 ton per
hektar (Patel et al. 2013).
Pemeliharaan Tanaman
Sama seperti tanaman lain, iles-iles
memerlukan pemeliharaan dan pemupukan.
Pemberian pupuk dengan urea sampai 2 periode
pertumbuhan dapat memacu pertumbuhan
tanaman, selain itu penambahan kapur dan
kalium akan meningkatkan hasil umbi tanaman
iles-iles. Penambahan pupuk kandang 7,5 ton/ha
dan kapur 4 ton/ha dapat membantu
pertumbuhan dan meningkatkan ukuran umbi
sebesar 44,32% (Sumarwoto 2004). Sementara
penelitian Nurdianti (2013) memperlihatkan
bahwa pemberian pupuk kandang sebanyak 5
ton ha-1, dan NPK dengan perbandingan 100 : 60
: 80 kg ha-1 dapat meningkatkan produksi iles-
iles. Kualitas umbi dapat ditingkatkan dengan
pemberian pupuk kalium dengan dosis 2,16 g/12
kg tanah. Berdasarkan penelitian Ardhian, Dhike
& Indriyani (2013), pemupukan kalium pada
dosis 2,16 g/12 kg tanah dapat menurunkan
kandungan oksalat penyebab rasa gatal dan pahit
pada umbi iles-iles.
Penyiangan gulma dilakukan untuk
menghindari persaingan hara tanaman.
Frekwensi penyiangan disesuaikan dengan
kondisi lahan tanam. Genangan air yang cukup
lama dapat mengakibatkan tanaman mati karena
membusuk. Untuk mencengah adanya genangan
air, pada lahan yang berpotensi terjadi genangan,
dibuat parit pembuangan air (Sari and Suhartati
2015).
Selain gulma hal lain yang dapat
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
tanaman iles-iles adalah penyakit. Penyakit yang
dilaporkan dapat menyerang tanaman iles-iles
adalah ; Mosaik Amorphophallus, busuk akar dan
hawar daun (Thangam et al. 2013).
Pemanenan
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal,
pemanenan umbi iles-iles dilakukan setelah
tanaman berumur 3 tahun (3 kali pertumbuhan).
Setiap tanaman iles-iles dapat menghasilkan
sebanyak 2 kg umbi, dan dalam setiap hektarnya
dapat diperoleh 12 ton atau sekitar 1,5 ton kering.
Pada saat ini ukuran umbi telah lebih dari 15 cm
dan kadar glukomanan umbi sudah maksimum
yaitu lebih dari 41,8% (Sumarwoto 2004).
Budidaya iles-iles, sebaiknya ada pemisahan
penggunaan lahan atau dilakukan tanam bergilir
pada lahan yang tersedia yaitu lahan untuk
pembibitan terpisah dengan lahan untuk
produksi sehingga dapat dilakukan pemanenan
secara rutin (Sumarwoto 2012). Pemanenan
biasanya dilakukan pada bulan April-Juli, ketika
tanaman mengalami masa dorman, saat ini
daunnya telah kering dan rebah. Kandungan
glukomanan lebih tinggi dibandingkan pada saat
sebelum rebah. Hal ini karena setelah daun
mengalami pertumbuhan yang maksimal,
glukomanan tidak digunakan untuk proses
metabolisme, sehingga terakumulasi pada umbi
hingga mencapai fase dormansi (Chairiyah,
Harijati and Mastuti 2014).
PERBANYAKAN TANAMAN
Pada tanaman iles-iles, sebaiknya ada
pemisahan penggunaan lahan untuk
memproduksi umbi (panen umbi) dan benih
(panen benih), sehingga ketersediaan benih
untuk perbanyakan konvensional terutama yang
menggunakan umbi dan biji dapat tersedia
secara rutin. Pengadaan benih iles-iles dapat
dilakukan secara konvensional dan non
konvensional. Secara konvensional dilakukan
secara generatif (menggunakan biji) dan vegetatif
71 Perbanyakan Iles-Iles ( Amorphophallus spp.) Secara Konvensional dan Kultur In Vitro serta Strategi Pengembangannya (MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM)
(menggunakan bulbil, umbi dan stek daun),
sementara non konvensional menggunakan
kultur in vitro (menggunakan bulbil, tunas umbi
batang, daun, dan biji)
Perbanyakan Konvensional
- Biji (Generatif)
Iles-iles merupakan tanaman triploid (3n=39)
dimana biji yang dihasilkan merupakan benih
apomiksis tanpa penyerbukan. Tanaman iles-
iles biasanya akan berbunga ditahun ke tiga
setelah tanam (Santosa et al. 2016a). Untuk
mempercepat pembungaan, dapat digunakan zat
pengatur tumbuh seperti GA3. Menurut Santosa
et al. (2006) GA3 dapat menginduksi
pembungaan pada Amorphopallus paeoniifolius
(Dennst.) Dalam satu tongkol buah bisa
menghasilkan 250 sampai 1000 butir, tergantung
spesiesnya. Polong biji berbentuk silinder seperti
bulat telur dengan panjang 12-18 mm. Warna
kulit buah akan berubah warna dari hijau
menjadi merah terang setelah 22-24 minggu
pasca anthesis (Sigiyama 2008 ; Zhang, Wang and
George 2010).
Biji biasanya mengalami dormansi
sepanjang musim kemarau, oleh karena itu untuk
perbanyakan diusahakan dapat dilakukan pada
musim hujan. Perkecambahan biji dapat
dipercepat dengan menggunakan zat pemecah
dormansi, seperti CPPU (N-(2-chloro-4-pyridinyl)-
N-phenylurea). Penggunaan CPPU konsentrasi 40
ppm memberikan pertumbuhan dan
perkembangan yang lebih baik dibandingkan
dengan kontrol (Lebi 2013). Berbeda dengan
hasil penelitian Lebi (2013), penggunaan zat
pemecah dormasi GA3 konsentrasi 1000 ppm
pada benih iles-iles tidak dapat mempercepat
kecambahan (Hidayah, Suhartanto and Santosa
2018).
Biji iles-iles termasuk polyembrio (dalam
satu biji terdapat beberapa embrio), sehingga
untuk dapat mendapatkan benih yang lebih
banyak dapat dilakukan dengan cara membelah
biji. Dibutuhkan 6-7 minggu sejak embrio
disemai untuk dapat berkecambah. Sementara
untuk siap di tanam di lapangan, kecambah
membutuhkan waktu ± 8 minggu (Sari and
Suhartati 2015).
- Umbi daun (Bulbil)
Bulbil merupakan umbi daun atau umbi
tetas yang terletak di antara percabangan tulang-
tulang helaian daun. Pada beberapa daerah bulbil
dikenal juga dengan sebutan umbi katak. Bulbil
biasanya diperoleh dari hasil pengurangan
tanaman yang sudah terlalu rapat. Umumnya
tanaman iles-iles dalam satu periode tumbuh
menghasilkan 1 bulbil, dua periode 4-7 bulbil,
dan tiga periode 10-20 bulbil. Ukuran dan berat
bulbil beragam tergantung pada letaknya di
percabangan tulang daun dan umur tanaman
(Sumarwoto 2008a).
Berbagai macam ukuran bulbil dapat
digunakan sebagai benih. Bulbil berukuran kecil
sebaiknya disemai terlebih dahulu, namun jika
berukuran lebih besar dari 10 gram atau ukuran
garis tengah 2,5 cm dapat langsung ditanam di
lapangan (Sumarwoto 2004; Sumarwoto and
Maryana 2011). Bulbil akan mulai bertunas 3
minggu setelah ditanam. Apabila bibit berupa
bulbil besar maka kedalaman tanam ± 5 cm, bibit
yang menggunakan umbi batang dengan bobot
kurang dari 200 g kedalaman tanam adalah ± 10
cm, dan jika bobot umbi lebih berat maka
kedalaman tanamnya ± 15 cm. Untuk menghemat
kebutuhan bibit, bulbil yang berukuran 1,5
sampai 2,5 cm dapat dibelah menjadi 2,
sementara jika berukuran > 3 cm dapat dibelah 4
bagian. Pemotongan umbi menggunakan pisau
sebaiknya dilakukan secara vertikal (Santosa and
Wirnas 2009).
- Umbi Batang
Perbanyakan tanaman menggunakan umbi
batang merupakan cara yang paling umum
dilakukan. Dengan cara ini umbi batang
langsung ditanam di lahan. Umbi batang yang
tumbuh sehat dan subur berumur ± 1 tahun
dapat dijadikan bibit. Satu umbi hanya
menghasilkan satu bibit untuk ditanam.
Perbanyakan menggunakan umbi batang
dengan cara ini lebih praktis dibandingkan
dengan cara lainnya. Umur panen juga lebih
cepat dibandingkan penggunaan biji atau bulbil.
Namun cara ini dapat mengurangi produksi,
karena umbi yang dipanen sebagian harus di
bibitkan kembali. Untuk mengatasi hal ini telah
dilakukan penelitian untuk membelah umbi
72 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :67 - 78 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
batang menjadi 2, 4 dan 6 bagian. Hasilnya
walaupun tidak dapat mencapai hasil 100%
seperti perlakuan kontrol (tampa pembelahan),
pembelahan umbi menjadi 2 bagian dapat
tumbuh 93,78%, sementara pembelahan menjadi
4 dan 6 masing-masing 85,25% dan 82,95 %
(Sumarwoto 2007; Sumarwoto and Maryana 2011
; Hobir 2002 ; Sumarwoto 2007b ; Sumarwoto
and Maryana 2015)
- Daun
Perbanyakan menggunakan stek daun dapat
digunakan untuk memperbanyak iles-iles. Stek,
diambil dari daun berumur 5 bulan pada
tanaman yang telah berumur 24 bulan. Ukuran
stek dianjurkan ± 5 cm. Setelah dipotong, bagian
pangkalnya dicelupkan Zat Pengatur Tumbuh
IBA, NAA atau IAA pada konsentrasi 500 ppm
selama ± 5 detik. Stek kemudian ditanam di bak
pesemaian dengan cara bagian pangkal ke dalam
media semai. Untuk menjaga kelembaban bak
ditutup dengan plastik, dan penyiraman
dilakukan menyesuaikan kondisi kelembaban.
Kelemahan menggunakan cara ini adalah adanya
masa dormasi, setelah ditanam stek baru akan
tumbuh setelah 5-6 bulan. Setelah tumbuh bibit
siap dipindah ke lapangan (Sumarwoto 2008b).
Perbanyakan Secara Kultur In Vitro
Kebutuhan benih dalam jumlah banyak dan
berkualitas dapat dipenuhi dengan
menggunakan teknik kultur in vitro. Dalam
kultur in vitro, bagian vegetatif tanaman
ditumbuhkan dalam kondisi aseptik, sehingga
dapat memperbanyak diri dan tumbuh menjadi
tanaman yang lengkap. Keuntungan dari teknik
ini selain cepat adalah bibit yang dihasilkan
seragam, bebas hama penyakit, tidak
mengganggu hasil panen, dan dapat memenuhi
permintaan dalam jumlah banyak. Keragaan
kultur in vitro ies-iles dapat dilihat pada Gambar
2.
Perbanyakan tanaman iles-iles
menggunakan kultur in vitro telah lama
dikembangkan. Beberapa sumber eksplan yang
dapat digunakan untuk memperbanyak tanaman
iles-iles antara lain:
- Mata Tunas/Tunas muda dari Umbi Batang
Mata tunas atau tunas muda dari umbi
batang iles-iles merupakan sumber eksplan yang
paling umum digunakan dalam kultur in vitro
sebelum didapatkan metode menggunakan
eksplan petiol. Penelitian Supriati et al. (2001)
menunjukkan bahwa mata tunas yang terdapat
pada umbi batang dapat digunakan untuk bahan
perbanyakan secara kultur in vitro. Pemberian
kinetin 3 mg/l pada media dasar Murasige and
Skoog (MS) menghasilkan tiga tunas per eksplan,
sementara pemberian 6-benzylaminopurine
(BAP) 2 mg/l pada media MS dapat
meningkatkan jumlah tunas menjadi 7 - 8 tunas/
eksplan (Supriati et al. 2001; Supriati et al. 2002b).
Peneliti lain yang juga menggunakan mata
tunas atau tunas dari umbi batang adalah
(Imelda, Wulansari and Poerba 2007).
Penggunaaan kombinasi zat pengatur tumbuh
Thidiazuron konsentrasi 0, 0,1 dan 0,2 mg/1, serta
BAP dan Kinetin konsentrasi 0, 0,5 dan 1,0 mg/1
untuk meningkatkan faktor memulthiphikasi
tunas. Hasil penelitiannya memperlihatkan
media MS tanpa pemberian zat pengatur tumbuh
tidak menghasilkan tunas, sementara
penambahan thidiazuron atau BAP secara
Gambar 2. Keragaan kultur in vitro iles-iles
dari mulai induksi kalus sampai
aklimatisasi (Sumber; (Kamala
and Makeshkumar 2014)
73 Perbanyakan Iles-Iles ( Amorphophallus spp.) Secara Konvensional dan Kultur In Vitro serta Strategi Pengembangannya (MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM)
tunggal hanya menghasilkan 1 tunas saja. Dari
penelitian ini media terbaik untuk penggandaan
tunas iles-illes adalah media MS yang
mengandung kombinasi zat pengatur tumbuh
TDZ (0,2 mg/1) dan BAP (0,5 mg/1). Dalam waktu
12 minggu perlakuan media ini menghasilkan
tunas sebanyak 37 buah. Penelitian ini lebih
efektif dan efisien dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya dalam menghasilkan
jumlah plantlet.
- Umbi Batang
Penggunaan umbi batang tanaman iles-
iles sebagai eksplan telah diteliti keberadaannya
oleh beberapa orang peneliti. Penelitian awal
dilakukan oleh (Aziz, Ratnasari and Rahayu
2014), yang menggunakan Amorpophallus muelleri
sebagai sumber eksplan diambil dari lapangan.
Pengupasan umbi pada penelitian ini ternyata
merangsang terjadinya oksidasi fenol, sehingga
persentasi keberhasil pembentukan kalus masih
rendah, dan belum berhasil menghasilkan tunas
kalus.
Potongan umbi batang sebagai sumber
eksplan berhasil digunakan sebagai bahan
perbanyakan ketika kulit umbi tidak dikupas.
Potongan umbi Amorphopllus corrugatus yang
ditanam pada Media MS yang diberi BA 3mg / L
dan IBA 0,1 mg / L dapat menghasilkan 8,33
tunas/potong umbi (Thach et al. 2016).
- Biji
Biji iles-iles sebagai eksplan telah digunakan
untuk sumber perbanyakan tanaman secara
kulur in vitro. Biji iles-iles untuk perbanyakan
tanaman akan menghasilkan sifat tanaman yang
sama dengan induknya karena bersifat
apomiksis. Dari beberapa penelitian yang telah
berhasil menggunakan eksplan biji, Suheriyanto,
Romaidi and Resmisari (2012), merupakan
peneliti yang telah berhasil. Eksplan biji
disterilisasi dan ditumbuhkan menggunakan
media MS. Benih yang berupa planlet kemudian
digunakan sebagai sumber untuk mendapatkan
tunas yang lebih banyak. Pemberian BAP 2,0
mg/l pada media MS mendapatkan rataan tunas
sebanyak 1,22 (Suheriyanto, Romaidi and
Resmisari 2012).
- Petiol (Tangkai Daun )
Eksplan tangkai daun iles-iles berasal dari
tanaman lapangan, dapat digunakan sebagai
bahan tanam atau eksplan. Penelitian Imelda et
al., (2008) memperlihatkan pemberian BAP 2
mg/l pada media MS selama 3 bulan dapat
meningkatkan jumlah tunas Amorphopallus moeller
(menghasilkan 19 tunas). Perbanyakan iles-iles
menggunakan eksplan tangkai daun lebih efisien
karena tidak mengganggu hasil panen.
Selain menggunakan eksplan petiol dari
tanaman dari lapangan, multiphikasi tunas
A.muelleri menggunakan eksplan petiol dari
planlet steril untuk menggandakan tunas telah
dilakukan oleh (Prayana, Djenal and Wardana
2017). Hasilnya, pemberian BAP dan NAA secara
bersamaan selain dapat membentuk tunas, juga
terbentuk kalus. Jumlah tunas terbanyak
dihasilkan pada terlakuan BAP dan NAA
masing-masing 1 mg/l, namun hasilnya jauh lebih
rendah dibandingkan dengan penelitian Imelda
et al., (2008) yang hanya menggunakan BAP
secara tunggal. Pada species Amorphopallus
oncophyllus penggunaan petiol yang di kulturkan
di media MS ditambah 2,4-dichlorophenoxy acetic
acid (2,4 D) konsentrasi 0,5 mg/l (Chotigamas et
al. 2009), spesies Amorphopallus muelleri
menggunakan kombinasi BAP 1 mg/l dan 2,4-D 1
mg/l (Aziz, Ratnasari and Rahayu 2014)
Penggunaan eksplan petiol juga dilakukan
oleh Paul, Bari, Islam, & Debnath (2013),
Chotigamas et al., (2014) dan Aziz et al., (2014).
Berbeda dengan Imelda et al., (2008) dan (Aziz,
Ratnasari and Rahayu 2014) yang menggunakan
Amorphopallus muelleri, Paul et al., (2013)
menggunakan A. campanulatus Blume, sementara
(Chotigamas et al. 2009b) Amorphopallus
oncophyllus untuk menghasilkan kalus
embriogenik. Kalus yang terbentuk bervarias
warnanya, ada putih, merah muda dan
kecoklatan. Regenerasi tunas adventif tertinggi
(60%) diperoleh di MS mengandung 4,0 mg / l
BAP + 1,5 mg / l NAA (Paul et al. 2013).
Eksplan petiole untuk perbanyakan spesies
A. paeoniifolius var. campanulatus (Decne) Sivad.
CV. Gajendra juga telah dilaporkan Nicolson,
Anil, Siril, & Beevy, (2012). Potongan petiole
dikulturkan di media MS mengandung 6-
Benzyladenine (BA), dan 1-Naphthaleneacetic acid
74 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :67 - 78 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
(NAA) menghasilkan kalus dalam waktu empat
minggu. Sub kultur berulang menghasilkan tunas
adventif, akar dan protocorm like bodies (PLB) atau
corm like structures (CLS), yang kemudian
berkembang menjadi planlet. Medium MS yang
dilengkapi dengan NAA (2,5 μM) dalam
kombinasi dengan BA (5,0 μM) merupakan
media terbaik untuk induksi CLS. Dalam
penelitian ini pengembangan tanaman melalui
CLS dari eksplan petiole dapat diadopsi untuk
produksi planlet skala besar (Nicolson et al.
2012).
- Daun
Penggunaan eksplan daun dilakukan untuk
mendapatkan kalus embriogenik telah di
laporkan oleh Chotigamas et al. (2009). Sama
dengan perlakuan yang dilakukannya pada
petiole, induksi kalus dari daun Amorphopallus
muelleri juga dibiakkan pada media dasar MS
ditambahkan 0,25 mg/l naphthalene acetic acid
(NAA) dalam kondisi terang menghasilkan kalus
sekitar 80%. Kalus yang remah kemudian di
inkubasi dalam ruangan gelap untuk
menghasilkan suspensi sel. Suspensi sel ini akan
dioptimalkan lebih lanjut untuk memperoduksi
glukaman dalam bioreaktor.
Induksi Perakar
Tunas yang dihasilkan dari proses kultur in
vitro tidak memiliki akar, atau kalaupun ada
sebagian tunas memiliki dengan jumlah yang
sedikit. Untuk mendapatkan hasil yang baik,
tunas sebaiknya disubkultur ke media perakaran.
Media untuk induksi akar iles-iles dapat
menggunakan media MS tanpa zat pengatur
tumbuh (Imelda et al. 2008), atau media dasar ¼
MS (Supriati et al. 2002b). Akan tetapi untuk
menghasilkan jumlah akar yang memadai
penambahan zat pengatur tumbuh akar pada
media MS sangat dipelukan. Penambahan IBA
sebesar 1,0 mg/l dilaporkan menghasilkan jumlah
akar yang lebih baik dibandingkan kontrol
(Suheriyanto, Romaidi and Resmisari 2012).
Aklimatisasi
Aklimatisasi merupakan proses adaptasi
pada plantlet dari kultur in vitro ke kondisi eks
vitro, sebelum ditanam di lapang. Aklimatisasi
salah satu tahapan kritis dalam perbanyakan
tanaman iles-iles karena peralihan dari sifat
planlet yang heterotrof ke autotrof. Beberapa
peneliti telah melakukan penelitian tentang
tahapan aklimatisasi pada planlet iles-iles.
Beberapa penelitian yang berhasil
melaporkannya adalah Supriati et al.( 2002a),
Imelda et al., (2007), Poerba, Imelda, Wulansari,
& Martanti, (2009) dan Paul et al., (2013).
Media yang dapat digunakan untuk
aklimatisasi dapat berupa campuran tanah,
kompos dan cocopeat (1:1:1) (Imelda, Wulansari
and Poerba 2007; Poerba et al. 2009), atau
campuran tanah dan casting atau campuran
tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan
1 : 1 (Supriati et al. 2003). Penggunaan tanah
lempung yang memiliki kandungan bahan
organik juga dapat digunakan untuk aklimatisasi
planlet iles-iles (Paul et al. 2013).
STARTEGI PENGEMBANGAN ILES-ILES
Iles-iles merupakan tanaman potensial
untuk dikembangkan. Untuk memenuhi
kebutuhan pasar masih diperlukan produksi
umbi 35.00 ton/tahun (Santosa et al. 2016b),
sehingga masih diperlukan perluasan areal iles-
iles ± 10.000 ha (Santosa 2014). Dalam
pengembangannya di perlukan strategi yang baik
supaya tidak menimbulkan permasalahan.
Tumpang sari tanaman iles-iles dengan tanaman
kehutanan bukan hal yang sama sekali baru.
Kenyataannya, usaha tersebut belum sesuai
dengan yang harapan. Oleh karena itu perlu
mengetahui permasalahan yang ada dalam
pengembangannya.
Menurut Santosa (2014) ada beberapa faktor
yang menentukan keberhasilan pengembangan
tanaman iles-iles yaitu ; penyediaan benih, lahan,
modal, dan pemantapan pemasaran. Diantara ke
empat faktor tersebut yang menjadi pembatas
utama dalam perluasan areal tersebut adalah
penyediaan benih. Perbanyakan iles-iles secara
konvensional menggunakan umbi batang dan
umbi daun memerlukan waktu minimal 1 tahun,
sementara untuk mendapatkan biji diperlukan
waktu sekitar 3 tahun. Untuk mengatasi hal ini
diperlukan adanya metode perbanyakan benih
75 Perbanyakan Iles-Iles ( Amorphophallus spp.) Secara Konvensional dan Kultur In Vitro serta Strategi Pengembangannya (MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM)
iles-iles dalam jumlah yang banyak, dengan
waktu yang lebih singkat.
Penggunaan metoda non konvensional yaitu
melalui tehnik kultur in vitro dalam perbanyakan
iles-iles diharapkan dapat menghasilkan benih
iles-iles dalam jumlah yang banyak, cepat, dan
bebas hama penyakit. Keuntungan lain dari
perbanyakan menggunakan tehnik ini adalah
tidak mengganggu produksi, karena bahan
tanaman (eksplan) yang digunakan dapat berupa
daun dan tangkai daun, atau tunas umbi.
KESIMPULAN
Tanaman Iles-iles merupakan salah satu
jenis umbi-umbian yang potensial dikembangkan
tidak hanya untuk bahan pangan, tetapi juga
Industri. Kandungan umbi yang penting adalah
glukomanan. Untuk penyediaan benih dapat
dilakukan melalui perbanyakan secara
konvensional, dan menggunakan tehnik non
konvensional (kultur in vitro). Pada perbanyakan
secara konvensional, penggunaan umbi batang
merupakan cara yang lebih praktis dibandingkan
bulbil, biji atau stek daun. Secara kultur in vitro,
dari beberapa jenis eksplan yang telah diteliti,
penggunaan tangkai daun lebih efisien
dibandingkan dengan eksplan lainnya, karena
tidak mengganggu hasil panen. Multhipikasi
tunas dapat menggunakan media MS yang diberi
kombinasi thidiazuron (0,2 mg/1) dan
Benzylaminopurine (0,5 mg/1), karena dalam
waktu 12 minggu dapat menghasilkan 37 tunas.
Jumlah tunas ini jauh lebih banyak dibandingkan
perbanyakan konvensional yang hanya
menghasilkan 1 tunas. Untuk perakaran, media
MS yang diberi IBA 1,0 mg/l merupakan media
terbaik dibandingkan media lainnya.
DAFTAR PUTAKA
Afifah, E., Nugrahani, M.O. & Setiono (2014)
Peluang budidaya iles-iles
(Amorphophallus spp.) sebagai tanaman
sela di perkebunan karet. Warta
Perkaretan. 33 (1), 35–46.
Ardhian, Dhike & Indriyani, S. (2013) Kandungan
oksalat umbi Porang (Amorphophallus
muelleri Blume) Hasil Penanaman dengan
Perlakuan Pupuk P dan K. Biotropika |.
53–56.
Aziz, M.M., Ratnasari, E. & Rahayu, Y.S. (2014)
Induksi Kalus Umbi Iles-Iles (
Amorphophallus muelleri ) dengan
Kombinasi Konsentrasi 2 , 4-D dan BAP
Secara In Vitro Callus Induction of Iles-
Iles (Amorphophallus Mueller) Tuber Using
Concentation. LenteraBio. 3 (2), 109–114.
Chairiyah, N., Harijati, N. & Mastuti, R. (2014)
Pengaruh waktu panen terhadap
kandungan glukomannan pada umbi
porang (Amorphophallus muelleri blume)
periode tumbuh ketiga. Research Journal of
Life Science. 01 (01), 37–42.
Chotigamas, T. et al. (2009) The tissue culture
optimization for Amorphophallus
oncophyllus Cell suspension for konjac
glucomannan production. :
https://www.researchgate.net/publication/267
685813 THE. [Online] pp.1–7. Available
from:
https://www.researchgate.net/profile/Sar
ote_Sirisansaneeyakul/publication/267685
813_THE_TISSUE_CULTURE_OPTIMIZ
ATION_FOR_AMORPHOPHALLUS_O
NCOPHYLLUS_CELL_SUSPENSION_F
OR_KONJAC_GLUCOMANNAN_PRO
DUCTION/links/548e35720cf225bf66a5f9
a1.pdf.
Chua, M. et al. (2012) Methodologhi for the
extraction and analysis of konjac
glucomannan from corns of
Amorphophallus konjac k.
koch.carbohyhdra.pdf. Carbohydrate
Polymers. 87 (3), 2202–2210.
Hatmi, R.U. & Djaafar, T.F. (2014) Keberagaman
Umbi-Umbian Sebagai Pangan
Fungsional. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
2014. (22), 950–960.
Hidayah, N., Suhartanto, M.R. & Santosa, E.
(2018) Pertumbuhan dan produksi benih
iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume)
asal teknik budi daya yang berbeda.
Buletin Agrohorti. 6 (3), 405–411.
Hobir (2002) Pengaruh ukuran dan perlakuan
bibit dan produksi iles-iles. Edisi khusus
Littro. 60–65.
76 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :67 - 78 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
Huang, L. et al. (2002) Gelation behavior of native
and acetylated konjac glucomannan.
Biomacromolecules. 1, 1296–1303.
Imelda, M. et al. (2008) Regenerasi Tunas dari
Kultur Tangkai Daun Iles-iles
(Amorphophallus muelleri Blume) [Online]
9, 173–176. Available from:
doi:10.13057/biodiv/d090304.
Imelda, M., Wulansari, A. & Poerba, Y.S. (2007)
Mikropropagasi tanaman iles-iles
(Amorphophallus muelleri blume). Berita
Biologi. 8 (4), 271–277.
Irawan, B. & Sutrisna, N. (2016) Prospek
Pengembangan Sorgum di Jawa Barat
Mendukung Diversifikasi Pangan. Forum
penelitian Agro Ekonomi. [Online]
Available from:
doi:10.21082/fae.v29n2.2011.99-113.
Kamala, S. & Makeshkumar, T. (2014)
Optimization of in vitro regeneration and
microcorm induction in elephant foot
yam (Amorphophallus paeoniifolius).
Academic journal. [Online] 13 (49), 4508–
4514. Available from: doi:10.5897/A.
Kasno, A. (2008) Iles-iles umbi-umbian potensial
sebagai tabungan tahunan. Buletin
Palawija. 20 (15), 15–20.
Lastinawati, E. (2010) Diversifikasi Pangan dalam
Mencapai Ketahanan Pangan.
Agronobis.2(4): 11-18.
Lebi, M.E. (2013) Kajian konsentrasi CPPU dan dosis
pupuk anorganik terhadap pertumbuhan
tanaman porang (Amorphophallus
onchophyllus). Universitas Pembangunan
Nasional ‘Veteran’ Jawa Timur.
Nicolson, D. et al. (2012) In Vitro Propagation
Strategies for Elephant Foot Yam (
Amorphophallus paeoniifolius. 38 (2), 97–
108.
Nurdianti, R. (2013) Pengaruh pupuk kandang dan
npk pada tanaman suweg, talas, dan iles-iles
riri nurdianti. Institute Pertanian Bogor.
Patel, N.B. et.al. (2013) Effect of Plant Density
and Corm Size on the Growth and Yield
of Elephant Foot Yam (Amorphophallus
paeoniifolius (Dennst.) Journal of Root
Crops, 2013, Vol. 39 No. 2, pp. 255-256
Paul, K.K. et al. (2013) In vitro shoot regeneration
in elephant foot yam, Amorphophallus
campanulatus Blume. Plant Tissue Culture
and Biotechnology. [Online] 23 (1), 121–126.
Available from:
doi:10.3329/ptcb.v23i1.15569.
Poerba, Y. et al. (2009) Induksi mutasi kultur in
vitro Amorphophallus muelleri Blume
dengan irradiasi gamma. Jurnal Teknik
Lingkungan. [Online] 10 (3), 355–364.
Available from:
doi:10.29122/jtl.v10i3.1482.
Prana, M.S. (2008) Penyerbukan buatan pada
acung ( Amorphophallus decus-silvae
back. & v.A.vR.). Biodiversitas. [Online] 9
(4), 292–295. Available from:
doi:10.13057/biodiv/d090411.
Prayana, F.A., Djenal & Wardana, R. (2017)
Mikropropagasi tangkai daun iles-iles
(Amorphophallus muelleri blume) secara
in vitro dengan penambahan ZPT BAP
dan NAA. Agriprima, Journal of Applied
Agricultural Sciences. [Online] 1 (2), 104–
114. Available from:
doi:10.25047/agriprima.v1i2.45.
Rokhmah, D.N. & Supriadi, H. (2015) Prospek
pengembangan iles-iles (Amorphophallus
muelleri Blume) sebagai upaya
diversifikasi pangan di Indonesia. Sirinov.
3 (1) (April), 1–10.
Santosa, E. et al. (2016a) Flower development and
its implication for seed production on
flower development and its implication
for seed production on Amorphophallus
muelleri blume (Araceae). J. Hort Indonesia.
[Online] 7 (2), 65–74. Available from:
doi:10.29244/jhi.7.2.65-74.
Santosa, E. et al. (2006) Flower Induction in
Elephant Foot Yams using Gibberellic
Acid (GA3). Japanese Journal of Tropical
Agriculture. [Online] 50 (2), 82–86.
Available from:
doi:10.11248/jsta1957.50.82.
Santosa, E. et al. (2016b) Manipulasi Agronomi
Bunga Iles-iles (Amorphophallus muelleri
Blume) untuk Meningkatkan Produksi
Biji. [Online] 21 (2), 133–139. Available
from: doi:10.18343/jipi.21.2.133.
Santosa, E. (2014) Pengembangan tanaman iles-
iles tumpangsari untuk kesejahteraan
petani dan kemandirian industri pangan
77 Perbanyakan Iles-Iles ( Amorphophallus spp.) Secara Konvensional dan Kultur In Vitro serta Strategi Pengembangannya (MEYNARTI SARI DEWI IBRAHIM)
nasional. Risalah Kebijakan Pertanian dan
Lingkungan. [Online] 1 (2), 73–79.
Available from:
doi:10.20957/jkebijakan.v1i2.10288.
Santosa, E. & Wirnas, D. (2009) Teknik
perbanyakan cepat sumberdaya genetik
iles-iles untuk mendukung percepatan
komersialisai secara berkelanjutan. Jurnal
llmu Pertanian Indonesia, Agustus. 14 (2),
91–96.
Sari, R. & Suhartati (2015) Tumbuhan Porang:
Prospek Budidaya Sebagai Salah Satu
Sistem Agroforestry. Info Teknis EBONI.
12 (2), 97–110.
Sigiyama, N. (2008) Edible Amorphophallus in
Indonesia-Potential Crops in Agroforestry.
Yogyakarta, Gajah Mada University
Press.
Siswanto, B. & Karamina, H. (2016) Persyaratan
lahan tanaman Porang (Amarphopallus
oncophillus ). Buana Sains. 16 (1), 57–70.
Suheriyanto, D., Romaidi & Resmisari, R.S. (2012)
Pengembangan bibit unggul porang
(Amarphopallus oncophilus ) melalui teknik
kultur in vitro untuk mendukung
ketahanan. El-Hayah. [Online] 3 (1), 16–
23. Available from:
doi:10.18860/elha.v3i1.2216.
Suismono (2008) Teknologi pengolahan dan
pemanfaatan pangan lokal berbasis
umbi-umbian. Pangan. 17 (52), 38–50.
Sumarwoto (2005) Iles-iles (Amorphophallus
muelleri Blume); description and other
characteristics. Biodiversitas. [Online] 6
(3), 185–189. Available from:
doi:10.13057/biodiv/d060310.
Sumarwoto (2008a) Letak Biji pada Tongkol Buah
dan Media Persemaian Pengaruhnya pada
Mutu Benih Iles-iles In: Prosiding Seminar
Nasional dan Workshop Perbenihan dan
Kelembangaan dengan Tema Peran
Perbenihan Nasional dan Kelembagaan dalam
Memperkokoh Ketahanan Pangan.
Yogyakarta.
Sumarwoto (2012) Peluang bisnis beberapa macam
produk hasil tanaman iles kuning di DIY
melalui kemitraan dan teknik budidaya.
pp.1–13.
Sumarwoto (2004) Pengaruh pemberian kapur
dan ukuran bulbil terhadap
pertumbuhan iles-iles (Amorphophallus
muelleri blume) pada tanah ber-Al tinggi.
Ilmu Pertanian. 11 (2), 45–53.
Sumarwoto (2007) Review : Kandungan Mannan
pada Tanaman Iles-iles (Amorphophallus
muelleri Blume). Bioteknologi. 4 (1), 28–32.
Sumarwoto (2008) Uji zat pengatur tumbuh dari
berbagai jenis dan konsentrasi pada stek
daun iles-iles (Amorphophallus muelleri
blume). Jurnal Agroland. 15 (1), 7–11.
Sumarwoto & Maryana (2011) Pertumbuhan
bumbil iles-iles (Amorphophallus muelleri
blume) berbagai ukuran pada berbagai
media tanam. Jurnal Ilmu Kehutanan. 5 (2),
91–98.
Sumarwoto, S. & Maryana, M. (2015)
Perbanyakan Bibit Melalui Pembelahan
dan Penutupan Luka Umbi Batang
Iles.Iles (Amorphophallus muelleri Blume).
Agro UPY. VI (2), 71–79.
Supriati, Y. (2016) Keanekaragaman iles-iles
(Amorphophallus spp.) dan potensinya
untuk industri pangan fungsional,
kosmetik, dan bioetanol. Jurnal Litbang
Pertanian. [Online] 33 (2), 69–80.
Available from:
doi:10.21082/jp3.v35n2.2016.p69-80.
Supriati, Y. et al. (2001) Multiplikasi tunas iles-iles
dan duku. Laporan Akhir Hasil Penelitian
Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman
Pangan. 2001st edition. Bogor, Balai
Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan.
Supriati, Y. et al. (2002a) Optimasi Sistem Perakaran
dan Aklimatisasi Iles-iles. In: Prosiding
Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan
Bioteknologi Tanaman Bogor, 26-27
Desember 2001. Bogor, BB Biogen
(Pusat/Puslit.Puslitbang/Balai Besar),
pp.250–256.
Supriati, Y. et al. (2002b) Peningkatan Multiplikasi
Tunas dan Induksi Akar Tanaman Iles-iles
melalui Kultur In Vitro. Prosiding Seminar
Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi
Tanaman. Bogor, BB Biogen
(Pusat/Puslit.Puslitbang/Balai Besar).
Tarigan, E. & Tawaha, J. (2014) Potensi iles-iles
sebagai sumber bioetanol nabati. Infotek
Perkebunan. 6 (10), 37–37.
78 Volume 18 Nomor 1, Juni 2019 :67 - 78 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
Thach, B.D. et al. (2016) Preliminary Selection and
in Vitro Propagation of Amorphophallus
Species With High Content of
Glucomannan Distributed In Vietnam.
European Journal of Advanced Research in
Biological and Life Sciences. 4 (1), 1–7.
Thangam, M. et al. (2013) Improved production
technology for elephant foot yam. Silver
Jubilee Publication. 61, ICAR Research
Complex for Goa, Old Goa, India, p.5.
Yao-Ling, L. et al. (2013) Review of konjac
glucomannan: Isolation, structure, chain
conformation and bioactivitas. Jurnal
Single Mole MRRes. 1 (1), 7–14.
Yasin, M. & Suarni (2011) Jagung sebagai sumber
pangan fungsional. Iptek Tanaman Pangan.
6 (1), 41–56.
Zhang, D., Wang, Q. & George, S.S. (2010)
Mechanism of Staggered Multiple
Seedling Production from Amorphophallus
bulbifer and Amorphophallus muelleri and
its Application to Cultivation in
Southeast Asia. Tropical Agriculture and
Development. [Online] 54 (3), 84–90.
Available from: doi:10.11248/jsta.54.84.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada para pakar yang telah bersedia
sebagai penelaah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri. Berikut ini nama pakar
yang telah berpartisipasi:
Nama Alamat Disiplin Ilmu
Dr. Ir. Djadja Subardja
Sutaatmadja , M.Sc.
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian (BB SDLP),
Balitbang Pertanian, Kementerian
Pertanian.
Jl. Tentara Pelajar, Cimanggu,
Bogor
Ilmu Tanah
Prof. Dr. Subiyakto Balai Penelitian Tanaman Pemanis
dan Serat, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan,
Balitbang Pertanian, Kementerian
Pertanian
Jl. Raya Karang Ploso. PO Box 199.
Malang – Jaw Timur
Hama dan Penyakit
Tanaman
Prof. Dr. I Wayan Laba Forum Komunikasi Profesor Riset
Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian
Jl. Raya Pajajaran, Bogor
Hama dan Penyakit
Tanaman
Dr. Ir. Markus Anda, M.Sc. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian (BB SDLP), Balitbang
Pertanian, Kementerian Pertanian.
Jl. Tentara Pelajar, Cimanggu, Bogor
Ilmu Tanah
Ir. Titek Yulianti, M.Ag., Sc.PhD. Balai Penelitian Tanaman Pemanis
dan Serat, Balitbang Pertanian,
Kementerian Pertanian.
Jl. Raya Karang Ploso. PO Box 199.
Malang – Jawa Timur
Hama dan Penyakit
Tanaman
Prof. Dr. Ir Ika Mariska Forum Komunikasi Profesor Riset
Batitbang Pertanian, Kementerian
Pertanian.
Jl. Raya Pajajaran, Bogor
Fisionologi
Tumbuhan dan
Bioteknologi
PEDOMAN BAGI PENULIS
Pengertian : Review Penelitian Tanaman Industri merupakan karya
tulis tinjauan yang berisi suatu kajian hasil-hasil penelitian yang
berupa olah pikir analisis dan sintesis sejumlah hasil penelitian
yang telah diterbitkan, agar diperoleh informasi yang benar, valid,
dan relevan dengan tujuan untuk memacu dan memberi informasi
perkembangan ilmu dan teknologi di Indonesia.
Bahasa : Review memuat tulisan dalam Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris dengan baik sesuai kode etik penulisan serta
mengikuti Pedoman Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Struktur : Naskah disusun dalam urutan sebagai berikut : judul
tulisan, nama penulis dengan alamat instansinya, abstrak dalam
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (200 – 300 kata) dan kata
kunci (Bahasa Indonesia dan Inggris), pendahuluan, topik-topik
yang dibahas, kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka.
Bentuk Naskah : Naskah diketik di atas kertas kuarto putih pada
satu permukaan saja, memakai dua spasi dan bentuk huruf Arial
ukuran 12 pt. Pinggir kiri kanan tulisan disediakan ruang kosong
minimal 3,5 cm dari pinggir kertas. Panjang naskah sebaiknya tidak
melebihi 20 halaman termasuk tabel dan gambar.
Judul Naskah : Judul tulisan merupakan suatu ungkapan yang
dapat menggambarkan fokus masalah yang dibahas dalam tulisan
tersebut, dan dicantumkan dengan dua bahasa, Indonesia dan
Inggris. Nama dan instansi tempat kerja penulis dengan alamat yang
jelas dicantumkan di bawah judul. Apabila penulisnya lebih dari satu
maka penulisannya disesuaikan dengan kode etik penulisan.
Pendahuluan: Berisi suatu pengantar atau paparan tentang latar
belakang topik, ruang lingkup bahasan dan tujuan review. Jika
diperlukan, sajikan pengertian-pengertian dan cakupan bahasan.
Topik bahasan : Informasi tentang topik yang dibahas dan disusun
dengan urutan logika secara sistematis, termasuk sintesis dan
analisis. Misalnya, pengungkapan status perkembangan ilmu dan
teknologi, penjelasan tentang perbedaan pendapat, pengungkapan
konsepsi baru, pengungkapan pemecahan masalah untuk bahan
kebijakan, dan pengungkapan aspek yang perlu dibuktikan
kebenarannya atau yang perlu memperoleh dukungan disiplin lain.
Kesimpulan dan Saran : Merupakan inti sari pembahasan dan
dapat berisi himbauan tergantung dari materi bahasan.
Daftar Pustaka : Pustaka yang dirujuk hendaknya rujukan yang
terbaru dan mutakhir yaitu rujukan yang terbit dalam 5-10 tahun
terakhir. Pustaka primer diharapkan lebih banyak daripada pustaka
sekunder. Jumlah rujukan tergantung pada luasnya topik atau
banyaknya penelitian dari topik yang dibahas dan disarankan karya
tulis tinjauan kurang lebih menggunakan 30 rujukan yang relevan,
agar topik yang dibahas terdiri atas hasil penelitian yang cukup
banyak. Contoh Penulisan Sumber Acuan :
Jurnal
Azrai, M., F. Kasim, Sutrisno, dan S. Moeljopawiro. 2003. Identifikasi
lokus karakter kuantitatif ketahanan penyakit bulai pada
jagung menggunakan RFLP. Jurnal Bioteknologi Pertanian
8(1) : 8-14.
Trisawa, I.M. dan I.W. Laba. 2006. Keefektifan Beauveria bassiana
dan Spicaria sp. terhadap kepik renda lada Diconocoris
hewetti (Dist.) (Hemiptera: Tingidae). Bulletin Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat XVII(2) : 99-106.
Buku
Bradbury, J.F. 1986. Guide to Plant Pathogenic Bacteria. CAB
International Mycological Institute. Ferry Lane, Kew Surrey,
England. 329 pp.
Bab dalam buku
Weiss, R. 1984. Experimental biology and assay of RNA tumor
viruses. Dalam : R. Weiss, N. Teich, H. Varmus, and Coffin
J. (ed). RNA Tumor Viruses. Vol. 1, New York : Cold Spring
Harbor Laboratory. p. 209-260.
Abstrak
Rusmana I., R.S. Hadioetomo 1991. Bacillus thuringiensis Berl. dari
peternakan ulat sutera dan toksisitasnya. Abstrak
Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi
Indonesia. Bogor, 2-3 Des 1991, A-26, hlm 26.
Prosiding
Raffiudin, R., D. Nandika, M. Amir, and N. Sugiri. 1991. Populasi
flagelata pada usus rayap Captotermes curvignatus
Holmgren dengan pemberian pakan tiga jenis kayu. Dalam
Prosiding Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X,
Vol. 2. Bogor, 24-26 September 1991. Hlm 482-487.
Skripsi/Tesis/Disertasi
Tjahyadi, M.R. 1994. Bakteri penghambat Vibrio harveyi untuk
menanggulangi penyakit berpendar pada larva udang windu
(Panacus monodon Fab.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
45 hlm.
Informasi dari Internet
Anonymous. 2006. Bukholderia cepacia and other Burkholderia.
http://www3.nbnet.nb.ca/normap/bcepacia.htm.[Sept 2006]
Chen, H.J., W.C. Hou, and Y.H. Lin. 2000. Isolation and charac-
terization of a cDNA clone for type II metallo-thionein-like
protein from senescent leaves of sweet potato (Ipomoea
batatas cv. Tainong 57). (PGR00-001) Plant Physiol
122:291. http://www.tarweed.com/ pgr/. [18 Jan 2001].
Tabel : Judul tabel singkat dan jelas, dengan catatan bawah
termasuk sumbernya (apabila data atau angka-angka dalam tabel
tersebut berasal dari sumber lain).
Gambar dan Grafik : Gambar dan grafik disajikan dengan jelas.
Keterangan gambar dan grafik dibuat dalam bentuk catatan bawah
disertai dengan sumbernya. Foto hitam putih atau berwarna dicetak
ukuran poscard dengan mutu tajam dan jelas dengan posisi
berdiri/vertikal disertai dengan asal sumber dan keterangannya.
Lain-lain : Redaksi hanya menerima naskah yang belum pernah
dipublikasikan dan tidak dalam proses penerbitan pada publikasi
lain. Dewan Redaksi melakukan koreksi dan perbaikan serta
mengubah format sesuai dengan sifat Review yang informatif tanpa
mengubah arti dari naskah. Dewan Redaksi akan mengembalikan
naskah kepada penulis untuk diperbaiki sesuai dengan hasil koreksi
redaksi. Naskah yang tidak dapat diterima dengan alasan sesuai
dengan keputusan rapat Dewan Redaksi akan diberitahukan kepada
penulis melalui surat.
Surat Menyurat : Naskah tulisan dikirim rangkap dua dan diberi
pengantar dari Kepala Satuan Kerja, serta dialamatkan kepada :
Redaksi Pelaksana Perspektif, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan, Jl. Tentara Pelajar No.1 Bogor 16111, Telp. 0251-
8313083, Fax. 0251– 8336194.