Review Chapter 2
-
Upload
iman-wibowo -
Category
Documents
-
view
65 -
download
5
description
Transcript of Review Chapter 2
7
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI
2.1 Pemanasan Global
Pemanasan global (global warming) merupakan kejadian meningkatnya
temperatur rata-rata atmosfer, laut, dan daratan. Pemanasan global berdampak
langsung maupun tidak langsung di segala aspek kehidupan di dunia. Interaksi
manusia merupakan pengaruh utama dalam keseimbangan siklus karbon. Proses
industrialisasi, transportasi, pembukaan lahan, dan pembuangan sampah,
merupakan kegiatan yang dapat melepaskan GRK ke atmosfer. Sebagaimana
dilaporkan IPCC dan CRU, bahwa kenaikan suhu iklim global terjadi pada era abad
19 (Gambar 2.1). Kenaikan suhu pada periode waktu tersebut linier dengan
kenaikan jumlah konsentrasi GRK (Gambar 2.2).
Gambar 2.1. Anomali Temperatur Permukaan Bumi pada Era Abad 19
(http://www.cru.uea.ac.uk/cru/info/warming/)
8
Gambar 2.2. Konsentrasi Gas Rumah Kaca pada Tahun 0-2005
(http://www.ipcc.ch/publications_and_data/ar4/wg1/en/faq-2-1-
figure-1.html)
2.2 Gas Rumah Kaca TPA
Pada TPA terjadi proses penguraian secara anaerob pada komponen sampah
organik. Proses penguraian tersebut menghasilkan gas, dimana yang paling
dominan adalah gas metan dan karbon dioksida (Tchobanoglous, Theisen, & Vigil,
1993). Berdasarkan Gambar 2.2, gas yang mempunyai konsentrasi tertinggi di
atmosfer adalah karbon dioksida. Komposisi prosentase gas-gas hasil proses
penguraian di TPA sesuai Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Prosentase Gas landfill
Komponen Gas Prosentase
(Berat Kering) Metan 45 - 60 Karbon dioksida 40 - 60 Nitrogen 2 - 5 Oksigen 0,1 - 1 Sulfida, disulfida, derkaptan, dll 0 - 1 Amonia 0,1 - 1 Hidrogen 0 – 0,2 Karbon monoksida 0 – 0,2 Trace Gas 0,01 – 0,6
Karakteristik Nilai
Temperatur (oF) 100 -120 Specific gravity 1,02 – 1,06 Nilai panas (Btu/sft) 400 - 550
Sumber: (Tchobanoglous, Theisen, & Vigil, 1993)
9
Metan yang terlepas di udara sangat berbahaya, dimana konsentrasi metan
di udara minimal 5 % sampai 15 % dapat mengakibatkan ledakan (Tchobanoglous,
Theisen, & Vigil, 1993). Dalam rangka mencegah hal tersebut, pada TPA dipasang
alat perangkap gas metan, yang kemudian di konversi melalui proses pembakaran
(flaring). Proses pembakaran metan akan menghasilkan karbon dioksida, yang
dianggap lebih ramah berkaitan dengan efek pemanasan global terhadap atmosfer
(Bracmort, dkk, 2009). Reaksi proses konversi metan menjadi karbon dioksida
adalah sebagai berikut.
CH4 + 2O2 → CO2 + 2H2O ......................................................................................... ̀ (2-1)
Berat jenis campuran karbon dioksida dan metan yang umumnya ditemukan
dalam gas TPA adalah hampir sama dengan udara, sehingga gas dari TPA tidak
mempunyai kecenderungan naik ke udara (Aberta Environmental Protection,
1999). Sedangkan gas metan murni, mempunyai berat jenis lebih ringan dari udara
(0,66 kg/m3), sehingga mempunyai kecenderungan naik secara vertikal (Aberta
Environmental Protection, 1999).
2.2.1 Laju Timbulan Gas TPA
Selain pengukuran langsung terdapat perangkat lunak untuk menghitung
laju emisi gas TPA secara teoritis, salah satunya adalah LandGEM. Laju
pembentukan metan dalam LandGEM didasarkan pada persamaan orde pertama
dekomposisi, dimana digunakan untuk memprakirakan emisi tahunan berdasarkan
periode waktu yang ditentukan (Alexander, Burklin, & Singleton, 2005).
QCH4= ∑ ∑ k1
j=0,1ni=1 . L0. (
Mi
10) .e-k.tij ........................................................ (2-2)
Keterangan:
QCH4 = Laju pembentukan metan pada tahun perhitungan (m3/thn)
i = Kenaikan 1 tahun
n = (Tahun perhitungan) – (Awal tahun penerimaan)
j = Kenaikan 0,1 tahun
k = Laju pembentukan metan (thn-1)
L0 = Potensi pembentukan metan (m3/Mega gram)
Mi = Berat sampah yang diterima pada tahun ke i (Mega gram)
tij = umur sampah bagian ke j pada penerimaan tahun ke i
(dalam desimal contoh: 3,2 tahun)
10
LandGEM mengasumsikan gas dari TPA terdiri dari metan dan karbon
dioksida. Laju pembentukan karbon dioksida dihitung berdasarkan laju
pembentukan metan (QCH4) dan prosentase (PCH4).
QCO2
=QCH4
. {[1
PCH4100⁄
] -1} ........................................................................... (2-3)
Emisi gas dari TPA yang tidak dikontrol dapat didekati dengan persamaan
orde pertama pada LandGEM, selain itu hasil perhitungan massa emisi dapat
digunakan untuk model dispersi berkaitan dengan nilai konsentrasi ambien
(USEPA, 2005).
2.2.2 Karakteristik dan Efek Karbon dioksida
Karbon dioksida merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau. Pada
suhu 25 oC mempunyai berat jenis 1,58 kg/m3 pada atau 1,5 kali lebih berat dari
udara. Prosentase karbon dioksida dari komposisi udara di atmosfer berkisar 0,01 –
0,1 %. Pada siklus alami jumlah komponen sumberdaya lingkungan adalah tetap,
namun jika terjadi gangguan terhadap prosesnya akan membuat ketidakseimbangan
atau akumulasi yang berlebihan (Karnaningroem & Soedjono, 2011). Secara alami
karbon dioksida dihasilkan oleh proses gunung berapi dan proses respirasi mahkluk
hidup. Selain keberadaannya secara alami, karbon dioksida merupakan hasil
pembakaran organik karbon. Proses konversi (pembakaran) tersebut yang menurut
IPCC dan CRU sebagai sumber peningkatan karbon dioksida di atmosfer.
Berat jenis karbon dioksida 1,5 kali lebih berat dari udara, menyebabkan gas
tersebut melayang di permukaan tanah. Hal ini yang sering menyebabkan kasus
kematian pada manusia, dimana berkaitan dengan pekerjaan penggalian tanah dan
pertambangan. Karbon dioksida (CO2) adalah lawan dari oksigen yang secara
normal keduanya terdapat pada tubuh. Namun apabila jumlah CO2 meningkat
melebihi batas normal akan menjadi racun untuk tubuh dengan cara memblok aliran
oksigen di pembuluh darah ke sel atau jaringan (Hamdani, 2012).
11
2.2.3 Tanaman Sebagai Penyerap Gas Karbon dioksida
Fotosintesis merupakan proses alami pada tumbuhan yang dapat menyerap
karbon dioksida dan menghasilkan oksigen. Pada proses fotosintesis, karbon
dioksida dan air yang terserap akan digunakan oleh tanaman hijau untuk proses
penyusunan glukosa atau zat gula.
6H2O + 6CO2 + cahaya → C6H12O6 (glukosa) + 6O2 .................................................. (2-4)
Pemanfaatan tumbuhan sering digunakan untuk mereduksi pencemaran udara yang
terjadi di perkotaan melalui penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Berdasarkan penelitian Endes N. Dahlan dalam Alamendah (2010), tiga
tanaman penyerap karbon dioksida terbesar adalah trembesi (28.488,39 kg/tahun),
ketepeng (5.295,47 kg/tahun), kenanga (756,59 kg/tahun). Menurut Purwaningsih
(2007), pada klasifikasi usia kurang dari 50 tahun, pohon kenanga mempunyai
kemampuan serapan karbon dioksida terbesar. Selain itu bunga dari pohon kenanga
mempunyai aroma khas yang wangi (Alamendah, 2011). Dalam peranannya
sebagai tanaman hutan kota, baik itu sebagai pohon peneduh, penyerap karbon
dioksida dan lain sebagainya, tanaman ditanam dengan jarak yang rapat yaitu pada
kisaran area 5 m x 5 m (Karyadi, 2005). Menurut Iverson, dkk, (1993) tipe tutupan
vegetasi mempunyai kemampuan serapan yang berbeda-beda. Klasifikasi tipe
tutupan vegetasi menurut Iverson, sesuai Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Nilai Serapan Karbon Dioksida oleh Tutupan Vegetasi
Tipe Vegetasi Serapan CO2
(ton/ha/Tahun)
Hutan 58.3
Perkebunan 52.4
Semak belukar 3.3
Rumput 3.3
Sumber: Iverson, dkk (1993) dalam Tinambunan, (2006)
Penanaman tanaman hijau di sekitar kawasan TPA merupakan suatu
peraturan yang wajib dan telah diatur didalam Permen PU No. 19/PRT/M/2012.
Jarak zona penyangga dari batas terluar TPA adalah sejauh 500 meter, dan
greenbelt yang termasuk didalam area tersebut mempunyai jarak ketebalan 100
meter. Penanaman pada area greenbelt, mempunyai jarak minimal kerapatan 5
meter untuk pohon yang berumur panjang (Kementrian PU, 2012).
12
Gambar 2.3. Pembagian Zona Sekitar TPA (Kementrian PU, 2012)
2.3 Model Dispersi Gaussian
Model dispersi Gaussian merupakan model yang mengasumsikan bahwa
penyebaran polutan di udara mempunyai probabilitas distribusi normal (Gauss).
Pendekatan distribusi Gauss untuk dispersi udara dikembangkan oleh Sutton
(1932), Pasquil (1961, 1974), dan Gifford (1961, 1968) (Hanna, dkk, 1982). Dalam
bidang statistik, distribusi data normal ditunjukkan oleh kurva normal yang
berbentuk seperti genta (lonceng).
Gambar 2.4. Kurva Distribusi Normal
(http://www.itl.nist.gov/div898/handbook/pmc/section5/pmc51.htm)
13
μ merupakan nilai tertinggi atau frekuensi terbanyak (modus), σ merupakan
simpangan baku (standar deviasi), dan π = 3,14. Variabel x akan dikatakan
terdistribusi normal jika fungsi densitas dari f(x) memenuhi persamaan berikut.
f(x)=1
σ(2π)0,5 exp [
-(x-μ)2
2σ2] ......................................................................................... (2-5)
Pada proses penyebaran polutan, apabila dilakukan pemotongan pada
koordinat yz, maka fungsi distribusi nilai konsentrasi dari polutan tersebut akan
berbentuk kurva distribusi normal (Gambar 2.5).
Gambar 2.5. Potongan Kurva Distribusi Normal Polutan pada Sumbu yz
(http://en.wikipedia.org/wiki/File:Gaussian_Plume.png)
Pengembangan prinsip distribusi normal pada dispersi polutan, menjadikan
perubahan pada formulasi distribusi normal. Berkaitan dengan arah distribusi
dispersi (koordinat xyz), menjadikan bentuk formulasi adalah distribusi normal
ganda (Wark & Warner, 1976). Selain itu terdapat pula faktor lain yang termasuk
didalamnya, seperti laju emisi (Q), tinggi emisi (H), kecepatan angin (u), dan faktor
refleksi. Sehingga bentuk formulasi dispersi polutan Gaussian adalah sebagai
berikut.
C(x,y,z,H)=Q
2πuσyσz[exp- (
y2
2σy2)] {exp [
-(z-H)2
2σz2 ] +exp [
-(z+H)2
2σz2 ]} .......................... (2-6)
14
Dikarenakan tolok ukur atau mayoritas obyek yang terdampak dispersi polutan
berada di permukaan tanah. Dengan mempertimbangkan faktor refleksi,
pengembangan formulasi dispersi pada Persamaan 2-6 di muka tanah (z = 0) adalah
sebagai berikut.
C(x,y,0,H)=Q
πuσyσzexp (
-H2
2σz2) exp (
-y2
2σy2) ................................................................. (2-7)
Dimana :
C(x,y,z,H) = Tingkat konsentrasi pada koordinat x,y,z dengan sumber emisi pada
ketinggian H (μg/m3)
x = Nilai koordinat relatif horizontal searah angin
y = Nilai koordinat relatif memotong arah angin
z = Nilai koordinat relatif vertikal
Q = Laju emisi polutan (μg/detik)
u = Kecepatan angin rata-rata dalam arah x (m/detik)
H = Tinggi emisi (tinggi cerobong + tinggi asap)
σy,σz = Koefisien dispersi lateral dan vertikal
Formula dispersi Gaussian yang telah dijelaskan, adalah formulasi untuk
sumber emisi berupa titik. Penerapan formulasi dispersi Gaussian juga dilakukan
terhadap sumber emisi garis. Sumber emisi garis dapat berupa sumber emisi titik
yang memanjang, atau pada umumnya diterapkan dalam menghitung dispersi
polutan akibat emisi kendaraan pada suatu jalan. Sedangkan sumber emisi area
berupa delineasi pada luasan area, atau didekati dengan mengambil titik pusat dari
sumber emisi area (Environment Agency, 2008). Terdapat beberapa asumsi
pendekatan dalam aplikasi model Gaussian, menurut Abdel-Rahman (2008)
pendekatan asumsi tersebut meliputi:
a. Kondisi dalam keadaan steady state, dimana emisi dalam keadaan berkelanjutan
(kontinyu) dan perubahan arah difusi diabaikan.
b. Materi yang dimodelkan berupa gas yang stabil atau aerosol dengan laju deposisi
diabaikan.
c. Materi tidak berubah (konservatif) jika terjadi refleksi dengan permukaan tanah.
d. Akumulasi polusi dari sumber lain diabaikan.
15
e. Kecepatan dan arah angin konstan berkaitan dengan waktu dan elevasi.
f. Pergeseran karena arah angin diabaikan.
g. Permukaan tanah relatif datar.
Limitasi rentang jarak yang harus dipertimbangkan dalam model Gaussian adalah
kurang dari 50 km, model dispersi dengan jarak lebih dari 50 km dibutuhkan
pengembangan suatu model (Environment Agency, 2008).
2.3.2 Standar Deviasi (Koefisien Dispersi)
Nilai koefisien dispersi (σy,σz), merupakan nilai standar deviasi dalam
kurva distribusi normal. Dalam dispersi polutan nilai-nilai tersebut dipengaruhi
oleh stabilitas atmosfer. Terdapat enam klasifikasi stabilitas atmosfer, klasifikasi
tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.3. Sedangkan nilai koefisien dispersi (σy,σz)
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu daerah pedesaan (area terbuka) dan perkotaan
(area terbangun), formulasi ini dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.3. Klasifikasi Stabilitas Atmosfer Pasquill
Kecepatan Angin Intensitas Matahari (Siang) Tutupan Awan
(Malam)
m/s mil/jam Kuat
(sun > 60o)
Sedang
(sun 35o-60o) Rendah
(15o<sun<35o) > 50% < 50%
<2 <5 A A-B B E F
2-3 5-7 A-B B C E F
3-5 7-11 B B-C C D E
5-6 11-13 C C-D D D D
>6 >13 C D D D D
Sumber: (Arystanbekova, 2004); (Wark & Warner, 1976); (Perkins, 1974)
Tabel 2.4. Formulasi Koefisien Dispersi Brigg
Klasifikasi dan Stabilitas
Atmosfer Pasquill σy (m) σz (m)
Pedesaan (area terbuka)
A 0.22x(1 + 0.0001x)−1/2 0.2x
B 0.16x(1 + 0.0001x)−1/2 0.12x
C 0.11x(1 + 0.0001x)−1/2 0.08x(1 + 0.0002x)−1/2
D 0.08x(1 + 0.0001x)−1/2 0.06x(1 + 0.0015x)−1/2
E 0.06x(1 + 0.0001x)−1/2 0.03x(1 + 0.0003x)−1
F 0.04x(1 + 0.0001x)−1/2 0.016x(1 + 0.0003x)−1
Perkotaan (area terbangun)
A-B 0.32x(1 + 0.0004x)−1/2 0.24x(1 + 0.001x)
C 0.22x(1 + 0.0004x)−1/2 0.2x
D 0.16x(1 + 0.0004x)−1/2 0.14x(1 + 0.0003x)−1/2
E-F 0.11x(1 + 0.0004x)−1/2 0.08x(1 + 0.0015x)−1/2
Dimana nilai x adalah jarak dari sumber emisi Sumber: (Arystanbekova, 2004)
16
2.3.3 Arah dan Kecepatan Angin
Dalam aplikasi model dispersi Gaussian, selain deviasi atau koefisien
dispersi, angin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses dispersi
polutan. Berdasarkan formulasi Gauss pada Persamaan 2-6 dan Persamaan 2-7,
kecepatan angin berbanding terbalik dengan fungsi nilai konsentrasi dispersi.
Penyederhanaan persamaan tersebut dapat dilakukan untuk perhitungan konsentrasi
pada garis tengah (center line) dispersi pada arah searah tiupan angin (downwind).
Persamaan dispersi Gaussian untuk center line adalah sebagai berikut.
C(x,0,0,0)=Q
πuσyσz ....................................................................................................... (2-8)
Apabila nilai kecepatan angin (u) = 0 m/s sesuai Persamaan 2-8, maka nilai
konsentrasi bersifat tidak terbatas (infinity). Sehingga syarat nilai kecepatan angin
dalam aplikasi dispersi Gaussian adalah (u > 0). Adapun klasifikasi kecepatan angin
sesuai Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Klasifikasi Kecepatan Angin Beaufort
Kecepatan
(m/s)
Keterangan Kondisi daratan
< 0,3 Tenang (calm) Asap naik vertikal
0,3 – 1,5 Ringan (Light air) Asap bergerak, daun tetap tenang
1,6 – 3,4 Sepoi-sepoi ringan
(Light Breeze)
Angin terasa di kulit, daun gemerisik,
pengukur angin mulai bergerak
3,5 – 5,4 Sepoi-sepoi lembut
(Gently Breeze)
Daun dan ranting kecil terus-menerus
bergerak, bendera memanjang
5,5 – 7,9 Sepoi-sepoi sedang
(Moderate Breeze)
Debu dan lembaran kertas terangkat, cabang
kecil mulai bergerak
8,0 – 10,7 Sepoi-sepoi kasar (Fresh
Breeze)
Cabang ukuran sedang mulai bergerak,
pohon kecil dengan daun mulai bergoyang
10,8 – 13,8 Sepoi-sepoi kuat (Strong
Breeze)
Cabang besar bergerak, suara angin
terdengar, penggunaan payung menjadi sulit,
sampah plastik terbang ke atas
13,9 – 17,1 Angin besar (High wind) Keseluruhan pohon bergerak, dibutuhkan
usaha untuk berjalan melawan angin
17,2 – 20,7 Badai (Gale) Ranting patah, dapat membelokkan mobil,
berjalan kaki akan terhambat
20,8 – 24,4 Badai kuat (Strong Gale) Cabang pohon patah, pohon kecil roboh,
penanda jalan dan bangunan non permanen
ambruk
24,5 – 28,4 Angin ribut (Storm) Pohon tumbang atau patah, lapisan aspal
yang buruk akan terkelupas
17
Tabel 2.5. Klasifikasi Kecepatan Angin Beaufort (Cont)
Kecepatan
(m/s)
Keterangan Kondisi daratan
28,5 – 32,6 Angin ribut yang
merusak (Violent Storm)
Kerusakan vegetasi dalam area luas, lapisan
atap akan rusak, lapisan aspal yang retak dan
mendongak ke atas akan terlepas
> 32,7 Tornado (Hurricane) Kerusakan vegetasi yang sangat luas, rumah
mobil, puing dan benda akan terlempar.
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Beaufort_scale
Selain kecepatan angin, pada suatu titik pantau juga terdapat pola
kecenderungan arah angin. Pola arah angin dalam periode waktu tertentu, umumnya
ditampilkan dalam bentuk diagram mawar angin (windrose). Contoh bentuk
windrose sesuai Gambar 2.6, dimana titik/lingkaran di tengah merupakan kondisi
kecepatan angin saat tenang (calm). Lingkaran-lingkaran yang terbentuk menjauhi
pusat, merupakan nilai skalatis prosentase kejadian angin. Sedangkan klasifikasi
kecepatan angin ditunjukkan dalam bentuk diagram batang. Berkaitan dengan
proses plotting ke diagram mawar angin, panjang diagram batang tiap klasifikasi
kecepatan angin disesuaikan dengan prosentase yang terjadi. Prosentase tersebut
merupakan perbandingan jumlah kejadian tiap klasifikasi kecepatan angin dengan
total kejadian kecepatan angin (Wark & Warner, 1976).
Gambar 2.6. Diagram Mawar Angin (Windrose)
(http://en.wikipedia.org/wiki/File:Wind_rose_plot.jpg)
18
2.4 Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis adalah sistem informasi khusus yang mengelola
data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti lain,
adalah sistem komputasi yang memiliki kemampuan untuk membangun,
menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis (ESRI,
2008). Adapun aplikasi SIG antara lain:
a. Digunakan untuk menentukan lokasi potensial untuk pemukiman, industri, serta
sarana dan prasarana.
b. Untuk merencanakan jalur yang sesuai dengan geometrik jalan, arah pergerakan
(origin-destination), maupun optimasi sistem transportasi.
c. Mengetahui pola pergerakan, sebaran, serta keanekaragaman hewan dan
tumbuhan pada suatu kawasan.
d. Untuk mengetahui area tangkapan air dan akumulasi pengaliran pada
perencanaan Daerah Aliran Sungai (DAS) atau drainase.
e. Untuk mengetahui pola penyebaran pencemar, daya dukung lingkungan dan
menganalisa dampak lingkungan yang terjadi.
f. Untuk pendugaan daerah rawan bencana (Geohazard)
g. Aplikasi lainya yang berkaitan dengan unsur geografis.
Data SIG secara mendasar dibagi menjadi dua macam, yaitu data grafis dan
data atribut atau tabular. Data grafis adalah data yang menggambarkan bentuk atau
kenampakan obyek di permukaan bumi (referensi geografis). Data atribut atau
tabular adalah data deskriptif yang menyatakan nilai dari data grafis tersebut.
Secara struktur bentuk data SIG berupa data vektor (titik, garis, area) dan data raster
(grid), dengan bentuk penyimpanan data atribut sesuai strukturnya dapat dilihat
pada Gambar 2.7 dan Gambar 2.8.
Gambar 2.7. Penyimpanan Data Atribut pada Data Vektor (ESRI, 2008)
19
Gambar 2.8. Penyimpanan Data Atribut pada Data Raster (ESRI, 2008)
2.4.1 Interpolasi Data SIG
Interpolasi merupakan proses pengolahan data SIG yang bertujuan untuk
mengetahui visualisasi model distribusi data secara geografis. Dengan proses ini
dapat diprediksi nilai data pada lokasi yang tidak dilakukan pengukuran (Hengl,
2007).
Gambar 2.9. Proses Interpolasi dalam SIG (ESRI, 2008)
Terdapat beberapa metode interpolasi dalam SIG, salah satunya adalah
metode Natural Neighbour. Metode ini merupakan algoritma sederhana dan efisien,
serta berlaku untuk dua, tiga, dan dimensi lebih tinggi (Ledoux & Gold, 2005). Pada
proses interpolasi dua dimensi, analisis dilakukan melalui dua tahapan. Pertama
adalah membagi area pada titik-titik yang akan di interpolasi (poligon Thiessen).
Kedua menghitung lokasi yang ingin diketahui (Gx,y) dengan membuat poligon
Thiessen baru, perpotongan dua poligon tersebut dijadikan nilai bobot perhitungan
(wi). Formulasi dasar dan visualisasi interpolasi metode Natural Neighbour untuk
2 dimensi adalah sebagai berikut.
G(x,y)= ∑ wif(xi,yi)n
i=1 .................................................................................... (2-9)
20
Gambar 2.10. Interpolasi Metode Natural Neighbour
(http://en.wikipedia.org/wiki/File:Natural-neighbors-
coefficients-example.png)
2.4.2 Tumpang Susun (Overlay) dan Kalkulasi
Tumpang susun (overlay) merupakan proses analisis dalam SIG yang
dilakukan secara tumpang susun (overlay) pada tiap data. Dalam proses tersebut,
dapat menggunakan operator matematis misalnya: penjumlahan, pengurangan,
perkalian, pembagian dan sebagainya sesuai tujuan analisa yang dilakukan.
Gambar 2.11. Proses Tumpang Susun Struktur Data Vektor (ESRI, 2008)
Gambar 2.12. Proses Tumpang Susun Struktur Data Raster (ESRI, 2008)
21
2.4.3 Penyusun Model (Model Builder)
Model builder merupakan salah satu fasilitas aplikasi dalam SIG yang
berfungsi untuk menyusun tahapan analisis yang akan dilakukan dalam bentuk
diagram alir. Diagram tahapan analisis yang tersusun nantinya dapat dipanggil
kembali dan digunakan secara otomatis untuk keperluan aplikatif analisis secara
cepat.
Gambar 2.13. Tahapan Analisis dalam Model Builder (ESRI, 2008)
2.5 Studi Penelitian Terdahulu
Model Gaussian telah banyak diterapkan dalam penelitian dispersi polutan
di udara, pada Tabel 2.6 merupakan penjelasan singkat dari sebagian referensi yang
dikumpulkan.
Tabel 2.6. Studi Penelitian Terdahulu
Nama Judul Ringkasan Pembahasan
Aryo Sasmita
(2011)
Kajian Model Emisi
Karbon dioksida dari
Kegiatan Transportasi di
Kota Surabaya
Kajian emisi karbon dioksida dari
kegiatan transportasi dengan
menggunakan dua model, yaitu
Gaussian dan Box. Hasil analisis teoritis
dibandingkan dengan uji nilai
konsentrasi di lapangan pada masing-
masing ruas jalan tinjauan pada bahu
jalan (jarak 4,5 meter). Hasil
perbandingan prosentase kesalahan pada
model Gaussian sebesar 30% sedangkan
model Box sebesar 90%.
22
Tabel 2.6. Studi Penelitian Terdahulu (Cont…)
Nama Judul Ringkasan Pembahasan
Chadi Milad
Chaker (2006)
Gis Based Risk
Assessment Of Air
Pollution
Penerapan model Gaussian dengan
aplikasi bahasa pemrograman SIG.
Output aplikasi bagi pengguna lebih
sederhana (user friendly). Model spasial
dalam bentuk data grid/raster hasil
interpolasi. Metode interpolasi yang
digunakan adalah “Spline”, yang
dikombinasikan dengan pengaruh
topografi. Nilai konsentrasi dispersi
akan diketahui berdasarkan nilai (z)
penerima, atau ketinggian lokasi pada
titik pantau dispersi.
Diah
Wijayanti
(2012)
Kajian Model Penyebaran
Karbon dioksida Dari
Kegiatan Industri Kota
Surabaya
Kajian tentang nilai konsentrasi CO2
dari beberapa sumber emisi di industri
Rungkut Surabaya. Analisis dilakukan
menggunakan model Gaussian dari
beberapa titik (multiple sources),
selanjutnya ditentukan titik-titik
verifikasi untuk mengetahui hasi analisis
dispersinya dari multiple source. Pada
titik verifikasi tersebut dilakukan cek
lapangan, yang kemudian dibandingkan
dengan hasil analisis dispersi.
N.Kh.
Arystanbekova
(2004)
Application of Gaussian
Plume Models for Air
Pollution Simulation at
Instantaneous Emissions
Penerapan model Gaussian dengan
mengkombinasikan bahasa
pemrograman FORTRAN yang
memberikan output yang dapat dibaca
dalam format SIG. Output dalam bentuk
model spasial data grid/raster
Surya Hadi
Kusuma
(2011)
Penyusunan Model Emisi
Gas Rumah Kaca sebagai
Aspek Sumber Daya
Udara dalam Penataan
Ruang di Kota Surabaya
Pemodelan spasial emisi gas rumah kaca
dari beberapa sumber berbasis landuse
termasuk kegiatan transportasi Kota
Surabaya. Pembentukan model spasial
menggunakan metode interpolasi IDW
(berbasis jarak) dari beberapa titik.
Output dalam bentuk data kontinyu yang
kemudian diklasifikasikan secara
kualitatif.