Retradisionalisasi Globalisasi

9
Retradisionalisasi Globalisasi *) Klaim Pendukung Globalisasi dan Realitas Vice Versa-nya Di era millenium ketiga seperti sekarang, globalisasi telah menjadi sebuah keniscayaan. Baik itu bagi suatu „nasion‟, maupun satuan terkecilnya yang berupa individu masyarakat. Mayoritas orang memandang isu globalisasi identik dengan masalah politik dan ekonomi, walau realitasnya tidak sesederhana itu. Globalisasi merupakan sistem peradaban yang mentransformasi warga bangsa menjadi warga dunia (kosmopolit), menihilkan limitasi imajiner wilayah negara melalui uni atau multi negara, dan meramu asimilasi kultur nasional satu dengan yang lain, bahkan internasional. Jadi, globalisasi sebenarnya juga relevan terhadap persoalan budaya (kultur). Ini yang justru acapkali dialpakan. Sebab proses invasi kebudayaan lebih tendentif pada manifestasi niskala, nirkonkret, dan laten. Sehingga, amatlah urgen untuk diperhatikan. Klaim globalisasi oleh para pendukungnya adalah jelas: membawa negara dunia ke dalam tatanan hidup sejahtera dan aliansi mutualisme”, secara komunal serta „simultan. Sebagian memang benar adanya, tapi kita juga turut menyaksikan betapa globalisasi malah semakin mengkonstruksi gap antara negara kaya dengan negara miskin. 1 Atau lebih detail, antara kaum borjuis dengan golongan marginal dan lantas menimbulkan alienasi bagi mereka yang kecil. Maka seolah-olah hanya grup kuatlah yang dominan memenangkan semuanya. Apabila demikian, lalu apa disparitas globalisasi dengan hukum rimba? Tidak ada yang salah dengan globalisasi. Sebagaimana telah diutarakan di atas, globalisasi merupakan sebuah „keniscayaan. Globalisasi distimulasikan oleh akselerasi teknologi, yang karenanya memudahkan konektivitas dan mengantitesis eksklusivitas. Lewat tulisan ini penulis sama sekali tak bermaksud mengutuk atau *) Disusun sebagai karya tulis dalam Kompetisi Esai Pekan Jurnalistik V, Genta Andalas Tahun 2014 dengan dengan tema: “Krisis Moral Generasi Penerus Bangsa”. 1 Di wilayah geografis yang lain (di luar Eropa dan Amerika), terutama Afrika, terjadi kemunduran ekonomi dan keterampilan manusia (Brunsvick, dkk, 2009: 16). Kesenjangan lain juga dinyatakan oleh Purwasito (2003: 27), yang beropini bahwa desa global (konsekuensi globalisasi) merupakan sebuah masa penuh gegap gembita informasi, hiburan, dan perhitungan-perhitungan ekonomi di satu sisi, sedangkan di sisi lain era penuh pertikaian sivilisasi, rasial, serta runtuhnya ideologi. Jadi tidak mengherankan apabila ‘fragmentasi’ melalui frasa negara dunia kesatu, kedua, serta ketiga sangat lazim kita temui.

description

Di era millenium ketiga seperti sekarang, globalisasi telah menjadi sebuah keniscayaan. Baik itu bagi suatu ‘nasion’, maupun satuan terkecilnya yang berupa individu masyarakat. Mayoritas orang memandang isu globalisasi identik dengan masalah politik dan ekonomi, walau realitasnya tidak sesederhana itu. Globalisasi merupakan sistem peradaban yang mentransformasi warga bangsa menjadi warga dunia (kosmopolit), menihilkan limitasi imajiner wilayah negara melalui uni atau multi negara, dan meramu asimilasi kultur nasional satu dengan yang lain, bahkan internasional. Jadi, globalisasi sebenarnya juga relevan terhadap persoalan budaya (kultur). Ini yang justru acapkali dialpakan. Sebab proses invasi kebudayaan lebih tendentif pada manifestasi niskala, nirkonkret, dan laten. Sehingga, amatlah urgen untuk diperhatikan.

Transcript of Retradisionalisasi Globalisasi

Page 1: Retradisionalisasi Globalisasi

Retradisionalisasi Globalisasi*)

Klaim Pendukung Globalisasi dan Realitas “Vice Versa”-nya

Di era millenium ketiga seperti sekarang, globalisasi telah menjadi sebuah

keniscayaan. Baik itu bagi suatu „nasion‟, maupun satuan terkecilnya yang berupa

individu masyarakat. Mayoritas orang memandang isu globalisasi identik dengan

masalah politik dan ekonomi, walau realitasnya tidak sesederhana itu. Globalisasi

merupakan sistem peradaban yang mentransformasi warga bangsa menjadi warga

dunia (kosmopolit), menihilkan limitasi imajiner wilayah negara melalui uni atau

multi negara, dan meramu asimilasi kultur nasional satu dengan yang lain, bahkan

internasional. Jadi, globalisasi sebenarnya juga relevan terhadap persoalan budaya

(kultur). Ini yang justru acapkali dialpakan. Sebab proses invasi kebudayaan lebih

tendentif pada manifestasi niskala, nirkonkret, dan laten. Sehingga, amatlah urgen

untuk diperhatikan.

Klaim globalisasi oleh para pendukungnya adalah jelas: membawa negara

dunia ke dalam tatanan hidup sejahtera dan “aliansi mutualisme”, secara komunal

serta „simultan‟. Sebagian memang benar adanya, tapi kita juga turut menyaksikan

betapa globalisasi malah semakin mengkonstruksi gap antara negara kaya dengan

negara miskin.1 Atau lebih detail, antara kaum borjuis dengan golongan marginal

dan lantas menimbulkan alienasi bagi mereka yang kecil. Maka seolah-olah hanya

grup kuatlah yang dominan memenangkan semuanya. Apabila demikian, lalu apa

disparitas globalisasi dengan hukum rimba?

Tidak ada yang salah dengan globalisasi. Sebagaimana telah diutarakan di

atas, globalisasi merupakan sebuah „keniscayaan‟. Globalisasi distimulasikan oleh

akselerasi teknologi, yang karenanya memudahkan konektivitas dan mengantitesis

eksklusivitas. Lewat tulisan ini penulis sama sekali tak bermaksud mengutuk atau *)

Disusun sebagai karya tulis dalam Kompetisi Esai Pekan Jurnalistik V, Genta Andalas Tahun 2014 dengan dengan tema: “Krisis Moral Generasi Penerus Bangsa”. 1 Di wilayah geografis yang lain (di luar Eropa dan Amerika), terutama Afrika, terjadi kemunduran

ekonomi dan keterampilan manusia (Brunsvick, dkk, 2009: 16). Kesenjangan lain juga dinyatakan oleh Purwasito (2003: 27), yang beropini bahwa desa global (konsekuensi globalisasi) merupakan sebuah masa penuh gegap gembita informasi, hiburan, dan perhitungan-perhitungan ekonomi di satu sisi, sedangkan di sisi lain era penuh pertikaian sivilisasi, rasial, serta runtuhnya ideologi. Jadi tidak mengherankan apabila ‘fragmentasi’ melalui frasa negara dunia kesatu, kedua, serta ketiga sangat lazim kita temui.

Page 2: Retradisionalisasi Globalisasi

bahkan menampik globalisasi. Semata-mata, tulisan yang disajikan berikut adalah

representasi gagasan realis penulis untuk mengajak generasi penerus bangsa agar

mengubah sudut pandangnya tentang kedudukan Indonesia di tengah fakta sejarah

globalisasi. Sifat globalisasi yang multifaset (mengandung peluang dan tantangan)

harus dimanfaatkan Indonesia dengan menggapai „peluang‟, serta mengantisipasi

berbagai „tantangannya‟. Meskipun, faktualnya belum sempurna.

Pemuda Indonesia kini, lebih suka „asyik‟ dengan dirinya sendiri daripada

mencoba menyelami realitas ketimpangan sosial yang nampak di sekelilingnya. Ia

cenderung gembira „berfoya‟ dalam arena diskotik, ketimbang berdiskusi di meja

akademik. Atau lebih memilih boros materi sekadar untuk “kekasih hati”, tapi tak

sudi berbagi pada orang yang sesungguhnya layak dikasihani. Itu adalah segelintir

potret kawula muda zaman sekarang yang begitu lekat dengan individualitas, jiwa

hedonitas, serta westernitas. Memang tidak berarti dapat digeneralisirkan terhadap

setiap generasi penerus bangsa. Tentu masih ada pemuda yang peka, berbudi, dan

penuh empati. Lepas dari polemik „benar‟ atau „salahnya‟ laku tersebut, kita tidak

bisa lagi mengelak bahwa pilihan sikap mereka mengejawantahkan dikotomi atas

nilai-nilai luhur tradisional bangsa. Kalau sudah demikian maka eksistensi budaya

adiluhunglah yang dipertaruhkan.

Bukan hal yang muskil, pengaruh budaya asing (negatif) lambat laun akan

dilegitimasi. Sah-sah saja selama baik dan positif. Apa parameternya? Kesesuaian

dengan budaya nasional2 Indonesia. Di luar itu, no! Kita wajib mafhum, pluralitas

budaya bangsa tidak ternilai harganya. Hadir sebagai anugerah, untuk dilestarikan

dan bukan diganti dengan kebudayaan luar. Ketiadaan “kultur autentik” membuat

Indonesia menjadi bangsa yang ringkih, absurd, dan gampang terombang-ambing

oleh gelombang besar: keniscayaan globalisasi. Sebaliknya, ikhtiar membentengi

serta mengkonservasi kebudayaan nasional dapat membawa Indonesia menjelma

sebagai bangsa yang kokoh, visioner, serta „inlabil‟ terhadap globalisasi. Lagipula

sikap “kebarat-baratan” seperti yang dijelaskan sebelumnya, juga sangat potensial

menjadi embrio immoralitas3. Bagaimana praksisnya?

2 Budaya nasional di sini adalah norma maupun adat kebiasaan yang dipegang teguh oleh bangsa

Indonesia secara turun-temurun atau boleh juga disebut kultur tradisional. 3 Immoralitas berasal dari kata ‘immoral’. Immoral sendiri, seperti tertulis dalam “Concise Oxford

Dictionary” (Bertens, 2007: 7) dijelaskan sebagai: “opposed to morality; morality evil”. Maka, kata

Page 3: Retradisionalisasi Globalisasi

Destruktivitas Moral Generasi Penerus Bangsa Masa Kini

Asyik dengan diri sendiri, tidaklah keliru--bila ditempatkan di dalam ranah

yang pas. Budi seorang mahasiswa „jebolan‟ Eropa. Ia hidup dengan bergelimang

harta. Cerdas? Jangan ditanya, predikat masternya adalah magna cum laude4. Tapi

itu hanya perihal kaya harta dan intelektualitas. Sebab pada suatu ketika pengemis

datang kerumahnya untuk meminta-minta, tak sepeser (serimis)-pun rupiah keluar

dari kantong tebalnya. Bahkan, ia justru mengumpat-umpat si fakir. Alur berpikir

(logika) Budi sederhana, “aku yang sukar bersekolah ke luar negeri, aku jugalah

yang getol mengumpulkan pundi-pundi materi, semaunya saja pengemis tersebut

meminta.” Tindakan Budi bukannya salah, tidak ada pasal „KUHP‟ yang sanggup

menjebloskan dia ke hotel prodeo hanya karena acuh tak acuh memberi selembar

rupiah bagi pengemis. Cuman aksentuasi permasalahan di sini adalah bahwa sikap

Budi termasuk buruk, tidak bermoral, serta non etis. Sebenarnya tingkat moralitas

lebih mulia (tinggi) ketimbang “ayat-ayat” hukum objektif. Namun, individualitas

telah meminorkan value yang mulia itu.

Lain lagi dengan liku narasi Rima. Ia mahasiswi pop5, modernis, gaul, dan

tentunya „fasih‟ mengenai dunia (gemerlap) malam. Tidak seperti rekan-rekannya

yang aktif sebagai aktivis kampus, ia lebih tertarik mengisi waktu senggang kuliah

dengan nongkrong ke diskotik atau tempat hiburan malam lain. Bagi Rima diskusi

kritis yang sering dilakukan oleh rekan-rekannya tidak lebih dari sempalan retorik

serta bualan belaka. Dia memutuskan pragmatis. Diskusi, wacana, protes, kepada

pemerintah misalnya, toh tidak akan pernah didengar. Demikian persepsinya. Jadi

kegiatan tersebut dianggap tidak berguna, tak berfaedah, dan buang-buang waktu

immoral bermakna “bertentangan dengan moralitas yang baik”, “secara moral buruk”, dan “tidak etis”. Penggunaan istilah ‘immoral’ daripada ‘amoral' sejalan dengan pendapat Bertens (2007: 9) yang mengungkapkan amoral sebaiknya diartikan: “netral dari sudut moral” atau “tidak memiliki relevansi etis”. Contoh tadi, dapat dirumuskan, “memeras pensiunan, merupakan tindakan tidak bermoral”. Jika kita ingin memakai kata ‘immoral’, tapi menggunakan kata ‘amoral’ di sini adalah salah kaprah. 4 Gelar kehormatan akademik Latin yang berarti “dengan kehormatan besar”, atau secara harfiah

“dengan pujian besar”. 5 Istilah ‘pop’ di sini sama sekali tidak merujuk genre “musik pop”, namun bertalian pada “budaya

pop”. Berdasarkan arti leksikal, budaya pop dalam bahasa Spanyol dan Portugis dimaknai sebagai “kebudayaan rakyat” (de la gente, del pueblo; da gente, do povo). Menurut Agger (1992: 24), ciri budaya pop antara lain: a) budaya yang dibangun atas kesenangan namun tidak substansial serta mengentaskan orang dari kejenuhan dan b) kebudayaan populer yang menghancurkan nilai-nilai budaya tradisional.

Page 4: Retradisionalisasi Globalisasi

semata. Lalu apakah Rima salah melakukan semuanya? Memang tidak. Tapi, latar

tempat bersosialisasi Rima sangat berpeluang „menjerumuskan‟-nya menuju liang

hitam dunia malam. Narkotika, minuman keras, sex bebas, bukan hal yang tabu di

sana. Ketika sudah terbelenggu maka perbuatan Rima bahkan tidak hanya distortif

atas asas kesalehan, etika, serta moral, namun juga kaidah formal.

Berikutnya kisah Andi. Tidak juah berbeda dengan potongan dua cerita di

atas, dia juga seorang mahasiswa yang dimabuk kebebasan kebablasan. Mukanya

tak terlalu rupawan atau malah boleh dibilang pas-pasan. Akan tetapi, hal itu tak

sejengkalpun menciutkan nalurinya untuk „mencari‟ dan „menggondol‟ sebanyak

mungkin teman kencan wanita. Play boy menjadi kredonya. Ia hamburkan jutaan

uang bagi kekasih-kekasihnya, namun permisif terhadap gembel di pinggiran jalan

protokol yang dilewatinya. Sekali lagi, perbuatan tersebut sebenarnya tidak dapat

dinyatakan keliru. Tapi lain cerita ketika Andi, kemudian terperangkap pada nafsu

birahinya yang lantas tak kuasa ia bendung sehingga terjadilah “sex bebas”. Alibi

suka sama suka tidak cukup „mengabsahkan‟ perbuatan mereka. Barangkali aturan

legal masih bisa mentolerir. Namun apabila kita bicara moralitas, apakah tindakan

Andi sesuai ajaran moral? Sepadan dengan kultur tradisional? Jelas tidak. Budaya

demikian bukanlah tradisi luhur bangsa Indonesia, bangsa yang menjunjung tinggi

(mensupremasi) adat ketimuran.

Ketiga cerita yang telah dipaparkan sebelum ini merupakan sekelumit citra

dan realitas pemuda kini, yang statis kepada epigonitas serta keklisean6. Generasi

penerus bangsa, mestinya kukuh mengeksplorasi inovasi sebagai output produksi

kediversitasan tradisi adiluhung bangsa sendiri, bukannya latah meniru begitu saja

custom bangsa asing. Hal itu yang patut diwaspadai dari proses sosial “globalisasi

kebudayaan”. Meski perubahan, dalam sendi apapun (termasuk struktur sosial dan

budaya) adalah hakikat. Kita juga perlu ingat, jika „ketidaksiapan‟ generasi muda

Indonesia meraih perubahan baru tersebut, yang diwujudkan dengan sikap epigon

dan klise seperti sudah diilustrasikan, akan menciptakan sebuah krisis kebudayaan

nasional atau lebih parah: “krisis moral”.

6 Substansinya, egosentrisme di cerita pertama, club malam, narkotika, dan alkohol dalam narasi

kedua, serta sex bebas pada kisah ketiga, bukan merupakan budaya tulen, kultur tradisional, dari bangsa Indonesia. Kita meniru, mengikuti tradisi kebaratan yang terang keliru. Namun semua itu rasa-rasanya sekarang, tidak cuma menjadi ‘stigma’, namun telah menjadi ‘fakta’ yang jamak kita jumpai.

Page 5: Retradisionalisasi Globalisasi

Mengubah Sudut Pandang – Mengglobalkan Ketradisionalan

Tantangan bisa menjadi peluang, masalah juga dapat menjadi berkah. Inti

dari pernyataan itu adalah segala sesuatu amat tergantung dengan bagaimana cara

kita memandangnya. Demikian pula „globalisasi‟. Diakui atau tidak, ada semacam

anomali mainset kebanyakan pemuda Indonesia kini dalam menelaah Globalisasi

sebagai instrumen asimilasi kultur. Pengaruh “kebudayaan impor” memang telah

menjamur, tak terelakan lagi. Namun apakah berarti kita elok mencernanya begitu

saja secara hiper kontrol dan holistis? Problem elok atau tidak perlu ditelisik lewat

pengkajian objektif mengenai seberapa besar „sumbangsih‟ kebermanfaatan kultur

asing tersebut pada kita. Das sein-nya, tidak semua budaya asing itu menyumbang

faedah bagi kita, bangsa Indonesia. Maka dibutuhkan filterisasi kebudayaan guna

menyeleksi mana yang postif, mana yang negatif, serta mana yang match dengan

kultur Indonesia, dan mana yang tidak.

Detik ini juga, “retradisionalisasi globalisasi” wajib diperjuangkan. Upaya

itu merupakan reaksi atas konstelasi darurat generasi penerus Indonesia sekarang

yang terlalu mengkultuskan budaya asing (terutama barat). Tapi sebelumnya perlu

digarisbawahi, bila pentradisionalan kembali globalisasi di sini bukanlah meliputi

studi bidang sains teknologi, atau mencakup „isu‟ tentang politik, ekonomi, hingga

diplomasi, melainkan hanya terbatas pada aspek kultural semata. Aspek kultural

itupun masih dengan catatan, yakni yang kontradiktif terhadap nilai mulia budaya

bangsa Indonesia.7 Jadi, tidak termasuk bagi nilai-nilai kebudayaan yang bersifat

universal seperti cinta, kasih, empati, tolong-menolong, dan sebagainya. Demikian

pula tidak terhitung untuk berbagai karakter kultural yang positif.8

Retradisionalisasi globalisasi adalah pemurnian kembali budaya adiluhung

tanah air dari nilai-nilai kultural yang bertentangan denganya. Pertama, kita harus

terlebih dahulu mengubah sudut pandang terhadap budaya tradisional. Bahwa tak

selalu kultur yang „berbau‟ luar itu postif, dan tidak senantiasa budaya tradisional

itu negatif. Preseden stigmatik serta stereotip mengenai “budaya tradisional” yang

7 Misalnya saja: individualitas, hedonitas, sampai weternitas, yang secara berurutan tidak selaras

dengan kolektivitas (termasuk solidaritas), religiusitas, dan ‘easternitas’ (kental akan etika, sopan santun). 8 Sebagai contoh Jepang dengan watak “work holic”-nya, China lewat jiwa wirausahanya, maupun

Amerika Serikat, dan bangsa-bangsa Eropa melalui tabiat kedisiplinannya. Atas bermacam kultur positif tersebut, kitalah yang justru harus banyak belajar dari mereka.

Page 6: Retradisionalisasi Globalisasi

kolot luar biasa, kuno, terlalu statis, bahkan ortodoks perlu dikontemplasi. Ketika

kultur tradisional ditinggalkan begitu saja, tidak dipakai lagi, dibuang, bagaimana

mungkin dapat menjadi „eksis‟, dinamis, dan populer? Jadi, selama ini sebenarnya

bukan persoalan budaya tradisional Indonesia yang ketinggalan zaman, melainkan

pemuda bangsa yang ogah membumikan budaya tradisionalnya. Adapun argumen

minor jika budaya tradisional itu buruk, juga patut dikoreksi.9 Sebab tiada manfaat

dari pernyataan tersebut kecuali justru mengkerdilkan bangsa kita sendiri.

Kedua, kita wajib mengglobalkan kultur tradisional Indonesia pada pentas

internasional. Sudah bukan rahasia lagi, banyak sekali „ekspatriat‟ yang langsung

jatuh cinta ketika pertama kali menetap di Indonesia. Mayoritas dari mereka suka

dengan keramahan masyarakatnya, kesopansantunanya, adat istiadatnya, maupun

hal-hal lain yang tak bisa mereka temukan di negara asalnya. Bukankah semua itu

adalah modal? Jika dipersiapkan, dikelola, dipromosikan dengan benar, kekayaan

budaya Indonesia tentu tidak akan mubazir. Jangan coba remehkan, Korea Selatan

merupakan representasi negara yang telah sukses memigrasikan kulturnya kepada

warga dunia. Di era 1960-an Korea Selatan resmi dimasukkan oleh PBB ke dalam

kategori negara miskin. Tetapi kini, Korea Selatan sudah bertransformasi menjadi

negara maju melalui brand elektronik ternama dan terutama budayanya.10

Korean

invasion yang sekarang terjadi secara masif adalah hasil kematangan rencana, tata

kelola, serta propaganda.

Mengikuti kultur asing yang cenderung negatif tanpa filterisasi tidak hanya

akan mereduksi nilai moralitas bangsa, namun juga menjadikan Indonesia sebagai

bangsa „pengekor‟. Label tersebut sangat membahayakan, sebab pemenang sejati

9 Menurut paparan Emha Ainun Nadjib, masyarakat Indonesia secara ‘global’ bisa diklasifikasikan

menjadi dua kelompok. Pertama, yaitu kelompok tradisional yang masih tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas sejalan dengan berpegang teguhnya mereka pada agama yang dipeluk. Kedua adalah kelompok masyarakat ‘me-modern’ yang tatanan kehidupannya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai impor, dimensi kehidupan mereka umumnya memincang ke arah pola-pola materialistis (Nadjib, 2013: 158-159). Lantas, masihkah layak budaya tradisional dikatakan buruk? 10

Samsung maupun LG adalah sebagian contoh dari ‘korporasi’ elektronik Korea Selatan yang kini menggurita menjadi perusahaan trans-nasional, tak hanya bagi pasar Asia, tetapi juga Eropa, dan bahkan Amerika. Untuk Indonesia sekarang, mengembangkan “teknologi kompleks” semacam itu masih membutuhkan waktu yang panjang. Namun tidak demikian dengan kultur, Indonesia telah memiliki modal yang begitu besar. Fusi budaya dan tradisionalitas sebenarnya lebih menjanjikan jika dikemas secara apik. Kalau Korea Selatan mempunyai gangnam style, bukankah jauh sebelum itu di Indonesia sudah ada tari eklek serta jathilan (kuda kepang) yang ‘mirip’? Lalu, bila di Jepang terdapat gaya fashion harajuku yang dikenal bebas, plural, bukankah Indonesia telah mempunyai ratusan ragam busana daerah dengan nuansa khas dan eksotis yang amat kental?

Page 7: Retradisionalisasi Globalisasi

dalam percaturan global ini adalah mereka negara-negara yang memiliki jati diri

kuat. Sudah saatnya generasi penerus bangsa beranjak dari status quo, menghalau

segala bentuk invasi kebudayaan (soft invasion) impor yang negatif, merusak nilai

moralitas, dan tatanan adiluhung kultur tradisional dengan jalan retradisionalisasi

globalisasi. Jangan sampai Indonesia sebagai bangsa yang besar, justru tenggelam

oleh pusaran arus deras globalisasi. Mari, kita generasi muda bersinergi bersama

melestarikan nilai-nilai luhur tradisional bangsa yang bermoral. Kalau bukan kita

siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Page 8: Retradisionalisasi Globalisasi

DAFTAR REFERENSI

Brunsvick, Yves, dkk. 2009. Lahirnya Sebuah Peradaban. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta: Universitas --------

Muhammadiyah Surakarta.

Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Agger, Ben. 1992. Cultural Studies as Cultural Theory. London: Falmer Press.

Nadjib, Emha Ainun. 2003. Indonesia Bagian dari Desa Saya. Jakarta: Penerbit --

Buku Kompas.

Page 9: Retradisionalisasi Globalisasi

IDENTITAS PENULIS

Nama : Arie Hendrawan

Tempat,Tanggal lahir : Kudus, 28 Agustus 1992

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Belum Menikah

Alamat : Ds. Jepang, RT05/ RW10, Kec. Mejobo, Kab.

Kudus

Telepon : 085740228837

FB : [email protected]

E-mail : [email protected]