Retradisionalisasi Globalisasi
-
Upload
arie-hendrawan -
Category
Education
-
view
223 -
download
3
description
Transcript of Retradisionalisasi Globalisasi
Retradisionalisasi Globalisasi*)
Klaim Pendukung Globalisasi dan Realitas “Vice Versa”-nya
Di era millenium ketiga seperti sekarang, globalisasi telah menjadi sebuah
keniscayaan. Baik itu bagi suatu „nasion‟, maupun satuan terkecilnya yang berupa
individu masyarakat. Mayoritas orang memandang isu globalisasi identik dengan
masalah politik dan ekonomi, walau realitasnya tidak sesederhana itu. Globalisasi
merupakan sistem peradaban yang mentransformasi warga bangsa menjadi warga
dunia (kosmopolit), menihilkan limitasi imajiner wilayah negara melalui uni atau
multi negara, dan meramu asimilasi kultur nasional satu dengan yang lain, bahkan
internasional. Jadi, globalisasi sebenarnya juga relevan terhadap persoalan budaya
(kultur). Ini yang justru acapkali dialpakan. Sebab proses invasi kebudayaan lebih
tendentif pada manifestasi niskala, nirkonkret, dan laten. Sehingga, amatlah urgen
untuk diperhatikan.
Klaim globalisasi oleh para pendukungnya adalah jelas: membawa negara
dunia ke dalam tatanan hidup sejahtera dan “aliansi mutualisme”, secara komunal
serta „simultan‟. Sebagian memang benar adanya, tapi kita juga turut menyaksikan
betapa globalisasi malah semakin mengkonstruksi gap antara negara kaya dengan
negara miskin.1 Atau lebih detail, antara kaum borjuis dengan golongan marginal
dan lantas menimbulkan alienasi bagi mereka yang kecil. Maka seolah-olah hanya
grup kuatlah yang dominan memenangkan semuanya. Apabila demikian, lalu apa
disparitas globalisasi dengan hukum rimba?
Tidak ada yang salah dengan globalisasi. Sebagaimana telah diutarakan di
atas, globalisasi merupakan sebuah „keniscayaan‟. Globalisasi distimulasikan oleh
akselerasi teknologi, yang karenanya memudahkan konektivitas dan mengantitesis
eksklusivitas. Lewat tulisan ini penulis sama sekali tak bermaksud mengutuk atau *)
Disusun sebagai karya tulis dalam Kompetisi Esai Pekan Jurnalistik V, Genta Andalas Tahun 2014 dengan dengan tema: “Krisis Moral Generasi Penerus Bangsa”. 1 Di wilayah geografis yang lain (di luar Eropa dan Amerika), terutama Afrika, terjadi kemunduran
ekonomi dan keterampilan manusia (Brunsvick, dkk, 2009: 16). Kesenjangan lain juga dinyatakan oleh Purwasito (2003: 27), yang beropini bahwa desa global (konsekuensi globalisasi) merupakan sebuah masa penuh gegap gembita informasi, hiburan, dan perhitungan-perhitungan ekonomi di satu sisi, sedangkan di sisi lain era penuh pertikaian sivilisasi, rasial, serta runtuhnya ideologi. Jadi tidak mengherankan apabila ‘fragmentasi’ melalui frasa negara dunia kesatu, kedua, serta ketiga sangat lazim kita temui.
bahkan menampik globalisasi. Semata-mata, tulisan yang disajikan berikut adalah
representasi gagasan realis penulis untuk mengajak generasi penerus bangsa agar
mengubah sudut pandangnya tentang kedudukan Indonesia di tengah fakta sejarah
globalisasi. Sifat globalisasi yang multifaset (mengandung peluang dan tantangan)
harus dimanfaatkan Indonesia dengan menggapai „peluang‟, serta mengantisipasi
berbagai „tantangannya‟. Meskipun, faktualnya belum sempurna.
Pemuda Indonesia kini, lebih suka „asyik‟ dengan dirinya sendiri daripada
mencoba menyelami realitas ketimpangan sosial yang nampak di sekelilingnya. Ia
cenderung gembira „berfoya‟ dalam arena diskotik, ketimbang berdiskusi di meja
akademik. Atau lebih memilih boros materi sekadar untuk “kekasih hati”, tapi tak
sudi berbagi pada orang yang sesungguhnya layak dikasihani. Itu adalah segelintir
potret kawula muda zaman sekarang yang begitu lekat dengan individualitas, jiwa
hedonitas, serta westernitas. Memang tidak berarti dapat digeneralisirkan terhadap
setiap generasi penerus bangsa. Tentu masih ada pemuda yang peka, berbudi, dan
penuh empati. Lepas dari polemik „benar‟ atau „salahnya‟ laku tersebut, kita tidak
bisa lagi mengelak bahwa pilihan sikap mereka mengejawantahkan dikotomi atas
nilai-nilai luhur tradisional bangsa. Kalau sudah demikian maka eksistensi budaya
adiluhunglah yang dipertaruhkan.
Bukan hal yang muskil, pengaruh budaya asing (negatif) lambat laun akan
dilegitimasi. Sah-sah saja selama baik dan positif. Apa parameternya? Kesesuaian
dengan budaya nasional2 Indonesia. Di luar itu, no! Kita wajib mafhum, pluralitas
budaya bangsa tidak ternilai harganya. Hadir sebagai anugerah, untuk dilestarikan
dan bukan diganti dengan kebudayaan luar. Ketiadaan “kultur autentik” membuat
Indonesia menjadi bangsa yang ringkih, absurd, dan gampang terombang-ambing
oleh gelombang besar: keniscayaan globalisasi. Sebaliknya, ikhtiar membentengi
serta mengkonservasi kebudayaan nasional dapat membawa Indonesia menjelma
sebagai bangsa yang kokoh, visioner, serta „inlabil‟ terhadap globalisasi. Lagipula
sikap “kebarat-baratan” seperti yang dijelaskan sebelumnya, juga sangat potensial
menjadi embrio immoralitas3. Bagaimana praksisnya?
2 Budaya nasional di sini adalah norma maupun adat kebiasaan yang dipegang teguh oleh bangsa
Indonesia secara turun-temurun atau boleh juga disebut kultur tradisional. 3 Immoralitas berasal dari kata ‘immoral’. Immoral sendiri, seperti tertulis dalam “Concise Oxford
Dictionary” (Bertens, 2007: 7) dijelaskan sebagai: “opposed to morality; morality evil”. Maka, kata
Destruktivitas Moral Generasi Penerus Bangsa Masa Kini
Asyik dengan diri sendiri, tidaklah keliru--bila ditempatkan di dalam ranah
yang pas. Budi seorang mahasiswa „jebolan‟ Eropa. Ia hidup dengan bergelimang
harta. Cerdas? Jangan ditanya, predikat masternya adalah magna cum laude4. Tapi
itu hanya perihal kaya harta dan intelektualitas. Sebab pada suatu ketika pengemis
datang kerumahnya untuk meminta-minta, tak sepeser (serimis)-pun rupiah keluar
dari kantong tebalnya. Bahkan, ia justru mengumpat-umpat si fakir. Alur berpikir
(logika) Budi sederhana, “aku yang sukar bersekolah ke luar negeri, aku jugalah
yang getol mengumpulkan pundi-pundi materi, semaunya saja pengemis tersebut
meminta.” Tindakan Budi bukannya salah, tidak ada pasal „KUHP‟ yang sanggup
menjebloskan dia ke hotel prodeo hanya karena acuh tak acuh memberi selembar
rupiah bagi pengemis. Cuman aksentuasi permasalahan di sini adalah bahwa sikap
Budi termasuk buruk, tidak bermoral, serta non etis. Sebenarnya tingkat moralitas
lebih mulia (tinggi) ketimbang “ayat-ayat” hukum objektif. Namun, individualitas
telah meminorkan value yang mulia itu.
Lain lagi dengan liku narasi Rima. Ia mahasiswi pop5, modernis, gaul, dan
tentunya „fasih‟ mengenai dunia (gemerlap) malam. Tidak seperti rekan-rekannya
yang aktif sebagai aktivis kampus, ia lebih tertarik mengisi waktu senggang kuliah
dengan nongkrong ke diskotik atau tempat hiburan malam lain. Bagi Rima diskusi
kritis yang sering dilakukan oleh rekan-rekannya tidak lebih dari sempalan retorik
serta bualan belaka. Dia memutuskan pragmatis. Diskusi, wacana, protes, kepada
pemerintah misalnya, toh tidak akan pernah didengar. Demikian persepsinya. Jadi
kegiatan tersebut dianggap tidak berguna, tak berfaedah, dan buang-buang waktu
immoral bermakna “bertentangan dengan moralitas yang baik”, “secara moral buruk”, dan “tidak etis”. Penggunaan istilah ‘immoral’ daripada ‘amoral' sejalan dengan pendapat Bertens (2007: 9) yang mengungkapkan amoral sebaiknya diartikan: “netral dari sudut moral” atau “tidak memiliki relevansi etis”. Contoh tadi, dapat dirumuskan, “memeras pensiunan, merupakan tindakan tidak bermoral”. Jika kita ingin memakai kata ‘immoral’, tapi menggunakan kata ‘amoral’ di sini adalah salah kaprah. 4 Gelar kehormatan akademik Latin yang berarti “dengan kehormatan besar”, atau secara harfiah
“dengan pujian besar”. 5 Istilah ‘pop’ di sini sama sekali tidak merujuk genre “musik pop”, namun bertalian pada “budaya
pop”. Berdasarkan arti leksikal, budaya pop dalam bahasa Spanyol dan Portugis dimaknai sebagai “kebudayaan rakyat” (de la gente, del pueblo; da gente, do povo). Menurut Agger (1992: 24), ciri budaya pop antara lain: a) budaya yang dibangun atas kesenangan namun tidak substansial serta mengentaskan orang dari kejenuhan dan b) kebudayaan populer yang menghancurkan nilai-nilai budaya tradisional.
semata. Lalu apakah Rima salah melakukan semuanya? Memang tidak. Tapi, latar
tempat bersosialisasi Rima sangat berpeluang „menjerumuskan‟-nya menuju liang
hitam dunia malam. Narkotika, minuman keras, sex bebas, bukan hal yang tabu di
sana. Ketika sudah terbelenggu maka perbuatan Rima bahkan tidak hanya distortif
atas asas kesalehan, etika, serta moral, namun juga kaidah formal.
Berikutnya kisah Andi. Tidak juah berbeda dengan potongan dua cerita di
atas, dia juga seorang mahasiswa yang dimabuk kebebasan kebablasan. Mukanya
tak terlalu rupawan atau malah boleh dibilang pas-pasan. Akan tetapi, hal itu tak
sejengkalpun menciutkan nalurinya untuk „mencari‟ dan „menggondol‟ sebanyak
mungkin teman kencan wanita. Play boy menjadi kredonya. Ia hamburkan jutaan
uang bagi kekasih-kekasihnya, namun permisif terhadap gembel di pinggiran jalan
protokol yang dilewatinya. Sekali lagi, perbuatan tersebut sebenarnya tidak dapat
dinyatakan keliru. Tapi lain cerita ketika Andi, kemudian terperangkap pada nafsu
birahinya yang lantas tak kuasa ia bendung sehingga terjadilah “sex bebas”. Alibi
suka sama suka tidak cukup „mengabsahkan‟ perbuatan mereka. Barangkali aturan
legal masih bisa mentolerir. Namun apabila kita bicara moralitas, apakah tindakan
Andi sesuai ajaran moral? Sepadan dengan kultur tradisional? Jelas tidak. Budaya
demikian bukanlah tradisi luhur bangsa Indonesia, bangsa yang menjunjung tinggi
(mensupremasi) adat ketimuran.
Ketiga cerita yang telah dipaparkan sebelum ini merupakan sekelumit citra
dan realitas pemuda kini, yang statis kepada epigonitas serta keklisean6. Generasi
penerus bangsa, mestinya kukuh mengeksplorasi inovasi sebagai output produksi
kediversitasan tradisi adiluhung bangsa sendiri, bukannya latah meniru begitu saja
custom bangsa asing. Hal itu yang patut diwaspadai dari proses sosial “globalisasi
kebudayaan”. Meski perubahan, dalam sendi apapun (termasuk struktur sosial dan
budaya) adalah hakikat. Kita juga perlu ingat, jika „ketidaksiapan‟ generasi muda
Indonesia meraih perubahan baru tersebut, yang diwujudkan dengan sikap epigon
dan klise seperti sudah diilustrasikan, akan menciptakan sebuah krisis kebudayaan
nasional atau lebih parah: “krisis moral”.
6 Substansinya, egosentrisme di cerita pertama, club malam, narkotika, dan alkohol dalam narasi
kedua, serta sex bebas pada kisah ketiga, bukan merupakan budaya tulen, kultur tradisional, dari bangsa Indonesia. Kita meniru, mengikuti tradisi kebaratan yang terang keliru. Namun semua itu rasa-rasanya sekarang, tidak cuma menjadi ‘stigma’, namun telah menjadi ‘fakta’ yang jamak kita jumpai.
Mengubah Sudut Pandang – Mengglobalkan Ketradisionalan
Tantangan bisa menjadi peluang, masalah juga dapat menjadi berkah. Inti
dari pernyataan itu adalah segala sesuatu amat tergantung dengan bagaimana cara
kita memandangnya. Demikian pula „globalisasi‟. Diakui atau tidak, ada semacam
anomali mainset kebanyakan pemuda Indonesia kini dalam menelaah Globalisasi
sebagai instrumen asimilasi kultur. Pengaruh “kebudayaan impor” memang telah
menjamur, tak terelakan lagi. Namun apakah berarti kita elok mencernanya begitu
saja secara hiper kontrol dan holistis? Problem elok atau tidak perlu ditelisik lewat
pengkajian objektif mengenai seberapa besar „sumbangsih‟ kebermanfaatan kultur
asing tersebut pada kita. Das sein-nya, tidak semua budaya asing itu menyumbang
faedah bagi kita, bangsa Indonesia. Maka dibutuhkan filterisasi kebudayaan guna
menyeleksi mana yang postif, mana yang negatif, serta mana yang match dengan
kultur Indonesia, dan mana yang tidak.
Detik ini juga, “retradisionalisasi globalisasi” wajib diperjuangkan. Upaya
itu merupakan reaksi atas konstelasi darurat generasi penerus Indonesia sekarang
yang terlalu mengkultuskan budaya asing (terutama barat). Tapi sebelumnya perlu
digarisbawahi, bila pentradisionalan kembali globalisasi di sini bukanlah meliputi
studi bidang sains teknologi, atau mencakup „isu‟ tentang politik, ekonomi, hingga
diplomasi, melainkan hanya terbatas pada aspek kultural semata. Aspek kultural
itupun masih dengan catatan, yakni yang kontradiktif terhadap nilai mulia budaya
bangsa Indonesia.7 Jadi, tidak termasuk bagi nilai-nilai kebudayaan yang bersifat
universal seperti cinta, kasih, empati, tolong-menolong, dan sebagainya. Demikian
pula tidak terhitung untuk berbagai karakter kultural yang positif.8
Retradisionalisasi globalisasi adalah pemurnian kembali budaya adiluhung
tanah air dari nilai-nilai kultural yang bertentangan denganya. Pertama, kita harus
terlebih dahulu mengubah sudut pandang terhadap budaya tradisional. Bahwa tak
selalu kultur yang „berbau‟ luar itu postif, dan tidak senantiasa budaya tradisional
itu negatif. Preseden stigmatik serta stereotip mengenai “budaya tradisional” yang
7 Misalnya saja: individualitas, hedonitas, sampai weternitas, yang secara berurutan tidak selaras
dengan kolektivitas (termasuk solidaritas), religiusitas, dan ‘easternitas’ (kental akan etika, sopan santun). 8 Sebagai contoh Jepang dengan watak “work holic”-nya, China lewat jiwa wirausahanya, maupun
Amerika Serikat, dan bangsa-bangsa Eropa melalui tabiat kedisiplinannya. Atas bermacam kultur positif tersebut, kitalah yang justru harus banyak belajar dari mereka.
kolot luar biasa, kuno, terlalu statis, bahkan ortodoks perlu dikontemplasi. Ketika
kultur tradisional ditinggalkan begitu saja, tidak dipakai lagi, dibuang, bagaimana
mungkin dapat menjadi „eksis‟, dinamis, dan populer? Jadi, selama ini sebenarnya
bukan persoalan budaya tradisional Indonesia yang ketinggalan zaman, melainkan
pemuda bangsa yang ogah membumikan budaya tradisionalnya. Adapun argumen
minor jika budaya tradisional itu buruk, juga patut dikoreksi.9 Sebab tiada manfaat
dari pernyataan tersebut kecuali justru mengkerdilkan bangsa kita sendiri.
Kedua, kita wajib mengglobalkan kultur tradisional Indonesia pada pentas
internasional. Sudah bukan rahasia lagi, banyak sekali „ekspatriat‟ yang langsung
jatuh cinta ketika pertama kali menetap di Indonesia. Mayoritas dari mereka suka
dengan keramahan masyarakatnya, kesopansantunanya, adat istiadatnya, maupun
hal-hal lain yang tak bisa mereka temukan di negara asalnya. Bukankah semua itu
adalah modal? Jika dipersiapkan, dikelola, dipromosikan dengan benar, kekayaan
budaya Indonesia tentu tidak akan mubazir. Jangan coba remehkan, Korea Selatan
merupakan representasi negara yang telah sukses memigrasikan kulturnya kepada
warga dunia. Di era 1960-an Korea Selatan resmi dimasukkan oleh PBB ke dalam
kategori negara miskin. Tetapi kini, Korea Selatan sudah bertransformasi menjadi
negara maju melalui brand elektronik ternama dan terutama budayanya.10
Korean
invasion yang sekarang terjadi secara masif adalah hasil kematangan rencana, tata
kelola, serta propaganda.
Mengikuti kultur asing yang cenderung negatif tanpa filterisasi tidak hanya
akan mereduksi nilai moralitas bangsa, namun juga menjadikan Indonesia sebagai
bangsa „pengekor‟. Label tersebut sangat membahayakan, sebab pemenang sejati
9 Menurut paparan Emha Ainun Nadjib, masyarakat Indonesia secara ‘global’ bisa diklasifikasikan
menjadi dua kelompok. Pertama, yaitu kelompok tradisional yang masih tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas sejalan dengan berpegang teguhnya mereka pada agama yang dipeluk. Kedua adalah kelompok masyarakat ‘me-modern’ yang tatanan kehidupannya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai impor, dimensi kehidupan mereka umumnya memincang ke arah pola-pola materialistis (Nadjib, 2013: 158-159). Lantas, masihkah layak budaya tradisional dikatakan buruk? 10
Samsung maupun LG adalah sebagian contoh dari ‘korporasi’ elektronik Korea Selatan yang kini menggurita menjadi perusahaan trans-nasional, tak hanya bagi pasar Asia, tetapi juga Eropa, dan bahkan Amerika. Untuk Indonesia sekarang, mengembangkan “teknologi kompleks” semacam itu masih membutuhkan waktu yang panjang. Namun tidak demikian dengan kultur, Indonesia telah memiliki modal yang begitu besar. Fusi budaya dan tradisionalitas sebenarnya lebih menjanjikan jika dikemas secara apik. Kalau Korea Selatan mempunyai gangnam style, bukankah jauh sebelum itu di Indonesia sudah ada tari eklek serta jathilan (kuda kepang) yang ‘mirip’? Lalu, bila di Jepang terdapat gaya fashion harajuku yang dikenal bebas, plural, bukankah Indonesia telah mempunyai ratusan ragam busana daerah dengan nuansa khas dan eksotis yang amat kental?
dalam percaturan global ini adalah mereka negara-negara yang memiliki jati diri
kuat. Sudah saatnya generasi penerus bangsa beranjak dari status quo, menghalau
segala bentuk invasi kebudayaan (soft invasion) impor yang negatif, merusak nilai
moralitas, dan tatanan adiluhung kultur tradisional dengan jalan retradisionalisasi
globalisasi. Jangan sampai Indonesia sebagai bangsa yang besar, justru tenggelam
oleh pusaran arus deras globalisasi. Mari, kita generasi muda bersinergi bersama
melestarikan nilai-nilai luhur tradisional bangsa yang bermoral. Kalau bukan kita
siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
DAFTAR REFERENSI
Brunsvick, Yves, dkk. 2009. Lahirnya Sebuah Peradaban. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta: Universitas --------
Muhammadiyah Surakarta.
Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Agger, Ben. 1992. Cultural Studies as Cultural Theory. London: Falmer Press.
Nadjib, Emha Ainun. 2003. Indonesia Bagian dari Desa Saya. Jakarta: Penerbit --
Buku Kompas.
IDENTITAS PENULIS
Nama : Arie Hendrawan
Tempat,Tanggal lahir : Kudus, 28 Agustus 1992
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum Menikah
Alamat : Ds. Jepang, RT05/ RW10, Kec. Mejobo, Kab.
Kudus
Telepon : 085740228837
FB : [email protected]
E-mail : [email protected]