Retno skenario b blok 23.docx
-
Upload
retno-widyastuti -
Category
Documents
-
view
30 -
download
5
Transcript of Retno skenario b blok 23.docx
Bagaimana anatomi sistem reproduksi dan fisiologi kehamilan?
Anatomi fisiologi sistem reproduksi wanita dibagi menjadi 2 bagian yaitu: alat reproduksi
wanita bagian dalam yang terletak di dalam rongga pelvis, dan alatreproduksi wanita bagian luar
yang terletak di perineum.
Alat genitalia wanita bagian luar:
a. Mons veneris / Mons pubis
Disebut juga gunung venus merupakan bagian yang menonjol di bagian depan simfisis
terdiri dari jaringan lemak dan sedikit jaringan ikat setelah dewasa tertutup oleh rambut yang
bentuknya segitiga. Mons pubis mengandung banyak kelenjar sebasea (minyak) berfungsi
sebagai bantal pada waktu melakukan coitus.
b. Bibir besar (Labia mayora)
Merupakan kelanjutan dari mons veneris berbentuk lonjong, panjang labia mayora 7-8
cm, lebar 2-3 cm dan agak meruncing pada ujung bawah. Kedua bibir ini dibagian bawah
bertemu membentuk perineum, permukaan terdiri dari:
1) Bagian luar. Tertutup oleh rambut yang merupakan kelanjutan dari rambut pada mons
veneris.
2) Bagian dalam. Tanpa rambut merupakan selaput yang mengandung kelenjar sebasea
(lemak).
c. Bibir kecil (labia minora)
Merupakan lipatan kulit yang panjang, sempit, terletak dibagian dalam bibir besar (labia
mayora) tanpa rambut yang memanjang kea rah bawah klitoris dan menyatu dengan fourchette,
semantara bagian lateral dan anterior labia biasanya mengandung pigmen, permukaan medial
labia minora sama dengan mukosa vagina yaitu merah muda dan basah.
d. Klitoris
Merupakan bagian penting alat reproduksi luar yang bersifat erektil,, dan letaknya dekat
ujung superior vulva. Organ ini mengandung banyak pembuluh darah dan serat saraf sensoris
sehingga sangat sensitive analog dengan penis laki-laki. Fungsi utama klitoris adalah
menstimulasi dan meningkatkan ketegangan seksual.
e. Vestibulum
Merupakan alat reproduksi bagian luar yang berbentuk seperti perahu atau lonjong,
terletak di antara labia minora, klitoris dan fourchette. Vestibulum terdiri dari muara uretra,
kelenjar parauretra, vagina dan kelenjar paravagina. Permukaan vestibulum yang tipis dan agak
berlendir mudah teriritasi oleh bahan kimia, panas, dan friksi.
f. Perinium
Merupakan daerah muskular yang ditutupi kulit antara introitus vagina dan anus.
Perinium membentuk dasar badan perinium.
g. Kelenjar Bartholin
Kelenjar penting di daerah vulva dan vagina yang bersifat rapuh dan mudah robek. Pada
saat hubungan seks pengeluaran lendir meningkat.
h. Himen (Selaput dara)
Merupakan jaringan yang menutupi lubang vagina bersifat rapuh dan mudah robek,
himen ini berlubang sehingga menjadi saluran dari lender yang di keluarkan uterus dan darah
saat menstruasi.
i. Fourchette
Merupakan lipatan jaringan transversal yang pipih dan tipis, terletak pada pertemuan ujung
bawah labia mayoradan labia minora. Di garis tengah berada di bawah orifisium vagina. Suatu
cekungan kecil dan fosa navikularis terletak di antara fourchette dan himen.
Alat genitalia wanita bagian dalam
a. Vagina
Vagina adalah suatu tuba berdinding tipis yang dapat melipat dan mampu meregang
secara luas karena tonjolan serviks ke bagian atas vagina. Panjang dinding anterior vagina hanya
sekitar 9 cm, sedangkan panjang dinding posterior 11 cm. Vagina terletak di depan rectum dan di
belakang kandung kemih. Vagina merupakan saluran muskulo-membraneus yang
menghubungkan rahim dengan vulva. Jaringan muskulusnya merupakan kelanjutan dari
muskulus sfingter ani dan muskulus levator ani oleh karena itu dapat dikendalikan.
Pada dinding vagina terdapat lipatan-lipatan melintang disebut rugae dan terutama di
bagian bawah. Pada puncak (ujung) vagina menonjol serviks pada bagian uterus. Bagian servik
yang menonjol ke dalam vagina di sebut portio. Portio uteri membagi puncak vagina menjadi
empat yaitu: fornik anterior, fornik posterior, fornik dekstra, fornik sinistra.
Sel dinding vagina mengandung banyak glikogen yang menghasilkan asam susu dengan PH 4,5.
Keasaman vagina memberikan proteksi terhadap infeksi. Fungsi utama vagina yaitu sebagai
saluran untuk mengeluarkan lendir uterus dan darah menstruasi, alat hubungan seks dan jalan
lahir pada waktu persalinan.
b. Uterus
Merupakan jaringan otot yang kuat, berdinding tebal, muskular, pipih, cekung dan
tampak seperti bola lampu / buah peer terbalik yang terletak di pelvis minor di antara kandung
kemih dan rectum. Uterus normal memiliki bentuk simetris, nyeri bila ditekan, licin dan terab a
padat. Uterus terdiri dari tiga bagian yaitu: fundus uteri yaitu bagian corpus uteri yang terletak di
atas kedua pangkal tuba fallopi, corpus uteri merupakan bagian utama yang mengelilingi kavum
uteri dan berbentuk segitiga, dan seviks uteri yang berbentuk silinder. Dinding belakang, dinding
depan dan bagian atas tertutup peritoneum sedangkan bagian bawahnya berhubungan dengan
kandung kemih.
Untuk mempertahankan posisinya uterus disangga beberapa ligamentum, jaringan ikat
dan peritoneum. Ukuran uterus tergantung dari usia wanita, pada anak-anak ukuran uterus sekitar
2-3 cm, nullipara 6-8 cm, dan multipara 8-9 cm. Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan yaitu
peritoneum, miometrium / lapisan otot, dan endometrium.
1) Peritoneum
a) Meliputi dinding rahim bagian luar
b) Menutupi bagian luar uterus
c) Merupakan penebalan yang diisi jaringan ikat dan
d) pembuluh darah limfe dan urat saraf
e) Meliputi tuba dan mencapai dinding abdomen
2) Lapisan otot
a) Lapisan luar: seperti “Kap”melengkung dari fundus uteri menuju ligamentum
b) Lapisan dalam: berasal dari osteum tuba uteri sampai osteum uteri internum
c) Lapisan tengah: terletak di antara kedua lapisan tersebut membentuk lapisan tebal
anyaman serabut otot rahim. Lapisan tengah ditembus oleh pembuluh darah arteri dan
vena. Lengkungan serabut otot ini membentuk angka dan sehingga saat terjadi kontraksi
pembuluh darah terjepit rapat dengan demikian perdarahan dapat terhenti.
3) Semakin ke arah serviks otot rahim makin berkurang dan jaringan ikatnya bertambah. Bagian
rahim yang terletak antara osteum uteri internum anatomikum yang merupakan batas dan
kavum uteri dan kanalis servikalis dengan osteum uteri histologikum (dimana terjadi
perubahan selaput lendir kavum uteri menjadi selaput lendir serviks) Disebut istmus. Istmus
uteri ini akan menjadi segmen bawah rahim dan meregang saat persalinan.
4) Kedudukan uterus dalam tulang panggul ditentukan oleh tonus otot rahim sendiri, tonus
ligamentum yang menyangga, tonus otot-otot dasar panggul, ligamentum yang menyangga
uterus adalah ligamentum latum, ligamentum rotundum (teres uteri) ligamentum infindibulo
pelvikum (suspensorium ovarii) ligamentum kardinale machenrod, ligamentum sacro
uterinum dan ligamentum uterinum.
a) Ligamentum latum
(1) Merupakan lipatan peritoneum kanan dan kiri uterus meluas sampai ke dinding panggul
(2) Ruang antara kedua lipatan berisi jaringan ikat longgar dan mengandung pembuluh darah
limfe dan ureter
(3) Ligamentum latum seolah-olah tergantung pada tuba fallopi
b) Ligamentum rotundum (teres uteri)
(1) Mulai sedikit kaudal dari insersi tuba menuju kanalis inguinalis dan mencapai labia
mayus
(2) Terdiri dari otot polos dan jaringan ikat
(3) Fungsinya menahan uterus dalam posisi antefleksi
c) Ligamentum infundibulo pelvikum
(1) Terbentang dari infundibulum dan ovarium menuju dinding panggul
(2) Menggantung uterus ke dinding panggul
(3) Antara tuba fallopi dan ovarium terdapat ligamentum ovarii proprium
d) Ligamentum kardinale machenrod
(1) Dari serviks setinggi osteum uteri internum menuju panggul
(2) Menghalangi pergerakan uterus ke kanan dan ke kiri
(3) Tempat masuknya pembuluh darah menuju uterus
e) Ligamentum sacro uterinum
Merupakan penebalan dari ligamentum kardinale machenrod menuju os sacrum
f) Ligamentum vesika uterinum
(1) Dari uterus menuju ke kandung kemih
(2) Merupakan jaringan ikat yang agak longgar sehingga dapat mengikuti perkembangan
uterus saat hamil dan persalinan
Pembuluh darah uterus
Arteri uterina asenden yang menuju corpus uteri sepanjang dinding lateral dan
memberikan cabangnya menuju uterus dan di dasar endometrium membentuk arteri
spinalis uteri
Di bagian atas ada arteri ovarika untuk memberikan darah pada tuba fallopi dan ovarium
melalui ramus tubarius dan ramus ovarika.
Susunan saraf uterus
Kontraksi otot rahim bersifat otonom dan dikendalikan oleh saraf simpatis dan
parasimpatis melalui ganglion servikalis fronkenhouser yang terletak pada pertemuan
ligamentum sakro uterinum.
c. Tuba Fallopi
Tuba fallopi merupakan saluran ovum yang terentang antara kornu uterine hingga suatu
tempat dekat ovarium dan merupakan jalan ovum mencapai rongga uterus. terletak di tepi atas
ligamentum latum berjalan ke arah lateral mulai dari osteum tubae internum pada dinding rahim.
Panjang tuba fallopi 12cm diameter 3-8cm. Dinding tuba terdiri dari tiga lapisan yaitu serosa,
muskular, serta mukosa dengan epitel bersilia.
Tuba fallopi terdiri atas :
1) Pars interstitialis (intramularis) terletak di antara otot rahim mulai dari osteum internum
tuba.
2) Pars istmika tubae, bagian tuba yang berada di luar uterus dan merupakan bagian yang
paling sempit.
3) Pars ampuralis tubae, bagian tuba yang paling luas dan berbentuk “s”.
4) Pars infindibulo tubae, bagian akhir tubae yang memiliki lumbai yang disebut fimbriae
tubae.
Fungsi tuba fallopi :
1) Sebagai jalan transportasi ovum dari ovarium sampai kavum uteri.
2) Untuk menangkap ovum yang dilepaskan saat ovulasi.
3) Sebagai saluran dari spermatozoa ovum dan hasil konsepsi.
4) Tempat terjadinya konsepsi.
5) Tempat pertumbuahn dan perkembangan hasil konsepsi sampai mencapai bentuk blastula
yang siap mengadakan implantasi.
d. Ovarium
Ovarium berfungsi dalam pembentukan dan pematangan folikel menjadi ovum, ovulasi,
sintesis, dan sekresi hormon – hormon steroid. Letak: Ovarium ke arah uterus bergantung pada
ligamentum infundibulo pelvikum dan melekat pada ligamentum latum melalui mesovarium.
Ada 2 bagian dari ovarium yaitu:
1) Korteks ovarii
a) Mengandung folikel primordial
b) Berbagai fase pertumbuhan folikel menuju folikel de graff
c) Terdapat corpus luteum dan albikantes
2) Medula ovarii
a) Terdapat pembuluh darah dan limfe
b) Terdapat serat saraf
Ardiani, Anindita Kusuma. Perubahan Fisik selama Kehamilan. Eprints.undip.ac.id
Fisiologi Kehamilan
Seiring berkembangnya janin, tubuh sang ibu juga mengalami perubahan-perubahan yang
dimaksudkan untuk keperluan tumbuh dan kembang sang bayi. Perubahan tersebut difasilitasi
oleh adanya perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron selama kehamilan. Baik dari segi
anatomis maupun fisiologis, perubahan yang ditimbulkan terjadi secara menyeluruh pada organ
tubuh ibu yang berjalan seiring dengan usia kehamilan dalam trimester. Perubahan-perubahan
tersebut meliputi :
Hormon
Perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan terutama meliputi perubahan
konsentrasi hormon seks yaitu progesteron dan estrogen. Pada awal kehamilan, terjadi
peningkatan hormon hCG dari sel-sel trofoblas. Juga terdapat perubahan dari korpus luteum
menjadi korpus luteum gravidarum yang memproduksi estrogen dan progesteron.
Pada pertengahan trimester satu, produksi hCG menurun, fungsi korpus luteum
gravidarum untuk menghasilkan estrogen dan progesteron pun digantikan oleh plasenta. Pada
trimester dua dan tiga, produksi estrogen dan progesteron terus megalami peningkatan hingga
mencapai puncaknya pada akhir trimester tiga. Kadar puncak progesteron dapat mencapai 400
ug/hari dan estrogen 20ug/hari.
Sistem Reproduksi
a. Trimester 1
Terdapat tanda Chadwick, yaitu perubahan warna pada vulva, vagina dan serviks menjadi
lebih merah agak kebiruan/keunguan. pH vulva dan vagina mengalami peningkatan dari 4
menjadi 6,5 yang membuat wanita hamil lebih rentan terhadap infeksi vagina. Tanda Goodell
yaitu perubahan konsistensi serviks menjadi lebih lunak dan kenyal.
Pembesaran dan penebalan uterus disebabkan adanya peningkatan vaskularisasi dan
dilatasi pembuluh darah, hyperplasia & hipertropi otot, dan perkembangan desidua. Dinding-
dinding otot menjadi kuat dan elastis, fundus pada serviks mudah fleksi disebut tanda Mc
Donald. Pada kehamilan 8 minggu uterus membesar sebesar telur bebek dan pada kehamilan 12
minggu kira-kira sebesar telur angsa. Pada minggu-minggu pertama, terjadi hipertrofi pada
istmus uteri membuat istmus menjadi panjang dan lebih lunak yang disebut tanda Hegar. Sejak
trimester satu kehamilan, uterus juga mengalami kontraksi yang tidak teratur dan umumnya tidak
nyeri.
Proses ovulasi pada ovarium akan terhenti selama kehamilan. Pematangan folikel baru
juga ditunda. Tetapi pada awal kehamilan, masih terdapat satu corpus luteum gravidarum yang
menghasilkan hormon estrogen dan progesteron. Folikel ini akan berfungsi maksimal selama 6-7
minggu, kemudian mengecil setelah plasenta terbentuk.
b. Trimester 2
Hormon estrogen dan progesteron terus meningkat dan terjadi hipervaskularisasi
mengakibatkan pembuluh-pembuluh darah alat genetalia membesar. Peningkatan sensivitas ini
dapat meningkatkan keinginan dan bangkitan seksual, khususnya selama trimester dua
kehamilan. Peningkatan kongesti yang berat ditambah relaksasi dinding pembuluh darah dan
uterus dapat menyebabkan timbulnya edema danvarises vulva. Edema dan varises ini biasanya
membaik selama periode pasca partum.
Pada akhir minggu ke 12 uterus yang terus mengalami pembesaran tidak lagi cukup
tertampung dalam rongga pelvis sehingga uterus akan naik ke rongga abdomen. Pada trimester
kedua ini, kontraksi uterus dapat dideteksi dengan pemeriksaan bimanual. Kontraksi yang tidak
teratur dan biasanya tidak nyeri ini dikenal sebagai kontraksi Braxton Hicks, muncul tiba-tiba
secara sporadik dengan intensitas antara 5-25 mmHg.1 Pada usia kehamilan 16 minggu, plasenta
mulai terbentuk dan menggantikan fungsi corpus luteum gravidarum.
c. Trimester 3
Dinding vagina mengalami banyak perubahan sebagai persiapan untuk persalinan yang
seringnya melibatkan peregangan vagina. Ketebalan mukosa bertambah, jaringan ikat
mengendor,dan sel otot polos mengalami hipertrofi. Juga terjadi peningkatan volume sekresi
vagina yang berwarna keputihan dan lebih kental.
Pada minggu-minggu akhir kehamilan, prostaglandin mempengaruhi penurunan
konsentrasi serabut kolagen pada serviks. Serviks menjadi lunak dan lebih mudah berdilatasi
pada waktu persalinan. Istsmus uteri akan berkembang menjadi segmen bawah uterus pada
trimester akhir. Otot-otot uterus bagian atas akan berkontraksi sehingga segmen bawah uterus
akan melebar dan menipis, hal itu terjadi pada masa-masa akhir kehamilan menjelang persalinan.
Batas antara segmen atas yang tebal dan segmen bawah yang tipis disebut lingkaran retraksi
fisiologis.
Payudara / mammae
a. Trimester 1
Mammae akan membesar dan tegang akibat hormon somatomamotropin, estrogen dan
progesteron, akan tetapi belum mengeluarkan ASI. Vena-vena di bawah kulit juga akan lebih
terlihat. Areola mammae akan bertambah besar pula dan kehitaman. Kelenjar sebasea dari areola
akan membesar dan cenderung menonjol keluar dinamakan tuberkel Montgomery.
b. Trimester 2
Pada kehamilan 12 minggu keatas dari puting susu dapat keluar cairan kental kekuning-
kuningan yang disebut Kolustrum. Kolustrum ini berasal dari asinus yang mulai
bersekresi.selama trimester dua. Pertumbuhan kelenjar mammae membuat ukuran payudara
meningkat secara progresif. Bila pertambahan ukuran tersebut sangat besar, dapat timbul stria
stria seperti pada abdomen. Walaupun perkembangan kelenjar mammae secara fungsional
lengkap pada pertengahan masa hamil, tetapi laktasi terlambat sampai kadar estrogen menurun,
yakni setelah janin dan plasenta lahir
c. Trimester 3
Pembentukan lobules dan alveoli memproduksi dan mensekresi cairan yang kental
kekuningan yang disebut Kolostrum. Pada trimester 3 aliran darah di dalamnya lambat dan
payudara menjadi semakin besar.
Kulit
a. Trimester 1
Diketahui bahwa terjadi peningkatan suatu hormon perangsang melanosit sejak akhir
bulan kedua kehamilan sampai aterm yang menyebabkan timbulnya pigmentasi pada kulit. Linea
nigra adalah pigmentasi berwarna hitam kecoklatan yang muncul pada garis tengah kulit
abdomen. Bercak kecoklatan kadang muncul di daerah wajah dan leher membentuk kloasma atau
melasma gravidarum (topeng kehamilan). Aksentuasi pigmen juga muncul pada areola dan kulit
genital. Pigmentasi ini biasanya akan menghilang atau berkurang setelah melahirkan. Angioma
atau spider naevi berupa bintik-bintik penonjolan kecil dan merah pada kulit wajah, leher, dada
atas, dan lengan. Kondisi ini sering disebut sebagai nevus angioma atau teleangiektasis. Eritema
palmaris terkadang juga dapat ditemukan. Kedua kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh
hiperestrogenemia kehamilan.
b. Trimester 2
Peningkatan melanocyte stimulating hormone (MSH) pada masa ini menyebabkan
perubahan cadangan melanin pada daerah epidermal dan dermal
c. Trimester 3
Pada bulan-bulan akhir kehamilan umumnya dapat muncul garis-garis kemerahan, kusam
pada kulit dinding abdomen dan kadang kadang juga muncul pada daerah payudara dan paha.
Perubahan warna tersebut sering disebut sebagai striae gavidarum. Pada wanita multipara, selain
striae kemerahan itu seringkali ditemukan garis garis mengkilat keperakan yang merupakan
sikatrik dari striae kehamilan sebelumnya.
Perubahan metabolik dan kenaikan berat badan
a. Trimester 1
Terjadi pertambahan berat badan selama kehamilan yang sebagian besar diakibatkan oleh
uterus dan isinya, payudara, dan peningkatan volume darah serta cairan ekstraseluler. Sebagian
kecil pertambahan berat badan terebut diakibatkan oleh perubahan metabolik yang menyebabkan
pertambahan cairan selular dan penumpukan lemak serta protein baru, yang disebut cadangan
ibu. Pada awal kehamilan, terjadi peningkatan berat badan ibu kurang lebih 1 kg.
b. Trimester 2
Kenaikan berat badan ibu terus bertambah terutama oleh karena perkembangan janin
dalam uterus.
c. Trimester 3
Pertambahan berat badan ibu pada masa ini dapat mencapai 2 kali lipat bahkan lebih dari
berat badan pada awal kehamilan. Pitting edema dapat timbul pada pergelangan kaki dan tungkai
bawah akibat akumulasi cairan tubuh ibu. Akumulasi cairan ini juga disebabkan oleh
peningkatan tekanan vena di bagian yang lebih rendah dari uterus akibat oklusi parsial vena
kava. Penurunan tekanan osmotik koloid interstisial juga cenderung menimbulkan edema pada
akhir kehamilan.
Perubahan Hematologis
a. Trimester 1
Volume darah ibu meningkat secara nyata selama kehamilan. Konsentrasi hemoglobin
dan hematokrit sedikit menurun sejak trimester awal kehamilan. Sedangkan konsentrasi dan
kebutuhan zat besi selama kehamilan juga cenderung meningkat untuk mencukupi kebutuhan
janin.
b. Trimester 2
Peningkatan volume darah disebabkan oleh meningkatnya plasma dan eritrosit. Terjadi
hiperplasia eritroid sedang dalam sumsum tulang dan peningkatan ringan pada hitung retikulosit.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kadar eritropoetin plasma ibu setelah usia gestasi 20
minggu, sesuai dengan saat produksi eritrosit paling tinggi.
c. Trimester 3
Konsentrasi hematokrit dan hemoglobin yang sedikit menurun selama kehamilan
menyebabkan viskositas darah menurun pula. Perlu diperhatikan kadar hemoglobin ibu terutama
pada masa akhir kehamilan, bila konsentrasi Hb < 11,0 g/dl, hal itu dianggap abnormal dan
biasanya disebabkan oleh defisiensi besi.
Sistem Kardiovaskuler
a. Trimester 1
Perubahan terpenting pada fungsi jantung terjadi pada 8 minggu pertama kehamilan.
Pada awal minggu kelima curah jantung mengalami peningkatan yang merupakan fungsi dari
penurunan resistensi vaskuler sistemik serta peningkatan frekuensi denyut jantung. Preload
meningkat sebagai akibat bertambahnya volume plasma yang terjadi pada minggu ke 10-20.
b. Trimester 2
Sejak pertengahan kehamilan, pembesaran uterus akan menekan vena cava inferior dan
aorta bawah saat ibu berada pada posisi terlentang. Hal itu akan berdampak pada pengurangan
darah balik vena ke jantung hingga terjadi penurunan preload dan cardiac output yang kemudian
dapat menyebabkan hipotensi arterial
c. Trimester 3
Selama trimester terakhir, kelanjutan penekanan aorta pada pembesaran uterus juga akan
mengurangi aliran darah uteroplasenta ke ginjal. Pada posisi terlentang ini akan membuat fungsi
ginjal menurun jika dibandingkan dengan posisi miring.12
Sistem pernafasan
a. Trimester 1
Kesadaran untuk mengambil nafas sering meningkat pada awal kehamilan yang mungkin
diinterpretasikan sebagai dispneu. Hal itu sering mengesankan adanya kelainan paru atau jantung
padahal sebenarnya tidak ada apa-apa. Peningkatan usaha nafas selama kehamilan kemungkinan
diinduksi terutama oleh progesteron dan sisanya oleh estrogen. Usaha nafas yang meningkat
tersebut mengakibatkan PCO2 atau tekanan karbokdioksida berkurang.
b. Trimester 2
Selama kehamilan, sirkumferensia thorax akan bertambah kurang lebih 6 cm dan
diafragma akan naik kurang lebih 4 cm karena penekanan uterus pada rongga abdomen. Pada
kehamilan lanjut, volume tidal, volume ventilasi per menit, dan pengambilan oksigen per menit
akan bertambah secara signifikan.
c. Trimester 3
Pergerakan difragma semakin terbatas seiring pertambahan ukuran uterus dalam rongga
abdomen. Setelah minggu ke 30, peningkatan volume tidal, volume ventilasi per menit, dan
pengambilan oksigen per menit akan mencapai puncaknya pada minggu ke 37. Wanita hamil
akan bernafas lebih dalam sehingga memungkinkan pencampuran gas meningkat dan konsumsi
oksigen meningkat 20%. Diperkirakan efek ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi
progesteron.
Sistem Urinaria
a. Trimester 1
Pada bulan-bulan awal kehamilan, vesika urinaria tertekan oleh uterus sehingga sering
timbul keinginan berkemih. Hal itu menghilang seiring usia kehamilan karena uterus yang telah
membesar keluar dari rongga pelvis dan naik ke abdomen. Ukuran ginjal sedikit bertambah besar
selama kehamilan. Laju filtrasi glomerulus (GFR) dan aliran plasma ginjal (RPF) meningkat
pada awal kehamilan.
b. Trimester 2
Uterus yang membesar mulai keluar dari rongga pelvis sehingga penekanan pada vesica
urinaria pun berkurang. Selain itu, adanya peningkatan vaskularisasi dari vesica urinaria
menyebabkan mukosanya hiperemia dan menjadi mudah berdarah bila terluka.
c. Trimester 3
Pada akhir kehamilan, kepala janin mulai turun ke pintu atas panggul menyebabkan
penekanan uterus pada vesica urinaria. Keluhan sering berkemih pun dapat muncul kembali.
Selain itu, terjadi peningkatan sirkulasi darah di ginjal yang kemudian berpengaruh pada
peningkatan laju filtrasi glomerulus dan renal plasma flow sehingga timbul gejala poliuria. Pada
ekskresi akan dijumpai kadar asam amino dan vitamin yang larut air lebih banyak.
Sistem Muskuloskeletal
a. Trimester 1
Pada trimester pertama tidak banyak perubahan pada musuloskeletal. Akibat peningkatan
kadar hormone estrogen dan progesterone, terjadi relaksasi dari jaringan ikat, kartilago dan
ligament juga meningkatkan jumlah cairan synovial. Bersamaan dua keadaan tersebut
meningkatkan fleksibilitas dan mobilitas persendian. Keseimbangan kadar kalsium selama
kehamilan biasanya normal apabila asupan nutrisinya khususnya produk terpenuhi.
b. Trimester 2
Tidak seperti pada trimester 1, selama trimester 2 ini mobilitas persendian sedikit
berkurang. Hal ini dipicu oleh peningkatan retensi cairan pada connective tissue, terutama di
daerah siku dan pergelangan tangan.
c. Trimester 3
Akibar pembesaran uterus ke posisi anterior, umumnya wanita hamil memiliki bentuk
punggung cenderung lordosis. Sendi sacroiliaca, sacrococcigis, dan pubis akan meningkat
mobilitasnya diperkirakan karena pengaruh hormonal. Mobilitas tersebut dapat mengakibatkan
perubahan sikap pada wanita hamil dan menimbulkan perasaan tidak nyaman pada bagian bawah
punggung.
Sistem Persarafan
a. Trimester 1
Wanita hamil sering melaporkan adanya masalah pemusatan perhatian, konsentrasi dan
memori selama kehamilan dan masa nifas awal. Namun, penelitian yang sistematis tentang
memori pada kehamilan tidak terbatas dan seringkali bersifat anekdot.
b. Trimester 2
Sejak awal usia gestasi 12 minggu, dan terus berlanjut hingga 2 bulan pertama
pascapartum, wanita mengalami kesulitan untuk mulai tidur, sering terbangun, jam tidur malam
yang lebih sedikit serta efisiensi tidur yang berkurang.
c. Trimester 3
Penelitian Keenan dkk (1978) menemukan adanya penurunan memori terkait kehamilan
yang terbatas pada trimester tiga.12 Penurunan ini disebabkan oleh depresi, kecemasan, kurang
tidur atau perubahan fisik lain yang dikaitkan dengan kehamilan. Penurunan memori yang
diketahui hanyalah sementara dan cepat pulih setelah kelahiran.
Sistem Pencernaan
a. Trimester 1
Timbulnya rasa tidak enak di ulu hati disebabkan karena perubahan posisi lambung dan
aliran asam lambung ke esophagus bagian bawah. Produksi asam lambung menurun. Sering
terjadi nauseadan muntah karena pengaruh human Chorionic Gonadotropin (HCG), tonus otot-
otot traktus digestivus juga berkurang. Saliva atau pengeluaran air liur berlebihan dari biasa.
Pada beberapa wanita ditemukan adanya ngidam makanan yang mungkin berkaitan dengan
persepsi individu wanita tersebut mengenai apa yang bisa mengurangi rasa mual.
b. Trimester 2
Seiring dengan pembesaran uterus, lambung dan usus akan tergeser. Demikian juga
dengan organ lain seperti appendiks yang akan bergeser ke arah atas dan lateral. Perubahan
lainnya akan lebih bermakna pada kehamilan trimester.
c. Trimester 3
Perubahan yang paling nyata adalah adanya penurunan motilitas otot polos pada organ
digestif dan penurunan sekresi asam lambung. Akibatnya, tonus sphincter esofagus bagian
bawah menurun dan dapat menyebabkan refluks dari lambung ke esofagus sehingga
menimbulkan keluhan seperti heartburn. Penurunan motilitas usus juga memungkinkan
penyerapan nutrisi lebih banyak, tetapi dapat muncul juga keluhan seperti konstipasi. Sedangkan
mual dapat terjadi akibat penurunan asam lambung.
Fisiologi kehamilan usia 39 minggu.
Pada janin:
Pada kehamilan aterm, berat janin mencapai 3200-3500 gram, dengan panjang 50 cm.
Diameter biparietal 9,5 cm.
Nutrisi intrauterin:
Energi yang diperoleh janin dipergunakan untuk pertumbuhan dan terutama berasal dari
glukosa. Kelebihan pasokan karbohidrat di konversi menjadi lemak dan konversi ini terus
meningkat sampai aterm. Sejak kehamilan 30 minggu, hepar menjadi lebih efisien dan mampu
melakukan konversi glukosa menjadi glikogen yang ditimbun di otot jantung otot gerak dan
plasenta. Bila terjadi hipoksia, janin memperoleh energi melalui glikolisis anerobik yang berasal
dari dari cadangan dalam otot jantung dan plasenta. Cadangan lemak janin dengan berat 800
gram (kehamilan 24 – 26 minggu) kira 1% dari BB ; pada kehamilan 35 minggu cadangan
tersebut sekitar 15% dari BB.
Cairan amnion:
Volume cairan amnion saat aterm kira-kira 800 ml dan pH 7.2.
Sistem kardiovaskular:
Tekanan darah fetus terus meningkat sampai aterm, pada kehamilan 35 minggu tekanan
sistolik 75 mmHg dan tekanan diastolik 55 mmHg. Sel darah merah, kadar hemoglobin
dan “packed cell volume” terus meningkat selama kehamilan. Sebagian besar eritrosit
mengandung HbF. Pada kehamilan 15 minggu semua sel darah merah mengandung HbF. Ada
kehamilan 36 minggu, terdapat 70% HbF dan 30% Hb A.
Fungsi respirasi
Pada saat aterm, sudah terbentuk 3 – 4 generasi alvoulus. Epitel yang semula berbentuk
kubus merubah menjadi pipih saat pernafasan pertama.
Fungsi ginjal
Ginjal terbentuk dari mesonefros, glomerulus terbentuk sampai kehamilan minggu ke 36.
Ginjal tidak terlampau diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan janin. Plasenta, paru dan
ginjal maternal dalam keadaan normal akan mengatur keseimbangan air dan elektrolit pada janin.
Pembentukan urine dimulai pada minggu 9 – 12. Pada kehamilan 32 minggu, produksi urine
mencapai 12 ml/jam, saat aterm 28 ml/jam. Urine janin adalah komponen utama dari cairan
amnion.
Sistem imunologi
Respon imunologi pada janin diperkirakan mulai terjadi sejak minggu ke 20.
Sistem endokrin
Thyroid adalah kelenjar endokrin pertama yang terbentuk pada tubuh janin. Pancreas
terbentuk pada minggu ke 12 dan insulin dihasilkan oleh sel B pankreas. Insulin maternal tidak
dapat melewati plasenta sehingga janin harus membentuk insulin sendiri untuk kepentingan
metabolisme glukosa.
Semua hormon pertumbuhan yang disintesa kelenjar hipofise anterior terdapat pada janin,
namun peranan sebenarnya dari hormon protein pada kehidupan janin belum diketahui dengan
pasti. Kortek adrenal janin adalah organ endokrin aktif yang memproduksi hormon steroid dalam
jumlah besar. Atrofi kelenjar adrenal seperti yang terjadi pada janin anensepali dapat
menyebabkan kehamilan postmatur. Janin memproduksi TSH – thyroid stimulating hormon
sejak minggu ke 14 yang menyebabkan pelepasan T3 dan T4 .
Pada ibu:
Sistem reproduksi
Uterus
Pada minggu ke-38 sampai ke-40, tinggi fundus turun karena janin mulai masuk ke pintu atas
panggul.
Tabel : Perbandingan ukuran uterus wanita tidak hamil dan hamil pada minggu ke-40
Ukuran Tidak hamil Hamil (minggu ke-40)
Panjang 6,5 cm 32 cm
Lebar 4 cm 24 cm
Kedalaman 2,5 cm 22 cm
Berat 60-70 gr 1100-1200 gr
Volume ≤ 10 ml 5000 ml
Vagina dan vulva
Hormone estrogen menyebabkan hipervaskularisasi sehingga vagina dan vulva
tampak lebih merah, agak kebiru-biruan (livide), tanda ini disebut tanda Chadwick.
Proliferasi sel dan hyperemia menyebabkan jaringan vagina menjadi lebih tebal dan
lentur, hal ini dipersiapkan untuk lewatnya bayi pada saat persalinan. Sekresi vagina
menjadi lebih kental, putih, dan asam akibat dari meningkatnya jumlah glikogen pada
lapisan epitel vagina.
Payudara
Pembentukan lobules dan alveoli mulai memproduksi dan mensekresi cairan yang
kental kekuningan (kolostrum) sehingga pada trimester III aliran darah di dalamnya
menjadi lambat dan payudara menjadi besar lagi.
Sistem kardiovaskular dan hematologis
Curah Jantung
Curah jantung meningkat dari 30% sampai 50% pada minggu ke-32 gestasi,
kemudian menurun sampai sekitar 20% pada minggu ke-40. peningkatan curah jantung
terutama disebabkan oleh peningkatan volume sekuncup (stroke volume) dan
peningkatan ini merupakan respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen jaringan
(nilai nomalnya 5-5,5 L/menit).
Tekanan Darah
Selama pertengahan pertama masa hamil, tekanan sistolik dan diastolic menurun
5-10 mmHg. Penurunan tekanan darah ini kemungkinan disebabkan oleh vasodilatasi
perifer akibat perubahan hormonal selama masa hamil. Selama trimester ketiga, tekanan
darah ibu harus kembali ke nilai tekanan darah selama trimester pertama.
Volume dan Komposisi Darah
Volume darah meningkat sekitar 1500 ml (ekspansi volume darah: primigravida
1250 ml, multigravida 1500 ml, kehamilan kembar 2000 ml). Peningkatan terdiri atas
1000 ml plasma ditambah 450 ml eritrosit. Peningkatan volume merupakan mekanisme
protektif. Keadaan ini sangat penting untuk system vascular yang mengalami hipertrofi
akibat pembesaran uterus, hidrasi jaringan janin dan ibu yang adekuat saat ibu berdiri
atau telentang, dan cadangan cairan untuk mengganti darah yang hilang selama proses
melahirkan dan puerperium. Vasodilatasi perifer mempertahankan tekanan darah tetap
normal walaupun volume darah pada ibu meningkat.
Sistem pernapasan
Laju Metabolisme Basal
BMR meningkat 15%-20% pada akhir kehamilan (aterm). Peningkatan BMR ini
mencerminkan peningkatan kebutuhan oksigen di unit janin-plasenta-uterus serta
peningkatan konsumsi oksigen akibat peningkatan kerja jantung ibu. Vasodilatasi perifer
dan percepatan aktivitas kelenjar keringat membantu melepaskan kelebihan panas yang
timbul akibat peningkatan metabolisme selama masa hamil.
Sistem ginjal
Sering berkemih (urinary frequency) merupakan akibat peningkatan sensitivitas
kandung kemih dan pada tahap selanjutnya merupakan akibat kompresi pada kandung
kemih. Pembesaran uterus mengakibat penekanan pada kandung kemih sehingga
menimbulkan rasa ingin berkemih walaupun kandung kemih hanya berisi sedikit urine.
Sistem muskuloskeletal
Relaksasi ringan dan peningkatan mobilitas sendi panggul normal selama masa
hamil. Hal ini merupakan akibat elastisitas dan perlunakan berlebihan jaringan kolagen
dan jaringan ikat dan merupakan akibat peningkatan hormon seks steroid yang
bersirkulasi.
Selama trimester ketiga, otot rektus abdominis dapat memisah, menyebabkan isi
perut menonjol di garis tengah tubuh. Umbilikus menjadi lebih datar atau menonjol.
Sistem neurologi
Perubahan fisiologis spesifik akibat kehamilan dapat menyebabkan timbulnya
gejala neurologis dan neuromuskular berikut:
Kompresi saraf panggul atau stasis vaskular akibat pembesaran uterus dapat
menyebabkan perubahan sensori di tugkai bawah.
Lordosis dorsolumbar dapat meyebabkan nyeri akibat tarikan pada saraf atau kompresi
akar saraf.
Edema yang melibatkan saraf perifer dapat meyebabkan carpal tunnel syndrome selama
trimester akhir kehamilan. Sindrom ini ditandai oleh parestesia (sensasi abnormal seperti
rasa terbakar atau gatal akibat gangguan pada sistem saraf sensori) dan nyeri pada tangan
yang menjalar ke siku.
Akroestesia (rasa baal dan gatal di tangan) yang timbul akibat posisi bahu yang
membungkuk dirasakan oleh beberapa wanita selama hamil.
Nyeri kepala akibat ketegangan umum timbul saat ibu merasa cemas dan tidak pasti
tentang kehamilannya.
Hipokalsemia dapat menyebabkan timbulnya masalah neuromuskular, seperti kram otot
atau tetani.
Sistem pencernaan
Perubahan pada abdomen yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman meliputi panggul
berat atau tertekan, ketegangan pada ligamentum teres uteri, flatulen (pembentukan gas
berlebihan dalam lambung), distensi dan kram usus, serta kontraksi uterus.
Sistem endokrin
Selama masa hamil, pembesaran moderat kelenjar tiroid merupakan akibat hiperplasia
jaringan glandular dan peningkatan vaskularitas. Pada kehamilan, prolaktin serum mulai
meningkat pada trimester pertama dan meningkat secara progresif sampai aterm.
a. Bagaimana pengaruh Grave’ disease yang tidak terkontrol terhadap kehamilan? (ibu dan janin)
retno farey
Hipertiroidisme akan menimbulkan berbagai pengaruh baik terhadap ibu maupun janin dan bayi
yang akan dilahirkan.
Ibu:
Payah Jantung
Keadaan hipertiroidisme dalam kehamilan dapat meningkatkan morbiditas ibu yang
serius, terutama payah jantung. Mekanisme yang pasti tentang terjadinya perubahan
hemodinamika pada hipertiroidisme masih simpang siur. Terdapat banyak bukti bahwa pengaruh
jangka panjang dari peningkatan kadar hormon tiroid dapat menimbulkan kerusakan miokard,
kardiomegali dan disfungsi ventrikel.
Krisis tiroid
Salah satu komplikasi gawat yang dapat terjadi pada wanita hamil dengan hipertiroidisme
adalah krisis tiroid. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus antara lain
persalinan, tindakan operatif termasuk bedah Caesar, trauma dan infeksi. Selain itu krisis tiroid
dapat pula terjadi pada pasien-pasien hipertiroidisme hamil yang tidak terdiagnosis atau
mendapat pengobatan yang tidak adekuat. Menurut laporan Davis LE dan kawan-kawan, dari
342 penderita hipertiroidisme hamil, krisis tiroid terjadi pada 5 pasien yang telah mendapat
pengobatan anti tiroid, 1 pasien yang mendapat terapi operatif, 7 pasien yang tidak terdiagnosis
dan tidak mendapat pengobatan. Krisis tiroid ditandai dengan manifestasi hipertiroidisme yang
berat dan hiperpireksia. Suhu tubuh dapat meningkat sampai 41oC disertai dengan kegelisahan,
agitasi, takikardia, payah jantung, mual muntah, diare,delirium, psikosis, ikterus dan dehidrasi.
Komplikasi maternal paling sering adalah preeklampsia. Pada wanita dengan hipertiroid yang
tidak terkontrol memiliki risiko preeklampsia lima kali lebih bsar dibandingkan dengan pasien
yang terkontrol.
Janin dan neonatus :
Untuk memahami patogenesis terjadinya komplikasi hipertiroidisme pada kehamilan
terhadap janin dan neonatus, perlu kita ketahui mekanisme hubungan ibu janin pada
hipertiroidisme. Sejak awal kehamilan terjadi perubahan-perubahan faal kelenjar tiroid
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sedangkan kelenjar tiroid janin baru mulai berfungsi pada
umur kehamilan minggu ke 12-16. TSH tidak dapat melewati plasenta, sehingga baik TSH ibu
maupun TSH janin tidak saling mempengaruhi. Hormon tiroid baik T3 maupun T4 hanya dalam
jumlah sedikit yang dapat melewati plasenta. TSI atau TSAb dapat melewati plasenta dengan
mudah. Oleh karena itu bila kadar TSI pada ibu tinggi, maka ada kemungkinan terjadi
hipertiroidisme pada janin dan neonatus. Obat-obat anti tiroid seperti PTU dan Neo Mercazole,
zat-zat yodium radioaktif dan yodida, juga propranolol dapat dengan mudah melewati plasenta.
Pemakaian obat-obat ini dapat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan janin. Pemakaian
zat yodium radioaktif merupakan kontra indikasi pada wanita hamil karena dapat menyebabkan
hipotiroidisme permanen pada janin.
Kondisi hipertiroid yang tidak ditatalaksana akan memunculkan beberapa kondisi seperti
aborsi spontan, kelahiran preterm, BBLR, stillbirth, preeklampsia (Mestman, 2004; Inoue, 2009;
Marx, 2009). Neonatal hyperthyroidism, prematuritas dan IUGR juga dapat terjadi.
Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukung dalam menegakkan
diagnosis, dalam segi pemeriksaan fisik, laboratorium, obsetrik dan radiologi?
Perempuan hamil yang diduga menderita hipertiroid memerlukan pemeriksaan TSH, fT4
dan bila perlu antibodi reseptor tiroid (Thyroid Receptor Antibody/TRAb). Interpretasi hasil
pemeriksaan hormon tiroid ini harus memperhatikan pengaruh hormon HCG pada penurunan
konsentrasi TSH dan peningkatan TBG selama kehamilan. Konsentrasi TSH pada akhir trimester
pertama kehamilan normal dapat mencapai 0,03 mU/ml, sehingga penurunan konsentrasi TSH
semata belum tentu menunjukkan adanya hipertiroidisme. Kenaikan TBG dapat mempengaruhi
proporsi hormon tiroid bebas dalam darah sehingga pada kehamilan dianjurkan pemeriksaan
hormon tiroid bebas.
Antibodi thyroid peroxidase (anti TPO) atau antibodi antimikrosomal tiroid (AMA),
petanda penyakit tiroid autoimun meningkat pada sebagian besar pasien Graves. Indikasi
pemeriksaannya adalah pada pasien dengan keraguan etiologi hipertiroidismenya.
TSH-receptor antibody with stimulating activity (TSI) juga didapati pada mayoritas
pasien Graves. Pemeriksaan TSI diindikasikan pada ibu dengan riwayat terapi ablasi untuk
hipertiroidisme Graves, ibu dengan penyakit Graves yang aktif, ibu yang sedang dalam masa
remisi OAT dan ibu yang anak sebelunya mengalami hipertiroidisme janin. Bila kadar TSI lebih
dari 500% normal setelah kehamilan 24-48 minggu, resiko hipertiroidisme janin atau neonatal
menjadi signifikan.
a. Definisi
Graves’ disease adalah penyakit autoimun dimana terdapat antibodi yang
menstimulasi sintesis hormon tiroid yang berikatan dengan reseptor tyrotropin di sel kelenjar
tiroid sehingga menyebabkan hipertiroidisme. (Weetman, 2000; Jonklaas, 2011). Secara
spesifik, thyroid-stimulating immunoglobulin (TSI) dan thyroid-stimulating hormone-
binding inhibitory immunoglobulin (TBII) bekerja pada reseptor thyroid yang menyebabkan
stimulasi dan inhibitor terhadap produksi hormon tiroid.
Hyperthyroidism adalah gangguan endokrin terbanyak kedua yang terjadi selama
kehamilan, setelah diabetes melitus (Mestman, 1998). Graves’ disease adalah penyebab
paling sering sering hipertiroidissme selama kehamilan, dengan prevalensi 85-95% kasus
(Galofre, 2009; Ecker, 2000). Penyebab lain hyperthyroidism adalah hasil dari overstimulasi
kelenjar tiroid akibat peningkatan human chorionic gonadotropin (hCG) yang disebut
sebagai gestational transient thyrotoxicosis (GTT), terjadi selama trimester pertama
kehamilan bersamaan dengan hyperemesis gravidarum dan lebih ringan gejalanya
dibandingkan hyperthyroidism akibat Graves’ disease (Glinoer, 2003).
b. Epidemiologi
Graves’ disease merupakan penyebab tersering hipertiroidisme di Amerika Serikat
dengan prevalensi 3 per 1,000 (Jonklaas, 2011, Abalovich, 2007). Angka terjadinya Graves’
disease hampir sama pada Caucasia dan Asia, dengan lebih sedikit insidensi pada African
Americans (Weetman, 2000; Jonklaas, 2011). Hipertiroidisme muncul pada 0.1-0.2%
kehamilan. (Miehle, 2003; Mestman, 2004; Galofre, 2009). Akibat kehamilan dengan
Grave’s disease, neonatal Graves’ disease terjadi pada 1-5% bayi
c. Etiologi dan Patofisiologi
Grave’s disease merupakan suatu penyakit otoimun yaitu saat tubuh menghasilkan
antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri, maka penyakit ini
dapat timbul secara tiba-tiba dan penyebabnya masih belum diketahui. Hal ini disebabkan
oleh autoantibodi tiroid (TSHR-Ab) yang mengaktifkan reseptor TSH (TSHR), sehingga
merangsang tiroid sintesis dan sekresi hormon, dan pertumbuhan tiroid (menyebabkan
gondok membesar difus).
Fungsi kelenjar tiroid mengalami perubahan selama kehamilan akibat peningkatan
hCG, peningkatan estrogen yang meningkatkan sirkulasi thyroid binding globulin yang
merupakan protein transport utama untuk hormon tiroid, dan penurunan yodium akibat
peningkatan renal clearence dan kehilangan yodium akibat keperluan fetus dan plasenta.
(Marx, 2009). Sebelum usia kehamilan 12 minggu, perkembangan otak fetus sangat
bergantung terhadap hormon tiroid maternal. Setelah usia kehamilan 12 mingggu, kelenjar
tiroid fetus mengambil yodium dan mensintesis hormon tiroid dan melanjutkan
perkembangan otak fetus.
Hipertiroidisme dalam kehamilan hampir selalu disebabkan karena penyakit Grave
yang merupakan suatu penyakit autoimun. Sampai sekarang etiologi penyakit Grave tidak
diketahui secara pasti.
Proses autoimun didalam kelenjar tiroid terjadi melalui 2 cara, yaitu:
o Antibodi yang terbentuk berasal dari tempat yang jauh (diluar kelenjar tiroid) karena
pengaruh antigen tiroid spesifik sehingga terjadi imunitas humoral.
o Zat-zat imun dilepaskan oleh sel-sel folikel kelenjar tiroid sendiri yang menimbulkan
imunitas seluler.
Antibodi ini bersifat spesifik, yang disebut sebagai Thyroid Stimulating Antibody
(TSAb) atau Thyroid Stimulating Imunoglobulin (TSI). Antibodi-antibodi ini berikatan
dengan reseptor TSH yang terdapat pada membran sel folikel kelenjar tiroid, sehingga
merangsang peningkatan biosintesis hormon tiroid.
Penyakit Grave sering menjadi lebih berat pada kehamilan trimester pertama,
sehingga insiden tertinggi hipertiroidisme pada kehamilan akan ditemukan terutama pada
kehamilan trimester pertama. Sampai sekarang faktor penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Pada usia kehamilan yang lebih tua, penyakit Grave mempunyai kecenderungan untuk
remisi dan akan mengalami eksaserbasi pada periode postpartum. Tidak jarang seorang
penderita penyakit Grave yang secara klinis tenang sebelum hamil akan mengalami
hipertiroidisme pada awal kehamilan. Sebaliknya pada usia kehamilan yang lebih tua yaitu
pada trimester ketiga, respons imun ibu akan tertekan sehingga penderita sering terlihat
dalam keadaan remisi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan sistem imun ibu selama
kehamilan. Pada kehamilan akan terjadi penurunan respons imun ibu yang diduga
disebabkan karena peningkatan aktifitas sel T supresor janin yang mengeluarkan faktor-
faktor supresor. Faktor-faktor supresor ini melewati sawar plasenta sehingga menekan
sistem imun ibu. Setelah plasenta terlepas, faktor-faktor supresor ini akan menghilang. Hal
ini dapat menerangkan mengapa terjadi eksaserbasi hipertiroidisme pada periode
postpartum.
Setelah melahirkan terjadi peningkatan kadar TSAb yang mencapai puncaknya 3
sampai 4 bulan postpartum. Peningkatan ini juga dapat terjadi setelah abortus. Suatu survai
yang dilakukan oleh Amino dan kawan-kawan (1979-1980) menunjukkan bahwa 5,5%
wanita Jepang menderita tiroiditis postpartum. Gambaran klinis tiroiditis postpartum sering
tidak jelas dan sulit dideteksi. Tiroiditis postpartum biasanya terjadi 3-6 bulan setelah
melahirkan dengan manifestasi klinis berupa hipertiroidisme transien diikuti hipotiroidisme
dan kemudian kesembuhan spontan. Pada fase hipertiroidisme akan terjadi peningkatan
kadar T4 dan T3 serum dengan ambilan yodium radioaktif yang sangat rendah (0 – 2%).
Titer antibodi mikrosomal kadang-kadang sangat tinggi. Fase ini biasanya berlangsung
selama 1 – 3 bulan, kemudian diikuti oleh fase hipotiroidisme dan kesembuhan, namun
cenderung berulang pada kehamilan berikutnya. Terjadinya tiroiditis postpartum diduga
merupakan “rebound phenomenon” dari proses otoimun yang terjadi setelah melahirkan.
d. Faktor Predisposisi
Faktor resiko mayor Graves’ disease adalah jenis kelamin wanita dan predisposisi
genetik. Graves’ disease terjadi delapan kali lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki
dan sering terjadi pada satu anggota keluarga. (Weetman, 2000). Adanya peningkatan
frekuensi human leukocyte antigens (HLAs) tertentu berhubungan Graves’ disease. Pada
Kaukasia, HLA-D3 muncul pada lebih dari 50% pasien. Dengan HLA-B8 dan HLA-D3
mengindikasikan risiko tinggi untuk berkembangnya Graves’ disease (Jonklaas, 2011).
Terdapat beberapa faktor predisposisi:
o Genetik
Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan populasi umum untuk
terkena Graves. Gen HLA yang berada pada rangkaian kromosom ke-6 (6p21.3) ekspresinya
mempengaruhi perkembangan penyakit autoimun ini. Molekul HLA terutama klas II yang
berada pada sel T di timus memodulasi respons imun sel T terhadap reseptor limfosit T (T
lymphocyte receptor/TcR) selama terdapat antigen. Interaksi ini merangsang aktivasi T
helper limfosit untuk membentuk antibodi. T supresor limfosit atau faktor supresi yang tidak
spesifik (IL-10 dan TGF-β) mempunyai aktifitas yang rendah pada penyakit autoimun
kadang tidak dapat membedakan mana T helper mana yang disupresi sehingga T helper
yang membentuk antibodi yang melawan sel induk akan eksis dan meningkatkan proses
autoimun.
o Jenis Kelamin
Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons imun oleh
estrogen. Hal ini disebabkan karena epitope ekstraseluler TSHR homolog dengan fragmen
pada reseptor LH dan homolog dengan fragmen pada reseptor FSH.
o Status gizi
Status gizi dan berat badan lahir rendah sering dikaitkan dengan prevalensi
timbulnya penyakit autoantibodi tiroid.
o Stress
Stress juga dapat sebagai faktor inisiasi untuk timbulnya penyakit lewat jalur
neuroendokrin.
o Merokok
Merokok dan hidup di daerah dengan defisiensi iodium.
o Infeksi
Toxin, infeksi bakteri dan virus. Bakteri Yersinia enterocolitica yang mempunyai
protein antigen pada membran selnya yang sama dengan TSHR pada sel folikuler kelenjar
tiroid diduga dapat mempromosi timbulnya penyakit Graves terutama pada penderita yang
mempunyai faktor genetik. Kesamaan antigen bakteri atau virus dengan TSHR atau
perubahan struktur reseptor terutama TSHR pada folikel kelenjar tiroid karena mutasi atau
biomodifikasi oleh obat, zat kimia atau mediator inflamasi menjadi penyebab timbulnya
autoantibodi terhadap tiroid dan perkembangan penyakit ini.
o Periode post partum
Periode post partum dapat memicu timbulnya gejala hipertiroid.
o Pengobatan sindroma defisiensi imun (HIV)
Penggunaan terapi antivirus dosis tinggi highly active antiretroviral theraphy
(HAART) berhubungan dengan penyakit ini dengan meningkatnya jumlah dan fungsi CD4
sel T.
e. Manifestasi Klinis
Gejala yang muncul pada hipertiroid adalah gejala yang diakibatkan oleh
hipermetabolisme seperti irritable, hiperaktifitas, perubahan mood, insomnia, lelah, tidak
toleran tehadap panas, peningkatan berkeringat, palpitasi, dispnea, pruritis, penurunan berat
badan walaupun terdapat peningkatan nafsu makan, haus, poliuria, peningkatan frekuensi
BAB, oligomenorrhea atau amenorrhea, dan penurunan libido.
Symptom hyperthyroidism yang dapat muncul berupa tremor, hiperkinesis atau
hiperrefleksia, demam, kulit lembab, palmar erythema, rambut rontok, kelemahan otot,
hipertensi, takikardia, dan gagal jantung. Jika hipertiroidisme ini tidak diterapi, maka
manifestasi yang muncul adalah goiter, oftalmopati, retrobulbar pressure dan nyeri, injeksi
sklera, exoptalmus localized dermopathy, lymphoid hyperplasia.
Kehamilan dengan penyulit Graves’ disease biasanya memunculkan gejala pada
trimester pertama kehamilan, membaik pada trimester kedua dan ketiga, dan kembali
muncul pada periode post partum. (Mestman, 2004; Inoue, 2009).
f. Diagnosis
Pada kehamilan, perjalanan klinis penyakit Graves ditandai oleh eksaserbasi gejala
pada trimester awal dan selama periode post partum dan perbaikan gejala pada paruh kedua
kehamilan. Stimulasi HCG plasenta terhadap kelenjar tiroid dipikirkan menjadi penyebab
eksaserbasi ini, sedangkan respon imunologis yang disebabkan oleh perubahan subset
limfosit dapat menjelaskan perbaikan yang terjadi pada trimester dua.
Hipertiroidisme dalam kehamilan dapat terjadi pada pasien hipertiroid yang
mengalami kehamilan atau sedang menjalani pengobatan hipertiroid dengan OAT. Dapat
juga terjadi penyakit Graves pada kehamilan, suatu keadaan yang lebih jarang terjadi. Pada
semua kasus, riwayat kelainan tiroid harus dievaluasi secara rinci. Bila status tiroid pasien
normal sebelum kehamilan, resiko kepada janin menjadi sangat minimal. Dapat pula terjadi
eksaserbasi Graves pada kehamilan namun hal ini jarang terjadi. Eksaserbasi Graves lebih
sering terjadi pada saat post partum.
Tidak semua pasien datang dengan keluhan hipertirodisme yang lengkap, oleh
karena itu klinisi harus berhati-hati dalam mengevaluasi kemungkinan hipertiroid. Salah satu
tanda yang mudah diamati adalah penurunan berat badan atau tidak dapat meningkatkan
berat badan padahal nafsu makan pasien normal atau meningkat. Sebagaimana disebutkan,
pada trimester pertama ketelitian diagnosis sangatlah penting mengingat gejala dan tanda
yang dicari dapat terjadi pada kehamilan normal.
Pada pemeriksaan fisik, ibu hamil dapat terlihat hiperaktif, tremor dan memiliki
gejala hiperkinetik. Wajah tampak kemerahan, bicara cepat, kulit hangat dan lembab.
Kelenjar tiroid membesar difus antara 2-6 kali ukuran normal, kenyal, kadang pada palpasi
batasnya ireguler dan salah satu lobus lebih prominen dibanding lainnya. Adanya nodul pada
pembesaran kelenjar yang difus harus medapat evaluasi lebih teliti. Dapat ditemukan pula
thrill, murmur, kelemahan otot proksimal, tanda oftalmopati graves, onikolisis dan
dermopati graves.
g. Tatalaksana
Oleh karena yodium radioaktif merupakan kontra indikasi terhadap wanita hamil,
maka pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan terletak pada pilihan antara penggunaan
obat-obat anti tiroid dan tindakan pembedahan. Namun obat-obat anti tiroid hendaklah
dipertimbangkan sebagai pilihan pertama.
Pemberian radioiodin yang diberikan pada kehamilan setelah usia 10-12 minggu
menyebabkan kerusakan pada kelenjar tiroid janin dan menimbulkan keadaan neonatal
hipotiroidisme dan kretinisme. Pembedahan dilakukan pada pasien yang tidak memberikan
respon yang baik terhadap medikasi. Jika pembedahan diperlukan, pembedahan sebaiknya
dilakukan pada trimester kedua kehamilan untuk menurunkan risiko aborsi spontan.
o Obat-obat anti tiroid:
Obat-obat anti tiroid yang banyak digunakan adalah golongan tionamida yang kerjanya
menghambat sintesis hormon tiroid melalui blokade proses yodinasi molekul tirosin. Obat-obat
anti tiroid juga bersifat imunosupresif dengan menekan produksi TSAb melalui kerjanya
mempengaruhi aktifitas sel T limfosit kelenjar tiroid. Propylthiouracil (PTU) dan metimazol
telah banyak digunakan pada wanita hamil hipertiroidisme. Namun PTU mempunyai banyak
kelebihan dibandingkan metimazol antara lain:
o PTU dapat menghambat perubahan T4 menjadi T3 disamping menghambat sintesis
hormon tiroid.
o PTU lebih sedikit melewati plasenta dibandingkan metimazol karena PTU mempunyai
ikatan protein yang kuat dan sukar larut dalam air.
Selain itu terdapat bukti bahwa metimazol dapat menimbulkan aplasia cutis pada bayi.
Oleh karena itu, PTU merupakan obat pilihan pada pengobatan hipertiroidisme dalam
kehamilan. Pada awal kehamilan sebelum terbentuknya plasenta, dosis PTU dapat diberikan
seperti pada keadaan tidak hamil, dimulai dari dosis 100 sampai 150 mg setiap 8 jam. Setelah
keadaan terkontrol yang ditunjukkan dengan perbaikan klinis dan penurunan kadar T4 serum,
dosis hendaknya diturunkan sampai 50 mg 4 kali sehari. Bila sudah tercapai keadaan eutiroid,
dosis PTU diberikan 150 mg per hari dan setelah 3 minggu diberikan 50 mg 2 kali sehari.
Pemeriksaan kadar T4 serum hendaknya dilakukan setiap bulan untuk memantau perjalanan
penyakit dan respons pengobatan. Pada trimester kedua dan ketiga, dosis PTU sebaiknya
diturunkan serendah mungkin. Dosis PTU dibawah 300 mg per hari diyakini tidak menimbulkan
gangguan faal tiroid neonatus. Bahkan hasil penelitian Cheron menunjukkan bahwa dari 11
neonatus hanya 1 yang mengalami hipotiroidisme setelah pemberian 400 mg PTU perhari pada
ibu hamil hipertiroidisme. Namun keadaan hipertiroidisme maternal ringan masih dapat ditolerir
oleh janin daripada keadaan hipotiroidisme. Oleh karena itu kadar T4 dan T3 serum hendaknya
dipertahankan pada batas normal tertinggi.
Selama trimester ketiga dapat terjadi penurunan kadar TSAb secara spontan, sehingga
penurunan dosis PTU tidak menyebabkan eksaserbasi hipertiroidisme. Bahkan pada kebanyakan
pasien dapat terjadi remisi selama trimester ketiga, sehingga kadang-kadang tidak diperlukan
pemberian obat-obat anti tiroid. Namun Zakarija dan McKenzie menyatakan bahwa walaupun
terjadi penurunan kadar TSAb selama trimester ketiga, hal ini masih dapat menimbulkan
hipertiroidisme pada janin dan neonatus. Oleh karena itu dianjurkan untuk tetap meneruskan
pemberian PTU dosis rendah (100-200 mg perhari). Dengan dosis ini diharapkan dapat
memberikan perlindungan terhadap neonatus dari keadaan hipertiroidisme.
Biasanya janin mengalami hipertiroidisme selama kehidupan intra uterin karena ibu
hamil yang hipertiroidisme tidak mendapat pengobatan atau mendapat pengobatan anti tiroid
yang tidak adekuat. Bila keadaan hipertiroidisme masih belum dapat dikontrol dengan panduan
pengobatan diatas, dosis PTU dapat dinaikkan sampai 600 mg perhari dan diberikan lebih sering,
misalnya setiap 4 – 6 jam. Alasan mengapa PTU masih dapat diberikan dengan dosis tinggi ini
berdasarkan hasil penelitian Gardner dan kawan-kawan bahwa kadar PTU didalam serum pada
trimester terakhir masih lebih rendah dibandingkan kadarnya post partum. Namun dosis diatas
600 mg perhari tidak dianjurkan.
Pemberian obat-obat anti tiroid pada masa menyusui dapat pula mempengaruhi faal
kelenjar tiroid neonatus. Metimazol dapat dengan mudah melewati ASI sedangkan PTU lebih
sukar. Oleh karena itu metimazol tidak dianjurkan pada wanita yang sedang menyusui. Setelah
pemberian 40 mg metimazol, sebanyak 70 ug melewati ASI dan sudah dapat mempengaruhi faal
tiroid neonatus. Sebaliknya hanya 100 ug PTU yang melewati ASI setelah pemberian dosis 400
mg dan dengan dosis ini tidak menyebabkan gangguan faal tiroid neonatus. Menurut Lamberg
dan kawan-kawan, PTU masih dapat diberikan pada masa menyusui asalkan dosisnya tidak
melebihi 150 mg perhari. Selain itu perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap faal tiroid
neonatus.
o Beta bloker
Gladstone melaporkan bahwa penggunaan propranolol dapat menyebabkan plasenta yang
kecil, hambatan pertumbuhan janin, gangguan respons terhadap anoksia, bradikardia postnatal
dan hipoglikemia pada neonatus. Oleh karena itu propranolol tidak dianjurkan sebagai obat
pilihan pertama jangka panjang terhadap hipertiroidisme pada wanita hamil. Walaupun demikian
cukup banyak peneliti yang melaporkan bahwa pemberian beta bloker pada wanita hamil cukup
aman. Beta bloker dapat mempercepat pengendalian tirotoksikosis bila dikombinasi dengan
yodida. Kombinasi propranolol 40 mg tiap 6 jam dengan yodida biasanya menghasilkan
perbaikan klinis dalam 2 sampai 7 hari. Yodida secara cepat menghambat ikatan yodida dalam
molekul tiroglobulin (efek Wolff-Chaikoff) dan memblokir sekresi hormon tiroid. Namun
pengobatan yodida jangka panjang dapat berakibat buruk karena menyebabkan struma dan
hipotiroidisme pada janin. Sebagai pengganti dapat diberikan larutan Lugol 5 tetes 2 kali sehari,
tapi tidak boleh lebih dari 1 minggu.
o Tindakan operatif
Tiroidektomi subtotal pada wanita hamil sebaiknya ditunda sampai akhir trimester
pertama karena dikawatirkan akan meningkatkan risiko abortus spontan. Lagipula tindakan
operatif menimbulkan masalah tersendiri, antara lain:
- Mempunyai risiko yang tinggi karena dapat terjadi komplikasi fatal akibat pengaruh obat-obat
anestesi baik terhadap ibu maupun janin.
- Dapat terjadi komplikasi pembedahan berupa paralisis nervus laryngeus, hipoparatiroidisme dan
hipotiroidisme yang sukar diatasi.
- Tindakan operatif dapat mencetuskan terjadinya krisis tiroid.
Pembedahan hanya dilakukan terhadap mereka yang hipersensitif terhadap obat-obat anti tiroid
atau bila obat-obat tersebut tidak efektif dalam mengontrol keadaan hipertiroidisme serta apabila
terjadi gangguan mekanik akibat penekanan struma. Sebelum dilakukan tindakan operatif,
keadaan hipertiroisme harus dikendalikan terlebih dahulu dengan obat-obat anti tiroid untuk
menghindari terjadinya krisis tiroid. Setelah operasi, pasien hendaknya diawasi secara ketat
terhadap kemungkinan terjadinya hipotiroidisme. Bila ditemukan tanda-tanda hipotiroidisme,
dianjurkan untuk diberikan suplementasi hormon tiroid.
Rekomendasi
Pemilihan PTU dibandingkan dengan methimazole sebagai drug of choice untuk menterapi
Graves’ disease selama kehamilan karena PTU lebih sedikit melewati plasenta dibandingkan
dengan methimazole, sehingga PTU lebih sedikit menimbulkan fetal hypothyroidism, dan
penurunan fungsi intelektual pada anak. PTU dan methimazole masuk dalam Category D karena
potensial untuk menimbulkan fetal hypothyroidism, daripada potential teratogenicity. The
ACOG tetap merekomendasikan PTU atau methimazole untuk menterapi wanita hamil dengan
hipertiroidisme. Walaupun demikian, methimazole dapat digunakan sebagai pilihan kedua pada
pasien yang intoleran terhadap PTU, menimbulkan reaksi alergi terhadap PTU, atau gagal
menjadi eutiroid dengan terapi PTU.