RESUME Pembentukan Nilai dan Etika di Sekolah.docx
-
Upload
nia-hongsaico -
Category
Documents
-
view
304 -
download
0
description
Transcript of RESUME Pembentukan Nilai dan Etika di Sekolah.docx
NILAI DAN ETIKA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER (2)
RESUME
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Karakter
Dosen Pengampu: Bu Sri Susilaningsih
Disusun Oleh :
1. Elsa Pradani Aprilia (1401411051)
2. Sabtian Sandra Pamula (1401411229)
3. Ida Sukmawati (1401411254)
4. Yayang Alif Panjaya (1401411259)
5. Nova
Rombel 16
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
A. Pembelajaran Nilai dan Etika
Pembelajaran nilai yang selama ini dibangun atas dua hal, yakni pembelajaran dan
nilai. Dengan merujuk pada sintesis definisi, bahwa nilai adalah hakikat sesuatu yang
baik yang pantas dilakukan oleh manusia menyangkut keyakinan, kepercayaan, norma,
dan perilaku. Apabila dilihat dari makna tekstualnya, arti pembelajaran nilai adalah
upaya untuk membelajarkan siswa agar memahami hakikat sesuatu yang baik, yang
pantas dilakukan oleh manusia menyangkut keyakinan, kepercayaan, norma, dan
perilaku.
Berangkat dari konsepsi nilai dan pembelajaran, dapat dirumuskan bahwa
pembelajaran nilai adalah upaya untuk membentuk pribadi yang bermoral yang memiliki
kemampuan untuk mengelola hidupnya sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan
ketuhanan. Secara singkat pembelajaran nilai dapat didefinisikan sebagai penanaman dan
pengembangan nilai - nilai (kemanusiaan dan ketuhanan) dalam diri seseorang.
Pembelajaran nilai tidak harus merupakan satu program atau pelajaran khusus seperti
mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Ilmu Pengetahuan Sosial, dan sebagainya,
tetapi merupakan suatu dimensi dari seluruh usaha pendidikan sehingga pembelajaran
nilai dapat dimasukkan pada semua bidang mata pelajaran. Sebab, pada dasarnya
pembelajaran yang dilakukan di sekolah yang tercermin pada berbagai mata pelajaran itu
tidak hanya mengembangkan ilmu, keterampilan, teknologi, dan seni, tetapi juga ingin
mengembangkan aspek kepribadian, etik, moral, dan lainnya, yang kesemuanya dapat
disebut pembelajaran nilai.
Pemikiran tersebut relevan dengan pendekatan integratif pada pendidikan karakter
yang dinyatakan oleh Rusnak, bahwa : (1) pendidikan karakter bukan mata pelajaran
tersendiri, (2) pendidikan karakter terintegrasi pada semua kegiatan pendidikan, (3)
lingkungan sekolah yang positif membantu mengembangkan karakter, (4)
pengembangan karakter harus didukung oleh kebijakan pemimpin. (5) memberdayakan
guru mempromosikan pengembangan karakter, (6) sekolah dan masyarakat adalah vital
bagi pengembangan karakter.
Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa pendidikan karakter atau pembelajaran nilai
bukan tipu daya pendidikan hari ini, melainkan merupakan produk dari penelitian
bertahun – tahun yang bersifat praktis dan berdasarkan pendekatan akal sehat untuk
bahan mengajar guru. Pengenalan pendekatan yang fundamental ini penting untuk
menghilangkan kekuatan akademik pada berbagai sekolah, dan inilah kekuatan nilai
yang sesumgguhnya. Oleh karena ruang lingkup nilai yang diajarkan di sekolah demikian
luas , proses penyadaran nilai – nilai dapat berlangsung secara integral dalam
keseluruhan proses pendidikan. Artinya, nilai – nilai itu dapat masuk ke semua mata
pelajaran sehingga menjadi ruh dalam setiap kegiatan pembelajran. Pada setiap
pembelajaran seperti ini, pembelajran nilai diperankan sebagai bagian dari keseluruhan
dimensi pendidikan dan pembelajaran di sekolah.
Menurut Rachman, pembelajaran nilai mencakup kawasan budi pekerti, nilai, norma,
dan moral. Budi pekerti adalah buah dari budi nurani. Budi nurani bersumber pada
moral. Moral bersumber pada kesadaran hidup yang berpusat pada alam pikiran. Budi
pekerti atau perbuatan manusia merupakan bahan tinjauan, tempat nilai etis diterapkan.
Nilai yang diambil adalah nilai tinggi, luhur, mulia, suci, dan luhur. Norma yang diambil
juga mendekatkan hidupnya kepad sang pencipta. Moral memberikan petunjuk,
pertimbangan, dan tuntutan untuk berbuat dengan tanggung jawab sesuai dengan nilai,
norma yang dipilih. Dengan demikian, mempelajari budi pekerti tidak lepas dari
mempelajari nilai, norma, dan moral.
Menurut Winecoff pembelajran nilai meliputi sedikitnya empat dimensi pokok, yaitu :
(1) mengidentifikasi suatu inti dari nilai personal dan sosial, (2) menemukan secara
filosofisif dan rasional suatu inti, (3) respons afektif dan emosi menuju suatu inti, (4)
membuat keputusan hubungannya dengan basis inti pada penemuan dan respons.
Sementara pembelajaran moral berkaitan dengan pertanyaan baik dan buruk pada
kehidupan antarpribadi, mencakup konsep HAM , martabat kemanusiaan, nilai
kemanusiaan, keadilan, pertimbangan, persamaan hak, dan hubungan timbal balik.
Tujuan dari pembelajaran moral adalah membentu siswa untuk lebih bertanggung jawab,
adil, dan mempertimbangkan secara matang hal-hal yang berkaitan dengan dirinya
sendiri dan orang lain.
Ada 18 nilai yang relevan untuk diterapkan di Sekolah Dasar (SD) sesuai dengan
karakteristik siswa. Nilai tersebut antar lain : (1) cinta dan kasih saying, (2) peduli dan
empati, (3) kerja sama, (4) berani, (5) keteguhan hati dan komitmen, (6) adil, (7) suka
menolong, (8) kejujuran dan integritas, (9) humor, (10) mandiri dan percaya diri. (11)
disiplin diri, (12) loyalitas, (13) sabar, (14) rasa bangga, (15) banyak akal, (16) sikap
hormat, (17) tanggung jawab , (18) toleransi.
Masing – masing nilai tersebut mempunyai indikator yang terukur. Indikator yang
dimaksud sebagaimana dalam table berikut :
No NILAI INDIKATOR
1. Cinta dan Kasih Sayang Ungkapan hati, pikiran, dan perbuatan untuk
menunjukkan kasih sayang yang tinggi pada
seseorang, baik dalam bentuk fisik maupun
nonfisik.
Sikap memahami dan memperhatikan orang lain
secara sungguh – sungguh.
2. Kepedulian dan Empati Menanggapi perasaan, pikiran, dan pengalaman
orang lain karena merasakan kepedulian terhadap
sesama.
Berupaya mengenali pribadi orang lain dan ingin
membantu orang lain yang sedang dalam keadaan
susah.
Mengenali rasa kemanusiaan sendiri terhadap
orang lain.
3. Kerja sama Menggabungkan tenaga diri pribadi dengan orang
lain untuk bekerja demi mencapai satu tujuan.
Membagi pekerjaan dengan orang lain untuk suatu
tujuan.
4. Berani Kemampuan menghadapi suatu kesulitan, bahaya,
atau sakitdengan cara dapat mengendalikan
situasi.
Mengenali sesuatu yang menakutkan atau
menantang dan kemudian memikirkan strategi
untuk menghadapinya.
5. Keteguhan hati dan
komitmen
Bertahan dalam mencapai cita – cita, pekerjaan,
dan segala urusan.
Janji yang dipegang teguh terhadap keyakinan.
6. Adil Memperlakukan orang lain dengan sikap tidak
memihak dan wajar.
Mempunyai pandangan yang jujur dalam
kehidupan sehari – hari dan di dalam situasi
khusus, tanpa pengaruh dari mana pun dan siapa
pun.
7. Suka Menolong Kebiasaan membantu orang lain.
Selalu siap mengulurkan tangan dan secara aktif
mencari kesempatan untuk menyumbang.
8. Kejujuran dan integritas Berbicara tidak bohong dan memperlakukan orang
lain secra adil.
Jujur terhadap diri sendiri dan berpegang teguh
pada nilai – nilai moral sendiri.
9. Humor Kemampuan untuk merasakan dan menanggapi
kelucuan di luar dan di dalam drinya sendiri.
Menciptakan kecerahan dalam kehidupan sehari –
hari dengan tersenyum pada situasi senang dan
tertawa pada situasi yang menggelikan.
10. Mandiri dan percaya diri Kebebasan melakukan kebutuhan diri sendiri
Mempertimbangkan pilihan dan membuat
keputusan sendiri.
11. Disiplin diri Membiasakan diri mematuhi peraturan atau
kesepakatan yang telah dibuat.
Melakukan suatu perbuatan yang baik secara ajeg.
12. Loyalitas Tetap setia terhadap komitmen dengan orang lain
(keluarga atau teman) atau dengan kelompok
tertentu.
Tetap berkomitmen dalam keadaan sulit maupun
adanya rintangan.
13. Sabar Mampu mengendalikan diri dari kelambatan
mencapai cita – cita atau kesempatan khusus.
Menunggu segala kebutuhan dan kepentingan
dengan tenang.
Mampu mengendalikan diri dari gangguan orang
lain.
Menunda keinginan yang dapat merugikan
dirinya.
14. Rasa bangga Menghargai diri sendiri
Merasa senang ketika dapat menyelesaikan suatu
tugas yang menantang atau mendapatkan sesuatu
yang diinginkan.
15. Banyak akal Mampu berfikir secara kreatif tentang metode dan
bahan yang berbeda dalam upaya menanggulangi
situasi yang baru dan sukar.
Mampu membuat pertimbangan, menggunakan
imajinasi, dan semua pilihan yang terbaik dalam
menemukan pemecahan suatu masalah.
16. Sikap hormat Menghormati orang lain ketika mengagumi,
menghargai, dan mempunyai penghargaan khusus.
Sopan kepada orang lain dan memperlakukan
mereka dengan baik.
17. Tanggung jawab Dapat dipercaya dan dapat diandalkan atas suatu
perbuatan atau tindakan.
Dapat mempertanggungjawabkan semua
perbuatan dan tindakan yang dilakukan.
18. Toleransi Saling menghormati antarsesama tanpa
memandang suku, ras, agama, dan aliran.
Saling membantu antarsesama dalam kebaikan.
B. Pembentukan Nilai dan Etika di Sekolah
Teknik pembelajaran yang berorientasi pada nilai (afek) menurut Noeng Muhadjir
(Muhaimin, 2002) dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu: teknik
indoktrinasi, teknik moral reasoning (pemikiran moral), teknik meramalkan
konsekuensi, teknik klarifikasi, dan teknik internalisasi.
1. Teknik indoktrinasi.
Ada beberapa tahap untuk melakukan prosedur teknik indoktrinasi, yaitu (1) tahap
brainwashing, yakni guru memulai penanaman nilai dengan jalan merusak atau
mengacaukan terlebih dahulu tata nilai yang sudah mapan dalam diri siswa,
sehingga mereka tidak mempunyai pendirian lagi. Metode yang dapat digunakan
guru untuk mengacakau pikiran siswa, antara lain dengan tanya jawab, wawancara
mendalam dengan teknik dialektik, dan lain sebagainya. Pada saat pikirannya
sudah kosong dan kesadaran rasionalnya tidak lagi mampu mengontrol dirinya,
dan pendiriannya sudah hilang, maka dilanjutkan dengan tahap kedua; (2) tahap
mendirikan fanatisme, yakni guru berkewajiban menanamkan ide-ide baru yang
dianggab benar, sehingga nilai-nilai yang ditanamkan dapat masuk kepala anak
tanpa melalui pertimbangan rasional yang mapan. Dalam menanamkan fanatisme
ini lebih banyak digunakan pendekatan emosional daripada pendekatan rasional.
Apabila siswa telah mau menerima nilai-nilai itu secara emosional, barulah
ditanamkan doktrin sesungguhnya; (3) tahap penanaman doktrin. Pada tahap ini
guru dapat memakai pendekatan emosional; keteladanan. Pada waktu penanaman
doktrin ini hanya dikenal satu nilai kebenaran yang disajikan, dan tidak ada
alternatif lain. Semua siswa harus menerima kebenaran itu tanpa harus
mempertanyakan hakekat kebenaran itu.
2. Teknik moral reasoning.
Teknik ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu dengan jalan: (1) penyajian
dilema moral. Pada tahap ini siswa dihadapkan dengan problematik nilai yang
bersifat kontradiktif, dari yang sifatnya sederhana hingga yang kompleks. Metode
penyajiannya dapat melalui observasi, membaca koran/majalah, mendengarkan
sandiwara, melihat film dan sebagainya; (2) setelah disajikan problematik
dilemma moral, dilanjutkan dengan pembagian kelompok diskusi. Siswa dibagi ke
dalam beberapa kelompok kecil untuk mendiskusikan beberapa hasil pengamatan
terhadap dilemma moral tersebut; (3) membawa hasil diskusi kelompok ke dalam
diskusi kelas, dengan tujuan untuk klarifikasi nilai, membuat alternatif dan
konsekuensinya; (4) setelah siswa berdiskusi secara intensif dan melakukan
seleksi nilai yang terpilih sesuai dengan alternatif yang ajukan, selanjunya siswa
dapat mengorganisasikan nilai-nilai yang terpilih tersebut ke dalam dirinya. Untuk
mengetahui apakah nilai-nilai tersebut telah diorganisasikan siswa ke dalam
dirinya dapat diketahui lewat pendapat siswa, misalnya melalui karangan-
karangannya yang disusun setelah diskusi, atau tindakan follow up dari kegiatan
diskusi tersebut.
3. Teknik meramalkan konsekuensi.
Teknik ini sesungguhnya merupakan penerapan dari pendekatan rasional dalam
mengajarkan nilai. Teknik ini mengandalkan kemampuan berpikir ke depan bagi
siswa untuk membuat proyeksi tentang hal-hal yang akan terjadi dari penerapan
suatu nilai tertentu. Adapun langkah-langkah yang digunakan adalah sebagai
berikut: tahap pertama, siswa diberikan suatu kasus melalui cerita, membaca
majalah, melihat film, atau melihat kejadian konkret di lapangan; tahap kedua,
siswa diberi beberapa pertanyaan melalui beberapa pertanyaan yang berhubungan
dengan nilai-nilai yang pernah ia lihat, ketahui, dengarkan, dan rasakan.
Pertanyaan itu adakalanya bersifat memperdalam wawasan tentang nilai yang
dilihat, alasan dan kemungkinan yang akan terjadi dari nilai-nilai tersebut, atau
menghubungkan kejadian itu dengan kejadian-kejadian lain yang berkaitan
dengan kasus tersebut; tahap ketiga, upaya membandingkan nilai-nilai yang
terdapat dalam kasus itu dengan nilai lain yang bersifat kontradiktif; tahap
keempat, adalah kemampuan meramalkan konsekuensi yang akan terjadi dari
pemilihan dan penerapan suatu tata nilai tertentu.
4. Teknik klarifikasi.
Teknik ini merupakan salah satu cara untuk membantu anak dalam menentukan
nilai-nilai yang akan dipilihnya. Dalam teknik ini dapat dilakukan melalui tiga
tahap, yaitu: (1) tahap pemberian contoh. Pada tahap ini guru mengenalkan
kepada siswa nilai-nilai yang baik dan memberikan contoh penerapannya. Hal ini
bisa ditempuh dengan jalan observasi, melibatkan siswa dalam kegiatan nyata,
pemberian contoh secara langsung dari guru kepada siswa, dan sebagainya; (9)
tahap mengenal kelebihan dan kekurangan nilai yang telah diketahui oleh siswa
lewat contoh-contoh tersebut di atas. Hal ini bisa ditempuh melalui diskusi atau
tanya jawab guna melihat kelebihan dan kekurangan nilai tersebut. Dari kegiatan
ini akhirnya siswa dapat memilih nilai-nilai yang ia setujui dan yang dianggab
paling baik dan benar; (3) tahap mengorganisasikan tata nilai pada diri siswa.
Setelah nilai ditentukan, maka siswa dapat mengorganisasikan system nilai
tersebut dalam dirinya dan menjadikan nilai tersebut sebagai pribadinya.
5. Teknik internalisasi.
Teknik internalisasi merupakan teknik penanaman nilai yang sasarannya sampai
pada tahap kepemilikan nilai yang menyatu ke dalam kepribadian siswa, atau
sampai pada taraf karakterisasi atau mewatak. Tahap-tahap dari teknik
internalisasi ini adalah (1) tahap transformasi nilai: pada tahap ini guru sekedar
mentransformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa,
yang semata-mata merupakan komunikasi verbal; (2) tahap transaksi nilai, yaitu
suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau
interaksi antara siswa dengan guru yang bersifat interaksi timbale balik. Kalau
pada tahap transformasi interaksi masih bersifat satu arah, yakni guru yang aktif,
maka dalam transaksi ini guru dan siswa sama-sama bersifat aktif. Tekanan dari
tahap ini masih menampilkan sosok fisiknya daripada sosok mentalnya. Dalam
tahap ini guru tidak hanya menginformasikan nilai yang baik dan buruk, tetapi
juga terlihat untuk melaksanakan dan memberikan contoh amalan yang nyata, dan
siswa diminta untuk memberikan tanggapan yang sama, yakni menerima dan
mengamalkan nilai tersebut; (3) tahap transinternalisasi. Tahap ini jauh lebih
dalam dari sekedar transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru dihadapan siswa
bukan lagi sosoknya, tetapi lebih pada sikap mentalnya (kepribadiannya).
Demikian pula sebaliknya, siswa merespon kepada guru bukan hanya gerakan
atau penampilan fisiknya saja, melainkan sikap mental dan kepribadiannya. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam transinternalisasi ini adalah komunikasi
dua kepribadian yang masing-masing terlibat secara aktif.
Proses dari transinternalisasi itu mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks,
yaitu mulai dari: (1) menyimak (receiving), (2) menanggapi (responding), (3) memberi
nilai (valuing), (4) mengorganisasi nilai (organisasi of value), (5) karakteristik nilai
(characterization by a value or value complex), yakni dengan membiasakan nilai-nilai
yang benar yang diyakini, dan yang telah diorganisir dalam laku pribadinya sehingga
nilai tersebut sudah menjadi watak (kepribadiannya). Dengan demikian nilai tersebut
tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupannya. Nilai yang sudah mempribadi inilah yang
dalam Islam disebut dengan kepercayaan/keimanan yang istikomah, yakni keimanan
yang sulit digoyahkan oleh kondisi apapun.
Sedang ditinjau dari pendekatan penanaman nilai, ada beberapa pendekatan
penanaman nilai yang dapat digunakan guru dalam proses pembelajaran, antara lain yaitu
pendekatan: pengalaman, pembiasaan, emosional, rasional, fungsional, dan keteladanan
(Ramayulis, 2004).
Pertama, pendekatan pengalaman. Pendekatan pengalaman merupakan proses
penanaman nilai-nilai kepada siswa melalui pemberian pengalaman langsung. Dengan
pendekatan ini siswa diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman spiritual baik
secara individual maupun kelompok.
Kedua, pendekatan pembiasaan. Pendekatan pembiasaan adalah suatu tingkah laku
tertentu yang sifatnya otomatis tanpa direncanakan terlebih dahulu dan berlaku begitu
saja tanpa dipikirkan lagi. Dengan pembiasaan pembelajaran memberikan kesempatan
kepada peserta didik terbiasa mengamalkan konsep ajaran nilai-nilai universal, baik
secara individual maupun secara berkelompok dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, pendekatan emosional. Pendekatan emosional adalah upaya untuk
menggugah perasaan dan emosi siswa dalam meyakini konsep ajaran nilai-nilai universal
serta dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Keempat, pendekatan rasional. Pendekatan rasional merupakan suatu pendekatan
mempergunakan rasio (akal) dalam memahami dan menerima kebenaran nilai-nilai
universal yang di ajarkan
Kelima, pendekatan fungsional. Pengertian fungsional adalah usaha menanamkan
nilai-nilai yang menekankan kepada segi kemanfaatan bagi siswa dalam kehidupan
sehari-hari, sesuai dengan tingkatan perkembangannya.
Keenam, pendekatan keteladanan. Pendekatan keteladanan adalah memperlihatkan
keteladanan, baik yang berlangsung melalui penciptaan kondisi pergaulan yang akrab
antara personal sekolah, perilaku pendidik dan tenaga kependidikan lain yang
mencerminkan sikap dan perilaku yang menjungjung
Dalam pembentukan nilai dan etika di sekolah, keterlibatan semua komponen mulai
dari kepala sekolah, guru, siswa, karyawan, dan wali murid akan sangat menentukan
keberhasilan. Dengan adanya kerja sama dari semua pihak proses pembentukan serta
penanaman nilai dan etika akan lebih muda dilakukan. Sehingga hasil yang didapat
sesuai dengan apa yang diharapkan pada tujuan yang diinginkan.
C. Cara mengajarkan nilai dan etika di sekolah
Mengajarkan nilai dan etika sebaiknya lebih bersifat contoh. Pepatah mengatakan
bahwa tindakan lebih baik daripada kata-kata. Lutan mengatakan bahwa nilai moral itu
beraneka ragam, termasuk loyalitas, kabajikan, kehormatan, kebenaran, hormat,
keramahan, integritas, keadilan, kooperasi, tugas, dan lain sebagainya.
Empat nilai moral yang menjadi inti dan bersifat universal adalah
1. Keadilan
Keadilan ada dalam beberapa bentuk, yaitu
- Keadilan distributif, merupakan keadilan yang mencakup pembagian
keuntungan dan beban secara relatif.
- Keadilan prosedural, mencakup persepsi terhadap prosedur yang dinilai sportif
dalam menentukan hasil
- Keadilan retributif, mencakup persepsi yang fair sehubungan dengan hukuman
yang dijatuhkan pada pelanggar hukum
- Keadilan kompensasi, mencakup persepsi mengenai kebaikan atau
keuntungan yang diperole penderita atau yang diderita pada waktu
sebelumnya.
2. Kejujuran
Kejujuran dan kebajikan selalu terkait dengan kesan terpercaya. Terpercaya selalu
terkait dengan kesan tidak berdusta, menipu atau memperdaya. Hal ini terwujud
dalam tindak dan perkataan. Semua pihak percaya bahwa hakin da[at
mempertaruhkan integritasnya dengan membuat keputusan yang adil. Ia
terpercaya bahwa keputusannya mencerminkan kejujuran.
3. Tanggung jawab
Tanggung jawab merupakan nilai moral penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Tanggung jawab adalah pertanggungan perbuatan sendiri. Seorang siswa harus
bertanggung jawab kepada guru, orangtua, dan diri sendiri.
4. Kedamaian
Kedamaian mengandung pengertian: tidak akan menganiaya, mencegah
penganiayaan, menghilangkan penganiayaan, dan berbuat baik.
Freeman dalam buku Physical Education and Sport in Changing Society
enyarankan lima area dasar etika yang harus diberikan. Lima area dasar etika tersebut
adalah
1. Keadilan dan persamaan
Peserta didik mengharapkan perlakuan yang adil dan sama. Anak didik ingin
kesempatan yang sama dalam belajar. Sering kali anak didik yang
kemampuannya di bawah rata-rata diabaikan
2. Hormat terhadap diri sendiri
Peserta didik membutuhkan hormat terhadap diri sendiri dan image positif
tentang dirinya untuk menjadi sukses. Guru harus megambil langkah tepat
agar anak didiknya merasa dirinya penting dan layak di mata guru.
3. Rasa hormat dan kepedulian terhadap orang lain
Peserta didik membutuhkan rasa hormat kepada orang lain. Mereka perlu
belajar tentang bagaiman pentingnya memperlakukan orang lain dengan
hormat.
4. Menghormati peraturan dan kewenangan
Peserta didik perlu menghormati kewenangandan peraturan karena tanpa
kedua hal ini suatu perhimpunan tidak akan berfungsi dengan baik.
5. Rasa terhadap perspektif atau nilai relatif
Proses pendidikan sebaiknya mengembangkan karakter. Kaakter menurut
David Shield dan Brenda Bredemier adalah empat kebajikan, yakni
compassion (rasa balas kasih), fairness (keadilan), sportmanship
(ketangkasan), dan integritas.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Zaenul Fitri. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah.
Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
TEKNIK DAN PENDEKATAN PENANAMAN NILAI DALAM PROSES
PEMBELAJARAN DI SEKOLAH. http://staff.uny.ac.id/