RESUME Filsafat Hukum Islam
-
Upload
apep-gojali -
Category
Documents
-
view
851 -
download
38
Transcript of RESUME Filsafat Hukum Islam
RESUME
FILSAFAT HUKUM ISLAM
Diajukan untuk memenuhi UTS pada mata kuliah Fisafat
Hukum Islam
Disusun oleh : Nurdin
Jurusan : PMH
NIM : 1210304016
Dosen : Usep Saepulloh
PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM
Filsafat hukum islam adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum islam, sumber
asal muasal hukum islam dan prinsip penerapannya serta fungsi dan manfaat hukum
islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya.
OBYEK FILSAFAT HUKUM ISLAM
Obyek filsafat hukum islam meliputi obyek teoritis dan obyek praktis. Obyek
teoritis FHI adalah obyek kajian yang merupakan teori-teori hukum islam yang meliputi :
1. Prinsip-prinsip hukum islam
2. Dasar-dasar dan sumber-sumber hukum islam
3. Tujuan hukum islam
4. Asas-asas hukum islam, dan
5. Kaidah-kaidah hukum islam
Sementara obyek praktis filsafat hukum islam meliputi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan, seperti :
1. Mengapa manusia melakukan muamalah, dan mengapa manusia harus diatur
oleh hukum islam?
2. Mengapa manusia harus melakukan shalat?
3. Apa rahasia atau hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan puasa, haji dan
sebagainya?
4. Dsb
KEMESTIAN KEBERADAAN DAN KEMAHAESAAN TUHAN ( TAUHID : WAJIBUL WUJUD)
Filsafat ketuhanan dan kemahaesaan-Nya ini menyajikan beberapa argumen
tentang kemestian adanya Tuhan. Argumen-argumen ini dikelompokan ke dalam
argumen-argumen ontologis, argumen kosmologis, argumen teologis, argumen moral,
dan argumen epistimologis.
Argumen ontologis
Argumen ontologis tentang hakikat wujud ini semata-mata berdasarkan
argumen-argumen logika yang logis dan rasional. Tidak berdasarkan atas alam nyata
atau empirik. Setiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah yang menjadi
hakikat sesuatu bukan benda-benda yang biasa kita lihat di alam nyata. Idea-idea yang
ada di alam idea itu adalah tujuan dan sebab dari wujud benda-benda. Idea-idea tidak
bercerai berai melainkan semuanya itu bersatu dalam idea tertinggi yang diberi nama
idea kebaikan, idea kebaikan dan mutlak baik itu disebut juga tuhan.
`Argumen Kosmologis
Kosmologis sering juga disebut argumen sebab-musabab atau hukum kausalitas.
Argumen ini diajukan oleh murid Plato, yakni Aristoteles (384-322 M). Argumen ini
menyatakan tiap benda yang dapat ditangkap panca indera mempunyai materi dan
bentuk. Bentuk kekal tidak berubah-ubah sedangkan materi sebagai subtratum berubah.
Antara bentuk dengan materi ada hubungan gerak. Bentuk yang menggerakan,materi
yang digerakan. Bentuk menggerakan potensialitas untuk menjadi aktualitas. Bentuk
materi adalah kekal dan demikian pula hubungan yang terdapat antara bentuk dengan
materi. Karena hubungan itu kekal, maka gerak itu pun mesti kekal pula. Sebab pertama
dari gerak itu mestilah sesuatu yang tidak bergerak. Gerakan terjadi dari perubahan
yang menggerakan terhadap yang digerakan; yang menggerakan digerakan pula oleh
sesuatu rentettan penggerak dan di gerak. Rentetan ini tidak akan mempunyai
kesudahan kalau penggerak yang tak bergerak; penggerak dalam arti yang tidak berubah
untuk mempunyai bentuk lain.
Argumen Teleologis
Argumen teleologis adalah argumen yang menyatakan bahwa alam itu
teleologis, yakni alam yang diatur menururt tujuan-tujuan tertentu. Alam ini
keseluruhannya berevolusi dan beredar kepada suatu tujuan tertentu. Kalau alam ini
beredar dan berevolusi kepada tujuan tertentu, yaitu kebaikan universal di bawah
kepemimpinan manusia yang bermoral tinggi, maka mestilah ada suatu zat yang
menentukan tujuan itu dan membuat alam ini beredar dan berevolusi ke arah itu.
Argumen Moral
Secara singkat, argumen moral ini dapat dinyatakan dalam pernyataan berikut
ini. Kalau manusia merasa bahwa dalam dirinya ada perintah mutlak yang disebut
imperative catagory untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, dan kalu
perintah itu bukan di peroleh dari pengalaman, tetapi telah terdapat dalam diri manusia,
maka perintah itu mesti dari suatu zat yang tahu akan baik dan buruk, zat inilah yang
dissbut tuhan.perbuatan baik dan buruk mengandung arti nilai-nilai. Nilai-nilai itu bukan
berasal dari manusia melainkan telah terdapat di dalam dirinya. Nilai-nilai itu berasal
dari luar diri manusia, yaitu dari suatu zat yang lebih tinggi dari manusia. Inilah yang
disebut tuhan. Keberadaan nilai-nilai itu mengandung arti adanya pencipta nilai-nilai itu.
Argumen Epistimologis
Argumen ini bertujuan untuk membuktikan adanya Tuhan secara meyakinkan
melalui teori pengetahuan atau ilmu. Menurut Ibn Taimiyah, ilmu itu mempunyai dua
sifat; ilmu yang bersifat obyektif dan yang bersifat subyektif.
Dikatakan obyektif, suatu ilmu yang keberadaan obyeknya tidak bergantung
kepada dan tidak adanya pengetahuan si subyek tentang obyek. artinya subyek ilmu
tetap ada baik diketahui maupun tidak oleh subyek. Demikian pula keberadaan obyek
pengetahuan atau ilmu agama, seperti tentang adanya Allah dan Rasul-Nya tidaklah
bergantung kepada ada dan tidak adanya pengetahuan manusia mengenai obyek. Allah
dan Rasul-Nya tetap ada walaupun manusia tidak mengetahui keberadaannya. Adanya
pengetahuan si subyek tentang Allah dan Rasulnya itu tidak menyebabkan adanya Allah
dan Rasull-Nya. Ia telah ada dengan sendiri-Nya. Sebaliknya ketidakadaan pengetahuan
si subyek tentang Allah dan RasulNya menjadi tidak ada. Allah tetap ada secara obyektif,
baik bagi orang yang mengetahui keberadaan-Nya dan mengimani-Nya maupun bagi
yang tidak.
Pengetahuan atau ilmu yang bersifat subyektif ialah pengetahuan atau ilmu
yang keberadaan obyeknya bergantung kepada adanya pengetahuan manusia sebagai
subyek tentang obyek ilmu itu. Dengan kata lain sesuatu itu dinyatakan ada kalau si
subyek atau menusia mengetahui keberadaannya.
Teori ilmu ini jika diterapkan kepada Allah sebagai ‘obyek’ yang ada dengan
sendiri-Nya, maka selain diri-Nya merupakan makhluk-makhluk-Nya yang berujud
karena adanya iradah, yakni karena kehendak-Nya. Sebagai halnya perbuatan manusia,
seperti duduk, berdiri, makan, pergi dan sebagainya, dapat berujud apabila ada
kehendak manusia untuk mewujudkannya, karena manusia memang mempunyai
kehendak.
FILSAFAT KENABIAN DAN KERASULAN
Kata Nabi berasal dari kata kerja (fi’l) bahasa Arab nabba’a-yunabbi’u yang
berarti memberi kabar. Kata Nabi dipetik dari kata nabiyyun dalam bahasa Arab yang
berkedudukan sebagai kata benda pelaku perbuatan (isim fa’il) yang berarti orang yang
membawa kabar atau berita. Dari kata nabi yang bermakna harfiah sebagai pembawa
berita ini kemudian digunakan dalam istilah agama sehingga nabi berarti orang yang
diutus Tuhan untuk menyampaikan berita dan pelajaran dari Tuhan untuk manusia.
Karena nabi itu pembawa berita dari Tuhan, maka dikenal pula istilah rasul yang secara
harfiah berarti utusan. Rasul berarti utusan Allah. Seorang Rasul pasti seorang Nabi, ia
pilihan Tuhan yang bertugas menyampaikan ajaran-Nya kepada umat manusia. Rasul
adalah manusia biasa. Ia tidak dipertuhankan.
Secara naluriah, manusia dapat mengetahui sebagian perbuatan yang baik dan
yang buruk dengan akalnya. Daya akal manusia belum cukup untuk mengetahui cara
yang dapat menunjukan jalan menuju keselamatan dunia dan akhirat. Oleh karena itu,
manusia memerlukan seorang manusia yang diutus Tuhan yang menyampaikan syariat-
Nya agar manusia dapat mencapai keselamatan tanpa melewati perbuatan dan jalan
yang membahayakannya. Kehadiran nabi dan rasul merupakan kebutuhan primer
manusia karena akal tidak dapat memenuhinya.
Nabi dan Rasul mengemban enam tugas utama sebagai berikut :
1. Memberikan petunjuk kepada manusia agar manusia mengetahui Allah
(ma’rifatullah); menyampaikan sifat-sifat Allah yang dapat memudahkan
manusia memahami ke-Maha Esaan-Nya, dengan cara paling mudah.
2. Menyampaikan berita bahwasannya Allah mengancam manusia yang tidak taat
kepada-Nya dan memberi kabar gembira bagi mereka yang mentaati-Nya (al-
wa’du wa al-wa’id)
3. Mengajarkan akhlak yang mulia kepada manusia yang berguna bagi diri manusia
itu sendiri dan bagi sesamanya, seperti sifat jujur, tidak berdusta, dermawan,
dan sebagainya.
4. Mengajarkan tata cara mengagungkan Allah serta menunaikan kewajiban yang
dibebankan Allah kepada manusia, dan beribadah kepada-Nya dalam berbagai
bentuknya secara sempurna.
5. Menetapkan ketentuan-ketentuan hukum (hudu’d) dan kaidah-kaidah yang
harus dipatuhi seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya, seperti
ketentuan hukum berzina, pembunuhan, dan sebagainya. Ketentuan-ketentuan
tersebut bertujuan menegakkan keadilan yang dapat menjamin keamanan
negeri dan penduduknya. Dalam hubungannya dengan tugas tersebut, nabi dan
rasul berfungsi sebagai hakim atau Pembuat hukum.
6. Menjelaskan cara-cara yang benar apa yang mesti ditempuh manusia dalam
kehidupan duniawinya, seperti keharusan aktif bekerja, dan melaksanakan
berbagai bentuk kebajikan.
MANUSIA, PENGETAHUAN, DAN HUKUM ISLAM
Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk mengenal dirinya.
Manusia makhluk sejarah yang dapat menceritakan kisahnya. Historisitas merupakan
struktur konstruktif eksistensi manusia. Sejarah dikendalikan oleh al-harakah. Setiap
orang memiliki al-harakah sebagai sifat dasar manusia yang berfungsi untuk mengambil
segala yang bermanfaat dan menolak segala yang merusak. Apabila keberadaan al-
harakah dalam diri manusia ini berfungsi sebagaimana mestinya, maka tujuan hukum
Islam pun pasti tercapai, yakni meraih kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat,
meraih kebahagiaan yang kekal dengan jalan mengambil maslahat dan menghindari
kerusakan. Sebab alharakah merupakan fitrah.
Fitrah itu meliputi tiga hal yaitu potensi akal (quwwatul ‘aql), potensi dipensif
(quwwatul gadlab) dan potensi opensif ( quwwatul syahwat). Dalam memfungsikan
fitrah itu manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya yang disebut al-fitrah al-
munazzalah, yaitu berupa wahyu. Wahyu menjelaskan perincian perbuatan yang baik
dan harus dilakukan manusia serta perbuatan buruk yang harus ditinggalkan. Dengan
fitrah yang difungsikan secara maksimal manusia dijamin kebahagiaan hidupnya di dunia
dan diakhirat. Dengan panduan wahyu, fitrah manusia lebih cepat berfungsi sehingga
daya akal segera mengetahui Allah, mengimani-Nya, mengesakan-Nya, mentaati
perintah-perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-larangan-Nya, membenarkan
Allah dan Rasul-Nya.
Manusia Dan Pengetahuan
Disamping sifat dasar (fitrah) yang diperoleh manusia sejak lahir, manusia pun
memperoleh panca indera (penginderaan) sebagai potensi lahiriah (materil). Manusia
baru dapat mengetahui sesuatu dan berfikir apabila ia dalam keadaan sadar. Dengan
alat indera manusia dapat memperoleh gambaran dari dunia luar (diluar tubuhnya) yang
dipengaruhi pula oleh lingkungan. Alat yang dimiliki manusia dan berfungsi untuk
memperoleh pengetahuan adalah kalbu, mata dan telinga. Apabila manusia salah dalam
menggunakan alat-alat tersebut ia akan tersesat.
Untuk mengetahui sesuatu, pada mulanya phenomena/nomena ditangkap oleh
oleh alat indera. Rangsangan phenomena/nomena yang ditangkap oleh alat indera ini
disebut persepsi. Selajutnya rangsangan tersebut diteruskan atau ditangkap oleh akal
dan rasa yang membentuk konsepsi.
Telinga atau pendengaran berfungsi untuk memahami ucapan yang
mengandung makna simbolik dan pengetahuan. Kalbu berfungsi untuk melakukan
intelektualisasi atas benda-benda yang ditangkap oleh indera mata dan telinga. Dengan
demikian terjadilah kerjasama antara telinga, mata dan kalbu. Oleh karena itu kalbu
merupakan sentral berfikir dan sentral keinginan manusia yang bermuara di otak
sebagai alat.
Manusia dan Hukum Islam
Manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas dilahirkan dengan seperangkat
potensi untuk beriman kepada Allah; dapat menginduksi obyek-obyek yang
menyenangkan dan mempertahankan diri dari berbagai hal yang dapat membahayakan
dirinya. Manusia dengan daya akalnya mampu mengetahui dan mengembangkan ilmu
pengetahuannya. Berdasarkan pengetahuannya pula manusia dapat menerima
kebenaran hukum, terutama kebenaran hukum yang datang dari Allah. Karena
sesungguhnya Allah sebagai pencipta atau pembuat hukum. Hukum telah diselaraskan
dengan jati diri manusia (kodrat manusia), sehingga hukum bermanfaat untuk mencapai
kesejahteraan umat manusia.
SUMBER DAN METODE HUKUM ISLAM
Sumber hukum Islam berasal dari sumber Ilahi dan potensi-potensi insani. Oleh
karena itu, pada dasarnya, sumber hukum Islam ada yang naqliyyah dan aqliyyah.
Sehingga, seringkali para pakar hukum Islam menyatakan bahwa sumber hukum ada
tiga, Pertama al-Qur’an; kedua Sunnah; dan ketiga ijtihad. Ijma’, qiyas, istihsan dan
sebagainya tidak lagi disebut sebagai sumber hukum Islam karena semuanya merupakan
hasil
Metode Naqliyyah-Aqliyyah
Walaupun sering dinyatakan, bahwa sumber hukum naqli yaitu al-Quran dan
Sunnah adalah sumber yang di transmisi, sumber yang diterima melalui penuturan yang
berkesinambungan. Pada hakikaynya, sumber naqli tersebut juga adalah sumber
‘aqliyyah. Kenyataan memang menunjukan demikian.
Suatu upaya untuk menjamin bahwa al-Quran itu diperoleh secara naqliyyah
ternyata memerlukan tiga metode : al-Tajribat al-Hisiyyah (pengalaman empirik); al-
Twa’tur atau al-Mutawattirat atau transmited data (data yang di transmisi melalui
periwayatan ketat), dan al-Istiqa, yaitu pengujian kebenaran sumber naqliyy secara
induktif.
Al-Tajribat Al-Hisiyyah
al-Tajribat al-Hisiyyah adalah pengetahuan atau pengalaman yang diperoleh akal
dan indera secara bersama-sama. Apabila seseorang mengetahuai sesuatu berdasarkan
pengalamannya, maka pengetahuannya itu dapat menjadi argumen (istidlal) bagi oraang
lain yang tidak mengalaminya. Dengan kata lain, kebenaran pengalaman seseorang
dapat menjadi sumber kebenaran bagi orang lain.
Al-mutawattirat (premis-premis yang di transmisi)
Ahli-ahli mantik berpendapat bahwa premis-premis yang diperoleh melalui al-
Tajribah, al-hadas, dan al-Tawatur, merupakan premis-premis yang hanya menjadi
pengetahuan dan sumber kebenaran bagi mereka yang mengalaminya dan
memperolehnya secara langsung. Premis-premis tersebut tidak tidak bisa dijadikan
argumentasi (istidlal) bagi orang lain yang tidak mengalaminya, mendengar dan
menyaksikannya. Pengetahuan demikian itu hanya diperoleh melalui al-iqna.
Pengetahuan yang diperoleh melalui iqna adalah pengetahun yang diperoleh karena
“kepercayaan” kepada si pemberitahu; suatu metode penalaran (reason-ing) dimana
pemikiran si pendengar diyakinkan oleh suatu pernyataan tanpa menunjukkan bukti
tanpa pembuktian.
Pendapat kalangan ahli mantik tersebut di atas dibantah oleh pakar hukum
Islam dengan pernyataan berikut: bahwa apa yang diperoleh melalui al-mutaw’tira’at
dan al-mujarrabat (yang dialami atau dindera) adalah termasuk al-makhsusat, yaitu
suatu yang empirik. Dengan demikian, preposisi yang disusun berdasarkan al-
mutaw’tira’at itu adalah shahih dan dapat dijadikan argumen tanpa harus dibuktikan
melalui pengalaman setiap orang. Fenomena-fenomena alam pun ada yang hanya bisa
diketahui dan dialami oleh orang-orang tertentu saja dan bukan keharusan bahwa
fenomena itu harus dialami atau diindera oleh setiap orang agar menjadi kebenaran.
Demkian pula fenomena batin yang berupa emosi-emosi (al-Shu’ur al-
Bathiniyah) seperti halnya fenomena fisikal tidaklah mesti dapat dialami orang secara
bersama-sama agar kebenaran keberadaan fenomena itu menjadi suatu kebenaran.
Pengetahuan orang tentang benda-benda fisikalpun didahului melalui proses al-Tawatur
dan al-Tajribah, seperti adanya kota Mekah, adanya Rasul, adanya buah anggur, dan lain
sebagainya. Kesemuanya itu tidak lagi mmerlukan argumen untuk membuktikan
keberadaanya. Contoh lebih jelas mengenai kebenaran pengetahuan yang diperoleh
melalui al-tawa’tur dapat diikuti berikut ini: banyak kenyataan menunjukkan bahwa
sejumlah benda yang dapat diindera baik hewan maupun tumbuh-tumbuhan yang
hanya ada di suautu negeri tertentu, dan tidak dapat di negeri lain. Mereka yang melihat
dan mendengar berita tentang keberadaan benda-benda tersebut menggambarkannya
kepada orang lain yang belum pernah melihat dan mendengarnya. Pengetahuan
mengenai benda-benda itu pun menjadi terkenal di kalangan orang banyak. Dengan
demikian, pengetahuan tentang benda-benda tersebut menjadi pengetahuan yang
diperoleh melalui khabar dan merupakan proposisi untuk memperoleh pengetahuan.
Al-istuqra
Al-Istiqra adalah penalaran induktif, yaitu suatu cara untuk mencapai
kesimpulan yang bersifat umum atau preposisi universal melalui observasi atas kejadian-
kejadian partikular. Oleh karena itu, al-Khawarizmi (yang dikenal di tanah air dengan
nama Logaritme) mendifinisikan al-Istiqra’ dengan cara “mengetahui sesuatu yang
universal dengan seluruh partikulernya”. Ibnu Sina membagi al-Istiqra’ atas dua macam,
al-ta’m dan al-masyhur. Istiqra bentuk al-ta’m ialah cara penentuan hukum yang di
dalamnya hanya terkandung kebanyakan partikuler-partikulernya. Bentuk istiqra ini
kadang-kadang disebut juga al-Istiqra al-Naqis (penalaran induksi yang tidak sempurna).
al-Istiqra al-Tam menghasilkan premis yang meyakinkan. sedangkan bentuk
penalaran induksi kedua, yakni al-Istiqra al-Masyhur atau al-Naqis menghasilkan
preposisi atau premis yang kebenarannya bersifat relatif atau zanni. Hasil penalaran
pertama sangat meyakinkan karena mencakup satuan-satuan yang diteliti secara
induktif, yaitu bentuk-bentuk yang nyata (al-Mua’yyanat) atau partikular-partikular (al-
Juziyyat) yang semua sifat-sifat persamaannya sesuai dengan setiap bagian yang
diinduksi itu.
Bentuk penalaran al-istiqra bukanlah argumentasi yang dibentuk melalui
penalaran dari suatu partikular berdasarkan partikular yang lainnya, bukan pula
argumentasi sesuatu yang khusus berdasarkan partikular yang satu dengan yang lainnya
yang mana partikular pertama mengharuskan adanya partikular yang lainnya itu. Cara
berargumentasi seperti ini adalah yang menunjukkan adanya dua partikular yang saling
mengharuskan keberadaannya satu sama lain itu adalah hubungan korespondensi
(ala’qa’t al-ishtirak) dalam suatu kadar yang setara dengan apa yang disebut illat atau
dalil al’illat.
Metode Pemahaman Sumber Hukum Islam
Setelah diketahui bahwa sumber hukum Islam itu ada yang naqliyyah dan ada
yang aqliyyah timbul pertanyaan, bagaimana memahami sumber tersebut sehingga
diketahui sumber yang petunjuk pelaksanaannya (di bidang hukum) merupakan suatu
kepastian yang ajeg atau petunjuk yang samar-samar dan memungkinkan timbulnya
keanekaragaman penafsiran dan praktek hukum.
Sejalan dengan sumber hukum Islam, yakni naqliyah dan aqliyyah, maka
pemahaman dan penafsiran atas sumber Hukum Islam pun digunakan metode
naqliyyah-aqliyyah. Dengan demikian, metode-metode hukum Islam yang termasuk
kategori naqliyyah meliputi: metode al-Qur’an, Metode sunnah, metode ijma’ ialah
pemahaman dan penggalian hukum Islam berdasarkan al-Qur’an.
Metode al-Qur’an
Metode pemahaman berdasarkan al-Qur’an ada empat peringkat: peringkat
pertama ialah pemahaman, penafsiran, dan penggalian hukum Islam dari al-Qur’an yang
paling tinggi ialah pemahaman hukum dari al-qur’an berdasarkan al-Qur’an itu sendiri.
Peringkat kedua adalah penafsiran dan penggalian hukum dari al-qur’an berdasarkan
Sunnah. Peringkat ketiga ialah pemahaman dan penggalian hukum dari Sunnah.
Peringkat ketiga pemahaman dan penggalian hukum dari al-qur’an berdasarkan
pemahaman dan penafsiran para sahabat Nabi, yakni mereka yang hidup sezaman
dengan Nabi serta beriman dan bertaqwa. Peringkat ke-empat, ialah penafsiran dan
penggalian hukum dari al-Qur’an berdasarkan penafsiran para tabi’in, yakni mereka yang
hidup sezaman dengan sahabat serta beriman dan bertaqwa. Peringkat kelima ialah
penafsiran dan penggalian hukum dari al-Qur’an berdasarkan pendapat tabi’in al-tabi’in,
yakni mereka yang hidup sezaman dengan tabi’in serta beriman dan bertaqwa. Metode
penafsiran terakhir ini tidak disepakati para pakar hukum Islam. Peringkat terakhir
adalah penafsiran dan pemahaman hukum dari al-Qur’an berdasarkan pendapat akal
atau ijtihad
Metode al-Qur’an dalam penggalian hukum sebagaimana diuraikan di atas
merujuk kepada dua aliran dalam penafsiran al-Qur’an yakni metode al-Matsur dan al-
Ra’yu. Penafsiran al-Qur’an aliran ialah suatu penafsiran al-Qur’an berdasarkan metode-
metode: 1. Metode penafsiran berdasarkan penafsiran ayat dengan ayat lainnya dalam
Al-Qur’an, 2. Penafsiran berdasarkan apa yang dijelaskan Rasulullah yang ia jelaskan
kepada para sahabatnya, 3. Penafsiran para sahabat berdasar ijtihadnya.
sedangkan aliran yang kedua yakni al-Tafsir bi al-Ray ialah bentuk penafsiran
berdasarkan ijtihad. Penafsiran ini dilakukan oleh mufassir yang telah mengetahui
bahasa Arab dengan sempurna, mengetahui Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turunnya al-
Qur’an), dan berbagai persyaratan sebagai mufassir.’
Metode Sunnah
Metode sunnah ialah suatu metode dalam menentukan suatu hukum
berdasarkan Sunnah Rasululllah saw, baik ucapan, perbuatan maupun putusan-
putusannya. Akan tetapi, dalam perkembangnnya metode ini seperti halnya metode al-
Qur’an melewati perkembangan yang berjalan sejalan dengan ilmu pengetahuan dan
zaman. Dalam penggunaan Sunnah sebagai sumber hukum dan upaya-upaya
interpretasinya, terdapat dua aliran. Pertama adalah aliran yang boleh dikatakan aliran
literalisme. Aliran yang menafsirkan sunnah secara harfiah. Kedua, aliran yang
menafsirkan sunnah secara metafor yang dapat disebut spiritualisme. Aliran ini
menganggap bahwa hadits-hadits Nabi dalam arti ungkapan yang sesuai dengan tingkat
kemampuan intelektual dan kebudayaan masyarakat pada zamannya.
Metode Ijma’
Ijma’ itu dapat terwujud apabila ada empat unsur :
1. Ada sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (ijma’) tidak
mungkin ada kalau tidak ada sejumlah mujtahid, yang masing-masing
mengemukakan pendapat yang ada penyelesaian pandangan.
2. Bila ada kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap hukum syara’ tentang
suatu masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri,
kebangsaan atau kelompok mereka. Jadi, kalau mujtahid Makkah, Madinah, Irak,
Hijaz saja umpamanya yang sepakat terhadap suatu hukum syara’ tidak dapat
dikatakan ijma’ menurut syara’ kalau bersifat regional. Tetapi harus bertahap
internasional. Masalah mungkin terjadi ijma’ atau tidak, lain lagi persoalannya,
karena ada diantara ulama’ yang mengatakan mungkin dan ada pula yagn
mengatakan tidak mungkin.
3. Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum tidak
dapat dianggap ijma’ kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika
mayoritas setuju, sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan
pendapat.
4. Kesepakatan para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih
dahulu, sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.
metode qiyas
Menurut para ulama ushul fiqh, qiyas ialah menetapkan hukum suatu kejadian
atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada
suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Adapun rukun Qiyas yaitu :
1. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran)
atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat
membandingkan);
2. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara'
disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau
mahmul (yang dibandingkan);
3. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan
hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan
'illatnya; dan
4. 'IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'.
Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar
untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa qiyas adalah penarikan kesimpulan
atau inferensi dari suatu peristiwa hukum yang telah ditentukan oleh nash (Qur’an atau
Sunnah) untuk suatu peristiwa hukum yang belum ditentukan hukumnya oleh nash
karena di antara dua peristiwa hukum tersebut terdapat makna homonim yang disebut
illat. Qiyas dalam pengertian ini merupakan salah satu metode hukum Islam. Kesimpulan
hukum yang diperoleh dengan dengan metode Qiyas menjadi sumber hukum keempat
setelah Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.
Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut :
1. Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua
manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang
dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini
ditarik dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka
pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan
penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya. Dengan
demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama
makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia
kepada keseluruhan kehendak-Nya.
Dari prinsip umum tauhid ini, maka lahirlah prinsip khusus yang merupakan
kelanjutan dari prinsip tauhid ini, umpamanya yang berlaku dalam fiqih ibadah sebagai
berikut :
1. Prinsip Pertama : Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara —
Artinya bahwa tak seorang pun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai
zat yang wajib di sembah.
2. Prinsip Kedua : Beban hukum (takli’f) ditujukan untuk memelihara akidah
dan iman, penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs) dan pembentukan pribadi yang
luhur — Artinya hamba Allah dibebani ibadah sebagai bentuk/aktualisasi
dari rasa syukur atas nikmat Allah.
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu Azas
kemudahan/meniadakan kesulitan. Dari azas hukum tersebut terumuskan kaidah-kaidah
hukum ibadah sebagai berikut :
1. Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’ — yaitu pada pokoknya ibadah itu
tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa
saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya ;
2. Al-masaqqah tujlibu at-taysiir — Kesulitan dalam melaksanakan ibadah akan
mendatangkan kemudahan
Prinsip Keadilan
2. Prinsip keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/
moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur‟an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-
mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-
Hadid: 25.
Term „keadilan‟ pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau
kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek.
Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili
bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, seba Allah tidak mendapat
keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan
maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas
prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan
masyarakat.(10)
Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam
praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang
menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai
kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu : ..
Artinya : Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyeempit maka
menjadi luas; apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.
Teori „keadilan‟ teologi Mu‟tazilah melahirkan dua terori turunan, yaitu :
1. al-sala’h wa al-aslah dan
2. al-Husna wa al-qubh.
Dari kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :
1. Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan”
— perbuatan tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia
2. Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektif
sehingga dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik.
Demikian halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal
sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.
3. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/
moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur‟an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-
mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-
Hadid: 25.
Term „keadilan‟ pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau
kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek.
Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili
bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, seba Allah tidak mendapat
keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan
maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas
prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan
masyarakat.(10)
Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam
praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang
menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai
kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu : ..
Artinya : Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyeempit maka
menjadi luas; apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.
Teori „keadilan‟ teologi Mu‟tazilah melahirkan dua terori turunan, yaitu :
3. al-sala’h wa al-aslah dan
4. al-Husna wa al-qubh.
Dari kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :
3. Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan”
— perbuatan tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia
4. Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektif
sehingga dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik.
Demikian halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal
sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/
moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur‟an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-
mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-
Hadid: 25.
Term „keadilan‟ pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau
kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek.
Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili
bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, seba Allah tidak mendapat
keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan
maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas
prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan
masyarakat.(10)
Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam
praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang
menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai
kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu : ..
Artinya : Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyeempit maka
menjadi luas; apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.
Teori „keadilan‟ teologi Mu‟tazilah melahirkan dua terori turunan, yaitu :
5. al-sala’h wa al-aslah dan
6. al-Husna wa al-qubh.
Dari kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :
5. Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan”
— perbuatan tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia
6. Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektif
sehingga dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik.
Demikian halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal
sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.
4. Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam
disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi,
argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti
luasyg mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan
komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam
beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun: 5)
5. Prinsip Persamaan/Egalite
6. Prinsip At-Ta‟awun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang
diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.
7. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak
terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya — tegasnya toleransi hanya dapat diterima
apabila tidak merugikan agama Islam.
Wahbah Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran
penerapan ketentuan Al-Qur‟an dan Hadits yang menghindari kesempitan dan kesulitan,
sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syari‟at
ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan
ibadah saja tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil,
hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain sebagainya.
FILSAFAT KETATANEGARAAN
Algazali adalah pemikir yang mempunyai pandangan politik dan pemikir politik
yang memeberikan pengertian politik lebih luas dari pada pengertian politik yang
berkembang dewasa ini. Menurut Algozali, politik ialah segala upaya unutk memperbaiki
kehidupan makhluk Allah dan menunjukan ke jalan yang benar dan menyelamatkan
mereka di dunia dan akhirat. Nilai politik tertinggi baginya adalah politik para nabi sebab
obyek mereka meliputi aspek lahir batin.
Ketatanegaraan dan pemerintah (khalifah) dalam pandangan Algazali adalah
termasuk ke dalam bidang fiqh, bukan bidang yang diurus oleh kaum teolog atau pun
para filosof. Pendiriaanya ini kiranya dijadikan Algazali untuk menentang teori-teori
politik golongan mutakallim sebelumnya, seperti Mu’tazilah, Syi’ah, dan para filosof
muslim lainnya.
Penempatan khilafah dan permasalahannya di dalam bidang fiqh menjadikannya
sebagai persoalan hukum yang mana ukuran-ukuran fiqh menjadi tolok ukur dan alat
penilaiannya. Jika demikian, maka masalah khilafah dalam arti pemerintahan dan
ketatanegaraan dapat diselesaikan berdasarkan , dan sesuai dengan, kontek ruang dan
waktu di mana kaum muslimin berada. Pola dan tipe serta corak pemerintahan dan
ketatanegaraan tidak wajib dan mesti sama bagi seluruh umat Islam.
Jika Algazali dalam pandangan politiknya merupakan perwakilan anak
zamannya, maka pada abad kedua puluh kita jumpai Ali Abd al-Raziq, penulis al-Islam wa
Ushul al-ahkam (1925). Ia berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw., tidaklah
mendirikan suatu daulah (state) melainkan hukmah (pemerintahan; goverment).
Menurutnya, adanya pemerintahan adalah suatu keharusan, dan pemerintahan dalam
arti hukmah itulah yang dilaksanakan dalam sejarah sl-khilafah. Ia menolak al-khilafah
sebagai suatu political system atau sistim politik Islam. Nabi, menurutnya, tidak
mempunyai misi atau mengemban misi Allah untuk mendirikan negara. Masalah-
masalah yang mengatur peradilan, jabatan-jabatan pemerintahan, pusat-pusat
pemerintahan, semuanya itu diserahkan kepada umat Islam untuk menentukannya
berdasarkan akal dan pengalman-pengalamannya serta kaidah-kaidah politiknya.
FILSAFAT EKONOMI
Ekonomi islam didefinisikan sebagai suatu upaya untuk merealisasikan
kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka
yang seirama dengan maqhasid, tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan
keseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan atau menguatkan
solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat.
Paradigama islam tidak sekularis, netral nilai, materialis, sosial-Darwinisme. Ia
tidak mengandalkan pasar dan pemerintah dalam merealisasikan visinya. Ia justru
mengandalkan peran integral dari nilai-nilai dan lemabga-lembaga, pasar, keluarga,
masyarkat dan negarauntuk menjamin kesejahteraan semua orang. Ia lebih
menekankan perubahan sosial melaui suatu reformasi pada tingkat individu dan
masyarakat.
Fundamental, dasr keimanan pokok islam adalah tauhid yang terhimpun dalam rukun iman yang enam.
Islam mengajarkan bahwa material dan spiritual mesti seimbang, saling berhubungan, dan tidak boleh ada pemisahan yang menonjol
Adanya konsep keimanan terhadap adanya hari berbangkit sehingga memotivasi seseorang untuk berpikir jangka panjang.
Konsep khilafah yang menanggung amanah untuk mengelola alam. Terdapat konsensus bahwa kemiskinan suatu hal yang tidak disukai dan
kekayaan yang berlebihan yang di dapat dengan cara-cara yang tidak benar / menyebabkan ekstravaganza dan ketidakadilan dilarang.
Adanya konsep keadilan. Keadilan merupakan hasil pokok dari tauhid ( Ibnu Taimiyah)
Tidak ada positivisme. Adalah lancang bagi seorang jika manusia bersifat netral terhadap syarat dan kondisi (syariat) yang telah ditentukan oleh Alloh (prinsipal). Ini artinya tidak ada ruang netralitas nilai
Kaidah-kaidah ushul (legal maxim) bertentangan dengan optimum pareto (penggunaan sumber daya-sumber daya yang paling efisien dalam ilmu ekonomi konvensional) yang tidak mengakui solusi apapun yang menunut pengorbanan dari pihak sekelompok kecil (orang kaya) unutk meningkatkan kesejahteraan jumlah yang lebih banyak (orang miskin). Oleh karena itu, konsep optimum pareto tidak mendapatkan kedudukan tinggi dalam paradigma ekonomi islam. Sementara dalam perekonomian islamditentukan oleh maqashid syariah.
Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
1. Tauhid
2. Adil
3. Khilafah
4. Persaudaraan
5. Kerja dan produktifitas
6. Kepemilikan
7. Kebebasan dan tanggung jawab
8. Jaminan sosial
9. Nubuwwah
FILSAFAT JINAYAT
didalam hukum pidana Islam terdapat beberapa asas yang sebagiannya terdapat
pula di dalam hukum pidana yang di anut oleh Indonesia pada khususnya. banyak
cendekiawan muslim yang merumuskan beberapa asas dalam hukum pidana islam,
namun tidak ada kesepakatan yang bulat mengenai rumusan asas-asas ini. akan tetapi
jika diperhatikan, diantara asas-asas yang diajukan oleh masing-masing mereka tidak ada
satu pun yang saling bertentangan.
Seiring dengan berjalannya peradaban islam, khazanah keilmuan pun semakin
meningkat. Khususnya dalam fiqh, karena memang fiqh merupakan produk ijtihad yang
bersifat relatif. Sehingga faktor waktu, tempat dan keadaan pun sangat mempengaruhi
eksistentsi dari sebuah produk fiqih. Pemikiran-pemikiran mengenai hukum islam
bermunculan seiring dengan berkembangnya dunia pendidikan islam. Dari makalah ini,
penulis mencoba mengkaji sedikit tentang pemikiran Prof.Amin Suma yang cenderung
tekstual, sehingga beliau menginginkan fiqih jinayah dalam islam diadopsi oleh KUHP
yang sekarang ini berlaku di Indonesia.sebagai upaya menghapuskan dekolonialisasi.
Dan beliau menganggap bahwa fiqh jinayah lebih relevan untuk diterapkan, bahkan
beliau mengkritik anggapan mayoritas yang menganggap bahwa fiqh jinayah atau
hukum pidana islam sangat kejam dan tidak manusiawi. Tokoh pemikir selanjutnya
adalah Muhammad Sa’id al-Asymawi, seorang tokoh ulama kontemporer mesir yang
cenderung kontekstual dalam memahami hukum pidana islam. Beliau menafsirkan
Syariah sebagai sebuah Metode (manhaj) untuk menggapai Rahmat Allah, yang
merupakan tujuan dari islam itu sendiri, yakni sebagai agama Rahmata li al-‘alamin .
produk pemikirannya banyak mendatangkan kontroversi di kalangan ulama
kontemporer lainya. Diantaranya beliau menganggap bahwa hukum Napoleon yang
diterapkan mesir memenuhi ketentuan syariat. karena telah menampung dua hal
penting dari syari’at, yaitu unsur ketahanan (deterrence) dan hukuman (punitive). Tidak
hanya itu, al-‘Asymawi berpendapat, bahwa apabila suatu Negara ingin menerapkan
sistem hukum islam, maka terlebih dahulu rakyat dinegara tersebut harus benar-benar
bertakwa kepada Allah, sehingga memiliki kesiapan untuk tidak melakukan tindakan-
tindakan yang melanggar hukum. Dari dua corak pemikiran ini, dapat kita ambil sisi
positipnya untuk dijadikan bahan wawasan keilmuan bagi kita bersama,