Resume
-
Upload
1234resmidebby -
Category
Documents
-
view
71 -
download
0
Transcript of Resume
Tugas II
Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman
Pengendalian Menggunakan Varietas Tahan
Hanny Bie Rizki
1006113927
Program Studi Agroteknologi
Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian
Universitas Riau
Pengendalian Menggunakan Varietas Tahan
Resume :
Salah satu teknologi yang dapat dipakai untuk pengendalian hama adalah pemakaian
varietas tahan hama. Beck (1965) mengemukakan bahwa resistensi tanaman adalah semua ciri
dan sifat tanaman yang memungkinkan tanaman terhindar, mempunyai daya tahan atau daya
sembuh dari serangan serangga dalam kondisi yang akan menyebabkan kerusakan lebih besar
pada tanaman lain dari spesies yang sama. Painter (1951) mendefinisikan resistensi tanaman
sebagai sifat-sifat tanaman yang dapat diturunkan dan dapat mempengaruhi tingkat kerusakan
oleh serangga. Teetes (1996) menyatakan bahwa dalam praktek pertanian, resistensi tanaman
berarti kemampuan tanaman untuk berproduksi lebih baik dibandingkan tanaman lain dengan
tingkat populasi hama yang sama.
Secara umum, tanaman yang resisten mungkin saja diserang oleh hama, tetapi adanya
ketidaksesuaian sifat fisik dan kimia tanaman akan menekan perkembangan hama. Tanaman
yang toleran diartikan hama dapat berkembang dengan baik, tetapi hanya menyebabkan sedikit
kerusakan. Tanaman yang rentan akan menyebabkan hama berkembang baik dan
menyebabkan kerusakan yang berat.
Varietas resisten ini dapat digunakan dalam pengendalian hama. Menurut
Schoonhoven, et al. (1998), tanaman resisten dan musuh alami merupakan dua faktor dominan
untuk mengendalikan populasi serangga herbivor di alam. Pada pendekatan pengendalian
hama modern, pemanfaatan tanaman resisten menjadi faktor kunci pengaturan populasi hama
pada tanaman budidaya.
Varietas tanaman yang tahan terhadap hama merupakan salah satu komponen penting
dalam pengendalian hama secara terpadu. Oleh karena itu, pengadaannya terus diupayakan.
Varietas dengan ketahanan tunggal (vertical resistance) mudah dikalahkan oleh timbulnya
biotipe hama baru. Oleh sebab itu, diupayakan untuk menghasilkan varietas dengan ketahanan
horizontal atau ketahanan ganda (multiple resistance) atau multilini.
Resistensi terhadap hama dapat dilakukan secara konvensional, yaitu melalui seleksi
tanaman. Varietas tanaman tahan hama ini juga berkembang melalui teknologi rekombinan
DNA atau rekayasa genetika, misalnya dengan induksi resisten atau metode transgenik. Metode
ini memasukkan gen resisten ke dalam tanaman target.
Painter (1951) mengemukakan ada empat strategi dasar yang digunakan tanaman
sebagai mekanisme pertahanan dirinya untuk mengurangi kerusakan akibat serangan serangga
herbivor, yaitu:
1. escape atau menghindari serangan serangga berdasarkan waktu atau tempat, misalnya
tumbuh pada tempat yang tidak mudah diakses oleh herbivor atau menghasilkan bahan
kimia penolak herbivor (repellen),
2. tanaman toleran terhadap herbivor dengan cara mengalihkan herbivor untuk makan
bagian yang tidak penting bagi tanaman atau mengembangkan kemampuan untuk
melakukan penyembuhan (recovery) dari kerusakan akibat serangan herbivor,
3. tanaman menarik datangnya musuh alami bagi herbivor yang dapat melindungi tanaman
tersebut dari serangan herbivor, dan
4. tanaman melindungi dirinya sendiri secara konfrontasi menggunakan mekanisme pertahan
kimia atau mekanik, seperti menghasilkan toksin yang dapat membunuh herbivor atau
dapat mengurangi kemampuan herbovir untuk mencerna tanaman itu yang sering disebut
dengan antibiosis.
Sumarno (1992) menjelaskan bahwa suatu varietas tanaman dapat disebut tahan
apabila:
1. memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu menghindar atau pulih kembali dari
serangan hama pada keadaan yang akan mengakibatkan kerusakan pada varietas lain yang
tidak tahan,
2. memiliki sifat-sifat genetik yang dapat mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh
serangan hama,
3. memiliki sekumpulan sifat yang dapat diwariskan dan dapat mengurangi kemungkinan
hama untuk menggunakan tanaman tersebut sebagai inang,
4. mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan
varietas lain pada tingkat populasi hama yang sama.
Painter (1951) kemudian membagi mekanisme resistensi tanaman terhadap serangga
hama ke dalam 3 bentuk, yaitu:
1. Ketidaksukaan (non preferences), yaitu menolak kehadiran serangga pada tanaman. Kogan
dan Ortman (1978) mengganti istilah tersebut dengan antixenotis. Bentuk mekanisme
resistensi antixenotis dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
a. Antixenotis kimiawi, menolak karena adanya senyawa allelokimia. Misalnya, kumbang
mentimun Diabratica undecimpuntata menyenangi mentimun yang memiliki
kandungan kukurbitasin (suatu zat atraktan dan penggairah makanan), dan
b. Antixenotis fisik, menolak karena adanya struktur atau morfologik tanaman. Misalnya,
Conomorpha cramerella tidak menyukai meletakkan telurnya pada buah kakao yang
licin (halus) jika dibandingkan dengan buah kakao yang kasar,
2. Antibiotis, yaitu semua pengaruh fisiologis pada serangga yang merugikan dan bersifat
sementara atau yang tetap. Ini merupakan akibat dari serangga yang makan dan mencerna
jaringan atau cairan tanaman tertentu. Gejala-gejala akibat antibiotis pada serangga
diantaranya, adalah kematian larva atau pradewasa, pengurangan laju pertumbuhan,
peningkatan mortalitas pupa, ketidakberhasilan dewasa keluar dari pupa, imago tidak
normal, dan fekunditas serta fertilitas rendah, masa hidup serangga berkurang, terjadi
malformasi morfologik, kegagalan mengumpulkan cadangan makanan dan kegagalan
hibernasi, perilaku gelisah, dan abnormalitas lainnya. Menurut Kogan dan Ortman (1978)
gejala-gejala abnormal tersebut terjadi diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain adanya
metabolit toksik pada jaringan tanaman, seperti alkaloid, glukosid dan quinon; tidak ada
atau kurang tersedianya unsur nutrisi utama bagi serangga; ketidakseimbangan
perbandingan unsur-unsur nutrisi yang tersedia; adanya antimetabolit yang menghalangi
ketersediaan beberapa unsur nutrisi bagi serangga; dan adanya enzim-enzim yang mampu
menghalangi proses pencernaan makanan dan pemanfaatan unsur nutrisi oleh serangga.
Contoh beberapa kasus antibiotis, antara lain kandungan gosipol pada untuk ketahanan
Heliothis, pengurangan kadar asparagin pada varietas yang tahan terhadap wereng coklat
padi, kandungan DIMBOA (glucoside) pada jagung untuk ketahanan terhadap penggerek
batang jagung (Ostrinia sp),
3. Toleran yang merupakan respon tanaman terhadap serangga, sehingga beberapa ahli tidak
memasukannya dalam ketahanan. Beberapa faktor yang mengakibatkan tanaman toleran
terhadap serangan hama adalah kekuatan tanaman secara umum, pertumbuhan kembali
jaringan tanaman yang rusak, ketegaran batang, dan ketahanan terhadap rebah, produksi
cabang tambahan, pemanfaatan lebih efisien oleh serangga dan kompensasi lateral oleh
tanaman tetangganya. Misalnya, tanaman jagung yang memiliki volume perakaran yang
lebih besar lebih tahan terhadap kumbang akar jagung Diabrotica virgifera.
Ketahanan tanaman inang terhadap hama, dapat bersifat:
1. Genetik, yaitu sifat tahan yang diatur oleh sifat-sifat genetik yang dapat diwariskan.
Berdasarkan susunan dan sifat-sifat gen, ketahanan genetik dapat dibedakan menjadi:
a. monogenik, sifat tahan diatur oleh satu gen dominan atau resesif,
b. oligogenik, sifat tahan diatur oleh beberapa gen yang saling menguatkan satu sama
lain,
c. poligenik, sifat tahan diatur oleh banyak gen yang saling menambah dan masing-
masing gen memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap biotipe hama sehingga
mengakibatkan timbulnya ketahanan yang luas.
Ketahanan genetik juga dapat dibedakan menjadi beberapa tipe, yaitu:
a. Ketahanan vertikal, ketahanan hanya terhadap satu biotipe hama dan biasanya
bersifat sangat tahan tetapi mudah patah oleh munculnya biotipe baru. Tipe ini
dikendalikan oleh gen tunggal (monogenik) atau oleh beberapa gen (oligogenik) dan
hanya efektif terhadap biotipe hama tertentu. Van der Plank (1963) mengemukakan
bahwa secara umum sifat ketahanan vertikal mempunyai ciri-ciri: (1) biasanya
diwariskan oleh gen tunggal atau hanya sejumlah kecil gen, (2) relatif mudah
diidentifikasi dan banyak dipakai dalam program perbaikan ketahanan genetik, (3)
biasanya dikaitkan dengan hipotesis gen for gen, (4) menghasilkan ketahanan genetik
tingkat tinggi, tidak jarang mencapai imunitas, tetapi jika timbul biotipe baru maka
ketahanan ini akan mudah patah dan biasanya tanaman menjadi sangat rentan
terhadap biotipe tersebut, dan (5) biasanya menunda awal terjadinya epidemi, tetapi
apabila terjadi epidemi maka kerentanannya tidak akan berbeda dengan kultivar yang
rentan
b. Ketahanan horizontal atau ketahanan umum, ketahanan terhadap banyak biotipe
hama dengan derajat ketahanan agak tahan. Tipe ini disebut juga ketahanan
kuantitatif. Tanaman yang memiliki ketahanan ini masih menunjukan sedikit kepekaan
terhadap hama, tetapi memiliki kemampuan untuk memperlambat laju perkembangan
epidemi. Secara teoritis, ketahanan horizontal efektif untuk semua biotipe suatu hama.
Oleh karena itu, umumnya sulit dipatahkan meskipun muncul biotipe baru dengan
daya serang yang lebih tinggi. Varietas dengan tipe ketahanan ini dapat diperoleh
dengan cara mempersatukan beberapa gen ketahanan minor ke dalam suatu varietas
dengan karakter agronomik yang unggul melalui pemuliaan konvensional (Kush, 1997)
maupun non-konvesional (Arus dan Moreno-Gonzalez, 1993, Liu et al., 2000,
Witcombe dan Hash, 2000). Ciri-ciri khusus ketahanan horizontal adalah: (1) biasanya
memiliki tingkat ketahanan yang lebih rendah dibandingkan dengan tipe ketahanan
vertikal dan jarang didapat immunitas, (2) diwariskan secara poligenik dan
dikendalikan oleh beberapa atau banyak gen, dan (3) pengaruhnya terlihat dari
penurunan laju perkembangan epidemi.
Berdasarkan gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan varietas unggul
dengan tipe ketahanan horizontal lebih efektif terutama bila pada daerah pertanaman
terdapat beberapa biotipe hama karena varietas ini mempunyai beberapa gen
pengendali ketahanan (poligenik), sehingga mampu mengendalikan serangan
beberapa biotipe hama. Salah satu kerugian pemanfaatan varietas unggul dengan
ketahanan horizontal adalah sifat ketahanan ini masih memungkinkan terjadinya
infestasi oleh hama. Walaupun tingkat infestasi tersebut tidak menimbulkan kerugian
ekonomik, tetapi tingkat penerimaan konsumen mungkin menjadi rendah. Misalnya,
rendahnya permintaan konsumen atas buah yang luka atau sedikit berlubang, juga
hasil biji-bijian yang berubah warnanya akibat serangan hama (Sumarno, 1992).
c. ketahanan ganda, memiliki sifat tahan terhadap beberapa jenis hama.
2. Morfologi, yaitu sifat tahan yang disebabkan oleh sifat morfologi tanaman yang tidak
menguntungkan hama. Bentuk fisik dan struktur jaringan tanaman mempengaruhi
penggunaannya sebagai inang oleh serangga (Beck, 1965; Pathak, 1975). Pada tabel di
bawah ini dapat dilihat beberapa faktor fisik tanaman yang menyebabkan ketahanan dan
pengaruhnya terhadap serangga (Noris dan Kogan, 1980).
Tabel 1. Faktor fisik tanaman dan pengaruhnya terhadap serangga
Faktor-faktor tanaman Pengaruhnya terhadap seranggaKetebalan dinding sel, peningkatan kekerasan jaringan
Gangguan pada makan dan mekanisme peletakan telur
Pemulihan jaringan-jaringan yang terluka
Serangga mati setelah pelukaan awal
Kekokohan dan sifat-sifat lain dari batang
Gangguan pada makan, mekanisme peletakan telur, dehidrasi telur
Rambut-rambut Pengaruh pada makan, pencernaan, peletakan telur, daya gerak, menempel, pengaruh racun dan pengacauan oleh alelokimia kelenjar rambut, halangan sebagai tempat tinggal
Akumulasi lilin pada permukaan Pengaruh pada kolonisasi dan peletakan telurKandungan silica Abrasi kutikula, hambatan makanAdaptasi anatomi dari organ nonspesiifik dan struktur pelindung
Berbagai pengaruh
3. Ekologi, yaitu ketahanan tanaman yang disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan.
Ketahanan ekologi, baik apparent resistance maupun pseudo resistance, dikendalikan oleh
keadaan lingkungan. Ketahanan ekologi ini tidak diturunkan dan tergantung dari kekuatan
tekanan dari lingkungan. Terdapat tiga bentuk ketahanan ekologi, yaitu:
a. Pengelakan inang (escape), misalnya fenologi tanaman dan fenologi serangga sangat
jauh berbeda.
b. Ketahanan dorongan, misalnya ketahanan yang disebabkan adanya unsur hara N, P, K
yang sangat mempengaruhi populasi hama. Contohnya adalah Aphis sangat peka
terhadap kandungan N pada tanaman dan mempunyai respon negatif terhadap
kandungan K.
c. Ketahanan karena luput dari serangan hama. hal ini terjadi dikarenakan serangga
hama menyerang tanaman inang secara acak sehingga ada beberapa tanaman luput
dari serangan.
Pada tanaman transgenik, resistensi tidak akan bertahan lama jika spesies hama
mempunyai variabilitas genetik yang tinggi. Menurut Vrain (1999), ada beberapa cara yang
dapat dilakukan agar resistensi bertahan lama (durable), yaitu:
1. mentransfer gen resisten alami dari tanaman yang mengandung gen tersebut ke tanaman
target untuk mengaktifkan mekanisme pertahanan pada tanaman yang rentan,
2. percampuran sinyal biokimia yang ditukarkan antar hama dan tanaman selama interaksi
hama—tanaman terjadi,
3. ekspresi di sel tanaman dari protein yang bersifat toksik terhadap hama.
Wiryadiputra (1996) mengatakan bahwa ada beberapa keuntungan dengan
menggunakan varietas resisten dalam pengendalian hama antara lain:
1. mengendalikan populasi hama tetap di bawah ambang kerusakan dalam jangka panjang,
sehingga memungkinkan rotasi tanaman lebih singkat dan lebih baik,
2. tidak berdampak negatif pada lingkungan,
3. tidak membutuhkan alat dan teknik aplikasi tertentu,
4. tidak membutuhkan biaya tambahan lain.
Penggunaan tanaman resisten dapat meminimalkan kehilangan hasil panen akibat
serangan hama dan mengurangi pengeluaran untuk penggunaan pestisida. Selain itu, polusi
lingkungan dan keracunan pada hewan dan manusia juga menurun. Penggunaan tanaman
resisten juga dapat meningkatkan keanekaragaman spesies dan membatasi penyakit kompleks
yang berhubungan dengan hama. Dalam tataran operasional, pemanfaatan tanaman resisten
kompatibel untuk dikombinasikan dengan hampir semua taktik pengendalian.
Selain menguntungkan, penggunaan tanaman resisten dalam pengendalian tanaman
juga mempunyai kelemahan. Liu, et al (2000) dan Witcombe and Hash (2000) menyatakan
bahwa penggunaan varietas dengan ketahanan tunggal (ketahanan vertikal) secara terus
menerus tidak efektif. Oka (1995) menyebutkan beberapa kelemahan penggunaan tanaman
resisten terhadap hama sebagai berikut:
1. daya tahan suatu varietas unggul yang berhasil dirakit sampai sekarang terbatas
menghadapi beberapa spesies hama saja,
2. varietas yang baru berhasil dirakit belum tentu disukai oleh petani dan konsumen karena
belum dapat memenuhi keinginan mereka, seperti rasa, umur tanaman, produktifitas, dan
lain-lain,
3. memperkenalkan varietas baru kepada petani memerlukan usaha penyuluhan yang intensif
dan memakan waktu,
4. biaya yang harus disediakan untuk mengganti varietas lama dengan yang baru cukup
banyak,
5. penelitian memerlukan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan satu varietas unggul
baru yang tahan terhadap satu spesies hama,
6. tidak mudah untuk menggabungkan faktor-faktor ketahanan dari suatu varietas atau
organisme ke dalam varietas baru.
Masalah lainnya yang juga perlu diperhatikan adalah resistensi hama. Berdasarkan
pengamatan yang telah dilakukan, diketahui bahwa hama serangga dapat beradaptasi dengan
faktor resisten, sehingga perkembangan serangga menjadi resisten. Untuk mengendalikan
populasi hama tanaman yang telah resisten terhadap pestisida maupun varietas tahan, selain
sulit, juga memerlukan biaya yang besar. Resistensi hama mempunyai basis genetik,
lingkungan, dan faktor ekologi yang mempengaruhi perkembangan resistensi tersebut.
Resistensi ini selayaknya dapat dikendalikan dengan manajemen resistensi yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Arus, P. and J. Moreno_Gonzalez, 1993. Marker-assisted selection. In Plant Breeding, Priciples and prospects. Ed. M.D. Hayward, N.O. Bosemark, and I. Ramagosa. Chapman & Hall, London-Glasgow-New York-Toyo- Melbourne-Madres.
Beck, S.D. 1965. Resistance of Plant to Insects. Ann. Rev. Entomol.
Kogan, M. and E. F. Ortman. 1978. Antixenosis: A new Term Proposed to Define Painter’s “Non preference” Modality of Resistance. Entomol. Soc. Am. Bull. 24:175-176.
Kush, G.S. 1997. Genetic of and breeding for resistance to the brown planthopper. Plant Breeding Departement. IRRI. Los-Banos, Philippines.
Liu, J., D. Liu, W. Tao, W. Li, S. Wang, P. Chen, and D. Gao, 2000. Molecular marker-facilitated pyramiding of different genes for powdery mildew resistance in wheat. Plant Breeding. 119 : 21-24.
Oka, I.N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
Painter, R.H. 1951. Insect Resistance in Crop Plants. The Mac Millan Company, New York. 520 pp.
Schoonhoven, L.M., T. Jermy and J.J.A. van Loon. 1998. Insect-Plant Biology, from Physiology to Evolution. London:Chapman & Hall.
Sumarno, 1992. Pemuliaan untuk ketahanan terhadap hama. Prosiding symposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur.
Teetes, G.L. 1996. Plant Resistance to Insects: A Fundamental Component of IPM. http://ipmworl.umn.edu/chapters/teetes.htm. (akses Januari 2008).
Vrain. T.C. 1999. Engineering natural and synthetic resistance for nematode management. Journal of Nematology. 31 (4) : 424-436.
Wiryadiputra, S., 1996. Resistance of Robusta coffea to coffee root lesion nematode, Pratylenchus coffeae. Pelita Perkebunan. 12(3) : 137-148.
Witcombe, J.R. and C.T. Hash, 2000. Resistance gen deployment strategies in cereal hybrids using marker-assisted selection: Gene pyramiding, three-way hybrids, and synthetic parent population. Euphytica. 112 : 175-186.