responsi PPOK edited

33
Makalah Manajemen Penyakit Paru Obstruktif Kronik Disusun Oleh: Dody Wahyu 0510710045 Rizki 0510710114 Nurul Idayu binti M.Padzil 0510714013 Pembimbing: dr. Teguh R. Sartono, Sp.P (K)

Transcript of responsi PPOK edited

Page 1: responsi PPOK edited

Makalah

Manajemen Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Disusun Oleh:

Dody Wahyu 0510710045

Rizki 0510710114

Nurul Idayu binti M.Padzil 0510714013

Pembimbing:

dr. Teguh R. Sartono, Sp.P (K)

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR MALANG

Page 2: responsi PPOK edited

2010

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), merupakan penyakit kronik yang

ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang tidak

sepenuhnya reversibel. PPOK akhir-akhir ini menjadi penyakit yang semakin

menarik untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitasnya yang

terus meningkat (Riyanto, 2006).

PPOK merupakan penyakit paru-paru yang menghancurkan dan

merampas kemampuan seorang manusia untuk bernafas. WHO memperkirakan

bahwa PPOK membunuh lebih dari 2,75 juta jiwa per tahunnya. penyakit itu

merupakan penyebab kematian nomor empat di dunia bersama dengan

HIV/AIDS. WHO bahkan memprediksi pada tahun 2030, PPOK akan menjadi

penyebab kematian nomor tiga di dunia. Hal ini dikaitkan dengan seiring

meningkatnya penggunaan tembakau dan rokok di seluruh dunia (Riyanto,

2006).

Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat

mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan

119.000 meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK

menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit

serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai $24 milyar

per tahunnya. WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi

PPOK akan meningkat. Akibat  sebagai penyebab penyakit tersering

peringkatnya akan meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab

kematian akan meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Berdasarkan survey kesehatan

rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial

menduduki peringkat ke-6 (Riyanto,2006).

Meningkatnya usia hidup manusia dan dapat diatasinya penyakit

degeneratif lainnya PPOK sangat mengganggu kualitas hidup diusia lanjut.

Bidang industri yang tidak dapat dipisahkan dengan polusi udara dan lingkungan

serta kebiasaan merokok merupakan penyebab utama.

1

Page 3: responsi PPOK edited

2

Page 4: responsi PPOK edited

BAB 2

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat

dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak

sepenuhnya reversibel, bersiffat progresif, dan berhubungan dengan respon

inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun atau berbahaya, disertai efek

ekstra-paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit (PDPI, 2009).

Menurut WHO, PPOK merupakan penyakit paru-paru obstruksi kronis

yang ditandai oleh aliran udara paru-paru yang mengganggu pernapasan normal

dan tidak sepenuhnya reversibel. Sedangkan menurut American Thoracic

Society (ATS) tahun 1995, PPOK didefinisikan sebagai keadaan penyakit kronis

yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara akibat bronkitis kronis dan

emphysema. Pada tahun 2009, The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung

Disease (GOLD) mendefinisikan PPOK sebagai gangguan aliran udara yang

kronis dengan beberapa perubahan patologis pada baru disertai efek ekstra

pulmonal dan berbagai komorbiditas yang dapat berpengaruh terhadap derajat

beratnya penyakit (GOLD, 2009).

Bronkitis kronik dan emfisema merupakan dua penyakit yang digolongkan

dalam PPOK, namun tidak dimasukkan dalam definisi PPOK karena bronkitis

kronik merupakan diagnosa klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosa

patologis. Selain itu, keduanya tidak selalu mencerminkan gangguan dalam

aliran udara pada saluran napas (PDPI, 2009). Bronkitis kronik merupakan

kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan

dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan

penyakit lainnya. Emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru yang

ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai

kerusakan dinding alveoli. Terdapat tiga jenis emfisema berdasarkan lokasinya,

yaitu emfisema sentriasinar (sentrilobular), emfisema panasinar (panlobular), dan

emfisema paraseptal (Robbins dan Kumar,2007).

3

Page 5: responsi PPOK edited

2.2 Prevalensi dan Insiden

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada

Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 bronkitis kronik dan emfisema

menduduki peringkat ke 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10

penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka

kematian karena bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke 6 dari 10

penyebab tersering kematian di Indonesia. Faktor yang berperan dalam

peningkatan penyakit tersebut (Riyanto, 2006):

Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)

Pertambahan penduduk

Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an

menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an

Industrialisasi

Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di

pertambangan

Data menurut The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung

Disease (GOLD) pada tahun 2004 memperlihatkan PPOK diderita tiga kali lebih

banyak oleh warga dewasa yang usianya lebih dari 40 tahun. Paling tidak 10

persen dari orang dewasa yang usianya lebih dari 40 tahun kemungkinan

menderita PPOK. Data baru itu memperlihatkan bahwa pengidap penyakit paru-

paru lebih dari tiga kali lipat dibandingkan perkiraan umum sebelumnya. Data

yang disiarkan itu merupakan hasil awal dari dua kajian internasional di Brazil,

Chili, China, Meksiko, Turki dan Uruguay (Riyanto, 2006).

Penemuan awal itu memperlihatkan bahwa PPOK menjangkiti antara

10 sampai 15 persen orang dewasa yang berusia di atas 40 tahun di negara-

negara yang diteliti. Statistik sebelumnya yang disusun oleh (WHO)

memperkirakan bahwa kurang dari satu persen masyarakat yang berusia antara

45 sampai 60 tahun dan kurang dari empat persen masyarakat yang berusia 60

tahun menderita PPOK (Riyanto, 2006).

2.3 Etiologi

Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK.

Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel

epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag

dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang

4

Page 6: responsi PPOK edited

merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat diatasi

dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya antiprotease terhadap

dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi

terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat

reaktif seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah

diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis karena

substansi ini dapat meningkatkan penghancuran antiprotease (Fitriani, 2009).

Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronchial,

hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula

disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus

yang berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang bermanifestasi sebagai

bronkhitis kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis. Pada parenkim paru,

penghancuran elemen struktural yang dimediasi protease menyebabkan

emfisema. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas

recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya

sokongan pada saluran udara kecil non-kartilago. Keseluruhan proses ini

mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan timbulnya gejala

patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK (Fitriani, 2009).

Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau

kurang terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan

hypoxemia (PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah

(V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari alveoli yang tidak berperfusi atau kurang

berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd), menyebabkan pembuangan CO2 yang

tidak efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi

keadaan ini, yang kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk

mengatasi resistensi saluran napas yang telah meningkat, pada akhirnya proses

ini gagal, dan terjadilah retensi CO2 pada beberapa pasien dengan PPOK berat

(Fitriani, 2009).

2.4 Faktor Resiko

Merokok sekarang ini merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya

PPOK di negara maju. Sebanyak 85% hingga 90% pasien dengan PPOK

memiliki riwayat merokok. PPOK dapat terjadi pada perokok aktif maupun

perokok pasif. Namun dilain pihak, hanya 15% dari perokok yang akan mengidap

PPOK, mengindikasikan sepertinya terdapat faktor konstitusional atau genetik

5

Page 7: responsi PPOK edited

yang menentukan resiko berkembangnya obstruksi saluran napas pada

seseorang. Defisiensi α1-anti-trypsin merupakan satu-satunya faktor resiko

terkait genetik yang diketahui sampai saat ini, namun kecenderungan PPOK

untuk berkembang pada keluarga tertentu mengindikasikan terdapat faktor

herediter lainnya yang belum teridentifikasi. Polusi udara seperti paparan

okupansional terhadap debu dan gas telah terkait dengan perkembangan PPOK.

Polusi udara dapat berasal dari dalam ruangan seperti asap rokok ataupun

kompor, dan dapat berasal dari luar seperti debu dan asap kendaraan bermotor.

Faktor resiko lainnya yang berimplikasi klinis termasuk adanya infeksi saluran

napas berulang, bayi berat lahir rendah, gangguan pertumbuhan paru pada janin,

dan status sosioekonomi rendah (Fitriani, 2009).

2.5 Patofisiologi

Perubahan patologi pada PPOK ditemukan pada saluran napas

proksimal, perifer, parenkim, dan vaskular paru. Asap rokok dan berbagai partikel

gas beracun lainnya menyebabkan proses inflamasi kronis pada paru, ditandai

oleh peningkatan jumlah sel inflamasi berupa neutrofil, makrofag, dan sel T

sitotoksik. Proses inflamasi tersebut mengakibatkan perubahan struktur yang

berbeda pada setiap bagian paru, mengakibatkan cedera dan penyembuhan

yang berulang. Proses inflamasi pada paru ini juga diperberat oleh adanya stres

oksidatif dan peningkatan jumlah protease pada paru. Terjadinya eksaserbasi

dapat memperberat respon inflamasi pada PPOK, yang seringkali dipicu oleh

adanya infeksi bakteri atau virus (GOLD, 2009).

Perubahan fisiologis yang terjadi pada PPOK antara lain hipersekresi dari

mukus, keterbatasan aliran udara paru, air trapping, dan gangguan pertukaran

gas. Terdapat berbagai gangguan sistemik yang dapat berkaitan dengan

bertambah beratnya PPOK, antara lain yaitu anoreksia, muscle wasting,

peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler, anemia, osteoporosis, dan depresi

(GOLD, 2009)

2.6 Klasifikasi

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD) 2009, dibagi atas 4 derajat:

Derajat Klinis Faal paru

6

Page 8: responsi PPOK edited

Derajat I: PPOK Ringan

Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tapi tidak sering.

-VEP1/KVP < 70%-VEP1 ≥ 80% prediksi

Derajat II: PPOK

Sedang

Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum.

-VEP1/KVP < 70%-50 < VEP1 < 80% prediksi

Derajat III: PPOK Berat

Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi makin sering

- VEP1/KVP < 70%-30 < VEP1 < 50% prediksi

Derajat IV: PPOK Sangat

Berat

Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen.

- VEP1/KVP < 70%- VEP1<30% prediksi atau VEP1 < 50% disertai gagal napas kronik.

2.7 Gambaran Klinis

PPOK memiliki tiga gejala klinis utama adalah batuk kronis, produksi

sputum, dan sesak napas yang bertambah saat aktivitas (Reilly, et al., 2005).

Gejala awal yang ditemukan pada PPOK tahap awal (PPOK stage I) adalah

batuk kronis dan produksi sputum. Pada derajat ini pasien tidak menyadari

bahwa fungsi paru sudah menurun. Gejala-gejala ini dapat terjadi selama

bertahun-tahun sebelum timbulnya limitasi pada jalan napas, dan gejala-gejala ini

seringkali diabaikan oleh pasien, dan seringkali dianggap sebagai bagian dari

proses penuaan. Gejala pada tahap selanjutnya (PPOK stage II) adalah sesak

yang sering mengganggu aktivitas sehari-hari pasien. Pasien-pasien PPOK

umumnya mulai mencari pengobatan jika sudah dalam stage ini. Pada PPOK

tahap yang berat (PPOK stage III) terjadi jika obstruksi jalan napas sudah

semakin parah, dimana gejala-gejala yang terjadi antara lain batuk dan produksi

sputum terus berlanjut, sesak yang bertambah parah, yang amat berpengaruh

dalam kualitas hidup pasien. Pada tahap yang sangat berat (PPOK stage IV) dan

muncul gejala-gejala lain seperti gagal napas, gagal jantung kanan, dan

penurunan berat badan. Pada derajat ini kualitas hidup pasien sangat memburuk

dan eksaserbasi dapat mengancam jiwa (GOLD, 2009).

Terjadinya sesak pada PPOK, dapat dideskripsikan sebagai peningkatan

usaha napas, rasa berat untuk bernapas, atau terjadinya gasping, yang makin

lama makin memberat, terutama karena aktivitas. Peningkatan obstruksi aliran

udara pada PPOK juga diikuti bertambah seringnya serangan/eksaserbasi.

Pasien juga mungkin mengalami sesak saat isirahat dan membutuhkan terapi

oksigen (Reilly, et al., 2005).

7

Page 9: responsi PPOK edited

2.8 Diagnosa

Diagnosis untuk PPOK dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan

batuk kronis, produksi sputum, sesak yang memberat dengan aktivitas, dan

riwayat adanya faktor-faktor resiko untuk terjadinya PPOK, seperti usia >40

tahun dan riwayat merokok, atau riwayat terpapar polusi udara dalam waktu lama

(PDPI, 2009). Diagnosa untuk PPOK dapat diperoleh dari anamnesa,

pemeriksaan, dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan

radiologis dan spirometri.

Anamnesa untuk PPOK antara lain diarahkan kepada ada tidaknya

paparan faktor resiko seperti perokok aktif maupun pasif, paparan polusi udara

atau debu. Jenis aktivitas fisik yang dapat dilakukan pasien dan sejauh mana

penurunan kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari juga perlu

ditanyakan, karena pasien PPOK umumnya mengalami penurunan kemampuan

untuk melakukan aktivitas fisik terutama yang membutuhkan kerja lengan dan

gerak bahu secara signifikan. Awalnya pasien PPOK hanya merasakan sesak

ketika melakukan aktivitas berat, dan seiring bertambahnya perjalanan penyakit,

pasien lama-kelamaan akan merasa sesak walaupun hanya melakukan aktivitas

ringan saja (Reilly, et al., 2005).

Adanya riwayat penyakit dahulu seperti gangguan jalan napas sejak kecil

juga perlu ditanyakan, seperti asma, riwayat alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi

saluran napas saat anak-anak. Adanya penyakit yang serupa dalam keluarga,

riwayat serangan terdahulu, adanya riwayat penyakit lain seperti penyakit

jantung, riwayat pengobatan sebelumnya, dan riwayat perubahan sosial yang

terjadi terhadap pasien setelah PPOK terjadi juga perlu ditanyakan (GOLD,

2009).

Pada pemeriksaan fisik pada fase awal PPOK, mungkin tidak ditemukan

adanya kelainan sama sekali. Pada perokok dapat ditemukan tanda-tanda

perokok aktif, seperti nafas yang berbau rokok dan nicotine staining pada kuku-

kuku jari (Reilly, et al., 2005).

Gejala-gejala pada PPOK mulai terlihat seiring memberatnya perjalanan

penyakit. Dari inspeksi dapat ditemukan barrel chest, yang merupakan tanda

adanya hiperinflasi pada paru, pursed-lip breathing, dan posisi tripod, yaitu pada

pasien dengan obstruksi jalan napas yang berat. Posisi ini dapat memaksimalkan

8

Page 10: responsi PPOK edited

penggunaan otot-otot tambahan pernapasan, antara lain otot

sternocleidomastoideus, scalenus, dan otot-otot intercostalis. Dari palpasi dinding

thoraks dapat ditemukan sela iga yang melebar dan cekung. Perkusi paru

menjadi hipersonor. Terjadi penambahan volume paru, letak diafragma menjadi

lebih rendah dan hepar tertekan ke bawah. Dari auskultasi terdengar suara

ekspirasi yang memanjang, suara napas melemah, dan bunyi jantung yang

menjauh. Pada pasien PPOK dapat terjadi sianosis yang tampak pada bibir dan

kuku jari. Pada pasien emfisema lebih jarang ditemukan sianosis, sedangkan

pada pasien bronkitis kronis, sianosis lebih sering ditemukan (Reilly, et al., 2005).

Pada perjalanan penyakit yang lanjut dapat ditemukan keadaan

penurunan berat badan yang signifikan, wasting pada bitemporal, dan kehilangan

lemak subcutan secara menyeluruh. Hal ini dihubungkan dengan intake oral yang

seringkali tidak adekuat serta peningkatan sitokin inflamasi yaitu (TNF-a). Cor

pulmonale dapat terjadi bila pemberian terapi oksigen tidak adekuat (Reilly, et al.,

2005).

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung diagnosa

PPOK antara lain pemeriksaan faal paru, pemeriksaan analisa gas darah,

pemeriksaan radiologis, baik foto thoraks konvensional maupun CT scan, dan

spirometri. Dari pemeriksaan faal paru dapat ditemukan tanda adanya obstruksi

aliran udara paru berupa penurun VEP1 dan VEP1/KVP. Seiring bertambah

buruknya perjalanan penyakit, volume paru meningkat, menyebabkan

peningkatan kapasitas total paru, kapasitas residu fungsional paru, dan volume

residu. Pada pasien emfisema, kapasitas paru secara menyeluruh dapat

berkurang, karena terjadinya destruksi dari alveoli. Derajat dari obstruksi aliran

udara paru menjadi factor penentu prognosis pada PPOK (Reilly, et al., 2005).

Pemeriksaan analisis gas darah (BGA) tidak sensitif untuk PPOK. BGA

hanya memberi informasi tambahan tentang ventilasi alveolar dan status asam

basa darah. Meskipun begitu, pemeriksaan BGA penting bagi pasien yang

mengalami eksaserbasi pada PPOK (Reilly, et al., 2005).

Pemeriksaan radiologis dapat membantu penegakan diagnosa PPOK bila

didapatkan kecurigaan dari gejala klinis yang timbul pada pasien. Dari

pengamatan foto thoraks, pada emfisema terjadi pembesaran volume paru, sela

iga yang melebar dan menjadi datar, diafragma menjadi rendah dan terjadi

9

Page 11: responsi PPOK edited

pendataran, vascular yang menipis, gambaran jantung yang menggantung, serta

dapat ditemukan adanya bulla, sedangkan pada bronkitis kronis gambaran

radiologis lebih dominan adalah bertambahnya corakan bronkovaskuler pada

paru, penebalan bronkiolus, dan peningkatan liner marking pada paru.

Pemeriksaan CT scan lebih sensitif untuk menegakkan diagnose emfisema pada

pasien PPOK daripada foto thorax konvensional (Gunderman, 2006).

Gambaran Radiologis Emfisema: gambaran hiperlusen pada paru, area yang avaskuler, arteri pulmonalis yang prominen dan pendataran dari diafragma (Shakeel, 2008).

Gambaran Radiologis Bronkitis Kronis:Corakan yang ramai dibagian basal paru (Shakeel, 2008).

Spirometri adalah metode yang dipilih sebagai gold standard dalam

menegakkan diagnosa PPOK. Adanya VEP1/KVP post bronkodilatasi yang

<70% dan VEP1<80% mengkonfirmasi adanya limitasi pada jalan napas yang

tidak sepenuhnya reversibel (GOLD, 2009). Pada tempat-tempat dimana fasilitas

10

Page 12: responsi PPOK edited

spirometri tidak tersedia diagnosa PPOK dapat ditegakkan secara klinis (PDPI,

2009).

2.9 Diagnosa Banding

PPOK merupakan penyakit paru yang onsetnya umumnya terjadi di usia

pertengahan (>40 tahun), dengan gejala progresiif yang lambat, ditemukan

riwayat merokok pada pasien, adanya sesak yang memberat dengan aktivitas,

dan hambatan aliran udara yang umumnya ireversibel (PDPI, 2009).Beberapa

diagnosa banding untuk PPOK antara lain (PDPI, 2009):

Diagnosis Gambaran KlinisAsma 1. Onset usia dini

2. Gejala bervariasi dari hari ke hari3. Gejala pada waktu malam/dini hari lebih menonjol4. Ditemukan riwayat alergi, rinitis, atau eczema5. Ada riwayat asma dalam keluarga6. Hambatan aliran udara umumnya reversibel

Gagal jantung kongestif

1. Adanya riwayat hipertensi2. Ditemukan ronkhi basah pada basal paru3. Gambaran foto thoraks berupa pembesaran jantung dan

edema paru4. Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan obstruksi

Bronkiektasis 1. Sputum purulen dalam jumlah yang banyak2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri3. Ronkhi basah kasar4. Gambaran foto thoraks tampak honeycomb appearance

dengan penebalan dinding bronkus.Tuberkulosis 1. Onset semua usia

2. Gambaran foto thoraks berupa infiltrat3. Ditemukan BTA pada pemeriksaan mikrobiologi

Bronkiolitis obliterasi 1. Usia muda2. Tidak merokok3. Dapat ditemukan riwayat adanya artritis reumatoid4. CT paru ekspirasi terlihat gambaran hipodens

Diffuse panbronchiolitis

1. Sering pada perempuan tidak merokok2. Seringkali berhubungan dengan sinusitis3. Pada foto rontgen dan CT paru resolusi tinggi

memperlihatkan bayangan diffuse nodul opak sentrilobular dan hiperinflasi.

2.10 Komplikasi

Komplikasi PPOK dapat bermacam-macam, diantaranya:

1. Gagal nafas

Akibat obstruksi jalan nafas maka terjadilah ketidakmampuan

paru-paru untuk menghirup oksigen yang cukup dan mengeluarkan

karbondioksida dari tubuh. Akibatnya dapat mengganggu keseimbangan

11

Page 13: responsi PPOK edited

asam dan basa (Leader, 2008). Gagal nafas juga dapat terjadi selama

eksaserbasi akut (Swierzewski, 2007).

2. Polisitemia Sekunder

Polisitemia pada penderita PPOK terjadi karena tubuh berusaha

untuk menyesuaikan terhadap penurunan jumlah oksigen di darah yaitu

dengan meningkatkan produksi sel darah merah, yang mana sel darah

merah berfungsi untuk mengangkut oksigen. Hal ini mungkin dapat

membantu untuk sementara waktu, namun produksi berlebihan bisa

menyebabkan darah menjadi kental, pada akhirnya bisa menyumbat

pembuluh darah kecil. Tanda dan gejala polisitemia sekunder adalah

kelemahan, sakit kepala, kelelahan, napas pendek, gangguan

penglihatan, wajah kemerahan, kebingungan, tinnitus, dan rasa terbakar

di tangan dan kaki (Swierzewski, 2007).

3. Cor Pulmonale ( Gagal jantung Kanan )

Pertukaran udara yang jelek pada penderita PPOK menyebabkan

menurunnya jumlah oksigen di darah sehingga timbul refleks spasme

percabangan-percabangan kecil arteri pulmonalis (hypoxic

vasoconstriction). Kesemuanya ini akan lebih meningkatkan tahanan

perifer dalam paru. Maka ventrikel kanan harus bekerja lebih keras,

sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan. Bila sudah tidak mampu lagi

mengkompensasi meningkatnya tahanan perifer intrapulmonal, maka

akan terjadi kegagalan jantung kanan (Danusantoso, 2000). Tanda dan

gejala gagal jantung kanan antara lain pembengkakan ekstemitas bawah

yaitu kaki, dispneu, tidak mampu mentoleransi latihan, sianosis,

meningkatnya vena leher (Leader, 2008).

4. Pneumothoraks

Pneumothoraks terjadi karena adanya lubang yang berkembang di

paru-paru, menyebabkan udara keluar menuju rongga antara paru dan

dinding dada dan menyebabkan paru-paru kolaps. Pada penderita PPOK

terjadi peningkatan risiko untuk terjadinya perkembangan lubang secara

spontan karena lemahnya struktur paru (Swierzewski, 2007). Tanda dan

gejala pneumothoraks antara lain nyeri dada yang mendadak dan tajam,

12

Page 14: responsi PPOK edited

tambah parah apabila batuk atau bernafas dalam, dispneu, sesak.

takikardi, dan sianosis (Leader, 2008).

5. Hipertensi Pulmonal

Normalnya, darah yang mengalir melalui pembuluh darah paru

mempunyai tahanan yang kecil, dan secara normal melebar untuk

mengalirkan darah dari jantung ke paru untuk mengambil oksigen dan

mengalirkannya ke seluruh tubuh. Pada hipertensi pulmonal, pembuluh

darahnya konstriksi manjadi sempit dan tebal. Hal tersebut menyebabkan

sedikit darah yang mengalir di pembuluh darah, tekanan dalam pembuluh

darah menjadi meningkat dan otot jantung bekerja keras untuk memompa

darah. Tanda dan gejala hipertensi pulmonal antara lain nafas pendek

keika pertama kali beraktivitas dan bahkan waktu istirahat, nyeri dada,

kelemahan, kelelahan, pingsan, bengkak pada kaki (Leader, 2008).

6. Malnutrisi

Malnutrisi menjadi komplikasi PPOK yang dapat disebabkan

karena dispneu, yang merupakan gejala utama PPOK membuat penderita

sangat sulit untuk menyelesaikan makannya, dan penderita menjadi

kehilangan nafsu makan. Tanda dan gejala bisa bermacam-macam mulai

dari yang ringan sampai sangat berat. Gejala umum berupa kelelahan,

pusing, penurunan berat badan, dan kelemahan sistem imun (Leader,

2008).

7. Penyakit paru tahap akhir

Saat gagal nafas terjadi pada pasien yang mempunyai penyakit

paru tahap akhir, akan terjadi penurunan dengan lambat fungsi paru dan

meningkatnya kadar karbondioksida dalam darah. Meningkatnya

karbondioksida menyebabkan efek narkotik pada pasien, sehingga pasien

hilang kesadaran dan berhenti bernafas (Mayo Clinic Staff. 2009).

2.11 Penatalaksaan

Penatalaksaan yang tepat pada PPOK meliputi beberapa program, yaitu

(1) evaluasi dan monitoring penyakit, (2) mengurangi faktor resiko, (3)

tatalaksana PPOK yang stabil, dan (4) tatalaksana PPOK dengan

13

Page 15: responsi PPOK edited

eksaserbasi. Manajemen utama untuk PPOK derajat I dan II antara lain

dengan menghindari faktor resiko, mencegah progresivitas PPOK, dan

penggunaan obat-obatan untuk mengontrol gejala dari PPOK, sedangkan

untuk PPOK derajat III dan IV memerlukan manajemen terapi yang lebih

terpadu dengan berbagai pendekatan untuk membantu pasien dalam

melewati perjalanan penyakitnya. Selain pendekatan farmakologis, edukasi

dan nasihat pada pasien, diperlukan juga konseling untuk penghentian rokok,

olahraga, kebutuhan nutrisi, dan perawatan untuk pasien.

Setelah pasien didiagnosa PPOK, ada beberapa tujuan terapi yang ingin

dicapai, antara lain (PDPI, 2009):

1. Mengurangi gejala penyakit

2. Mencegah progresivitas penyakit

3. Meningkatkan toleransi aktivitas

4. Meningkatkan kualitas hidup penderita

5. Mencegah dan mengobati komplikasi

6. Mencegah dan mengobati eksaserbasi ulang

7. Menurunkan angka kematian

2.11.1 Evaluasi dan Monitoring Penyakit

Kunjungan pada fasilitas kesehatan akan diperlukan lebih sering seiring

dengan bertambah beratnya penyakit. Beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam

perjalanan PPOK antara lain (1) paparan pasien terhadap faktor resiko, (2)

perjalanan penyakit dan timbulnya komplikasi, (3) perjalanan pengobatan yang

telah dilakukan pasien, (4) riwayat terjadinya eksaserbasi, dan (5) adanya

penyakit lain yang menyertai. Monitor penting yang harus dilakukan pada PPOK

adalah gejala klinis dan fungsi paru. Timbulnya gejala klinis yang baru dan

perubahan keterbatasan pada aliran udara dapat menyebabkan perubahan pada

terapi (GOLD, 2009).

Beberapa monitoring yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya

kemungkinan timbulnya komplikasi pada pasien PPOK antara lain (GOLD, 2009):

1. Pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri bila timbul gejala baru atau

komplikasi

2. Pemeriksaan BGA

3. Evaluasi hemodinamik paru, untuk mencari kemungkinan timbulnya

hipertensi pulmonal

14

Page 16: responsi PPOK edited

4. Evaluasi ada tidaknya tanda-tanda gagal jantung kanan atau cor-

pulmonal

5. Pemeriksaan hematokrit untuk mengetahui adanya tanda-tanda

polisitemia

6. Pemeriksaan fungsi otot-otot pernapasan

7. Pemeriksaan kualitas tidur

8. Pemeriksaan ketahanan fisik dalam latihan

2.11.2 Menurunkan Faktor Resiko

Dalam mencegah berkembangnya PPOK maupun mencegah

progresivitas PPOK, terdapat beberapa faktor resiko yang dapat dihindari, antara

lain dengan cara berhenti merokok, menghindari polusi dan debu di tempat kerja

dan tempat terbuka. Berhenti merokok merupakan intervensi yang paling efektif

dalam menanggulangi resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat

progresivitas penyakit. Selain dari kesadaran individu untuk berhenti merokok,

hal ini dapat pula didukung oleh kebijakan pemerintah pusat atau daerah dalam

bentuk peraturan tentang merokok di tempat umum. Masyarakat perlu

disadarkan bahaya merokok baik untuk perokok itu sendiri maupun terhadap

orang-orang di sekitarnya. Kebijakan terhadap penanggulangan polusi juga

mendukung terhadap program pencegahan PPOK di masyarakat (GOLD, 2009).

2.11.3 Penatalaksanaan PPOK Stabil

Kriteria PPOK stabil adalah pasien tidak dalam kondisi gagal napas akut

pada gagal napas kronik, dapat pula dalam kondisi gagal napas kronik stabil,

yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60

mmHg, dahak jernih tidak berwarna, aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai

derajat berat PPOK (hasil spirometri), penggunaan bronkodilator sesuai rencana

pengobatan dan tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan.

Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil adalah untuk

mempertahankan fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup dan mencegah

eksaserbasi. Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai

evaluasi berkala, sedangkan penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi

penderita PPOK berat yang harus menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.

Obat-obatan bronkodilator adalah pilihan utama untuk menanggulangi

gejala yang timbul pada PPOK. Bronkodilator dapat berfungsi untuk meredakan

15

Page 17: responsi PPOK edited

gejala dan dapat pula mencegah eksaserbasi. Beberapa pilihan bronkodilator

yang dapat digunakan antara lain golongan β2 agonis, antikolinergik, dan xantin,

yang dapat digunakan tunggal atau dikombinasikan (GOLD, 2009). Pengobatan

diini dengan bronkodilator anti kolinergik kerja lama pada PPOK derajat II/sedang

dapat memperlambat laju penurunan fungsi paru Penggunaan bronkodilator long

acting (LABA) terbukti lebih efektif untuk PPOK dibandingkan yang short acting

(SABA). Kombinasi antara LABA dan glukokortikosteroid lebih efektif

menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki fungsi paru serta kualitas hidup

(PDPI, 2009). Penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang harus dihindari

karena buruknya efek samping yang dapat ditimbulkan (GOLD, 2009).

Pemberian vaksinasi influenza dan pneumonia dapat dipertimbangkan

pada pasien dengan usia diatas 60 tahun dan pasien PPOK derajat sedang,

berat, dan sangat berat. Pemberian mukolitik pada eksaserbasi dapat member

perbaikan, dan pemberian antioksidan dapat mengurangi frekuensi eksaserbasi.

Terapi oksigen jangka panjang pada pasien gagal napas dapat meningkatkan

harapan hidup. Rehabilitasi medis juga disarankan untuk dilakukan mulai PPOK

derajat II, dengan tujuan mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup

pasien (PDPI, 2009).

Berikut dibawah ini merupakan algoritmen manajemen pada PPOK stabil (PDPI,

2009) :

16

Algoritme PPOK stabil

EDUKASI NON FARMAKOLOGIFARMAKOLOGI

-rehabilitasi

-terapi oksigen

-vaksinasi*

-nutrisi

-ventilasi mekanis non invasif

-intervensi bedah

REGULER

Bronkodilator

-antikolinergik

-Agonis 2

-Xantin

-kombinasi

SABA+antikolinergik

-kombinasi

LABA+kortikosteroid

-Antioksidan

-berhenti merokok

-pengetahuan dasar PPOK

-obat-obatan

-pencegahan perburukan

penyakit

-menghindari pencetus

-penyesuaian aktivitas

Page 18: responsi PPOK edited

Berikut adalah tabel karakteristik dan rekomendasi pengobatan berdasarkan

derajat PPOK (PDPI, 2009) :

Derajat Karakteristik Rekomendasi PengobatanSemua derajat -Edukasi (hindari faktor resiko)

-Bronkodilator kerja singkat (SABA, antikolinergik kerja cepat, xantin) bila perlu-Vaksinasi influenza

Derajat I: PPOK Ringan

-VEP1/KVP < 70%-VEP1 ≥ 80% prediksi-dengan atau tanpa gejala

-Bronkodilator kerja singkat (SABA, antikolinergik kerja cepat, xantin) bila perlu

Derajat II: PPOK Sedang

-VEP1/KVP < 70%-50 < VEP1 < 80% prediksi -dengan atau tanpa gejala

1. Pengobatan regular dengan bronkodilator:a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaanb.LABAc.simtomatik2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)

Derajat III: PPOK Berat

-VEP1/KVP < 70%-30 < VEP1 < 50% prediksi -dengan atau tanpa gejala

1. Pengobatan regular dengan 1 atau lebih bronkodilator:a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaanb.LABAc.simtomatikd. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respons klinis atau eksaserbasi berulang2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)

Derajat IV: PPOK Sangat

Berat

-VEP1/KVP < 70%-VEP1<30% prediksi atau gagal napas atau gagal jantung kanan.

1. Pengobatan regular dengan 1 atau lebih bronkodilator:a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaanb.LABAc.simtomatikd. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respons klinis atau eksaserbasi berulang2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)3. Terapi oksigen jangka panjang bila gagal napas4. ventilasi mekanis non invasive5. pertimbangkan terapi pembedahan

17

Page 19: responsi PPOK edited

2.11.4 Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi

Gejala eksaserbasi adalah seperti batuk semakin sering/hebat, produksi

sputum bertabah banyak, sputum berubah warna,sesak napas bertambah,

keterbatasan aktivitas bertambah, terdapat gagal napas akut pada gagal napas

kronik, dan kesadaran menurun. Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga yaitu

tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas, tipe II (eksaserbasi sedang),

memiliki 2 gejala di atas dan tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas

ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,

peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan >

20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline. Penyebab eksaserbasi akut

terbagi kepada primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus) dan

sekunder yaitu pneumonia, gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia, emboli

paru, pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat penggunaan

obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (DM,

gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkunagn memburuk/polusi udara, aspirasi

berulang dan stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi).

Penatalaksanaan eksaserbasi akut dapat dilakukan di poliklinik rawat

jalan, unit gawat darurat, ruang rawat dan ruang Intensive Care Unit (ICU).

Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK adalah dengan enam cara yaitu

optimalisasi penggunaan obat-obatan, terapi oksigen, terapi nutrisi, rehabilitasi

fisis dan respirasi, evaluasi progresifiti penyakit, dan edukasi. Optimalisasi

penggunaan obat-obatan seperti bronkodilator yaitu agonis β2 kerja singkat

kombinasi dengan antikolinergik melalui inhalasi (nebulizer),kortikosteroid

sistemik, antibiotik yaitu golongan akrolid baru (Azitromosin, Roksitromisin,

Klaritromisin), golongan kuinolon.

Indikasi rawat yaitu jika ada peningkatan gejala seperti sesak dan batuk

saat tidak beraktivitas, PPOK dengan derajat berat, terdapat tanda-tanda

sianosis dan atau edema, disertai penyakit komorbid yang lain, sering

eksaserbasi, didapatkan aritmia, diagnostik yang belum jelas, usia lanjut, infeksi

saluran napas berat dan gagal napas akut pada gagal napas kronik. Indikasi

rawat ICU adalah apabila pasien merasakan sesak berat setelah penanganan

adekuat di ruang gawat darurat atau ruang gawat, kesadaran menurun, letargi

atu kelemahan otot-otot respirasi, setelah pemberian oksigen tetapi terjadi

hipoksemia atau pemburukan PO2 < 50mmHg atau PCO2 > 50mmHg

memerlukan ventilasi mekanis (invasif atau non invasif), memerlukan

18

Page 20: responsi PPOK edited

penggunaan ventilasi mekanis invasif, dan terjadi ketidakstabilan hemodinamik.

Tujuan perawatan ICU adalah sebagai pengawasan dan terapi intensif, hindari

inturbasi, bila diperlukan intubasi gunakan pola ventilasi mekanik yang tepat dan

mencegah kematian.

Algoritme Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut di Rumah dan

Pelayanan Kesehatan Primer/Puskesmas

Algoritme Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut di Rumah Sakit

19

Inisiasi atau peningkatan frekuensi terapi bronkodilator

Nilai ulang dalam beberapa jam

Lanjutkan tatalaksana, kurangin jika mungkin

Tambahan kortikoseroid oral Antibiotik bila ada tanda infeksi Diuretik bila ada kelebihan cairan

Tidak terjadi penyembuhan atau perbaikanPerbaikan tanda dan gejala

Perburukan tanda atau gejala

Niali ulang tanda/gejala selama 2 hari

Ke dokter

Tatalaksana jangka panjang

Rujuk ke rumah sakit

Nilai berat gejala (kesadaran, frekuensi napas, pemeriksaan fisis) Analisis gas darah Foto thoraks

1. Terapi oksigen2. Bronkoditor3. Antibiotik

- Agonis β2

- Intrevena: metilxantin, bolus dan drip4. Kortikosteroid sistemik5. Diuretik bila ada retensi cairan

Mengancam jiwa (gagal napas akut) Tidak mengancam jiwa

Ruang rawatICU

Page 21: responsi PPOK edited

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), merupakan penyakit kronik

yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang

tidak sepenuhnya reversible. Akhir-akhir ini penyakit ini semakin menarik

untuk dibicarakan oleh karena prevalensi dan angka mortalitasnya yang terus

meningkat. Penting bagi dokter umum untuk memahami penegakan

diagnosis PPOK, yang diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik, serta

didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat.

Penatalaksaan yang tepat pada PPOK meliputi beberapa program,

yaitu (1) evaluasi dan monitoring penyakit, (2) mengurangi faktor resiko, (3)

tatalaksana PPOK yang stabil, dan (4) tatalaksana PPOK dengan

eksaserbasi. Manajemen utama untuk PPOK derajat I dan II antara lain

dengan menghindari faktor resiko, mencegah progresivitas PPOK, dan

penggunaan obat-obatan untuk mengontrol gejala dari PPOK, sedangkan

untuk PPOK derajat III dan IV memerlukan manajemen terapi yang lebih

terpadu dengan berbagai pendekatan untuk membantu pasien dalam

melewati perjalanan penyakitnya.

Penggunaan bronkodilator adalah pilihan utama untuk menanggulangi

gejala yang timbul pada PPOK, dimana bronkodilator dapat berfungsi untuk

meredakan gejala dan dapat pula mencegah eksaserbasi. Beberapa pilihan

bronkodilator yang dapat digunakan antara lain golongan β2 agonis,

antikolinergik, dan xantin, yang dapat digunakan tunggal atau

dikombinasikan. Selain itu berbagai terapi lain juga dapat diberikan pada

penderita PPOK, seperti kortikosteroid inhalasi ataupun sistemik, mukolitik,

anti oksidan, dan terapi oksigen, tergantung pada derajat berat penyakitnya.

Selain pendekatan farmakologis, edukasi dan nasihat pada pasien,

diperlukan juga konseling untuk penghentian rokok, olahraga, kebutuhan

nutrisi, dan perawatan untuk pasien. Manajemen yang tepat dapat

menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien PPOK, serta sangat

berperan dalam meningkatkan kualitas hidup pasien.

20

Page 22: responsi PPOK edited

DAFTAR PUSTAKA

Danusantoso, Halim. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Hipokrates. Jakarta,

hal 178-179.

Fitriani, Feni dkk. 2009. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Sebagai Penyakit

Sistemik. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Perspirasi FKUI.

Jakarta.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy

for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive

Pulmonary Disease. National Institutes of Health. National Heart, Lung and

Blood Institute, Update 2009.

Gunderman, RB. 2006. Essential Radiology, Second Edition. New York: Thieme

Medical Publisher

Leader, Deborah. 2008. Overview of Respiratory Failure.

http://PPOK.about.com/od/complicationsofPPOK/a/respfailure.htm. Diakses

22 Juli 2010.

Leader, Deborah. 2008. PPOK Complications: Secondary Polycythemia.

http://PPOK.about.com/od/complicationsofPPOK/a/polycythemia.htm.

Diakses 22 Juli 2010

Leader, Deborah. 2008. Cor Pulmonale : AKA right-Sided Heart Failure.

http://PPOK.about.com/od/complicationsofPPOK/a/corpulmonale.htm.

Diakses 22 Juli 2010.

Leader, Deborah. 2008. What is Pneumothorax?

http://PPOK.about.com/od/complicationsofPPOK/a/pneumothorax.htm.

Diakses 22 Juli 2010.

Leader, Deborah. 2008. What is Pulmonary Hypertension?

http://PPOK.about.com/od/complicationsofPPOK/a/pulmonaryhtn.htm.

Diakses 22 Juli 2010.

21

Page 23: responsi PPOK edited

Leader, Deborah. 2009. What is Malnutrition?

http://PPOK.about.com/od/PPOKglossarylo/g/malnutrition.htm. Diakses 22

Juli 2010.

Leader, Deborah. 2010. What is Exacerbation?

http://PPOK.about.com/od/PPOK/a/PPOKexac.htm. Diakses 22 Juli 2010.

Mayo Clinic Staff. 2009. Complications.

http://www.mayoclinic.com/health/PPOK/DS00916/DSECTION=complications

. Diakses 22 Juli 2010.

PDPI. 2009. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Jakarta.

Reilly JJ, Silverman EK, Shapiro SD. 2005. Harrison’s Principles of Internal

Medicine 16th Edition: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. New York:

McGraw Hill Professional.

Riyanto BS, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Obstruksi Saluran

Pernafasan Akut. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, 2006. p.

984-5.

Robbins dan Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC

Shakeel Amanullah, MD, Lancaster General Hospital. 2008.

Pneumothorax. /http://emedicine.medscape.com/article/360090-imaging.

Diakses 24 Juli 2010

Shakeel Amanullah, MD, Lancaster General Hospital. 2008. Pneumonia.

http://emedicine.medscape.com/article/360090-imaging. Diakses 24 Juli

2010.

Swierzewski, SJ. 2007.Chronic Obstructive Pulmonary Disease.(online)

(http://www.pulmonologychannel.com/PPOK/complications.shtml. Diakses 22

Juli 2010.

22