Responsi PPOK
description
Transcript of Responsi PPOK
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan suatu penyakit yang
ditandai oleh hambatan udara secara kronis dan perubahan patologi pada paru,
dimana hambatan udara saluran nafas bersifat progresif dan berhubungan dengan
respon inflamasi yang abnormal dari paru – paru terhadap gas dan partikel yag
berbahaya. Bentuk PPOK dibagi menjadi dua bentuk penyakit, antara lain empisema
yang ditandai dengan destruksi dan pelebaran alveoli paru serta bronkitis kronis yang
biasanya ditandai dengan batuk berdahak kronis.1
Penyakit paru obstruksi kronis semakin sering menjadi topik pembahasan
dikarenakan angka mortalitas dan prevalensinya terus meningkat. Kasus di Amerika
Serikat menunjukkan pasien terdiagnosis PPOK yang mengunjungi unit gawat
darurat mencapai angka 1,5 juta jiwa, di mana sekitar 726.000 pasien memerlukan
perawatan inap di rumah sakit.2,3,4 PPOK merupakan penyebab kematian terbanyak
keempat di Amerika Serikat dan jumlah penduduk yang mengalami PPOK di sana
diperkirakan sudah lebih dari 16 Juta jiwa. Tahun 2020 diperkirakan PPOK akan
menjadi penyakit penyebab kematian tersering ketiga di dunia.
Terdapat banyak faktor risiko yang diduga merupakan etiologi PPOK.
Faktor – faktor risiko yang dimaksud seperti paparan partikel, stres oksidatif, jenis
kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama hidupnya.
Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok
dan debu - debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai
penyebab PPOK. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada
akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon
inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan
peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar
terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan
dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan
yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Asma memiliki faktor risiko terhadap
kejadian PPOK, dimana didapatkan dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi
Study of Airway Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan
mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.
Kondisi eksaserbasi akut sering dikaitkan dengan PPOK. Seorang pasien
PPOK dikatakan mengalami suatu eksaserbasi akut apabila pasien mengalami
perburukan yang bersifat akut seperti peningkatakan dispneu dan frekuensi batuk
yang meningkat serta perubahan karakteristik sputum.Gejala-gejala ini juga bisa
diikuti gejala yang tidak khas seperti malaise, dan sulit tidur. Eksaserbasi akut
biasanya distimuli oleh berbagai faktor, diantaranya adalah infeksi, polutan, dan obat
sedatif. Infeksi merupakan penyebab tersering dalam terjadinya eksaserbasi akut
PPOK. Bentuk infeksi yang tersering adalah pneumonia dan bakteri-bakteri yang
sering menginfeksi adalah streptococcus pneumoniae.Untuk itu diperhitungkan
pemberian antibiotik yang adekuat pada pasien eksaserbasi akut PPOK oleh karena
infeksinya.
Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau
produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya
dipikirkan sebagai PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan melalui pemeriksaan
spirometri paksa bronkhodilator. Perasaan rasa sesak nafas dan dada terasa
menyempit merupakan gejala non spesifik yang dapat bervariasi seiring waktu yang
dapat muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK.
Dari pemeriksaan fisik pada PPOK dini tidak dijumpai kelainan, sedang
pada PPOK yang lanjut dari inspeksi dapat dijumpai pursed-lip breathing, barrel
chest, penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga.
Dari pemeriksaan fremitus melemah, pada perkusi dijumpai hipersonor, sedangkan
dari auskultasi dijumpai suara napas melemah, ekspirasi memanjang, terdapat ronki
kering atau mengi, bunyi jantung terdengar jauh. Pemeriksaan foto toraks didapatkan
gambaran hiperinflasi, hiperlusen, diapragma mendatar, corakan bronkovaskuler
meningkat, bulla, jantung pendulum.
Manajemen terhadap pasien PPOK dengan eksaserbasi akut biasanya
dilakukan rawat inap bila ditemukan indikasi rawat inap pada pasien PPOK. Prinsip
medikamentosa pada eksaserbasi akut PPOK antara lain pemberian bronkodilator,
antibiotik yang adekuat, dan glukokortikoid.1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. ANAMNESIS
Laki-laki, 75 tahun datang ke Rumah Sakit Sanglah pada tanggal 19 Januari
dengan keluhan utama sesak nafas.
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas. Keluhan sesak dialami oleh pasien
sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Sesak dirasakan di seluruh
permukaan dada. Sesak dikatakan seperti ada yang mengganjal di daerah dada,
sehingga pasien terasa sulit bernafas terutama saat menghembuskan nafas. Sesak
nafas yang dialami pasien disertai suara ngik - ngik. Sesak nafas seperti ini sudah
sering dialami pasien sejak sekitar 15 tahun yang lalu. Dalam sehari pasien
mengalami sesak sebanyak 1 - 2 kali atau terkadang tidak muncul. Sesak nafas yang
dialami pasien selama 15 tahun tersebut membaik dengan pengobatan inhaler (nama
obat?). Namun 7 hari ini sesak dirasakan memberat dan tidak membaik dengan obat
tersebut. Dalam seharinya sesak muncul 2 - 3 kali. Sesak nafas biasanya muncul bila
pasien melakukan aktivitas seperti berjalan ± 10 m dan saat naik tangga ± 5 anak
tangga.
Keluhan lain :
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 7 hari SMRS. Keluhan ini dirasakan
muncul oleh pasien bersamaan dengan sesak nafasnya. Batuk yang dikeluhkan pasien
berdahak dan dahaknya dikatakan kental berwarna putih tanpa darah. Riwayat
perubahan warna pada dahaknya disangkal. Dalam sekali batuk pasien mengeluarkan
dahak ± 1 sendok teh. Batuk dirasakan memberat ketika sesak dan saat beraktivitas,
keluhan ini berkurang saat pasien beristirahat.
Ketika dilakukan pemeriksaan tanggal 20 Januari 2012, pasien masih
mengeluhkan sesak nafas tetapi lebih membaik dibandingkan hari sebelumnya,
Keluhan batuk juga dirasakan membaik, lebih ringan dari sebelumnya. Pasien batuk
tidak lebih dari 5 kali perhari, dengan sputum yang berwarna jernih. Sekitar ¼ sendok
teh setiap kali batuk.
a. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien sudah sering mengalami sesak nafas dan batuk sejak 15 tahun. Pasien
seringkali memeriksakan diri ke rumah sakit dengan keluhan yang sama dan
diberikan obat inhaler. Riwayat penyakit seperti TB paru, kanker paru dan asma
disangkal oleh pasien.
b. Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien memiliki riwayat merokok sejak muda, sejak usia remaja, saat itu
pasien merokok hingga 5 batang perharinya. Pasien biasanya merokok setelah
beraktivitas dan setelah makan. Tetapi saat ini pasien sudah berhenti merokok ±
20 tahun yang lalu.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami TB Paru dan asma.
2.2 PEMERIKSAAN FISIK
a. Pemeriksaan Umum
Kesan sakit sedang, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg,
nadi 84 x/menit reguler isi cukup, respirasi 28 x/menit reguler, dengan ekspirasi
memanjang, suhu badan 37 0C temperature axila. Berat badan 55 kg, tinggi badan
168 cm, Body Mass Index (BMI) 19,49 kg/m2 dan Berat Badan Ideal (BBI) 61,2
kg.
a. Pemeriksaan Khusus
Pada pasien tampak nafas cuping hidung, disertai penggunaan otot bantu
penapasan, dengan mulut sedikit membuka. Pada pemeriksaan thoraks, dari
jantung inspeksi iktus kordis tak tampak, palpasi iktus kordis tidak teraba, perkusi
batas jantung atas adalah intracosta 2, batas jantung kanan parasternal line
dekstra, batas jantung kiri intercosta 5 midclavicula line sinistra, pada auskultasi
terdengar suara jantung S1 tunggal S2 tunggal reguler tanpa murmur. Pada
pemeriksaan thoraks paru dari inspeksi gerakan paru terlihat simetris, bentuk
thoraks mengembung dengan diameter anteroposterior sama dengan diameter
latero-lateral, tulang punggung melengkung, angulus costae > 900 dimana sela iga
melebar. Untuk palapasi thoraks ditemukan vokal fremitus yg menurun pada
kedua lapang paru. Pada perkusi paru ditemukan suara hipersonor pada kedua
lapang paru. Suara nafas bronkial pada kedua lapang paru yang ditemukan pada
auskultasi, ditemukan juga ronkhi dan wheezing pada kedua lapang paru disertai
ekspirasi yang memanjang.
2.1 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap (19/1/ 2012)
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks
WBC 26,40 103µL 4,10-11,00 Tinggi
% NEUT 89,80 % 47,00-80,00 Tinggi
% LYMPH 35,70 % 13,00-40,00
% MONO 5,40 % 2,00-11,00
% EOS 0,60 % 0,00-5,00
% BASO 0,00 % 0,00-2,00
RBC 5,09 106µL 4,50 – 5,90
Hemoglobin 14,10 g/dL 13,50-17,50
Hematokrit 41,70 % 41,00-53,00
Platelet 345,00 103µL 150,00-440,00
MCV 81,90 fL 80,00-100,00
MCH 27,70 Pg 26,00-34,00
MCHC 33,80 g/dL 31,00-36,00
RDW 14,80 % 11,60-14,80
MPV 7,60 fL 6,80-10,00
Kesan : peningkatan leukosit pada infeksi bakterial.
Analisa Gas Darah (19/1/2012)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Remarks
pH 7,25 - 7,35-7,45 Rendah
pCO2 47,00 mmHg 35-45 Tinggi
pO2 67,00 mmHg 80-100 Rendah
HCO3- 20,10 mmol/l 22-26 Rendah
TCO2 21,50 mmol/l 24-30 Rendah
BE (B) -7,60 mmol/l -2 – 2 Rendah
SO2c 89,00 % 95 – 100 Rendah
Natrium 136,00 mmol/l 136-145
Kalium 3,80 mmol/l 3,5-5,1
Kesan : Asidosis respiratorik dengan upaya kompensasi alkalosis metabolik yang
belum terkompensasi.
Foto Thorax AP
Keterangan :
Pada cardio tidak membesar dan tak tampak kelainan dengan CTR 52%. Pada
paru tampak infiltrat pada paracardial dekstra dan empisematos lung. Sinus pleura
kanan dan kiri tajam. Diafragma tampak normal dan tulang-tulang tak tampak
kelainan. Kesan, cardio dalam batas normal, PPOK dan pneumonia.
EKG
Keterangan :
Irama sinus, axis normal, heart rate 76 x/menit, tidak ditemukan gelombang
ST-T change dan LVH. Kesimpulan dari EKG normal.
2.2 DIAGNOSIS
PPOK Eksaserbasi Akut
Pneumonia Komuniti,
2.3 PENATALAKSANAAN
Terapi yang diberikan awat inap, IVFD NS 14 tetes/menit, diberikan oksigen
1-2 Liter/menit dengan menggunakan nasal kanul. Untuk diet diberikan diet tinggi
kalori tinggi protein (40 kkal/kgBB/hari + 1,2 gr protein/kgBB/hari) dengan
rendah karbohidrat dan garam. Nebulizer combivent setiap 6 jam. Levofofloxacin
injeksi diberikan 1 kali sehari dengan dosis 750 mg melalui intravena, metyl
prednisolone injeksi diberikan 2 kali sehari dengan dosis 62,5 mg melalui
intravena. Bromhexin sirup diberikan 3 kali sehari dengan dosis 1 sendok takar 5
cc.
Rencana Kerja
Direncanakan dilakukan pemeriksaan sputum, terdiri dari sputum gram,
kultur, sensitivitas tes dan dilakukan Spirometri bila pasien dalam keadaan
membaik dan stabil.
Monitoring
Yang perlu di monitoring adalah tanda-tanda vital, seperti : tekanan darah,
nadi, respiratori rate dan suhu tubuh. Dan juga keluhan yang dirasakan, seperti
sesak, batuk (ada atau tidak disertai dahak), panas dan lemas badan yang
dikeluhkan oleh pasien.
BAB III
PEMBAHASAN
Penegakan diagnosis penyakit PPOK eksaserbasi akut pada pasien laki - laki, 75
tahun, menikah, suku Bali di atas berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah suatu penyakit paru yang ditandai
dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang ireversibel. Gejala klinis yang
dapat terjadi diantaranya adalah sesak napas, batuk yang sering disertai dengan
produksi sputum, serta terbatasnya aktifitas. Pada pasien ditemukan keluhan utama
berupa sesak napas kurang lebih sejak 15 tahun yang memburuk sejak 7 hari sebelum
masuk rumah sakit, dirasakan berat dan tidak membaik dengan perubahan posisi
tubuh. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya takipneu (28 kali per menit),
pelebaran sela iga pada thorax dan menggembung yaitu terjadinya peningkatan
diameter pada anterior posterior thorax. Selain itu ditemukan adanya fokal fremitus
yang menurun pada bagian lesi dan perkusi yang hipersonor pada kedua lapangan
paru. Terdapat pula ekspirasi yang memanjang, wheezing pada kedua lapang paru
serta ronkhi. Pada pasien PPOK terjadi obstruksi jalan nafas yang mengakibatkan
udara sulit untuk keluar yang menimbulkan gejala berupa dispneu. Gejala dispneu
pada PPOK terjadi karena adanya limitasi dari aliran udara dan peningkatan resistensi
dari dinding saluran nafas, yang mana disebabkan oleh adanya bronkitis kronis atau
emfisema. Pada bronkitis kronis terjadi pembesaran dari kelenjar seromukus subepitel
di tracheobrokial tree dan adanya inflamasi dari saluran nafas kecil (respiratori
bronciolitis), penyempitan bronkiolus dan obstruksi intra luminal yang disebabkan
oleh adanya mukus, sehingga terjadi limitasi sampai obstruksi dari aliran udara.
Sedangkan pada emfisema terjadi perusakan elastin alveolus yang menyebabkan
penurunan rekoil alveoli terjadi jebakan udara (air trapping) di alveoli bagian distal.
Dengan adanya kedua hal tersebut maka terjadi gangguan ventilasi yang bermanifes
sebagai sesak nafas.2,4
Sesak napas itu sendiri merupakan usaha tubuh untuk mengeluarkan udara
dengan napas cepat. Hambatan pengeluaran udara ini akan menimbulkan suara napas
tambahan berupa wheezing, pemanjangan ekspirasi serta usaha tubuh untuk
membantu pengeluaran udara tersebut dengan digunakannya otot napas tambahan.
Kerusakan struktural dan fungsional yang berakibat pada penumpukan udara pada
alveolus ini akan menurunkan hantaran getaran suara ke permukaan tubuh, pada
perkusi didapatkan suara hipersonor. Penyakit Paru Obstruksi Kronis sering
dihubungkan dengan faktor risiko, di antaranya adalah merokok yang merupakan
faktor risiko mayor, polusi lingkungan dan infeksi paru kronis.2,4 Pada pasien ini
ditemukan riwayat merokok yang sudah lama dengan jumlah rokok yang dihabiskan
sehari mencapai 5 batang.Walaupun pasien sudah berhenti merokok sejak ± 20 tahun
yang lalu, namun penurunan fungsi dan kerusakan struktural yang terjadi adalah
irreversible.
Memberatnya gejala sesak dan batuk sejak 7 hari SMRS dan disertai dahak
pada pasien ini sesuai dengan gejala eksaserbasi akut pada PPOK. Eksaserbasi akut
pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya
dimana terdapat 3 gejala eksaserbasi berupa sesak yang bertambah, peningkatan
jumlah sputum dan perubahan warna sputum menjadi purulen. Eksaserbasi dapat
disebabkan oleh infeksi atau faktor – faktor lain seperti polusi udara, kelelahan atau
timbulnya komplikasi, dan sepertiga dari eksersebasi akut penyebabnya tidak dapat
diidentifikasi.2 Pada pasien ini eksaserbasi akut dapat diinduksi oleh kemungkinan
adanya infeksi. Infeksi dapat berperan sebagai faktor pencetus karena dengan adanya
infeksi maka inflamasi yang sudah ada semakin memberat sehingga penyempitan
saluran nafas makin meningkat. Hal ini dapat ditandai dengan produksi sputum
meningkat dan perubahan warna sputum.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya vokal fremitus yang menurun,
perkusi hipersonor, dan auskultasi suara ronkhi pada lapang paru. Dari gejala-gejala
tersebut di atas, dapat dicurigai adanya sebuah infeksi dan peradangan paru.
Pneumonia adalah salah satu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Gejala peradangan yang biasanya timbul adalah demam, batuk disertai dahak mukoid
atau purulen, kadang-kadang darah, sesak napas dan nyeri dada.2,5 Untuk memastikan
diagnosis pneumonia dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa thorax x-ray,
hitung darah lengkap, kultur sputum, dan analisis gas darah.
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto thorax,
EKG, hitung darah lengkap, dan analisis gas darah. Dari foto thorax pertama
didapatkan kesan tampak infiltrat para cardial dektra dan empisematos lung, hasil ini
mendukung adanya sebuah pneumonia dan penyakit paru obstruktif kronis. Dari hasil
hitung darah lengkap didapatkan adanya neutrofil yang menandakan terjadinya
infeksi. Dari hasil EKG didapatkan hasil yang normal. Dan dari hasil analisi gas
darah, didapatkan adanya hiperkapnia dan asidosis respiratorik, ini menandakan
adanya gangguan oksigenasi dan ventilasi.
Penatalaksanaannya di RS antara lain:
Rawat inap
Perawatan di RS pada pasien eksaserbasi akut PPOK dilakukan karena
didapatkan tanda eksaserbasi berat berupa sesak yang memberat dan berkepanjangan,
adanya peningkatan produksi sputum, dan perubahan warna sputum menjadi purulen.
Selain itu adanya komplikasi berupa hiperkapnia dan asidosis respiratorik serta
infeksi parenkim paru (pneumoni) dan perburukan kondisi umum pasien yang disertai
malnutrisi membutuhkan perawatan yang lebih intensif di RS.
O2 1-2 liter/menit
Pemberian oksigen melalui nasal kanul. Pada pasien ini, berdasarkan analisa
gas darah ditemukan bahwa PCO2 tinggi dan PO2 rendah. Hal tersebut menunjukkan
bahwa terjadi gangguan pada ventilasi sehingga kadar CO2 dalam darah tinggi. Pada
pasien ini mengalami sesak nafas, sehingga pasien berusaha bernafas lebih kuat.
Pemberian oksigen pada pasien ini untuk mengurangi kelelahan pasien dalam usaha
untuk bernafas, tetapi pemberian oksigen tidak tinggi karena kadar PCO2 yang tinggi,
sehingga pada pasien ini diberikan oksigen 1-2 liter/menit. Dengan pemberian
oksigen diharapkan dapat mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas dan mengurangi
kontriksi pada saluran nafas.2
Diet TKTP rendah karbohidrat, rendah garam
Keadaan malnutrisi pada PPOK karena adanya peningkatan kebutuhan energi
akibat kerja otot pernafasan yang meningkat, dapat dilihat dari antropometri. Asupan
energi disesuaikan antara kalori yang masuk dan kalori yang dibutuhkan. Pemberian
energi yang agresif tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada
PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat.
Asupan energi dilakukan sedikit demi sedikit dan terus menerus. Oleh sebab itu pada
pasien ini diberikan diet 40 kkal/kgBB/hari + 1,2 gr protein/kgBB/hari dengan
kebutuhan karbohidrat rendah yaitu 40 % dari kebutuhan total kalori. Rendah
karbohidrat karena jika karbohidrat tinggi maka pemecahan karbohidrat menjadi ATP
+ CO2 + H2O akan meningkat sehingga CO2 akan meningkat. Diet rendah garam
diberikan untuk mengurangi viskositas darah sehingga diharapkan terjadi penurunan
beban kerja jantung dimana kebutuhan garam tidak lebih dari 300 mg/hari.2
IVFD NS 14 tetes/menit
Pemilihan IVFD NS 14 tetes/menit dimana kebutuhan cairan pasien adalah
2200 cc/hari (mampu minum 5 gelas (1200 cc) + 1000 cc cairan infus). Sehingga
untuk cairan intravena adalah 14 tetes/menit. Peningkatan laju ekspirasi pada pasien
PPOK menyebabkan peningkatan pengeluaran H2O melalui jalur respirasi, sehingga
pasien akan rentan mengalami dehidrasi cairan, sehingga pemenuhan kebutuhan
cairan merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan.
Nebulizer Combivent tiap 6 jam
Combivent mengandung albuterol/ipratropium. Albuterol sebagai
bronkodilator beta-2 adrenegik. Ipatropium sebagai agent antikolinergik
(parasimpatik), menghambat refleks vagal yang dimediasi oleh aksi antagonis dari
asetilkolin, mencegah peningkatan konsentrasi kalsium di intraseluler yang
disebabkan oleh interaksi asetilkolin dengan reseptor muskarinik pada otot polos
bronkial.6
Metil prednisolon 2 x 62,5 mg I.V
Memiliki efek glukokortikoid. Glukokortikoid menurunkan atau mencegah
respon jaringan terhadap proses inflamasi, karena itu menurunkan gejala inflamasi
tanpa dipengaruhi penyebabnya. Glukokortikoid menghambat akumulasi sel
inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon
juga menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan
beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui
secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade faktor penghambat makrofag
(MIF), menghambat lokalisasi makrofag: reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler
yang terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler,
menghambat pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan meningkatkan sintesis
lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2-mediasi pelepasan asam
arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan selanjutnya terhadap sintesis
asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat (prostaglandin, tromboksan dan
leukotrien). Kerja immunosupresan juga dapat mempengaruhi efek antiinflamasi.
Berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dan diharapkan dapat mengurangi gejala
klinis dan perbaikan fungsi ventilasi (pemberian efektif selama 2 minggu).6
Levofloxacin 1 x 750 mg I.V
Levofloxacin merupakan isomer Ofloxacin. Levofloxacin memiliki efek
antibakterial dengan spektrum luas, aktif terhadap bakteri gram-positif dan gram-
negatif termasuk bakteri anaerob. Levofloxacin telah menunjukkan aktifitas
antibakterial terhadap Chlamydia pneumonia dan Mycoplasma pneumonia.
Mekanisme kerja dari Levofloxacin adalah melalui penghambatan topoisomerase
type II DNA gyrase, yang menghasilkan penghambatan replikasi dan transkripsi
DNA bakteri. Levofloxacin didistribusikan ke seluruh tubuh dalam konsentrasi yang
tinggi dan berpenetrasi ke dalam jaringan paru-paru dengan baik.6
Bromhexin 3 x C I
Bromhexin diberikan sebagai ekspektorant untuk membantu pengeluaran
dahak pasien yang ia keluhkan terkadang sulit dikeluarkan. Pada pasien dengan
PPOK terjadi suatu peningkatakn produksi mukus akibat adanya hiperplasia dari sel-
sel goblet penghasil mukus pada bronkus, sehingga menimbulkan retensi mukus dan
berperan sebagai salah satu faktor dalam penyempitan saluran pernafasan, oleh
karena itu penggunaan agen mukolitik-ekspektorant berperan dalam mereduksi
volume mukus yang ada pada saluran pernafasan untuk melebarkan saluran
pernafasan.6
Perlu dilakukannya pemeriksaan sputum gram/kultur untuk mengetahui
sensitivitas bakteri terhadap antibiotika sehingga dapat dipilih antibiotika yang sesuai.
Monitoring terhadap sesak nafas, vital sign dan pemeriksaan AGD secara serial
dilakukan untuk memantau kondisi pasien dan melihat efektivitas dari pengobatan
yang dilakukan.