respirasi

download respirasi

of 21

description

respirasi blok 18

Transcript of respirasi

Pendahuluan

Penyakit saluran pernapasan sekarang ini banyak terjadi pada anak kecil sampai orang tua. Seharusnya kita mencegah bagaimana agar saluarn pernapasan berjalan secara normal dan tidak menimbulkan penyakit. Dengan badan kita sudah memiliki pertahanan agar tidak terjadi penyakit seperti refleks batuk yang gunanya mengeluarkan cairan yang tidak seharusnya berada di dalam saluran pernapasan. Batuk merupakan suatu ekspirasi yang eksplosive, merupakan mekanisme perlindungan normal untuk membersihkan tracheobronchial dari sekret dan benda asing. Saluran pernapasan dimulai dari rongga hidung sampai saluran saluran kecil alveoli paru. Pada setiap saluran ini terdapat pembuluh darah. Umumnya penyebab terjadinya perdarahan sehingga terjadi batuk darah adalah karena robeknya lapisan saluran pernapasan sehingga pembuluh darah di bawahnya ikut sobek dan darah mengalir keluar. Adanya cairan darah kemudian dikeluarkan oleh adanya refleks batuk.1Batuk darah atau hemoptysis adalah salah satu gejala yang paling penting pada penyakit paru, pertama karena merupakan bahaya potensial adanya perdarahan yang gawat yang memerlukan tidakan segera dan intensif, dimana batuk darah masif yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Kedua karena batuk darah hampir selalu disebabkan oleh penyakit bronkopulmonal.1AnamnesisAnamnesis yaitu pemeriksaan yang pertama kali dilakukan yaitu berupa rekam medik pasien. Dapat dilakukan pada pasiennya sendiri (auto) atau pada keluarga terdekat (allo).2 Dalam kasus pasien usia 56 tahun serta datang dengan keadaan sadar anamnesis yang digunakan auto anamnesis. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam anamnesis adalah sebagai berikut :1. Identitas

Nama

Umur

Jenis kelamin

Alamat

Agama dan suku bangsa

2. Riwayat penyakit

Keluhan utama, anamnesis tentang penyakitnya sendiri diawali dengan keluhan utama, ialah keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat.

Riwayat penyakit sekarang, pada bagian ini penyakit disusun secara kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan penderita sejak sbelum ada keluhan sampai anak dibawa berobat. Bila pasien telah mendapat pengobatan sebelumnya, hendaklah ditanyakan kapan berobat, kepada siapa, serta apa saja yang telah diberikan dan bagaimana hasil pengobatan tersebut.2Pada umumnya, hal-hal yang perlu diketahui mengenai suatu keluhan atau gejala mencakup;

a. Onset: untuk mengetahui sejak kapan gejala seperti ini dialami dan apakah ini merupakan gejala berulang atau pertama kalinya.

b. Perilaku menjaga kebersihan: sangat penting menanyakan perilaku higienitas pasien

Riwayat penyakit yang pernah diderita, penyakit yang pernah diderita sebelumnya perlu diketahui, karena kadang-kadang ada hubungannya dengan penyakit yang sekarang, atau setidak-tidaknya member informasi untuk membantu pembuatan diagnosis dan penatalaksanaannya sekarang.

Latar belakang sosial dan pekerjaan, riwayat sosial penderita yang perlu diketahui adalah keadaan ekonomi keluarga serta lingkungannya dan juga kebiasaan-kebiasaan lain seperti peminum alkohol, perokok dan pengguna narkoba. Sedangkan pekerjaan perlu diketahui karena ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dapat menimbulkan cedera yang khusus atau kelainan-kelainan yang khusus pula.

Pada pasien dengan masalah saluran pernapasan, hendaknya anamnesa mengenai saluran pernapasan ditanyakan, antara lain mengenai:

Rokok

Riwayat TBC atau riwayat kontak dengan pasien TBC

Trauma dada

Operasi dada

Serangan pneumonia sebelumnya (pneumonia berulang pada bagian paru yang sama menunjukkan adanya bronkiektasis atau lesi obstruktif)

Kejadian campak yang berat atau batuk rejan pada masa kanak-kanak (keduanya dapat meninggalkan gejala sisa berupa kerusakan paru)

Jenis pekerjaan tertentu dapat menjadi predisposisi bagi penyakit saluran pernapasan, misalnya penyakit yang berhubungan dengan debu yang terjadi pada:

Penambang batu bara

Pekerja pabrik penuang logam atau gelas

Tukang batu

Pekerja asbes

Pemeriksaan fisikPemeriksaan fisik pada pasien dengan keluhan batuk berdarah secara umum:

A. Inspeksi : Karena adanya penurunan berat badan drastis dan biasanya penderita akan mengalami anemia. Dapat dilihat dari warna mata dan wajah yang pucat. Bila mengenai pleura, dapat terjadi effusi pleura. Pada inspeksi, paru yang sakit terlihat tertinggal dalam pernapasan,

B. Perkusi

: Pada daerah infeksi terdengar suara redup. Biasanya ditemukan di bagian apeks paru ataupun dengan infeksi yang memiliki infiltrat luas. Apabila sudah berlanjut memiliki cavitas maka akan terdengar suara hipersonor. Pada effusi pleura ditemukan perkusi pekak.

C. Palpasi

: sulit menilai dari palpasi dinding dada. Palpasi pada paru dapat di periksa secara statis dan dinamis, yakni :

statis : memeriksa adanya nyeri tekan dan kelainan dinding dada (massa,tumor,krepitasi)

dinamis : dengan melakukan fremitus taktil, dengan penilaian melemah, mengeras, atau normal.

D. Auskultasi : Bila ada infiltrat yang luas, juga ditemukan suara nafas yang bronkovesikuler. Selain itu terdengar suara krepitasi halus di bagian atas pada satu atau kedua paru. Terdengar khususnya pada saat menarik nafas dalam ataupun setelah batuk. Kemungkinan juga terdapat perkusi pekak atau pernapasan bronkial pada bagian atas kedua paru. kadang etrdapat wheezing terlokaliasai disebabkan oleh bronkitis TB atau tekanan kelenjar limfe pada bronkus. Terdengar bunyi pleural friction rub juga. Keadaan effusi pleura pada auskultasi terdapat bunyi nafas melemah sampai tidak terdengar.

Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan dahak mikroskopik

Cara yang paling dapat diandalkan untuk menegakkan diagnosis adalah menemukan TB pada pemeriksaan dahak pada sediaan langsung. Pemeriksaan dilakukan dengan metode pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) atau di pusat-pusat kesehatan yang lebih lengkap dengan menggunakkan fluoroskopi modern menggunakan sinar ultraviolet. Untuk pemeriksaan TB paru, semua pasien suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu :31. dahak setempat pertama : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.

2. dahak pagi hari : dahak diumpulkan di umah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur atau terkumpul selama 1-2 jam pertama.

3. dahak setempat kedua : ketika pasien kembali membawa dahak pagi hari.

Bila kuman BTA dijumpai 2 kali dari 3 kali pemeriksaan penderita disebut BTA + menular. Jumlah kuman yang ditemukan merupakan informasi yang sangat penting karena berhubungan dengan derajat penularan penderita maupun dengan beratnya penyakit.

Pencatatan hasil pembaca berdasarkan skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) tahun 2000 adalah sebagai berikut :51. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif

2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, hasilnya meragukan

3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + atau (1+)

4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ atau (2+)

5. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ atau (3+) b. Pemeriksaan Darah

Anemi berat jarang disebabkan TB paru, tapi kadang dijumpai pada TB milier yang tersembunyi. Anemi banyak disebabkan penyebab lain seperti gizi buruk dan kecacingan.

Jumlah sel darah putih biasanya normal atau sedikit di bawah normal (sering meningkat pada pneumoni).

Laju endap darah (LED) biasa meningkat pada penyakit infeksi. Tetapi hasil yang normal tidak bisa menyingkirkan tuberkulosis.c. Pemeriksaan urin

Uji urin untuk memeriksa adanya bakteri L. pneumophila. Uji ini akurat terutama untuk Legionella serogroup 1, tetapi 30% infeksi Legionellosis tidak disebabkan oleh organisme serogroup 1. Hasil laboratorium dapat diketahui dalam jangka waktu kurang dari 14 hari.

Teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap Agen virus tertentu (RSV, influenza, parainfluenza, dan adenovirus) dapat dikenali melalui biakan, reaksi rantai polimerase (PCR), tetapi keterbatasan teknik PCR ini di Indonesia menjadikannya jarang digunakan. M.pneumonia dapat dicurigai jika terdapat aglutinin dingin ada pada sampel darah perifer. Hal ini dapat dikonfirmasi jika ada IgM spesifik-Mycoplasma yang terdeteksi atau dengan PCR.3Diagnosis banding Dari keluhan pasien dengan batuk berdarah disertai dahak lalu dengan penurunan berat badan selama 3 bulan terakhir pasien bisa diklasifikasikan menderita tbc paru dan pneumonia disamping itu juga terdapat penyakit ca paru dan PPOK. Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu penyakit infeksi. Volume darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah dalam jumlah minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan. Batuk darah atau hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti. Batuk darah masif dapat diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang dikeluarkan pada periode tertentu. Batuk darah massif memerlukan penanganan segera karena dapat mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mengganggu kestabilan hemodinamik penderita sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa.1Batuk darah pada tuberculosis pada umumnya terjadi oleh karena:11. Batuk darah pada karsinoma paru.

Terjadi oleh karena erosi permukaan tumor dalam lumen bronkus atau berasal dari jaringan tumor yang mengalami nekrosis, pecahnya pembuluh darah kecil pada area tumor atau invasi tumor ke pembuluh darah pulmoner.

2. Batuk darah pada bronkiektasis:

a. Mukosa bronkus yang sembab mengalami infeksi dan trauma batuk menyebabkan perdarahan.

b. Terjadi anastomose antara pembuluh darah bronchial dan pulmonal dan juga terjadi aneurisma, bila pecah terjadi perdarahan.

c. Pecahnya pembuluh darah dari jaringan granulasi pada dinding bronkus yang mengalami ektasis.

3. Batuk darah pada bronchitis kronis:

Terjadi oleh karena mukosa yang sembab akibat radang, terobek oleh mekanisme batuk.

4. Perdarahan kavitas tuberkulosa

Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasaldari cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.

a. Tbc Paru

Tuberkulosis adalah infeksi menular (dapat ditularkan dari orang ke orang) yang biasanya mempengaruhi paru-paru. Sekarang menyebar melalui tetesan udara (droplet) ketika orang yang terinfeksi batuk atau bersin. Hal ini disebabkan oleh bakteri yang disebut Mycobacterium TBC. Pada saat diagnosis, orang dengan TB biasanya memiliki berbagai gejala seperti demam ringan, batuk terus-menerus dengan sputum (dahak), berkeringat di malam hari, dan penurunan berat badan yang tidak disengaja.4Etiologi Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif kepada orang yang berada disekitarnya, terutama yang kontak erat.

TBC merupakan penyakit yang sangat infeksius. Seorang penderita TBC dapat menularkan penyakit kepada 10 orang di sekitarnya. Menurut perkiraan WHO, 1/3 penduduk dunia saat ini telah terinfeksi M. tuberculosis. Kabar baiknya adalah orang yang terinfeksi M. tuberculosis tidak selalu menderita penyakit TBC. Dalam hal ini, imunitas tubuh sangat berperan untuk membatasi infeksi sehingga tidak bermanifestasi menjadi penyakit TBC.3EpidemiologiDi Indonesia, WHO memperkirakan terdapat 583.000 kasus baru dengan 140.000 kematian terjadi setiap tahun (1,5,8). Perkiraan jumlah penderita TBC paru dengan Bakteri Tahan Asam ( BTA ) positif adalah sebesar 1,3 per 1000 penduduk. Sekitar 75 % penderita adalah angkatan kerja yaitu golongan usia produktif (1,5). Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia merupakan penyumbang terbesar ke-3 penyakit tuberkulosis di dunia (1,2,3). Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 TBC paru merupakan penyebab kematian ke 3 setelah penyakit jantung & pembuluh darah dan penyakit saluran pernafasan.Secara epidemiologi penyakit TBC paru di Kalimantan Selatan tahun 2002 berada pada posisi ke 3 dari 10 penyakit terbanyak dengan angka kesakitan TBC BTA positif sebesar 113 per 100.000 penduduk. (9). Di Kabupaten Banjar tahun 2002 ditemukan sebanyak 250 orang penderita baru TBC Paru BTA positif (59,07 per1000 penduduk) dengan angka konversi 81,1 % dan angka kesembuhan 79,5 %.3PatofisiologiSumber penularan adalah pasien Tb BTA positif.

Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.

Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.

Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.

Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Infeksi Primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran linfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. 4Gejala KlinisGejala utama TB paru adalah batuk lebih dari 4 minggu, dengan atau tanpa sputum, malaise, gejala flu, demam derajat rendah, anorexia, berkeringat malam hari, nyeri dada, anemia dan batuk darah. Pasien dengan TB paru menampakkan gejala klinis antara lain tahap asimptomatis, gejala TB paru yang khas, kemudian stagnasi dan regresi, eksaserbasi yang memburuk, gejala yang berulang dan menjadi kronik. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda antara lain tanda-tanda infiltrat ( redup, ronkhi basa, bronkhial dll ), tanda-tanda penarikan paru dan mediastinum, secret disaluran nafas dan ronkhi, suara nafas amforik karena adanya kafitas yang berhubungan langsung dengan bronkus.4Komplikasi1. Pleuritis dan empiema

( pecahnya kavitas tuberculosis dan keluarnya udara ke dalam rongga pleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam ruang antara paru dan dinding dada. Tuebrkulosis dari kavitas yang memecah mengeluarkan efusi nanah (empiema). Udara dengan nanah bersamaan disebut piopneumotoraks.52. Pneumotoraks spontan

( terjadi apabila udara memasuki rongga pleura sesudah terjadi robekan pada kavitas TB. Hal ini mengakibatkan rasa sakit pada dada secara akut dan tiba-tiba pada bagian itu bersamaan dengan sesak napas. Dapat ebrlanjut menjadi empiema tuberculosis.

3. Laryngitis tuberkulosis

( merupakan komplikasi dari penyakit paru, penyebaran melalui peredaran darah, kadang-kadang sering di diferential diagnosis dengan kanker laring. Epiglottis sering terlibat pada TB laring. Faring juga mungkin etrkena. Disertai nyeri menelan dan rasa nyeri pada telinga.

4. Kor pulmonale ( terjadi apad desktruksi paru yang amat luas. Dapat terjadi walaupun penyakit TB sudah tidak aktif. Terjadi karena banyak meninggalkan ajringan parut sehingga terjadi gagal jantung kongestif.

5. Aspergilomata

( kavitas Tb yang sudah sembuh menjadi terbuka kembali akibat infeksi jamur Aspergillus fumigatus.

Pencegahan1. Isolasi penderita TB aktif sehingga menjadi non-infeksious dan sembuh

2. Tidak melakukan kontak dengan penderita TB aktif dan juga orang yang mempunyai faktor resiko TB aktif.

3. Melakukan vaksinasi BCG

Merupakan vaksin yang dibuat dari M. Bovis dan jarang menimbulkan efek samping. Vaksin ini diberikan kepada anak di kebanyakan negara di seluruh dunia kecuali Amerika Serikat.

4.Menjaga kebersihan lingkungan sekitar

PrognosisPrognosis tuberkulosis paru relaps adalah baik jika didiagnosa dini dan juga menerima rawatan regimen pengobatan anti tuberculosis dengan lengkap. Prognosis bisa menjadi buruk jika tuberculosis paru telah menyebar ke ekstra pulmonary.

Penatalaksanaan

Tatalaksana TB pada pasien merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit penyerta. Selain itu penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila ditemukan sumber infeksi juga harus mendapatkan pengobatan. Upaya perbaikan kesehatan lingkungan juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan pengobatan. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau kepada pasien mengenai pentingnya menelan obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, pengawasan terhadap jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum dan sebagainya.61. Medikamentosa

Obat TB utama (first line, lini pertama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamdi, etambutol, dan steptomisin. Obat TB lain (lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, moxiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.7a. Isoniazid

Isoniazid (isonikotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), dan bersifak bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangan rendah.

Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari, dan diberikan dalam satu pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 50 mg/5 ml. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Terdapat dua kelompok pasien berdasarkan kemampuannya melakukan asetilasi, yaitu asetilator cepat dan asetilator lambat.

Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar transmaninase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Neuritis perifer akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki.

b. Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Seperti halnya isoniazid, rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Distribusi rifampisin ke dalam CSS lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus bilier. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan di ginjal dan urin.

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada isoniazid. Efek yang kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata, menjadi orange kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (muntah dan mual), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersama isonoazid, terjadi peningkatan risiko hepatotoksisitas yang dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10 mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin, kloramfenikol, kortikosteroid, dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150 mg dan 300 mg Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat timbul malabsorpsi.7c. Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, dan diresorbsi baik pada saluran cerna.

Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 ug/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan dalam fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam, yang timbul akibat jumlah kuman masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10% orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersama dengan makanan.7d. Etambutol

Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gram/hari, dengan sosis tunggal. Kadar serum puncak 5 ug dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 100 mg dan 400 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.

Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau, sehingga penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari tidak ditemukan kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pascapengobatan. e. Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini, streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari.

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada pada jaringan dan cairan pleura, dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama sterptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telingan berdengung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal sangat jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.7b. Pneumonia

Pneumonia adalah radang parenkim paru. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada sejumlah penyebab noninfeksi yang kadang-kadang perlu dipertimbangkan. Penyebab noninfeksi ini meliputi, tetapi tidak terbatas pada, aspirasi makanan dan/atau asam lambung, benda asing, hidrokarbon, dan bahan lipid; reaksi hipersenitivitas dan pneumonitis akibat obat atau radiasi. Infeksi pada neonatus dan hospes terganggu imun lain berbeda dari infeksi yang terjadi pada bayi dan anak yang normal.4Pneumonia digolongkan atas dasar anatomi seperti proses lobar atau lobuler, alveolar, atau interstisial, tetapi klasifikasi pneumonia infeksius atas dasar etiologi dugaan atau yang terbukti secara diagnostik atau terapeutik lebih relevan. Pneumonia lobaris menggambarkan pneumonia yang terlokalisasi pada satu lobus paru atau lebih yang terkonsolidasi secara total.5 Bronkopneumonia merujuk pada paru yang dipusatkan pada bronkiolus dan menyebabkan produksi eksudat mukopurulen dan menyebabkan konsolidasi bercak pada lobulus yang berdekatan. Bronkopneumoni biasanya merupakan proses menyeluruh yang melibatkan banyak lobus paru perbedaan antara bronkopneumonia dan bronkiolitis mungkin agak berubah-ubah. Pneumonia interstisial merujuk pada peradangan interstisium, yang tersusun dari dinding alveolus, kantong dan duktus alveolaris, dan bronkiolus. Pneumonitis interstisial dapat ditemukan secara akut pada infeksi virus tetapi juga dapat merupakan proses kronik. Malformasi anatomi sistem pernapasan, perubahan imunitas sistemik atau lokal, dan pemajanan terhadap asap sigaret yang didapat dari masyarakat pasien rentan terkena pneumonia. Penyebab pneumonia bergantung pada usia, status imun, adanya penyakit paru kronik lain, riwayat pemajanan, dan nosokomial versus yang didapat dari masyarakat.Mycoplasma pneumonia mendapat peran pada etiologi pneumonia pada anak usia sekolah dan anak yang lebih tua. Penyebab bakteri pneumonia yang paling lazim pada anak normal adalah Streptococcus pneumonia, S. pyogenes, dan Staphylococcus aureus. Haemophilus influenza tipe b juga menyebabkan pneumonia bakteri pada anak muda pada masa yang lalu, tetapi mungkin akan menjadi jauh berkurang dengan penggunaan vaksin efektif rutin yang luas.5Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai agen infeksi (misalnya, bakteri, virus, jamur, riketsia dan organisme parasit), proses peradangan (misalnya, SLE, sarkoidosis, dan histiositosis), dan bahan toksik (misalnya, hidrokarbon, asap, jamur, bahan kimia, gas, isi lambung) yang terinhalasi atau teraspirasi. Penyebab pneumonia yang paling lazim pada anak adalah infeksi virus; infeksi bakteri hanya menyebabkan 10-30% pneumonia pada pediatri. Pneumonia infeksius tertentu lebih lazim mengenai usia tertentu.Virus penyebab pneumonia yang paling lazim adalah virus pneumonia virus sinsitial pernapasan (respiratory syncitial virus, RSV), parainfluenza, influenza, dan adenovirus. Pada umumnya, infeksi virus saluran pernapasan bawah jauh lebih sering selama bulan-bulan musim dingin dan RSV merupakan virus yang paling lazim yag menyebabkan pneumonia, terutama selama masa bayi. Walaupun sifat musiman agen virus ini sangat diramalkan, epidemi lokal dapat membelokkan gambaran insiden pada tahun tertentu.Kejadian yang paling sering mengganggu mekanisme pertahanan paru adalah infeksi virus yang mengubah sifat-sifat sekresi normal, menghambat fagositosis, mengubah flora bakteri, dan mungkin sementara mengganggu lapisan epitel saluran pernapasan normal. Penyakit virus pernapasan sering mendahului perkembangan pneumonia bakteri beberapa hari. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia yakni pneumonia pneumokokus atau streptococcus pneumonia. Mikroorganisme memperoleh jalan masuk ke paru melalui penyebaran hematogen atau penyebaran lokal yang turun melalui cabang-cabang bronkus pernapasan.5Patogenesis

Pneumonia terjadi akibat proses infeksi bila patogen yang masuk saluran napas bagian bawah tersebut mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan mekanisme pertahanan inang berupa daya tarik mekanik (epitel cilia dan mukus), humoral (antibodi dan komplemen) dan selular (leukosit polinuklear, makrofag, limfosit dan sitokinnya). Kolonisasi terjadi akibat adanya berbagai faktor inang dan terapi yang telah dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta yang memperberat, tindakan bedah, pemberian antobiotik, obat-obatan lain dan tindakan invasif pada saluran pernapasan. Mekanisme lain adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru, penyebaran hematogen, dan akibat tindakan intubasi.4Pada pneumonia virus, misal RSV, RSV mendorong sekresi profil sitokin dominan-TH2 dari sel T spesifik-antigen sehingga mendorong infiltrasi eosinofil. sewaktu infeksi virus, epitel bronkus itu sendiri banyak mengandung sitokin proinflamasi dan sebagian sitokin ini juga berperan dalam pematangan dan kemotaksis eosinofil. Hal ini mendukung terjadinya inflamasi pada saluran pernapsan yang terinfeksi oleh virus. Infeksi paru tidak mengejutkan karena (1) permukaan epitel paru secara terus menerus terpajan berliter-liter udara yang tercemar; (2) flora nasofaring terus menerus di aspirasi selagi tidur, bahkan oleh orang sehat; dan (3) penyakit paru lainnnya yang umum terjadi menyebabkan parenkim paru rentan terhadap organisme virulen. Oleh karena itu, jika parenkim paru normal tetap steril, hal ini merupakan keajaiban kecil. Hal tersebut membuktikan efisiensi serangkaian mekanisme pertahanan paru. Pada sistem pernapasan terdapat beragam mekanisme pertahanan imun dan nonimun yang berjalan dari nasofaring hingga rongga udara di alveolus.3Pada pneumonia yang disebabkan oleh virus, proses mungkin bebercak atau mengenai lobus keseluruhan secara bilateral atau unilateral. Secara makroskopis, daerah yang terkena tampak merah-biru, membengkak, dan memperlihatkan krepitasi. Secara histologis, reaksi peradangan umumnya terbatas di dalam dinding alveolus. Septum melebar dan edematosa; septum biasnya mengandung infiltrat peradangan mononukleus yang terdiri atas limfosit, histiosit, dan kadang-kadang sel plasma.4Berbeda dengan pneumonia bakteri, rongga alveolus pada pneumonia atipikal bebas dari eksudat selular. Namun, pada kasus yang parah dapat terjadi kerusakan alveolus difus disertai pembentukan membran hialin. Pada kasus yang lebih ringan tanpa penyulit, meredanya penyakit diikuti oleh rekonstiitusi arsitektus asli. Infeksi bakteri sekunder, seperti diperkirakan, menimbulkan gambaran histologik campuran. Pada infeksi paru oleh bakteri, pneumokokus, dapat terjadi dua pola anatomik dan radiografik, yang disebut sebagai bronkopneumonia dan pneumonia lobaris. Bronkopneumonia mengisyaratkan distribusi peradangan yang bebercak dan umumnya mengenai lebih dari satu lobus. Pola ini terjadi akibat infeksi awal di bronkus dan bronkiolus yang meluas ke alveolus di dekatnya. Sebaliknya, pada pneumonia lobarus rongga udara dari sebagian atau seluruh lobus secara homogen terisi oleh eksudat yang dapat dilihat pada radiografi sebagai konsolidasi lobular atau segmental. Streptococcus pneumoniae bertanggung jawab untuk lebih dari 90% pneumonia lobarus. Perbedaan anatomik antara pneumonia lobaris dan bronkopneumonia sering menjadi kabur karena (1) banyak organisme menyebabkan kedua pola distribusi di atas dan (2) bronkopneumonia konfluen sering sulit dibedakan secara radiologis dari pneumonia lobaris.Manifestasi klinis

Gambaran klinis pneumonia karena virus atau bakteri biasanya berbeda, walaupun perbedaan tidak selalu jelas pada pasien tertentu. Takipnea, batuk, malaise, demam, nyeri dada pleuritus, dan retraksi sering terjadi pada keduanya.

Pneumonia virus lebih sering diserta dengan batuk, mengi/stridor. Roentgenogram dada menunjukkan infiltrat bronkopneumonia bergaris-garis difus, foto thoraks biasanya memperlihatkan bercak-bercak berbatas kabur yang transien terutama di lobus bawah, dan jumlah leukosit sering tidak meningkat (normal), limfosit merupakan tipe sel yang dominan. Pembentukan sputum tidak banyak, tidak terdapat tanda-tanda fisik konsolidasi. Kebanyakan virus pneumonia didahului gejala-gejala pernapasan beberapa hari, termasuk rhinitis dan batuk. Seringkali anggota keluarga yang lain sakit, walaupun biasanya ada demam, suhu biasanya lebih rendah dari pada pneumonia bakteri. Takipnea, yang disertai dengan retraksi interkostal, subkostal, dan suprasternal; pelebaran cuping hidung; dan penggunaan otot tambahan sering ada.Sedangkan pada pneumonia bakteri biasanya disertai dengan batuk bisa mukopurulen roduktif aau tidak, kadang disertai hemoptisis., Sesudah infeksi pernapasan atas ringan, sebentar, sering mulai merasa dingin menggigil yang disertai dengan demam setinggi 40,5oC. Demam ini disertai dengan perasaan mengantuk dengan sebentar-sebentar gelisah; pernapasan cepat; cemas, dan kadang-kadang delirium (mengigau). Mungkin ada sianosis sekeliling mulut, dan banyak anak diketemukan dibidai pada sisi yang terkena untuk meminimalkan nyeri pleuritis dan memperbaiki ventilasi; mereka mungkin berbaring miring dengan lutut ditarik ke atas pada dada. Pada temuan-temuan auskultasi berupa konsolidasi paru (misalnya, penurunan suara pernapasan atau pernapasan bronkial, perkusi redup, dan egofoni pada daerah terlokalisasi).5Epidemiologi

Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas yang jelas. Namun kebanyakan pada pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati sakit atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tubuhnya. Menurut data yang didapatkan melalui departemen kesehatan Indonesia menyebutkan bahwa pneumonia merupakan pembunuh utama anak dibawah usia lima tahun (Balita) di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti AIDS, Malaria dan Campak. Namun, belum banyak perhatian terhadap penyakit ini. Di dunia, dari 9 juta kematian Balita lebih dari 2 juta Balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia atau sama dengan 4 Balita meninggal setiap menitnya. Dari lima kematian Balita, satu diantaranya disebabkan pneumonia. Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan; prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka nasional), angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %, Balita: 3%, angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan Balita 15,5% .4Komplikasi

Dengan penggunaan terapi antibiotik, komplikasi pneumonia bakteri menjadi tidak lazim. Walaupun infeksi pneumokokus terjadi pada waktu yang bersamaan di tempat lain mungkin ada sebelum mulai gejala-gejala pneumonia, infeksi metastasis sesudah sesuah mulai pengobatan antibiotik jarang. Empiema dapat terjadi sebagai akibat perluasan infeksi pada permukaan flora. Empiema lebih sering pada bayi daripada anak yang lebih tua. Komplikasi lain yang jarang terjadi Pleural effusion, pneumatocele, lung abscess, necrotizing pneumonia, systemic infection with metastatic foci, airway injury, obstructive airway secretions, hypoperfusion, chronic lung disease, hypoxic-ischemic and cytokine-mediated end-organ injury, dan sepsis.Pengobatan

Satu-satunya agen spesifik yang tersedia untuk pengobatan infeksi virus pernapasan adalah amantadin oral (atau rimantadin) dan ribavirin aerosol. Agen-agen pertama aktif terhadap isolat influenza A. Mereka mempunyai kemanjuran yang dapat diperagakan dalam pencegahan infeksi influenza A yang terpajan, individu yang rentan dan pada pengobatan penderita yang terinfeksi dengan virus influenza A. Ribavirin aerosol diberikan melalui nebulizer (20 mg/mL selama 12-18 jam per hari), biasa diberikan untuk anak yang menderita pneumonia akiba RSV atau bronkiolitis. Pengobatan tampak bermanfaat hanya jika dimulai dalam 48 jam dari mulainya infeksi. Ribavirin adalah aktif in vitro terhadap RSV. Obat ini tampak bermanfaat pada bayi tertentu yang dirawat inap dengan infeksi saluran pernapasan bawah yanng disebabkan oleh RSV. Namun, obat ini adalah agen yang sangat mahal yang perlu diberikan, sebenarnya terus-menerus, dengan aerosolisasi. Peran tepatnya dalam manajemen bayi terinfeksi RSV tetap merupakan sasaran perdebatan. Obat pilihan adalah penisilin, sebagian besar anak yang lebih tua dengan pneumonia pneumokokus dapat diobati dirumah; keputusan untuk merawat inap di rumah sakit tergantung keparahan penyakit dan kemampuan keluarga untuk menyediakan perawatan yang baik.6Prognosis

Sebagian besar anak sembuh dari pneumonia dengan cepat dan sempurna, dan temuan-temuan roentgenografi akan kembali normal dalam 6-8 minggu. Pada beberapa anak, pneumonia dapat menetap lebih dari satu bulan atau dapat berulang. Pada kasus demikian, kemungkinan penyakit yang mendasari harus diamati lebih lanjut. Evaluasi kemudian dapat dilakukan dengan uji kulit tuberkulin, penentuan klorida keringat, imunoglobulin serum dan penentuan sebkelas igG, bronkoskopi dan penelanan barium.Pada era sebelum antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan anak kecil berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua dari 3% sampai 5%. Lagipula insiden empiema kronis dengan fungsi paru berubaha adalah relatif tinggi. Dengan terapi antiobiotik yang tepat yang diberikan awal pada perjalanan penyakit, angka mortalitas selama masa bayi dan anak sekarang kurang dari 1%, dan morbidias jangka-lama rendah.c. Ca paruKeganasan pada jaringan paru yang dapat berupa abnormalitas dari sel sel yang mengalami proliferasi dalam paru. Bisa disebabkan oleh tabiat merokok, polusi udara, radiasi, pekerjaan, genetik dan diet.

Terbagi empat : small cell lung cancer, adenokarsinoma, large cell lung cancer dan kanker paru sel skuamosa.

Gejala : stridor local dan dispnea pada awalnya dan kemudian dapat terjadi batuk dengan sputum kental dan purulent, hemoptysis, dan anoreksia.

Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk mendeteksi adanya kanker sebelum dilakukan spemeriksaan penunjang lainnya untuk mengetahui stadium metastase dari sel kanker. 3d. Bronkitis kronik

Pada bronkitis akut, gejala didahului infeksi pernapasan atas. Ciri khasnya berupa batuk sering, kering, pendek, tidak produktif dan timbulnya relaif bertahap, mulai 3 4 hari sesudah timbulnya rhinitis. Pada tahap selanjutnya terdengar suara ronki, nyeri dada, kadang napas pendek. Terdapat juga batuk paroksismal (rasa mencekik), kadang muntah. Beberapa hari kemudian batuk menjadi produktif, sputum berubah dari jernih menjadi purulen. Dalam 5 10 hari, mukus encer, dan batuk menghilang secara bertahap. Terdapat malaise. Pada mulanya anak biasanya tidak demam/demam ringan, ada tanda-tanda nasofaringitis, infeksi konjungtiva dan rhinitis. Pada auskultasi terdengar suara pernapasan yang kasar, ronki basah kasar dan halus, dan ronki yang dapat bernada tinggi, menyerupai mengi pada asma. Bronkitis dapat sembuh spontan.Bronkhitis kronis bukanlah merupakan bentuk menahun dari bronkhitis akut. Walaupun demikian, seiring dengan waktu, dapat ditemukan periode akut pada penyakit bronkhitis kronis. Hal tersebut menunjukkan adanya serangan bakteri pada dinding bronkhus yang tidak normal, infeksi sekunder oleh bakteri dapat menimbulkan kerusakan yang lebih banyak sehingga akan memperburuk keadaan. Bronchitis kronik merupakan inflamasi berulang dan degenerasi bronkus yang bisa berhiubungan dengan infeksi aktif. Bronchitis kronik dapat merupakan proses dasar dari suatu penyakit, seperti asma, fibrosis kistik, sindrom diskinesia silia, aspirasi benda asing, atau paparan terhadap iritan jalan nafas. Pada orang dewasa, dikatakan bronchitis kronik apabila terdapat batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-turut. Bronchitis kronik merupakan suatu definisi klinis yaitu batuk-batuk hamper setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit 2 tahun berturut-turut.3Kesimpulan

Paien dengan keluhan utama batuk berdarah umumnya disebabkan terjadinya pendarahan sehingga terjadi batuk darah karena robeknya lapisan saluran pernapasan sehingga pembuluh darah di bawahnya ikut sobek dan darah mengalir keluar. Adanya cairan darah kemudian dikeluarkan oleh adanya reflex. Saluran napas dan paru paru terutama diperdarahi oleh sistem arteri-vena pulmonalis dan sistem arteri bronkialis yang berasal dari aorta. Dari kedua sistem ini perdarahan pada sistem arteri bronchialis lebih sering terjadi. Infeksi adalah penyebab tersering hemoptisis, tuberkulosis adalah infeksi yang menonjol seperti TBC, bronkiektasis, pneumonia, selain karena infeksi dapat juga disebabkan adanya karsinoma paru. Daftar Pustaka1. Alsagaff H, Wibisono MJ. Batuk darah. Dalam: Wibisono MJ, Winariani, Hariadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit paru 2010. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair RSUD Dr.Soetomo;2010.h.74-87

2. Gleadle J. History and examination at a glance. Diterjemahkan oleh: Rahmalia A, Safitri A. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2005.h. 96

3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadribrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 3. Vol. 5. Jakarta: Interna publishing. 2009. h. 2196-8.2230-94. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins basic pathology. Edisi 7. Diterjemahkan oleh: Hartanto H, darmaniah N, Wulandari N. jakarta: EGC. 2007. h. 537-435. Ganong WF. Review of medical physiology. Diterjemahkan oleh: Pendit BU, Novrianti.Jakarta; EGC. 2008.H.670-2

6. Kemenkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Stop tb, terobosan menuju akses universal, strategi nasional pengendalian tb di indonesia 2010-2014. Jakarta; Kemenkes RI;2011.h.12-267. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology. Diterjemahkan oleh: Nugroho AW, Rendy L, Dwijayanthi L, Nirmala WK. jakarta: EGC. 2012.h.753-4

1