+respi sk2

5
Patogenesis Mycobacterium tuberculosis Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup Myobacterium tuberculosis. Setelah melalui barier mukosilier saluran napas, kuman TB akan mencapai alveoli. Kuman akan mengalami multiplikasi di paru, yang disebut sebagai focus Gohn. Melalui aliran limfe, kuman TB akan mencapai kelenjar limfe hilus. Fokus Gohn dan limfadenopati hilus membentuk kompleks primer TB. Melalui kompleks primer, kuman TB akan menyebar melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh. Respon tubuh terhadap infeksi kuman TB berupa respon imun seluler hipersensitifitas tipe lambat yang terjadi 4-6 minggu setelah terinfeksi. Banyaknya kuman TB serta kemampuan daya tahan host menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pada sebagian besar kasus, respon imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi kuman, sebagian kecil kuman dorman. Pada penderita dengan daya tahan tubuh buruk, respon imun tidak dapat menghentikan multiplikasi kuman sehingga host akan sakit beberapa bulan kemudian. Berdasar penularannya maka tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 bentuk, yaitu: Tuberkulosis primer. Terdapat pada anak-anak. Setelah 6-8 minggu akan mulai terbentuk mekanisme imunitas dalam tubuh, sehingga test tuberkulin akan positif. Pada pasien ini akan terbentuk kompleks primer TB dan selanjutnya dapat menyebar secara hematogen ke apeks paru yang kaya oksigen. Reaktifasi dari tuberkulosis primer. Infeksi TB primer akan mengalami reaktifasi terutama pada 2 tahun post infeksi primer maka keadaan ini disebut sebgai tuberkulosis postprimer. Kuman akan disebarkan secara hematogen ke segmen apikal posterior. Reaktifasi dapat kjuga terjadi melalui metastase hematogen ke berbagai jaringan tubuh. Reinfeksi. Keadaan ini terjadi pada saat adanya penurunan imunitas tubuh atau terjadi penularan secara terus-menerus oleh kuman TB dalam satu keluarga. LO.4.7 Mampu Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Tuberculosis Gold standard dari diagnosis TB adalah ditemukannya kuman BTA pada pemeriksaan sputum. Anamnesis: Hal pertama yang harus ditanyakan adalah identitas pasien, yaitu umur, jenis kelamin, ras, status pernikahan, agama dan pekerjaan. 1. Lokasi (dimana? menyebar atau tidak?) 2. Onset / awitan dan kronologis (kapan terjadinya? berapa lama?) 3. Kuantitas keluhan (ringan atau berat, seberapa sering terjadi?) 4. Kualitas keluhan (rasa seperti apa?) 5. Faktor-faktor yang memperberat keluhan. 6. Faktor-faktor yang meringankan keluhan. 7. Analisis sistem yang menyertai keluhan utama (keluhan yang menyertai) 1. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) 2. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) 3. Riwayat Kesehatan Keluarga 4. Riwayat Sosial dan Ekonomi Hal ini untuk mengetahui status sosial pasien, yang meliputi pendidikan, pekerjaan pernikahan, kebiasaan yang sering dilakukan (pola tidur, minum alkohol atau merokok, obatobatan, aktivitas seksual, sumber keuangan, asuransi kesehatan dan kepercayaan). Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu tubuh yang subfebris, badan kurus atau berat badan menurun. Pemeriksaan fisik sering tidak diperoleh hasil yang memuaskan terutama apabila sarang penyakit terletak di dalam akan sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai adanya infiltrat agak luas mungkin ditemukan perkusi yang redup dan auskultasi suara bronkhial dan suara tambahan ronkhi basah kasar yang nyaring. Namun bila infiltrat diliputi penebalan pleura, suara tambahan menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, pada perkusi akan diperoleh hasil hipersonor atau timpani dan suara auskultasi amforik. Pada TB paru lanjut dengan fibrosis luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot interkostal. Bagian paru yang sakit menciut dan menarik isi mediastinum atau paru yang lain. Paru yang sehat jadi hiperinflasi. Keadaan lanjut TB paru dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonalis) yang diikuti terjadinya kor pulmonale dan gagal jantung kanan sehingga akan dapat ditemukan tanda-tanda kor pulmonale dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardi, sianosis, right ventrikular lift, right artikular gallop, murmur Graham Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, ascites dan edem. Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimptomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkan adanya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin positif. Pemeriksaan Penunjang: a. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radilogis merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru tetapi dapat juga mengenai bagian inferior atau daerah hilus yang menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak seperti awan dan dengan batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas tegas. Pada kavitasi bayangan berupa cincin berdinding tipis. Pada kalsifikasi bayangan tampak bercak padat dengan densitas tinggi. Pada ateletaksis terlihat fibrosis luas dengan penciutan pada sebagian, satu lobus atau satu bagian paru. Gambaran tuberkulosis miliar tampak berupa bercak halus yang umumnya tersebar rata di seluruh lapang paru. Pemeriksaan radiologis lain yang dapat dilakukan adalah bronkografi, CT scan dada atau juga MRI. b. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada darah, sputum dan tes tuberkulin. Darah. Pemeriksaan tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada TB baru akan didapatkan leukosit meninggi dengan hitung jenis bergeser ke kiri, jumlah limfosit masih normal dan LED mulai meningkat. Sputum. Pemeriksaan sputum adalah penting untuk menemukan kuman BTA. Pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang telah diberikan. Kriteria sputum BTA positif adalah bila paling tidak ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Untuk pemeriksaan BTA, bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru, pleura, cairan pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin atau tinja. c. Tes tuberkulin. Pemeriksaan ini dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Tes ini dilakukan dengan menyuntikan 0,1 cc tuberkulin secara intrakutan. Tes ini hanya menyatakan apakah seseorang sedang atau pernah terinfeksi kuman TB atau mendapat vaksinasi BCG. Tes tuberkulin (mnataoux) dinyatakan posotif apabila diperoleh indurasi 10 mm setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan. Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosisdan sering digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur

description

respi yarsi

Transcript of +respi sk2

Page 1: +respi sk2

Patogenesis Mycobacterium tuberculosisInfeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup Myobacterium tuberculosis. Setelah melalui barier mukosilier saluran napas, kuman TB akan mencapai alveoli. Kuman akan mengalami multiplikasi di paru, yang disebut sebagai focus Gohn. Melalui aliran limfe, kuman TB akan mencapai kelenjar limfe hilus. Fokus Gohn dan limfadenopati hilus membentuk kompleks primer TB. Melalui kompleks primer, kuman TB akan menyebar melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh.Respon tubuh terhadap infeksi kuman TB berupa respon imun seluler hipersensitifitas tipe lambat yang terjadi 4-6 minggu setelah terinfeksi. Banyaknya kuman TB serta kemampuan daya tahan host menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pada sebagian besar kasus, respon imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi kuman, sebagian kecil kuman dorman. Pada penderita dengan daya tahan tubuh buruk, respon imun tidak dapat menghentikan multiplikasi kuman sehingga host akan sakit beberapa bulan kemudian. Berdasar penularannya maka tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 bentuk, yaitu: Tuberkulosis primer. Terdapat pada anak-anak. Setelah 6-8 minggu akan mulai terbentuk mekanisme imunitas dalam tubuh, sehingga test tuberkulin akan positif. Pada pasien ini akan terbentuk kompleks primer TB dan selanjutnya dapat menyebar secara hematogen ke apeks paru yang kaya oksigen. Reaktifasi dari tuberkulosis primer. Infeksi TB primer akan mengalami reaktifasi terutama pada 2 tahun post infeksi primer maka keadaan ini disebut sebgai tuberkulosis postprimer. Kuman akan disebarkan secara hematogen ke segmen apikal posterior. Reaktifasi dapat kjuga terjadi melalui metastase hematogen ke berbagai jaringan tubuh. Reinfeksi. Keadaan ini terjadi pada saat adanya penurunan imunitas tubuh atau terjadi penularan secara terus-menerus oleh kuman TB dalam satu keluarga.

LO.4.7 Mampu Memahami dan Menjelaskan Diagnosis TuberculosisGold standard dari diagnosis TB adalah ditemukannya kuman BTA pada pemeriksaan sputum.Anamnesis:Hal pertama yang harus ditanyakan adalah identitas pasien, yaitu umur, jenis kelamin, ras, status pernikahan, agama dan pekerjaan.

1. Lokasi (dimana? menyebar atau tidak?)2. Onset / awitan dan kronologis (kapan terjadinya? berapa lama?)3. Kuantitas keluhan (ringan atau berat, seberapa sering terjadi?) 4. Kualitas keluhan (rasa seperti apa?)5. Faktor-faktor yang memperberat keluhan.6. Faktor-faktor yang meringankan keluhan.7. Analisis sistem yang menyertai keluhan utama (keluhan yang menyertai)

1. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)2. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)3. Riwayat Kesehatan Keluarga4. Riwayat Sosial dan EkonomiHal ini untuk mengetahui status sosial pasien, yang meliputi pendidikan, pekerjaan pernikahan, kebiasaan yang sering dilakukan (pola tidur, minum alkohol atau merokok, obatobatan, aktivitas seksual, sumber keuangan, asuransi kesehatan dan kepercayaan).

Pemeriksaan Fisik:Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata

atau kulit yang pucat karena anemia, suhu tubuh yang subfebris, badan kurus atau berat badan

menurun. Pemeriksaan fisik sering tidak diperoleh hasil yang memuaskan terutama apabila sarang penyakit terletak di dalam akan sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai adanya infiltrat agak luas mungkin ditemukan perkusi yang redup dan auskultasi suara bronkhial dan suara tambahan ronkhi basah kasar yang nyaring. Namun bila infiltrat diliputi penebalan pleura, suara tambahan menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, pada perkusi akan diperoleh hasil hipersonor atau timpani dan suara auskultasi amforik. Pada TB paru lanjut dengan fibrosis luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot interkostal. Bagian paru yang sakit menciut dan menarik isi mediastinum atau paru yang lain. Paru yang sehat jadi hiperinflasi. Keadaan lanjut TB paru dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonalis) yang diikuti terjadinya kor pulmonale dan gagal jantung kanan sehingga akan dapat ditemukan tanda-tanda kor pulmonale dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardi, sianosis, right ventrikular lift, right artikular gallop, murmur Graham Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, ascites dan edem.

Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimptomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkan adanya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin positif.

Pemeriksaan Penunjang:a. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radilogis merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi

lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru tetapi dapat juga mengenai bagian inferior atau daerah hilus yang menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak seperti awan dan dengan batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas tegas. Pada kavitasi bayangan berupa cincin berdinding tipis.

Pada kalsifikasi bayangan tampak bercak padat dengan densitas tinggi. Pada ateletaksis terlihat fibrosis luas dengan penciutan pada sebagian, satu lobus atau satu

bagian paru. Gambaran tuberkulosis miliar tampak berupa bercak halus yang umumnya tersebar

rata di seluruh lapang paru. Pemeriksaan radiologis lain yang dapat dilakukan adalah bronkografi, CT scan dada atau juga MRI.

b. Pemeriksaan laboratorium.Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada darah, sputum dan tes tuberkulin. Darah. Pemeriksaan tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada TB baru akan didapatkan leukosit meninggi dengan hitung jenis bergeser ke kiri, jumlah limfosit masih normal dan LED mulai meningkat. Sputum.

Pemeriksaan sputum adalah penting untuk menemukan kuman BTA. Pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang telah diberikan. Kriteria sputum BTA positif adalah bila paling tidak ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Untuk pemeriksaan BTA, bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru, pleura, cairan pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin atau tinja.

c. Tes tuberkulin. Pemeriksaan ini dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada

anak-anak (balita). Tes ini dilakukan dengan menyuntikan 0,1 cc tuberkulin secara intrakutan. Tes ini hanya menyatakan apakah seseorang sedang atau pernah terinfeksi kuman TB atau mendapat vaksinasi BCG. Tes tuberkulin (mnataoux) dinyatakan posotif apabila diperoleh indurasi 10 mm setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan.

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosisdan sering digunakan dalam “Screening

TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%.

Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas

lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin

dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:

d. Pemeriksaan dahak mikroskopisPemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan

dan menentukan potensi penularan.Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan denganmengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua harikunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),

S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datangberkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

e. Pemeriksaan BiakanPeran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.

f. Pemeriksaan Tes ResistensiTes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat di cegah

LO.4.8 Mampu Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Banding TuberculosisDiagnosis Banding Pneumonia Tumor atau keganasan paru Jamur paru Penyakit paru akibat kerja

LO.4.9 Mampu Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan TuberculosisTujuan pengobatan pada TB Paru selain untuk mengobati juga mencegah kematian, mencegah

kekambuhan atau resistensi terhadapOAT serta memutuskan mata rantai penularan. Pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sbb:

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat. Tidak OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukanpengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif (2-3bulan) dan lanjutan (4-7 bulan) Tahap intensif: obat diberikan setiap hari, dan diawasi langsung untuk mencegah resistensi

obat. Jika diberikan secara tepat, yang awalnya menular bisa men jadi tidak menular dalam kurun waktu2 minggu. Sebagian besar TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan

Page 2: +respi sk2

Tahap lanjutan: diberikan obat lebih sedikit dengan jangka waktuyang lama. Tahap ini penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah kekambuhan.

Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok, yaitu:a. Obat primer / Lini pertama: Isoniazid (INH), Rifampisin, Etambutol,Streptomisin, Pirazinamid.

Memperlihatkan efektifitas yang tinggidengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar dapatdipisahkan dengan obat-obatan ini.

b. Obat sekunder / Lini kedua: Etionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin,Amikasin, Kapreomisin, Kanamisin

1. Isoniazid (INH)a. Efek antibakteri

bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid. Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Isoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan mudah.Mekanisme kerja: menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid)yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium.

b. Farmakokinetik mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral. Mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Antar75-95% diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit.

c. Efek sampingreaksi hipersensitivitas menyebabkan demam, berbagai kelainan kulit. Neuritis perifer paling banyak terjadi. Mulut terasa kering, rasa tertekan pada ulu hati, methemoglobinemia, tinnitus, dan retensiurin.

d. Sediaan dan posologiterdapat dalam bentuk tablet 50, 100, 300, dan 400mg serta sirup 10 mg/mL. Dalam tablet kadang-kadang telah ditambahkan B6. biasanya diberikan dalam dosis tunggal per orang tiap hari. Dosis biasa 5 mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari. Untuk TB berat dapat diberikan 10mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari, tetapi tidak ada bukti bahwa dosis demikian besar lbih efektif. Anak < 4 tahun dosisnya 10mg/kgBB/hari. Isoniazid juga dapat diberikan secara intermiten 2 kali seminggu dengandosis 15 mg/kgBB/hari.

2. Rifampisina. Aktivitas antibakteri: menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram-positif dan gram-negatif.b. Mekanisme kerja: terutama aktif terhadap sel yang sedang tumbuh. Kerjanya menghambat DNA

dependent RNA polymerase dari mikrobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mulai terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA.

c. Farmakokinetik:pemberian per oral menghasilakn kadar puncak dalamplasma setelah 2-4 jam. Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. Penyerapannya dihambat oleh makanan. Didistribusi keseluruh tubuh. Kadar efektif dicapai dalam berbagai organ dan cairan tubuh, termasuk cairan otak, yang tercermin dengan warna merah jingga pada urin, tinja, ludah, sputum, air mata, dan keringat.

d. Efek samping: jarang menimbulkan efek yang tidak diingini. Yang palingsering ialah ruam kulit, demam, mual, dan muntah.

f. Sediaan dan posologi: tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg dan 300 mg. Terdapat pula tablet 450 mg dan 600 mg serta suspensi yang mengandung 100 mg/5mL rifampisin. Beberapa sediaan telah dikombinasi dengan isoniazid. Biasanya diberikan sehari sekali sebaiknya 1 jam sebelum makan atau dua jam setelah makan. Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg ialah 450 mg/hari dan untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 60 mg/hari. Untuk anak-anak dosisnya 10-20mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 600 mg/hari.

3. Etambutola. Aktivitas antibakteri: menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan

sel mati. Hanya aktif terhadap sel yang tumbuh dengan khasiat tuberkulostatik.b. Farmakokinetik

pada pemberian oral sekitar 75-80% diserap dari saluran cerna. Tidak dapat ditembus sawar darah otak, tetapi pada meningitis tuberkulosa dapat ditemukan kadar terapi dalam cairan otak.

c. Efek samping jarang Efek samping yang paling penting ialah gangguan penglihatan, biasanya bilateral, yang merupakan neuritis retrobulbar yaitu berupa turunnya ketajaman penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, mengecilnya lapangan pandang, dan skotom sentral maupun lateral. Menyebabkan peningkatan kadar asam urat darah pada50% pasien.

d. Sediaan dan posologi tablet 250 mg dan 500 mg. Ada pula sediaan yang telah dicampur dengan isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap. Dosis biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sekali sehari, ada pula yang menggunakan dosis 25 mg/kgBB selama 60 hari pertama, kemudian turun menjadi 15 mg/kgBB.

4. Pirazinamida. Aktivitas antibakteri: mekanisme kerja belum diketahui.b. Farmakokinetik: mudah diserap usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Ekskresinya terutama

melalui filtrasi glomerulus.c. Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Menghambat ekskresi asam

urat. Efek samping lainnya ialah artralgia, anoreksia, mual, dan muntah, juga disuria, malaise, dan demam.

d. Sediaan dan posologi: bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis oral 20-35mg/kgBB sehari (maksimum 3 g), diberikan dalam satu atau beberapa kal isehari.

5. Streptomisina. Aktivitas antibakteri: bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman TB. Mudah masuk

kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi ke cairan intrasel.b. Farmakokinetik: setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomisin berada dalam

plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk kedalam eritrosit. Kemudian menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Diekskresi melalui filtrasi glomerulus.

c. Efek samping umumnya dapat diterima dengan baik. Kadang-kadang terjadi sakit kepala sebentar atau malaise. Bersifat nefrotoksik.Ototoksisitas lebih sering terjadi pada pasien yang fungsi ginjalnya terganggu.

d. Sediaan dan posologi: bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5 gram. Dosisnya 20mg/kgBB secara IM, maksimum 1 gr/hari selama 2 sampai 3 minggu.Kemudian frekuensi berkurang menjadi 2-3 kali seminggu.

6. Etionamida. Aktivitas antibakteri: in vitro, menghambat pertumbuhan M. tuberculosis jenis human pada kadar

0.9-2.5 g/mL.Farmakokinetik: pemberian per oral mudah di absorpsi. Kadar puncak 3 jam dan kadar terapi bertahan 12 jam. Distribusi cepat, luas, dan meratake cairan dan jaringan. Ekskresi cepat dalam bentuk utama metabolit 1%aktif.

b. Efek samping paling sering anoreksia, mual da muntah. Sering terjadi hipotensi postural, depresi mental, mengantuk dan asthenia

c. Sediaan dan posologi dalam bentuk tablet 250 mg. Dosis awaln 250 mgsehari, lalu dinaikan setiap 5 hari dengan dosis 125 mg – 1 g/hr. Dikonsumsi waktu makan untuk mengurangi iritasi lambung.

7. Paraaminosalisilata. Aktivitas bakteri: in vitro, sebagian besar strain M. tuberculosis sensitif dengan kadar 1 g/mL.

Farmakokinetik: mudah diserap melalui saluran cerna. Masa paruh 1 jam. Diekskresi 80% di ginjal dan 50% dalam bentuk asetilasi.

b. Efek sampinggejala yang menonjol mual dan gangguan saluran cerna. Dan kelainan darah antara lain leukopenia, agranulositopenia, eosinofilia, limfositosis, sindrom mononukleosis atipik, trombositopenia.

c.Sediaan dan posologi: dalam bentuk tablet 500 mg dengan dosis oral 8-12g sehari.

8.Sikloserina. Aktifitas bakteri: in vitro, menghambat M.TB pada kadar 5-20 g/mL dengan menghambat

sintesis dinding sel.b. Farmakokinetik

baik dalam pemberian oral. Kadar puncak setelahpemberian obat 4-8 jam. Ditribusi dan difusi ke seluruh cairan dan jaringan baik. Ekskresi maksimal dalam 2-6 jam, 50% melalui urin dalam bentuk utuh.

c. Efek samping: SSP biasanya dalam 2 minggu pertama, dengan gejala somnolen, sakit kepala, tremor, vertigo, konvulsi, dll.

d. Sediaan dan posologibentuk kapsul 250 mg, diberikan 2 kali sehari. Hasil terapi paling baik dalam plasma 25-30 g/mL. Kanamisin dan Amikasin Menghambat sintesis protein bakteri. Efek pada M. tb hanya bersifat supresif.

e. Farmakokinetik melalui suntikan intramuskular dosis 500 mg/12 jam (15mg/kgBB/hr, atau dengan intravena selama 5 hr/mgg selama 2bulan,dan dilanjutkan dengan 1-1.5 mg 2 atau 3 kali/mgg selama 4 bulan.

9. Kapreomisina. Efek samping

nefrotoksisitas dengan tanda nnaiknya BUN, menurunnya klirens kreatinin dan albuminuria. Selain itu bisa terjadi hipokalemia, ujifungsi hati buruk, eosinogilia, leukositosis, leukopenia, dan trombositopenia.

Paduan OAT yang digunakan di IndonesiaPaduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3. Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) Kategori Anak: 2HRZ/4HR

Pengobatan TBC pada orang dewasaKategori 1: 2HRZE/4H3R3Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan).

Diberikan kepada:o Penderita baru TBC paru BTA positif.

o Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.

Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3Diberikan kepada:o Penderita kambuh.

o Penderita gagal terapi.

o Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.

Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3Diberikan kepada:o Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.

Page 3: +respi sk2

Pengobatan TBC pada anakAdapun dosis untuk pengobatan TBC jangka pendek selama 6 atau 9 bulan, yaitu:

1. 2HR/7H2R2 : INH+Rifampisin setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH +Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 7 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).

2. 2HRZ/4H2R2 : INH+Rifampisin+Pirazinamid: setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH+Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 4 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).

Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH dan rifampisin diberikan bersamaan, dosis maksimal perhari INH 10 mg/kgbb dan rifampisin 15 mg/kgbb.

Dosis anak INH dan rifampisin yang diberikan untuk kasus:TB tidak berat

INH : 5 mg/kgbb/hari

Rifampisin : 10 mg/kgbb/hari

TB berat (milier dan meningitis TBC)

INH : 10 mg/kgbb/hari

Rifampisin : 15 mg/kgbb/hari

Dosis prednison : 1-2 mg/kgbb/hari (maks. 60 mg)

Dosis obat antituberkulosis (OAT)

Obat Dosis harian (mg/kgbb/hari)

Dosis 2x/minggu (mg/kgbb/hari)

Dosis 3x/minggu(mg/kgbb/hari)

INH 5-15 (maks 300 mg) 15-40 (maks. 900 mg) 15-40 (maks. 900 mg)

Rifampisin 10-20 (maks. 600 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-20 (maks. 600 mg)

Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g)

Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g)

Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

Peran PMO dan Program Preventif Tuberculosisa. Persyaratan PMO

Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. Bersedia membantu pasien dengan sukarela. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan

pasien.

b. Siapa yang bisa menjadi PMOSebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

c. Tugas seorang PMO Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah

ditentukan. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai

gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan

d. Kesehatan.Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.

e. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya: TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur. TB bukan penyakit keturunan atau kutukan. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara

pencegahannya. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan). Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta

pertolongan ke UPK.

Program Preventif Pemerintah:

Sejak 1995, program Pemberantasan Penyakit TBC di Indonesia mengalami perubahan manajemen operasional, disesuaikan dengan strategi global yanng direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk menindaklanjutiIndonesia – WHO joint Evaluation dan National Tuberkulosis Program in Indonesiapada April 1994. Dalam program ini, prioritas ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai

penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman TBC di masyarakat. Program ini dilakukan dengan cara mengawasi pasien dalam menelan obat setiap hari,terutama pada fase awal pengobatan.Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah diimplementasikan secara meluas dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai "pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari.

Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data (DST) akan menjadi alat pemantau dan indikator program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TBC melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan mungkin menimbulkan kekebalan obat.

Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TBC dan lemahnya implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan infeksi TBC dengan kuman yang bersifat MDR(Multi-drugs Resistant). Untuk kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TBC yaitu obat fluorokuinolon seperti

siprofloksasin, ofloxacin, levofloxacin (hanya sangat disayangkan bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan).

Upaya untuk mencegah terjadinya penyakit TB: Meningkatkan gizi. Memberikan imunisasi BCG pada bayi. Memberikan pengobatan pencegahan pada anak balita yang tidak mempunyai gejala TB tetapi

mempunyai anggota keluarga yang menderita TB Paru BTA positif. Keberhasilan upaya penanggulangan TB diukur dengan kesembuhan penderita. Kesembuhan ini

selain dapat mengurangi jumlah penderita, juga mencegah terjadinya penularan. Oleh karena itu, untuk menjamin kesembuhan, obat harus diminum dan penderita diawasi secara ketat oleh keluarga maupun teman sekelilingnya dan jika memungkinkan dipantau oleh petugas kesehatan agar terjamin kepatuhan penderita minum obat (Idris & Siregar, 2000).

Dewasa ini upaya penanggulangan TB dirumuskan lewat DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse = pengobatan disertai pengamatan langsung). Strategi ini terbukti keberhasilannyadiberbagai tempat. Di Indonesia, konsep strategi DOTS mulai diterapkan tahun 1995 (Depkes RI,1999). Pelaksanaan strategi DOTS dilakukan di sarana-sarana Kesehatan Pemerintah dengan Puskesmas sebagai ujung tombak pelaksanaan program. Pengobatan ini dilakukan secara gratis kepada golongan yang tidak mampu.

Secara garis besar srategi DOTS, terdiri dari lima komponen, yaitu (WHO, 1998):1. Komitmen

Komitmen bersama untuk mengobati penerita TB (terutama komitmen politik). Dalam hal ini pemerintah membentuk gerakan terpadu nasional penanggulangan tuberculosis (Depkes RI,

2000). Gerakan terpadu Nasional penanggulangan tuberculosis (Gerdunas TB) adalah gerakan

multi sektor dalam multi komponen dalam masyarakat yang terkait. Tujuan Gerdunas TB adalah

mengkoordinasikan manajemen program pemberantasan tuberculosis (P2TB) secara lintas bidang dan elibatkan sektor lain yang bersedia aktif dalam P2TB (Depkes RI, 2000).

2. Diagnosis dengan pemeriksaan sputumDalam program nasional penanggulangan tuberculosis, pemeriksaan diagnosis dengan sputum untuk penemuan tersangka TB dilakukan secara pasif (passive casefinding), yaitu penjaringan tersangka dilaksanakan pada penderita yang berobat keunit pelayanan kesehatan dengan penyuluhan secara aktif oleh petugas kesehatan dan masyarakat. Semua yang kontak dengan penderita TB Paru BTA positif dan memiliki gejala yang sama harus segera diperiksa sputumnya (Depkes RI,2000).

3. Pengawas Menelan ObatPermasalahan utama dalam program eliminasi TB adalah ketidak patuhan penderita untuk

minum obat. Untuk mengatasi permasalahan ini, WHO mengembangkan metode DOT (directly observed treatment) atau pengawas menelan obat (Grange & Zumlah, 1999).

DOTS pada prinsipnya menekankan upaya mengawasi secara langsung penderita menelan obat setiap harinya oleh DOT atau pengawasan menelan obat (PMO). PMO inilah yang bertanggungjawab kelangsungan minum obat. PMO adalah orang pertama yang selalu berhubungan dengan penderita sehubungan dengan pengobatannya. PMO yang mengingatkan untuk minum obat, mengawasi sewaktu menelan obat, membawa kedokter untuk kontrol berkala, dan menolong pada saat ada efek samping (Depkes RI,2000).

4. Jaminan Ketersediaan ObatPanduan obat yang efektif merupakan elemen pokok dari strategi DOTS yang dapat menjamin kesembuhan penderita TB dan mencegah MDR. Untuk itu diperlukan jaminan kelangsungan ketersediaan obat (Nunn & Enarson, 1994). Panduan obat yang dorekomendasikan oleh WHO, IULTD, The British Thoracic Assosiation End The American Thoracic Soceity adalah regimen pengobatan jangka pendek (Chan et al., 1993; Manalo et al., 1990).

Pemberantasan Tuberkulosis Paru (P2 TB-Paru), melaksanakan strategi baru secara bertahap. Kebijaksanaan ini diambil berdasarkan Evaluasi program TB-Paru yangdilaksanakan bersama oleh Indonesia dan WHO pada April 1994, Lokakarya NasionalProgram P2 TB-Paru pada September

Page 4: +respi sk2

1994, Dokumen Perencanaan (Plan of Action) pada bulan September 1994. Dengan strategi baru manajemen ditekankan di DaerahTingkat II. Untuk itu perlu diterbitkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisoperasional dan sasaran 5 tahun pada bulan Februari 1995 sebagai realisasi dokumen perencanaan

Pokok – pokok pencegahan TB Parua. Pelaksana program adalah Kelompok Puskesmas Pelaksana yang terdiri dariPuskesmas Rujukan

Mikroskopis (PRM) dan Puskesmas Satelit (PS). Diagnosis hanya dilakukan di PRM, PS hanya membuat slide serta memfiksasi saja.

b. Pencarian penderita dilakukan secara pasif di sarana kesehatan. DiagnosisBTA secara mikroskopis bila ditemukan kuman dengan 3 kali pemeriksaan dahak yang berbeda (dahak sewaktu, pagi dan sewaktu) dan paling sedikit 2 kali positifdisebut kasus BTA(+)

c. Kasus BTA(–) bila 3 kali pemeriksaan dahak hasilnya semua Negative tapi pada pemeriksaan Röntgen terdapat tanda TB aktif di parunya.

d. Pengecatan dengan Ziehl Neelsen dan pemeriksaan kuman dengan mikroskop binokuler.e. Tipe kasus dibedakan kasus baru, kasus kambuh/gagal, kasus BTA(–) tapi Rontgen positiff. Follow up pengobatan dilakukan secara ketat pada akhir fase intensif dan dua bulan sebelum

akhir pengobatan dan akhir pengobatan, setiap follow up pemeriksaan dahak dilakukan dua kali (dahak sewaktu dari pagi).

g. Supervisi pelaksanaan program dilakukan oleh petugas tingkat II secara ketat (3 bulan sekali).h. Pengawasan langsung keteraturan berobat (DOTS: Directly ObservedTreatment Short- Course)

oleh petugas kesehatan atau keluarganya.