REPRESENTASI NILAI BUDAYA PADA MASYARAKAT SUKU KEI...
Transcript of REPRESENTASI NILAI BUDAYA PADA MASYARAKAT SUKU KEI...
REPRESENTASI NILAI BUDAYA
PADA MASYARAKAT SUKU KEI DALAM NOVEL KEI
KARYA ERNI ALADJAI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh
Hidayatunnisa
NIM. 1113013000066
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
i
ABSTRAK
Hidayatunnisa, NIM: 1113013000066. “Representasi Nilai Budaya Pada
Masyarakat Suku Kei dalam Novel Kei Karya Erni Aladjai dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran di Sekolah”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk memaparkan representasi nilai
budaya pada masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai, dan 2)
mendeskripsikan implikasi nilai budaya masyarakat suku Kei dalam novel Kei
karya Erni Aladjai pada pembelajaran di Sekolah. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif untuk mendeskripsikan data
berupa representasi nilai budaya masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni
Aladjai. Teknik analisis data menggunakan teknik membaca, analisis data, dan
riset pustaka. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan enam nilai budaya yang
direpresentasikan oleh masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai,
yaitu: 1) menjunjung tinggi hukum adat, 2) menjaga kelestarian alam, 3)
menjunjung harkat dan martabat perempuan, 4) milai-nilai kekeluargaan dan
persaudaraan adat, 5) menjunjung nama baik keluarga, dan 6) musyawarah dan
mufakat. Hasil penelitian ini juga dapat diimplikasikan dalam pembelajaran di
sekolah dalam materi ajar sastra yakni mengembangkan karakteristik peserta didik
agar memiliki sikap yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa seperti
toleransi, tolong-menolong, dan saling menghargai.
Kata kunci: Nilai budaya, Representasi, Kei, Erni Aladjai
ii
ABSTRACT
Hidayatunnisa, NIM: 1113013000066. “The representation of cultural values in
the Kei Tribe community by Erni Aladjai and their implications for learning in
schools”, Indonesian Language and Literature Education Major, Faculty of
Tarbiyah and Teacher Training, State Islamic University of Syarif Hidayatullah
Jakarta.
The purpose of this reasearch are: 1) to describe the representation of
cultural values on Kei tribal communities in novel Kei Aladjai Erni's work, and 2)
to describe the implications of cultural values of tribal society in the novel Kei
Aladjai Erni's work on learning in school. The method used in this research is
descriptive qualitative method for describing data in the form of representation of
the cultural value of the tribal people in the novel Kei by Erni Aladjai. Data were
analyzed using the techniques, data analysis, and library research. Based on the
results of the research there are six cultural value represented by the tribal people
of Kei in the novel Kei works of Erni Aladjai, namely: 1) uphold customary law,
2) the preservation of nature, 3) uphold the dignity of women, 4) family values
and custom fraternity, 5) upholding the family name, and 6) deliberation and
consensus. The results of this research can also be implied in learning in schools
in literary teaching material that is developing the characteristics of students so
that they have attitudes that are in accordance with national cultural values such as
tolerance, helping each other, and mutual respect.
Keywords: cultural value, Representation, Kei, Erni Aladjai
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Segala puji serta syukur hanya bagi Allah yang tiada henti
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skprisi yang berjudul “Representasi Nilai Budaya pada Masyarakat Suku Kei
dalam Novel Kei Karya Erni Aladjai dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran di
Sekolah”. Sholawat serta salam tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW, para keluarga, dan pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis menyadari
dalam penulisan skripsi ini penulis membutuhkan bimbingan, dukungan, serta doa
dari berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa hormat, penulis sampaikan upacan
terima kasih kepada:
1. Dr. Sururin, M.Ag., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
3. Ahmad Bahtiar, M.Hum., dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, motivasi, serta saran
dalam penyusunan skripsi ini.
4. Novi Diah Haryanti, M.Hum., Seketaris Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
5. Seluruh dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, atas ilmu, motivasi, dan
inspirasi yang berguna bagi kehidupan penulis.
6. Teristimewa untuk keluarga penulis, orangtua, yaitu Alm. Ahmad
Hudori yang selalu memberikan petuah, inspirasi serta semangat yang
tak pernah putus, bahkan saat raganya sudah tidak ada lagi. Tak lupa
untuk Ibu tercinta, Sa’diyah, S.Pd. yang selalu memberikan kekuatan
untuk berjuang lebih keras dan doa yang tak pernah putus. Adik-adik
penulis, Muhammad Alwi Ikromullah dan Ahmad Ghifari Zahar yang
tak pernah lelah memberikan dukungan serta doanya.
7. Sahabat-sahabat ‘Ma-Love’, Afni Nurul Ikhsan, Lulu Farhatul
Ummah, Syafa’atul Auroh, dan Restu Pamuji yang selalu menjadi
pengingat, pemberi semangat, serta bantuan ketika penulis kesulitan.
8. Teruntuk Rohmat Saputra, yang membangkitkan kembali semangat
juang penulis serta selalu memberikan dukungan, motivasi, serta doa
yang tak pernah putus.
9. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan skripsi
ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
iv
Penulis menyadari skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf dan mengharapkan
kritik serta saran yang dapat bermanfaat bagi penulis ke depannya. Semoga
kehadiran skripsi ini dapat memberikan sepercik manfaat bagi penulis maupun
bagi pembaca.
Jakarta, Januari 2020
Hidayatunnisa
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT ........................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ...............................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 5
C. Batasan Masalah ........................................................................................ 5
D. Perumusan Masalah ................................................................................... 5
E. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6
F. Kegunaan Penelitian .................................................................................. 6
G. Metode Penelitian ...................................................................................... 6
BAB II KAJIAN TEORI
A. Hakikat Novel
1. Hakikat Novel ..................................................................................... 10
2. Unsur Intrinsik Novel
a. Tema ................................................................................................
11
b. Tokoh dan Penokohan ..................................................................... 12
c. Alur ................................................................................................. 13
d. Latar ................................................................................................ 15
e. Sudut Pandang ................................................................................ 15
f. Gaya Bahasa .................................................................................... 17
g. Amanat ............................................................................................ 17
B. Hakikat Nilai Budaya
1. Definisi Nilai ....................................................................................... 18
2. Definisi Budaya ................................................................................... 19
3. Hakikat Nilai Budaya .......................................................................... 21
C. Representasi dalam Sastra ........................................................................ 22
vi
D. Masyarakat Suku Kei
1. Letak Geografi ..................................................................................... 23
2. Asal Usul Suku Kei ............................................................................. 24
3. Sosial Budaya ...................................................................................... 26
E. Pembelajaran Sastra ................................................................................ 31
F. Penelitian Relevan .................................................................................... 33
BAB III BIOGRAFI PENGARANG DAN PEMIKIRANNYA
A. Biografi Pengarang ................................................................................... 36
B. Pemikiran Pengarang ............................................................................... 37
BAB IV HASIL ANALISIS
A. Unsur Intrinsik Novel Kei
1. Tema .................................................................................................... 41
2. Tokoh dan Penokohan ......................................................................... 44
3. Alur atau Plot ....................................................................................... 60
4. Latar ..................................................................................................... 66
5. Sudut Pandang ..................................................................................... 71
6. Gaya Bahasa ........................................................................................ 71
7. Amanat ................................................................................................. 80
B. Analisis Representasi Nilai Budaya Masyarakat Kei
1. Menjunjung Tinggi Hukum Adat ........................................................ 81
2. Menjaga Kelestarian Alam .................................................................. 83
3. Menjunjung Harkat dan Martabat Perempuan ..................................... 85
4. Nilai-nilai Kekeluargaan dan Persaudaraan Adat ................................ 87
5. Menjunjung Nama Baik Keluarga ....................................................... 89
6. Musyawarah dan Mufakat ................................................................... 91
C. Implikasi terhadap Pembelajaran di Sekolah ........................................... 92
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................................. 95
B. Saran ......................................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 97
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Analisis Tema Mayor dan Tema Minor ................................................. 43
Tabel 2. Analisis Tokoh Berdasarkan Peran, Fungsi, dan Watak ........................ 59
Tabel 3. Tahapan Alur .......................................................................................... 62
Tabel 4. Hasil Analisis Tahapan Alur .................................................................. 63
Tabel 5. Analisis Latar Tempat, Waktu, dan Sosial ............................................. 69
Tabel 6. Analisis Gaya Bahasa ............................................................................. 73
Tabel 7. Ragam Bahasa Daerah Kei .................................................................... 78
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Tahapan Alur Novel Kei ......................................................... 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini gejala yang ditimbulkan dari berkembangnya era globalisasi
semakin meresahkan masyarakat. Derasnya arus modernisasi menyebabkan
nilai sosial-budaya yang melekat pada masyarakat sejak dahulu kian terkikis.
Perubahan pada unsur sosial-budaya masyarakat dipengaruhi oleh adanya
kontak atau interaksi dengan budaya bangsa lain. Interaksi budaya ini dimaknai
sebagai pertemuan antara nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lama yang saling
mendominasi dan saling berpengaruh dalam tatanan surface structure, yaitu
pada sikap dan pola-pola perilaku, serta dalam tatanan deep structure yaitu
perubahan sistem nilai, pandangan hidup, filsafat, dan keyakinan.1
Perubahan sisoal-budaya yang terjadi menimbulkan banyak
permasalahan, seperti menghilangnya nilai-nilai karakter bangsa yang
dibuktikan dengan semakin kuatnya sikap-sikap arogan, anarkis, vulgar, serta
tidak toleran akan sesama. Timbulnya berbagai konflik di masyarakat terutama
yang menyangkut-pautkan isu SARA pun kian menjadi bumerang bagi bangsa.
Nilai-nilai budaya masyarakat yang sejatinya dapat mengeratkan rasa persatuan
dan kesatuan tidak jua menemui jalan pulangnya.
Nilai budaya diibaratkan sebagai penyangga dalam kehidupan manusia
agar tetap berada pada garis yang semestinya. Koentjaraningrat mengatakan
bahwa nilai-nilai dalam budaya merupakan sebuah konsep mengenai segala
sesuatu yang dinilai berharga dan penting bagi suatu warga masyarakat,
sehingga berfungsi sebagai pedoman kehidupan masyarakat yang
1 Ni Putus Suwardani, Pewarisan Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk Memproteksi Masyarakat
Bali dari Dampak Negatif Globalisasi, Jurnal Kajian Bali Volume 05, Nomor 02, Oktober 2015, h.
247.
2
bersangkutan.2 Nilai-nilai budaya memiliki perananan penting dalam
merekatkan antaranggota masyarakat karena merupakan kasta tertinggi sebagai
pedoman hidup dalam berperilaku dan beriteraksi sehingga lahirlah keserasian
dalam hidup.
Dalam upaya mengembalikan nilai-nilai budaya bangsa, sastra memiliki
peranan penting di dalamnya. Seperti yang telah diketahui, karya sastra
mengandung nilai-nilai budaya bangsa yang dapat membentuk masyarakat
melalui pengetahuan yang berakar pada kebudayaan lokal. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya karya-karya sastra yang mengangkat isu-isu kedaerahan.
Seperti pada novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, di
dalamnya digambarkan nilai-nilai karakteristik Jawa melalui sikap tokoh
Sarwono. Karya lain yakni melalui novel Okky Madasari yang berjudul Anak
Mata di Tanah Melus. Secara implisit Okky mengambarkan nilai budaya dalam
bentuk perilaku, kepercayaan, serta adat istiadat masyarakat di Nusa Tenggara
Timur yang dibangun dalam kisah petualangan seorang anak. Karya-karya
tersebut hanya sebagian kecil contoh dari karya-karya sastra yang
menggambarkan nilai-nilai budaya bangsa yang dapat menjadi sebuah alat atau
wadah peserta didik dalam mengembangkan karakteristik diri sesuai dengan
nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Pembelajaran apresiasi sastra menjadi upaya dalam menanamkan rasa
peka kepada peserta didik akan cita rasa sastra, sehingga menumbuhkan
pemahaman bahwa sastra bukan hanya sekedar menyalurkan hasrat membaca
namun juga dapat memercikan ide-ide dan pemikiran baru. Maka dalam
pengajarannya pun harus mampu mengubah sikap peserta didik dari tak acuh
menjadi lebih bersimpati.3 Upaya perubahan sikap peserta didik bukan menjadi
hal mudah dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Menumbuhkan daya
2 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2016), h. 153 3 Meina Febriani, Kesesuaian Materi Apresiasi Sastra pada Buku Teks Bahasa Indonesia SMP
Kurikulum 2013, Jurnal PBSI Vol. 6 No. 2, Juli-Desember 2018, Universitas Negeri Semarang.
3
simpati akan teks sastra menjadi langkah kecil dimulainya pembaharuan
revolusi karakter bangsa sebagai wujud mengembalikan nilai-nilai budaya yang
terkikis. Sastra ingin membentuk sikap yang ideal, yang sejalan dengan fungsi
dari sastra; pendidikan nilai. Seperti yang dikatakan Abiding dalam tulisan
Ainun dkk. bahwa tujuan dari pembelajaran sastra adalah untuk
mengembangkan kepekaan peserta didik terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akal,
nilai afektif, nilai keagamaan, dan nilai sosial secara sendiri-sendiri atau
gabungan dari keseluruhannya.4
Namun yang menjadi tantangan adalah semakin modernnya zaman yang
mengikiskan kepopuleran tradisi membaca. Hal ini juga mendukung krisis nilai
budaya bangsa pada diri peserta didik. Zaman sekarang, peserta didik
dimanjakan dengan kecanggihan teknologi sehingga lebih mengandalkan
internet dibandingkan buku-buku. Guru yang dalam hal ini menjadi kunci
ketercapaian belajar mengajar memiliki banyak tugas yang harus dibenahi.
Sebelum peserta didik diberikan pengalaman membaca sastra yang baik, sang
guru harus terlebih dahulu memiliki pengalaman tersebut. Jangan sampai guru
hanya memerintah kepada peserta didik untuk mendalami karya sastra, namun
guru tidak dengan benar memahami karya sastra tersebut. Tentunya menjadi
harapan besar, ketika sastra telah mampu membenahi pengalaman sikap peserta
didik, maka nilai-nilai budaya bangsa yang sesungguhnya akan kembali
menjadi pegangan erat dalam diri peserta didik.
Karya sastra yang didalamnya terdapat nilai-nilai budaya masyarakat
yang luhur salah satunya yakni pemenang unggulan dalam Sayembara Novel
Dewan Kesenian Jakarta tahun 2012, yakni novel berjudul Kei Karya Erni
Aladjai. Novel Kei karya Erni Aladjai merupakan sebuah novel yang bercerita
tentang seluk-beluk budaya, adat istiadat, dan cara pandang masyarakat suku
4 Arifa Ainun R, Nugrahaeni Eko W, Kundharu S, Pembelajaran Sastra Melalui Bahasa dan
Budaya Untuk Meningkatkan Pendidikan Karakter Kebangsaan di Era MEA, (Program Pasca Sarjana
PBI, Universitas Sebelas Maret, May, 2017), h. 142
4
Kei di tanah Maluku. Melalui novel ini, Erni menggambarkan keteguhan
masyarakat Kei dalam menjunjung tinggi hukum adat dan ajaran leluhur
mereka di tengah kondisi kerusuhan yang mencekam di Ambon, Maluku.
Kerusuhan di Ambon terjadi pada tahun 1999 dan melebar hingga ke seluruh
pelosok Ambon termasuk Kepulauan Kei yang berada jauh dari Kota Ambon.
Kerusuhan Ambon memakan waktu kurang lebih 3 tahun sedangkan kerusuhan
di wilayah Kei hanya berlangsung dari Maret hingga Juni 1999. Konflik ini
menjadi fakta mulai terkikisnya rasa kebersamaan yang tertanam dalam diri
masyarakat. Jatuhnya banyak korban membuat kerusuhan Ambon dikenang
sebagai tragedi berdarah Ambon yang akan terus direkam oleh sejarah di
Indonesia.
Aspek kebudayaan dalam novel Kei yang menarik adalah kearifan budaya
dan wujud nilai-nilai dalam diri masyarakatnya. Masyarakat Kei dikenal kuat
memegang prinsip dan sikap hidup berlandaskan pada ajaran leluhur mereka.
Budaya dan nilai norma menjadi tonggak pertama yang mengatur segala
dimensi kehidupan masyarakat Suku Kei. Hukum adat dan nilai ajaran leluhur
diposisikan pada tempat paling tinggi sebab sebelum masuknya agama dan
terbentuknya pemerintahan, hukum adat sudah lebih dulu berperan di
masyarakat. Hukum Larvul Ngabal menjadi alasan terkuat Kei dapat
menghentikan konflik perang saudara yang terjadi. Selain itu, adanya kerjasama
antara adat, agama, dan pemerintah juga menjadi peran penting Kei dapat
dengan baik mengatasi kerusuhan yang memporak-porandakan wilayah
mereka.5 Tidak banyak yang mengangkat kisah masyarakat Kei, terutama
kuatnya peran adat dalam menyelesaikan konflik saat itu. Erni dengan berani
meriset dari berbagai sumber dan menciptakan ruang cerita untuk
menyampaikan kisah ini.
5 Elly Kudubun, Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei, Artikel ini diakses dari
http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/, diunduh
pada tanggal 18 Agustus 2018 pukul 21.05 WIB
5
Sehubungan dengan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji nilai-
nilai budaya yang terdapat dalam novel Kei Karya Erni Aladjai yang tentunya
dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Maka judul
penelitian yang ditulis ialah “Representasi Nilai Budaya Masyarakat Suku Kei
dalam Novel Kei Karya Erni Aladjai dan Implikasinya dalam pembejaran di
Sekolah”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, disimpulkan beberapa masalah yang
teridentifikasi sebagai berikut:
1. Terkikisnya nilai karakter bangsa dalam diri peserta didik zaman
sekarang
2. Perlu adanya bahan ajar yang tepat dalam mendukung ketercapaian tujuan
pembelajaran yang sarat akan muatan edukatif dan nilai budaya lokal
3. Kurangnya apresiasi terhadap sastra dalam pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia
4. Belum adanya penelitian mengenai representasi nilai budaya pada
masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai
C. Batasan Masalah
Fokus penelitian adalah pada nilai-nilai budaya yang melekat di
masyarakat suku Kei. Penulis akan menjabarkan nilai-nilai budaya yang
direpresentasikan oleh masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai
serta implikasinya terhadap pembelajaran di sekolah.
D. Perumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah dan fokus, maka peneliti merumuskan
point-point masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimana representasi nilai budaya masyarakat suku Kei dalam novel
Kei karya Erni Aladjai?
6
2. Bagaimana implikasi hasil penelitian representasi nilai budaya
masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai terhadap
pembelajaran di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memaparkan representasi nilai budaya masyarakat suku Kei dalam novel
Kei karya Erni Aladjai.
2. Mendeskripsikan implikasi nilai budaya masyarakat suku Kei dalam
novel Kei karya Erni Aladjai pada pembelajaran sastra di Sekolah.
F. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna secara teoritis maupun praktis.
1. Kegunaan Teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan, terutama dalam bidang Bahasa dan Sastra Indonesia,
khususnya bagi pembaca dan pecinta sastra.
b. Sebagai bahan acuan dalam pembelajaran, khususnya Bahasa dan
Sastra Indonesia yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai
budaya Indonesia.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
tambahan referensi dalam memilih bahan ajar.
b. Bagi peserta didik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan dalam mengapresiasi novel, khususnya memahami dan
mengamalkan nilai-nilai luhur karakter bangsa yang terkandung
dalam novel dengan tema kearifan lokal.
G. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, yaitu metode yang menyajikan data secara deskripsi. Metode
7
ini berusaha memahami dan menafsirkan suatu makna dari peristiwa,
interaksi, dan tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut diri
peneliti sendiri.6
Penggunaan metode ini bertujuan untuk mendapatkan hasil data
berupa makna yang tekandung di dalam kata per kata, sehingga
representasi nilai budaya masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya
Erni Aladjai dapat terpenuhi.
2. Objek Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan, objek yang dikaji
dalam penelitian ini adalah novel berjudul Kei. Novel tersebut merupakan
karya Erni Aladjai yang diterbitkan oleh penerbit Gagas Media, Jakarta
pada tahun 2013. Novel dengan jumlah halaman 264 ini menjadi
pemenang unggulan dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta
tahun 2012.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi atas data primer dan data
sekunder. Data primer adalah ada yang diperoleh langsung dari sumber
asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat berupa opini
subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap
suatu benda, kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian. Sumber data
primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu menggunakan sumber
data primer dari novel Kei karya Erni Aladjai yang diterbitkan oleh Gagas
Media pada tahun 2013 dengan jumlah halaman 264 lembar.
Data sekunder merupakan sumber data penulisan yang diperoleh
secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh secara tidak
langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain).
Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang
6 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif diunduh dari fip.um.ac.id/wp-
content/uploads/2015/12/3_Metpen-Kualitatif.pdf pada tanggal 21 Januari 2020 pukul 21.44 WIB
8
telah tersusun dalam arsip yang dipublikasikan dan yang tidak
dipublikasikan. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian
ini, yaitu data-data yang diambil dari buku, jurnal, kamus, ensiklopedia,
dan karya ilmiah yang sesuai dengan objek penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan pada penelitian ini dengan menggunakan
teknik pustaka, yaitu menganalisis isi. Peneliti membaca, memahami,
kemudian mencatat pokok-pokok yang terdapat dalam novel Kei karya
Erni Aladjai secara cermat, teliti, dan terarah yang berkaitan dengan
masalah dan tujuan penelitian.
Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan datanya sebagai
berikut:
a. Membaca secara cermat dan memahami pesan yang terkandung
dalam novel Kei karya Erni Aladjai.
b. Menentukan unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Kei karya
Erni Aladjai.
c. Mencatat kalimat-kalimat yang merepresentasikan nilai budaya
masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai.
d. Menganalisis implikasi dari nilai budaya masyarakat suku Kei dalam
novel Kei karya Erni Aladjai terhadap pembelajaran di sekolah.
5. Teknik Analisis Data
Langkah-langkah yang digunakan dalam menganalisis data yaitu:
a. Data dibaca
Peneliti melakukan pembacaan secara berulang-ulang hingga
memahami pesan yang terdapat dalam novel Kei karya Erni Aladjai.
b. Data ditandai
Setelah melakukan pembacaan, peneliti menandai hal-hal penting
yang berhubungan langsung dengan rumusan masalah yang telah
9
dipilih yakni mengenai unsur-unsur intrinsik novel dan nilai budaya
masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai.
c. Data dikelompokkan
Setelah melakukan penandaan, peneliti melakukan pengelompokkan
data berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya dan nilai budaya
masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai.
d. Data dianalisis
Setelah melakukan pengelompokan, peneliti menganalisis data terkait
nilai budaya masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni
Aladjai.
e. Data disimpulkan
Setelah melakukan analisis, peneliti menarik kesimpulan dari hasil
pembahasan sehingga akan didapatkan implikasi dari nilai budaya
masyarakat suku Kei dalam novel Kei karya Erni Aladjai terhadap
pembelajaran di Sekolah.
10
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Hakikat Novel
1. Hakikat Novel
Novel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan
watak dan sifat setiap pelaku.1 Menurut Burhan novel menyajikan sebuah
cerita dengan lebih bebas, lebih banyak, dan lebih detail dengan
melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.2 Sebuah novel
memuat tentang kehidupan manusia dalam menghadapi suatu persoalan
hidup. Fungsi suatu novel ialah untuk mempelajari kehidupan manusia di
suatu zaman sehingga novel dapat juga difungsikan sebagai bahan
pembelajaran masyarakat.3 Kerumitan cerita dalam novel, seringkali
berasal dari pengembangan dokumen-dokumen berbentuk nonfiksi
seperti surat, jurnal, memoar atau biografi, serta sejarah yang kemudian
membuat isi sebuah novel semakin bersifat realistis dan mengacu pada
penggambaran psikologi yang mendalam.4
Maka dapat disimpulkan bahwa novel merupakan bentuk prosa fiksi
yang memiliki panjang cerita jauh melebihi cerpen dengan detail
permasalahan yang lebih rinci. Kehadiran novel bukan hanya sebagai
bentuk karya bacaan biasa namun terdapat tujuan tertentu dari
penciptaannya, yaitu mengarahkan dan memberikan pembelajaran
mengenai realitas kehidupan sehingga dapat memperbaharui dan
menambah keluhuran dalam bersikap.
1 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Malang: Aditya Media Publishing, 2013), h.
128 2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2012), h. 11 3 Andri Wicaksono, Pengkajian Prosa Fiksi, (Yogyakarta: Garudhawaca, 2017), h. 73 4 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2016), h. 261
11
2. Unsur Intrinsik Novel
Unsur intrinsik adalah bagian-bagian yang turut membangun
terciptanya sebuah novel. Kepaduan antarunsur intrinsik ini yang
membuat sebuah novel hadir sebagai karya sastra. Unsur intrinsik
tersebut yakni tema, tokoh dan penokohan, alur/plot, latar, sudut
pandang, gaya bahasa, dan amanat.
a. Tema
Tema adalah ide yang mendasari sebuah cerita. Tema menjadi
sebuah pangkal bagi pengarang dalam memaparkan cerita imajinasi
yang dibuatnya.5 Dengan kata lain, jalan sebuah cerita tentunya akan
“setia” mengikuti gagasan dasar yang telah pengarang tentukan
sebelumnya sehingga berbagai peristiwa-konflik dan pemilihan
unsur-unsur intrinsik lainnya diusahakan mencerminkan dasar cerita
tersebut.6 Dukungan informasi dari unsur-unsur intrinsik cerita akan
melengkapi kejelasan dari tema tersebut sehingga apa yang ingin
disampaikan oleh pengarang dapat sampai kepada pembaca.
Dalam novel, makna yang dikandung dan ditawarkan pengarang
dapat berjumlah banyak. Hal tersebut karena novel memiliki cerita
yang kompleks sehingga makna cerita dapat terdiri dari tema mayor
dan tema minor. Tema mayor atau tema pokok adalah makna cerita
yang tersirat dalam sebagian besar cerita. Menentukan tema mayor
hakikatnya merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan, dan
menilai, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan terkandung
dalam sebuah karya. Sedangkan tema minor atau tema tambahan
adalah makna cerita yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu
cerita saja. Makna-makna tambahan ini bersifat mendukung
sehingga semakin memperjelas makna pokok.7
Adanya tema mayor dan minor memang menyulitkan dalam
menentukan makna cerita. Namun dalam menafsirkan makna dapat
5 Siswanto, Op.Cit., h. 146. 6 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 70 7 Ibid., h. 83
12
dilakukan dengan mengamati secara keseluruhan cerita sehingga
makna cerita dapat ditemukan dengan baik.
b. Tokoh dan Penokohan
Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro tokoh adalah orang
(orang) yang ditampilkan dalam cerita, atau drama, yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki suatu moral yang diekspresikan
melalui ucapan dan tindakan yang dilakukan.8 Aminudin dalam
Siswanto menambahkan bahwa tokoh merupakan pelaku yang
diberikan tugas pembawa peristiwa dalam cerita rekaan sehingga
peristiwa tersebut dapat berjalan menjadi sebuah cerita.9 Tokoh pada
umumnya berwujud manusia, tetapi juga dapat berwujud binatang
atau benda yang seolah dihidupkan.
Dalam sebuah narasi, terdapat hal yang melekat erat pada tokoh
yaitu aksi/perilaku. Hal tersebut sering diistilahkan karakter atau
perwatakan. Antara seorang tokoh dan perwatakan memang suatu
kepaduan yang utuh. Sebab perwatakan mencakup masalah siapa
tokoh, bagaimana wataknya, dan bagaimana penempatan atau
penggambarannya dalam sebuah cerita sehingga mampu
memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.10
Tokoh dalam cerita dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis,
yaitu sebagai berikut :
1) Jika dilihat dari peran tokoh dalam perkembangan plot, maka
dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan.
Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian atau yang dikenai keadian. Sedangkan
tokoh tambahan kehadirannya hanya jika ada kaitannya dengan
tokoh utama.11
8 Ibid, h. 165 9 Siswanto, Op.Cit., h. 129 10 Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan,
2011), h. 17-18 11 Nurgiyantoro, Op.Cit., 177
13
2) Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh, maka dapat dibedakan
menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh
protagonis adalah tokoh yang menjadi pengejewantahan nilai-
nilai yang ideal. Sedangkan tokoh antagonis merupakan tokoh
penyebab terjadinya konflik yang beroposisi dengan tokoh
protagonis.12
3) Jika dilihat dari perwatakan tokoh, maka dapat dibedakan
menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana
adalah tokoh yang memiliki kualitas pribadi tertentu saja.
Sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang dapat menampilkan
watak dan tingkah laku yang beragam, bahkan tampak
bertentangan dan sulit diduga.13
Tokoh dan penokohan dalam cerita menjadi unsur penting.
Keberadaan tokoh dan penggambaran penokohan membawa amanat,
pesan, dan nilai dari pengarang kepada pembaca. Tokoh juga dapat
difungsikan sebagai pelaku kritik yang seolah menjadi jembatan
pengarang dalam penyampaikan tanggapan atau pendapat.
c. Alur
Abrams mengatakan plot atau alur adalah jalan cerita yang
tersusun dari tahapan-tahapan peristiwa yang saling terjalin menjadi
sebuah cerita.14 Aminuddin sebagaimana dikutip oleh Wahyudi
Siswanto membedakan beberapa tahapan peristiwa dalam alur/plot,
yaitu (1) pengenalan, tahap memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar
cerita. (2) konflik atau ketegangan, tahap pertentangan antara dua
kepentingan atau kekuatan dalam cerita. (3) komplikasi atau rumitan,
bagian tengah alur cerita yang mengembangkan tikaian. (4) klimaks,
bagian alur cerita yang menggambarkan ketegangan, dan
membangkitkan segi emosional pembaca. (5) krisis, tahapan yang
12 Ibid, h. 178-179 13 Ibid, h. 182-183 14 Siswanto, Op.Cit., h. 144
14
mengawali proses penyelesaian. (6) leraian, bagian alur sesudah
tercapainya klimaks. (7) selesaian, tahapan akhir cerita.15
Nurgiyantoro mengatakan bahwa dalam alur hubungan
antarbagian yang dikisahkan haruslah bersebab akibat, tidak hanya
sekedar berurutan secara kronologis saja.16 Oleh karena itu, ia
membagi alur ke dalam kronologis dan tak kronologi. Dalam
kategori kronologis plot disebut sebagai plot lurus, maju, atau juga
dapat dinamakan progresif. Sedangkan kategori yang kedua disebut
sorot-balik, mundur, flash-back atau juga disebut regresif. 17
Plot lurus atau plot maju atau progresif adalah peristiwa-
peristiwa dalam cerita yang dikisahkan secara kronologis, yakni
peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa yang kemudian.
Atau beruntun dari penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik,
klimaks hingga penyelesaian. Plot mundur, flash-back atau regresif
adalah urutan kejadian peristiwa yang tidak dimulai dari tahap awal
pengenalan, melainkan dari tahap konflik atau bahkan dari
penyelesaian. Pada kategori ini cerita yang disuguhkan langsung
pada adegan-adegan yang telah meninggi dan tegang kemudian
dikembalikan atau disorotbalikan ke tahap peristiwa sebelumnya.
Plot campuran merupakan urutan kejadian dalam sebuah cerita
progresif yang didalamnya mengandung kejadian flash-back.
Menurut Burhan, dapat dikatakan kemungkinan tidak ada sebuah
cerita yang mutlak flash-back atau progresif sebab pembaca akan
kesulitan untuk mengikuti cerita yang terus-menerus dilakukan
secara mundur. Oleh karena itu, menurutnya sebuah novel pada
umumnya akan mengandung keduanya, atau berplot campuran.18
Kelengkapan tahapan pada alur menentukan seberapa kompleks
jalan cerita yang pengarang sajikan. Semakin tahapan alur terasa
15 Ibid, h. 145 16 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 112 17 Ibid, h. 153 18 Ibid, h. 154-156
15
rumit maka pembaca juga semakin kesulitan dalam menerka jalan
cerita tersebut. Tetapi kerumitan tersebut menjadi daya tarik
sehingga pembaca memiliki rasa “penasaran” terhadap jalan
ceritanya.
d. Latar
Abrams sebagaimana dikutip dalam Burhan Nurgiyantoro
mengatakan latar atau setting disebut juga landasan tumpu,
mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan
sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.19 Latar
dalam cerita tidak sepenuhnya rekaan, namun juga tidak selalu
realita. Terkadang pengarang memadukan keaslian latar dengan daya
imajinya sehingga pembaca memiliki kesan menerka-nerka.
Keberadaan latar secara fisik didukung pula dengan latar secara
spiritual, maksudnya latar digambarkan melalui wujud adat istiadat,
kepercayaan dan nilai-nilai kehidupan di tempat yang diceritakan.
Hal ini menjadi penguat dalam penggambaran latar sekaligus
perwatakan dalam cerita.
Unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu (1)
latar tempat, merujuk pada lokasi terjadiya peristiwa secara
geografis. (2) latar waktu, berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa dalam cerita. (3) latar sosial, menyaran pada hal-
hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat
di tempat yang diceritakan. Unsur latar ini dapat berupa kebiasaan
hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara
berpikir dan bersikap, dan lain-lain.20
e. Sudut Pandang
Menurut Wahyudi Siswanto sudut pandang adalah tempat
sastrawan memandang cerita, dari tempat itulah sastrawan bercerita
19 Ibid., h. 216 20 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 227-233
16
tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.21
Sudut pandang pada hakikatnya merupakan teknik, strategi, siasat
yang dengan sengaja pengarang pilih untuk digunakan dalam
mengemukakan gagasan dan ceritanya. Ketika sudah berupa cerita
gagasan pengarang disalurkan melalui sudut pandang tokoh, lewat
kacamata tokoh dalam cerita.22
Burhan Nurgiyantoro membedakan sudut pandang berdasarkan
bentuk persona tokoh, yaitu:
1) Sudut pandang persona ketiga
Gaya “dia” menjadi ciri paling nyata dalam penggunaan
sudut pandang persona ketiga ini. Narator berada di luar cerita
dengan menampilkan tokoh-tokoh dalam sebutan nama, atau
kata gantinya; ia, dia, mereka.23 Pengarang dapat
menyembunyikan diri dengan menarasikan cerita tanpa
menunjukkan keterlibatannya dalam cerita. Dalam hal ini,
pengarang menulis dengan sudut pandnag “mahatahu”
(Omniscient author). 24
2) Sudut pandang persona pertama
Dalam sudut pandang persona pertama digunakan gaya
“aku” dalam pengisahannya. Narator merupakan seseorang yang
terlibat langsung di dalam cerita. Si “aku” merupakan narator
yang juga tokoh dalam berkisah dengan kesadaran dirinya
sendiri. Ia (narator) mengisahkan peristiwa dan tindakan yang
diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta
menunjukkan sikapnya terdapat orang (tokoh) lain kepada
pembaca. Penyebutan nama si “aku” jarang dilakukan, hanya
orang (tokoh) lain yang menyebutkan namanya.25
21 Siswanto, Op.Cit., h. 137 22 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 248 23 Ibid, h. 256 24 Wellek dan Warren, Op.Cit., h. 270 25 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 262
17
f. Gaya Bahasa
Style atau stile atau gaya bahasa merupakan cara pengucapan
dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan
sesuatu yang akan dikemukakan.26 Menurut Siswanto gaya bahasa
adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu
menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya
intelektual dan emosi pembaca.27 Lebih singkat Slamet Muljana
memaknai gaya bahasa sebagai susunan kata yang terjadi karena
perasaan yang timbul dalam hati penulis dan memberikan akibat
munculnya perasaan tertentu pada si pembaca.28 Pengertian tersebut
memberikan suatu konsep bahwa setiap orang, setiap penulis
mempunyai gaya yang berbeda dalam mengungkapkan
perasaaannya.
Pengarang memiliki kebebasan dalam memilih bentuk bahasa
untuk mengekspresikan makna cerita. Pemilihan bentuk ungkapan
bahasa ini tidak selamanya dilakukan secara sadar oleh pengarang,
sebab hal memilih ungkapan seolah-olah terjadi secara otomatis
dalam proses penulisan, seolah-olah sudah menjadi bagian dalam diri
pengarang. Seperti pendapat Enkvist dalam jurnal Arsanti, dikatakan
bahwa pikiran atau sebauh ide akan muncul lebih dulu, baru
kemudian diutarakan dengan cara-cara tertentu.29 Dengan demikian
bentuk ungkapan dalam gaya bahasa yang dipilih pengarang dapat
dikatakan mencerminkan pola berpikir pengarang tanpa dimauinya.
g. Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan
yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau
26 Ibid., h. 276 27 Siswanto, Op.Cit., h. 144 28 Arsanti Wulandari, Gaya Bahasa Perbandingan dalam ‘Serat Nitipraja’, Jurnal
Humaniora Volume XV, No. 3/2003, h. 304 29 Ibid, h. 302
18
pendengar.30 Pesan moral merupakan petunjuk yang diberikan
pengarang mengenai hubungan dengan masalah kehidupan, seperti
sikap, tingkah laku, dan sopan santun dalam pergaulan di
masyarakat.31 Umumnya, pesan moral dalam cerita fiksi mengarah
pada kebaikan. Meskipun tokoh dalam cerita ditampilkan dengan
sikap dan tingkah laku yang tidak baik, tidak mengartikan bahwa
pengarang menyarankan pembaca untuk bersikap demikian. Sikap
dan tingkah laku tokoh tersebut hanyalah model atau contoh agar
pembaca tidak meniru sikap dan tingkah laku tidak terpuji tersebut.32
Pesan moral pada hakikatnya menyampaikan perbuatan, sikap,
kewajiban, hak, hingga akhlak dan budi pekerti. Dalam sebuah karya
sastra, pengarang senantiasa menyampaikan pesan moral dengan
berbagai cara dan teknik, tujuannya agar karya yang ditulis tidak
hanya dapat menjadi bacaan bagi pembaca, tetapi juga sebagai
pembelajaran melalui pesan yang sampai kepada pembaca.
B. Hakikat Nilai Budaya
1. Definisi Nilai
Secara etimologi nilai atau value didefinisikan sebagai pandangan.
Dalam kehidupan sehari-hari nilai merupakan sesuatu yang berharga,
bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia.33 Nilai
berarti sesuatu yang penting dan berharga, memberikan sebuah arti
tujuan dan arah hidup. Disamping itu, nilai juga menyediakan motivasi,
arahan, serta petunjuk dalam sebuah perjalanan hidup.34
Nilai yang dimiliki seseorang dapat mengekspresikan apa yang lebih
disukai atau yang tidak disukainya. Artinya, nilai menimbulkan sebuah
sikap dan perbuatan. Dalam hal pendidikan, sasaran pendidikan nilai
30 Siswanto, Op.Cit., h. 147 31 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 321 32 Ibid, h. 322 33 Qiqi Yuliati dan A. Rusdiana, Pendidikan Nilai: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014), h. 14 34 J. Darminta, SJ, Praksis Pendidikan Nilai, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 24
19
adalah menanamkan nilai-nilai luhur kepada diri peserta didik.35 Salah
satu caranya dengan membangun character building yang didasari oleh
nilai-nilai moral kemanusiaan di kalangan masyarakat, baik sebagai
individu maupun kelompok. Nilai-nilai moral yang kokoh dan etika
standar yang kuat sangat diperlukan bagi individu melalui pendidikan
nilai dalam proses pendidikan tersebut.36 Tujuan dalam pendidikan nilai
tidak lain untuk memberikan pijakan dasar sebaik-baiknya bagi peserta
didik dalam suatu proses mencapai manusia beradab.
Berdasarkan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai
merupakan dasar lahirnya sebuah sikap dan perilaku seseorang. Ketika
dasar nilainya buruk maka menimbulkan sikap yang buruk. Begitupun
sebaliknya. Oleh karena itu, upaya menanamkan dasar nilai-nilai yang
baik dilaksanakan melalui proses pendidikan, baik di keluarga, sekolah
ataupun lingkungan masyarakat.
2. Definisi Budaya
Budaya dan kebudayaan memiliki makna yang searah. Jika kata
budaya berarti cipta, karsa dan rasa, maka kebudayaan memiliki arti hasil
dari cipta, karsa, dan rasa tersebut. Dalam bahasa Sanskerta, budaya
berasal dari kata budhayah yang berarti budi dan akal. Kata budhayah
merupakan kata jamak dari kata budhi. Maka arti dari kebudayaan sering
kali dikaitkan dengan pemikiran manusia yang sudah pasti merupakan
satu-satunya makhluk yang memiliki akal dan dapat menciptakan
kebudayaan.37
Seluruh aspek kehidupan manusia menurut Marvin Harris, yang
diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku disebut
sebagai kebudayaan.38 Koentjaraningrat pun menjelaskan bahwa
35 Yuliati dan Rusdiana, Op.Cit., h. 63-64 36 Sri Wening, Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Nilai dalam Jurnal
Pendidikan Karakter, tahun II, Nomor 1, Februari 2012, h. 58 37 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroologi, (Jakarta: Rineka Cipta, Edisi Revisi 2016),
h. 146 38 Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studie: Representasi Fiksi dan Fakta
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 5
20
kebudayaan ialah sistem gagasan, tindakan, rasa, serta karya manusia
yang dihasilkan dan dijadikan milik dirinya melalui proses belajar di
kehidupan masyarakat.39 Dengan demikian, kehadiran budaya bukan
berasal dari bawaan lahir manusia, tetapi didapat melalui proses ‘belajar’
sehingga budaya dapat dimaknai sebagai kebudayaan. Sudah menjadi
hukum alam jika sejak lahir manusia memiliki kemampuan belajar akan
lingkungan sekitar. Seperti seorang bayi yang secara bertahap akan
belajar dari hal kecil sehingga ketika dewasa hasil dari belajar tersebut
dinamakan kebudayaan.
Secara umum budaya berkembang dan dimiliki bersama oleh
sekelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
bersifat holistik, artinya terbentuk dari banyak unsur seperti sistem
agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni.40 Dengan kata lain budaya memiliki jangkauan ruang
yang luas, tidak terbatas hanya pada seni dan bangunan bersejarah, tetapi
juga menjangkau keseluruhan aspek kehidupan manusia. Sebagaimana
pendapat Edward Burnett Tylor bahwa kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-
kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.41
Maka dapat disimpulkan bahwa budaya atau kebudayaan
merupakan hasil dari proses manusia dalam belajar semenjak ia
dilahirkan megenai segala sesuatu yang ada di lingkungan hidupnya dan
berkaitan dengan seluruh aspek kehidupannya. Dalam ruang waktu
belajar inilah manusia menata kehidupannya menuju satu titik tertentu
yakni manusia yang berbudaya, artinya memiliki tata kehidupan yang
baik dalam berkehidupan baik pada dirinya sendiri maupun pada
lingkungannya.
39 Koentjaraningrat, Op.Cit., h. 144 40 Anton Ohoiran SS, KEI: Alam, Manusia, Budaya, dan Beberapa Perubahan,
(Yogyakarta: Sibuku Media, 2016), h. 76 41 Ibid, h. 77
21
3. Hakikat Nilai Budaya
Menurut Koentjaraningrat nilai budaya terdiri atas konsepsi-
konsepsi yang hidup dalam alam pikiran manusia mengenai hal-hal yang
mereka anggap berharga sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman
dalam memberikan arah hidup pada masyarakat tersebut. Dalam suatu
kebudayaan, nilai-nilai budaya berada pada daerah emosional dari alam
jiwa individu yang merupakan warga masyarakat dan kebudayaan
tersebut.42 Sementara itu, Edwar Djamaris menyatakan nilai-nilai budaya
adalah tingkatan pertama kebudayaan atau adat. Nilai budaya ini menjadi
lapisan paling abstrak dan memiliki ruang lingkup yang luas.
Sebagaimana yang dikatakan Koentjaraningrat bahwa nilai budaya
adalah sebuah konsepsi, maka konsepsi tersebut biasanya berfungsi
sebagai ‘pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia”.43
Dalam menghadapi era globalisasi sekarang ini, nilai budaya
berfungsi sebagai filter dalam menyikapi pengaruh nilai-nilai asing yang
masuk. Masyarakat Indonesia yang memiliki lebih dari 3000 suku bangsa
dan jutaan nilai budaya di dalamnya, tak mudah pastinya untuk tetap
mengikatkan diri pada nilai-nilai budaya bangsa. Kuatnya pengaruh
globalisasi serta nilai-nilai asing dari bangsa lain menyebabkan secara
perlahan-lahan mulai mengikiskan budaya asli dan menghilangnya
sebagian nilai-nilai luhur sebagai pedoman dasar dalam tatanan
kehidupan bermasyarakat di Indonesia.44 Hal tersebut yang menjadi
alasan terdesaknya kita untuk bagaimana mencari cara mempertahankan
serta mengikatkan kembali dalam nilai-nilai budaya luhur bangsa yang
sejak dahulu telah ada.
Pemahaman mengenai sistem nilai tidak dapat dilepaskan dari sifat
manusia yang dibawa sejak lahir. Karena itu, nilai menjadi suatu yang
42 Koentjaraningrat, Op.Cit., h. 153 43 Suhardi dan Riauwati, Analisis Nilai-nilai Budaya (Melayu) dalam Sastra Lisan
Masyarakat Kota Tanjung Pinang, Jurnal Lingua Volume XIII Nomor 1 Januari 2017, h. 27 44 Nanik Hindaryatiningsih, Model Proses Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Lokal dalam
Tradisi Masyarakat Buton. Jurnal Sosiohumaniora, Volume 18 No. 2 Juli 2016, h. 109.
22
penting bagi manusia dalam mencapai suatu tujuan hidup. Penanaman
nilai yang baik akan melahirkan kebudayaan yang baik pula dalam
tercapainya tujuan hidup. Maka, setiap tujuan hidup manusia harus
melibatkan nilai-nilai budaya yang luhur untuk dilestarikan dan dijaga.
Karena jika manusia menopangkan hidupnya pada nilai budaya dan
menjadikannya prinsip dalam mengelola kehidupan, maka keluhuran dari
nilai budaya akan mempengaruhi kehidupan manusia.
C. Representasi dalam Sastra
Definisi representasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah perbuatan mewakili; keadaan diwakili; apa yang diwakili; atau
perwakilan.45 Menurut Ratna representasi merupakan suatu kegiatan
merekonstruksi dan menampilkan berbagai fakta dari suatu objek sehingga
eksplorasi atau pencarian terhadap makna dapat dilakukan secara
maksimal.46 Representasi menurut Hall dalam Febrianto dan Anggraini
yaitu menghubungkan konsep yang ada dalam pikiran dengan menggunakan
bahasa untuk mengartikannya yang berupa benda, orang, maupun kejadian
nyata, dan imajinasi dari objek tersebut.47 Singkatnya representasi dapat
diartikan sebagai penggambaran fakta dari suatu objek dengan tujuan untuk
mengulik makna secara keseluruhan melalui bahasa sebagai media. Jika
representasi dikaitkan dengan karya sastra, maka penggambaran fakta yang
dilakukan berupa peristiwa atau fenomena yang terjadi di masyarakat.
Dalam hal ini peristiwa atau fenomena masyarakat tersebut diasumsikan
sebagai kejadian nyata.
Kenyataan dalam sebuah karya sastra merupakan sebuah hal yang
penting. Meskipun karya sastra identik dengan imajinasi yang dilukiskan
oleh pengarang lewat bahasa, namun apabila tidak didasarkan pada
45 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1167 46 Ratna, Op.Cit., h. 601 47 Diki Febrianto dan Purwati Anggraini, Representasi Pewayangan Modern: Kajian
Antropologi Sastra dalam Novel “Rahvayana Aku Lala Padamu” karya Sujiwo Tejo, Jurnal
Jentera: Jurnal Kajian Sastra, Nomor 8(1), 2019, h. 13 diunduh dari
http://ojs.badanbahasa.kemendikbud.go.id/jurnal/index.php/jentera/index pada tanggal 12
Desember 2019 pukul 20.20 WIB
23
kenyataan di masyarakat, maka karya sastra tersebut tidak dapat dipahami
secara benar dan hanya akan menjadi sebuah dongeng, cerita khayal, atau
ilmu pengetahuan. Masyarakat yang dilukiskan dalam sebuah karya sastra
adalah masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang dialami
oleh pengarang. Perbedaannya, masyarakat tersebut sudah bercampur
dengan emosi, obsesi, cita-cita, dan citra pengarang.48 Dengan demikian
setiap karya sastra pasti didasarkan dari pengalaman nyata pengarang
tentang apa yang terjadi di masyarakat dan ditampilkannya melalui bahasa
sebagai media.
Menurut Barker dalam Mulyo Hadi Purnomo, teks menjadi bentuk
dari sebuah representasi. Sifatnya yakni polisemis atau memiliki banyak
kemungkinan arti. Dalam teks mengandung adanya banyak aneka makna
yang harus direalisasikan oleh pembaca di dunia nyata dengan mengisahkan
dan membayangkan kehidupan yang ada di dalam teks ke dalam dunianya.
Makna diproduksi dalam sebuah interaksi antara teks dengan pembaca
sehingga momen konsumsi tersebut juga dinamakan produksi makna. Denga
kata lain teks merupakan representasi yang dibangun, bukan dicerminkan
dari realitas. 49
D. Masyarakat Suku Kei
1. Letak Geografi
Suku Kei merupakan penduduk asli yang menempati wilayah
Kepulauan Kei. Kepulauan Kei merupakan gugusan pulau-pulau di
Maluku Tenggara, wilayah timur Indonesia. Kepulauan ini terdiri dari
ratusan pulau baik yang berpenghuni maupun yang tidak berpenghuni.
Kini, secara administrasi pemerintahan Kepulauan Kei telah
dimekarkan menjadi dua Kabupaten/Kota, yaitu Kabupaten Maluku
Tenggara dan Kota Tual.
48 Ratna, Op.Cit., h. 305-306 49 Mulyo Hadi Purnomo, Menguak Budaya dalam Karya Sastra: Antara Kajian Sastra dan
Budaya, Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, E-ISSN : 2599-1078
24
Kepulauan Kei berada di Laut Banda, di barat Kepulauan Aru
dan di tenggara Pulau Seram. Oleh masyarakat setempat Kepulauan
Kei disebut Nuhu Evav (pulau Evav) atau Tanat Evav (tanah Evav).
Kepulauan ini terdiri atas dua kelompok pulau: pulau Kei Kecil
(dalam bahasa Kei Nuhu Roa, artinya pulau atau desa dari laut) dan
pulau Kei Besar (dalam bahasa Kei Nuhu Yut, artinya pulau tabu atau
terlarang). Luas kepulauan ini mencapai 7.856,70 km2 dengan
pembagian luas laut 3.180,70 km2 dan luas daratan 4.676 km2.
Bentangan alam di Pulau Kei Besar didominasi oleh gunung-
gunung, namun tidak termasuk dalam kategori gunung-gunung tinggi
seperti di Jawa. Gunung paling tinggi di Pulau Kei Besar yakni
Gunung Dab dengan ketinggian mencapai 820 m di atas permukaan
laut. Wilayah ini tidak memiliki banyak sungai dan danau. Tanahnya
luas dan sangat keras ketika musim panas. Sedangkan di Pulau Kei
Kecil tanahnya terdiri atas karang yang kering dengan ketebalan
mencapai 15 cm.50
Kepulauan Kei dikenal dengan kekayaan alam dengan sumber
daya laut dan darat yang beraneka ragam jenisnya. Salah satunya
yakni potensi alam untuk jenis-jenis tanaman obat-obatan. Ada
berbagai jenis tumbuhan dan hasil alam lainnya yang dapat dijadikan
obat untuk menyembuhkan berbagai gangguan fisik dan penyakit.
Berdasarkan tradisi lisan, dijumpai praktik pengobatan tradisional
yang menciptakan kesan ‘mistik’ dari pandangan orang.51
2. Asal-muasal Suku Kei
Istilah Kei sebetulnya tercetus secara tidak sengaja, yakni akibat
tidak searahnya komunikasi antara penduduk lokal dengan orang asing
yang tiba di daratan Kei. Ketika orang asing menanyakan nama pulau
yang ia jejaki, penduduk lokal dengan ketidakpahaman akan bahasa
asing menjawab “beikei” yang berarti tidak tahu. Istilah tersebut yang
50 Ignasius S.S. Refo, Manusia Kei Dari Perkawinan Sampai Kematian, (Yogyakarta:
Yayasan Pustaka Nusantara, 2015), h.8 51 Ohoira, Op.Cit., h. 3
25
kemudian diserap oleh orang asing dan menyebut pulau itu dengan
nama pulau Kei. 52
Namun sebelum masa Belanda (VOC), dalam buku
Negarakertagama dikatakan bahwa ketika kerajaan Majapahit telah
menguasai Nusantara dan Kepulauan Kei masuk ke dalam wilayah
kekuasaannya, Kepulauan Kei dikenal dengan nama Muar, yang
dalam bahasa Kei merupakan nama sejenis pohon yang disebut ai
muar. Makna yang dimaksud ialah menggambarkan wilayah yang
berasal dari tumpukan batu atau muar vat.53
Menurut Sejarah, orang-orang Kei diyakini berasal dari Bali.
Hal ini terjadi saat pengaruh kerajan Islam di Jawa mulai menguat.
Para bangsawan Hindu di kerajaan Majapahit menolak pengaruh
tersebut dan memilih pindah ke Bali. Kedatangan mereka pun
mendesak penduduk asli. Sebagian penduduk asli yang terdesak lalu
berlayar ke arah timur untuk menetap di Maluku Tenggara yang lebih
subur dibanding pulau-pulau di Nusa Tenggara.54
Berdasarkan sejarah lisan atau Tom Tad-dalam bahasa Kei,
masyarakat Kei mula-mula adalah ren-ren mereka adalah penduduk
asli Kei atau pemilik Nuhu Evav, yang kemudian ‘berjumpa’ dengan
para pendatang yang dikategorikan sebagai mel-mel. Kesepakatan
antara dua kelompok inilah yang kemudian membentuk kebudayaan
masyarakat Kei, yakni kekerabatan Utan Lor sebagai kehidupan sosial
budaya yang khas di Kei, tatanan pemerintahan tradisional, serta
hukum adat Larvul Ngabal yang mencapai bentuk akhir kurang lebih
pada abad ke-16.
Secara umum suku Kei terklasifikasi dalam tiga kelompok adat,
yakni Lor Siw / Ur Siw (Sir Ifaak); Lor Lim (Lim Itel); dan Lor Labay.
Namun setelah masuknya Belanda di Kepulauan Kei, kelompok adat
52 Usman Ks, dkk, Merajut Damai di Maluku: Telaah Konflik Antarumat 1999-2000,
(Jakarta: Majlis Ulama Indonesia, 2000), h. 53 53 Ignasius, Op.Cit., h. 10 54 Usman, Op.Cit., h. 53
26
menjadi turun kepamorannya, hingga saat ini hanya ada dua kelompok
adat yang diketahui oleh masyarakat, yaitu Lor Siw dan Lor Lim.
Secara etimologi Lor berarti kumpulan orang yang mendiami
wilayah/Ratschap atau kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan
faktor geneologis dan faktor teritorial, sedangkan Siw dan Lim
menunjuk pada angka 5 dan 9 yang dipahami sebagai lambang
institusi kelompok adat tersebut, yang diikat dalam hukum adat Larvul
Ngabal.
Larvu Ngabal merupakan hukum adat yang berasal dari
gabungan dua hukum adat, yaitu hukum Larvul yang ditetapkan di
desa Elaar, Kei Kecil oleh sembilan orang Rat (Raja) yang kemudian
bernama dikenal dengan Ur Siw / Lor Siw, dan hukum adat Ngabal
ditetapkan di desa Lerohoilim, Kei Besar oleh lima orang Rat (Raja)
yang kemudian bernama Lor Lim. Bergabungnya dua hukum adat ini
dilatarbelakangi oleh perang saudara dalam penaklukan dan perluasan
wilayah kekuasaan, kemudian kedua persekutuan ini bersepakat untuk
berdamai dengan menggabungkan kedua hukum adat yang berlaku di
wilayah mereka menjadi hukum adat Larvul Ngabal. 55
3. Sosial-Budaya
Penduduk Kei dalam percakapan sehari-hari selain
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa
Melayu Ambon, terdapat beberapa bahasa tradisional dari rumpun
bahasa Austronesia yang dipakai sebagai bahasa percakapan di
Kepulauan Kei. Bahasa Kei (Veveu Evav) merupakan bahasa paling
umum yang digunakan di Kepulauan Kei, terutama di 207 desa di Kei
Kecil, Kei Besar, dan beberapa pulau lain. Bahasa Kur (Veveu Kur)
digunakan oleh penduduk pulau Kur dan Kamear, tetapi dalam
pergaulan sehari-hari dengan penduduk Kei lainnya mereka
menggunakan bahasa Kei.
55 Elly Esra Kudubun, Ain Ni Ain: Kajian Sosio-kultural Masyarakat Kei Tentang Konsep
Hidup Bersama Dalam Perbedaan, Jurnal Cakrawala ISSN 1693 6248
27
Bahasa Kei tidak memiliki sistem penulisan tersendiri layaknya
bahasa Jawa Kuno atau bahasa tradisional lainnya. Namun, oleh para
misionaris atau penyebar agama Kristen, bahasa Kei ini ditulis dengan
media alfabet latin dalam penulisannya. Bahasa Kei umumnya
digunakan dalam keluarga atau lingkungan kemasyarakatan. Bahasa
Kei juga digunakan dalam upacara-upacara adat, seperti pernikahan,
kematian, membuka lahan dan lain-lain. Dalam praktikya, bahasa Kei
yang digunakan ketika ritual sering tampak berbeda dari bahasa
sehari-hari, sebab berisi formula-formula tertentu yang berisi
ungkapan atau peribahasa yang hanya ditangkap dengan baik bagi
yang menggunakan bahasa tersebut.56
Seiring dengan masuknya perkembangan zaman dan peradaban
dalam kehidupan di Kei, kini mayoritas penduduk Kei menggunakan
bahasa Indonesia sebagai media komunikasi mereka. Hal ini
dikarenakan untuk mendukung pekerjaan dan interaksi di sekolah,
kantor, pasar, dan sektor publik.
Sebagai suku bangsa, orang Kei memiliki nilai-nilai yang
menjadi dasar dan pegangan hidup mereka. Nilai-nilai tersebut
melekat di dalam berbagai sistem kehidupan dan menjadi suatu bentuk
formal hukum adat Kei. Puncaknya, hukum adat Kei mencapai
kesempurnaan pada lahirnya Hukum Larvul Ngabal. Sebelum Hukum
Larvul Ngabal lahir, masyarakat Kei terdiri atas kesatuan-kesatuan
adat yang disebut Utan/Lor. Setiap kesatuan ini memiliki sistem nilai
masing-masing dibawah pimpinan seorang yang bergelar Hila’ai
(orang besar, tuan besar, yang dipertuan).
Larvul Ngabal secara etimologis berasal dari empat suku kata,
yaitu: Lar – Vul – Nga – Bal.
a. Lar artinya darah,
b. Vul artinya merah,
56 Ignosius, Op.Cit., h. 16-17
28
c. Nga mengandung dua arti: tombak (nganga) dan ikan paus
(ngarwan),
d. Bal mengandung dua arti juga, yaitu besar, dan Bali.
Maka Larvul Ngabal secara etimologis berarti;
1) Darah merah – Tombak dari Bali
2) Darah merah – Ikan Paus Besar
Secara filosofis, Hukum Larvul Ngabal adalah norma,
pandangan hidup dan nilai-nilai dasar yang luhur, yang dijiwai seluruh
masyarakat Kei yang diwariskan hingga saat ini. Masyarakat Kei
menyebut hukum ini “damar tail” atau “pelita” dalam kehidupan.
Hukum adat ini mengatur kehidupan orang Kei secara utuh (holistik);
meliputi dimensi manusia sebagai makhluk spiritual/religius, individu,
sosial, biologi.
Secara hukum, Larvul Ngabal merupakan seperangkat prinsip-
prinsip, kaidah-kaidah, serta sangsi-sangsi yang berlaku di wilayah
adat Kei dengan tujuan untuk menjamin dan menciptakan suatu
kondisi hidup yang lebih baik yang dikehendaki. Hukum ini tidak
tertulis, namun diwariskan secara turun temurun.
Hukum Larvul Ngabal terdiri atas 3 bagian utama, dan 7 butir
(fatsal). Setiap bagian utama terdiri dari point larangan atau jenis-jenis
kesalahan/pelanggaran yang disebut Sasa Sor Fit. Struktur dalam
Hukum Larvul Ngabal yakni sebagai berikut:
a. Hukum Nevnev
Tentang kehidupan; mengatur, menjaga, melindungi, dan
menghormati kehidupan. Terdiri atas:
1) Uud intauk tavunad;
Kepala bertumpuh pada pundak. Mengandung arti, segala
unsur kehidupan memiliki Tuhan dan Leluhur sebagai
pedoman yang paling tinggi
2) Lelad ain fo mahiling;
29
Leher kita tunggal, luhur, dan dihormati. Mengandung arti,
kehidupan harus dijunjung tinggi, dihormati, dan dilindungi.
3) Ul nit envil atumud;
Kulit fana membungkus badan/tubuh. Menjaga nama baik
keluarga, tidak memfitnah, mencemooh, dan menjelek-
jelekan orang lain.
4) Laar nakmud ivud;
Darah tinggal tenang di perut. Mengandung makna, tidak
melakukan tindakan kasar terhadap seseorang, apalagi
melukai.
b. Hukum Hanilit
Tentang keluhuran rumah tangga, perkawinan, perempuan,
pergaulan, keberadaan orang, dan sumpah atau perjanjuan.
5) Rek fo mahiling;
Wilayah-wilayah privasi, batas-batas yang
dihormati.mengandung makna, menjaga batas-batas
pergaulan dengan orang lain, menghormati keberadaan
seseorang.
6) Moryain fo kelmutun;
Rumah tangga. Perkawinan adalah hal yang luhur.
Mengandung arti, orang yang sudah menikah dihormati dan
dijaga batas-batas dalam pergaulan.
c. Hukum Huwear Balwirin
Tentang kehidupan sosial, kepemilikan, status dan posisi.
7) Hira ni fo i ni, it did fo it did
Milik orang lain adalah miliknya, milik kita adalah milik kita.
Mengandung arti, menghormati hak, milik orang lain, tidak
merampas milik orang lain. Bersikap tegas terhadap apa yang
baik/benar dan yang jahat/salah.
30
Tujuh fasal tentang jenis pelanggaran dan kesalahan (Sasa Sor
Fit) Hukum Larvul Ngabal sebagai berikut:
Hukum Nev-nev
1) Mu’ur nai, suban fakla: mengatai, menyumpahi.
2) Haung hebang: berencana, berniat jahat
3) Rasung smu-rudang dad: meracuni atau mencelakakan
dengan ilmu hitam.
4) Kev bangil: memukul, meninju
5) Teev ahai-sung tavat: melempar, menikam, menusuk.
6) Taha tal-fedan na-tetat: membunuh, memncung, memotong.
7) Tivak/luduk fo vavain: menguburkan / menenggelamkan
hidup-hidup
Hukum Hanilit
1) Sis af: memanggil dengan melambai tangan atau mendesis.
2) Kis kafir/ temar u mur: mencubit, menyenggol-kena dengan
busur di bagian muka atau belakang.
3) Kifuk matko/ matko kubin: main mata, mengerling sambil
memejamkan sebelah mata.
4) A lebak: meraih dan memeluk
5) Siran baraang me val ngutun tenan: membalik penutup dan
pengalas bawah (pakaian dalam).
6) Manu’u marai:membawa lari istri/anak gadis orang.
7) Marvuan fa ivun: menghamili di luar nikah.
Hukum Huwaer Balwirin
1) Veryatad: menginginkan barang orang lain secara tidak sah
2) Boor karu : mencuri
3) It kulik afa bor-bor: menyimpan barang curian
4) Ta’an rereang, it ot afa weed: makan upah tanpa kerja
5) Itlavur hira ni afa: merusakan, membinasakan barang milik
orang lain
31
6) Taha bil-tafakleak mang rir afa-taf en tana il: membelokan,
memungut barang milik orang lain tetapi tidak
mengembalikan.
7) Taha kuuk mang rir rereung nablo: menahan/tidak
membayar upah orang yang benar.57
Kepulauan Kei kini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata
kebanggaan Kabupaten Maluku Tenggara. Bentangan alam yang tak kalah
cantik dengan objek wisata Raja Ampat di Papua menawarkan sejumlah
panorama indah menyejukan mata. Namun, disamping wisata alam yang
semakin terkenal, Kei juga semakin merekatkan adat istiadatnya. Hal
tersebut tak lain sebagai upaya untuk tetap menjaga batasan-batasan leluhur
agar kehidupan selalu dalam kedamaian dan keharmonisan.
E. Pembelajaran Sastra
Secara etimologis, sastra berarti alat utuk mendidik.58 Poe mengatakan
fungsi sastra tak lain untuk menghibur sekaligus mengajarkan tentang
sesuatu.59 Asumsi inilah yang melatarbelakangi alasan karya sastra
dikatakan mampu menjadi alat dalam penanaman nilai-nilai kemanusiaan
pada peserta didik, pastinya melalui pendidikan baik formal maupun
nonformal.
Hakikatnya, pendidikan adalah sebuah proses untuk mendapatkan
sesuatu. Lebih luas Muhibbin Syah mendefinisikan pendidikan sebagai
sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga seseorang
memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang
sesuai dengan kebutuhan.60 Maka ketika pendidikan dan sastra menjadi
sebuah metode dalam pengajaran, akan terbentuk sebuah usaha yang tidak
hanya memberikan sebuah pengalaman dan pengetahuan kepada siswa,
57 Anton, Op.Cit., h. 80-90 58 Nyoman Kutha Ratna, Antropologi Sastra; Peranann Unsur-unsur Kebudayaan dalam
Proses Kreatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), h. 6 59 Welek dan Warren, Op.Cit., h. 23 60 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006). H. 10
32
tetapi juga memberikan sebuah didikan dalam membentuk watak dan
katakteristik peserta didik.
Pembelajaran sastra setidaknya harus mencakup empat manfaat untuk
mendorong pendidikan secara penuh. Empat manfaat tersebut yakni,
membantu keterampilan bahasa, meningkatkan pengetahuan budaya,
mengembangkan cipta dan rasa, serta membentuk watak.61 Penjelasan
keempat manfaat pembelajaran sastra dijelaskan sebagai berikut:
1) Membantu Keterampilan Bahasa
Dalam keterampilan bahasa, siswa dapat melatih keterampilan
membaca dengan membaca karya-karya sastra, melatih menyimak
dengan mendengarkan karya sastra yang dibacakan oleh guru, melatih
keterampilan berbicara dalam berdiskusi tentang karya sastra, serta
melatih keterampilan menulis hasil analisis karya sastra atau menulis
karya sastra sendiri.
2) Meningkatkan Pengetahuan Budaya
Dengan kemajuan zaman yang kini berjalan, pembelajaran sastra
bertugas membantu peserta didik untuk tidak melepas kebudayaan
lokal dalam perkembangan kebudayaan asing yang pesat.
3) Mengembangkan Cipta dan Rasa
Karya sastra berisi kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif,
sosial, serta religius. Oleh karena itu dalam pembelajaran sastra lebih
mengembangkan kecakapan tersebut dalam upaya mewujudkan tujuan
pembelajaran sastra.
4) Membentuk Watak
Dengan isi karya sastra yang penuh dengan nilai-nilai pembelajaran,
maka pembelajaran sastra mampu mengarahkan peserta didik untuk
membentuk watak-watak yang baik seperti tolong menolong,
toleransi, dan persatuan.
Tujuan pembelajaran sastra adalah untuk memperkaya pengalaman
siswa dan menjadikan peserta didik lebih tanggap terhadap alam sekitar dan
61 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 16
33
lingkungan. Untuk itu, metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran
sastra yakni dengan apresiasi sastra. Dalam melakukan apresiasi sastra,
seseorang tidak hanya menikmati karya, tetapi juga mendapatkan nilai yang
terkandung di dalam karya tersebut. 62 Hal inilah yang sedang ditekankan
dalam metode pembelajaran sastra di sekolah. Dengan suksesnya peserta
didik dalam mengapresiasi sastra dapat pula menyukseskan tujuan dari
pendidikan dan sastra yang sesungguhnya.
F. Hasil Penelitian yang Relevan
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan peneliti pada berbagai
sumber menunjukkan bahwa penelitian Representasi Nilai Budaya pada
Masyarakat Suku Kei dalam Novel “Kei” karya Erni Aladjai dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah belum pernah
dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa penelitian yang berhubungan
dengan karya Erni Aladjai baik dalam novel Kei sendiri maupun pada karya
Erni lainnya.
Penelitian terkait novel Kei karya Erni Aladjai pernah dilakukan oleh
beberapa orang. Pertama dilakukan oleh Eli Fernando Nababan, mahasiswa
Universitas Sumatera Utara, Medan pada tahun 2014 dengan judul “Bentuk-
bentuk Kerukunan Sosial dalam Novel Kei Karya Erni Aladjai”. Penelitian
ini menggunaan teori sosiologi sastra untuk mengungkapkan bentuk-bentuk
kerukunan yang terdapat di masyarakat. Hasil analisis yang dilakukan
mendapatkan bentuk-bemtuk kerukunan sebagai berikut: (1) kerukunan
dalam bentuk kerjasama, (2) hubungan antar umat beragama, (3) hubungan
antar suku, (4) hubungan pertemanan, dan (5) hubungan cinta.
Kedua dilakukan oleh Dia Kanti Rahayu, mahasiswi Universitas
Airlangga, Surabaya pada tahun 2018 dengan judul penelitian “Pandangan
Tokoh terhadap Perbedaan Agama dalam Novel Kei karya Erni Aladjai:
Analisis Struktural”. Penelitan ini bertujuan untuk mengungkap sisi lain dari
konflik yang terjadi di Pulau Kei, melalui identifikasi para tokohnya.
62 Ahmad Bahtiar, Apresiasi dan Kreasi Sastra, h. 1 diunduh dari
http://googleschollar.com pada tanggall 4 Maret 2019 pukul 21.45 WIB
34
Penelitian ini menggunakan metode deksriptif kualitatif dengan
menyertakan teori struktural Robert Stanton. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa realitas perbedaan agama pada masyarakat Kei
memberikan suatu gambaran serta fenomena sosial sebagai contoh positif
bagi terciptanya masyarakat yang rukun dan saling menghormati.
Selain penelitian pada novel Kei, peneliti juga menemukan beberapa
penelitian terkain karya Erni Aladjai yang lain. penelitian ini dilakukan oleh
Muhammad Rifa’i dalam jurnal Lensa: Kajian Kebahasaan, Kesusastraan
dan Budaya Volume 7 Nomor 2 dengan judul “Budaya Patriarkhi dan
Perjuangan Perempuan dalam Novel Pesan Cinta Dari Hujan karya Erni
Aladjai”. Dalam penelitian ini budaya patriarkhi tertuang dalam sikap,
prilaku, dan tindakan tokoh-tokoh laki-laki terhadap tokoh-tokoh
perempuan. Pendekatan yang dilakukan untuk menelusuri penelitian ini
adalah feminis. Temuan-temuan menunjukkan bahwa budaya patriarkhi
terwujud dalam bentk kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam
pendidikan dan pembentukan karakter anak, kekerasan untuk memberikan
ruang dan gerak mengaktualisasikan diri. Perjuangan tokoh-tokoh
perempuan terhadap budaya patriarkhi yaitu dengan ketabahan, air mata,
dan lari.
Penelitian berikutnya terkait Masyarakat Suku Kei pernah dilakukan
oleh Fitrotussalamah Z Matdoan, dalam skripsi berjudul “Pengaruh Adat
Terhadap Kerukunan Antar Umat Beragama di Kepulauan Kei” pada
Program Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2018. Dalam penelitian ini ditemukan
hasil bahwa masyarakat Kei adalah masyarakat yang menjunjung tinggi
nilai-nilai Ketuhanan dan nilai-nilai adat istiadat yang menjadi pilar dan
pedoman dalam menjaga kerukunan antar dan inter umat. Kerukunan dalam
masyarakat Kei tidak hanya merupakan cita-cita dari pengalaman nilai-nilai
keagamaan, tetapi lebih dari itu merupakan tolak ukur kelestarian nilai-nilai
adat yang telah ditanamkan oleh leluhur. Dalam praktiknya pun agama dan
35
adat dalam kehidupan mereka memiliki posisi yang sama pentingnya,
keduanya saling terikat, saling beriringan menjaga dan melindungi tiap
masyarakat.
36
BAB III
BIOGRAFI PENGARANG DAN PEMIKIRANNYA
A. Biografi Pengarang
Erni Aladjai lahir di Lipulalongo, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi
Selatan, 7 Juni 1985. Erni merupakan anak dari petani cengkeh, Hasarudin
Aladjai dan Mardia Abd Karim. Sejak kecil, Erni sudah suka membaca.
Nenek Erni selalu berpantun dan mendongeng Babad Banggai kepadanya
setiap hari. Ibu Erni juga seorang pemain drama dan ayah Erni selalu
menyediakan bahan bacaan yang dipinjamnya di perpustakaan sekolah
tempatnya bekerja selepas menjadi petani. Sejak usia 15 tahun, Erni telah
berani merantau ke Kota Kabupaten. Di masa SMA itu, Erni mendapatkan
sebuah wadah untuk menulis melalui harian lokal. Keseriusan Erni dalam
menulis semakin kuat ketika pembelajaran bahasa Prancis di SMA
membuatnya mengambil kuliah di Sastra Prancis, Universitas Hasanudin,
Makassar dan mulai mempelajari budaya dan karya-karya sastra penulis
dunia. Erni pernah bekerja sebagai wartawan di Makassar sebagai
penyunting berita. Kemudian mengisi waktu luangnya dengan menulis dan
menjadi editor lepas.
Salah satu strategi Erni memperkenalkan karyanya dengan luas dan
menembus penerbitan yakni dengan mengikuti sayembara. Tahun 2012
menjadi tahun kegemilangan Erni, novel berjudul Kei menjadi Pemenang
Unggulan dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta, novelet
berjudul Sebelum Hujan di Sea-Sea dan Rumah Perahu menyabet dua
kemenangan sekaligus di Sayembara Fiksi Femina 2012,1 serta Cerpen
“Sampo Soie Soe, Si Juru Masak” sukses menjadi pemenang ketiga dalam
Jakarta Internasional Literary Festival (JILFest) di tahun yang sama.
1 Rahma Wulandari, Erni Aladjai; Fiksi untuk Desa, 2016,
(http://www.femina.co.id/profile/erni-aladjai-fiksi-untuk-desa).
37
Buku-buku Erni yang telah terbit yaitu Pesan Cinta dari Hujan (Insist
Press, 2010), Ning di Bawah Gerhana Bumen Pustaka Emas, 2013), dan Kei
(Gagas Media, 2013). Dari Kirara untuk seekor Gagak (2013). Karya
cerpen Erni yang dimuat di media nasional diantaranya, Cerpen ‘Sampo
Soie Soe, Si Juru Masak”, Mariantje dan Pasangan Tua (Media Indonesia,
April 2013), dan Cerpen Mariana (The Jakarta Post, Januari 2019).
B. Pemikiran Pengarang
Erni Aladjai terpilih sebagai Emerging Writers di Makassar
Internasional Writers Festival pada periode pertama yakni tahun 2011 atas
perannya dalam menginspirasi banyak orang dalam bidang literasi dan
sastra. Aktivitasnya dalam bidang menulis telah dilakukannya sejak kecil,
dan semakin tumbuh menjadi seorang penulis dengan ciri khas tersendiri.
Erni sangat produktif dalam menulis dan mengikuti berbagai lomba cerpen,
novel, dan lain sebagainya. Hal yang membuat Erni terus bersemangat
untuk menulis adalah kenyataan bahwa sedikitnya populasi karya sastra
yang mengangkat kisah Indonesia bagian timur. Seperti yang
diungkapkannya dalam suatu sesi wawancara,
“Saya akan tetap menulis tentang Indonesia Timur dan
Laut. Indonesia ini negeri maritim, tetapi sedikit sekali
karya sastra tentang laut”.2
Pernyataannya tersebut menegaskan bahwa karya sastra yang kini
beredar jarang sekali yang menayangkan Indonesia bagian Timur. Dan Erni
memanfaatkan peluang ini untuk mengisi kekosongan tersebut. Tujuan Erni
lainnya adalah untuk memperluas minat baca anak-anak timur sehingga
mereka tidak terlampau jauh kesenjangannya dari anak-anak di Indonesia
bagian barat.
Erni Aladjai dikenal juga sebagai penggiat literasi. Erni bergabung
sebagai relawan dalam proyek Perahu Pustaka yang menyalurkan buku-
buku untuk anak-anak di pulau-pulau kecil di timur Indonesia.
Bergabungnya Erni dalam kegiatan tersebut tak lain ingin berperan aktif
2 Ibid
38
dalam memajukan pendidikan di timur Indonesia. Bagi Erni yang juga
merupakan putri Timur Indonesia, anak-anak di Timur lebih rawan
termakan informasi yang tidak matang sehingga banyak informasi yang
belum tentu baik diserap ke dalam kehidupan mereka. Menurut Erni,
hadirnya televisi juga menjadi pendorong konsumerisme utama di desa-desa
kecil. Sehingga anak-anak lebih cenderung mengikuti gaya dan apa yang
ditampilkan dalam sinetron maupun iklan.3
Potret keaktifan Erni sebagai pegiat literasi dan sastra Indonesia
Timur terlihat pada kegiatan Makassar Internasional Writers Festival tahun
2017 ketika Erni menjadi pembicara dalam acara yang bertajuk Ruang
Bersama: Narrations about Conflict and Resolution. Dalam kesempatan ini
Erni membicarakan mengenai keberagaman wilayah konflik-di Indonesia.
Diskusi ini mengangkat sisi konflik bukan dari penyebab kerusuhanya,
namun dari peran persaudaraan yang tetap hidup meskipun di tengah situasi
konflik. Hal yang jarang diberitakan baik oleh media, maupun para
sejarawan. Topik ini sesuai dengan novel yang Erni tulis yang berjudul Kei
pada tahun 2012. Selain itu, Erni bersama dengan penulis Faisal Oddang
juga membagikan kisahnya dalam meriset ketradisionalan Indonesia sebagai
salah satu awal memulai proyek penulisan. Dalam ruang diskusi bertema
Writing the Tradition di pagelaran MIWF tersebut Erni dan Faisal Oddang
menjadi pembicara yang menginspirasi. 4
Keseriusan Erni dalam dunia literasi didasari oleh kesadaran akan
terbatasnya hidup di wilayah pelosok yang membuat Erni termotivasi untuk
belajar dan mengubah nasib. Tulisan yang dibuatnya banyak menuangkan
keresahan akan rumitnya masalah-masalah yang ada di kampung halaman.
Erni mencoba konsisten dalam mengangkat kisah keprihatinan masyarakat
di desanya baik mengenai sosial, ekonomi, ataupun pendidikan melalui esai
atau fiksi. Seperti yang Erni kisahkan pada laman Femina mengenai dirinya
3 Ibid 4 Redaksi Gagas Media, Diskusi Asyik tentang Konflik & Tradisi bersama Erni Aladjai di
MIWF 2017, 2017 (http://gagasmedia.net/diskusi-asyik-tentang-konflik-tradisi-bersama-erni-
aladjai-di-miwf2017/)
39
yang harus berurusan dengan polisi karena hasil karyanya yang dimuat
dalam kumpulan cerpen Ning di Bawah Gerhana ia sumbangkan ke
perpustakaan sekolah di desanya. Cerpen yang bercerita tentang kepala desa
yang korupsi saat pilkada itu membuat tersinggung seorang pejabat desa
yang kebetulan membaca buku tersebut. Alhasil, Erni dilaporkan ke polisi,
bahkan Erni dituduh sebagai antek PKI, padahal tak ada satupun dari
tulisannya yang bertemakan tragedi 1965. Pengalaman ini membuat Erni
semakin sadar betapa suramnya potret pendidikan di desa kelahirannya itu
dan Erni bertekat untuk terus mengupayakan kemajuan pendidikan di
desanya melalui tulisannya.5
Berangkat dari alasan tersebut juga Erni mengangkat kisah yang
pernah ia dapat dari seorang pengungsi konflik Ambon tahun 1999 tentang
kondisi Maluku yang sangat mengenaskan ketika kerusuhan terjadi. Tahun
2011 Erni memulai risetnya mengenai Kei dari berbagai buku hasil
penelitian aktivis kemanusiaan. Salah satunya buku berjudul Bening-benih
Perdamaian di Pulau Kei. Dari risetnya yang panjang, Erni menemukan
sebuah fakta bahwa dari daerah-daerah yang mengalami kerusuhan seperti
Aceh, Ambon, dan Sampang, pulau kecil bernama Kei merupakan daerah
yang lebih cepat pulih dari kerusuhan dibanding daerah lainnya. Hal ini
dikarenakan kuatnya hukum adat yang dipegang masyaraat Kei sebagai
hukum paling utama yang dipatuhi sebelum hukum agama. Keistimewaan
hukum adat dan nilai budaya masyarakat Kei menjadi fokus riset Erni dan
penceritaan Erni dalam novel yang diberi judul sama ini.
Baru-baru ini Erni menjadi delegasi Indonesia dalam program
residensi (pertukaran) penulis perempuan yang diadakan atas kerja sama
Makassar Internasional Writers Festival (MIWF) dengan Centre for Stories,
Australia Barat tahun 2019. Erni terpilih setelah menjalani penyeleksian
oleh Lily Yulianti Farid, M. Aan Mansyur, dan Shinta Febriany. Menurut
Lily, Erni pantas untuk menjadi delegasi MIWF sebab Erni memiliki
keproduktifan yang baik dalam dunia literasi dan penulisan. Di sisi lain,
5 Rahma, Op.Cit.,
40
Erni berhasil menjadi pemenang di beberapa sayembara penulisan. Alasan
lain terpilihnya Erni karena ia adalah aktivis yang mampu menyuarakan
suara perempuan yang tak mampu bersuara atas persoalan yang dihadapi,
yang didominasi budaya partriarkhi.6
Dari hasil catatan yang dibagi oleh Erni, diceritakan bagaimana
kegiatan lima hari pertama di Perth dalam sebuah “Catatan Perjalanan
Lintas Laut di Perth”. Erni bercerita apa saja kegiatan-kegiatan yang
dilakukannya, seperti berkenalan dengan Caroline-Direktur Centre for
Stories dan diajaknya berkeliling, mendatangi acara pembacaan puisi di
taman terbuka ‘Tropical Groove’ di lingkungan Universitas, mendatangi
obrolan buku Emili Paull-penulis lokal Australia Barat yang mengobrolkan
buku kumpulan cerita pendeknya “Well-Behaved Woman” serta obrolan
buku Intan Paramadhita yang membicarakan bukunya ‘The Wandering’
yang baru-baru ini diterjemahkan oleh Vintage Books.7
Keaktifan Erni dalam berbagai proyek dan kegiatan di dunia literasi
dan penulisan tak lain untuk mengembangkan dan menduniakan wilayah
Indonesia timur. Seperti mimpinya Erni ingin anak-anak dan perempuan
timur untuk berani bicara dan mengungkapkan keresahan yang terjadi. Tak
ubahnya sebagai seorang motivator, Erni telah mampu membangkitkan
semangat para penulis timur, khususnya perempuan untuk lebih banyak
bergerak dan lebih menebarkan banyak karya positif dalam rangka
membangun Indonesia timur.
6 Islamuddin Dini, MIWF-Centre For Stories Australia Barat Kerja Sama Program
Pertukaran Penulis, 2019, (http://sulsel.pojoksatu.id/baca/miwf-cetre-for-stories-australia-barat-
kerja-sama-program-pertukaran-penulis) 7 Erni Aladjai, Catatan Perjalanan ‘Lintas Laut’ di Perth, 2020,
(http://makassarwriters.com/article/catatan-perjalanan-lintas-laut-di-perth)
95
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Penelitian ini mengambil objek novel berjudul Kei karya Erni Aladai.
Fokus penelitian ini pada representasi nilai budaya pada masyarakat suku
Kei. berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari analisis yang telah dilakukan kita dapat mengetahui bagaimana
representasi nilai budaya pada masyarakat suku Kei dalam novel Kei
karya Erni Aladjai. Terdapat enam tokoh yang menjadi fokus
penelitian dalam novel ini, dan keseluruhan tokoh tersebut adalah
masyarakat asli Kei. Berdasarkan tokoh-tokoh tersebut, bentuk
representasi nilai budaya yang ditemukan dalam novel ini, yaitu: 1)
Menjunjung tinggi Hukum Adat, 2) Menjaga kelestarian alam, 3)
Menjunjung harkat dan martabat perempuan, 4) Nila-nilai
kekeluargaan dan persaudaraan adat, 5) Menjunjung nama baik
keluarga, dan 6) Musyawarah dan mufakat.
2. Implikasi terhadap pembelajaran di sekolah berdasarkan representasi
nilai budaya dalam novel Kei karya Erni Aladjai terdapat di materi
sastra di SMA kelas XII semester genap. Standar kompetensi yang
harus dikuasai oleh peserta didik yaitu dapat memahami isi novel
dengan kriteria mampu menjelaskan unsur-unsur intrinsik novel baik
melalui lisan maupun tulisan. Melalui novel Kei karya Erni Aladjai
peserta didik mampu mengambil nilai-nilai budaya dengan memahami
tokoh dan penokohan yang terdapat dalam novel, memahami setiap
tindakan yang dilakukan agar selalu berada pada jalur yang benar
sehingga dapat membentuk kepribadian yang sesuai dengan karakter
bangsa Indonesia yaitu berbudi pekerti baik, tolong-menolong, serta
menjaga keharmonisan dalam bingkai perbedaan.
96
B. Saran
Berdasarkan simpualan yang telah diuraikan, penulis memberikan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Melalui representasi nilai budaya dalam novel Kei karya Erni Aladjai,
peserta didik dapat memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai budaya
yang baik untuk pengebangan karakter dalam dirinya sehingga
memiliki sikap yang berbudi pekerti luhur, tolong-menolong, serta
menjaga keharmonisan dalam hidup meskipun berada dalam
lingkungan yang memiliki perbedaan, baik suku, ras, maupun agama.
2. Adanya penelitian ini, baik untuk tenaga pendidik ataupun peneliti
yang lain dapat menggunakannya sebagai referensi dalam kegiatan
pembelajaran di sekolah atau sebagai objek penelitian lebih lanjut.
Unsur instrinsik maupun nilai budaya yang terdapat dalam penelitian
ini dapat dipelajari dan berguna bagi dunia pembelajaran sastra
maupun orang lain.
97
DAFTAR PUSTAKA
Aladjai, Erni. “Catatan Perjalanan ‘Lintas Laut’ di Perth, 2020”.
http://makassarwriters.com/article/catatan-perjalanan-lintas-laut-di-perth
______________. Kei. Jakarta: Gagas Media, 2013.
Bahtiar, Ahmad. “Apresiasi dan Kreasi Sastra”. http://googleschollar.com
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Dini, Islamuddin. “MIWF-Cetre For Stories Australia Barat Kerja Sama Program Pertukaran
Penulis” http://sulsel.pojoksatu.id/baca/miwf-cetre-for-stories-australia-barat-kerja-
sama-program-pertukaran-penulis
Febriani, Meina. Kesesuaian Materi Apresiasi Sastra pada Buku Teks Bahasa Indonesia SMP
Kurikulum 2013. Jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia UNES Vol 6 No. 2, Juli-
Desember 2018.
Febrianto, Diki dan Purwati Anggraini. Reoresentasi Pewayangan Modern: Kajian Antropologi
Sastra dalam Novel “Rahvayana Aku Lala Padamu” karya Sutiwo Tejo. Jurnal Jentera:
Jurnal Kajian Sastra, Nomor 8(1), 2019.
Gagas Media, Redaksi. “Diskusi Asyik tentang Konflik & Tradisi bersama Erni Aladjai di
MIWF 2017”. http://gagasmedia.net/diskusi-asyik-tentang-konflik-tradisi-bersama-erni-
aladjai-di-miwf2017/
Hindaryatiningsih, Nanik. Model Proses Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Lokal dalam Tradisi
Masyarakat Buton. Jurnal Sosiohumaniora, Volume 18 No. 2 Juli 2016.
Imam Gunawan. “Metode penelitian Kualitatif”. fip.um.ac.id/wp-
content/uploads/2015/12/3_Metpen-Kualitati.pdf
J. Darminta, SJ. Praksis Pendidikan Nilai. Yogyakarta: Kanisius. 2006.
Karmini, Ni Nyoman. Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama. Bali: Pustaka Larasan, 2011.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2016.
Ks, Usman, dkk. Merajut Damai di Maluku. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2000.
Kudubun, Elly. “Agama dan Budaya Lokal Masyarakat Kei
http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/amana-dan-budaya-lokal-masyarakat-
kei/.
98
________________. Ain Ni Ain: Kajian Sosio-kultural Masyarakat Kei Tentang Konsep Hidup
Bersama Dalam Perbedaan. Jurnal Cakrawala ISSN 1693 6248.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2012.
Ohoira, Anton. Kei: Alam, Manusia, Budaya, dan Beberapa Perubahan. Yogyakarta: Sibuku
Media, 2016.
Purnomo, Mulyo Hadi. Menguak Budaya dalam Karya Sastra: Antara Kajian Sastra dan
Budaya. Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, E-ISSN : 2599-1078.
R, Arifa Ainun, dkk. Pembelajaran Sastra Melalui Bahasa dan Budaya Untuk Meningkatkan
Pendidikan Karakter Kebangsaan di Era MEA. Pasca sarjana PBI Universitas Sebelas
Maret, Mei 2017.
R.L, Stenly. Sejarah Kota Tual. Jurnal Penelitian Vol 6, No. 5 Edisi April 2013.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Ratna, Nyoman Kutha. Antropologi Sastra; Peranann Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses
Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017.
___________________. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.
Refo, Ignasius S.S. Manusia Kei Dari Perkawinan Sampai Kematian. Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Nusantara, 2015.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Malang: Aditya Media Publising. 2013.
Suhardi dan Riauwati. Analisis Nilai-nilai Budaya (Melayu) dalam Sastra Lisan Masyarakat
Kota Tanjung Pinang. Jurnal Lingua Volume XIII Nomor 1 Januari 2017.
Suwardani, Ni Putus Suwardani. Pewarisan Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk Memproteksi
Masyarakat Bali dari Dampak Negatif Globalisasi. Jurnal Kajian Bali Volume 05,
Nomor 02, Oktober 2015.
Syah, Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006.
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2016.
Wening, Sri. Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Nilai. Jurnal Pendidikan
Karakter, tahun II, Nomor 1, Februari 2012.
99
Wicaksono, Andri. Pengkajian Prosa Fiksi. Yogyakarta: Garudhawaca, 2017.
Wulandari, Arsanti. Gaya Bahasa Perbandingan dalam ‘Serat Nitipraja’. Jurnal Humaniora
Volume XV, No. 3 2003.
Wulandari, Rahma. “Erni Aladjai; Fiksi untuk Desa” http://www.femina.co.id/profile/erni-
aladjai-fiksi-untuk-desa
Yuliati, Qiqi dan A. Rusdiana. Pendidikan Nilai: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2014.
BIODATA PENULIS
Hidayatunnisa, lahir di Tangerang pada 04 Oktober 1994.
Anak pertama dari tiga bersaudara ini lahir dari pasangan
(Alm) Ahmad Hudori dan Sa’diyah, S.Pd.I. Sejak kecil sudah
memiliki kegemaran terhadap membaca, hingga pada saat
remaja mulai mencoba mengasah kemampuan menulis sastra.
Kegemaran pada membaca cerita, terutama novel
menuntunnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi di jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Riwayat pendidikan yang ditempuh mulai dari SDN
Karangsari 1, MTsN 1 Kota Tangerang, MAN 2 Kota Serang hingga Perguruan tinggi
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ditempuh dengan penuh semangat dan iringan
motivasi dari keluarga dan sahabatnya yang selalu setia memberikan dukungan dan
do’a. Bahkan, atas dukungan dan do’a tersebut mengantarkannya menjadi seorang
Sarjana Pendidikan.
Penulis juga pernah aktif di beberapa organisasi, di antaranya anggota OSIS MTsN 1
Kota Tangerang tahun 2008, anggota GASENDA MAN 2 Kota Serang tahun 2009,
Wakil Bendahara Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia tahun 2015, dan Bendahara Umum Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA)
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di tahun 2016.