Wahdah Islamiyah - Bantahan Kepada Salafy Ekstrem - Bagian I
Renungan Agar Tidak Berpikir Picik (Jawaban Untuk Al Akh Ihsan Zainuddin(Seorang Ustadz Di Ormas...
-
Upload
ninetriple1 -
Category
Documents
-
view
247 -
download
6
description
Transcript of Renungan Agar Tidak Berpikir Picik (Jawaban Untuk Al Akh Ihsan Zainuddin(Seorang Ustadz Di Ormas...
Renungan Agar Tidak Berpikir Picik (Jawaban Untuk Al Akh
Ihsan Zainuddin(Seorang Ustadz di Ormas Wahdah Islamiyyah)
-Bag I)
"(Ingatlah) diwaktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut, dan
kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan
kamu menganggapnya suatu yang ringan saja . Padahal di sisi Allah adalah
(perkara yang sangat) besar.” QS.An-Nur:15
Telah sampai ke tangan saya sebuah majalah yang bernama “Al-Islamy”[2] yang
diasuh oleh para ustadz yang aktif di sebuah Ormas Al-Wahdah Al-Islamiyyah
(WI).[3]
Dari namanya, majalah ini nampaknya majalah yang membawakan suara Islam
dan misi perdamaian. Namun disayangkan sekali pada edisi ke-2, tahun I/1426
H terdapat sebuah artikel yang menyayat hati dan berisi tuduhan-tuduhan yang
tidak benar. Sekalipun maksud penulis ingin memperbaiki, namun malah
sebaliknya.[4]
Ketika membaca tulisan itu baris demi baris, saya temukan berisi tuduhan dan
kedustaan pada orang lain. Semoga saja tuduhan dan kedustaan itu bukan
ditujukan pada Salafiyyin. Jika hal itu ditujukan pada Salafiyyin, maka saya
–dengan meminta izin Allah Robbul alamin- merasa terpanggil untuk
melayangkan nasihat kepada Al-Akh Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc sebagai
pengisi rubrik yang berjudul “Fenomena Tashnif Di Tengah Para Pejuang
Da’wah (1)”.
Sekali lagi, jika tulisan itu ditujukan kepada Salafiyyin, maka jawaban dan
sanggahannya berikut ini:
Ihsan berkata: “Namun yang sungguh sangat menyedihkan, di tengah
beban perjuangan yang sangat berat ini, ada kawan dan sahabat kita yang
seolah mengoyak dan membuat luka dalam kebersamaan”.
Jawaban dan sanggahan ucapan Ihsan:
• Jika yang Ihsan maksudkan disini sebagai kawan dan sahabat yang
mengoyak dan membuat luka dan kebersamaan adalah salafiyyin, maka
ini merupakan kezholiman dan kedustaan tanpa hujjah dan bukti. Mana
bukti bahwa salafiyyin mengoyak dan membuat luka dalam
kebersamaan? Jika yang Ihsan maksudkan dengan mengoyak disini
adalah “mengambil” para mad’unya, maka hal inipun tak boleh diucapkan
oleh seorang yang beradab, apalagi seorang alumni Al-Jami’ah
Al-Islamiyyah yang merupakan pionir da’wah dan adab serta
akhlak.Sekedar main tuduh mudah aja. Sebab boleh saja kita katakan
bahwa kalian pun sebenarnya “mengambil” mad’u orang, baik dari
Muhammadiyah, NU, Jama’ah Tabligh, HT, dll. Apabila yang ihsan
maksudkan dengan mengoyak bahwa salafiyyin sering mengeritik (baca:
menasihati)WI dan jama’ah da’wah lainnya yang menyimpang, maka
inipun tak ada salahnya. Sebab meluruskan penyimpangan suatu
jama’ah merupakan amar ma’ruf nahi munkar yang dianjurkan oleh Allah
dan Rasul-Nya Shallallahu alaih wasallam.
• Kami yakin Ihsan tak mampu mendatangkan bukti bahwa salafiyyin
mengoyak dan membuat luka dalam kebersamaan. Ini merupakan
tuduhan dan persangkaan yang menyakitkan dan mengoyak hati
salafiyyin. Oleh karena itu, kami ingatkan Ihsan dengan firman Allah
Ta’ala:
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata”[5]
Ihsan selanjutnya berkata (hal.47): “ Ada kawan dan sahabat yang tidak
lagi mempercayai bahwa kita sesungguhnya memiliki begitu banyak
kesamaan dalam perjuangan”.
Jawaban dan sanggahan ucapan Ihsan:
• Kesamaan kami salafiyyin dengan kalian memang ada, namun jangan
lupa bahwa disana ada perkara yang penting yang membedakan kita?!
Bukankah salafiyyin melarang khuruj (membelot) terhadap pemerintah[6],
menafikan adanya muwazanah[7] ketika membantah seorang yang
menyimpang dan menerangkan kekeliruannya agar kaum muslimin tidak
mengikutinya dalam kekeliruan tsb, dan tidak membela para du’at yang
memiliki fikrah yang menyimpang. Sementara Ihsan dan yang sehaluan
dengannya malah melakukan hal itu.
• Inilah perbedaan antara kami dengan kalian. Perbedaan ini bukan
saja sebatas furu’, tapi sudah sampai aqidah ?! Bagaimana tidak,
sebab yang namanya khuruj alal hukkam (membelot terhadap
pemerintah) merupakan perkara bid’ah, dan bukan aqidah dan
amaliyyah salaf . Itu hanyalah amaliyyah orang yang buta
bashirahnya (mata hatinya) dari kalangan khawarij dan orang-orang
kuffar.
• Janganlah anda menyatakan bahwa demonstrasi yang tidak disertai
kekacauan (muzhoharoh silmiyyah) merupakan perkara yang sah
–sah saja dan boleh. DengarkanSyaikh Muhammad Ibn Sholeh
Al-‘Utsaimin-rahimahullah- berkata: “Demonstrasi merupakan perkara
baru yang tidak pernah dikenal di zaman Nabi –shollallahu alaih
wasallam- , dan tidak pula di zaman Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin dan paara
sahabat-radhiyallah anhum-. Kemudian di dalamnya juga terdapat
kerusuhan, dan huru-hara yang menjadikannya terlarang, dimana juga
terjadi di dalamnya pemecahan kaca-kaca, pintu-pintu dan lainnya. Juga
terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita, antara anak muda
dengan orang tua[8] , serta perkara-perkaara yang menyerupainya
berupa kerusakan dan kemungkaran.Adapun masalah menekan dan
mendesak pemerintah, maka jika pemerintahnya muslim, cukuplah
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya –Shollallahu alaih wasallam-
sebagai pengingat baginya. Ini merupakan sebaik-baik perkara
(baca:nasihat) yang disodorkan kepada seorang muslim. Jika
pemerintahnya kafir, maka jelas mereka (orang-orang kafir) itu tidak mau
mempedulikan para demonstran. Boleh jadi Pemerintah kafir itu akan
bersikap ramah dan baik di depan para demonstran, sekalipun di
batinnya tersembunyi kejelekan. Karenanya, kami memandang bahwa
demo merupakan perkaara munkar. Adapun ucapan(baca: alas an)
mereka: ‘Inikan demo yang damai (tak ada kerusuhan,pent.)!!’, maka
boleh jadi demonya damai di awalnya atau awal kalinya, kemudian
berubah jadi demo perusakan. Aku nasihatkan kepaada para pemuda
agar mereka mengikuti jalan hidupnya para Salaf. Karena Allah telah
memuji orang-orang Muhajirin dan Anshor, Allah telah memuji
orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan ”.[9]
Alangkah benarnya apa yang dikatakan beliau bahwa demo-walaupun tanpa
kerusuhan- merupakan perkara baru dan bid’ah. Bid’ahnya orang-orang
Khawarij.
Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqolany – rahimahullah- berkata dalam menjelaskan
hakekat orang-orang Al-Qo’diyyah (salah satu kelompok Khawarij):
“Al-Qo’diyyah: adalah orang-orang Khawarij yang tidak memandang (harusnya)
perangi (pemerintah). Bahkan mereka hanya mengingkari pemerintah yang
zholim sesuai kemampuan, mereka mengajak kepada pendapat mereka, dan
juga mereka menghias-hiasi-disamping hal tsb- untuk memberontak, serta
mengira itu baik”.[10]
Dalam kitabnya yang lain, Al-Hafizh –rahimahullah-berkata:”Al-Qo’diyyah:
adalah orang-orang yang menghias-hiasi pemberontakan atas pemerintah,
sekalipun mereka tidak melakukan (pemberontakan itu) secara langsung”.[11]
• Janganlaah anda tertipu dengan para du’at hizbiyyin yang membolehkan
demo, sebab aqidah kita Ahlus Sunnah tidak mengindahkan demo
sebagai sarana da’wah. Bukan dan jangan seperti Safar Al-Hawali yang
pernah berkata: “Sesungguhnya demonya para wanita merupakan
salah satu di antara uslub (metode) da’wah dan memberi
pengaruh”.[12]
Jangan seperti A’idh Al-Qorni yang berkata ketika bangga menyaksikan para
wanita Al-Jaza’ir berdemo: “Demi Allah, Yang jiwaku ada di tangan-Nya,
sungguh telah keluar di Al-Jaza’ir dalam waktu sehari 700 ribu wanita
muslimah yang berhijab menuntut penerapan syari’at Islam”.[13]
Dan Jangan seperti Salman yang berkata: “Desakan manusia tidak mungkin
dilalaikan dalam segala kondisi di era sekarang ini. Kita sekarang di era
orang-orang mayoritas memiliki pengaruh besar. Mereka mampu
menjatuhkan para pemimpin besar, menggoncang singgasana,
menghancurkan pagar-pagar dan pembatas. Senantiasa (masih
teringat)gambar-gambar/foto orang-orang yang tidak bersenjata
menghadapi tank-tank dengan dada mereka di Uni Soviet”.[14]
Syaikh Abdul Malik Al-Jaza’iry berkata dalam menanggapi ucapan ketiga da’i di
atas: “Demi Allah, sungguh urusan mereka itu aneh ! Siapa yang bisa
membayangkan kalau Jazirah Arab –setelah adanya da’wah Syaikh Muhammad
Ibn Abdil Wahhab- akan mampu melahirkan orang-orang semisal mereka?!
Setelah kehidupan yang penuh kesucian dijaga oleh kaum muslimin Jazirah
Arab,maka datanglah Safar, Salman, dan A’idh Al-Qorni di hadapan kaum hawa
agar mereka bisa mengeluarkannya dari kehormatannya karena Cuma ingin
memperbanyak jumlah dengannya dan memperkuat diri dengan para wanita?!
Safar Al-Hawali menerangkan pengaruh yang dalam ketika keluarnya para
wanita berdemo, , Al-Qorni menguatkannya dengan sumpah!! , sedang Salman
memompa mereka untuk bersabar menghadapi tank-tank. Alangkah anehnya
agama mereka!”
Syaikh Abdul Aziz Ibn Baz–rahimahullah- berkata: “Aku tidak memandang
bahwa demonya para wanita ataupun demonya para laki-laki termasuk solusi.
Akan tetapi itu merupakan musibah, dan termasuk sebab kejelekan, termasuk
sebab dizhaliminya sebagian orang, dengan cara yang tak benar. Akan tetapi
cara-cara yang syar’i adalah menyurat, menasihati berda’wah kepada
kebaikan dengan cara damai. Demikianlah yang ditempuh para ulama,
demikianlah para sahabat Nabi –Shallallahu alaih wasallam- dan para pengikut
mereka dalam kebaikan: dengan cara menyurat, berbicara langsung dengan
orang yang berbuat salah, dengan pemerintah, dan penguasa dengan
menghubunginya, menasihatinya, dan menyuratinya tanpa membeberkannya di
atas mimbar dan lainnya!! Katanya: Pemerintah melakukan begini, akhirnya
begini, Wallahul Musta’an“.
Beliau juga berkata: “Dikategorikan dalam masalah ini apa yang dilakukan oleh
sebagian orang berupa demo yang menimbulkan keburukan yang besar bagi
para da’i. Maka karnaval dan teriak-teriakan bukanlah merupakan jalan untuk
memperbaiki dan da’wah [15] . Jalan yang benar (dalam menasihati
pemerintah,pent.) adalah dengan cara berziarah dan menyurat dengan cara
yang baik”.[16]
• Memang benar ada kesamaan antara kami dengan anda dalam sebagian
hal. Namun apa maksud anda dengan menyatakan hal seperti ini??
Apakah anda menginginkan kami diam dari penyimpangan kalian
ataukah anda ingin menyamakan diri anda sama dengan diri kami dalam
segala hal sehingga seakan-akan tak ada masalah diantara kita. Jika ini
yang anda inginkan, maka sulit.
• Tidakkah anda ingat bahwa antara dakwah Salaf dengan Asy’ariyyah
atau Ikhwanul Muslimin, JT, dan HT ada kesamaan dalam sebagian sisi.
Tapi kenapa para ulama’ kita tetap menerangkan penyimpangan mereka
yang merupakan pembeda antara dakwah Salaf dengan dakwah ahli
bid’ah. Cukuplah ini Anda pikirkan.
Ihsan:“Namun tiba-tiba engkau bertemu dengannya di sisi jalan, tapi tak
ada salam. Tak ada senyum. Ada apa sebenarnya?”
Sanggahan dan Jawaban untuk ucapan Ihsan di atas:
• Jika sekedar pengalaman, maka ana sendiri pernah mengalami ada
seorang aktivis Wahdah saya beri salam beberapa kali dan ana tetap
berdiri menunuggu jawaban salam dan uluran tangannya, namun ia tak
membalasnya. Lantas apa yang anda katakan tentang sikapnya. Apakah
ia salah??
• Seorang muslim ketika melihat saudaranya tidak memberikan salam
kepadanya, maka hendaknya ia berbaik sangka. Yah, mungkin ia lagi
tidak enak badan, atau anda adalah orang yang kurang menyenangkan
dalam bergaul. Jadi, hal ini dijadikan koreksi, jangan malah dijadikan
bahan tuduhan dan berburuk sangka kepada yang lain.Ingat, jangan
sampai tuduhan yang kita lontarkan telah beranak pianak dan
berpindah dari mulut ke mulut, tapi ternyata tidak satu pun tuduhan
itu terbukti.[17]
• Kalaupun ada seorang yang tak memberi salam demi memberikan
pelajaran kepada seseorang yang memiliki penyimpangan atau
kesalahan sebagai bahan koreksi bagi dirinya, maka inipun tak ada
salahnya dan memang merupakan perkara yang syar’i.[18]
Ihsan:“Kita sering sekali dibingungkan. Rujukan kita sama. Aqidah kita
sama. Kecintaan kita kepada As-Salaf Ash-Sholeh juga sama”.
Jawaban dan sanggahan ucapan Ihsan di atas:
• Memang benar sebagian rujukan kita sama. Namun kami tidaklah
memakai kitab-kitab A’idh Al-Qorny, Salman, Safar Al-Hawaly sebagai
rujukan dan kitab kajian.Kami tak tahu apakah anda tahu hal ini ataukah
pura-pura buta dengan kenyataan. Kami tak ingin menyatakan anda
dusta sebab seorang ustadz jauh dari dusta.
• Sebagian aqidah kita memang sama, namun kami tak merusak aqidah
kami dengan mengadakan demo, menceritakan kejelekan pemerintah
muslim, dan juga tidak membenci mereka.
• Benar anda mencintai Salaf. Namun kecintaan kepada suatu kaum
tidaklah cukup dengan sekedar pernyataan, bahkan harus dibarengi
dengan realisasi.
Ihsan: “Baiklah, mungkin kita berbeda pandangan dalam beberapa
masalah, tapi bukankah para sahabat Nabi –shollallahu alaihi wa sallam –
yang muliapun seringkali berbeda pandangan. Lalu mengapa lahir
tuduhan-tuduhan yang membingungkan itu?”
Jawaban dan sanggahan buat ucapan Ihsan di atas:
• Perbedaan yang terjadi di antara para sahabat hanyalah dalam masalah
ijtihadiyah yang tidak mengharuskan adanya perpecahan [19].Mereka
tidak berbeda dalam manhaj dan aqidah. Sebaliknya perbedaan yang
terjadi antara jama’ah-jama’ah Islamiyyah, bukan lagi dalam masalah
ijtihadiyah, bahkan dalam masalah manhaj dan aqidah. Coba tengok ke
depan sedikit, anda akan melihat Ikhwanul Muslimin mengadakan kudeta,
demonstrasi, berdakwah lewat parlemen, pendekatan sunni-syi’ah,
bahkan muslim-kafir. Tengok lagi disana, Hizbut Tahrir menolak ratusan
hadits-hadits ahad dalam masalah aqidah. Sementara disana Jama’ah
Tabligh mengajak ummat kepada tasawwuf. Disana ada lagi Jama’atul
Muslimin yang mengkafirkan kaum muslimin yang tidak larut bersama
mereka. Dan ternyata Wahdah turut ambil andil dalam demo sebagai
benih kebencian kepada pemerintah, dan mengumandangkan
muwazanah dalam mengkritik para ahli bid’ah dan orang-orang yang
menyimpang.Demikian pula seminar yang mereka adakan bersama IM
tentang politik dan pemilu di kampus UNHAS [20],lalu seminar bersama
HT [21] .Adapun kedekatan beberapa tokoh Jamaah Tabligh dengan
para ustadz WI adalah perkara yang tidak samar.
• “Lalu mengapa lahir tuduhan-tuduhan yang membingungkan itu?”, kata
Ihsan. Tuduhan apa yang membingungkan kalian? Bukankah kalian
berdemo, mempertahankan manhaj muwazah yang mubtada’ah, duduk
bersama ahli bid’ah. Ini bukan tuduhan. Bahkan waqi’unal yaum.
Ihsan:“Fenomena inilah yang disebut oleh Syekh Bakr ibn Abdillah Abu
Zaid-hafizhahullah- dengan fenomena tashnif. Fenomena pemberian label
dan cap kepada orang lain”.
• Jika sekedar ngomong dan nuduh orang, gampang. Bukankah kalian
sering menggunakan kata Ikhwanul Muslimin, Hizbut-Tahrir, Jama’ah
Tabligh, dan lainnya dalam membagi dan menyebut kelompok-kelompok
da’wah di Makassar?Jika anda menyatakan bahwa anda menyebut
mereka demikian tadi, itu bukan mencap dan memberi label untuk
mereka. Maka kami khawatir kalau anda tak ada bedanya dengan
mereka dengan alas an mereka kan saudara-saudara kita sama-sama
“berjuang” dan “berda’wah”.
• Dari dulu sampai sekarang para ulama kita masih terus memberikan label
kelompok-kelompok sesat, bahkan kelompok-kelompok sesat itu sendiri
yang melabeli dirinya. Dan perlu kami jelaskan bahwa tashnif ditinjau
secara bahasa bermakna :”membedakan sesuatu, sebagiannya dari
sebagian yang lain”.[22]
• Jadi, Sejak dulu para ulama kita telah membedakan ini Mu’tazilah, ini
shufiyyah, ini Murji’ah, ini Khawarij, dan ini Syi’ah sehingga istilah-istilah
ini terkenal sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Hazm –misalnya-
dalam Al-Fishol fil Milal wal-Ahwaa’ wa An-Nihal, Abdul Qohir Ibn
Muhammad Al-Baghdady dalam Al-Farq bainal Firoq, Asy-Syahrostany
dalam Al-Milal Wa An-Nihal. Demikian pula ulama’-ulama’ mutakhirin pun
menggunakan istilah-istilah untuk jama’ah dakwah agar bisa dibedakan
dari dakwah Ahlus Sunnah. Misalnya, Syaikh Ibn Baz, Syaikh Al-Albany
dalam berbagai kitab dan kasetnya, Syaikh At-Tuwaijiry dalam At-Tahdzir
Al-Baligh min Jama’ah At-Tabligh, Syaikh Al-Fauzan dalam Al-Ajwibah
Al-Mufidah, Syaikh Ahmad An-Najmy-hafizhohumullah wa rahim- dan
lainnya. Nah, Apakah menggunakan istilah-istilah seperti Ikhwanul
Muslimin,Jama’ah Tabligh, Hizbut Tahrir kita mau larang sementara para
ulama kita memakainya dalam rangka membedakan mereka dari dakwah
salaf?? Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily –hafizhohullah- berkata setelah
menerangkan asal kata Salafiyyun: “Dengan ini, nyatalah bahwa
penggunaa nama ini (yaitu, nama Salafiyyun,pent)bagi Ahlus Sunnah
adalah sesuatu yang syar’I dan kembali -pada asal maknanya- kepada
nama-nama mereka (Ahlussunnah) yang Syar’i. Seperti: Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah, Ath-Tho’ifah Al-Manshuroh, Al-Firqoh An-Najiyah
untuk membedakan antara mereka (Ahlus Sunnah-Salafiyyun, pen)
dengan orang-orang yang menisbahkan diri kepada Islam dari kalangan
orang-orang yang menyimpang dari aqidah yang benar yang Rasul
–Shollallahu alaihi wasallam- meninggalkan ummatnya da atasnya.” [23].
Sekali lagi, Apakah membedakan kelompok-kelompok yang ada dengan
memberi label kepada mereka dengan menggunakan kata Ikhwani,
Tablighi, Tahriri, WI, NII bagi kelompok-kelompok yang menyimpang
dari rel Salaf merupakan perkara yang salah?? Jawabnya, tentu tidak
berdasarkan amaliyyah ulama’. Bahkan Nabi–Shollallahu alaihi
wasallam- juga membedakan ini muslim, itu kafir dan beliau juga pernah
bersabda dalam memberi label kepada orang-orang yang mengingkari
takdir:“Al-Qodariyyah: majusinya ummat ini…”.[24]
• Jika kita tidak memberi label kepada kelompok da’wah sufiyyah modern
(baca: Jama’ah Tabligh), kepada kelompok da’wah Neo Mu’tazilah(baca:
HT) dan lainnya, maka kapankah umat tahu kawan dan lawan mereka.
Apakah setelah mereka terjerat dalam kesesatan kelompok-kelompok itu,
baru kita berteriak-teriak bak “kebakaran jenggot”.
• Dulu ketika kami masih di Wahdah, kami sering kali mendengar kata
“MANIS”, Jama’ah Tabligh, IM, HT, dan lainnya dari mulut para pengikut
WI dan para ustadznya. Bahkan label “MANIS” mereka sudutkan.
Bukankah ini juga tashnif?? Mengapa justru fenomena tashnif ini malah
diarahkan dan dituduhkan kepada orang lain tanpa hujjah. Ingat, jangan
sampai tuduhan yang kita lontarkan telah beranak pianak dan
berpindah dari mulut ke mulut, tapi ternyata tidak satu pun tuduhan
itu terbukti.
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak
kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan
apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. [QS.Ash-Shoff: 2-3]
Kalian nyuruh orang agar tidak melakukan tashnif, tapi kalian sendiri
mentashnif manusia. Wallahi, hadza lasyai’un ujaab!!
• Jika seorang mentashnif jama’ah-jama’ah yang menyimpang, apakah ini
keliru, dan dimana letak kekeliruannya. Maka kami akan katakan kepada
anda sebagai mana yang dikatakan Syaikh Bakr Abu
Zaid-hafizhahullah-:”Jika engkau beradu argumen dengan salah seorang
dari mereka, maka engkau tidak akan menemukan apapun darinya
kecuali sepotong semangat yang menggerakkannya tanpa landasan ilmu
yang jelas. Maka ia pun masuk ke dalam akal orang-orang bodoh dengan
semboyan “ghirah terhadap dien”, “menolong sunnah”, dan “persatuan
ummat”.[25] Padahal merekalah yang pertama kali yang mengayunkan
palu godam untuk menghancurkan dan mengoyak-ngoyak
keutuhannya… ” [26]
Footnote
[1] Ustadz ini merupakan pengamat dan pendukung da’wah Salaf sebagaimana
ia namakan dirinya dalam makalahnya “Renungan untuk Tidak Berfikir Picik”
yang dimuat dalam Jurnal Islamy, Al-Bashirah. Namun tidak setiap pengamat
dan pendukung merupakan “pemain” Selanjutnya kami sebut Ihsan.
[2] Mudah-mudahan penamaan majalah ini dengan “Al-Islamy”bukanlah timbal
balik adanya ketidaksetujuan penulis menisbahkan diri kepada As-Salaf. Artinya,
moga dia berbuat demikian bukan karena enggan menamai dirinya atau
majalahnya dengan nama salafy
[3] Majalah ini dibawa oleh seorang ikhwah yang baru keluar dari WI.
[4] Kita berharap hal ini dilakukan bukan karena pembelaan diri atau “jama’ah”
atau sekedar melampiaskan kebencian pada Salafiyyin tanpa hujjah.
[5]QS.Al-Ahzab:58
[6] Baik dengan cara melakukan demonstrasi, membongkar aib pemerintah
lewat Koran, majalah, TV, radio, pertemuan, maupun melakukan
pemberontakan dan kudeta.
[7] Perlu kami jelaskan dengan ringkas bahwasanya muwazanah yang diingkari
oleh para ulama’ adalah muwazanah ketika menjelaskan kekeliruan dan
penyimpangan seseorang. Adapun dalam menjelaskan biografi seseorang,
maka tak mengapa disebutkan kebaikan dan kejelekannya (baca: kekeliruan
dan penyimpangannya). Namun itupun bukanlah merupakan keharusan.
[8]Seakan syaikh menyatakan bahwa itu merusak muru’ah (citra diri) sebab
orang tua ketika demo berlaga seperti anak muda,berteriak dan emosi.
Demikian pada wanita yang demo, citra dirinya rusak. Dia berjalan bersama
laki-laki, berlaga seperti laki-laki. Mestinya tinggal di rumah. Malah keluar,
na’udzu billah !!
[9]Lihat Buletin Silsilah Ad-Difa’ anis Sunnah (7): “Aqwaal ‘Ulama’
As-Sunnah fil Muzhaharat wa maa Yatarattab Alaih min Mafasid ‘Azhimah”,
hal.2-3, cet. Maktabah Al-Furqon, UEA.
[10]Lihat At-Tahdzib (8/114) sebagaimana dalam Lamm Ad-Durr Al-Mantsur,
hal.60 karya Jamal Ibn Furoihan Al-Haritsy, cet. Dar Al-Minhaj, Mesir.
[11]Lihat Hadyus Sari (459) yang dinukil dari Lamm Ad-Durr Al-Mantsur,
hal.60, cet. Dar Al-Minhaj.
[12]Simak kasetnya: Syarh Ath-Thohawiyyah (185)
[13]Lihat Fikrah Al-Irhab wal ‘Unf fil Mamlakah, hal.217 oleh Syaikh Abdus
Salam As-Suhaimy& Madaarik An-Nazhar, hal.416, cet. Dar Sabil Al-Mu’minin.
[14]Simak Kasetnya: Humum Fatat Multazimah. Ucapannya ini kami nukil dari
Fikrah Al-Irhab, hal.214
[15]Beda dengan yang dinyatakan oleh Safar Al-Hawali, katanya demo adalah
uslub da’wah. Maka perhatikan. Dan jangan dikatakan: “Diakan ulama’ boleh
saja ia berbuat dan berkata semaunya sebab itukan ijtihad dia. Kalau benar
dapat dua pahala, kalau salah, dapat satu”. Ini merupakan tipuan Iblis, sebab
demo merupakan salah satu bentuk khuruj alal hukkam.Sedang permasalahan
khuruj termasuk masalah aqidah yang salaf sudah sepakat haramnya. Lagian
Safar bukan ulama.
[16] Lihat Buletin Silsilah Ad-Difa’ (7),hal.1-2
[17]Kalimat-kalimat yang tebal dan bergaris bawah di atas adalah merupakan
ucapan Ihsan dalam tulisannya tsb dalam Majalah Al-Islamy, edisi 2/1/1426 H,
hal.50. Dan ucapannya ini akan kami ulang-ulangi agar para pembaca tahu dan
paham firman Allah yang terjemahannya begini:
“(Ingatlah) diwaktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut, dan
kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan
kamu menganggapnya suatu yang ringan saja . Padahal di sisi Allah adalah
(perkara yang sangat) besar.” QS.An-Nur:15
[18]Lihat dalil-dalil masalah ini dalam kitab-kitab aqidah yang mutaqoddimin.
Adapun kitab-kitab ulama-ulama sekarang seperti kitab Hajr Al-Mubtadi’ karya
Syaikh Bakr Abu Zaid, Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’
wal Bida’ oleh Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily, Idho’ah Asy-Syumu’ karya Syaikh
Masyhur Hasan Salman, Ta’zhim As-Sunnah dll.
[19] Jika mau dikatakan itu dalam hal aqidah, maka itupun tidak menghalangi
adanya pengingkaran. Mereka berselisih, berarti belum ada ijma’. Namun
perkara yang diingkari para ulama atas jama’ah dakwah hizbiyyah adalah
merupakan perkara-perkara yang sudah mereka sepakati keharamannya,
semisal khuruj ala al-hukkam.
[20]Yang diisi oleh Pimpinan WI, Al-Ustadz H.Muhammad Ikhwan Abdul Jalil, Lc
[21]Seminar seperti ini pernah diadakan dua kali menurut yang kami
ketahui.Sekali dengan pembicara Al-Ustadz H.Muhammad Zaitun Rasmin,Lc
(saat itu juga pimpinan WI), yang kedua dengan pembicara Al-Ustadz H.Ilham
Jaya,Lc.
[22]Lihat Mu’jam Maqooyiis Al-Lughoh, hal.554 karya Abul Husain Ibn Faris
cet. Dar Ihya’ At-Turoots Al-Aroby, dan Lisan Al-Arab (7/423) cet. Dar Ihya’
At-Turots Al-Araby dan Mu’assasah At-Tarikh Al-Araby.
[23]Lihat Mauqif Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah (1/64)
[24]HR.Abu Dawud dan Al-Hakim. Lihat Shohih Al-Jami’ Ash-Shoghir (4442)
karya Syaikh Al-Albany -rahimahullah-
[25] Sampai masjidnya pun disebut dengan “ Wihdatul Ummah” (Persatuan
Ummat). Sekalipun demikian, merekalah yang pertama kali mengayunkan palu
godam atas ummat ini. Sebagai bukti, mereka mengajak ummat untuk berdemo
sebagai bukti pembangkangan kepada pemerintah muslim, mereka melarang
anak-anak untuk kajian ke tempat lain sekalipun ngaji pada salafiyyin. Bukankah
ini merupakan pemecahbelahan ummat? Jelas ini pemecahbelahan ummat,
bahkan juga tashnif. Yang satunya bilang: “kami Wahdah Islamiyyah”, yang lain
bilang: “Kami Hizbut Tahrir”, yang lain lagi bilang: “Kami Tabligh”, dan satu lagi
bilang: “Ikhwanul Muslim (Baca: PKS)”. Satu sama lainnya saling melarang anak
kajiannya untuk bergabung dengan yang lainnya karena takut -alasannya- anak
kajiannya “direbut” (baca: dirampas) orang
[26]Lihat Majalah Al-Islamy 2/I/1426 H, hal.54
Renungan Agar Tidak Berpikir Picik (Jawaban Untuk Al Akh
Ihsan Zainuddin(Seorang Ustadz di Ormas Wahdah Islamiyyah)
-Bag II)
Ihsan : “Disebabkan fenomena ini terus saja ‘menghantui’ jalan da’wah
Ahlu sunnah, maka kami insya Allah akan membahas persoalan ini dalam
tulisan ini.”
Jawaban dan sanggahan ucapan Ihsan:
• Siapakah yang anda maksudkan dengan Ahlus Sunnah. Apakah
orang-orang yang senang membangkang kepada pemerintah dan
mempermalukan pemerintah dalam demo, ceramah, dan majelis mereka,
ataukah para pengikut neo shufiyyah, semacam Tabligh. Wallahi, mereka
itu bukan Ahlus Sunnah sekalipun mereka berkoar-koar !!
Ihsan:“Insya Allah akan ditampilkan secara berseri. Rujukannya
sepenuhnya diambil dari karya Syekh Bakr Ibn Abdillah Abu Zaid
–hafizhahullah- yang berjudul Tashnif An-Naas Baina az Zhann wal Yaqiin.
Semoga bermanfaat!”
Jawaban ucapan Ihsan di atas:
• Namun komentarnya Ihsan, apakah Syaikh setujui dan sesuai dengan
realita, ataukah hanya sekedar pengakuan dan tuduhan? Kita akan
buktikan, Insya Allah.
• Alhamdulillah kitab yang ditulis oleh Syaikh Bakr ini ternyata telah
disanggah oleh Syaikh Rabi’ Ibn Hadi Al-Madkhaly dalam Al-Hadd
Al-Fashil, hal.140-143 dengan sanggahan yang cukup ilmiyyah dan
memuaskan.Jazaahullahu khaeran.[1]
Ihsan: “Menyingkap kesesatan ahlul ahwa’ wal bid’ah, melakukan kritik
terhadap pandangan dan pemikiran yang menyelisihi Al-Qur’an dan
As-Sunnah, serta membongkar kejahatan para penyerunya, melakukan
hajr (pengisoliran), dan tahdzir (pemberian peringatan) terhadap mereka
yang diikuti dengan sikap bara’ (berlepas diri) dari segala kesesatan
mereka, dalam pandangan Ahlu sunnah adalah merupakan sebuah sunnah
yang terus berlaku dalam sepanjang sejarah kaum muslimin”.
Jawaban terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Kapankah anda menyingkap kesesatan ahlul ahwa’ wal bida’? Kapankah
anda melakukan kritik terhadap pandangan dan pemikiran yang
menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kapankah anda membongkar
kejahatan para penyerunya, melakukan hajr (boikot), tahdzir (nasehat
dan peringatan) terhadap mereka yang diikuti dengan sikap bara’
(berlepas diri) dari segala kesesatan mereka???Bukankah kalian setelah
dialog dengan Hizbut Tahrir (HT) kemudian berikutnya berselang setelah
beberapa waktu, kalian kembali duduk bersama dengan mereka dalam
sebuah acara seminar? Mana bara’ kalian dari orang-orang HT yang
telah menolak ratusan hadits-hadits ahad. Padahal para Salaf ketika ada
yang menolak sebuah hadits saja, maka mereka marah sekali, dan bara’
terhadap orang tsb, bahkan tak mau serumah.[2] Manakah kecintaan kita
kepada Salaf ?
• Mudah-mudahan apa yang diucapkan oleh Ihsan ini disadari dan bukan
sekedar pengakuan tanpa bukti nyata.
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak
kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan
apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. [QS.Ash-Shoff: 2-3]
Ihsan: “1. Ilmu yang jelas bahwa “kesesatan” dan “kesalahan” yang
disingkap itu benar-benar termasuk perkara yang sesat dan salah
berdasarkan dalil-dalil yang shahih dan ijma’ para ulama’ ”.
Jawaban terhadap ucapan Ihsan:
• Bukankah merupakan suatu kesesatan jika seorang berdemo, membela
para hizbiyyin, dan mempertahankan manhaj muwazanah? Kapankah
para ustadz Salafiyyin mengkritik kalian tanpa ilmu?
• Memang menyingkap kesesatan dan kesalahan harus berdasarkan dalil
yang shohih, bukan dalil-dalil yang dhoif. Namun apakah seorang yang
mau mengingkari dan menyingkap suatu kesesatan harus berdasarkan
ijma’ bahwa itu merupakan kesesatan dan kesalahan?Kalau begitu kalian
tak usah mengingkari para pemain musik sebab ada ulama’ yang
membolehkannya seperti Ibnu Hazm.Kalian tak usah ingkari orang-orang
musbil sebab ada yang menyatakannya makruh seperti Imam
An-Nawawy. Kalian tak usah mengingkari wanita-wanita yang tak
bercadar sebab ada yang tak mewajibkannya.Dan banyak lagi masalah
khilafiyyah.
Ihsan : “Mengapa? Karena jika persoalan ijtihadiyah dimana para ulama
berbeda pendapat dengan pegangannya masing-masing, maka kita terikat
dengan begitu banyak kaidah seputar ijtihad. Seperti kaidah La yunqodhul
ijtihadu bil ijtihad (bahwa ijtihad seorang alim tidak dapat dibatalkan oleh
ijtihad alim lainnya).”
• Sekali lagi kami katakan, kalau begitu tak usah mengingkari orang yang
meminum khamr yang tidak terbuat dari korma sebab sebagian ulama
dari kalangan Hanafiyah membolehkannya. Kalau begitu tak usah ingkari
orang yang menurunkan tangannya ketika ia berdiri dalam sholat sebab
orang-orang Malikiyah menyunnahkan hal itu. Kalau begitu tak usah
mengingkari pemerintah Saudi memasukkan pasukan Amerika ke Jazirah
Arab (Jeddah) ketika perang Teluk sebab para ulama kita di Saudi
membolehkannya sekalipun Yusuf Al-Qordhowy berang dan menyelisihi
pendapat mereka. Kalau begitu andapun tidak boleh mengingkari orang
yang melarang Muwazanah jika menurut Anda disana ada ulama yang
membolehkannya dan melarangnya.
• Kami ingin bertanya kepada anda, apakah perbedaan di antara kita
dalam masalah aqodiyah ataukah masalah ijtihadiyah? Jika aqodiyah,
maka tak ada salahnya ada yang mengingkari. Jika masalah ijtihadiyah,
maka juga tak ada salahnya ada yang mengingkari kalian sebagaimana
para ulama kita dulu menulis kitab-kitab fiqh dalam membela
pendapatnya yang benar dan membantah pendapat ulama lainnya yang
salah. Namun tak ada yang menyatakan wahai ulama kalian jangan
mengingkari ulama lain yang tidak sependapat dengan kalian dalam
masalah ijtihadiyah. Bahkan para ulama kita terus dalam hal ini. Yang
satu mengingkari yang lainnya-dalam masalah qunut shubuh misalnya-
tanpa ada yang menyatakan: Eh, kalian jangan mengingkari ulama
lainnya!!
• Wahdah sendiri mengingkari salafiyyin. Kenapa kok kalian ingkari mereka
jika mereka memiliki sikap yang berbeda dengan kalian. Apakah kalian
berbeda dengan mereka dalam hal aqodiyah ataukah ijtihadiyah? Jika
aqodiyah, apa buktinya. Jika ijtihadiyah, katanya tidak boleh diingkari.
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak
kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan
apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. [QS.Ash-Shoff: 2-3]
• Jadi kaedah ini, ana khawatirkan diplintir menjadi kaedah
Ikhwaniyah: “Kita bersepakat dalam perkara yang kita sepakati dan
saling memaafkan dalam perkara yang kita perselisihkan”.
Mudah-mudahan anda bisa pikirkan.
Ihsan : “Sudah barang tentu kita tidak mengatakan semuanya benar, tetapi
bukankah jika seorang mujtahid melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya salah ia
tetap akan mendapatkan satu pahala, seperti pernah dikatakan oleh
Rasulullah –Shollallahu alaihi wa sallam-??”
• Benar, tapi apa maksud anda dengan mengucapkan seperti ini. Apakah
kalian menginginkan kami mendiamkan suatu perbuatan yang kami
anggap keliru berdasarkan dalil-dalil yang shohih dan kuat??Tak ada
salahnya kita mengingkari suatu perbuatan yang kita anggap
keliru-sekalipun dalam lingkup masalah ijtihadiyah.Kalau memang
seseorang tidak boleh mengingkari kekeliruan pendapat orang lain yang
berkaitan dengan masalah ijtihadiyah, maka tak usah ingkari orang
musbil dan biarkan murid kalian berisbal atau tidak berisbal.
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak
kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan
apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. [QS.Ash-Shoff: 2-3]
• Kami khawatir Ihsan menginginkan agar kita membiarkan dia bebas
menda’wahkan muwazanah, bolehnya demo, dan masuk dalam
parlemen dengan alasan berdakwah. Ini dikuatkan dengan ucapannya
yang berikut:
Ihsan : “Masalah keikutsertaan memilih dalam pemilu atau masuk dalam
parlemen-misalnya-, suatu ketika saya pernah mendengarkan seorang
ustadz yang dikenal banyak menda’wahkan As-Sunnah dengan mantapnya
mengatakan: “ Para ulama’ Ahlussunnah diabad ini telah berijma’ bahwa
mengikuti pemilu dan masuk parlemen adalah perkara yang haram!” …”
• Kalau menurut kami sebaiknya saudara Ihsan tanya dulu kepada da’i
As-Sunnah tsb, siapa tahu ia punya pendahulu dari kalangan ulama yang
menegaskan adanya ijma’ dalam hal itu sebab kami sendiri belum pernah
mendengarkan ada seorang ulama’ yang membolehkan masuk dalam
parlemen karena merupakan salah satu sebab perpecahan. Kalau mau
dikatakan boleh karena darurat[3] seperti halnya makan babi, namun
hukum asalnya adalah haram.
• Masuk parlemen berdakwah dan memilih dalam kancah perpolitikan ala
demokrasi, apakah termasuk dalam masalah ijtihadiyah yang dibolehkan
adanya khilaf di dalamnya ataukah ia masuk dalam perkara bid’ah atau
perkara kekufuran?? Kami inginkan jawaban dari seorang yang mengaku
dirinya sebagai Pengamat dan Pendukung Dakwah Salafiyyah agar hal
ini menjadi bahan “Renungan untuk Tidak Berfikir Picik”.[4]
• Sekarang jika anda menyatakan mungkin disana ada ulama yang
berselisih dalam hal ini, maka anda seharusnya menyebutkan siapa
mereka.
Ihsan: “Baiklah, saya dan anda bisa saja sepakat bahwa masuk parlemen
mungkin seharusnya tidak ditempuh oleh para da’i, tapi bahwa para ulama
Ahlussunnah telah berijma’ akan hal itu, darimana Anda
mendapatkannya??”
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Sebelum mengingkari harus ada ilmu yang jelas-seperti yang anda
katakan sendiri-tentang sesuatu yang anda ingkari.
• Anda katakan: ”…Saya dan anda bisa saja sepakat bahwa masuk
parlemen mungkin seharusnya tidak ditempuh oleh para da’i…” Siapa
saya dan anda sehingga perkara seperti ini dipulangkan kepada kita.
Bukankah perkara seperti ini adalah perkara nawazil yang seharusnya
dikembalikan kepada ahlul ilmi.
• Ucapan anda ini basa-basi. Terus terang katakan saja apakah masuk
parlemen dan memilih itu boleh? Apa dasar anda dan ulama’ siapa yang
membolehkannya. Kami khawatir kalau A’idh dan semisalnya saja yang
bolehkan.
• Kalau ada, apakah pendapat mereka rojih (kuat) atau malah lemah.
Ihsan : “Kasus muwazanah (menimbang antara kebaikan dan keburukan)
juga sama halnya. Bagi sebagian orang kata ini berubah dan menjelma
menjadi sebuah kata yang ‘menakutkan’. Salahkah ia?”
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Muwazanah dan masuk parlemen memang sama-sama termasuk
wasilah da’wah yang bid’ah dan memecah belah kaum muslimin.
Syaikh Al-Albany –rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan bid’ah muwazanah, mereka itu-tanpa diragukan lagi- telah
menyelisihi Al-Kitab, dan As-Sunnah, Sunnah ucapan maupun amaliyah, dan
telah menyelisihi manhaj As-Salaf Ash-Sholeh…Apabila orang yang terzhalimi
berkata: “Fulan telah menzhalimiku”, Lantas aapakah dikatakan kepadanya:
Ya akhi sebutkan juga kebaikannya. Demi Allah ini merupakan kesesatan
yang baru, termasuk hal yang paling aneh yang dimunculkan di medan
dakwah pada zaman ini .”[5]
• Betul kata “muwazanah” merupakan kata yang menakutkan sebab
merupakan tameng bagi para hizbiyyin dalam membela dan melindungi
idola mereka dari kalangan ahlul ahwa’.
• Salahkah ia? Jawabnya: jelas salah! Sebagaimana kata Syaikh Al-Albany
–hafizhohullah-[6]
Ihsan: “Jangan sampai kita seperti sebagian ulama –semoga Allah
merahmati mereka, amin- yang mati-matian menolak penggunaan qiyas
dalam berdalil, namun dalam prakteknya mereka juga menggunakan
qiyas.”
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Saya balik: Jangan sampai kita seperti sebagian orang yang mati-matian
mempertahankan muwazanah, namun dalam prakteknya mereka juga
tidak menggunakan muwazanah kepada sebagian orang atau kelompok
lain,apalagi yang mengingatkan kesalahan dan penyimpangan mereka
(baca:WI) atau yang tak sepaham dengan mereka.
• Jangan sampai kita ini melarang ”ghibah”, namun pada prakteknya kita
juga berghibah[7], seperti mengghibah sebagian orang yang tidak
sepaham dengan kita atau mengghibah pemerintah.
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak
kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan
apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. [QS.Ash-Shoff: 2-3]
• Jangan sampai kita mirip orang yang melarang orang lain menuding dan
menuduh, tanpa ilmu. Namun paada prakteknya kita yang menuduh
orang tanpa ilmu.Jangan sampai tuduhan yang kita lontarkan telah
beranak-pianak dan berpindah dari mulut ke mulut, tapi ternyata tak
satupun tuduhan itu terbukti.
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak
kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan
apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. [QS.Ash-Shoff: 2-3]
Ihsan:“Bahkan ketika membantah keabsahan qiyas, mereka justru
menggunakan qiyas.”
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Saya balik: Bahkan ketika kalian memperjuangkan muwazanah
mati-matian, malah justru kalian membuang muwazanah ketika
menghadapi orang yang tidak sepaham dengan kalian.
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak
kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan
apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. [QS.Ash-Shoff: 2-3]
“Maaf, saya tidak mewajibkan anda bermuwazanah di setiap waktu. Tapi
pahamilah pertanyaan ini: apakah muwazanah itu salah dan batil secara
mutlak? Jangan lagi ada yang mengatakan bahwa para ulama’
Ahlussunnah telah berijma’ bahwa muwazanah itu adalah bid’ah…”
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Bertanya itu mudah. Sekarang kami balik bertanya: Maaf, jika anda tidak
mewajibkan bermuwazanah di setiap waktu, tolong jelaskan kapan saja
muwazanah dibolehkan, dan apa hukumnya ketika itu.
• Muwazanah dalam mengingatkan bahayanya ahli bid’ah dan orang yang
keliru, batil secara mutlak.[8]. Adapun dalam menerangkan biografinya
seseorang yang menyimpang boleh-tapi itupun tidak lazim- menyebutkan
kebaikan dan kejelakannya sebagaimana hal ini disebutkan Syaikh
Albany –rahimahullah-. Boleh hanya menyebutkan kejelekannya saja
berdasarkan amaliyah para ahlul ilmi.
• Kalau menyatakan adanya ijma’, wallahu a’lam. Namun apakah berarti
kita tidak boleh menyatakan itu bid’ah kecuali setelah adanya ijma’.[9].
Saya kira tak ada yang menyatakan hal ini diantara kita. Apalagi Syaikh
Al-albany bilang muwazanah itu bid’ah !!
Ihsan: “Jika kita sudah memastikan bahwa “kesalahan” itu benar-benar
adalah sebuah “kesalahan” dan “kesesatan”, maka yang tak kalah
pentingnya selanjutnya adalah kita harus mempunyai ilmu yang jelas
bahwa perkara itu benar-benar terbukti keberadaannya pada orang yang
menjadi “sasaran tuduhan” itu. Jangan sampai tuduhan yang kita
lontarkan telah beranak-pianak dan berpindah dari mulut ke mulut, tapi
ternyata tak satupun tuduhan itu terbukti”.
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Bukankah telah nyata bahwa WI berdemo, membela muwazanah, dan
du’at hizbiyyah, semacam A’idh Al-Qorny, Salman dan Safar, serta duduk
bersama Hizbut-Tahrir dalam sebuah acara seminar di kampus Unhas??
Ihsan : “Landasan yang kedua adalah niat yang benar. Dalam menjalankan
kewajiban ini, sudah pasti niat sangat menentukan . Apa yang menjadi
motivasi Anda dalam menyingkap kesalahan tersebut ? Karena memang
ingin membela agama Allah dan sunnah Nabi ? [10] atau hanya karena
dengki melihat penyeru As-Sunnah lainnya mempunyai murid lebih
banyak, sarana duniawi yang lebih lengkap dan pendapatan yang lebih
dibanding Anda? Ah, hanya Allahlah kemudian Anda sajalah yang
mengetahui niat itu…Tapi Anda tahu ‘ kan bahwa Anda akan dihisab di
akhirat ”.
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Dalam ucapan ini ada “tashnif ” bagi niat para du’at. Apa hukum tashnif
seperti ini??Tolong anda jawab.
• Jika yang diajak bicara disini Salafiyyin[11]. Maka kami tegaskan: bahwa
kami dalam menyingkap penyimpangan ahli bid’ah dan orang-orang yang
menyimpang, Insya Allah karena ingin membela agama Allah dan sunnah
Nabi-Nya –shollallahu alai wasallam-, hakadza nahsibuhu walaa
nuzakki alallahi ahada.
• Kalau dengki hanya karena melihat lebih banyaknya murid Wahdah,
maka sebenarnya kalau mau dengki, kami tak perlu dengki kepada
Wahdah, sebab masih banyak jama’ah dakwah yang memiliki murid lebih
banyak dibandingkan Wahdah.
• Jika dikatakan iri pada WI karena sarana duniawinya lebih lengkap dan
pendapatannya lebih dibandingkan kami salafiyyin, maka juga tak perlu iri
kepada WI, tapi mestinya iri melihat orang yang lebih mapan
dibandingkan WI, seperti Muhammadiyah, dan NU. Tapi bukanlah
demikian masalahnya. Siapa sih konglomeratnya WI sehingga harus
berbangga-bangga dan sombong di depan para hamba Allah Yang Maha
Kaya sehingga hamba Allah iri kepada Allah.
• Mudah-mudahan ini bukan tuduhan.Karena Jangan sampai tuduhan
yang kita lontarkan telah beranak-pianak dan berpindah dari mulut ke
mulut, tapi ternyata tak satupun tuduhan itu terbukti.
Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak
kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan
apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. [QS.Ash-Shoff: 2-3]
Allah Ta’ala berfirman:
“(Ingatlah) diwaktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut, dan
kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan
kamu menganggapnya suatu yang ringan saja . Padahal di sisi Allah adalah
(perkara yang sangat) besar.” QS.An-Nur:15
Ihsan: “Maka jelaslah bahwa menyingkap dan meluruskan kesesatan dan
kesalahan ahlul ahwa’ wal bida’ adalah sebuah kewajiban syar’i yang terus
berlaku hingga akhir zaman. Akan tetapi, jangan sampai anda tertipu
dengan sebagian orang yang menjadikan hal ini sebagai landasan
terhadap upaya mereka untuk menjatuhkan para ulama dan du’at. Setiap
hari mereka disibukkan mencari-cari kesalahan para du’at dengan alasan
membela As-Sunnah”.
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Menyingkap dan meluruskan kesesatan dan kesalahan ahlul ahwa’ wal
bida’ adalah sebuah kewajiban syar’i yang terus berlaku hingga akhir
zaman. Namun Kapankah menurut WI kewajiban syar’i ini diterapkan
sehubungan adanya kaedah muwazanah yang mereka perjuangkan?
• Siapa ulama dan du’at yang berupaya kami jatuhkan?? Apakah semisal
Salman, A’idh, dan Safar?? Siapa yang mengatakan mereka itu
ulama??Kalau ulama’, apa kita harus terima yang mereka katakan
sekalipun menyalahi nas dan aqidah salaf.
• Upaya apa yang kami lakukan untuk menjatuhkan para ulama?? Jangan
sampai ini merupakan sekedar tuduhan tanpa bukti. Ingat Jangan
sampai tuduhan yang kita lontarkan telah beranak-pianak dan
berpindah dari mulut ke mulut, tapi ternyata tak satupun tuduhan itu
terbukti.
Allah Ta’ala
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak
kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan
apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. [QS.Ash-Shoff: 2-3]
Allah Ta’ala berfirman:
“(Ingatlah) diwaktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut, dan
kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan
kamu menganggapnya suatu yang ringan saja . Padahal di sisi Allah adalah
(perkara yang sangat) besar.” QS.An-Nur:15
o Ketika Yayasan hizbiyyah Haramain ada di Makassar, Yayasan ini
sempat membagikan kitab yang ditulis oleh Muhammad Salim
Ad-Dausary dengan judul:[“Rof’ul La’imah” ]. Kitab ini berisikan
tuduhan keji (baca: murji’ah) kepada seorang murid Syaikh
Al-Albany, Syaikh Ali Ibn Hasan Al-Halaby Al-Atsary. Padahal
beliau adalah seorang ulama’ dan du’at Ahlus Sunnah. Lalu
kenapa tuduhan keji ini kepada Syaikh Ali Al-Atsary tidak dianggap
ghibah,dan menjatuhkan para ulama dan du’at??dan tidak
dianggap mencari-cari kesalahan para du’at??.Tuduhan keji tsb
yang ditorehkan oleh Muhammad Salim Ad-Dausary dalam Rof’ul
La’imah, telah dibantah oleh Syaikh Ali Ibn Hasan Al-Atsary dalam
At-Tanbihat Al-Mutawa’imah. Tentang nasib naas terakhir
Ad-Dausary ini, coba baca Kalimah Tadzkir karya Syaikh Ali
Hasan.
Ihsan : “Syekh Bakr Abu Zaid –hafizhahullah- mengatakan: “Di zaman ini,
fitnah (tashnif) ini menjalankan perannya dalam jubah orang-orang yang
menisbatkan dirinya pada sunnah, seraya mengenakan selendang yang
mereka nisbatkan kepada salafiyyah-namun sebenarnya mereka telah
menzhalimi (salafiyyah itu sendiri). Maka merekapun meletakkan diri
mereka untuk melontarkan (tuduhan) kepada para du’at dengan tuduhan
yang keji, yang dibangun di atas hujjah yang lemah. Merekapun sibuk
dengan tashnif yang sesat ” [12]…”
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Di zaman ini Wahdah menjalankan fitnah tashnifnya dengan
membagi-bagi, membeda-bedakan manusia dengan memberi label
kepada mereka: “Ini Salafiyyin”, “Ini Ikhwan”, “Ini HT”, “Ini JT”, dan lainnya.
Bukankah ini tashnif??
• Jadi mungkin ucapan Syaikh Bakr-Hafizhohullah- bagus kita ubah seperti
ini: “Fithnah tashnif yang dimotori oleh Wahdah ini menjalankan perannya
dalam jubah orang-orang yang menisbahkan dirinya pada sunnah[13],
seraya mengenakan selendang yang mereka nisbahkan kepada
salafiyyah[14] -namun sebenarnya mereka telah menzhalimi (salafiyyah
itu sendiri). Maka merekapun meletakkan diri mereka untuk melontarkan
tuduhan kepada para du’at salafiyyin dengan tuduhan yang keji, yang
dibangun di atas hujjah yang lemah. Merekapun sibuk dengan tashnif
yang sesat.”
Ihsan: “Jika mereka tidak menemukan satu kesalahan atau ketergelinciran,
maka mereka berusaha mencari-cari kesalahan apapun atau bahkan
membuat-buatkan kesalahan lain yang sepenuhnya hanya dibangun di
atas syubuhat yang meragukan atau kata-kata yang mempunyai banyak
kemungkinan”.
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Jika sekedar mengucapkan kata-kata, tanpa dipikirkan akibatnya, maka
kami bisa berkata kepada anda : “Jika kalian tidak menemukan satu
kesalahan atau ketergelinciran du’at Salafiyyin, maka kalian berusaha
mencari-cari kesalahan salafiyyin atau bahkan membuat-buatkan
kesalahan lain yang sepenuhnya hanya dibangun di atas syubuhat yang
meragukan atau kata-kata yang mempunyai banyak kemungkinan”.[15]
Ihsan: “Namun bila usaha inipun gagal, dengan putus asa mereka
mengatakan: “Kami tak dapat menemukan kesalahannya karena ia
menyembunyikan bid’ahnya”! ”
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Untuk menyatakan kekeliruan kalian tak perlu kita katakan ucapan seperti
ini. Bukankah kalian demo, membela muwazanah, A’idh Al-Qorny, dan
Salman??Inikan jelas, tidak tersembunyi.
Ihsan: “Penyakit ini pada akhirnya melahirkan penyakit lain. Yaitu
munculnya pertanyaan-pertanyaan keji yang disertai senyum sinis tentang
fulan dan fulan, bahkan tentang niatnya-yang hanya diketahui olehAllah
kemudian si empunya niat-.”
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Bukankah tadi anda berkata : “Apa yang menjadi motivasi Anda dalam
menyingkap kesalahan tersebut ? Karena memang ingin membela
agama Allah dan sunnah Nabi ? [16] atau hanya karena dengki melihat
penyeru As-Sunnah lainnya mempunyai murid lebih banyak, sarana
duniawi yang lebih lengkap dan pendapatan yang lebih dibanding Anda?
Ah, hanya Allahlah kemudian Anda sajalah yang mengetahui niat
itu…Tapi Anda tahu ‘ kan bahwa Anda akan dihisab di akhirat ”.
Ucapan anda yang bergaris bawah ini bukanlah pertanyaan, akan tetapi pada
hakekatnya merupakan pernyataan. Jika orang yang anda maksudkan dalam
ucapan ini adalah orang yang keliru –menurut versi anda- dalam menyingkap
kesalahan, maka jelas ia menyingkap kesalahan bukan karena ingin membela
agama Allah dan sunnah Nabi-Nya –shollallahu alaih wasallam-. Akan tetapi
orang itu hanya dengki dan iri kepada “penyeru As-Sunnah” lainnya.[17]
Ini buktinya kalau ucapan anda yang bergaris bawah merupakan pernyataan,
bukan pertanyaan. Jika ia merupakan pernyataan, maka ia adalah tuduhan yang
diawali dengan mentashnif niat dan mengorek-ngorek hati. Anda pun memasuki
“wilayah” niatnya. Dengan kejinya anda membedah isi hati para du’at salafiyyin.
Hanya dengan landasan zhan belaka. Entah dari mana nada memperoleh ilmu
“penyingkapan niat” seseorang.
• Bukankah dalam ucapan anda yang bergaris bawah juga ada
pertanyaan-pertanyaan (bahkan pernyataan) keji. Ingat Jangan sampai
tuduhan yang kita lontarkan telah beranak-pianak dan berpindah dari
mulut ke mulut, tapi ternyata tak satupun tuduhan itu terbukti.
Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak
kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan
apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. [QS.Ash-Shoff: 2-3]
Allah Ta’ala berfirman:
“(Ingatlah) diwaktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut, dan
kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan
kamu menganggapnya suatu yang ringan saja . Padahal di sisi Allah adalah
(perkara yang sangat) besar.” QS.An-Nur:15
• Saya katakan lagi:Darimana kalian mengetahui bahwa penyeru
As-Sunnah lainnya dengki kepada penyeru As-Sunnah lainnya hanya
karena persoalan dunia. Kalianpun memasuki “wilayah” niat orang.
Dengan kejinya, kalian membedah isi hati du’at salafiyyin. Hanya dengan
landasan zhan belaka. Entah darimana kalian memperoleh ilmu
“penyingkapan hati” seseorang.
Ihsan : “Bila mereka melihat seorang syekh atau ustadz yang duduk
menyampaikan kajian nya, lalu mereka tidak menemukan cacat apapun
padanya, merekapun memasuki “wilayah” niatnya. Dengan kejinya,
mereka membedah isi hati para ulama dan du’at. Hanya dengan landasan
zhan (persangkaan) belaka. Entah darimana mereka memperoleh ilmu
“penyingkapan hati” seseorang…”
Jawaban dan sanggahan ucapan Ihsan di atas:
• Adapun jawaban kami -dan kami belum tahu jawaban kalian yang jika
ternyata jawaban kalian tidak jauh dari jawaban kami, maka tidak layak
anda mengajukan pernyataan dan tuduhan seperti itu- : Jika seseorang
dinilai berdasarkan qorinah, itu bukanlah membedah isi hati
seseorang.Misalnya ada seorang yang biasa belajar dan bergaul dengan
Jama’ah Tabligh, maka kita sebagai orang yang paham akan
menyatakan bahwa orang ini pasti memiliki paham sufiyyah karena
pergaulannya sehari-hari –sebagai qorinah- yang menunjukkan orang itu
demikian. Ini sekedar contoh, bukan pembatasan. Ini bukan membedah
hati namanya, dan bukan “ilmu penyingkapan hati”.[18]
• Seorang yang biasa bergaul dengan hizbiyyin dan takfiriyyin-semacam
Usamah Ibn Ladin-, Salman, A’idh atau Safar, maka tak ada salahnya
kita katakan: Hati-hati dengan orang itu.”Seorang itu di atas agama
saudaranya”.
• Adapun tidak ditemukannya bukti, namun ada qorinah yang kuat, maka
seseorang menjauhi suatu jama’ah atau orang lain, itu tak ada salahnya
demi menyelamatkan agamanya[19]. Apalagi ada seorang Salaf,
Muhammad Ibn Ubaidillah Al-Gholaby –rahimahullah- berkata:
“ Para ahlul ahwa’, itu saling menyembunyikan segala sesuatu, kecuali
persatuan dan persahabaatan mereka”.[20]
Apakah nanti setelah kita mendengar syubhat dari seseorang yang terkadang itu
dianggap dalil, bahkan kita sudah jadi korban fikrah dan pemahaman mereka
yang keliru, baru kita mau meninggalkan orang itu dengan alasan saya tak
menjauhi orang itu karena saya belum melihat penyimpangannya , sekalipun
sudah ada qorinah!! Bagaimana anda akan melihat dan mengetahui
penyimpangannya jika anda sudah terkena syubhat, yang terkadang syubhat itu
dianggap dalil dan al-haq. Na’udzu billah minal khudzlan fidiin wad dunya, amin.
Footnote :
[1]Hati-hati, jangan sampai anda katakan lagi bahwa Syaikh Robi’ kan bukan
Kibar Ulama’. Jawabnya, A’idh Al-Qorny kan bukan ulama, apalagi Kibar Ulama,
tapi kenapa bukunya “Laa Tahzan” amat dipuji dan sampai dijadikan sosok
ulama padahal masih banyak kitab-kitab ulama terpercaya yang jauh lebih
bagus darinya perlu dikaji dan umur tak cukup untuk mengkajinya,apalagi mau
mengkaji kitab semacam Laa Tahzan, belum jelas penulisnya. Dari sisi lain,
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad –hafizhohullah- (penulis kitab Rifqon
Ahlassunnah bi Ahlis Sunnah)kan juga bukan Kibar Ulama, tapi ia juga ulama
yang dipertimbangkan pendapatnya sebagaimana Syaikh Robi’. Apakah istilah
Ulama Kibar (besar) dan Ulama Shighor (kecil) kalian gunakan hanya untuk
menolak suatu kebenaran?? Wallahi, hadza lasyai’un ujaab!! .
[2]Lihat Ta’zhim As-Sunnah, hal.23-30 karya Syaikh Abdul Qoyyum
As-Suhaibany
[3]Namun darurat disini masih perlu ditinjau lagi sebatas mana. Kapan disebut
darurat.
[4]Dalam tanda petik merupakan judul tulisan Ihsan dalam Jurnal Islami,
Al-Bashirah., edisi IV, Jumadil Tsani-Rajab 1424 H. Namun sayangnya tulisan
ini tak jauh beda nasibnya dengan tulisannya yang sedang kami bantah ini.
Tulisannya dalam Al-Bashirah tsb kami juga sertakan sebagian bantahannya,
bukan keseluruhannya karena sempitnya waktu dan pendeknya umur. Wabil
isyaroh yafhamullabiib.
[5]Lihat Buletin Silsilah Ad-Difa’(1):Aqwal Ulama’ As-Sunnah fi Manhaj
Al-Muwazanat, hal.3-4, cet. Maktabah Al-Furqon, UEA.
[6]Jika anda ingin lebih jelas maka silakan baca bulletin di atas Silsilah
Ad-Difa’(1). Disitu disebutkan ucapan Syaikh Ibn Baz, Albany, Al-Utsaimin,
Al-Fauzan, Al-Luhaidan, dan Al-Abbad –rahimallahul jami’- tentang larangan
bermuwazanah. Hukumnya jelas kecuali bagi orang yang dibutakan mata
hatinya oleh Allah.
[7]Ini saya katakan sebab ada diantara WI yang melarang kita mengingatkan
bahayanya sebagian du’at hizbiyyah dengan alasan katanya itu
ghibah-sebenarnya itu bukan ghibah-. Namun ketika tiba giliran mereka
mengkritik (baca: menggibah) orang lain dan mendemo pemerintah, itu
dianggap bukan ghibah.
[8]Inilah yang diingkari salafiyyin atas hizbiyyin ketika mereka (para hizbiyyin)
melakukan dan mengangkat muwazanah ketika melihat para ahlul ahwa’ dari
kalangan da’i-da’i mereka dikritik sebagai sarana untuk membungkam salafiyyin.
[9]Seperti maulid itu dikatakan bid’ah, sekalipun ulama tidak ijma’. Boleh kita
ingkari orang yang bermaulid dengan menerangkan kebatilannya, seperti Alwi
Al-Maliky, ia telah dibantah oleh ulama dalam buku tersendiri.
[10]Disini penulis, Ihsan lupa adab mengucapkan shalawat.
[11]Dan memang Salafiyyin yang diajak bicara dan dituduh disini. Buktinya, ada
beberapa ikhwah yang menyampaikan kepada kami bahwa mereka
mendengarkan sebagian ustadz WI dan para anak kajiannya menuduh kami
salafiyyin. Katanya: Salafiyyun itu iri dengan dakwah kita karena dakwah kita
sudah tersebar dan banyak jumlahnya. Padahal kalau banyak-banyakan, orang
kafir lebih banyak dibandingkan kita. Tapi apa mereka di atas al-haq?? Coba
pikirkan wahai sang pengamat.
[12]Tashnif An-Naas,hal.28-29
[13]Wahdah kan ngaku juga sebagai pejuang As-Sunnah dan du’atnya.
[14]Bukankah WI juga sekarang sudah ngaku berdakwah di atas aqidah dan
manhaj salaf?!
[15]Hal ini kami alami sendiri ketika Al-Ustadz Haji Zaitun Rasmin Lc
menyampaikan materi daurah katanya: “Kita jangan seperti sebuah kelompok
yang ada di Baji Rupa mereka ini kerjanya Cuma mencari-mencari kesalahan
orang, kesalahan saudara-saudara kita yang ada di Jama’ah Tabligh. Padahal
Jama’ah Tabligh merupakan saudara-saudara kita yang sama-sama berjuang di
jalan Allah. Jadi tak usah sibukkan diri kita dengan mereka”.Justru malah ustadz
ini cari-cari kesalahan. Sebab ia berusaha menyalahkan salafiyyin hanya karena
salafiyyin selalu ingatkan bahayanya JT. Ini dianggap kesalahan, padahal bukan.
Bukankah ini merupakan usaha mencari-cari kesalahan??? Ingat Jangan
sampai tuduhan yang kita lontarkan telah beranak-pianak dan berpindah
dari mulut ke mulut, tapi ternyata tak satupun tuduhan itu terbukti
[16]Disini penulis lupa adab mengucapkan shalawat.
[17]Kami berharap mudah-mudahan tuduhan dan pernyataan iri ini bukanlah
ditujukan kepada salafiyyin. Tapi besar kemungkinannya salafiyyin yang dituduh
iri dan dengki. Kenapa? Sebab ada beberapa orang ustadz WI berkata ketika
mendengar WI dikritik: “Salafiyyin itu sakit hati”, yang lain bilang: “Mereka iri”
[18]Contoh lain: Jika ada seorang anak muda memakai kaos oblong bertuliskan
“Nirvana” dengan semiran kepala yang merah. Bukankah anda akan katakan
anak ini berandal berdasarkan qorinah? Apakah mau dikatakan ini “ilmu
penyingkapan hati”?
[19]Apalagi kalau sudah ada bukti, seperti demo, membela du’at hizbiyyin, dan
lainnya.
[20]Lihat Al-Ibanah (510)
Renungan Agar Tidak Berpikir Picik (Jawaban Untuk Al Akh
Ihsan Zainuddin(Seorang Ustadz di Ormas Wahdah Islamiyyah)
-Bag III)
Ihsan: “Tentang “tukang jarh” itu, Syeikhul Islam mengatakan: “Diantara
manusia, ada yang mengghibah orang lain demi (menyenangkan) orang
yang hadir di majelisnya, teman-temannya, dan kerabat-kerabatnya.
Padahal ia mengetahui bahwa orang yang ia gunjingkan sama sekali
bersih dari apa yang mereka katakan. Atau mungkin saja orang itu
memang memiliki beberapa hal yang digunjingkan itu, tapi ia takut jika ia
mengingkari (apa yang dilakukan teman-temannya itu), maka majelis itu
ditutup, mereka merasa marah dan meninggalkannya. Maka ia memandang
bahwa menyetujui apa yang mereka kerjakan adalah salah satu wujud
mempergauli teman dengan baik. (Orang-orang di majlis) mungkin marah
(pada orang yang digunjing), maka iapun ikut marah karenanya…Diantara
mereka adapula yang melakukan ghibah dengan berbagai cara. Kadang
ada yang melakukannya dengan berlindung dibalik keshalehan dan
keta’atannya beribadah. Ia mengatakan: ‘Bukan kebiasaan saya untuk
menceritakan seseorang kecuali dengan kebaikan dan saya sebenarnya
tidak menyukai ghibah apalagi dusta.Tapi saya hanya menyampaikan apa
yang sebenarnya tentang dia…’ Atau mengatakan: ‘Demi Allah, sungguh ia
orang yang patut dikasihani…’ Atau : ‘Ia sebenarnya orang baik, tapi
sayangnya ia begini dan begitu’… ”. Dan pada lain kali ia akan
mengatakan:’Jangan lagi singgung tentang dia! Semoga Allah
mengampuni kita dan dia…’, padahal maksudnya hanyalah meremehkan
dan merendahkan orang itu. Mereka melakukan ghibah dengan berlindung
di balik alasan agama dan keshalehan. Mereka telah menipu Allah
sebagaimana mereka telah menipu makhluq-Nya. Dan kami telah melihat
banyak orang seperti ini dan yang semacamnya.”
Ibnul Qoyyim: “…Betapa banyaknya engkau melihat orang yang bersikap
wara’ dari perbuatan keji dan kezhaliman, namun lidahnya melemparkan
kedustaan kepada kehormatan orang yang masih hidup maupun telah
meninggal. Dan ia tidak peduli dengan apa yang ia ucapkan…”.
Jawaban dan sanggahannya:
• Ucapan Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyyim di atas, ini cocok kita
kembalikan kepada orang-orang yang berpenampilan shaleh dan wara’
namun mereka masih saja senang mengghibah pemerintahnya yang
muslim dan para du’at salafiyyin. Silakan anda pikirkan sendiri.
• Amatlah mengherankan ada suatu kaum yang melarang ghibah, namun
dirinya sendiri senang mengghibah pemerintah dalam demo-demo,
majelis, dan obrolan mereka. Tiba giliran orang mengingatkan bahayanya
para ahlul ahwa’, eh malah mencak-mencak melarang orang berghibah.
Padahal kalau ditinjau itu bukan ghibah, tapi nasehat bagi orang yang tak
tahu tentang kesesatan suatu kaum dari kalangan ahlul ahwa’.
Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak
kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan
apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. [QS.Ash-Shoff: 2-3]
Allah Ta’ala berfirman:
“(Ingatlah) diwaktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut, dan
kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan
kamu menganggapnya suatu yang ringan saja . Padahal di sisi Allah adalah
(perkara yang sangat) besar.” QS.An-Nur:15
• Sekali lagi mudah-mudahan ini bukan tuduhan bagi salafiyyin. Ingat
Jangan sampai tuduhan yang kita lontarkan telah beranak-pianak dan
berpindah dari mulut ke mulut, tapi ternyata tak satupun tuduhan itu
terbukti.
Ihsan: “Itulah sebabnya, nasehat para salaf untuk tidak mendengarkan
celaan dan tuduhan alim yang satu terhadap alim yang lainnya demikian
banyaknya”.
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Seakan Ihsan disini mengisyaratkan kepada suatu kaedah dalam ilmu
hadits yang berbunyi: “Jarhul aqron laa yu’tabar”
• Saya katakan: Ini merupakan syubhat yang diambil dari kaedah yang
telah dibuat oleh para ahlul hadits, yang kemudian hari dijadikan hujjah
oleh sebagian orang yang ada penyakit di hatinya tentang tidak bolehnya
seseorang membicarakan penyimpangan para du’at hizbiyyin dan ahlul
ahwa’. Kaedah ini bukanlah hujjah bagi mereka dalam hal tsb. Kaedah ini
tidaklah diamalkan begitu saja, bahkan disana harus terpenuhi
syarat-syaratnya sebagaimana hal ini nyata melalui ucapan para ahlul
ilmi berikut :
• Syaikh Muhammad Dhiya’ Ar-Rahman Al-A’zhomy –hafizhahullah-
berkata dalam mengomentari kaedah tsb: “Sebaliknya disana ada poin
yang lain, yaitu bahwa jarh apabila munculnya dari seorang yang
memahami sebab-sebab jarh, dan ia termasuk orang yang dipercaya
agama dan ketaqwaannya. Maka komentarnya -tentang orang yang
semasa dengannya, dia melihatnya, bergaul dengannya, dan
menemaninya-lebih jelas dibandingkan orang lainnya. Jadi, menghukumi
seseorang dengan berdasarkan pengalaman, uji-coba, dan penyaksian
adalah lebih utama diterima dibandingkan komentar orang yang tidak
semasa dengannya dan tidak menyaksikannya. Karenanya, orang yang
melazimi seorang syaikh itu akan lebih tahu tentang syaikhnya
dibandingkan orang lain. Ini banyak dalam kitab-kitab jarh dan ta’dil. Jadi,
pendapat yang menyatakan bahwa jarhnya seorang terhadap
qorin/temannya tidaklah berpengaruh bukan (diamalkan) begitu saja
secara muthlaq” [1]
• Ini menunjukkan bahwa kaedah ini bukan digunakan begitu saja secara
serampangan.Apabila disana jarh yang jelas (mufassar) yang di
dalamnya orang yang menjarh menyebutkan sebab ia menjarh, maka
wajib menerima jarh tsb. Al-Hafizh berkata: “Komentar seorang tentang
sebagian qorinnya tidak diperhitungkan apabila tidak jelas (ghairu
mufassar)” [2] Perkataan beliau ini menunjukkan bahwa yang tidak
mu’tabar adalah jarh qorin yang tidak jelas.
• Namun siapakah ulama yang kalian maksudkan disini? Apakah jika
Syaikh Ibn Baz –misalnya-menjelaskan penyimpangan Salman dan Safar,
bahkan memenjara keduanya. Lalu apakah kita pantas berkata dalam
kasus Syaikh Ibn Baz ini demikian: “Itulah sebabnya, nasehat para salaf
untuk tidak mendengarkan celaan dan tuduhan alim yang satu terhadap
alim yang lainnya demikian banyaknya”.
Ini kalau kita anggap Salman dan Safar Al-Hawaly sebagai ulama. Tapi apa
mereka ulama, tentu bukan.
Ihsan:”Abu Hazim-rahimahullah-berkata: “Hingga tiba zaman ini, dimana
seorang mencela orang yang di atasnya dalam hal ilmu agar orang tidak
lagi berguru padanya dan memandang bahwa mereka tidak lagi
membutuhkannya. Ia tidak pula mau bermudzakarah dengan yang sama
dengannya dalam hal ilmu. Lalu meremehkan orang yang ilmunya lebih
rendah darinya. Akibatnya binasalah manusia”.
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan:
• Alhamdulillah, kami salafiyyin adalah orang-orang yang paling
menghormati orang-orang yang ada di atas kami dari kalangan ulama.
Sebab kami tahu benar ucapan dan nasihat para salaf agar menghormati
para ulama:
Melecehkan Ahli hadits dan ulama merupakan di antara tanda dan ciri khas ahli
bid’ah yang menyimpang. Imam Abu Utsman Isma’il bin
AbdurrahmanAsh-Shobuni -Rahimahullah- berkata: "Tanda-tanda bid’ah pada
pelakunya sangat jelas. Tanda mereka yang paling jelas: adalah sengitnya
permusuhan mereka terhadap pembawa hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wasallam [3], merendahkan mereka…" [4]
Muhammad bin Isma’il At-Tirmidzy Rahimahullah berkata: "Dulu saya pernah
bersama Ahmad bin Al-Hasan di sisi Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal. Lalu
Ahmad bin Al-Hasan berkata kepada beliau:[Wahai Abu Abdillah, Orang-orang
di Mekkah menyebutkan aibnya para ahli hadits kepada Ibnu Abi Qutailah. Lalu
Ibnu Abi Qutailah pun berkata:"Ahli hadits itu adalah kaum yang jelek"]. Maka
Imam Ahmad pun bangkit berdiri dan mengirapkan pakaiannya seraya
berkata:[Zindiq…zindiq…zindiq !!!]sampai beliau masuk rumah".
Ahmad bin Sinan Al-Qoththon –Rahimahullah – berkata: "Tak ada seorang
ahli bid’ahpun di dunia ini, kecuali ia akan membenci Ahli Hadits. Jika seseorang
melakukan suatu bid’ah, niscaya akan dicabut manisnya hadits dari hatinya".
Abu Nashr Ibnu Sallam Al-Faqih-rahimahullah- berkata: "Tak ada sesuatu
yang paling berat dan dibenci oleh orang-orang mulhid daripada mendengarkan
hadits dan meriwayatkannyanya bersama sanad".
Abu Hatim Muhammad bin Idris Ar-Rozi–rahimahullah-, seorang Imam Ahlis
Sunnah di zamannya pernah berkata: "Ciri khas ahli bid’ah adalah (suka )
mencela ahli hadits".[5]
Inilah adab yang senantiasa dijaga oleh Ahlis Sunnah, yaitu senantiasa menjaga
dan menghormati mereka para ulama, serta tidak merendahkan mereka.
Di dalam Islam kita diajarkan agar senantiasa menjaga adab sopan-santun
terhadap sesama muslim. As-Sulamy –rahimahullah-berkata:"Persahabatan itu
bermacam-macam. Semuanya mempunyai adab, kewajiban, dan
konsekuensi.Maka persahabatan dengan ulama dengan cara:menjaga
kehormatan mereka, menerima ucapannya, rujuk kepada mereka dalam segala
urusan, mengenal martabat mereka yang Allah telah berikan kepadanya
sebagai pengganti dan pewaris Nabi-Nya Shallallaahu ‘alaihi wasallam ,
berdasarkan sabdanya:["Ulama adalah pewaris para Nabi" ][6]" .[7]
Tidak merendahkan dan mencela seorang muslim merupakan adab yang harus
dijaga oleh seorang yang multazim dan komitmen dengan dinul Islam. Ini
hubungannya dengan muslim secara umum, bagaimana lagi jika ia seorang
ulama dan ahli hadits, maka tentunya kita harus lebih menjaga lisan dan hati
kita dari sikap yang menunjukkan perendahan dan penghinaan kepada ahli
hadits. Mereka itu adalah pewaris dan penukil hadits –hadits Nabi Shallallaahu
‘alaihi wasallam . Mereka telah banyak mengorbankan waktu, tenaga dan harta
demi mengumpulkan hadits-hadits agar ajaran agama Islam ini tetap
abadi.Mereka berjalan mencari hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam di bawah terik matahari dan tidak mengenal siang-malam, terkena
hujan demi menjaga syari’at ini sehingga kita bisa menikmati dan
mempelajarinya pada hari ini seakan kita belajar di depan Nabi Shallallaahu
‘alaihi wasallam dan mendengarkannya secara langsung, tanpa bersusah
payah.
Apakah dengan segala pengorbanan tersebut dalam mencari hadits, lalu kita
generasi berikutnya berani dan lancang mencela dan merendahkan mereka
seraya berkata:"Saya tak butuh ahli hadits dan ulama. Mereka itu
mengambil hadits dari makhluk dan orang-orang mati, serta kitab-kitab
kuno, sedangkan saya mengambil hadits langsung dari Allah. Ilmu kami
lebih luas dibandingkan para ulama itu. Karena para ulama tak mengenal
waqi’"? Sungguh ini merupakan kesombongan dan kurangnya kesyukuran !!
Mungkin ada baiknya kami nukilkan sebagian ucapan para hizbiyyin yang
merendahkan ahlul ilmi.
Safar Al-Hawaly berkata dalam kasetnya “Fafirru ilallah” :”Ulama kita, ya
ikhwan, cukuplah bagi mereka, cukuplah bagi mereka. Kita tidak membenarkan
segala seseuatu bagi mereka…kita tidak mengatakan: mereka itu ma’shum. Kita
katakan: ”Mereka memiliki kekurangan dalam mengenal waqi’ (kenyataan).
Mereka memiliki beberapa perkara kitalah yang akan menyempurnakannya”.[8]
• Tentang Mudzakarah : alhamdulillah, kami biasa bermudzakarah
dengan orang yang selevel dengan kami, lebih dari itu bahkan kami biasa
bermudzakarah dengan ikhwah-ikhwah yang lebih rendah ilmunya
dibandingkan kami. Apalagi kalau ilmu sama atau lebih banyak. Sifat
yang disebutkan oleh Abu Hazim ini adalah sifat sombong yang tidak
boleh dimiliki oleh seorang penuntut ilmu, apalagi seorang ustadz seperti
anda.
• Memang benar kami mengingatkan bahaya penyimpangan Salman, A’idh,
dan Safar Al-Hawaly sekalipun mereka lebih tinggi ilmunya dibandingkan
kami-menurut anda- karena ulama kita yang kibar pun mengingatkan
penyimpangan mereka. Ya, kita ini sekedar penyampai misi para ulama.
Maka tak ada salahnya jika kami menyampaikan tahdzir mereka kepada
3 du’at tsb.[9]
• Jadi, ucapan Abu Hazim anda jangan ditempatkan bukan pada
tempatnya. Sepantasnya ditujukan kepada para hizbiyyin yang melarang
murid-muridnya untuk belajar kepada masyayikh salafiyyin.[10]
Ihsan: “Yah, bagaimana manusia tidak akan binasa, jika tidak ada lagi
seorang ulama atau da’i yang dapat mereka percaya. Si fulan begini dan si
fulan begini. Siapa lagi yang tersisa.”
Jawaban terhadap ucapan Ihsan:
• Siapa sih ulama yang tidak lagi kami-salafiyyin- percayai. Alangkah
banyaknya ulama yang kami percayai. Kalau mau dihitung, umur tak
cukup untuk menyebutkannya. Kami percaya kepada para Ulama’ yang
terpercaya di Saudi dan lainnya, semisal Syaikh Ibn Baz, Al-‘Utsaimin,
Albany, Al-Fauzan, Ali bin Hasan Al-Halaby Al-Atsary, Syaikh Bakr Abu
Zaid, Syaikh Rabi’ bin Hadi, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, Sholeh
As-Suhaimy, Abdur-Razzaq Al-Abbad, dll masih banyak.
• Siapa sih da’i yang tidak kami percaya??Alangkah banyaknya kalau mau
dihitung, semisal Ibnu Yunus, Dzulqornain, Khidhir, Mustamin, Askari, dll
masih banyak perlu dibuatkan kolom.
• Mana kebenaran ucapan anda?? Kami khawatir jika ini hanya sekedar
tuduhan keji kepada salafiyyin. Ingat Jangan sampai tuduhan yang kita
lontarkan telah beranak-pianak dan berpindah dari mulut ke mulut, tapi
ternyata tak satupun tuduhan itu terbukti. Karena ini, jelas menyakitkan
hati salafiyyin. Maka bertaqwalah kepada Allah. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat , maka sesungguhnya mereka telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata ”
[11]
• Tidak mempercayai seseorang, itu merupakan pekerjaan hati tidak
diketahui siapapun kecuali Allah. Entah darimana anda mengetahui isi
hati orang bahwa salafiyyin tidak lagi percaya sama ulama. Entah dari
mana anda memperoleh ilmu “penyingkapan niat” seseorang.
Ihsan:“Orang-orang yang melakukan tashnif ini mungkin telah buta atau
pura-pura buta untuk melihat betapa setiap hari, bahkan setiap detik
ummat ini dalam kondisi yang mengkhawatirkan”.
Jawaban ucapan Ihsan:
• Apa maksud anda mengucapkan seperti ini. Apakah kalian
mengharapkan kami diam terhadap penyimpangan para hizbiyyin dan
membiarkan mereka menyebarkan fikrah sesatnya??Kapan ummat akan
tahu bahwa jama’ah fulan keliru dalam aqidahnya, jika tidak dijelaskan.
• Salafiyyun paham dan prihatin benar dengan kondisi ummat, lebih dari
perhatian anda. Tapi apakah kita mau mengatasi problema ummat
dengan dakwah salafiyyah ataukah kita mau mengambil jalan pintas
orang-orang harakiyyin dalam berdakwah dengan cara kudeta, demo,
masuk parlemen dengan dalih “prihatin terhadap ummat”, “Ghirah
terhadap dien”, “menyatukan ummat”. Sehingga orang yang tidak
melakukan cara-cara itu dikatakan dia tidak ada perhatiannya dengan
umat??!
Ihsan: “Apakah mereka merasa dapat menjalankan amanah ilmu dan
da’wah ini tanpa bantuan yang lain”.
Jawaban dan sanggahannya:
• Semua orang tahu bahwa manusia hidup di dunia ini saling
membutuhkan antara satu dengan lainnya. Orang-orang kafir paham hal
ini, apalagi kita sebagai seorang muslim yang berakhlak dan memiliki
aturan.
• Apa maksud anda dengan “bantuan yang lain”? Jika dia Ahlus Sunnah,
maka itu merupakan kewajiban syar’i. Adapun jika selain Ahlus Sunnah,
maka ingatlah ucapan seorang yang berkata:
“Kapankah bangunan akan sempurna pada waktunya, jika engkau
membangun sedang yang lain merusaknya”.
Kapankah akan usai problema ummat, jika kelompok fulan melakukan
penyimpangan, sementara kita mendiamkannya merusak dengan alasan kita
sibuk adakan pembangunan ummat. Bangunan itu tak usai jika yang rusakpun
tidak dipugar. Moga paham.
Ihsan: “Syekh Bakr mengatakan:”Jika engkau beradu argument dengan
salah seorang dari mereka, maka engaku tidak akan menemukan apapun
darinya kecuali sepotong semangat yang menggerakkannya tanpa
landasan ilmu yang jelas. Maka iapun masuk ke dalam akal orang-orang
yang bodoh dengan semboyan “ghirah terhadap dien”,”menolong
sunnah”, dan “persatuan ummat”. Padahal merekalah yang pertama kali
mengayunkan palu godam untuk menghancurkan dan mengoyak-ngoyak
keutuhannya…”
• Bagaimana kira-kira pandangan Ihsan kalau ucapan Syaikh ini kami
balikkan kepada anda??
• Jika kita beradu argument dengan WI: apa alasan anda melakukan
demo,membela muwazanah, membela Salman, A’idh, dan Safar??,
maka kita tidak akan menemukan dari mereka kecuali hanya sepotong
semangat yang menggerakkannya tanpa landasan ilmu yang jelas. Maka
iapun masuk ke dalam akal orang-orang yang bodoh dengan semboyan
“ghirah terhadap dien”,”menolong sunnah”, dan “persatuan ummat”.[12]
Padahal merekalah yang pertama kali mengayunkan palu godam untuk
menghancurkan dan mengoyak-ngoyak keutuhannya. Satunya membela
Salman, yang lain tidak. Satunya membela muwazanah, yang lainnya
tidak.Satunya berdemo dan mengoreksi pemerintah terang-terangan,
yang lain tidak mau dan enggan. Inikan memecah-belah ummat dan
mengoyak-ngoyak persatuan mereka.
• Dalam tulisan antum ini banyak sekali tuduhan palsu dan buruk sangka.
Dan ini kelak akan antum pertanggungjawabkan di Hadapan Allah
Robbul alamin. Semua itu yang menyakitkan hati para salafiyyin..
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat , maka sesungguhnya mereka telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata ”
[13]
Ihsan: “Namun beliau juga memberikan kabar gembira bahwa pengikut
fenomena ini tidak akan lama bertahan. Kekejiannya akan
padam.Pembawa pemikiran ini hanya hidup dalam angan-angan. Kelak
tidak ada yang akan mendukung mereka. “Dan tidak ada bagi orang-orang
yang zhalim itu penolong-penolong” (Al-Baqoroh: 270). Mereka hanyalah
orang-orang yang berjalan tanpa tujuan.Semoga. Insya Allah”.
Jawaban dan sanggahan untuk ucapan Ihsan:
• Banyaknya pengikut bukanlah merupakan tanda seseorang itu berada di
atas Al-haq. Jika kita sudah berdakwah sesuai dengan tuntunan para
anbiya’-alaihimush sholatu wassalam-, maka Allah tak akan mencela kita
karena kurangnya pengikut sebab dulu juga para nabi ketika berdakwah
banyak mengalami tantangan dari masyarakatnya sekalipun mereka
sudah berusaha berdakwah secara hikmah. Namun pada akhirnya
pengikutnya tetap saja sedikit.Kata Nabi –shollallahu alaih wasallam-:
“Ummat-ummat telah diperlihatkan kepadaku. Saya melihat ada seorang
nabi bersamanya sekelompok kecil pengikut, seorang nabi lagi bersama
satu-dua orang, dan seorang nabi lagi tak ada seorangpun
bersamanya”.[14]
• Syaikh Salim Ibn Ied Al-Hilaly Al-Atsary –hafizhahullah- berkata dalam
mengomentari hadits di atas: “ Kebenaran itu tidaklah dikenal karena
banyaknya pengikut dan bilangan tangan yang teracung sebab seorang
nabi nanti akan datang pada hari kiamat bersama dua orang, seorang
nabi lagi datang bersama seorang saja, dan seorang nabi lagi hanya
datang sendirian. Dari sini, nyatalah bahwa kebenaran seorang da’i
tidaklah dikenal karena banyak pengikut dan pendukungnya ”.[15]
• Jika ucapan ini ditujukan kepada salafiyyin,maka bagaimana mungkin
salafiyyin hanya gara-gara mereka mentashnif, lalu lenyap dari muka
bumi. Demi Allah, dakwah salaf dan salafiyyin akan ada terus sampai
akhir zaman.
• Anda katakan: “Kekejiannya akan padam.Pembawa pemikiran ini hanya
hidup dalam angan-angan”.Saya tak tahu kekejian apa yang dilakukan
salafiyyin. Saya khawatir jika ini hanyalah tuduhan tanpa bukti. Ingat
Jangan sampai tuduhan yang kita lontarkan telah beranak-pianak dan
berpindah dari mulut ke mulut, tapi ternyata tak satupun tuduhan itu
terbukti.
• Salafiyyin bukanlah jama’ah yang hidup dalam angan-angan. Salafiyyin
punya cita-cita yang mulia dalam menyebarkan dakwah tauhid. Malah
sebenarnya para hizbiyyin yang ingin membangun negara Islam dalam
angan-angan.Kenapa? Karena mereka ingin membangun negara Islam
yang belum tiba saatnya,akhirnya mereka memaksakan diri untuk hal tsb
lewat cara-cara yang haram, seperti: lewat kudeta, masuk parlemen. Ini
adalah cara yang salah dan tergesa-gesa. Maka mereka terus dalam
angan-angan yang hampa . [16]
• Apakah salafiyyin yang melakukan tashnif adalah orang-orang yang
zhalim??Jawabnya: Tidak, bahkan terzhalimi sebab dituduh men tashnif ,
padahal orang yang menuduh juga mentashnif. Inikan kezhaliman. Ya,
lempar batu sembunyi tangan . Ingat Jangan sampai tuduhan yang kita
lontarkan telah beranak-pianak dan berpindah dari mulut ke mulut, tapi
ternyata tak satupun tuduhan itu terbukti.
• Apa sih ukurannya sehingga orang dikatakan berjalan tanpa tujuan. Saya
kira orang yang demikian adalah orang gila saja. Adapun salafiyyun,
mereka berjalan menurut tuntunan Al-Kitab dan As-Sunnah ala nahjis
Salaf. Dakwah salafiyyah memiliki tujuan yang tinggi: meninggikan La
ilaha illallah.
• Tulisan Ihsan ini ditutup dengan doa yang kurang bagus sebab
mendoakan orang agar tetap berjalan tanpa tujuan. Padahal mestinya
seorang da’i harus bersabar, jangan langsung doakan kejelekan bagi
orang, bahkan didoakan kebaikan sebagaimana dulu Nabi –shollallahu
alaih wasallam mendoakan suatu kaum:”Ya Allah, tunjukilah suku
Daus”.[17]
Footnote :
[1] Lihat Dirasat fi Al-Jarh wa At-Ta’dil, hal.106
[2] Lihat referensi di atas.
[3] Pembawa hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam :maksudnya
adalah para ahli hadits.
[4] Lihat Aqidah As-Salaf Ashhabil Hadits (hal.109), tahqiq Abul Yamin
Al-Manshury Hafizhohullah, cet.Dar Al-Minhaj
[5] Lihat Ar-Risalah fi I’tiqod Ahlis Sunnah wa Ashhabil Hadits wa
Al-A’immah (hal.109-110), dengan tahqiq Abul Yamin Al-Manshury
Hafizhohullah. Ucapan keempat ulama di atas kami nukilkan dari kitab ini.Bagi
pembaca yang ingin mengenal aqidah Ahlis Sunnah, bacalah kitab ini.
[6] HR.Abu Dawud dalam As-Sunan (3641-3642), dan At-Tirmidzi dalam
As-Sunan (2683-2684). Syaikh Ali bin Hasan Al-Atsari Hafizhohullah
berkata:"Dari Abu Darda’ dengan sanad yang hasan". Lihat Tahqiq Adab
Al-Isyrah (hal.56)
[7] Lihat Tahqiq Adab Al-Isyrah (hal.56)
[8] Lihat Madarik An-Nazhar (hal.391)
[9] Perlu anda ketahui bahwa Syaikh Ibn Baz pernah mengeluarkan fatwa untuk
dua orang diantara mereka: Salman dan Safar agar dipenjara. Surat resmi
beliau kepada pemerintah agar keduanya dipenjara karena pelanggaran mereka
dalam hal aqidah bisa dilihat dalam kitab Madarik An-Nazhar.
[10] Saya teringat sekali dengan kisah dialami oleh Syaikh Albany ketika ada
seorang hizby belajar kepada beliau, lalu pimpinannya tahu. Maka pimpinannya
pun melarang hizby tsb belajar kepada Syaikh Albany. Hal itu bukan hanya
dialami oleh seorang yang belajar kepada Syaikh Albany, tapi juga ada
sekelompok ikhwah yang pernah mendapatkan ultimatum dari pihak Wahdah di
Makassar karena mereka belajar kepada seorang da’i yang bukan termasuk WI.
Nas’alullahal ‘afiyah.
[11] QS.Al-Ahzab:58
[12] Sampai-sampai masjidnya diberi nama: “Wihdatul Ummah”(persatuan
ummat) dan yayasan/ormasnya dengan nama” Al-Wahdah
Al-Islamiyyah”(Persatuan Islamiyyah)
[13] QS.Al-Ahzab:58
[14] HR.Al-Bukhory (5704), Muslim (374), dan At-Tirmidzy (2446)
[15] LihatBahjah An-Nazhirin (1/153) karya Sali m Al-Hilaly.
[16] Kami katakan seperti ini, bukanlah berarti salafiyyin tidak ada keinginan
untuk membangun negara Islam. Dengan pelan, tapi nyata dan sesuai dengan
syari’at.
[17] Do’a jeleknya ini juga menunjukkan bahwa tulisannya bukanlah sebuah
nasihat yang bersifat umum tanpa ada yang dituju, tapi merupakan kecaman
dan tuduhan yang arahnya kepada salafiyyin. Demikiankah orang yang
menasihati orang..
Renungan Agar Tidak Berpikir Picik (Jawaban Untuk Al Akh
Ihsan Zainuddin(Seorang Ustadz di Ormas Wahdah Islamiyyah)
-Bag IV)
Ketika kami hampir menyelesaikan nasihat ini, tiba-tiba ada seorang ikhwah
yang datang membawa majalah Al-Bashirah edisi IV/Jumadil Tsani 1424 H,
yang diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Ormas Wahdah Islamiyyah.
Ternyata tulisan yang dibuat oleh Muhammad Ihsan dalam majalah Al-Islami
merupakan tulisan yang sudah diterbitkan dalam Al-Bashirah tersebut sekalipun
susunan kalimat dan gaya bahasanya berbeda, namun tema dan topiknya sama,
yaitu koreksi dan kritik kepada para du’at salafiyyin.
Tulisan yang ada di Al-Bashirah dengan judul “Renungan untuk Tidak Berfikir
Picik”, juga ditulis oleh Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc. Yang paling parah
dalam tulisan itu dia membela Salman Ibn Fahd Al-Audah dengan membawakan
fatwa Syaikh Albany yang memuji Salman. [1] Tapi itukan dulu karena Syaikh
Albani belum dapat info tentang Salman. Setelah beliau tahu, maka sikap beliau
berubah sebagaimana ini bisa dilihat dalam muqoddimah beliau terhadap kitab
Madarik An-Nazhar. Apalagi setelah mutawatirnya berita Salman dipenjara atas
titah dari Syaikh Ibn Baz-raahimahullah-
Lebih nyata lagi bagaimana Ihsan membela Salman ketika Ihsan
berkata:”Lihatlah perbedaan sikap seorang alim yang faqih dengan yang tidak.
Syaikh Salman bukanlah seorang yang ma’shum. Beliau juga punya kesalahan
(bahkan mungkin lebih banyak). Namun hal itu tidaklah mengeluarkan Beliau
dari lingkaran Ahlussunnah”.
Jawaban dan sanggahan terhadap ucapan Ihsan di atas:
• Saya tak tahu sikap Ihsan terhadap Syaikh Albany setelah beliau berubah
sikap dan penilaian tentang Salman? Apakah masih ingin
berkata: ”Lihatlah perbedaan sikap seorang alim yang faqih dengan yang
tidak.” Atau malah mengatakan Syaikh Albany itu tidak faqih, Cuma
seorang muhaddits sebagaimana hal ini biasa dilontarkan oleh sebagian
hizbiyyun.
• Salman memang bukanlah seorang nabi yang ma’shum. Oleh karenanya
ketika ia salah, yah ditinggalkan ucapannya dan dijelaskan segi
penyimpangannya agar hati-hati dengannya jangan sampai terpengaruh.
• Kesalahan Salman cukup fatal dalam masalah aqidah. Silakan
dengarkan mengulangi “Tambo lama” orang-orang khawarij ketika ia
berkata mengomentari seorang biduan yang senang menampakkan
kefasikannya: “Orang ini tidak akan diampuni oleh Allah, kecuali apabila
ia mau bertaubat karena Nabi –shollallahu alaih wasallam telah
menghukumi bahwa dia tak akan dimaafkan”Setiap ummatku dimaafkan
kecuali…!” Karena mereka itu adalah orang-orang murtad gara-gara
perbuatannya ini. Ini adalah kemurtadan dari agama Islam-wal
‘iyaadzu billah- di neraka Jahannam, kecuali jika ia mau bertaubat.
Kenapa demikian?karena ia tidak beriman dengan firman Allah Ta’ala:
”Janganlah kalian mendekati zina karena zina merupakan perbuatan keji dan
seburuk-buruk jalan”. Demi Allah, orang yang mengetahui zina itu haaram,
perbuatan keji, dan membuat Allah murka, apakah ia mau berbangga di depan
manusia?! Di depan ribuan orang, bahkan ratusan ribu orang?! Ini tidaklah akan
dilakukan orang beriman selamanya ” [2]
Ucapan ini merupakan ucapan orang-orang Khawarij yang mengkafirkan pelaku
dosa besar.
Seorang Imam Salafy, Abu Utsman Ash-Shobuny-rahimahullah- berkata
dalam membantah orang-orang khawarij yang senang mengkafirkan para
pelaku dosa besar:”Ahlus Sunnah meyakini bahwa seorang mu’min sekalipun
melakukan dosa yang banyak , baik itu dosa kecil maupun besar, maka ia
tidaklah kafir karenanya. Sekalipun ia meninggal dunia tanpa bertaubat darinya,
sedang ia mati di atas tauhid dan ikhlash”.[3]
Hal serupa juga ditegaskan oleh Imam Ath-Thohawy –rahimahullah- ketika
mengungkapkan aqidah ahlussunnah tentang pelaku dosa, kecil maupun besar:
“Kita tidak mengkafirkan seorangpun dari kalangan ahli kiblat (kaum muslimin)
karena suatu dosa sepanjang ia tidak menghalalkannya”.[4]
Demikianlah yang bisa kami nasihatkan pada risalah ini, semoga kita
mendapatkan hidayah, amin.
Footnote :
[1] Kesalahan yang ada dalam tulisan di Al-Bashirah tsb, bukan Cuma
permasalahan yang berkaitan dengan pujian penulis dengan Salman, namun
disana masih ada kesalahan yang sebagiannya sudah disanggah di dalam
sanggahan kami ini. Walillahilhamd.
[2] Simak kasetnya yang berjudul: Jalsah ala Ar-Roshif .
[3] Lihat Aqidah As-Salaf , hal.82,cet. Dar Al-Minhaj.
[4] Syarah Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah Ash-Shogier, hal.60, karya Syaikh
Albany cet. Al-Maktab Al-Islamy.
Diambil dari: http://almakassari.com