Bab 14 Akh Lak Berne Gara

41
DASAR-DASAR ISLAM, MUTHAWASSITHAH Memahami Akhlak Dalam Memahami Akhlak Dalam Kehidupan Bernegara Kehidupan Bernegara A. PENDAHULUAN Dari sekian pembahasan tentang dasar akhlak dalam bernegara ini, diharapkan mahasiswa pada akhirnya dapat memahami dan menjelaskan tentang: 1. Musyawarah. 2. Menegakkan keadilan 3. Amar ma’ruf nahi munkar 4. Hubungan pemimpin dan yang dipimpin 5. Tanggung jawab pemimpin 6. Menjaga lingkungan hidup yang baik B. PEMBAHASAN 1. Musyawarah Musyawarah, secara bahasa (etimologis) berasal dari kata syâwara-yusyâwiru-musyâwarah, yang pada mulanya mempunyai pengertian mengeluarkan madu dari sarang lebah. Pengertian ini kemudian mengalami perkembangan, sehingga BUKU AJAR AL-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN II UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG B A B 14 270

description

gvmhgsxhnrahjtfk

Transcript of Bab 14 Akh Lak Berne Gara

DASAR-DASAR ISLAM

DASAR-DASAR ISLAM, MUTHAWASSITHAH

B A B14

Memahami Akhlak Dalam Kehidupan Bernegara

A. PENDAHULUAN

Dari sekian pembahasan tentang dasar akhlak dalam bernegara ini, diharapkan mahasiswa pada akhirnya dapat memahami dan menjelaskan tentang:

1. Musyawarah.

2. Menegakkan keadilan

3. Amar maruf nahi munkar

4. Hubungan pemimpin dan yang dipimpin

5. Tanggung jawab pemimpin

6. Menjaga lingkungan hidup yang baik

B. PEMBAHASAN

1. Musyawarah

Musyawarah, secara bahasa (etimologis) berasal dari kata sywara-yusywiru-musywarah, yang pada mulanya mempunyai pengertian mengeluarkan madu dari sarang lebah. Pengertian ini kemudian mengalami perkembangan, sehingga meliputi segala sesuatu yang dapat diambil dari yang lain (termasuk mengambil pendapat orang lain). Juga, musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Dari pengertian ini maka pada dasarnya musyawarah hanya digunakan untuk segala hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.

Dalam perkembangan yang lebih luas lagi, kata musyawarah kemudian mengandung pengertian saling memberikan isyarat. Dikarenakan menunjukkan pengertian saling, maka secara filosofis dapat dipahami bahwa dalam musyawarah dapat dipastikan ada proses interaksi antara satu individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lain, dalam rangka untuk memberikan isyarat-isyarat baik terhadap apa yang dibicarakan dan diputuskan dalam proses interaksi tersebut.

Dari pengertian musyawarah di atas, maka ia haruslah dijalankan secara dialogis, tidak monologis. Dalam suatu rapat misalnya, maka semangat musyawarah harus berwujud pada adanya kebebasan untuk mengemukakan pendapat bagi setiap individu yang terlibat dalam rapat tersebut. Dengan adanya kebebasan mengemukakan pendapat itulah diharapkan dapat diketahui mana pendapat yang dianggap benar, tepat, unggul, dan dapat dipertanggungjawabkan, dan mana pula pendapat yang mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga hasil dari musyawarah dapat diibaratkan sebagai mengeluarkan madu dari sarang lebah.

Arti Penting MusyawarahSebagaimana pengertian musyawarah di atas, maka sudah barang tentu ia mempunyai peran yang sangat penting sekali dalam kehidupan guna menciptakan peraturan di dalam masyarakat atau dalam suatu negara. Dalam kehidupan bernegara, misalnya, cita-cita agar seluruh warga atau rakyatnya selalu dalam ayoman ketentraman, kebahagiaan, dan kesuksesan hidup lainnya, tentu prinsip musyawarah sangat menentukan terwujud tidaknya cita-cita tersebut. Sebab di dalam prinsip musyawarah selalu mengedepandakan bahwa segala persoalan dapat diselesaikan dan diputuskan secara mudah dan dapat membawa hasil yang memuaskan. Begitu pentingnya musyawarah, tidak aneh bila Islam menamakan salah satu surat al-Quran dengan asy-Syura, yang berarti musyawarah.

Dalam al-Quran surat asy-Syura, di dalamnya dibicarakan tentang sifat orang-orang yang beriman kepada Allah Swt., yang antara lain bahwa kehidupan mereka dan segala urusan yang mereka putuskan senantiasa berdasarkan musyawarah. Pentingnya musyawarah ini, sampai-sampai dalam Firman Suci (al-Quran) dihubungkan dengan kewajiban shalat dan menjauhi perbuatan keji. Firman Allah Swt.;

((((((((((( ((((((((((((( (((((((((( (((((((( ((((((((((((((( ((((((( ((( ((((((((( (((( ((((((((((( (((( ((((((((((( (((((((((((((( ((((((((((( (((((((((((( ((((((((((( (((((((((((( ((((((( (((((((((( ((((((( ((((((((((((( (((((((((( ((((

Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Asy-Syura [42]: 37-38)

Kandungan ayat di atas, syur atau musyawarah menempati posisi yang sangat strategis sebab dituturkan setelah pernyataan iman dan shalat. Dalam konteks ini, Taufiq asy-Syawi, memberikan pengertian bahwa musyawarah sesungguhnya mempunyai kedudukan yang tinggi dalam ajaran Islam sesudah ibadah terpenting, yaitu shalat, sekaligus memberikan pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sejajar dengan shalat dan zakat. Apabila suatu masyarakat mengabaikan prinsip musyawarah, misalnya, maka menurutnya sama halnya mereka tidak mengindahkan salah satu seruan untuk beribadah kepada Allah Swt.

Lapangan Musyawarah

Sebagaimana kita pahami, bahwa musyawarah merupakan apresiasi seseorang untuk menyatakan pendapat-pendapatnya terhadap suatu masalah yang ingin dipecahkan bersama dengan harapan mendapatkan hasil yang benar dan memuaskan, maka yang perlu diperhatikan di sini adalah kejelasan materi atau dalam hal apa sesuatu itu dapat dimusyawarahkan. Secara eksplisit, ini menunjukkan bahwa sebenarnya ada hal-hal yang tidak diperbolehkan untuk dimusyawarahkan, dan ada hal-hal yang memang dianjurkan oleh Allah Swt. untuk dimusyawarahkan.

Berkaitan dengan hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahkan, adalah apa-apa yang sudah ditetapkan oleh nash (al-Quran dan as-Sunnah). Sebab pendapat orang atau kelompok tidak boleh mengungguli wahyu (al-Quran dan as-Sunnah). Sementara yang boleh dimusyawarahkan adalah hal-hal yang bersifat ijtihadiyah. Sebagai ilustrasi; para sahabat kalau dimintai pendapat tentang suatu masalah, terlebih dahulu mereka bertanya kepada Nabi Saw., apakah masalah yang dibicarakan tersebut telah diwahyukan oleh Allah Swt. atau merupakan ijtihad beliau sendiri. Jika pada kenyataannya adalah ijtihad Nabi Saw., maka para sahabat pun tidak segan, bahkan antusias untuk mengemukakan pendapatnya.

Beberapa Sikap Bermusyawarah

Harapan agar musyawarah dapat dijalankan dengan lancar, penuh keakraban, persahabatan dan bermartabat, maka mensyaratkan adanya prosedur-prosedur yang mengatur tata cara atau sikap bermusyawarah itu sendiri. Dalam hal ini, al-Quran menegaskan bagaimana tata cara atau sikap bermusyawarah itu. Firman Allah Swt.;

Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Alu Imran [3]: 159)

Kandungan ayat di atas, dapat diklasifikasi ke dalam beberapa sikap bermusyawarah. Pertama, musyawarah harus disemangati dengan prilaku lemah lembut. Apalagi sebagai pimpinan dalam menyelenggarakan musyawarah, maka sudah barang tentu sikap lemah lembut harus dikedepankan. Berbalikan dengan itu, maka dalam bermusyawarah sangatlah tidak etis bila bersikap kasar, baik secara fisik maupun tutur kata. Memang, untuk dapat bersikap lemah lembut dalam musyawarah bukan perkara gampang, sebab di sana mensyaratkan mentalitas dan kepribadian yang memegang prinsip; saling menghargai, penuturan kata (pendapat) secara sopan, toleransi, berbaik sangka (husnudzan), dan selalu berpegang pada nilai obyektifitas. Pada tataran ini pula, maka bersikap lemah lembut dalam musyawarah akan dapat membawa manfaat terhadap apa yang dimusyawarahkan, bahkan dengan sikap yang demikian jalinan kasih sayang antar anggota yang bermusyawarah terasa dinaungi rahmat Tuhan.

Kedua, harus menyediakan piranti diri sebagai pemaaf. Sikap mental seperti ini sangat diperlukan dalam musyawarah, sebab boleh jadi dalam musyawarah didapati adanya perbedaan-perbedaan pendapat, pandangan, dan argumentasi antara pihak satu dengan pihak yang lain. Belum lagi bila pendapat yang dikemukakan itu menciderai perasaan orang lain, jelas dorongan (batin) untuk minta atau memberikan maaf sangat penting diwujudkan. Bila tidak menyiapkan piranti sebagai pemaaf atau memberikan maaf pada orang lain, maka dalam musyawarah potensial terjadi suasana yang tidak kondusif, penuh intrik-intrik, dan pada akhirnya jalinan kasih sayang dalam kehidupan pun bisa menjadi rapuh.

Ketiga, mohon ampunan Allah Swt. Dalam pengertian, bahwa untuk mendapatkan hasil yang terbaik ketika musyawarah, hubungan dengan dengan Tuhan pun harus terjalin baik dan harmonis. Sebab itu, setiap anggota yang bermusyawarah harus memancarkan kesadaran bertuhan secara kuat, yang diwujudkan dengan cara memohon ampun kepada-Nya, baik untuk diri sendiri maupun anggota musyawarah lainnya. Permohonan ampun kepada Allah Swt. ini, mempunyai nilai spiritualitas yang amat tinggi, sebab bagaimanapun juga secara hakiki hasil yang diinginkan dalam musyawarah tidak lain bermuara pada hasil terbaik, bermanfaat dan pengharapan atas rahmat-Nya.

Menegakkan Keadilan

Istilah keadilan, berasal dari kata jadian adil (bahasa Indonesia) yang terambil dari bahasa Arab adl, yang mempunyai pengertian sama dan seimbang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata adil diartikan: (1) tidak berat sebelah/ tidak memihak, (2) berpihak pada kebenaran, dan (3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang.

Dari beberapa pengertian tentang adil ini, memberikan penegasan bahwa adil atau keadilan senantiasa bertitik tolak dari prinsip persamaaan dan keseimbangan. Prinsip persamaan, menjadikan sesorang yang berlaku adil tidak memihak kecuali kepada kebenaran, sedangkan prinsip keseimbangan menjadikan seseorang yang berlaku adil selalu memutuskan sesuatu dengan sepatutnya dan tidak bertindak sewenang-wenang.

Dalam al-Quran, kata adl untuk untuk perngertian yang sama juga menggunakan kata qisth dan mizan. Misalnya dalam dua ayat berikut;

Katakanlah, Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan. (QS. Al-Araf [7]: 29)

Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Al-Hadid [57]: 25)

Dalam pandangan Mukti Ali, ada lima prinsip pokok keadilan yang terkandung di dalam al-Quran, yaitu meliputi;

1. Keadilan Allah Swt yang bersifat mutlak. Dalam al-Quran ditegaskan, bahwa Allah Swt adalah Dzat yang menegakkan keadilan (QS. Alu Imran [3]:18).

(((((( (((( ((((((( (( ((((((( (((( (((( (((((((((((((((((( ((((((((((( (((((((((( ((((((((( (((((((((((( ( (( ((((((( (((( (((( ((((((((((( ((((((((((( ((((

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu[188] (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

2. Keadilan Firman-Nya yang tertuang di dalam al-Quran. Ini ditegaskan bahwa Allah telah menurunkan Al-Kitab dan neraca keadilan agar manusia dapat menegakkan keadilan (QS. Al-Hadid [57]: 25).

(((((( ((((((((((( ((((((((( (((((((((((((((( (((((((((((( (((((((( ((((((((((( (((((((((((((( ((((((((( (((((((( (((((((((((( ( (((((((((((( ((((((((((( ((((( (((((( ((((((( ((((((((((( (((((((( (((((((((((( (((( ((( (((((((((( ((((((((((( (((((((((((( ( (((( (((( (((((( ((((((( ((((

Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.

3. Keadilan Syariat-Nya yang dibawa oleh Rasul-Nya. Keterangan ini dinyatakan dalam al-Quran, bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw. adalah agama yang benar, agama Nabi Ibrahim yang yang lurus (QS. Al-Anam [6]: 161)

(((( ((((((( (((((((( ((((((( (((((( ((((((( ((((((((((( (((((( ((((((( ((((((( (((((((((((( (((((((( ( ((((( ((((( (((( ((((((((((((((( (((((

Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah Termasuk orang-orang musyrik".

4. Keadilan yang tertuang pada alam ciptaan-Nya. Dalam al-Quran diterangkan bahwa Allah Swt menciptakan manusia dalam keserasian yang sangat indah (QS. At-Tin [95]: 4).

(((((( ((((((((( (((((((((( (((( (((((((( ((((((((( (((

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Diterangkan juga, bahwa Allah menjadikan alam semesta serba seimbang (QS. Ar-Rad [13]: 2).

(((( ((((((( (((((( ((((((((((((( (((((((( (((((( ((((((((((( ( (((( (((((((((( ((((( (((((((((( ( (((((((( ((((((((( (((((((((((( ( (((( ((((((( (((((( ((((((( ( ((((((((( (((((((( ((((((((( ((((((((( ((((((((( (((((((((( ((((((((( (((((((((( (((

Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini Pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.

5. Keadilan yang ditetapkan untuk manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam al-Quran diterangkan bahwa orang-orang yang beriman diserukan untuk mengakkan keadilan semata-mata karena Allah Swt dan tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi (QS. Al-Maidah [5]: 8)

((((((((((( ((((((((( (((((((((( (((((((( (((((((((( (( (((((((((( (((((((((((( ( (((( (((((((((((((( ((((((((( (((((( (((((( (((( ((((((((((( ( ((((((((((( (((( (((((((( ((((((((((( ( ((((((((((( (((( ( (((( (((( ((((((( ((((( ((((((((((( (((

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Perintah Berlaku Adil

Ada bebarapa ayat al-Quran yang menyerukan agar manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan.

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran .(QS. An-Nahl [16]: 90)

Keadilan Hukum

Pertama, aparat pemerintah diperintahkan agar melaksanakan peraturan dengan adil.

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa [4]: 58)

Kedua, perintah bagi para hakim agar menegakkan hukum dengan adil.

Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil (QS. Al-Maidah [5]: 42)

Adil Terhadap Diri Sendiri

Hai orang orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (tergugat atau terdakwa itu) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemashlahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu kamu yang ingin menyimpang dari kebenaran (QS. An-Nisa [4]: 135)

Adil Terhadap Istri dan Anak

Nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai; dua, tiga atau empat. Tapi jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja (QS. An-Nisa [4]: 3)

Dan sabda Nabi Saw: Bertaqwalah kepada Allah dan berlaku adillah di antara anak-anakmu. (H.R. Muslim).Adil dalam Mendamaikan Perselisihan

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS. Al-Hujurat [49]: 9)

Adil dalam Bertutur Kata

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil meskipun dia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah (memenuhi perintah-perintah-Nya). Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat (QS. Al-Anam [6]: 152)

Adil terhadap Musuh/Golongan Lain

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengana adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tiak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa. dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Maidah [5]: 8).

2. Amar Maruf Nahi Munkar

Secara etimologi, marf berasal dari kata kerja arafa, yang artinya; mengetahui (to know), mengenal atau mengakui (to recognize) melihat dengan tajam atau mengenal perbedaan (to discern). Ketika menjadi kata benda, marf artinya sesuatu yang diketahui, dikenal atau diakui. Dengan demikian, marf dapat dipahami sebagai sesuatu yang diketahui sebagai baik dalam pengalaman manusia menurut ruang dan waktu tertentu. Sedangkan lawan dari maruf, yaitu munkar, mempunyai arti sebagai sesuatu yang tidak dikenal. Munkar juga berarti sesuatu yang dibenci, tidak disenangi dan ditolak oleh masyarakat, karena memang sesuatu itu tidap patut dikerjakan oleh orang yang berakal sehat.

Menurut Muhammad Abduh, marf didefinisikan sebagai apa yang dikenal (baik) oleh akal sehat dan hati nurani, sedangkan munkar adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan hati nurani. Berbeda dengan Abduh, menurut Ali ash-Shabuni, marf di definisikan sebagai apa yang diperintahkan syara (agama) dan di nilai buruk oleh akal sehat, sedangkan munkar adalah apa yang dilarang syara (agama) dan dinilai buruk oleh akal sehat.

Perintah dan Kedudukan Amar Maruf Nahi Munkar

Amar Maruf Nahi Munkar, adalah kewajiban bagi orang yang beriman, baik secara individual maupun kolektif. Firman Allah Swt:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, dan menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Alu Iman [3]: 104)

Kewajiban untuk ber-amar maruf nahi munkar sebagaimana penjelasan di atas, selain agar menjadi orang-orang yang beruntung (muflihn) bagi yang melakukannya, juga karena tugas tersebut sangat menentukan eksistensi dan kualitas umat Islam. Mengenai yang terakhir ini Allah Swt. menegaskan:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.. (QS. Ali Imran [3]: 110)

Ayat di atas dapat dipahami bahwa eksistensi umat Islam sebagai umat terbaik ditentukan oleh sejauhmana peranannya dalam mengemban tugas amar maruf nahy munkar. Terabaikannya tugas tersebut, misalnya, maka dengan sendirinya umat Islam tidak menjadi umat terbaik, bahkan boleh jadi akan menjadikan umat Islam terpuruk (secara moral) yang pada gilirannya tidak diperhitungkan oleh umat-umat lain.

Melakukan amar maruf nahi munkar bukanlah tugas yang ringan. Tetapi sebaliknya, yaitu tugas yang amat besar dan berat yang memerlukan stamina spiritual yang prima serta kecerdasan daya juang yang tinggi. Ini diisyaratkan dalam Firman Allah Swt. ketika mengisahkan pesan Luqman terhadap putranya;

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah termasuk hal-hal yang memerlukan tekat yang kuat (untuk melaksanakannya). (QS. Luqman [31]: 17).Ayat di atas, bersamaan dengan mendirikan shalat, tabah menghadapi cobaan, melakukan amar maruf nahy munkar adalah termasuk min azmil umr, yaitu perkara yang benar-benar-memerlukan tekad, ketegaran dan ketetapan hati untuk melakukannya. Karena itu umat Islam tidak boleh mengabaikan perintah amar maruf nahy munkar ini, sebab selain eksistensi umat Islam akan menjadi terpuruk (sebagaimana sudah dijelaskan), juga akan mendapat kutukan Allah Swt. sebagaimana dulu pernah ditimpakan kepada Bani Israil. Firman Allah Swt:

Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampau batas. Mereka satu sama lain tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu QS. Al-Maidah [5]: 78-78)

Dalam perspektif ilmu sosial (sosiologi), perintah untuk ber-amar maruf nahy munkar menunjukkan pengertian bahwa nilai-nilai kebaikan dan keburukan ada dalam masyarakat. Sebab itu, umat Islam harus dapat mengidentifikasi secara jelas, mana yang dianggap maruf dan mana pula yang dianggap munkar agar dalam menjalankan tugas yang mulia itu dapat berjalan secara optimal. Kecermatan dan kebenaran dalam mengidentifikasi sesuatu yang dipandang maruf, dengan sendirinya umat Islam harus menjalankannya. Tetapi apabila yang ada adalah munkar (kemunkaran), maka suatu kewajiban bagi umat Islam untuk merubahnya, dengan kadar kemampuan masing-masing. Mengenai mencegah yang munkar (nahy munkar) ini, petunjuk pelaksanaannya (juklak) telah diajarkan oleh Nabi Saw. dengan sabdanya: Barangsiapa diantara kamu melihat kemunkaran, maka rubahlah dengan tangannya (kekuasaan; moral politik). Kalau tidak sanggup, maka (rubahlah) dengan lisannya, dan apabila (masih) tidak sanggup, maka (rubahlah) dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman (HR. Muslim).

Besarnya perhatian ajaran Islam (al-Quran dan Sunnah Nabi Saw.) untuk menjalankan amar maruf nahy munkar, mensyaratkan agar umat Islam mempunyai daya juang yang tinggi dan cakap dalam menampilkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan, baik secara sosial, politik, hukum, budaya maupun bidang kehidupan lainnya.

Dalam konteks pemikiran di atas, maka daya juang umat Islam dalam menjalankan amar maruf nahy munkar dapat dikonsepsikan ke dalam istilah berjuang untuk (fight for) dan berjuang melawan (fight against). Berjuang untuk (fight for) sejajar dengan semangat amar marf, yaitu perjuangan yang bersifat proaktif, dinamis dan positif. Sedangkan berjuang melawan (fight against) sejajar dengan semangat nahy munkar, yaitu perjuangan yang bersifat reaktif yang dilakukan dengan mengeliminasi segala kemunkaran yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu, antara fight for dan fight against, merupakan satu kesatuan yang harus diperjuangkan demi terciptanya pranata kehidupan yang bermartabat dan berperadaban.

3. Hubungan Pemimpin dengan yang dipimpin

Salah satu segi prinsipil dalam membangun akhlak bernegara adalah berkaitan dengan hubungan antara seorang pemimpin atau penguasa dengan orang yang dipimpin (rakyat). Hubungan tersebut, tidak hanya dalam rangka terciptanya bangunan relasi dan interaksi (sosial) yang harmonis, tetapi lebih dari itu, yaitu berkaitan pada terciptanya suatu pola kepemimpinan yang benar, bermoral dan dapat dirasakan kemaslahatannya.

Lebih lanjut mengenai hubungan pemimpin dengan yang dipimpin itu, secara eksplisit (tersirat) mengilustrasikan adanya logika ke(patuh)an. Artinya, berjalan dan benar tidaknya suatu kepemimpinan, sangat tergantung seberapa besar kepatuhan yang tercipta dalam kepemimpinan itu. Yaitu, kepatuhan orang yang dipimpin atas pemimpinnya. Namun, logika ke(patuh)an itu tidak harus dipraktekkan secara mutlak, tetapi harus disaring oleh semangat ajaran agama.

Terhadap masalah tersebut, penting dihubungan dengan Firman Allah Swt:

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu (QS. An-Nisa[4]: 59)

Pengertian ayat di atas adalah bahwa kita disuruh untuk taat kepada Allah Swt., kemudian Rasul-Nya, melalui pesan-pesan al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Kemudian, kepatuhan selanjutnya adalah kepada para pemimpin yang memegang kekuasaan (ulil amri). Namun demikian, mengenai perintah taat kepada ulil amri perlu diperjelas lagi, bahwa yang dimaksudkan adalah ketaatan atau kepatuhan kepada pemimpin atau pemegang kekuasaan dengan catatan mereka patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila kepatuhan kita kepada pemegang kekuasaan yang tidak patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kita tidak diperbolehkan mengikutinya, apalagi menaati perintah-perintahnya.

Sejalan dengan itu, hadits Nabi Saw. menyatakan; Tidak ada kepatuhan kepada makhluk untuk mendurhakai Allah. (HR. Ahmad).

Dalam istilah politik modern, ketidakpatutan untuk mengikuti pemimpin, (yang dalam bahasa agama dianggap menyimpang dari ajaran al-Quran dan sunnah Nabi Saw.), haruslah ditopang oleh kekuatan pengawasan dan penyeimbangan (check and balance). Pengawasan dan penyeimbangan ini merupakan mekanisme sosial yang efektif untuk terjadinya proses saling mengingatkan tentang apa yang benar demi kebaikan bersama. Mengenai check and balance, sebenarnya sejalan dengan semangat ajaran Islam, salah satunya dapat kita temukan di dalam al-Quran surat al-Ashr [103]: 1-3:

(((((((((((( ((( (((( (((((((((( ((((( (((((( ((( (((( ((((((((( (((((((((( ((((((((((( ((((((((((((( ((((((((((((( ((((((((((( ((((((((((((( ((((((((((( (((

Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling berpesan pada kebenaran dan kesabaran

Ayat saling berpesan pada kebenaran dan kesabaran, berbanding lurus (semakna) dengan check and balance dalam istilah politik modern (demokrasi). Sebab itu, hubungan pemimpin dengan yang dipimpin, selagi menyangkut menyelamatkan dan menjunjung moralitas warga bangsa atau wilayah kekuasaannnya, semangat check and balance penting untuk ditampilkan. Ini semua ditujukan untuk mengeliminasi kemungkinan seseorang (baik pemimpin maupun yang dipimpin) dikuasai oleh kepentingan dirinya sendiri untuk bertindak dzalim. Tentunya, konsekwensi atas penerapannya mensyaratkan adanya semangat untuk sabar, dalam pengertian yang positif-optimistik.

Bila kekuatan pengawasan dan penyeimbangan berjalan dengan baik, maka akan mudah sekali tercipta hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin, baik menyangkut struktur kelembagaan/ kepemimpinan maupun dalam kaitannya sebagai bagian dari komunitas sosial.

Kriteria Pemimpin

Sebagai kelanjutan masalah hubungan pemimpin dengan yang dipimpin, yang tidak kalah pentingnya lagi adalah siapa yang paling ideal menyandang ulil amri sehingga kita pantas untuk mematuhi sistem pemerintahan atau kekuasaannya. Terhadap persoalan ini, ditegaskan dalam al-Quran:

Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yaitu yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (QS. Al-Maidah [5]: 55)

Keterangan ayat di atas merupakan tafsir atas ayat lain (yaitu, QS. An-Nisa[4]: 59) sebagaimana sudah di terangkan di muka. Dengan demikian dapat di deskripsikan bahwa kriteria pemimpin (waliy atau ulil amri) adalah,

Pertama, beriman kepada Allah Swt. Keimanan yang kuat dalam diri pimimpin (ulil amri), merupakan wujud menapaktilasi kepemimpinan Rasullulah Saw., hal mana kepemimpinan beliau adalah pelaksana kepemimpinan Allah Swt.

Kedua, pemimpin yang mendirikan shalat. Artinya, sebagai wujud hubungan vertikal kepada Allah Swt. melalui ibadah shalat, maka seorang pemimpin diharapkan memancarkan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terkandung dalam ibadah tersebut sehingga tercermin dalam praktek kepemimpinannya. Misalnya, makna simbolik salam (assalmualaikum warahmatullh wabaraktuh) sebagai kalimat penutup ibadah shalat. Kalimat tersebut dapat ditafsirkan; setelah kita menunaikan jalinan komunikasi kepada Allah Swt melalui shalat, maka ada tanggung jawab dari pelaksanaan ibadah tersebut. Yaitu bagaimana kita sanggup menjadi pribadi yang dapat mendamaikan, memberi keselamatan, ketentraman dan kesuksesan hidup orang-orang di sekelilingnya dan masyarakat luas. Inilah semangat yang terkandung dari pemimpin yang mendirikan shalat.

Ketiga, membayar zakat, yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial. Pemimpin dengan kriteria ini diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan hartanya. Tidak mencari dan menikmatinya dengan cara tidak halal, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Lebih dari itu, pemimpin diharapkan mempunyai kepedualian sosial yang tinggi, sehingga dengan kepedualiannya itu orang-orang yang di pimpinnya tidak teraniaya atau di dzalimi, terutama secara ekonomi.

Keempat, selalu tunduk kepada Allah Swt. Ini merupakan konsekwensi dari bunyi ayat di atas (wa hum rakiun), yaitu orang-orang yang selalu ruku. Ruku, adalah simbol kepasrahan dan kepatuhan secara mutlak kepada Allah Swt. karena itu, kepatuhan seorang pemimpin kepada Allah harus sejalan dengan kepatuhan Rasul kepada-Nya. Mulai dari aspek aqidah (bertauhid secara murni), ibadah (dijalankan dengan tertib dan sesuai dengan tuntunan Nabi saw.), akhlak terpuji (shiddq, amanah, adil, dan sifat terpuji lainnya) sampai pada muamalatnya (hubungan dengan sesama manusia dan alam dalam seluruh aspek kehidupan).

Dalam kesempatan lain, masalah kriteria seorang pemimpin ini juga dapat kita temukan dalam al-Quran surat An-Nur [24] ayat 55:

(((((( (((( ((((((((( (((((((((( ((((((( ((((((((((( ((((((((((((( (((((((((((((((((((( ((( (((((((( ((((( (((((((((((( ((((((((( ((( (((((((((( ((((((((((((((( (((((( ((((((((( ((((((( (((((((((( (((((( (((((((((((((((((( ((((( (((((( (((((((((( ((((((( ( (((((((((((((( (( ((((((((((( ((( ((((((( ( ((((( (((((( (((((( ((((((( (((((((((((((( (((( (((((((((((((( ((((

Dan Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka penguasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar menukar (keadaan) mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang fasiq .

Arti ayat di atas, mengisyaratkan bahwa kriteria pemimpin atau penguasa bumi yang paling ideal adalah;

Pertama, orang-orang yang beriman. Orang-orang yang beriman adalah mereka yang mempunyai komitmen kepada kebenaran, dan memihaknya sesuai dengan hati nurani. Dikarenakan komitmen kepada kebenaran itu, maka pada kelanjutannya orang yang beriman itu selalu menjunjung tinggi semangat moralitas, etika atau akhlak dalam hidupnya.

Kedua, pemimpin atau penguasa bumi yang ideal adalah mereka yang rajin mengerjakan amal shaleh, yang diwujudkan dalam kerja-kerja kemanusiaan dengan prinsip menegakkan kebenaran. Misalnya, pemimpin haruslah progresif dalam melakukan advokasi dan pemberdayaan terhadap kelompok/ masyarakat tertindas (mustadlafn), baik secara ekonomi, politik, maupun bidang kehidupan lainnya. Semua itu dalam rangka untuk mengeliminasi sistem atau pola kepemimpinan yang dzalim.

Beberapa keterangan kriteria pemimpin di atas, merupakan landasan yang masih bersifat normatif-teologis, yaitu hanya bertitik tolak dari pandangan ajaran agama. Karena itu, perlu ditopang oleh beberapa kriteria lain yang sekiranya dianggap sanggup membawa pola atau corak kepemimpinan agar bertambah baik dan maju, dengan menyesuaikan secara sinergis kapan dan dimana kepemimpinan itu dijalankan. Misalnya, visi dan misinya jelas dan terarah, berdedikasi tinggi, profesional, dan kemampuan-kemampuan kualitatif lainnya.

4. Tanggung Jawab Pemimpin

Begitu luas dan mendalamnya al-Quran bicara masalah pemimpin dan kepemimpinan, jelaslah bahwa bagi seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap apa yang di pimpinnya. Diterangkan dalam sebuah hadits Nabi Saw.; Dari Ibnu Umar r.a. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda; Setiap kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya, imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya, suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya, istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya dan pembantu terhadap rumah majikannya adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya (HR. Bukhari)Hadits di atas, memberikan gambaran bahwasanya sikap bertanggung jawab harus dimiliki oleh setiap pemimpin terhadap apa yang dipimpinannya. Bila diperluas jangkauan makna hadits tersebut, maka tanggung jawab pemimpin juga berlaku bagi mereka yang memimpin sebuah negara, organisasi, lembaga-lembaga, dan lain sebagainya.

Sebagai pemimpin dalam struktur kenegaraan atau pemerintahan, misalnya, maka (salah satu) wujud tanggung jawabnya adalah bagaimana para pemimpin itu dapat menciptakan formulasi sistem politik yang sejalan dengan pandangan-pandangan ideologis yang dianut warga bangsa. Prinsip keadilan sosial, ekonomi, politik, hukum dan lainnya, adalah diantara pandangan ideologis yang kita anut bersama. Apalagi, bangsa kita di dukung oleh suatu kenyataan bahwa warga bangsanya moyoritas umat Islam, maka pandangan ideologis itu dapat semakin survive bila benar-benar dapat disenyawakan dengan semangat dan inti ajaran agama (Islam). Lebih spesifik dan tegasnya adalah bagaimana pemimpin itu sanggup mengangkat harkat dan martabat warga bangsanya, baik segi jasmani maupun ruhaninya, sehingga kepemimpinan yang dijalankan dapat membawa manfaat bersama.

Dalam skala paling kecil, yaitu sebagai individu, maka wujud tanggung jawab itu terkait dengan apa saja yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan. Berkaitan dengan ini, maka hadits Nabi Saw. di atas secara demonstratif dapat dialih-ungkapkan ke dalam anjuran yang bersifat personal. Misalnya, Jadilah Anda pemimpin, setidaknya-tidaknya untuk diri Anda sendiri. Artinya, kita sudah menjadi pemimpin untuk diri kita sendiri, dan karena itu kita harus bertanggung jawab terhadap apa saja yang berkaitan dengan diri kita, baik dalam hubungannya dengan Tuhan (hablum minallah) maupun dengan sesama (hablum minannaas).

Pentingnya tanggung jawab bagi seorang pemimpin, menunjukkan bahwa ajaran agama benar-benar memperhatikan masalah kepemimpinan atau kekuasaan untuk dijalankan dengan sebenar-benarnya. Dalam konteks ini, maka kepemimpinan atau kekuasaan itu merupakan amanah yang harus dijaga. Dengan demikian, maka menjalankan amanah merupakan kelanjutan dari sikap bertanggung jawab dari seorang pemimpin. Tanpa adanya kesadaran bahwa kepemimpinan atau kekuasaan itu adalah amanah, maka dengan sendirinya tidak ada bentuk pertanggungjawaban yang sempurna terhadap apa yang dipimpinnya, termasuk pada diri sendiri. Itulah sebabnya, mengapa masalah tanggung jawab seorang pemimpin sangat terkait dengan sejauhmana menjalankan amanah itu.

5. Menjaga Lingkungan Hidup

Wacana global dalam rangka menciptakan tatanan dunia yang lebih damai dan beradab, salah satu perhatiannya adalah dialamatkan pada pentingnya menjaga lingkungan hidup. Ini semua disebabkan karena seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan hidup material manusia, pada saat yang sama menyisakan keprihatinan yang sangat mendalam, yaitu rusaknya lingkungan hidup. Pencemaran lingkungan, limbah industri, tanah lonsor, pemanasan global (misalnya, penggundulan hutan tropis secara membabi buta sebagaimana terjadi di bumi Nusantara, Kalimantan), adalah sebagian kecil contoh rusaknya lingkungan hidup itu. Akibatnya, umat manusia sekarang (termasuk masyarakat kita) dihadapkan pada apa yang disebut dengan alienasi ekologis. Yaitu, keterasingan diri untuk berhubungan secara timbal balik dan harmonis dengan lingkungan hidup.

Dalam al-Quran, sinyalemen rusaknya ligkungan hidup itu dapat ditemukan dalam Firman Allah Swt:

elah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan ulah tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatannya, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS. Ar-Rum [30]: 41)

Rusaknya lingkungan hidup atau alam itu, manusialah yang menjadi penyebabnya. Dan semua itu berawal dari kegagalan dalam menjaga dan atau cara memanfaatkannya. Firman Allah Swt:

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Araf [7]: 56)

Ungkapan dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah Swt memperbaikinya mengandung dua pengertian;

Pertama, larangan merusak bumi setelah adanya perbaikan, yaitu saat penciptaan bumi oleh Allah sendiri. Pengertian ini mengisyaratkan agar manusia memelihara bumi, yang sudah merupakan tempat yang baik bagi manusia.

Kedua, larangan membuat kerusakan di bumi setelah adanya perbaikan oleh sesama manusia. Hal ini terkait dengan peran aktif manusia untuk menciptakan sesuatu yang baru, baik, dan membawa kebaikan (maslahah). Tugas kedua ini, lebih berat daripada tugas pertama, karena memerlukan pemahaman yang tepat tentang hukum-hukum Allah yang menguasai alam ciptaan-Nya, berikutnya adalah penerapan ilmu cara (teknologi) dengan melihat hukum-hukum itu, daya cipta untuk memanfaatkannya, dan prinsip-prinsip keseimbangan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pemanfaatan potensi alam yang dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia, haruslah berdampak pada kebaikan (maslahah) daripada kerusakan (mafsadah).

Menjaga lingkungan hidup (alam) dan atau memanfaakannya, merupakan sesuatu yang sangat prinsipil dalam ajaran Islam, terutama bila dikaitkan dengan tujuan diciptakannya alam ini. Allah Swt. Berfirman:

((((( ((((((((( ((((((((((((( (((((((((( ((((( ((((((((((( (((((((((( ((((

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. (QS. Ad-Dukhan [44] ayat 38).

((((( ((((((((( ((((((((((( (((((((((( ((((( ((((((((((( ((((((( ( ((((((( (((( ((((((((( ((((((((( ( (((((((( (((((((((( ((((((((( (((( (((((((( ((((

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. (QS. Shaad [38] ayat 27).

Ayat lain juga menegaskan;

((( ((((((((( ((((((((((((( (((((((((( ((((( (((((((((((( (((( ((((((((((( (((((((( ((((((( ( ((((((((((( ((((((((( (((((( (((((((((( ((((((((((( (((

Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang berada di antara keduanya kecuali dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan (QS. Al-Ahqaaf [46]: 3).

Dengan demikian, arti penting menjaga lingkungan hidup (alam) ataupun memanfaatkannya dengan baik dan berakhir pada kebaikan (maslahah), sama halnya sebagai bentuk apresiasi yang tinggi terhadap tujuan diciptakan alam itu sendiri. Karena yang demikian itu, maka termasuk bagian dari menerapkan etika beragama, sosial-kemasyarakatan, bahkan etika berbangsa dan bernegara sekaligus.

C. RANGKUMAN

Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Dari pengertian ini maka pada dasarnya musyawarah hanya digunakan untuk segala hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Musyawarah mempunyai peran yang sangat penting sekali dalam kehidupan guna menciptakan peraturan di dalam masyarakat atau dalam suatu negara. Begitu pentingnya musyawarah, tidak aneh bila Islam menamakan salah satu surat al-Quran dengan asy-Syura, yang berarti musyawarah.

Musyawarah merupakan apresiasi seseorang untuk menyatakan pendapat-pendapatnya terhadap suatu masalah yang ingin dipecahkan bersama dengan harapan mendapatkan hasil yang benar dan memuaskan, maka yang perlu diperhatikan di sini adalah kejelasan materi atau dalam hal apa sesuatu itu dapat dimusyawarahkan. Berkaitan dengan hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahkan, adalah apa-apa yang sudah ditetapkan oleh nash (al-Quran dan as-Sunnah). Sebab pendapat orang atau kelompok tidak boleh mengungguli wahyu (al-Quran dan as-Sunnah). Sementara yang boleh dimusyawarahkan adalah hal-hal yang bersifat ijtihadiyah.

Harapan agar musyawarah dapat dijalankan dengan lancar, penuh keakraban, persahabatan dan bermartabat, maka mensyaratkan adanya prosedur-prosedur yang mengatur tata cara atau sikap bermusyawarah itu sendiri.

D. LATIHAN

1. Salah satu tujuan musyawarah adalah untuk menegakkan keadilan, jelaskan maksudnya!

2. Bagaimana urgensi musyawarah dalam akhlak bernegara!

3. Bagaimana hubungan pemimpin dan yang dipimpin yang ideal?

4. Bagaimana tanggung jawab manusia dalam memelihara lingkungan?

E. REFERENSI (END NOTE)

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, Tafsir Maudlui atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung:Mizan, 1996), hlm. 469

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakekat Politik Islam (Yogyakarta: PLP2M, 1987). Hlm 98-99

Taufiq asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, terjemahan Djamaluddin Z.S. (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 68

Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam [LPPI], cet. IV. 2001), hlm. 232

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 6

Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam (Bandung:Mizan, cet. II, 1993), hlm. 156

Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Quran, Tafsir Sosial Berdasar Konsep-Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 627

Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Quran, hlm. 625

Muhammad Abduh, dalam Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, hlm. 241

Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, hlm. 241

Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, hlm. 243

Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, Ibid.

Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 113

Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Pedoman Hidup Seorang Muslim (terj.), (Madinah: Maktabatul Ulum wal Hikam, cet. VI, 1419 H), hlm. 99-100

Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 94, lihat juga, Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, hlm. 115-118

Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, hlm. 248-250

Khozin, Refleksi Keberagamaan, Dari Kepekaan Teologis Menuju Kepekaan Sosial, (Malang: UMM Press, 2004), hlm. 226

Nurcholish Madjid, Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi Bumi; Suatu Percobaan Pendekatan Sistematis terhadap Konsep Antropologis Islam), Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar Biasa dalam Bidang Ilmu Filsafat di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 10 Agustus 1998.

PAGE 270BUKU AJAR AL-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN II

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG