RELOKASI HIPOSENTER GEMPA BUMI MENGGUNAKAN …
Transcript of RELOKASI HIPOSENTER GEMPA BUMI MENGGUNAKAN …
RELOKASI HIPOSENTER GEMPA BUMI MENGGUNAKAN
METODE DOUBLE DIFFERENCE DI DAERAH
(CIANJUR-SUKABUMI)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains
(S.Si)
MUHLIS
NIM. 11140970000002
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/ 1440 H
ii
iii
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul “RELOKASI HIPOSENTER GEMPA BUMI
MENGGUNAKAN METODE DOUBLE DIFFERENCE DI DAERAH
(CIANJUR-SUKABUMI)” yang ditulis oleh Muhlis dengan NIM
11140970000002 telah diuji dan dinyatakan lulus dalam sidang Munaqasyah
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 22 Januari 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Fisika.
Menyetujui,
Penguji I, Penguji II,
Dr. Ambran Hartono, M.Si Tati Zera, M.Si
NIP. 19710408 200212 1 002 NIP. 19690608 200501 2 002
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. Sutrisno, M.Si Agung Sabtaji, M.Si
NIP. 19590202 198203 1 005 NIP. 19840526 200701 1 003
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Kepala Program Studi Fisika
Dr. Agus Salim, M.Si Arif Tjahjono, M.Si
NIP. 19720816 199903 1 003 NIP. 19751107 200701 1 015
iv
v
ABSTRAK
Cianjur-Sukabumi merupakan daerah di Jawa Barat yang memiliki kerentanan
bencana alam yang cukup tinggi, ditandai dengan adanya kerawanan letusan
gunung api, gerakan tanah dan gempabumi tektonik akibat aktivitas patahan.
Catatan sejarah gempa bumi dan banyaknya patahan di daerah Jawa Barat
menunjukan bahwa ketepatan dan informasi parameter gempa bumi yang terjadi
sangat penting untuk diketahui. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah
dengan melakukan relokasi hiposenter gempa bumi. Tujuan penelitian ini adalah
untuk merelokasi hiposenter gempa bumi menjadi lebih akurat di daerah Cianjur-
Sukabumi menggunakan metode Double Difference dan menganalisis sebaran
hiposenter gempa bumi sesudah direlokasi. Data yang digunakan adalah data
gempa bumi tektonik sebanyak 96 data dari 26 Januari 2014 sampai 4 Agustus
2018, data 18 stasiun pencatat gempabumi serta data kecepatan gelombang P
tiap lapisan model kecepatan AK135. Proses relokasi dilakukan dengan metode
Double Difference dan pengolahannya menggunakan program hypoDD. Hasil
relokasi menghasilkan posisi hiposenter yang baik dan akurat ditandai dengan
residual waktu tempuh sesudah direlokasi lebih banyak mendekati nol, serta posisi
sebaran hiposenternya lebih mengumpul dan membentuk sebuah kluster, selain itu
juga berdasarkan hasil analisis sebaran hiposenter gempa bumi setelah direlokasi,
didapatkan adanya lineasi yang berarah Timur Laut - Barat Daya yang
diindikasikan adanya aktivitas sesar Cipamingkis.
Kata Kunci : Relokasi Hiposenter, Cianjur-Sukabumi, Lineasi, Metode Double
Difference, Cipamingkis.
vi
ABSTRACT
Cianjur-Sukabumi is an area in West Java that has a high vulnerability to natural
disasters marked by the vulnerability of volcanic eruptions, soil movements, and
the tectonic earthquake due to faulty activity. Records of the history of
earthquakes and the number of faults in the West Java region show that accuracy
and information on earthquake parameters that occur is very important to know.
One effort that can be done is to relocate the hypocenter of an earthquake. The
purpose of this study was to relocate earthquake hypocenter to be more accurate in
the Cianjur-Sukabumi area using the Double Difference method and analyze the
hypocenter distribution of earthquakes after relocation. The data used are 96
tectonic earthquake data from January 26, 2014 to August 4, 2018, data on 18
earthquake recording stations and P wave velocity data (V_p) for each layer of the
AK135 speed model. The relocation process is done by the Double Difference
method and processing using a hypoDD program. The results of relocation
produce a hypocenter position that is better and more accurately marked by a
residual travel time after relocating more or less to zero, and the position of the
hypocenter distribution more collects and forms a cluster, also based on the results
of the analysis of the hypocenter distribution of earthquakes after being relocated,
it was found that there was a lineation of Northeast - Southwest trending which
indicated a Cipamingkis fault activity.
Keywords: Hypocenter Relocation, Cianjur-Sukabumi, Lineasi, Double
Difference, Cipamingkis.
vii
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT
yang selalu memberikan nikmat sehat, nikmat ilmu dan nikmat waktu kepada
penulis, sehingga atas kehendak, limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan tugas akhir in tepat pada waktunya. Laporan tugas akhir
ini berjudul “RELOKASI HIPOSENTER GEMPA BUMI MENGGUNAKAN
METODE DOUBLE DIFFERENCE DI DAERAH (CIANJUR-
SUKABUMI)”. Shalawat beserta salam selalu terhaturkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menuntun manusia dari jalan yang gelap menuju
jalan yang penuh keterangan.
Laporan tugas akhir ini tidaklah dapat terwujud tanpa adanya bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada beberapa pihak antara
lain:
1. Kedua orang tua serta adik saya yang saya cintai, terimakasih karena
selalu mendoakan, memberikan semangat, dan memberikan pelajarn
penting dalam kehidupan ini, dan menjadi penyemangat bagi
penulis.
2. Bapak Sutrisno, M.Si selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan saran dan bimbingannya dalam penulisan laporan tugas
akhir.
viii
3. Bapak Agung Sabtaji, M.Si selaku dosen pembimbing II yang selalu
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama
penelitian.
4. Bapak Sutiyono, S.Si selaku Kepala Balai Besar Meteorologi dan
Geofisika Wilayah II Ciputat yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk melaksanakan penelitian ini hingga selesai.
5. Bapak Arif Tjahjono, M.Si selaku Kepala Program Studi Fisika yang
telah memberikan penulis izin, dan bimbingan kepada penulis.
6. Bapak Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Temen-temen Fisika UIN Jakarta angkatan 2014 yang senantias
memberikan semangat dan bantuannya kepada penulis.
8. Temen-temen KKN C.A.R.E 130 UIN Jakarta, khususnya Ulfa .W.L
(mba Uyo), Gialin Prihatna.P (Putri), Lutfah NurAliyah (Aal),
Anugrah.D.P (Junet), dan Asfaril Husna (Faril) yang senantiasa
memberikan motivasi, dan dukungan kepada penulis.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan
laporan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang
tidak dapat dituliskan disini.
Penulis menyadari bahwa penelitian dan penyususnan skripsi ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca agar dalam penelitian serupa berikutnya dapat
ix
lebih baik. Penulis juga memberikan kesempatan kepada pembaca untuk dapat
berdiskusi dengan penulis mengenai isi dari skripsi ini. Diskusi, kritik dan saran
yang membangun tersebut dapat pembaca sampaikan melalui surat elektronik
penulis, yakni [email protected]. Besar harapan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca, maupun bagi penulis pribadi.
Jakarta , 26 Desember 2018
Penulis
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
PENGESAHAN UJIAN ....................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
ABSTRACT .......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL............................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................. 4
1.3 Batasan Masalah ...................................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................... 5
1.6 Sistematika Penulisan .............................................................................. 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................. 8
2.1 Sistem Tektonik ....................................................................................... 8
2.1.1 Teori Tektonik Lempeng ............................................................. 8
2.1.2 Pergerakan Lempeng Tektonik .................................................. 10
2.1.3 Sesar ........................................................................................... 14
2.2 Gempa bumi .......................................................................................... 20
2.2.1 Klasifikasi Gempa bumi ............................................................ 21
2.2.2 Parameter Gempa bumi ............................................................. 23
xi
2.3 Gelombang Seismik ............................................................................... 26
2.3.1 Gelombang Badan (Body Wave) ................................................ 26
2.3.2 Gelombang Permukaan (Surface Wave) .................................... 28
2.4 Sesar Aktif di Jawa Barat ...................................................................... 30
2.5 Metode Relokasi Hiposenter Gempa Bumi ........................................... 33
2.5.1 Metode Joint Hypocenter Determination (JHD) .......................... 34
2.5.2 Modified Joint Hypocenter Determination (MJHD) .................... 36
2.5.3 Metode Double Difference ........................................................... 38
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 42
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian................................................................ 42
3.2 Daerah Penelitian ................................................................................... 42
3.3 Data Penelitian ....................................................................................... 43
3.4 Perangkat Lunak Pengolahan Data ........................................................ 44
3.5 Proses Pengolahan Data......................................................................... 45
3.5.1 Pemilihan Data ........................................................................... 46
3.5.2 Relokasi Hiposenter Gempa bumi Menggunakan Metode
Double Difference ...................................................................... 46
3.5.3 Histogram Residual.................................................................... 51
3.5.4 Plotting Pemetaan Hasil Relokasi Hiposenter ........................... 52
3.5.5 Pembagian Segmen Irisan Penamnpang Vertikal
(Cross Section) ........................................................................... 52
3.6 Diagram Alir Penelitian ......................................................................... 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 55
4.1 Hasil Relokasi Hiposenter Gempa bumi ............................................... 55
xii
4.2 Histogram Residual ............................................................................... 61
4.3 Analisi Sebaran Hiposenter Gempa bumi ............................................. 63
4.3.1 Segmen Irisan A-A’ ................................................................... 65
4.3.2 Segmen Irisan B-B’ ................................................................... 66
BAB V KESIMPULAN........................................................................................ 68
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 68
5.2 Saran ...................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 70
LAMPIRAN .......................................................................................................... 73
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Lempeng-lempeng utama Litosfir (Noor, D 2009) ........................... 9
Gambar 2.2 Prinsip-prinsip pergerakan lempeng (Noor, D 2009) ...................... 10
Gambar 2.3 Batas konvergen subduksi dengan penunjam lempeng samudra
(Skinner dan Porter, 1995) ............................................................. 12
Gambar 2.4 Pertemuan lempeng divergen (Skinner dan Porter, 1995) ............... 13
Gambar 2.5 Batas lempeng transform (Skinner dan Porter, 1995) ..................... 13
Gambar 2.6 Hanging wall dan Foot wall ............................................................ 15
Gambar 2.7 Sesar Normal/Sesar Turun (Extaention fault) ................................. 17
Gambar 2.8 Sesar Naik (reverse fault) ................................................................ 18
Gambar 2.9 Sesar Mendatar (Strike Slip Faulth) (Sumber: Flint dan Skinner,
1974:295) ........................................................................................ 19
Gambar 2.10 Mekanisme Gempa bumi ............................................................... 20
Gambar 2.11 Penjalaran gelombang P (Sumber: Elnashai dan Sarno, 2008) ..... 27
Gambar 2.12 Penjalaran gelombang S (Sumber: Elnashai dan Sarno, 2008 ) .... 28
Gambar 2.13 Penjalaran gelombang Reyleig
(Sumber: Elnashai dan Sarno, 2008) .................................................... 29
Gambar 2.14 Penjalaran gelombang Love (Sumber: Elnashai dan Sarno, 2008) 29
Gambar 2.15 Peta segmen sesar aktif Cimandiri (PusGen, 2017) ...................... 31
Gambar 2.16 Segmen sesar aktif Cimandiri yang terekam dalam Peta Gempa
Nasional (PusGen, 2017) ................................................................ 31
Gambar 2.17 Ilustrasi algoritma Double Difference Gempa i dan j direlokasi
bersama terhadap stasiun k (Waldhauser dan Ellswort, 2000) ...... 39
xiv
Gambar 3.1 Peta Daerah Penelitian ditunjukan dengan kotak berwarna kuning 42
Gambar 3.2 Sebaran 18 stasiun pencatat gempabumi yang digunakan............... 43
Gambar 3.3 Data katalog gempabumi BMKG (*.txt) pada Notepad++ ............. 46
Gambar 3.4 Data gempabumi format hypoDD (*.pha) pada Notepad++ setelah
dirubah menggunakan program Phyton .......................................... 47
Gambar 3.5 File ph2dt.inp sebagai input parameter dalam ph2dt ....................... 48
Gambar 3.6 File ph2dt.inp yang telah selesai di-running di terminal Cygwin ... 49
Gambar 3.7 File hypoDD.inp yang telah selesai di-running di terminal Cygwin50
Gambar 3.8 Diagram alir pra pengolahan ........................................................... 53
Gambar 3.9 Diagram alir relokasi hiposenter...................................................... 54
Gambar 4.1 Persebaran episenter gempabumi sebelum direlokasi ..................... 56
Gambar 4.2 Peta sebaran hiposenter gempabumi sebelum relokasi dengan irisan
penampang vertikal berdasarkan bujur dan lintang ........................ 57
Gambar 4.3 Peta sebaran hiposenter gempabumi sesudah direlokasi relokasi
dengan irisan penampang vertikal berdasarkan bujur dan lintang . 57
Gambar 4.4 Diagram kompas untuk menunjukan arah dan jarak pergeseran
hiposenter gempabumi .................................................................... 58
Gambar 4.5 Diagram rose untuk menunjukan arah pergeseran terbanyak ......... 59
Gambar 4.6 Grafik perbandingan jumlah kejadian gempabumi sebelum relokasi
dengan interval 5 km ...................................................................... 60
Gambar 4.7 Grafik perbandingan jumlah kejadian gempabumi sesudah
direlokasi dengan interval 5 km ..................................................... 60
xv
Gambar 4.8 Histogram residual waktu tempuh gelombang P hasil pengamatan
dan perhitungan (a) Sebelum direlokasi, dan (b) Sesudah direlokasi
menggunakan HypoDD .................................................................. 62
Gambar 4.9 Kemenerusan sebaran hiposenter yang membentuk sebuah kluster 64
Gambar 4.10 Peta dua cross section gempabumi di Cianjur-Sukabumi ............. 64
Gambar 4.11 Peta cross section pada segmen A-A’ ........................................... 65
Gambar 4.12 Peta cross section pada segmen B-B’ ............................................ 66
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Magnitudo skala Richter dan pengaruh yang di timbulkan ................... 26
Tabel 3.1 Model kecepatan gelombang P AK135 tiap lapisan .............................. 44
1
BAB I
PENDAHULAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang sangat rawan akan terjadinya bencana
alam, seperti gempa bumi, longsor, dan letusan gunung api. Kejadian
bencana alam ini tidak dapat dicegah dan ditentukan secara pasti kapan dan
dimana lokasinya terjadi, seperti halnya bencana gempa bumi. Gempa bumi
adalah peristiwa bergetar atau bergoncangnya bumi karena pergerakan atau
pergeseran batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakan
lempeng-lempeng tektonik. Pergerakan tiba-tiba dari lapisan batuan didalam
bumi menghasilkan energi yang dipancarkan ke segala arah berupa
gelombang gempa bumi atau gelombang seismik sehingga efeknya dapat
dirasakan sampai ke permukaan bumi (Sunarjo, 2012)
Indonesia merupakan salah satu negara dengan aktivitas gempa bumi
yang tinggi didunia. Hal tersebut dikarenakan letak geografis Indonesia
berada pada jalur Ring of Fire dan berada diatas jalur pertemuan tiga
lempeng besar (lempeng mayor), yaitu Hindia-Australia, Eurasia, dan
Pasifik. Selain itu juga terdapat satu lempeng kecil (minor), yaitu lempeng
Philipina (Gracynthia, 2015) Hal inilah yang membuat Indonesia sering
mengalami kejadian gempa bumi dari yang berkekuatan kecil hingga
berkekuatan besar setiap tahunnya.
Salah satu wilayah di Indonesia yang rawan mengalami kejadian
gempa bumi adalah wilayah Jawa Barat. Kondisi geologi Jawa Barat
2
memiliki kerentanan bencana alam cukup tinggi dengan ditandai adanya
kerawanan letusan gunung api, kerawanan gerakan tanah, dan gempa bumi
yang diakibatkan oleh patahan (sesar). Menurut peta-peta regional Jawa
Barat terdapat banyak sesar-sesar aktif yang berpotensi menimbulkan gempa
bumi merusak. Beberapa sesar-sesar aktif yang berada di Jawa Barat,
diantaranya Sesar Cimandiri, Sesar Lembang, dan Sesar Baribis (PuSGen,
2017).
Pergerakan sesar-sesar aktif didaerah Jawa Barat menjadikan daerah
ini sering diguncang gempa bumi. Berdasarkan data BMKG berikut ini
beberapa catatan sejarah gempa bumi di Jawa Barat seperti, gempa bumi
yang terjadi di Sukabumi tahun 1962 dengan M = 5.4, tahun 1982 dengan
M = 5.5, tahun 2000 dengan M = 5.1. Gempa bumi Pangandaran tahun 2006
dengan M = 6.8, Gempa bumi Tasikmalaya tahun 2009 dengan M = 7.3, dan
gempabumi didaerah Cekungan Bandung antara bulan April-September
2011 dengan M = 2.
Catatan sejarah gempa bumi dan banyaknya patahan serta adanya
zona subduksi didaerah selatan Jawa, menunjukan bahwa ketepatan dan
informasi parameter gempa bumi yang terjadi sangat penting untuk
diketahui. Sehingga informasi tersebut akan membantu dalam upaya
mitigasi bencana gempa bumi. Namun, saat gempa bumi terjadi, informasi
yang kita peroleh mengenai parameter gempa bumi yang dikeluarkan oleh
beberapa lembaga seperti BMKG, USGS, GFZ dan sebagainya kerap kali
3
hasil pengamatannya berbeda. Perbedaan utamanya adalah dalam penentuan
parameter hiposenter untuk kejadian gempa bumi.
Dalam seismologi, penentuan parameter hiposenter gempa bumi
secara akurat sangatlah penting dilakukan. Penentuan lokasi hiposenter yang
akurat diperlukan untuk analisis struktur tektonik secara detail, seperti
identifikasi pola bidang patahan, pola zona subduksi, identifikasi batas
lempeng, dan lain-lain. Seiring dengan berkembangnya teknologi,
penentuan hiposenter saat ini sudah semakin cepat dilakukan. Namun,
parameter hiposenter yang dihasilkan dianggap masih belum akurat karena
dalam penentuanya, model kecepatan yang digunakan adalah model
kecepatan satu dimensi yang bersifat global. Disisi lain penentuan parameter
hiposenter masih kurang optimal karena semata-mata ditujukan untuk
memberikan informasi sesegera mungkin kepada masyarakat.
Untuk mengetahui informasi parameter gempa bumi dengan akurat
salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan relokasi
hiposenter gempa bumi. Relokasi hiposenter gempa bumi merupakan suatu
metode menghitung ulang atau mengkoreksi posisi hiposenter gempa bumi
menjadi lebih baik dan akurat. Relokasi hiposenter ini menghasilkan
gambaran lineasi atau kemenerusan hiposenter yang merepresentasikan
struktur sesar dibawah permukaan bumi (Gracynthia, 2015). Faktor-faktor
penting yang perlu diperhatikan dalam menentukan hiposenter gempa bumi
adalah waktu tiba gelombang primer ,kecepatan gelombang primer ,
dan waktu kejadian gempa bumi (origin time).
4
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dilakukanlah studi lebih lanjut
untuk memperbaiki atau meningkatkan keakuratan hasil penentuan
hiposenter gempa bumi. Studi relokasi ini dilakukan didaerah Jawa Barat
tepatnya di wilayah Cianjur-Sukabumi, dengan kejadian gempa bumi dari
tanggal 26 Januari 2014 sampai tanggal 14 Agustus 2018. Adapun teknik
yang digunakan dalam penelitian ini untuk merelokasi posisi hiposenter
ialah metode Double Difference dengan pengolahannya menggunakan
program HypoDD.
1.2 Perumusan Maslah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana persebaran hiposenter gempa bumi sebelum dan sesudah
direlokasi ?
2. Apakah terdapat perbedaan kedalaman hiposenter gempa bumi sebelum
dan sesudah dilakukan relokasi ?
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Studi kasus yang direlokasi adalah gempa bumi yang terjadi di daearah
Cianjur-Sukabumi, Jawa Barat yang terjadi mulai dari tanggal 26
Januari 2014 sampai tanggal 14 Agustus 2018.
2. Wilayah penelitian berada didaerah Cianjur-Sukabumi, Jawa Barat,
dengan batasan wilayah 106,68˚ BT –107,17˚ BT dan 6,89˚ LS –7,51˚
LS serta kedalaman gempa bumi (0-30 km).
5
3. Data yang digunakan adalah data arrival time berdasarkan gempa bumi
yang terjadi di daerah penelitian. Data diperoleh dari Balai Besar
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wilayah II Tangerang Selatan
berdasarkan rekaman stasiun disekitar wilayah penelitian.
4. Metode yang digunakan dalam relokasi hiposenter gempa bumi ini
adalah metode Double Difference dengan pengolahannya menggunakan
program HypoDD dan perangkat lunak Terminal Cygwin untuk me-
running datanya.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk merelokasi hiposenter gempa bumi menjadi lebih akurat di
daerah Cianjur-Sukabumi, dengan menggunakan metode Double
Difference.
2. Menganalisis sebaran hiposenter gempa bumi sesudah direlokasi di
daerah Cianjur-Sukabumi.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini adalah sebagai perbaikan posisi hiposenter
gempa bumi yang terjadi di Cianjur-Sukabumi, Jawa Barat dengan kejadian
gempa bumi dari tanggal 26 Januari 2014 sampai tanggal 14 Agustus 2018
yang berguna untuk merepresentasikan lebih baik kondisi tektonik di daerah
penelitian, sebagai bahan studi terhadap kemungkinan adanya sesar atau
patahan di daerah Cianjur-Sukabumi, Jawa Barat, dan sebagai bahan
informasi untuk masyarakat umum guna menambah pengetahuan awal
6
mengenai relokasi hiposenter gempa bumi dengan menggunakan metode
Double Difference.
1.6 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan laporan tugas akhir ini penulis
membaginya menjadi 5 (lima) bab, yaitu :
1. BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis membaginya kedalam beberapa topik, yaitu latar
belakang penelitian, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis mengutarakan teori-teori yang dijadikan landasan
teori bagi penulis dalam melakukan penelitian, antara lain Sistem
Tektonik, Gempa bumi, Gelombang Seismik, Sesar aktif di Jawa Barat,
dan Metode Double Difference.
3. BAB III METODE PENELITIAN
Pada bab ini penulis menggambarkan gambaran umum proses
penelitian yang dilakukan serta membuat diagram alur penelitian dan
juga membuat daftar keperluan yang digunakan dalam proses
penelitian.
4. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis mengutarakan data-data yang berisikan tentang
hasil yang didapatkan dari pengolahan data dan pembahasan mengenai
hasil pengolahan data yang yang telah didapatkan.
7
5. BAB V PENUTUP
Pada bab ini penulis menguraikan kesimpulan serta menyertakan saran
tentang penelitian yang telah dilakukan agar penelitian dapat
dikembangkan lebih lanjut dimasa yang akan dating.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sistem Tektonik
Sistem tektonik berkaitan erat dengan adanya pergerakan lempeng.
Sistem ini terdapat di daerah rekahan, zona subduksi, dan sepanjang zona
patahan.
2.1.1 Teori Tektonik Lempeng
Teori tektonik lempeng adalah suatu teori yang menjelaskan
mengenai sifat-sifat bumi yang mobil/dinamis yang disebabkan oleh gaya
endogen yang berasal dari dalam bumi (Noor, D 2009). Dalam teori tektonik
lempeng dinyatakan bahwa pada dasarnya kerak-bumi (litosfer) terbagi
dalam 13 lempeng. Adapun lempeng-lempeng tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Lempeng Pasifik (Pasific plate)
2) Lempeng Eurasia (Eurasia plate)
3) Lempeng India-Australia (Indian-Australian plate)
4) Lempeng Afrika (African plate)
5) Lempeng Amerika Utara (North American plate)
6) Lempeng Amerika Selatan (South American plate)
7) Lempeng Antartika (Antartic plate)
Serta beberapa lempeng kecil, yakni :
1) Lempeng Nasca (Nasca plate)
2) Lempeng Arab (Arabian plate)
9
3) Lempeng Karibia (Caribian plate)
4) Lempeng Philippines (Philippines plate)
5) Lempeng Scotia (Scotia plate)
6) Lempeng Cocos (Cocos plate)
Gambar 2.1 Lempeng-lempeng utama litosfir (Noor, D 2009).
Berdasarkan teori tektonik lempeng, lempeng-lempeng yang ada
saling bergerak dan berinteraksi satu dengan lainnya. Pergerakan lempeng-
lempeng tersebut juga secara tidak langsung dipengaruhi oleh rotasi bumi
pada sumbunya. Sebagaimana diketahui bahwa kecepatan rotasi yang terjadi
pada bola bumi akan semakin cepat ke arah ekuator.
Pada gambar 2.2 diperlihatkan prinsip-prinsip dari pergerakan
lempeng bumi, dimana pada bagian kutub (Euler pole) masuk kedalam
lingkaran besar sedangkan ke arah ekuator masuk kedalam lingkaran kecil.
10
Interaksi antar lempeng dapat saling mendekat (subduction), saling menjauh
dan saling berpapasan (strike slip fault).
Gambar 2.2 Prinsip-prinsip pergerakan lempeng (Noor, D 2009).
2.1.2 Pergerakan Lempeng Tektonik
Lempeng tektonik merupakan lapisan litosfer bumi yang sifatnya
kaku, tegar, dan elastis. Akibat dari sifat kekakuan dan ketegarannya ini,
lempeng tektonik memiliki bentuk yang terpecah-pecah dan hal tersebut
menyebabkannya tidak mampu mempertahankan diri dari usikan atau
getaran bumi yang berlangsung secara terus-menerus. Faktor penyebab
bergeraknya lempeng tektonik ini ialah adanya arus konveksi panas di
dalam selubung atau mantel bumi.
Energi panas bumi tidak tetap tersimpan di dalam bumi, melainkan
dapat mendesak keluar sepanjang waktu. Energi panas bumi tersebut terus
bergerak di dalam mantel bumi dan ketika tekanan yang dimilikinya
11
mencapai pada titik maksimumnya, maka energi tersebut berusaha untuk
segera keluar dari mantel bumi menuju atenosfer dan terus bergerak
sehingga menggerakan lapisan litosfer yang terapung di atas astenosfer.
Berdasarkan tipe pergerakan lempeng tektonik di perbatasan
lempeng, lempeng tektonik dibagi menjadi tiga:
1. Batas Konvergen
Batas konvergen adalah batas antar lempeng yang saling bertumbukan.
Batas lempeng konvergen dapat berupa batas Subduksi (Subduction) atau
Obduksi (Obduction).
a. Batas subduksi adalah batas lempeng yang berupa tumbukan lempeng
dimana salah satu lempeng menyusup ke dalam perut bumi dan
lempeng lainnya terangkat ke permukaan. Contoh batas lempeng
konvergen dengan tipe subduksi adalah Kepulauan Indonesia sebagai
bagian dari lempeng benua Asia Tenggara dengan lempeng Samudera
Hindia–Australia di sebelah selatan Sumatera-Jawa-NTB dan NTT.
Batas kedua lempeng ini berupa suatu zona subduksi yang terletak di
laut yang berbentuk palung (trench) yang memanjang dari Sumatera,
Jawa, hingga ke Nusa Tenggara Timur. Contoh lainnya adalah
kepulauan Philipina, sebagai hasil subduksi antara lempeng Samudra
Philipina dengan lempeng Samudera Pasifik.
b. Obduksi (Obduction) adalah batas lempeng yang merupakan hasil
tumbukan lempeng benua dengan benua yang membentuk suatu
rangkaian pegunungan. Contoh batas lempeng tipe obduksi adalah
12
pegunungan Himalaya yang merupakan hasil tumbukan lempeng Benua
India dengan lempeng Benua Eurasia.
Gambar 2.3 Batas konvergen subduksi dengan penunjaman
lempeng samudera (Skinner dan Porter, 1995)
2. Batas Divergen
Batas divergen adalah batas antar lempeng yang saling menjauh satu
dan lainnya. Pemisahan ini disebabkan karena adanya gaya tarik (tensional
force) yang mengakibatkan naiknya magma kepermukaan dan membentuk
material baru berupa lava yang kemudian berdampak pada lempeng yang
saling menjauh. Contoh yang paling terkenal dari batas lempeng jenis
divergen adalah Punggung Tengah Samudera (Mid Oceanic Ridges) yang
berada di dasar Samudera Atlantik, di samping itu contoh lainnya adalah
rifting yang terjadi antara Benua Afrika dengan Jazirah Arab yang
membentuk Laut Merah.
13
Gambar 2.4 Pertemuan lempeng divergen (Skinner dan Porter, 1995)
3. Batas Transform
Batas transform adalah batas antar lempeng yang saling berpapasan dan
saling bergeser satu dan lainnya menghasilkan suatu sesar mendatar jenis strike
slip fault. Contoh batas lempeng jenis transform adalah patahan San Andreas di
Amerika Serikat yang merupakan pergeseran lempeng Samudera Pasifik
dengan lempeng Benua Amerika Utara.
Gambar 2.5 Batas lempeng transform (Skinner dan Porter, 1995)
14
2.1.3 Sesar (Fault)
Sesar (fault) adalah satu bentuk rekahan pada lapisan batuan bumi yg
menyebabkan satu blok batuan bergerak relatif terhadap blok yang lain.
Pergerakannya bisa relatif turun, relatif naik, ataupun bergerak relatif
mendatar terhadap blok yg lain (Billings,1954:124). Pergerakan yang secara
tiba-tiba dari suatu patahan atau sesar bisa mengakibatkan gempa bumi.
Sesar (fault) merupakan bidang rekahan atau zona rekahan pada batuan yang
sudah mengalami pergeseran (Williams, 2004). Sesar terjadi sepanjang
retakan pada kerak bumi yang mengalami slip diantara dua sisi yang
terdapat pada sesar tersebut (Williams, 2004). Beberapa istilah yang dipakai
dalam analisis sesar antara lain:
a. Jurus sesar (strike of fault) adalah arah garis perpotongan bidang sesar
dengan bidang horisontal dan biasanya diukur dari arah utara.
b. Kemiringan sesar (dip of fault) adalah sudut yang dibentuk antara
bidang sesar dengan bidang horisontal, diukur tegak lurus strike.
c. Net slip adalah pergeseran relatif suatu titik yang semula berimpit pada
bidang sesar akibat adanya sesar.
d. Rake adalah sudut yang dibentuk oleh net slip dengan strike slip
(pergeseran horisontal searah jurus) pada bidang sesar.
Dalam penjelasan sesar, digunakan istilah hanging wall dan foot wall
sebagai penunjuk bagian blok badan sesar. Hanging wall merupakan bagian
tubuh batuan yang relatif berada di atas bidang sesar. Foot wall merupakan
bagian batuan yang relatif berada di bawah bidang sesar.
15
Gambar 2.6 Hanging wall dan foot wall
1. Ciri-ciri Sesar
Secara garis besar, sesar dibagi menjadi dua, yaitu sesar tampak dan
sesar buta (blind fault). Sesar tampak adalah sesar yang mencapai
permukaan bumi sedangkan sesar buta adalah sesar yang terjadi di bawah
permukaan bumi dan tertutupi oleh lapisan seperti lapisan sedimen.
Pengenalan sesar di lapangan biasanya cukup sulit. Beberapa
kenampakan yang dapat digunakan sebagai penunjuk adanya sesar antara
lain :
a. Adanya struktur yang tidak menerus (lapisan terpotong dengan tiba-
tiba)
b. Adanya perulangan lapisan atau hilangnya lapisan batuan.
c. Kenampakan khas pada bidang sesar, seperti cermin sesar, gores
garis.
16
d. Kenampakan khas pada zona sesar, seperti seretan (drag), breksi
sesar, horses, atau lices, milonit.
e. Silisifikasi dan mineralisasi sepanjang zona sesar.
f. Perbedaan fasies sedimen.
g. Petunjuk fisiografi, seperti gawir (scarp), scarplets (piedmont
scarp), triangularfacet, dan terpotongnya bagian depan rangkaian
pegunungan struktural.
h. Adanya boundins : lapisan batuan yang terpotong-potong akibat
sesar
2. Jenis-jenis Sesar
Berdasarkan arah gerak dan pergeserannya ada beberapa jenis sesar,
yakni:
A. Sesar mendatar atau geser yakni sesar yang gerakannya mendatar,
tidak terjadi pergerakan naik atau turun pada sesar. Sesar geser biasa
disebut strike slip fault. Sesar ini terbagi dua yaitu :
1) Right lateral yaitu gerak sesar mendatar yang searah dengan
jarum jam.
2) Left lateral yaitu gerak sesar mendatar yang berlawanan dengan
arah jarum jam.
B. Sesar tidak mendatar yakni arah gerak sesar atau vertikal atau
miring, sesar ini ada tiga macam yaitu :
17
1) Sesar Normal / Sesar Turun (Extention Faulth)
Sesar normal dikenali juga sebagai sesar gravitasi, dengan gaya
gravitasi sebagai gaya utama yang menggerakannya. Ia juga
dikenali sebagai sesar ekstensi (Extention Faulth) sebab ia
memanjangkan perlapisan, atau menipis kerak bumi. Sesar
normal juga dikaitkan dengan sesar tumbuh (growth fault),
dengan pengendapan dan pergerakan sesar berlaku serentak.
Pada permukaan bumi, sesar normal juga jarang sekali berlaku
secara bersendirian, tetapi bercabang.
Hanging wall relatif turun terhadap foot wall, bidang sesarnya
mempunyai kemiringan yang besar. Sesar ini biasanya disebut juga
sesar turun.
Gambar 2.7 Sesar Normal / Sesar Turun (Extention Faulth)
Patahan atau sesar turun adalah satu bentuk rekahan pada
lapisan bumi yang menyebabkan satu blok batuan bergerak
18
relatif turun terhadap blok lainnya. Fault scarp pada bidang
miring imaginer tadi atau dalam kenyataannya adalah
permukaan dari bidang sesar.
2) Sesar naik (reverse fault)
Sesar naik (reverse fault) untuk sesar naik ini bagian hanging
wall-nya relatif bergerak naik terhadap bagian foot wall. Salah
satu ciri sesar naik adalah sudut kemiringan dari sesar itu
termasuk kecil, berbeda dengn sesar turun yang punya sudut
kemiringan bisa mendekati vertikal. Nampak lapisan batuan yg
berwarna lebih merah pada hanging wall berada pada posisi yg
lebih atas dari lapisan batuan yg sama pada foot wall. Ini
menandakan lapisan yg ada di hanging wall udah bergerak
relatif naik terhadap foot wall-nya.
Gambar 2.8 Sesar naik (reverse fault)
19
3) Sesar mendatar (Strike slip fault)
Sesar mendatar (Strike slip fault / Transcurent fault / Wrench
fault) adalah sesar yang pembentukannya dipengaruhi oleh
tegasan kompresi. Posisi tegasan utama pembentuk sesar ini
adalah mendatar sama dengan posisi tegasan minimumnya,
sedangkan posisi tegasan menengah adalah vertikal. Umumnya
bidang sesar mendatar digambarkan sebagai bidang vertikal,
sehingga istilah hanging wall dan foot wall tidak lazim
digunakan di dalam sistem sesar ini. Berdasarkan gerak
relatifnya, sesar ini dibedakan menjadi sinistral (mengiri) dan
dekstral (menganan).
Gambar 2.9 Sesar mendatar (Strike slip fault) (Sumber: Flint
dan Skinner, 1974:295)
20
2.2 Gempa bumi
Gempa bumi adalah peristiwa bergetar atau bergoncangnya bumi
karena pergerakan atau pergeseran batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba
akibat pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Pergerakan tiba-tiba dari
lapisan batuan didalam bumi menghasilkan energi yang dipancarkan ke
segala arah berupa gelombang gempa bumi atau gelombang seismik
sehingga efeknya dapat dirasakan sampai ke permukaan bumi (Sunarjo,
2012) Teori yang menjelaskan bagaimana gempa bumi terjadi atau
mekanisme terjadinya gempa bumi dikenal sebagai “Elastic Rebound
Theory” atau Teori Elastis Pegas (Pawirodikromo, 2012).
Gambar 2.10 Mekanisme gempa bumi
Gambar 2.10 menjelaskan Pada keadaan I menunjukan suatu
lapisan yang belum terjadi perubahan bentuk geologi. Karena di dalam bumi
terjadi gerakan yang terus-menerus, maka akan terdapat stress yang lama
kelamaan akan terakumulasi dan mampu merubah bentuk geologi dari
lapisan batuan. Keadaan II menunjukan suatu lapisan batuan telah mendapat
21
dan mengandung stress dimana telah terjadi perubahan bentuk geologi.
Untuk daerah A mendapat stress ke atas, sedang daerah B mendapat stress
ke bawah.
Proses ini berjalan terus sampai stress yang terjadi (tertahan) di
daerah ini cukup besar untuk merubahnya menjadi gesekan antara daerah A
dan daerah B. Lama kelamaan karena lapisan batuan sudah tidak mampu
lagi untuk menahan stress, maka akan terjadi suatu pergerakan atau
perpindahan yang tiba tiba sehingga terjadilah patahan. Peristiwa
pergerakan secara tiba- tiba ini disebut gempa bumi.
Pada keadaan III menunjukan lapisan batuan yang sudah patah,
karena adanya pergerakan yang tiba-tiba dari batuan tersebut. Garis tebal
vertikal menunjukan patahan atau sesar pada bagian bumi yang padat.
Gerakan perlahan-lahan sesar ini akan berjalan terus, sehingga seluruh
proses diatas akan diulangi lagi dan sebuah gempa akan terjadi lagi setelah
beberapa waktu lamanya, demikian seterusnya. Teori ini dikenal dengan
nama Elastic Rebound Theory.
2.2.1 Klasifikasi Gempa bumi
Menurut Howell (1959), gempa bumi secara umum diklasifikasikan
menjadi tiga macam, yaitu:
a. Gempa bumi tektonik, dimana terjadinya robekan tiba-tiba pada saat
aliran plastik, adanya elastik rebound dan perlipatan
22
b. Gempa bumi gunung api, dimana terjadinya letusan karena adanya
tekanan di bawah permukaan, adanya proses kristalisasi, tension
cracking, instrusi magma, stopping dan stopping flow.
c. Gempa bumi benturan, dimana terjadinya ledakan di permukaan.
Diakibatkan oleh meteor besar yang jatuh ke bumi dan ditandai juga
dengan runtuhnya gua-gua, serta terjadinya longsoran.
Berdasarkan jarak episentrum, gempa bumi dibagi menjadi tiga,
yaitu :
a. Gempa bumi lokal, yaitu jarak episentrumnya kurang dari 10.000 km.
b. Gempa bumi jauh, yaitu jarak episentrumnya sekitar 10.000 km.
c. Gempa bumi sangat jauh, yaitu jarak episentrumnya lebih dari 10.000 km.
Menurut Fowler pada tahun 1990, berdasarkan kedalamannya,
gempa bumi dibagi menjadi tiga yakni:
a. Gempa bumi dangkal (shallow earthquake), memiliki kedalaman fokus
gempa bumi kurang dari 70 km.
b. Gempa bumi sedang (intermedite earthquake), memiliki kedalaman
fokus gempa bumi kurang dari 300 km.
c. Gempa bumi dalam (deep earthquake), memiliki kedalaman fokus gempa
bumi lebih dari 300 km (estimasi sekitar lebih dari 450 km).
23
2.2.2 Parameter Gempa bumi
Menurut Boen dan Sudibyakto pada tahun 2000, parameter gempa
bumi biasanya digambarkan dengan tanggal terjadinya, waktu terjadinya,
koordinat episenter (dinyatakan dengan koordinat garis lintang dan garis
bujur), kedalaman Hiposenter, Magnitude, dan intensitas gempa bumi.
1. Episentrum
Episentrum (epicentre) adalah hasil proyeksi hiposenter ke permukaan
bumi, atau dapat disebut juga sebagai titik di permukaan bumi yang
didapat dengan menarik garis melalui fokus tegak lurus pada permukaan
bumi. Tempat di permukaan bumi yang letaknya terdekat terhadap
hiposentrum. Letak episentrum tegak lurus terhadap hiposentrum, dan
sekitar daerah ini pada umumnya merupakan wilayah yang paling besar
merasakan getaran gempa bumi. Daerah sekitar episentrum yang terhebat
menderita kerusakan akibat gempa bumi dinamakan macroseisme yang
dibatasi oleh suatu garis yang disebut pleistosiste.
2. Hiposenterum Gempa bumi
Hiposentrum (hypocentre) adalah pusat gempa bumi, yaitu tempat
terjadinya perubahan lapisan batuan atau dislokasi di dalam bumi
sehingga menimbulkan gempa bumi. Kebanyakan gempa bumi yang
terjadi pusatnya terletak dekat permukaan bumi pada kedalaman rata-rata
25 km, dan berangsur ke bawah tidak lebih dari 700 km. Gempa bumi
dangkal cenderung lebih kuat dari pada gempa bumi dalam, oleh sebab
itu gempa bumi dangkal lebih banyak menyebabkan kerusakan. Menurut
24
Susilowati pada tahun 2008, getaran yang terjadi di hiposentrum
merambat ke permukaan bumi dengan dua macam gelombang, yaitu :
a. Gelombang longitudinal, atau gelombang primer (P) dengan
kecepatan rambat 7,5–14 km/detik. Gerakannya searah dengan sumber
getaran.
b. Gelombang transversal, atau gelombang sekunder (S) dengan kecepatan
rambat 3,5–7 km/detik. Gerakannya tegak lurus terhadap sumber getaran,
bersifat merusak.
Beberapa wilayah di permukaan bumi yang berjarak sama terhadap
hiposentrum akan merasakan getaran gempa bumi pada saat yang
bersamaan. Garis-garis khayal yang menghubungkan tempat-tempat di
permukaan bumi yang merasakan getaran gempa bumi pada saat yang
sama disebut homoseiste. Sedangkan garis-garis yang menghubungkan
tempat-tempat yang merasakan kekuatan gempa buminya sama,
dinamakan isoseismic atau isoseisme.
3. Waktu terjadinya gempa bumi (Origin Time-OT)
Waktu terjadinya gempa bumi (Origin Time-OT) adalah waktu
terlepasnya akumulasi tegangan (stress) yang berbentuk penjalaran
gelombang gempa dan dinyatakan dalam hari, tanggal, bulan, tahun, jam,
menit, detik dalam satuan UTC (Universal Time Coordinated).
4. Kekuatan Gempa bumi (Magnitude)
Magnitude adalah sebuah besaran yang menyatakan besarnya energi
seismik yang dipancarkan oleh sumber gempa bumi. Besaran ini akan
25
berharga sama, meskipun dihitung dari tempat yang berbeda. Ada
bermacam-macam jenis magnitude gempa bumi, diantaranya adalah:
a. Magnitudo lokal ML (local magnitude)
b. Magnitudo gelombang badan MB (body-wave magnitude)
c. Magnitudo gelombang permukaan MS (surface-wave magnitude)
d. Magnitudo momen MW (moment magnitude)
e. Magnitudo gabungan M (unified magnitude)
Namun diantara kelima jenis magnitudo tersebut, magnitudo lokal
ML atau Magnitude Skala Richter inilah yang paling popular diketahui
oleh masyarakat.
5. Intensitas Gempa bumi
Intensitas gempa bumi adalah ukuran/ cerminan pengaruh goncangan
gempa bumi terhadap tingkat kerusakan sarana dan prasarana. Beberapa
faktor yang mempengaruhi rusaknya sarana dan prasarana adalah
rekayasa bangunan, jarak dari pusat gempa dan sifat batuan. Besarnya
intensitas atau kekuatan gempa bumi diukur dengan suatu alat yang
dinamakan seismograf. Data hasil catatan seismograf yang berupa grafik
dinamakan seismogram. Skala Richter atau Richter Magnitude adalah
metoda kira-kira untuk menentukan besarnya energi yang dilepaskan di
pusat gempa bumi. (Boen dan Sudibyakto, 2000).
26
Tabel 2.1 Magnitudo skala Richter dan Pengaruh yang di
timbulkan
> 3,5 Umumnya tidak terasa, tetapi terekam
3,5-5,4 Seringkali terasa, tetapi jarang mengakibatkan kerusakan
< 6,0 Dapat menyebabkan kerusakan besar pada bangunan yang
kurang kuat dan meliputi daerah yang kecil.
6.1-6.9 Dapat menimbulkan kerusakan pada fisik dan
menimbulkan korban jiwa manusia pada radius sampai
100 kilometer
7.0-7.9 Pada skala ini termasuk gempa bumi besar. Dapat
menyebabkan kerusakan serius pada daerah yang lebih
luas.
> 8 Gempa bumi besar. Dapat menyebabkan kerusakan serius
pada daerah yang meliputi beberapa ratus kilometer
2.3 Gelombang Seismik
Gelombang seismik adalah gelombang elastik yang menjalar ke
seluruh bagian dalam bumi dan melalui permukaan bumi, akibat ada lapisan
batuan yang patah secara tiba-tiba. Gelombang seismik dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu gelombang badan (body-
wave) dan gelombang permukaan (surface wave).
2.3.1 Gelombang Badan (Body Wave)
Gelombang badan adalah gelombang yang menjalar malalui bagian
dalam bumi. Berdasarkan perambatannya gelombang badan dibagi menjadi
dua jenis, yaitu:
1. Gelombang Primer (Gelombang P)
27
Gelombang P merupakan gelombang longitudinal dimana pergerakan
partikel medium yang melewati searah dengan penjalaran gelombangnya.
Gelombang P dapat menjalar dalam segala medium, baik itu padat, cair,
maupun gas. Gelombang P mempunyai kecepatan paling tinggi diantara
gelombang lainnya dan tiba paling awal tercatat pada seismogram.
Gelombang P mempunyai kecepatan antara 7-14 km/detik. Persamaan
dari kecepatan gelombang P adalah sebagai berikut:
√
(2.1)
Dimana: ,
Gambar 2.11 Penjalaran gelombang P (Elnashai dan Sarno, 2008)
2. Gelombang Sekunder (Gelombang S)
Gelombang S merupakan gelombang tranversal dimana arah pergerakan
partikelnya tegak lurus terhadap arah penjalaran gelombangnya.
Gelombang S tiba kedua setelah gelombang P. Gelombang ini dapat
dipecah menjadi dua komponen, yaitu:
28
a. Gelombang SV adalah gelombang s yang gerakan partikelnya
terpolarisasi pada bidang vertikal
b. Gelombang SH adalah gelombang s yang gerakan partikelnya
terpolarisasi pada bidang horizontal.
Gambar 2.12 Penjalaran gelombang S (Elnashai dan Sarno, 2008)
2.3.2 Gelombang Permukaan (Surface Wave)
Gelombang permukaan merupakan salah satu gelombang seismik
selain gelombang badan. Gelombang ini ada pada batas permukaan medium.
Berdasarkan pada sifat gerakan partikel media elastik, gelombang
permukaan merupakan gelombang yang kompleks dengan frekuensi yang
rendah dan amplitudo yang besar, yang menjalar akibat adanya efek free
survace dimana terdapat perbedaan sifat elastik (Susilawati, 2008).
Jenis dari gelombang permukaan ada dua yaitu gelombang Reyleigh
dan gelombang Love. Gelombang Reyleigh merupakan gelombang
permukaan yang Orbit gerakannya tegak lurus dengan permukaan dan arah
penjalarannya. Gelombang jenis ini adalah gelombang permukaan yang
29
terjadi akibat adanya interferensi antara gelombang tekan dengan
gelombang geser secara konstruktif.
Persamaan dari kecepatan gelombang Reyleigh adalah sebagai berikut:
√ (2.2)
Gambar 2.13 Penjalaran gelombang Reyleigh (Elnashai dan Sarno, 2008)
Gelombang Love merupakan gelombang permukaan yang menjalar
dalam bentuk gelombang transversal yang merupakan gelombang S
horizontal yang penjalarannya paralel dengan permukaannya (Gadallah and
Fisher, 2009).
Gambar 2.14 Penjalaran gelombang Love (Elnashai dan Sarno, 2008)
30
2.4 Sesar Aktif di Jawa Bagian Barat
Berdasarkan hasil penafsiran foto udara dan citra indraja (citra
landsat) daerah Jawa Barat, diketahui adanya banyak kelurusan bentang
alam yang diduga merupakan hasil proses pensesaran. Jalur sesar tersebut
umumnya berarah barat-timur, utara-selatan, timurlaut-baratdaya dan
baratlaut-tenggara. Secara regional struktur sesar berarah timurlaut-
baratdaya dikelompokan sebagai Pola Meratus, sesar berarah utara-selatan
dikelompokan sebagai Pola Sunda dan sesar berarah barat-timur
dikelompokan sebagai Pola Jawa. Struktur sesar dengan arah barat-timur
umumnya berjenis sesar naik, sedangkan struktur sesar dengan arah lainnya
berupa sesar mendatar. Sesar normal umum terjadi dengan arah bervariasi.
Dari sekian banyak struktur sesar yang berkembang di Jawa Barat,
ada tiga struktur regional yang memegang peranan penting, yaitu Sesar
Cimandiri, Sesar Baribis dan Sesar Lembang. Ketiga sesar tersebut untuk
pertama kalinya diperkenalkan oleh van Bemmelen (1949) dan diduga
ketiganya masih aktif hingga sekarang. Sesar Cimandiri merupakan sesar
paling tua (umur Kapur), membentang sepanjang 100 km mulai dari Teluk
Pelabuhanratu, Sukabumi menerus ke timur melalui Lembah Cimandiri,
Cipatat-Rajamandala, Gunung Tangkubanprahu-Burangrang dan diduga
menerus ke timur laut menuju Subang. Secara keseluruhan, jalur sesar ini
berarah timurlaut-baratdaya dengan jenis sesar mendatar hingga oblique
(miring). Oleh Martodjojo dan Pulunggono (1986), sesar ini dikelompokan
sebagai Pola Meratus.
31
Gambar 2.15 Peta segmen sesar aktif Cimandiri (PuSGen, 2017)
Gambar 2.16 Segmen sesar aktif Cimandiri yang terekum dalam Peta Gempa
Nasional 20017 (PuSGen, 2017)
Beberapa sesar utama di Jawa bagian barat yang sudah banyak
diketahui juga adalah, Sesar Baribis-Citanduy dan Sesar Lembang. Sesar
Baribis yang letaknya di bagian utara Jawa merupakan sesar naik dengan
32
arah relatif barat-timur, membentang mulai dari Purwakarta hingga ke
daerah Baribis di Kadipaten-Majalengka (Bemmelen, 1949). Bentangan
jalur sesar Baribis dipandang berbeda oleh peneliti lainnya. Martodjojo
(1984), menafsirkan jalur sesar naik Baribis menerus ke arah tenggara
melalui kelurusan Lembah Sungai Citanduy, sedangkan oleh Simandjuntak
(1986), ditafsirkan menerus ke arah timur hingga menerus ke daerah
Kendeng (Jawa Timur). Penulis terakhir ini menamakannya sebagai
“Baribis-Kendeng Fault Zone”. Secara tektonik sesar Baribis mewakili
umur paling muda di Jawa, yaitu pembentukannya terjadi pada periode Plio-
Plistosen. Selanjutnya oleh Martodjojo dan Pulunggono (1986), sesar ini
dikelompokan sebagai Pola Jawa.
Dan yang selanjutnya adalah Sesar Lembang, Sesar Lembang yang
letaknya di utara Bandung, membentang sepanjang kurang lebih 30 km
dengan arah barat-timur. Sesar ini berjenis sesar normal (sesar turun)
dimana blok bagian utara relatif turun membentuk morfologi pedataran
(pedataran Lembang). Van Bemmelen (1949), mengkaitkan pembentukan
sesar Lembang dengan aktifitas Gunung Sunda (G. Tanggubanprahu
merupakan sisa-sisa dari Gunung Sunda), dengan demikian struktur sesar ini
berumur relatif muda yaitu Plistosen. Sesar ini merupakan terusan dari
ujung utara sesar Cimandiri. Menurut catatan sejarah, gempa besar pernah
tejadi di sepanjang sesar ini pada tahun 1699, 1834 dan 1900 (Visser, 1922;
Wichmann, 1918). Berdasarkan studi geodesi, Abidin dkk. (2008, 2009)
33
memperkirakan slip rate sesar Lembang sebesar 3-14 mm/th dengan
pergerakan geser sinistral.
Selain itu juga, dibagian selatan Jawa Barat (107.0˚ E,7,2˚S) dekat
sesar Cimandiri sebuah daerah komparasi besar (< -3 mikrostrain/tahun)
telah terjadi. Temuan ini adalah sangat terkait dengan aktivitas sesar di
wilayah ini. (Gunawan, E dan Widiyantoro, 2019) menunjukan bahwa pada
2 September 2009 dengan M = 6.5 Tasikmalaya, Indonesia terjadi gempa
bumi di sepanjang sesar aktif ini dan dinamai sesar Cipamingkis.
2.5 Metode Relokasi Hiposenter Gempa Bumi
Relokasi hiposenter gempa bumi adalah proses melakukan
perhitungan ulang atau mengkoreksi stasiun terhadap posisi hiposenter
gempa bumi menjadi lebh baik dan akurat. Relokasi hiposenter gempa bumi
dapat digunakan untuk melakukan identifikasi tatanan seismotektonik
berdasarkan distribusi gempa bumi yang terjadi. Penentuan hiposenter
gempa bumi umumnya menggunakan metode penentuan hiposenter tunggal
yang dimana masih mengandung kesalahan akibat struktur kecepatan yang
tidak termodelkan (Soehaimi, 2008). Ada beberapa metode relokasi
hiposenter gempa bumi yang sudah banyak digunakan, diantaranya adalah
metode Joint Hypocenter Determination (JHD), Modified Joint Hypocenter
Determination (MJHD) dan Metode Double Difference. Pada penelitian ini
metode relokasi yang digunakan adalah metode Double Difference.
34
2.5.1 Metode Joint Hypcenter Determination (JHD)
Metode JHD digunakan untuk memperbaiki lokasi gempa bumi yang
dimana esensi dari metode JHD adalah memperhitungkan adanya kesalahan
yang disebabkan oleh digunakannya model kecepatan bumi yang terlalu
sederhana (Kwang Hee Kim, 2005), yaitu dengan merelokasi suatu cluster
gempa bumi secara simultan dan dengan melakukan koreksi stasiun. Metode
JHD ini pertama kali dikembangkan oleh Douglas pada tahun 1967. Metode
JHD menggunakan metode Geiger untuk menentukan jarak hypocenter pada
medium yang heterogen. Sementara metode Geiger menggunakan Gauss-
Newton untuk menentukan lokasi gempa bumi atau event seismic. Metode
ini sebetulnya dibuat untuk menentukan origin time dan epicenter,
kemudian dikembangkan lagi untuk menentukan focal depth dan hypocenter
(Putri, 2012)
Data arrival time sebanyak n, digunakan untuk menentukan
orogin time dan hypocenter dalam koordinat cartesian dengan
fungsi:
∑
(2.3)
adalah residu dari observed dan calculated travel times.
(2.4)
Calculated travel times:
√ (2.5)
35
Parameter yang tidak diketahui adalah :
(2.6)
Persamaan least square untuk inversi linear :
[ ] (2.7)
Jacobian A :
[
⁄
⁄
⁄
⁄
⁄
⁄
⁄
⁄
]
(2.8)
Trial hypocenter (2.9)
Corrected hypocenter (2.10)
Metode Geiger di atas kemudian dikembangkan menjadi persamaan untuk
metode Joint Hypocenter Determination (JHD), yaitu :
(2.11)
Dimana :
( ) (2.12)
Keterangan :
M = event yang tercatat
N = jumlah stasiun pencatat
36
= waktu tiba yang dicatat
= waktu tiba berdasarkan model kecepatan 1-D
= estimasi permulaan orogin time dari gempa bumi j
= waktu penjalaran yang dihitung dari gempa bumi j dengan estimasi
lokasi ke stasiun i.
= koreksi stasiun untuk stasiun i.
= gangguan dari orogin time untuk gempa bumi j.
2.5.2 Modified Joint Hypcenter Determination (MJHD)
MJHD merupakan metode untuk merelokasi hiposenter gempa bumi
yang dikembangkan oleh Hurukawa dan Imoto pada tahun 1990 dan 1992
untuk area lokal dan 1995 untuk area global. Parameter gempa bumi yang
akan berubah adalah lintang dan bujur gempa bumi, waktu terjadinya gempa
bumi, akan tetapi perubahan yang signifikan akan terjadi pada kedalaman
hiposenter gempa bumi. Metode ini merupakan pengembangan dari metode
relokasi yang sudah ada sebelumnya yaitu metode Joint Hypcenter
Determination (JHD).
Hurukawa dan Imoto kemudian mengembangkan metode Modified
Joint Hypocenter Determination (MJHD) untuk merelokasi gempa bumi
local, dimana koreksi stasiun yang digunakan tidak bergantung pada jarak
azimuth antara pusat daerah study dengan stasiun yang digunakan, sehingga
memperbaiki stabilitas metode ini (Hurukawa, 1995).
37
Persamaan yang digunakan dalam penentuan hypocenter adalah :
( )
(2.13)
Dimana dan adalah waktu tiba dan arrival time yang dihitung dari
event sejumlah j pada stasiun sejumlah i, adalah koreksi stasiun pada
stasiun ke i, adalah waktu terjadi gempa, O adalah travel time yang
diamati (observed travel time), C adalah waktu travel time yang dihitung
(calculated travel time), adalah residu travel time pada event ke-j
di stasiun i, dx, dy, dz dan adalah koreksi untuk hypocentre percobaan
dari event ke-j.
Pada MJHD ditambahkan dua prior, yaitu prior terhadap kedalaman
dan prior terhadap epicenter.
Prior terhadap kedalaman membuat koreksi stasiun tidak bergantung pada
jarak antara pusat studi dengan stasiun yang digunakan.
∑ (2.14)
Prior terhadap epicenter membuat koreksi stasiun tidak bergantung pada
azimuth antara pusat studi dengan stasiun yang digunaka.
∑ ∑
∑ (2.15)
Dimana adalah koreksi stasiun di stasiun i, adalah jarak antara stasiun i
dan pusat daerah, adalah azimuth stasiun i dari pusat daerah dan n jumlah
staiun
38
2.5.3 Metode Double Difference
Metode Double Difference (DD) merupakan salah satu metode
relokasi hiposenter relatif yang pertama kali diperkenalkan oleh Felix
Waldhauser dan Ellsworth pada tahun 2000 dan implementasi dari metode
ini adalah software hypoDD versi 1.0-03/2001 yang dibuat untuk
memudahkan perhitungan relokasi hiposenter (USGS, 2001). Dalam
melakukan relokasi hiposenter gempa bumi menggunakan metode Double
Difference ada dua program penting yang harus perhatikan yaitu ph2dt dan
hypoDD.
Prinsip dari metode ini adalah jika jarak antara dua gempa bumi
yang dipasangkan relatif lebih kecil dibandingkan jarak antara stasiun
pengamatan ke masing-masing gempa bumi yang dipasangkan, maka
raypath dan waveform dari kedua gempa bumi tersebut dapat dianggap
sama. Dengan asumsi ini, selisih waktu tempuh antara kedua gempa bumi
yang terekam pada stasiun yang sama dapat dianggap sebagai fungsi jarak
antara kedua hiposenter. Sehingga kesalahan model kecepatan dapat
diminimalkan tanpa menggunakan koreksi stasiun (Waldhauser dan
Ellsworth, 2000).
Syarat utama dari metode Double Difference yaitu jarak antara dua
hiposenter gempa bumi yang akan direlokasi harus lebih kecil daripada jarak
antara masing-masing hiposenter terhadap stasiun. Namun metode ini pada
perhitungannya tidak membutuhkan gempa bumi utama (master event)
39
sehingga dapat digunakan untuk merelokasi gempa bumi dalam jumlah yang
besar sekaligus dengan sebaran jarak hiposenter yang besar pula.
Gambar 2.17 Ilustrasi dari algoritma metode Double Difference. Gempa i
dan j direlokasi bersama terhadap stasiun k (Waldhauser dan
Ellsworth, 2000)
Gambar 2.17 menunjukkan ilustrasi relokasi hiposenter. Lingkaran
hitam dan putih menunjukkan sebaran hiposenter yang dihubungkan oleh
gempa dengan menggunakan data korelasi silang (garis tegas) atau data
katalog (garis putus-putus). Pada gambar diatas, gempa i dan j yang
ditunjukkan dengan lingkaran putih terekam pada stasiun yang sama (k dan
l) dengan selisih waktu tempuh dan posisi dua event tersebut jaraknya jauh
lebih kecil dibandingkan jarak dua event ke dua stasiun pencatat gempa, hal
tersebut menyebabkan ray path cendrung sama. Arah panah Δxi dan Δxj
menunjukkan vektor relokasi gempa.
Algoritma Double Difference berusaha meminimalkan perbedaan
waktu tempuh residual untuk pasangan gempabumi pada stasiun yang sama
sehingga didapatkan hasil relokasi yang bebas dari kesalahan waktu tempuh
40
yang berkaitan dengan struktur kecepatan, namun masih menyisakan
kesalahan acak (random error) yang terdapat pada lokasi awal. Untuk
meminimalisir akibat dari kesalahan tersebut, maka diperlukan ketelitian
dalam pembacaan waktu tiba antara pasangan hiposenter yang akan
direlokasi.
Residual time antara observasi dan kalkulasi didefinisikan sebagai
perbedaan waktu tempuh observasi dan kalkulasi antara dua event gempa
yang dituliskan dalam persamaan:
(
)
(
)
(2.16)
Persamaan di atas didefinisikan sebagai persamaan double-difference,
dimana :
(
)
merupakan residual waktu tempuh pengamatan dari sumber
ke-i dan sumber ke-j ke penerima k.
(
)
merupakan residual waktu tempuh kalkulasi dari sumber ke-i
dan sumber ke-j kepenerima k.
Dimana:
: waktu tempuh residual dari dua gempa bumi i dan j di stasiun
pengamat k.
: dua hiposenter yang saling berdekatan
k dan l : dua stasiun yang merekam kedua kejadian gempa bumi
: waktu tempuh gempa bumi i ke stasiun k
: waktu tempuh gempa bumi j ke stasiun k
41
: waktu tempuh observasi (yang terekam oleh stasiun penerima)
: waktu tempuh kalkulasi
42
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Desember
2018 di Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BBMKG)
Wilayah II, Tangerang Selatan.
3.2 Daerah Penelitian
Dalam penelitian ini batasan wilayah yang digunakan yakni 106,68˚
BT –107,17˚ BT dan 6,89˚ LS –7,51˚ LS dengan kejadian gempa bumi dari
tanggal 26 Agustus 2014 sampai 26 Januari 2018.
Gambar 3.1 Peta daerah penelitian di tunjukan dengan kotak
berwarna kuning
43
3.3 Data Penelitian
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data arrival time
gempa bumi yang bersumber dari katalog Balai Besar Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BBMKG) Wilayah II Tangerang Selatan.
Untuk gempa bumi di wilayah Cianjur-Sukabumi, Jawa Barat ini
merupakan gempa bumi dangkal dengan batasan kedalaman 0-30 km.
Seluruh kejadaian gempa bumi berjumlah 96 data, yakni dari tanggal 26
Januari 2014 sampai 14 Agustus 2018 dengan parameter waktu kejadian
gempa bumi lintang, bujur, kedalaman, magnitudo dan waktu tiba
gelombang yang tercatat disetiap stasiun pengamat gempa.
Studi relokasi ini juga menggunakan data pendukung berupa data
koordinat stasiun pengamat gempa bumi yang digunakan, serta data
kecepatan gelombang P tiap lapisan, model kecepatan yang digunakan
adalah AK135.
Gambar 3.2 Sebaran 18 stasiun pencatat gempa bumi yang digunakan
44
Tabel 3.1 Model kecepatan gelombang P AK135 tiap lapisan.
Kedalaman
(km)
Kecepatan
Gelombang P
(km/s)
-3.0 1.45
3.0 1.65
3.3 5.80
10.0 6.80
18.0 8.03
43.0 8.03
80.0 8.04
120.0 8.05
165.0 8.17
3.4 Perangkat Lunak Pengolahan Data
Studi relokasi ini, secara khusus tidak digunakan peralatan fisik,
melainkan menggunakan beberapa perangkat lunak (software) yang
digunakan untuk mengolah data penelitian, yakni:
1. Phyton 3.7 : Perangkat lunak yang digunakan untuk merubah format
data katalog gempa bumi BMKG (*.txt) menjadi data input untuk
program ph2dt (*.pha).
2. HypoDD versi 1.0-03/2001 : Perangkat lunak utama yang digunakan
untuk merelokasi gempa bumi menggunakan metode Double
Difference. Program ini berjalan di bawah terminal linux atau pada
windows menggunakan terminal Cygwin.
45
3. Cygwin versi 1.7.5-1 : Perangkat lunak yang digunakan untuk
merunning file ph2dt.inp dan hypoDD.inp.
4. Generic Mapping Tool (GMT) versi 5.1.0 : Perangkat lunak yang
digunakan untuk membuat peta seismisitas dan inversi vertical (cross
section) di daerah penelitian sebelum dan sesudah direlokasi.
5. Notepad++ : Perangkat lunak yang digunakan untuk mengubah
parameter pada file ph2dt.inp dan hypoDD.inp agar sesuai dengan data
yang dibutuhkan.
6. Ms. Excel 2010 : Perangkat lunak yang digunakan untuk memilih data
kejadian gempa berdasarkan kedalaman, sehingga data ini akan
dijadikan input untuk membuat grafik perbandingan jumlah kejadian
gempa sebelum dan sesudah direlokasi berdasarkan kedalamanya.
7. MATLAB R2014a versi 8.5 : Perangkat lunak yang digunakan untuk
membuat grafik perbandingan jumlah kejadian gempa berdasarkan
kedalaman, untuk membuat histogram residual waktu tempuh sebelum
dan sesudah direlokasi, serta untuk membuat diagram rose dan kompas.
3.5 Proses Pengolahan Data
Proses pengolahan data pada penelitian ini yaitu menggunakan
metode relokasi relatif hiposenter Double Difference. Metode ini digunakan
untuk mendapatkan lokasi hiposenter gempa bumi secara lebih akurat
sehingga dapat merepsentasikan dengan lebih baik kodisi tektonik di daerah
penelitian. Berikut adalah tahapan-tahapan pengolahan datanya:
46
3.5.1 Pemilihan Data
Dilakukan pemilihan data input terbaik pada data kejadian gempa
bumi yang diperoleh dari katalog BMKG berdasarkan kedalaman .
Dalam penelitian ini juga digunakan 18 data stasiun pengamat gempa bumi,
yaitu : BLSI, KASI, CGJI, SBJI, TNG, DBJI, CBJI, SKJI, CNJI, LEM,
JCJI, BBJI, CMJI, KPJI, CTJI, SCJI, BJI, XMIS. Data 96 kejadian gempa
ini masih data katalog BMKG dengan format (*.txt), sehingga harus dirubah
format datanya menjadi data input program ph2dt (*.pha) dengan
menggunakan program Phyton.
Gambar 3.3 Data Katalog Gempa bumi BMKG (*.txt) Pada Notepad++
3.5.2 Relokasi Hiposenter Gempabumi Menggunakan Metode Double
Difference
Data gempa bumi yang didapat dari katalog BMKG kemudian
direlokasi dengan metode Double Difference menggunakan software
47
hypoDD versi 1.0-03/2001. Hal yang penting dalam penggunaan hypoDD
adalah program Ph2dt dan hypoDD. Pada prinsipnya, program hypoDD
memiliki tahapan-tahapan dalam melakukan relokasi hiposenter gempa
bumi yaitu sebagai berikut:
1. Proses merubah data arrival time gempa bumi dari format data BMKG
(*.txt) menjadi format data hypoDD (*.pha) dengan menggunakan program
phyton. Output dari program ini adalah Datagempa_cianjur_30km.pha.
Gambar 3.4 Data Gempa bumi Format hypoDD (*.pha) Pada Notepad++ Setelah
dirubah menggunakan program Phyton.
2. Proses pembentukan dan pengelompokan gempa bumi yang saling
berkaitan, serta mengitung waktu tempuh gempa bumi yang tercatat pada
stasiun yang sama. Proses ini dilakukan di program ph2dt dengan
memberikan input file data stasiun (stasiuun.dat) dan data fase gempabumi
48
yang akan direlokasi (Datagempa_cianjur_30km.pha) ke dalam file
ph2dt.inp.
Gambar 3.5 File ph2dt.inp sebagai input parameter dalam ph2dt
Running file ph2dt.inp pada terminal Cygwin, maka akan muncul tampilan
seperti pada Gambar 3.5. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dari tampilan
tersebut, yakni „outliers‟ dan „weakly linked events‟. Semakin kecil nilai
presentase outliers-nya maka semaki bagus data yang dimiliki. Begitu juga
dengan „weakly linked events‟, semakin kecil nilai presentasenya maka
error-nya akan semakin kecil.
Akan tetapi, jika setelah running dan nilai presentasenya masih
besar, maka harus mengedit kembali file ph2dt.inp. Pada umumnya, jika
nilai presentase pada „weakly linked events‟ besar maka yang perlu dirubah
adalah MAXSEPT (jarak maksimum antar event) serta MAXDIST (jarak
antar gempa/pasangan gempa ke stasiun) pada file ph2dt.inp.
49
Gambar 3.6 File ph2dt.inp yang telah selesai di running di terminal Cygwin
Output dari program ini adalah :
a. Dt.ct : data waktu tempuh gempa bumi yang saling terhubung
dan tercatat pada stasiun yang sama.
b. Even.dat : data informasi mengenai parameter gempa bumi hasil
pengolahan di ph2dt.
c. Ph2dt.log : laporan hasil proses ph2dt.
Output dari program ph2dt inilah yang akan digunakan sebagai input
pada program hypoDD.
50
3. Proses pengelompokan gempa bumi yang saling berkaitan pada jarak yang
telah ditentukan (clustering) dan mengolah data parameter hasil ph2dt
dengan algoritma Double Difference. Program ini pada dasarnya merupakan
program inversi dimana program ini terus melakukan iterasi sesuai dengan
yang diinginkan dan akan berhenti sampai hasilnya mendekati kesetabilan.
Input untuk program hypoDD adalah data parameter hasil ph2dt yaitu dt.ct,
event.dat, stasiun.dat dan model kecepatan AK135.
Gambar 3.7 File hypoDD.inp yang telah selesai di-running di terminal Cygwin
51
Berdasarkan tampilan diatas, terdapat satu parameter yang harus
diperhatikan, yakni nilai CND. Untuk menghasilkan data yang baik, batasan
nilai CND harus berada pada rentan 40-80. Jika setelah dirunning nilai CND
nya tinggi, maka nilai DAMP pada file hypoDD.inp harus ditambah
nilainya, dan sebaliknya jika nilai CND nya rendah atau dibawah batasan
nilai (40-80), maka nilai DAMP pada file hypoDD.inp harus dikurangi
nilainya.
Output dari program hypoDD adalah :
a. hypoDD.loc : data parameter-parameter gempa bumi sebelum
direlokasi.
b. hypoDD.reloc : data parameter-parameter gempa bumi sesudah
direlokasi.
c. hypoDD.sta : data residual stasiun dan banyak Phase yang
terekam oleh stasiun.
d. hypoDD.res : data residual waktu tempuh yang diperoleh dari
hasil pengolahan pada iterasi terakhir.
3.5.3 Histogram Residual
Histogram residual waktu tempuh digunakan untuk mengukur hasil
relokasi di daerah Cianjur-Sukabumi menggunakan metode double
difference. Dengan melihat histogram residual dapat diketahui apakah hasil
yang diperoleh sudah benar atau tidak. Histogram residual sendiri
merupakan perbedaan antara waktu tempuh gelobamng P hasil pengamatan
dan perhitungan. Histogram frekuensi residual time waktu tempuh ini dibuat
52
dengan satuan (milli deteik), dan pembuatannya dilakukan menggunakan
software MATLAB R2014a.
3.5.4 Plotting Pemetaan Hasil Relokasi Hiposenter
Setelah dilakukan proses pengolahan data menggunakan software
HypoDD, maka didapat hasil longitude, latitude, dan depth yang baru.
Data-data ini kemudian digunakan untuk dipetakan menggunakan software
Generic Mapping Tool (GMT) dan dibandingkan dengan hiposenter
sebelum relokasi. Plotting data gempa ini menunjukan sebaran lokasi
episenter gempa bumi sebelum dan sesudah direlokasi di daerah penelitian.
3.5.5 Pembagian Segmen Irisan Penampang Vertikal (Cross Section)
Setelah dilakukan plotting hasil relokasi hiposenter, kemudian
dilakukan irisan penampang vertikal (cross section) yang dibuat tegak lurus
terhadapa trench untuk meliat sebaran hiposenter dari data gempa bumi
sesudah direlokasi dan mengetahui bidang patahannya. Dalam hal ini daerah
penelitian dibagi menjadi dua segmen irisan penampang vertikal. Segmen-
segmennya yaitu segmen A-A’ dan segmen B-B’. Untuk plotting data tiap-
tiap segmen dilakukan dengan menggunakan software Generic Mapping
Tool (GMT). Data input yang perlu disiapkan untuk membuat peta irisan
penampang vertikal (cross section) adalah koordinat (A-A’) dan (B-B’),
panjang cross section (A-A’) dan (B-B’) dan paling utama menyiapkan data
gempa bumi yang ingin di cross section.
53
3.6 Diagram Alir Pengolahan Data
a. Pra Pengolahan
Gambar 3.8 Diagram Alir Pra Pengolahan
54
b. Relokasi Hiposenter
Gambar 3.9 Diagram alir relokasi hiposenter
55
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Relokasi Hiposenter Gempa bumi
Dalam melakukan proses pengolahan data dengan menggunakan
software hypoDD digunakan prinsip trial and error. Untuk mendapatkan
posisi hiposenter yang lebih akurat diberikan beberapa input pada program
hypoDD supaya menghasilkan kriteria parameter yang sesuai dengan hasil
yang di harapkan. Penelitian ini menggunakan data kejadian gempa bumi di
daerah (Cianjur-Sukabumi) mulai dari 26 Januari 2014 sampai 14 Agustus
2018. Data kejadian gempa bumi yang digunakan sebanyak 96 kejadian
dengan 18 stasiun pengamat gempa.
Keseluruhan kejadian gempa bumi tersebut, gempa bumi yang
berhasil terelokasi hanya sebanyak 95 event. Hal ini dikarenakan terdapat 1
event yang tidak memenuhi kriteria yang sesuai dengan input yang diberikan
pada program hypoDD. Kriteria tersebut adalah WDCT sebesar 20 km,
jarak maksimum antar pasangan event dengan stasiun pengamat (DIST)
sebesar 1000 km, serta variasi faktor redaman (DAMP) yang nilainya antara
24-26. Sedangkan data weighthing (pembobotan) diberikan nilai 1 untuk
setiap phase gelombang, hal ini dikarenakan semua phase dianggap telah
memiliki kualitas picking yang baik.
Hasil dari relokasi hiposenter gempa bumi setelah diolah
menggunakan hypoDD dengan metode Double Difference didapat
pergeseran posisi baik latitude, longitude, maupun depth dari setiap kejadian
56
gempa bumi. Sebelum direlokasi tampak persebaran hiposenter gempa bumi
seperti yang terdapat pada gambar 4.1
Gambar 4.1 Persebaran episenter gempa bumi sebelum direlokasi
Berdasarkan peta sebaran hiposenter dengan irisan penampang
vertikal sebelum dan sesudah direlokasi, maka akan terlihat perubahan
posisi hiposenter. Dilihat pada gambar 4.2 Sebelum direlokasi, persebaran
hiposenter didominasi berada di kedalaman 10 km dan posisi hiposenter
yang sedikit menyebar, akan tetapi ketika sesudah direlokasi persebaran
hiposenter di kedalaman 10 km berkurang dari sebelumnya atau bisa
dikatakan sebaran hiposenter gempa terlihat lebih bervariasi. Selain itu,
setelah direlokasi juga akan terlihat pergeseran posisi hiposenter yang lebih
mengumpul membentuk satu kluster seperti yang terlihat pada gambar 4.3.
57
Gambar 4.2 Peta sebaran hiposenter gempa bumi sebelum relokasi dengan irisan
penampang vertikal berdasarkan bujur dan lintang
Gambar 4.3 Peta sebaran hiposenter gempa bumi sesudah relokasi dengan irisan
penampang vertikal berdasarkan bujur dan lintang
58
Untuk melihat perubahan posisi hiposenter, dapat juga dilihat dengan
menggunakan diagram kompas dan diagram rose. Diagram kompas
digunakan untuk menunjukan arah dan jarak pergeseran hiposenter gempa,
sedangkan diagram rose digunakan untuk menunjukan arah pergeseran
terbanyak. Dilihat dari diagram kompas, terdapat 9 kejadian gempa bumi
yang berpindah sejauh lebih dari 20 km. Dan dilihat juga dari diagram rose
arah pergesearan kejadian gempa bumi lebih banyak berarah ke utara timur
laut.
Gambar 4.4 Diagram kompas untuk menunjukkan arah dan jarak pergeseran
hipsenter gempa bumi
59
Gambar 4.5 Diagram rose untuk menunjukkan arah pergeseran terbanyak
Perbandingan kedalaman gempa bumi sebelum dan sesudah relokasi
pun dilakukan untuk melihat hasil relokasi gempa bumi di daerah (Cianjur-
Sukabumi). Pada gambar 4.6, terlihat bahwa frekuensi kejadian gempa
sebelum direlokasi pada interval kedalam 0-10 km sangat banyak. Hal ini
disebabkan otomatisasi penentuan kedalaman gempa bumi dengan
perangkat lunak Seiscompi3 yang digunakan BMKG. Apabila hasil analisis
kedalaman tidak terpusat dengan baik, maka software Seiscompi3 secara
otomatis akan membuat kedalaman kejadian gempa bumi pada kedalaman
10 km atau sering dikenal dengan nama fix depth.
60
Gambar 4.6 Grafik perbandingan jumlah kejadian gempa bumi sebelum relokasi
dengan interval 5 km
Gambar 4.7 Grafik perbandingan jumlah kejadian gempa bumi sesudah direlokasi
dengan interval 5 km
Pada gambar 4.7, setelah dilakukan relokasi terlihat bahwa,
perubahan frekuensi kejadian gempa bumi pada interval kedalaman 0-10 km
61
sangat signifikan. Sebelum direlokasi, frekuensi kejadian gempa pada
interval kedalaman 0-10 km (fix depth) berjumlah 79, akan tetapi setelah
direlokasi frekuensi kejadian gempa pada interval kedalaman 0-10 km
hanya berjumlah 2 kejadian gempa. Kejadian gempa yang berkurang
tersebut, mengalami perubahan kedalaman gempa yang lebih dalam yakni
berada pada interval 10-15 km.
4.2 Histogram Residual
Gambar 4.8 menunjukan histogram residual dari waktu tempuh
gelombang P hasil pengamatan dan perhitungan. Gambar 4.8 (a)
menunjukan histogram residual dari katalog BMKG sebelum dilakukan
relokasi, sedangkan gambar 4.8 (b) merupakan histogram residual setelah
dilakukan relokasi menggunakan hypoDD.
Dari kedua histogram tersebut terlihat bahwa nilai residual setelah
direlokasi menggunakan hypoDD lebih banyak mendekati nol dibandingkan
dengan nilai residual sebelum direlokasi. Metode Double Difference mampu
memberikan perbaikan lokasi hiposenter yang signifikan, hal ini
diindikasikan dengan naiknya jumlah residual waktu tempuh mendekati nol,
sebelum relokasi yang berjumlah 140 menjadi 420 setelah dilakukan
relokasi hiposenter.
Hal ini menunjukan bahwa relokasi hiposenter gempa bumi
menggunakan hypoDD memberikan nilai residual yang lebih baik. Namun
demikian, hasil dari hypoDD ini perlu di justifikasi geologi sehingga akan
62
diperoleh penentuan posisi hiposenter gempabumi yang lebih baik dan
akurat.
(a).
(b).
Gambar 4.8 Histogram residual dari waktu tempuh gelombang P hasil
pengamatan dan perhitungan (a) Sebelum dilakukan relokasi dan (b) Setelah dilakukan
relokasi menggunakan HypoDD.
63
4.3 Analisis Sebaran Hiposenter Gempa bumi
Hasil keluaran menggunakan program hypoDD merupakan data
hiposenter yang telah direlokasi. Berdasarkan hasil hiposenter yang telah
terelokasi kemudian dilakukan plotting menggunakan software GMT
(Generic Mapping Tools). Penggunaan software GMT (Generic Mapping
Tools) ini juga digunakan untuk mengetahui cross section dari sebaran
hiposenter sesudah direlokasi. Tujuan dilakukannya cross section adalah
guna melihat konsentrasi sebaran hiposenternya, baik itu lokasi maupun
kedalamannya sehingga dapat diketahui adanya bidang patahan di lapangan.
Pada gambar 4.9, dibuat dua cross section yang terfokus pada sesar
dan daerah subduksi di daerah Cianjur sampai Sukabumi yang merupakan
sumber-sumber utama kejadian gempa bumi. Cross section ini dibagi
menjadi dua segmen, yaitu segmen A-A’ dan segmen B-B’.
Irisan melintang (cross section) segmen A-A’ dibuat berdasarkan
lineasi atau kemenerusan sebaran hiposenter yang membentuk sebuah
kluster dan terlihat pada gambar 4.8, sedangkan segmen B-B’ dibuat tegak
lurus terhadap segmen A-A’.
64
Gambar 4.9 kemenerusan sebaran hiposenter yang membentuk sebuah kluster
Gambar 4.10 Peta dua cross section gempa bumi di Cianjur-Sukabumi
65
4.3.1 Segmen Irisan A-A’
Gambar 4.11 Peta cross section pada segmen A-A’
Gambar 4.11 menunjukan hasil irisan melintang (cross section) pada
segmen A-A’. Gambar 4.11 terlihat perbedaan distribusi kedalaman
hiposenter setelah direlokasi, distribusi kedalaman hiposenter setelah
direlokasi pada segmen A-A’ cenderung lebih tersebar merata dan
didominasi memiliki kedalaman 10 km. Hal ini disebabkan distribusi
hiposenter terhadap kedalaman setelah direlokasi pada segmen A-A’
66
mengalami pergeseran, akan tetapi pergeseran tersebut tidak terlalu
signifikan.
4.3.2 Segmen Irisan B-B’
Gambar 4.12 Peta cross section pada segmen B-B’
Gambar 4.12 menunjukan hasil irisan melintang (cross section)
sebaran hiposenter sesudah direlokasi segmen B-B’. Pada segmen B-B’
distribusi hiposenter terhadap kedalaman lebih dari 5 km membentuk
67
sebuah klaster serta posisi hiposenternya yang lebih mengumpul, disamping
itu lineasi terhadap adanya sesar terlihat lebih jelas yang ditandai dengan
garis putus-putus berwarna biru. Secara umum dari hasil relokasi juga
terlihat adanya pergeseran untuk hiposenter-hiposenter gempa bumi dengan
kedalaman awal 10 km. Distribusi hiposenter gempa bumi sesudah
direlokasi menunjukan lineasi yang lebih jelas terhadap adanya sesar di
daerah Cianjur-Sukabumi. Temuan ini terkait dengan aktivitas patahan di
wilayah ini, gempa disepanjang sesar ini dinamai sesar Cipamingkis
(Gunawan, E dan Widiyantoro, S, 2019).
68
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil relokasi menggunakan metode Double difference
menghasilkan posisi hiposenter yang baik dan akurat ditandai
dengan residual waktu tempuh sesudah direlokasi lebih banyak
mendekatai nol, serta posisi sebaran hiposenternya lebih mengumpul
dan membentuk sebuah kluster.
2. Berdasarkan hasil analisis sebaran hiposenter gempa bumi setelah
direlokasi, didapatkan adanya lineasi yang berarah Timur Laut -
Barat Daya yang diindikasikan adanya aktivitas sesar Cipamingkis.
5.2 Saran
Saran yang ingin penulis sampaikan berdasarkan hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya digunakan model kecepatan regional sebagai parameter
masukan program hypoDD untuk mendapatkan hasil yang lebih
akurat dalam merepresentasikan kondisi tektonik di daerah
penelitian. Namun dikarenakan belum terdapat model kecepatan
regional untuk daerah Cianjur-Sukbumi, maka lebih baik dilakukan
penelitian terlebih dahulu mengenai model kecepatan regional untuk
wilayah tersebut.
69
2. Perlu dilakukannya justifikasi geologi lebih lanjut untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik dan akurat dalam
merepresentasikan kondisi tektonik dan adanya sesar Cipamingkis di
daerah Cianjur-Sukabumi.
70
DAFTAR PUSTAKA
Sunarjo, Gunawan, T, M, dan Pribadi, S. (2012). GEMPA BUMI EDISI
POPOLER. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Jannah, N., Iis, Anggono, T, & Yulianto, T. (2016). Aplikasi Metode Double
Difference Dalam Relokasi Hiposenter Untuk Menggambarkan Zona
Transisi Antara Busur Banda Dan Busur Sunda. Youngster Physics
Journal, 5, 113-122.
Pawirodikromo, W. (2012). Seismologi Teknik dan Rekayasa Kegempaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Noor, Djauhari. (2009). Pengantar Geologi. Pakuan : Pakuan University Press.
Gunawan, E, dan Widiyantoro, S. (2019). Active tectonic deformation in Java,
Indonesia inferred from a GPS-derived strain rate. Jurnal of
Geodynamics,S0264-3707(17)30283-1.doi: 10.1016/j.jog.2019.01.004.
Elnashai, S.A. dan Sarno, D.L. (2008). Fundamental of Earthquake Engineering.
Wiley. Hongkong.
F. Waldhauser, and W. L. Ellsworth, A doubledifference earthquake location
algorithm: Method and application to the Northern Hayward Fault,
California, Bull. Seism. Soc. Am. 90, 1353-1368, 2000.
Waldhauser, F. (2001). hypoDD – A Program to Compute Double-Difference
Hypocenter Locations (hypoDD version 1.0 – 03/2001). U.S. Geol.
Survey
PuSGen, P. (2017). Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017.
Bandung: Puskim.
Sabtaji, A. (2017). Metode Coupled Velocity-Hypocenter Untuk Menentukan
Model 1 Dimensi Kecepatan Gelombang P dan Relokasi Hiposenter Di
Wilayah Sumatera Bagian Selatan. Buletin BMKG, 7.
Ramdhan, M., Nugraha, D. A. (2012). Studi Kegempaan Area Selat Sunda Dan
Sekitarnya Berdasarkan Hasil Relokasi Hiposenter Menggunakan
Metoda Double Difference. JTM, Vol XIX.
71
Sunardi, B., Rohadi, S, & Masturyono, dkk, (2012). Relokasi Hiposenter
Gempabumi Wilayah Jawa Menggunakan Teknik Double Difference.
Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG.
Rahmania, M, Niyartama, F, T., & Sungkowo, A. (2010). Penentuan Jenis Sesar
Pada Gempabumi Sukabumi 2 September 2009 Berdasarkan Gerak Awal
Gelombang P. Seminar Nasional SDM Teknologi Nuklir Yogyakarta,
ISSN 1978-0176.
Salsabella, Y, Madlazim, & Rahmawati, E. (2014). Penentuan Model Kecepatan
Gelombang P, Koreksi Stasiun Dan Relokasi Hiposenter Gempa Bumi
Jawa Barat Dengan Metode Coupled Velocity-Hipocenter. Jurnal Fisika,
03, 89-95.
Syawal. (2011). Geologi Regional Jawa Barat.
https://syawal88.wordpress.com/2011/10/05/geologi-regional-jawa-
barat/.
Diakses pada 27 Desember 2018 20.18 WIB.
Gaffar, Z, E. (2006). Deformasi Kerak Bumi Segmen-Segme Sesar Cimandiri.
Prosidng Seminar Geoteknologi “ Peluang dan Peran Ilmu Kebumian
dalam Pembangunan Berkelanjutan”, ISBN : 978-979-8636-14-1.
Haryanto, I. (2006). Struktur Geologi Palegogen Dan Neogen Di Jawa Barat.
Bulletin of Scientiffic, 4, 88-95.
Wulan Dari, A, Syafriani, & Sabrani, Z, A,. (2016). Relokasi Hiposenter
Gempabumi Sumatera Barat Menggunakan Metode Double Difference
(DD). PILLAR OF PHYSIC, 8, 1624.
Rande, N, M., Ulfiana, E,. (2018). Analisis Relokasi Hiposenter Gempabumi
Menggunakan Algoritma Double Difference Wilayah Sulawesi Tengah.
Tangerang Selatan: Sekolah Tinggi Metorologi Klimatologi dan
Geofisika.
Kundawati, B. Dan Mardiani. (2018). Pendalaman Materi Geologi Struktur Modul
3 Jenis-Jenis Geologi Struktur. Bandung Kementrian Pendidikan Dan
Kebudayaan Kementrian Riset, Teknologi Dan Pendidikan Tinggi
72
Gracynthia, M. F. (2015). Relokasi Hiposenter Gempa Bumi Menggunakan
Metode Coupled Velocity-Hypocenter dan Local Earthquake
Tomography Untuk Sesar Palu Koro. Surabaya: ITS-Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.
Putri, T, Y. (2012). Relokasi Hiposenter Gempa Bumi Utama Dan Gempa Bumi
Susulan Menggunakan Metode MJHD (Studi Kasus Gempa Bumi
Mentawai 25 Oktober 2010). Depok: Universitas Indonesia.
73
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
Format data gempabumi arrival time katalog (BMKG) pada Notepade++
LAMPIRAN 2
Format data hypoDD
74
LAMPIRAN 3
Lokasi 18 Sebaran Stasiun Pencatat Gempabumi
Stasiun Nama Stasiun Latitude (N)
Longitude
(E)
BLSI Bandar Lampung, Lampung,
Indonesia
-5.3675 105.2452
KASI Kota Agung, Lampung,
Indonesia
-5.5236 104.4959
CGJI Cigeulis Pandeglang, Banten,
Indonesia
-6.6135 105.6928
SBJI Serang, Banten, Indonesia -6.1117 106.1318
TNG Tangerang, Banten, Indonesia -6.1719 106.6469
DBJI Dermaga, Jawa Barat,
Indonesia
-6.5538 106.7497
CBJI Citeko, Bogor, Indonesia -6.6980 106.9349
SKJI Sukabumi, Jawa Barat,
Indonesia
-7.0053 106.5563
CNJI Cianjur, Jawa Barat, Indonesia -7.309 107.13
LEM Lembang, Bandung, Jawa
Barat, Indonesia
-6.8266 107.6175
JCJI Jatiwangi Cirebon, Jawa Barat,
Indonesia
-6.7344 108.2631
BBJI Bungbulang, Garut, Jawa
Barat, Indonesia
-7.4625 107.6498
CMJI Cimerak, Jawa Barat,
Indonesia
-7.7836 108.4485
KPJI Karangpucung, Cilacap, Jawa
Tengah, Indonesia
-7.3331 108.9321
CTJI Cacaban, Tegal, Jawa Tengah,
Indonesia
-7.0075 109.1835
SCJI Srandil, Cilacap, Jawa Tengah,
Indonesia
-7.6810 109.1689
75
BJI Banjarnegara Cilacap, Jawa
Tengah, Indonesia
-7.3329 109.7095
XMIS Chrismaset, Island -10.4807 105.6519
LAMPIRAN 4
Model kecepatan bumi AK135
Kecepatan Gelombang P (m/s) Kedalaman (km)
1.4500 -3.0
1.6500 3.0
5.8000 3.3
6.8000 10.0
8.0355 18.0
8.0379 43.0
8.0450 80.0
8.0505 120.0
8.1750 165.0
8.3007 210.0
8.4822 260.0
8.6650 310.0
76
LAMPIRAN 5
Hasil pegolahan data hypoDD.loc
LAMPIRAN 6
Hasil pegolahan data hypoDD.reloc
77
LAMPIRAN 7
Hasil pegolahan data hypoDD.sta
LAMPIRAN 8
Hasil pegolahan data hypoDD.res (Sebelum relokasi)
78
LAMPIRAN 9
Hasil pegolahan data hypoDD.res (Seseudah direlokasi)