Rekontruksi Deformitas Pasca-trauma Hidung mastoid]j

3
441 Rekonstruksi Deformitas Pasca-trauma Hidung dengan Rinoplasti Pendahuluan Rinoplasti era modern dimulai tahun 1887 menggunakan pendekatan insisi intranasal. Pada abad 20 para ahli bedah memperke- nalkan pendekatan insisi columella atau 1 yang dikenal sebagai rinoplasti eksterna. Rinoplasti eksterna merupakan suatu pendekatan serbaguna untuk evaluasi anatomi hidung dan untuk mengatasi 2 banyak problem kelainan hidung. Beberapa kelainan hidung di antaranya crooked nose, deviasi septum, celah bibir-hidung, atresia koana, atau kelainan sinus sphenoidalis dapat diperbaiki menggunakan pendekatan 1-4 rinoplasti eksterna. Trauma sering menyebabkan deformitas hidung, menimbulkan gangguan fungsional dan estetika dapat berupa crooked nose, 3,4 saddle nose, atau septum deviasi; gang- guan fungsional tersering adalah hidung tersumbat, rinalgia, dan rinorea berkepan- 1 jangan . Rinoplasti rekonstruksi terutama dikerjakan bila rentang waktu antara kejadian trauma dan operasi untuk koreksi tidak melebihi 7 hari. Trauma lama membutuhkan refrakturisasi. Ditemukan 21 kasus trauma os nasal di RS dr Sardjito tahun 2002, tahun 2003 sebanyak 17 kasus, dan 20 kasus di tahun 2004. Untuk kejadian murni fraktur os nasal, ditemukan 11 kasus pada tahun 2002, 8 kasus pada tahun 2003, dan 12 kasus pada tahun 2004. Kasus lainnya berupa fraktur multipel maksilofasial dengan atau tanpa cedera 5 kepala. Laporan kasus ini memperkenalkan rino- plasti sebagai salah satu cara koreksi deformitas hidung pasca-trauma, terutama untuk kasus yang penanganannya tertunda lebih dari 7 hari. Tinjauan Pustaka Pendekatan pembedahan primer hidung meliputi rinoplasti endonasal (transnostril) dan rinoplasti eksterna. lapisan otot menyebabkan perdarahan saat operasi, edema pasca-operasi, jaringan parut, dan bentuk kulit ireguler. Deformitas insisi transcolumellar disebab- kan peregangan columellar flap atas, peningkatan lebar horisontal columellar flap. Kerusakan batas kaudal-medial crura dan kubah selama diseksi dapat terjadi akibat batas kaudal kartilago inferior dan kubah tidak diperhatikan, menimbulkan kerusakan 6,7 kubah. Laporan Kasus Kasus 1 Pasien laki-laki, 20 tahun, dirujuk untuk penanganan deformitas hidung. Sebulan yang lalu pasien mengalami kecelakaan lalu lintas dan dinyatakan mengalami patah tulang hidung. Pasien menjalani operasi reposisi fraktur os nasal. Setelah operasi, dirasakan keluhan hidung tersumbat, nyeri pada hidung, beringus, dan harus bernapas lewat mulut.Tidak ada riwayat alergi. Riwayat penyakit keluarga, meliputi alergi, asma, urtikaria, dan eksema, disangkal. Didapatkan deformitas, obstruksi nasal, rinalgia, dan rinorea. Pada pemeriksaan THT, didapatkan hidung berbentuk seperti pelana kuda (saddle nose), cavum nasi kanan tampak menyempit, terdapat sinekia konka inferior dari anterior hingga posterior, didapatkan krista septi bilateral, dan septum deviasi ke kiri pada area III, IV,V (Cottle). Pada roentgen sinus paranasal 3 posisi, ditemukan deviasi septum ke kiri dan hipertrofi konka bilateral. Diagnosis pada penderita ini ditetapkan sebagai saddle nose pasca-trauma. Operasi rinoplasti diawali dengan infiltrasi mukosa septum untuk memisahkan perikondrium dan periosteum dari mukosa, dilanjutkan insisi pada 0,5 mm limen nasi kanan, elevasi mukosa, os vomer dan krista ditatah (dipahat) untuk membebaskan dan meluruskan septum nasi. Setelah septum Indikasi rinoplasti eksterna Pendekatan eksterna menyediakan area pembedahan yang maksimal dan memper- 6 hatikan kesimetrisan tulang atau kartilago. Indikasi primer rinoplasti eksterna menca- kup kasus-kasus yang membutuhkan area pembedahan yang luas untuk alasan teknik atau diagnosis. Pasien yang memiliki nasal tip asimetris atau kubah hidung bagian tengah, atau defisiensi struktur hidung menjadi kandidat kuat rinoplasti eksterna. Area pembedahan yang luas penting untuk akurasi diagnosis dan presisi penempatan graft kartilago. Deformitas hidung spesifik yang dapat dikoreksi menggunakan rino- plasti eksterna termasuk hidung bengkok, rinoplasti sekunder atau revisi, celah hidung- 7 bibir, saddle nose, dan tumor jinak. Penggunaan pembedahan melalui pende- katan endonasal bila kasus membutuhkan perubahan minimal struktur kartilago. Rinoplasti eksterna diperlukan untuk kasus 7 yang membutuhkan diseksi luas. Teknik pembedahan Prinsip rinoplasti eksterna adalah (1) diseksi subperikondrial dan subperiosteal kartilago atau tulang yang akan dimodifikasi atau dieksisi, (2) eksisi punggung osteokartilago, (3) pemotongan septum jika perlu, (4) osteotomi bilateral processus nasalis os maksila, (5) outfracture tulang dinding lateral sebelum pembentukan akhir, dan (6) eksisi kartilago untuk membentuk atau mendu- 6 kung nasal tip. Selama prosedur, 1% lidokain dengan 1:100.000 adrenalin disuntikkan ke nasal tip, columella, dan sepanjang batas crura lateralis. Komplikasi Masalah akibat rinoplasti eksterna secara primer terkait kurang sesuainya diseksi kulit dan jaringan lunak atau penutupan ireguler bekas insisi. Diseksi yang tidak mengenai lapisan submuskuler dan masuk ke dalam Tolkha A, RM Tedjo Oedono, Erlangga EG, Arief P, Anton BD, Anton Christanto Department Otolaryngology Head & Neck Surgery Faculty of Medicine, Gadjah Mada University / Dr. Sardjito Hospital Yogyakarta, Indonesia LAPORAN KASUS CDK 187 / vol. 38 no. 6 / Agustus - September 2011

description

ggef

Transcript of Rekontruksi Deformitas Pasca-trauma Hidung mastoid]j

  • 441

    Rekonstruksi Deformitas Pasca-trauma

    Hidung dengan Rinoplasti

    Pendahuluan

    Rinoplasti era modern dimulai tahun 1887

    menggunakan pendekatan insisi intranasal.

    Pada abad 20 para ahli bedah memperke-

    nalkan pendekatan insisi columella atau 1

    yang dikenal sebagai rinoplasti eksterna.

    Rinoplasti eksterna merupakan suatu

    pendekatan serbaguna untuk evaluasi

    anatomi hidung dan untuk mengatasi 2

    banyak problem kelainan hidung. Beberapa

    kelainan hidung di antaranya crooked nose,

    deviasi septum, celah bibir-hidung, atresia

    koana, atau kelainan sinus sphenoidalis

    dapat diperbaiki menggunakan pendekatan 1-4

    rinoplasti eksterna.

    Trauma sering menyebabkan deformitas

    hidung, menimbulkan gangguan fungsional

    dan estetika dapat berupa crooked nose, 3,4

    saddle nose, atau septum deviasi; gang-

    guan fungsional tersering adalah hidung

    tersumbat, rinalgia, dan rinorea berkepan-1

    jangan . Rinoplasti rekonstruksi terutama

    dikerjakan bila rentang waktu antara

    kejadian trauma dan operasi untuk koreksi

    tidak melebihi 7 hari. Trauma lama

    membutuhkan refrakturisasi.

    Ditemukan 21 kasus trauma os nasal di RS dr

    Sardjito tahun 2002, tahun 2003 sebanyak 17

    kasus, dan 20 kasus di tahun 2004. Untuk

    kejadian murni fraktur os nasal, ditemukan

    11 kasus pada tahun 2002, 8 kasus pada

    tahun 2003, dan 12 kasus pada tahun 2004.

    Kasus lainnya berupa fraktur multipel

    maksilofasial dengan atau tanpa cedera 5

    kepala.

    Laporan kasus ini memperkenalkan rino-

    plasti sebagai salah satu cara koreksi

    deformitas hidung pasca-trauma, terutama

    untuk kasus yang penanganannya tertunda

    lebih dari 7 hari.

    Tinjauan Pustaka

    Pendekatan pembedahan primer hidung

    meliputi rinoplasti endonasal (transnostril)

    dan rinoplasti eksterna.

    lapisan otot menyebabkan perdarahan saat

    operasi, edema pasca-operasi, jaringan

    parut, dan bentuk kulit ireguler.

    Deformitas insisi transcolumellar disebab-

    kan peregangan columellar flap atas,

    peningkatan lebar horisontal columellar flap.

    Kerusakan batas kaudal-medial crura dan

    kubah selama diseksi dapat terjadi akibat

    batas kaudal kartilago inferior dan kubah

    tidak diperhatikan, menimbulkan kerusakan 6,7

    kubah.

    Laporan Kasus

    Kasus 1

    Pasien laki-laki, 20 tahun, dirujuk untuk

    penanganan deformitas hidung. Sebulan

    yang lalu pasien mengalami kecelakaan lalu

    lintas dan dinyatakan mengalami patah

    tulang hidung. Pasien menjalani operasi

    reposisi fraktur os nasal. Setelah operasi,

    dirasakan keluhan hidung tersumbat, nyeri

    pada hidung, beringus, dan harus bernapas

    lewat mulut. Tidak ada riwayat alergi. Riwayat

    penyakit keluarga, meliputi alergi, asma,

    urtikaria, dan eksema, disangkal. Didapatkan

    deformitas, obstruksi nasal, rinalgia, dan

    rinorea.

    Pada pemeriksaan THT, didapatkan hidung

    berbentuk seperti pelana kuda (saddle nose),

    cavum nasi kanan tampak menyempit,

    terdapat sinekia konka inferior dari anterior

    hingga posterior, didapatkan krista septi

    bilateral, dan septum deviasi ke kiri pada area

    III, IV, V (Cottle). Pada roentgen sinus paranasal

    3 posisi, ditemukan deviasi septum ke kiri

    dan hipertrofi konka bilateral. Diagnosis

    pada penderita ini ditetapkan sebagai saddle

    nose pasca-trauma.

    Operasi rinoplasti diawali dengan infiltrasi

    mukosa septum untuk memisahkan

    perikondrium dan periosteum dari mukosa,

    dilanjutkan insisi pada 0,5 mm limen nasi

    kanan, elevasi mukosa, os vomer dan krista

    ditatah (dipahat) untuk membebaskan dan

    meluruskan septum nasi. Setelah septum

    Indikasi rinoplasti eksterna

    Pendekatan eksterna menyediakan area

    pembedahan yang maksimal dan memper-6

    hatikan kesimetrisan tulang atau kartilago.

    Indikasi primer rinoplasti eksterna menca-

    kup kasus-kasus yang membutuhkan area

    pembedahan yang luas untuk alasan teknik

    atau diagnosis. Pasien yang memiliki nasal tip

    asimetris atau kubah hidung bagian tengah,

    atau defisiensi struktur hidung menjadi

    kandidat kuat rinoplasti eksterna. Area

    pembedahan yang luas penting untuk

    akurasi diagnosis dan presisi penempatan

    graft kartilago. Deformitas hidung spesifik

    yang dapat dikoreksi menggunakan rino-

    plasti eksterna termasuk hidung bengkok,

    rinoplasti sekunder atau revisi, celah hidung-7

    bibir, saddle nose, dan tumor jinak.

    Penggunaan pembedahan melalui pende-

    katan endonasal bila kasus membutuhkan

    perubahan minimal struktur kartilago.

    Rinoplasti eksterna diperlukan untuk kasus 7

    yang membutuhkan diseksi luas.

    Teknik pembedahan

    Prinsip rinoplasti eksterna adalah (1) diseksi

    subperikondrial dan subperiosteal kartilago

    atau tulang yang akan dimodifikasi atau

    dieksisi, (2) eksisi punggung osteokartilago,

    (3) pemotongan septum jika perlu, (4)

    osteotomi bilateral processus nasalis os

    maksila, (5) outfracture tulang dinding lateral

    sebelum pembentukan akhir, dan (6) eksisi

    kartilago untuk membentuk atau mendu-6

    kung nasal tip.

    Selama prosedur, 1% lidokain dengan

    1:100.000 adrenalin disuntikkan ke nasal tip,

    columella, dan sepanjang batas crura

    lateralis.

    Komplikasi

    Masalah akibat rinoplasti eksterna secara

    primer terkait kurang sesuainya diseksi kulit

    dan jaringan lunak atau penutupan ireguler

    bekas insisi. Diseksi yang tidak mengenai

    lapisan submuskuler dan masuk ke dalam

    Tolkha A, RM Tedjo Oedono, Erlangga EG, Arief P, Anton BD, Anton Christanto

    Department Otolaryngology Head & Neck Surgery

    Faculty of Medicine, Gadjah Mada University / Dr. Sardjito Hospital

    Yogyakarta, Indonesia

    LAPORAN KASUS

    CDK 187 / vol. 38 no. 6 / Agustus - September 2011

  • 442

    nasi terbebaskan dari dasar kavum nasi,

    dilakukan insisi interkartilago. Sebelumnya,

    dilakukan infiltrasi lidokain pada columella,

    crura kanan kiri, nasal tip, dan dorsum nasi.

    Elevasi dilakukan untuk memisahkan

    kartilago, perikondrium, dan periosteum dari

    muskuloperineum.

    Operasi dilanjutkan dengan osteotomi

    lateral kiri-kanan dan pada sudut naso-

    frontalis. Melalui kavum nasi, dorsum nasi

    diangkat menggunakan elevator. Setelah

    dorsum nasi terlepas, dilakukan rekonstruksi

    bentuk hidung dan pemasangan tampon

    sementara dengan adrenalin 1:100.000.

    Lokasi insisi dijahit. Tampon diganti dengan

    tampon padat yang telah diolesi salep

    mengandung antibiotik dan kortikosteroid.

    Gips dipasang pada hidung bagian luar.

    Operasi dinyatakan selesai.

    Tampon dan gips dilepas setelah hari ke-12

    pasca-operasi. Terapi medikamentosa yang

    diberikan pada hari pertama sampai hari

    ketiga: seftriakson 2 x 1 g IV; deksametason 1

    x 20 mg IV selama 5 hari, tapering off;

    ketorolak 2 x 30 mg IV; diklofenak 2 x 75 mg

    PO; serrapeptase 3 x 5 mg PO. Hari ke-7

    pasca-operasi, semua obat diganti peroral

    hingga hari ke-12, yaitu klindamisin 4 x 300

    mg, diklofenak 2 x 75 mg, n-asetilsistein 3 x

    200 mg, serrapeptase 3 x 5 mg, pseudoe-

    fedrin 60 mg/triprolidin 2,5 mg 3 x 1 tablet.

    Hari ke-12, tampon dan gips dilepas.

    Kasus 2

    Pasien laki-laki, 24 tahun, mengeluh hidung

    bengkok. Pasien mengalami kecelakaan lalu

    lintas 1 tahun yang lalu, tetapi tidak berobat.

    Setelah beberapa minggu, penderita mulai

    mengeluh hidung tampak bengkok, sering

    tersumbat, sering pilek yang lama sembuh-

    nya, dan nyeri kepala. Riwayat alergi disang-

    kal. Riwayat penyakit keluarga (alergi, asma,

    urtikaria, eksema) disangkal.

    Pada pemeriksaan THT, didapatkan hidung

    tampak bengkok ke arah kiri, vestibulum nasi

    kanan tampak menyempit, cavum nasi

    kanan tampak menyempit, dan deviasi

    septum ke kiri pada area III, IV, V (Cottle).

    Berdasarkan roentgen sinus paranasal 3

    posisi, ditemukan kelainan deviasi septum ke

    kiri, sementara sinus paranasal dalam batas

    normal. Diagnosis yang ditegakkan pada

    penderita ini adalah deviasi septum nasi.

    Sepuluh hari kemudian, penderita tidak lagi

    mengeluh hidung tersumbat dan nyeri

    hidung. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan

    hidung tampak lurus, vestibulum nasi

    tampak simetris, krusta tidak ditemukan,

    kavum nasi kanan-kiri tampak longgar, dan

    septum lurus. Terapi dilanjutkan.

    Diskusi

    Pemilihan jenis rinoplasti tergantung ter-

    utama dari kelainan atau deformitas hidung.

    Rinoplasti tertutup dapat secara adekuat

    mengatasi deformitas hidung bagian depan,

    seperti kubah hidung tinggi, punggung

    hidung lebar, dan ujung hidung yang besar.

    Deformitas hidung yang kompleks memer-

    lukan area pembedahan yang luas melalui

    rinoplasti eksterna agar evaluasi lebih tepat 7

    dan perbaikan hasil operasi lebih terkontrol.

    Pada kasus 1, insisi dilakukan interkartilago

    karena tidak dijumpai kelainan vestibulum

    nasi. Sebelum rinoplasti, dilakukan pembe-

    basan sinekia konka inferior dari septum

    nasi, dilanjutkan dengan koreksi septum dan

    pembebasan septum dari dasar kavum nasi

    dengan mentatah os vomer.

    Pada kasus 2, vestibulum nasi kanan lebih

    sempit dibandingkan kiri. Dorsum nasi

    tampak bengkok dan melengkung ke arah

    kiri. Karena itu, dipilih insisi intercolumellar

    untuk mengoreksi bentuk vestibulum nasi

    dan mendapatkan area yang luas saat

    rekonstruksi hidung.

    Pendekatan eksterna dapat dipakai untuk

    mengoreksi pemendekan crura medialis

    atau lateralis yang menimbulkan kelainan 8 3

    vestibulum nasi . Koltai dkk. juga

    menggunakan rinoplasti eksterna untuk

    mengevaluasi deformitas hidung pada anak.

    Kasus yang terkoreksi antara lain deviasi

    septum, celah hidung-bibir, atresia koana

    unilateral, nasal dermoid, dan kelainan pada

    sinus sphenoidalis.

    Pada tinjauan terhadap 500 kasus rekons-

    truksi hidung menggunakan rinoplasti

    eksterna, didapatkan bahwa pendekatan

    tersebut nyata menguntungkan pada

    koreksi deformitas ujung hidung, hidung

    bengkok, saddle nose, dan penyambungan

    graft hidung. Rinoplasti eksterna juga

    digunakan untuk revisi rinoplasti (24%

    kasus). Rinoplasti revisi memerlukan waktu

    lebih lama dan lebih sulit dibandingkan

    Direncanakan rinoplasti eksterna untuk

    rekonstruksi hidung, meluruskan sekat

    hidung, dan melonggarkan rongga hidung.

    Operasi diawali dengan infiltrasi anestesi

    lokal untuk memisahkan perikondrium dan

    periosteum dari mukosa, dilanjutkan

    pembuatan garis insisi pada columella. Insisi

    dilanjutkan dengan insisi interkartilago, atau

    sering disebut insisi butterfly. Diseksi untuk

    memisahkan perikondrium, periosteum, dan

    muskuloperineum dimulai dari anterior

    hingga posterior septum dan kartilago alaris

    inferior hingga sudut nasofrontalis; dilanjut-

    kan koreksi septum; os vomer ditatah untuk

    membebaskan dan meluruskan septum nasi,

    dilanjutkan osteotomi lateral kiri-kanan,

    dorsum nasi, dan sudut nasofrontalis. Melalui

    kavum nasi, dorsum nasi diangkat/dilepas

    menggunakan elevator, dilanjutkan rekons-

    truksi bentuk hidung dan pemasangan

    tampon sementara dengan adrenalin

    1:100.000. Luka insisi dijahit. Tampon diganti

    dengan tampon padat yang sudah diolesi

    s a le p m e n g a n d un g a nt ib iot ik d a n

    kortikosteroid, dilepas pada hari ke-12 pasca-

    operasi. Gips dipasang pada hidung bagian

    luar. Terapi medikamentosa yang diberikan

    pasca-operasi: seftriakson 2 x 1 g; deksame-

    tason 1 x 24 mg tapering off 7 hari; tramadol

    injeksi 3 x 50 mg; ranitidin injeksi 2 x 50 mg;

    serrapeptase 3 x 5 mg. Hari ke-7 pasca-

    operasi, semua obat diganti peroral hingga

    hari ke-12, yaitu klindamisin 4 x 300 mg,

    diklofenak 2 x 25 mg, n-asetilsistein 3 x 200

    mg, dan pseudoefedrin 60 mg/triprolidin 2,5

    mg 3 x 1 tablet. Dua minggu kemudian,

    penderita merasa hidung tersumbat serta

    nyeri hidung. Pada pemeriksaan fisik,

    didapatkan hidung tampak lurus, vestibu-

    lum nasi tampak simetris, krusta di kavum

    nasi kiri-kanan, cavum nasi kanan-kiri

    tampak longgar, dan septum lurus. Terapi

    yang diberikan: cuci hidung, siprofloksasin 2

    x 500 mg, diklofenak 2 x 50 mg, dan

    pseudoefedrin 60 mg/triprolidin 2,5 mg 3 x 1

    tablet.

    Saat kontrol dua minggu kemudian, hidung

    tersumbat dan nyeri telah berkurang. Pada

    pemeriksaan fisik, didapatkan hidung

    tampak lurus, vestibulum nasi tampak

    simetris, krusta tidak ditemukan, kavum nasi

    kanan-kiri tampak longgar, dan septum lurus.

    Terapi yang diberikan: siprofloksasin 2 x 500

    mg, diklofenak 2 x 50 mg, dan pseudoefedrin

    60 mg/triprolidin 2,5 mg 3 x 1 tablet.

    LAPORAN KASUS

    CDK 187 / vol. 38 no. 6 / Agustus - September 2011

  • 443CDK 187 / vol. 38 no. 6 / Agustus - September 2011

    rinoplasti pada kasus baru karena adanya 1

    fibrosis dan perlekatan. Tingkat kepuasan

    terlapor sebesar 96,4% terhadap hasil

    rinoplasti, komplikasi intraoperasi (robekan

    mukosa, cedera cartilago alaris) 4,6%,

    komplikasi tiga minggu pertama (epistaksis,

    infeksi) 5,4%, dan setelah tiga minggu

    (perforasi septum, obstruksi hidung, dan

    edema berkepanjangan) 17,8%. Komplikasi

    tersering berupa edema berkepanjangan, 1

    yakni pada 17% kasus.

    Terapi medikamentosa pasca-operasi

    menjadi bagian penting keberhasilan

    rinoplasti. Pembengkakan oleh akumulasi

    cairan terjadi akibat rusaknya jaringan dan

    pembuluh darah ak ibat osteotomi.

    Peningkatan inflamasi pada rinoplasti

    menjadi dasar terapi anti-inflamasi yang 9,10

    adekuat. Deksametason 10 mg sebelum

    rinoplasti lebih berdayaguna dibandingkan

    plasebo (salin) untuk mengurangi pem-

    bengkakan periorbita dan ekimosis akibat 10

    luasnya daerah pembedahan. Pada kedua

    kasus di atas, pasien diberi deksametason

    sebelum dan setelah operasi mulai dari dosis

    20 mg dengan tapering off; tidak ditemukan

    edema periorbital ataupun ekimosis. Pembe-

    rian antibiotik penting untuk mencegah

    infeksi sekunder. Analgesik yang diberikan

    sebaiknya golongan anti-inflamasi non-

    steroid (AINS) yang mempunyai potensi

    antiinflamasi dan analgesik seimbang.

    Simpulan

    Telah dilaporkan 2 kasus deformitas hidung

    pasca-trauma hidung lama (lebih dari 7 hari)

    dan sudah dilakukan rinoplasti traumatik

    dengan hasil baik.

    LAPORAN KASUS

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Foda HTM. External rhinoplasty: a critical analysis of 500 cases. J Laryngol. Otol. 2003; 117:473-77.

    2. Koltai PJ, Hoehn J, Bailey CM. The external rhinoplasty approach for rhinologic surgery in children. Arch

    Otolaryngol Head Neck Surg. 1992; 118:401-5.

    3. Riechelmann H, Rettinger G. Three-step reconstruction of complex saddle nose deformities. Arch Otolaryngol

    Head Neck Surg. 2004; 130:334-8.

    4. Dayan SH, Shah AR. A suture suspension technique for improved repair of crooked nose deformity. Facial Plast

    Surg. 2004;83: 743-4.

    5. RSUP Dr. Sardjito. Data rekam medis RSUP Dr Sardjito Jogjakarta 2004.

    6. Calhun KH. Introduction to rhinoplasty. In Head and neck surgery-otolaryngology. 2nd ed.

    Philadelphia:Lippincott-Raven Publ. 1998.

    7. Toriumi DM. External rhinoplasty approach. In Head and neck surgery-otolaryngology. 2nd ed

    Philadelphia:Lippincott-Raven Publ. 1998.

    8. Joseph EM, Glasgold AI. Anatomical consideration in the management of the hanging columella. Arch Facial

    Plast Surg. 2000; 2:173-7.

    9. Hoffman DF, Cook TA, Quatela VC, Wang TD, Browarigg, Brummett RE. Steroid and rhinoplasty: double blind

    study. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1991; 117:990-3.

    10. Erisir F, Oktem F, Inci E. Effects of steroids on edema and ecchymosis in rhinoplasty. Turk Arch ORL. 2001;

    39:171-5.