Rekontruksi Deformitas Pasca-trauma Hidung mastoid]j
-
Upload
fauzul-azmi -
Category
Documents
-
view
14 -
download
6
description
Transcript of Rekontruksi Deformitas Pasca-trauma Hidung mastoid]j
-
441
Rekonstruksi Deformitas Pasca-trauma
Hidung dengan Rinoplasti
Pendahuluan
Rinoplasti era modern dimulai tahun 1887
menggunakan pendekatan insisi intranasal.
Pada abad 20 para ahli bedah memperke-
nalkan pendekatan insisi columella atau 1
yang dikenal sebagai rinoplasti eksterna.
Rinoplasti eksterna merupakan suatu
pendekatan serbaguna untuk evaluasi
anatomi hidung dan untuk mengatasi 2
banyak problem kelainan hidung. Beberapa
kelainan hidung di antaranya crooked nose,
deviasi septum, celah bibir-hidung, atresia
koana, atau kelainan sinus sphenoidalis
dapat diperbaiki menggunakan pendekatan 1-4
rinoplasti eksterna.
Trauma sering menyebabkan deformitas
hidung, menimbulkan gangguan fungsional
dan estetika dapat berupa crooked nose, 3,4
saddle nose, atau septum deviasi; gang-
guan fungsional tersering adalah hidung
tersumbat, rinalgia, dan rinorea berkepan-1
jangan . Rinoplasti rekonstruksi terutama
dikerjakan bila rentang waktu antara
kejadian trauma dan operasi untuk koreksi
tidak melebihi 7 hari. Trauma lama
membutuhkan refrakturisasi.
Ditemukan 21 kasus trauma os nasal di RS dr
Sardjito tahun 2002, tahun 2003 sebanyak 17
kasus, dan 20 kasus di tahun 2004. Untuk
kejadian murni fraktur os nasal, ditemukan
11 kasus pada tahun 2002, 8 kasus pada
tahun 2003, dan 12 kasus pada tahun 2004.
Kasus lainnya berupa fraktur multipel
maksilofasial dengan atau tanpa cedera 5
kepala.
Laporan kasus ini memperkenalkan rino-
plasti sebagai salah satu cara koreksi
deformitas hidung pasca-trauma, terutama
untuk kasus yang penanganannya tertunda
lebih dari 7 hari.
Tinjauan Pustaka
Pendekatan pembedahan primer hidung
meliputi rinoplasti endonasal (transnostril)
dan rinoplasti eksterna.
lapisan otot menyebabkan perdarahan saat
operasi, edema pasca-operasi, jaringan
parut, dan bentuk kulit ireguler.
Deformitas insisi transcolumellar disebab-
kan peregangan columellar flap atas,
peningkatan lebar horisontal columellar flap.
Kerusakan batas kaudal-medial crura dan
kubah selama diseksi dapat terjadi akibat
batas kaudal kartilago inferior dan kubah
tidak diperhatikan, menimbulkan kerusakan 6,7
kubah.
Laporan Kasus
Kasus 1
Pasien laki-laki, 20 tahun, dirujuk untuk
penanganan deformitas hidung. Sebulan
yang lalu pasien mengalami kecelakaan lalu
lintas dan dinyatakan mengalami patah
tulang hidung. Pasien menjalani operasi
reposisi fraktur os nasal. Setelah operasi,
dirasakan keluhan hidung tersumbat, nyeri
pada hidung, beringus, dan harus bernapas
lewat mulut. Tidak ada riwayat alergi. Riwayat
penyakit keluarga, meliputi alergi, asma,
urtikaria, dan eksema, disangkal. Didapatkan
deformitas, obstruksi nasal, rinalgia, dan
rinorea.
Pada pemeriksaan THT, didapatkan hidung
berbentuk seperti pelana kuda (saddle nose),
cavum nasi kanan tampak menyempit,
terdapat sinekia konka inferior dari anterior
hingga posterior, didapatkan krista septi
bilateral, dan septum deviasi ke kiri pada area
III, IV, V (Cottle). Pada roentgen sinus paranasal
3 posisi, ditemukan deviasi septum ke kiri
dan hipertrofi konka bilateral. Diagnosis
pada penderita ini ditetapkan sebagai saddle
nose pasca-trauma.
Operasi rinoplasti diawali dengan infiltrasi
mukosa septum untuk memisahkan
perikondrium dan periosteum dari mukosa,
dilanjutkan insisi pada 0,5 mm limen nasi
kanan, elevasi mukosa, os vomer dan krista
ditatah (dipahat) untuk membebaskan dan
meluruskan septum nasi. Setelah septum
Indikasi rinoplasti eksterna
Pendekatan eksterna menyediakan area
pembedahan yang maksimal dan memper-6
hatikan kesimetrisan tulang atau kartilago.
Indikasi primer rinoplasti eksterna menca-
kup kasus-kasus yang membutuhkan area
pembedahan yang luas untuk alasan teknik
atau diagnosis. Pasien yang memiliki nasal tip
asimetris atau kubah hidung bagian tengah,
atau defisiensi struktur hidung menjadi
kandidat kuat rinoplasti eksterna. Area
pembedahan yang luas penting untuk
akurasi diagnosis dan presisi penempatan
graft kartilago. Deformitas hidung spesifik
yang dapat dikoreksi menggunakan rino-
plasti eksterna termasuk hidung bengkok,
rinoplasti sekunder atau revisi, celah hidung-7
bibir, saddle nose, dan tumor jinak.
Penggunaan pembedahan melalui pende-
katan endonasal bila kasus membutuhkan
perubahan minimal struktur kartilago.
Rinoplasti eksterna diperlukan untuk kasus 7
yang membutuhkan diseksi luas.
Teknik pembedahan
Prinsip rinoplasti eksterna adalah (1) diseksi
subperikondrial dan subperiosteal kartilago
atau tulang yang akan dimodifikasi atau
dieksisi, (2) eksisi punggung osteokartilago,
(3) pemotongan septum jika perlu, (4)
osteotomi bilateral processus nasalis os
maksila, (5) outfracture tulang dinding lateral
sebelum pembentukan akhir, dan (6) eksisi
kartilago untuk membentuk atau mendu-6
kung nasal tip.
Selama prosedur, 1% lidokain dengan
1:100.000 adrenalin disuntikkan ke nasal tip,
columella, dan sepanjang batas crura
lateralis.
Komplikasi
Masalah akibat rinoplasti eksterna secara
primer terkait kurang sesuainya diseksi kulit
dan jaringan lunak atau penutupan ireguler
bekas insisi. Diseksi yang tidak mengenai
lapisan submuskuler dan masuk ke dalam
Tolkha A, RM Tedjo Oedono, Erlangga EG, Arief P, Anton BD, Anton Christanto
Department Otolaryngology Head & Neck Surgery
Faculty of Medicine, Gadjah Mada University / Dr. Sardjito Hospital
Yogyakarta, Indonesia
LAPORAN KASUS
CDK 187 / vol. 38 no. 6 / Agustus - September 2011
-
442
nasi terbebaskan dari dasar kavum nasi,
dilakukan insisi interkartilago. Sebelumnya,
dilakukan infiltrasi lidokain pada columella,
crura kanan kiri, nasal tip, dan dorsum nasi.
Elevasi dilakukan untuk memisahkan
kartilago, perikondrium, dan periosteum dari
muskuloperineum.
Operasi dilanjutkan dengan osteotomi
lateral kiri-kanan dan pada sudut naso-
frontalis. Melalui kavum nasi, dorsum nasi
diangkat menggunakan elevator. Setelah
dorsum nasi terlepas, dilakukan rekonstruksi
bentuk hidung dan pemasangan tampon
sementara dengan adrenalin 1:100.000.
Lokasi insisi dijahit. Tampon diganti dengan
tampon padat yang telah diolesi salep
mengandung antibiotik dan kortikosteroid.
Gips dipasang pada hidung bagian luar.
Operasi dinyatakan selesai.
Tampon dan gips dilepas setelah hari ke-12
pasca-operasi. Terapi medikamentosa yang
diberikan pada hari pertama sampai hari
ketiga: seftriakson 2 x 1 g IV; deksametason 1
x 20 mg IV selama 5 hari, tapering off;
ketorolak 2 x 30 mg IV; diklofenak 2 x 75 mg
PO; serrapeptase 3 x 5 mg PO. Hari ke-7
pasca-operasi, semua obat diganti peroral
hingga hari ke-12, yaitu klindamisin 4 x 300
mg, diklofenak 2 x 75 mg, n-asetilsistein 3 x
200 mg, serrapeptase 3 x 5 mg, pseudoe-
fedrin 60 mg/triprolidin 2,5 mg 3 x 1 tablet.
Hari ke-12, tampon dan gips dilepas.
Kasus 2
Pasien laki-laki, 24 tahun, mengeluh hidung
bengkok. Pasien mengalami kecelakaan lalu
lintas 1 tahun yang lalu, tetapi tidak berobat.
Setelah beberapa minggu, penderita mulai
mengeluh hidung tampak bengkok, sering
tersumbat, sering pilek yang lama sembuh-
nya, dan nyeri kepala. Riwayat alergi disang-
kal. Riwayat penyakit keluarga (alergi, asma,
urtikaria, eksema) disangkal.
Pada pemeriksaan THT, didapatkan hidung
tampak bengkok ke arah kiri, vestibulum nasi
kanan tampak menyempit, cavum nasi
kanan tampak menyempit, dan deviasi
septum ke kiri pada area III, IV, V (Cottle).
Berdasarkan roentgen sinus paranasal 3
posisi, ditemukan kelainan deviasi septum ke
kiri, sementara sinus paranasal dalam batas
normal. Diagnosis yang ditegakkan pada
penderita ini adalah deviasi septum nasi.
Sepuluh hari kemudian, penderita tidak lagi
mengeluh hidung tersumbat dan nyeri
hidung. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan
hidung tampak lurus, vestibulum nasi
tampak simetris, krusta tidak ditemukan,
kavum nasi kanan-kiri tampak longgar, dan
septum lurus. Terapi dilanjutkan.
Diskusi
Pemilihan jenis rinoplasti tergantung ter-
utama dari kelainan atau deformitas hidung.
Rinoplasti tertutup dapat secara adekuat
mengatasi deformitas hidung bagian depan,
seperti kubah hidung tinggi, punggung
hidung lebar, dan ujung hidung yang besar.
Deformitas hidung yang kompleks memer-
lukan area pembedahan yang luas melalui
rinoplasti eksterna agar evaluasi lebih tepat 7
dan perbaikan hasil operasi lebih terkontrol.
Pada kasus 1, insisi dilakukan interkartilago
karena tidak dijumpai kelainan vestibulum
nasi. Sebelum rinoplasti, dilakukan pembe-
basan sinekia konka inferior dari septum
nasi, dilanjutkan dengan koreksi septum dan
pembebasan septum dari dasar kavum nasi
dengan mentatah os vomer.
Pada kasus 2, vestibulum nasi kanan lebih
sempit dibandingkan kiri. Dorsum nasi
tampak bengkok dan melengkung ke arah
kiri. Karena itu, dipilih insisi intercolumellar
untuk mengoreksi bentuk vestibulum nasi
dan mendapatkan area yang luas saat
rekonstruksi hidung.
Pendekatan eksterna dapat dipakai untuk
mengoreksi pemendekan crura medialis
atau lateralis yang menimbulkan kelainan 8 3
vestibulum nasi . Koltai dkk. juga
menggunakan rinoplasti eksterna untuk
mengevaluasi deformitas hidung pada anak.
Kasus yang terkoreksi antara lain deviasi
septum, celah hidung-bibir, atresia koana
unilateral, nasal dermoid, dan kelainan pada
sinus sphenoidalis.
Pada tinjauan terhadap 500 kasus rekons-
truksi hidung menggunakan rinoplasti
eksterna, didapatkan bahwa pendekatan
tersebut nyata menguntungkan pada
koreksi deformitas ujung hidung, hidung
bengkok, saddle nose, dan penyambungan
graft hidung. Rinoplasti eksterna juga
digunakan untuk revisi rinoplasti (24%
kasus). Rinoplasti revisi memerlukan waktu
lebih lama dan lebih sulit dibandingkan
Direncanakan rinoplasti eksterna untuk
rekonstruksi hidung, meluruskan sekat
hidung, dan melonggarkan rongga hidung.
Operasi diawali dengan infiltrasi anestesi
lokal untuk memisahkan perikondrium dan
periosteum dari mukosa, dilanjutkan
pembuatan garis insisi pada columella. Insisi
dilanjutkan dengan insisi interkartilago, atau
sering disebut insisi butterfly. Diseksi untuk
memisahkan perikondrium, periosteum, dan
muskuloperineum dimulai dari anterior
hingga posterior septum dan kartilago alaris
inferior hingga sudut nasofrontalis; dilanjut-
kan koreksi septum; os vomer ditatah untuk
membebaskan dan meluruskan septum nasi,
dilanjutkan osteotomi lateral kiri-kanan,
dorsum nasi, dan sudut nasofrontalis. Melalui
kavum nasi, dorsum nasi diangkat/dilepas
menggunakan elevator, dilanjutkan rekons-
truksi bentuk hidung dan pemasangan
tampon sementara dengan adrenalin
1:100.000. Luka insisi dijahit. Tampon diganti
dengan tampon padat yang sudah diolesi
s a le p m e n g a n d un g a nt ib iot ik d a n
kortikosteroid, dilepas pada hari ke-12 pasca-
operasi. Gips dipasang pada hidung bagian
luar. Terapi medikamentosa yang diberikan
pasca-operasi: seftriakson 2 x 1 g; deksame-
tason 1 x 24 mg tapering off 7 hari; tramadol
injeksi 3 x 50 mg; ranitidin injeksi 2 x 50 mg;
serrapeptase 3 x 5 mg. Hari ke-7 pasca-
operasi, semua obat diganti peroral hingga
hari ke-12, yaitu klindamisin 4 x 300 mg,
diklofenak 2 x 25 mg, n-asetilsistein 3 x 200
mg, dan pseudoefedrin 60 mg/triprolidin 2,5
mg 3 x 1 tablet. Dua minggu kemudian,
penderita merasa hidung tersumbat serta
nyeri hidung. Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan hidung tampak lurus, vestibu-
lum nasi tampak simetris, krusta di kavum
nasi kiri-kanan, cavum nasi kanan-kiri
tampak longgar, dan septum lurus. Terapi
yang diberikan: cuci hidung, siprofloksasin 2
x 500 mg, diklofenak 2 x 50 mg, dan
pseudoefedrin 60 mg/triprolidin 2,5 mg 3 x 1
tablet.
Saat kontrol dua minggu kemudian, hidung
tersumbat dan nyeri telah berkurang. Pada
pemeriksaan fisik, didapatkan hidung
tampak lurus, vestibulum nasi tampak
simetris, krusta tidak ditemukan, kavum nasi
kanan-kiri tampak longgar, dan septum lurus.
Terapi yang diberikan: siprofloksasin 2 x 500
mg, diklofenak 2 x 50 mg, dan pseudoefedrin
60 mg/triprolidin 2,5 mg 3 x 1 tablet.
LAPORAN KASUS
CDK 187 / vol. 38 no. 6 / Agustus - September 2011
-
443CDK 187 / vol. 38 no. 6 / Agustus - September 2011
rinoplasti pada kasus baru karena adanya 1
fibrosis dan perlekatan. Tingkat kepuasan
terlapor sebesar 96,4% terhadap hasil
rinoplasti, komplikasi intraoperasi (robekan
mukosa, cedera cartilago alaris) 4,6%,
komplikasi tiga minggu pertama (epistaksis,
infeksi) 5,4%, dan setelah tiga minggu
(perforasi septum, obstruksi hidung, dan
edema berkepanjangan) 17,8%. Komplikasi
tersering berupa edema berkepanjangan, 1
yakni pada 17% kasus.
Terapi medikamentosa pasca-operasi
menjadi bagian penting keberhasilan
rinoplasti. Pembengkakan oleh akumulasi
cairan terjadi akibat rusaknya jaringan dan
pembuluh darah ak ibat osteotomi.
Peningkatan inflamasi pada rinoplasti
menjadi dasar terapi anti-inflamasi yang 9,10
adekuat. Deksametason 10 mg sebelum
rinoplasti lebih berdayaguna dibandingkan
plasebo (salin) untuk mengurangi pem-
bengkakan periorbita dan ekimosis akibat 10
luasnya daerah pembedahan. Pada kedua
kasus di atas, pasien diberi deksametason
sebelum dan setelah operasi mulai dari dosis
20 mg dengan tapering off; tidak ditemukan
edema periorbital ataupun ekimosis. Pembe-
rian antibiotik penting untuk mencegah
infeksi sekunder. Analgesik yang diberikan
sebaiknya golongan anti-inflamasi non-
steroid (AINS) yang mempunyai potensi
antiinflamasi dan analgesik seimbang.
Simpulan
Telah dilaporkan 2 kasus deformitas hidung
pasca-trauma hidung lama (lebih dari 7 hari)
dan sudah dilakukan rinoplasti traumatik
dengan hasil baik.
LAPORAN KASUS
DAFTAR PUSTAKA
1. Foda HTM. External rhinoplasty: a critical analysis of 500 cases. J Laryngol. Otol. 2003; 117:473-77.
2. Koltai PJ, Hoehn J, Bailey CM. The external rhinoplasty approach for rhinologic surgery in children. Arch
Otolaryngol Head Neck Surg. 1992; 118:401-5.
3. Riechelmann H, Rettinger G. Three-step reconstruction of complex saddle nose deformities. Arch Otolaryngol
Head Neck Surg. 2004; 130:334-8.
4. Dayan SH, Shah AR. A suture suspension technique for improved repair of crooked nose deformity. Facial Plast
Surg. 2004;83: 743-4.
5. RSUP Dr. Sardjito. Data rekam medis RSUP Dr Sardjito Jogjakarta 2004.
6. Calhun KH. Introduction to rhinoplasty. In Head and neck surgery-otolaryngology. 2nd ed.
Philadelphia:Lippincott-Raven Publ. 1998.
7. Toriumi DM. External rhinoplasty approach. In Head and neck surgery-otolaryngology. 2nd ed
Philadelphia:Lippincott-Raven Publ. 1998.
8. Joseph EM, Glasgold AI. Anatomical consideration in the management of the hanging columella. Arch Facial
Plast Surg. 2000; 2:173-7.
9. Hoffman DF, Cook TA, Quatela VC, Wang TD, Browarigg, Brummett RE. Steroid and rhinoplasty: double blind
study. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1991; 117:990-3.
10. Erisir F, Oktem F, Inci E. Effects of steroids on edema and ecchymosis in rhinoplasty. Turk Arch ORL. 2001;
39:171-5.