Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media
-
Upload
melianifitri -
Category
Documents
-
view
210 -
download
5
Transcript of Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media
Referat
Rinitis Alergi Sebagai Faktor Risiko Otitis Media Akut
Stadium Oklusi
Oleh:
Feby Purnama 06120151
Retriani Sutrisno 06923061
Sara Viqqi 07923090
Preseptor:
Dr. Yan Edward, SpTHT-KL
BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang paling sering ditemukan. Berdasarkan
studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10 – 20 % dan secara
konstan meningkat dalam decade ini.1
Penyakit ini dapat mengganggu kehidupan sehari-hari selain penyembuhannnya berbiaya
relative mahal juga bersifat rekuren, kronis, progresif, reversible pada tahap awalnya serta
irreversible pada tahap lanjut. Penyakit rinitis alergi banyak dijumpai pada prakter dokter sehari-
hari dan prevalensinnya di Indonesia belum diketahui secara pasti. Di Eropa Barat prevalensi
rinitis alergi sebesar 20% pada anak dan dewasa muda, sedangkan di Amerika Utara dan Korea
10 - 20%.7 Di Semarang, oleh Suprihati (2005) pada anak sekolah usia 13-14 tahun sebesar
18,6%. 1,2
Rinitis alergi juga memberikan kontribusi variasi komplikasi seperti sinusitis, otitis
media, dan asma (Klaewsongkram et al 2003). Telah diketahui bahwa alergi memberikan
kontribusi terhadap otitis media. Tetapi bukti yang ada bertentangan. Beberapa studi tidak
menerangkan prevalensi yang lebih besar pada penderita atopi dan alergi pada otitis media
dibandngkan dengan subjek kontrol yang normal sehingga hal tersebut mungkin bisa terjadi
bahwa perubahan patologis yang berhubungan dengan rhinitis dapat mengakibatkan obstruksi di
tuba eustachius dengan disfungsi dan efusi telinga tengah. Rinitis alergi berpotensi mengalami
komplikasi seperti sinusitis, polip nasi dan disfungsi tuba. Disfungsi tuba pada rhinitis alergi
diakibatkan oleh sumbatan tuba. Sumbatan menyebabkan proteksi, drainase dan aerasi telinga
tengah terganggu. Gangguan ini akan menimbulkan kelainan telinga tengah derajat ringan
sampai berat, tergantung dari lama dan beratnya rhinitis alergi serta faktor lainnya.1,2
1.1 Batasan masalah
Pembahasan referat ini dibatasi pada hubungan rinitis alergi dengan otitis media akut
stadium oklusi.
1.2 Tujuan penulisan
2
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca mengenai hubungan rinitis
alergi dengan otitis media akut stadium oklusi.
1.3 Metode penulisan
Referat ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung
2.1.1. Anatomi Hidung
A. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah : 3,4,
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars allaris. Kerja
otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi eksternus
melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut
dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh : 3,4,
- Superior : os frontal, os nasal, os maksila
- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi fleksibel.
Perdarahan : 4,5
1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika,
cabang dari a. Karotis interna).
2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna,
cabang dari A. Karotis interna)
3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan : 4,5
4
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
B. Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang
membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan
dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas –
batas kavum nasi : 4,5
Posterior : berhubungan dengan nasofaring
Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus
sfenoidale dan sebagian os vomer
Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian
atap. Bagian ini dipisahkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra
dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh
kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum
yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa
= kolumna = kolumela.
Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid,
konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.
Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan
belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan
sinus sfenoid. Kadang – kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di
bagian ini. 4
5
Gambar 1.1. Anatomi Hidung
Perdarahan : 4
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang
merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan cabang
dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan
bersama – sama arteri.
Persarafan : 4
1. Anterior kavum nasal dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior
2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum
masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi
N. Sfenopalatinus.
C. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital
6
skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan
oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. 3,4
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia
akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat – obatan. 3,4
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified
columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang,
sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. 3,4
2.1.2. Fisiologi hidung
Hidung memiliki beberapa fungsi penting, antara lain :
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. 3,4
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.3,4
7
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37o C. 3,4
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh : 3,4
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir
ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
nafas dengan kuat. 3,4
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau. 3,4
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara. 3,4
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas. 3,4
2.2. Rinitis Alergi
8
2.2.1. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,
1986).5
Menurut WHO ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.5
2.2.2. Epidemiologi
Meskipun insiden rinitis alergika yang tepat tidak diketahui, tampaknya menyerang sekitar
10 persen dari populasi umum (Norman, 1985).5
2.2.3. Klasifikasi
Menurut klasifikasi WHO Initiative ARIA tahun 2001, berdasarkan sifat berlangsungnya
rinitis alergi dibagi menjadi5 :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :
1. Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
2.2.4. Etiologi dan Patogenesis
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu reaksi
alergi fase cepat yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan
reaksi alergi fase lambat yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-
reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.5
9
2.2.5. Gambaran klinis
Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan hidung.
Pembagian rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi rinitis
musiman (seasonal allergic rinitis), sepanjang tahun (perenial allergic rinitis), dan akibat kerja
(occupational allergic rinitis). Gejala rinitis sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita.
Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang abnormal,
maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit
berwarna kehitaman dibawah kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse
nasal crease), edema konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung
dengan spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membran mukosa edema, basah dan
kebiru-biruan (boggy and bluish).5
Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan masalah
sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga. Kualitas
hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas. Pengobatan rinitis juga mempengaruhi
kualitas hidup baik positif maupun negatif. Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup,
sedangkan non sedatif antihistamin berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Pembagian lain
yang lebih banyak diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup,
menjadi intermiten ringan-sedang-berat, dan persisten ringan-sedang-berat.5
2.2.6. Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi di hadapan pemeriksa.
Hampir 50 % diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala yang khas adalah
terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,
terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process).
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali
gejala yang muncul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.5
10
b. Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak
adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain itu sering juga
tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan menggunakan punggung tangan,
yang disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut
allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak
granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah
tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).5
c. Pemeriksaan penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total
seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam
penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST atau ELISA.
Pemeriksaan sitologi hidung, jika ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.5
In vivo :
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). Untuk alergi makanan, uji
kulit yang banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT),
namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (”Challenge
Test”).5
2.2.7. Diagnosis Banding
Rinitis alergi perlu dibedakan dari rinitis vasomotor ataupun idiopatik, rinitis infeksiosa,
rinitis sekunder dari obat-obatan baik local (Neo-Synephrine dan kkokain) maupun sistemik
11
(beta bloker, aspirin, reserpin, morfin), rinitis sekunder dari factor mekanis, tumor hidung, polip
hidung, rhinorea serebrospinal, iritan kimia, factor psikologis dan mastositosis hidung.5
2.2.8. Penatalaksanaan
Tata laksana Rinitis Alergi secara umum, antara lain5:
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya
dan eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1. Pemberian dapat dalam kombinasi
atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Preparat kortikosteroid dipilih bila
gejala terutama sumbatan hidung tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Pengobatan baru
lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan.
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat
dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor
asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan
IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.
2.3. Anatomi Telinga
2.3.1. Anatomi dan Fisiologi Telinga
Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar atau
pinna (aurikula) merupakan gabungan dari rawan yang meliputi kulit. Liang telinga
memiliki tulang rawan pada bagian lateral namun bertulang disebelah medial. Sendi
temporomandibularis dan kelenjer parotis terletak didepan liang telinga sementara prosesus
mastoideus terletak dibelakangnya. Saraf fasialis meninggalkan foramen stilomastoideus
dan berjalan kelateral menuju prosesus stiloideus di posterioinferior liang telinga, dan
kemudian berjalan dibawah liang telinga untuk memasuki kelenjer parotis.6
12
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar membran timpani, batas depan
tuba eustachius, batas bawah vena jugularis (bulbus jugularis), batas belakang aditus ad
antrum, kanalis fasialis pars vertikalis, batas atas tegmen timpani (meningen/otak), batas
dalam berturut-turut dari atas kebawah kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis,
tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promontorium.6
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga
dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran
shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya
berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam
dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran nafas. Pars tensa mempunyai
satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin
yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.6
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai
umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) kearah bawah yaitu pada
pukul 7 untuk membran timpani kira dan pukul 5 untuk membran timpani kanan. Reflek
cahaya ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran timpani. Di membran
timpani terdapat dua macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan
timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut itu. Secara klinis reflek cahaya ini dinilai,
misalnya bila letak reflek cahaya ini mendatar , berarti terdapat gangguan pada tuba
eustachius.6
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan
prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus paada garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan, serta bawah-belakang, untuk
menyatakan letak perforasi membran timpani.6
Bila melakukan miringotomi atau parasentesis, dibuat insisi dibagian bawah belakang
membran timpani, sesuai dengan arah serabut membran timpani. Di daerah ini tidak
terdapat tulang pendengaran. Di dalam teling tengah terdapat tulang-tulang pendengaran
yang tersusun dari luar kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes.6
13
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus
maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat
pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea.
Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.6
Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ada
antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid.6
Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah
nasofaring dengan telinga tengah.6
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran
dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea
disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibule.6
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibule setelah
atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala
vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Hal
ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli
(reissner’s membran) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran
ini terletak organ corti.6
Pada skala media terdapat bagian yang berbentu lidah yang disebut membran tektoria,
dan pada membran basal melekat sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang
membentuk organ Corti.6
2.3.2. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut
menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan
tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan
14
melalui membran reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak
relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang
mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal
ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini
menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke
dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditoris, lalu dilanjutkan
ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.6
2.4. Otitis Media
2.4.1. Definisi
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.7
Otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif (otitis
media serosa, otitis media sekretoria, otitis media musinosa, otitis media efusi/OME).
Masing-masing golongan mempunyai bentuk akut dan kronis, yaitu : otitis media supuratif
akut (OMA), otitis media supuratif kronis (OMSK). Otitis media serosa terbagi menjadi
otitis media serosa akut (barotrauma=aerotitis), dan otitis media serosa kronis. Selain itu
terdapat juga otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika,
otitis media adhesiva. 7
2.4.2. Epidemiologi
Otitis media paling sering pada anak-anak antara masa neonatal dan usia 7 tahun,
kira-kira 70 % dari anak-anak memiliki 1 atau lebih episode pada 3 tahun pertama
kehidupannya. 7
Keseluruhan insiden dari semua komplikasi otitis media menurun sejak ditemukan
pengobatan antibakteri yang efektif. Di Amerika Serikat, pada era preantibiotika, insiden
mastoiditis yang memerlukan pengobatan pembedahan adalah 25-50%. Pada tahun 1980,
insiden menurun sampai kira-kira 0,02%. Pada tahun 1995 kangsanak dkk melaporkan
24.321 pasien otitis media dengan angka komplikasi intrakranial 0,36%.7
15
2.4.3. Etiologi
Kuman penyebab utama pada OMA adalah bakteri piogenik, seperti streptokokus
hemolitikus, stafilokokus aureus, pneumokokus. Kadang-kadang juga ditemukan hemofilus
influenza, Escherichia colli, streptokokus anhemolitikus, proteus vulgaris dan
pseudomonas aurugenosa. Hemofilus influenza sering ditemukan pada anak-anak di bawah
5 tahun.7
2.4.4.Patogenesis
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring.
Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga
tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim dan antibodi.7
OMA terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu. Sumbatan tuba eustachius
merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Oleh karena fungsi tuba eustachius
terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu sehingga
kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan. Dikatakan juga, bahwa
pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran napas atas. Makin sering seorang anak
menderita infeksi saluran napas atas, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi
terjadinya OMA di permudah oleh karena tuba eustachiusnya pendek, lebar dan agak
horizontal.7
2.4.5. Diagnosis dan Tata Laksana
Stadium OMA :
Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas 5 stadium
yaitu:
Stadium oklusi tuba eustachius
Tanda adanya oklusi tuba eustachius adalah gambaran retraksi membran timpani
akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, akibat absorpsi udara. Kadang-
kadang membran timpani tampak normal atau berwarna putih pucat. Efusi mungkin sudah
terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa
yang disebabkan oleh virus atau alergi.7
16
Stadium hiperemis (stadium pre-supurasi)
Pada stadium ini, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau
seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem. Sekret yang telah terbentuk
mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat.7
Stadium Supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial,
serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani
menonjol (bulging) kea rah liang telinga luar. Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit,
nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat.7
Apabila tekanan nanah di cavum timpani tidak berkurang, maka terjadi iskemia akibat
tekanan pada kapiler-kapiler serta timbul tromboflebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis
mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang
lebih lembek dan berwarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur.
Bila tidak dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada stadium ini, maka
kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan nanah keluar ke liang telinga luar.
Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali, sedangkan apabila
terjadi ruptur, maka lubang tempat ruptur (perforasi) tidak mudah menutup kembali.
Stadium perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau virulensi
kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir
dari telinga temgah ke liang telinga luar.7
Stadium Resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan-lahan
akan kembali normal. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan
akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi
dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi
menetap dengan sekret yang terus menerus atau hilang timbul. OMA dapat menimbulkan
17
gejala sisa (sekuele) berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa
terjadinya perforasi.7
2.5. Tuba Eustachius
2.5.1. Anatomi Tuba Eustachius
Tuba eustachius adalah saluran penghubung antara kavum timpani dengan
nasofaring. Melalui saluran ini memungkinkan kavum timpani berhubungan dengan udara
luar (atmosfer) melalui nasofaring dan kavum nasi.8
Bagian lateral tuba eustachius adalah yang bertulang sementara 2/3 bagian medial
bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebelah atas bagian bertulang.
Sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan
melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot konstriktor superior. Bagian
ini biasanya tertutup tapi dapat dibuka melalui kontraksi otot levator palatinum yang
masing-masing dipersarafi pleksus faringealis dan saraf mandibularis.8
Tuba eustachius pada anak lebih pendek dibanding pada dewasa mencapai ukuran
yang menetap pada usia 6 tahun. Tuba pada dewasa memiliki panjang 31 – 38 mm. Tuba
pada dewasa menyudut 45o terhadap bidang horizontal, sedang pada bayi hanya 100. Tuba
pars osseus selalu terbuka. Sementara itu pars cartilaginous selalu tertutup kecuali saat
tertentu seperti menguap, menelan.8,9
Lapisan mukosa tuba eustachius merupakan lanjutan mukosa nasofaring dan
mukosa kavum timpani . Kelenjar mukosa dominan di orifisum faringeum sedangkan
mukosa dekat kaum timpani terdapat campuran antara sel goblet, kolumner, silindris, serta
submukosa yang berisi jaringan limfoid.8,9
Ada 4 otot yang berhubungan dengan tuba, yaitu : Tensor veli palatine, levator veli
palatine, salfingofaring, dan tensor timpani. Keempat otot ini berfungsi dalam pembukaan
tuba. Di antara keempat otot ini yang paling besar peranannya adalah tensor veli palatine.
Penutupan tuba ini terjadi secara pasif yaitu karena reproksimasi dinding tuba akibat
penekanan ekstrinsik jaringan di sekitar tuba, efek recoil jaringan elastik pada dinding tuba,
atau kombinasi kedua mekanisme tersebut.8,9
2.5.2. Fisiologi Tuba Eustachius
Tuba eustachius menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani
dengan tiga fungsi : ventilasi, proteksi, dan drainase kavum timpani. Ketiga fungsi ini
18
sangat vital guna menunjang agar telinga tengah tidak mengalami patologi dan dapat
menjalankan fungsinya secara optimal.8,9
Ventilasi memungkinkan terjadinya aerasi dan penyeimbangan tekanan kavum
timpani dengan atmosfer. Aerasi atau pengudaraan adalah pemberian udara segar kaya
oksigen dari nasofaring yang selalu sama dengan atmosfer, ke kavum timpani melalui tuba.
Mengingat tuba hanya membuka waktu tertentu saja, maka aerasi hanya terjadi di waktu
tertentu saja. Bersamaan dengan aerasi terjadi pula penyeimbangan tekanan udara di kavum
timpani dengan di nasofaring. Kedua proses ini adalah upaya penurunan oksigen dan
tekanan udara di kavum timpani akibat resorbsi oleh mukosa.8
Proteksi bertujuan agar proses infeksi di saluran nafas atas tidak mudah meluas ke
kavum timpani. Sementara itu drainase berfungsi untuk membuang sekret yang ada di
kavum timpani ke nasofaring. Drainase ini terjadi melalui mekanisme transport mukosiliar
yang dimiliki tuba.8
2.5.3. Disfungsi Tuba
2.5.2.1. Penyebab Disfungsi
Seperti sudah disebutkan bahwa pars cartilaginous tuba tertutup dan terbuka pada
waktu tertentu saja. Apabila selalu terbuka (tuba paten) menimbulkan gejala autofoni
(mendengar suara sendiri). Bila selalu tertutup menimbulkan gangguan yang lebih serius.
Tuba yang selalu tertutup ini disebut obstruksi atau oklusio tuba. Obstruksi/oklusi atau
lebih tepatnya kegagalan membuka tuba ini diakibatkan oleh beberapa sebab, baik sebab
anatomis, fisiologis hingga patologis.9
Sebab anatomis jarang, contohnya pada palatoskisis. Sebab fisiologis, contohnya
saat pesawat sedang landing. Peningkatan tekanan udara luar yang besar dan cepat tidak
dapat dikoreksi oleh otot- otot pembuka tuba. Sebab patologis obstruksi tuba bisa dibagi
menjadi intrinsik (intraluminal) dan ekstrinsik ( ekstraluminal). Penyebab intrinsik
obstruksi tuba tersering adalah radang pada mukosa tuba baik karena infeksi ataupun alergi.
Sementara itu penyebab ekstrinsik obstruksi tuba adalah tekanan jaringan perituba,
termasuk kelenjar perilimfe perituba yang mengalami pembesaran baik akibat radangan
atau neoplasma.9
Sesuai dengan uraian di atas maka apabila terjadi kegagalan pembukaan tuba akan
berakibat gangguan pada telinga tengah (kavum timpani). Gangguan pertama adalah tidak
19
terkoreksinya penurunan oksigen dan tekanan udara di kavum timpani. Bila ini berlanjut
akan terjadi gangguan yang lebih berat berupa otitis media dengan efusi. Bila obstruksinya
karena penyakit infeksi seperti infeksi saluran nafas, terutama pada anak akan
menyebabkan otitis media akut.9
2.5.2.2. Gejala dan Tanda Disfungsi Tuba Non Infeksi
Gejala dan tanda disfungsi tuba non infeksi tergantung pada jenis/beratnya
gangguan yang terjadi . Pada gangguan yang ringan atau masih pada tahap awal, gejala dan
tanda yang terjadi adalah akibat penurunan tekanan telinga tengah relatif (dibanding
tekanan udara luar). Tekanan negatif ini berakibat pada perasaan tidak nyaman pada
telinga, telinga terasa penuh, pendengaran sedikit menurun. Pada otoskopi terlihat adanya
retraksi pada membran timpani. Pada gangguan yang lebih berat atau tahap lanjut akan
terjadi otitis media dengan efusi dengan keluhan seperti kondisi sebelumnya tetapi lebih
berat dan sering disertai tinitus. Pada otoskopi terlihat membran timpani keruh, reflek
cahaya tidak terlihat dan membran timpani mencembung. Kadang-kadang terlihat adanya
‘air fluid level’.9
2.6. Hubungan Disfungsi Tuba dengan Rinitis Alergi
Patogenesis rinitis alergi berupa keluarnya mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin, leukotrien, kinin, dan lain-lain yang mengakibatkan permeabilitas vaskuler
dengan segala akibatnya tidak saja pada mukosa hidung, tetapi juga pada mukosa celah
telinga tengah, baik tuba maupun kavum timpani.8
Sebuah studi melaporkan ditemukannya sel mast dan triptase pada kavum timpani.
Ini memberi kesan bahwa otitis media sebagai respon alergi. Studi lain mengungkapkan
peran disfungsi tuba eustachius pada patogenesis otitis media.9
Rinitis alergi dapat menyebabkan obstruksi tuba eustachius. Pada obstruksi tuba
yang kronis pertukaran gas di kavum timpani tetap terjadi O2 diresorbsi dan CO2
dikeluarkan terjadi dalam ruangan tertutup. Di kavum timpani berlangsung proses di mana
oksigen semakin berkurang dan karbondioksida bertambah menyebabkan PO2 turun dalam
kapiler dan PCO2 tetap. Terjadi perubahan rasio di kapiler menyebabkan permeabilitas
kapiler meningkat, keluar serum dan terjadi edema interseluler yang berakibat lanjut
terjadinya efusi di kavum timpani.9
20
Alur patogenesis Rinitis Alergi yang bisa menyebabkan disfungsi tuba dapat dilihat
pada Gambar 2.9
v
Gambar 2.1. Patogenesis rinitis alergi menimbulkan disfungsi tuba9
BAB III
KESIMPULAN
21
Alergen APC (mukosa)
Sel Th 0 Sel Th 2
Ig E pada sel mast dan basofil
Sel B
Ig E
Degranulasi sel mast dan basofil
Mediator
Performed mediators(histamine, heparin,
triptase, kininogenase)
Newly mediators
(Prostaglandin, Leukotrien)
Efek mediator pada RA
Saraf(gatal, bersin)
Kelenjar (eksositosis, rinore)
Pembuluh darah(vasodilatasi, permeabilitas meningkat, edem mukosa)
Obstruksi
Disfungsi tuba
Rinitis alergi adalah suatu gangguan hidung yang disebabkan oleh reaksi peradangan
mukosa hidung diperantarai oleh imunoglobulin E (Ig E), setelah terjadi paparan allergen (reaksi
hipersensitivitas) Gejala klinik rinitis alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan
oleh sel mast, basofi l dan eosinofi l akibat reaksi alergen dengan Ig E spesifi k yang melekat di
permukaannya. Mediator yang paling banyak diketahui peranannya adalah histamin. Histamin
akan menyebabkan hidung gatal, bersin-bersin, rinore cair dan hidung tersumbat.
Pada keadaan alergi ditemukan perubahan berupa bertambahnya sel goblet dan
berkurangnya sel kolumner bersilia pada mukosa telinga tengah dan tuba auditoria sehingga
produksi cairan mukoid bertambah dan efisiensi silia berkurang. Keadaan ini bisa menyebabkan
obstruksi pada tuba sehingga terjadi gangguan keseimbangan tekanan oksigen antara ruang
telinga tengah dengan nasofaring, berupa tidak terkoreksinya penurunan tekanan oksigen dan
tekanan pada kavum timpani. Bila berlanjut akan menjadi otitis media.
DAFTAR PUSTAKA
22
1. Lumbanraja, P. Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi di Departemen THT-KL
FK USU/RSUP H. Dr. Adam Malik Medan. (Tesis). Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatra Utara ; 2007.
2. Rahmawati N, Suprihati, Muyassaroh. Faktor Risiko yang Mempengaruhi Disfungsi
Tuba Eustachius pada Pendertita Rinitis Alergi Persisten. Diunduh dari :
www.perhati.org. Diakses tanggal : 8 Februari 2012
3. Nizar, Mangunkusumo E. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Hidung dan
Telinga. Edisi Ke-6. Jakarta : FKUI. 2007 ; h. 118 - 122.
4. Snell, Richard S, Kepala dan Leher. Dalam : Anatomi Klinik. Jakarta : EGC. 1997
5. Irawati M, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Hidung dan Telinga. Edisi Ke-6. Jakarta : FKUI. 2007 ; h. 128 - 130
6. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga.
Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
Ke-6 Jakarta : FKUI. 2007 ; h. 10 - 16.
7. Djaafar Z, Helmi, Restuti R. Kelainan Telinga Tengah. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Ke-6 Jakarta : FKUI. 2007
; h. 66 – 67
8. Stephen L, Liston, Arndt J, Duval. Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi Telinga. Dalam :
Boies Buku Ajar Penyakit THT . Jakarta : EGC ; h. 33
9. Rahmawati N, Suprihati. Hubungan Rinitis Alergi dengan Disfungsi Tuba. Diunduh dari :
eprints.undip.ac.id/29135/1/Halaman_Judul.pdf. Diakses tanggal 6 Februari 2012
23