Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

35
Referat Rinitis Alergi Sebagai Faktor Risiko Otitis Media Akut Stadium Oklusi Oleh: Feby Purnama 06120151 Retriani Sutrisno 06923061 Sara Viqqi 07923090 Preseptor: Dr. Yan Edward, SpTHT-KL BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG 1

Transcript of Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

Page 1: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

Referat

Rinitis Alergi Sebagai Faktor Risiko Otitis Media Akut

Stadium Oklusi

Oleh:

Feby Purnama 06120151

Retriani Sutrisno 06923061

Sara Viqqi 07923090

Preseptor:

Dr. Yan Edward, SpTHT-KL

BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK-KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2012

1

Page 2: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang paling sering ditemukan. Berdasarkan

studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10 – 20 % dan secara

konstan meningkat dalam decade ini.1

Penyakit ini dapat mengganggu kehidupan sehari-hari selain penyembuhannnya berbiaya

relative mahal juga bersifat rekuren, kronis, progresif, reversible pada tahap awalnya serta

irreversible pada tahap lanjut. Penyakit rinitis alergi banyak dijumpai pada prakter dokter sehari-

hari dan prevalensinnya di Indonesia belum diketahui secara pasti. Di Eropa Barat prevalensi

rinitis alergi sebesar 20% pada anak dan dewasa muda, sedangkan di Amerika Utara dan Korea

10 - 20%.7 Di Semarang, oleh Suprihati (2005) pada anak sekolah usia 13-14 tahun sebesar

18,6%. 1,2

Rinitis alergi juga memberikan kontribusi variasi komplikasi seperti sinusitis, otitis

media, dan asma (Klaewsongkram et al 2003). Telah diketahui bahwa alergi memberikan

kontribusi terhadap otitis media. Tetapi bukti yang ada bertentangan. Beberapa studi tidak

menerangkan prevalensi yang lebih besar pada penderita atopi dan alergi pada otitis media

dibandngkan dengan subjek kontrol yang normal sehingga hal tersebut mungkin bisa terjadi

bahwa perubahan patologis yang berhubungan dengan rhinitis dapat mengakibatkan obstruksi di

tuba eustachius dengan disfungsi dan efusi telinga tengah. Rinitis alergi berpotensi mengalami

komplikasi seperti sinusitis, polip nasi dan disfungsi tuba. Disfungsi tuba pada rhinitis alergi

diakibatkan oleh sumbatan tuba. Sumbatan menyebabkan proteksi, drainase dan aerasi telinga

tengah terganggu. Gangguan ini akan menimbulkan kelainan telinga tengah derajat ringan

sampai berat, tergantung dari lama dan beratnya rhinitis alergi serta faktor lainnya.1,2

1.1 Batasan masalah

Pembahasan referat ini dibatasi pada hubungan rinitis alergi dengan otitis media akut

stadium oklusi.

1.2 Tujuan penulisan

2

Page 3: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca mengenai hubungan rinitis

alergi dengan otitis media akut stadium oklusi.

1.3 Metode penulisan

Referat ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.

BAB II

3

Page 4: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung

2.1.1. Anatomi Hidung

A. Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah : 3,4,

1. Pangkal hidung (bridge)

2. Dorsum nasi

3. Puncak hidung

4. Ala nasi

5. Kolumela

6. Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan

ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars allaris. Kerja

otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi eksternus

melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut

dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh : 3,4,

- Superior : os frontal, os nasal, os maksila

- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan

kartilago alaris minor

Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi fleksibel.

Perdarahan : 4,5

1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika,

cabang dari a. Karotis interna).

2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna,

cabang dari A. Karotis interna)

3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)

Persarafan : 4,5

4

Page 5: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)

2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

B. Kavum Nasi

Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang

membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan

dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas –

batas kavum nasi : 4,5

Posterior : berhubungan dengan nasofaring

Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus

sfenoidale dan sebagian os vomer

Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,

bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian

atap. Bagian ini dipisahkan dengan kavum oris oleh palatum durum.

Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra

dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh

kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum

yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa

= kolumna = kolumela.

Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid,

konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.

Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan

belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan

sinus sfenoid. Kadang – kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di

bagian ini. 4

5

Page 6: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

Gambar 1.1. Anatomi Hidung

Perdarahan : 4

Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang

merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan cabang

dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan

bersama – sama arteri.

Persarafan : 4

1. Anterior kavum nasal dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.

Etmoidalis anterior

2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum

masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi

N. Sfenopalatinus.

C. Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas

mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar

rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai

silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara

mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital

6

Page 7: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena

diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan

oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. 3,4

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan

gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.

Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk

mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia

akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.

Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,

sekret kental dan obat – obatan. 3,4

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian

atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified

columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang,

sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. 3,4

2.1.2. Fisiologi hidung

Hidung memiliki beberapa fungsi penting, antara lain :

1. Sebagai jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka

media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini

berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan

kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian

depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran

dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. 3,4

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang

akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :

a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim

panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,

sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.3,4

7

Page 8: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di

bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi

dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui

hidung kurang lebih 37o C. 3,4

3. Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan

dilakukan oleh : 3,4

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan

partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir

ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.

d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

4. Indra penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada

atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau

dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik

nafas dengan kuat. 3,4

5. Resonansi suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan

menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau. 3,4

6. Proses bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga

mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara. 3,4

7. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,

kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks

bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,

lambung dan pankreas. 3,4

2.2. Rinitis Alergi

8

Page 9: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

2.2.1. Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien

atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu

mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,

1986).5

Menurut WHO ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi

adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah

mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.5

2.2.2. Epidemiologi

Meskipun insiden rinitis alergika yang tepat tidak diketahui, tampaknya menyerang sekitar

10 persen dari populasi umum (Norman, 1985).5

2.2.3. Klasifikasi

Menurut klasifikasi WHO Initiative ARIA tahun 2001, berdasarkan sifat berlangsungnya

rinitis alergi dibagi menjadi5 :

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4

minggu.

2. Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :

1. Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang-berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

2.2.4. Etiologi dan Patogenesis

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi

dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu reaksi

alergi fase cepat yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan

reaksi alergi fase lambat yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-

reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.5

9

Page 10: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

2.2.5. Gambaran klinis

Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan hidung.

Pembagian rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi rinitis

musiman (seasonal allergic rinitis), sepanjang tahun (perenial allergic rinitis), dan akibat kerja

(occupational allergic rinitis). Gejala rinitis sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita.

Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang abnormal,

maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit

berwarna kehitaman dibawah kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse

nasal crease), edema konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung

dengan spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membran mukosa edema, basah dan

kebiru-biruan (boggy and bluish).5

Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan masalah

sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga. Kualitas

hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas. Pengobatan rinitis juga mempengaruhi

kualitas hidup baik positif maupun negatif. Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup,

sedangkan non sedatif antihistamin berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Pembagian lain

yang lebih banyak diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup,

menjadi intermiten ringan-sedang-berat, dan persisten ringan-sedang-berat.5

2.2.6. Diagnosis

a. Anamnesis

Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi di hadapan pemeriksa.

Hampir 50 % diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala yang khas adalah

terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,

terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini

merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process).

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan

mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali

gejala yang muncul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung

tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.5

10

Page 11: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

b. Pemeriksaan fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai

adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.

Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak

adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena

sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain itu sering juga

tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan menggunakan punggung tangan,

yang disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan

mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut

allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi sehingga akan

menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak

granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah

tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).5

c. Pemeriksaan penunjang

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total

seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam

penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST atau ELISA.

Pemeriksaan sitologi hidung, jika ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan

kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,

sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.5

In vivo :

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes kulit, uji intrakutan atau

intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). Untuk alergi makanan, uji

kulit yang banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT),

namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (”Challenge

Test”).5

2.2.7. Diagnosis Banding

Rinitis alergi perlu dibedakan dari rinitis vasomotor ataupun idiopatik, rinitis infeksiosa,

rinitis sekunder dari obat-obatan baik local (Neo-Synephrine dan kkokain) maupun sistemik

11

Page 12: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

(beta bloker, aspirin, reserpin, morfin), rinitis sekunder dari factor mekanis, tumor hidung, polip

hidung, rhinorea serebrospinal, iritan kimia, factor psikologis dan mastositosis hidung.5

2.2.8. Penatalaksanaan

Tata laksana Rinitis Alergi secara umum, antara lain5:

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya

dan eliminasi.

2. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1. Pemberian dapat dalam kombinasi

atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Preparat kortikosteroid dipilih bila

gejala terutama sumbatan hidung tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Pengobatan baru

lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan.

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat

dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor

asetat.

4. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah

berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang

memuaskan. Tujuan imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan

IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.

2.3. Anatomi Telinga

2.3.1. Anatomi dan Fisiologi Telinga

Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar atau

pinna (aurikula) merupakan gabungan dari rawan yang meliputi kulit. Liang telinga

memiliki tulang rawan pada bagian lateral namun bertulang disebelah medial. Sendi

temporomandibularis dan kelenjer parotis terletak didepan liang telinga sementara prosesus

mastoideus terletak dibelakangnya. Saraf fasialis meninggalkan foramen stilomastoideus

dan berjalan kelateral menuju prosesus stiloideus di posterioinferior liang telinga, dan

kemudian berjalan dibawah liang telinga untuk memasuki kelenjer parotis.6

12

Page 13: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar membran timpani, batas depan

tuba eustachius, batas bawah vena jugularis (bulbus jugularis), batas belakang aditus ad

antrum, kanalis fasialis pars vertikalis, batas atas tegmen timpani (meningen/otak), batas

dalam berturut-turut dari atas kebawah kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis,

tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promontorium.6

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga

dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran

shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya

berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam

dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran nafas. Pars tensa mempunyai

satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin

yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.6

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai

umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) kearah bawah yaitu pada

pukul 7 untuk membran timpani kira dan pukul 5 untuk membran timpani kanan. Reflek

cahaya ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran timpani. Di membran

timpani terdapat dua macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan

timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut itu. Secara klinis reflek cahaya ini dinilai,

misalnya bila letak reflek cahaya ini mendatar , berarti terdapat gangguan pada tuba

eustachius.6

Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan

prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus paada garis itu di umbo, sehingga

didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan, serta bawah-belakang, untuk

menyatakan letak perforasi membran timpani.6

Bila melakukan miringotomi atau parasentesis, dibuat insisi dibagian bawah belakang

membran timpani, sesuai dengan arah serabut membran timpani. Di daerah ini tidak

terdapat tulang pendengaran. Di dalam teling tengah terdapat tulang-tulang pendengaran

yang tersusun dari luar kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes.6

13

Page 14: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus

maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat

pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea.

Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.6

Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ada

antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid.6

Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah

nasofaring dengan telinga tengah.6

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran

dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea

disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibule.6

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk

lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibule setelah

atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala

vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Hal

ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli

(reissner’s membran) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran

ini terletak organ corti.6

Pada skala media terdapat bagian yang berbentu lidah yang disebut membran tektoria,

dan pada membran basal melekat sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang

membentuk organ Corti.6

2.3.2. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam

bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut

menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang

pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.

Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan

tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan

14

Page 15: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

melalui membran reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak

relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang

mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal

ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini

menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke

dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditoris, lalu dilanjutkan

ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.6

2.4. Otitis Media

2.4.1. Definisi

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba

eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.7

Otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif (otitis

media serosa, otitis media sekretoria, otitis media musinosa, otitis media efusi/OME).

Masing-masing golongan mempunyai bentuk akut dan kronis, yaitu : otitis media supuratif

akut (OMA), otitis media supuratif kronis (OMSK). Otitis media serosa terbagi menjadi

otitis media serosa akut (barotrauma=aerotitis), dan otitis media serosa kronis. Selain itu

terdapat juga otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika,

otitis media adhesiva. 7

2.4.2. Epidemiologi

Otitis media paling sering pada anak-anak antara masa neonatal dan usia 7 tahun,

kira-kira 70 % dari anak-anak memiliki 1 atau lebih episode pada 3 tahun pertama

kehidupannya. 7

Keseluruhan insiden dari semua komplikasi otitis media menurun sejak ditemukan

pengobatan antibakteri yang efektif. Di Amerika Serikat, pada era preantibiotika, insiden

mastoiditis yang memerlukan pengobatan pembedahan adalah 25-50%. Pada tahun 1980,

insiden menurun sampai kira-kira 0,02%. Pada tahun 1995 kangsanak dkk melaporkan

24.321 pasien otitis media dengan angka komplikasi intrakranial 0,36%.7

15

Page 16: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

2.4.3. Etiologi

Kuman penyebab utama pada OMA adalah bakteri piogenik, seperti streptokokus

hemolitikus, stafilokokus aureus, pneumokokus. Kadang-kadang juga ditemukan hemofilus

influenza, Escherichia colli, streptokokus anhemolitikus, proteus vulgaris dan

pseudomonas aurugenosa. Hemofilus influenza sering ditemukan pada anak-anak di bawah

5 tahun.7

2.4.4.Patogenesis

Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring.

Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga

tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim dan antibodi.7

OMA terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu. Sumbatan tuba eustachius

merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Oleh karena fungsi tuba eustachius

terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu sehingga

kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan. Dikatakan juga, bahwa

pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran napas atas. Makin sering seorang anak

menderita infeksi saluran napas atas, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi

terjadinya OMA di permudah oleh karena tuba eustachiusnya pendek, lebar dan agak

horizontal.7

2.4.5. Diagnosis dan Tata Laksana

Stadium OMA :

Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas 5 stadium

yaitu:

Stadium oklusi tuba eustachius

Tanda adanya oklusi tuba eustachius adalah gambaran retraksi membran timpani

akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, akibat absorpsi udara. Kadang-

kadang membran timpani tampak normal atau berwarna putih pucat. Efusi mungkin sudah

terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa

yang disebabkan oleh virus atau alergi.7

16

Page 17: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

Stadium hiperemis (stadium pre-supurasi)

Pada stadium ini, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau

seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem. Sekret yang telah terbentuk

mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat.7

Stadium Supurasi

Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial,

serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani

menonjol (bulging) kea rah liang telinga luar. Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit,

nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat.7

Apabila tekanan nanah di cavum timpani tidak berkurang, maka terjadi iskemia akibat

tekanan pada kapiler-kapiler serta timbul tromboflebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis

mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang

lebih lembek dan berwarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur.

Bila tidak dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada stadium ini, maka

kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan nanah keluar ke liang telinga luar.

Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali, sedangkan apabila

terjadi ruptur, maka lubang tempat ruptur (perforasi) tidak mudah menutup kembali.

Stadium perforasi

Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau virulensi

kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir

dari telinga temgah ke liang telinga luar.7

Stadium Resolusi

Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan-lahan

akan kembali normal. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan

akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi

dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi

menetap dengan sekret yang terus menerus atau hilang timbul. OMA dapat menimbulkan

17

Page 18: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

gejala sisa (sekuele) berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa

terjadinya perforasi.7

2.5. Tuba Eustachius

2.5.1. Anatomi Tuba Eustachius

Tuba eustachius adalah saluran penghubung antara kavum timpani dengan

nasofaring. Melalui saluran ini memungkinkan kavum timpani berhubungan dengan udara

luar (atmosfer) melalui nasofaring dan kavum nasi.8

Bagian lateral tuba eustachius adalah yang bertulang sementara 2/3 bagian medial

bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebelah atas bagian bertulang.

Sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan

melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot konstriktor superior. Bagian

ini biasanya tertutup tapi dapat dibuka melalui kontraksi otot levator palatinum yang

masing-masing dipersarafi pleksus faringealis dan saraf mandibularis.8

Tuba eustachius pada anak lebih pendek dibanding pada dewasa mencapai ukuran

yang menetap pada usia 6 tahun. Tuba pada dewasa memiliki panjang 31 – 38 mm. Tuba

pada dewasa menyudut 45o terhadap bidang horizontal, sedang pada bayi hanya 100. Tuba

pars osseus selalu terbuka. Sementara itu pars cartilaginous selalu tertutup kecuali saat

tertentu seperti menguap, menelan.8,9

Lapisan mukosa tuba eustachius merupakan lanjutan mukosa nasofaring dan

mukosa kavum timpani . Kelenjar mukosa dominan di orifisum faringeum sedangkan

mukosa dekat kaum timpani terdapat campuran antara sel goblet, kolumner, silindris, serta

submukosa yang berisi jaringan limfoid.8,9

Ada 4 otot yang berhubungan dengan tuba, yaitu : Tensor veli palatine, levator veli

palatine, salfingofaring, dan tensor timpani. Keempat otot ini berfungsi dalam pembukaan

tuba. Di antara keempat otot ini yang paling besar peranannya adalah tensor veli palatine.

Penutupan tuba ini terjadi secara pasif yaitu karena reproksimasi dinding tuba akibat

penekanan ekstrinsik jaringan di sekitar tuba, efek recoil jaringan elastik pada dinding tuba,

atau kombinasi kedua mekanisme tersebut.8,9

2.5.2. Fisiologi Tuba Eustachius

Tuba eustachius menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani

dengan tiga fungsi : ventilasi, proteksi, dan drainase kavum timpani. Ketiga fungsi ini

18

Page 19: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

sangat vital guna menunjang agar telinga tengah tidak mengalami patologi dan dapat

menjalankan fungsinya secara optimal.8,9

Ventilasi memungkinkan terjadinya aerasi dan penyeimbangan tekanan kavum

timpani dengan atmosfer. Aerasi atau pengudaraan adalah pemberian udara segar kaya

oksigen dari nasofaring yang selalu sama dengan atmosfer, ke kavum timpani melalui tuba.

Mengingat tuba hanya membuka waktu tertentu saja, maka aerasi hanya terjadi di waktu

tertentu saja. Bersamaan dengan aerasi terjadi pula penyeimbangan tekanan udara di kavum

timpani dengan di nasofaring. Kedua proses ini adalah upaya penurunan oksigen dan

tekanan udara di kavum timpani akibat resorbsi oleh mukosa.8

Proteksi bertujuan agar proses infeksi di saluran nafas atas tidak mudah meluas ke

kavum timpani. Sementara itu drainase berfungsi untuk membuang sekret yang ada di

kavum timpani ke nasofaring. Drainase ini terjadi melalui mekanisme transport mukosiliar

yang dimiliki tuba.8

2.5.3. Disfungsi Tuba

2.5.2.1. Penyebab Disfungsi

Seperti sudah disebutkan bahwa pars cartilaginous tuba tertutup dan terbuka pada

waktu tertentu saja. Apabila selalu terbuka (tuba paten) menimbulkan gejala autofoni

(mendengar suara sendiri). Bila selalu tertutup menimbulkan gangguan yang lebih serius.

Tuba yang selalu tertutup ini disebut obstruksi atau oklusio tuba. Obstruksi/oklusi atau

lebih tepatnya kegagalan membuka tuba ini diakibatkan oleh beberapa sebab, baik sebab

anatomis, fisiologis hingga patologis.9

Sebab anatomis jarang, contohnya pada palatoskisis. Sebab fisiologis, contohnya

saat pesawat sedang landing. Peningkatan tekanan udara luar yang besar dan cepat tidak

dapat dikoreksi oleh otot- otot pembuka tuba. Sebab patologis obstruksi tuba bisa dibagi

menjadi intrinsik (intraluminal) dan ekstrinsik ( ekstraluminal). Penyebab intrinsik

obstruksi tuba tersering adalah radang pada mukosa tuba baik karena infeksi ataupun alergi.

Sementara itu penyebab ekstrinsik obstruksi tuba adalah tekanan jaringan perituba,

termasuk kelenjar perilimfe perituba yang mengalami pembesaran baik akibat radangan

atau neoplasma.9

Sesuai dengan uraian di atas maka apabila terjadi kegagalan pembukaan tuba akan

berakibat gangguan pada telinga tengah (kavum timpani). Gangguan pertama adalah tidak

19

Page 20: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

terkoreksinya penurunan oksigen dan tekanan udara di kavum timpani. Bila ini berlanjut

akan terjadi gangguan yang lebih berat berupa otitis media dengan efusi. Bila obstruksinya

karena penyakit infeksi seperti infeksi saluran nafas, terutama pada anak akan

menyebabkan otitis media akut.9

2.5.2.2. Gejala dan Tanda Disfungsi Tuba Non Infeksi

Gejala dan tanda disfungsi tuba non infeksi tergantung pada jenis/beratnya

gangguan yang terjadi . Pada gangguan yang ringan atau masih pada tahap awal, gejala dan

tanda yang terjadi adalah akibat penurunan tekanan telinga tengah relatif (dibanding

tekanan udara luar). Tekanan negatif ini berakibat pada perasaan tidak nyaman pada

telinga, telinga terasa penuh, pendengaran sedikit menurun. Pada otoskopi terlihat adanya

retraksi pada membran timpani. Pada gangguan yang lebih berat atau tahap lanjut akan

terjadi otitis media dengan efusi dengan keluhan seperti kondisi sebelumnya tetapi lebih

berat dan sering disertai tinitus. Pada otoskopi terlihat membran timpani keruh, reflek

cahaya tidak terlihat dan membran timpani mencembung. Kadang-kadang terlihat adanya

‘air fluid level’.9

2.6. Hubungan Disfungsi Tuba dengan Rinitis Alergi

Patogenesis rinitis alergi berupa keluarnya mediator inflamasi seperti histamin,

prostaglandin, leukotrien, kinin, dan lain-lain yang mengakibatkan permeabilitas vaskuler

dengan segala akibatnya tidak saja pada mukosa hidung, tetapi juga pada mukosa celah

telinga tengah, baik tuba maupun kavum timpani.8

Sebuah studi melaporkan ditemukannya sel mast dan triptase pada kavum timpani.

Ini memberi kesan bahwa otitis media sebagai respon alergi. Studi lain mengungkapkan

peran disfungsi tuba eustachius pada patogenesis otitis media.9

Rinitis alergi dapat menyebabkan obstruksi tuba eustachius. Pada obstruksi tuba

yang kronis pertukaran gas di kavum timpani tetap terjadi O2 diresorbsi dan CO2

dikeluarkan terjadi dalam ruangan tertutup. Di kavum timpani berlangsung proses di mana

oksigen semakin berkurang dan karbondioksida bertambah menyebabkan PO2 turun dalam

kapiler dan PCO2 tetap. Terjadi perubahan rasio di kapiler menyebabkan permeabilitas

kapiler meningkat, keluar serum dan terjadi edema interseluler yang berakibat lanjut

terjadinya efusi di kavum timpani.9

20

Page 21: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

Alur patogenesis Rinitis Alergi yang bisa menyebabkan disfungsi tuba dapat dilihat

pada Gambar 2.9

v

Gambar 2.1. Patogenesis rinitis alergi menimbulkan disfungsi tuba9

BAB III

KESIMPULAN

21

Alergen APC (mukosa)

Sel Th 0 Sel Th 2

Ig E pada sel mast dan basofil

Sel B

Ig E

Degranulasi sel mast dan basofil

Mediator

Performed mediators(histamine, heparin,

triptase, kininogenase)

Newly mediators

(Prostaglandin, Leukotrien)

Efek mediator pada RA

Saraf(gatal, bersin)

Kelenjar (eksositosis, rinore)

Pembuluh darah(vasodilatasi, permeabilitas meningkat, edem mukosa)

Obstruksi

Disfungsi tuba

Page 22: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

Rinitis alergi adalah suatu gangguan hidung yang disebabkan oleh reaksi peradangan

mukosa hidung diperantarai oleh imunoglobulin E (Ig E), setelah terjadi paparan allergen (reaksi

hipersensitivitas) Gejala klinik rinitis alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan

oleh sel mast, basofi l dan eosinofi l akibat reaksi alergen dengan Ig E spesifi k yang melekat di

permukaannya. Mediator yang paling banyak diketahui peranannya adalah histamin. Histamin

akan menyebabkan hidung gatal, bersin-bersin, rinore cair dan hidung tersumbat.

Pada keadaan alergi ditemukan perubahan berupa bertambahnya sel goblet dan

berkurangnya sel kolumner bersilia pada mukosa telinga tengah dan tuba auditoria sehingga

produksi cairan mukoid bertambah dan efisiensi silia berkurang. Keadaan ini bisa menyebabkan

obstruksi pada tuba sehingga terjadi gangguan keseimbangan tekanan oksigen antara ruang

telinga tengah dengan nasofaring, berupa tidak terkoreksinya penurunan tekanan oksigen dan

tekanan pada kavum timpani. Bila berlanjut akan menjadi otitis media.

DAFTAR PUSTAKA

22

Page 23: Refrat Rhinitis Alergi Dgn Otitis Media

1. Lumbanraja, P. Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi di Departemen THT-KL

FK USU/RSUP H. Dr. Adam Malik Medan. (Tesis). Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatra Utara ; 2007.

2. Rahmawati N, Suprihati, Muyassaroh. Faktor Risiko yang Mempengaruhi Disfungsi

Tuba Eustachius pada Pendertita Rinitis Alergi Persisten. Diunduh dari :

www.perhati.org. Diakses tanggal : 8 Februari 2012

3. Nizar, Mangunkusumo E. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Hidung dan

Telinga. Edisi Ke-6. Jakarta : FKUI. 2007 ; h. 118 - 122.

4. Snell, Richard S, Kepala dan Leher. Dalam : Anatomi Klinik. Jakarta : EGC. 1997

5. Irawati M, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Hidung dan Telinga. Edisi Ke-6. Jakarta : FKUI. 2007 ; h. 128 - 130

6. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga.

Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi

Ke-6 Jakarta : FKUI. 2007 ; h. 10 - 16.

7. Djaafar Z, Helmi, Restuti R. Kelainan Telinga Tengah. Dalam : Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Ke-6 Jakarta : FKUI. 2007

; h. 66 – 67

8. Stephen L, Liston, Arndt J, Duval. Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi Telinga. Dalam :

Boies Buku Ajar Penyakit THT . Jakarta : EGC ; h. 33

9. Rahmawati N, Suprihati. Hubungan Rinitis Alergi dengan Disfungsi Tuba. Diunduh dari :

eprints.undip.ac.id/29135/1/Halaman_Judul.pdf. Diakses tanggal 6 Februari 2012

23