Lapsus Rhinitis Alergi

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya. Rinitis alergi merupakan penyakit hipersensitifitas tipe 1 yang diperantarai oleh IgE pada mukosa hidung dengan gejala karakteristik berupa bersin-bersin, rinore encer, obstruksi nasi dan hidung gatal. Gejala terjadi pada hidung dan mata dan biasanya terjadi setelah terpapar debu, atau serbuk sari musiman tertentu pada orang-orang yang alergi terhadap zat ini. Berdasarkan atas saat pajanan rhinitis alergi diklasifikasikan menjadi rhinitis alergi musiman (seasonal) dan rhinitis alergi tahunan (perennial). ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) bekerjasama dengan WHO 2001 membuat klasifikasi baru rhinitis alergi berdasarkan parameter gejala dan kualitas hidup penderita. Berdasarkan atas lama dan beratnya penyakit, rhinitis alergi diklasifikasikan menjadi intermiten ringan, intermiten sedang berat, persisten ringan dan persisten berat. Rhinitis alergi bukanlah kondisi yang mengancam jiwa, namun komplikasi masih dapat terjadi dan 1

Transcript of Lapsus Rhinitis Alergi

Page 1: Lapsus Rhinitis Alergi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang

terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup

penderitanya. Rinitis alergi merupakan penyakit hipersensitifitas tipe 1 yang

diperantarai oleh IgE pada mukosa hidung dengan gejala karakteristik berupa

bersin-bersin, rinore encer, obstruksi nasi dan hidung gatal. Gejala terjadi pada

hidung dan mata dan biasanya terjadi setelah terpapar debu, atau serbuk sari

musiman tertentu pada orang-orang yang alergi terhadap zat ini.

Berdasarkan atas saat pajanan rhinitis alergi diklasifikasikan menjadi

rhinitis alergi musiman (seasonal) dan rhinitis alergi tahunan (perennial). ARIA

(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) bekerjasama dengan WHO 2001

membuat klasifikasi baru rhinitis alergi berdasarkan parameter gejala dan kualitas

hidup penderita. Berdasarkan atas lama dan beratnya penyakit, rhinitis alergi

diklasifikasikan menjadi intermiten ringan, intermiten sedang berat, persisten

ringan dan persisten berat.

Rhinitis alergi bukanlah kondisi yang mengancam jiwa, namun komplikasi

masih dapat terjadi dan menyebabkan kondisi yang secara signifikan dapat

mengganggu kualitas hidup.(2) Pasien dengan rinitis alergi merasa penyakitnya

sama beratnya dengan asma berat dalam penurunan aktivitas harian. Pekerja

dengan riwayat alergi yang tidak kunjung sembuh dilaporkan 10% kurang

produktif dibandingkan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi, dan pekerja

yang menjalani pengobatan untuk rinitis alergi dilaporkan 3% kurang produktif.

Hal ini menunjukkan bahwa pengobatan yang efektif dapat menekan keseluruhan

biaya dari penurunan produktivitas.

Dua pertiga dari pasien memiliki gejala rinitis alergi sebelum usia 30, tapi

kejadiannya dapat terjadi pada usia kapanpun. Rhinitis alergi tidak memiliki

predileksi seksual. Ada kecenderungan genetik yang kuat untuk rhinitis

1

Page 2: Lapsus Rhinitis Alergi

alergi. Satu orang tua dengan riwayat rhinitis alergi memiliki sekitar 30 persen

kesempatan untuk memproduksi keturunan dengan gangguan tersebut. Resiko

meningkat sampai 50 persen jika kedua orang tua memiliki riwayat alergi. (3)

1.2. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah definisi rinitis alergi?

2. Apa saja etiologi rinitis alergi?

3. Bagaimana epidemiologi rinitis alergi?

4. Bagaimana patofisiologi rinitis alergi?

5. Bagaimana klasifikasi rinitis alergi?

6. Bagaimana penegakan diagnosis rinitis alergi?

7. Bagaimana penanganan rinitis alergi?

8. Apa saja komplikasi rinitis alergi?

9. Bagaimana prognosis rinitis alergi?

1.3. TUJUAN

1. Mengetahui definisi rinitis alergi.

2. Mengetahui etiologi rinitis alergi.

3. Mengetahui epidemiologi rinitis alergi.

4. Mengetahui patofisiologi rinitis alergi.

5. Mengetahui klasifikasi rinitis alergi.

6. Mengetahui penegakan diagnosis rinitis alergi.

7. Mengetahui penanganan rinitis alergi.

8. Mengetahui komplikasi rinitis alergi.

9. Mengetahui prognosis rinitis alergi.

1.4. MANFAAT

1. Manfaat keilmuan : Sebagai landasan ilmiah mengenai penyakit rinitis

alergi.

2. Manfaat praktis : Memberi dasar bagi penanganan rinitis alergi bagi

dokter umum maupun spesialis di tempat pelayanan kesehatan.

2

Page 3: Lapsus Rhinitis Alergi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Definisi rinitis alergi menurut WHO

ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on

Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada

hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah

mukosa hidung terpapar alergen yang

diperantarai oleh Ig E.

GAMBAR 1. RHINITIS ALERGI

2.2. ETIOLOGI

Rinitis alergi dapat disebabkan oleh faktor herediter (riwayat rinitis alergi

dalam keluarga), faktor lingkungan (pajanan debu dan jamur), pajanan alergen

(serbuk sari, bulu hewan, dan makanan), perokok pasif (terutama dalam masa

kanak-kanak), polusi pabrik.

Pada bayi dan balita, alergen makanan seperti susu, telur, kedelai serta

debu dan alergen inhalan merupakan penyebab utama dan menjadi komorbid dari

penyakit dermatitis atopi, otitis media, dan astma.

2.3. EPIDEMIOLOGI

Penelitian di Scandinavia menunjukkan prevalensi pada laki-laki adalah

15% dan 14% pada wanita. Prevalensi penyakit ini sangat bervariasi antara

populasi dan budaya yang disebabkan oleh perbedaan genetik, faktor geografi atau

perbedaaan lingkungan. Pada anak-anak, lebih sering muncul pada laki-laki

dibanding perempuan. tetapi pada dewasa dapat terjadi dengan prevalensi yang

sama. Onset sering terjadi pada masa anak-anak, usia remaja dan dewasa muda,

dengan usia onset rata-rata 8-11 tahun. Rinitis alergi dapat muncul pada usia

berapa saja, dalam 80% terjadi pada usia 20 tahun. Prevalensi dari penyakit ini

telah dilaporan sebanyak 40% pada anak-anak, dan menurun sesuai dengan usia.

3

Page 4: Lapsus Rhinitis Alergi

2.4. PATOFISIOLOGI

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan

tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Alergi terdiri

dari 2 fase yaitu Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak

dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)

yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah

pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

GAMBAR 2. REAKSI ALERGI PADA RINITIS ALERGI

Pada kontak pertama dengan alergen (sensitisasi), makrofag atau monosit

yang berperan sebagai APC akan menangkap alergen yang menempel di

permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen

pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk

komplek peptida MHC kelas II (Major Histo Compatibility Complex) yang

kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian APC akan melepas

sitokin seperti IL-1 yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th

1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan

IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,

sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E. Ig

E di sirkulasi darah akan masuk kejaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di

permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi

4

Page 5: Lapsus Rhinitis Alergi

aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang

sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat alergen spesifik dan terjadi

degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya

mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin.

Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain

prostaglandin D2 (PG D2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),

bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-

6, IL-6, PAF, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor)).

Inilah yang disebut Reaksi Alergi Fase Cepat.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf sehingga

menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin. Histamin juga menyebabkan

kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler

meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat

vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf, juga

mengakibatkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran

Inter Celluler Adhesion Molecule 1 (lCAM-1).

GAMBAR 3. PATOFISIOLOGI RINITIS ALERGI ( EARLY AND LATE PHASE REACTION )

Pada RAFC, sel mastosit akan melepaskan molekul komotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini

tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai

puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ditandai dengan penambahan

5

Page 6: Lapsus Rhinitis Alergi

jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan

mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti seperti IL-3, IL-4, IL-

5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM-

1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif hidung akibat peranan eosinofil

dan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Derived Protein

(EDP), Major Basic Protein (MPB) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada

fase ini, selain factor spesifik yang memperberat gejala antara lain seperti asap

rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

2.5. KLASIFIKASI

Dahulu rinitis alergi dibedakan berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

Di indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang

mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen)

dan spora jamur.

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)

Gejala intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim, dapat ditemukan

sepanjang tahun. Penyebab yang sering ialah alergen inhalan, terutama pada

dewasa, dan alergen inhalan utama adalah alergen diluar rumah (out door).

Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya

disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria dan gangguan

pencernaan.

Saat ini digunakan berdasarkan rekomendasi dari WHO initiative ARIA

(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat

berlangsungnya dibagi menjadi:

1. Intermiten (kadang-kadang) : gejala < 4 hari/minggu atau < 4

minggu.

2. Persisten/menetap : gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih

dari 4 minggu.

Sedangkan untuk berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

6

Page 7: Lapsus Rhinitis Alergi

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas

harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang

mengganggu.

2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut

diatas.

Intermiten

Gejala

≤ 4 hari per minggu

atau ≤ 4 minggu

Persisten

Gejala

> 4 hari per minggu

dan > 4 minggu

Ringan

tidur normal

aktivitas sehari-hari, olah raga dan santai normal

bekerja dan sekolah normal

keluhan yang mengganggu (-)

Sedang-Berat

Satu atau lebih gejala

tidur terganggu

aktivitas sehari-hari, olah raga dan santai terganggu

masalah dalam sekolah dan bekerja

ada keluhan yang mengganggu

GAMBAR 4. KLASIFIKASI RINITIS ALERGI

2.6. GEJALA KLINIS

Gejala klinis yang khas adalah bersin yang berulang. Bersin biasanya pada

pagi hari dan karena debu. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik

dan perlu dicurigai adanya rinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase

cepat. Gejala lain berupa keluarnya ingus yang encer dan banyak, hidung

tersumbat, mata gatal dan banyak air mata. Pada anak-anak sering gejala tidak

khas dan yang sering dikeluhkan adalah hidung tersumbat.

Pada anak-anak, akan ditemukan tanda yang khas seperti:

1. Allergic salute

2. Allergic crease

3. Allergic shiner

4. "Bunny rabbit" nasal twiching sound

7

Page 8: Lapsus Rhinitis Alergi

Allergic salute adalah gerakan pasien menggosok hidung dengan

tangannya karena gatal. Allergic crease adalah alur yang melintang di sepertiga

bawah dorsum nasi akibat sering menggosok hidung. Allergic shiner adalah

bayangan gelap di bawah mata yang terjadi akibat stasis vena sekunder akibat

obstruksi hidung. Bunny-rabbit sound adalah suara yang dihasilkan karena lidah

menggosok palatum yang gatal dan gerakannya seperti kelinci mengunyah.

GAMBAR 5. GAMBARAN KLINIS RINITIS ALERGI

2.7. DIAGNOSIS

Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan fisik

3. Pemeriksaan sitologi hidung

4. Uji kulit

Pasien rinitis alergi datang ke klinik dengan bercerita bahwa ia sering

bersin karena serangannya tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hampir 50%

diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja

Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh melingkupi:

1. Kepala

Periksa adanya gejala khas seperti allergic shiner, allergic salute, dan

allergic crease.

2. Mata

Tentukan apakah ada eritema dan edema pada konjungtiva palpebra dan

hipertrofi papil dari konjungtiva tarsal. Kemosis pada konjungtiva mungkin

terjadi. Pasien biasanya mengalami mata berair.

8

Page 9: Lapsus Rhinitis Alergi

3. Telinga

Membran timpani harus diperiksa untuk menilai adanya infeksi kronis atau

efusi telinga tengah.

4. Hidung

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau

livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa

inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila

fasilitas tersedia. Ingus biasanya cair bening atau putih dan sedikit, jarang

bewarna kuning atau hijau. Bila ingus berwarna, kental, dan banyak,

diagnosis infeksi virus atau sinusitis dipertimbangkan. Darah kering

umumnya ditemukan sebagai trauma sekunder akibat menggosok hidung.

Periksa septum nasi untuk melihat deviasi septum atau perforasi septum yang

mungkin dapat disebabkan oleh rhinitis kronik, penyakit granulamatosis,

pecandu kokain, pengguna dekongestan berlebih, akibat operasi sebelumnya.

GAMBAR 6. KONKA PADA PASIEN RHINITIS ALERGI

5. Rongga mulut

Permukaan berbenjol-benjol atau granuler dan edema (cobblestone

appearance) pada faring posterior juga merupakan tanda dari hipertrofi

folikular dari mukosa jaringan limfoid akibat dari kongesti hidung yang

kronik. Dinding leteral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta

(geographic tongue). Ukuran tonsil dapat meberikan petunjuk ukuran dari

adenoid. Adenoid yang besar dapat menimbulkan gejala dan tanda rinitis

alergi. Sumbatan hidung yang kronis akibat hipertrofi adenoid sering

ditemukan pada anak-anak dengan otitis media dan sinusitis berulang.

9

Page 10: Lapsus Rhinitis Alergi

GAMBAR 7. GEOGRAPHIC TONGUE

Pemeriksaan sitologi hidung dilakukan dengan mengambil cairan hidung

pasien dan menempelkannya pada kaca apus dan diberi pewarna Giemsa-Wright.

Adanya sel netrofil, eosinofil, limfosit adalah fokus perhatian. Disebut eosinofilia

bila ditemukan >10% eosinofil. Eosinofilia mengarah pada penyebab berupa

alergi. Apabila netrofil > 90% maka disimpulkan terjadinya infeksi. Netrofil dan

eosinofil yang ditemukan bersamaan menunjukkan infeksi pada pasien alergi.

Apabila eosinofilia ditemukan pada anak-anak, maka rinitis alergi perlu dicurigai.

Sedangkan eosinofilia pada orang dewasa muda, maka rinitis alergi dan NARES

(non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) perlu dipikirkan. NARES

adalah pasien dengan eosinofilia yang tidak menunjukkan nilai positif pada tes

kulit dengan allergen yang sering menyebabkan keluhan bersin.

Uji kulit atau Prick test, digunakan untuk menentukan alergen penyebab

rinitis alergi pada pasien. Alergen dapat berupa tungau debu, bulu binatang,

jamur, dan serbuk sari. Tes kulit yang positif menunjukkan adanya antibiodi IgE

yang spesifik terhadap alergen tersebut.

2.8. PENATALAKSANAAN

Secara umum, penatalaksaan rhinitis alergi meliputi tiga kategori besar

yaitu menghindari kontak dengan alergen dan pengelolaan lingkungan,

farmakoterapi dan imunoterapi.

1. Pengelolaan Lingkungan

Mengurangi kontak dengan alergen dapat menurunkan kadar kambuhnya

gejala rinitis alergi secara signifikan. Penderita yang alergi terhadap tepungsari

(pollen), dianjurkan mengurangi kegiatan di luar rumah selama musim yang

bersangkutan, menutup celah masuknya udara luar ke dalam rumah atau mobil

10

Page 11: Lapsus Rhinitis Alergi

serta menggunakan pendingin udara. Pengendalian debu rumah, jamur dan bulu

binatang dengan cara: (1) mengurangi kelembaban rumah; (2) mencuci pakaian

terutama alas kasur dengan air hangat; (3) jauhkan karpet dan binatang piaraan

dari ruang yang sering digunakan penderita; (4) menggunakan bahan yang

hipoalergenik; dan (5) bagi penderita yang tinggal di daerah padat dan kotor,

sedapatnya membasmi kecoa.

GAMBAR 8. PENGELOLAAN LINGKUNGAN TERHADAP ALERGEN

2. Farmakoterapi

a. Antihistamin

Antagonis histamine H-1 bekerja secara inhibitor kompetitif pada

reseptor H-1 sel target, merupakan preparat farmakologik lini pertama

pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa

kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi 2 golongan yaitu antihistamin generasi 1 (klasik) dan

generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga

dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta

serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain

adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan

yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2

bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat

selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek

antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (non-sedatif).

11

Page 12: Lapsus Rhinitis Alergi

Antihistamin oral diabsorpsi cepat dan mudah serta efektif mengatasi

gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dibagi

menjadi dua menurut keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan

terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung

disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan

aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian medadak. Kelompok

kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.

b. Dekongestan

Tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset obat topikal lebih

cepat daripada sistemik, namun dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa

bila digunakan dalam jangka waktu lama. Dekongestan sistemik yang sering

digunakan adalah pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat

ini dapat menyebabkan vasokonstriksi. Dosis: 15 mg untuk anak 2-5 tahun,

30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa, tiap 6 jam. Efek

samping yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas.

c. Antikolinergik

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk

mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan

sel efektor.

d. Penstabil Sel Mast

Contoh golongan ini adalah sodium kromoglikat. Obat ini efektif mengontrol

gejala rinitis dengan efek samping yang minimal. Sayangnya, efek terapi

tersebut hanya dapat digunakan sebagai preventif. Preparat ini bekerja

dengan cara menstabilkan membran mastosit dengan menghambat influks ion

kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi. Obat ini dapat diberikan

sebagai pilihan alternatif apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada

pasien.Kelemahan lain adalah frekuensi pemakaiannya sebanyak 6 kali per

hari sehingga mempengaruhi kepatuhan pasien.

d. Kortikosteroid

Kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon

fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai

12

Page 13: Lapsus Rhinitis Alergi

adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid,

flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal

bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,

mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas

limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung

tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon cepat

dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan

mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator

dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini menghambat proses inflamasi

dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit.

e. Imunoterapi.

Cara ini dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi, dilakukan pada

alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta

dengan pengobatan lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Ada 2

metode imunoterapi yaitu intradermal dan sublingual. Imunoterapi bekerja

dengan pergeseran produksi antibodi IgE menjadi produksi IgG atau dengan

menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T (meningkatkan produksi Th1

dan IFN). Dengan adanya IgG, maka antibodi ini akan bersifat "blocking

antibody" karena berkompetisi dengan IgE terhadap alergen, kemudian

mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-antibodi untuk difagosit.

Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam tubuh dan tidak merangsang

membran mastosit.

f. Kaustik

kaustik merupakan suatu tindakan mengoleskan aplikator kapas yang telah

dibasahi dengan cairan asam triklor asetat 100% pada mukosa konka. Tujuan

dari tindakan kaustik ini adalah untuk menyembuhkan penyakit rhinitis alergi

atau penyakit lainnya yang memerlukan tindakan kaustik.

Prosedur:

1. Dilakukan anestesi dengan lidokain 2%, ditambahkan lidokain 8% dan

ditunggu 5-10 menit.

2. Dilakukan kaustik pada konka inferior untuk rhinitis alergi.

13

Page 14: Lapsus Rhinitis Alergi

3. Atau dilakukan kaustik pada mukosa yang diterapi.

4. Dievaluasi adanya warna keputihan pada bekas olesan tersebut.

5. Kontrol 1 minggu kemudian untuk melihat hasil tindakan dan

kemungkinan komplikasi yang terjadi.

g. Konkotomi

Konkotomi dilakukan pada rhinitis alergi yang berlangsung lama dan berubah

menjadi rhinitis vasomotor. Konkotomi dilakukan pada konka inferior,

dikerjakan apabila hipertrofi berat tidak berhasil dikecilkan dengan cara

kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

GAMBAR 9. FARMAKOTERAPI UNTUK RINITIS ALERGI

14

Page 15: Lapsus Rhinitis Alergi

GAMBAR 10. ALGORITMA PENATALAKSANAAN RHINITIS ALERGI

15

Page 16: Lapsus Rhinitis Alergi

2.9. DIAGNOSIS BANDING

NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) dapat

disingkirkan bila tes kulit menunjukkan positif terhadap alergen lingkungan.

Penyebab keluhan pada NARES adalah alergi pada makanan. Rinitis vasomotor

dapat dibedakan dengan rinitis alergi dengan keluhan bersin pada perubahan suhu

ekstrim, rokok, tidak terdapat gatal pada mata, udara lembab, hidung tersumbat

pada posisi miring dan bergantian tersumbatnya. Selain itu mukosa yang pucat

atau merah gelap, licin, edema juga mendukung rinitis vasomotor. Pada tes kulit

bernilai negatif. Rinitis alergi dan vasomotor dapat pula terjadi bersamaan dengan

memberi gambaran rinoskopi anterior yang bercampur seperti mukosa pucat tetapi

positif pada tes kulit. Sekresi hidung yang kekuningan dan tampak purulen tetapi

eosinofilik sering terjadi pada rinitis alergi, tetapi pada sekresi yang berbau busuk

dan purulen dan terjadi unilateral perlu dicurigai adanya benda asing.

Tabel 1. Diagnosis Banding Rinitis Alergika

2.10. KOMPLIKASI

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

16

Page 17: Lapsus Rhinitis Alergi

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan slah satu

faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.

3. Sinusitis paranasal.

2.11. PROGNOSIS

Secara umum, pasien rinitis alergi tanpa komplikasi yang berrespon

dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi

terhadap serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman.

Prognosis sulit diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga

yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk

status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi

dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade

lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena

menurunnya sistem kekebalan tubuh.

17