Rhinitis Alergi.

download Rhinitis Alergi.

of 32

description

Rhinitis Alergi

Transcript of Rhinitis Alergi.

BAB IPENDAHULUAN

Rhinitis didefinisikan sebagai kondisi peradangan yang mempengaruhi mukosa hidung. Rhinitis dapat disebabkan oleh berbagai kondisi alergi dan nonallergic. Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.1Rhinitis alergi adalah masalah kesehatan global. Pasien dari semua negara, semua kelompok etnis, dan segala usia menderita rhinitis alergi. Lebih dari 500 juta pasien menderita penyakit ini. Rhinitis alergi menyebabkan penyakit utama dan kecacatan di seluruh dunia. Prevalensi asma didiagnosis pada pasien dengan rhinitis alergi meningkat sebagai fungsi dari masih adanya dan keparahan rhinitis. Rhinitis alergi menyebabkan gangguan tidur, kegiatan sehari-hari, dan bekerja dan dapat meningkatkan keparahan asma bersamaan. Dampak ekonomi dari rhinitis alergi adalah substansial.2Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi40%anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada kualitas hidup, bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban sosial-ekonomi, rinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernapasan utama.1Di seluruh dunia, rinitis alergi mempengaruhi antara 10% dan 30% dari populasi. Pada tahun 2012, 9,0% atau 6,6 juta anak dilaporkan rhinitis alergi dalam 12 bulan terakhir. Prevalensi gejala rinitis dalam Studi Internasional tentang Asma dan Alergi in Childhood (ISAAC) bervariasi antara 0,8% dan 14,9% di usia 6-7 tahun dan antara 1,4% dan 39,7% di usia 13-14 tahun. Negara-negara dengan prevalensi sangat rendah termasuk Indonesia, Albania, Rumania, Georgia dan Yunani. Negara-negara dengan prevalensi yang sangat tinggi termasuk Australia, Selandia Baru dan Inggris.3.4Di Indonesia, angka kejadian rhinitis alergi yang pasti belum diketahui karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Berdasarkan survei dari ISAAC (international study of asthma and allergic in childhood) pada siswa SMP umur 13-14 tahun di Semarang tahun 2001-2002, prevalensi rhinitis alergi sebesar 18%.5Diagnosis rinitis alergi seringkali mudah, tetapi dalam beberapa kasus dapat menyebabkan masalah dan banyak pasien tidak terdiagnosis, sering karena mereka tidak merasakan gejala rinitis sebagai penyakit.2

BAB IIISI

I. ANATOMI HIDUNG 6.8Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril (Lubang hidung) kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung.

Gambar 1 : anatomi hidung luarHidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.

Gambar 2 : anatomi hidungMeatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatusMeatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.

Perdarahan HidungSecara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu: 1. Arteri Etmoidalis anterior 2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika 3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksternaBagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri.

Gambar 3 : sistem perdarahan pada hidungPada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksisPada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus.

Persarafan HidungBagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum (Maran,1990; Ballenger, 1994; Hilger, 1997). Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

II. FISIOLOGI HIDUNGHidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS.Fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1) Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses bicara, (7) Reflek nasal.

III. HISTOLOGI MUKOSALuas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda.Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia.Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih ke belakang epitel bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi.Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 m dengan diameter 0,3 m. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel. Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama.Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang diduga neksin. Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 m dan diameternya 0,1 m atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding dengan sel epitel gepeng.Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya. Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap. Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali.Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril retikulin. Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf. Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi.

IV. TRANSPORTASI MUKOSILIARIS.Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transportasi mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar. Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit.Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit. Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.

V. DEFINISI 2.6Alergi merupakan manifestasi klinis respon imun yang merugikan setelah kontak berulang dengan zat biasanya tidak berbahaya seperti serbuk sari, spora jamur, bulu binatang, tungau debu, makanan, dan serangga menyengat. Rhinitis alergi adalah peradangan pada selaput lendir hidung yang disebabkan oleh reaksi IgE-mediated untuk satu atau lebih alergen.

VI. EPIDEMIOLOGI 3.4.5.6.7Di seluruh dunia, rinitis alergi mempengaruhi antara 10% dan 30% dari populasi. Pada tahun 2012, 9,0% atau 6,6 juta anak dilaporkan rhinitis alergi dalam 12 bulan terakhir. Prevalensi gejala rinitis dalam Studi Internasional tentang Asma dan Alergi in Childhood (ISAAC) bervariasi antara 0,8% dan 14,9% di usia 6-7 tahun dan antara 1,4% dan 39,7% di usia 13-14 tahun. Negara-negara dengan prevalensi sangat rendah termasuk Indonesia, Albania, Rumania, Georgia dan Yunani. Negara-negara dengan prevalensi yang sangat tinggi termasuk Australia, Selandia Baru dan Inggris.

Gambar 4: epidemiologi rhinitis alergiDi Amerika Serikat rhinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak dan menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis alergi juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli kesehatan professional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rhinitis alergi mencapai 20%.European Comunnity Respiratory Health Survey and International Study of Asthma and Allergic of Childhood (ISAAC) merupakan organisasi dunia yang melakukan studi prevalensi rinitis alergi dan asma dengan menggunakan kuesioner yang telah di standarisasi. Kuesioner ISAAC merupakan kuesioner yang akan mendiagnosa secara kasar mengenai prevalensi dan faktor resiko dari rinitis alergi. Menurut studi dari ISAAC Phase Three yang dilakukan di Asia kejadian rinitis alergi dan asma meningkat pada beberapa negara dengan pendapatan rendah-menengah. Sedangkan studi oleh World Allergy pada tahun 2008 melaporkan kejadian rinitis alergi dan asma di Asia Pasifik berjumlah antara 10%-30% pada anak dan dewasa.Untuk wilayah Indonesia, ISAAC Phase Three telah melakukan penelitian di berbagai daerah untuk mengetahui prevalensi rinitis alergi dengan menggunakan kuesioner, diantaranya yaitu Jakarta, Bandung dan Semarang. Dari hasil studi di Jakarta didapatkan 26,71% pada anak usia 13-14 tahun mengalami gejala rinitis alergi. Sedangkan di Bandung dan Semarang, prevalensi rinitis alergi pada anak usia 13-14 tahun berjumlah 19,1% dan 18,4%.Untuk wilayah Makassar, Pada unit rawat jalan Alergi Imunologi THT RS dr. Wahidin Sudirohusodo selama 2 tahun (2004-2006) didapatkan 64,4% pasien RA dari 236 pasien yang menjalani tes cukit kulit (Skin Prick Test). Sedangkan pada tahun 2008 I Wayan Karya dkk melakukan penelitian di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo dengan hasil Sampel penelitian berjumlah 30 orang terdiri dari laki-laki 14 (46,7%) dan perempuan 16 (53,3%), berumur antara 17 60 tahun, rerata umur 27,9 tahun. Kelompok umur paling banyak adalah 20 tahun. Pada kelompok kasus 14 orang (46,7%) termasuk rinitis alergi persisten sedang berat, 11 orang (36,7%) persisten ringan, 4 orang (13,3%) intermiten ringan dan 1 orang (3,3%) intermiten sedang berat.

VII. ETIOLOGI 6Perkembangan atopi dapat dipengaruhi oleh hal berikut : 1. kerentanan genetik (yaitu, riwayat keluarga)2. Faktor lingkungan (misalnya, debu dan paparan cetakan)3. Paparan alergen (misalnya, serbuk sari, bulu binatang, dan makanan)4. Paparan asap tembakau pasif (terutama pada anak usia dini); dan5. Partikel gas buang diesel (di perkotaan) diantara faktor lainnya.

Gambar 5 : reaksi alergiPada masa bayi dan kanak-kanak, alergen makanan seperti susu, telur, kedelai, gandum, tungau debu, dan alergi inhalan seperti bulu hewan peliharaan adalah penyebab utama alergi rhinitis dan komorbiditas dermatitis atopik, otitis media dengan efusi, dan asma. Pada anak yang lebih tua dan remaja, alergen serbuk sari menjadi lebih dari faktor penyebab.

VIII. PATOFISOLOGI 7.8.9.10Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung secara kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau reaksi tipe lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah di proses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) ang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.Th2 akan menghasilkan akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E. IgE di sirkulasi diikat oleh reseptor IgE dipermukaan sel mastoid atau basofil (sel mediiator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi terpapar dengan alergen yanng sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan newly formed mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LT D4), leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Pletelet Activating Factor (PAF), dan berbagai sitokin (IL 3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulosyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).

Gambar 6 : patofisiologi rhinitis alergiHistamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vadianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan kelenjar mukosa dans el globet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akan vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, neutrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta penningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte macrophag colony stimulating factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti eosinophilic derivated protein (EDP), major basic protein (MBP), dan eosinophilicc peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

IX. KLASIFIKASI 2.6.7.11.121. Rhinitis alergi musiman (Seasonal Allergic rhinitis)Gejala-gejala rinitis alergi musiman, seperti namanya, terjadi atau meningkat selama musim-musim tertentu, biasanya tergantung pada penyerbukan tanaman yang pasien alergi. Pohon menyerbuki di musim semi, rumput di akhir musim semi dan musim panas, dan gulma di musim gugur. Selain itu, cetakan dapat menyebabkan gejala di musim gugur. 2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (Perennial Allergic rhinitis)Alergen umum yang menyebabkan rinitis alergi adalah inhalansia dalam ruangan, terutama tungau debu, bulu binatang, spora jamur, dan kecoa. Alergen tertentu juga dapat menyebabkan rinitis alergi, ini biasanya tidak konstan karena mereka bergantung pada paparan di tempat kerja. Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus-menerus tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.Berdasarkan rekomendasi dari WHO initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2007, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :1. Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.2. Persisten/ menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/ minggu dan lebih dari 4 minggu.Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi :1. Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.2. Sedang berat : bila terrdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

X. GEJALA KLINIK 3.9Gejala klinik dari rhinitis alergi dapat dilihat berdasarkan klasifikasi sebagai berikut :1. Rhinitis alergi musiman (Seasonal)Gejala khas dari alergi musiman termasuk bersin, rhinorrhea berair, gatal hidung, mata, telinga, dan tenggorokan, mata merah dan berair, dan hidung tersumbat. Gejala biasanya lebih buruk di pagi hari dan diperparah oleh kondisi berangin kemarau dimana konsentrasi yang lebih tinggi dari serbuk sari didistribusikan daerah yang lebih luas. Rhintis alergi musiman biasanya ada di negara yang memiliki 4 musim dalam setahun.

2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (Perennial)Gejala-gejala rinitis alergi perennial biasanya konstan, dengan sedikit variasi musiman, meskipun mereka mungkin bervariasi dalam intensitas. Gejala khas didominasi kongesti hidung, penyumbatan, dan postnasal drip. Rhinorrhea dan bersin yang kurang umum. Gejala mata yang kurang umum, kecuali dengan alergi hewan. Serbuk sari musiman dapat menyebabkan eksaserbasi gejala-gejala tersebut. Infeksi dan iritasi nonspesifik dapat mempengaruhi rinitis alergi tahunan. Pada anak-anak dengan alergi, mungkin ada insiden yang lebih tinggi dari infeksi saluran pernapasan, yang pada gilirannya cenderung memperburuk rhinitis alergi tahunan dan dapat menyebabkan perkembangan komplikasi, terutama rinosinusitis dan otitis media dengan efusi. Iritasi lain seperti asap tembakau, asap kimia, dan polusi udara juga bisa memperburuk gejala.

XI. DIAGNOSIS 6.8.13.14.15.16Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang.1. Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa dan hampir 50% dengan anamnesis diagnosis dapat ditegakkan. Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan mengenai tempat tinggal, tempat kerja dan pekerjaan pasien. Riwayat keluarga memberikan petunjuk penting untuk diagnosa tersebut. Faktor genetik menentukan kemungkinan seseorang menjadi peka dan memproduksi antibodi IgE (yaitu, menjadi atopik). Sebuah riwayat keluarga alergi, eksema, atau asma yang meningkat kemungkinan untuk menderita rhinitis alergi. Anak-anak dengan orang tua yang memiliki alergi telah terbukti memiliki >50% kesempatan untuk menjadi alergi. Jika hanya salah satu orang tua atau saudara memiliki alergi, angka ini lebih rendah namun masih signifikan.Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya adanya rinore (cairan hidung yang bening encer), bersin berulang dengan frekuensi lebih dari 5 kali setiap kali serangan, hidung tersumbat baik menetap atau hilang timbul, rasa gatal di hidung, telinga atau daerah langit-langit, mata gatal, berair atau kemerahan, hiposmia atau anosmia (penurunan atau hilangnya ketajaman penciuman) dan batuk kronik. Ditanyakan juga apakah ada variasi diurnal (serangan yang memburuk pada pagi hari sampai siang hari dan membaik saat malam hari). Frekuensi serangan dan pengaruh terhadap kualitas hidup perlu ditanyakan. Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis, riwayat atopi di keluarga, faktor pemicu timbulnya gejala, riwayat pengobatan dan hasilnya adalah faktor-faktor yang tidak boleh terlupakan.2. Pemeriksaan FisisPemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan telinga, tenggorokan, dan saluran hidung (termasuk setelah decongesting dengan dekongestan topikal). Temuan khas di hidung pada pasien dengan rinitis alergi musiman termasuk kebiruan, pucat, basah, mukosa bengkak, sumbatan hidung. Alergi tahunan dengan hidung tersumbat adalah tanda dominan, tetapi pemeriksaan hidung mungkin tampak normal. Kelainan anatomi, seperti deviasi septum hidung, konka bulosa, dan polip hidung, mungkin ada. Perlu ditentukan apakah kelainan ini adalah penyebab utama atau faktor hanya berkontribusi untuk gejala pasien. Jika polip hidung dicurigai, pemeriksaan hidung endoskopi juga dibenarkan. Temuan fisik lain yang mungkin termasuk konjungtivitis, eksema, dan, mungkin, mengi asma. Pada anak-anak, alergi "shiners" (lingkaran hitam di bawah mata), wajah meringis, pernapasan mulut, dan "salut hidung" (menggosok konstan ujung hidung dengan tangan) adalah temuan fisik umum. Selain itu, di kelompok usia ini, otitis media bersamaan dengan efusi juga mungkinan. Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). Pada pemeriksaan hidung (rinoskopi anterior) diperhatikan adanya edema dari konka media atau inferior yang diliputi sekret encer bening, mukosa pucat dan edema. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Perhatikan juga keadaan anatomi hidung lainnya seperti septum nasi dan kemungkinan adanya polip nasi.Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Dapat menilai edema dari konka, keadaan mukosa, sekret, inflamasi, polip, hipertrofi konka, deviasi septum, penebalan mukosa dan massa tumor.3. Pemeriksaan Penunjanga. Skin prick testTes ini merupakan uji epicutaneous yang paling umum digunakan. Secara umum, itu adalah tes cepat, spesifik, aman, dan ekonomis. Dengan sistem MultiTest baru yang tersedia, itu adalah prosedur kantor yang mudah dan sederhana untuk melakukan dan juga memungkinkan untuk keseragaman dalam prosedur pengujian. Ketika hasil tes kurang tegas, sering diikuti oleh tes intradermal. Tes ini mudah dilakukan untuk mengetahui jenis alergen penyebab alergi. Ts ini dilakukan pada bagian volar kedua lengan bawah, hasil diabaca setelah 15-20 menit dengan mengukur diameter wheal. Pemeriksaan ini dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak-anak. Tes ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik. Akan lebih ideal jika bisa dilakukan Intradermal Test tunggal atau berseri Skin End Point Titration Test bila fasilitas tersedia. SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi tingkat kepekatannya. Keuntungan SET , selain allergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desentisisasi dapat diketahui.b. Intradermal TesPengujian intradermal, menggunakan kuantitatif 1: 5 pengenceran serial, adalah metode pengujian kulit pilihan untuk kebanyakan alergi otolaryngic. Jenis pengujian, disebut intradermal dilutional testing (IDT) merupakan quantifier yang sangat baik dari sensitivitas alergen, dan, dengan demikian, adalah manfaat yang signifikan dalam penyusunan imunoterapi yang aman dan hemat biaya pengobatan. Saat ini, banyak otolaryngologists menggunakan skin prick multitest sebagai tes skrining sebelum melakukan IDT.c. IgE serum totalKadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis alergi dan 75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rinitis alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan menurun pada imunodefisiensi. Pemeriksaan ini masih dipakai sebagai pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk diagnostik.d. In Vitro TestingSerum pengujian IgE-alergen spesifik adalah metode yang mudah dan akurat untuk menentukan adanya alergi atopik, dan dengan yang lebih baru dalam teknologi vitro tersedia, pengujian in vitro setidaknya setara dengan keberhasilan dalam skin prick test. Uji in vitro aman, spesifik, hemat biaya, dan dapat diulang, dan tidak memerlukan pasien untuk bebas dari antihistamin dan obat lain yang dapat mengganggu tes kulit. Mereka juga mudah dan cepat dan karena itu lebih disukai, terutama pada anak-anak dan pada pasien cemas.

e. IgE serum spesifikPemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang diagnosis rinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil negatif tapi dengan gejala klinis yang positif. Sejak ditemukan teknik RAST (Radioallergosorbent test) pada tahun 1967, teknik pemeriksaan IgE serum spesifik disempurnakan dan komputerisasi sehingga pemeriksaan menjadi lebih efektif dan sensitif tanpa kehilangan spesifisitasnya, seperti Phadebas RAST, Modified RAST, Pharmacia CAP system dan lain-lain. Waktu pemeriksaan lebih singkat dari 2-3 hari menjadi kurang dari 3 jam saja.f. Pemeriksaan SitologiDapat dilakukan untuk menindaklanjuti respon terhadap terapi atau melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung. Sekret hidung diambil pada nasal inferior turbinate dengan menggunakan kapas lidi. Secret dipulas pada kaca objek dan dilakukan pewarnaan giemsa. Sel dihitung dengan pembesaran 250 kali dan dihitung. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedang jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.g. Foto polos sinus paranasal/CT Scan/MRIDilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti adakah komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi dan jika direncanakan tindakan operasi.h. RinomanometriRinomanomteri adalah suatu teknik mengukur tahanan jalan napas hidung atau aliran udara pernapasan sebagai alat diagnostik adanya sumbatan hidung, mengevaluasi fungsi jalan napas, dan mengevaluasi efektifitas pengobatan. Seperti pasca tes provokasi atau mengevaluasi nilai tahanan hidung sebelum dan sesudah pemberian dekongestan atau kortikosteroid pada pasien rhinitis alergi.i. Tes penghidu Tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell Identification).Test ini berkembang di Amerika, pada tes ini terdapat 4 buku yang masing-masing berisi 10 odoran.2 Pemeriksaan dilakukan dengan menghidu buku uji, dimana didalamnya terkandung 10-50 odoran. Hasilnya pemeriksaan akan dibagi menjadi 6 kategori yaitu normosmia, mikrosmia ringan, mikrosmia sedang, mikrosmia berat, anosmia, dan malingering. Tes Sniffin SticksTes Sniffin Sticks adalah tes untuk menilai kemosensoris dari penghidu dengan alat yang berupa pena. Tes ini dipelopori working group olfaction and gustation di Jerman dan pertama kali diperkenalkan oleh Hummel dan kawan-kawan. Tes ini sudah digunakan pada lebih dari 100 penelitian yang telah dipublikasikan, juga dipakai di banyak praktek pribadi dokter di Eropa. Panjang pena sekitar 14 cm dengan diameter 1,3 cm yang berisi 4 ml odoran dalam bentuk tampon dengan pelarutnya propylene glycol. Alat pemeriksaan terdiri dari tutup mata dan sarung tangan yang bebas dari odoran. Pengujian dilakukan dengan membuka tutup pena selama 3 detik dan pena diletakkan 2 cm di depan hidung, tergantung yang diuji hidung sebelah kiri atau sebelah kanan. Pemeriksaan dilakukan dengan menutup mata subyek untuk menghindari identifikasi visual dari odoran. Pengujian dilakukan dengan membuka tutup pena selama 3 detik dan pena diletakkan 2 cm di depan hidung, tergantung yang diuji hidung sebelah kiri atau sebelah kanan. Pemeriksaan dilakukan dengan menutup mata subyek untuk menghindari identifikasi visual dari odoran. Dari Tes ini dapat diketahui tiga komponen, yaitu ambang penghidu (Treshold/T), diskriminasi penghidu (Discrimination/D), dan identifikasi penghidu (Identification/I). Untuk ambang penghidu (T) digunakan n-butanol sebagai odoran. Tes ini menggunakan triple forced choice paradigma yaitu metode bertingkat tunggal dengan 3 pilihan jawaban. Pengujian dilakukan dengan pengenceran n-butanol, dimulai dengan 4% n-butanol, dan dilanjutkan menjadi 16 serial pengenceran dengan perbandingan 1:2 dengan pelarut aqua deionisasi. Tes dilakukan dengan menggunakan 3 buah pena dalam urutan acak, 2 pena berisi larutan dan 1 pena berisi odoran. Pemeriksaan dilakukan dalam waktu 20 detik. Skor yang diberikan untuk ambang penghidu adalah 0 sampai 16.Untuk diskriminasi penghidu (D), dilakukan dengan menggunakan 3 pena secara acak dimana 2 pena berisi odoran yang sama dan pena ke-3 berisi odoran yang berbeda. Pasien disuruh menentukan mana odoran yang berbeda dari 3 pena tersebut. Pemeriksaan 3 serangkai pena ini dilakukan 20-30 detik. Skor untuk diskriminasi penghidu adalah 0 sampai 16.Untuk identifikasi penghidu (I), tes dilakukan dengan menggunakan 16 odoran yang berbeda, yaitu jeruk, anis (adas manis), shoe leather (kulit sepatu), peppermint, pisang, lemon, liquorice (akar manis), cloves (cengkeh), cinnamon (kayu manis), turpentine (minyak tusam), bawang putih, kopi, apel, nanas, mawar dan ikan. Untuk satu odoran yang betul diberi skor 1, jadi nilai skor untuk tes identifikasi penghidu antara 0-16. Interval antara pengujian minimal 30 detik untuk proses desensitisasi dari nervus olfaktorius. Untuk menganalisa fungsi penghidu seseorang digunakan skor TDI ( Treshold/ Discrimination/ Identification ). Hasil dari ketiga subtes Sniffin Sticks dinilai dengan menjumlahkan nilai T-D-I. Dengan rentangan skor 1-48, bila skor 15 dikategorikan anosmia, 16-29 dikategorikan hiposmia, dan 30 dikategorikan normosmia. Tes ini menggambarkan tingkat dari gangguan penghidu, tapi tidak menerangkan letak anatomi dari kelainan yang terjadi.Odoran yang terdapat dalam tes Sniffin Sticks adalah odoran yang familiar untuk negara eropa, tapi kurang familiar dengan negara lain. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan istilah lain yang familiar untuk odoran tersebut. menurut Shu33 tes Sniffin Sticks dapat digunakan pada penduduk Asia. Tes The Connectitut Chemosensory Clinical Research Center (CCCRC)Test ini dapat mendeteksi ambang penghidu, identifikasi odoran, dan evaluasi nervus trigeminal. Untuk ambang penghidu digunakan larutan butanol 4% dan diencerkan dengan aqua steril dengan perbandingan 1:3, sehingga didapat 8 pengenceran pada 8 tempat yang berbeda. Tempat untuk butanol 4% diberi nomor 0, dilanjutkan dengan pengenceran diberi sampai nomor 8. Dalam melakukan test dimulai dari nomor 8, nomor 7 dan seterusnya sampai nomor 0. Untuk menghindari bias pasien disuruh menentukan mana yang berisi odoran tanpa perlu mengidentifikasikannya. Ambang penghidu didapat bila jawaban betul 5 kali berturut-turut tanpa kesalahan. Pemeriksaan dikerjakan bergantian pada hidung kiri dan kanan, dengan menutup hidung kiri bila memeriksa hidung kanan atau sebaliknya. Tes kedua yaitu identifikasi penghidu, dengan menggunakan odoran kopi, coklat, vanila, bedak talk, sabun, oregano, dan napthalene. Nilai ambang dan identifikasi dikalkulasikan dan dinilai sesuai skor CCCRC. Tes Odor Stick Identification Test for Japanese (OSIT-J)OSIT-J terdiri dari 13 bau yang berbeda tapi familiar dengan populasi Jepang yaitu condessed milk, gas memasak, kari, hinoki, tinta, jeruk Jepang, menthol, parfum, putrid smell, roasted garlic, bunga ros, kedelai fermentasi dan kayu. Odoran berbentuk krim dalam wadah lipstik. Pemeriksaan dilakukan dengan mengoleskan odoran pada kertas parafin dengan diameter 2 cm, untuk tiap odoran diberi 4 pilihan jawaban. Hasil akhir ditentukan dengan skor OSIT-J.

XII. PENATALAKSANAAN 1.2.6.8Strategi pengobatan terbaik adalah menghindari kontak dengan alergen atau menghilangkan iritasi alergi dari lingkungan.1. Kontrol LingkunganBahkan jika kontrol lingkungan tidak lengkap, mengurangi beban alergi dapat secara signifikan mengurangi gejala. Metode meminimalkan paparan terhadap serbuk sari yang menghindari kegiatan di luar ruangan selama musim serbuk sari (misalnya, memotong rumput dan berkebun), untuk menjaga rumah dan jendela mobil tertutup, dan menggunakan AC bila memungkinkan. Untuk mengontrol tungau debu, jamur, dan bulu hewan peliharaan, praktik berikut harus digunakan: (1) mengurangi kelembaban dibawah 50% (2) mencuci seprai dalam air panas; (3) keluarkan karpet dan hewan peliharaan dari daerah yang paling sering digunakan, terutama kamar tidur; (4) membungkus bantal, kasur (untuk perlindungan tungau debu). Untuk alergen udara (misalnya, bulu binatang), pembersih udara dapat digunakan.

2. MedikamentosaKetika memilih pengobatan farmakologis untuk rhinitis alergi, harus memperhatikan kondisi pasien yang mendasari, kemungkinan patofisiologi, gejala yang dominan, usia dan kondisi pasien, koeksistensi gangguan saluran napas terkait, preferensi pasien, dan riwayat kepatuhan pasien.

1. Antihistamin Antihistamin sering digunakan sebagai terapi lini pertama; banyak yang tersedia tanpa resep. Mereka memblokir situs reseptor H1 dan mencegah reaksi histaminterinduksi, termasuk menghambat permeabilitas vaskuler meningkat, kontraksi otot polos, peningkatan produksi lendir, dan pruritus. Antihistamin juga menghambat respon "wheal dan flare" kulit dan oleh karena itu mereka mempengaruhi tes kulit kecuali ditarik beberapa hari sebelum tes kulit. Mereka tidak mempengaruhi in vitro pengujian. Antihistamin efektif dalam reaksi awal fase dan oleh karena itu mengurangi bersin, rhinorrhea, dan gatal-gatal. Mereka memiliki sedikit efek pada hidung tersumbat, fenomena akhir-fase.2. Kortikosteroid topikalKortikosteroid intranasal mungkin obat yang paling efektif untuk mengendalikan keseluruhan gejala rinitis alergi. Mereka meringankan bersin, gatal, dan rhinorrhea, dan juga hidung tersumbat. Efek maksimal dapat berlangsung dari 1 sampai 2 minggu setelah timbulnya penggunaannya. Efektivitas mereka tergantung pada penggunaan biasa dan jalan napas hidung yang memadai untuk aplikasi. Mereka bertindak pada reaksi akhir-fase dan karena itu mencegah masuknya signifikan sel-sel inflamasi. Formulasi baru memiliki penyerapan sistemik yang minimal tanpa efek samping sistemik, dan mereka telah disetujui untuk digunakan pada anak-anak.3. Kortikosteroid sistemikKortikosteroid sistemik mungkin diperlukan untuk gejala keras. Mereka dapat diberikan baik melalui injeksi intramuskular atau oral. Dengan dosis tapering biasanya diberikan selama 3-7 hari. Kortikosteroid sistemik bertindak atas peradangan dan secara signifikan mengurangi semua gejala rinitis alergi.4. Dekongestan Dekongestan bekerja pada reseptor adrenergik dari mukosa hidung, memproduksi vasokonstriksi sehingga mengurangi kongesti konka. Mereka meningkatkan patensi hidung tapi tidak mengurangi rhinorrhea, pruritus, dan bersin. Persiapan ini kebanyakan ditemukan dalam obat-obatan nonprescription dingin dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan masalah jantung dan hipertensi. Dekongestan intranasal (misalnya oxymetazoline) dapat menyebabkan hidung tersumbat dan menyebabkan ketergantungan Rebound jika digunakan untuk lebih dari 3-4 hari (rinitis medicamentosa).5. Antikolinergik intanasalAgen ini cenderung mengontrol hanya rhinorrhea dan tidak memiliki efek lain pada gejala alergi. Salah satu yang paling umum digunakan antikolinergik intranasal adalah ipratropium bromide (misalnya Atrovent). Agen ini dapat dikombinasikan dengan obat alergi lain untuk mengendalikan rhinorrhea di rinitis alergi.6. OperatifTindakan konkotomi parsial, konkoplasti, atau multiple outfraktured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan kauterisasi.

7. ImunoterapiCara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan tidak memberikan hasil yang memuaskan.

3. Terapi nutrisiMendidik pasien alergi bertujuan agar pasien tersebut dapat mengontrolmakanan yang dapat menyebabkan alergi, mengurangi komplikasi dan meningkatkankemampuan untuk merawat diri sendiri. Perencanaan diit bertujuan agar cukup asupankalori, protein, lemak, asam mineral dan serat serta air dengan frekuensi makanansepanjang hari disesuaikan dengan pemberian obat anti antihistamin, ketotifen dankortikosteroid serta imunoterapi. Selain itu kebutuhan kalori dan serat gizi laindisesuaikan dengan status gizi dan kondisi kesehatan penderita alergi. Perencanaandiit dapat menggunakan daftar penukar bahan makanan, sehingga penderita alergidapat menggunakan daftar itu sendiri.Syaratsyarat diet alergi pada anak:1. Energi diberikan sesuai dengan kondisi tubuh anak yang terkena alergi Proporsi hidrat arang terhadap energi tidak banyak berbeda dengan makanananak sehat Proporsi protein terhadap energi adalah 1520% Proporsi lemak terhadap energi adalah 2025%5. Cukup mineral dan vitamin Cukup serat untuk memberikan rasa kenyang.

XIII. KOMPLIKASI 8Rinitis diduga sebagai faktor predisposisi timbulnya polip hidung yaitu karena perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara berturbulensi, terutama pada daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Akibat reaksi alergi maka terbentuk cairan di telinga tengah yang berhubungan dengan keadaan alergi pada jalan napas atas yang mengakibatkan otitis media efusi yang sering residif terutama pada anak-anak.Sinusitis atau inflamasi sinus paranasal umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Organ yang membentuk kompleks ostio-meatal letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium terumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang mengakibatkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Bila keadaan ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik tumbuhnya dan multiplikasi bakteri.

DAFTAR PUSTAKA1. Probs Rudolf, Greves Gerhard. Basic Otolarhingology. New york. Thieme. 2006. P.50-532. Allergic Rhinitis and its Impact in Asthma. ARIA at a Glance Pocket reference 2007. 1st edition. 3. American Academy of Allergy asthma and Immunology. New york. 2015 [cited 28 august 2015] Available from URL : http://www.aaaai.org/about-the-aaaai/newsroom/allergy-statistics.aspx 4. world Allergy Organisation. America. 2015. [cited 28 august 2015] Available from URL : www.worldallergy.org/professional/allergic_diseases_center/rhinitis/rhinitissynopsis.php 5. Lumbanraja Patar. Distribusi alergen pada penderita rhinitis alergi di departemen THT-KL USU RS. Adam malik Medan. Indonesia. FK USU. 2007. 6. Lalwani Anil. Current Diagnosis and treatment otolaryngology head and neck surgery. Second edition. New york America. McGrawHill Lange. 2007. 7. Kholid Yahya. Skripsi : Prevalensi dan Faktor Risiko Kejadian Rinitis Alergi Pada Usia 13-14 Tahun di Ciputat Timur Dengan Menggunakan Kuesioner International Study Of Asthma and Allergy In Childhood (ISAAC) Tahun 2013. Diunduh dari : http://repository.uinjkt.ac.id 7 September 20158. Soepardi Efiaty Arsyad. Eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. Edisi keenam. Indonesia. FK UI.2007. p:118-1339. Small Peter, Kim Harrold. Allergic Rhinitis in Allergic Asthma Clinical Immunology. [cited 28 august 2015] Available from URL : http://www.aacijournal.com/content/7/S1/S3 10. Sin Betul, Togias alkis. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis. Turky. 11. Cumming Charles. otolaryngology head & neck surgery. fourth edition. United state of America. Elsivier.2008.p: 209-22012. Seabee operational medical & dental guide. Otolaryngology. United state of america. Medical and dental guide.2009. p: 26-2813. Harsono ganung dkk. faktor yang diduga menjadi resiko pada anak dengan rinitis alergi di rsu dr. cipto mangunkusumo jakarta. indonesia. 201014. Huriyati E, Hafiz A. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Diserta Asma Bronkial. RSUP Dr. M. Djamil Padang. 2008.15. Huriyati E, Budiman BJ, Nelvia T. GAngguan Fungsi Penghidu dan Pemeriksaannya. RSUP Dr. M. Djamil Padang. 2008.16. Sumiati I. Gambaran Rinomanometri Aktif Interior Pada Pasien Rinitis Alergi Persisten Sedang-Berat. Diunduh dari : http://lib.ui.ac.id 7 September 2015.17. Pasha R. Otolaryngology head and neck surgery. England. Simular. 2008.p: 33-3818. Van der water Thomas, Staecker Hinrich. Otolaryngology basic science and clinical review. United state of America. Thieme. 2006.p: 32-40

33