Refrat Psikogeriatri

113
REFRAT PSIKOGERIATRI Disusun oleh: Anindita Putri H. G99141012 Siska Dewi A. G99141013 Candra Aji S. G99141014 Avamira Rosita P. G99141015 Elizabeth Puji Y. G99141016 Pembimbing: Istar Yuliadi, dr., M.Si

description

psikogeriatri

Transcript of Refrat Psikogeriatri

Page 1: Refrat Psikogeriatri

REFRAT

PSIKOGERIATRI

Disusun oleh:

Anindita Putri H. G99141012

Siska Dewi A. G99141013

Candra Aji S. G99141014

Avamira Rosita P. G99141015

Elizabeth Puji Y. G99141016

Pembimbing:

Istar Yuliadi, dr., M.Si

PENDIDIKAN DOKTER TAHAP PROFESI BAGIAN KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2015

Page 2: Refrat Psikogeriatri

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

refrat yang berjudul: “Psikogeriatri”. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan

penyusunan refrat ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa bimbinan

dan nasihat, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr., Sp.KJ (K)

2. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K)

3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K)

4. Prof. Dr. Moh. Fanani, dr., Sp.KJ (K)

5. Mardiatmi Susilohati, dr., Sp.KJ (K)

6. Yusvick M. Hadim, dr., Sp.KJ

7. Djoko Suwito, dr., Sp.KJ

8. I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ

9. Gst. Ayu Maharatih, dr., Sp.KJ

10. Makmuroch, Dra., MS

11. Debree Septiawan, dr., Sp.KJ, M.Kes

12. Istar Yuliardi, dr., M.Si

13. Rochmaningtyas HS, dr., Sp.KJ, M.Kes

14. RH Budi M, dr., Sp.KJ (K)

15. Maria Rini I, dr., Sp.KJ

16. Adriesti H, dr., Sp.KJ (K)

17. Wahyu Nur Ambarwati, dr., Sp.KJ

18. Setyowati Raharjo, dr., Sp.KJ

Penulis menyadari bahwa refrat ini masih belum sempurna, oleh karena itu

penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan refrat ini.

Semoga refrat ini bermanfaat bagi kita semua.

Februari 2015

Penulis

ii

Page 3: Refrat Psikogeriatri

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii

Daftar isi iii

BAB I Pendahuluan 1

BAB II Proses Penuaan pada Lanjut Usia 3

A. Batasan Lanjut Usia 3

B. Proses Penuaan 3

C. Proses Penuaan yang Normal 11

D. Proses Penuaan yang Sukses 14

BAB III Faktor Risiko Gangguan Mental 15

A. Faktor Sosial Demografi 15

B. Penyakit Kronis 17

C. Penggunaan Obat dan Alkohol 18

D. Kemandirian Fisik 18

E. Religi 18

F. Dukungan Sosial 18

G. Status Gizi 19

H. Riwayat Gangguan Jiwa (Skizofrenia) 19

BAB IV Pemeriksaan Psikiatrik pada Pasien Lanjut Usia 20

A. History Taking 20

B. Mental Status Examination 22

BAB V Epidemiologi Gangguan Mental pada Pasien Lanjut Usia 28

BAB VI Gangguan Mental pada Lanjut Usia 30

A. Demensia 30

B. Gangguan Depresif 35

C. Gangguan Bipolar 37

iii

Page 4: Refrat Psikogeriatri

D. Skizofrenia 38

E. Gangguan Delusional 41

F. Gangguan Kecemasan 42

G. Gangguan Somatoform 44

H. Gangguan Tidur 45

I. Gangguan Penggunaan Alkohol dan Zat Lain 47

BAB VII Gejala Perilaku dan Psikologis Demensia 49

BAB VIII Permasalahan Sosial, Ekonomi, dan Psikologi Lansia 55

A. Perubahan Aspek Psikososial 55

B. Perubahan yang Berkaitan dengan Pekerjaan 56

C. Perubahan dalam Peran Sosial di Masyarakat 58

D. Perubahan Minat 58

E. Perubahan Berkaitan dengan Aspek Psikologis 59

BAB IX Penatalaksanaan Gangguan Psikiatri pada Pasien Lanjut Usia 60

A. Terapi Psikofarmakologis 60

B. Psikoterapi 61

BAB IX Kesimpulan 63

Daftar Pustaka iv

iv

Page 5: Refrat Psikogeriatri

BAB I

PENDAHULUAN

Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari dan menangani

masalah kesehatan pada usia lanjut. Psikiatri geriatrik atau psikogeriatri adalah

psikiatri mengenai orang usia lanjut (Maramis, 2009). Pada psikogeriatri

dipelajari mengenai pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan

psikologik atau psikiatri pada lanjut usia. Saat ini disiplin ini sudah berkembang

menjadi suatu cabang psikiatri, analog dengan psikiatri anak. Usia lanjut bukanlah

sebuah penyakit melainkan sebuah fase dalam siklus kehidupan yang memiliki

karakter tersendiri pada setiap fase perkembangan. Usia lanjut terkait dengan

matangnya pemikiran yang bijak yang bisa diwariskan kepada generasi

berikutnya, salah satu tugas pada usia lanjut yang dikemukakan oleh Erik Erikson

tentang usia lanjut yang sehat yaitu integritas dan bukan putus asa.

Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan hasil

dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut Depkes RI pada

tahun 2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun dan pada

laki-laki 64,3 tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun 2015 sampai

2020 mencapai 70 tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia mencapai 24 juta

jiwa bahkan lebih atau sekitar 9,77% dari total penduduk.

Beberapa masalah khusus dalam usia lanjut adalah gangguan fisik

(penyakit) yang berhubungan dengan usia lanjut, kehilangan dalam bidang sosial

ekonomi (pensiun dari pekerjaan), masalah seks pada usia lanjut bila terdapat

anggapan-anggapan yang keliru, dll (Maramis, 2009). Masalah-masalah tersebut

dapat mempengaruhi kondisi psikologis pada orang usia lanjut.

Data prevalensi untuk gangguan mental pada pasien lanjut usia bervariasi,

namun secara konservatif diperkirakan sebanyak 25% memiliki gejala psikiatri

yang signifikan. Angka morbiditas gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia

diperkirakan meningkat hingga 20 juta pada pertengahan abad 20 nanti.

1

Page 6: Refrat Psikogeriatri

Pemeriksaan psikiatri pada pasien lanjut usia sama dengan yang berlaku

pada dewasa muda. Namun dokter harus lebih teliti agar dapat memastikan pasien

mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan dikarenakan tingginya prevalensi gangguan

kognitif pada pasien lanjut usia. Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut

usia memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam

manifestasi klinis, patogenesis dan patofisiologi gangguan mental antara

patogenesis dewasa muda dan lanjut usia. Faktor penyulit pada pasien lanjut usia

juga perlu dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan

medis kronis penyerta, pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan

kerentanan terhadap gangguan kognitif.

Referat ini membahas secara singkat mengenai macam-macam gangguan

psikiatri yang mungkin terjadi pada pasien lanjut usia, berhubungan dengan

proses penuaan yang terjadi. Pemeriksaan psikiatri yang baik diperlukan untuk

dapat mendiagnosis gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia dan pengetahuan

akan proses penuaan berpengaruh terhadap penatalaksaan yang akan

direncanakan.

2

Page 7: Refrat Psikogeriatri

BAB II

PROSES PENUAAN PADA LANJUT USIA

A. BATASAN LANJUT USIA

WHO (1989) telah mencapai konsensus bahwa yang dimaksud dengan

lanjut usia (elderly) adalah seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih.

Menurut Departemen Kesehatan RI, batasan lanjut usia adalah seseorang

dengan usia 60-69 tahun. Sedangkan usia lebih dari 70 tahun dan lanjut usia

berumur 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan seperti kecacatan

akibat sakit disebut lanjut usia resiko tinggi.

Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan

hasil dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut Depkes

RI pada tahun 2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun

dan pada laki-laki 64,3 tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun

2015 sampai 2020 mencapai 70 tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia

mencapai 24 juta jiwa bahkan lebih atau sekitar 9,77% dari total penduduk.

Diperkirakan pada akhir tahun 2030, populasi penduduk lanjut usia

keseluruhan mencapai jumlah 70 juta dan pada tahun 2050 mencapai 82 juta.

B. PROSES PENUAAN

Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi

seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem

fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan

kematian (Setiati et al., 2007).

Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian dunia medis terhadap

proses penuaan dan permasalahan yang timbul pada orang usia lanjut

meningkat. Banyak penelitian dilakukan untuk lebih memahami proses

penuaan baik dari segi fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Para peneliti

menyadari pentingnya membedakan proses penuaan yang fisiologis dan

penuaan yang bersifat patologis. Efek proses penuaan yang fisiologis penting

3

Page 8: Refrat Psikogeriatri

untuk dipahami sebagai dasar respons terhadap pengobatan atau terapi serta

komplikasi yang timbul.

Variabel-variabel fisiologis seperti kardiovaskuler, sistem imun,

endokrin, ginjal, dan paru, menunjukan penurunan fungsi dan perubahan

seiring dengan meningkatnya usia. Namun, perubahan pada salah satu organ

akibat usia tidak menjadikannya sebagai prediktor atau tolak ukur bahwa

akan terjadi perubahan-perubahan pada organ yang lainnya. Sebagai contoh,

seseorang yang tampak sehat pada usianya yang ke-60 ternyata ditemukan

curah jantungnya menurun. Hasil pemeriksaan tersebut tidak bernilai dalam

memprediksikan kapan ginjal, kelenjar tiroid, sistem saraf simpatis, atau

organ lain orang tersebut mengalami perubahan.

Perubahan fisiologis dengan tidak disertainya suatu penyakit yang

terjadi pada individu yang lebih tua merupakan hal yang tidak berbahaya dan

bukan merupakan suatu faktor risiko yang signifikan. Perubahan fisiologis

pada usia “normal” yang tidak disertai dengan penyakit sangat bervariasi.

Akan tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik seperti gaya hidup, diet,

aktivitas, nutrisi, paparan lingkungan, dan komposisi tubuh memegang peran

yang penting.

Perjalanan dari perubahan fisiologis atau psikologis dengan

bertambahnya usia pada masing-masing individu dipengaruhi proses penuaan

intrinsik dan bermacam faktor ekstrinsik, contohnya genetik, pengaruh

lingkungan, gaya hidup, diet, faktor psikososial.

Ada perubahan yang terjadi seiring dengan peningkatan usia yang

tampak menyerupai gejala klinis namun sesungguhnya berbeda, hal ini

menyebabkan sulitnya mendiagnosis secara tepat pada orang usia lanjut

(Kaplan et al., 2010 dan Busse et al., 1997).

Proses penuaan bukanlah suatu penyakit melainkan suatu proses

normal yang harus dimengerti dengan jelas untuk mendiagnosis secara tepat

kemudian memberikan penatalaksanaan yang tepat sehingga beban yang

dirasakan akibat penyakit dapat berkurang. Namun, perubahan fungsi

beberapa organ patut diperhitungkan dalam pemberian terapi farmasi agar

4

Page 9: Refrat Psikogeriatri

tepat sasaran dan tidak membahayakan. Beberapa teori tentang menua yang

dapat diterima saat ini, antara lain :

1. Teori “radikal bebas” menyebutkan bahwa produk hasil

metabolisme oksidatif yang sangat reaktif (radikal bebas) dapat

bereaksi dengan berbagai komponen penting selular, termasuk

protein, DNA dan lipid, dan menjadi molekul-molekul yang tidak

berfungsi namun bertahan lama dan mengganggu fungsi sel

lainnya. Proses menua normal merupakan akibat kerusakan

jaringan oleh radikal bebas.

2. Teori “glikosilasi” yang menyatakan bahwa proses glikosilasi

nonenzimatik yang menghasilkan pertautan glukosa-protein dapat

menyebabkan penumpukan protein dan makromolekul lain yang

ermodifikasi sehingga terjadi disfungsi pada hewan atau manusia

yang menua.

3. Teori DNA repair menunjukkan bahwa adanya perbedaan pola laju

perbaikan kerusakan DNA yang diinduksi sinar UV pada berbagai

fibroblas yang dikultur.

Membicarakan fisiologi proses penuaan tidak dapat dilepaskan dari

pengenalan konsep homeostenosis. Homeostenosis yang merupakan

karakteristik fisiologi penuaan adalah keadaan penyempitan (berkurangnya)

cadangan homeostasis yang terjadi seiring meningkatnya usia pada setia

sistem organ (Setiati et al., 2007).

5

Page 10: Refrat Psikogeriatri

Beberapa perubahan yang terjadi pada berbagai sistem tubuh selama

proses penuaan :

6

Page 11: Refrat Psikogeriatri

7

Page 12: Refrat Psikogeriatri

8

Page 13: Refrat Psikogeriatri

9

Page 14: Refrat Psikogeriatri

Gambar 1. Perubahan Sistem Tubuh Terkait dengan Proses Penuaan

(Setiati et al., 2007)

10

Page 15: Refrat Psikogeriatri

C. PROSES PENUAAN YANG NORMAL

Pertanyaan yang sering muncul dalam kaitannya dengan proses

penuaan adalah “Apakah proses penuaan tersebut berlangsung normal

ataukah merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh penyakit?” Ketentuan

utama dalam mempelajari kondisi psikiatri geriatri adalah bukan hanya

karena sesuatu terjadi secara umum maka hal tersebut lantas dianggap

merupakan kondisi yang normal. Misalnya penyakit Alzheimer yang banyak

terjadi pada hampir 50% individu usia lanjut ketika berusia 80 tahunan bukan

merupakan suatu keadaan yang normal dalam kaitannya dengan proses

penuaan melainkan merupakan suatu penyakit yang dapat dicegah dan

disembuhkan. Demikian halnya dengan gangguan atau perubahan perilaku

yang terjadi pada geriatri dengan gangguan Alzheimer bukan merupakan hal

yang normal walaupun memang hampir 85% penderita Alzheimer mengalami

gangguan berperilaku. Menurut Sakauye (2008), proses penuaan yang normal

adalah suatu proses yang terdiri atas perubahan-perubahan yang terjadi secara

umum, yang seringkali tidak disadari oleh individu tersebut, serta yang tidak

menimbulkan disabilitas maupun gangguan fungsi peran.

Perubahan-perubahan yang banyak terjadi pada usia lanjut disebutkan

dalam tabel berikut, beberapa diantaranya merupakan proses perubahan yang

dapat dikatakan normal sebab tidak sampai menimbulkan gangguan/

disabilitas atau tidak membutuhkan pengobatan tertentu. Meskipun demikian

perubahan-perubahan tersebut tetap mengakibatkan terjadinya perubahan

dalam hal toleransi obat, penurunan kemampuan absorbsi, distribusi, dan

metabolisme obat, selain itu dalam kondisi lainnya juga terkadang dapat

mempengaruhi haparan/ ekspektasi diri seseorang, fleksibilitasnya, serta cara

berperilakunya.

11

Page 16: Refrat Psikogeriatri

12

Aspek Biologis Aspek Psikologis Aspek Sosial Aspek Kognitif

Penurunan postur Penurunan daya

kognitif dan proses

pikir

Menjadi kakek-

nenek

Kemampuan

meningkatkan

fungsi intelektual

berkurang

Penurunan massa

otot hingga 80%

Penurunan

kemampuan

mengambil risiko

Merasakan

kematian dari

orang tua atau

teman

Disorientasi

Peningkatan +/-

35% dari total

lemak tubuh

Berusaha

mempertahankan

gairah seksual

meskipun

performa sudah

menurun

Pensiun dari

pekerjaan

Lambat dalam

mengingat kembali

memori-

memorinya

Atrofi kulit Rigiditas Upaya

memperbanyak

tabungan

Mengalami

kesulitan dalam hal

mengingat

Katarak Motivasi berubah

menjadi kebutuhan

akan otonomi dan

keterlibatan

Mulai menarik diri

dari aktivitas sosial

Presbiakusis Eksentrik

Presbiopia Mulai kenal akan

kematian

Penebalan otot

venrikel jantung

Berbicara lebih

blak-blakan.

Penurunan

kapasitas vital paru

dan kekakuan

rambut silia

Lebih tergangtung

pada lingkungan

Perubahan irama

sikardian

Takut untuk

tinggal sendirian

Aspek Biologis Aspek Psikologis Aspek Sosial Aspek Kognitif

Atrofi sel lambung Mudah cemas dan

panik

Kerusakan

selubung mielin

Afek labil

Penurunan

imunitas tubuh

Penurunan

kemampuan

perfusi ginjal

Menopause

Page 17: Refrat Psikogeriatri

Tabel 1. Perubahan yang Banyak Terjadi pada Usia Lanjut (Sakauye, 2008)

Berikut merupakan tabel yang menyajikan perbandingan antara

perubahan-perubahan yang normal dengan yang tidak normal dalam

kaitannya dengan proses penuaan.

Normal Tidak normal

Berbicara lebih blak-blakan Afek labil/ mudah emosi

Mengeluhkan perihal kemampuan

mengingat

Disorientasi

Pikiran hipokondriasis ringan Ketergantungan yang berlebihan

Kewaspadaan yang sedikit berlebihan Ketakutan untuk hidup sendiri

Lambat dalam mengingat kembali

memorinya

Penarikan diri dari aktivitas dan interaksi

sosial di masyarakat (social isolation)

Pembicaraan yang tampak seperti

penyampaian cerita

Cemas dan mudah panik

Tabel 2. Perubahan Normal dan Tidak Normal pada Lansia (Sakauye, 2008)

D. PROSES PENUAAN YANG SUKSES

Penuaan yang berhasil diartikan sebagai kehidupan lansia dengan

kepuasan/ kebahagiaan yang positif disertai dengan kondisi fisik dan mental

yang sehat. Keberhasilan ini sangat berkaitan dengan banyak faktor, dapat

berupa faktor yang bisa dikontrol seperti gaya hidup maupun faktor yang

tidak bisa dikontrol seperti genetik, namun dari hasil penelitian diketahui

bahwa faktor yang paling mempengaruhi keberhasilan dalam proses penuaan

adalah faktor-faktor yang dapat dikendalikan/ dikontrol. Tabel berikut akan

menunjukkan faktor-faktor apa saja yang berperan dalam pencapaian

keberhasilan selama penuaan.

Faktor yang sangat berpengaruh Faktor yang tidak signifikan

Tingkat pendidikan Tingginya derajat orang tua

Gaya hidup yang sehat Masa kecil yang temperamental

Hubungan dekat yang baik Masa kecil yang hangat

Perilaku mental yang positif atau Genetik yang baik dengan riwayat usia

13

Page 18: Refrat Psikogeriatri

kepribadian yang dewasa hidup yang panjang

Kemampuan menahan diri untuk tidak

mudah komplain/ mengomel

Tabel 3. Faktor-faktor Kesuksesan selama Penuaan (Sakauye, 2008)

14

Page 19: Refrat Psikogeriatri

BAB III

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN

GANGGUAN MENTAL EMOSIONAL PADA LANSIA

A. Faktor Sosial Demografi

1. Umur

Menurut Koenig dan Blazer (2003) menjelaskan bahwa resiko

gangguan mental emosional pada pasien seseudah berusia 50 tahun lebih

disebabkan faktor biologi yang mungkin disebabkan perubahan pada

sistem syaraf pusat. Hal ini yang mungkin menyebabkan terjadinya

depresi. Menurut penelitian Marini (2008) umur lansia yang berusia diatas

70 tahun lebih beresiko mengalami gangguan mental emosional.

2. Jenis Kelamin

Diagnostik gangguan mental adalah sama untuk semua jenis

kelamin, namun wanita lebih rentan terkena gangguan mental emosional

karena disebabkan perubahan hormonal dan perbedaan karakteristik antara

laki-laki dan perempuan, selain perubahan hormonal, karakteristik wanita

yang lebih mengedepankan emosional dibandingkan rasional juga

memiliki peranan. Ketika menghadapi suatu masalah wanita cenderung

menggunakan perasaan (Marini, 2008).

3. Status Perkawinan

Gangguan mental emosional lebih banyak terjadi pada lanjut usia

yang hidup sendiri baik karena bercerai atau memang tidak menikah.

Menurut Stuart dan Sandra (2001) bahwa orang yang cerai, pisah,

janda/duda atau belum kawin cenderung beresiko tinggi melakukan bunuh

diri dibanding yang sudah kawin.

4. Tingkat Pendidikan

Pendidikan yang makin tinggi dapat menghasilkan keadaan sosial ekonomi

yang makin baik dan kemandirian yang makin mantap. Berdasarkan

penelitian Darmojo (1992) di Semarang didapatkan bahwa tingkat

pendidikan seorang usia lanjut berbanding positif langsung dengan tingkat

15

Page 20: Refrat Psikogeriatri

kesehatannya (Darmojo, 2004). Pendidikan rendah dihubungkan dengan

meningkatnya risiko untuk terjadinya dimensia dan terjadinya depresi pada

penelitian-penelitian sebelumnya didapatkan bahwa depresi lebih banyak

terjadi pada orang lanjut usia dengan tingkat pendidikan rendah (< 9 tahun

bersekolah).

5. Status Pekerjaan

Pada umumnya setelah orang memasuki lansia, ia mengalami

penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses

belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain

sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi semakin lambat.

Sementara fungsi psikomotor (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan

dengan dorongan kehendak, seperti gerakan, tindakan, dan koordinasi,

yang mengakibatkan lansia kurang cekatan (Sutarto dan Cokro, 2009).

Tuckman dan Lorge (dikutip dari Stieglitz, 1954) menemukan

bahwa pada waktu menginjak usia pensiun (65 tahun) hanya 20% diantara

orang-orang tua tersebut yang masih betul-betul ingin pensiun, sedangkan

sisanya sebenarnya masih ingin bekerja terus (Tamher dan Noorkasiani,

2009).

Pensiun setelah bertahun-tahun bekerja dapat membahagiakan dan

memenuhi harapan, atau hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan

fisik dan mental. Setelah pensiun beberapa orang tidak pernah dapat

menyesuaikan diri dengan waktu luangnya dan selalu merasa mengalami

hari yang panjang. Beberapa lansia tidak termotivasi untuk

mempertahankan penampilan mereka ketika mereka tidak atau hanya

sedikit melakukan kontak dengan orang lain diluar rumahnya (Stanley dan

Patricia, 2006).

Kehilangan peran kerja sering memiliki dampak besar bagi orang

yang telah pensiun. Identitas biasanya berasal dari peran kerja, sehingga

individu harus membangun identitas baru pada saat pensiun. Mereka juga

kehilangan struktur pada kehidupan harian saat mereka tidak lagi memiliki

jadwal kerja. Interaksi sosial dan interpersonal yang terjadi pada

16

Page 21: Refrat Psikogeriatri

lingkungan kerja juga telah hilang. Sebagai penyesuaian, lansia harus

menyusun jadwal yang bermakna dan jaringan sosial pendukung (Potter

dan Perry, 2009).

6. Status Sosial Ekonomi

Ketika seseorang sakit maka tidak akan terlalu berdampak buruk

pada orang yang berpenghasilan tetapi bagi yang tidak berpenghasilan

dapat menimbulkan goncangan ekonomi sehingga dapat menimbulkan

stress atau gangguan mental (Depkes, 2004).

Menurut beberapa penelitian tingkat sosial ekonomi keluarga juga

merupakan salah satu faktor yang menentukan gangguan emosional,

semakin tinggi sumber ekonomi keluarga akan mendukung stabilitas dan

kebahagian keluarga. Apabila status ekonomi pada tahap yang sangat

rendah sehingga kebutuhan dasar saja tidak terpenuhi inilah yang akan

menimbulkan konflik dalam keluarga yang menyebabkan gangguan

mental emosional (Murti, 1997).

B. Penyakit Kronis

Pengaruh penyakit kronik pada usia lanjut dapat menimbulkan

gangguan mental emosional melalui cara yang tidak langsung yaitu karena

adanya keterbatasan mobilitas, ketergantungan orang lain, dan nyeri yang

terus menerus atau ketidaknyamanan. Pengalaman klinis menyebutkan bahwa

bukan keparahan penyakit atau ancaman kematian yang mengganggu

kesehatan mental usia lanjut tetapi adanya berbagai kehilangan akibat

penyakit tersebut yang mempunyai hubungan erat dengan gangguan mental

emosional (Soedjono et al., 2006).

Menurut Koenig dan Blazer (2003) yang menjelaskan bahwa satu faktor

risiko terjadinya gangguan mental adalah penyakit fisik (kronis). Perubahan

perilaku dalam gangguan mental emosional disebabkan oleh penyakit

biologis perilaku yang menyimpang berhubungan dengan toleransi responden

terhadap stress (Stuart dan Sandra, 2001).

17

Page 22: Refrat Psikogeriatri

Penyakit kronik adalah penyakit tidak menular dan menular yang

diderita berlangsung lama, beberapa penyakit tidak menular yang beresiko

menyebabkan gangguan mental adalah hipertensi, gangguan sendi dan DM.

C. Penggunaan Obat dan Alkohol

Lansia dengan penyalahgunaan obat memiliki risiko gangguan mental

cemas sebesar 13,8 kali dan depresi sebesar 18,8 kali. Etiologi yang

berhubungan dengan pengguna alkohol adalah genetika dan psikososial yang

meliputi : status sosial ekonomi dan riwayat kesulitan sekolah.

D. Kemandirian Fisik

Kemandirian pada usia lanjut dinilai dari kemampuannya untuk

melakukan aktifitas sehari-hari (Activities of Daily Life = ADL) apakah

mereka tanpa bantuan dapat bangun, mandi dan lain sebagainya. Jika terdapat

faktor kehilangan fisik yang mengakibatkan hilangnya kemandirian maka

akhirnya akan meningkatkan kerentanan lansia terhadap depresi (Soedjono et

al., 2006).

E. Religi

Tingkat spiritualitas/ religiusitas terbukti besar berpengaruh terhadap

kesehatan jiwa berbagai penelitian yang dilakukan terhadap usia lanjut antara

lain:

- Lansia yang non religius angka kematiannya dua kali lebih besar

dibandingkan usia lanjut yang religius.

- Lansia yang non religius kurang tabah dan kurang mampu mengatasi

stres dibandingkan usia lanjut yang religius sehingga lebih sering

mengalami gangguan jiwa.

F. Dukungan Sosial

Adanya dukungan sosial yang tinggi dilaporkan dapat melindungi diri

dari kejadian depresi pada usia lanjut. Pekerjaan, usia, hobi, tingkat

kepercayaan diri, pasangan hidup beserta tingkat keakrabannya, dan kejadian

kehidupan yang menyedihkan dapat mempercepat terjadinya depresi/

gangguan mental (Goldberg, 2007).

18

Page 23: Refrat Psikogeriatri

G. Status Gizi

Perubahan fisik dan penurunan fungsi organ tubuh akan mempengaruhi

konsumsi dan penyerapan zat gizi pada lansia. Beberapa penelitian yang

dilaksanakan menunjukkan bahwa masalah gizi pada lansia sebagian besar

merupakan masalah gizi berlebih dan kegemukan yang memicu timbulnya

berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, hipertensi,

DM, batu empedu, rematik, ginjal dan kanker (Maryam, 2008).

H. Riwayat Gangguan Jiwa (Skizofrenia)

Faktor keturunan yang mempengaruhi kesehatan seseorang dimana

kasus tertentu seperti retardasi mental. Berdasarkan teori neurologi dan adanya

faktor konstitusi menunjukkan bahwa faktor genetik keseluruhan ataupun

yang diperolehnya kemudian disebutkan dapat berperan dalam kemungkinan

terjadinya gangguan depresi (Maramis, 2009).

19

Page 24: Refrat Psikogeriatri

BAB IV

PEMERIKSAAN PSIKIATRIK PADA PASIEN LANJUT USIA

Format pemeriksaan psikiatri pada pasien lanjut usia sama dengan yang

berlaku pada dewasa muda. Pasien yang lebih tua yang tidak memiliki riwayat

kejiwaan sebelumnya mungkin tidak nyaman dengan semacam pemeriksaan

psikiatri dan mengharapkan suatu pendekatan yang lebih bersifat medis. Beberapa

pasien orang tua kemungkinan justru menyampaikan keluhan fisik daripada

psikologis, terutama jika pasien mempunyai kondisi depresi atau cemas.

Dokter harus lebih teliti agar dapat memastikan pasien mengerti sifat dan

tujuan pemeriksaan dikarenakan tingginya prevalensi gangguan kognitif pada

pasien lanjut usia. Jika pasien mengalami gangguan kognitif, riwayat tersendiri

harus didapatkan dari anggota keluarga atau pengasuhnya. Namun, penderita juga

tetap harus diperiksa tersendiri (walaupun terlihat adanya gangguan yang jelas)

untuk mempertahankan privasi hubungan dokter dan penderita dan untuk

menggali adakah pikiran bunuh diri atau gagasan paranoid dari penderita yang

mungkin tidak diungkapkan dengan kehadiran sanak saudara atau seorang perawat

(Kaplan et al., 2009).

A. HISTORY TAKING

Prinsip-prinsip dalam history taking serupa dengan pada orang

dewasa umumnya: Membangun hubungan, membuat pasien merasa nyaman,

dan menjaga privasi serta kerahasiaan. Pendekatan medis sering diharapkan

dan disegani oleh pasien yang lebih tua. Banyak pasien lanjut usia yang tidak

akan mengungkapkan keluhan yang sebenarnya kecuali jika jelas ditanya

(Kaplan et al., 2009).

1. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien harus didorong untuk menggambarkan riwayat penyakit

dan gejala saat ini dalam sebuah wawancara terbuka, dengan pertanyaan-

pertanyaan yang lebih terstruktur. Onset dan perjalanan gejala harus

dievaluasi dalam kaitannya dengan perubahan lain termasuk kehilangan

20

Page 25: Refrat Psikogeriatri

orang yang dicintai, perubahan signifikan dalam lingkungan sosial,

kegiatan setiap hari, penggunaan obat serta respon yang dicapai dan

penyakit medis penyerta. Keluarga dan sumber informasi harus diberi

kesempatan untuk memberikan informasi mengenai keadaan pasien

menurut penilaian mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan pasien atau

secara terpisah, terutama didasarkan pada keinginan pasien. Gejala-gejala

yang perlu ditanyakan kepada pasien dengan ganggua kognitif, antara lain:

kesulitan dalam mengingat, berpikir, maupun berkonsentrasi, lupa akan

peristiwa yang baru, lupa di mana meletakkan benda, masalah dalam

menemukan kata yang tepat untuk menyampaikan sesuatu, tersesat di

tempat-tempat yang sudah sering dilewati, serta kesulitan dalam mengelola

keuangan.

Pasien yang berusia di atas 65 tahun sering memiliki keluhan

subyektif adanya gangguan daya ingat yang ringan, seperti tidak

mengingat nama orang atau keliru meletakkan benda. Masalah kognitif

ringan juga dapat terjadi karena kecemasan dalam situasi wawancara.

Fenomena ini dapat dijelaskan dalam istilah benign senescent

forgetfulness.

2. RIWAYAT PSIKIATRI

Evaluasi riwayat psikiatri harus mencakup perjalanan penyakit,

jenis pengobatan (psikoterapi, obat-obatan, terapi electroconvulsive) dan

respon terhadap perawatan tersebut. Riwayat depresi, gangguan

kecemasan, psikosis atau skizofrenia serta pengobatan yang sudah diterima

saat episode sebelumnya dan saat ini.

3. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Informasi mengenai riwayat penyakit keluarga sebaiknya

ditanyakan kepada pasien terlebih dahulu kemudian keluarganya atau

kepada pasien bersamaan dengan keluarganya. Urutan ini sangat penting

dalam evaluasi pasien dengan gangguan kognitif. Sebuah genogram sangat

membantu dalam menggambarkan hubungan kekeluargaan dan psikiatri,

neurologi, serta penyakit medis lainnya dalam generasi yang berbeda.

21

Page 26: Refrat Psikogeriatri

4. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI

Rincian harus diperoleh tentang status perkawinan pasien, situasi

hidup, latar belakang pendidikan, riwayat pekerjaan, dan sifat hubungan

penting bagi pasien. Kepribadian premorbid tidak terbawa hingga usia tua,

namun dampaknya terhadap penyakit pada lansia bervariasi. Kepribadian

itu sendiri dapat berubah dengan penuaan. Perubahan ini diduga

ditentukan oleh lingkungan, tetapi juga dapat didasarkan pada perubahan

neurobiologi. Riwayat penggunaan dan penyalahgunaan alkohol dan zat

lain perlu ditanyakan.

5. PEMERIKSAAN MEDIS

Setiap orang dewasa yang lebih tua membutuhkan pemeriksaan

medis berkala. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dilakukan mengingat

banyaknya perubahan fisiologis yang terjadi pada proses penuaan. Defisit

neurologis, gangguan endokrin, penyakit jantung, keganasan tersembunyi,

dan infeksi adalah penyebab potensial gangguan kognitif, agitasi, depresi,

dan terkadang psikosis. Infeksi saluran kemih, yang dapat terjadi tanpa

demam, adalah penyebab umum dari penurunan kognitif dan delirium.

Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan dapat membantu

menegakkan diagnosis dan mendeteksi kondisi yang dapat diobati.

Tomografi komputer, pencitraan resonansi magnetik, atau pemeriksaan

penunjang lainnya dapat diindikasikan bilamana ditemukan perubahan

status mental yang belum jelas. Termasuk medikasi yang saat ini sedang

digunakan untuk mengatasi penyakit fisiknya dan mengetahui apakah ada

efek samping psikiatriknya (Kaplan et al., 2009).

B. MENTAL STATUS EXAMINATION

1. OBSERVASI TINGKAH LAKU

Bagian pertama dari pemeriksaan status mental adalah observasi

umum penampilan pasien, kebersihan pribadi, aktivitas motorik, setiap

perilaku yang tidak biasa, ucapan, sikap terhadap pemeriksa, dan adanya

alat bantu pendengaran dan visual. Kebersihan yang buruk menunjukkan

22

Page 27: Refrat Psikogeriatri

lama gangguan depresi, gangguan psikotik, atau demensia, terutama

dengan tidak adanya dukungan sosial. Sebaliknya, pasien sakit jiwa

dengan demensia mungkin tampak rapi karena upaya pengasuh.

2. GANGGUAN BAHASA DAN PIKIRAN

Bicara dan berbahasa sangat penting untuk dinilai pada orang

dewasa yang lebih tua. Kualitas, kuantitas, dan kelancaran berbicara perlu

dicatat. Ucapan dapat normal responsif, cepat, dipaksa, keras atau

emosional, lambat, monoton, kurang spontanitas, atau tidak jelas.

3. PERSEPSI

Gangguan persepsi termasuk halusinasi dan ilusi. Halusinasi

dapat sederhana atau kompleks dan terorganisir. Halusinasi sementara

terjadi pada demensia dan pada pasien dengan gangguan pendengaran atau

defisit visual. Gangguan kemampuan untuk mengidentifikasi bau atau

hiposmia adalah fitur dari penyakit Alzheimer dan penyakit Parkinson.

Kehilangan memori dan disorientasi membantu mengidentifikasi masalah

sebagai sesuatu yang berhubungan dengan demensia.

4. MOOD DAN AFEK

Mood adalah keadaan emosi subjektif, dan afek adalah keadaan

emosional obyektif. Banyak pasien lanjut usia menggambarkan suasana

hati mereka secara akurat sebagai depresi atau cemas, tetapi beberapa

cenderung untuk menolak dan menekannya. Sebagai contoh, seorang

wanita tua yang menangis mungkin mengatakan bahwa dia tidak tertekan.

Somatisasi biasa terjadi pada pasien lansia, terutama gejala

gastrointestinal seperti sembelit. Beberapa pasien tidak yakin jika mereka

mengalami depresi karena mereka mulai kehilangan minat dalam aktivitas

tetapi tidak merasakan mood depresi yang jelas. Depresi biasa terjadi

dalam berbagai sindrom neuropsikiatri lainnya, termasuk demensia, stroke,

dan penyakit Parkinson. Geriatric Depression Scale adalah instrumen

penyaring yang berguna untuk memeriksaan depresi pada pasien lanjut

usia, pertama kali dibuat oleh Yesavage et al. (1982).

23

Page 28: Refrat Psikogeriatri

Gambar 2. Geriatric Depression Scale (Yesavage et al., 1982)

24

Page 29: Refrat Psikogeriatri

5. KEINGINAN BUNUH DIRI DAN MEMBUNUH

Penyelidikan harus dilakukan mengenai keinginan bunuh diri dan

membunuh. Keinginan bunuh diri harus diperiksa dengan terlebih dahulu

menanyakan apakah pasien berpikir bahwa hidup tidak layak hidup.

Sebuah respon positif harus mengarah pada pertanyaan-pertanyaan

lanjutan tentang apakah ada rencana bunuh diri atau riwayat percobaan

bunuh diri.

6. SENSORIUM DAN KOGNISI

Evaluasi sensorium dan kognisi sangat penting dan esensial pada

pasien lansia. Setiap kali ada dugaan gangguan kognitif pada riwayat,

penting untuk melaksanakan tes skrining seperti Mini-Mental State

Examination (MMSE). Keterampilan yang dapat diuji dalam komponen

evaluasi ini meliputi perhatian dan konsentrasi, pembelajaran, mengingat,

pengenalan kembali setelah penundaan (memori), pemahaman, kefasihan

lisan, pengulangan, dan penamaan (bahasa), kemampuan visuospatial,

perhitungan, praksis, fungsi eksekutif inisiasi, perseverasi, kontrol respon,

sintesis dan integrasi, serta mengubah set mental (fungsi lobus frontal).

25

Page 30: Refrat Psikogeriatri

Gambar 3. Mini Mental State Examination (Folstein et al., 1975)

7. FUNGSI SEHARI-HARI

Penilaian fungsi sehari-hari sangat penting dalam evaluasi pasien

lansia. Aktivitas kehidupan sehari-hari/ Activities of Daily Living (ADL)

dapat diklasifikasikan ke dalam ADL dasar (misalnya, makan, berpakaian,

dan pergi ke toilet), ADL instrumental (misalnya, memasak, belanja, dan

binatu), dan fungsi sosial dan kognitif yang lebih kompleks yang

26

Page 31: Refrat Psikogeriatri

membutuhkan upaya intelektual yang lebih besar. ADL dasar dan

instrumental perlu dikaji pada pasien lanjut usia, terutama ketika diagnosis

demensia sedang dipertimbangkan.

8. TILIKAN DIRI

Tilikan mengacu pada kemampuan pasien untuk memahami

gejala mereka sendiri dan penyebab potensialnya. Tilikan terganggu di

sebagian besar penyakit mental sedang sampai penyakit mental parah dan

dapat hilang dalam demensia berat. Pertimbangan atau judgement dapat

dinilai selama wawancara dengan bertanya tentang pendapat pasien.

9. EVALUASI NEUROLOGIS

Pemeriksaan kejiwaan, kognitif, dan neurologis tumpang tindih

secara bermakna pada orang dewasa tua. Pada pasien yang mengalami

gangguan kognitif, gejala atau tanda-tanda neurologis fokal, pemeriksaan

neurologis sangat penting. Semua komponen pemeriksaan neurologis

pasien lansia yang sebaiknya dilakukan adalah fungsi frontal lobe, fungsi

basal ganglia (pemeriksaan untuk tanda-tanda ekstrapiramidal), motorik

dan fungsi sensorik, refleks, koordinasi, serta evaluasi penglihatan dan

pendengaran.

27

Page 32: Refrat Psikogeriatri

BAB V

EPIDEMIOLOGI GANGGUAN MENTAL PADA PASIEN LANJUT USIA

.

Data prevalensi untuk gangguan mental pada pasien lanjut usia bervariasi,

namun secara konservatif diperkirakan sebanyak 25% memiliki gejala psikiatri

yang signifikan. Angka morbiditas gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia

diperkirakan meningkat hingga 20 juta pada pertengahan abad 20 nanti.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi

penduduk yang mengalami gangguan mental emosional berdasarkan Self Reported

Questionnarie secara nasional adalah 6,0% (37.728 orang dari subyek yang

dianalisis). Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi

adalah Sulawesi Tengah (11,6%), sedangkan yang terendah di Lampung (1,2%).

Prevalensi gangguan mental emosional menurut umur pada laporan Riskesdas

2007 dan 2013 disajikan dalam grafik berikut.

Gambar 4. Prevalensi Gangguan Mental Emosional menurut Kelompok Umur

(Riskesdas, 2013)

Prevalensi gangguan mental emosional meningkat sejalan dengan

pertambahan usia. Berdasarkan umur, tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke

atas (33,7%). Kelompok yang rentan mengalami gangguan mental emosional

adalah kelompok dengan jenis kelamin perempuan (14,0%), kelompok yang

28

Page 33: Refrat Psikogeriatri

memiliki pendidikan rendah (paling tinggi pada kelompok tidak sekolah, yaitu

21,6%), kelompok yang tidak bekerja (19,6%), tinggal di pedesaan (12,3%), serta

pada kelompok tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita terendah.

Riskesdas 2013 juga mengumpulkan data mengenai gangguan jiwa berat

(psikosis). Pada hasil riset, prevalensi psikosis tertinggi adalah di DI Yogyakarta

dan Aceh (masing-masing 2,7%), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat

(0,7‰). Prevalensi gangguan jiwa berat nasional sebesar 1,7 permil (Rikesdas,

2013).

29

Page 34: Refrat Psikogeriatri

BAB VI

GANGGUAN MENTAL PADA LANJUT USIA

Program Epidemiological Catchment Area (ECA) dari National Institude

of Mental Health telah menemukan bahwa gangguan mental yang paling sering

pada lanjut usia adalah gangguan depresi, gangguan kognitif, fobia dan gangguan

pemakaian alkohol (Sadock BJ dan Sadock VA, 2007; Kaplan et al., 2010b). Hal

ini juga diutarakan oleh WHO pada tahun 2013 bahwa masalah neuropsikiatri

yang banyak terjadi pada usia lanjut adalah demensia dan depresi dan gangguan

kecemasan (WHO, 2013).

WHO juga mengutarakan mengenai faktor risiko masalah kesehatan

mental pada usia lanjut. Banyak faktor sosial, psikologis, dan biologis yang

menentukan kesehatan mental seseorang pada beberapa keadaan tertentu. Perlu

diketahui bahwa banyak orang lanjut usia merasa kehilangan kemampuannya

untuk hidup secara bebas karena keterbatasan gerak, nyeri kronis, kelemahan atau

masalah mental dan fisik lainnya dan membutuhkan beberapa bentuk perhatian

dalam jangka panjang (WHO, 2013). Faktor resiko psikososial diantaranya adalah

hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara,

penurunan kesehatan, peningkatan isolasi, keterbatasan finansial dan penurunan

fungsi kognitif (Kaplan et al., 2010b). Lanjut usia juga memiliki resiko tinggi

untuk bunuh diri dan gejala psikiatrik akibat obat. Banyak gangguan mental pada

lanjut usia dapat dicegah, dihilangkan atau bahkan dipulihkan namun jika tidak

didiagnosis dengan akurat dan diobati tepat waktu, kondisi tersebut dapat

berkembang menjadi keadaan ireversibel yang membutuhkan institusionalisasi

pasien (Sadock BJ dan Sadock VA, 2007; Kaplan et al., 2010b).

A. DEMENSIA

Demensia merupakan suatu gangguan intelektual yang umumnya progresif

dan ireversibel, semakin meningkat prevalensinya seiring dengan bertambahnya

usia. Sekitar 5% dari penduduk Amerika yang masih berusia kurang dari 65 tahun

mengalami demesia yang parah dan sekitar 15% mengalami demensia ringan.

30

Page 35: Refrat Psikogeriatri

Sekitar 20% dari penduduk Amerika yang berusia lebih dari 80 tahun mengalami

demensia yang parah (Goldberg, 2015; Passmore, 2014).

Berbeda dengan retardasi mental, gangguan intelektual pada demensia

terjadi dengan berjalannya waktu yaitu fungsi mental yang sebelumnya telah

tercapai secara bertahap akan hilang. Perubahan karakteristik dari demensia

melibatkan fungsi kognisi, daya ingat, bahasa dan fungsi visuospasial, tetapi

gangguan perilaku adalah sering. Gangguan perilaku dapat berupa agitasi,

kegelisahan, berkelana, penyerangan, kekerasan, berteriak, disinhibisi sosial dan

seksual, impulsivitas, gangguan tidur dan waham. Waham dan demensia terjadi

selama perjalanan demensia pada hampir 75% dari semua pasien (Goldberg, 2015;

Passmore, 2014).

Walaupun demensia yang berhubungan dengan lanjut usia biasanya

disebabkan oleh penyakit degenerative primer sistem saraf pusat dan penyakit

vascular, banyak faktor berperan dalam gangguan kognitif, pada lanjut usia,

penyebab campuran dari demensia sering ditemukan (Goldberg, 2015; Passmore,

2014).

Demensia telah diklasifikasikan sebagai kortikal dan subkortikal,

tergantung pada letak lesi serebral. Suatu demensia subkortikal adalah ditemukan

pada penyakit Huntington, penyakit Parkinson, hidrosefalus tekanan normal,

demensia multi-infark, dan penyakit Wilson. Demensia subkortikal adalah disertai

dengan gangguan pergerakan, apraksia gaya berjalan, retardasi psikomotor, apati

dan mutisme akinetik yang dapat dikacaukan dengan katatonia. Demensia kortikal

adalah ditemukan pada demensia tipe Alzheimer dan penyakit Pick, yang sering

menunjukkan afasia, agnosia, dan apraksia. Dalam praktek klinis, dua jenis

demensia ini tumpang tindih, dan diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan

otopsi (Goldberg, 2015; Passmore, 2014).

DEMENSIA TIPE ALZHEIMER

Dari semua pasien dengan demensia, 50-60% nya memiliki demensia tipe

Alzheimer, yang merupakan tipe demensia tersering. Prevalensi demensia tipe

Alzheimer adalah lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.

31

Page 36: Refrat Psikogeriatri

Demensia tipe Alzheimer ditandai oleh penurunan fungsi kognitif dengan

onset yang bertahap dan progresif. Daya ingat mengalami gangguan dan

sekurangnya ditemukan satu seperti afasia, apraksia, agnosia dan gangguan fungsi

eksekutif. Urutan umum defisit adalah daya ingat, bahasa dan fungsi visuospasial.

Awalnya pasien mungkin memiliki suatu ketidakmampuan mempelajari dan

mengingat informasi baru, selanjutnya gangguan penamaan, selanjutnya

ketidakmampuan untuk mencontoh gambar.

Penyebab penyakit Alzheimer adalah tidak diketahui, walaupun

pemeriksaan neuropatologi dan biokimiawi postmortem telah menemukan

kehilangan selektif neuron kolinergik. Temuan anatomik makroskopis adalah

penurunan volume girus pada lobus frontalis dan temporalis, dengan relatif

terjaganya korteks motorik dan sensorik primer.

Demensia tipe Alzheimer dapat dicegah dan diterapi. Terapi Alzheimer

bersifat paliatif yang terdiri dari nutrisi yang tepat, latihan dan pengawasan

aktifitas sehari-hari. Medikasi mungkin berguna dalam menangani agitasi dan

gangguan perilaku. Propanolol, pindolol, buspirone dan valproate semuanya telah

dilaporkan membantu menurunkan agitasi dan agresi. Haloperidol berguna untuk

mengendalikan gangguan perilaku akut (Goldberg, 2015; Passmore, 2014).

DEMENSIA ALZHEIMER 294.1X

A. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh kedua hal

berikut:

1. Gangguan memori (gangguan kemampuan untuk belajar informasi

baru atau mengingat informasi yang sudah dipelajari sebelumnya)

2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut:

a. Afasia (gangguan bahasa)

b. Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas

motorik walaupun fungsi motorik utuh)

c. Agnosia (gagal untuk mengenal atau mengidentifikasi benda-

benda walaupun fungsi sensorik utuh)

d. Gangguan pada fungsi eksekutif (yaitu merencanakan,

mengorganisasi, mengurut, abstraksi)

32

Page 37: Refrat Psikogeriatri

B. Defisit kognitif pada kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan

gangguan bermakna pada fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan

penurunan bermakna dari tingkat fungsi sebelumnya.

C. Perjalanan penyakit ditandai oleh onset yang bertahap dan penurunan kognitif

yang terus menerus.

D. Defisit kognitif pada kriteria A1 dan A2 tidak disebabkan oleh salah satu

berikut ini:

1. Kondisi sistim saraf lainnya yang menyebabkan defisit memori dan

kognitif progresif (misalnya, penyakit serebrovaskuler, penyakit

Parkinson, penyakit Huntington, hematoma subdural, hidrosefalus

tekanan normal, tumor otak)

2. Kondisi sistemik yang diketahui menyebabkan demensia (misalnya,

hipotiroidisme, defisiensi vitamin B12 atau asam folat, defisiensi

niasin, hiperkalsemia, neurosifilis, infeksi HIV)

3. Kondisi induksi zat

E. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan suatu delirium.

F. Gangguan tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan Aksis I lainnya

(misalnya, Gangguan Depresi Mayor, Skizofrenia).

Penulisan kode tambahan yang didasarkan pada ada atau tidaknya

gangguan perilaku secara klinis yang bermakna:

294.10 Tanpa Gangguan Perilaku: jika gangguan kognitif tidak disertai oleh

gangguan perilaku secara klinis yang bermakna.

294.11 Dengan Gangguan Perilaku: jika gangguan kognitif disertai oleh

gangguan perilaku secara klinis yang bermakna (misalnya, keluyuran,

agitasi).

Subtipe Demensia Alzheimer:

Dengan Onset Dini: jika onset pada umur 65 tahun atau kurang

Dengan Onset Lambat: jika onset pada umur di atas 65 tahun

Tabel 4. Demensia Alzheimer (APA, 2000)

33

Page 38: Refrat Psikogeriatri

DEMENSIA VASKULAR

Demensia vaskular adalah tipe demensia kedua yang tersering. Demensia

ini ditandai oleh defisit kognitif yang sama seperti demensia tipe Alzheimer, tetapi

demensia ini memiliki tanda gejala neurologis fokal, seperti meningkatnya refleks

tendon dalam, respon plantar ekstensor, palsi pseudobulbar, kelainan gaya

berjalan, dan kelemahan pada anggota gerak. Dibandingkan dengan demensia tipe

Alzheimer, demensia vaskular memiliki onset yang tiba-tiba dan merupakan

penyebab pemburukan yang bertahap. Demensia vaskular mungkin dapat dicegah

dengan menurunkan factor resiko yang diketahui, seperti hipertensi, diabetes,

merokok, dan aritmia. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pencitraan resonansi

magnetik (MRI) dan pemeriksaan aliran darah serebral (Goldberg, 2015;

Passmore, 2014).

DEMENSIA VASKULAR 290.4X

A. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh kedua hal

berikut:

1. Gangguan memori (gangguan kemampuan untuk belajar informasi

baru atau mengingat informasi yang sudah dipelajari sebelumnya)

2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut :

a. afasia (gangguan bahasa)

b. apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas motorik

walaupun fungsi motorik utuh)

c. agnosia (gagal untuk mengenal atau mengidentifikasi benda-benda

walaupun fungsi sensorik utuh)

d. gangguan pada fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan,

mengorganisasi, mengurut, abstraksi)

B. Defisit kognitif pada Kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan

gangguan bermakna pada fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan

penurunan bermakna dari tingkat fungsi sebelumnya.

C. Tanda dan gejala neurologis fokal (misalnya, peningkatan refleks-refleks

tendon dalam, respon ekstensor plantar, kelumpuhan pseudobulbar, kelainan

gaya melangkah, kelemahan pada satu ekstremitas) atau bukti laboratoris

34

Page 39: Refrat Psikogeriatri

menunjukkan penyakit serebrovaskuler (misalnya, infark multipel yang

melibatkan korteks dan substansia putih yang mendasari) yang

dipertimbangkan berhubungan secara etiologis terhadap gangguan.

D. Defisit tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan suatu delirium.

Penulisan kode tambahan didasarkan pada gambaran yang predominan :

290.41 Dengan Delirium: jika delirium bertumpang tindih dengan demensia

290.42 Dengan Waham: jika waham adalah gambaran yang predominan

290.43 Dengan Mood Depresif: jika mood depresif (termasuk gambaran yang

memenuhi kriteria gejala lengkap untuk suatu Episode Depresi

Mayor) adalah gambaran yang predominan. Suatu pemisahan

diagnosis Gangguan Mood yang Disebabkan oleh Kondisi Medis

Umum tidak diberikan.

290.40 Tanpa Komplikasi: jika tidak ada satupun di atas yang predominan

pada gambaran klinis saat ini

Pada demensia vaskular, kondisi serebrovaskuler dituliskan pada Aksis III

Tabel 5. Demensia Vaskuler (APA, 2000)

B. GANGGUAN DEPRESIF

Gejala depresif ditemukan pada kira-kira 25% dari semua penduduk

komunitas lanjut usia dan pasien rumah perawatan. Tanda dan gejala yang sering

dari gangguan depresif adalah penurunan energi dan konsentrasi, gangguan tidur

(terutama terbangun dini hari dan sering terbangun di malam hari), penurunan

nafsu makan, penurunan berat badan, dan keluhan somatik. Gejala yang tampak

mungkin berbeda dibandingkan dengan pasien dewasa muda, pada pasien lanjut

usia terdapat peningkatan pada keluhan somatik (Robinson et al., 2014; Covino,

2006).

Lanjut usia rentan terhadap episode depresif berat dengan ciri melankolik,

ditandai oleh depresi, hipokondriasis, harga diri yang rendah, perasaan tidak

berharga, dan kecenderungan menyalahkan diri sendiri, dengan ide paranoid dan

bunuh diri. Hampir 75% dari semua korban bunuh diri menderita depresi dan

penyalahgunaan alkohol. Resiko bunuh diri yang tinggi bila diapatkan perasaan

35

Page 40: Refrat Psikogeriatri

kesepian, tidak berguna, tidak berdaya, putus asa terutama bila hidup sendirian,

kematian pasangan yang belum lama terjadi dan nyeri somatik (Robinson et al.,

2014; Covino, 2006).

Pada pasien lanjut usia yang mengalami depresi, kadang terdapat

gangguan kognitif yang dinamakan sindroma pseudodemensia. Sindrom ini harus

dibedakan dengan demensia yang sebenarnya. Pada pseudodemensia, ada defisit

konsentrasi dan atensi dan jarang disertai dengan gangguan berbahasa.

Depresi juga kemungkinan berhubungan dengan penyakit fisik yang

dialami dan medikasi yang digunakan untuk mengobati penyakit tersebut

(Robinson et al., 2014; Covino, 2006).

EPISODE DEPRESI MAYOR

A. Lima (atau lebih) gejala berikut ditemukan selama periode 2 minggu yang

sama dan menunjukkan suatu perubahan dari fungsi sebelumnya; paling

kurang satu gejala dari salah satu (1) mood terdepresi atau (2) kehilangan

minat atau kesenangan.

1. Mood terdepresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti

yang ditunjukkan baik oleh laporan subyektif (misalnya, perasaan

sedih atau kosong) maupun pengamatan yang dilakukan oleh orang

lain (misalnya, tampak sedih).

2. Kehilangan minat atau kesenangan yang nyata pada semua, atau

hampir semua, aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari

(seperti yang ditunjukkan baik oleh laporan subyektif maupun

pengamatan yang dilakukan oleh orang lain)

3. Penurunan berat badan yang bermakna jika tidak melakukan diet atau

penambahan berat badan (misalnya, perubahan berat badan lebih dari

5% sebulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir

setiap hari.

4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari

5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati

oleh orang lain, bukan hanya perasaan subyektif tentang adanya

kegelisahan atau menjadi lamban)

36

Page 41: Refrat Psikogeriatri

6. Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari

7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau

tidak sesuai (yang dapat berupa waham) hampir setiap hari (bukan

hanya menyalahkan diri sendiri atau bersalah karena sakit)

8. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau

keragu-raguan, hampir setiap hari (baik oleh laporan subyektif

maupun yang diamati oleh orang lain)

9. Pikiran tentang kematian yang berulang (tidak hanya ketakutan akan

kematian), ide bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang spesifik,

atau percobaan bunuh diri atau rencana khusus untuk melakukan

bunuh diri

B. Gejala yang ada tidak memenuhi kriteria Episode Campuran.

C. Gejala menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau gangguan

pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi bidang penting lainnya.

D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya

penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum (misalnya

hipotiroidisme).

E. Gejala tidak lebih baik dijelaskan oleh berduka yaitu setelah kehilangan orang

yang dicintai, gejala menetap lebih lama dari 2 bulan atau ditandai oleh

gangguan fungsional yang nyata, preokupasi morbid dengan perasaan tidak

berharga, ide bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.

Tabel 5. Episode Depresi Mayor (APA, 2000)

C. GANGGUAN BIPOLAR

Gangguan bipolar I biasanya dimulai pada masa dewasa pertengahan,

walaupun prevalensi seumur hidup sebesar 1% adalah stabil sepanjang hidup.

Kerentanan akan rekurensi tetap, sehingga pasien dengan riwayat gangguan

bipolar I mungkin datang dengan periode manik di kemudian hari.

Tanda dan gejala mania pada lanjut usia adalah serupa dengan tanda dan

gejala pada orang dewasa yang lebih muda dan berupa mood yang meninggi,

ekspansif, atau mudah tersinggung; penurunan kebutuhan akan tidur;

37

Page 42: Refrat Psikogeriatri

distraktibilitas; impulsivitas; dan, sering kali, asupan alkohol yang berlebihan.

Perilaku bermusuhan atau paranoid biasanya ditemukan. Adanya gangguan

kognitif, disorientasi, atau tingkat kesadaran yang berfluktuasi harus

menyebabkan klinisi curiga akan penyebab organik.

Lithium tetap merupakan terapi terpilih untuk mania, tetapi pemakaiannya

pada pasien lanjut usia harus dimonitor dengan cermat, karena penurunan klirens

pada lanjut usia menyebabkan toksisitas lithium adalah resiko yang bermakna.

Efek neurotoksik juga lebih sering pada lanjut usia dibandingkan pada dewasa

yang lebih muda (Robinson et al., 2014).

GANGGUAN BIPOLAR I, EPISODE MANIK TUNGGAL 296.0X

A. Terdapat hanya satu Episode Manik dan tidak ada Episode Depresi Mayor

sebelumnya. Rekurensi didefinisikan sebagai suatu perubahan polaritas dari

depresi atau suatu interval paling kurang 2 bulan tanpa gejala manik.

B. Episode Manik tidak lebih baik dijelaskan oleh Gangguan Skizoafektif dan

tidak bertumpang tindih dengan Skizofrenia, Gangguan Skizofreniform,

Gangguan Waham, atau Gangguan Psikotik Yang Tidak Ditentukan.

Tabel 5. Gangguan Bipolar I, Episode Manik (APA, 2000)

D. SKIZOFRENIA

Skizofrenia biasanya mulai pada masa remaja akhir atau masa dewasa

muda dan menetap seumur hidup. Wanita lebih sering menderita skizofrenia onset

lambat dibandingkan laki-laki. Prevalensi skizofrenia paranoid tinggi pada tipe

onset lambat.

38

Page 43: Refrat Psikogeriatri

Kira-kira 20% penderita skizofrenia tidak menunjukkan gejala aktif pada

usia 65 tahun, 80% menunjukkan gangguan dengan berbagai tingkatan.

Psikopatologi menjadi kurang jelas saat pasien bertambah tua. Skizofrenia tipe

residual terjadi pada kira-kira 30%. Pasien yang tidak mampu merawat dirinya

sendiri, dianjurkan dirawat di rumah sakit dalam waktu jangka panjang.

Orang lanjut usia dengan skizofrenik adalah berespon baik terhadap obat

antipsikotik. Medikasi harus diberikan dengan hati-hati. Dosis yang lebih rendah

dari biasanya sering efektif pada lanjut usia (Moran dan Lawlor, 2005).

SKIZOFRENIA

A. Gejala karakteristik: Dua (atau lebih) dari yang berikut ini, masing-masing

ditemukan pada bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau

kurang jika berhasil diobati):

1. waham

2. halusinasi

3. bicara kacau (misalnya, sering menyimpang atau inkoheren)

4. perilaku kacau atau katatonik yang nyata

5. gejala negatif yaitu; pendataran afek, alogia, avolisi

Dibutuhkan hanya satu Kriteria A jika waham bizarre atau halusinasi terdiri

dari suara yang terus menerus mengomentari perilaku atau pikiran seseorang,

atau dua atau lebih suara yang berbincang satu dengan lainnya.

B. Fungsi sosial/ pekerjaan: Untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset

gangguan, satu atau lebih fungsi bidang utama seperti pekerjaan, hubungan

interpersonal, atau perawatan diri, dengan jelas di bawah tingkat yang dicapai

sebelum onset (atau bila onset pada anak-anak atau remaja, gagal mencapai

tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).

C. Durasi: Tanda yang terus menerus menetap selama paling kurang 6 bulan.

Periode 6 bulan ini harus termasuk paling kurang 1 bulan (atau kurang jika

berhasil diobati) gejala yang memenuhi Kriteria A (yaitu, gejala fase aktif)

dan dapat termasuk periode gejala prodromal atau residual. Selama periode

prodromal atau residual ini, tanda dari gangguan mungkin dimanifestasikan

oleh hanya gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang tercantum pada

39

Page 44: Refrat Psikogeriatri

Kriteria A yang timbul dalam bentuk yang kurang jelas (misalnya, keyakinan

aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).

D. Penyingkiran Skizoafektif dan Gangguan Mood: Gangguan Skizoafektif dan

Gangguan Mood Dengan Ciri Psikotik disingkirkan karena salah satu dari (1)

tidak ada Episode Depresi Mayor, Manik, atau Campuran yang terjadi secara

bersamaan dengan gejala fase aktif; atau (2) jika episode mood terjadi selama

gejala fase aktif, durasi seluruhnya relatif singkat dibandingkan durasi periode

aktif dan residual.

E. Penyingkiran kondisi medis umum/ zat: Gangguan bukan karena efek

fisiologis langsung dari zat (misalnya penyalahgunaan zat atau pengobatan)

atau suatu kondisi medis umum.

F. Hubungan dengan Gangguan Perkembangan Pervasif: Jika terdapat riwayat

Gangguan Autistik atau Gangguan Perkembangan Pervasif lainnya, diagnosis

tambahan Skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol

juga timbul selama paling kurang satu bulan (atau kurang jika berhasil

diobati).

295.30 Skizofrenia Tipe Paranoid

Suatu tipe Skizofrenia dimana memenuhi kriteria berikut:

1. Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang

berulang kali.

2. Tidak ada yang menonjol berikut ini : bicara kacau, perilaku kacau atau

katatonik, atau afek datar atau tidak sesuai.

295.10 Skizofrenia Tipe Disorganisasi/ Hebefrenik

Suatu tipe Skizofrenia dimana memenuhi kriteria berikut:

1. bicara kacau

2. perilaku kacau

3. afek datar atau tidak sesuai

40

Page 45: Refrat Psikogeriatri

295.20 Skizofrenia Tipe Katatonik

Suatu tipe Skizofrenia dimana memenuhi kriteria berikut:

1. imobilitas motorik seperti yang dibuktikan oleh katapleksi (termasuk

fleksibilitas lilin) atau stupor

2. aktivitas motorik yang berlebihan (tanpa tujuan dan tidak dipengaruhi oleh

stimulus eksternal)

3. negativisme yang ekstrim (suatu resistensi tanpa motif terhadap seluruh

instruksi atau mempertahankan sikap tubuh yang kaku melawan upaya

untuk digerakkan) atau mutisme

4. gerakan volunter yang aneh seperti yang dibuktikan oleh posturing

(dengan sengaja mengambil sikap tubuh yang tidak sesuai atau aneh),

gerakan stereotik, mannerisme yang menonjol, atau meringis yang

menonjol

5. ekolalia atau ekopraksia

295.90 Skizofrenia Tipe Tidak Terinci (Undifferentiated)

Suatu tipe Skizofrenia dimana gejala yang terjadi memenuhi Kriteria A, tetapi

tidak memenuhi kriteria untuk Tipe Paranoid, Disorganisasi, atau Katatonik.

295.60 Skizofrenia Tipe Residual

1. Tidak ditemukan waham, halusinasi, bicara kacau yang menonjol, dan

perilaku kacau atau katatonik yang nyata.

2. Terdapat bukti yang berlanjut adanya gangguan, seperti yang ditunjukkan

oleh adanya gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang tercantum pada

Kriteria A yang timbul dalam bentuk yang kurang jelas (misalnya,

keyakinan aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).

Tabel 6. Skizofrenia (APA, 2000)

E. GANGGUAN DELUSIONAL

Usia onset gangguan delusional biasanya antara usia 40 dan 55 tahun;

tetapi, gangguan ini dapat terjadi kapan saja dalam periode geriatrik. Gangguan

delusional terjadi dibawah stress fisik dan psikologis pada orang yang rentan dan

mungkin dicetuskan oleh kematian pasangan, kehilangan pekerjaan, pensiun,

41

Page 46: Refrat Psikogeriatri

isolasi sosial, keadaan finansial yang tidak baik, penyakit medis atau pembedahan

yang menimbulkan kecacatan, gangguan penglihatan, dan ketulian.

Waham yang tersering adalah waham kejar dan gangguan delusional

dengan onset lambat yang ditandai dengan waham kejar, disebut parafrenia.

Gangguan ini timbul selama beberapa tahun dan tidak disertai dengan demensia.

Sindroma delusional mungkin juga diakibatkan oleh medikasi atau merupakan

tanda awal tumor otak.

Prognosis cukup baik pada sebagian besar kasus, dengan hasil terbaik

dicapai melalui kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi (Kaplan et al., 2010a;

Busse dan Blazer, 1997; Sadock BJ dan Sadock VA, 2007; Moran dan Lawlor,

2005).

GANGGUAN DELUSIONAL 297.1

A. Waham tidak aneh (yaitu melibatkan situasi yang ada dalam kehidupan nyata,

seperti sedang diikuti, diracun, terinfeksi, dicintai dari jarak jauh, atau

dikhianati pasangan atau kekasih, atau menderita penyakit) dengan durasi

paling kurang 1 bulan.

B. Tidak pernah memenuhi Kriteria A Skizofrenia.

C. Catatan: Halusinasi taktil dan pembauan dapat ditemukan pada Gangguan

Waham jika berhubungan dengan tema waham.

D. Terlepas dari pengaruh waham atau akibatnya, fungsi tidak jelas terganggu

dan perilaku aneh dan kacau yang tidak nyata.

E. Jika episode mood terjadi secara bersamaan dengan waham, durasi

seluruhnya relatif singkat dibandingkan durasi periode waham.

F. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya,

penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum.

Tabel 7. Gangguan Delusional (APA, 2000)

F. GANGGUAN KECEMASAN

Gangguan kecemasan berupa gangguan panik, fobia, gangguan obsesif

kompulsif, gangguan kecemasan umum, gangguan stres akut, dan gangguan stress

paskatraumatik. Menurut ECA, gangguan paling sering adalah fobia sebanyak 4%

42

Page 47: Refrat Psikogeriatri

dan gangguan panik sebanyak 1%. Onset awal gangguan panik adalah jarang

tetapi dapat terjadi.

Orang lanjut usia telah harus menyiapkan diri menghadapi kematian dan

kecemasan dapat timbul akibat pikiran mengenai kematian, bukan dengan

ketenangan hati dan rasa integritas menurut Erik Erikson. Tanda dan gejala fobia

pada lanjut usia kurang parah dibandingkan pada orang yang lebih muda tetapi

efeknya sama. Gangguan paskatraumatik sering lebih parah pada lanjut usia

dibandingkan pada orang muda karena adanya kecacatan fisik yang menyertai

pada lanjut usia (Kaplan et al., 2010b; Busse dan Blazer, 1997).

GANGGUAN KECEMASAN UMUM 300.02

A. Kecemasan dan kekhawatiran berlebihan (harapan yang mengkhawatirkan),

terjadi lebih banyak dibandingkan tidak selama paling kurang 6 bulan,

tentang sejumlah peristiwa atau aktivitas (seperti pekerjaan atau prestasi

sekolah).

B. Orang kesulitan untuk mengendalikan kekhawatiran.

C. Kecemasan dan kekhawatiran adalah dihubungkan dengan tiga (atau lebih)

dari enam gejala berikut (dengan paling kurang beberapa gejala terjadi lebih

banyak dibandingkan tidak selama 6 bulan terakhir).

1. gelisah atau perasaan tegang atau cemas

2. merasa mudah lelah

3. sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong

4. iritabilitas

5. ketegangan otot

6. gangguan tidur (kesulitan untuk mulai atau tetap tertidur, atau tidur

yang gelisah dan tidak memuaskan)

D. Fokus kecemasan dan kekhawatiran adalah tidak dibatasi pada gambaran

utama gangguan Aksis I, misalnya kecemasan atau ketakutan adalah bukan

suatu Serangan Panik (seperti pada Gangguan Panik), merasa malu di depan

umum (seperti pada Fobia Sosial), terkontaminasi (seperti pada Gangguan

Obsesif-Kompulsif), merasa jauh dari rumah atau kerabat dekat (seperti pada

Gangguan Cemas Perpisahan), pertambahan berat badan (seperti pada

43

Page 48: Refrat Psikogeriatri

Anoreksia Nervosa), menderita berbagai keluhan fisik (seperti pada

Gangguan Somatisasi), atau menderita penyakit serius (seperti pada

Hipokondriasis), serta kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi secara

eksklusif selama Gangguan Stres Pascatrauma.

E. Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan yang

bermakna secara klinis atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau

fungsi penting lainnya.

F. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat (misalnya,

penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum (misalnya

hipertiroidisme) dan tidak terjadi secara eksklusif selama suatu Gangguan

Mood, Gangguan Psikotik, atau Gangguan Perkembangan Pervasif.

Tabel 8. Gangguan Kecemasan Umum (APA, 2000)

G. GANGGUAN SOMATOFORM

Gangguan somatoform, ditandai oleh gejala fisik yang menyerupai

penyakit medis, adalah relevan dengan psikiatri geriatrik karena keluhan somatik

sering ditemukan pada lanjut usia.

Hipokondriasis sering ditemukan pada pasien berusia diatas 60 tahun,

walaupun insiden puncak adalah pada kelompok usia 40 sampai 50 tahun.

Gangguan biasanya kronis dan pemeriksaan fisik ulang berguna untuk

menentramkan pasien bahwa mereka tidak memiliki penyakit yang mematikan.

Tetapi prosedur invasif yang memiliki resiko tinggi, harus dihindari (Kaplan et

al., 2010b; Busse dan Blazer, 1997; Sadock BJ dan Sadock VA, 2007).

44

Page 49: Refrat Psikogeriatri

GANGGUAN SOMATOFORM YANG TIDAK DIGOLONGKAN 300.82

A. Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, kehilangan nafsu makan,

keluhan gastrointestinal atau saluran kemih).

B. Salah satu (1) atau (2):

1. Setelah pemeriksaan yang sesuai, gejala tidak dapat dijelaskan

sepenuhnya oleh kondisi medis umum yang diketahui atau efek

langsung dari suatu zat (misalnya, penyalahgunaan zat, pengobatan).

2. Jika terdapat hubungan dengan suatu kondisi medis umum, keluhan

fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang diakibatkan adalah

secara jelas melebihi dari yang diperkirakan menurut riwayat

penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.

C. Gejala menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau gangguan

pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

D. Durasi gangguan paling sedikit 6 bulan.

E. Gangguan tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain (misalnya

Gangguan Somatoform lainnya, Disfungsi Seksual, Gangguan Mood,

Gangguan Kecemasan, Gangguan Tidur, atau Gangguan Psikotik).

F. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada

gangguan buatan atau berpura-pura).

Tabel 9. Gangguan Somatoform (APA, 2000)

H. GANGGUAN TIDUR

Fenomena yang berhubungan dengan tidur yang lebih sering pada orang

usia lanjut adalah gangguan tidur, mengantuk di siang hari, tidur sejenak di siang

hari dan pemakaian obat hipnotik.

Disamping perubahan fisiologis dan sistem regulasi, penyebab gangguan

tidur pada lanjut usia adalah gangguan tidur primer, gangguan mental lain, kondisi

medis umum, dan faktor sosial dan lingkungan. Di antara gangguan tidur primer,

disomnia adalah yang paling sering, terutama insomnia primer, mioklonus

nokturnal, sindroma kaki gelisah (restless leg syndrome) dan apnea tidur. Kondisi

45

Page 50: Refrat Psikogeriatri

yang sering menggangu tidur pada lanjut usia adalah nyeri, nokturia, sesak nafas,

dan nyeri perut.

Alkohol dalam jumlah kecil sekalipun dapat mengganggu kualitas tidur,

melalui fragmentasi tidur dan terbangun saat dini hari. Alkohol juga dapat

mencetuskan atau memperberat apnea tidur obstruktif. Banyak lanjut usia

menggunakan alkohol, hipnotik, dan depresan sistem saraf pusat lain untuk

membantu tertidur, tetapi data menunjukkan bahwa sebagian besar pasien lebih

banyak mengalami terbangun dini hari dibandingkan gangguan dalam tertidur.

Perubahan dalam struktur tidur di lanjut usia adalah tidur gerakan mata

cepat (rapid aye movement, REM) sepanjang malam, peningkatan jumlah episode

REM, penurunan lama episode, penurunan tidur REM total. Perubahan tidur

gerakan mata lambat (non rapid eye movement, NREM) yaitu penurunan

amplitudo gelombang delta. Orang lanjut usia juga mengalami bertambahnya

terjaga setelah onset tidur (Kaplan et al., 2010b; Sadock BJ dan Sadock VA,

2004).

INSOMNIA PRIMER 307.42

A. Keluhan yang predominan adalah kesulitan untuk mulai atau tetap tertidur,

atau tidur yang tidak menyegarkan, selama paling kurang 1 bulan.

B. Gangguan tidur (atau berkaitan dengan kelelahan di siang hari) menyebabkan

penderitaan secara klinis yang bermakna atau gangguan pada fungsi sosial,

pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

C. Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan Narkolepsi,

Gangguan Tidur Berhubungan Pernafasan, Gangguan Tidur Irama Sirkadian,

atau Parasomnia.

D. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan suatu gangguan

mental lain (misalnya, Gangguan Depresif Mayor, Gangguan Kecemasan

Umum, delirium).

E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat (misalnya,

penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum (APA,

2000).

Tabel 10. Insomnia Primer (APA, 2000)

46

Page 51: Refrat Psikogeriatri

I. GANGGUAN PENGGUNAAN ALKOHOL DAN ZAT LAIN

Pasien lanjut usia dengan ketergantungan alkohol biasanya memberikan

riwayat minum berlebihan yang mulai pada masa remaja atau dewasa

pertengahan. Mereka biasanya memiliki penyakit medis, terutama dengan

penyakit hati, dan mereka adalah bercerai, duda, atau laki-laki yang tidak pernah

menikah. Sejumlah besar menderita penyakit demensia yang kronis, seperti

ensefalopati Wernicke dan sindrom Korsakoff.

Secara keseluruhan, gangguan penggunaan alkohol dan zat lain adalah

berjumlah 10% dari semua masalah emosional pada lanjut usia, dan

ketergantungan pada zat tertentu seperti hipnotik, ansiolitik, dan narkotik adalah

lebih sering pada lanjut usia. Pasien lanjut mungkin menyalahgunakan ansiolitik

untuk mengatasi kecemasan kronis atau untuk mempermudah tidur.

Onset delirium yang tiba-tiba pada orang lanjut usia yang dirawat untuk

penyakit medis paling sering disebabkan oleh putus alkohol (Maramis WF, 2009).

PENYALAHGUNAAN ZAT

A. Suatu pola penggunaan zat maladaptif yang menyebabkan gangguan atau

penderitaan secara klinis yang bermakna, seperti yang dimanifestasikan oleh

satu (atau lebih) yang berikut ini, terjadi dalam periode 12 bulan:

1. Penggunaan zat berulang yang menyebabkan kegagalan dalam

memenuhi kewajiban peran utama dalam pekerjaan, sekolah, atau

rumah (misalnya, tidak hadir berulang atau kinerja buruk yang

dihubungkan dengan penggunaan zat; membolos, skors, atau

dikeluarkan dari sekolah; pengabaian anak dan rumah tangga yang

dihubungkan dengan penggunaan zat).

2. Penggunaan zat berulang pada situasi yang berbahaya secara fisik

(misalnya, terganggu oleh penggunaan zat ketika mengemudikan

kendaraan atau mengoperasikan mesin).

3.

47

Page 52: Refrat Psikogeriatri

4. Masalah hukum berhubungan dengan zat yang berulang (misalnya,

penahanan karena gangguan tingkah laku yang dihubungkan dengan

zat).

5. penggunaan zat berkelanjutan walaupun memiliki masalah sosial atau

interpersonal menetap atau berulang yang disebabkan atau

dieksaserbasi oleh efek zat (misalnya, berbeda pendapat dengan

pasangan tentang akibat intoksikasi, perkelahian fisik).

B. Gejala tidak pernah memenuhi kriteria Ketergantungan Zat untuk kelas zat ini.

Tabel 11. Penyalahgunaan Zat (APA, 2000)

DELIRIUM PUTUS ZAT

A. Gangguan kesadaran (yaitu penurunan kejernihan kesadaran terhadap

lingkungan) dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan,

mempertahankan atau mengalihkan perhatian.

B. Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa)

atau berkembangnya gangguan persepsi yang tidak lebih baik dijelaskan oleh

demensia yang ada sebelumnya, yang telah terbukti, atau yang sedang

berkembang.

C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang singkat (biasanya beberapa

jam hingga beberapa hari) dan cenderung berfluktuasi selama perjalanan hari.

D. Terdapat bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium

bahwa gejala dalam kriteria A dan B berkembang selama, atau sesaat setelah,

suatu sindrom putus zat.

Penulisan Delirium Putus (Zat Spesifik):

291.0 Alkohol

292.81 Sedatif, Hipnotik, atau Anxiolitik

292.81 Zat Lain atau Tidak Diketahui

Tabel 12. Delirium Putus Zat (APA, 2000)

48

Page 53: Refrat Psikogeriatri

BAB VIi

GEJALA PERILAKU DAN PSIKOLOGIS PADA DEMENSIA

1. Definisi

Gejala perilaku dan psikologis pada demensi merujuk pada gejala

non-kognitif dari gangguan persepsi, isi pikir, alam perasaan (mood) atau

perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan demensia (international

Psychogeriatric Assosiation, 2002). Penyebabnya multifaktor, beberapa

perilaku bisa jadi merupakan hasil dari perubahan neurotransmitter dari

penyakit itu sendiri, termasuk juga faktor komunikasi dan lingkungan.

Gejalanya disebut gejala neuropsikiatri.

Yang termasuk GPPD adalah :

a. Agresi

b. Agitasi

c. Teriak-teriak

d. Dan aktivitas motorik yang berulang

e. Kecemasan

f. Depresi

g. Psikosis (waham dan halusinasi)

h. Pengulangan kata-kata, kutukan, sumpah

i. Gangguan tidur

j. Shadowing (mengikuti pengasuh kemanapun pergi)

k. Sundowning

l. Keluyuran

m. Hoarding (SIGN, 2008)

49

Page 54: Refrat Psikogeriatri

2. Identifikasi Target Perilaku

Merespon dengan tepat kepada seseorang dengan GPPD, sangat

penting untuk menyediakan pelayanan yang berkualitas. Intervensi dan

manajemen awal yang tepat terhadap gejala perilaku ini adalah

penilaian/pemeriksaan untuk mengidentifikasi faktor penyebab dan pencetus

yang mungkin berkontribusi terhadap perilaku pasien. Penting untuk

mengetahui informasi acuan dasar, termasuk informasi tambahan lain, untuk

dapat dibandingkan dengan perilaku baru yang muncul pada pasien dengan

GPPD (Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrist). Penilaian

bisa menggunakan ABC model (antecedents, behaviours and cosequences).

Protokol lain yaitu RAI Clinical Assesment Protocols (CAPS) bisa digunakan

untuk mendukung penilaian klinis, pembuatan keputusan dan perencanaan

pelayanan (Inter RAI). Sangatlah penting untuk mengidentifikasi penyebab

perubahan perilaku melalui penilaian yang komprehensif dan mereview

riwayat medis dan psikiatrinya.

50

Page 55: Refrat Psikogeriatri

3. Terapi Non-farmakologis GPPD

Tabel 13. Terapi Non-Farmakologis GPPD

(Mcgonigal-Kenney et al., 2004)

Sensory Enhancement/

Relaxation

Social Contact: Real

or Stimulated

Behaviour Therapy

Massage and touch

Individualized

music

White noise

Controlled

multisensory

stimulatin

(Snoezelen)

Art therapy

Aroma therapy

Individualized

social contact

Pet therapy

1:1 social

interction

Stimulated

interactions/

family videos

Differential

reinforcement

Stimulus

control

Structured activities Environtmental

modifications

Training and

development

Recreational

activities

Outdoor walks

Physical activities

Wandering areas

natural/ enhanced

Environments

Reduced

stimulation

Light therapy

Staff education

Staff support

Training

program for

family

Caregivers

51

Page 56: Refrat Psikogeriatri

4. Terapi Farmakologis GPPD

Antipsikotik hanya diberikan jika ada gejala agresi, agitasi atau gejala

psikotik yang menyebabkan distress berat atau risiko akut yang dapat

melukai/ membahayakan diri sendiri atau orang lain.

GPPD yang tidak memerlukan terapi antipsikotik:

i. Keluyuran

ii. Hiding and hoarding

iii. Aktivitas berulang

iv. Perilaku yang mengganggu secara vokal

v. Pakaian yang tidak sesuai/ tidak berpakaian

vi. Memakan benda yang tidak layak makan

vii. Tugging at seatbelts

viii. Inappropriate volding

ix. Pushing wheel chair bound residents

Contoh antipsikotik yang digunakan untuk lansia:

Nama obat Dosis awal Frekuensi Dosis rata-rata/

hari (mg)

Quetiapine 12.5 2-3x/ hari 150

Risperidone 0.25 2x/ hari 1

Olanzapine 1.25 2x/ hari 5

Loxapine 2.5 2-3x/ hari 25

Haloperidol 0.25 2x/ hari 2

Tabel 14. Terapi Farmakologis GPPD (Ward)

Prnsip terapi: mulai dari dosis rendah, tingkatkan perlahan dan

monitor secara teratur respon terapi dan efek sampingnya.

52

Page 57: Refrat Psikogeriatri

5. Algoritme GPPD

ALGORITME GPPD (1)

Gambar 6. Algoritme penanganan GPPD (Lovestone dan Gauthier, 2001)

Antidepresi

Bila masih belum teratasi : Respite care Hipnotik (jangka pendek saja),

hindari benzodiazepine

Behavioural approach : Gerak badan Sleep hygiene Kurangi kopi Hindari tidur

siang

Kurangi obat, terapi fisik

Depresi

Ya Tidak

TidakYa

Penyebab? Fisik Obat

Anti-depresi Aktivitas menyenangkan

Non-obatObat

Normal? Diakui

dengan CG CG stress

Tidur > 5 jam

Tidur < 5 jam

Esesmen psikometrik

Wawancara caregiver

Esesmen:Curiga GPPD

DepresiGangguan tidur

53

Page 58: Refrat Psikogeriatri

ALGORITME GPPD (2)

Gambar 6. Algoritme penanganan GPPD (Lovestone dan Gauthier, 2001)

Tingkatkan aktivitas, respite care

Tak berpola

Aktivitas diubah

TidakYa

Hanya situasi tertentu

Terapi sebagai insomnia

Depresi?

Hanya malam

Dini hari

Suport CG, day care, respite care

Modifikasi perilaku perawat/ caregiver

Terapi penyebab

nyeri, delirium, dll

Berhubungan dengan perawatan?

Ya Tidak

TidakYa

Problem fisik?

Ya Tidak

Hanya waktu tertentu?

Antipsikotik

TidakYa

Esesmen psikometrikWawancara caregiver

Esesmen:

Curiga

WanderingAgresivitas, karena psikosis?

54

Page 59: Refrat Psikogeriatri

BAB VIII

PERMASALAHAN DALAM ASPEK SOSIAL, EKONOMI,

DAN PSIKOLOGI PADA USIA LANJUT

Pada lansia umumnya terjadi beberapa hal/ perubahan dalam hidupnya

yang berpengaruh dalam kehidupan sosial, ekonomi, serta psikologisnya sebagai

seorang lansia, perubahan yang terjadi antara lain;

A. Perubahan Aspek Psikososial

Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami

penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses

belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga

menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi

psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan

kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia

menjadi kurang cekatan. Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia

juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan

kepribadian lansia. Menurut Kuntjoro (dalam Azizah, 2011) ada enam tipe

kepribadian pada lanjut usia sebagai berikut:

1.      Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personality), memiliki

integritas baik, dapat menikmati hidupnya, punya toleransi tinggi,

humoristik, fleksible dan tahu diri dimana sifat ini sudah dibawanya sejak

muda sehingga biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang

dan mantap sampai sangat tua.

2.      Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada

kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa

lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada

dirinya.

3.      Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personality), pada tipe ini

biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan

keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi

jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan

55

Page 60: Refrat Psikogeriatri

menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya. Tipe

ini pada saat mengalami pensiun biasanya tidak mempunyai inisiatif,

pasif tetapi masih tahu diri dan dapat diterima masyarakat.

4.      Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), Lanjut usia

pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan

kehidupannya, banyak keinginan yang tidak diperhitungkan sehingga

menyebabkan kegagalan, selalu mengeluh dan curiga.

5. Tipe Kepribadian Defensif, tipe ini selalu menolak bantuan, emosinya

tidak terkontrol, bersifat kompulsif aktif. Mereka takut menjadi tua dan

tidak menyenangi masa pensiun.

6.      Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe

ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu

orang lain atau cenderung membuat susah dirinya. Selalu menyalahkan

diri, tidak memiliki ambisi dan merasa korban dari keadaan.

B. Perubahan yang Berkaitan dengan Pekerjaan

Umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan

ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari

tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun

sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran,

kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih

tergantung dari model kepribadiannya.

Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah

lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam

menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut

kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang

seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing sikap tersebut

sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun

negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan

mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif

sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-

56

Page 61: Refrat Psikogeriatri

kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja

atau tidak dengan memperoleh gaji penuh.

Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah

bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment

untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan

positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia

dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-

masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat

banyak jenis dan macamnya.

Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya

sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang

selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam

menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah

pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan

sebagainya.

Perlu diketahui bahwa seorang lansia yang di pensiun akan mengalami

kehilangan-kehilangan antara lain sebagai berikut (Budi-Darmojo dan H Martono,

2011) :

1. Kehilangan finansial, pada umumnya dimanapun pemasukan uang

seorang lansia akan menurun kecuali orang yang sangat kaya raya dengan

tabungan melimpah.

2. Kehilangan status, terutama bila sebelumnya orang tersebut memiliki

jabatan dan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan fasilitasnya.

3. Kehilangan teman/ kenalan, mereka akan jarang bertemu dan

berkomunikasi dengan teman sejawat yang sebelumnya tiap hari

dijumpainya sehingga hubungan sosialnya pun akan hilang/berkurang.

4. Kehilangan kegiatan/ pekerjaan yang teratur dilakukan setiap hari yang

berarti rutinitasnya hilang.

57

Page 62: Refrat Psikogeriatri

C. Perubahan dalam Peran Sosial di Masyarakat 

Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik

dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada

lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang,

penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal

itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas,

selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau

diasingkan.

Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk

berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi

seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak

berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga

perilakunya seperti anak kecil.

Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia

yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat

beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan

kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan

pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara

karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak

dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri,

seringkali menjadi terlantar.

Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk

pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay

rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu

dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam

lingkungan sosial Panti Wreda adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam

masyarakat sebagai seorang lansia (Azizah, 2011).

D. Perubahan Minat

Lanjut usia juga mengalami perubahan pada minat, yang pertama adalah

minat terhadap diri makin bertambah, kedua minat terhadap penampilan semakin

berkurang, ketiga yaitu minat terhadap uang semakin meningkat dan terakhir

58

Page 63: Refrat Psikogeriatri

kebutuhan terhadap kegiatan rekreasi tak berubah hanya cenderung menyempit

(Azizah, 2011).

Hurlock (dalam Azizah, 2011) mengatakan bahwa perubahan yang dialami

oleh setiap orang akan mempengaruhi minatnya terhadap perubahan tersebut dan

akhirnya mempengaruhi pola hidupnya. Dalam menghadapi perubahan tersebut

diperlukan penyesuaian. Ciri-ciri penyesuaian yang tidak baik dari lansia antara

lain:

1. Minat sempit terhadap kejadian dilingkungan

2. Penarikan diri kedalam dunia fantasi

3. Selalu mengingat kembali masa lalu

4. Selalu khawatir karena pengangguran

5. Kurang ada motivasi

6. Rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga kurang baik

7. Tempat tinggal yang tidak diinginkan

Sedangkan ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain: minat yang kuat,

ketidak tergantungan secara ekonomi, kontak sosial luas, menikmati kerja dan

hasil kerja, menikmati kegiatan yang dilakukan saat ini memiliki kekhawatiran

minimal terhadap diri dan orang lain.

E. Perubahan Berkaitan dengan Aspek Psikologis

Kesepian/ loneliness, biasanya dialami oleh seorang lanjut usia pada saat

meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat

itu juga mengalami penurunan status kesehatan,misalnya menderita berbagai

penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama

gangguan pendengaran. Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri.

Banyak diantara lansia yang hidup sendiri tidak mengalami kesepian, karena

aktivitas sosial yang masih tinggi, tetapi dilain pihak terhadap lansia yang

walaupun hidup dilingkungan yang beranggotakan cukup banyak, mengalami

kesepian. Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi sosial sangat berarti,

karena bisa bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan

peran penderita, disamping memberikan bantuan dalam pengerjaan pekerjaan

dirumah bila memang terdapat disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut.

59

Page 64: Refrat Psikogeriatri

BAB IX

PENATALAKSANAAN GANGGUAN PSIKIATRI

PADA PASIEN LANJUT USIA

A. TERAPI PSIKOFARMAKOLOGIS

Tujuan utama terapi farmakologis pada lanjut usia adalah untuk

meningkatkan kualitas hidup, mempertahankan mereka dalam komunitas dan

menunda atau menghindari penempatan mereka di rumah perawatan.

Prinsip dasar psikofarmakologi geriatri adalah individualisasi dosis, karena

berhubungan dengan perubahan fisiologis pada proses penuaan. Penurunan klirens

obat dapat terjadi pada gangguan ginjal, gangguan kardiovaskular dan penurunan

curah jantung. Penyakit hati menyebabkan penurunan kemampuan metabolisme

obat. Penyakit gastrointestinal dan penurunan sekresi asam lambung

mempengaruhi absorpsi obat. Massa tubuh yang tidak berlemak (lean body mass)

menurun pada lanjut usia dan lemak tubuh meningkat mempengaruhi distribusi

obat.

Pada lanjut usia, pedoman tertentu tentang pemakaian semua obat harus

diikut. Pemeriksaan medis praterapi adalah penting, termasuk elektrokardiogram

(EKG). Seluruh obat-obatan yang sedang diminum penting untuk dievaluasi efek

sampingnya dan efek interaksi dengan obat psikotropika yang akan diberikan.

Sebagian besar obat psikotropika harus diberikan dalam dosis terbagi yang

sama tiga atau empat kali selama periode 24 jam. Pasien lanjut usia mungkin tidak

mampu mentoleransi peningkatan kadar obat dalam darah yang tiba-tiba yang

disebabkan dari dosis sekali sehari yang besar. Klinisi harus sering memeriksa

kembali semua pasien untuk menentukan perlunya medikasi pemeliharaan,

perubahan dalam dosis dan perkembangan efek samping. Jika pasien sedang

menggunakan obat psikotropika saat pemeriksaan, klinisi harus mengentikan

medikasi tersebut jika dimungkinan dan setelah periode pembersihan (washout

period), periksa ulang pasien selama keadaan dasar yang bebas dari obat.

60

Page 65: Refrat Psikogeriatri

B. PSIKOTERAPI

Intervensi psikoterapi standar seperti psikoterapi berorientasi tilikan,

psikoterapi suportif, terapi kognitif, terapi kelompok dan terapi keluarga harus

tersedia bagi pasien lanjut usia. Menurut Freud, orang berusia lebih dari 50 tahun

tidak cocok untuk psikoanalisi karena tidak adanya elastisitas pada proses mental

mereka.

Menurut Gunadi (2001), proses kejiwaan dasar pada orang-orang tua tidak

jauh berbeda dengan orang yang lebih muda. Bagaimanapun, proses penuaan dan

perubahan patologi mengakibatkan persoalan-persoalan kejiwaan yang

berhubungan erat dengan kelompok umur ini. Persoalan-persoalan yang lazim

dihadapi pada pengobatan adalah keterlibatan dan berubahnya hubungan antara

orang-orang tua dengan anak-anak mereka yang sudah remaja. Sebagai contoh,

pada saat sakit, lansia menginginkan kebebasan dan di saat bersamaan yang

berhubungan dengan konteks sosial, pengharapan yang tidak masuk akal yang

dipaksakan kepada anak-anak mereka.

Terapi keluarga dapat memberikan nilai lebih pada orang-orang tua,

kadang-kadang bersama dengan psikoterapi kelompok atau individu. Tujuan lain

dari pengobatan individu khususnya untuk orang-orang tua termasuk memelihara

harga diri, perkawinan dan perubahan status sosial, pemanfaatan waktu luang

yang tidak biasanya dan kebebasan dalam menentukan pilihan. Umumnya

psikoterapi pada orang-orang tua disesuaikan dengan situasi dan masalah yang

muncul dan mencari pemecahannya dengan cara membentuk kerangka

kepribadian daripada merubah kepribadian secara menyeluruh.

Masalah dalam terapi yang berkaitan dengan usia dan yang sering adalah

kebutuhan untuk beradaptasi terhadap kehilangan pasangan hidup, perlunya

menerima peran baru (pensiun, lepas dari peran yang sebelumnya) dan kebutuhan

untuk menerima kematian diri sendiri. Psikoterapi membantu lanjut usia

menghadapi masalah tersebut, meningkatkan hubungan interpersonal, psikoterapi

meningkatkan harga diri dan keyakinan diri, menurunkan perasaan

ketidakberdayaan dan kemarahan dan memperbaiki kualitas hidup. Bentuk

61

Page 66: Refrat Psikogeriatri

psikoterapi yang dilakukan adalah transferensi, terapi kelompok, terapi keluarga

dan terapi singkat.

Banyak orang-orang tua menanggapi dengan positif atas perubahan

menyeluruh dan keadaan yang menyedihkan (misalnya, kesehatan yang menurun,

kehilangan pasangan). Sikap khusus diperlukan pada psikoterapi demensia. Pada

suatu fenomena yang disebut retrogenesis, yang terjadi pada demensia Alzheimer

dan lebih luas pada keadaan-keadaan penuaan, kemampuan kognitif, fungsional,

psikologis penderita berubah dari pola perkembangan manusia normal. Sebagai

akibatnya, setiap derajat fungsional dari penyakit Alzheimer dapat digambarkan

sama dengan perkembangan pada masa kanak-kanak. Usia perkembangan

penderita Alzheimer memberikan pengertian yang cepat terhadap manajemen

penanganan dan perawatan yang dibutuhkannya. Selanjutnya, penanganan pada

penderita dengan Alzheimer berat (stadium 7) membutuhkan sejumlah perawatan

yang kira-kira hampir sama dengan perawatan pada bayi. Sama halnya dengan

penderita dengan Alzheimer ringan (stadium 4), mereka seperti anak-anak usia 8 –

12 tahun, hanya membutuhkan pengawasan. Usia perkembangan dari penderita

Alzheimer ini berguna untuk memahami kebutuhan emosinal, perubahan tingkah

laku, dan kebutuhan jasmani mereka.

62

Page 67: Refrat Psikogeriatri

BAB X

KESIMPULAN

1. Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah meningkatkan

populasi penduduk lanjut usia hingga mencapai 9,77% dari total penduduk

di Indonesia.

2. Perubahan fisiologis dan psikologis terjadi pada lanjut usia, proses tersebut

dipengaruhi oleh faktor penuaan intrinsik dan ekstrinsik.

3. Pemeriksaan psikiatri pada lanjut usia sama dengan yang berlaku pada

dewasa muda, namun perlu adanya peningkatan fokus dalam gangguan

kognitif karena tingginya prevalensi gangguan kognitif pada lansia.

4. Prevalensi gangguan mental pada lanjut usia menunjukkan peningkatan

pada lanjut usia yang berusia lebih dari 75 tahun, berjenis kelamin wanita,

berpendidikan rendah, tidak bekerja, dan tinggal di pedesaan.

5. Gangguan mental pada lanjut usia dapat berupa demensia, gangguan

depresif, gangguan bipolar, skizofrenia, gangguan delusional, gangguan

kecemasan, gangguan somatoform, gangguan tidur, dan gangguan alkohol

serta zat lain.

6. Gejala perilaku dan psikologis pada demensia merujuk pada gejala non-

kognitif dari gangguan persepsi, isi pikir, alam perasaan (mood) atau

perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan demensia.

7. Tujuan utama terapi farmakologis pada lanjut usia adalah untuk

meningkatkan kualitas hidup, mempertahankan mereka dalam komunitas,

dan menunda atau menghindari penempatan mereka di rumah perawatan.

8. Permasalahan yang dialami lansia meliputi aspek psikogeriatri seperti

kesepian, aspek psikososial, perubahan peran sosial di masyarakat, dan

perubahan-perubahan yang diakibatkan karena kehilangan pekerjaan.

9. Seluruh stresor pada pasien lanjut usia baik yang bersifat fisik dan

psikososial harus dapat dinilai agar penatalaksanaan yang holistik dapat

tercapai dengan tujuan utama untuk meningkatkan kualitas hidup,

63

Page 68: Refrat Psikogeriatri

mempertahankan mereka dalam komunitas, dan menunda atau menghindari

penempatan mereka di rumah perawatan.

64

Page 69: Refrat Psikogeriatri

DAFTAR PUSTAKA

APA (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Edition,

Text Revision. Washington, DC: Author.

Azizah L (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Brocklehurs JC, Allen SC (1987). Sociological and psychological gerontology.In

Brocklehurs JC and Allen SC (eds). Geriatric Medicine for Students.

Edisi ke-3. Churchill Livingstone.

Busse EW, Blazer DG (1997). Textbook of Geriatry Psychology. Edisi ke-2.

Washington: The American Psychiatric Press. Hal 155-263.

Covino J (2006). Depression in Geriatric Patients. Diunduh dari:

http://www.medscape.com/viewarticle/520534. Diakses tanggal 10

Februari 2015.

Darmojo B, Martono H (2011). Gerontologi Sosial. Dalam: Budi-Darmojo dan

Martono, H., Buku Ajar Boedhi-Darmojo: Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia

Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Hal 14-33.

Darmojo RB (2004). Gerontologi sosial : masalah sosial dan psikologik golongan

lanjut usia dalam geriatri (Ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi ke-3.

Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Departemen Kesehatan (2004). Buku pedoman upaya pembinaan kesehatan jiwa

usia lanjut. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.

Folstein MF, Folstein SE, McHugh PR (1975). “Mini-mental state” A practical

method for grading the cognitive state of patients for the clinician. J

Psychiatr Res. 12(3):189-98.

Goldberg J (2015). Alzheimer's Disease and Other Forms of Dementia. WebMD.

http://www.webmd.com/alzheimers/guide/alzheimers-dementia. Diakses

tanggal 10 Februari 2015.

65

Page 70: Refrat Psikogeriatri

Gunadi H (2001). Problematik usia lanjut ditinjau dari sudut kesehatan jiwa. Jiwa.

XVII (4): 89-97.

Kaplan HI, Sadock BJ and Grebb JA (2010). Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri.

Jilid 1. Alih bahasa: Wijaya Kusuma. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hal

116-134.

Kaplan HI, Sadock BJ and Grebb JA. (2010). Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri.

Jilid 1. Alih bahasa : Wijaya Kusuma. Jakarta : Bina Rupa Aksara. Hal

867-891.

Koenig HG, Blazer DG (2003). Dalam Cassel CK et al. Deppresion, Anxiety and

other mood disorders in geriatric medicine an evidence based approach.

Fourth edition. New York: Springer.

Kolb LC, Brodie HK (1982). Modern clinical psychiatry. Philadelphia: WB

Saunders Co.

Maramis (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Universitas Airlangga

Press.

Maramis WF, Maramis A (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.

Surabaya : Airlangga University Press. Hal 576.

Maramis WF, Maramis A (2009). Ilmu kedokteran Jiwa Edisi ke 2. Surabaya:

Airlangga University Press.

Marini (2006). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian depresi pada

usia lanjut di Poli Geriatri RSU Ciptomangunkusumo, Tahun 2006-2008.

Tesis. UI.

Moran M, Lawlor B (2005). Late-life Schizophrenia. Psychiatry. 4:11. The

Medicine Publishing Company Ltd.

Murti B (1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Passmore P (2014). What is vascular dementia?. Alzheimer's Society.

http://alzheimers.org.uk/site/scripts/documents_info.php?

categoryID=200137&documentID=161&pageNumber=1. Diakses

66

Page 71: Refrat Psikogeriatri

tanggal 10 Februari 2015.

Potter PA, Perry AG (2009). Fundamental Keperawatan Buku 1 Ed. 7. Jakarta:

Salemba Medika.

Riskesdas (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian Dan

Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil

%20Riskesdas%202013.pdf. Diakses Februari 2015.

Robinson L, Smith M, Segal J (2011). Depression in Older Adults and Elderly.

http://www.helpguide.org/articles/depression/depression-in-older-adults-

and-the-elderly.htm. Diakses tanggal 10 Februari 2015.

Sadock BJ, Sadock VA (2007). Synopsis of Psychiatry. Edisi kesepuluh.

Philadelphia: The William-Wilkins. Hal 1348-1358.

Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P (2009). Kaplan-Sadock Comprehensive Textbook

of Psychiatry. Ninth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and

Wilkins.

Setiati S, Harimurti K dan Roosheroe G (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Jilid III : Proses Menua dan Implikasi Kliniknya. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia. Hal

1336-1339.

Soedjono CH, Probosuseno, Sari NK (2006). Depresi Pada Pasien Usia Lanjut

Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam , Edisi Keempat Jilid III. Jakarta:

Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UI.

Stanley M, Beare PT (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta:

EGC.

Stuart GW, Sandra S (2001). Principles and practice of psychiatric nursing, USA,

St. Louis.

Sutarto JT, Cokro CI (2009). Pensiun Bukan Akhir Segalanya. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

67

Page 72: Refrat Psikogeriatri

Tamher S, Noorkasiani (2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan

Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Weinberg J (1995). Genatric psychiatry. Dalam: Freedman AN ,Kaplan HI,

Sadock RJ (eds). Comprehensive Textbook of Psychiatry. 6th eds. The

William-Wilkins Co. Hal 2507-1527.

WHO (2013). Mental health and older adults. World Health Organization.

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs381/en/. Diakses 8 Februari

2015.

Yesavage JA, Brink TL, Rose TL, Lum O, Huang V, Adey M, Leirer VO (1982).

Development and validation of a geriatric depression screening scale: a

preliminary report. J Psychiatry Res. 1982-1983;17(1):37-49.

68