epitaksis refrat

24
BAB I PENDAHULUAN Epistaksis atau pendarahan dari hidung banyak di jumpai sehari-hari baik pada anak-anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit umum. Terdapat dua sumber perdarahan dari epistaksis, yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, sedangkan epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis. 1 2 Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Epistaksis kebanyakan ringan dan seing dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis. Epistaksis berat, walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal bila 1

description

epitaksis refrat

Transcript of epitaksis refrat

Page 1: epitaksis refrat

BAB I

PENDAHULUAN

Epistaksis atau pendarahan dari hidung banyak di jumpai sehari-hari baik pada anak-

anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit

lain. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit

umum. Terdapat dua sumber perdarahan dari epistaksis, yaitu dari bagian anterior dan

bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, sedangkan

epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.

Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai

pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1

dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis

bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis

posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.1 2

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan

mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Epistaksis kebanyakan ringan

dan seing dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis. Epistaksis berat,

walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat

berakibat fatal bila tidak segera ditolong. Oleh karena itu akan kita bahas mengenai

epistaksis pada makalah ini.3

1

Page 2: epitaksis refrat

BAB II

ANATOMI

2.1 ANATOMI HIDUNG

Hidung terbagi 3 bagian, yaitu bagian luar, septum, dan bagian dalam. Hidung luar

berbentuk piramid, terdiri dari pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi),

kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Septum terdiri dari tulang dan tulang rawan.

Tulang terdiri dari krista nasalis os maxilla, krista nasalin os palatum, vomer, dan lamina

prependikularis os etmoid. Bagian tulang rawan terdiri dari tulang rawan septum dan

kolumela. Sedangkan hidung bagian dalam terdiri dari konka, meatus, dan vestibulum.

Konka dibagi menjadi 4 bagian, yaitu konka suprema, superior, media, dan inferior. Meatus

terbagi menjadi 3, yaitu meatus superior, media, dan inferior.4

Gambar 1 : Hidung bagian luar

2

Page 3: epitaksis refrat

Gambar 2 : Septum

Gambar 3 : Hidung bagian dalam

3

Page 4: epitaksis refrat

2.2 PERDARAHAN HIDUNG 4

Perdarahan pada hidung terdiri dari perdarahan bagian atas, bawah, dan depan.

Bagian depan dipendarahi oleh arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior.

Arteri tersebut merupakan cabang dari arteri oftalmika yang berasal dari arteri carotis

interna. Bagian bawah hidung dipendarahi oleh arteri palatina mayor dan arteri

sfenopalatina, merupakan cabang dari arteri maksilaris interna. Bagian depan dipendarahi

oleh cabang-cabang dari arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari

cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri tmoidalis anterior, arteri labialis superior, dan

arteri palatine mayor, yang disebut sebagai pleksusKiesselbach (Little’s area). Pleksus

Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi

sumber epistaksis.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor

predisposisi mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Gambar 4 : Pleksus Kisselbach’s

4

Page 5: epitaksis refrat

2.3 PERSARAFAN HIDUNG 4

Persarafan hidung bagian depan dan atas oleh persarafan sensoris dari nervus

etmoidalis anterior, cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (n.

V1). Bagian hidung lain dipersarafi juga secara sensoris oleh nervus maksilaris melalui

ganglion palatina.

Ganglion sfenofalatina, slain memberikan persarafan sensoris, juga membaerikan

persarafan vasomotor atau otonam untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut

saraf sensoris dari n.maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis

mayor dan serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak

do belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribrsa dari

permukaan bawah bulbus olfaltorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu

pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 5 : Persarafan pada hidung

5

Page 6: epitaksis refrat

BAB III

EPISTAKSIS

3.1 DEFINISI 4

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari hidung. Epistaksis bukan suatu

penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti

sendiri.

3.2 ETIOLOGI 4

Seringkali epistaksis terjadi spontan tanpa dapat diketauhi penyebabnya, kadang-

kadang jelas disebabkan karena trauma, epistaksis dapat di sebabkan oleh kelainan lokal

pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi,

kelaianan pembuluh darah, infeksi lokal, tumor, benda asing, pengaruh udara lingkungan.

Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik,

perubahan tekanan atmospir, kelainan hormonal, dan kelainan kongenital.

3.3 PATOFISIOLOGI

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,

terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan

kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang

komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi

pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan

yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan

setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding

pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.5

Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:

1. Epistaksis anterior

Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-

anak dan biasanya dapat berhenti sendiri.4 Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari

pleksus Kiesselbach (little area). Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan “little

area” berada diseptum kartilagenous anterior dan merupakan lokasi yang paling

6

Page 7: epitaksis refrat

sering terjadi epistaksis anterior. Sebagian besar arteri yang memperdarahi septum

beranastomosis di area ini. Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di “little area”.

Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung

dengan udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak

karena trauma pada pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas

normal dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat

menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur

dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang sudah terlebih

dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau

sinusitis.

2. Epistaksis posterior

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid

posterior.Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering

ditemukan pada pasien dengan hipertensi,arteriosklerosis karena pecahnya arteri

sfenopalatina akibat dari ketidakstabilan dinding pembuluh darah.Thornton (2005)

melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral

3.4 PEMERIKSAAN

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang

hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau

pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.

Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan

ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Dengan spekulum hidung dibuka dan

dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun

darah yang sudah membeku. Sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi

untuk mencari penyebab perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:

a) Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.

Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka

inferior harus diperiksa dengan cermat.

b) Rinoskopi posterior

7

Page 8: epitaksis refrat

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan

epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.

c) Pengukuran tekanan darah

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi.

d) Rontgen sinus

Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.

e) Skrining terhadap koagulopati

Tes-tes termasuk jumlah platelet dan waktu perdarahan.

f) Riwayat penyakit

Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang

mendasari epistaksis.

3.5 PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber

perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya

perdarahan.4 Hal-hal yang penting adalah :

1. Riwayat perdarahan sebelumnya.6

2. Lokasi perdarahan.

3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar

dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak.

4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya

5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

6. Hipertensi

7. Diabetes melitus

8. Penyakit hati

9. Gangguan koagulasi

10. Trauma hidung yang belum lama

11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon

Bila pasien dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernafasan

serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan

8

Page 9: epitaksis refrat

memasang infus. Jalan nafas dapat tersumbat dengan darah atau dengan bekuan darah

perlu di bersihkan atau di hisap.

Untuk dapat menghentikan pendarahan perlu dicari sumbenrnya, setidaknya

dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior. Alat-alat yang perlukan untuk

pemeriksaan adalah lampu kepala,spekulum hidung, alat penghisap. Ananmnesis

yang lengkap sangat membantu dlam menentukan sebab pendarahan.

Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah

mengalir keluar dari hidung sehingga dapat di monitor. Kalau keadaannya lemah

sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala di tinggikan. Harus

perhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran nafas bawah

Pasien anak duduk di panggku, badan dan tangan di peluk, kepala di pegangi

agar tegak dan tidak bergerak-gerak.

Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan

darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian pasang tampon sementara yaotu

kapas yang telah di basahi oleh adrenalin 1/5000 – 1/10.000 dan pantokain atau

lidokain 2% di masukan kedalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan

mengurangi rasa nyeri pada saat di lakukan tindakan selanjutnya, tampon di biarkan

selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat di lihat apakah

perdarahan dari bagian anterior atau posterior hidung.

Menghentikan pendarahan

A. Pendarahan anterior

1. Penderita sebaiknya duduk tegak agar tekanan vaskular berkurang dan mudah

membatukkan darah dari tenggorokan. Epistaksis anterior yang ringan

biasanya bisa dihentikan dengan cara menekan cuping hidung selama 5-10

menit.

9

Page 10: epitaksis refrat

Gambar 5 : posisi duduk agar darah tidak tertelan

2. Kauterisasi

Jika tindakan diatas tidak mampu menghentikan perdarahan, maka dipasang

tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan lidocain atau

pantocain untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri. Lalu

Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak

nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%.3 Becker (1994)

menggunakan larutan asam triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon

dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai

timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis

superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat

menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan

elektrokauter atau laser.7 Yang (2005) menggunakan electrokauter pada 90%

kasus epistaksis yang ditelitinya.

Gambar 6. kauterisasi sumber perdarahan

10

Page 11: epitaksis refrat

3. Tampon anterior

Bila dengan kaustik, perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan

pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin

yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Pemakaian pelumas ini agar

tampon mudah masuk dan tidak menimbulkan pendarahan baru saat di

masukan atau di cabut. Tampon di masukan sebanyak 2-4 buah, disusun

dengan teratur dan harus menekan asal pendarahan. Tampon dipertahankan

selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.

Gambar 7: Tampon anterior

B. Pendarahan Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya

perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan

rinoskopi anterior.2 Epistaksis posterior dapat diatasi dengan

menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri. 2

1. Tampon Posterior

Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior

atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm

dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada

sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).

Teknik pemasangan tampon bellocq

Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui

nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik keluar

melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang

11

Page 12: epitaksis refrat

terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar

hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang

jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ke arah

nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan, dapat dibantu dengan pemasangan

tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di

tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi.

Gambar 8: Tampon posterior

2. Balloon tamponade

Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan

dengan pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil

dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu:

kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah

dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan

anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16

F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring.

Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik

12

Page 13: epitaksis refrat

kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika

dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang

mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon

anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan

pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan,

maka dilakukan pemasangan tampon posterior.

Gambar 8. Tampon posterior dengan Kateter Foley

3. Ligasi arteri 6

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis

perdarahan adalah dengan meligasi pembuluh darah yang

ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan

segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi

sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang berat

atau persisten.

i. Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Karena banyaknya anastomosis,ligasiarteri karotis eksterna tidak

dapat dapat selalu menghentikan pendarahan. Namun, bila mana

perlu metode ini dpat di lakukan pada semua pasien oleh dokter yang

trampil dalam pembedahan leher dan kepala. Insisi di lakuakn secara

13

Page 14: epitaksis refrat

melintang atau memanjang sepanjang batas anterior otot

sternokleidomastoideus setinggi tulang hiod. Setelah otot platisma di

angkat, dapat dikenali batas anterior otot sternokleidomastoideus.

Dengan diseksi yang hati-hati dapat di kenali selubung karotis. Arteri

karotis interna dan eksterna harus dikenali secara khusus. ,eskipun

dinamakan arteri karotis ekterna, namun pada leher sebenarnya arteri

ini terletak dimedial arteri karotis interna. Ligasi dilakukan dengan

suatu ikatan memakai benang sutra di atas percabangan arteri

lingualis. Hilangnya denyutan temporalis harus di periksa dua kali

sebelum ligasi di eratkan. Luka dapat di tutup dalam beberapa lapis

dan drain di pasang selama 24 jam

ii. Ligasi Arteri Maksilaris Interna

Ligasi arteri maksilaris umumnya di lakukan oleh mereka

yang ahli dalam teknik bedah dan anatomi sehingga dapat mencapai

fossa pterigomaksilaris. Prosedur ini dilakukan dengan anastesi lokal

atau umum. Sebelum operasi ini dilakukan perlu dibuat radiogram

sinus paranasalis. Pada mukosa gusi pipi bagian atas dibuat insisi

caldwell mulai dari garis tengah hingga daerah gigi molar atas dua.

Mukoperitoneum di angkat dari dinding atas sinus maksilaris, sinus

maksilaris di masuki dan sisa dinding diangkat sambil menjaga saraf

intraorbita. Dinding sinus posterior yang bertulang kemudian di

angkat dengan hati-hatidan lubang ke dalam fosa pterigomaksilaris di

perbesar. Bila lubang sudah cukup besar, gunakan mikroskop operasi

untuk diseksi lebih lanjut. Pembuluh darah di identifikasi dan klip

logam di pasang pada arteri maksilaris interna, spenopalatina dan

palatina desensence. Luka di tutup dan tampon hidung posterior

diangkat. Suatu tampon hidung anterior yang lebih kecil mungkin

masih diperlukan. Jika terdapat bukti-bukti infeksi atau bila di takuti

terjadi infeksi, dapat di buat suatu fenestra antrum hidung saat

melakukan prosedur.

iii. Ligasi arteri etmoidalis anterior

14

Page 15: epitaksis refrat

Perdarahandari cabang-cabang terminus arteri oftalmikus terkadang

memerlukan ligasi arteri etmoidalis anterior. Pembuluh ini di capai

melalui suatu insisi melengkung memanjang pada hidung di antara

dorsum dan daerah kantus media. Insisi langsung di teruskan ke

tulang, dimana periostium di angkat dengan hati-hati dan ligamen

kantus media di kenali. Arteri etmoidalis anterior selalu terletal pada

sutura pemisah tulang frontal dengan tulang etmoidalis. Pembuluh ini

terjepit dengan suatu klip hemostatik atau suatu ligasi tunggal. Karena

terletak deket dengan saraf optikus, makapembulh darah etmoidalis

harus di capai dengan retraksi bola mata yang sangat hati-hati.

3.7 KOMPLIKASI TINDAKAN 4

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau sebagai

akibat dari penanganan yang kita lakukan. Akibat dari epistaksis yang hebab dapat

terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah yang mendadak dapat

menimbulkan iskemi cerebri, insufisiensi koroner dan infarkmiocard, hal-hal inilah

yang menyebabkan kematian. Bila terjadi hal seperti ini maka penatalaksaan terhadap

syok harus segera dilakukan.

Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium

sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara

retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon

posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan

sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.

15

Page 16: epitaksis refrat

BAB VI

KESIMPULAN

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suat penyakit,

yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa

bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak

hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab lokal dan sebab sistemik.

Epistaksis dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan

epistaksis posterior. Dalam memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang

tepat dan dalam posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.

Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber

perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya

perdarahan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis

antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen

sinus, skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien. Tindakan-tindakan

yang dilakukan adalah:

a. Epistaksis Anterior : Kauterisasi, pemasangan tamon anterior

b. Epistaksis Posterior : Pemasangan tampon Posterior, Pemasangan Balloon

tamponade dan ligasi arteri

Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda keras ke dalam

hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras, bersin melalui mulut,

menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan, dan terutam berhenti

merokok.

16

Page 17: epitaksis refrat

DAFTAR PUSTAKA

1. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott – Brown’s

Otolaryngology. Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort -

Heinemann, 1997: 1–19.

2. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD.Rhinology and Sinus Disease Aproblem-

Oriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc,1998: 43 – 9.

3. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis.

Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai

Penerbit FK UI, 1998: 127 – 31.

4. Soepardi AE, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidumg Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran

Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2008. Hal 118-9; 155-9

5. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott – Brown’s

Otolaryngology. olume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort - Heinemann,

1997: 1–19.

6. Adam GL, Boies LR, Hilger PA. Boies Fundamentals of Otolaryngology, Sixth Ed.,

Philadelphia : WB Saunders, 1997. Hal 224-37

7. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket

reference. Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994: 170 –

80 dan 253 – 60.

17