Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan...

396
Menata Keuangan Negara Melalui Reformasi Birokrasi Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang terbaik.

Transcript of Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan...

Page 1: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik IndonesiaJl. Dr. Wahidin Raya No.1

Jakarta 10710

www.depkeu.go.id

Menata Keuangan NegaraMelalui Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi

untuk memberikan

pelayanan

yang terbaik.

Page 2: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

DAFTAR ISI

1. Prolog

3. Visi & Misi

4. Kata Pengantar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

8. Pejabat Departemen Keuangan

10. Profil Pejabat Departemen Keuangan

16. Struktur Organisasi

19. Bab I : Pendahuluan

35. Bab II : Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan

61. Bab III : Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

87. Bab IV : Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

119. Bab V : Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerinta Pusat

155. Bab VI : Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

203. Bab VII : Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

239. Bab VIII : Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

264. Bab IX : Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

291. Bab X : Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank

327. Bab XI : Kebijakan Pengawasan dan Pengendalian Intern

339. Bab XII : Kebijakan dan Kerjasama Keuangan Internasional

363. Bab XIII : Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan

373. Bab XIV : Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementrian/Lembaga

389. Bab XV : Penutup

Ilustrasi di balik permainan tradisional

nusantara,

Merepresentasikan sebuah kejujuran,

rancangan strategi

dalam memenangkan kompetisi,

melambangkan instuisi

dalam menciptakan inovasi,

menceritakan kebahagiaan

dalam sebuah kebersamaan,

simbolisasi kebanggaan

atas pencapaian prestasi.

Departemen Keuangan

menjunjung tinggi nilai kejujuran,

senantiasa menciptakan terobosan baru.

Merepresentasikan strategi

“reformasi birokrasi“

di Departemen Keuangan

Republik Indonesia.

Menceritakan kebersamaan

dalam meraih cita-cita bangsa,

memberi gambaran atas pencapaian prestasi

kebanggaan Indonesia.

Page 3: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan siap melangkah ke depan untuk membangun pemerintahan yang kompeten, bersih, efektif, dapat dipercaya, dan mengabdi pada kepentingan rakyat demi tercapainya kemakmuran, keadilan, dan kemandirian bangsa Indonesia.

Melangkah Maju Meraih Cita-Cita

Page 4: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bersama Membangun Indonesia Maju dan Sejahtera

Departemen Keuangan; bahu membahubersama masyarakat dan instansi pemerintahan,memajukan perekonomian nasional danmeningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Page 5: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

www.depkeu.go.id

Visi dan MisiMisi :Untuk mewujudkan visi tersebut, Departemen Keuangan mempunyai 5 (lima) misi yaitu :

(i) Misi di Bidang FiskalMengembangkan kebijakan fiskal yan sehat dan berkelanjutan serta mengelola kekayaan dan utang negara secara hati-hati (prudent), bertanggungjawab, dan transparan.

(ii) Misi di Bidang EkonomiMengatasi masalah-masalah ekonomi bangsa serta secara proaktif senantiasa mengambil peran strategis dalam upaya membangun ekonomi bangsa, yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang dicita-citakan konstitusi.

(iii) Misi di Bidang PolitikMendorong proses demokratisasi fiskal dan ekonomi.

(iv) Misi di Bidang Sosial BudayaMengembangkan masyarakat finansial yang berbudaya dan modern.

(v) Misi di Bidang KelembagaanMemperbaharui diri (self reinventing) sesuai dengan aspirasi masyarakat dan perkembangan mutakhir teknologi keuangan serta administrasi publik, serta pembenahan dan pembangunan kelembagaan di bidang keuangan yang baik dan kuat yang akan memberikan dukungan dan pedoman pelaksana yang rasional dan adil, dengan didukung oleh pelaksana yang potensial dan mempunyai integritas yang tinggi.

Visi :Menjadi pengelola

keuangan

dan kekayaan

negara bertaraf

internasional

yang dipercaya

dan dibanggakan

masyarakat, serta

instrumental

bagi proses

transformasi

bangsa menuju

masyarakat adil,

makmur dan

berperadaban

tinggi.

www.depkeu.go.id

Page 6: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Puji dan syukur patut dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas perkenanNya, Buku Laporan

Kinerja Departemen Keuangan 2004-2009 dengan tema “Menata Keuangan Negara Melalui

Reformasi Birokrasi” dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan buku ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai serangkaian upaya yang telah ditempuh Departemen Keuangan dalam menjalankan sesuai amanat

yang tertuang dalam paket kebijakan keuangan negara. Menteri Keuangan

dengan didukung segenap jajaran Departemen Keuangan bertugas selaku pemegang kuasa atas pengelolaan fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta sebagai pengguna anggaran/pengguna barang.

Jakarta, September 2009Menteri Keuangan Republik Indonesia,

Sri Mulyani Indrawati

Page 7: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

www.depkeu.go.id

Tugas yang dilaksanakan oleh Departemen Keuangan memiliki kedudukan yang sangat penting, strategis, dan instrumental dalam mendukung keberhasilan program kerja pemerintah di segala bidang, khususnya untuk menanggulangi kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Agar tugas tersebut dapat dijalankan secara optimal, telah dilakukan Reformasi Penganggaran dan Reformasi Birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan. Reformasi Penganggaran mencakup penerapan unified budget, performance-based budgeting, dan medium-term expenditure framework. Adapun Reformasi Birokrasi ditempuh melalui penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, dan peningkatan manajemen sumber daya manusia.

Dampak yang terpenting dari pelaksanaan reformasi adalah semakin meningkatnya citra dan kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap peran Departemen Keuangan. Peningkatan kepercayaan sangat fundamental, karena merupakan testimoni yang paling obyektif terhadap kinerja Departemen Keuangan. Kepercayaan publik sekaligus merupakan modal bagi semakin efektifnya semua aspek pengelolaan keuangan negara.

Secara internal, reformasi telah memperbaiki tata kelola keuangan negara (governance) di lingkungan Departemen Keuangan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, maupun pertanggungjawaban dan pengawasan. Tata kelola yang semakin baik telah mendorong peningkatan kinerja birokrasi, sehingga pelayanan terhadap pelayanan kepada masyarakat menjadi semakin prima. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan Departemen Keuangan sebagai pilot project Reformasi Birokrasi telah membuahkan hasil, meskipun masih terdapat komponen-komponen yang perlu terus disempurnakan di masa-masa yang akan datang.

Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan kepada dunia usaha, telah semakin membaik, sehingga pendapatan negara selama periode 2004-2009 meningkat pesat. Strategi yang ditempuh perpajakan adalah mapping, profiling, and benchmarking basis pajak, sedangkan bea cukai telah melakukan pergeseran pendekatan dari revenue collector menjadi trade facilitator, industrial assistance, and community protector. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sumber daya alam, deviden Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan PNBP lainnya di kementerian/lembaga juga telah dioptimalkan.

Page 8: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Aspek yang belum terselesaikan dalam rangka meningkatkan pendapatan negara dari perpajakan adalah perubahan undang-undang PPN dan PPn BM serta pengembangan information technology untuk mengelola data basis pajak. Di bidang bea dan cukai, masih perlu terus dibuka KPP Madya yang disertai dengan implementasi National Single Window (NSW). Apabila dijalankan secara konsisten, maka perbaikan-perbaikan tersebut niscaya akan meningkatkan pendapatan negara secara signifikan.

Dengan pendapatan negara yang meningkat, arah kebijakan belanja negara lebih fleksibel untuk memenuhi sasaran pro growth, pro job, and pro poor yang menjadi prioritas program kerja pemerintah. Pembangunan infrastruktur ekonomi dan pelayanan dasar dapat dilakukan secara lebih merata dan kebutuhan subsidi dapat dipenuhi secara tepat sasaran. Di samping itu, ketahanan pangan nasional dapat semakin ditingkatkan. Tantangan yang dihadapi dalam mengoptimalkan belanja negara adalah penguatan implementasi pilar-pilar Reformasi Penganggaran.

Pengelolaan belanja didukung oleh peningkatan penataan perbendaharaan negara dengan fokus pada peningkatan kualitas pengelolaan kas, penertiban rekening pemerintah, dan perbaikan pelayanan dalam pencairan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pertanggungjawaban keuangan negara juga telah diupayakan melalui penyempurnaan prosedur akuntansi dan pelaporan. Strategi yang telah dijalankan adalah melalui Treasury Single Account (TSA).

Kinerja Departemen Keuangan juga telah diarahkan untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pemerintah daerah dibimbing agar mampu mengelola dana perimbangan yang semakin meningkat secara lebih mandiri, efisien, dan efektif untuk mengatasi permasalahan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya ini sangat vital ditempuh dalam rangka secara bertahap mengurangi disparitas pembangunan antarwilayah di Indonesia. Untuk mendorong kemandirian daerah secara tertanggung jawab, maka perlu diselesaikan peraturan perundangan mengenai pajak daerah dan pengembangan online system untuk mengevaluasi peraturan daerah.

Pengelolaan pembiayaan merupakan aspek penting lainnya yang menjadi sasaran pembaharuan di Departemen Keuangan selama kurun waktu 2004-2009. Strategi yang dilaksanakan diarahkan

Page 9: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

www.depkeu.go.id

untuk menggali sumber-sumber pembiayaan berperspektif jangka panjang dan beresiko rendah. Strategi ini telah terbukti mampu menutup defisit anggaran yang fluktuatif dan dinamis.

Aspek lain yang menonjol dalam pembaharuan di Departemen Keuangan adalah pengelolaan kekayaan negara serta pasar modal dan lembaga keuangan. Secara bertahap dan sistematis telah dilakukan penertiban aset-aset negara yang ternyata belum diinventarisir dengan baik. Inventarisasi didukung oleh penyempurnaan berbagai peraturan perundangan yang meliputi pengurusan piutang negara, penilaian aset, dan pelayanan lelang. Pengawasan terhadap aktivitas pasar modal didorong untuk semakin independen dengan menggunakan pendekatan berbasis resiko. Upaya penting lainnya adalah penyiapan pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Berkaitan dengan fenomena terkini, perekonomian Indonesia telah terbukti cukup tangguh dalam menghadapi krisis global. Dalam IMD Report on Competitiveness 2009 diungkapkan bahwa daya tahan Indonesia kuat terhadap krisis disebabkan oleh kemampuan pemerintah dalam mengambil langkah-langkah antisipatif secara cepat dan akurat, khususnya melalui stimulus fiskal. Fakta ini telah menempatkan Indonesia pada posisi yang semakin strategis di dalam arsitektur keuangan global yang baru.

Mekipun banyak kemajuan telah dicapai dalam pengelolaan keuangan negara, namun disadari bahwa Reformasi Penganggaran dan Reformasi Birokrasi masih membutuhkan ownership dari segenap jajaran Departemen Keuangan. Selain itu, diperlukan dukungan publik yang lebih luas. Kedua tantangan harus dijawab oleh Departemen Keuangan di masa mendatang dalam rangka meningkatkan kualitas kebijakan fiskal untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan sekaligus menghadapi dinamika domestik maupun global.

Saya mengucapkan terima kasih kepada segenap jajaran Departemen Keuangan maupun pihak-pihak lainnya yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya, sehingga penulisan Buku Laporan Kinerja Departemen Keuangan 2004-2009 dapat terwujud.

Akhirnya, semoga buku yang berisi best practice Departemen Keuangan dalam mengelola keuangan negara ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Page 10: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Pejabat DeParteMen keuangan

1. Sri Mulyani Indrawati 2. Mulia P. Nasution3. Marsilam Simandjuntak4. Anny Ratnawati 5. Mari’e Muhammad6. Anwar Suprijadi

Page 11: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

9

www.depkeu.go.id

7. Hadiyanto8. Bobby Achirul Awal Nazief 9. Marwanto Harjowiryono 10. Anggito Abimanyu11. Chatib Basri12. Agus Muhammad

13. Permana Agung Dradjattun14. Rahmat Waluyanto15. Agus Suprijanto 16. Ahmad Fuad Rahmany17. I. Made Gde Erata 18. Darmin Nasution

19. Hekinus Manao20. Herry Purnomo21. Raden Pardede22. Mardiasmo23. Mochammad Tjiptardjo

Page 12: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

10 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Mochammad Tjiptardjo

Lahir di Tegal, 28 April 1951. Resmi dilantik menjadi Direktur Jenderal Pajak sejak 28 Juli 2009 dan membawahi 30.707 orang pegawai. Pendidikan terakhir yang ditempuh adalah Master of Arts di bidang ekonomi dari Williams College Massachussets, AS tahun 1981.

Anny Ratnawati

Lahir di Yogyakarta, 24 Februari 1962. Menjabat sebagai Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan sejak Juli 2008. Jumlah pegawai yang dipimpinnya sebanyak 911 orang. Pendidikan Sarjana Agribisnis ditempuh di Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1985, disusul Magister Ekonomi Pertanian tahun 1989 dan Doktor Ekonomi Pertanian dari universitas yang sama tahun 1996.

PrOFil Pejabat DeParteMen keuangan

Sri Mulyani Indrawati

Lahir di Lampung, 26 Agustus 1962. Menjalankan tugas sebagai Menteri Keuangan sejak Desember 2005 sampai sekarang. Jumlah pegawai yang dipimpinnya sebanyak 61.241 orang. Gelar yang diraih Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia tahun 1986, M.Sc of Policy Economics dari University Illinois Urbana Champaign, AS tahun 1990, disusul gelar Ph.D of Economics dari universitas yang sama tahun 1992.

Mulia P. Nasution

Lahir di Panyabungan, 27 Agustus 1951. Memimpin Sekretariat Jenderal sejak tahun 2006 sampai sekarang. Jumlah pegawai yang dibawahinya sebanyak 1.789 orang. Pendidikan S1 ditempuh di Institut Ilmu Keuangan (IIK) tahun 1980, S2 DESS dari Universite de Paris II, Sorbonne Perancis tahun 1986 dan terakhir S3 Keuangan Negara pada universitas yang sama tahun 1989.

Page 13: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

11

www.depkeu.go.id

Herry Purnomo

Lahir di Ciamis, 8 Mei 1953. Sejak tahun 2006 memimpin Direktur Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan dan membahawahi 10.614 orang pegawai. Herry Purnomo adalah alumnus Institut Ilmu Keuangan Jakarta tahun 1980 dan University of Birmingham, Inggris tahun 1989.

Hadiyanto

Lahir di Ciamis, 10 Oktober 1962. Memimpin 3.282 orang pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Departemen Keuangan sejak tahun 2006. Gelar Sarjana Hukum diperoleh dari Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1986, disusul gelar Master of Law dari Harvard University, AS tahun 1993

Anwar Suprijadi

Lahir di Semarang, 23 Desember 1948. Memimpin Direktorat Bea dan Cukai Sejak Tahun 2006 dan membawahi 10.824 orang pegawai. Anwar Suprijadi merupakan alumnus dari Fakultas Ekonomi Universitas Dipenogoro tahun 1972 dan Pascasarjana Transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1983.

Mardiasmo

Lahir di Solo, 10 Mei 1958. Saat ini menjabat sebagai Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan dan membawahi 366 orang pegawai. Gelar yang diraih Sarjana Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada tahun 1981, MBA dari University of Bridgeport, Connecticut, AS tahun 1989, dan terakhir Ph.D dari University of Birmingham, Inggris tahun 1999.

Page 14: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

12 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Ahmad Fuad Rahmany

Lahir di Singapore, 11 November 1954. Mulai memimpin 789 orang pegawai Bapepam-LK sejak 27 April 2006. Gelar yang diraih Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1981, Master of Art dari Duke University, North Carolina, AS tahun 1987, dan Doktor di bidang ilmu ekonomi Vanderbilt University, Tennesee, AS tahun 1997.

Anggito Abimanyu

Lahir di Bogor, 19 Februari 1963. Sejak tahun 2006 memimpin 349 orang pegawai Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan. Gelar yang diraih BA dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1983, Drs dari UGM tahun 1985, M.Sc dari University of Pensylvania, Philadelphia, AS tahun 1993 dan gelar Ph.D di bidang ekonomi dari universitas yang sama tahun 1993.

Rahmat Waluyanto

Lahir di Metro, lampung 3 Oktober 1956. Menjabat sebagai Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan sejak November 2006 dan memimpin 258 orang pegawai. Gelar yang diraih Sarjana Akuntansi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1983, MBA dari University of Denver, Colorado, AS tahun 1992 dan gelar Ph.D dari University of Birmingham, Inggris tahun 1997.

Hekinus Manao

Lahir di Bawomataluo Nias, Juli 1956. Menjabat sebagai Inspektur Jenderal Departemen Keuangan sejak tahun 2008 sampai sekarang dan membawahi 474 orang pegawai. Hekinus Manao merupakan alumnus STAN tahun 1984. Kemudian meraih gelar Master of Accountancy dari Case Western Reserve University, Ohio AS tahun 1990 dan gelar Doctor of Business Administration dari Cleveland State University, Ohio AS tahun 1995.

Page 15: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�

www.depkeu.go.id

Marwanto Harjowiryono

Lahir di Yogyakarta, 6 Juni 1959. Saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara. Studi sarjananya ditempuh di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada tahun 1983 dan mendapatkan gelar Master in Economics dari Vanderbilt University, Tennessee, AS tahun 1991.

I. Made Gde Erata

Lahir di Gianyar, Bali, 3 November 1951. Mulai menjabat sebagai Kepala BPPK Departemen Keuangan sejak 8 Juli 2008. Jumlah pegawai yang dipimpim saat ini sebanyak 878 orang. Gelar sarjana diraih dari Institut Ilmu Keuangan (IIK) tahun 1979, disusul gelar Master dari Vanderbilt University, Tennessee, AS tahun 1985 dan gelar Doktor di bidang ekonomi dari universitas yang sama tahun 1987.

Darmin Nasution

Lahir di Tapanuli, 21 Desember 1949. Menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak sejak April 2006 hingga 28 Juli 2009. Studi sarjananya ditempuh di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1976 dan mendapatkan gelar doktor dari Universite de Paris I Sorbonne, Perancis tahun 1986.

Agus Suprijanto

Lahir di Yogyakarta, 14 Agustus 1953. Menjalankan tugasnya sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara sejak 12 Agustus 2008 sampai sekarang. Gelar yang diperoleh Sarjana Hukum dari Universitas Udayana, Denpasar tahun 1985, Master of International Economics dari University of Colorado, AS tahun 1991, dan Doctor of Economics, dari universitas yang sama tahun 1995.

Page 16: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Permana Agung Dradjattun

Lahir di Cakranegara - Lombok, 27 Oktober 1952. Tahun 1999-2002 menjabat sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai, kemudian tahun 2003-2006 menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengelolaan Kekayaan Negara. Pada Tahun 2006 menjabat sebagai Direktur Jenderal Piutang Lelang Negara yang kemudian perubahan reorganisasi menjadi Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Tahun 2006-2008 menjabat sebagai Inspektur Jenderal. Tahun 2008 sampai sekarang menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Hubungan Ekonomi Keuangan Internasional. Gelar yang diraihnya: M.Sc dari University of Illinois, Urbana Champaign, AS tahun 1985; MA dari University of Notre Dame, Indiana di AS tahun 1987; dan Ph.D dari University of Notre Dame, Indiana AS tahun 1989.

Bobby Achirul Awal Nazief

Lahir di Bandung, 1 November 1959. Saat ini berkarya sebagai Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang IT. Pendidikan sarjana ditempuh pada Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1984. Kemudian gelar Master diraih dari University of Illnois, AS tahun 1989, menyusul gelar Doctor of Philosophy dibidang ilmu komputer dari universitas yang sama tahun 1991.

Raden Pardede

Lahir di Balige, Sumatera Utara, 17 Mei 1960. Sejak Maret 2009 menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Jasa Keuangan. Gelar yang diraih Insinyur dari ITB, Bandung, jurusan Teknik Kimia tahun 1984 dan Ph.D pada bidang Ekonomi tahun 1995 dari Boston University, AS.

Chatib Basri

Lahir di Jakarta, 22 Agustus 1965. Menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Ekonomi dan Keuangan. Sejak tahun 2006 hingga sekarang. Gelar yang diraih Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia tahun 1992, Master of Economic Development dari Australian National University tahun 1996 dan Ph.D di bidang ekonomi dari universitas yang sama tahun 2001.

Agus Muhammad

Lahir di Yogyakarta, 28 Agustus 1950. Menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kekayaan Negara sejak tahun 2006 hingga sekarang, setelah sebelumnya menjabat sebagai Inspektur Jenderal. Pendidikan akuntansi tingkat Sarjana diselesaikannya pada Universitas Gadjah Mada tahun 1977, sedangkan Gelar Master dibidang yang sama diperoleh dari Southern Illinois University Carbondale, AS tahun 1987.

Page 17: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�

www.depkeu.go.id

Mari’e Muhammad

Lahir di Surabaya, 3 April 1939. Pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan pada masa Orde Baru dan hingga saat ini masih aktif sebagai Penasihat Senior Menteri Keuangan. Pendidikan terakhir yang ditempuh adalah Master of Arts In Economics, Universitas Indonesia.

Marsilam Simandjuntak

Marsilam Simandjuntak lahir di Yogyakarta, 23 Februari 1943. Pernah Menjabat sebagai Sekretaris Kabinet pada Januari 2000, Menteri Kehakiman pada Juni 2001, dan Jaksa Agung Republik Indonesia untuk periode Juli-Agustus 2001. Sejak tahun 2006 sampai sekarang beliau menjabat sebagai Penasihat Menteri Keuangan. Pendidikan tinggi ditempuhnya pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1970 dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1989.

Masa depan dibentuk dari maa kini. Karya masa depan, tergantung pada olahan hari ini. (Swami C.)

Datang bersama adalah permulaan, tetap bersama adalah kemajuan, dan bekerjasama adalah sebuah kesuksesan. (Henry Ford)

Page 18: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

bagan OrganiSaSiDeParteMen keuangan rePublik inDOneSia

Menteri Keuangan

SeKretariatJenderal

direKtorat Jenderal Perbendaharaan

direKtorat Jenderal anggaran

direKtorat Jenderal PaJaK

direKtorat Jenderal KeKayaan negara

direKtorat Jenderal bea dan CuKai

inSPeKtoratJenderal

direKtorat Jenderal PeriMbangan

Keuanganbadan KebiJaKan

FiSKaldireKtorat Jenderal Pengelolaan utang

badan PengawaSan PaSar Modal dan

leMbaga Keuangan

badan PendidiKan dan Pelatihan

Keuangan

PuSat SiSteM inForMaSi

dan teKnologi Keuangan

SeKretariat Pengadilan PaJaK

PuSat layanan Pengadaan

SeCara eleKtroniK

PuSat PeMbinaan aKuntanSi

dan JaSa Penilaian

PuSat analiSiS dan harMoniSaSi

KebiJaKan

5 StaF ahli

Page 19: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�

www.depkeu.go.id

Menteri Keuangan

SeKretariatJenderal

direKtorat Jenderal Perbendaharaan

direKtorat Jenderal anggaran

direKtorat Jenderal PaJaK

direKtorat Jenderal KeKayaan negara

direKtorat Jenderal bea dan CuKai

inSPeKtoratJenderal

direKtorat Jenderal PeriMbangan

Keuanganbadan KebiJaKan

FiSKaldireKtorat Jenderal Pengelolaan utang

badan PengawaSan PaSar Modal dan

leMbaga Keuangan

badan PendidiKan dan Pelatihan

Keuangan

PuSat SiSteM inForMaSi

dan teKnologi Keuangan

SeKretariat Pengadilan PaJaK

PuSat layanan Pengadaan

SeCara eleKtroniK

PuSat PeMbinaan aKuntanSi

dan JaSa Penilaian

PuSat analiSiS dan harMoniSaSi

KebiJaKan

5 StaF ahli

Page 20: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Menempuh Perjalanan

Menuju Cita-cita Bangsa

Bersama rakyat dan penyelenggara pemerintahan, Departemen Keuangan berupaya menciptakan Indonesia yang makmur, sejahtera, adil, mandiri dan bermartabat.

Page 21: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 1 Pendahuluan 19

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang memiliki begitu banyak kekayaan alam, dengan penduduk mencapai lebih dari 220 juta jiwa dan tersebar di ribuan pulau. Indonesia juga memiliki keragaman dan kekayaan budaya serta bahasa. Indonesia merupakan negara besar, sekaligus proyek besar bersama dalam perjalanan mencapai cita-citanya. Sejarah pembentukan negara Indonesia memberikan pelajaran yang berharga bagi berbagai upaya mencapai tujuan negara yang belum tertunaikan. Cita-cita yang sering dinyatakan oleh berbagai kelompok dan lapisan masyarakat adalah menciptakan Indonesia yang makmur, sejahtera, adil, mandiri, dan bermartabat. Indonesia yang makmur, sejahtera, adil, mandiri, dan bermartabat bukanlah hasil pemberian, suatu anugerah yang muncul dengan sendirinya, atau yang datang dari langit. Indonesia seperti yang dicita-citakan merupakan hasil kerja dan upaya seluruh rakyat para pemimpin, serta para penyelenggara negara yang memahami sepenuhnya amanat cita-cita tersebut.

Salah satu unsur sangat penting dan menentukan dari belum tercapainya cita-cita Indonesia adalah belum terbangunnya institusi/kelembagaan penyelenggara negara yang mempunyai visi, kompetensi, pengetahuan, integritas, dan dedikasi yang kuat sehingga dapat berfungsi konsisten mencapai cita-cita negara. Penyelenggara negara yang lemah dan tidak bersih menyebabkan tidak efektifnya pemerintahan. Pemerintahan yang lemah dan gagal akan menghasilkan keputusan-keputusan, kebijakan, dan tindakan-tindakan yang tidak adil, koruptif, penuh konflik kepentingan, bahkan merugikan kepentingan masyarakat banyak. Lemahnya pemerintahan baik pada eksekutif, yudikatif, maupun legislatif menjadi penyebab gagalnya Indonesia mengelola, memanfaatkan, dan mengolah sumber daya alam serta sumber daya manusia untuk mencapai kemakmuran bersama. Situasi ini menyebabkan kekecewaan masyarakat. Yang lebih serius lagi adalah munculnya ketidakpercayaan rakyat terhadap penyelenggara negara.

Pendahuluan

Membangun pemerintahan yang baik yaitu pemerintahan yang kompeten, bersih, efektif, dapat dipercaya dan mengabdi pada kepetingan rakyat menjadi syarat yang sangat penting dan perlu (necessary condition) bagi tercapainya kemakmuran, keadilan dan kemandirian Indonesia.

Page 22: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

20 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Membangun pemerintahan yang baik, yaitu pemerintahan yang kompeten, bersih, efektif, dapat dipercaya, dan mengabdi pada kepentingan rakyat menjadi syarat yang sangat penting dan perlu bagi tercapainya kemakmuran, keadilan, dan kemandirian Indonesia. Reformasi di seluruh penyelenggara pemerintahan, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, merupakan suatu keharusan, dan menjadi mandat sejarah yang sangat mendesak saat ini. Reformasi kelembagaan pada dasarnya mencakup unsur-unsur sebagai berikut: (1) Perubahan perundang-undangan sehingga memberikan pondasi institusi yang lebih baik, yaitu yang mengatur secara jelas dan seimbang hak-kewenangan dan kewajiban, serta konsekuensi pelanggarannya dan akuntabilitasnya. (2) Menyusun struktur organisasi yang sejalan dan konsisten dengan amanat undang-undang. (3) Menyusun aturan main dan proses kerja yang jelas dengan memuat sistem check and balances untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. (4) Membangun sumber daya manusia yang kompeten, memiliki integritas, dan dedikasi yang tinggi. (5) Membangun sistem reward and punishment yang konsisten dan efektif, termasuk sistem remunerasi yang realistis. (6) Mengharuskan penerapan azas transparansi dan akuntabilitas publik yang tegas dan regular serta berkesinambungan.

Dengan demikian, reformasi kelembagaan bukanlah suatu pekerjaan sederhana dan parsial. Reformasi membutuhkan dan mensyaratkan adanya suatu kepemimpinan yang memiliki visi serta komitmen yang jelas dan tegas mengenai fungsi, peran, serta tanggung jawab organisasi, termasuk pemahaman yang paripurna mengenai hakikat fungsi institusi publik yang harus dijaga dari konflik kepentingan. Reformasi juga memerlukan suatu strategi pengorganisasian seluruh unsur sumber daya agar mendapat dukungan para pemangku kepentingan. Selain itu, reformasi juga mengharuskan disiplin pelaksanaan dan jadwal waktu yang konsisten, termasuk dalam menjalankan reward and punishment. Reformasi juga menghendaki keberanian untuk selalu terbuka, transparan, dan selalu dapat dimonitor, dikontrol, bahkan dikritik oleh publik dan media. Dengan demikian, kualitas pelaksanaan dan hasilnya dapat dijaga konsistensinya. Reformasi juga memerlukan waktu dan selalu membutuhkan pemihakan yang jelas dari pemimpinnya, juga para pemangku kepentingan. Pemihakan dibutuhkan terutama pada saat-saat kritis ketika harus membuat keputusan dan menjalankan tindakan yang tidak populer, yang merugikan kelompok yang selama periode sebelum reformasi menikmati manfaat besar dari kondisi dan situasi lemahnya aparat serta pemerintahan.

Departemen Keuangan sebagai bagian dari pemerintahan eksekutif memiliki peran sangat penting, strategis, dan instrumental dalam mewujudkan pengelolaan keuangan negara secara transparan dan akuntabel untuk mewujudkan cita-cita negara, yaitu mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dengan demikian, konsep keuangan negara mencakup seluruh hak dan kewajiban negara, baik dalam bentuk uang maupun barang, (aset atau kekayaan lainnya).

Sejak 2003, pengelolaan keuangan negara di Indonesia mengalami perubahan yang sangat fundamental dengan diundangkannya UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pengelolaan keuangan negara sesuai pasal 3 ayat (1) UU No 17 Tahun 2003 harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan serta kepatutan. Penerapan prinsip-prinsip tersebut bersamaan dengan perubahan sistem politik kita dari yang bersifat tidak demokratis dan terpusat, menjadi demokratis dan terdesentralisasi. Dengan demikian, azas transparansi dan akuntabilitas serta ketaatan terhadap aturan menjadi suatu keharusan, terutama dikaitkan dengan praktik sebelum era reformasi yang dicirikan dengan ketertutupan, tidak-adanya check and balances, dan lemahnya akuntabilitas. Praktik sebelum era reformasi ini menyebabkan begitu banyaknya penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Page 23: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 1 Pendahuluan 21

Untuk mengubah suatu sistem pengelolaan keuangan negara berdasarkan azas-azas yang baik tersebut, tentu tidak dapat diwujudkan hanya dengan mengubah aturan perundangan. Perubahan dalam tata kelola yang bersifat mendasar juga menuntut perubahan dalam institusi dan organisasi yang melaksanakan tata kelola tersebut. Dalam perubahan institusi ini, faktor sumber daya manusia menjadi kunci karena merekalah yang menjalankan fungsi dan aktivitas organisasi sesuai dengan tujuan dan peran yang ditentukan dalam Undang-Undang. Pengelolaan keuangan dengan azas tata kelola yang baik membutuhkan sumber daya manusia yang kompeten, profesional, dan memiliki integritas yang tidak dapat dikompromikan. Dengan demikian, mereka dapat menjalankan fungsi menggali dan mengumpulkan penerimaan negara secara maksimal. Selain itu, mereka juga dapat menjalankan fungsi, mengatur pembelanjaan serta pembiayaan secara bijaksana dan tepat sehingga menghasilkan kondisi fiskal yang sehat, terpercaya, dan berkelanjutan. Kondisi fiskal tersebut merupakan prasyarat bagi tersedianya sumber daya secara memadai agar pemerintah dapat menjalankan fungsi dan peranannya secara baik dalam mengelola proses pembangunan maupun dalam memberikan pelayanan publik.

Membangun organisasi Departemen Keuangan sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan oleh UU Keuangan Negara merupakan inti dari program reformasi birokrasi Departemen Keuangan yang dilakukan sejak 2003. Departemen Keuangan dipimpin oleh seorang Menteri Keuangan yang menurut pasal 6 ayat (2) butir a UU No 17 Tahun 2003 mendapatkan kuasa dari Presiden untuk mengelola keuangan negara dan menjadi wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagai pengelola keuangan dan kekayaan negara, Menteri Keuangan pada hakikatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia. Dalam pasal 7 ayat (1) UU No 17 Tahun 2003 ditegaskan bahwa kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara tersebut digunakan untuk mencapai tujuan bernegara.

Pelaksanaan kuasa sebagaimana tertulis dalam pasal 8 UU No 17 Tahun 2003 diwujudkan melalui 8 tugas Menteri Keuangan yang meliputi penyusunan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penyusunan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan rancangan Perubahan APBN (APBN-P), mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran, dan melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan. Di samping itu, Menteri Keuangan juga melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang, melaksanakan fungsi Bendahara Umum Negara, menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN, dan melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang. Tugas-tugas tersebut dijabarkan lebih lanjut menjadi 13 fungsi yang dijalankan oleh unit-unit kerja yang terdapat di dalam struktur organisasi Departemen Keuangan. Kontribusi setiap unit kerja dalam praktiknya akan sangat menentukan kinerja Departemen Keuangan dalam menata pengelolaan keuangan negara.

Fungsi-fungsi dimaksud terdiri dari pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan kekayaan negara, pembinaan dan pelaksanaan penerimaan negara yang berasal dari pajak, bukan pajak, minyak, pungutan ekspor, serta pembinaan dan pelaksanaan kepabeanan dan cukai. Selain itu, Menteri Keuangan juga berfungsi selaku pembina dan koordinator dalam penyusunan Nota Keuangan, RAPBN, serta pemantauan dan pelaksanaan APBN. Fungsi lain yang harus dijalankan mencakup pembinaan dan pelaksanaan lembaga keuangan bukan bank (LKBB), akuntansi, jasa penilai, serta pembinaan dan pelaksanaan perbendaharaan negara, akuntansi keuangan pemerintah, dan pelaporan keuangan pemerintah.

Ruang lingkup fungsi Menteri Keuangan meliputi pula pembinaan dan pelaksanaan pengurusan piutang negara macet dan lelang, pembinaan dan pengawasan pasar modal, serta pengkajian masalah-masalah ekonomi, keuangan, fiskal, dan kerjasama keuangan internasional. Fungsi lainnya adalah pembinaan dan pelaksanaan sistem informasi dan teknologi keuangan serta pendidikan dan pelatihan tertentu dalam rangka mendukung kebijakan keuangan negara. Di samping itu, Menteri Keuangan berfungsi sebagai koordinator pelaksana tugas dalam pembinaan dan pemberian dukungan administrasi serta melaksanakan pengawasan fungsional di lingkungan Departemen Keuangan.

Page 24: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

22 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Tugas dan fungsi yang diemban Menteri Keuangan tidak hanya sebatas sebagai CFO, namun meliputi pula tugas-tugas selaku Chief Operational Officer (COO) bagi Departemen Keuangan. Sesuai pasal 9 UU No 17 Tahun 2003, Menteri Keuangan sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di Departemen Keuangan mempunyai tugas untuk menyusun rancangan anggaran, menyusun dokumen pelaksanaan anggaran, dan melaksanakan anggaran Departemen Keuangan. Tugas lainnya adalah melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke kas negara, mengelola piutang dan utang negara, mengelola barang milik/kekayaan negara, serta menyusun dan menyampaikan laporan keuangan Departemen Keuangan. Menteri Keuangan berkewajiban pula melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan undang-undang.

Pelaksanaan tugas Menteri Keuangan selaku CFO dan COO selama periode 2004-2009 dihadapkan pada dinamika dan tantangan dalam perekonomian yang sangat mempengaruhi tugas dan kesulitan pengelolaan keuangan negara. Bila perekonomian nasional mengalami tekanan, baik dari faktor eksternal maupun domestik, maka APBN akan sangat dipengaruhi baik dari segi penerimaan negara maupun dari sisi belanja negara. Oleh karena itu, sangat penting bagi Departemen Keuangan untuk selalu mampu mengelola kebijakan fiskal dalam bentuk pengelolaan APBN yang konsisten namun fleksibel, sehingga dapat menjaga stabilitas dan kinerja ekonomi secara terus-menerus. Kemampuan mengantisipasi perkembangan ekonomi dan merancang kebijakan fiskal yang tepat untuk meresponsnya membutuhkan kompetensi dan kapasitas sumber daya manusia yang sangat baik, yang memiliki pengetahuan teknis dan menguasai rancangan instrumen kebijakan yang tepat dan akurat. Dalam bidang kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia ini, jajaran Departemen Keuangan masih sangat perlu dikembangkan dan tertinggal dibandingkan mutu sumber daya manusia dari Departemen Keuangan di negara-negara yang setara atau lebih maju dari Indonesia. Oleh karena itu, program reformasi birokrasi juga harus mencakup peningkatan kualitas sumber daya manusia, baik sebagai pembuat kebijakan maupun dalam kapasitas sebagai regulator dan penegakan aturan/hukum yang efektif dan berwibawa.

1.2. Tantangan Pengelolaan Ekonomi Indonesia

Memasuki abad ke-21 perekonomian Indonesia pada dasarnya sedang menuju pada pertumbuhan yang pesat secara berkelanjutan setelah pulih dari krisis multidimensi pada periode 1997-1999. Indikator-indikator ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, dan kondisi neraca pembayaran menunjukkan perbaikan serta cenderung stabil dan kuat. Perbaikan kondisi makro tersebut menjadi prasyarat untuk mengatasi persoalan-persoalan utama pembangunan, yaitu pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan. Periode selama sepuluh tahun pascakrisis, Indonesia terus melakukan konsolidasi dan reformasi kelembagaan dan aturan yang bertujuan untuk memperbaiki kinerja serta efektivitas penyelenggaraan negara. Di bidang ekonomi, reformasi mencakup berbagai upaya perbaikan peraturan perundangan, peningkatan kinerja dan efisiensi birokrasi, serta perbaikan sumber daya manusia, termasuk dalam bidang remunerasinya.

Upaya meningkatkan kinerja perekonomian untuk mendukung pembangunan nasional selama kurun waktu 2004-2009 senantiasa dipengaruhi oleh berbagai faktor di dalam dan luar negeri. Pada akhir 2004, terjadi bencana tsunami yang sangat dahsyat di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam serta menghancurkan Aceh sisi utara dan barat. Pada 2006 terjadi bencana alam gempa bumi tektonik dengan skala daya rusak besar yang melanda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Selanjutnya, pada 2005 hingga pertengahan 2008, terjadi lonjakan tajam harga minyak mentah dunia mencapai lebih dari tiga kali lipat, sehingga mengharuskan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Naiknya harga BBM dimaksudkan untuk mengendalikan subsidi BBM yang melonjak tinggi sehingga rawan kebocoran dan penyelewangan serta mengancam keberlangsungan APBN dan memerosotkan kepercayaan terhadap stabilitas ekonomi secara umum. Kenaikan harga pangan dan komoditas lainnya secara sangat signifikan dalam periode 2006-2008 juga memberikan tekanan besar terhadap daya beli masyarakat, sehingga menyebabkan pemerintah turun tangan dengan memberikan subsidi yang melonjak sangat tinggi.

Page 25: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 1 Pendahuluan 2�

Pada awal 2007, terjadi krisis sub-prime mortgage di Amerika Serikat yang kemudian menghancurkan neraca keuangan dan menurunkan aset banyak lembaga keuangan internasional secara drastis. Banyak perusahaan besar mengurangi skala usaha sehingga pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang mengalami kontraksi sangat dalam. Penurunan kinerja perekonomian di negara-negara maju secara bertahap mempengaruhi perekonomian dan perdagangan seluruh dunia, termasuk Indonesia. Arus investasi asing mengalami penurunan sehingga menekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Selain itu, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi, surat utang negara (SUN) menjadi semakin mahal, dan inflasi cukup tinggi. Kinerja ekspor produk-produk penting Indonesia juga mengalami penurunan sebagai akibat menurunnya permintaan di pasar internasional.

Tekanan dan dampak krisis global sangat mempengaruhi keberlangsungan kegiatan ekonomi Indonesia. Banyak negara berkembang yang terseret arus krisis dan menjadi pasien dari International Monetary Fund karena tidak mampu bertahan dalam menjaga stabilitas dan ketahanan ekonominya. Dalam menghadapi berbagai tekanan selama periode 2004 akhir hingga 2009, kinerja perekonomian Indonesia tergolong sangat baik. Selain stabilitas terjaga, daya tahan ekonomi pun cukup terpelihara. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tetap positif. Dengan demikian, upaya memperbaiki kesejahteraan relatif dapat terjaga dan terus berlangsung. Kondisi ini menghasilkan penurunan kemiskinan dan pengangguran secara bertahap dan konsisten.

Departemen Keuangan selaku pengelola keuangan negara dan Bendahara Umum Negara memainkan peran sangat penting dalam mengelola kondisi ekonomi serta memformulasikan kebijakan ekonomi untuk mengantisipasi dinamika perekonomian nasional dan global. Berbagai formulasi kebijakan yang sangat strategis antara lain pengelolaan dan pengalihan subsidi BBM dan subsidi lainnya yang menggelembung; meningkatkan dan memperbaiki disiplin penerimaan negara baik dari pajak, bea-cukai, maupun penerimaan negara bukan pajak; mengelola dan merumuskan belanja negara agar tetap fokus, efektif, dan efisien; serta mengelola risiko pembiayaan defisit dan utang negara secara bijaksana di tengah gejolak pasar uang, pasar obligasi, serta krisis perbankan global.

Kontribusi Departemen Keuangan semakin nyata dalam mendukung upaya pemerintah menata pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yaitu pro-growth, pro-job, dan pro-poor. Kontribusi diwujudkan melalui kebijakan fiskal yang kondusif dan seimbang di antara penerimaan serta belanja negara. Peningkatan penerimaan negara secara progresif yang diimbangi oleh belanja negara secara efisien dan efekif telah dapat mendukung tumbuhnya permintaan agregat secara sehat dan berkelanjutan. Komponen permintaan agregat yang dimaksud meliputi konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, serta ekspor dan impor.

1.3. Reformasi Birokrasi

Peran Departemen Keuangan yang penting, strategis, dan instrumental dalam menata keuangan negara serta merumuskan kebijakan fiskal dan ekonomi lainnya dapat terwujud secara optimal melalui kinerja yang tinggi dari segenap jajarannya. Institusi dan seluruh jajaran di Departemen Keuangan melaksanakan program Reformasi Birokrasi, sekaligus harus menjawab tantangan pengelolaan ekonomi yang terus mengalami gejolak yang tidak mudah. Tujuan Reformasi Birokrasi adalah menciptakan aparatur negara yang bersih, profesional, dan bertanggung jawab, serta menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif, sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang terbaik.

Page 26: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

2� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Pelaksanaan Reformasi Birokrasi merupakan konsekuensi logis dari reformasi kebijakan di bidang keuangan negara yang tertuang dalam UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; dan UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selain itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 dinyatakan dengan tegas bahwa Reformasi Birokrasi merupakan salah satu program pemerintah yang krusial dan harus segera dilaksanakan. Di antara organisasi pemerintah, Departemen Keuangan mendapatkan kepercayaan untuk menjadi pilot project Reformasi Birokrasi.

Keterbukaan merupakan semangat yang mendorong implementasi Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan. Keterbukaan sangat diperlukan mengingat tugas yang diemban Departemen Keuangan memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan kompleks, mencakup pengelolaan penerimaan, belanja, dan aset negara. Departemen Keuangan bahkan saat ini masih bertindak sebagai regulator di bidang pasar modal dan LKBB. Tugas tersebut di masa mendatang di antaranya akan dilimpahkan kepada lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan dibentuk.

Birokrasi baru yang profesional dan kompeten menjadi tujuan dari reformasi di Departemen Keuangan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat hingga mencapai taraf prima. Untuk mencapainya, diperlukan akselerasi mengingat Departemen Keuangan memiliki jumlah pegawai berkisar 65.000 orang, baik yang bertugas di kantor pusat maupun kantor vertikal. Manajemen sumber daya manusia yang berbasis kompetensi tidak hanya dibutuhkan di pusat, namun juga sangat dibutuhkan oleh kantor vertikal Departemen Keuangan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Kantor-kantor tersebut melayani urusan perpajakan, kepabeanan dan cukai, perbendaharaan, serta pengelolaan aset negara. Profesionalitas dan kompetensi para pegawai di kantor-kantor vertikal dalam faktanya sangat menentukan kinerja sekaligus citra Departemen Keuangan di bidang pelayanan publik.

Implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan aspek penting lainnya yang membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) Departemen Keuangan yang profesional dan kompeten. Alokasi anggaran pemerintah yang dikelola Pemerintah Daerah telah semakin besar dari waktu ke waktu, baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun Dana Bagi Hasil (DBH). Reformasi Birokrasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengelolaan dana perimbangan di antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, sehingga pembangunan nasional dapat berlangsung dengan semakin adil dan merata. Untuk mengoptimalkan pengelolaan dana perimbangan, secara kelembagaan telah dibentuk suatu unit kerja Eselon I yang baru di Departemen Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK).

Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan juga mempunyai makna penting, karena telah menjadi tuntutan global. Hubungan internasional yang berlangsung di antara berbagai negara semakin intensif, seolah-olah tidak ada lagi batas administrasi yang membedakan suatu negara dengan negara lainnya. Interaksi perdagangan dengan berbagai negara di seluruh belahan bumi dan investasi yang masuk ke Indonesia semakin meningkat, sehingga membutuhkan pelayanan dan regulasi yang kondusif agar tercipta efisiensi ekonomi yang tinggi.

Sebagai institusi yang menghasilkan kebijakan fiskal, Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan telah memberikan signal positif mengenai semakin baiknya tata kelola pemerintahan dan kualitas kebijakan fiskal yang dihasilkan dalam mendukung iklim perdagangan serta investasi asing di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena merupakan suatu insentif, serta menurunkan risiko atau biaya. Sebaliknya, hal tersebut meningkatkan perolehan atau manfaat dari perdagangan dan investasi yang dilakukan. Tata kelola dan kebijakan yang semakin berkualitas secara umum akan meningkatkan daya saing Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang prospektif dibandingkan negara-negara lainnya.

Page 27: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 1 Pendahuluan 2�

Berdasarkan manfaatnya yang sangat signifikan sebagai landasan untuk menata pengelolaan fiskal bagi kepentingan di dalam negeri maupun dalam rangka mengoptimalkan interaksi dengan dunia internasional, Menteri Keuangan telah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007. Dalam keputusan tersebut tercantum 3 prioritas yang dikenal sebagai “Tiga Pilar Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan”, yaitu penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, dan peningkatan kualitas SDM. Salah satu aspek terpenting dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan adalah penetapan Key Performance Indicator (KPI). KPI adalah alat ukur terhadap pencapaian kinerja serta merupakan instrumen untuk melakukan pengawasan dan penegakan disiplin kerja. Selain itu, telah pula ditempuh perbaikan struktur remunerasi untuk meningkatkan motivasi kerja serta mengubah pola pikir pegawai dan budaya kerja birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan.

1.4. Bidang Tugas dan Tanggung Jawab Departemen Keuangan 1.4.1. Pengelolaan dan Perumusan Kebijakan Ekonomi Makro

Kinerja perekonomian dan pembangunan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan efektivitas kebijakan fiskal yang juga harus bersinergi dengan kebijakan moneter. Apabila kedua kebijakan dirumuskan secara tepat dan akurat serta kredibel maka kinerja perekonomian dan pembangunan akan positif. Dalam pasal 21 UU No 17 Tahun 2003 telah diamanatkan bahwa Pemerintah Pusat dan Bank Sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal serta moneter. Amanat tersebut telah diimplementasikan dan ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepakatan mengenai Mekanisme Penetapan Sasaran, Pemantauan, dan Pengendalian Inflasi oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia pada 1 Juli 2004. Selain itu, dalam perumusan dan perancangan kebijakan fiskal yang menyangkut asumsi dan proyeksi indikator ekonomi makro, Bank Indonesia memberikan pendapat dan pandangan sebagai pembanding independen terhadap proyeksi pemerintah. Hubungan Departemen Keuangan dan Bank Indonesia tetap independen, namun terus mensyaratkan komunikasi serta koordinasi yang efektif dan harmonis dengan berdasarkan saling menghormati serta saling percaya terhadap peran dan tugas institusi masing-masing. Untuk itu, kompetensi dan pengetahuan kedua jajaran di institusi tersebut harus selalu sebanding dan setara, agar tidak terjadi perbedaan dalam kredibilitas dan akurasi pemahaman serta proyeksi ekonomi yang dikelola bersama.

Untuk menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro secara cepat dan tepat, sangat diperlukan input data dan informasi yang akurat, konsisten, reguler, dan terkini. Sebelum 2005, penyusunan kebijakan fiskal di dalam Departemen Keuangan bersifat parsial dan terkotak-kotak. Dengan demikian, konsistensi dan akurasi angka/target dan bahkan rancangan kebijakan APBN tidak dipahami oleh semua unsur dan Direktorat Jenderal di Departemen Keuangan. Inilah yang menyebabkan rendahnya rasa memiliki dan tanggung jawab bersama serta lemahnya upaya menjaga konsistensi kebijakan antar dirjen/badan.

Sejak akhir 2005 dibentuk Badan Koordinasi Kebijakan Fiskal (BKF) yang bertugas merancang kebijakan fiskal (postur) dan kebijakan ekonomi secara umum. BKF juga menjadi institusi yang menjalankan fungsi menguji target dan akurasi angka-angka yang dicantumkan di APBN. Dalam menjalankan fungsi tersebut BKF telah mengembangkan Executive Dashboard sebagai suatu alat navigasi berbasis information technology (IT) yang menyajikan perkembangan indikator ekonomi makro secara akurat dan terkini. Berbagai indikator ekonomi makro yang terpenting (leading indicators) dipantau dan disajikan secara berkala di dalam Ruang Waspada Antisipatif, dan Responsif atau disebut dengan WAR Room yang berlokasi di kantor BKF.

Page 28: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

2� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari WAR Room, Menteri Keuangan menyelenggarakan rapat pimpinan (Rapim) secara regular setiap bulan. Dalam Rapim bulanan tersebut dilakukan pemantauan dini perkembangan indikator ekonomi, review kebijakan ekonomi, dan outlook serta pengendalian pencapaian target-target yang telah ditetapkan dalam APBN. Rapim dapat merekomendasikan berbagai bentuk kebijakan fiskal yang perlu ditempuh dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi makro dan tercapainya target pembangunan nasional. Selain itu, data dan informasi dari WAR Room dimanfaatkan pula oleh Departemen Keuangan sebagai bahan untuk menyusun Nota Keuangan dan kerangka ekonomi makro sebagai kelengkapan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

1.4.2. Pendapatan Negara

Pendapatan negara menurut pasal 1 butir 13 UU No. 17 Tahun 2003 adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Sumber pendapatan negara terdiri dari pajak, bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pengelolaan kebijakan perpajakan telah mengalami reformasi melalui amandemen 3 undang-undang perpajakan, yaitu UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU tentang Pajak Penghasilan yang keduanya sudah selesai dan Pajak Penjualan Barang Mewah yang masih dalam tahap pembahasan dengan DPR hingga Agustus 2009. Reformasi perpajakan telah menampakkan hasilnya dengan semakin optimalnya pungutan terhadap basis pajak sebagai sumber pendapatan negara.

Salah satu kebijakan perpajakan yang terpenting adalah Sunset Policy yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada 2008. Sunset Policy merupakan suatu fasilitas penghapusan sanksi administrasi perpajakan yang diberikan kepada wajib pajak yang kooperatif atau tidak dengan sengaja melalaikan kewajiban membayar pajak. Pelaksanaan Sunset Policy telah memberikan kontribusi pajak penghasilan (PPh) yang signifikan terhadap pendapatan negara, yaitu mencapai Rp 7,46 triliun.

Selain itu, reformasi telah pula dilaksanakan pada kebijakan pengawasan dan penggalian potensi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Intensifikasi merupakan upaya penggalian potensi dari Wajib Pajak yang telah terdaftar di dalam sistem administrasi DJP. Secara teknis, intensifikasi ditempuh melalui kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking. Adapun ekstensifikasi pajak dilaksanakan untuk memperluas basis pajak atau menambah wajib pajak dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak.

Di bidang kepabeanan dan cukai, substansi reformasi kebijakan yang paling utama adalah bergesernya titik berat tugas Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) dari Revenue Collector menjadi Trade Facilitator, Industrial Assistance, dan Community Protector. Reformasi tersebut ditujukan untuk mendorong pertumbuhan industri dan investasi di dalam negeri. Pembaharuan kebijakan cukai diarahkan untuk melindungi kesehatan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan daya serap tenaga kerja yang cukup besar oleh industri serta pemenuhan target penerimaan negara dari cukai.

Pendapatan negara lainnya adalah PNBP. Sumber PNBP meliputi lembaga pemerintah non-departemen (LPND), departemen, Sumber Daya Alam (SDA) non-migas, pungutan ekspor, laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pertambangan panas bumi. Reformasi kebijakan yang terkait dengan PNBP diarahkan untuk meningkatkan kepastian hukum, tertib administrasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan PNBP.

Page 29: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 1 Pendahuluan 2�

1.4.3. Belanja Negara

Belanja negara merupakan instrumen fiskal pemerintah untuk menjalankan fungsi alokasi dan distribusi sumber daya keuangan negara serta menjaga stabilisasi perekonomian. Dalam pasal 1 UU No. 17 Tahun 2003 diuraikan bahwa belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Agar fungsi belanja negara dapat terlaksana secara optimal, maka kebijakan pengelolaan belanja negara difokuskan pada peningkatan efisiensi dan efektivitas. Terdapat 5 sasaran strategis yang ingin dicapai dalam pengelolaan belanja negara, yaitu efisiensi pengadaan barang dan jasa, alokasi belanja yang tepat sasaran, alokasi belanja yang berkeadilan sosial, peningkatan kualitas pelayanan dan citra baik Departemen Keuangan.

Untuk mencapai kelima sasaran strategis tersebut, maka dalam periode 2004-2009 telah dilakukan reformasi terhadap pengelolaan anggaran pemerintah pusat yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pertanggungjawaban dan pengawasan. Perubahan fundamental yang dilakukan dalam reformasi penganggaran mencakup 3 bidang, yaitu penganggaran terpadu (unified budget), penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) dan kerangka kerja pengeluaran jangka menengah (medium-term expenditure framework). Masing-masing perubahan membawa konsekuensi terhadap pengelolaan anggaran belanja pemerintah pusat.

Dalam pelaksanaan anggaran, telah dilakukan pembagian kewenangan yang lebih jelas di antara Menteri Keuangan dengan menteri teknis. Upaya ini dimaksudkan untuk menjamin terlaksananya mekanisme saling uji (check and balance) dalam pelaksanaan belanja negara serta kejelasan akuntabilitas Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) dan menteri teknis sebagai Pengguna Anggaran. Pembagian kewenangan juga memberikan fleksibilitas kepada menteri teknis untuk mengatur penggunaan anggaran secara lebih efisien dan efektif dalam rangka mengoptimalkan kinerja kementeriannya untuk menghasilkan output dan outcome yang telah ditetapkan.

1.4.4. Keuangan Daerah

Pengelolaan keuangan daerah setelah implementasi otonomi daerah dicirikan oleh adanya perimbangan keuangan di antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut pasal 1 butir 3 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perimbangan keuangan adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan efisien. Hal ini dilakukan dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan perimbangan keuangan pada dasarnya ditujukan untuk memperbaiki permasalahan vertical fiscal imbalance yang disebabkan oleh keragaman kondisi daerah di Indonesia.

Penyaluran dana ke daerah dewasa ini semakin optimal melalui penerapan pola transfer baru yang berlaku sejak Januari 2008. Penerapan pola ini dilandasi oleh pemahaman bahwa belanja memiliki pengertian yang berbeda dengan transfer. Pola transfer yang baru mampu meningkatkan efisiensi secara signifikan yang meliputi efisiensi dokumen, birokrasi, efisiensi waktu dan tenaga, sistem informasi, dan pelaporan. Dampak positif lainnya dari penerapan pola transfer baru adalah semakin cepatnya pelaksanaan kegiatan di daerah, karena dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah tersedia lebih awal.

Page 30: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

2� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

APBD sebagai rencana keuangan pemerintahan daerah mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam mendorong kegiatan ekonomi masyarakat. Berdasarkan alasan tersebut, Departemen Keuangan selalu mendorong Pemerintah Daerah agar menetapkan dan menyampaikan APBD setiap tahun secara tepat waktu. Keterlambatan akan menyebabkan lambatnya penyerapan anggaran, sehingga dapat menghambat pertumbuhan perekonomian di daerah.

Salah satu langkah yang ditempuh DJPK untuk memotivasi Pemerintah Daerah adalah dengan mengenakan sanksi terhadap setiap keterlambatan penetapan dan penyampaian Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD. Daerah yang terlambat akan mendapatkan sanksi berupa penundaan transfer dana, khususnya DAU dan DAK, sebagaimana diatur di dalam PMK No. 21 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah. Di samping itu, dalam PMK No. 46 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah terlebih dahulu telah diatur mengenai sanksi atas keterlambatan penyampaian data dan informasi keuangan daerah.

Persoalan lain menyangkut keuangan daerah yang diatasi oleh DJPK adalah pungutan daerah yang bermasalah. Sejak 2005 telah dilakukan tindakan pengawasan yang bersifat preventif, yaitu dengan mengevaluasi terlebih dahulu setiap Rancangan Perda yang mengatur mengenai pungutan daerah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Di samping itu, telah dilakukan pula pembatalan terhadap Perda-Perda yang tergolong bermasalah. Pembatalan Perda yang bermasalah ditujukan untuk menghindarkan terjadinya pungutan yang berlebihan kepada masyarakat dan mengatasi ekonomi biaya tinggi dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif di daerah.

Dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan fiskal dan pemungutan pajak di daerah, telah ditempuh berbagai upaya untuk menyamakan persepsi di antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengenai makna otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Selain itu, dilakukan pula peningkatan pemahaman dan kemampuan aparat terkait di daerah dalam hal pemungutan pajak dan retribusi daerah. Seluruh upaya yang ditempuh pada dasarnya diarahkan untuk memperkuat perpajakan daerah (local taxing empowerment).

1.4.5. Pengelolaan Pembiayaan

Sesuai dengan pasal 1 butir 17 UU No. 17 Tahun 2003, pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Tahun 2004-2009 merupakan periode yang penuh dengan tantangan bagi Departemen Keuangan dalam melakukan pembiayaan APBN. Kondisi tersebut disebabkan adanya kebutuhan pembiayaan terhadap defisit yang semakin meningkat sebagai akibat membengkaknya belanja modal dan subsidi. Selain itu, terdapat pula kebutuhan untuk membiayai beberapa kebijakan pemerintah, seperti penyediaan revolving fund untuk pengadaan lahan bagi jalan tol, penambahan modal negara dan revitalisasi BUMN, penyediaan modal awal bagi lembaga baru yang didirikan untuk mengemban misi pemerintah, serta penjaminan program tenaga listrik 10.000 MW.

Peningkatan kebutuhan pembiayaan tersebut dihadapkan pada semakin terbatasnya pilihan sumber pembiayaan, terutama yang berasal dari non-utang. Sumber-sumber pembiayaan tersebut telah terkuras di masa lalu, sehingga ketersediaannya semakin menurun. Tantangan yang dihadapi semakin berat di penghujung periode pemerintahan dengan situasi pasar keuangan dunia yang terburuk dalam 40 tahun terakhir. Sumber-sumber pembiayaan yang berasal dari utang dalam bentuk surat berharga semakin sulit diperoleh dan menjadi relatif sangat mahal.

Page 31: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 1 Pendahuluan 29

Kebijakan yang ditempuh Departemen Keuangan dalam upaya menutup defisit APBN oleh karenanya difokuskan pada pencarian sumber-sumber pembiayaan alternatif dengan memperhitungkan kapasitas pembayaran kembali. Sumber-sumber pembiayaan yang dipilih merupakan kombinasi yang seimbang di antara pertimbangan penyediaan dana dengan keberlanjutannya dalam jangka panjang. Di samping itu, dipertimbangkan pula trade-off di antara biaya dan risiko dari setiap alternatif sumber pembiayaan yang dipilih.

Pengembangan instrumen pembiayaan juga menjadi agenda Departemen Keuangan lainnya yang ditempuh dalam menghadapi kebutuhan pembiayaan yang semakin meningkat. Saat ini terdapat banyak alternatif instrumen pembiayaan yang dapat dikembangkan, terutama yang berbasis syariah. Salah satu instrumen yang memiliki potensi besar untuk membiayai pembangunan infrastruktur secara langsung adalah akad Istisna’.

1.4.6. Perbendaharaan Negara

Perbendaharaan negara menurut pasal 1 butir 1 UU No. 1 Tahun 2004 adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Fungsi perbendaharaan dalam perspektif pengelolaan keuangan negara meliputi penyusunan regulasi, supervisi, implementasi dan evaluasi pelaksanaan anggaran, pengelolaan kas negara, pengelolaan investasi pemerintah dan penerusan pinjaman, serta pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Adapun dari perspektif pertanggungjawaban keuangan negara, fungsi perbendaharaan mencakup akuntansi dan pelaporan keuangan untuk mewujudkan transparansi serta akuntabilitas keuangan negara.

Pelaksanaan fungsi perbendaharaan di Departemen Keuangan dapat dilihat dari penyelesaian DIPA tahun 2005-2009 yang tepat waktu, penerapan Treasury Single Account (TSA) sebagai perwujudan best practice dalam pengelolaan kas dan penertiban rekening pemerintah. Selain itu, kinerja perbendaharaan tergambar pula dari restrukturisasi pinjaman, penjajakan kerjasama investasi, penilaian terhadap usulan penerapan pola pengelolaan keuangan BLU, pengembangan sistem perbendaharaan dan penetapan layanan unggulan melalui pembukaan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) percontohan. Di bidang pertanggungjawaban keuangan negara, pemenuhan fungsi perbendaharaan diukur berdasarkan kualitas penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2004-2007 dan 2008 (unaudited), penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanggungjawaban APBN, serta penyusunan/penyempurnaan sistem dan prosedur akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah.

Meskipun telah cukup banyak kinerja yang dicapai oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) dalam pengelolaan perbendaharaan selama kurun waktu 2004-2009, masih terdapat beberapa agenda penting yang perlu mendapat perhatian di masa yang akan datang. Agenda-agenda yang dimaksud meliputi kelebihan jumlah pegawai sehubungan dengan perampingan organisasi dan penajaman fungsi perbendaharaan, persiapan dalam penerapan anggaran berbasis kinerja, percepatan penyerapan belanja APBN dan yang terpenting adalah perbaikan kualitas laporan keuangan melalui peningkatan status opini LKPP dan Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL). Bercermin pada kendala-kendala yang dihadapi dalam pengelolaan perbendaharaan selama 2004-2009, maka upaya peningkatan pengelolaan perbendaharaan difokuskan pada peningkatan kapabilitas dan integritas SDM, evaluasi berkesinambungan terhadap regulasi, transformasi business process, pengembangan sistem informasi yang terintegrasi, serta peningkatan koordinasi dengan stakeholder dan mitra kerja.

Page 32: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

1.4.7. Kekayaan Negara

Fungsi pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) serta pengurusan piutang negara dan lelang di Departemen Keuangan diemban oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Organisasi yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 96 tanggal 7 Desember 2006 telah mengemban tugas yang cukup berat, yaitu menyempurnakan pengelolaan kekayaan negara yang selama ini belum dilaksanakan dengan baik. Kekayaan negara yang dikelola oleh DJKN meliputi BMN dan kekayaan negara yang dipisahkan. Pengertian BMN menurut pasal 1 butir 11 UU No. 1 Tahun 2004 adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

Pengelolaan kekayaan negara merupakan suatu fungsi yang sangat strategis dalam rangka pengamanan dan perencanaan keuangan negara. Namun, fungsi tersebut masih belum dapat dijalankan secara optimal, karena banyaknya permasalahan pengelolaan BMN yang telah terakumulasi sejak berdirinya Republik Indonesia hingga saat ini. Penyelesaian berbagai permasalahan tersebut memerlukan political will dan komitmen yang kuat dari semua unsur negara yang terkait.

DJKN saat ini sedang mengupayakan penyempurnaan peraturan perundangan, meningkatkan kualitas SDM, menyempurnakan sistem informasi dan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai. Upaya-upaya tersebut ditempuh dalam rangka memberikan kepastian hukum dan menunjang pelaksanaan fungsi pengurusan piutang negara, penilaian dan pelayanan lelang yang profesional dan akuntabel, serta sebagai perwujudan reformasi birokrasi. Di samping kekayaan negara berupa BMN yang bersumber dari APBN, DJKN juga mempunyai tugas untuk mengelola kekayaan negara yang berasal dari perolehan lain yang sah. Tantangan terberat yang dihadapi DJKN dalam mengelola kekayaan negara ini adalah perangkat hukum yang belum sempurna.

1.4.8. Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

Pengelolaan kebijakan Departemen Keuangan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan selama periode 2004-2009 diwarnai oleh penggabungan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menjadi Bapepam-LK pada akhir 2005. Penggabungan ini merupakan langkah awal menuju suatu institusi yang lebih independen sebelum menuju pada pendirian lembaga pengawas jasa keuangan atau OJK sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

Perangkat hukum, organisasi, SDM, penganggaran dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait terus dipersiapkan hingga saat ini. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud meliputi UU tentang Pasar Modal, UU tentang Usaha Perasuransian, UU tentang Dana Pensiun dan RUU tentang OJK. Sebagai upaya memperkuat efektivitas dan efisiensi pengawasan terhadap pasar modal dan LKBB sekaligus menjadi organisasi yang lebih mandiri, Bapepam-LK telah menggunakan metode pengawasan berbasis risiko.

Pengawasan terhadap pelaku pasar modal dan LKBB merupakan hal yang vital dalam industri keuangan. Mengingat jumlah pelaku industri keuangan yang perlu diawasi cukup banyak, perlu ditetapkan prioritas pengawasan berdasarkan tingkat risiko yang lebih tinggi. Penggunaan metode pengawasan ini memerlukan kriteria yang objektif dan jelas untuk dinilai beserta metode penghitungannya. Selain itu, kegiatan pengawasan pasar modal dan LKBB dapat berjalan dengan efektif apabila didukung oleh data yang real time dan dapat diandalkan.

Page 33: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 1 Pendahuluan �1

Dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi maka diperlukan lembaga pengawas pasar modal dan lembaga keuangan yang independen. Lembaga tersebut dapat lebih fokus, objektif, serta berorientasi pada pengembangan industri dan perlindungan semua pihak yang beraktivitas di pasar modal dan industri jasa keuangan. Independensi juga sangat diperlukan sebagai pijakan untuk menerapkan sistem pertanggungjawaban yang lebih efektif, akuntabel dan transparan. Harmonisasi dengan prinsip-prinsip dan standar internasional menjadi bagian yang penting, karena tidak hanya memberikan perlindungan bagi pemodal, tetapi juga meminimalkan kemungkinan terjadinya risiko sistemik.

1.4.9. Pengawasan dan Pengendalian Internal

Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas di lingkungan Departemen Keuangan diarahkan untuk memberikan keyakinan terhadap keberhasilan dalam mengelola keuangan negara dan mencapai tujuan reformasi birokrasi. Inspektorat Jenderal merupakan unit pelaksana pengawasan internal yang berfungsi mengidentifikasi berbagai masalah dan hambatan yang menjadi kendala bagi terwujudnya efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan keuangan negara oleh setiap unit kerja di Departemen Keuangan. Dalam menjalankan fungsi tersebut, Inspektorat Jenderal mengupayakan pemberian solusi terhadap masalah-masalah manajemen dan sekaligus bertindak sebagai compliance office yang mendorong berbagai upaya dalam pencapaian opini terhadap laporan keuangan negara dan lembaga.

Proses audit modern yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal dewasa ini telah mengalami pergeseran peran, yaitu dari sebelumnya sebagai “watchdog” menjadi internal consultant yang memberi masukan demi perbaikan atas sistem yang dijalankan. Konsultan dan katalis merupakan peran yang relatif baru bagi auditor internal di Departemen Keuangan. Peran sebagai konsultan telah menggiring auditor internal untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang profesi auditor dan aspek bisnis sehingga diharapkan dapat membantu manajemen dalam memecahkan suatu masalah. Kemampuan untuk merekomendasikan pemecahan masalah dapat diperoleh melalui pengalaman selama bertahun-tahun melakukan audit terhadap berbagai fungsi/proses bisnis di dalam organisasi. Konsultasi internal saat ini merupakan aktivitas yang sangat dibutuhkan oleh top management di Departemen Keuangan dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

1.4.10. Kerjasama Internasional

Sebagai bagian dari perekonomian dunia, Indonesia termasuk salah satu negara di benua Asia yang cukup diperhitungkan. Sebagai contoh, dalam forum G-20, Indonesia merupakan Co-chair untuk Working Group IV yang mempunyai tugas penting dalam mereformasi lembaga keuangan multilateral. Bahkan, untuk tingkat regional, yaitu Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), Indonesia termasuk salah satu dari lima negara yang menentukan arah dan kebijakan organisasi regional tersebut.

Dalam forum-forum internasional, hal penting yang harus dikedepankan adalah memperjuangkan kepentingan nasional dalam rangka menjaga keseimbangan dan kesinambungan anggaran pemerintah dan stabilitas ekonomi makro. Anggaran pemerintah yang sound and prudent dapat meningkatkan kepercayaan pasar dan mendorong peningkatan arus investasi. Masuknya investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang membuka kesempatan kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Page 34: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Kedudukan Indonesia sebagai ketua dalam berbagai forum (tingkat menteri, deputi, dan Working Group) memberikan peluang bagi Indonesia untuk mengarahkan agenda yang dibahas dan mengatur ritme pembahasan sesuai dengan perkembangan perekonomian nasional. Penempatan pejabat pada posisi-posisi yang penting dalam lembaga keuangan multilateral, seperti Asian Development Bank (ADB) dan World Bank memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk memasukkan kepentingan nasional ke dalam strategi organisasi internasional tersebut. Pusat Kebijakan Kerjasama Internasional sebagai vocal point Departemen Keuangan dalam kerjasama internasional mempunyai tugas pokok menyusun konsep kebijakan dalam kaitannya dengan isu-isu yang dibahas pada forum kerjasama ekonomi, keuangan, dan jasa dalam kerangka multilateral, regional, serta bilateral, antara lain International Monetary Fund (IMF), World Bank, G-20, IFAD, APEC, ASEM, ASEAN, dan ASEAN+3.

1.4.11. Hubungan Kelembagaan

Departemen Keuangan senantiasa melakukan komunikasi dengan asosiasi-asosiasi yang bergerak di semua lini yang terkait dengan tugas pokok dan fungsinya. Komunikasi intensif terutama dibangun pada saat merancang peraturan perundang-undangan, dimana terlebih dahulu diadakan sosialisasi dengan asosiasi mengenai semua rencana peraturan yang disepakati bersama. Hal yang sama dilakukan pula pada dengan media massa cetak maupun elektronik yang selama ini telah berjalan dengan baik.

Hubungan yang terjalin baik dengan semua pihak dapat terlaksana apabila para pihak yang berkomunikasi mampu menempatkan diri dalam posisi sejajar dan mengesampingkan prinsip superioritas maupun pemaksaan kepentingan. Prinsip ini diterapkan oleh segenap jajaran Departemen Keuangan dalam interaksi dengan berbagai pihak. Namun, dengan alasan tertentu, Departemen Keuangan tidak dapat mengakomodasi keinginan dan memuaskan semua pihak.

1.4.12. Sebagai K/L

Departemen Keuangan sebagai pemegang otoritas fiskal mengembangkan kebijakan fiskal yang berkesinambungan (fiscal sustainability) dengan tetap memberi ruang gerak bagi peningkatan perekonomian nasional. Fiscal sustainability yang didukung oleh reformasi struktural di berbagai bidang diharapkan mampu menjaga stabilitas ekonomi. Di samping itu, perekonomian nasional ditopang pula oleh meningkatnya sektor keuangan yang terlihat dari penguatan dan pengaturan jasa keuangan, perlindungan dana masyarakat, serta peningkatan komunikasi berbagai otoritas keuangan melalui jaring pengaman sistem keuangan secara bertahap.

Dalam melaksanakan tugas pelaporan keuangan, Departemen Keuangan mulai menyusun Laporan Keuangan sejak Tahun Anggaran 2004 hingga saat ini. Penyusunan Laporan Keuangan selalu dapat diselesaikan tepat waktu, yaitu paling lambat dua bulan setelah berakhirnya Tahun Anggaran. Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang telah melengkapi Laporan Keuangan tersebut dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab.

Page 35: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 1 Pendahuluan ��

Sesuai dengan Ketentuan Peralihan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, Laporan Keuangan Departemen Keuangan diperiksa dan mendapat opini dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mulai Tahun Anggaran 2006. Opini atas penyajian Laporan Keuangan pada Tahun Anggaran 2006 dan 2007 adalah disclaimer. Opini disclaimer mengindikasikan bahwa BPK belum meyakini kewajaran penyajian Laporan Keuangan yang disampaikan oleh Departemen Keuangan. Namun, jumlah temuan senantiasa menurun sejalan dengan upaya-upaya perbaikan yang dilakukan secara kontinyu oleh Departemen Keuangan.

Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan dilengkapi dengan Laporan Keuangan dari dua satuan kerja yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU, yaitu Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Sesuai dengan pasal 55 UU No. 1 Tahun 2004, Laporan Keuangan BLU disajikan sebagai suatu kesatuan dengan Laporan Keuangan instansi pembina. Dalam prakteknya, Laporan Keuangan PIP dan STAN telah disampaikan sebagai lampiran dari Laporan Keuangan Departemen Keuangan.

Tugas penting lainnya yang dilaksanakan oleh Departemen Keuangan adalah pengembangan sistem yang mampu mengelola kinerja. Pemantauan terhadap peningkatan maupun penurunan kinerja perlu dilakukan seiring dengan pelaksanaan Reformasi Birokrasi yang terutama ditujukan untuk meningkatkan kinerja Departemen Keuangan. Sistem yang telah diimplementasikan oleh Departemen Keuangan adalah Balanced Score Card (BSC). BSC menawarkan lebih dari sekedar pangukuran kinerja, karena juga dapat menjadi strategic management system dan communication tool.

Pengembangan BSC dimulai dari tingkat Menteri Keuangan atau disebut dengan Depkeu-Wide. Proses kemudian di-cascade ke tingkat Depkeu-One dan Depkeu-Two. Berdasarkan program prioritas Roadmap 2008-2009 dan arahan Menteri Keuangan, saat ini telah disusun lima tema strategis yang meliputi tema Pendapatan Negara, Belanja Negara, Pembiayaan APBN, Kekayaan Negara, serta Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank.

Page 36: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Reformasi Birokrasi Menggapai Aspirasi

Dengan Menggalakkan Reformasi birokrasi,Departemen Keuangan berupaya menciptakanfondasi aparatur negara yang lebih bersih,profesional, dan bertanggung jawab demiIndonesia yang lebih baik.

Page 37: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 2 Reformasi Birokrasi ��

Seorang pria turun dari bus kota, setengah berlari ia masuk ke halaman gedung Departemen Keuangan di Lapangan Banteng Jakarta Pusat. Ketika melirik arlojinya, ayunan langkahnya dipercepat. Maklum, saat itu jarum arlojinya menunjukan angka pukul 7.27. Tiga menit lagi ia terlambat. Begitu masuk ke gedung, langsung ke lift, menuju ke mesin absensi. Setelah menempelkan ibu jarinya ke mesin absensi, ia bernafas lega. Di mesin tersebut tercatat ia hadir pukul 7.29. “Alhamdulillah, aman,” gumamnya. Segera ia menuju ke ruang kerjanya. Pekerjaan hari itu sudah menunggunya.

Berdisiplin dan bekerja keras untuk melayani masyarakat, adalah perilaku baru pegawai Departemen Keuangan. Tentu saja, perilaku ini sangat berbeda dengan citra yang selama ini melekat pada pagawai negeri: datang siang dan kerja santai, ingin dilayani, penuh dengan perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme.

Perubahan perilaku pegawai Departemen Keuangan hanya merupakan sebagian kecil dari buah reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh Menteri Keuangan. Reformasi birokrasi di Departemen Keuangan mencakup tiga pilar utama, yaitu penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, serta peningkatan disiplin dan manajemen SDM.

Dalam penataan organisasi, Departemen Keuangan menata diri dengan menghapus bagian-bagian yang tidak efisien, membentuk badan-badan baru yang diperlukan untuk menjalankan fungsinya dan menggabungkan badan-badan yang sudah ada membentuk badan baru yang lebih tepat fungsi.

Mungkin, hasil yang paling kasat mata dari penataan organisasi adalah modernisasi organisasi. Publik bisa melihat dibangunnya kantor-kantor modern untuk pelayanan. Kantor pelayanan pajak, misalnya sudah dibangun di banyak tempat dengan penataan yang menampilkan kesan keramahan. Dulu, orang enggan datang ke kantor-kantor pemerintah karena gedungnya terkesan angker dengan deretan meja panjang untuk memberi pelayanan di dalamnya. Belum lagi, sikap para pegawai yang terkesan ‘unjuk kuasa’ menyebabkan orang ‘takut’ berurusan dengan kantor pemerintah.

Dalam penyempurnaan proses bisnis, Departemen Keuangan menata kembali proses kerjanya untuk mencapai sasaran yang ditetapkan. Kini Departemen Keuangan memiliki cara kerja yang jelas untuk menjalankan fungsinya. Hasil paling nyata dari penyempurnaan bisnis adalah terciptanya standard operating procedure (SOP). Dengan SOP, semua pegawai Departemen Keuangan kini mengetahui apa yang harus dilakukannya, mengapa melakukan pekerjaan tersebut, dan bagaimana melakukannya. Dengan adanya SOP pula, masyarakat luas bisa melihat apakah pegawai departemen keuangan menjalankan tugasnya dengan benar.

Reformasi yang paling penting adalah reformasi peningkatan manajemen SDM. Kalau di zaman dulu pegawai negeri bisa bekerja santai, kini di Departemen Keuangan tidak bisa lagi. Semua pegawai ditetapkan tugas-tugasnya dan ukuran keberhasilannya. Di Departemen Keuangan tidak ada lagi pintar bodoh, rajin malas, sama saja. Kini mereka yang berprestasi akan mendapat penghargaan. Bahkan, sebagai bagian dari upaya pendisiplinan, pegawai yang terlambat datang, akan dipotong uang transpornya. Hukum reward and punishment sudah dijalankan.

Sebagaimana di tempat-tempat lain, pembaharuan selalu mendapat tantangan. Bisa dibayangkan mengubah perilaku pegawai negeri yang semula merasa manjadi ‘tuan’ harus bekerja berprestasi untuk melayani masyarakat.

Penetapan berbagai peraturan dan pengendalian yang ketat, menyebabkan para pegawai harus berubah. Tentu saja, pengarahan oleh Menteri Keuangan mengenai apa peran sesungguhnya Departemen Keuangan, bagaimana seharusnya pegawai Departemen Keuangan berperilaku yang disampaikan terus menerus di semua forum, membuat semua staf memahami pentingnya peran mereka. Pemahaman mengenai peran mereka itulah yang membawa perubahan perilaku. Kini, masyarakat sudah menyaksikan dan merasakan peningkatan pelayanan Departemen Keuangan.

Belum percaya? Cobalah Anda mengurus sendiri pembayaran pajak usaha atau pribadi Anda. Anda akan mendapat pelayanan yang cepat, mudah, dan ramah. Anda tidak lagi perlu mengeluarkan amplop-amplop untuk melicinkan urusan Anda. Cobalah!

Pegawai Departemen Keuangan Kini Sudah Profesional

Page 38: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

2.1. Latar Belakang Reformasi Birokrasi

2.1.1. Inisiasi Reformasi

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004 – 2009, Reformasi Birokrasi menjadi salah satu program pemerintah yang sangat krusial dan harus segera dilaksanakan. Dalam konteks ini, Departemen Keuangan memperoleh kepercayaan untuk menjadi pilot project program Reformasi Birokrasi yang bertujuan untuk menciptakan aparatur negara yang bersih, profesional, dan bertanggung jawab, dan menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang prima.

Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan merupakan konsekuensi logis dari reformasi kebijakan di bidang keuangan negara yang termanifestasi dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara; UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara; dan UU Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 2.1.2. Proses Awal Reformasi, Pembentukan Tim Reformasi, dan Pembahasannya di DPR

Proses formalisasi dan legalisasi reformasi birokrasi diawali dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR-RI dengan Menteri Keuangan, 12 Juli 2007. Dalam rapat yang juga membahas mengenai kerangka ekonomi makro APBN-P tahun anggaran 2007 tersebut, Komisi XI DPR-RI memandang perlunya dilakukan pembahasan secara lebih mendalam pada kesempatan lain.

Rapat kerja antara Komisi XI DPR-RI dengan Departemen Keuangan kembali dilaksanakan pada 11 September 2007, dengan agenda melanjutkan pembahasan mengenai Reformasi Birokrasi dan sistem remunerasi Departemen Keuangan. Rapat yang dihadiri oleh 50 anggota Komisi XI DPR-RI dan Menteri Keuangan Sri Mulyani beserta jajarannya menghasilkan kesimpulan/keputusan bahwa Komisi XI DPR-RI pada prinsipnya dapat memahami dan menyetujui langkah-langkah kebijakan dan tujuan dari Reformasi Birokrasi, termasuk remunerasi di Departemen Keuangan. Untuk itu, Komisi XI DPR-RI meminta agar dalam pelaksanaannya, penerapan prinsip kepada semua jenjang jabatan benar-benar dapat diterapkan dalam rangka peningkatan kinerja Departemen Keuangan, termasuk peningkatan mutu pelayanan publik.

Reformasi Birokrasi

Perubahan yang dilakukan bukan hanya merubah citra masyarakat semata, dikarenakan jika hanya merubah citra belaka dapat dilakukan dengan cara pencitraan, namun lebih dari itu, perubahan yang dilakukan adalah merubah realitas. Pencitraan hanya akan merubah pandangan saja, "it doesn't change the reality, it just change a better reflection".

Page 39: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 2 Reformasi Birokrasi ��

Gambar 2.1. Struktur Tim Reformasi Birokrasi Pusat

Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan diawali dengan pelaksanaan modernisasi kantor Direktorat Jenderal Pajak melalui dibentuknya Large Taxpayer Office (LTO). Pembentukan LTO diikuti oleh berbagai langkah modernisasi kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam bentuk Kantor Pelayanan Utama (KPU) dan modernisasi kantor Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam bentuk Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Percontohan. Selanjutnya, langkah reformasi bergulir ke seluruh eselon I Departemen Keuangan, tidak terkecuali pada unit-unit pendukung seperti Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, dan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.

Di masa mendatang, guna lebih menjamin tercapainya tujuan program Reformasi Birokrasi, Departemen Keuangan tengah mengkaji pembentukan unit yang ditugaskan menangani secara khusus pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Dengan beralihnya pengelolaan Reformasi Birokrasi dari lembaga ad hoc (Tim) ke lembaga struktural yang masif, termasuk monitoring dan evaluasi yang akan dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal, diharapkan terjadi akselerasi dan fokus terhadap pelaksanaan program-program Reformasi Birokrasi, sehingga visi Departemen Keuangan dapat lebih cepat tercapai. Dalam jangka pendek, tim Reformasi Birokrasi akan lebih diperkuat dengan melibatkan secara lebih intensif pejabat yang tugas pokok dan fungsinya berkaitan erat secara langsung dengan strategi reformasi birokrasi, yaitu Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, dan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.

Menteri Keuangan mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 tanggal 16 Januari 2007 tentang Reformasi Birokrasi di Lingkungan Departemen Keuangan. Sejak saat itu, secara legal formal kegiatan Reformasi Birokrasi diinisiasi. Agar pelaksanaan reformasi birokrasi berjalan secara berkesinambungan dan pelaksana di lapangan menjalankannya secara bersungguh-sungguh, Menteri Keuangan membentuk Tim Ad Hoc (Tim Reformasi Birokrasi Pusat) yang bertugas untuk mengarahkan, memantau, dan mengevaluasi seluruh pelaksanaan Program Reformasi Birokrasi di setiap unit Eselon I. Tim tersebut beranggotakan pejabat eselon I Departemen keuangan yang dipimpin langsung oleh Menteri Keuangan. Dukungan the top leader adalah hal yang terpenting untuk menjaga kesinambungan reformasi birokrasi.

Page 40: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

2.1.3. Peran Departemen Keuangan dalam Reformasi Birokrasi Nasional

Reformasi yang dilakukan Departemen Keuangan diprioritaskan pada tiga hal utama, yaitu penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, dan peningkatan manajemen sumber daya manusia. Ketiganya diharapkan mampu menciptakan aparatur negara yang bersih, profesional, dan bertanggung jawab. Reformasi birokrasi di Departemen Keuangan dituntut menghasilkan birokrasi yang profesional, efektif, dan efisien, sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang prima. Seiring dengan kegiatan prioritas tersebut dan untuk menunjang pelaksanaan Reformasi Birokrasi, Depkeu menetapkan indikator kinerja utama (key performance indicator) dan perbaikan struktur remunerasi. Dengan demikian, kinerja aparat dapat diukur, dimonitor, dan dievaluasi dalam rangka pembinaan serta manajemen sumber daya manusia, sekaligus sebagai piranti untuk mendorong layanan kepada publik.

Setelah berjalan beberapa tahun, Depkeu berupaya untuk tetap menjaga secara ketat proses reformasi birokrasi agar senantiasa on track. Hal tersebut dilakukan baik melalui monitoring maupun evaluasi kegiatan reformasi, riset kepuasan pengguna layanan, hingga pemantauan opini publik, baik internal maupun eksternal, sebagai bagian dari peringatan dini (early warning system) terhadap gerak langkah reformasi birokrasi. Kesemuanya itu merupakan quality assurance agar program Reformasi Birokrasi Depkeu sebagai pilot project dari program Reformasi Birokrasi nasional dapat menjadi best practice bagi departemen atau lembaga lain yang akan melakukan reformasi birokrasi.

Dalam kaitannya dengan pilot project reformasi birokrasi di tingkat nasional, Departemen Keuangan diharapkan mampu menularkan semangat, kerja keras, dedikasi, dan konsistensi dalam membangun sebuah strategi perubahan birokrasi. Untuk itu, bersama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dilakukan pertemuan rutin setiap dua mingguan guna membahas berbagai pengalaman, kendala, dan tantangan di level pelaksanaan, serta langkah yang perlu ditempuh sehingga proses reformasi tetap dapat terus dijalankan. Berawal dari berbagai pertemuan yang dilaksanakan pada 2007 tersebut, muncul gagasan dan kesepakatan untuk membangun sebuah institusi yang formal dalam bentuk Tim Reformasi Birokrasi Tingkat Nasional. Tim Reformasi Birokrasi Tingkat Nasional ini selanjutnya dibentuk dan diketuai oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, serta didukung oleh beberapa Menteri terkait, termasuk Menteri Keuangan. Tim inilah yang selanjutnya menyusun berbagai aturan dan panduan guna mendorong proses reformasi birokrasi di Indonesia.

2.2. Sasaran Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi yang dilaksanakan Departemen Keuangan pada dasarnya diarahkan untuk mencapai beberapa sasaran, yakni meningkatkan Good Governance, meningkatkan kinerja aparat, dan meningkatkan pelayanan kepada publik.

2.2.1. Meningkatkan Good Governance

Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan diarahkan untuk membentuk birokrasi yang memiliki integritas tinggi yang menjunjung prinsip-prinsip good governance. Perilaku aparatur dalam konteks reformasi birokrasi diwujudkan dengan menjaga sikap profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas (kejujuran, kesetiaan, komitmen) serta menjaga keutuhan pribadi.

2.2.2. Meningkatkan Kinerja Birokrasi

Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan menuntut tercapainya produktivitas kerja yang optimal. Hasil kinerja optimal tersebut diperoleh dari serangkaian program kegiatan yang inovatif, efektif, dan efisien dalam mengelola sumber daya yang ada serta ditunjang oleh dedikasi dan etos kerja yang tinggi.

Page 41: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 2 Reformasi Birokrasi �9

Gambar 2.2. Tiga Pilar Reformasi Birokrasi

Pelayanan Publik

Peningkatan Kinerja

Good Governance

Reformasi Keuangan Negara

Indikator Kinerja Utama

Penataan Organisasi

Remunerasi

Peningkatan Disiplin dan Manajemen

SDM

Penyempurnaan Proses Bisnis

2.2.3. Meningkatkan Pelayanan Publik

Implementasi utama Reformasi Birokrasi yang berdampak langsung pada masyarakat adalah meningkatnya kemampuan Departemen Keuangan dalam memberikan pelayanan publik yang prima. Standar pelayanan publik dalam konteks reformasi birokrasi adalah kepuasan yang dirasakan oleh publik sebagai dampak dari hasil kerja birokrasi yang profesional, berdedikasi, dan memiliki standar nilai moral yang tinggi dalam menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati dan rasa tanggung jawab.

2.3. Tiga Pilar Reformasi Birokrasi

Dalam rangka mencapai sasaran tersebut, Menteri Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 telah mencanangkan dilaksanakannya Reformasi Birokrasi yang meliputi program prioritas di bidang penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, dan peningkatan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM).

2.3.1. Penataan Organisasi

Departemen Keuangan telah memulai proses organization reinventing dalam bentuk penataan organisasi sejak 2002 dan terus berjalan hingga hari ini. Penataan organisasi tersebut meliputi modernisasi, pemisahan, penggabungan, dan penajaman fungsi. Modernisasi diawali dengan pembentukan Kantor Wilayah (Kanwil) Modern dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Modern Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Utama (KPU) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Percontohan.

Dengan modernisasi tersebut, saat ini masyarakat telah dapat memperoleh pelayanan prima pada 4 KPP Wajib Pajak Besar (Large Taxpayer Office), 28 KPP Madya (Medium Taxpayer Office) termasuk 9 KPP khusus, dan 299 KPP Pratama (Small Taxpayer Office). Pembentukkan kantor modern pajak tersebut bertujuan untuk meningkatkan pelayanan, penyuluhan, pengawasan dan kepatuhan wajib pajak meningkatkan intensifikasi, ekstensifikasi dan penerimaan pajak, meningkatkan citra dan efektivitas Ditjen Pajak dalam pelaksanaan tugas perpajakan, serta berupaya mewujudkan good governance. KPP Wajib Pajak Besar berfungsi mengadministrasikan 300 wajib pajak badan terbesar di seluruh Indonesia KPP Madya berfungsi mengadministrasikan 200-500 WP Badan terbesar di Kanwil/Wilayah tertentu. Sedangkan KPP Pratama berfungsi mengadministrasikan seluruh WP Badan dan Orang Pribadi pada wilayah yang bersangkutan.

Page 42: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Pelayanan prima juga dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Utama (KPU) Tipe A DJBC Tanjung Priok, Kantor Pelayanan Utama (KPU) Tipe B DJBC Batam, serta 7 KPPBC Madya. Pembentukan Kantor Pelayanan Utama dan Madya Bea dan Cukai ditujukan untuk mengoptimalkan fungsi utama Ditjen Bea dan Cukai sebagai fasilitator perdagangan, dukungan industri, pelindung masyarakat, dan penghimpun penerimaan. Selain itu, juga untuk meningkatkan hubungan kemitraan dan kepatuhan mitra kerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, meminimalkan biaya pemenuhan kewajiban kepabeanan dan cukai; meningkatkan pelayanan kepada pengguna jasa kepabeanan dan cukai dengan mengimplementasikan cara kerja yang cepat, efisien, transparan dan responsif untuk pengguna jasa; meningkatkan efektivitas dan citra organisasi, serta dalam upaya mewujudkan Good Governance dan Clean Governance di lingkungan Ditjen Bea dan Cukai.

Selain pembentukkan kantor modern pajak dan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, modernisasi diimplementasikan dengan pembentukkan 32 Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Percontohan yang telah beroperasi di berbagai kota di Indonesia, dan pembentukan Pusat Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) pada tahun 2009. LPSE bertujuan untuk lebih meningkatkan transparansi, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, dan mencegah adanya praktek KKN dalam proses pengadaan barang dan jasa, sebagaimana diamanatkan dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Disamping itu, telah pula dilakukan pemisahan, penggabungan, dan penajaman fungsi organisasi yang diharapkan mampu menciptakan struktur organisasi yang menghasilkan kebijakan berkualitas dan dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Beberapa hasil implementasinya adalah:a. Penggabungan Ditjen Lembaga Keuangan (DJLK) dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menjadi Bapepam-LK sebagai langkah awal pembentukan OJK.b. Mengubah Nomenklatur dan mempertajam tugas, fungsi, serta struktur organisasi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).c. Mengubah nomenklatur dan mempertajam tugas, fungsi, struktur organisasi, dan meningkatkan peran badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, serta Kerjasama Internasional menjadi Badan Kebijakan Fiskal (BKF).d. Pembentukan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK).e. Pembentukan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU).f. Pembentukan Ditjen Perbendaharaan (penggabungan fungsi yang tersebar pada Ditjen Anggaran, Badan Akuntansi dan Keuangan Negara, serta Pusat Moneter).g. Pembentukan Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan (Pushaka) untuk mendukung dan menyinkronkan program dan kegiatan Menteri Keuangan.h. Pembentukan Pusintek (Pusat Informasi dan Teknologi) dari sebelumnya BINTEK.i. Penajaman tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Anggaran (DJA).j. Penajaman tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb).

Sebagai tindak lanjut atas pemisahan dan penajaman tugas dan fungsi tersebut, secara struktur Departemen Keuangan saat ini terdiri dari: Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Inspektorat Jenderal, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), Badan Kebijakan Fiskal, serta Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.

Dengan berorientasi pada aspirasi publik, organisasi Departemen Keuangan tidak bersifat massive melainkan senantiasa melakukan self reinventing sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Konsekuensinya, ke depan penataan organisasi akan terus menerus dilakukan dengan tujuan utama menjadikan Departemen Keuangan sebagai organisasi birokrasi yang peka terhadap tuntutan pelayanan publik dan menghasilkan kebijakan serta layanan yang adil dan rasional.

Page 43: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 2 Reformasi Birokrasi �1

2.3.2. Penyempurnaan Proses Bisnis

Proses bisnis yang telah dilaksanakan Departemen Keuangan menuntut dilakukannya penyempurnaan yang difokuskan dan diarahkan pada upaya meningkatkan layanan publik. Departemen Keuangan berusaha mengubah citra dari proses yang cenderung kurang memberi kepastian menuju proses yang pasti pada setiap tahapannya, sehingga dapat mengubah persepsi publik terhadap minimnya kualitas pelayanan dan rumitnya proses birokrasi. Dalam rangka menyempurnakan proses bisnis, Departemen Keuangan melakukan analisis dan evaluasi jabatan untuk memperoleh gambaran rinci mengenai tugas yang dilakukan setiap jabatan, menyusun Standard Operating Procedures (SOP) yang rinci dan dapat menggambarkan setiap jenis keluaran pekerjaan secara komprehensif, serta melakukan analisis beban kerja untuk dapat memperoleh informasi mengenai waktu dan jumlah pejabat yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan.

Analisis dan evaluasi jabatan berkontribusi dalam penyempurnaan proses bisnis dengan menghasilkan uraian jabatan dari setiap jabatan yang tersedia sehingga setiap individu yang menjabat dapat menghasilkan kinerja yang lebih terukur sesuai dengan tugas yang diembannya. SOP sebagai standar prosedur kerja dibuat agar dapat menciptakan pola kerja yang efektif dan cepat, serta proses bisnis yang transparan dan tidak berbelit-belit. Sedangkan analisis beban kerja diharapkan juga mampu mewujudkan efektivitas kerja dan efisiensi tenaga kerja yang dibutuhkan dalam sebuah proses bisnis Departemen Keuangan. Dengan ketiga alat tersebut, Departemen Keuangan dapat memberikan layanan prima kepada publik, yaitu layanan yang terukur dan pasti dalam hal waktu penyelesaian, persyaratan administrasi yang harus dipenuhi, dan biaya yang harus dikeluarkan. Masing-masing hal tersebut diarahkan untuk menghasilkan proses bisnis yang akuntabel dan transparan, serta mempunyai kinerja yang cepat dan ringkas.

2.3.2.1. Analisis dan Evaluasi Jabatan

Analisis dan Evaluasi Jabatan merupakan proses, metode, dan teknik untuk memperoleh data jabatan yang diolah menjadi informasi jabatan. Informasi jabatan di sajikan untuk kepentingan manajemen sumber daya manusia (SDM), sekaligus sebagai umpan balik bagi organisasi dan ketatalaksanaan. Hasil analisis dan evaluasi jabatan adalah uraian jabatan, yaitu pemaparan secara terperinci dan lengkap mengenai informasi suatu jabatan. Oleh karena itu, Analisis dan Evaluasi Jabatan bukan analisis pribadi atau terhadap individu atau personil, melainkan analisis atau penilaian terhadap jabatan.

Departemen Keuangan merintis pelaksanaan Analisis dan Evaluasi Jabatan sejak 1987. Untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan organisasi dan mendukung penerapan manajemen SDM yang profesional, pada 2007 Departemen Keuangan memelopori pembaruan pelaksanaan Analisis dan Evaluasi Jabatan yang mampu memenuhi kebutuhan yang lebih luas, seperti untuk keperluan penyusunan peringkat jabatan yang merupakan dasar penetapan remunerasi. Sementara itu, informasi jabatan disusun untuk mengukur tingkat kedalaman pengetahuan dan keterampilan (know how), tantangan pemikiran yang dibutuhkan dalam pekerjaan (problem solving), dan akuntabilitas dampak jabatan pada hasil akhir (accountability).

Untuk dapat mewujudkan informasi jabatan yang tepat-guna, dilakukan perubahan azas dari formalitas menjadi realitas, sesuai dengan substansi teknis jabatan yang bersangkutan. Di samping itu, diperlukan informasi jabatan baru yang selama ini belum ada, yaitu tujuan jabatan, dimensi jabatan, serta masalah dan tantangan jabatan.

Page 44: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Gambar 2.3. Proses Pelaksanaan Analisis dan Evaluasi Jabatan

Persiapan:- Pedoman- Analisis- Program

Pengumpulan Data:- Formulir- Responden- Teknik- Data Jabatan

Pengolahan Data:- Uraian Jabatan- Spesifikasi Jabatan- Peta Jabatan

Analisis Jabatan

Peringkat Jabatan Struktur Remunerasi

Evaluasi Jabatan

a. Prinsip Dasar Analisis Jabatan Prinsip yang mendasari pelaksanaan analisis jabatan adalah : (i) Memilah dan mengelola informasi ke dalam format uraian jabatan yang telah ditentukan. (ii) Yang dianalisis adalah jabatan, bukan pemangku jabatan. Tidak berkaitan dengan prestasi individu, pemangku jabatan hanya sebagai narasumber (responden). (iii) Sumber untuk menganalisis jabatan adalah fakta berdasarkan tugas pokok dan fungsi yang ditetapkan dalam statuta organisasi.

b. Job Grading (Peringkat Jabatan)Pemeringkatan jabatan adalah pengelompokan sejumlah jabatan yang memiliki bobot yang relatif sama. Peringkat jabatan merupakan cerminan atas besarnya tanggung jawab dan risiko pekerjaan. Tujuan peringkat jabatan adalah memberikan penghargaan kepada pegawai sesuai dengan tingkat tanggung jawab dan risiko jabatan/pekerjaan.

c. Prinsip dan Faktor dalam Peringkat JabatanPrinsip dalam penyusunan peringkat jabatan adalah:(i) Yang dievaluasi adalah jabatan/pekerjaan dan bukan pemangku jabatan (pejabat).(ii) Menghargai tanggung jawab pekerjaan.(iii) Mengakomodasi perbedaan tanggung jawab pekerjaan satu dengan lainnya.(iv) Sebagai dasar bagi pola mutasi dan perencanaan karier di Departemen Keuangan secara

profesional.

Sedangkan faktor dalam pemeringkatan jabatan adalah sebagai berikut :a. Input (Know-How) (i) Technical Know-How yaitu pengetahuan, kemampuan dan/atau kemampuan teknis atau spesifik tertentu yang diperlukan untuk dapat melakukan sebuah pekerjaan dengan kompeten. (ii) Managerial Know-How yaitu kemampuan untuk melakukan perencanaan, pengelolaan, penganggaran dan seluruh aspek pengelolaan (manajerial) lainnya yang dibutuhkan oleh jabatan tersebut. (iii) Human Relations Skills yaitu tingkat komunikasi efektif (interpersonal skills) yang perlu dimiliki oleh sebuah jabatan agar dapat memerankan jabatannya dengan baik.

Page 45: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 2 Reformasi Birokrasi ��

2.3.2.2. Penyusunan Standard Operating Procedures (SOP)

Standard Operating Procedures (SOP) adalah penetapan tertulis mengenai apa yang harus dilakukan, kapan, di mana, dan oleh siapa. SOP dibuat untuk menghindari terjadinya variasi dalam proses pelaksanaan kegiatan yang akan mengganggu kinerja organisasi secara keseluruhan. SOP merupakan mekanisme penggerak organisasi/lembaga agar dapat berjalan/berfungsi secara efektif dan efisien.

Departemen Keuangan memandang bahwa SOP dapat memberikan kepastian hukum dan transparansi bagi stakeholder. Bagi internal organisasi, SOP memperjelas persyaratan dan target pekerjaan dalam format yang siap diaplikasikan kepada pekerjaan, serta memberikan informasi dengan detail apa yang diharapkan oleh organisasi untuk dilakukan oleh pegawai dalam situasi yang dialami/dihadapi. Sementara, bagi pimpinan Departemen Keuangan, SOP dapat menyediakan informasi bagi perumusan strategi dan menyediakan implementasi peraturan perundang-undangan. Sejalan dengan pengembangan organisasi, SOP bermanfaat sebagai standarisasi cara yang dilakukan pegawai dalam menyelesaikan pekerjaan khusus, mengurangi kesalahan dan kelalaian, serta meningkatkan akuntabilitas.

Gambar 2.4. Faktor dalam Pemeringkatan Jabatan

• Technical Know-how• Managerial Know-how• Human Relations Skills

Input(Know-How)

JoB PRoFILE

output(Accountability)

• Freedom to Act• Magnitude• Impact on End Results

• Thinking Environment• Thinking Challenge

ProsesThroughput

(Problem Solving)

b. Output (Accountability) (i) Freedom to Act yaitu tingkat otoritas yang dimiliki sebuah jabatan dalam melakukan tanggung jawabnya untuk menghasilkan output. (ii) Magnitude yaitu nilai tambah bagi organisasi. (iii) Impact yaitu dampak jabatan pada output secara langsung maupun tidak langsung.

c. Proses Throughput (Problem Solving) (i) Thinking Environment yaitu tingkat kompleksitas dalam mengidentifikasi problem yang muncul dalam pekerjaannya. Pada umumnya semakin rutin sebuah pekerjaan, semakin mudah mengantisipasi problem-problem yang mungkin muncul. (ii) Thinking Challenge yaitu tingkat kompleksitas dalam memberikan solusi atas permasalahan yang timbul dalam pekerjaan.

Page 46: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan pada saat ini telah berhasil menyusun 6.579 SOP dengan 108 di antaranya dipilih menjadi SOP Layanan Unggulan (quick win). Untuk menjaga mutu layanan, pelaksanaan SOP terus di monitor, dievaluasi dan disempurnakan secara berkesinambungan, sehingga terwujud pelayanan prima. Layanan Unggulan (LU) tersebut merupakan upaya untuk memberikan layanan yang lebih cepat, pasti dan efektif. Dengan layanan unggulan, Departemen Keuangan dapat memberikan layanan prima kepada publik, yaitu layanan yang terukur dan pasti dalam hal waktu penyelesaian, persyaratan administrasi yang harus dipenuhi dan biaya yang harus dikeluarkan.

Layanan Unggulan Departemen Keuangan di antaranya adalah:a. Layanan Unggulan Direktorat Jenderal Pajak.

Contoh: Pelayanan Penyelesaian Permohonan Pendaftaran NPWP, Pelayanan Penyelesaian Permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan Pelayanan Penyelesaian Permohonan Restitusi PPN.

b. Layanan Unggulan Direktorat Jenderal Bea Cukai. Contoh: Pelayanan Pabean untuk Jalur Prioritas, Pelayanan Pabean untuk Jalur Hijau, Pelayanan Pabean untuk Jalur Merah, dan Pelayanan Pabean di Bidang Ekspor.c. Layanan Unggulan Direktorat Jenderal Anggaran. Contoh: Pelayanan Penyelesaian Lampiran Perpres Tentang SAPSK, Pelayanan Penyelesaian Revisi SAPSK (APBNP), dan Pelayanan Penyelesaian Standar Biaya Khusus.d. Layanan Unggulan Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Contoh: Pelayanan Penelaahan dan Pengesahan DIPA Pusat, Pelayanan Penerbitan SP2D pada KPPN Percontohan, dan Pelayanan Penatausahaan Penerimaan melalui Modul Penerimaan Negara.e. Layanan Unggulan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Contoh: Pelayanan Pelaksanaan Lelang, Pelayanan Permohonan Ijin Penghapusan BMN selain Tanah/Bangunan, dan Pelayanan Permohonan Keringanan Utang.f. Layanan Unggulan Bapepam – LK.

Contoh: Pelayanan Pengajuan Pernyataan Pendaftaran Emiten / Perusahaan Publik, Pelayanan Pemberian/Penolakan Ijin Usaha Perusahaan Asuransi/Reasuransi termasuk perusahaan dengan prinsip syariah.

2.3.2.3. Analisis Beban Kerja

Jumlah kebutuhan pegawai pada instansi Pemerintah hingga saat ini belum seluruhnya dihitung secara tepat. Penetapan jumlah pegawai yang dibutuhkan, dalam beberapa kasus, cenderung berdasarkan perkiraan semata, yang berakibat pada ketidakefisienan organisasi. Apabila organisasi kekurangan pegawai maka tugas terbengkalai dan beban kerja perorangan berat. Sebaliknya, jika terjadi kelebihan pegawai dapat menimbulkan kecemburuan akibat beban kerja tidak merata. Dalam membagi tugas, akan terjadi suka dan tidak suka. Pegawai yang rajin akan diberikan banyak tugas, namun yang kurang rajin tidak diberi tugas, dengan gaji relatif sama. Perbandingan jumlah dan beban kerja pegawai yang tidak proporsional juga dapat menimbulkan persaingan tidak sehat antar-unit kerja.

Fenomena tersebut mendorong Departemen Keuangan melakukan Analisis Beban Kerja. Pelaksanaan Analisis Beban Kerja dilakukan dengan membandingkan jumlah jam kerja efektif per tahun setiap pegawai yang digunakan untuk melakukan pekerjaan yang ditugaskan dengan jumlah jam kerja untuk menghasilkan keluaran. Setiap keluaran/kegiatan-aktivitas harus ditentukan satuannya (lembar, frekuensi, orang, dll), dan volume kerjanya. Setiap satuan produk tersebut memerlukan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan/memproses. Kelak ini akan menjadi waktu standar (norma waktu) dan akan berfungsi sebagai variabel tetap dalam pelaksanaan analisis beban kerja. Sedang sebagai variabel tidak tetap yang selalu hampir akan berubah setiap tahun adalah volume kerja.

Page 47: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 2 Reformasi Birokrasi ��

Semua produk/outputs/kegiatan/aktivitas unit kerja dan norma waktu yang diperlukan oleh setiap jabatan terkait didata, baik tugas pokok, tugas tambahan, tugas rutin, maupun tugas insidentil yang terkait dengan kedinasan. Tugas-tugas di luar kedinasan seperti mengurus koperasi, Bapor, dan sejenisnya tidak ikut didata. Dalam melakukan pendataan, didata pula jumlah pegawai/pejabat yang ada.

Data tersebut selanjutnya diolah untuk menghitung beban/bobot kerja setiap jabatan dalam suatu unit kerja. Berdasarkan hasil perhitungan beban kerja tersebut, selanjutnya dapat dihitung jumlah kebutuhan pegawai per jabatan, sekaligus akan dapat dihitung kelebihan/kekurangan pegawai berdasarkan jabatan. Setelah semua unit organisasi dihitung, selanjutnya dihitung Kebutuhan Pejabat/Pegawai unit, tingkat efisiensi jabatan unit (EU), dan Prestasi kerja Unit (PU).

2.3.3. Peningkatan Manajemen Sumber Daya Manusia

Segala hal yang berkaitan dengan pegawai negeri sipil sebelumnya selalu disebut dengan istilah “kepegawaian” yang identik dengan urusan administratif. Seperti pengangkatan, kepangkatan dan penggajian pegawai, penyelesaian mutasi, pemberhentian dan pemensiunan, serta tata usaha kepegawaian. Konsekuensinya, hal-hal yang berkaitan dengan perencanaan dan pengembangan pegawai menjadi kurang tampak sehingga terkesan tidak menjadi prioritas organisasi.

Perubahan paradigma kepegawaian di Departemen Keuangan dimulai pada akhir tahun 2006, ditandai dengan kajian mengenai penajaman fungsi Biro Kepegawaian sebagai unit yang melaksanakan pengelolaan dan pembinaan kepegawaian. Kajian meliputi perbaikan mekanisme kerja dan desain struktur organisasi untuk mengoptimalisasikan fungsi berupa: perencanaan sumber daya manusia dan rekrutmen, pembangunan pola mutasi, pembangunan system assessment center, pembangunan sistem informasi kepegawaian yang terintegrasi, peningkatan akuntabilitas, dan peningkatan koordinasi serta kolaborasi dengan unit pembina kepegawaian dan unit teknis terkait.

Perubahan istilah “kepegawaian” menjadi “sumber daya manusia” merupakan bagian dari perubahan paradigma pembinaan sumber daya manusia (SDM) dalam konteks Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan. Perubahan tersebut tidak semata-mata menyangkut istilah, tetapi lebih dari itu merupakan perubahan sistem pengelolaan dan pembinaan SDM.

Page 48: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Prinsip peningkatan manajemen SDM meliputi peningkatan kualitas, penempatan SDM yang kompeten pada tempat dan waktu yang sesuai, sistem pola karir yang jelas dan terukur, pengelolaan SDM berbasis kompetensi, serta keakuratan dan kecepatan penyajian informasi SDM sesuai kebutuhan manajemen. Program peningkatan manajemen SDM terdiri dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi, pembangunan assessment center, penyusunan pola mutasi, peningkatan disiplin, dan pengintegrasian Sistem Informasi Pegawai (SIMPEG). Rekrutmen di Departemen Keuangan telah ditingkatkan kualitas pelaksanaannya sejak awal tahun 1980-an. Reformasi Birokrasi di bidang rekrutmen pegawai saat ini lebih ditekankan pada penggunaan teknologi informasi yang berbasis online (e-recruitment). Hasil positif yang telah dicapai adalah rekrutmen yang dilaksanakan Departemen Keuangan selama ini telah berjalan bersih dari praktik KKN dan memiliki sistem seleksi yang lebih unggul.

Seluruh kegiatan tersebut merupakan bagian integral dari program perencanaan dan pengembangan SDM, sehingga Departemen Keuangan ke depan akan memiliki SDM yang profesional dan bertanggung jawab, yang akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat.

2.3.3.1. Penyelenggaraan Diklat Berbasis Kompetensi

Manajemen modern melihat kompetensi sumber daya manusia (SDM) dari dua sisi, yaitu hard competency dan soft competency. Hard competency adalah keahlian yang dapat dipelajari melalui pendidikan formal atau nonformal. Misalnya, seorang Kepala Biro Hukum seyogyanya memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang hukum. Karena pejabat tersebut dalam kesehariannya berkomunikasi dengan orang asing maka dipersyaratkan pula bagi kandidat untuk memiliki kompetensi berbahasa asing yang dapat dipelajarinya melalui pendidikan formal atau nonformal.

Gambar 2.5. Program Peningkatan Manajemen Sumber Daya Manusia

Pembangunan Assessment

Diklat Berbasis Kompetisi

Peningkatan Disiplin PNS

PengintegrasianSIMPEGTM

Pedoman PolaMutasi

Page 49: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 2 Reformasi Birokrasi ��

Pada pekerjaan atau jabatan yang bersifat teknis, hard competency menjadi hal yang dominan bagi seseorang untuk melaksanakan pekerjaan/jabatan tersebut secara profesional. Sebaliknya, semakin tinggi level jabatan dalam manajemen/organisasi maka yang diperlukan adalah soft competency. Kompetensi ini terkait antara lain dengan visi, kepemimpinan, kemampuan analisis, dan kemampuan menjalin komunikasi/hubungan. Dulu orang berpikir bahwa hal-hal semacam itu merupakan gift yang dibawa sejak lahir. Namun, seiring dengan perkembangan manajemen sumber daya manusia, soft competency dapat dipelajari, dibentuk, dan ditingkatkan. Cara yang lazim dilakukan adalah melalui pendidikan dan latihan (diklat) berbasis kompetensi, dengan menggunakan misalnya metode pembelajaran dalam kelas maupun learning by doing seperti penugasan yang menuntut seseorang untuk menampilkan soft competency nya.

Sependapat dengan pemikiran tersebut, Departemen Keuangan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM menyelenggarakan diklat berbasis kompetensi yang mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi. Output kegiatan ini berupa SDM yang kompeten sesuai tuntutan jabatan/pekerjaan. Berdasarkan kajian dan evaluasi, kebutuhan Departemen Keuangan saat ini lebih mengarah pada SDM dengan soft competency yang sesuai dengan persyaratan jabatan.

Sebagai langkah awal, Departemen Keuangan telah menyusun standar kompetensi untuk seluruh jabatan eselon II dan sebagian jabatan eselon III yang strategis. Langkah tersebut diikuti dengan pelaksanaan assessment center untuk melihat profil kompetensi pejabat eselon II dan eselon III. Saat ini sedang dilakukan evaluasi atas standar kompetensi yang dipersyaratkan jabatan terhadap kompetensi yang dimiliki oleh pejabat pada jabatan tersebut. Apabila terdapat kesenjangan antara standar kompetensi yang dipersyaratkan dengan kompetensi yang dimiliki oleh kandidat/pejabat maka dilakukan upaya peningkatan kompetensi agar sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, di antaranya melalui training berbasis kompetensi.

Kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan atau keahlian yang lebih dari sekadar ketrampilan belaka, namun merupakan hasil dari pengalaman yang melibatkan pemahaman/pengetahuan, tindakan nyata, serta proses mental yang terjadi dalam jangka waktu tertentu serta berulang-ulang sehingga menghasilkan kemampuan/keahlian dalam bidang tertentu. Oleh karena itu, dikatakan pula bahwa kompetensi dibentuk oleh interaksi antara faktor pengalaman dan faktor bawaan. Kompetensi digunakan pula untuk menggambarkan pengelompokan pengetahuan, keahlian, dan perilaku yang menentukan keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam pekerjaan.

Pengelompokan pengetahuan, keahlian, dan perilaku yang dimaksud tersebut bukanlah pengelompokan yang terpisah-pisah yang memiliki batas-batas yang tegas, namun merupakan cluster atau pengkategorisasian berdasarkan ciri-ciri yang menonjol dan unik dan saling berhubungan satu sama lain. Misalnya, kompetensi perilaku Managing Others memiliki unsur-unsur yang berhubungan dengan kompetensi perilaku lain seperti In-depth Problem Solving and Analysis dan juga Planning & Organizing. Secara umum, kompetensi Departemen Keuangan ini dibagi menjadi 3 cluster kompetensi, yaitu kelompok kompetensi yang berhubungan dengan aspek thinking, working, dan relating.

2.3.3.2. Pembangunan Assessment Center

Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan telah menghasilkan organisasi yang tertata dan proses bisnis yang efektif serta efisien, sehingga dengan sendirinya membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang profesional untuk melaksanakan tugas. Untuk itu, perlu dikembangkan Manajemen SDM berbasis kompetensi. Manajemen SDM berbasis kompetensi mengisyaratkan perlunya ketersediaan informasi yang berkaitan dengan kompetensi. Dalam hal ini, dua pilar utamanya adalah kompetensi yang dipersyaratkan oleh jabatan, lazim disebut dengan Standar Kompetensi Jabatan; dan kompetensi yang dimiliki oleh pegawai.

Page 50: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Untuk menyusun Standar Kompetensi Jabatan dan mengidentifikasi kompetensi pegawai, diperlukan suatu sistem pengukuran tertentu. Dalam era reformasi, keterbukaan dan transparansi, di mana prinsip-prinsip akuntabilitas dijunjung tinggi, sistem pengukuran kompetensi yang digunakan haruslah sistem yang fair dan objektif sehingga bisa diterima oleh organisasi, pimpinan organisasi, maupun pegawainya. Untuk itu, pada 2007 Departemen Keuangan membangun Assessment Center sebagai salah satu program Reformasi Birokrasi di bidang SDM.

Assessment Center adalah suatu proses sistematik untuk menilai kompetensi perilaku individu yang dipersyaratkan bagi keberhasilan dalam pekerjaan dengan menggunakan beragam metode dan teknik evaluasi, serta dilaksanakan oleh beberapa assessor dan diterapkan kepada lebih dari 1 orang assessee. Sebagai suatu metode penilaian yang berbasis perilaku dan melibatkan beragam teknik evaluasi serta bermacam alat ukur, Assessment Center dinilai sebagai suatu sistem yang memiliki akurasi cukup tinggi dalam menilai kompetensi pegawai. Hasil Assessment Center diharapkan dapat memberikan informasi yang objektif mengenai profil kompetensi pegawai, baik untuk kepentingan manajemen maupun pimpinan.

Selain sebagai metode untuk mengidentifikasi profil kompetensi pegawai, Assessment Center dalam perkembangannya dapat digunakan sebagai program Pelatihan dan Pengembangan SDM (Training and Development), Pengembangan Karir (Career Development), Manajemen Kinerja (Performance Management), serta Perencanaan dan Seleksi SDM (HR Planning and Selection), yang disesuaikan dengan kebutuhan Departemen Keuangan di masa mendatang. Dengan pembangunan Assessment Center ini diharapkan tersedia pertimbangan objektif bagi Departemen Keuangan dalam penempatan dan pengembangan SDM.

a. Konsep Assessment Center

Gambar 2.6. Konsep Assessment Center

MultipleAssessee

Multiple Rater/Assesor

Multiple Tools

IntegratedEvaluation

b. Ruang Lingkup Assessment Center (i) Recruitment and selection (Rekrutmen dan seleksi) (ii) Training and development (Pelatihan dan pengembangan) (iii) Career and succession plan (Perencanaan suksesi dan karir) (iv) Performance management (Pengelolaan kinerja) (v) Reward and recognition (Penghargaan dan Pengakuan) (vi) Industrial relation (Hubungan Industrial)

2.3.3.3 . Penyusunan Pedoman dan Penetapan Pola Mutasi

Dalam rangka menjamin objektivitas dan transparansi dalam perpindahan jabatan karir bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Keuangan, saat ini Tim Reformasi Birokrasi Pusat telah menyusun Konsep Peraturan Menteri Keuangan tentang Pedoman Penyusunan Pola Mutasi Jabatan Karir di lingkungan Departemen Keuangan.

Page 51: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 2 Reformasi Birokrasi �9

Pedoman Penyusunan Pola Mutasi Jabatan Karir di lingkungan Departemen Keuangan akan menjadi acuan bagi setiap unit eselon I di lingkungan Departemen Keuangan dalam menyusun pola mutasi jabatan karir. Jabatan karir adalah jabatan struktural (eselon II, III, dan IV) dan jabatan fungsional yang hanya dapat diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil.Pola Mutasi jabatan karir meliputi: a. Perpindahan jabatan vertikal, terdiri dari: (i) Perpindahan jabatan struktural dari eselon yang lebih rendah ke eselon yang lebih tinggi,b. Perpindahan jabatan horizontal, terdiri dari: (i) Perpindahan jabatan struktural dalam eselon yang sama, atau (ii) Perpindahan jabatan fungsional dalam tingkat yang sama pada unit yang berbeda. c. Perpindahan jabatan diagonal, terdiri dari: (i) Perpindahan jabatan struktural ke dalam jabatan fungsional, atau (ii) Perpindahan jabatan fungsional ke dalam jabatan struktural.

Pola mutasi jabatan karir bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Keuangan perlu mempertimbangkan beberapa aspek sebagai berikut:a. Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur perpindahan jabatan struktural atau jabatan fungsional.b. Unsur prestasi kerja.c. Jangka waktu menduduki jabatan dan lokasi unit kerja.d. Peringkat jabatan.e. Hukuman disiplin PNS, dalam hal PNS yang bersangkutan pernah dikenakan sanksi atas pelanggaran disiplin pegawai.f. Persyaratan khusus yang ditentukan unit eselon Pengecualian atas aspek yang dipertimbangkan sebagaimana dimaksud di atas butir b sampai dengan f merupakan kewenangan Menteri Keuangan. Setiap Unit eselon I wajib menyusun dan melaksanakan pola mutasi jabatan karir dengan berpedoman pada PMK tentang Pedoman Pola Mutasi ini.

2.3.3.4. Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil

Bergulirnya Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan, selain meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan stakeholder, juga diharapkan dapat meningkatkan disiplin Pegawai Negeri Sipil Departemen Keuangan. Peningkatan disiplin pegawai sebenarnya telah diatur, di antaranya oleh Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS, Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 15/KMK.01/UP.6/1985 Tentang Ketentuan Penegakkan Disiplin Kerja Dalam Hubungan Pemberian Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara Kepada Pegawai Dalam Lingkungan Departemen Keuangan Republik Indonesia, dan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Nomor SE-99/SJ/2000 Tentang Penegakan Disiplin Kerja Dalam Hubungan Pemberian Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara. Dalam kerangka penegakan disiplin terdapat pula Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 29/PMK.01/2007 sebagaimana telah diubah dengan PMK No. 71/PMK.01/2007. Untuk lebih meningkatkan, mengaplikasikan, dan menegakkan disiplin dalam kinerja keseharian pegawai di Departemen Keuangan, diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 29/PMK.01/2007. PMK tersebut mewajibkan setiap unit Eselon I Departemen Keuangan menyusun kode etik pegawai negeri sipil yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing unit. Demi menjamin terpeliharanya integritas, akuntabilitas, dan nilai-nilai moral SDM yang profesional, Departemen Keuangan menyusun pedoman peningkatan disiplin dan kode etik untuk setiap unit kerja eselon I, serta membentuk majelis kode etik, sebagaimana diatur dalam PMK No. 72/PMK.01/2007 tanggal 28 Juni 2007 tentang Majelis Kode Etik di lingkungan Departemen Keuangan.

Page 52: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Kode Etik menuntun pegawai dalam bersikap dan berperilaku. Pegawai dapat dikenakan sanksi moral apabila melanggar kode etik yang penyampaiannya dilakukan secara tertutup atau terbuka. Untuk itu, telah ditetapkan KMK Nomor 293/KMK.01/2007 Tentang Pendelegasian Wewenang Kepada Para Pejabat di lingkungan Departemen Keuangan untuk memberikan sanksi moral atas Pelanggaran Kode Etik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Keuangan. Upaya penegakan disiplin juga dilakukan secara simultan di unit eselon I Departemen Keuangan, seperti pembentukan Inspektorat Bidang Investigasi di Inspektorat Jenderal, Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur di Direktorat Jenderal Pajak, Unit Kepatuhan Internal pada Kantor Pelayanan Utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta Biro Kepatuhan Internal di Bapepam-Lembaga Keuangan.

2.3.3.5. Pengintegrasian Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMPEG)

Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian atau SIMPEG merupakan urat nadi bagi pengembangan sumber daya manusia dalam suatu organisasi modern. SIMPEG di Departemen Keuangan telah dirintis pengembangannya sejak 1982, namun pada 2000-2006 mengalami stagnasi akibat keterlambatan melakukan investasi. Dengan bergulirnya Reformasi Birokrasi, pengembangan SIMPEG di Departemen Keuangan menjadi hal yang krusial untuk mendukung agenda reformasi birokrasi, khususnya pada peningkatan manajemen sumber daya manusia.

SIMPEG yang secara umum dipahami sebagai sistem informasi manajemen kepegawaian yang meliputi baik perangkat keras, perangkat lunak, piranti jejaring komputer, maupun prosedur operasinya yang tentu erat kaitannya dengan regulasi atau kebijakan pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan tentang manajemen SDM di lingkungannya. Departemen Keuangan yang merupakan holding type organization memiliki banyak unit vertikal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan bermacam proses bisnis yang berbeda. Kegagalan sistem mainframe menghadapi Y2K berimbas pada perubahan SIMPEG Depkeu.

Sistem yang sebelumnya terpusat menjadi terdistribusi, baik sistem database, sistem aplikasi, maupun prosedur operasi pada masing-masing unit eselon I. Kondisi seperti ini telah dibiarkan terlalu lama sehingga SIMPEG Depkeu yang terpecah-pecah pada masing-masing unit eselon I, yang tentunya mengalami pengembangan masing-masing, semakin tidak terintegrasi satu sama lain. Kebutuhan akan ketersediaan SIMPEG yang dapat memenuhi kebutuhan masing-masing unit eselon I tidak dapat segera dipenuhi oleh corporate IT di pusat karena kekurangan SDM IT, keterbatasan prasarana, dan belum menjadi prioritas kebijakan pimpinan Departemen Keuangan.

Pengintegrasian SIMPEG meliputi kegiatan: a. Pembenahan SOP pertukaran data, penerapan standarisasi pengodean database kepegawaian untuk memudahkan pertukaran data antar-unit.b. Penerapan pelaporan data dari unit kerja eselon I ke Sekretariat Jenderal.c. Pengembangan aplikasi baru SIMPEGTM. d. Pengembangan sistem aplikasi assessment center.

Pengintegrasian SIMPEG bertujuan meningkatkan pelayanan pemberian informasi SDM yang akurat dan cepat, serta menunjang bisnis proses pembinaan SDM.

SIMPEG yang andal adalah SIMPEG yang mampu menampilkan berbagai informasi kepegawaian yang akurat dan terkini, serta mampu mendukung proses bisnis manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Hal tersebut membutuhkan SIMPEG terpadu yang beroperasi secara online pada setiap unit eselon I Departemen Keuangan. Kondisi SIMPEG Depkeu saat ini yang terdistribusi, baik sistem aplikasi maupun database, berdampak negatif terhadap core business pengembangan manajemen SDM.

Page 53: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 2 Reformasi Birokrasi �1

Saat ini telah dirumuskan konsep kebijakan pengembangan SIMPEG yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor: 19/PMK.01/2007 tentang Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian di Lingkungan Departemen Keuangan. Peraturan tersebut memuat 2 (dua) hal penting sebagai kerangka acuan proses pembenahan dan pengembangan SIMPEG, yaitu Pengembangan Jangka Pendek dan Pengembangan Jangka Menengah.

a. Pengembangan Jangka PendekPengembangan jangka pendek SIMPEG diarahkan pada pengintegrasian SIMPEG di lingkungan Departemen Keuangan melalui penyeragaman struktur, susunan, urutan, dan kodifikasi elemen data kepegawaian (termasuk tabel-tabel referensi yang terkait), antara lain elemen data status kepegawaian, unit organisasi, jabatan, pangkat, pendidikan, diklat, hukuman disiplin, dan penghargaan; serta pembakuan sistem dan prosedur pemutakhiran data kepegawaian.

Pembakuan sistem dan prosedur pemutakhiran data kepegawaian yang meliputi antara lain sistem dan prosedur, metode atau tata cara, ruang lingkup, batasan-batasan, dan periode pelaksanaan dilakukan dengan menetapkan: (i) Sistem dan prosedur perekaman data; (ii) Sistem dan prosedur pertukaran data; (iii) Pembagian kewenangan pemutakhiran data; (iv) Pembuatan modul sinkronisasi data kepegawaian.

b. Pengembangan Jangka MenengahPengembangan jangka menengah SIMPEG diarahkan pada pengembangan SIMPEG terpadu (on line system) yang mendukung Sistem Informasi Eksekutif, Sistem Dukungan Pengambilan Keputusan, dan Pusat Penilaian (Assessment Center). Pengembangan jangka menengah SIMPEG dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal dengan mempertimbangkan kebutuhan aplikasi kepegawaian dan sistem informasi kepegawaian pada masing masing Unit Organisasi Eselon I.

c. TantanganUntuk membangun SIMPEG yang terpadu pada seluruh unit eselon I Departemen Keuangan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai tantangan yang muncul, antara lain: (i) Penerapan standarisasi struktur dan konstrain database kepegawaian pada masing-masing database kepegawaian mengharuskan adanya modifikasi atau customisasi pada aplikasi end user. Hal ini mengharuskan penyediaan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak bisa dikatakan sedikit. (ii) Peralihan ke sistem baru yang belum teruji kelayakannya akan membangkitkan resistensi

masing-masing unit eselon I yang sudah merasa cukup mapan dan terpenuhi kebutuhan operasionalnya oleh sistem yang sudah ada terhadap penerapan sistem baru.

(iii) Membutuhkan persiapan lebih dini terhadap penyediaan SDM yang mampu mengoperasionalisasikan, memelihara, dan mengembangkan sistem yang baru. Hal ini perlu perencanaan matang dari segi peningkatan kualitas dan kuantitas SDM di bidang IT.

d. Strategi Penerapan Pengembangan Kebijakan SIMPEGDalam rangka membangun SIMPEG yang terintegrasi, telah dilakukan koordinasi dengan seluruh jajaran unit di lingkungan Departemen Keuangan, terutama guna melaksanakan kegiatan sinkronisasi status atau kondisi data kepegawaian antar masing-masing unit eselon I dengan data kepegawaian pada database kepegawaian pusat. Kegiatan ini dilakukan dengan membangun program aplikasi modul konversi dan filtering data kepegawaian. a. Modul konversi adalah paket aplikasi yang dapat menterjemahkan kode-kode referensi data kepegawaian pada setiap unit eselon I diterjemahkan menjadi kode-kode referensi data kepegawaian pada database pusat. Modul ini berisi sekelompok prosedur penerjemah data dan database yang berisi tabel-tabel kamus data atau kamus kode referensi.

Page 54: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

b. Modul filtering adalah sekelompok prosedur yang dapat menyaring data-data hasil konversi untuk dijadikan sebagai input atau update data terbaru pada database kepegawaian pusat.

Tercapainya kondisi data kepegawaian yang telah sinkron antara masing-masing unit eselon I dengan database kepegawaian pusat diharapkan mampu mengeliminasi beberapa hambatan dalam penerapan SIMPEG terpadu 2008.

2.4. Pengukuran Kinerja

Perkembangan global, perubahan kondisi makro Indonesia, dan dinamika internal menuntut dilaksanakannya Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan. Seiring dengan hal tersebut, Menteri Keuangan selaku pimpinan Departemen Keuangan melihat perlunya melakukan revisi Roadmap 2008-2009, sekaligus melaksanakan percepatan implementasinya.

Strategi yang dipilih dalam percepatan implementasi Roadmap 2008-2009 didasarkan pada sistem manajemen berbasis kinerja. Tahap yang dilakukan adalah menerjemahkan visi ke dalam peta strategi yang lebih spesifik dan menuangkannya dalam bentuk Indikator Kinerja Utama (Key Performance Indicator/KPI). Langkah ini akan menjadikan Departemen Keuangan lebih efektif, transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan Roadmap.

Untuk mendukung langkah tersebut, telah dilakukan penyempurnaan Depkeu-Wide Strategy Map berikut penajaman sasaran strategis dan Indikator Kinerja Utama (IKU) pada Depkeu-Wide. Depkeu-Wide adalah sistem manajemen kinerja berbasis BSC yang diperuntukkan bagi level Departemen (Menteri Keuangan). Selanjutnya, dilakukan kontrak kinerja Depkeu-One oleh masing-masing pimpinan unit Eselon I. Depkeu-One adalah sistem manajemen kinerja berbasis BSC yang diperuntukkan bagi level eselon di lingkungan Depkeu. Dampak dari penerapan Balance Scored Card (BSC) di lingkungan Departemen Keuangan dapat dilihat dari keseriusan para Eselon I dalam mengelola IKU, sehingga pada akhirnya seluruh jajaran Departemen Keuangan dapat memahami apa yang harus dicapai, bagaimana mencapainya, dan apa yang dikerjakan dalam core business Departemen Keuangan. Dalam jangka panjang, pengukuran kinerja juga akan dikembangkan sampai dengan penyusunan Balanced Score Card bagi individu.

Berdasarkan definisinya, BSC adalah suatu alat manajemen kinerja yang dapat membantu suatu organisasi untuk mentranslasikan visi dan strategi ke dalam aksi dengan memanfaatkan sekumpulan indikator finansial dan non-finansial yang kesemuanya terjalin dalam suatu hubungan sebab akibat.

Untuk mengaplikasikan BSC tersebut, telah dibentuk rencana kerja sebagai berikut :a. Menyusun rencana Depkeu-Three di lingkungan Depkeu;b. Melakukan pelatihan bagi pengelola kinerja Depkeu-One dan Depkeu-Two berbasis BSC;c. Menyusun bulletin pengembangan dan operasionalisasi kinerja berbasis BSC; d. Menyusun manual integrasi laporan perencanaan kinerja dan anggaran (PBB); e. Melakukan diseminasi/sosialisasi konsep BSC.

Berdasarkan program prioritas Roadmap 2008-2009 dan arahan Menteri Keuangan, saat ini telah disusun lima tema peta strategi dan KPI, yang meliputi tema pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan APBN, kekayaan negara, serta pasar modal dan lembaga keuangan non-bank.

Page 55: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 2 Reformasi Birokrasi ��

Gambar 2.7. MOF strategy MAP, Executive Summary

MoF STRATEGY MAP – EXECUTIVE SUMMARY

Pengawasan dan Penegakan Hukum

Pelayanan, Pengelolaan, dan PengembanganPerumusan Kebijakan

SDM organisasi Informasi

DK 1Tingkat pendapatan

yang optimal

DK 2Alokasi dan

pelaksanaan belanja negara yang

tepat waktu efisien

DK �Pembiayaan

yang aman bagi kesinambungan

fiskal

DK �Pengelolaan

kekayaan negara yang optimal

DK �Terciptanya pasar

modal yang teratur, wajar, efisien, LKNB yang sehat, tumbuh

secara solid, kompetitif, dan melindungi

kepentingan masyarakat

Pelaku pasar modal & LKNBKL & BUMNKreditor &

Investor KL & PemdaPerusahaan, Perorangan,

& KL

Lear

ning

and

Gro

wth

Pers

pect

ive

Inte

rnal

Pro

cess

Pers

pect

ive

Cust

omer

Pers

pect

ive

Stak

ehol

der P

ersp

ectiv

e/St

rate

gic o

utco

mes

Pengelolaan keuangan negara yang akuntabel dan kredibel

DK �Kepastian hukum dan transparansi

DK 11Pelaksanaan

pengaturan, pembinaan, dan pengawasan

industri pasar modal dan LKNB yang

profesional

DK 10Penyelesaian permohonan pengelolaan

kekayaan negara tepat waktu

DK 9Tranparansi dan

kredibilitas

DK �Transparansi dan

mekanisme yang sederhana

DK �Fiscal Balance

DK 12Kajian dan perumusan

kebijakan yang berkualitas

serta menjamin kepastian hukum

DK 1�Pelayanan prima

DK 1�Meningkatkan

monitoring dan evaluasi,

kepatuhan dan penegakan

hukum

DK 1�Meningkatkan

efisiensi dan efektifitas

pengelolaan keuangan dan

kekayaan negara

DK 1�Meningkatkan

pemahaman masyarakat dan pelaku ekonomi

akan fungsi Depkeu

DK 1�Merekrut dan

megembangkan SDM yang

berintegritas dan berkompetensi

tinggi

DK 1�Mengembangkan

organisasi yang handal

dan modern

DK 19Mewujudkan

good governance

DK 20Membangun sistem

informasi yang terintegrasi

Page 56: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

2.5. Summary

Rencana kegiatan Departemen Keuangan dalam konteks Reformasi Birokrasi difokuskan pada tiga kegiatan utama, yaitu Penataan Organisasi, Penyempurnaan Proses Bisnis, dan Peningkatan Manajemen Sumber Daya Manusia.

2.5.1. Penataan Organisasi

a. Target

(i) Target pembentukan kantor modern Departemen Keuangan antara lain berupa Kantor Madya dan Pratama DJP (di luar Jawa dan Bali), KPPN percontohan DJPB, KPU DJBC, dan KPKNL DJKN. (ii) Membuat evaluasi dan kajian struktur organisasi Depkeu dan penyempurnaan organisasi dan tata kerja beberapa Eselon I.

b. Pencapaian

Tahun 2008(i) Pembentukan kantor modern DJP (di luar P. Jawa dan Bali). (ii) Pembentukan 2 KPU. (ii) Pembentukan 3 KPPBC Madya. (iv) Penataan Organisasi seluruh unit eselon I (PMK 100).

2.5.2. Penyempurnaan Proses Bisnis

a. Target

(i) Monitoring dan evaluasi penerapan uraian jabatan dan peringkat jabatan. (ii) Menyempurnakan uraian jabatan dan peringkat jabatan. (iii) Monitoring dan evaluasi SOP sekaligus penyempurnaannya.

b. Pencapaian

Tahun 2009(i) Pembentukan pusat LPSE. (ii) Pembentukan KPP WP besar orang pribadi.(iii) Pembentukan Direktorat/Pusat kepatuhan internal.(iv) Pembentukan KPPBC madya pabean.(v) Identifikasi penyusunan road map dan susunan organisasi berdasarkan kabinet baru.

Tahun 2008(i) 19.970 uraian jabatan eselon I – pelaksana. (ii) 27 peringkat seluruh jabatan struktural, termasuk pelaksana dan jabatan fungsional. (iii) KMK 316/KMK.01/ 2008 mengatur perubahan Grade pelaksana terkait dengan penghapusan range golongan. (iv) PMK 190/PMK.01/ 2008: pedoman penetapan, evaluasi, penilaian, grade pelaksana.

Tahun 2009• Menyusun RPMK pedoman penilaian kinerja individu. • Menyusun RPMK tentang tunjangan tambahan sebagai tunjangan kinerja individu. • Melakukan evaluasi jafung. • Penyempurnaan PMK 190.

Page 57: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 2 Reformasi Birokrasi ��

Standard Operating Procedures (SOP)

Tahun 2008(i) Tersusun 6.579 SOP Depkeu (ii) Penetapan 35 SOP layanan unggulan untuk unit yang secara langsung melakukan pelayanan kepada publik. (iii) Melakukan identifikasi layanan unggulan baru.(iv) Telah dibangun proses layanan pengadaan secara elektronik.(v) Berdasarkan monitoring snapshot terhadap terhadap 132 SOP, diperoleh skor monev rata-rata sebesar 83.06.

Tahun 2009• Penambahan 49 SOP LU: SETJEN 4 SOP LU, DJA 2 SOP LU, DJP 19 SOP LU, DJBC 16 SOP LU, DJPB 3 SOP LU, DJKN 5 SOP LU Total layanan unggulan hingga tahun 2009 sebanyak 108 SOP layanan unggulan

Analisis Beban Kerja

Tahun 2008(i) Melaksanakan Analisis Beban Kerja untuk 8 unit yang tidak mempunyai kantor vertikal. (ii) Uji petik terhadap kantor vertikal DJP, DJPB, DJKN, dan DJBC. (iii) Mengkaji kebijakan exit strategy kelebihan pegawai.

Tahun 2009(i) Melaksanakan ABK untuk unit yang tidak mempunyai kantor vertikal (data beban kerja tahun 2008).(ii) Melaksanakan uji petik ABK lanjutan untuk unit yang mempunyai kantor vertikal

(i) Pengintegrasian sistem aplikasi AC ke dalam Sistem Informasi Kepegawaian.(ii) Melanjutkan pelaksanaan AC terhadap seluruh pejabat Eselon III.(iii) Mempersiapkan prasarana dan sarana dalam upaya pembangunan AC. (iv) Melakukan uji coba AC unit yang mandiri serta menerapkan hasil AC dalam pengembangan karir.(v) Pengembangan/Capacity Building untuk pejabat Eselon II melalui penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi. (vi) Menyempurnakan pola mutasi dengan menyelesaikan Pedoman Pola Mutasi, menyusun juknis, dan memfasilitasi penyusunan pola mutasi masing-masing unit Eselon I.

2.5.3. Peningkatan Manajemen Sumber Daya Manusia

a. Target

Page 58: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

b. Pencapaian

Assessment Center

Tahun 2008(i) Telah terlaksana AC terhadap 214 Eselon II dan 1.349 Eselon III.(ii) Telah tersusun program aplikasi AC. terkait dengan data base SIMPEG.(iii) Telah dimulai AC secara Mandiri di setiap unit Eselon I.

Tahun 2009(i) Capacity Building untuk assessor internal.(ii) Pelaksanaan AC secara parsial untuk Eselon II dan III.(iii) Memfasilitasi unit Eselon I dalam implementasi AC.

Pola Mutasi

Tahun 2008Telah tersusun RPMK tentang pedoman penyusunan pola mutasi.

Tahun 2009Fasilitasi dan pendampingan kepada unit Eselon I dalam menyusun pola mutasi.

Pengembangan SDM

Tahun 2008Telah dilaksanakan Diklat Berbasis Kompetensi yang diikuti 180 pejabat Eselon II.

Tahun 2009Menyelenggarakan diklat berbasis kompetensi kepada pejabat Eselon III di lingkungan Departemen Keuangan sebanyak 1.200 pejabat.

SIMPEG

Tahun 2008(i) Telah tersedia 18 modul SIMPEG.(ii) Berdasarkan User Acceptance Test di Biro SDM diperoleh masukan dan perbaikan untuk tahun 2009.

Indikator Kinerja Utama

Tahun 2009(i) Menyelenggarakan help desk sebagai pemandu user. (ii) Persiapan infrastruktur pendukung SIMPEG.(iii) Verifikasi data base kepegawaian.

Tahun 2008(i) Penambahan IKU Depkeu-Wide dari 166 menjadi 206.(ii) Telah disusun peta strategi, IKU, dan manual IKU pada Depkeu One sejumlah 672 IKU.(iii) Telah disusun peta strategi, IKU, dan manual IKU pada Depkeu Two sejumlah 3.430 IKU,(iv) Impelementasi aplikasi BSC.

Tahun 2009(i) Penyempurnaan Depkeu-Wide, One dan Two,(ii) Otomasi IKU ke dalam BSC,

Page 59: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 2 Reformasi Birokrasi ��

2.5.4. Kendala/Tantangan

Dalam mencapai tujuan Reformasi Birokrasi untuk mencetak pegawai Departemen Keuangan yang bersih, profesional, dan akuntabel serta menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang prima, terdapat beberapa kendala/tantangan, sebagai berikut:a. Kesulitan dalam merubah mind-set para pegawai Departemen Keuangan sebagai pelaku Reformasi Birokrasi sehingga lebih sulit untuk beradaptasi dengan sistem kerja yang baru.b. Belum adanya dukungan penuh dari stakeholder atau publik kepada Departemen Keuangan untuk melakukan Reformasi Birokrasi secara komprehensif.c. Departemen Keuangan sebagai pilot project Reformasi Birokrasi, menjadikan banyak terjadinya trial and error dalam aplikasi kebijakan baru tersebut, dan tidak adanya contoh kasus bagi pelaksanaan Reformasi Birokrasi.

2.5.5. Pending Matters

2.5.5.1. Dukungan Publik

Model Reformasi Birokrasi yang dikembangkan Departemen Keuangan dalam tujuh tahun terakhir telah memperlihatkan hasil. Pengakuan dari lembaga nasional dan internasional. Hasil survei langsung ke masyarakat juga telah membuktikan hal tersebut. Namun demikian, pada beberapa titik layanan publik Departemen Keuangan masih ditemukan kegiatan pelayanan yang tidak menampilkan semangat reformasi birokrasi. Hal ini diperkuat oleh temuan KPK maupun survei independen.

Penyimpangan pemberian layanan dapat digeneralisasi dalam modus penyimpangan individual aparat, penyimpangan yang dilakukan bersama secara sukarela oleh pemberi dan penerima layanan, atau penyimpangan yang dilakukan oleh penerima layanan tanpa keterlibatan pemberi layanan.

Modus penyimpangan individual aparat untuk saat ini hampir tidak mungkin terjadi dan sangat sulit dilakukan. Sebab, program reformasi birokrasi seperti penerapan standard operating procedure (SOP) yang ketat dan transparan, penegakan disiplin dan penerapan kode etik, penindakan dan pengawasan oleh aparat kepatuhan internal unit eselon I dan Inspektorat Jenderal, secara sistemik tidak memberikan ruang gerak bagi penyimpangan pemberian layanan publik. Apalagi bila penyimpangan dilakukan secara individual. Harus diakui bahwa modus penyimpangan yang dilakukan bersama secara sukarela oleh pemberi dan penerima layanan masih terjadi. Meskipun demikian, jumlah penyimpangan dan kerugian negara relatif kecil dan tidak bersifat sistemik. Modus ini dilakukan karena adanya simbiosis mutualisme dan kedekatan personal yang telah terjalin lama antara oknum pemberi layanan dan individu penerima layanan. Untuk itu, dalam program Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan, selain dilakukan pengawasan yang lebih ketat, juga dilakukan penyempurnaan pola mutasi. Dengan tour of duty dan tour of area yang lebih merata dan dalam jangka waktu yang proporsional dapat memutus rantai kolusi antara pemberi dan penerima layanan. Penyimpangan yang dilakukan oleh penerima layanan tanpa keterlibatan pemberi layanan merupakan modus penyimpangan yang sulit dideteksi dan kerap terjadi. Contoh kasus, misalnya pemberian uang tip atau uang jasa pengurusan barang di pelabuhan, yang dalam pembukuan perusahaan disebut sebagai custom fee. Padahal, uang tip atau uang jasa tersebut diberikan pada macam-macam jasa ke pelabuhan, baik yang bersifat resmi maupun berbentuk tip. Dalam hal ini, petugas Bea dan Cukai (customs) hanya terkena getahnya, karena dalam pemberian jasa kepabeanan tidak terdapat pungutan biaya, kecuali kewajiban kepabeanan yang telah ditetapkan oleh peraturan atau undang-undang. Modus serupa terjadi pula pada pengurusan perpajakan, perbendaharaan, dan penganggaran kegiatan yang dibiayai APBN.

Page 60: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Penyimpangan yang dilakukan oleh penerima layanan tanpa keterlibatan pemberi layanan tidak dapat dikontrol oleh Departemen Keuangan. Oleh sebab itu, diperlukan dukungan publik yang lebih aktual terhadap Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan. Kegiatan yang saat ini dapat dilakukan untuk mengurangi modus penyimpangan tersebut baru sebatas pada diseminasi informasi bahwa Departemen Keuangan tengah melaksanakan Reformasi Birokrasi yang menuntut diterapkannya pelayanan publik yang berprinsip pada good governance.

2.5.5.2. Ownership Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan, meskipun telah dimulai sejak 2002, momentum utamanya diinisiasi pada 2007 dengan ditetapkannya KMK No. 30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan. Reformasi birokrasi pada hakikatnya bertujuan untuk menyelenggarakan sistem birokrasi yang efektif, bersih, kompetitif, dan responsif terhadap perubahan, serta berpihak kepada rakyat. Reformasi birokrasi dijalankan dengan memperhatikan penghematan anggaran negara, optimalisasi alokasi sumber daya, optimalisasi kinerja, peningkatan mutu pelayanan, pencegahan korupsi, dan perbaikan sistem. Sebagai suatu perubahan yang bersifat sistemik dan kultural, proses Reformasi Birokrasi berjalan panjang dan terus menerus.

Agar seluruh elemen birokrasi Departemen Keuangan memiliki satu pemahaman dan satu tindakan dalam menjalankan program reformasi birokrasi, tim Reformasi Birokrasi Pusat telah mengidentifikasi pentingnya cetak biru reformasi birokrasi yang komprehensif yang dijalankan secara sukarela oleh seluruh elemen birokrasi Departemen Keuangan sebagai komitmen bersama. Payung hukum yang kuat yang mendukung percepatan reformasi birokrasi, baik di sisi internal Departemen Keuangan dalam bentuk peraturan Menteri Keuangan maupun ekternal dalam bentuk peraturan menteri terkait, peraturan pemerintah, atau undang-undang juga merupakan faktor penting untuk melakukan akselerasi program Reformasi Birokrasi. Satu faktor utama yang dianggap paling penting bagi pelaksanaan dan percepatan reformasi birokrasi adalah kepemimpinan dan ownership, yang secara kuat dan konsisten mendorong pelaksanaan reformasi birokrasi. Kepemimpinan yang berani dan komitmen yang kuat akan mampu menghadapi berbagai tantangan yang terdapat dalam birokrasi, seperti tradisi birokrasi yang sudah berurat akar, resistensi ’penguasa’ birokrasi yang sudah terlajur nyaman dan mapan, aturan hukum yang terlanjur mempertahankan status quo, dan reformasi birokrasi yang belum menjadi kebutuhan riil dan dianggap selesai ketika telah terjadi peningkatan remunerasi. Berbagai inisiatif untuk mereformasi birokrasi Departemen Keuangan telah dilakukan, antara lain perbaikan sistem dan budaya kerja, pengukuran kinerja, penerapan disiplin, optimalisasi peningkatan pelayanan publik, upaya mengurangi korupsi, serta peningkatan produktivitas kerja dan pemberian remunerasi yang memadai. Keberhasilan upaya tersebut direkognisi lebih cenderung sebagai buah kepemimpinan yang kuat dari top level manajemen Departemen Keuangan (top down) daripada tindakan yang bersifat bottom up. Dalam jangka panjang, kesinambungan reformasi birokrasi tidak dapat berjalan sempurna apabila harus bergantung pada faktor kepemimpinan semata. Perlu dipikirkan juga ownership pada semua level manajemen dan pegawai, yang menjunjung tinggi komitmen untuk menjalankan program reformasi birokrasi.

Page 61: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 2 Reformasi Birokrasi �9

Salah satu upaya yang sedang dicapai untuk memastikan ownership dan komitmen yang kuat adalah dengan membentuk Komite Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan yang beranggotakan Pejabat Departemen Keuangan, Pejabat kementerian/badan yang terkait dengan pendayagunaan aparatur, serta stakeholder Departemen Keuangan, dari sektor umum maupun sektor privat. Komite ini secara berkesinambungan memberikan masukan kepada top level manajemen mengenai pergerakan Reformasi Birokrasi dan kebijakan-kebijakan percepatan yang perlu diambil sehingga mampu mengubah mind-set aparatur di lapangan untuk senantiasa meningkatkan pelayanan prima.

Apresiasi Publik terhadap Reformasi Birokrasi

Reformasi Birokrasi yang dilakukan oleh Departemen Keuangan mendapat apresiasi positif dari lembaga nasional maupun lembaga internasional. Hasil penelitian sejumlah lembaga survei menunjukkan peningkatan kepuasan publik terhadap pelayanan Departemen Keuangan setelah dilaksanakannya Reformasi Birokrasi.

Penelitian Universitas Indonesia pada akhir 2007 menunjukkan bahwa mayoritas responden menyatakan puas atas pelayanan Departemen Keuangan setelah dilaksanakannya program Reformasi Birokrasi. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa responden yang puas 63,6 persen, cukup puas 29,4 persen, dan tidak puas 6,9 persen. Tingkat kepuasan yang relatif tinggi (di atas 50 persen) juga dirasakan responden ketika berhubungan dengan unit pelayanan modern di Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

A.C. Nielsen juga menunjukkan bahwa tingkat kepuasan wajib pajak relatif tinggi terlihat dari angka indeks kepuasan konsumen (IQ Index) yang sejajar, bahkan di beberapa kantor nilainya melebihi rata-rata angka normatif EQ Index pelayanan publik di Indonesia. Hasil penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa EQ Index terhadap pelayanan kantor modern melebihi EQ Index di negara maju, seperti Singapura dan Australia.

Konsultan Hay Group yang juga meneliti tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pelayanan Departemen Keuangan, dengan fokus pada Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai di Tanjung Priok dan Batam, ternyata memperoleh hasil senada dengan penelitian UI dan A.C. Nielsen.

Pada Februari 2009, Organisasi Kepabeanan Internasional World Customs Organization (WCO) menilai pelaksanaan reformasi kepabeanan di Indonesia berada di jalur yang tepat. Reformasi kepabeanan menunjukkan perkembangan yang progresif dari sisi implementasi prinsip-prinsip administrasi kepabeanan modern terutama di bidang trade facilitation, good governance dan automation melalui penerapan Indonesian National Single Windows (INSW).

Selain berhasil meningkatkan kepuasan publik, Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan telah memberikan kontribusi positif pada pemberantasan korupsi. Masyarakat Transparansi Internasional (MTI) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-54 dari 182 negara, membaik dari tahun-tahun sebelumnya yang berada di peringkat ke-36 pada 2007 dan peringkat ke-33 pada 2006.

Transparency International Indonesia (TII) juga menyatakan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia naik dari 2,3 di tahun 2007 menjadi 2,6 di tahun 2008. Artinya, tingkat korupsi di Indonesia menurun dan terjadi perbaikan dalam peringkat negara-negara yang dipersepsikan korup di dunia. Nilai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia meningkat dibanding nilai 3 tahun terakhir, dari 1,9 pada 2003, menjadi 2,0 pada tahun 2004 dan naik menjadi 2,2 pada tahun 2005.

Page 62: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Menjaga Stabilitas Membangun Kredibilitas

Departemen Keuangan berkomitmen untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi makro melalui sinergi kebijakan moneter dan pelaksanaan kebijakan fiskal yang berkesinambungan

Page 63: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro �1

Mendapatkan sumber daya manusia yang memadai, menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Departemen Keuangan ketika menjalani program reformasi birokrasi. Maklum, BKF adalah badan baru dalam Departemen Keuangan yang dibentuk sebagai bagian dari proses reformasi birokrasi. Sebagai badan baru, BKF membutuhkan SDM yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan fungsi BKF. Namun demikian dalam proses perubahan, tidak memungkinkan bagi BKF untuk merekrut SDM secara cepat.

Pejabat eselon satu dan seluruh jajaran aparat BKF menyadari bahwa perubahan yang dijalankan di BKF adalah bagian dari reformasi dari Departemen Keuangan yang harus dilakukan. Pemerintah telah menetapkan Departemen Keuangan sebagai pilot project reformasi birokrasi. Tujuan dari reformasi birokrasi tersebut adalah menciptakan aparatur negara yang bersih, profesional dan bertanggung jawab. Selain itu, reformasi birokrasi juga bertujuan membentuk birokrasi yang efisien dan efektif sehingga dapat memberikan pelayanan prima kepada publik.

Menurut jajaran aparat BKF, Departemen Keuangan memiliki peran yang amat strategis. Hampir seluruh aspek perekonomian berhubungan dengan kebijakan Departemen Keuangan. Departemen Keuangan juga memiliki kantor-kantor yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat yang mengharuskan aparaturnya menjadi profesional.

Salah satu pilar dari reformasi di Departemen Keuangan adalah penataan organisasi. BKF sendiri merupakan buah dari penataan organisasi tersebut. Departemen Keuangan membentuk BKF karena memerlukan suatu unit yang bertugas melakukan perumusan kebijakan yang terpisah dari unit yang melaksanakan kebijakan. Selain itu, Departemen Keuangan juga membutuhkan unit yang dapat memberi second opinion kepada Menteri Keuangan selaku pengambil keputusan dalam penetapan suatu kebijakan.

Sebelum pembentukan BKF, kebijakan fiskal dan keuangan dibuat oleh unit-unit yang tersebar di seluruh Departemen Keuangan. Saat itu belum ada integrasi dan koordinasi perumusan kebijakan, belum ada tinjauan dan evaluasi obyektif atas efektivitas pelaksanaan kebijakan, dan tidak ada unit yang melakukan perhitungan dan pengelolaan risiko fiskal. Badan yang menjalankan fungsi paling mendekati fungsi BKF adalah Bapekki, tetapi fungsi dan perannya masih harus ditajamkan.

Kesulitan Mendapatkan Sumber Daya Manusia

Page 64: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Peran perubahan yang dilakukan oleh BKF adalah penyampaian informasi secara cepat dan akurat serta penyampaian advice kepada Menteri yang didukung hasil analisis. Sehingga yang menjadi kredo BKF adalah senantiasa WAR (Waspada, Antisipatif dan Responsif).

Karena tugas dan fungsi baru BKF sangat terkait dengan unit-unit teknis (direktorat jenderal) di luar BKF yang dalam waktu sebelumnya telah melaksanakan tugas tersebut, pembentukan BKF banyak mendapat kendala. Apalagi tugas perumusan kebijakan di unit-unit teknis diperkuat dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pembentukan direktorat jenderal dan tugas-tugasnya. Oleh karena itu, BKF lahir sebagai bentuk kompromi dari proses perumusan kebijakan fiskal. Kompromi tersebut diwujudkan dengan mekanisme check and balance di mana unit eselon I terkait dengan kebijakan fiskal tetap dapat merumuskan kebijakan fiskal dan BKF memberikan analisis atas rumusan tersebut, dan begitu juga sebaliknya.

Namun demikian, jajaran aparatur BKF menyadari meskipun sudah dibentuk BKF, masih juga terdapat beberapa tugas yang belum tertampung dalam badan ini. Mereka juga menemukan beberapa tugas dalam pelaksanaannya masih tumpang tindih dengan tugas di unit eselon I lain. Oleh karena itu, pada tahun 2008, Departemen Keuangan kembali menata ulang organisasi yaitu menggabungkan Pusat Kebijakan Ekonomi dan Keuangan, BKF dengan Direktorat Penyusunan Asumsi Makro, DJA menjadi Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM) BKF. Disamping itu, terdapat penajaman tugas di bidang pemantauan dini, Stabilisasi Sektor Keuangan (SSK) dan Investor Relation Unit (IRU). Ketika ditanya mengenai kendala yang menantang selama proses reorganisasi, pejabat eselon I BKF menyebutkan tiga hal. Pertama adalah SDM. Beliau menyadari bahwa untuk memenuhi peran dan fungsi BKF serta tuntutan stakeholder, BKF memerlukan SDM yang andal. Sayangnya, perubahan yang cepat tidak memungkinkan untuk melakukan perekrutan secara cepat. Tantangan berikutnya adalah peran dan tugas BKF memerlukan dukungan teknologi informasi yang canggih. BKF harus bisa memberi rekomendasi kepada Menteri Keuangan secara responsif, cepat dan akurat, mengenai kondisi perekonomian terkini.

Page 65: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro ��

Tantangan berikutnya, BKF harus memiliki data dan informasi yang valid serta terintegrasi. Ini juga menjadi pekerjaan rumah terbesar yang sangat mendesak untuk ditangani oleh BKF. Menghadapi tantangan tersebut, tentu saja BKF tidak tinggal diam. Sudah ada beberapa langkah yang diambil. Untuk mengatasi masalah kebutuhan SDM, BKF meminta dukungan unit eselon I lain agar merelakan sebagian pegawai terbaiknya untuk pindah ke BKF. BKF juga menjalin kerja sama dengan AusAID dan USAID serta lembaga donor lainnya untuk membantu proses capacity building di BKF. Selain itu, BKF mengembangkan program khusus bagi para CPNS Sarjana yang baru masuk agar siap menjadi analis di BKF dalam graduate training program. Untuk mengatasi kendala IT, BKF telah membangun Economic Executive Dashboard (EED) dan WAR Room. Economic Executive Dashboard merupakan sistem untuk memantau indikator perekonomian secara cepat, akurat dan aktual. Guna mendukung pimpinan Departemen Keuangan dalam proses pengambilan keputusan dalam EED tersedia fitur/modul real time market watch, macroeconomic indicators, what-if analysis, early warning system dan sms gateway. Dalam hal kendala data dan Informasi, BKF secara intensif menjalin kerja sama dengan BPS dan Bank Indonesia serta unit eselon I lain lingkup Depkeu untuk saling bertukar data dan informasi terkini.

Page 66: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

�.1. Latar Belakang

Dalam RPJM 2004-2009, sasaran pemantapan ekonomi makro diarahkan pada terpeliharanya stabilitas ekonomi makro yang dapat mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkualitas serta peningkatan kemampuan pendanaan pembangunan, baik yang bersumber dari pemerintah maupun swasta, dengan tetap menjaga stabilitas nasional. Stabilitas ekonomi dijaga melalui pelaksanaan sinergi kebijakan moneter yang berhati-hati serta pelaksanaan kebijakan fiskal yang mengarah pada kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dengan tetap memberi ruang gerak bagi peningkatan kegiatan ekonomi. Peran utama pemerintah dalam pembangunan ekonomi adalah melalui kebijakan fiskal yang tercermin dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya. Guna menyusun APBN tersebut, diperlukan adanya asumsi ekonomi makro sebagai dasar perhitungan besaran pendapatan dan belanja yang akan dicapai serta pembiayaan yang dibutuhkan untuk menutup kekurangan atau defisit dalam APBN. Asumsi ekonomi makro yang digunakan selama ini adalah pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, inflasi, suku bunga SBI 3 bulan, harga minyak mentah, dan lifting minyak. Dalam proses pengajuan asumsi ekonomi makro dilakukan pemantauan dan pengkajian atas perkembangan indikator-indikator ekonomi makro, tidak saja indikator yang menjadi asumsi tetapi juga indikator-indikator pendukung lainnya seperti perkembangan ekonomi global, harga saham, perdagangan, dan lain-lain. Selain itu, dipertimbangkan juga besaran asumsi ekonomi makro yang mampu memenuhi target pembangunan nasional antara lain tingkat pengangguran dan pengentasan kemiskinan. Untuk menyesuaikan dengan kondisi yang cepat berubah, serta dalam rangka meningkatkan kinerja dan efisiensi di Departemen Keuangan, pada tahun 2006 melalui Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 telah terbentuk Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Dengan dibentuknya BKF, kebijakan yang sebelumnya berada pada masing-masing unit eselon I menjadi satu atap. Kebijakan ekonomi makro serta kebijakan yang terkait dengan pendapatan dan belanja negara berada di bawah kewenangan BKF. Dari berbagai tugas kebijakan fiskal yang dijalankan, salah satu fokus pentingnya adalah pengelolaan ekonomi makro. Pengelolaan ekonomi makro tidak saja ditujukan untuk dasar penghitungan APBN, tetapi juga merupakan koridor utama Departemen Keuangan dalam memainkan peran pentingnya untuk bersinergi dengan program pembangunan nasional.

3.2. Kebijakan Pembentukan BKF

3.2.1. Dasar Penetapan BKF

Sesuai dengan Pasal 6, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.

Selanjutnya, dalam Pasal 8 Undang-Undang Keuangan Negara tersebut disebutkan bahwa Menteri Keuangan sebagai pengelola fiskal mempunyai tugas :a. Menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;b. Menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN; c. Mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran; d. Melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan; e. Melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang; f. Melaksanakan fungsi bendahara umum negara; g. Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN; h. Melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang.

Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Page 67: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro ��

Untuk menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro secara cepat dan akurat, sangat diperlukan input data dan informasi yang kredibel, konsisten, reguler dan terkini. Sebelum ada roadmap dan reformasi birokrasi, penyusunan kebijakan fiskal di dalam Depkeu bersifat parsial dan terkotak-kotak. Fungsi kebijakan PNBP di DJAPK, fungsi kebijakan perpajakan di Ditjen Pajak, fungsi kebijakan kepabeanan dan cukai di Ditjen BC, dan fungsi kebijakan ekonomi dan keuangan daerah termasuk pajak dan restribusi daerah di Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kejasama Internasional (Bapekki). Dengan demikian, konsistensi dan akurasi angka/target dan bahkan rancangan kebijakan APBN tidak dipahami oleh semua unsur dan direktorat jendral di Depkeu, yang menyebabkan rendahnya rasa memiliki dan tanggung jawab bersama dan lemahnya upaya menjaga konsistensi kebijakan antar ditjen/badan.

Sehubungan dengan itu, Menteri Keuangan RI telah menetapkan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebagai salah satu unit eselon I di Departemen Keuangan untuk mengemban tugas tersebut.

Gambar 3.1. Proses Terbentuknya BKF

DJAPK

• Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal

• Kebijakan PNBP

DJP

• Kebijakan Perpajakan

DJBC

• Kebijakan Kepabeanan dan Cukai

BAPEKKI

• Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Daerah

• Pelaksanaan Kebijakan Pajak dan Retribusi Daerah

DJAPK

• Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Daerah

• Pelaksanaan Kebijakan Pajak dan Retribusi Daerah

BKF

• Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal

• Kebijakan PNBP

• Kebijakan Perpajakan

• Kebijakan Kepabeanan dan Cukai

Sebelum Roadmap Sesudah Roadmap

Page 68: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Landasan hukum perubahan nama Bapekki menjadi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) adalah Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2006. Keppres tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Keuangan tentang organisasi dan tata kerja Departemen Keuangan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan PMK Nomor: 100/PMK/2008. Proses pembentukan BKF dapat dilihat pada Gambar 3,1.

Dalam roadmap Departemen Keuangan Tahun 2005-2009 dijelaskan bahwa perubahan organisasi Departemen Keuangan difokuskan pada kejelasan pembagian kewenangan dalam pengelolaan keuangan Negara. Kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara pada Departemen Keuangan terbagi ke dalam 3 (tiga) area besar yaitu:

a. Kebijakan fiskal (fiscal policy), mencakup perumusan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal; b. Perencanaan anggaran (budget planning), mencakup perencanaan, alokasi, dan penyusunan APBN; dan c. Pelaksanaan anggaran (budget execution), mencakup pelaksanaan dan pertanggung jawaban APBN.

Untuk mewujudkan pegawai BKF yang bersih, berwibawa dan bertanggungjawab serta memiliki integritas dalam menjalankan tugas, Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 21/PMK.01/2007 tentang Kode Etik Pegawai Badan Kebijakan Fiskal. PMK tersebut merupakan kode etik pegawai yang menjadi pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi serta pergaulan sehari-hari di lingkungan BKF. Sejalan dengan itu, setiap pegawai BKF harus menganut dan menjunjung tinggi 7 (tujuh) nilai-nilai dasar (basic value) yang meliputi : Religius, Jujur, Bertanggung-jawab, Disiplin, Inisiatif, Produktif, dan Peduli.

3.2.2. Tugas Pokok BKF

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, BKF diberi mandat untuk melaksanakan analisis di bidang kebijakan fiskal, kerja sama internasional sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun tugas utama yang dijalankan oleh BKF sesuai dengan fungsinya sebagaimana Gambar 3.2 adalah sebagai berikut :a. Perumusan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro serta proyeksi ekonomi makro;b. Penyiapan bahan penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, Laporan Semester I dan Prognosa

Semester II pelaksanaan APBN, RAPBN Perubahan, bahan pidato dan Lampiran Pidato Presiden, Jawaban pemerintah atas pertanyaan DPR dan DPD, jawaban pertanyaan dan bahan konsultasi dengan lembaga internasional dan regional di bidang ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara dan risiko fiskal;

c. Analisis, perumusan rekomendasi dan evaluasi kebijakan pendapatan negara, belanja negara, dan ekonomi dan keuangan;d. Analisis, perumusan rekomendasi dan evaluasi pengelolaan risiko ekonomi dan keuangan, risiko BUMN, dan risiko dukungan pemerintah;e. Analisis dan perumusan rekomendasi terhadap kelayakan pemberian dukungan pemerintah atas pelaksanaan kerja sama penyediaan infrastruktur;f. Analisis, perumusan rekomendasi dan pelaksanaan kerja sama ekonomi dan keuangan internasional;g. Pemantauan dini perkembangan ekonomi dan surveillance;h. Pengkajian kebijakan ekonomi, keuangan dan fiskal;i. Penyusunan dan pengembangan model ekonomi dan keuangan;j. Penyelenggaraan sosialisasi kebijakan fiskal;k. Pengelolaan data dan statistik;l. Koordinasi pelaksanaan tim tarif.

Page 69: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro ��

Gambar 3.2. Tugas dan Fungsi Badan Kebijakan Fiskal

Dalam melaksanakan tugas analisis di bidang kebijakan fiskal sebagaimana Gambar 3.3, proses penyusunan kebijakan dilaksanakan melalui mekanisme sebagai berikut :

(1) Setiap usulan rumusan kebijakan fiskal dari Direktorat Jenderal/Badan di lingkungan Departemen Keuangan disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Badan Kebijakan Fiskal.(2) Badan Kebijakan Fiskal atas penugasan Menteri Keuangan, menganalisis dan merumuskan

rekomendasi atas usulan rumusan kebijakan, dan tembusannya disampaikan kepada Direktorat Jenderal/Badan terkait untuk mendapatkan tanggapan, sebelum ditetapkan sebagai materi dalam Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan, Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan di bidang fiskal.

(3) Setiap usulan rumusan rekomendasi kebijakan fiskal dari Badan Kebijakan Fiskal disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Direktorat Jenderal/Badan terkait.(4) Direktorat Jenderal/Badan terkait atas penugasan Menteri Keuangan, menganalisis dan

menyampaikan kepada Menteri Keuangan tanggapan atas usulan rumusan rekomendasi kebijakan fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) sebelum ditetapkan sebagai materi dalam Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan, Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan di bidang fiskal.

PUSAT KEBIJAKAN

PENDAPATAN NEGARA

PUSAT KEBIJAKAN

APBN

PUSAT KEBIJAKAN EKONOMI

MAKRO

PUSAT PENGELOLAANRISIKO FISKAL

PUSAT KEBIJAKAN

KERJASAMAINTERNASIONAL

Perumusan kebijakan perpajakan kepabeanan dan PNBPMendorong pertumbuhan Sektor Rill

Perumusan kebijakan APBNProyeksi Penerimaan NegaraPenyusunan bahan NK & RAPBN

Pemantaunan dini dan analisis perkembangan ekonomi yang berpengaruh terhadap APBN dan perekonomian nasional

Perumusan resiko fiskalDukungan Pemerintah Proyek infrastruktur

Kerjasama ekonomi dan keuangan internasional

Kebijakan tarif BM & CukaiHarmonisasi BMWTO/Regional/Bilateral/FTAIntensif perpajakan & PNBP

Proyeksi pemerintahKebijakan Subsidi/PSOAnalisis dampak kebijakan APBN terhadap kemiskinan dan KetenagakerjaanBahan NK & RAPBN

Pemantauan dini dan surveillanceForum Stabilisasi Sektor Keuangan (FSSK)Investor Relation Unit (IRU)Penetapan sasaran, monitoring, dan pengendalian inflasiPokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro

Assesment risiko fiskal, resiko keuangan dan pasarEvaluasi dukungan pemerintah atas proyek infrastruktur

Hormonisasi kebijakan keuangan domestik dan isu-isu internasional dalam forum: ASEAN, ASEAN+3, G20, WB IDB dan ADBOptimalisasi pemanfaatan kerjasama internasional

Page 70: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Gambar 3.3. Proses Perumusan Kebijakan Fiskal

3.2.3. Mekanisme Kerja BKF

3.2.3.1. Instrumen Pengambilan Keputusan

Melihat perubahan dan dinamika ekonomi makro yang penuh dengan ketidakpastian serta gejolak ekonomi dunia yang selalu berubah dengan cepat, ditambah lagi perekonomian dan perdagangan yang makin kompetitif maka pengambilan keputusan secara cepat dan akurat mutlak diperlukan. Oleh karenanya, Badan Kebijakan Fiskal sebagai institusi yang mempunyai tugas merumuskan rekomendasi kebijakan sudah semestinya memerlukan instrumen dasar sebagai piranti dalam proses pengambilan keputusan. Beberapa piranti yang dibangun dalam kurun waktu 2004-2009 antara lain adalah pembangunan Economic Executive Dashboard (EED) sebagai alat navigasi yang menyajikan perkembangan berbagai indikator utama ekonomi makro, dan ditampilkan di WAR Room (ruang Waspada Antisipatif dan Responsif ) yang berbasis IT di BKF. Media ini merupakan piranti pemantauan dini yang berisi indikator-indikator utama (leading indicators), baik indikator fiskal maupun moneter, serta ekonomi pada umumnya. Selain dapat diakses oleh pejabat internal Departemen Keuangan melalui jaringan intranet, media ini juga ditopang oleh sistem SMS Gateway yang mana informasinya dapat disampaikan melalui telepon seluler (handphone). Dengan ini diharapkan pejabat dan pengambil keputusan di lingkungan Departemen Keuangan dapat dengan cepat mendapatkan informasi maupun data terkini secara lengkap dan terkini (real time). Data atau informasi yang ditampilkan secara real time dan bersumber dari Bloomberg adalah harga saham, nilai tukar, dan harga komoditi utama.

PerumusanRekomendasi

Analisis Kelayakan

Perumusan

• Koordinasi• Evaluasi

MENTERI KEUANGAN

BKF UNIT ESELON I

Page 71: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro �9

Gambar 3.4. Tampilan Economic Executive Dashboard

BOX. 3.1. Economic Executive Dashboard (EED)

Economic Executive Dashboard (EED) mulai dibangun dan dikembangkan pada pertengahan tahun 2007. Konsep EED memakai analogi dashboard di semua jenis kendaraan yang menampilkan beberapa indikator penting dan krusial guna menjamin kelancaran, keamanan, serta kepastian pencapaian tujuan. Beberapa indikator penting dalam EED dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu indikator pasar uang dan komoditi (realtime), indikator ekonomi makro, dan indikator fiskal. Selain itu, EED juga menyajikan berbagai simulasi kebijakan seperti asumsi makro, risiko fiskal, harga BBM, dan lain-lain. EED diluncurkan (launching) pertama kali pada bulan Oktober 2007. Pada bulan Februari 2008, EED ditampilkan dalam Rapat Koordinasi Terbatas yang dipimpin oleh Presiden RI di Departemen Keuangan. Presiden RI sangat mengapresiasi adanya EED di Departemen Keuangan, dan meminta agar EED dapat diakses langsung oleh Istana Negara, Kantor Wakil Presiden, dan Kantor Sekretariat Negara.

Page 72: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Selain itu, untuk mempertajam analisis dan mendukung proses pengambilan kebijakan, dikembangkan juga berbagai model ekonomi makro bersama-sama dengan perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti: UGM, Unpad, ITB, Unair, dan lain-lain. Model ekonomi makro yang dikembangan saat ini antara lain MODFI (Model of Finance of Indonesia), Early Warning System (EWS), Climate Change, Real Sector, Macro & Micro Stress Test, dan lain-lain. MODFI adalah model ekonomi makro permintaan dan penawaran agregat dengan basis data Neraca Nasional dan data lainnya serta teori ekonomi yang menjelaskan perilaku dari para pelaku ekonomi dalam ekonomi pasar, dan digunakan untuk melakukan analisa dampak perekonomian terhadap anggaran pemerintah ataupun sebaliknya. Sedangkan EWS yang dikembangkan adalah EWS-C (terbaru dan berkerja sama dengan Universitas Gajah Mada) yang lebih menekankan pada fungsinya untuk menyediakan quick information bagi pengambil keputusan. Secara spesifik, semua model yang dikembangkan telah ditampilkan dalam bentuk visualisasi pada dashboard Departemen Keuangan yang lebih sederhana dan informatif dimana pengambil kebijakan (policy makers) dapat langsung melihat bagaimana posisi atau perkembangan indikator utama (leading indicators) tersebut.

3.2.3.2. Proses Pengambilan Keputusan

a. Rapat Pimpinan (Rapim)Rapim sebagai salah satu mekanisme untuk merumuskan rekomendasi kebijakan mempunyai tujuan antara lain menyediakan informasi, analisis, dan rumusan rekomendasi kebijakan mengenai perkembangan ekonomi makro terkini sebagai bahan bahasan dalam rapat pimpinan Departemen Keuangan yang dilakukan setiap bulan, guna menjaga stabilitas ekonomi dan tercapainya target pembangunan nasional. Sedangkan output atau hasilnya adalah tersedianya informasi terkini yang akurat (valid) serta analisis dan rekomendasi kebijakan ekonomi makro yang tepat dan kredibel, guna kepentingan Menteri Keuangan dan para eselon 1 di lingkungan Departemen keuangan.

Ruang lingkup kegiatan Rapim adalah berkaitan dengan penugasan Menteri Keuangan kepada Kepala BKF untuk memprediksi dan menganalisis kencenderungan (trend) ekonomi dalam satu kurun siklus bisnis (business cycle), diakhiri dengan paparan Kepala BKF dalam Rapim Departemen Keuangan pada minggu ke-2 setiap bulan.

Rapim dimaksud pada dasarnya membahas mengenai pemantauan dini. Pemantauan Dini adalah suatu kegiatan rutin yang menghasilkan suatu rekomendasi perkembangan kondisi ekonomi terkini dari indikator-indikator ekonomi makro yang aktual dalam rangka menyampaikan usulan rekomendasi kebijakan ekonomi secara menyeluruh dari sektor riil, sektor pemerintah, sektor moneter dan perbankan, serta sektor perdagangan dan sektor keuangan internasional. Sedangkan indikator-indikator ekonomi makro meliputi pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga, nilai tukar, neraca pembayaran, pasar uang, pasar modal, dan lain-lain.

b. Quick ResponseQuick Response adalah tanggapan secara cepat dan tepat terhadap berbagai isu dan permasalahan strategis yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi makro. Quick Response mempunyai tujuan untuk menjamin terlaksananya kegiatan perumusan kebijakan ekonomi makro dengan isu-isu terkini yang bersifat sangat mendesak (quick response) dan kredibel dapat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan BKF. Output yang diharapkan dari quick response adalah berupa nota dinas atau memo hasil kajian/analisis eksploratif atas current issue yang berhubungan dengan kebijakan ekonomi makro. Biasanya dimulai dari penugasan Kepala BKF kepada unit eselon II di lingkungan BKF yang diakhiri dengan penyampaian bahan paparan kepada Kepala BKF.

Page 73: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro �1

3.3. Pertumbuhan Ekonomi

Kinerja perekonomian tahun 2004 mulai menunjukkan perbaikan setelah tahun 2003 mendapat tekanan dari lingkungan perekonomian global berupa wabah syndrome pernapasan akut (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) di beberapa negara mitra dagang. Dengan kondisi tersebut, asumsi pertumbuhan ekonomi ditetapkan dalam APBN-P sebesar 4,8 persen, dalam realisasinya mampu mencapai 5,0 persen.

Memasuki tahun 2005, perekonomian global diwarnai dengan tingginya harga minyak yang menyebabkan Pemerintah memandang perlu untuk menaikkan harga BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005, guna mengurangi beban pengeluaran APBN 2005. Kondisi ini memberi tekanan pada inflasi. Meningkatnya inflasi menyebabkan penurunan daya beli masyarakat. Dari sisi produksi, perusahaan dihadapkan tuntutan kenaikan upah buruh. Namun demikian, dengan semakin harmonisnya kebijakan fiskal dan moneter laju pertumbuhan ekonomi tahun 2005 mencapai sebesar 5,7 persen; lebih rendah dibandingkan asumsi pertumbuhan ekonomi APBN-P II yang disepakati sebesar 6,0 persen.

Pada 2006, kondisi perekonomian Indonesia mendapat tantangan yang cukup berat sebagai dampak dari kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada bulan Oktober tahun 2005 yang menyebabkan laju inflasi mencapai 17,11 persen. Untuk mempertahankan daya beli masyarakat akibat tekanan inflasi tersebut, Pemerintah mengambil kebijakan pengalihan subsidi BBM menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT), sehingga langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pemerintah juga mengeluarkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) agar masyarakat golongan bawah tetap dapat melanjutkan sekolah. Pada tahun 2006, ekonomi tumbuh sebesar 5,5 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan asumsi dalam APBN-P yang ditetapkan sebesar 5,8 persen.

Menurunnya tekanan inflasi pada tahun 2007 membuat Bank Indonesia melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan tingkat BI rate. Dari sisi internal, kinerja perekonomian ditandai dengan tingginya optimisme terhadap prospek perekonomian nasional. Dukungan koordinasi yang baik antara kebijakan fiskal dan moneter dapat memberikan stimulus dan menjaga stabilitas perekonomian. Tingginya pertumbuhan ini terutama didukung oleh meningkatnya investasi dan ekspor. Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi didukung oleh meningkatnya pertumbuhan hampir di semua sektor. Pada tahun 2007, perekonomian tumbuh sebesar 6,28 persen, hampir sama dengan yang ditetapkan dalam asumsi APBN-P sebesar 6,30 persen.

Pada penghujung tahun 2008, perekonomian global menunjukkan perlambatan yang lebih curam yang tercermin dari perkiraan merosotnya perekonomian negara-negara maju yang lebih besar dari perkiraan semula. Kondisi pasar keuangan global juga masih rapuh dengan banyaknya laporan kerugian lembaga keuangan dunia.

Krisis keuangan global yang masih berlanjut telah mengakibatkan tingkat ketidakpastian dalam dunia usaha, menurunnya nilai aset serta melambatnya permintaan. Pada saat yang sama, tingginya resiko kredit telah menyebabkan perbankan berhati-hati dalam menyalurkan kredit walaupun suku bunga bebas resiko telah mengalami penurunan yang signifikan. Kondisi ini berimbas pada menurunnya permintaan komoditas yang mengakibatkan beberapa komoditas mengalami penurunan harga yang tajam. Hal tersebut memberikan dampak negatif bagi perkembangan ekonomi di berbagai kawasan, terutama bagi negara-negara yang mengandalkan ekspor ke negara maju, termasuk Indonesia.

Page 74: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Perekonomian Indonesia pada tahun 2008 menunjukkan kinerja melambat dibandingkan tahun 2007. Pada tahun 2008, perekonomian tumbuh sebesar 6,1 persen. Untuk mempertahankan daya beli masyarakat yang melemah akibat kenaikan harga BBM pada Mei 2008 serta dampak akibat dari krisis global, Pemerintah melanjutkan kebijakan memberikan bantuan langsung tunai (BLT). Berbagai kebijakan investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi juga telah diluncurkan salah satunya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2008 tentang fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal dibidang usaha tertentu. Pertumbuhan tahun 2008 lebih rendah dibandingkan dengan asumsi dalam APBN-P 2008 yang ditetapkan sebesar 6,4 persen. Sementara itu, memasuki tahun 2009, ekonomi Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan yang positif dimana pada triwulan I mampu tumbuh sebesar 4,37 persen.

Secara umum, pertumbuhan ekonomi periode 2005-2008 lebih tinggi dibandingkan dengan periode tahun 2001- 2004. Rata-rata pertumbuhan ekonomi tahun 2005-2008 sebesar 5,9 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan periode 2001-2004 yang besarnya 4,5 persen. Perkembangan pertumbuhan PDB dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 serta prakiraan tahun 2009 dapat dilihat pada Grafik 3.1 berikut.

Grafik 3.1. Perkembangan Pertumbuhan PDB Tahun 2001 – 2009

3.4. Stabilitas Nilai Tukar

Selama kurun waktu 2004-2009, stabilitas ekonomi makro menunjukkan perkembangan yang membaik. Nilai tukar rupiah pada tahun 2004 rata-rata sebesar Rp 8.928/US$. Pada tahun 2005, nilai tukar cenderung melemah, bahkan pernah mencapai Rp10.345/US$ pada awal September 2005. Namun, seiring dengan meningkatnya aliran masuk investasi portofolio, rupiah kembali menguat pada akhir tahun dari bulan-bulan sebelumnya. Selama tahun 2005 rata-rata nilai tukar rupiah mencapai Rp 9.705/US$ atau menguat dibandingkan dengan asumsi APBN-P II yang sebesar Rp 9.800/US$

Memasuki tahun 2006, penguatan nilai tukar rupiah tersebut terus berlanjut dengan volatilitas yang menurun. Sampai dengan akhir tahun 2006, nilai rupiah menjadi Rp 9.164/US$ atau mengalami apresiasi sebesar 5,6 persen dibandingkan tahun 2005. Kestabilan nilai tukar rupiah ini antara lain ditopang oleh kondisi ekonomi global yang kondusif dan membaiknya fundamental ekonomi domestik dalam tahun 2006. Nilai tukar rupiah tersebut lebih tinggi (menguat) bila dibandingan dengan asumsi APBN-P yang sebesar Rp 9.300/US$.

Sumber: BPS, diolah

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

7%

6%

5%

4%

3%

2%

1%

3.6%4.5%

4.8% 5.0%

5.7% 5.5%6.3% 6.1%

4.5%

Rata-rata 2001-2004: 4.5% Rata-rata 2005-2008: 5.9%

Rata-rata 2001-2004PDB Rata-rata 2005-2008

Page 75: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro ��

Penguatan nilai tukar rupiah ini terus berlanjut sampai dengan semester I tahun 2007, bahkan rupiah menyentuh level Rp8.828 per dolar AS pada akhir bulan Mei 2007. Pada semester II tahun 2007, sebagai akibat dari krisis subprime mortgage di Amerika Serikat, rupiah mulai mengalami tekanan. Gejolak pasar keuangan global telah mendorong para investor menghindari aset-aset yang dipandang lebih berisiko termasuk aset-aset di negara emerging markets termasuk Indonesia sehingga memicu pembalikan arus investasi portofolio asing (capital reversal). Secara rata-rata, selama tahun 2007 nilai tukar rupiah mencapai Rp 9.139/US$, atau mengalami apresiasi sebesar 0,3 persen jika dibandingkan tahun 2006 tetapi masih lebih rendah (melemah) dibandingan dengan asumsi APBN-P yang sebesar Rp 9.050/US$. Pada tahun 2008, pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergerak relatif stabil sampai dengan Agustus 2008 dengan rata-rata Rp 9.234/US$. Memasuki bulan September 2008, gejolak krisis lembaga keuangan di AS menjalar ke pasar keuangan global yang berimbas pada tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Selama tahun 2008, hampir semua mata uang di berbagai negara mengalami depresiasi terhadap dolar AS. Secara rata-rata, selama tahun 2008 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada pada level Rp 9.692/US$ atau mengalami depresiasi sebesar 6,0 persen dibandingkan dengan tahun 2007 dan lebih rendah jika dibandingkan dengan asumsi APBN-P yang sebesar Rp 9.100/US$. Memasuki tahun 2009, sampai dengan Juni 2009 nilai tukar rupiah rata-rata berada pada kisaran Rp 11.082/US$.

Perkembangan pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari tahun 2004 sampai dengan bulan Juni 2009 dapat dilihat pada Grafik 3.2.

Pemerintah bersama Bank Indonesia sebagai otoritas moneter terus berkoordinasi melakukan berbagai upaya untuk meredam tekanan terhadap nilai tukar rupiah tersebut. Untuk mengatasi kekurangan likuiditas valas yang terjadi di pasar domestik, Bank Indonesia melepaskan cadangan devisa sesuai dengan kebutuhan pasar. Upaya Pemerintah dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengatur jumlah permintaan valas oleh BUMN-BUMN.

Grafik 3.2. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS

2004 2005 2006 2007 2008 2009

14000

13000

12000

11000

10000

9000

8000

7000

Rata-rata Harian Rata-rata Tahunan

Rp/U

S$

Sumber : Blomberg, diolah

Page 76: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

3.5. Pengendalian Inflasi

Kestabilan nilai tukar rupiah dan ketersediaan pasokan bahan makanan yang cukup, serta minimalnya harga-harga barang yang dikendalikan pemerintah berperan positif pada stabilnya laju inflasi dalam tahun 2004. Walaupun tahun 2004 diselenggarakan Pemilu, dengan lancarnya distribusi dan minimnya harga-harga yang diatur pemerintah (administered price) mampu menahan gejolak harga. Harga-harga relatif stabil sehingga inflasi tahun 2004 berada pada level 6,40 persen, lebih rendah dari asumsi yang ditetapkan dalam APBN-P sebesar 7,0 persen.

Pada tahun 2005, peningkatan harga minyak mentah dunia telah mendorong pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga dua kali, yaitu pada bulan Maret 2005 dan Oktober 2005. Hal tersebut telah berdampak pada meningkatnya inflasi yang pada gilirannya akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Dampak kenaikan BBM ini telah mempengaruhi inflasi pada tahun 2005 yang mencapai 17,11 persen.

Sejak Juli 2005, Bank Indonesia menggunakan BI rate sebagai instrumen pengendalian moneter dalam rangka inflation targeting framework (ITF). Kebijakan ini merupakan pengganti sasaran operasional uang primer yang sebelumnya digunakan dalam pengendalian moneter. Untuk meredam ekspektasi inflasi yang tinggi akibat adanya kenaikan BBM, Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter yang ketat, BI rate pada Juli 2005 sebesar 8,5 persen, merambat naik dan menjadi 12,75 persen pada Desember 2005.

Memasuki awal tahun 2006, inflasi masih relatif tinggi. Untuk mencegah inflasi lebih tinggi BI tetap melanjutkan kebijakan moneter yang cukup ketat. Kebijakan moneter ketat tersebut tercermin pada level BI rate yang masih berada pada 12,75 persen hingga April 2006. Namun, seiring dengan melemahnya tekanan inflasi, BI rate secara perlahan diturunkan hingga mencapai 9,75 persen pada Desember 2006. Inflasi pada tahun 2006 berada pada level 6,6 persen, jauh lebih rendah dari asumsi inflasi yang ditetapkan dalam APBN-P yakni sebesar 8,0 persen.

Stabilnya nilai tukar rupiah, lancarnya distribusi barang dan jasa serta minimalnya harga-harga barang yang dikendalikan pemerintah berperan positif bagi stabilitas harga. Hal ini tercermin pada tingkat inflasi pada tahun 2007 yang berada pada level 6,6 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang ditetapkan dalam asumsi APBN-P sebesar 6,0 persen.

Memasuki tahun 2008, inflasi mengalami tekanan yang cukup kuat akibat naiknya berbagai komoditas dunia. Harga beras dunia meningkat tajam dalam tahun 2008. Walaupun sudah mulai menunjukkan penurunan, harga beras Thailand yang menjadi acuan harga beras dunia mencapai US$741,65 per metrik ton atau mengalami peningkatan sebesar 97 persen jika dibandingkan dengan harga pada akhir tahun 2007. Kenaikan harga beras ini merupakan yang tertinggi selama 20 tahun terakhir.

Kotak 3.2. Pengendalian Inflasi

Adanya nota kesepakatan antara Pemerintah dan Bank Indonesia dalam penetapan sasaran, pemantauan, dan pengendalian inflasi. Mulai 2004, sasaran inflasi ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Nota kesepahaman ini merupakan wujud pelaksanaan pasal 21 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa Pemerintah dan Bank Indonesia berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.

Page 77: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro ��

Untuk menghindari lonjakan harga beras yang semakin tinggi Pemerintah menempuh berbagai kebijakan agar kenaikan harga beras dalam negeri tidak sedrastis kenaikan harga beras dunia. Di pasar domestik, harga beras dalam negeri kualitas sedang pada akhir Juni 2008 telah mencapai Rp 5.544 per kilogram, atau hanya naik 8,2 persen jika dibandingkan dengan harga pada akhir tahun 2007. Relatif stabilnya harga beras tersebut merupakan keberhasilan kebijakan Pemerintah dalam Program Kebijakan Stabilisasi Harga (PKSH) melalui optimalisasi produksi beras, operasi pasar, dan raskin.

Meningkatnya harga minyak dunia hingga mencapai lebih dari US$ 130 per barel pada awal tahun 2008, telah menyebabkan subsidi untuk energi meningkat pesat sehingga menganggu kelangsungan APBN. Kondisi tersebut memaksa Pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi rata-rata sekitar 24 persen pada bulan Mei 2008. Terkait dengan kenaikan harga BBM tersebut, harga-harga barang dan jasa mengalami peningkatan cukup tajam. Inflasi pada tahun 2008 tercatat sebesar 11,1 persen. Sementara pada tahun 2009, APBN-P menargetkan inflasi dapat bertengger pada posisi 5,0 persen. Angka ini angka yang cukup optimis mengingat realisasi inflasi sampai dengan Juni 2009 telah mencapai 3,7 persen.

Untuk mengendalikan inflasi, pemerintah telah mengupayakan kebijakan stabilisasi harga pangan secara terpadu. Kebijakan tersebut antara lain dilakukan melalui peningkatan subsidi bahan pangan dan operasi pasar, serta penurunan tarif impor beberapa komoditi bahan pangan. Selain itu, dalam rangka meningkatkan daya beli masyarakat, pemerintah juga menyalurkan dana BLT kepada 19,1 juta rumah tangga miskin atau rumah tangga sasaran (RTS) di seluruh Indonesia. Sementara itu, program raskin diberikan kepada keluarga miskin sebesar 15 kilogram kepada 19,1 juta juta RTS selama 12 bulan dengan harga pembelian Rp1.600 per kilogram.

Secara umum, inflasi pada periode tahun 2005-2008 lebih tinggi dibanding periode tahun 2001-2004. Rata-rata inflasi tahun 2005-2008 sebesar 10,4 persen, sedangkan tahun 2001-2004 sebesar 8,5 persen. Gejolak harga minyak dunia telah menyebabkan tekanan inflasi khususnya pada tahun 2005 dan tahun 2008. Perkembangan inflasi tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 serta prakiraan tahun 2009 dapat dilihat pada Grafik 3.3. berikut.

Grafik 3.3. Perkembangan Inflasi 2001-2009

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

18.00

16.00

14.00

12.00

10.00

8.00

6.00

4.00

2.00

0.00

Perkiraan4.5-5.6%

Rata-rata 2001-2004: 8.5% Rata-rata 2005-2008: 10.4%

Sumber: BPS, diolah

Perkembangan Inflasi Tahunan (yoy)

Page 78: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

3.6. Suku Bunga SBI 3 Bulan

Seiring dengan fluktuasi inflasi, BI rate sebagai suku bunga acuan juga bergerak secara signifikan. BI rate yang mulai diperkenalkan Juli 2005 mulai naik dari 8.5 persen menjadi 12.75 persen pada bulan Desember 2005, kenaikan tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk meredam ekspektasi yang tinggi karena adanya kenaikan harga BBM. Untuk mengantisipasi inflasi yang masih tinggi di tahun 2006, BI menetapkan kebijakan moneter yang ketat sehingga BI rate mencapai 12.75 persen dari Januari 2006 sampai April 2006. BI rate mulai menunjukkan penurunan pada bulan Desember 2008, hal ini seiring dengan membaiknya ekspektasi inflasi dan terjaganya pasokan bahan pangan domestik serta apresiasi nilai tukar.

Selain itu, pergerakan suku bunga dunia, yang antara lain digambarkan oleh pergerakan Fed Fund Rate (FFR) turut pula menjadi salah satu pertimbangan untuk menurunkan suku bunga di Indonesia. Pada tahun 2004 suku bunga FFR cenderung bergerak naik dan hal tersebut telah meningkatkan pergerakan suku bunga BI rate, begitu pula dengan pergerakan penurunan FFR di awal tahun 2008 yang diikuti pula oleh penurunan BI rate pada bulan Desember 2008, sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 3.4.

Grafik 3.4. Perkembangan BI Rate, Suku Bunga Deposito, dan Fed Rate (Persen)

Perkembangan suku bunga SBI 3 bulan dapat dilihat pada Grafik 3.5, pergerakannya sejalan dengan BI rate. Rata-rata suku bunga SBI 3 Bulan terus meningkat dari 7,4 persen pada tahun 2004 menjadi 9,1 persen pada tahun 2005 dan 9,8 persen pada tahun 2006. Selanjutnya mengalami penurunan pada tahun 2007 hingga 8,0 persen, namun kembali meningkat pada tahun 2008 menjadi 9,3 persen. Memasuki tahun 2009, rata-rata suku bunga SBI 3 Bulan cenderung turun mengikuti perilaku BI rate. Rata-rata suku bunga SBI 3 bulan yang pada Januari 2009 berada pada level 10,4 persen, pada bulan Februari 2009 turun menjadi 9,34 persen dan turun lagi di bulan Maret menjadi 8,68 persen. Sedangkan pada bulan April, Mei, dan Juni, masing-masing sebesar 8,28 persen, 7,54 persen, dan 7,08 persen. Dengan demikian, rata-rata bunga SBI 3 bulan sampai bulan Juni sebesar 8, 5 persen.

Sumber : Bank Indonesia

13

12

11

10

9

8

7

6

5 J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F M A M J

2004 2005 2006 2007 2008 2009

BI rate Deposito 1 Bulan Deposito 3 Bulan FFR

13

12

11

10

9

8

7

6

5

Page 79: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro ��

Grafik 3.5. Perkembangan Suku Bunga SBI 3 Bulan (Persen)

Seiring dengan penurunan BI rate, suku bunga kredit juga mengalami penurunan sehingga penyaluran kredit mengalami peningkatan. Posisi penyaluran kredit (outstanding) hingga akhir 2008 mencapai Rp1.308 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 30,51% pertahun. Dari sisi penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK), sampai dengan akhir 2008 nilainya mencapai Rp1.753 triliun. Dibandingkan dengan posisi Desember 2007 yang hanya sebesar Rp1.511 triliun, terjadi peningkatan sebesar 16,02%. Tercatat juga bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR) atau rasio kredit terhadap penghimpunan DPK pada 2008 mencapai 74,61%. Hal ini menunjukan fungsi intermediasi perbankan pada tahun 2008 sudah mulai berjalan cukup baik. Pada Grafik 3.6 menunjukkan perkembangan penurunan BI rate yang kemudian diikuti penurunan tingkat bunga pada kredit modal kerja, kredit investasi dan kredit untuk konsumsi.

Grafik 3.6. Bi Rate, Kredit Modal Kerja (KMK), Kredit Investasi (KI), dan Kredit Konsumsi (KK)

Sumber: Departemen Keuangan

2004 2005 2006 2007 2008 2009

14

12

10

8

6

4

2

0

8.689.348.25

9.75

9.097.39

APBN APBN-P Realisasi

Sumber : Bank Indonesia

BI rate KI

20,00

18,00

16,00

14,00

12,00

10,00

8,00

6,00

4,00

2,00

0,00

Jan

Feb

Mar

Apr

May

Jun

Jul

Aug

Sept

Oct

Nov Dec Jan

Feb

Mar

Apr

May

Jun

Jul

Aug

Sept

Oct

Nov Dec Jan

Feb

Mar

Apr

May

Jun

Jul

Aug

Sept

Oct

Nov Dec Jan

Feb

2006 2007 2008 2009

KMK KK

Pers

en

Page 80: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

3.7. Volatilitas Harga Minyak

Pada tahun 2005, harga minyak mentah dunia melambung hingga menembus level 60 dolar AS per barel. Kondisi ini diperparah dengan melemahnya nilai tukar rupiah dan meningkatnya volume konsumsi BBM domestik. Hal ini berakibat pada membengkaknya belanja subsidi BBM pada APBN 2005 mencapai Rp 101,5 triliun atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2003 dan 2004 yang masing-masing sebesar Rp 30,0 triliun Rp 69,0 triliun. Peningkatan subsidi BBM yang begitu besar berdampak pada beban subsidi APBN.

Fluktuasi harga minyak tersebut tidak terlepas dari pengaruh faktor fundamental dan nonfundamental. Dari sisi fundamental, pasar internasional mengalami excess demand yaitu lonjakan kebutuhan minyak dunia yang jauh melebihi kemampuan produksinya. Sedangkan dari sisi nonfundamental, peningkatan harga minyak di dorong oleh bencana alam, gangguan keamanan, dan tindakan spekulasi di pasar komoditi.

Bagi Indonesia, dampak kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional dapat dilihat dari dua aspek, yaitu neraca pembayaran (balance of payments) dan anggaran negara. Dari perspektif neraca pembayaran, kenaikan harga minyak akan mendorong naiknya nilai ekspor minyak dan gas, dengan asumsi (ceteris paribus) volume ekspor tidak mengalami perubahan. Sedangkan dari perspektif anggaran negara, kenaikan harga minyak ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, naiknya harga minyak mentah dunia, yang biasanya diikuti pula dengan naiknya harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP) menyebabkan terjadi peningkatan pada beberapa pos belanja negara terutama subsidi bahan bakar minyak dan subsidi listrik. Di sisi lain, tambahan belanja ini dikompensasi dengan meningkatnya pendapatan negara, terutama dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas (penerimaan sumber daya alam migas).

Sementara itu, ICP sendiri selama beberapa tahun terakhir menunjukkan tren yang semakin menguat. Pada tahun 2004 tercatat sebesar US$37.20 per barel, lebih tinggi dibanding asumsi APBN-P yang tercatat sebesar US$36.00 per barel, kemudian naik menjadi US$51.80 per barel, lebih rendah dari asumsi APBN-P yang sebesar US$54.00 per barel. Tiga tahun berikutnya ICP juga naik berturut-turut 2006 US$56.80 per barel, 2007 US$69.69 per barel dan tahun 2008 US$97.02 per barel. Sementara dalam APBN-P asumsinya adalah sebagai berikut : 2006 US$64.00 per barel, 2007 US$60.00 per barel dan 2008 US$95 per barel. Memasuki tahun 2009 realisasi ICP sampai dengan Juni 2009 ICP berada pada level US$51.60 per barel.

Pembentukan BKF dilatar belakangi kebutuhan akan suatu unit yang mempunyai tugas melakukan perumusan kebijakan yang terpisah dengan unit yang melaksanakan kebijakan, kebutuhan akan adanya unit yang bisa memberikan second opinion kepada Menteri Keuangan selaku pengambil keputusan dalam penetapan suatu kebijakan.

Page 81: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro �9

Kenaikan harga minyak dunia yang terjadi pada semester pertama tahun 2008 yang sempat menembus US$140 per barel secara langsung mempengaruhi APBN. Akibatnya adalah membengkaknya subsidi BBM sehingga defisit anggaranpun mengalami peningkatan. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain, pemerintah akhirnya mengambil kebijakan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Perkembangan harga minyak internasional selama tahun 2004 sampai dengan kuartal I tahun 2009 dapat dilihat pada Grafik 3.7. berikut.

Grafik 3.7. Perkembangan Harga Minyak Internasional (WTI)

Pada pertengahan 2008 terjadi krisis finansial global yang kemudian mempengaruhi harga minyak dunia. Harga minyak mengalami penurunan kembali. Oleh karena itu Pemerintah kemudian mengambil kebijakan untuk menurunkan harga BBM baik premium maupun solar domestik. Pada Desember 2008, Pemerintah telah menurunkan harga premium sebanyak 2 kali, dan solar sebanyak 1 kali. Penurunan harga premium dan solar tersebut kembali dilakukan Pemerintah pada Januari 2009.

3.8. Produksi dan Lifting Minyak

Produksi minyak mentah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami penurunan, sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 3.7. Hal ini terjadi karena penurunan produksi secara alamiah dari sumur-sumur minyak yang sudah tua juga adanya gangguan produksi akibat bencana alam seperti banjir, serta kegiatan investasi bidang perminyakan yang belum mampu meningkatkan produksi minyak secara signifikan. Sampai dengan tahun 2008, kegiatan eksplorasi yang dilakukan dalam rangka menemukan sumber-sumber minyak baru belum menghasilkan minyak secara optimal.

PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI), produsen terbesar minyak nasional yang memproduksi minyak mentah lebih dari 400 ribu barel per hari, terus mengalami penurunan produksi yang mencapai sekitar 6 hingga 8 persen setiap tahunnya. Terkait dengan pengembangan sumur-sumur minyak baru, Exxon Mobil yang menguasai minyak di Blok Cepu diharapkan akan dapat menyumbang secara berarti peningkatan produksi minyak nasional, dan diperkirakan baru akan menghasilkan minyak sekitar 165-185 ribu barel per hari pada tahun 2010.

Sumber : Bloomberg

160

140

120

100

80

60

40

20

2

0Jan-04 Jan-05 Jan-06 Jan-07 Jan-08 Jan-09

US$

/bar

el

Page 82: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Sementara itu, untuk mengantisipasi penurunan lifting minyak lebih jauh di tahun 2008 pemerintah berupaya untuk lebih mempercepat peningkatkan produksi minyak, Pemerintah telah memberikan insentif fiskal, antara lain berupa pembebasan bea masuk dan pajak pertambahan nilai peralatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi dan gas alam. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 177/PMK.011/2007 dan 178/PMK.011/2007.

Sementara itu rata-rata lifting minyak dalam periode 2004-2008 dalam APBN-P mencapai 1,005 juta barel per hari, sedangkan realisasinya hanya 0,964 juta barel per hari. Sampai semester I tahun 2009, rata-rata lifting minyak mencapai 0,953 juta barel per hari.

Grafik 3.8. Perkembangan Asumsi APBN dan Realisasi Produksi Minyak (juta barel/hari)

3.9. Pengangguran dan Kemiskinan

Indikator lain yang menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan asumsi ekonomi makro adalah penyerapan tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan. Periode 2004-2008 merupakan masa yang cukup sulit terkait dengan masalah pengentasan kemiskinan serta pengangguran. Dua masalah ini pada dasarnya merupakan masalah utama yang banyak dihadapi oleh banyak negara terutama negara berkembang, seperti halnya Indonesia. Oleh karenanya kedua masalah ini selalu menjadi fokus dalam kebijakan dan program pembangunan setiap tahun yang sekaligus menjadi tantangan program pembangunan. Selama kurun waktu 4 tahun terakhir ini pemerintah telah melakukan upaya-upaya perbaikan untuk mengurangi pengangguran dengan peningkatan perluasan lapangan kerja yang diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan dengan selalu mengedepankan prioritas pembangunan dengan pendekatan pertumbuhan (pro growth), pendekatan pengentasan kemiskinan (pro poor) dan pendekatan kesempatan kerja (pro job).

Tingkat pengangguran dan kemiskinan selama awal periode ini memang relatif tinggi, namun dengan upaya penurunan tingkat pengangguran melalui berbagai kebijakan perluasan lapangan kerja, stimulus fiskal, peningkatan program-program yang bersifat produktif dan penciptaan program padat karya maka pengangguran dan kemiskinan dapat diturunkan. Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik 3.9.

Krisis ekonomi global yang terjadi akhir 2008 akan menjadi tantangan berat bagi pemerintah dalam upaya mengurangi tingkat pengangguran dan mengentaskan kemiskinan. Namun dengan kerja keras pemerintah melalui langkah-langkah antisipatif maka dampak krisis tersebut dapat diminimalisasi.

Sumber: Departemen Keuangan

2004 2005 2006 2007 2008 2009

14

12

10

8

6

4

2

0

APBN APBN-P Realisasi

0.9560.9360.910.941.001.04

Page 83: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro �1

Grafik 3.9. Tingkat Pengangguran dan Kemiskinan

Langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh guna melakukan perbaikan dan mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia, dilaksanakan berbagai program antara lain Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM, perlindungan sosial bagi masyarakat miskin melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM), Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Program Beras Miskin (Raskin) serta Program Bantuan Langsung Tunai (BLT).

3.10. Koordinasi antar Institusi

3.10.1. Tim Pengendali Inflasi

Sebagai pelaksanaan amanat pasal 10 Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa sasaran laju inflasi ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia; pada tanggal 1 Juli 2004 Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia telah menandatangani Nota Kesepakatan Mekanisme Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi. Nota kesepakatan tersebut mengawali era baru adanya kesepahaman akan pentingnya suatu koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyatakan bahwa Pemerintah dan Bank Indonesia berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.

Nota kesepakatan ini antara lain bertujuan untuk mengatur proses koordinasi dan menentukan peran dan tanggung jawab Pemerintah dan Bank Indonesia dalam penetapan sasaran, pemantauan, dan pengendalian inflasi; membentuk dan mengarahkan harapan masyarakat mengenai tingkat inflasi di masa datang (inflation expectation); memberikan pedoman kepada pelaku pasar dan pembuat kebijakan dalam rangka mencapai dan mengendalikan inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan; memberikan keyakinan kepada masyarakat mengenai komitmen bersama antara Pemerintah dan Bank Indonesia dalam mencapai dan mengendalikan inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil; dan mewujudkan terselenggaranya transparansi dan akuntabilitas kebijakan ekonomi.

Sumber : Bank Indonesia

19

17

15

13

11

9

72004 2005 2006 2007 2008

Tingkat Kemiskinan Tingkat Pengangguran

Pers

enta

se

16.66

15.97

17.75 16.58

15.40

8.46

9.1110.28

11.27

9.86

Page 84: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Sasaran inflasi merupakan suatu tingkat inflasi yang ingin dicapai dalam suatu kurun waktu tertentu. Sasaran inflasi yang ditetapkan dan diumumkan adalah inflasi IHK tahunan (year-on-year). Dalam menetapkan sasaran inflasi, bentuk sasaran inflasi yang ditetapkan adalah angka inflasi tertentu dengan tingkat toleransi tertentu (point with deviation). Usulan sasaran inflasi disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Pemerintah pada bulan Mei untuk sasaran inflasi tahun berikutnya. Selanjutnya setelah dibahas bersama oleh Pemerintah dan Bank Indonesia, pemerintah menetapkan sasaran inflasi tersebut melalui Keputusan Menteri Keuangan dan diumumkan kepada publik pada bulan Juli.

Koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia telah diwujudkan dalam SKB Menteri Keuangan No. 142/KMK.011/2007 dan Gubernur Bank Inonesia No. 9/15/KEP.GBI/2007 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi. Guna menunjang kelancaran tugas Tim Pengendali Inflasi tersebut, Ketua Tim Pengendali Inflasi membentuk Tim Teknis dan Sekretariat Tim.

Tugas Tim Teknis Pengendalian Inflasi adalah membantu tugas-tugas Tim Pengendali Inflasi, termasuk melakukan kajian-kajian tentang faktor-faktor utama yang mempengaruhi inflasi, serta tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh Ketua Tim Pengendali Inflasi. Anggota tim terdiri dari pejabat-pejabat Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Menko Perekonomian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja. Dari Departemen Keuangan, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya Tim Teknis Pengendali Inflasi dikoordinasi oleh Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal.

Tim ini secara periodik (bulanan) mengadakan rapat rutin secara bergilir. Untuk lebih meningkatkan efektivitas kinerja Tim Pengendali Inflasi, telah dibentuk Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Dengan terbentuknya TPID diharapkan antar instansi baik tingkat pusat maupun tingkat daerah menjadi semakin padu sehingga inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil serta pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dapat terwujud.

Dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1/KMK.011/2008 Tentang Sasaran Inflasi Tahun 2008, 2009, dan 2010 dengan penyimpangan/standar deviasi sebesar plus minus 1. Tingkat dan periode sasaran inflasi IHK ditetapkan sebagai berikut :

Tabel 3.1. Sasaran Inflasi 2008 – 2010

3.10.2. Investor Relation Unit (IRU)

Investor Relation Unit (IRU) didirikan pada tahun 2006 dengan anggota dari departemen-departemen terkait, seperti Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Menteri Koordinasi Perekonomian, Departemen Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Departemen Perindustrian, Kementrian BUMN, Badan Pusat Statistik, dan Perusahaan Pengelola Aset. Terkait dengan ini, Bank Indonesia adalah sebagai koordinator IRU nasional. Ide dasar pembentukan lembaga ini adalah untuk membangun strategi komunikasi yang aktif dan proaktif dengan pasar. Jadi Investor Relation adalah pengelolaan aliran modal dalam rangka membangun kepercayaan antara pihak-pihak yang terlibat dalam pasar modal. informasi keuangan, pemasaran dan strategi antara negara/perusahaan dengan investor.

Tahun Sasaran Inflasi

2008 5,0 %

2009 4,5 %

2010 4,0 %Sumber : Departemen Keuangan

Page 85: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro ��

Dalam pelaksanaannya diharapkan dapat dikembangkan komunikasi yang baik dan dapat dilakukan secara rutin dan berkelanjutan. Tujuan lain adalah terciptanya komunikasi dua arah antara IRU dengan investor guna mendukung pengambilan kebijakan yang berorientasi pada kesinambungan pembangunan ekonomi jangka panjang yang akan menempatkan posisi Indonesia pada tingkat rating yang baik, yaitu negara yang kondusif untuk berinvestasi (investment grade).

Pencapaian peringkat investment grade sangat penting bagi negara yang memiliki pinjaman komersial luar negeri seperti halnya Indonesia. Dengan kondisi yang tidak mendukung saat ini maka diharapkan target Indonesia bisa dicapai peringkat investment grade (BBB-) pada tahun 2010. Peringkat investment grade akan membuka kesempatan bagi pemerintah dan sektor swasta untuk memperoleh akses pembiayaan dengan biaya yang lebih rendah.

Baik pemerintah maupun Bank Indonesia menyadari pentingnya pencapaian peringkat tersebut. Oleh karena itu guna memperkuat koordinasi, baik pemerintah maupun Bank Indonesia telah menuangkan kesepakatan dalam bentuk MoU yang mentargetkan setidaknya pada 2010 Indonesia dapat mencapai kategori investment grade bagi sovereign credit rating Indonesia. Penilaian sovereign credit rating biasanya didasarkan pada penilaian kuantitatif dan kualitatif untuk memprediksi kemampuan membayar kewajiban secara tepat waktu dan dalam jumlah yang sesuai. Khusus untuk negara berkembang, aspek kuantitatif yang dinilai meliputi (1) performa ekonomi makro dan prospeknya, (2) sustainabilitas neraca pembayaran, (3) struktur ekonomi yang akan mempengaruhi vulnerabilitas perekonomian terhadap shock, (4) public finance termasuk struktur dan public debt sustainability serta debt financing, dan (5) performa sektor keuangan khususnya sektor perbankan. Namun, aspek dominan penilaian rating juga dapat ditentukan oleh karakteristik ekonomi suatu negara.

Berkaitan dengan peran Departemen Keuangan sebagai penyedia informasi data dan kebijakan di bidang ekonomi dan keuangan khususnya bidang fiskal, makro ekonomi, keuangan daerah, debt profile, dan debt management mempunyai peran yang sangat penting dalam penyampaian informasi tersebut. Persepsi investor dan rating agency terhadap kondisi perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi oleh kualitas substansi informasi yang disampaikan oleh pejabat dari unit terkait, baik secara tertulis maupun lisan. Sehingga informasi yang akurat, tepat waktu, dan berkualitas sangat diperlukan. Pada tahun 2008, lembaga rating internasional seperti Standard & Poor’s dan Moody’s memberikan rating yang sama kepada Indonesia, yakni BB-/stable dan Ba3/stable. Demikian juga Fitch memberikan rating BB/stable.

3.11. Summary

Berdasarkan dari uraian pada sub bab sebelumnya, dapat disarikan bahwa perkembangan ekonomi makro selama tahun 2004 sampai dengan 2009 banyak menghadapi tantangan berat. Naiknya harga komoditas internasional termasuk minyak mentah dunia, memaksa Pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi yang selanjutnya berdampak pada tingginya angka inflasi. Krisis finansial global berdampak pada terdepresiasinya nilai tukar rupiah. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tumbuh positif ditengah pertumbuhan ekonomi dunia yang mulai melambat.

Target dan Pencapaian Sasaran

Secara rata-rata, nilai capaian makro ekonomi mencapai 104,71 persen dalam periode 2004-2008. Penyimpangan tertinggi terjadi pada inflasi sebagai dampak naiknya harga minyak dunia. Dari sasaran asumsi inflasi pada APBN-P sebesar 7,22 persen, dalam realisasinya inflasi mencapai 9,55 persen. Pada indikator pertumbuhan ekonomi, dari asumsi APBN-P sebesar 5,86 persen dalam realisasinya dicapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,72 persen, hampir mendekati sasaran yang ditetapkan (Tabel 3.2)

Page 86: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Kendala utama yang dihadapi dalam menyusun asumsi ekonomi makro yang akurat dan kredibel adalah perubahan ekonomi global dan harga komoditi utama dunia yang cepat dan sulit diprediksi. Kendala lainnya adalah semakin kompleksnya permasalahan seiring dengan perkembangan sistem keuangan global sehingga arus dana dapat berpindah dengan sangat cepat baik antar negara maupun antar instrumen keuangan atau instrumen investasi. Sebagai contoh adalah lonjakan harga komoditi utama yang turut dipengaruhi oleh aksi spekulatif, dan fluktuasi harga saham yang sangat atraktif pada tahun 2007 dan 2008. Dengan kondisi seperti itu, model ekonomi makro yang dimiliki masih belum mampu menangkap fenomena tersebut.

Tabel 3.2. Rata-Rata Capaian Indikator Makro Ekonomi tahun 2004-2008

No. UraianRata-rata tahun 2004- 2008

CapaianAPBN APBN-P Realisasi

1 2 3 4 5 6 = 5/4

1 Pertumbuhan Ekonomi (%) 5,90 5,86 5,72 97,58%

2 Inflasi (%) 6,50 7,22 9,55 132,30%

3 Nilai tukar (Rp/US$1) 9100,00 9230 9325,60 101,04%

4 Harga minyak ICP (US$/barel) 45,20 61,8 62,50 101,14%

5 Lifting Minyak (MBCD) 1,072 1,005 0,964 95,93%

6 Tingkat bunga SBI rata-rata (%) 8,10 8,7 8,73 100,30%

Rata-rata 104,71%

Sumber : Departemen Keuangan, diolah

Tantangan Kebijakan Kedepan

Secara umum, fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat dalam menghadapi gejolak krisis global sejak tahun 2008. Berbagai indikator ekonomi makro masih menunjukkan kinerja yang membaik. Di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, PDB Indonesia masih mampu tumbuh di atas 6 persen pada 2008. Bahkan pada tahun 2009, berbagai kalangan dan lembaga keuangan internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih positif, sedangkan dalam waktu bersamaan sebagian besar negara lainnya mengalami pertumbuhan negatif .

Untuk menjaga tren pertumbuhan ekonomi yang positif, pemerintah telah menyiapkan serangkaian kebijakan, di antaranya adalah insentif perpajakan, kebijakan untuk penguatan sektor riil, dan pemberian stimulus fiskal, perlindungan sosial, dan penyerapan tenaga kerja dan infraskruktur. Paket kebijakan stimulus fiskal kedepan perlu diupayakan untuk dapat merespon berbagai kondisi yang terkait dengan: (i) melemahnya daya beli masyarakat, (ii) terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), (iii) menurunnya daya saing usaha, serta (iv) kelanjutan berbagai program pemberdayaan masyarakat. Walaupun ada tambahan dana untuk paket kebijakan stimulus, pemerintah tetap memperhatikan kesinambungan APBN 2009 melalui pengendalian defisit anggaran dan peningkatan efektifitas belanja negara.

Dengan stabilitas ekonomi makro yang mantap, para pelaku usaha dapat merencanakan kegiatan usaha dan investasinya. Membaiknya sektor riil akan menjamin tersedianya pasokan dan kelancaran distribusi barang dan jasa yang pada gilirannya akan memelihara stabilitas harga-harga. Faktor pendukung utama bagi terciptanya kestabilan ekonomi makro adalah sinkronisasi pelaksanaan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter yang telah berjalan dengan harmonis dalam tahun pelaksanaan RPJM 2004-2009, perlu terus lanjutkan dan ditingkatkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah berikutnya (RPJM 2009-2014).

Page 87: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

www.depkeu.go.id

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro ��

Pending Matters

1. Mengkaji lebih mendalam mengenai hedgingFluktuasi harga minyak dunia yang sangat tajam pada tahun 2005 dan 2008, yang mengakibatkan membengkaknya beban subsidi dalam APBN, sehinga Pemerintah dengan terpaksa menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri. Hal ini kiranya dapat menjadi perhatian dan pelajaran untuk dapat menyediakan instrumen kajian untuk mendukung research based policy agar lebih bisa mengantisipasi perkembangan harga komoditi internasional yang sulit diprediksi. Pada saat harga minyak dunia berada pada titik atau batas yang tidak menguntungkan bagi perekonomian nasional, perlu dikaji lebih mendalam alternatif hedging harga minyak mentah untuk kepentingan ekspor dan impor. Alternatif ini diharapkan dapat memberikan kepastian pada saat harga minyak mengalami fluktuasi yang tajam. Untuk itu, perlu dipersiapkan perangkat hukum serta institusi sebagai pelaksananya.

2. Pengembangan Model Ekonomi Makro Dalam penentuan asumsi dasar ekonomi makro untuk dasar penghitungan besaran APBN, beberapa indikator masih cukup jauh dengan realisasinya, sehingga masih diperlukan ketajaman analisis dengan menggunakan piranti yang masih memerlukan perbaikan. Bagaimanapun juga, bila terjadi tekanan eksternal (shock) yang seperti krisis keuangan global yang dipicu oleh krisis mortgage di Amerika Serikat yang tidak dibayangkan sebelumnya, tentunya sulit untuk tertangkap dalam model ekonomi makro saat ini sebagai alat penyusunan asumsi makro sehingga hasilnya dapat menyimpang jauh. Langkah perbaikan instrumen kajian sampai saat ini masih dilakukan, mulai dari pengembangan database sampai dengan pengembangan model ekonomi makro bekerja sama dengan perguruan tinggi nasional seperti UGM, ITB, UNPAD, UNDIP, UNAIR, dan lain-lain. Lebih dari itu, peningkatan kemampuan sumber daya manusia terutama para analis ekonomi juga sedang dilakukan agar lebih mumpuni dan dapat disejajarkan dengan para analis ekonomi yang ternama.

Lampiran : Perkembangan Indikator Asumsi Ekonomi Makro Dan Realisasinya

Macro Economic Indicators2004 2005 2006

APBN APBN-P Realisasi APBN APBN-P II Realisasi APBN APBN-P Realisasi

Pertumbuhan Ekonomi (%) 4,8 4,8 5,0 5,4 6,0 5,7 6,2 5,8 5,5

Inflasi (%) 6,5 7,0 6,4 5,5 8,6 17,1 8,0 8,0 6,6

Nilai tukar (Rp/US$1) 8.600 8.900 8.928 8.600 9.800 9.705 9.900 9.300 9.164

Harga minyak ICP (US$/barel) 22,00 36,00 37,20 24,00 54,00 51,80 57,00 64,00 56,80

Lifting Minyak (MBCD) 1,150 1,072 1,040 1,125 1,075 0,999 1,050 1,000 0,935

Tingkat bunga SBI rata-rata (%) 8,5 7,6 7,4 6,5 8,4 9,1 9,5 12,0 9,8

Macro Economic Indicators2007 2008 2009

APBN APBN-P Realisasi APBN APBN-P II Realisasi APBN APBN-P Realisasi

Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,3 6,3 6,3 6,8 6,4 6,1 6,0 4,3 4,4

Inflasi (%) 6,5 6,0 6,6 6,0 6,5 11,1 6,2 5,0 3,7

Nilai tukar (Rp/US$1) 9.300 9.050 9.139 9.100 9.100 9.692 9.400 10.500 11.082

Harga minyak ICP (US$/barel) 63,00 60,00 69,69 60,00 95,00 97,02 80,00 58,28 51,60

Lifting Minyak (MBCD) 1,000 0,950 0,909 1,034 0,927 0,936 0,960 0,960 0,953

Tingkat bunga SBI rata-rata (%) 8,5 8,0 8,0 7,5 7,5 9,34 7,5 7,5 7,08

Sumber : Departemen Keuangan, BPS, ESDM, diolah1) = Realisasi s/d Des’20082) = Realisasi s/d Juni 2009 kecuali GDP sampai Q1 2009, lifting periode Des’08 s/d Mei ‘09

Page 88: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Peran Strategis Mencapai Ketahanan Fiskal

Memiliki peran yang sangat strategis dalam mencapai ketahanan fiskal yang berkelanjutan, Departemen Keuangan melaksanakan pengelolaan pendapatan negara secara cermat dan bijaksana.

Page 89: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara ��

www.depkeu.go.id

Sejak 2002, keluhan masyarakat terhadap pelayanan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai berkurang. Sebelumnya keluhan yang umum disuarakan para wajib pajak “Mau membayar pajak kok dipersulit,” Mengapa urusannya berbelit-belit? Mengapa wajib pajak harus mengeluarkan uang lebih besar dari jumlah resmi untuk pajak dan bea atau cukai?

Gerakan reformasi birokrasi di DJP maupun DJBC ditujukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Oleh karena itu, pada awal 2002 Departemen Keuangan menyusun program reformasi bidang kepabeanan yang lebih dikenal dengan Program Reformasi Kepabeanan (Customs Reform).

Program tersebut dilanjutkan dengan Program Percepatan Reformasi pada tahun 2006. Pengarahan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai pada bulan Mei 2006, menyatakan bahwa kebijakan/program DJBC ke depan diharapkan dapat menghasilkan sesuatu yang konkrit dan menggigit. Konkrit dan menggigit maksudnya adalah, program-program tersebut harus mendukung terciptanya iklim usaha yang kondusif. Program tersebut juga harus dapat meningkatkan daya saing ekonomi nasional serta memberi perlindungan terhadap masyarakat.

Untuk mengingkatkan citra DJBC, reformasi memfokuskan pada mengubah persepsi dunia usaha terhadap DJBC. Program nyata dari kebijakan ini adalah perbaikan pelayanan di Pelabuhan Tanjung Priok dengan membangun kantor modern. Alasan mengapa kantor Tanjung Priok dipilih sebagai obyek perbaikan adalah karena Tanjung Priok merupakan pintu utama bagi kegiatan impor dan ekspor yang berdampak sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Program ini juga merupakan bagian dari penataan pelayanan menyeluruh di Pelabuhan Tanjung Priok.

Sedangkan Menteri Keuangan menyatakan bahwa kebijakan atau program DJBC yang akan dilakukan ke depan harus dikaitkan dengan good governance dan harus bisa mengatasi masalah penerimaan (bagaimana modernisasi dapat mengurangi kebocoran penerimaan negara), komplain dari masyarakat terkait dengan kinerja bea dan cukai serta meningkatkan integritas untuk mengurangi misconduct.

Sebagai obyek, Menteri Keuangan mempunyai pendapat yang sama dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yaitu fokus ke Tanjung Priok dan pengembangan pada Soekarno-Hatta, Batam, dan Tanjung Perak.

Untuk menjembatani proses reformasi tersebut, DJBC melaksanakan program sosialisasi dan internalisasi cetak biru yang ditujukan kepada kepada pihak internal dan para stakeholders. Dalam tahap pelaksanaan, Tim Percepatan Reformasi secara aktif memberikan bimbingan, konseling, dukungan, serta melakukan koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait. Permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pembentukan Kantor Modern adalah:• Keterbatasan SDM yang memenuhi kriteria.• Tidak semua biaya operasional kantor dapat dibiayai oleh anggaran DIPA.• Remunerasi untuk KPU dan KPPBC Tipe Madya belum terpenuhi secara proporsional.• Sistem grading yang kurang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. • Sistem dan prosedur instansi lain belum sejalan dengan sistem dan prosedur DJBC• Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana termasuk IT yang harus dilakukan secara bertahap.

Kepuasan Wajib Pajak Meningkat

Page 90: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Sedangkan reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada awalnya merupakan bagian dari penanganan dampak krisis moneter tahun 1998. Di sini IMF memiliki peranan yang sangat dominan. IMF memaksa terjadinya perubahan struktur organisasi DJP dan terutama terbentuknya Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar.

Seiring dengan berjalannya waktu, pimpinan DJP berkomitmen agar reorganisasi dan reformasi terus dilaksanakan dengan sasaran menjadikan seluruh organisasi DJP menjadi lebih baik dan bersih, serta bisa dipercaya masyarakat.

Tentu saja, komitmen tersebut tentu tidak didukung sepenuhnya oleh seluruh aparat DJP. Sangat sulit mendorong 30 ribuan petugas pajak secara bulat mendukung penuh komitmen perubahan tersebut. Bagi mereka yang merasa sudah mapan dalam organisasi, perubahan tersebut menjadi ancaman bukan hanya terhadap jabatannya tetapi juga terhadap perolehan materi. Oleh karena itu, restrukturisasi organisasi dilakuan secara bertahap dan dibarengi dengan sosialisasi dan pembinaan terhadap seluruh aparat pajak. Hal yang tak kalah penting yang sangat mempengaruhi percepatan proses reformasi perpajakan tersebut adalah lahirnya Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mana hasil kerjanya memiliki deternt effect yang besar khususnya di kalangan PNS.

Reformasi birokrasi di DJP dimulai pada tahun 2002 dengan terbentuknya Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Dalam KPP modern ini DJP mengimplementasikan kode etik pegawai termasuk memperbaiki remunerisasi pegawai. Reformasi tersebut berjalan bertahap secara vertikal hingga tahun 2008. Meskipun demikian pimpinan DJP menyadari bahwa reformasi tidak bisa berhasil hanya dengan mengubah struktur organisasi. DJP juga harus menetapkan cara kerja yang lebih transparan, cara berpikir yang lebih efektif dan efisien, cara melayani Wajib Pajak yang lebih baik, cara mengawasi kepatuhan Wajib Pajak yang lebih efektif, dan sebagainya. Pada intinya reorganisasi dan reformasi ini diarahkan untuk menciptakan organisasi yang bersih, berkualitas dan baik serta dipercaya oleh masyarakat.

Oleh karena itu, banyak persoalan yang dihadapi selama berjalannya reorganisasi dan reformasi DJP selama lebih dari 7 tahun ini. Permasalahan tersebut mulai dari resistensi sebagian aparat yang merasa terganggu atau terancam kenyamanannya dalam bekerja, kualitas sumber daya manusia yang belum memenuhi harapan organisasi, teknologi informasi yang belum optimal, administrasi perpajakan yang belum tertib dan sebagainya.

Tidak mudah meyakinkan aparat pajak yang selama puluhan tahun bekerja dalam lingkungan yang penuh dengan persaingan yang tidak sehat, bekerja dengan motivasi ‘pribadi’, ingin dilayani dan dan ketidakjelasan implementasi reward dan punishment. Hingga kini masalah-masalah tersebut pada tingkat tertentu masih mencuat walaupun remunerasi telah diterapkan dan kode etik telah diberlakukan.

Di bidang sumber daya manusia, reorganisasi menyebabkan organisasi membutuhkan SDM yang menguasai pengetahuan seluruh jenis pajak. Masih banyak aparat pajak yang belum menguasai seluk-beluk pengetahuan semua jenis perpajakan. Hal yang tak kalah penting sampai saat ini adalah masih belum tersedianya sistem manajemen SDM berbasis kinerja dan kompetensi. Apabila sistem ini telah ada dan tersedia, maka masalah berkaitan dengan SDM dapat teratasi.

Page 91: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara �9

www.depkeu.go.id

Dibidang teknologi informasi, masih terdapat kendala dalam sistem teknologi informasi modern DJP di antaranya mengenai penanganan database perpajakan. Sebelumnya database dimiliki oleh masing-masing unit kerja, sedangkan saat ini database tersebut dikelola oleh kantor pusat demi menjaga akurasi dan keamanan data. Kendala yang sering terjadi adalah ketika lalulintas data cukup padat pada saat pelaporan sehingga menyebabkan sistem tidak dapat bekerja secara maksimal atau terkesan menjadi lambat. Dibidang administrasi perpajakan, yang menjadi persoalan adalah masih banyak data Wajib Pajak dalam SPT yang belum direkam atau direkam tetapi tidak lengkap kedalam sistem sehingga hasil perekaman menjadi tidak akurat dan bias ketika digunakan untuk menganalisis kewajiban Wajib Pajak.

Mengingat tidak mudahnya meyakinkan sekitar 30 ribu pegawai DJP, proses reorganisasi dan reformasi DJP berjalan secara bertahap yang dimulai dari pembenahan organisasi, perbaikan cara kerja (SOP), peningkatan kualitas SDM dan perbaikan sistem data dan informasi teknologi.

Sebelum reorganisasi, unit kerja operasional DJP terdiri dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pemerikasaan Pajak (Karikpa), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB) dan Kantor Penyuluhan Pajak (Kapenpa). Pada awal reorganisasi direncanakan membentuk KPP berdasarkan fungsi yang sebelumnya berdasarkan jenis pajak. Dalam organisasi baru tersebut fungsi pelayanan dan pemeriksaan dijadikan satu atap. Persoalan muncul ketika proses reorganisasi KPP dan Karikpa dilebur menjadi satu atap, sedangkan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB) tetap masih terpisah. Pertimbangannya adalah bahwa suatu saat jenis Pajak PBB ini akan diserahkan ke daerah dan tidak lagi menjadi pajak pusat. Tentunya dalam persoalan ini terdapat banyak konflik kepentingan baik dari sisi internal maupun eksternal. Meskipun demikian, pada akhirnya disepakati bahwa KPP, Karikpa dan KP PBB dilebur menjadi satu kantor pelayanan pajak. Selanjutnya dibentuklah KPP Pratama yang menampung jenis pajak PPh, PPN dan PBB. Sedangkan untuk KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Madya hanya mengurusi PPh dan PPN.

Semenjak reformasi birokrasi di DJP, telah banyak perbaikan yang dirasakan oleh Wajib Pajak, petugas pajak maupun organisasi secara keseluruhan. Perubahan ini merupakan perubahan yang menuju ke arah yang lebih baik, ini bisa dilihat dari hasil survei oleh lembaga survey independen . Dilihat dari penerimaan pajak sejak tahun 2001 sampai dengan 2008, peneriman pajak mengalami peningkatan, yang mana realisasi penerimaan pajak (termasuk migas) pada tahun 2001 sebesar Rp. 156,1 triliun dan pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp 571,1 triliun. Tingkat kepuasan Wajib Pajak pun meningkat. Berdasarkan hasil survey dari AC Nielsen terhadap Wajib Pajak di KPP Wajib Pajak Besar (2005), KPP Madya Jakarta Pusat, KPP Madya (2006), dan KPP Pratama di Kanwil Jakarta Pusat (2007) memberikan hasil penilaian sangat memuaskan. Berdasarkan Barometer Korupsi Global Indonesia yang dikeluarkan oleh Transparansi International Indonesia sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, mereka memberikan nilai 4,3-3,8 atau menjadi lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya untuk tingkat korupsi di bidang otoritas perpajakan.

Page 92: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

90 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�.1. Arah dan Strategi Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Pendapatan negara mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya meningkatkan kapasitas fiskal, baik dalam membiayai anggaran belanja negara dan mengendalikan defisit anggaran, maupun menjaga dan memantapkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dibutuhkan arah dan strategi yang tepat untuk mencapai hal tersebut. Di bidang perpajakan, kebijakannya diarahkan untuk terus dapat meningkat, namun tanpa membebani perkembangan dunia usaha. Guna mendukung hal tersebut, beberapa langkah atau strategi yang telah dan akan dilakukan pemerintah di bidang perpajakan adalah: a. Reformasi di bidang Administrasi, b. Reformasi di bidang Peraturan dan Perundang-undangan; c. Reformasi di bidang Pengawasan dan Penggalian Potensi.

Sementara, kebijakan di bidang kepabeanan dan cukai diarahkan pada fungsi regulatory dalam melindungi masyarakat serta industri dalam negeri. Strategi yang diterapkan di bidang kepabeanan dan cukai antara lain: perluasan jalur prioritas, pemberian kemudahan dalam pelayanan kepabenan, pemberantasan penyelundupan, pemberantasan barang kena cukai (BKC) ilegal, dan penerapan kode etik (reward and punishment). Sedangkan kebijakan di bidang PNBP lebih diarahkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, strategi yang diterapkan antara lain dengan melakukan penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan, identifikasi potensi PNBP, perbaikan sistem dan prosedur, serta peningkatan pengawasan terhadap departemen/kementrian.

4.1.1. Di Bidang Perpajakan

Arah dan strategi kebijakan pendapatan negara dari Direktorat Jenderal Pajak selama periode 2004 s.d. 2009 dijabarkan melalui program reformasi sebagai berikut: a. Reformasi di bidang administrasi; b. Reformasi di bidang Peraturan dan Perundang-undangan; c. Reformasi di bidang Pengawasan dan Penggalian Potensi.

Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Pengelolaan penerimaan negara harus mencerminkan kepastian hukum, tertib administrasi, akuntabel dan transparan.

Page 93: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara 91

www.depkeu.go.id

4.1.1.1. Reformasi di Bidang Administrasi

4.1.1.1.1. Struktur Organisasi

Program reformasi administrasi perpajakan yang secara singkat disebut modernisasi, telah mulai berjalan sejak 2002 yang ditandai dengan pembentukan Kantor Wilayah (Kanwil) dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar (Large Taxpayers Office). Proses modernisasi terus bergulir sampai dengan 2008. Sampai dengan akhir 2006, 20 dari 31 Kanwil dan 46 dari 405 unit kantor operasional yang terdiri dari KPP, Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB), serta Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa) telah menerapkan sistem administrasi perpajakan modern. Pada awalnya, proses modernisasi direncanakan selesai akhir 2009. Akan tetapi, dalam perjalanannya dipercepat menjadi akhir 2008. Jumlah unit kantor operasional (KPP, KPPBB, dan Karikpa) dari 405 dimodernisasi menjadi 331 KPP modern. Meskipun jumlah unit kantor operasional lebih sedikit, fungsi yang dilaksanakan lebih luas.

Sebelum modernisasi terdapat pemisahan pelayanan antara Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh KPP, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) oleh KPPBB, serta pemeriksaan oleh Karikpa. Dengan organisasi modern, ketiga jenis pelayanan tersebut disatukan dalam satu KPP. KPP dibedakan berdasarkan segmentasi wajib pajak, yaitu KPP Wajib Pajak Besar (LTO - Large Taxpayers Office), KPP Madya (MTO - Medium Taxpayers Office), dan KPP Pratama (STO - Small Taxpayers Office), yang terdiri atas 4 KPP LTO, 28 KPP Madya termasuk di dalamnya 9 KPP Khusus, dan 299 KPP Pratama. Dengan segmentasi tersebut, diharapkan strategi dan pendekatan terhadap wajib pajak dapat disesuaikan dengan karakteristik wajib pajak sehingga pelayanan dan pengawasan yang dilakukan dapat lebih optimal.

Struktur organisasi DJP yang semula berbasis jenis pajak berubah menjadi struktur organisasi modern berbasis fungsi. Perubahan struktur ini dimaksudkan untuk dapat memantapkan debirokratisasi pelayanan, sekaligus memantapkan pengawasan terhadap wajib pajak secara lebih efektif dan terstruktur berdasarkan analisis risiko. Seiring dengan perubahan struktur di unit kantor operasional, organisasi Kantor Pusat DJP juga dilakukan modernisasi untuk memenuhi kebutuhan good governance dan clean government. Di Kantor Pusat dibentuk Direktorat yang menangani pengembangan sistem informasi dan proses bisnis serta dibentuknya satu unit khusus Pusat Pengolahan Data Perpajakan dan Direktorat Intelijen dan Penyidikan.

Adapun roadmap modernisasi Struktur Organisasi DJP adalah sebagai berikut :a. Dimulai sejak 2002 dengan terbentuknya Kanwil dan KPP LTOb. 2003 : Modernisasi Kanwil DJP Jakarta Khususc. 2004 : Modernisasi Kanwil DJP Jakarta Pusat dan 15 KPP Pratamad. 2005 : Pembentukan KPP Madya Jakarta Pusat dan KPP Madya Batame. 2006 : Modernisasi KP DJP dan Pembentukan 17 KPP Madya di seluruh Indonesiaf. 2007 : Pembentukan KPP Pratama di seluruh P Jawa dan Bali serta Pembentukan Pusat Pengolahan Data & Dok. Perpajakang. 2008 : Pembentukan KPP Pratama di luar Jawa & Balih. 2009 : Pembentukan KPP WP Besar Orang Pribadi

Secara terperinci, perjalanan modernisasi sistem administrasi perpajakan dapat dilihat melalui gambar 4.1.

Page 94: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

92 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Gambar 4.1. Perjalanan Modernisasi Administrasi Perpajakan 2002-2008

4.1.1.1.2. Sumber Daya Manusia

Reformasi di bidang sumber daya manusia dimulai dengan diadakannya mapping seluruh pegawai dan seleksi pegawai yang akan ditempatkan pada unit kantor modern. Selanjutnya dibuatkan job grading untuk setiap jabatan, disertai dengan penyusunan Key Performance Indicator (KPI). Selain itu, diberlakukan juga kode etik pegawai yang menjadi acuan dalam pelaksanaan tugas. Sejalan dengan penerapan merrit system, kepada pegawai diberikan renumerasi yang lebih baik.

4.1.1.1.3. Proses Bisnis

Dalam setiap pelaksanaan tugas dibuatkan Standard Operating Procedure (SOP) sehingga setiap alur pekerjaan telah memiliki panduan yang baku dan terstruktur bagi setiap pegawai. Saat ini, untuk memantapkan pelaksanaan tugas pelayanan dan pengawasan, DJP berupaya memanfaatkan Balance Score Card (BSC) sebagai sarana informasi dini.

4.1.1.2. Reformasi di bidang Peraturan dan Perundang-undangan

Reformasi kebijakan perpajakan DJP dilakukan melalui amandemen tiga undang-undang perpajakan, yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; dan Amandemen atas Undang Undang PPN yang sampai saat ini masih dalam pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Termasuk dalam reformasi kebijakan adalah penyempurnaan atas ketentuan-ketentuan yang menjadi aturan pelaksanaan dari kedua undang-undang yang telah disahkan tersebut.

Modernisasi Administrasi Perpajakan

Page 95: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara 9�

www.depkeu.go.id

4.1.1.2.1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Tujuan utama amandemen Undang-Undang KUP adalah meningkatkan kesetaraan antara wajib pajak dan petugas pajak, penegakan hak dan kewajiban wajib pajak, kepastian hukum dan penyederhanaan proses, serta prosedur perpajakan. Beberapa pokok perubahan UU KUP antara lain: a. Batas akhir penyampaian SPT tahunan PPh, semula paling lambat 3 (tiga) bulan berubah menjadi 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak.b. WP dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa SPT masa pajak dalam 1 (satu) masa pajak.c. Jangka waktu pelunasan SKP bagi WP usaha kecil dan di daerah tertentu dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan.d. Daluwarsa penagihan pajak diperpendek dari 10 (sepuluh) tahun menjadi 5 (lima) tahun.e. Jumlah pajak yang belum dibayar yang sedang diajukan keberatan tidak termasuk dalam utang pajak.

4.1.1.2.2. Undang-Undang Pajak Penghasilan

Tujuan amendemen UU PPh adalah untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak melalui penurunan tarif, perluasan biaya, pemberian insentif, penyederhanaan, dan berbagai kemudahan perpajakan yang pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan penerimaan negara dari perpajakan. Beberapa pokok perubahan UU PPh antara lain :a. Penurunan tarif pajak penghasilan:

(i) Bagi WP Badan pribadi, tarif tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menghapus lapisan tarif 10%. Degan demikian, lapisan tarif berkurang dari 5 (lima) menjadi 4 (empat). Selain itu, juga memperluas lapisan penghasilan kena pajak (income bracket). Lapisan tertinggi yang semula Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta;

(ii) Bagi WP Badan, PPh Badan menjadi tarif tunggal. Dari tarif yang semula terdiri dari 3 (tiga) lapisan, yaitu 10%, 15%, dan 30%, berubah menjadi tarif tunggal 28% pada 2009 dan menjadi 25% mulai tahun pajak 2010. Bagi WP Badan masuk bursa (go public) diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal, dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat; (iii) Bagi WP Badan usaha mikro, kecil, dan menengah yang peredaran usahanya sampai dengan Rp 50 milyar, diberikan insentif berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif PPh badan yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 milyar; (iv) Bagi WP OP tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto; (v) Bagi WP penerima jasa yang semula dipotong tarif PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan netto menjadi 2% dari peredaran bruto; (vi) Bagi WP OP penerima deviden yang semula dikenakan tarif PPh normal yang progresif dengan tarif sampai 35%, dikenai tarif final sebesar 10%; (vii) Bagi WP yang telah mempunyai NPWP, dibebaskan dari kewajiban pembayaran fiskal luar negeri sejak 2009, dan pemungutan fiskal luar negeri dihapus pada 2011.b. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi orang pribadi yang bersangkutan ditingkatkan sebesar 20%, dari Rp 13.200.000,00 menjadi Rp 15.840.000,00. Sedangkan untuk tunjangan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10%, dari Rp 1.200.000,00 menjadi Rp 1.320.000,00 dengan tanggungan maksimum 3 orang. c. Penerapan tarif pemotongan/pemungutan PPh yang berbeda: (i) Bagi WP penerima penghasilan dari pekerjaan yang tidak mempunyai NPWP dikenai pemotongan PPh Pasal 21 sebesar 20% lebih tinggi dari tarif normal; (ii) Bagi WP penerima penghasilan dari jasa yang tidak mempunyai NPWP dikenai pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 100% lebih tinggi dari tarif normal;

Page 96: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

9� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

(iii) Bagi WP yang dikenakan PPh Pasal 22 yang tidak mempunyai NPWP dikenai pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 100% lebih tinggi dari tarif normal.d. Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto: (i) Sumbangan yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa; (ii) Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional; (iii) Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan serta fasilitas pendidikan yang dilakukan di Indonesia; (iv) Bantuan atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; (v) Biaya pembangunan infrastruktur sosial.e. Pengecualian dari objek PPh: (i) Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun; (ii) Beasiswa; (iii) Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.f. Surplus Bank Indonesia ditegaskan kembali menjadi objek pajak.

4.1.1.2.3. Undang-Undang PPN dan PPnBM

Amandemen UU PPN dan PPnBM saat ini masih dalam tahap pembahasan dengan DPR. Adapun tujuan perubahannya antara lain memberikan kepastian hukum, menyederhanakan sistem PPN, efisiensi biaya, meningkatkan kepatuhan WP, dan mengamankan penerimaan pajak.

4.1.1.2.4. Program Sunset Policy

Pada 2008, pemerintah mengeluarkan kebijakan sunset policy, yaitu fasilitas penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) serta ketentuan pelaksanaannya. Kebijakan ini mengajak WP dan masyarakat untuk mulai melakukan kewajiban perpajakannya dengan benar. Kebijakan sunset policy juga didesain untuk mengakomodasi hasil kegiatan penggalian potensi melalui kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking. Fasilitas ini pada awalnya hanya berlaku mulai 1 Januari 2008 sampai 31 Desember 2008. Sehubungan dengan besarnya animo masyarakat terhadap program ini yang menyebabkan banyaknya antrian masyarakat yang tidak dapat dilayani oleh pihak perbankan untuk pembayaran pajak dan pelayanan pelaporan SPT di KPP, pemerintah melalui Perpu memperpanjang batas waktu pelaksanaan sunset policy menjadi sampai dengan 28 Februari 2009.

Fasilitas penghapusan sanksi administrasi di atas diberikan kepada seluruh masyarakat dan WP, baik orang pribadi maupun badan, dengan syarat:a. Orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam

tahun 2008 dan menyampaikan SPT tahunan pajak penghasilan (PPh) untuk tahun pajak 2007 dan tahun-tahun sebelumnya, selambat-lambatnya 31 Maret 2009; dan

b. WP orang pribadi dan badan yang dalam tahun 2008 membetulkan SPT tahunan PPh untuk tahun pajak 2006 dan tahun-tahun sebelumnya sehingga pajak yang kurang dibayar menjadi lebih besar. Sanksi yang dihapuskan adalah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% tiap bulan dari pajak yang kurang dibayar. Selain itu, tidak dilakukan pemeriksaan kecuali ada data yang menyatakan SPT tahunan PPh tersebut tidak benar atau SPT tersebut menyatakan lebih bayar atau rugi. Demikian pula dengan data dan informasi yang tercantum pada SPT Tahunan PPh yang disampaikan, tidak digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas pajak lainya.

Page 97: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara 9�

www.depkeu.go.id

Hasil langsung yang diperoleh dari progam sunset policy sampai dengan 28 Februari 2009 tersebut adalah: a. Penambahan jumlah NPWP baru sebanyak 5.653.128 NPWP; b. Penambahan jumlah SPT Tahunan PPh sebanyak 804.814 SPT; c. Penambahan jumlah penerimaan PPh sebanyak Rp 7,46 triliun.

4.1.1.3. Reformasi di Bidang Pengawasan dan Penggalian Potensi

Dalam rangka pengamanan penerimaan pajak secara berkesinambungan, DJP telah mendesain suatu metode pengawasan dan penggalian potensi penerimaan pajak yang terstruktur, sistematis, terukur, standar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode tersebut telah dikembangkan Ditjen Pajak sejak awal 2007 dalam suatu paket kegiatan yang saling terkait dan mendukung, yaitu program mapping, profiling, dan benchmarking. Program tersebut sederhana, mudah dilaksanakan, tidak merombak sistem informasi perpajakan yang sudah ada, dan mudah diawasi. Pengawasan yang dimaksud berisikan pengawasan terhadap kepatuhan WP sekaligus pengawasan terhadap pelaksanaan tugas petugas pajak. Paket kegiatan tersebut meliputi kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan yang dapat dilihat dalam gambar 4.2.

Gambar 4.2. Skema Penggalian Potensi Penerimaan Perpajakan

Sumber : DJP

Page 98: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

9� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

4.1.1.3.1. Intensifikasi Perpajakan

Sebagaimana diketahui, operasional penggalian potensi pajak dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Wilayah Ditjen Pajak (Kanwil DJP). Oleh karena itu, KPP dan Kanwil seharusnya mengetahui gambaran potensi perpajakan di wilayahnya secara umum maupun secara individual wajib pajak. Dalam rangka mendukung kegiatan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak telah melaksanakan kegiatan mapping yang dimaksudkan untuk mengetahui potensi pajaknya, serta kegiatan profiling yang dimaksudkan untuk mengetahui potensi individual wajib pajak di bidang perpajakan.

Potensi pajak yang ada di wilayah kerja masing-masing KPP dan Kanwil dapat dikategorikan berdasarkan kriteria wilayah, sektor usaha, jenis pajak, kelompok WP, maupun kriteria lainnya. Potensi wilayah tersebut perlu dipetakan sesuai dengan keunggulan dan keterbatasan masing-masing komponen. Di masing-masing kelompok dihitung potensi pajaknya menurut metode perhitungan yang sesuai, kemudian dibandingkan dengan realisasi penerimaan di kelompok tersebut untuk menghitung tax gap. Tax gap yang diperoleh dikombinasikan dengan keunggulan dan keterbatasan masing-masing kelompok yang digunakan sebagai dasar penentuan skala prioritas penggalian potensi penerimaan pajak selanjutnya. Jadi, pemetaan tersebut merupakan guidance untuk penggalian potensi individual WP agar terarah dan efektif.

Kegiatan mapping ini telah dilaksanakan sejak 2007 dan masih terus berjalan serta terus disempurnakan hingga sekarang. Nantinya diharapkan setiap unit/kantor, secara umum, dapat menyajikan potensi pajak sebenarnya di wilayahnya masing-masing. Tindak lanjut dari kegiatan mapping adalah penggalian potensi pajak secara individual dengan terlebih dahulu menghitung potensi pajak WP melalui profil dan analisis profil WP bersangkutan.

Pengukuran potensi pajak secara individual dilaksanakan dengan mengimplementasikan benchmark terhadap besaran atau akun yang relevan dengan potensi ekonomis WP, seperti kapasitas usaha, peredaran usaha, aset usaha, dan besaran lainnya sesuai dengan kegiatan usaha WP. Benchmark perpajakan merupakan hal yang sangat penting karena digunakan sebagai indikator penguji kewajaran pemenuhan kewajiban perpajakan, yakni sebagai pembanding terhadap besaran atau perhitungan yang berhubungan dengan kewajiban perpajakan WP.

4.1.1.3.1.1. Mapping

a. Pengertian dan Tujuan Mapping adalah pemetaan yang menggambarkan potensi perpajakan yang dapat dikelompokkan berdasarkan wilayah/lokasi, subjek/objek pajak, jenis pajak, sektor/subsektor usaha, sesuai kebutuhan dan keunggulan yang terdapat di wilayah kerja KPP serta Kanwil. Pembuatan Mapping bertujuan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai sesuatu yang ada di wilayahnya (terutama secara ekonomi), potensi perpajakan, keunggulan fiskal di wilayah kerja masing-masing kantor/unit kerja yang akan digunakan sebagai petunjuk dan sarana analisis dalam rangka penggalian potensi penerimaan pajak, serta pelayanan dan pengawasan yang terarah dan terukur.

b. Analisis dan Tindak Lanjut Mapping Dari data yang ada pada pengelompokan mapping, dilakukan analisis untuk mengetahui potensi pajak dan tax gap dari kelompok tersebut, tingkat risiko, serta petunjuk bagi penggalian potensi terhadap individual wajib pajak yang dilakukan berdasarkan skala prioritas melalui pembuatan profil individual wajib pajak.

Page 99: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara 9�

www.depkeu.go.id

4.1.1.3.1.2. Profiling

a. Pengertian dan Tujuan Profil WP adalah rangkaian data dan informasi fiskal WP secara individual yang memuat identitas dan kegiatan usaha serta riwayat perpajakan WP secara berkesinambungan. Profil WP diklasifikasikan atas data permanen, data akumulatif, dan data lainnya. Tujuan pembuatan profil WP antara lain untuk: (i) Mengenal dan mengetahui WP yang terdaftar di wilayah kerjanya; (ii) Menyajikan informasi yang dapat digunakan terutama untuk bahan analisis dan ukuran tingkat risiko kepatuhan WP; (iii) Memonitor perkembangan usaha dan potensi pajak WP yang bersangkutan; (iv) Melakukan pengawasan dan penggalian potensi; serta (v) pelayanan yang lebih baik.

b. Analisis dan Tindak Lanjut ProfilKegiatan analisis dilakukan untuk mengetahui kewajaran kegiatan/transaksi yang dilakukan oleh WP, potensi perpajakan, dan tax gap. Dengan demikian, dapat ditentukan tindak lanjut yang sesuai dalam rangka penggalian potensi pajak serta pengawasan dan pelayanan terhadap WP. Langkah atau upaya-upaya yang dilakukan untuk merealisasikan tax gap menjadi penerimaan pajak melalui perbaikan administrasi (pemutakhiran data dan pertukaran data, himbauan dan konseling, teguran, penagihan, pemeriksaan, penyidikan, monitoring pembayaran pajak, serta pembinaan/pelayanan WP melalui komunikasi, pemberian apresiasi, edukasi, dan pelayanan.

4.1.1.3.1.3. Benchmarking

a) Pengertian dan Tujuan Benchmark adalah suatu besaran berupa angka nominal atau rasio, baik dari segi keuangan maupun non keuangan yang dianggap sebagai ukuran wajar/normal dalam suatu keadaan tertentu.Tujuannya adalah untuk menyediakan indikator pembanding dari kegiatan usaha dan kewajiban perpajakan WP tertentu secara sistematis, logis, dan terukur. b) Manfaat Manfaat yang diperoleh dari benchmark adalah sebagai alat uji kewajaran pemenuhan kewajiban perpajakan, alat bantu bagi program intensifikasi/penggalian potensi pajak, dan sebagai alat untuk menghitung potensi pajak dan tax gap.

4.1.1.3.2. Ekstensifikasi Perpajakan

Program mapping dapat mengarahkan kegiatan ekstensifikasi yang akan dilaksanakan. Ekstensifikasi adalah perluasan basis perpajakan (penambahan WP) dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak. Terdapat tiga pendekatan dalam program ekstensifikasi: a. Pendekatan berbasis pemberi kerja dan bendahara pemerintah, dengan sasaran karyawan, meliputi pemegang saham atau pemilik perusahaan, komisaris, direksi, staf, pekerja, serta pegawai negeri sipil (PNS) dan pejabat negara;b. Pendekatan berbasis properti, dengan sasaran orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan, dan perumahan;c. Pendekatan berbasis profesi, dengan sasaran dokter, artis, pengacara, notaris, akuntan, dan profesi lainnya.

4.1.2. Di Bidang Kepabeanan dan Cukai

Saat ini, titik berat tugas di bidang kepabeanan dan cukai telah bergeser dari Revenue Collector ke Trade Facilitator, Industrial Assistance, dan Community Protector yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan industri serta investasi dalam negeri. Kecenderungan ini dapat dilihat dari penurunan kontribusi target penerimaan bea masuk terhadap target penerimaan perpajakan dalam tahun 2006, 2007, dan 2008. Apabila dalam tahun 2006 target penerimaan bea masuk adalah 3,21 persen maka dalam tahun 2007 target tersebut turun menjadi 2,93 persen dan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2008 turun menjadi 2,60 persen.

Page 100: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

9� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Penurunan kontribusi tersebut seiring dengan adanya kebijakan penurunan tarif, baik melalui kebijakan penurunan tarif bea masuk (MFN) maupun melalui bentuk kerjasama ekonomi antarnegara, dengan skema free trade area (FTA) dan economic partnership agreement (EPA). Tujuan diterapkannya FTA dan EPA adalah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif, meningkatkan efisiensi industri dalam negeri, mengendalikan konsumsi, optimalisasi penerimaan negara, dan mendukung komitmen kebijakan perdagangan internasional.

4.1.2.1. Kepabeanan Guna mencapai tujuan diterapkannya kerjasama ekonomi internasional tersebut, kebijakan kepabenan diarahkan untuk lebih fokus pada: a. Peningkatan kecepatan, kemudahan, dan keadilan dalam proses pelayanan;b. Kelancaran arus barang ekspor dan impor;c. Kepastian waktu dan proses dalam pelayanan;d. Penghapusan praktik yang menimbulkan biaya tinggi; e. Sistem pelayanan yang mudah, murah, dan sederhana;f. Penerapan prinsip-prinsip good governance dalam pelayanan (reformasi kepabea-nan);g. Hubungan atau kerjasama internasional. Dalam rangka pencapaian sasaran di atas, strategi yang telah dilaksanakan antara lain: a. Perluasan jalur prioritas; b. Pengembangan otomasi sistem pelayanan kepabeanan dan cukai; c. Pemberian fasilitas/kemudahan dalam pelayanan kepabeanan (pre-entry classification dan customs advice, dan evaluation ruling, serta pre-notification); d. Pemberian fasilitas terhadap industri substitusi impor dan industri yang berorientasi ekspor.e. Pemberian perlindungan terhadap industri dalam negeri; f. Pembentukan kantor pelayanan utama dan KPPBC Madya; g. Melakukan audit bersama Ditjen Pajak dan BPKP atas eksportir komoditi CPO dan turunannya serta meningkatkan pengawasan perdagangan antar pulau komoditi CPO dan turunannya; h. Meningkatkan pengawasan fisik dan administrasi, khususnya terhadap lalu lintas BBM dan CPO baik ekspor impor maupun antarpulau; i. Melakukan kerjasama Internasional, baik regional, bilateral, maupun multilateral.

Di samping itu, guna meningkatkan kecepatan penyelesaian proses ekspor impor dan melakukan integrasi informasi yang berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, sejak 2007 telah diterapkan National Single Windows (NSW) dan Portal Indonesia National Single Windows.

4.1.2.1.1. National Single Windows (NSW) NSW adalah sistem yang memungkinkan dilakukannya single submission of data and information, single and synchronous processing of data and information, dan single decision making for customs release and clereance of cargoes.

Tujuan umum dari penerapan sistem NSW:a. Meningkatkan kecepatan penyelesaian proses ekpor impor melalui peningkatan efektivitas dan kinerja sistem layanan yang terintegrasi antar seluruh entitas yang terkait;b. Meminimalisasi waktu dan biaya yang diperlukan dalam penanganan lalu lintas barang ekspor impor;c. Meningkakan validitas dan akurasi data serta informasi yang terkait dengan kegiatan ekspor dan impor;d. Meningkatkan daya saing perekonomian nasional dan mendorong masuknya investasi.

Page 101: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara 99

www.depkeu.go.id

Visi penerapan sistem NSW adalah terwujudnya lingkungan NSW di Indonesia, yaitu layanan tunggal elektronik untuk memfasilitasi pengajuan informasi standar guna menyelesaikan semua pemenuhan persyaraan dan ketentuan, serta semua kegiatan yang terkait dengan kelancaran arus barang ekspor, impor, dan ransit, dalam rangka meningkatkan daya saing global. Sedangkan misi dari NSW adalah mewujudkan suatu sistem layanan publik yang terintegrasi dalam pelayanan, pengawasan, serta penanganan atas lalu lintas ekspor dan impor.

4.1.2.1.2. Portal Indonesia National Single Windows Merupakan sistem yang akan melakukan integrasi informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan dan pengeluaran barang untuk menjamin keamanan data dan informasi, serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis. Sistem ini meliputi sistem kepabeanan, perizinan, kepelabuhanan atau kebandarudaraan, dan sistem lain yang terkait dengan proses penanganan dokumen kepabeanan serta pengeluaran barang.

4.1.2.2. Cukai Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, secara bertahap telah dan akan dilakukan penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan pelaksanaan maupun sistem-prosedur di bidang cukai sehingga pembaharuan kebijakan tersebut lebih diarahkan pada perlindungan atas kesehatan masyarakat, mengingat barang kena cukai adalah barang yang peredarannya tidak diinginkan bahkanjuga dibatasi. Namun demikian, kebijakan tersebut harus tetap mempertimbangakan faktor daya serap tenaga kerja produsen BKC yang cukup besar serta pertimbangan sisi penerimaan negara dari sektor cukai yang cukup signifikan.

Dalam rangka pencapaian sasaran di bidang cukai, strategi yang dilaksanakan antara lain: a. Perubahan ketentuan mengenai perizinan di bidang cukai;b. Penyederhanaan golongan pengusaha dan tarif cukai; c. Peningkatan pelayanan di bidang cukai; d. Peningkatan pengawasan di bidang cukai; e. Peningkatan pemahaman ketentuan di bidang cukai (sosialisasi); f. Penerapan kode etik (reward and punishment).

Terkait dengan krisis global, strategi dan kebijakan DJBC dalam pencapaian target penerimaan adalah: a. Penundaan pembayaran cukai untuk jenis hasil tembakau SKT disamakan dengan jenis hasil tembakau SKM dan SPM; b. Selektivitas persetujuan permohonan penyediaan pita cukai (P3C) izin Dirjen berdasarkan manajemen risiko; c. P3C izin Dirjen untuk jenis hasil tembakau SKM/SPM tidak dibatasi; d. Pengawasan administrasi pembukuan BKC yang intensif; e. Pemanfaatan profiling dalam pelayanan dan pengawasan di bidang cukai sebagaimana SE 07/ BC/2009; f. Penambahan persyaratan jaminan dalam kemudahan pembayaran cukai, berkala ataupun penundaan; dan g. Pengenaan sanksi yang menimbulkan efek jera dalam setiap penindakan di bidang cukai.

Page 102: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

100 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

4.1.2.3. Di Bidang Penerimaan Pungutan Ekspor Sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, sejak 2008 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki tanggung jawab untuk melakukan pungutan atas bea keluar. Tujuan pengenaan bea keluar tersebut tidak semata-mata ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara, tapi lebih pada upaya untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumberdaya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu, dan menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri. Dengan berlakunya UU Nomor 17 tahun 2006 tersebut maka penerimaan atas pungutan ekspor beralih dari penerimaan Direktorat Jenderal Anggaran menjadi penerimaan Direktorat Jenderal Bea Cukai.

Sementara itu, strategi yang dilakukan untuk mengoptimalkan penerimaan Pungutan Ekspor adalah melakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan ekspotir dalam memenuhi kewajiban pungutan ekspor dan melakukan sosialisasi kepada pemangku kepentingan (stakeholder) terkait tentang adanya perubahan kebijakan pungutan ekspor.

4.1.3. Di Bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak

PNBP saat ini merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan negara atas kegiatan pemerintahan yang pengelolaannya harus mencerminkan kepastian hukum tertib adminsitrasi, akuntabel, dan transparan. Namun, di lain pihak, pengelolaan PNBP belum dapat dilakukan dengan optimal. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah untuk mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak, baik penerimaan LPND, penerimaan departemen, penerimaan SDA nonmigas, pungutan ekspor, laba BUMN, maupun pertambangan panas bumi.

4.1.3.1. Penerimaan Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND)

Dalam upaya pencapaian optimalisasi dan efektivitas PNBP yang bersumber dari kementerian/lembaga, ditempuh beberapa langkah sebagai berikut: a. Identifikasi dan inventarisasi potensi PNBP yang bersumber dari kementerian/lembaga; b. Evaluasi dan perbaikan sistem dan prosedur yang mendukung PNBP; c. Menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan Realisasi PNBP; d. Menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2005 tentang Pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan Pajak; e. Pengawasan bertahap secara selektif (post audit) terhadap departemen/lembaga untuk dilakukan audit; f. Pembentukan tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN).

4.1.3.2. Penerimaan Departemen dan SDA Non Migas

Beberapa kebijakan yang telah ditempuh antara lain:a. Optimalisasi dan efektivitas pemungutan PNBP, termasuk PNBP sektor sumber daya alam (SDA) non-migas. (i) Dalam upaya pencapaian optimalisasi dan efektivitas pemungutan PNBP, ditempuh beberapa langkah, yaitu mengevaluasi perundang-undangan, sistem, dan prosedur yang berkaitan dengan penerimaan negara; mengevaluasi potensi, target (rencana), dan realisasi penerimaan negara; serta melakukan pemeriksaan (post audit) PNBP. (ii) Sementara itu, untuk mengoptimalkan dan mengefektifkan pemungutan PNBP sektor SDA non- migas, dilakukan hal-hal seperti: pengujian ketaatan wajib bayar PNBP SDA non-migas; pengujian kebenaran formal dan material atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban PNBP SDA

Page 103: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara 101

www.depkeu.go.id

non-migas oleh wajib bayar; pengidentifikasian dan penginventarisasian potensi PNBP SDA non-migas dan pencarian sumber-sumber PNBP non-migas yang belum tergali secara optimal; dan pengevaluasian dan perbaikan sistem dan prosedur yang mendukung PNBP agar sejalan dengan upaya optimalisasi penerimaan negara.b. Peninjauan dan penyempurnaan peraturan PNBP pada masing-masing kementerian negara.c. Peningkatan pengawasan terhadap pelaksanaan pemungutan dan penyetoran PNBP yang dikelola kementerian negara/lembaga.d. Penyiapan rumusan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi PNBP yang berasal dari PNBP Departemen dan PNBP sumber daya alam nonminyak bumi dan gas alam serta memantau pelaksanaannya.e. Penyusunan rencana perkiraan penghitungan dan pelaksanaan pemungutan PNBP dari departemen. (i) Pemantauan, penelaahan, evaluasi, dan verifikasi laporan di bidang PNBP dari departemen dan sumber daya alam non minyak bumi dan gas alam. (iii) Pelaksanaan penghitungan dan penyiapan usulan jumlah penyaluran dana bagi hasil sumber daya alam (SDA) nonmigas alam kepada daerah.

4.1.3.3. Penerimaan Laba BUMN

Strategi yang dilaksanakan dalam meningkatkan penerimaan PNBP dari laba BUMN adalah: a. Penyempurnaan peraturan yang terkait dengan penerimaan bagian pemerintah atas deviden BUMN;b. Meningkatkan monitoring penerimaan laba BUMN;c. Mengintensifkan penagihan kepada BUMN yang masih mempunyai tunggakan pembayaran dividen bagian pemerintah;d. Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait, terutama dengan Kementerian BUMN;e. Melakukan audit terhadap BUMN untuk mengetahui kemampuan keuangan perusahaan BUMN yang bersangkutan.

4.1.3.4. Penerimaan dari Hasil Pertambangan Panas Bumi

Selama tahun 2004 – 2009, pemerintah telah melakukan kebijakan yang terkait dengan penerimaan dari hasil usaha panas bumi, yaitu:a. Ditetapkannya Undang-undang (UU) No. 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi, yang berlaku untuk kontrak baru, sementara kontrak yang sudah ada, kewajiban setoran kepada negara tetap mengacu pada Keputusan Presiden No. 49 tahun 1991;b. Ditetapkannya UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; c. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 165/PMK.03/2008 tentang Mekanisme Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah (PPh DTP) dan Penghitungan PNBP atas Hasil Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Pembangkitan Energi/Listrik; d. Peraturan Menteri Keuangan No. 22/PMK.02/2009 tentang Mekanisme Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah (PPh DTP) dan Penghitungan PNBP atas Hasil Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Pembangkitan Energi/Listrik TA 2009.

4.2. Perkembangan Realisasi Pendapatan Negara dan Kebijakan Pendukungnya

Sejalan dengan perkembangan aktivitas perekonomian dan berbagai langkah perbaikan dan penyempurnaan kebijakan yang telah ditempuh, kinerja pendapatan negara dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Dalam periode 2004-2009, pendapatan negara mengalami kenaikan 2 kali lipat, yakni dari Rp 403,4 triliun menjadi Rp 848,6 triliun. Perkembangan pendapatan negara dan hibah dapat dilihat pada tabel 4.1.

Page 104: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

102 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Pada 2009, target penerimaan pajak tanpa PPh migas ditetapkan sebesar Rp 549.059,2 milyar atau tumbuh sebesar 11,13% dibandingkan realisasi 2008. Rendahnya tingkat pertumbuhan tersebut disebabkan oleh adanya potential loss yang cukup besar dengan diberlakukannya UU PPh, tidak ada lagi sektor yang booming seperti halnya 2008, dan krisis keuangan global. Perkembangan rencana dan realisasi penerimaan PPh nonmigas dan PPn dan PPnBM dapat dilihat pada grafik 4.1. dan grafik 4.2.

4.2.1. Penerimaan Perpajakan 2004-2009

Realisasi penerimaan pajak selama kurun waktu 2004-2008 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada 2004, realisasi penerimaan DJP Tanpa PPh Migas mencapai sebesar Rp 215,70 triliun dan pada tahun 2008 mencapai Rp 494,08 triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp 278,39 triliun (129,06%). Secara rinci, penerimaan pajak selama kurun waktu 2004-2008 dapat dilihat pada tabel 4..2.

Tabel 4.2. Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak 2004-2008 (dalam triliun rupiah)

No Jenis Pajak2004 2005 2006 2007 2008

Renc. Real. % Penc. Renc. Real. % Penc. Renc. Real. % Penc. Renc. Real. % Penc. Renc. Real. % Penc.

1 PPh Non Migas 112.8 96.6 85.6% 143.0 140.4 98.2% 175.0 165.6 94.6% 214.5 194.4 90.7% 251.4 250.5 99.6%

2 PPN & PPnBM 87.5 102.6 117.2% 102.7 101.3 98.7% 132.9 123.0 92.6% 152.1 154.5 101.6% 195.5 209.6 107.3%

3 PBB 10.2 11.8 115.2% 13.4 16.2 121.2% 18.2 20.9 114.9% 22.0 23.7 107.7% 25.3 25.4 100.4%

4 BPHTB 3.2 2.9 91.7% 3.7 3.4 93.7% 4.4 3.2 72.6% 4.0 6.0 150.1% 5.4 5.6 102.6%

5 Pajak Lainnya 1.8 1.9 101.8% 2.2 2.1 93.3% 2.6 2.3 88.3% 2.7 2.7 100.7% 3.4 3.0 90.5%

6 Pen. DJP Tanpa PPh Migas

215.5 215.7 100.1% 264.9 263.4 99.4% 333.0 315.0 94.6% 395.2 381.4 96.5% 480.9 494.1 102.7%

7 PPh Migas 23.1 22.9 99.4% 37.2 35.1 94.4% 38.7 43.2 111.6% 37.3 44.0 118.1% 53.6 77.0 143.6%

8 Pen. DJP Termasuk PPh Migas

238.6 238.6 100.0% 302.2 298.5 98.8% 371.7 358.2 96.4% 432.5 425.4 98.3% 534.5 571.1 106.8%

(triliun rp)

Keterangan2004 2005 2006 2007 2008 2009

APBN-P LKPP APBN-P LKPP APBN-P LKPP APBN-P LKPP APBN-P LKPP APBN Dok.Stim

Pendapatan Negara dan Hibah 403.77 403.37 380.38 495.22 659.11 637.99 694.09 707.80 894.99 981.82 985.72 848.50

I. Penerimaan Dalam Negeri 403.03 403.10 379.63 493.92 654.88 636.15 690.26 706.11 892.04 979.52 984.79 847.60

Penerimaan Perpajakan 279.21 280.56 297.84 347.03 425.05 409.20 492.01 490.99 609.23 658.67 725.84 661.70

Pajak Dalam Negeri 267.03 267.817 285.481 331.791 410.226 395.971 474.551 470.051 580.248 622.355 697.3 642.2

Pajak Perdagangan Internasional 12.17 12.741 12.362 15.239 14.826 13.231 17.459 20.936 28.979 36.311 28.5 19.5

Penerimaan Bukan Pajak 123.82 122.545 81.783 146.888 229.829 226.95 198.253 215.119 282.814 320.853 258.9 185.9

II. Hibah 0.74 0.262 0.75 1.304 4.232 1.834 3.823 1.697 2.948 2.299 0.9 0.9

Tabel 4.1. Perkembangan Pendapatan Hibah 2004-2009

Page 105: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara 10�

www.depkeu.go.id

Grafik 4.1. Perkembangan Rencana dan Realisasi PPh Nomigas 2004-2008

Grafik 4.2. : Perkembangan Rencana dan Realisasi Penerimaan PPN dan PPnBM 2004-2008

2004 2005 2006 2007 2008

Sumber: Departemen Keuangan

250.0

200.0

150.0

100.0

50.0

-

Rencana RealisasiRp triliun

Sumber: Departemen Keuangan

2004 2005 2006 2007 2008

300.0

250.0

200.0

150.0

100.0

50.0

-

Rencana RealisasiRp triliun

Sementara itu, rata-rata pertumbuhan penerimaan DJP tanpa PPh migas periode 2004-2008 sebesar 21,7%, sedangkan rata-rata pertumbuhan penerimaan DJP dalam periode 1999-2003 hanya sebesar 15,2%. Dengan demikian, terjadi peningkatan nominal sebesar 6,53% atau peningkatan pertumbuhan sebesar 42,75% dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan periode sebelumnya.

Pertumbuhan penerimaan pajak tahun 2008 merupakan pertumbuhan penerimaan tertinggi yang pernah dicapai DJP selama 5 tahun terakhir. Pertumbuhan penerimaan DJP tanpa PPh migas pada 2008 mencapai 29,3% disebabkan oleh kegiatan penggalian potensi yang dilaksanakan oleh DJP melalui mapping, profiling, benchmarking, sunset policy, serta booming pada sektor-sektor tertentu. Sedangkan pertumbuhan penerimaan DJP, termasuk PPh migas, sebesar 34,0% disebabkan oleh kenaikan harga minyak mentah di pasaran internasional. Kinerja Penerimaan DJP tanpa migas dapat dilihat dalam tabel 4.3.

Tabel 4.3. Kinerja Penerimaan Perpajakan 2004-2008Triliun Rupiah

No Uraian 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata 2004-2008

1 Penerimaan Dalam Negeri 403.10 493.92 636.15 706.11 978.72

2 Total Penerimaan Perpajakan 280.56 347.03 409.20 490.99 658.67

3 Total Penerimaan DJP termasuk PPh Migas 238.64 298.54 358.20 425.37 571.10

4 Penerimaan PPh Migas 22.95 35.14 43.19 44.00 77.02

5 Penerimaan DJP tanpa PPh Migas 215.70 263.39 315.01 381.37 494.08

6 Pertumbuhan Pen. DJP termasuk PPh Migas 16.61% 25.10% 19.99% 18.75% 34.26% 22.94%

7 Pertumbuhan Pen. DJP tanpa PPh Migas 16.16% 22.11% 19.60% 21.07% 29.55% 21.70%

8 Pertumbuhan Ekonomi 5.00% 5.60% 5.60% 6.30% 6.20%

9 Inflasi 6.40% 17.10% 6.80% 6.59% 11.06%

10 Pertumb. Alami Pen. DJP 11.72% 16.16% 12.78% 13.31% 17.95%

11 Peningkatan Kinerja Pen. DJP termasuk PPh Migas 4.89% 8.94% 7.20% 5.45% 16.31% 8.56%

12 Peningkatan Kinerja Pen. DJP tanpa PPh Migas 4.44% 5.95% 6.82% 7.76% 11.61% 7.31%

Sumber: Departemen Keuangan

Page 106: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

10� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

4.2.2. Penerimaan Kepabeanan dan Cukai

Selain melaksanakan tugas menghimpun penerimaan negara (revenue collection), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga mengemban tugas untuk melancarkan arus barang (trade facilitation), membantu menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pertumbuhan industri dan investasi melalui pemberian fasilitas kepabeanan dan cukai serta pencegahan unfair trading (industrial assistance), dan menjamin perlindungan masyarakat terhadap ekses yang timbul sebagai akibat dari masuknya barang-barang pembatasan dan larangan (community protection). Namun, titik berat tugas di bidang kepabeanan dan cukai saat ini telah bergeser dari Revenue Collector ke Trade Facilitator, Industrial Assistance dan Community Protector yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan industri serta investasi dalam negeri.

Tahun PajakOrang Pribadi Badan Total

Jumlah Growth Jumlah Growth Jumlah Growth 1999 1,301,212 3.3% 637,922 11.9% 1,939,134 6.0%2000 1,457,722 12.0% 772,187 21.0% 2,229,909 15.0%2001 1,777,355 21.9% 853,588 10.5% 2,630,943 18.0%2002 2,030,572 14.2% 868,258 1.7% 2,898,830 10.2%2003 2,337,523 15.1% 954,544 9.9% 3,292,067 13.6%

Rata-rata 13.3% 11.0% 12.5%2004 2,637,019 12.8% 1,035,791 8.5% 3,672,810 11.6%2005 2,959,006 12.2% 1,399,008 35.1% 4,358,014 18.7%2006 3,251,753 9.9% 1,553,537 11.0% 4,805,290 10.3%2007 5,431,689 67.0% 1,705,334 9.8% 7,137,023 48.5%2008 8,807,666 62.2% 1,874,433 9.9% 10,682,099 49.7%

Rata-rata 32.8% 14.9% 27.7%2009 11,020,104 25.1% 1,909,315 1.9% 12,929,419 21.0%

Sumber: Departemen Keuangan

Kinerja penerimaan DJP tanpa PPh migas dan termasuk PPh migas pada 2008 mencapai 11,3% dan 16,0% yang merupakan peningkatan kinerja tertinggi yang pernah dicapai DJP selama 5 tahun terakhir. Kinerja tersebut lebih tinggi dari rata-rata penerimaan DJP tanpa PPh migas dan termasuk migas periode 2004-2008, yaitu 7,3% dan 8,6%. Pada 2009, target penerimaan pajak nonmigas ditetapkan sebesar Rp 549,1 triliun atau tumbuh sebesar 11,1% dibandingkan realisasi 2008. Hal ini diharapkan dapat dicapai oleh DJP dengan melanjutkan program-program sebelumnya dan membuat terobosan-terobosan baru untuk mencapai target penerimaan yang telah ditentukan.

Jumlah wajib pajak dalam 2 tahun terakhir (2007-2008) mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu 67,0% dan 62,2% sehingga rata-rata periode 2004 sampai 2008 mencapai 32,8%. Pertumbuhan ini jauh di atas rata-rata pertumbuhan periode 5 tahun sebelumnya, yaitu 13,3%. Peningkatan ini merupakan hasil dari program ekstensifikasi dan Sunset Policy yang sangat intensif dilaksanakan pada 2007 dan 2008. Pada 2009, hanya dalam tempo 2,5 bulan, telah dicapai pertumbuhan sebesar 25,1%. Rata-rata pertumbuhan jumlah WP terdaftar periode 2004 s.d. 2008 sebesar 27,7%, jauh lebih tinggi dibanding rata-rata periode yang sama 5 tahun sebelumnya, yaitu sebesar 12,5% atau mengalami pertumbuhan sebesar 121,6%. Perkembangan jumlah WP dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4. Jumlah Wajib Pajak Terdaftar 1999-2009

Page 107: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara 10�

www.depkeu.go.id

Untuk itu, kebijakan di bidang kepabeanan, dalam hal ini penerimaan bea masuk, mulai diarahkan agar fokus pada kelancaran arus barang, pemberian fasilitas keringanan dan pembebasan bea masuk, serta fasilitas kawasan berikat sehingga dapat mengurangi ekonomi biaya tinggi dan menciptakan iklim yang mendorong pertumbuhan industri serta investasi.

Mulai tahun anggaran 2008, DJBC mendapat tambahan target penerimaan pajak dari aktivitas ekspor barang komoditi tertentu yang dikenakan pungutan ekspor/bea keluar. Penggunaan bahan bakar alternatif yang berbahan dasar CPO sebagai pengganti bahan bakar minyak bumi dalam tahun 2009 akan semakin meningkat. Sebagai konsekuensinya, harga CPO dan turunannya di pasaran internasional akan semakin meningkat karena meningkatnya kebutuhan dunia terhadap CPO. Dengan produksi CPO yang cukup signifikan, bahkan termasuk yang terbesar di dunia, maka penerimaan bea keluar atas ekspor CPO dan turunannya menjadi lebih diandalkan konstribusinya sebagai sumber penerimaan negara dari sektor perdagangan internasional. Perkembangan penerimaan bea masuk dapat dilihat pada grafik 4.3.

4.2.2.1. Penerimaan Bea Masuk dan Pajak Ekspor/Bea Keluar

Saat ini, titik berat tugas di bidang kepabeanan telah bergeser dari Revenue Collector ke Trade Facilitator, Industrial Assistance dan Community Protector. Hal ini dapat dilihat dengan penurunan kontribusi target penerimaan bea masuk terhadap target penerimaan perpajakan untuk tahun anggaran 2006, 2007, dan 2008. Apabila pada tahun anggaran 2006 kontribusi target penerimaan bea masuk adalah 3,2% maka pada tahun anggaran 2007 turun menjadi 2,9% dan dalam APBN-P tahun anggaran 2008 turun menjadi 2,6%. Penurunan kontribusi penerimaan bea masuk ini seiring dengan adanya kebijakan tarif yang diarahkan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan investasi (tariff protection), peningkatan efisiensi industri dalam negeri (insentive/industry assistance), pengendalian konsumsi, optimalisasi penerimaan negara, dan mendukung kebijakan perdagangan internasional. Misalnya, adanya kesepakatan perjanjian perdagangan antar kawasan seperti WTO, ASEAN Free Trade Area, Free Trade Area (FTA) ASEAN-China, EPA Indonesia-Jepang, FTA Indonesia-Korea Selatan, dan FTA ASEAN-India.

Pencapaian penerimaan bea masuk dan pajak ekspor/bea keluar sejak 2004 s.d. 2008 dapat disajikan dalam tabel 5.5.

Tabel 4.5. Pencapaian Target Penerimaan Bea Masuk dan PE/Bea Keluar (Triliun Rp)

TahunBea Masuk PE / Bea Keluar

Target APBN-P Realisasi Pencapaian Target APBN-P Realisasi Pencapaian

2004 11.8 12.4 105.1% 0.3 0.3 94.5%

2005 14.6 14.9 101.9% 0.3 0.3 92.3%

2006 13.6 12.1 89.4% 0.4 1.1 260.5%

2007 14.4 16.7 115.8% 3.0 4.2 139.3%

2008* 15.8 22.8 143.9% 11.2 13.5 121.4%

Sumber : Departemen Keuangan, tahun 2008 tidak termasuk nilai BM DTP sebesar Rp2 Triliun

Page 108: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

10� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Sementara itu, penerimaan bea keluar, khususnya dari ekspor CPO dan turunannya, akan sangat tergantung pada kebijakan pemerintah. Di satu sisi sebagai sumber penerimaan negara yang cukup potensial, di sisi lain kebijakan pemerintah digunakan sebagai alat stabilitas dalam negeri berkaitan dengan ketersediaan produk CPO dan turunannya. Perkembangan penerimaan bea keluar dapat dilihat pada grafik 4.4.

Grafik 4.4. Perkembangan Pencapaian Target Penerimaan PE/Bea Keluar

Grafik 4.3. Perkembangan Pencapaian Target Penerimaan Bea Masuk

Sumber: Departemen Keuangan

Target

6.000

5.000

4.000

3.000

2.000

1.000

0

2004 2005 2006 2007 2008

T1 T2 T3 T4 T1 T2 T3 T4 T1 T2 T3 T4 T1 T2 T3 T4 T1 T2 T3 T4

Realisasi

Sumber: Departemen Keuangan

Target

7

6

5

4

3

2

1

0

Realisasi

2004 2005 2006 2007 2008

T1 T2 T3 T4 T1 T2 T3 T4 T1 T2 T3 T4 T1 T2 T3 T4 T1 T2 T3 T4

Page 109: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara 10�

www.depkeu.go.id

4.2.3. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

Dalam kurun waktu 2004-2008, PNBP mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 27,2 persen. Pertumbuhan tersebut didukung oleh pertumbuhan dalam penerimaan sumber daya alam (SDA) sebesar 25,2 persen, dividen BUMN sebesar 31,3 persen, dan PNBP lainnya sebesar 33,6 persen. Secara umum, faktor yang mempengaruhi PNBP adalah besaran asumsi makro, yakni harga minyak, nilai tukar, dan produksi/lifting minyak; besaran cost recovery; kebijakan pemerintah dalam dividen BUMN yang meliputi pay out ratio, penarikan dividen interim; serta perbaikan administrasi tarif, volume PNBP dari K/L.

4.2.3.1. PNBP SDA

PNBP SDA merupakan penerimaan yang bersumber dari PNBP SDA migas, terdiri dari penerimaan minyak bumi dan penerimaan gas bumi; serta PNBP SDA non migas, meliputi pertambangan umum, kehutanan,dan perikanan. Selama kurun waktu 2004-2008, PNBP SDA meningkat sebesar 19,6 persen dan pertumbuhan tertinggi terjadi pada 2008 sebesar 68,9 persen. Perkembangan PNBP SDA dapat dilihat pada grafik 4.5.5

Untuk mengoptimalkan kebijakan pemerintah dan mencegah dampak negatif atas kebijakan bea keluar, seperti terjadinya eksportasi illegal CPO, mulai 2008 DJBC melakukan audit bersama Ditjen Pajak dan BPKP atas eksportir komoditi CPO dan turunannya, serta meningkatkan pengawasan perdagangan antarpulau komoditi CPO dan turunannya untuk mencegah terjadinya penyelundupan ke luar negeri. Selain komoditi CPO dan turunannnya, potensi penerimaan bea keluar diperkirakan dari komoditi seperti kayu, rotan, pasir, dan kulit.

4.2.2.2. Penerimaan Cukai

Penerimaan cukai bersumber dari cukai hasil tembakau, cukai ethyl alkohol, dan cukai minuman mengandung ethyl alcohol (MMEA). Penerimaan cukai hasil tembakau yang merupakan penerimaan paling dominan dari sekor cukai, menunjukkan kecenderungan meningkat, terutama dipengaruhi oleh peningkatan produksi rokok, harga jual eceran (HJE), serta kebijakan tarif cukai hasil tembakau. Penerimaan cukai memberikan kontribusi pada kisaran 70% dari total penerimaan DJBC, sedangkan sisanya dari penerimaan bea masuk. Pencapaian penerimaan cukai sejak 2004 s.d. 2008 disajikan dalam tabel 4.6.

Tabel 4.6. Pencapaian Target Penerimaan Cukai

(Triliun Rp)

TahunCukai

Target APBN-P Realisasi Pencapaian

2004 28.4 29.2 102.6%

2005 32.2 33.3 103.1%

2006 38.5 37.8 98.1%

2007 42.0 44.6 106.2%

2008* 45.7 51.3 112.1%

Sumber : Departemen Keuangan

Page 110: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

10� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Realisasi PNBP SDA migas 2008 tersebut merupakan penerimaan tertinggi dalam kurun waktu 2004-2008. Faktor utama yang menyebabkan pencapaian tersebut terutama adalah karena tingginya rata-rata harga ICP (Desember 2007-November 2008) yang mencapai US$101,4 per barel, akibat tingginya harga minyak dunia dan tercapainya target lifting minyak mentah sebesar 931 ribu bph dari 927 ribu bph yang ditargetkan. Dalam tahun 2008, pemerintah telah memberikan insentif fiskal guna meningkatkan kegiatan eksplorasi migas dengan memberikan PPN DTP serta pengenaan bea masuk 0% atas barang-barang impor untuk kegiatan usaha eksplorasi migas dan panas bumi. 4.2.3.3. PNBP SDA Nonmigas

Selama kurun waktu 2004-2008, PNBP SDA nonmigas mengalami peningkatan rata-rata 20,0 persen per tahun. Peningkatan tertinggi terjadi pada 2008, yaitu sebesar 58,7 persen (lihat grafik 4.7). Sejak tahun anggaran 2008 penerimaan SDA nonmigas menambah pos baru, yaitu penerimaan panas bumi.

Selama periode 2004-2008, pernerimaan pertambangan umum mengalami peningkatan rata-rata 31,1 persen per tahun. Peningkatan ini terutama didukung oleh terus meningkatnya produksi batubara yang pada 2008 mencapai 229,2 juta ton (lihat grafik 4.8). Peningkatan penerimaan pertambangan umum juga didukung oleh langkah-langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah di sektor pertambangan, yang difokuskan pada peningkatan setoran para pengusaha tambang daerah berdasarkan izin penambangan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dan upaya intensifikasi pemerintah atas setoran perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara.

4.2.3.2. PNBP SDA Migas

PNBP SDA migas merupakan pos penerimaan yang memberikan sumbangan terbesar, baik terhadap PNBP SDA maupun total PNBP. Pada 2008, PNBP SDA migas mencapai Rp 211,6 triliun atau menyumbang 93,9 persen terhadap PNBP SDA. Secara rinci, pada 2008 realisasi PNBP SDA migas bersumber dari penerimaan minyak bumi sebesar Rp 169,0 triliun dan penerimaan gas bumi sebesar Rp 42,6 triliun (lihat grafik 4.6.).

Grafik 4.5. Perkembangan PNBP SDA 2004-2008 Grafik 4.6. Perkembangan PNBP Migas 2004-2008

2004 2005 2006 2007 2008

250

200

150

100

50

0

Sumber: Departemen Keuangan

Non Migas MigasRp triliun

2004 2005 2006 2007 2008

250

200

150

100

50

0

Sumber: Departemen Keuangan

Minyak Bumi Gas BumiRp triliun

Page 111: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara 109

www.depkeu.go.id

Grafik 4.8. Perkembangan Produksi Batubara 2004-2008

2004 2005 2006 2007 2008

14

12

10

8

6

4

2

0

Sumber: Departemen Keuangan

Panas Bumi KehutananRp triliunPerikanan Pertambangan Umum

Grafik 4.7. Perekembangan PNBP SDA Nonmigas 2004-2008

2004 2005 2006 2007 2008

250

200

150

100

Sumber: ESDM

Juta ton

129.2

151.8

179.5

178.8

229.2

Sementara itu, penerimaan SDA kehutanan dalam kurun waktu 2004-2008 mengalami penurunan rata-rata sebesar 8,5 persen. Penurunan penerimaan sektor kehutanan tersebut terutama disebabkan oleh penurunan penerimaan dari iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) seiring dengan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan. Namun, pemerintah telah melakukan langkah kebijakan untuk dapat menekan laju penurunan penerimaan kehutanan dengan melakukan peningkatan tarif provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR), serta meningkatkan penerimaan IHPH yang diterbitkan oleh pemerintah daerah sebagai akibat penertiban izin pemanfaatan hutan di daerah.

Penerimaan SDA perikanan dalam kurun waktu 2004-2008 juga mengalami penurunan rata-rata sebesar 31,1 persen. Penurunan penerimaan tersebut terutama disebabkan oleh penghapusan sistem lisensi dan keagenan kapal asing, di mana izin penangkapan ikan hanya diberikan kepada orang dan/atau badan hukum Indonesia. Untuk meningkatkan penerimaan perikanan, pemerintah melakukan beberapa langkah kebijakan, antara lain: peningkatan produksi perikanan; pemberdayaan masyarakat nelayan, pembudidayaan ikan, pengolahan, dan masyarakat lainnya; peningkatan sistem pengawasan mutu produk perikanan; dan peningkatan pengelolaan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

4.2.3.4. Penerimaan Bagian Pemerintah Atas Laba BUMN

Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Saat ini, pemerintah mengelola kepemilikan saham mayoritas pada 142 BUMN. Dari ke 142 BUMN tersebut dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok BUMN, yaitu: jasa keuangan dan perbankan; jasa lainnya; bidang usaha logistik dan pariwisata; agro industri, pertanian, kehutanan, kertas, percetakan, dan penerbitan; serta pertambangan, telekomunikasi, energi, dan industri strategis.

Page 112: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

110 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Selama kurun waktu 2004-2008, pemerintah telah melakukan berbagai langkah kebijakan optimalisasi dividen BUMN yang difokuskan pada beberapa hal: a. Penyehatan perusahaan dengan mengoptimalkan investasi (capital expenditure/ CAPEX); b. Optimalisasi dividen payout ratio dengan mempertimbangkan kondisi keuangan perusahaan, penugasan oleh Pemerintah, dan peraturan yang berlaku; c. Pelaksanaan audit oleh kantor akuntan publik (KAP) sesuai jadwal yang ditetapkan; d. Melanjutkan langkah-langkah restrukturisasi yang semakin terarah dan efektif terhadap orientasi dan fungsi BUMN tersebut yang meliputi restrukturisasi manajemen, organisasi, operasi, dan sistem prosedur; e. Memantapkan penerapan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG), yaitu transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan responsibilitas pada pendapatan pengelolaan BUMN, PSO maupun BUMN komersial; f. Melakukan sinergi antar-BUMN agar dapat meningkatkan daya saing dan memberikan multiplier effect kepada perekonomian Indonesia, antara lain dengan menumbuhkembangkan resource base sectors yang memberikan nilai tambah; g. Upaya dividen interim dengan memperhatikan cash flow perusahaan apabila sampai dengan triwulan ketiga pada tahun anggaran berjalan target PNBP belum terpenuhi.

Hal tersebut tercermin dari penerimaan bagian pemerintah atas laba BUMN selama periode 2004-2008 yang terus mengalami peningkatan rata-rata sebesar Rp 4,8 triliun atau 24,6 persen per tahun. Penerimaan bagian pemerintah atas laba BUMN tertinggi dicapai pada 2008, yaitu sebesar Rp 29,1 triliun atau 9,1 persen terhadap total PNBP 2008, dengan komposisi kontribusi sektor perbankan sebesar Rp 4,5 triliun atau 15,5 persen dan sektor non perbankan sebesar Rp 19,8 triliun atau 74,5 persen (lihat tabel 4.7.).

Tabel 4.7. Perkembangan Realisasi Bagian Laba BUMN 2004-2008

(triliun Rp)

2004 2005 2006 2007 2008

Bagian Laba BUMN 9.8 12.8 23.0 23.2 29.1

i. Perbankan 2.8 3.8 1.2 3.4 4.5

ii. Non Perbankan 7.0 9.0 21.8 19.8 24.6

- Pertamina 2.2 4.4 12.0 10.2 14.3

- Non Pertamina 4.8 4.6 6.7 9.5 10.3

Sumber: Departemen Keuangan

Penerimaan dari sektor perbankan selama kurun waktu 2004-2008 mengalami peningkatan rata-rata sebesar Rp 0,4 triliun atau 13,2 persen per tahun, dan memberikan rata-rata kontribusi terhadap total dividen BUMN sebesar 18,8 persen per tahun. Setoran dividen BUMN dari sektor ini didominasi oleh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, dan PT Bank Negara Indonesia terbuka dengan kontribusi rata-rata sebesar 35,6 persen; 30,5 persen; dan 23,5 persen. Sisanya sebesar 10,4 persen disumbang oleh bank BUMN lainnya. Sementara itu, penerimaan dari sektor non perbankan dalam periode yang sama meningkat rata-rata sebesar Rp 4,4 triliun atau 26,8 persen per tahun dan memberikan kontribusi sebesar 81,2 persen per tahun terhadap total dividen BUMN. PT Pertamina menjadi penyumbang dividen terbesar setiap tahun dengan kontribusi rata-rata per tahun sebesar Rp 8,5 triliun atau 39,8 persen.

Page 113: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara 111

www.depkeu.go.id

Dalam tahun 2009, upaya untuk menjaga konsistensi peningkatan kinerja BUMN terus dilakukan oleh pemerintah, dengan melakukan langkah kebijakan sebagai berikut:a. Peningkatan efisiensi di tubuh PT Pertamina; b. Peningkatan efisiensi pada BUMN-BUMN yang memiliki kinerja merugi, termasuk PT PLN; c. Penerapan prinsip-prinsip korporasi terhadap BUMN yang menjalankan kewajiban public service obligation (PSO); d. Restrukturisasi dan privatisasi secara terpadu; e. Penyehatan perusahaan dengan mengoptimalisasi investasi (capital expenditure) dari laba BUMN; f. Tidak menarik dividen dari BUMN yang mengalami akumulasi rugi; g. Perbaikan governance dan pengawasan kinerja BUMN; dan h. Mengalokasikan anggaran yang bersumber dari laba BUMN untuk pengembangan sektor-sektor strategis dan penguatan sektor manufaktur (barang modal) dalam rangka memperbaiki peran BUMN di perekonomian nasional.

Selain itu, untuk mengoptimalkan penerimaan negara atas laba BUMN di tahun 2009, pemerintah akan menerapkan kebijakan pay out ratio 5-60 persen dengan beberapa pengecualian, yakni tidak menarik setoran dividen dari beberapa BUMN, antara lain: a. BUMN laba, namun masih mempunyai akumulasi kerugian dari tahun sebelumnya; b. BUMN laba, tidak akumulasi rugi, tetapi mengalami kesulitan cash flow; c. BUMN sektor asuransi, terkait dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), diamanatkan nirlaba atau keuntungan semata-mata untuk kepentingan peserta dalam bentuk peningkatan santunan, sehingga kebijakan pay out ratio secara bertahap pada 2009 akan menjadi nol persen; d. Beberapa BUMN sektor perkebunan, dengan pertimbangan kemampuan keuangan perusahaan.

Dalam kebijakan penentuan besarnya pay out ratio tersebut, pemerintah berpedoman pada upaya menjaga kepentingan penerimaan negara dan BUMN bersangkutan. Selain untuk menjaga kesinambungan penerimaan bagian pemerintah atas laba BUMN dalam mendukung APBN 2009, kebijakan penentuan besarnya pay out ratio juga diarahkan untuk tetap menjaga agar BUMN bersangkutan memiliki kapasitas yang cukup dalam mengembangkan usahanya.

4.2.3.5. PNBP Lainnya

PNBP lainnya terdiri dari penerimaan yang bersumber dari pendapatan penjualan dan sewa, pendapatan jasa, pendapatan bunga, pendapatan kejaksaan dan peradilan, pendapatan pendidikan, pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi; dan pendapatan lain-lain. Pengelolaan atas jenis-jenis PNBP tersebut dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga (K/L) terkait, antara lain Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Kepolisian Republik Indonesia, Badan Pertanahan Nasional, Departemen Hukum dan HAM, serta departemen lainnya.

PNBP yang bersumber dari berbagai K/L tersebut meskipun besar penerimaannya relatif kecil, kecenderungannya meningkat dan masih dapat lebih dioptimalkan. Pemungutan PNBP K/L tersebut dilakukan dalam rangka pengaturan, pelayanan, dan pengawasan. Faktor yang berpengaruh terhadap PNBP lainnya adalah jumlah objek, besaran tarif, dan kualitas pelayanan serta administrasi/ pengelolaan dan upaya optimalisasi. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan, sebagian penerimaan PNBP tersebut dipergunakan kembali oleh K/L sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Page 114: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

112 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Selama 2004-2008, kebijakan mengenai PNBP lainnya telah dilakukan dengan berfokus pada hal-hal sebagai berikut: (i) optimalisasi PNBP pada K/L; (ii) peninjauan dan penyempurnaan peraturan PNBP pada masing-masing K/L; (iii) monitoring, evaluasi dan koordinasi pelaksanaan pengelolaan PNBP pada K/L; dan (iv) peningkatan akurasi target dan penyusunan pagu penggunaan PNBP dan K/L yang realistis serta pelaporannya.Dalam kurun waktu 2004-2008, realisasi PNBP lainnya rata-rata tumbuh sebesar 29,6 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada 2006 sebesar 54,8 persen, kemudian menurun sebesar 24,2 persen pada 2007, dan meningkat kembali pada 2008 menjadi sebesar 44,9 persen. Dalam tahun 2007, realisasi PNBP lainnya mencapai Rp 45,3 triliun, sedangkan dalam tahun 2008 realisasi PNBP lainnya mencapai Rp 67,6 triliun.

4.2.3.6. Pendapatan Badan Layanan Umum

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU), definisi BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. BLU dibentuk untuk mempromosikan peningkatan layanan publik melalui fleksibilitas pengelolaan keuangan BLU, yang dikelola secara profesional dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas.

Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai bagian atas barang dan/atau jasa layanan yang diberikan sesuai dengan tarif yang ditetapkan. Penetapan tarif diperhitungkan berdasar pada perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana, serta mempertimbangkan kontinuitas dan pengembangan layanan, daya beli masyarakat, asas keadilan dan kepatutan, serta kompetisi yang sehat.

Satuan kerja yang telah ditetapkan menjadi BLU per 21 Mei 2009 berjumlah 67 unit, meliputi berbagai bidang layanan, antara lain kesehatan, pendidikan, telekomunikasi, penerapan teknologi, dan lain-lain. Meskipun pendapatan BLU masih tergolong baru, penerimaan tersebut mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Selama 2007-2008, penerimaan ini mengalami pertumbuhan sebesar 50,3%. Sementara itu, untuk 2009 penerimaan ini ditargetkan mengalami peningkatan sebesar 69,9% dibandingkan 2008. Sehingga Dengan demikian, secara keseluruhan bila dibandingkan dengan 2007, target pendapatan BLU tahun 2009 mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat. Perkembangan tersebut dapat dilihat dalam grafik 4.9.

Grafik 4.9. Perkembangan Pendapatan BLU 2007-2009

5,442.2

3,204.0

2,131.2

2007 2008 APBN 2009

6,000

5,000

4,000

3,000

2,000

1,000

-

Rp miliar

Page 115: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara 11�

www.depkeu.go.id

4.2.4. Penerimaan Hibah

Hibah merupakan semua penerimaan negara, baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari sumbangan swasta dalam negeri, serta sumbangan lembaga swasta dan pemerintah luar negeri tanpa diikuti kewajiban untuk membayar kembali. Perkembangan penerimaan negara yang berasal dari hibah ini tergantung pada pledge dan kesediaan negara atau lembaga donor dalam memberikan donasi (bantuan) kepada pemerintah. Dalam kurun waktu 2004-2008, penerimaan dari hibah mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 66,4 persen. Penerimaan hibah tertinggi terjadi pada 2008 di mana hibah tercatat sebesar Rp 2,3 triliun.

4.3. Peluang dan Tantangan Dalam Meningkatkan Pendapatan Negara ke Depan

Meskipun pendapatan negara terus meningkat dari tahun ke tahun, masih terdapat peluang untuk terus ditingkatkan di masa depan mengingat potensinya yang belum digali secara optimal. Di samping itu, terdapat pula tantangan-tantangan yang harus diatasi.

4.3.1. Di Bidang Perpajakan

Hasil pelaksanaan program penggalian potensi melalui mapping, profiling, dan benchmarking menunjukkan bahwa masih terdapat potensi perpajakan yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan. Pemanfaatan data internal dan eksternal masih belum optimal karena masih dilaksanakan secara manual. Dengan sistem pertukaran data secara elektronis akan mempercepat proses perekaman data internal dan eksternal serta menambah potensi penerimaan.

Tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi kepada DJP dewasa ini juga merupakan peluang bagi DJP untuk mewujudkan tujuan akhirnya, yaitu mengamankan penerimaan pajak. Wujud nyata meningkatnya kepercayaan masyarakat tersebut tidak hanya berbentuk opini-opini positif terhadap perubahan citra DJP, tetapi juga terwujud pada antusias masyarakat untuk mengikuti program-program yang diluncurkan oleh DJP, seperti keberhasilan program sunset policy.

Tantangan yang dihadapi DJP dalam pelaksanaan tugasnya berasal dari pihak internal dan eksternal DJP. Untuk menghadapi tantangan tersebut, DJP telah mempersiapkan diri dengan kebijakan-kebijakan yang dianggap dapat mengatasi tantangan tersebut. Kendala-kendala yang dihadapi DJP secara internal antara lain keterbatasan sumber daya manusia serta data base DJP dan sistem informasi DJP yang belum berfungsi secara optimal. Beberapa usaha DJP yang dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut antara lain melakukan peningkatan kapasitas pegawai dengan memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi maupun pembekalan dalam bentuk diklat/training kepada pegawainya, serta rekruitmen pegawai sesuai dengan kompetensinya untuk mengatasi keterbatasan SDM. Untuk mengatasi masalah keterbatasan data base, DJP melakukan kerja sama dengan institusi-institusi lain yang kompeten. Penyempurnaan sistem informasi DJP terus menerus dilakukan melalui koordinasi internal dan eksternal DJP.

Dari sisi eksternal, tantangan yang dihadapi DJP adalah perubahan situasi ekonomi global yang cenderung menunjukkan penurunan kegiatan ekonomi yang disebabkan oleh krisis keuangan global. Hal ini memacu DJP untuk lebih intens melaksanakan program-program penggalian potensi perpajakan dan memacu kreativitas, baik di level kantor pusat sebagai pengambil kebijakan maupun di level operasional KPP dan Kanwil untuk meningkatkan penerimaan pajak di tengah situasi krisis. DJP juga terus menerus membangun hubungan kerja sama internasional, baik dengan institusi-institusi pajak negara-negara sahabat maupun dengan lembaga keuangan internasional untuk dapat saling bertukar data dan informasi perpajakan.

Page 116: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

11� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

4.3.2. Di Bidang Kepabeanan dan Cukai

Beberapa tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan penerimaan negara di bidang kepabeanan dan cukai adalah meningkatkan pengawasan perdagangan CPO antar pulau, mencegah penyelundupan komodi CPO dan turunannya, eksplorasi ilegal CPO, mencegah beredarnya barang kena cukai (BKC) ilegal, dan mencegah penyelundupan BBM ke luar negeri serta lebih meningkatkan managemen di bidang cukai. Di samping tantangan-tantangan yang harus diatasi tersebut, terdapat peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan penerimaan negara. Salah satu peluang tersebut adalah peningkatan bea keluar dari komoditi kayu, rotan, pasir, dan kulit. Di samping itu, perlu pula dikembangkan perluasan jenis barang kena cukai lainnya untuk lebih meningkatkan penerimaan negara.

4.3.3. Di Bidang PNBP

Peluang yang timbul dalam meningkatkan penerimaan negara yang berasal dari deviden BUMN adalah meningkatkan penerimaan negara yang berasal dari deviden BUMN, meningkatkan harmonisasi dengan instansi-instansi terkait, memperkuat peraturan-peraturan dan regulasi, BUMN, antara lain belum seluruh BUMN patuh pada peraturan yang berlaku serta meningkatkan kontrol pemerintah terhadap pelaksanaan pekerjaan BUMN. Sementara itu, tantangan yang mungkin dihadapi dalam meningkatkan penerimaan negara yang berasal dari dividen, belum optimalnya koordinasi dengan instansi terkait, adanya tunggakan BUMN, dan adanya perbedaan pencatatan angka realisasi penerimaan laba BUMN bagian pemerintah dengan Ditjen Perbendaharaan.

Di bidang migas, tantangan yang dihadapi adalah fluktuatifnya harga minyak di pasar internasional dan lifting minyak yang semakin mengecil. Hal ini disebabkan kondisi sumur minyak yang sudah tua, sementara sumur-sumur minyak baru belum ditemukan. Sedangkan tantangan dalam penerimaan PNBP lainnya adalah kurang optimalnya pengawasan dan rendahnya pelayanan kepada masyarakat.

4.4. Target, Pencapaian, Kendala, dan Pending Matters

Secara umum, target yang ditetapkan dapat terpenuhi. Namun demikian, pencapaian tersebut tidak diraih dengan mudah karena masih banyaknya kendala yang harus dihadapi. Di samping itu, masih terdapat pula beberapa pending matters yang harus segera diatasi di masa depan.

4.4.1. Di Bidang Perpajakan

4.4.1.1. Target

Beberapa target yang ingin dicapai oleh DJP antara lain setiap unit/kantor dapat menyajikan potensi pajak yang sebenarnya di wilayah masing-masing, mengetahui profil wajib pajak sehingga dapat digunakan untuk menghitung potensi pajak WP sesungguhnya, dan memperkecil tax gap antara potensi dan realisasi sehingga target penerimaan perpajakan dapat disusun dengan lebih tepat.

4.4.1.2. Pencapaian

Beberapa prestasi yang telah dicapai oleh DJP antara lain: a. Berhasilnya program sunset policy. Keberhasilan tersebut ditandai dengan bertambahnya NPWP baru sebanyak 5.653.128, bertambahnya SPT tahunan seba-nyak 804.814, dan bertambahnya penerimaan PPh sebesar Rp7,46 triliun.b. Berhasilnya program reformasi administrasi perpajakan menuju administrasi perpajakan modern. Hal ini dapat dilihat dengan dileburnya tiga jenis kantor pajak yang ada menjadi Kantor Pelayanan

Page 117: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara 11�

www.depkeu.go.id

Pajak (KPP). Selanjutnya, KPP dibagi menjadi KPP wajib pajak besar, KPP madya, dan KPP pratama. Sebagai kelanjutan proses modernisasi, pada 2009 dibentuk KPP wajib pajak besar orang pribadi sebagai apresiasi pemerintah terhadap para WP besar orang pribadi.c. Diterapkannya proses bisnis melalui penerapan e-system. Penerapan e-system ini terdiri dari 3 jenis, yaitu dengan dibukanya e-filling, e-SPT, e-payment, dan e-registration secara online. d. Dikembangkannya program pemeriksaan berbasis analisis risiko untuk efektivitas pemeriksaaan berdasarkan skala prioritas.

4.4.1.3. Kendala Dalam Pencapaian Penerimaan Perpajakan

Beberapa hal yang menjadi kendala dalam pencapaian target adalah adanya keterbatasan sumber daya manusia, keterbatasan database DJP, dan keter-batasan sistem informasi DJP.

4.4.1.4. Pending Matters

Saat ini terdapat 2 hal yang menjadi pending matters di Direktorat Jenderal Pajak, yaitu regulasi dan administrasi serta reformasi. Dalam hal regulasi, terdapat 2 peraturan yang sampai saat ini belum selesai dibahas, baik di tingkat tim maupun dengan DPR, yaitu aturan pelaksanan UU No. 36 Tahun 2008 dan amandemen UU PPN dan PPnBM. Sementara itu, pending matters di administrasi dan reformasi meliputi 2 hal pula, yaitu intensifikasi perpajakan dan teknologi informasi. Di program intensifikasi perpajakan, beberpa hal yang akan dilaksanakan di waktu yang akan datang adalah pembakuan mapping, profile, benchmarking, pertukaran data, dan perekaman SPT secara elektronik; pengintegrasian mapping, profile, benchmarking, dan pertukaran data pada sistem informasi DJP; pembuatan profile high rise building; dan pembuatan total benchmark. Sedangkan di bidang teknologi informasi akan dilaksanakan penyusunan cetak biru/roadmap teknologi informasi dan komunikasi; integrasi MPN, SIDJP, SISMIOP dan subsistem lainnya; serta perbaikan dan penyempurnaan basis data perpajakan.

4.4.2. Di Bidang Kepabenan dan Cukai

4.4.2.1. Target Reformasi

Salah satu hasil kajian yang dilakukan oleh Tim Percepatan Bidang Pelayanan Bea Cukai adalah permasalahan pelayanan, pengawasan, dan penyalahgunaan wewenang pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) disebabkan oleh 4 faktor, yaitu efektivitas organisasi, kepraktisan dan efisiensi sistem dan prosedur, sumber daya manusia (SDM), serta sistem remunerasi. Oleh karena itu, dibutuhkan pembenahan dan revitalisasi secara menyeluruh untuk memperbaiki citra dan kinerja DJBC.

Berdasarkan hal tersebut, pembenahan dan revitalisasi DJBC dimanifestasikan ke dalam pembentukan Kantor Pelayanan Utama (KPU) untuk tingkat eselon II dan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya untuk tingkat eselon III.

KPU dan KPPBC tipe madya adalah kantor modern yang mengimplementasikan tatakelola yang baik (prinsip-prinsip good governance) dengan didukung oleh organisasi yang efektif, sistem, prosedur yang praktis dan efisien, SDM yang profesional dan berintegritas tinggi, sistem remunerasi yang memadai, serta teknologi informasi dengan menerapkan budaya organisasi yang baru. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan fungsi utama DJBC sebagai Trade Facilitator, Industrial Assistance, Revenue Collector, dan Community Protector memberikan pelayanan yang cepat, efisien, responsif, dan transparan berdasarkan prinsip Good Governance; meningkatkan hubungan kemitraan dan kepatuhan mitra kerja DJBC; serta meminimalkan biaya pemenuhan kewajiban kepabeanan dan cukai (compliance cost).

Page 118: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

11� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

4.4.2.2. Pencapaian Tahun 2007 - 2009

Dalam tahun 2007, telah berhasil dibentuk 2 KPU, yaitu KPU Tanjung Priok pada 2 Juli 2007 dengan masa transisi sejak 1 April 2007; dan KPU Batam pada 20 Agustus 2007, dengan masa transisi sejak 30 Juni 2007. Sedangkan dalam tahun 2008 telah berhasil dibentuk 6 (enam) buah KPPBC tipe madya, yaitu KPPBC Tipe Madya Cukai Malang, KPPBC Tipe Madya Cukai Kediri, KPPBC Tipe Madya Cukai Kudus, KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Perak, KPPBC Tipe Madya Pabean Soekarno Hatta, dan KPPBC Tipe Madya Pabean Belawan.

4.4.2.3. Pengukuran Kinerja DJBC Melalui Indikator Kinerja Utama (IKU)

Dalam rangka pelaksanaan reformasi Departemen Keuangan, pada 2009 telah dilaksanakan cascading Indikator Kinerja Utama Depkeu One ke Depkeu Two dan pada 2010 akan dikembangkan berupa cascading Indikator Kinerja Utama Depkeu Two ke Depkeu Three pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

4.4.2.4. Kendala Dalam Pencapaian Penerimaan di Bidang Kepabeanan dan Cukai

Di bidang kepabeanan, kendala yang dihadapi meliputi kendala eksternal, seperti krisis ekonomi dunia, penurunan tarif sebagai konsekuensi kerjasama perdagangan internasional, pemberian berbagai fasilitas kepabeanan, dan implementasi FTZ. Sedangkan kendala internal antara lain meliputi keterbatasan SDM serta sarana dan prasarana operasional. Kendala lainnya adalah belum optimalnya koordinasi antar instansi/lembaga pemerintah terkait dengan kepabeanan, baik impor maupun ekspor, serta belum optimalnya komitmen seluruh aspek sosial masyarakat dalam menegakkan hukum di bidang kepabeanan dan cukai.

Sementara itu, di bidang cukai, kendala yang dihadapi antara lain belum optimalnya komitmen pihak-pihak yang terlibat dalam pelayanan pita cukai, adanya fatwa haram rokok, Perda larangan merokok di tempat umum, pabrik ilegal, dan peredaran BKC legal. Di samping itu, juga adanya keterbatasan sarana dan prasarana teknologi informasi di KPBC yang melayani pemesanan pita cukai.

4.4.2.5. Pending Matters

Kegiatan dan program DJBC dalam rangka mendukung good governance yang sampai saat ini masih direncanakan akan dilakukan pada waktu yang akan datang, yaitu implementasi KPPBC Tipe Madya Pabean. Dalam tahun 2009 ini, direncanakan akan diimplementasikan 9 (sembilan) KPPBC Tipe Madya lainnya, yaitu KPPBC Tipe Madya Pabean Tanjung Emas, KPPBC Tipe Madya Pabean Merak, KPPBC Tipe Madya Pabean Yogyakarta, KPPBC Tipe Madya Pabean Surakarta, KPPBC Tipe Madya Pabean Bandung, KPPBC Tipe Madya Pabean Bogor, KPPBC Tipe Madya Pabean Purwakarta, dan KPPBC Tipe Madya Pabean Bekasi. Sementara itu, dalam tahun 2010 dan 2011 telah ditargetkan untuk membentuk 9 KPPBC Tipe Madya Pabean yang baru. Saat ini, lokasinya masih dalam proses pengkajian. Di samping itu, dalam tahun 2009 ini akan diimplementasikan program National Single Windows secara keseluruhan.

Page 119: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 4 Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara 11�

www.depkeu.go.id

4.4.3. Di Bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

4.4.3.1. Target

Salah satu target utama dalam PNBP adalah terbentuknya sistem informasi pengelolaan database PNBP, khususnyan antara Direktorat Jenderal Anggaran dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Bank Devisa Persepsi. Dengan adanya database dan sistem online ini diharapkan jumlah ekspor, pembayaran, dan penyetoran dapat diketahui dengan lebih tepat.

4.4.1.1. Pencapaian

Salah satu pencapaian yang berhasil dicapai oleh Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah diprosesnya 34 (tiga puluh empat) peraturan yang menjadi dasar pengelolaan PNBP. Peraturan dimaksud berupa 16 (enam belas) Rancangan Peraturan Pemerintah yang telah ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah dan 18 (delapan belas) Rancangan Keputusan Menteri Keuangan tentang ijin penggunaan sebagian dana PNBP, yang telah ditetapkan menjadi Keputusan Menteri Keuangan.

4.4.3.2. Kendala

Di bidang PNBP, kendala yang dihadapi antara lain kurangnya SDM yang memiliki kemampuan teknis seperti yang diharapkan, adanya peraturan yang membatasi ruang kerja aparatur Departemen Keuangan, kurangnya koordinasi antara Departemen Keuangan dengan Menneg BUMN, departemen teknis serta BUMN, dan adanya conflict of interest antara pemerintah dengan lembaga legislatif sebagai wakil rakyat.

4.4.3.3. Pending Matters

Sementara itu, pending matters di bidang PNBP antara lain adalah belum dikeluarkannya peraturan baru untuk mengatur hal-hal yang belum tercantum dalam peraturan yang sudah ada.

Page 120: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Jitu dan Bijak Dalam Mencapai Sasaran

Departemen Keuangan mengatur dan menjalankan fungsi anggaran belanja pemerintahan dalam pemenuhan kebutuhan bangsa dan negara secara efektif dan efisien.

Page 121: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 119

www.depkeu.go.id

Pada hakekatnya, reformasi adalah perubahan cara berpikir (mind-set) dan budaya (culture-set) kerja. Itulah pernyataan yang disampaikan oleh Pejabat Eselon I Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan ketika ditanya makna reformasi birokrasi.

Salah satutuntutan perubahan yang paling penting adalah cara aparat memandang peran yang dijalankannya. Dengan reformasi aparat atau pegawai bukanlah ‘tuan’ tetapi sebagai ‘pelayan’ masyarakat. Dalam hal budaya kerja, pegawai pemerintah bukanlah orang yang sekedar ‘patuh’ pada atasan, tetapi harus bekerja secara profesional sesuai dengan peran dan tanggung jawab yang diembannya.

Mengapa harus reformasi? Reformasi di Departemen Keuangan, termasuk di Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), adalah kemutlakan. Undang-undang maupun masyarakat kini menginginkan agar Departemen Keuangan bekerja secara bertanggung jawab, berwibawa dan bersih. Sejak 2003 pengelolaan keuangan negara di Indonesia mengalami perubahan yang sangat fundamental dengan diundangkannya UU nomor 17 2003 tentang Keuangan Negara. Pengelolaan keuangan negara menurut pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Sementara itu, sistem politik kita juga berubah dari yang bersifat terpusat, menjadi demokratis dan terdesentralisasi. Perubahan ini menuntut aparat bekerja secara transparan, akuntabel, dan taat aturan.

Harus diakui, untuk memenuhi harapan tersebut Departemen Keuangan masih memiliki sejumlah kendala . Kendala yang paling nyata adalah terjadinya penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), rendahnya kualitas pelayanan kepada masyarakat, serta masih tersendatnya desentralisasi kewenangan. Oleh karena itu, reformasi birokrasi di Departemen Keuangan dilakukan pada tiga aspek, yaitu penataan Organisasi, peningkatan proses bisnis, dan peningkatan manajemen sumber daya manusia (SDM).

Proses penataan organisasi dimulai tahun 2002. Penataan organisasi tersebut meliputi pemisahan, penggabungan, dan penajaman fungsi. Departemen Keuangan mengawali proses ini di Direktorat Jenderal Anggaran dengan menetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Perubahan mendasar yang diatur dalam keputusan tersebut adalah pemisahan fungsi perencanaan dengan pelaksanaan anggaran. Sebelumnya Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) mengelola kedua fungsi perencanaan sekaligus pelaksanaan anggaran. Sebagai buah reformasi unit eselon 1 tersebut dipecah menjadi Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK) dan Diektorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB).

Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK) berfungsi sebagai unit perencana anggaran, dengan tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kebijakan fiskal, anggaran pendapatan dan belanja negara, serta perimbangan keuangan. Sementara itu Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) menjalankan fungsi pelaksanaan anggaran. Pemisahan ini dilakukan dengan pertimbangan agar check and balance dapat dilaksanakan dengan optimal.

Menciptakan Cara Berpikir dan Budaya Kerja Baru

Page 122: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

120 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Dalam pelaksanaannya, ternyata ditemukan tugas DJAPK terlalu luas karena menangani perencanaan belanja pusat maupun daerah. Oleh karena itu, DJAPK kemudian memisah fungsi pengelolaan belanja pusat dan belanja daerah. Pemisahan fungsi tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 tanggal 31 Juli 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Sesuai dengan keputusan dimaksud, DJAPK dipecah menjadi dua direktorat jenderal yaitu Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK).

Setelah perubahan tersebut, tugas DJA menjadi lebih fokus pada “merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penganggaran sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Setelah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006 diimplementasikan, DJA mengusulkan penyempurnaan penataan organisasi kembali. Revisi yang diusulkan oleh DJA tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tanggal 11 Juli 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Beberapa hal baru dalam peraturan tersebut adalah dibentuknya Direktorat Sistem Penganggaran (DSP) sebagai pengganti Direktorat Penyusunan Asumsi Makro untuk mempertajam fungsi DJA di bidang pengembangan sistem penganggaran sesuai amanat Undang-undang Nomor: 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Direktorat baru ini diberi tugas untuk melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, standardisasi, teknologi informasi, dan evaluasi di bidang sistem penganggaran. Sedangkan direktorat lain di lingkungan DJA semakin dipertajam fungsinya dalam mendukung pencapaian tugas serta visi DJA untuk menjadi unit organisasi yang profesional, kredibel, transparan dan akuntabel dalam perumusan dan pengelolaan kebijakan di bidang penganggaran.

Dalam PMK Nomor 100/PMK.01/2008 terdapat ketentuan peralihan pada pasal 2130 yang mengatur bahwa selama organisasi dan tata kerja Departemen Keuangan berdasarkan PMK ini belum dapat dilaksanakan secara efektif, maka unit organisasi di lingkungan Departemen Keuangan yang telah ada sebelum ditetapkannya peraturan ini, dinyatakan tetap berlaku selambat-lambatnya sampai dengan tanggal 10 Oktober 2008. Dalam pelaksanaanya batas waktu tersebut terlampaui, sementara organisasi dan tata kerja Departemen Keuangan berdasarkan PMK ini belum dapat dilaksanakan secara efektif terutama berkaitan dengan pengalihan tugas dan fungsi pengelolaan penerimaan pungutan ekspor dari Direktorat PNBP – DJA ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Hal ini terjadi karena tingginya spesialisasi tugas sehingga sumber daya manusia dan infrastruktur lainnya belum siap untuk melaksanakan tugas dan fungsi tersebut. Untuk memberi kesempatan DJBC menyiapkan sumber daya aparatur, maka jangka waktu pelaksanaan PMK Nomor: 100/PMK.01/2008 diperpanjang. Oleh karena itu Departemen Keuangan mengeluarkan PMK Nomor 149/PMK.01/2008 tentang Perubahan atas PMK Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata kerja Departemen Keuangan yang memperpanjang jangka waktu peralihan menjadi paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2008.

Menurut Pejabat Eselon I Direktorat Jenderal Anggaran, agar berhasil, reformasi kelembagaan harus mencakup enam unsur. Pertama adalah perubahan undang-undang yang secara jelas mengatur jelas hak-kewenangan dan kewajiban, serta konsekuensi pelanggaran dan akuntabilitasnya. Unsur kedua adalah menyusun struktur organisasi yang sejalan dan konsisten dengan amanat undang-undang. Aspek pengorganisasian ini penting untuk mencapai sasaran reformasi. Unsur ketiga adalah menyusun aturan main dan proses kerja yang jelas. Proses kerja yang jelas ini menujukkan dengan gamblang mengenai pekerjaan apa saja yangharus dilakukan dan bagaimana melakukannnya.

Page 123: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 121

www.depkeu.go.id

Proses kerja ini juga harus memuat sistem check and balances untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Unsur keempat adalah membangun sumber daya manusia yang kompeten, memiliki integritas, dan dedikasi yang tinggi. Cara kerja baru menuntut komptensi baru, sehingga harus dibangun komptensi baru. Unsur kelima adalah membangun sistem reward and punishment yang konsisten dan efektif. Termasuk di dalam sistem ini, harus dibentuk sistem remunierasi yang realistis. Unsur keenam adalah menerapkan transparansi dan akuntabilitas publik yang tegas dan regular serta berkesinambungan.

Sampai saat ini, buah nyata dari reformasi birokrasi di DJA antara lain adalah penyempurnaan tugas dan fungsi DJA, tersusunnya Uraian Jabatan, Analisis Beban Kerja dan Standar Prosedur Operasi (SOP) DJA, Pengembangan Assesment Center, serta Balance Scorecard.

Sudah jelas bahwa reformasi kelembagaan bukanlah suatu pekerjaan sederhana dan tidak bisa dilaksanakan secara sebagian-sebagian. Reformasi mensyaratkan kepemimpinan yang memiliki visi yang jelas dan tegas mengenai fungsi, peran, dan tanggung jawab organisasi. Pemimpin harus memiliki pemahaman yang paripurna mengenai hakekat fungsi institusi publik yang harus dijaga dari konflik kepentingan.

Reformasi juga memerlukan suatu strategi pengorganisasian seluruh unsur sumber daya agar mendapat dukungan para pemangku kepentingan. Pelaksanaan reformasi harus berdisiplin mengikuti jadwal waktu dan konsisten menjalankan prinsip reward and punishment.

Reformasi menghendaki semua aparat untuk berani selalu terbuka, transparan dan selalu dapat dimonitor, dikontrol dan bahkan dikritik oleh publik maupun media. Tujuannya adalah agar kualitas pelaksanaan dan hasil reformasi dapat dijaga konsistensinya.

Reformasi tidak bisa seperti membalikan telapak tangan, butuh waktu dan konsistensi. Pemimpin dan pemangku kepentingan harus teguh memberi dukungan. Kalau perlu pemimpin berani mengambil keputusan dan menjalankan tindakan yang tidak populer.

Pejabat DJA mengakui ada beberapa agenda reformasi yang belum selesai. Sampai dengan saat ini, masih banyak permasalahan birokrasi belum sepenuhnya teratasi baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisi internal, faktor demokratisasi dan desentralisasi masih menghadapi kendala sehingga belum bisa berjalan sesuai harapan. Dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan kebijakan serta strategi nasional pengembangan e-Government sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, baik dan berwibawa belum sepenuhnya berjalan. Oleh karena itu, masih dibutuhkan upaya yang lebih komprehensif dan terintegrasi untuk mendorong peningkatan kinerja birokrasi yang bersih dan akuntabel.Secara spesifik, hal-hal yang masih perlu dilakukan untuk menyempurnakan proses reformasi birokrasi di DJA adalah :• Monitoring dan evaluasi atas seluruh program layanan (terutama layanan Unggulan DJA). • Melanjutkan penerapan KPI sampai dengan tingkat eselon II. • Melanjutkan pengembangan sistem informasi manajemen kepegawaian yang dimulai tahun 2007, dengan melakukan pembaharuan sistem yang terintegrasi. • Pengembangan lebih lanjut dari analisis beban kerja dari seluruh organisasi eselon I. • Pengembangan pelatihan berbasis kompetensi. • Membangun strategi komunikasi publik.

Page 124: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

122 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

5.1. Arah Dan Strategi Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat

Kebutuhan belanja negara senantiasa meningkat sejalan dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik nasional maupun internasional. Sementara sumber untuk memenuhi kebutuhan belanja tersebut cenderung terbatas, sehingga upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan kebijakan belanja negara. Hal tersebut sejalan dengan pentingnya posisi belanja negara sebagai bagian dari kebijakan APBN dalam menjalankan fungsi anggaran (budgetair) dan fungsi fiskal (stabilisasi). Tanpa upaya tersebut, alokasi belanja negara untuk kegiatan-kegiatan tertentu dapat terlalu besar dan mengakibatkan terjadinya pemborosan atau terlalu kecil sehingga hasilnya tidak sesuai dengan harapan, sementara biaya oportunitas dari anggaran tersebut sangat mahal.

Upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas memerlukan dukungan dari berbagai komponen, seperti struktur birokrasi, kapasitas SDM yang menanganinya, maupun sistem dan strategi pengelolaan dari tahap perencanaan sampai dengan penganggaran dan pertanggungjawabannya. Agar efisiensi dan efektivitas alokasi belanja negara dapat tercapai maka pengembangan setiap komponen tersebut harus dilakukan secara komprehensif.

Dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, belanja negara didefenisikan sebagai kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Belanja negara tersebut dirinci menjadi belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah. Dalam belanja pemerintah pusat, alokasi anggaran diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Sesuai dengan penjelasan dalam UU No. 17 Tahun 2003, belanja pemerintah pusat menurut organisasi adalah belanja pemerintah pusat yang dialokasikan pada kementerian negara/lembaga, sesuai program-program rencana kerja pemerintah yang dijalankan. Belanja pemerintah pusat menurut fungsi adalah belanja pemerintah pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata dan budaya, fungsi agama, fungsi pendidikan, serta fungsi perlindungan sosial. Belanja pemerintah pusat menurut jenis adalah belanja pemerintah pusat yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.

Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Direktorat Jenderal Anggaran telah melakukan restrukturisasi program dan kegiatan untuk enam Kementerian/Lembaga (K/L) yang menjadi pilot project penerapan Performance Based Budgeting (PBB) dan Medium Term Expenditure Framework (MTEF). Selain itu, untuk memberikan panduan bagi K/L dalam penerapan PBB dan MTEF juga bagi Direktorat Jenderal Anggaran dalam memberikan asistensi operasional, telah diselesaikan penyusunan buku pedoman penerapan PBB dan MTEF.

Page 125: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 12�

www.depkeu.go.id

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, DJA mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penganggaran sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tersebut, DJA menyelenggarakan fungsi: a. Penyiapan perumusan kebijakan Departemen Keuangan di bidang penganggaran, pelaksanaan kebijakan di bidang penganggaran;b. Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang penganggaran;c. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang penganggaran;d. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal.

Berdasarkan tugas dan fungsi DJA tersebut, dalam rencana strategis DJA periode 2005-2009, fokus strategi kebijakan pengelolaan anggaran belanja negara diarahkan pada peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara, yang dilakukan dalam rangka mencapai lima sasaran strategis, yaitu: a. Efisiensi pengadaan barang dan jasa; b. Alokasi belanja yang tepat sasaran; c. Alokasi belanja yang berkeadilan sosial; d. Peningkatan kualitas pelayanan; e. Citra baik Departemen Keuangan dalam mengelola belanja negara.

Pencapaian kelima target tersebut dilakukan melalui mekanisme penetapan kebijakan belanja yang ekonomis, efektif, dan efisien; perencanaan dan alokasi penganggaran yang tepat sasaran dan adil; serta pelaksanaan anggaran yang transparan dan akuntabel.

5.1.1. Penetapan Kebijakan Belanja

Anggaran belanja negara, sekalipun volumenya masih relatif kecil terhadap PDB, memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembangunan ekonomi nasional. Perencanaan dan penggunaan belanja negara harus dilakukan secara realistis dengan memperhatikan kemampuan fiskal baik dalam menghitung potensi riil pendapatan negara selaku indikator daya dukung pembiayaan anggaran yang eligible. Dalam upaya menetapkan kebijakan belanja yang ekonomis, efektif, dan efisien sangat diperlukan penyelenggaraan berbagai penelitian (riset) yang unggul. Fokus strategi kebijakan belanja yang research based dimaksud menghendaki agar penyusunan dan pelaksanaan anggaran dilakukan berdasarkan informasi yang akurat sebagai produk penelitian atau riset yang dapat dipertanggungjawabkan akurasinya secara ilmiah agar dapat diperoleh database dan model ekonomi yang dapat membantu penyusunan rencana alokasi belanja negara yang akurat, efektif, dan efisien.

Fokus strategi kebijakan pada tahap pelaksanaan diarahkan pada efisiensi pengadaan barang dan jasa dimaksudkan terutama untuk mencapai target berupa tingkat pemanfaatan sumber daya keuangan yang optimal dalam membiayai kegiatan pemerintahan. Penetapan prioritas belanja dan efektivitas penggunaan sumber daya keuangan melalui penajaman prioritas alokasi merupakan faktor penting dalam mengendalikan efisiensi belanja.

Pencapaian efisiensi besar artinya bagi upaya perluasan jangkauan alokasi belanja pemerintah dalam membiayai keperluan layanan publik. Dengan peningkatan/perluasan capaian target tersebut, upaya percepatan peningkatan pertumbuhan, penguatan stabilitas perekonomian, serta peningkatan pemerataan pendapatan dapat terdukung.

Pada aspek administrasi, upaya efisiensi belanja juga dilakukan melalui pemantapan (establishment) pelaksanaan penganggaran terpadu (unified budget), penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting), dan penerapan alokasi belanja negara dalam kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework).

Page 126: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

12� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Sementara itu, kebijakan belanja negara dalam periode 2005-2009 diarahkan terutama untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam memacu pertumbuhan, menciptakan dan memperluas lapangan kerja, serta mengurangi kemiskinan, di samping tetap menjaga stabilitas nasional, kelancaran kegiatan penyelenggaraan operasional pemerintahan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Sejalan dengan arah kebijakan tersebut, prioritas alokasi anggaran belanja negara dalam tahun 2005-2009 diutamakan antara lain untuk: a. Anggaran infrastruktur dasar untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional; b. Perbaikan penghasilan dan kesejahteraan aparatur negara serta pensiunan; c. Peningkatan kualitas pelayanan dan efisiensi penyelenggaraan kegiatan operasional pemerintahan; d. Pemenuhan kewajiban pembayaran bunga utang; e. Menyediakan pelayanan dasar kepada masyarakat dan meningkatkan upaya pemerataan; f. Mempertajam prioritas penyediaan subsidi agar lebih tepat sasaran; g. Menjaga kesinambungan bantuan langsung bersyarat ke masyarakat, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. 5.1.2. Perencanaan dan Alokasi Anggaran

Perencanaan dan alokasi anggaran dilakukan berdasarkan prioritas program pembangunan pemerintah yang tertuang dalam rencana kerja pemerintah (RKP). Selain itu, perencanaan dan alokasi anggaran, khususnya belanja pemerintah pusat, disusun dalam kerangka sistem penganggaran terpadu (unified budget), penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting), dan kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework) secara konsisten.

Proses perencanaan dan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat diawali dengan penyusunan perhitungan dasar anggaran sesuai dengan kebutuhan pokok belanja pemerintah pusat yang rasional. Akurasi, kelengkapan, dan komprehensif atas data serta model perencanaan dan alokasi anggaran yang kredibel menjadi faktor penentu keberhasilan perencanaan serta alokasi anggaran secara tepat dan adil. Terkait dengan sasaran kebijakan fiskal yang ingin dicapai, dilakukan penyusunan langkah-langkah kebijakan (policy measures) dengan mengacu pada besaran belanja pemerintah pusat secara keseluruhan, besaran defisit, dan pembiayaan anggaran.

Langkah-langkah yang ditempuh untuk mempertajam prioritas alokasi anggaran yang tepat sasaran dan adil meliputi:a. Perbaikan kesejahteraan aparatur negara dalam batas kemampuan keuangan negara;b. Peningkatan efisiensi belanja barang dan jasa;c. Pengurangan secara bertahap subsidi yang tidak langsung menyentuh kepentingan rakyat miskin;d. Pengurangan beban bunga utang;e. Peningkatan belanja modal dan infrastruktur;f. Peningkatan bantuan sosial yang langsung menyentuh kepentingan rakyat miskin; g. Penyediaan dana cadangan umum untuk mengantisipasi perbedaan antara asumsi ekonomi makro yang ditetapkan dengan realisasinya dan tidak tercapainya langkah-langkah kebijakan yang direncanakan; h. Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan.

5.1.3. Pelaksanaan Anggaran

Pada tahap pelaksanaan anggaran, proses pengelolaan keuangan negara meliputi penyiapan dokumen pelaksanaan anggaran, penyaluran anggaran/pelaksanaan pembayaran, pengelolaan kas/uang negara, dan pertanggungjawaban atas realisasi anggaran. Sejalan dengan penerapan prinsip good governance, keseluruhan pelaksanaan anggaran tersebut diupayakan dijalankan sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan fiskal (fiscal transparency).

Page 127: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 12�

www.depkeu.go.id

Untuk mendukung pelaksanaan anggaran sesuai dengan prinsip good govermance, Departemen Keuangan selaku otoritas pengelola fiskal menyusun rumusan kebijakan/peraturan dan petunjuk teknis berkenaan dengan pelaksanaan anggaran, termasuk ketentuan tentang penyusunan dan penetapan dokumen perencanaan, dokumen pelaksanaan anggaran, mekanisme pembayaran, sistem pengelolaan kas dan pelaporan, dan sistem akuntansi transaksi keuangannya. Penyusunan rumusan kebijakan dan/atau peraturan (Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden) dan petunjuk teknis (Peraturan Menteri Keuangan/Peraturan Direktur Jenderal) dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Dalam peningkatan pelayanan publik terdapat hal penting yang strategis dilakukan oleh Departemen Keuangan, yaitu melakukan pembinaan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Hal tersebut ditujukan kepada peningkatan kualitas satuan kerja BLU dalam mengelola keuangan secara profesional sebagaimana praktik bisnis yang sehat, sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang optimal sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 dan sesuai dengan paradigma baru dalam manajemen keuangan negara, yaitu dengan mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) dalam hal pelayanan kepada publik.

Strategi yang ditempuh untuk meningkatkan pembinaan pengelolaan keuangan BLU adalah penyempuranaan ketentuan pengelolaan keuangan BLU secara efisien dan efektif dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan publik. Sebagai bagian dari strategi tersebut adalah penyiapan dan penyempurnaan mekanisme pengelolaan BLU bagi instansi yang menerapkan BLU.

5.2. Proses Penyusunan APBN

Proses penganggaran APBN antara lain mencakup kegiatan internal Departemen Keuangan dan pemerintah dalam proses perencanaan, serta kegiatan eksternal dengan DPR dalam proses pembahasan. Tahapan/siklus dalam proses penyusunan APBN dapat dijelaskan pada gambar 5.1.

Pertama, periode Januari s.d. April. Departemen Keuangan dan Bappenas melakukan penyusunan dan perencanaan besaran pagu indikatif, baik anggaran K/L maupun non-K/L, yang sifatnya mengikat dan tidak mengikat. Dalam proses perencanaan penganggaran APBN dimulai dari monitoring kegiatan tahun berjalan untuk digunakan sebagai angka dasar bagi perencanaan tahun selanjutnya dan jangka menengah. Untuk mencapai hasil yang representatif pada tahap ini dan selanjutnya, diperlukan dukungan basis data dan modal perencanaan yang representatif. Untuk mencapai efisiensi alokasinya, diperlukan penerapan sistem penganggaran yang kredibel dari sejak penerapan alokasi sampai pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Menteri Negara PPN/Bappenas dan Menteri Keuangan menetapkan Surat Edaran Bersama (SEB) tentang pagu indikatif, yang merupakan ancar-ancar pagu anggaran K/L untuk setiap program sebagai acuan penyusunan rencana kerja K/L. Pada periode yang sama, setiap K/L menyiapkan rancangan rencana kerja K/L untuk tahun berikutnya. Penyusunan rancangan rencana kerja K/L tersebut berpedoman pada rencana kerja pemerintah, rencana strategis K/L, dan pagu indikatif. Dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia, K/L harus menyusun program dan kegiatan berdasarkan prioritas. K/L menyusun rencana kerja secara berjenjang sampai pada tingkat satuan kerja sehingga masing-masing satuan kerja dapat menentukan kegiatan yang akan dilaksanakan, disertai indikator kinerja atas keluaran yang dihasilkan.

Kedua, periode Mei s.d. Agustus. Pemerintah menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya ke DPR selambat-lambatnya pertengahan Mei tahun berjalan. Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, pemerintah bersama-sama DPR membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran. Hasil pembahasan kebijakan umum dan prioritas anggaran tersebut serta mempertimbangkan indikator kerangka ekonomi makro, Menteri Keuangan menyusun Surat Edaran tentang Pagu Sementara. Berdasarkan pagu sementara, K/L menyusun Rencana Kerja Anggaran (RKA-KL) menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM), penganggaran terpadu, dan penganggaran berbasis kinerja.

Page 128: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

12� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Gambar 5.1. Siklus Penyusunan APBN

Januari–April Mei-Agustus September-Desember

DPR

KABINET/PRESIDEN

KEMENTRIAN PERENCANAAN

KEMENTRIAN KEUANGAN

KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA

Pembahasan pokok-pokok

kebijakanfiskal & RKP

Pembahasan RKA-KL

Pembahasan RAPBN UU APBN

Kebijakan Umum & Prioritas

Anggaran

Nota Keuangan RAPBN & Lampiran

Keppres Tentang Rincian APBN

Seb Prioritas Program &

Indikasi Pagu

Penelaahan Konsistensi

Dengan RKP

Sepagu Sementara

Lampiran RAPBN(Himpunan RKAKL)

Penelaahan Konsistensi

dengan Prioritas Anggaran

Rancangan Keppres Tentang Rincian APBN Pengesahan

Konsep Dokumen Pelaksanaan Anggaran

Dokumen Pelaksanaan

Anggaran

Rancangan Renja KLRenstra KL RKA-KL

Page 129: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 12�

www.depkeu.go.id

Rencana kerja dan anggaran yang disusun K/L disampaikan serta di bahas dengan DPR (komisi mitra kerja terkait), yaitu Komisi I s.d. XI, yang hasilnya disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Negara PPN/Bappenas selambat-lambatnya pada Juli. Kementerian Negara PPN/Bappenas akan menelaah kesesuaian antara RKA-KL hasil pembahasan bersama DPR dengan RKP. Kementerian Keuangan akan menelaah kesesuaian antara RKA-KL hasil pembahasan bersama DPR dengan Surat Edaran Menteri Keuangan tentang pagu sementara, prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya, dan standar biaya yang telah ditetapkan.

Selambat-lambatnya, pada pertengahan Agustus, pemerintah mengajukan Nota Keuangan dan RAPBN beserta RUU APBN serta himpunan RKA-K/L kepada DPR untuk dibahas bersama guna memperoleh persetujuan. Tahapan ini dimulai dengan pidato Presiden pengantar RUU APBN dan Nota Keuangannya. Selanjutnya, dilakukan pembahasan antara Menteri Keuangan selaku wakil Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR, yang pengambilan keputusannya dilakukan selambat-lambatnya 2 bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan. Hasil keputusan tersebut ditindaklanjuti dengan pembahasan antara komisi dengan kementerian negara/lembaga mitra kerja terkait. RKA-KL yang telah disepakati DPR ditetapkan dalam Keputusan Presiden tentang Rincian APBN selambat-lambatnya akhir November untuk dijadikan dasar oleh K/L dalam menyusun konsep dokumen anggaran (DIPA).

Konsep DIPA disampaikan kepada Menteri Keuangan (c.q. Ditjen Perbendaharaan) selaku Bendahara Umum Negara selambat-lambatnya minggu kedua Desember sehingga dapat disahkan oleh Menteri Keuangan selambat-lambatnya 31 Desember. DIPA yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan tersebut merupakan dokumen anggaran yang berlaku sebagai otorisasi pengeluaran untuk masing-masing kegiatan pada K/L.

5.3. Perkembangan Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat

Dalam periode 2004-2009, terdapat beberapa perkembangan penting terkait dengan kebijakan anggaran belanja pemerintah pusat. Pertama, anggaran belanja pemerintah pusat dalam periode 2004-2009, disusun, dilaksanakan, dan dipertanggungjawabkan dalam kerangka pelaksanaan pembaharuan (reformasi) keuangan negara, sebagaimana diamanatkan dalam tiga Undang-Undang (UU) di bidang keuangan negara. Ketiga UU di bidang keuangan negara, sebagai tonggak pembaharuan fiskal yang mengamanatkan berbagai perubahan cukup mendasar dalam pengelolaan keuangan negara tersebut, adalah: a. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; b. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; c. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Perubahan mendasar yang diamanatkan oleh UU No. 17 Tahun 2003, yang menjadi acuan (pedoman) dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran belanja pemerintah pusat selama lima tahun pelaksanaan RPJMN 2004-2009, antara lain berkaitan dengan tiga pilar penganggaran belanja negara, yaitu penganggaran terpadu; penganggaran berbasis kinerja ; dan kerangka pengeluaran jangka menengah. Implikasi dari pendekatan penganggaran terpadu adalah tidak lagi dipisahkannya anggaran belanja menjadi anggaran belanja rutin dengan anggaran belanja pembangunan.

Page 130: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

12� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Penyusunan anggaran dilakukan secara terintegrasi antarprogram/ antarkegiatan dan jenis belanja pada kementerian negara/lembaga, beserta seluruh satuan kerja yang bertanggung jawab terhadap aset dan kewajiban yang dimilikinya. Dengan pendekatan sistem pengganggaran terpadu seperti itu, satuan kerja ditempatkan sebagai business unit yang menjadi titik sentral dari seluruh proses siklus anggaran, mulai dari tahap perencanaan dan penganggaran hingga tahap pelaksanaan serta pelaporan APBN dilaksanakan. Sebagai konsekuensi dari dijadikannya satuan kerja sebagai business unit terkecil, satuan kerja harus menyusun dan menyampaikan rencana kerja serta anggaran kementerian negara/lembaga (RKA-KL) secara berjenjang, mulai dari Menteri/Pimpinan lembaga untuk selanjutnya disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan Pembangunan Negara/Ketua Bappenas. RKA-KL merupakan dokumen penganggaran yang akan menjadi bahan penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN.

Untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah tertuang dalam RKA-KL, sejak tahun 2005 diperkenalkan dokumen baru, yaitu daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) yang menggantikan daftar isian kegiatan (DIK) untuk anggaran belanja rutin dan daftar isian proyek (DIP) untuk anggaran belanja pembangunan.

Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja adalah terdapatnya keharusan agar penyusunan anggaran belanja dari setiap satuan kerja untuk semua K/L memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan/atau hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.

Penerapan metode perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja akan dilakukan secara bertahap, dimulai pada 2009 dengan pilot project Departemen Keuangan. Departemen Keuangan dipilih sebagai pilot project untuk mulai menggunakan pendekatan anggaran berbasis kinerja dalam proses perencanaan dan penganggarannya pada 2009. Dalam tahun 2010, beberapa K/L yang lain direncanakan akan mulai menggunakan pendekatan anggaran berbasis kinerja, yaitu: Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, serta Kemenneg PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Implikasi dari pemberlakuan konsep kerangka pengeluaran jangka menengah adalah terdapatnya keharusan bahwa perencanaan penganggaran belanja dari setiap satuan kerja pada semua K/L untuk memperhitungkan kebutuhan anggaran dalam perspektif lebih dari satu tahun.

Kedua, penyusunan dan pelaksanaan anggaran belanja pemerintah pusat selama periode 2004–2009 dilakukan dengan mengikuti perubahan struktur dan format belanja negara baru, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 11 ayat (5) UU No. 17 tahun 2003. Berdasarkan pada ketentuan tersebut, alokasi anggaran belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Rincian belanja negara menurut organisasi dalam setiap tahun anggaran disesuaikan dengan susunan kementerian negara/lembaga pemerintah pusat yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi tertentu dari pemerintah berdasarkan UUD 1945 dan peraturan perundangan yang berlaku. Rincian belanja pemerintah pusat menurut jenis, dalam format yang baru diperluas dari 6 (enam) jenis menjadi 8 (delapan) jenis. Kedelapan jenis belanja dalam penganggaran belanja pemerintah pusat tersebut, terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Rincian belanja negara juga berubah dari pendekatan sektor, subsektor, program, dan kegiatan/proyek menjadi pendekatan berdasarkan fungsi, subfungsi, program, dan kegiatan.

Ketiga, anggaran belanja pemerintah pusat, dalam kerangka pembaharuan sistem demokrasi, ditempatkan sebagai ujung tombak dari bentuk kerangka intervensi anggaran secara langsung oleh pemerintah, dalam membiayai berbagai program pembangunan yang mencerminkan platform Presiden terpilih hasil pemilihan Presiden yang dilakukan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Page 131: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 129

www.depkeu.go.id

Keempat, adanya perubahan orientasi kebijakan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam periode 2004-2009, yang lebih diarahkan untuk mendukung langkah-langkah stimulasi terhadap perekonomian dari sisi fiskal, dalam rangka memperluas penciptaan lapangan kerja produktif dan mengentaskan kemiskinan. Sebagai implementasi dari kebijakan tersebut, dalam periode 2005-2009 telah ditempuh alokasi anggaran untuk bantuan sosial dan subsidi, pegawai, dan infrastruktur.

5.4. Realisasi Belanja Pemerintah Pusat

Berbagai pembaharuan dalam sistem penganggaran serta perubahan orientasi kebijakan alokasi anggaran belanja negara dan kebijakan fiskal terkait lainnya yang ditempuh pemerintah dalam kurun waktu 2004-2009, membawa konsekuensi pada perkembangan kinerja belanja pemerintah pusat dalam periode tersebut.

Beberapa kebijakan yang ditempuh dalam periode tersebut antara lain: a. Pemberian bantuan sosial langsung kepada masyarakat seperti : Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pelayanan kesehatan penduduk miskin (Askeskin/Jamkesmas), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan Program Keluarga Harapan (PKH); b. Meningkatkan kesejahteraan pegawai PNS/TNI/Polri serta Pensiunan melalui : kenaikan gaji pokok bagi PNS/TNI/Polri secara berkala, pemberian gaji bulan ke-13, pemberian uang makan kepada PNS sejak 2007, serta penyesuaian pokok pensiun dan pemberian pensiun ke-13; c. Penyesuaian harga BBM dalam negeri pada Maret dan Oktober 2005, serta pada Mei 2008; d. Mengalokasikan anggaran dari pengurangan subsidi BBM untuk bantuan sosial dan infrastruktur, terutama dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Dalam periode 2005-2008, penyerapan belanja pemerintah pusat mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari 87,7 persen terhadap APBN-P pada 2005 menjadi 99,4 persen terhadap APBN-P pada 2008. Secara rata-rata, penyerapan belanja Pemerintah pusat dalam periode tersebut mencapai 95,0 persen. Pada 2009, penyerapan anggaran belanja pemerintah pusat diperkirakan mencapai 97,2 persen terhadap pagunya dalam APBN.

Page 132: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Pada 2005, belanja pemerintah pusat hanya menyerap 87,7 persen dari pagunya. Rendahnya penyerapan pada 2005 tersebut terutama disebabkan oleh adanya proses transisi dari implementasi format baru APBN dan keterlambatan penyelesaian dokumen anggaran. Tahun 2005 merupakan awal dari penerapan sistem unified budget, yaitu penggantian anggaran belanja rutin dan anggaran pembangunan sehingga klasifikasi ekonomi belanja pemerintah pusat berubah menjadi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, dan belanja lain-lain.

Penyerapan belanja pemerintah pusat pada 2006 sedikit lebih baik dibandingkan 2005, yaitu mencapai 92,0 persen. Perbaikan penyerapan terjadi hampir di semua komponen belanja negara. Perbaikan kondisi tersebut terkait dengan membaiknya proses penyelesaian dokumen anggaran. Namun demikian, realisasi belanja pemerintah pusat tersebut masih belum optimal jika dibandingkan dengan kinerja sebelum reformasi keuangan negara yang bisa mencapai 98 - 99 persen dari APBN-P. Belum optimalnya realisasi belanja pemerintah pusat tersebut antara lain terkait dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang membutuhkan waktu cukup panjang.

Pada 2007, penyerapan belanja pemerintah pusat meningkat mencapai 101,3 persen, melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN-P sebesar Rp 498,2 triliun. Tingginya realisasi belanja pemerintah pusat tersebut terutama disebabkan oleh tingginya realisasi belanja subsidi, yaitu mencapai Rp 150,2 triliun atau 143,0 persen dari pagunya. Hal tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah untuk tetap mempertahankan pemberian subsidi di tengah meningkatnya harga minyak dunia.

Realisasi belanja pemerintah pusat 2008 sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kenaikan komoditas pangan strategis di pasar internasional dan kenaikan harga minyak dunia yang sempat mencapai level tertingginya, yaitu sebesar USD147 per barel. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam rangka mengamankan pelaksanaan APBN 2008, pemerintah melakukan percepatan pengajuan perubahan atas APBN 2008.

Di bidang belanja pemerintah pusat, langkah-langkah pengamanan APBN dilakukan antara lain melalui: a. Penggunaan dana cadangan risiko fiskal, penghematan dan penajaman prioritas kegiatan serta penundaan kegiatan yang tidak prioritas pada anggaran K/L sekitar 10 persen.b. Penghematan anggaran belanja subsidi BBM dan subsidi listrik, serta pelaksanaan Paket Kebijakan Stabilisasi Harga (PKSH).

Namun demikian, berbagai langkah pengamanan yang telah dilakukan di bidang belanja tersebut, bersama-sama dengan upaya optimalisasi penerimaan negara serta pemenuhan pembiayaan anggaran, ternyata tidak cukup memadai untuk mengatasi tekanan yang ditimbulkan dari peningkatan harga minyak dunia. Pemerintah menempuh kebijakan penyesuaian harga BBM dalam negeri sebagai langkah terakhir dalam upaya menjaga kesinambungan fiskal dan menyehatkan APBN. Untuk mengurangi dampak kenaikan BBM bagi masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah memberikan kompensasi, antara lain dalam bentuk bantuan langsung tunai; bantuan biaya pendidikan bagi anak PNS golongan I dan II, serta Tamtama TNI/Polri; serta beasiswa kepada mahasiswa. Dengan berbagai kebijakan tersebut, realisasi belanja pemerintah pusat dapat dikendalikan, yaitu 99,4 persen dari pagunya.

Page 133: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 1�1

www.depkeu.go.id

Item2004 2005 2006 2007 2008 2009

APBN-P Realisasi APBN-P Realisasi APBN-P Realisasi APBN-P Realisasi APBN-P Realisasi APBN-B Real. Q1

1. Belanja Pegawai 54,2 52,7 61,2 54,3 79,1 73,3 92,8 90,4 123,5 112,8 140,2 12,7

2. Belanja Barang 16,8 15,5 42,3 29,2 56,0 47,2 65,3 54,5 67,5 55,2 91,7 0,4

3. Belanja Modal 71,9 61,5 54,7 32,9 69,8 55,0 75,1 64,3 79,1 72,7 72,0

4. Pembayaran

Bunga Utang63,2 62,5 61,0 65,2 82,5 79,1 83,6 79,8 94,8 88,6 101,7 0,1

5. Subsidi 69,9 91,5 119,1 120,8 107,6 107,4 105,1 150,2 234,4 275,3 166,7 0,2

6. Belanja Hibah - - - -

7. Bantuan Sosial - - 30,0 24,9 41,0 40,7 50,6 49,8 59,7 56,9 79,0

8. Belanja Lain2 24,0 13,7 43,4 34,0 42,3 37,4 25,8 15,6 38,0 31,0 65,1 1,1

Total 300,0 297,5 411,7 361,2 478,2 440,0 498,2 504,6 697,1 692,5 716,4 14,5

Sumber: Departemen Keuangan

Tabel 5.1. Realisasi Belanja Pemerintah Pusat menurut Jenis, 2004-2009 (dalam triliun rupiah)

Berdasarkan nilai nominalnya, dalam kurun waktu 2004-2009, realisasi anggaran belanja pemerintah pusat mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari Rp 297,5 triliun pada 2004 menjadi Rp 692,5 triliun pada 2008. Pada 2009, realisasi belanja negara diperkirakan mencapai Rp 716,4 triliun. Sementara itu, apabila dilihat dari persentasenya terhadap PDB, realisasi belanja pemerintah pusat dalam periode tersebut selalu berada pada kisaran 13,0 persen, kecuali pada 2008, yang meningkat mencapai 15,4 persen terkait dengan meningkatnya subsidi BBM akibat tingginya harga minyak dunia. Perkembangan realisasi belanja pemerintah pusat 2005-2009 dapat dilihat dalam gambar 5.2.

Gambar 5.2. Perkembangan Alokasi dan Realisasi Belanja Pemerintah Pusat, 2004-2009

800,0

700,0

600,0

500,0

400,0

300,0

200,0

100,0

0,0

Sumber: Departemen Keuangan

2004 2005 2006 2007 2008 2009*

16,0

14,0

12,0

10,0

8,0

6,0

4,0

2,0

0,0

APBN Realisasi % APBN-P thd PDB % Realisasi thd PDBRp triliun %

* Angka APBN dan APBN Stimulus

Page 134: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Dari evaluasi terhadap pelaksanaan anggaran belanja pemerintah pusat menurut jenis belanja selama kurun waktu 2005–2009, terdapat beberapa perkembangan penting dan perubahan yang sangat signifikan pada komposisi anggaran belanja pemerintah pusat menurut jenis dalam kurun waktu 2005–2009. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, realisasi anggaran belanja pemerintah pusat sebagian besar merupakan realisasi belanja mengikat atau pengeluaran-pengeluaran yang bersifat wajib (nondiscretionary expenditures). Rasio anggaran belanja mengikat terhadap total belanja pemerintah pusat dalam rentang waktu tersebut cukup berfluktuasi, namun dengan kecenderungan yang semakin menurun, yaitu dari sebesar 69,7 persen pada 2005 menurun menjadi 63,2 persen pada 2006. Pada 2007, rasio anggaran belanja mengikat terhadap total belanja pemerintah pusat meningkat kembali menjadi 67,8 persen dan diperkirakan menurun menjadi 60,9 persen pada 2009.

Berfluktuasinya rasio anggaran belanja mengikat tersebut terutama dipengaruhi oleh perkembangan berbagai faktor eksternal, seperti harga minyak mentah dan nilai tukar yang berakibat pada meningkatnya beban subsidi dan pembayaran bunga utang. Sebaliknya, porsi anggaran belanja yang tidak mengikat dalam periode yang sama juga berfluktuasi dengan kecenderungan yang meningkat, dari sebesar 30,3 persen pada 2005 menjadi hanya sebesar 39,1 persen dari total perkiraan realisasi anggaran belanja pemerintah pusat pada 2009. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun APBN, khususnya belanja pemerintah pusat dilaksanakan dalam situasi dan masa-masa yang sangat sulit akibat tekanan dari berbagai faktor eksternal, seperti kenaikan harga minyak mentah, dan harga pangan dunia, melalui berbagai kebijakan alokasi anggaran pemerintah dapat meningkatkan porsi alokasi anggaran belanja tidak mengikat, walaupun belum signifikan.

Cukup besarnya porsi anggaran belanja mengikat dalam anggaran belanja pemerintah pusat menyebabkan terbatasnya dana yang tersedia bagi pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pembangunan. Ruang gerak yang tersedia bagi pemerintah untuk melakukan intervensi fiskal dalam bentuk stimulasi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat, baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja produktif, maupun mengentaskan kemiskinan, menjadi relatif terbatas. Dalam beberapa tahun terakhir, telah diambil langkah-langkah kebijakan untuk meningkatkan kualitas belanja negara dengan lebih memperhatikan efisiensi, ketepatan alokasi, pengaruh yang besar terhadap perekonomian (growth, employment, dan poverty), serta peningkatan hubungan keuangan pusat dan daerah.

Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, sejak 2007 telah dilakukan langkah-langkah pembaharuan dan perbaikan dalam kebijakan alokasi anggaran, yaitu:

Pertama, karena alokasi belanja pegawai, pembayaran bunga utang, dan subsidi merupakan belanja yang tidak dapat dielakkan maka ditempuh realokasi belanja barang dari masing-masing K/L ke belanja modal dan bantuan sosial.

Kedua, agar mampu memberikan dampak positif yang lebih besar bagi perekonomian secara keseluruhan, dilakukan peningkatan kualitas belanja modal. Sekalipun demikian, agar tidak mengganggu pencapaian sasaran pembangunan yang telah direncanakan, kebijakan pergeseran belanja barang ke belanja modal dan/atau bantuan sosial yang dikelola oleh K/L tersebut dilakukan dengan mengacu kepada batasan tertentu, baik batasan yang bersifat umum maupun batasan yang bersifat khusus.

Page 135: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 1��

www.depkeu.go.id

Batasan umum pengalihan belanja barang tidak mengikat ke belanja modal dan/atau bantuan sosial tersebut antara lain:

a. Tidak mengubah pagu belanja mengikat; b. Tidak berdampak pada pencapaian sasaran keluaran dari kegiatan prioritas dan tidak mengurangi tingkat pelayanan kepada masyarakat; c. Diutamakan dari belanja perjalanan dinas dan belanja barang operasional. Batasan khususnya adalah realokasi ke belanja modal tersebut tidak boleh digunakan untuk pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung kantor, dan pembangunan rumah dinas, tetapi harus difokuskan untuk pembangunan infrastruktur daerah yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dengan kebijakan pergeseran alokasi anggaran dari belanja barang yang lebih bersifat konsumtif ke belanja modal dan bantuan sosial yang memiliki dampak langsung yang diperkirakan relatif lebih besar bagi perekonomian nasional, diharapkan pertumbuhan ekonomi dapat lebih ditingkatkan. Di samping itu, perubahan komposisi jenis belanja ini diharapkan akan lebih menyehatkan APBN, sehingga ketahanan fiskal dapat dijaga.

Perkembangan realisasi anggaran belanja pemerintah pusat menurut fungsi mulai ada sejak diterapkannya sistem penganggaran terpadu pada 2005. Sebelum 2005, belanja pemerintah pusat dirinci menurut sektor dan subsektor. Dengan adanya penerapan sistem penganggaran terpadu, belanja negara salah satunya dirinci menurut fungsi subfungsi dan program. Selama periode 2005–2009, lebih terkonsentrasi pada fungsi pelayanan umum dengan proporsi rata-rata 69,2 persen dari total belanja pemerintah pusat yang diikuti secara berturut-turut oleh fungsi pendidikan (9,2 persen), ekonomi (7,8 persen), pertahanan (4,2 persen), ketertiban dan keamanan (3,7 persen), kesehatan (2,4 persen), serta sisanya sebesar 3,5 persen tersebar pada fungsi-fungsi lainnya, meliputi fungsi lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi pariwisata dan budaya, fungsi agama dan fungsi perlindungan sosial. Perkembangan anggaran belanja Pemerintah Pusat secara persentase menurut fungsi dalam periode 2005–2009 disajikan dalam gambar 5.3.

Gambar 5.3. Perkembangan Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi, 2005-2009

Sumber: Departemen Keuangan

100%

80%

60%

40%

20%

0%2005 2006 2007 2008 2009

Pelayanan Umum

Ketertiban dan Keamanan Lain-lain

Pendidikan

Ekonomi

Pertahanan

Page 136: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

5.5. Upaya Optimalisasi Belanja Negara

5.5.1. Perbaikan Kualitas Perencanaan dan Penganggaran

Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari setiap rupiah belanja pemerintah, serta kesesuaian antara masukan dengan keluaran, maka dalam kerangka pembaharuan sistem penganggaran, pemerintah terus melakukan langkah-langkah perbaikan kualitas perencanaan dan penganggaran. Hal ini dilakukan antara lain dengan: a. Sinkronisasi program dan kegiatan, antara program dan kegiatan yang menjadi prioritas nasional dengan kegiatan masing-masing unit eselon I berdasarkan tugas dan fungsi, formulasi output dan kriteria indikator, serta kegiatan dasar untuk mendukung operasi pemerintah dan layanan publik; b. Penyempurnaan pedoman RKA-KL, meliputi perbaikan norma dan pedoman penyusunan RKA-KL serta pengembangan sistem aplikasi RKA-KL; c. Revisi PP Nomor 21 tentang Penyusunan RKA-KL; d. Sistem integrasi desain RKP, Renja-KL, RKA-KL, dan DIPA.

Langkah-langkah peningkatan kualitas pengeluaran telah dan akan terus dilakukan, antara lain melalui: a. Restrukturisasi program yang akan dituangkan dalam RPJM dan RKP dengan pendekatan tugas dan fungsi masing-masing unit Eselon I pada K/L; b. Penetapan sasaran program sebagai outcome dilengkapi dengan rumusan indikator kinerja yang realistis sebagai alat ukur evaluasi kinerja; c. Perumusan kegiatan untuk masing-masing unit Eselon II yang mencerminkan tugas dan fungsi serta secara langsung menunjang pencapaian sasaran program; d. Penetapan output kegiatan yang spesifik dan terukur, serta indikator kinerja secara realistis sebagai acuan dalam evaluasi kinerja; e. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan mengacu pada indikator yang telah ditetapkan dan disesuaikan dengan kebutuhan yang difokuskan pada: (i) Kinerja keuangan yang mencerminkan kemampuan daya serap terhadap anggaran yang disediakan dan pencapaian target fisik (evaluasi kinerja input); (ii) Kinerja pelayanan, yang mencerminkan kemampuan mewujudkan pencapaian output yang direncanakan dalam rangka service delivery (evaluasi kinerja output); (iii) Kinerja manfaat yang mencerminkan kemampuan dalam memenuhi sasaran program yang telah ditetapkan (evaluasi kinerja outcome); (iv) Peningkatan kapasitas pengelola anggaran di seluruh unit eselon I K/L dalam menetapkan rumusan program yang mencerminkan tugas dan fungsi unitnya, serta mendukung pencapaian visi dan misi K/L yang bersangkutan; merumuskan indikator kinerja program dan kegiatan yang jelas, terukur, perwujudan dari data/informasi yang memang diperlukan (attributable) sesuai dengan ruang lingkup kejadian dan jangka waktu tertentu; merumuskan nomenklatur kegiatan yang mencerminkan tupoksi unit dan menjadi penanggung jawab dalam pelaksanaannya, yang merupakan penjabaran dari program; serta menyusun standar biaya khusus (SBK) yang mencerminkan kebutuhan dana untuk menghasilkan sebuah output.

5.5.2. Penataan Organisasi Direktorat Jenderal Anggaran

Peningkatan kinerja dan profesionalisme birokrasi menjadi suatu tuntutan yang tidak bisa ditunda. Reformasi birokrasi merupakan upaya penyempurnaan yang dinamis, terus menerus, dalam rangka meningkatkan kinerja birokrasi, sehingga pelayanan yang diberikan menjadi semakin baik. Reformasi birokrasi yang dilakukan Departemen Keuangan merupakan kelanjutan dari Reformasi Keuangan Negara yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Page 137: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 1��

www.depkeu.go.id

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Hal tersebut menjadi latar belakang perlunya penataan organisasi dalam rangka reformasi birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan, termasuk di Direktorat Jenderal Anggaran. Tujuan dari penataan organisasi adalah menciptakan organisasi Departemen Keuangan yang efektif, efisien, dan profesional. Proses penataan organisasi dilakukan melalui proses organization reinventing sejak 2002 dan terus berjalan hingga saat ini. Penataan organisasi tersebut meliputi pemisahan, penggabungan, dan penajaman fungsi.

Sebagai tindak lanjut dari proses penataan organisasi, telah ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Perubahan mendasar yang diatur dalam keputusan tersebut adalah pemisahan fungsi perencanaan dengan pelaksanaan anggaran. DJA lama yang semula mengelola kedua fungsi di atas, dipecah menjadi dua unit Eselon I, yaitu Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK) sebagai unit perencana anggaran. Tugasnya merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta standarisasi teknis di bidang kebijakan fiskal, anggaran pendapatan dan belanja negara, serta perimbangan keuangan. Unit kedua adalah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) yang menjalankan fungsi pelaksanaan anggaran. Pemisahan ini dilakukan dengan pertimbangan agar check and balance dapat dilaksanakan dengan optimal.

Dalam perkembangannya, pelaksanaan tugas DJAPK ternyata terlalu luas karena menangani perencanaan belanja pusat dan alokasi belanja ke daerah. Oleh karena itu, dipandang perlu dilakukan pemisahan fungsi pengelolaan belanja pusat dan belanja daerah. Pemisahan fungsi tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 tanggal 31 Juli 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan tersebut, DJAPK dipecah menjadi dua Direktorat Jenderal, yaitu Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). Setelah perubahan tersebut, tugas DJA menjadi lebih fokus, yaitu “merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penganggaran sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Seiring dengan terjadinya penggabungan antara Badan Pengawas Pasar Modal (Bappepam) dengan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan menjadi Bappepam-LK, telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006 tanggal 22 Desember 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan sebagai perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 466/KMK.01/2006.

Setelah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006 diimplementasikan, terjadi penyempurnaan penataan organisasi kembali yang diusulkan oleh DJA. Usulan ini dilatarbelakangi hal-hal sebagai berikut :a. Berdasarkan arahan Menteri Keuangan pada akhir November 2006 agar dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan tugas DJA di bidang sistem penganggaran, maka membentuk unit yang mempunyai tugas mengkaji dan mengembangkan sistem penganggaran sesuai amanat UU Nomor 17 Tahun 2003;b. Menata kembali Direktorat Penyusunan APBN sebagai akibat dipindahkannya sebagian tugas dan fungsi Direktorat Penyusunan Asumsi Makro ke Badan Kebijakan Fiskal;c. Pengalihan tugas penyusunan laporan Bagian Anggaran 70 dan Bagian Anggaran 71 ke Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan; d. Pengalihan tugas dan fungsi penerimaan Pungutan Ekspor (dari Direktorat PNBP) ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; e. Peningkatan Seksi Penerimaan Laba BUMN menjadi Subdirektorat Penerimaan Laba BUMN.

Page 138: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Gambar 5.4. Bagan Organisasi Direktorat Jendral Anggaran

Dalam upaya untuk meningkatkan kinerja organisasi, DJA sebagai unit organisasi yang melaksanakan sebagian tugas Departemen Keuangan telah melakukan berbagai perubahan untuk mendukung program reformasi birokrasi yang dijalankan oleh Departemen Keuangan, yaitu dengan cara:a. Melakukan reorganisasi dengan membentuk Direktorat Sistem Penganggaran yang melaksanakan tugas dan fungsi untuk pengembangan sistem penganggaran, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tanggal 11 Juli 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Direktorat baru ini diberi tugas untuk melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, standardisasi, teknologi informasi, dan evaluasi di bidang sistem penganggaran. Selain itu, direktorat lain di lingkungan DJA semakin dipertajam fungsinya dalam mendukung pencapaian tugas serta visi DJA untuk menjadi unit organisasi yang profesional, kredibel, transparan dan akuntabel dalam perumusan dan pengelolaan kebijakan di bidang penganggaran.b. Menyusun dan mengevaluasi Uraian Jabatan (Urjab) dan melakukan job analysis untuk menentukan grading masing-masing jabatan serta menyusun dan mengevaluasi SOP.

DIREKTORAT PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN

BELANJA NEGARADIREKTORAT ANGGARAN I DIREKTORAT ANGGARAN II

DI DIDIREKTORAT ANGGARAN III

REKTORAT SISTEM PENGANGGARAN

REKTORAT PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Direktorat Jendral Anggaran

SE

BAGIAN UMUBAGIAN ORGANISASI BAGIANBAGIAN

KEPEGAWAIAN KEUANGAN DAN TATALAKSANAM

KRETARIAT DIREKTORAT JENDERAL

SUBDIREKTORAT PENERIMAAN SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORATSUBDIREKTORATANGGARAN IIA ANGGARAN IIIA

PENGEMBANGANSISTEM

PENGANGGARANMINYAK BUMI DAN GAS

KELOMPOK

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORAT

KELOMPOK

SUBDIREKTORAT DATA DAN

KELOMPOK

SUBDIREKTORATSUBDIREKTORAT DARA DAN

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORAT

KELOMPOK

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORATANGGARAN IIIB

ANGGARAN IIIC

ANGGARAN III D

ANGGARAN IIIE

JABATANFUNGSIONAL

PENYUSUNAN ANGGARA

KELOMPOK

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORAT

KELOMPOK

SUBDIREKTORAT

SUBDIREKTORATANGGARAN IIE

ANGGARAN IIF

JABATANFUNGSIONAL

ANGGARAN C

ANGGARAN D

ANGGARAN E

ANGGARAN IIB

ANGGARAN IIC

ANGGARANII D

ANGGARAN IIIF

JABATAN

N BELANJA NEGARA I

PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN NEGARA

PENYUSUNAN ANGGARAN BELANJA NEGARA II

PENYUSUNAN PEMBIAYAAN ANGGARAN DAN

DUKUNGAN TWKNIS PENYUSUNAN APBN

ANGGARAN F

JABATAN

DUKUNGAN TEKNIS PNBP

JABATANFUNGSIONAL

STANDRAR BIAYA

HARMONISASI KEBIJAKAN

TEKNOLOGI INFORMASI PENGANGGARAN

JABATANFUNGSIONAL

ALAM

SUBDIREKTORAT PENERIMAAN

SUBDIREKTORAT PENERIMAAN

SUBDIREKTORAT PENERIMAAN

SUBDIREKTORAT PENERIMAAN PANAS BUMI DAN HILIR MIGAS

NON KEMENTRIAN

KEMENTRIAN DAN SUMBER DAYA ALAM NON MIGAS

LABA BUMN

ANGGARAN

SUBDIREKTORAT ANALISIS ASUMSI DASAR DAN

KERANGKA EKONOMI MAKRO

SUBDIREKTORATANGGARAN B

SUBDIREKTORAT

Page 139: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 1��

www.depkeu.go.id

Sampai saat ini, sejak digulirkannya Reformasi Birokrasi, DJA telah menyusun 235 SOP yang dijadikan acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Dari 235 SOP yang disusun, ditetapkan lima SOP unggulan DJA, yaitu : (i) Pelayanan penyelesaian lampiran Perpres tentang Anggaran Belanja Pemerintah Pusat;(ii) Pelayanan penyelesaian revisi SAPSK (APBN-P);(iii) Pelayanan penyelesaian Standar Biaya Khusus;(iv) Penyusunan target dan pagu penggunaan PNBP pada Kementerian/Lembaga untuk RAPBN Tahun Anggaran yang akan datang atau Revisi target dan pagu penggunaan PNBP untuk APBN-P tahun anggaran berjalan;(v) Penyusunan konsep RPP tentang Jenis dan Tarif PNBP atau revisi yang berlaku pada Kementerian/ Lembaga.

Untuk mendukung upaya reformasi telah disusun Balance Scored Card (BSC) sebagai penjabaran dari BSC Departemen Keuangan sampai tingkat Eselon II, dan akan dilanjutkan untuk tingkat Eselon III. dan kultural, proses Reformasi Birokrasi berjalan panjang dan terus menerus.

Agar seluruh elemen birokrasi Departemen Keuangan memiliki satu pemahaman dan satu tindakan dalam menjalankan program reformasi birokrasi, tim Reformasi Birokrasi Pusat telah mengidentifikasi pentingnya cetak biru reformasi birokrasi yang komprehensif Reformasi manajemen keuangan negara mencakup keseluruhan aspek pengelolaan keuangan negara, yaitu penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran. Dalam bidang penyusunan anggaran, perubahan yang dilakukan meliputi penerapan anggaran terpadu, penerapan penyusunan anggaran dalam kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja. Sedangkan dalam bidang pelaksanaan anggaran, dilakukan pembagian kewenangan yang lebih jelas dalam pengelolaan keuangan antara menteri teknis dan Menteri Keuangan.

Pembagian kewenangan yang baru ini memberikan jaminan bagi terlaksananya mekanisme saling uji (check and balance) dalam pelaksanaan pengeluaran negara; dan kejelasan akuntabilitas Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara dan menteri teknis sebagai Pengguna Anggaran. Pembagian kewenangan ini memberikan pula fleksibilitas kepada menteri teknis sebagai Pengguna Anggaran, untuk mengatur penggunaan dana anggaran kementeriannya secara efisien dan efektif dalam rangka optimalisasi kinerja kementeriannya untuk menghasilkan output yang telah ditetapkan.

5.6.1. Unified Budget

Unified budget adalah penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi dana. Dari batasan ini terkandung pengertian bahwa proses penyusunan anggaran harus memperhatikan keterpaduan antara berbagai jenis kegiatan pemerintahan dalam berbagai jenis belanja. Mengingat penyusunan anggaran harus didasarkan atas Rencana Kerja Pemerintah (RKP) maka keterpaduan dalam penyusunan anggaran harus sesuai dengan keterpaduan pada saat penyusunan rencana kerja, meliputi:a. Keterpaduan antarprogram/kegiatan dan jenis belanja dalam satu K/L beserta seluruh satuan kerjanya yang bertanggung jawab terhadap asset dan kewajiban yang dimilikinya;b. Keterpaduan program/kegiatan antarkementerian negara/lembaga;c. Keterpaduan program/kegiatan baik antarpemerintah daerah maupun antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

Page 140: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Penerapan penganggaran terpadu meliputi: a. Menyatukan anggaran rutin dengan anggaran pembangunan;b. Menyatukan dokumen pelaksanaan anggaran dari semula DIK, DIP, DIPP, DIKS, dan SKO menjadi DIPA;c. Menyatukan kantor dan proyek sebagai pelaksana kegiatan menjadi Satuan Kerja;d. Menyempurnakan kode MAK sesuai Bagan Akun Standar (BAS).

Pada penganggaran terpadu, klasifikasi anggaran atau pengalokasian dana didasarkan atas organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Pengalokasian atas organisasi atau menurut bagian anggaran bukan saja terkait dengan organisasi dalam pemerintahan (Kementerian negara/lembaga), tetapi terkait juga dengan klasifikasi fungsi. Hal ini karena fungsi merupakan perwujudan tugas kepemerintahan dalam bidang tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Sedangkan klasifikasi berdasarkan jenis belanja atau klasifikasi ekonomi terkait dengan kegiatan pemerintah untuk menghasilkan barang dan jasa, termasuk mendistribusikannya.

Memadukan (unifying) atau mengintegrasikan anggaran rutin dan pembangunan yang diberlakukan pada penyusunan anggaran TA 2005 merupakan tahapan awal yang diperlukan sebagai bagian dari upaya jangka panjang untuk membawa penganggaran menjadi lebih berorientasi kepada kinerja. Dalam kaitan ini, perhitungan biaya masukan dan menaksir kinerja output secara bersama-sama antara biaya yang bersifat investasi dan biaya rutin sangat penting untuk dinilai kembali secara bertahap dan berkesinambungan.

Gambar 5.5. Perubahan Format Anggaran Belanja Pemerintah Pusat

FORMAT LAMA FORMAT BARU

A. Pendapatan Negara Dan Hibah A. Pendapatan Negara Dan Hibah

I. Penerimaan Dalam Negeri I. Penerimaan Dalam Negeri

1. Penerimaan Perpajakan 1. Penerimaan Perpajakan

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak

II. Penerimaan Hibah II. Penerimaan Hibah

B. Belanja Negara B. Belanja Negara

I. Belanja Pemerintah Pusat I. Belanja Pemerintah Pusat

1. Pengeluaran Rutin 1. Belanja Pegawai

a. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang

b. Belanja Barang 3. Belanja Modal

c. Pembayaran Bunga Hutang 4. Pembayaran Bunga Hutang

d. Subsidi 5. Subsidi

e. Pengeluaran Rutin Lainnya 6. Belanja Hibah

2. Pengeluaran Pembangunan 7. Bantuan Sosial

II. Belanja untuk Daerah 8. Belanja Lain-lain

1. Dana Perimbangan II. Belanja untuk Daerah

2. Dana Otonomi Khisis dan Penyesuaian 1. Dana Perimbangan

2. Dana Otonomi Khisis dan Penyesuaian

C. Keseimbangan Primer C. Keseimbangan Primer

D. Surplus/defisit Anggaran D. Surplus/defisit Anggaran

E. Pembiayaan E. Pembiayaan

Page 141: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 1�9

www.depkeu.go.id

5.6.2. Performance Based Budgeting

Penganggaran berdasarkan kinerja adalah penyusunan anggaran yang dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Indikator kinerja dan sasaran merupakan bagian dari sistem penganggaran berdasarkan kinerja dalam rangka mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya dan memperkuat proses pengambilan keputusan.

Dalam Peraturan Pemerintah mengenai Rencana Kerja Anggaran Kementerian Negara/Lembaga proses penganggaran dikendalikan dengan realitas anggaran, disusun berdasarkan prioritas, didesain dengan tujuan untuk mencapai kinerja yang dapat dihasilkan oleh pengguna anggaran, diimplementasikan, serta dilaporkan hasil yang telah dicapai oleh program dan kegiatan yang dilaksanaan. Adanya pelaporan kinerja akan memungkinkan dilakukannya evaluasi mengenai efisiensi dan efektivitas sehingga suatu kebijakan dapat dimantapkan, direvisi, dan bahkan divalidasi. Proses ini merupakan bagian sangat penting dari suatu sistem penganggaran yang berorientasi kepada manajemen kinerja.

Penerapan anggaran berdasarkan kinerja merupakan bagian tidak terpisahkan dalam pelaksanaan penyempurnaan manajemen keuangan, yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik serta efektivitas dari rencana kerja yang telah ditetapkan. Penerapan anggaran berdasarkan kinerja sejalan dengan beberapa penyempurnaan lainnya di bidang manajemen keuangan, seperti penerapan anggaran terpadu dan kerangka pengeluran jangka menengah yang berusaha untuk menghubungkan antara kebijakan, perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan. Satu hal penting yang mendasar dalam penyempurnaan manajemen keuangan ini adalah adanya kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar bagi Kementerian Negara/Lembaga dalam mengelola program dan kegiatan yang ada dalam lingkup kerjanya, di mana penganggaran berdasarkan kinerja akan sangat membantu dalam penerapannya.

Pendekatan ini dimaksudkan untuk memperbaiki kelemahan sistem tradisional di mana anggaran disusun berdasarkan line item, yaitu suatu sistem penganggaran yang disusun dengan penekanan terhadap pengendalian atas input, dengan perubahan yang cenderung konservatif dan inkremental dari anggaran tahun sebelumnya dan kurang mempertimbangkan prioritas dan kebijakan dari Kementerian Negara/Lembaga. Penganggaran berdasarkan kinerja pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam pelaksanaan anggaran dengan menghubungkan beban kerja dan kegiatan terhadap biaya. Secara lebih dalam, penerapan penganggaran berdasarkan kinerja akan mendorong pengalokasian anggaran kepada program dan kegiatan yang lebih prioritas. Sistem ini terutama berusaha untuk menghubungkan antara keluaran dengan hasil yang disertai dengan penekanan terhadap efektivitas dan efisiensi terhadap anggaran yang dialokasikan.

Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan publik dan memperkuat dampak dari peningkatan pelayanan publik. Sistem ini menekankan pentingnya sisi akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan sektor publik. Kementerian negara/lembaga diberikan keleluasaan yang lebih besar untuk mengelola program dan kegiatan didukung dengan adanya tingkat kepastian yang lebih tinggi atas pembiayaan untuk program dan kegiatan yang akan dilaksanakan, tetapi pada saat yang bersamaan juga dituntut mempertahankan prinsip-prinsip akuntabilitas. Disamping itu, penganggaran berdasarkan kinerja diharapkan mengubah paradigma dari penilaian kinerja lembaga berdasarkan besarnya dana yang terserap dari suatu program atau kegiatan menjadi penilaian berdasarkan pencapaian kinerja yang diukur dengan indikator-indikator substantif yang dihasilkan suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan secara efisien, efektif, dan ekonomis, serta sejalan dengan kebijakan organisasi.

Page 142: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Anggaran berbasis kinerja disusun dan diawali dengan penyusunan program serta kegiatan yang dijabarkan dari kebijakan yang telah ditetapkan dalam rangka pencapaian visi dan misi kementerian negara/lembaga. Setiap program dan kegiatan disertai dengan target sasaran output dan outcome, indikator untuk mengukur kinerja, serta didukung oleh suatu sistem informasi yang baik untuk mendukung pelaksanaan evaluasi kinerja.

Program adalah penjabaran kebijakan Kementerian Negara/Lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi Kementerian Negara/Lembaga. Masing-masing Kementerian Negara/Lembaga harus menyusun dan menetapkan program berdasarkan prioritas. Beberapa kriteria yang dapat membantu dalam penentuan skala prioritas suatu program antara lain program yang direncanakan untuk mendukung pencapaian platform presiden terpilih, program yang mendukung pencapaian visi misi Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan, program yang cukup sensitif secara politis dan mendapat perhatian dari masyarakat pengguna.

Indikator kinerja dibutuhkan untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan suatu program dan kegiatan. Suatu program diukur tingkat keberhasilannya atas pencapaian hasil yang telah ditargetkan. Outcome merupakan sasaran pencapaian untuk jangka menengah atau jangka panjang sebagai tanggung jawab politis dari menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna anggaran. Sedangkan keberhasilan suatu kegiatan diukur dari tingkat pencapaian kinerja berupa keluaran yang diproduksi baik berupa barang maupun jasa. Keluaran merupakan keseimbangan antara komponen harga (anggaran, kuantitas, dan kualitas). Keberhasilan dari kegiatan yang menghasilkan berbagai kegiatan yang menghasilkan berbagai keluaran merupakan tanggung jawab dari pimpinan satuan kerja sebagai tanggung jawab operasional.

5.6.3. Medium Term Expenditure Framework (MTEF)

Proses penganggaran selama ini dilaksanakan secara tahunan untuk menyusun kebutuhan anggaran bagi implementasi kebijakan selama satu tahun anggaran. Perspektif tahunan menyebabkan proses penganggaran hanya memberi fokus perhatian terhadap kebutuhan dana untuk implementasi kebijakan pada tahun yang bersangkutan, dan kurang atau hampir tidak memberi perhatian terhadap kebutuhan dana untuk mendukung kelanjutan rantai implementasi kebijakan tersebut di tahun-tahun berikutnya. Dengan demikian, proses optimasi dalam alokasi sumber dana terbatas pada tahun yang bersangkutan.

Perspektif tahunan seperti ini mengandung beberapa kelemahan. Pertama, penganggaran tahunan cenderung kurang disiplin dalam mengaitkan alokasi anggaran dengan kebijakan. Biaya yang dibutuhkan pada tahun-tahun mendatang bagi kebijakan yang diputuskan sekarang sering tidak diketahui secara akurat. Lebih jauh, penetapan prioritas suatu kebijakan serta implikasi kegiatannya tidak secara eksplisit terkait dengan pemetaan dalam horison yang lebih panjang, yang sangat relevan bagi kebijakan dan kegiatan yang implementasinya membutuhkan lebih dari satu tahun anggaran. Perbedaan persepsi mengenai relevansi dan pentingnya sebuah kebijakan yang disebabkan oleh perbedaan perspektif atau horison waktu berpotensi menyebaban inefisiensi alokasi anggaran.

Kedua, banyak kegiatan yang pelaksanaannya membutuhkan lebih dari satu tahun anggaran, yang apabila sudah diputuskan sebagai prioritas memerlukan komitmen dalam pelaksanaannya dan dukungan dalam penganggarannya yang lebih dari satu tahun. Penganggaran dengan perspektif satu tahun tidak bisa memberikan tingkat kepastian ketersediaan anggaran bagi kegiatan-kegiatan semacam ini, yang secara teoritis dapat mengancam integritas kebijakan yang melandasinya.

Page 143: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 1�1

www.depkeu.go.id

Ketiga, penganggaran tahunan secara teori memulai proses dari titik nol setiap awal siklus tahunan penyusunan anggaran. Proses politik yang terjadi dalam penyusunan anggaran tahunan seperti ini bila dikombinasikan dengan ketidakpastian dukungan anggaran bagi kegiatan multiyears, akan berpotensi mempengaruhi disiplin fiskal. Hal ini bisa terjadi karena persepsi mengenai terbatasnya dana bagi kebijakan-kebijakan baru tidak mengemuka karena pada dasarnya dana yang tersedia belum terikat sama sekali dengan komitmen untuk membiayai kebijakan yang telah diputuskan tahun-tahun sebelumnya dan yang masih perlu kelanjutan atas implementasinya.

MTEF adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan. Pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran dengan mempertimbangkan implikasi biaya keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya, yang dituangkan dalam perkiraan maju. Kredibilitas kebijakan yang tinggi serta dukungan kebijakan fiskal yang andal pada gilirannya akan menjadi landasan yang kuat dalam proses penyusunan anggaran. Kementerian Negara/Lembaga akan memliki sense of ownership yang tinggi terhadap kebijakan yang telah diambil apabila adanya keterlibatan mereka dalam proses penyusunan anggaran dan rencana kerja dan anggaran yang telah disusun akan lebih mudah tercapai sesuai dengan yang diharapkan.

MTEF berintikan dua proses, yaitu proses top down dan bottom up. Secara top down ditandai dengan penentuan resources envelope oleh central agencies. Resource envelope ini kemudian diikuti oleh pengusul anggaran dalam merencanakan kebijakan dan anggarannya. Secara bottom up ditandai dengan fleksibilitas yang diberikan pada pengusul anggaran untuk menyusun dan memperkirakan kebutuhan alokasi pada kegiatan yang sedang berjalan atau beberapa tahun ke depan. Mekanisme di dalam MTEF menyelaraskan resource envelope yang tersedia dengan kebutuhan. Oleh karena itu, MTEF dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang menuju perubahan paradigma dan perencanaan serta penganggaran yang awalnya berlandaskan kebutuhan (needs) menjadi berlandaskan ketersediaan.

MTEF diterapkan dengan tujuan:a. Meningkatkan keseimbangan makroekonomi dengan mengembangkan ketersediaan dana yang konsisten dan realistis;b. Memberikan alokasi pendanaan berdasarkan prioritas yang hendak dicapai;c. Memperbesar tingkat kepastian alokasi atas kebutuhan yang bersifat multiyears, sehingga K/L akan lebih baik dalam merencanakan anggarannya;d. Memberikan hard budget constraint untuk belanja, namun di sisi lain juga memberikan kekuasaan yang lebih besar bagi pengguna anggaran untuk merencanakan dan mengelola alokasi;e. Mekanisme dalam MTEF akan menyelaraskan resource envelope yang tersedia dengan kebutuhan.

Oleh sebab itu, MTEF merupakan sistem yang akan merubah perencanaan dan penganggaran yang berdasarkan kebutuhan (needs) menjadi berdasarkan ketersediaan (availability). Lazimnya MTEF mencakup kurun waktu selama dua hingga lima tahun. Semakin panjang waktunya maka anggaran negara semakin tidak responsif terhadap perubahan sosial-ekonomi yang terjadi.

Secara umum, pelaksanaan MTEF dapat dibagi ke dalam lima tahapan, yaitu:

Tahap 1 : Menyusun Kerangka Ekonomi MakroLangkah awal adalah menyusun sebuah kerangka ekonomi makro. Kerangka ekonomi makro ini sebaiknya memiliki kredibilitas yang tinggi sehingga dapat digunakan oleh para investor dalam memperkirakan kondisi ekonomi ke depan. Perumusan kerangka ekonomi makro adalah suatu bentuk perhitungan perkiraaan dan bukan penentuan target. Berdasarkan kerangka ekonomi

Page 144: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

makro yang disepakati kemudian dihasilkan indikator kerangka fiskal jangka menengah. Proyeksi ini akan ditinjau secara periodik dan dituangkan dalam laporan pemutakhiran proyeksi ekonomi makro dan fiskal. Langkah selanjutnya adalah menyusun kerangka ekonomi makro yang akan dibahas dalam sidang kabinet untuk meningkatkan komitmen bersama anggota kabinet terhadap kerangka yang ditetapkan.

Tahap 2 : Menyusun Pagu Sektoral atau Pagu Kementerian Negara/LembagaSetelah kebijakan fiskal dan belanja negara tersusun maka langkah berikutnya adalah melakukan alokasi pagu per sektor atau per Kementerian Negara/Lembaga. Perlu dicatat bahwa di beberapa negara, ketersediaan anggaran sengaja tidak dibagi habis pada pagu di semua sektor untuk dicadangkan apabila ada kebijakan baru yang tidak direncanakan sebelumnya. Setelah alokasi masing-masing sektoral ini tersusun maka hasilnya disampaikan kepada masing-masing K/L.

Tahap 3 : Penyusunan Proposal KegiatanSetelah menerima pagu alokasi, Kementerian Negara/Lembaga selaku spending ministry menyusun proposal anggaran. Proposal anggaran tersebut disusun dalam koridor pagu yang ditentukan. Spending ministry diberikan fleksibilitas dalam menyusun proposal ini. Dengan adanya pagu alokasi yang dikeluarkan oleh central agencies maka proposal kegiatan menjadi lebih realistis.

Tahap 4 : Pembahasan Proposal KegiatanProposal anggaran tersebut kemudian diselaraskan dengan ketersediaan dana, terutama atas kegiatan baru atau kegiatan yang timbul akibat perubahan kebijakan. Untuk menyelaraskan ketersediaan dana dengan usulan kegiatan, central agencies mengadakan hearing bersama pengusul atas proposal yang mereka ajukan. Di samping sebagai bahan untuk pengambilan keputusan, hearing ini juga bermanfaat untuk meningkatkan transparansi dalam proses alokasi anggaran.

Tahap 5 : Finalisasi dan Penyampaian ke ParlemenSidang kabinet memutuskan alokasi per sektor (K/L). Hasil ini kemudian ditindaklanjuti oleh sektor (K/L) pengusul dengan melakukan revisi atas usulan mereka sebelumnya. Konsensus bersama ini penting mengingat komitmen anggota kabinet sangat dibutuhkan untuk tetap mempertahankan disiplin fiskal dan alokasi. Proposal yang telah direvisi kemudian disampaikan kepada parlemen untuk dibahas.

Penerapan MTEF berbeda antara satu negara dengan negara lain. Namun demikian, setidaknya ada tiga prinsip yang harus dijaga agar sistem MTEF yang diterapkan suatu negara adalah MTEF yang sesungguhnya. Tigas prinsip dasar itu adalah aggregate fiscal discipline, allocation efficiency, dan operational efficiency.a. Aggregate fiscal discipline Konsep ini merupakan guideline dalam melakukan penganggaran, terutama dalam menentukan besaran pengeluaran pemerintah. Dalam prinsip ini, besaran pengeluaran pemerintah diikat dengan pencapaian target-target fiskal tertentu, misalnya angka defisit .b. Allocation efficiency Konsep ini mengacu pada kapasitas pemerintah dalam mendistribusikan sumber daya yang ada pada program/kegiatan yang efektif, dalam mencapai sasaran pembangunan, yaitu dengan menentukan prioritas program/kegiatan yang akan dijalankan dalam mencapai sasaran pembangunan.c. Operational efficiency Konsep ini terkait dengan produktivitas, yaitu menekankan efisiensi dari sumber daya yang digunakan oleh pengguna anggaran dibandingkan dengan output yang dihasilkan.

Page 145: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 1��

www.depkeu.go.id

5.7. Peluang dan Tantangan dalam Pengelolaan Belanja Negara

Peluang dalam pengelolaan belanja negara di antaranya diperoleh dari ketersediaan sumber daya keuangan, terutama berasal dari optimalisasi penerimaan perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Optimalisasi penerimaan perpajakan masih dapat dilakukan mengingat tax ratio yang masih rendah. Di samping itu, optimalisasi PNBP dapat dilakukan melalui pembenahan pengelolaan BUMN, sehingga dapat memberikan kontribusi dividen terhadap negara.

Tantangan utama dalam pengelolaan belanja negara antara lain peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara, yang dilakukan melalui penerapan sistem penganggaran terpadu, penganggaran berbasis kinerja, dan penerapan alokasi belanja negara dalam kerangka pengeluaran jangka menengah. Dalam sistem penganggaran berbasis kinerja, setiap biaya yang dialokasikan dalam kegiatan-kegiatan dikaitkan dengan output dan outcome yang dihasilkan, sehingga terjadi perpaduan perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan.

Krisis ekonomi yang melanda dunia juga berpengaruh terhadap perekonomian dan pengelolaan belanja negara dalam APBN. Krisis ekonomi tersebut dipicu oleh sub-prime mortgage crisis di USA, yang berawal dari macetnya kredit perumahan yang menjalar ke sektor perumahan dan industri turunannya. Di samping itu, kondisi ekonomi juga mengalami tekanan akibat kenaikan harga minyak mentah dunia dan harga komoditas pangan, terutama pada awal semester II 2008. Krisis ekonomi global tersebut dipercaya akan berdampak sampai beberapa tahun ke depan. Dalam rangka meredam krisis global dan mendorong kinerja ekonomi makro, diperlukan kebijakan fiskal antisiklis (countercycle fiscal policies) berupa kebijakan stimulus fiskal yang terdiri atas:a. Tax cut (antara lain penurunan tarif PPh OP; penurunan tarif PPh Badan; kenaikan PTKP).b. Spending increase (antara lain tambahan belanja infrastruktur, PNPM).

Tujuan kebijakan stimulus fiskal tersebut antara lain: a. Menjaga tingkat konsumsi masyarakat dengan meningkatkan daya beli masyarakat, antara lain melalui penurunan tarif pajak orang pribadi (OP); kenaikan PTKP, kenaikan gaji PNS/TNI-Polri, termasuk Guru/Dosen/Pensiunan dan Tunjangan Veteran; peningkatan alokasi belanja sosial dan subsidi langsung ke rumah tangga sasaran dalam APBN 2009; b. Memperbaiki daya saing dan daya tahan sektor usaha, antara lain melalui penurunan tarif PPh Badan, pajak-BM DTP, subsidi energi dan air bersih, kenaikan KUR, dan penurunan PPh 21/25; c. Menangani dampak PHK, antara lain melalui peningkatan belanja infrastruktur, PNPM, dan BLK. Untuk itu, pemerintah menetapkan kriteria program/kegiatan yang mendapat alokasi tambahan belanja stimulus fiskal 2009, antara lain menciptakan lapangan kerja yang signifikan; hasilnya seketika dan dapat diselesaikan dalam tahun 2009; harus melengkapi sistem jaringan infrastruktur agar lebih efisien; merupakan bagian dari Program/Kegiatan rencana strategis pembangunan 2009; kegiatan sudah memiliki desain atau dapat menyiapkan desain secara cepat; serta kegiatan tersebut sudah tidak tersangkut dengan masalah tanah.

Selanjutnya, tantangan dalam implementasi kerangka pengeluaran jangka menengah, di antaranya penentuan pengeluaran (belanja negara) dalam perspektif jangka menengah dengan mempertimbangkan risiko dan implikasi biaya keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya.

Page 146: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

5.8. Summary (Implementasi, Kendala, dan Pending Matters)

5.8.1. Implementasi Reformasi Birokrasi

Penerapan reformasi birokrasi di Departemen Keuangan merupakan hal penting untuk mencapai perbaikan kualitas belanja negara, sehingga lebih efisien dan efektif. Untuk itu, terkait dengan proses penganggaran telah ditempuh langkah-langkah sebagai berikut: a. Untuk mengoptimalkan check and balance dilakukan melalui pemisahan fungsi perencanaan dengan fungsi pelaksanaan anggaran (DJA menjadi DJPb dan DJAPK); b. Selanjutnya, untuk lebih fokus dalam merumuskan kebijakan belanja negara dilakukan pemisahan fungsi pengelolaan belanja pemerintah pusat dengan belanja daerah (DJAPK menjadi DJA dan DJPK).

Di samping itu, dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi, DJA telah melakukan berbagai perubahan melalui: a. Melakukan reorganisasi dengan membentuk Direktorat Sistem Penganggaran; b. Menyusun dan mengevaluasi uraian jabatan dan melakukan job analysis serta menyusun dan mengevaluasi standard operating procedure (SOP); c. Menyusun BSC sampai tingkat eselon II dan akan dilanjutkan untuk tingkat eselon III.

5.8.2. Implementasi Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerja

Penerapan metode perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja akan dilakukan secara bertahap dan baru dimulai pada 2009. Departemen Keuangan dipilih sebagai pilot project untuk mulai menggunakan pendekatan anggaran berbasis kinerja dalam proses perencanaan dan penganggarannya pada 2009. Sementara itu, dalam tahun 2010 beberapa K/L yang lain direncanakan juga akan mulai menggunakan pendekatan anggaran berbasis kinerja, yaitu Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, serta Kemenneg PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

5.8.3. Kendala

Penganggaran berbasis kinerja merupakan pendekatan dalam sistem penganggaran yang menekankan pada pencapaian hasil dan keluaran dari program/kegiatan dengan meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya yang terbatas. Dalam praktiknya, masih banyak dijumpai kelemahan-kelamahan, baik dalam perencanaannya maupun proses penyusunan dan pembahasan anggaran sampai dengan penuangannya dalam format-format dokumen anggaran (RKA-KL dan APBN). Pertama, belum dirumuskan secara jelas bagaimana pengukuran kinerja dan berapa target yang harus dicapai. Misalnya, sasaran Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara yang dirumuskan dalam RKP adalah terwujudnya sistem pengawasan dan audit yang akuntabel di lingkungan aparatur negara. Apa kriteria akuntabel, bagaimana mengukur, serta berapa targetnya tidak jelas.

Kedua, penamaan program dan kegiatan instansi juga belum menunjukkan core business dari Kementerian Negara/Lembaga. Banyak nama program yang bersifat generik seperti Program Peningkatan Sarana dan Prasarana, Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur, serta Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan, yang terdapat pada hampir seluruh instansi. Untuk program yang sama, tiap instansi mendefinisikan sendiri-sendiri apa sasaran programnya, yang kemungkinan besar berbeda-beda sehingga pada akhirnya menyulitkan pendefinisian ukuran kinerja nasional untuk program tersebut. Program-progran pemerintah dan program-program masing-masing kementerian negara/lembaga belum terstruktur dengan baik sehingga sulit dipetakan keterkaitannya.

Page 147: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 1��

www.depkeu.go.id

Ketiga, dari sisi proses penyusunan anggaran, formulir-formulir RKA-KL yang digunakan sampai dengan penganggaran tahun 2009 masih kurang memadai dalam memberikan informasi kinerja suatu K/L, baik kinerja hasil (outcome) program maupun keluaran (output) kegiatan. Formulir-formulir RKA-KL justru mengharuskan kementerian/lembaga melakukan perhitungan detil anggaran per kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja, dan mata anggaran yang akhirnya berdampak pada penganggaran yang sangat rinci dan kaku (rigid), sehingga dari format RKA-KL belum bisa dilihat kinerja apa yang akan dihasilkan dari penggunaan anggaran untuk program dan kegiatan yang diusulkan.

Keempat, dalam pembahasan di DPR, kinerja belum dijadikan dasar alokasi dan acuan dalam pembahasan anggaran. Pembahasan anggaran lebih cenderung pada hal-hal yang sifatnya detail/rinci dan berfokus pada sisi input (input base), sehingga subtansi kebijakan yang lebih penting terkadang terlewatkan. Pembahasan terhadap hal-hal yang detail ini sangat memakan waktu sehingga berdampak pada penyelesaian proses penyusunan anggaran di DPR.

Kelima, dalam pelaksanaan anggaran ternyata juga masih banyak mengalami kendala, proyek-proyek pembangunan berjalan lamban dan sering baru bisa direalisasikan pada akhir-akhir tahun anggaran. Lambannya pencairan dana ini diindikasikan karena struktur dan siklus anggaran, termasuk lamanya revisi dokumen pelaksanaan anggaran serta pengadaan barang dan jasa yang rumit dan panjang proseduralnya.

5.8.4. Tindak Lanjut

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, masih banyak aspek yang perlu dibenahi dalam penerapan penganggaran yang berbasis kinerja pada kementerian/lembaga, yaitu mencakup perencanaan kinerja, proses penyusunan dan pembahasan anggaran, format-format dokumen anggaran, sampai dengan pelaporannya. Terkait dengan perencanaan kinerja, perlu dilakukan restrukturisasi dan pemetaan penamaan program dan kegiatan dalam RKP, Renja, dan RKA-KL sehingga pendefinisian program lebih mencerminkan outcome pemerintah yang dapat dinikmati masyarakat dan berisi program-program yang menjadi core business masing-masing kementerian/lembaga. Keterkaitan antara output kegiatan dan outcome program harus tergambar dengan jelas. Oleh karena itu, perlu disiapkan tolok ukur kinerja untuk setiap instansi pemerintah yang menjadi ukuran keberhasilan instansi tersebut.

Dalam mendukung proses penyusunan anggaran, perlu disusun standar biaya umum yang lebih berorientasi ke output/outcome. Masing-masing instansi juga didorong untuk menyusun Harga Standar Biaya Khusus per kegiatan dan program. Penyusunan standar biaya tersebut dilakukan dengan suatu studi/penelitian selama beberapa tahun atau menggunakan benchmark yang cocok.

Format dokumen anggaran (RKA-KL dan APBN) perlu disempurnakan. Formulir RKA-KL perlu diserhanakan agar tidak perlu detil sampai dengan subkegiatan, tetapi cukup sampai dengan program dan kegiatan serta difokuskan pada hal-hal strategis yang merupakan layanan instansi pemerintah kepada masyarakatnya. Juga dapat memberikan informasi mengenai hasil program dan output kegiatan secara lebih jelas serta terukur. Selain itu, format dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) perlu diatur ulang agar tidak sampai rinci ke pengendalian input (ke mata anggaran pengeluaran), tetapi lebih fokus ke pengendalian atas kinerja yang dihasilkan dan manfaat yang dapat dinikmati oleh masyarakat/stakeholders (outcome). Hal penting yang perlu diingat adalah bahwa penganggaran kinerja tidak boleh berhenti hanya sampai penyusunannya, namun harus diatur mekanisme pelaporannya agar dapat memberikan umpan balik untuk peningkatan kinerja.

Page 148: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Lampiran V.1.

Belanja Pemerintah Pusat 2005 - 2009

Uraian2005 2006

realisasi % thdAPBN-P realisasi % thd

APBN-P1. Belanja Pegawai 54.254,2 88,7 73.252,3 92,6

a. Gaji & tunjangan 43.067,9 98,4I Gaji 43.067,9 125,6II Tunjangan BerasIII Uang MakanIV Belanja Pegawai Luar NegeriV Tunjangan KhususVI Gaji utk Tambahan Pegawai Baru

b. Honorarium dan Libur 6426,2 57,9I Honorarium, Libur, & Lembur 5643,5 89,4II Belanja Pegawai Transito 782,6 83,2III Belanja Pegawai ProyekIV PNBP

c. Kontribusi Sosial 23758,3 98,0I Pensiun 23271,8 125,2II Askes 436,5 102,8III AsabriIV Tunjangan Veteran non-Tuvet 50,0 100,0V THTVI Cadangan Perubahan Sharing (85:15)VII Bel.Kontribusi APBN Pemb.Pensiun eks PNS Dephub pada PT KAI

2. Belanja Barang 29171,7 68,9 47181,9 84,3a. Belanja barang 26583,8 80,2b. Belanja Jasa 7785,1 42,4c. Belanja Pemeliharaan 3905,6 139,4d. Belanja Perjalanan 8907,5 526,3e. BLU

3. Belanja Modal 32888,8 60,1 54951,9 78,8a. Tanah 1675,9 2,4b. Peralatan & Mesin 18523,0c. Gedung & Bangunan 12107,7d. Jalan, irigasi, & jaringan 19156,4e. Belanja pemeliharaan yang dikapitalisasif. Belanja modal fisik lainnya 3488,8g. Belanja modal badan layanan umum

4. Pembayaran Bunga Utang 65199,6 106,9 79082,6 95,9a. Utang dalam negeri 43000,0 101,6b. Utang luar negeri 22199,6 118,9

5. Subsidi 120765,3 101,4 107431,8 99,8

6. Belanja Hibah

7. Bantuan Sosial 24903,5 83,0 40708,6 99,2a. Penanggulangan bencanab. Bantuan yg diberikan oleh KA 40708,6 106,8

8. Belanja Lain-lain 33972,1 78,3 37423,1 88,5a. Policy measuresb. Belanja Lainnya 33972,1 78,3 37423,1 88,5

Total 361155,2 87,7 440032,1 92,0

2007 2008 2009

realisasi % thdAPBN-P realisasi % thd

APBN-P APBN % thdPDB

90.425,0 97,4 112.807,8 91,3 140.197,7 2,650.343,5 88,0 67.749,0 91,0 70.208,3 1,350.343,5 133,3 62.204,1 133,7 51.456,1 1,0

1.832,0 0,0 13.127,7 0,2

1.995,4 0,05.545,0 64,2 326,2 0,0

1.470,9 0,011531,7 199,0 775,5 82,8 18955,3 0,4

7886,7 296,1 775,5 152,8 14352,8 0,33645,0 219,3 4602,5 0,1

28549,8 95,7 37303,3 93,9 51034,1 1,027705,7 119,2 36083,6 116,9 37613,4 0,7

675,3 102,7 1022,1 99,9 1336,6 0,053,5 1,1 6679,9 0,1

131,1 100,0 131,1 0,0

115,3 13,8 3720,0 0,166,5

54511,4 83,5 55957,3 82,9 91731,1 1,729864,6 78,9 28344,6 75,7 49482,7 0,9

9020,5 74,9 9048,1 83,3 12186,9 0,24787,8 114,8 4905,2 95,3 7885,6 0,19006,9 80,5 11124,9 85,6 16865,6 0,3

2534,5 243,2 5310,4 0,1

64288,7 85,7 72760,6 92,0 71991,5 1,41489,6 2,0 1440,1

21437,5 19988,514501,9 13845,323068,8 31513,2

1058,53773,1 4683,2

231,8

79806,4 95,5 88344,8 93,2 101657,8 1,965228,0 99,123116,8 79,8

150214,4 143,0 275291,5 117,4 166701,6 1,9

49756,3 98,3 57738,1 96,7 78973,1 1,53000,0 0,1

49756,3 103,9 57738,1 101,8 75973,1 1,4

15621,2 60,6 30070,1 79,1 65123,5 1,215765,0 0,3

15621,2 60,6 30070,1 104,5 49358,5 0,9

504623,3 101,3 692970,1 99,4 716376,3 13,4

Page 149: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 1��

www.depkeu.go.id

Uraian2005 2006

realisasi % thdAPBN-P realisasi % thd

APBN-P1. Belanja Pegawai 54.254,2 88,7 73.252,3 92,6

a. Gaji & tunjangan 43.067,9 98,4I Gaji 43.067,9 125,6II Tunjangan BerasIII Uang MakanIV Belanja Pegawai Luar NegeriV Tunjangan KhususVI Gaji utk Tambahan Pegawai Baru

b. Honorarium dan Libur 6426,2 57,9I Honorarium, Libur, & Lembur 5643,5 89,4II Belanja Pegawai Transito 782,6 83,2III Belanja Pegawai ProyekIV PNBP

c. Kontribusi Sosial 23758,3 98,0I Pensiun 23271,8 125,2II Askes 436,5 102,8III AsabriIV Tunjangan Veteran non-Tuvet 50,0 100,0V THTVI Cadangan Perubahan Sharing (85:15)VII Bel.Kontribusi APBN Pemb.Pensiun eks PNS Dephub pada PT KAI

2. Belanja Barang 29171,7 68,9 47181,9 84,3a. Belanja barang 26583,8 80,2b. Belanja Jasa 7785,1 42,4c. Belanja Pemeliharaan 3905,6 139,4d. Belanja Perjalanan 8907,5 526,3e. BLU

3. Belanja Modal 32888,8 60,1 54951,9 78,8a. Tanah 1675,9 2,4b. Peralatan & Mesin 18523,0c. Gedung & Bangunan 12107,7d. Jalan, irigasi, & jaringan 19156,4e. Belanja pemeliharaan yang dikapitalisasif. Belanja modal fisik lainnya 3488,8g. Belanja modal badan layanan umum

4. Pembayaran Bunga Utang 65199,6 106,9 79082,6 95,9a. Utang dalam negeri 43000,0 101,6b. Utang luar negeri 22199,6 118,9

5. Subsidi 120765,3 101,4 107431,8 99,8

6. Belanja Hibah

7. Bantuan Sosial 24903,5 83,0 40708,6 99,2a. Penanggulangan bencanab. Bantuan yg diberikan oleh KA 40708,6 106,8

8. Belanja Lain-lain 33972,1 78,3 37423,1 88,5a. Policy measuresb. Belanja Lainnya 33972,1 78,3 37423,1 88,5

Total 361155,2 87,7 440032,1 92,0

2007 2008 2009

realisasi % thdAPBN-P realisasi % thd

APBN-P APBN % thdPDB

90.425,0 97,4 112.807,8 91,3 140.197,7 2,650.343,5 88,0 67.749,0 91,0 70.208,3 1,350.343,5 133,3 62.204,1 133,7 51.456,1 1,0

1.832,0 0,0 13.127,7 0,2

1.995,4 0,05.545,0 64,2 326,2 0,0

1.470,9 0,011531,7 199,0 775,5 82,8 18955,3 0,4

7886,7 296,1 775,5 152,8 14352,8 0,33645,0 219,3 4602,5 0,1

28549,8 95,7 37303,3 93,9 51034,1 1,027705,7 119,2 36083,6 116,9 37613,4 0,7

675,3 102,7 1022,1 99,9 1336,6 0,053,5 1,1 6679,9 0,1

131,1 100,0 131,1 0,0

115,3 13,8 3720,0 0,166,5

54511,4 83,5 55957,3 82,9 91731,1 1,729864,6 78,9 28344,6 75,7 49482,7 0,9

9020,5 74,9 9048,1 83,3 12186,9 0,24787,8 114,8 4905,2 95,3 7885,6 0,19006,9 80,5 11124,9 85,6 16865,6 0,3

2534,5 243,2 5310,4 0,1

64288,7 85,7 72760,6 92,0 71991,5 1,41489,6 2,0 1440,1

21437,5 19988,514501,9 13845,323068,8 31513,2

1058,53773,1 4683,2

231,8

79806,4 95,5 88344,8 93,2 101657,8 1,965228,0 99,123116,8 79,8

150214,4 143,0 275291,5 117,4 166701,6 1,9

49756,3 98,3 57738,1 96,7 78973,1 1,53000,0 0,1

49756,3 103,9 57738,1 101,8 75973,1 1,4

15621,2 60,6 30070,1 79,1 65123,5 1,215765,0 0,3

15621,2 60,6 30070,1 104,5 49358,5 0,9

504623,3 101,3 692970,1 99,4 716376,3 13,4

Page 150: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Lampiran V.1.

Belanja Pemerintah Menurut Organisasi 2005-2009

(miliar rupiah)

KODE KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA2005 2006 2007 2008 2009

REALISASI REALISASI REALISASI LKPP (Unaudited)

APBN Simulus

1 MAJELIS PEMUSYAWARATAN RAKYAT 153,6 130,5 141,8 159,1 337,72 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 673,7 939,9 1.068,7 1.283,4 1.948,43 BADAN PEMERIKSA KEUANGAN 269,5 566,6 847,4 1.258,8 1.725,54 MAHKAMAH AGUNG 1.229,8 1.948,2 2.663,6 4.000,9 5.473,15 KEJAKSAAN AGUNG 777,7 1.401,1 1.590,8 1.613,9 1.911,26 SEKRETARIAT NEGARA 603,1 729,9 1.174,5 1.105,6 1.532,97 WAKIL PRESIDEN 47,3 157,1 - - - 8 DEPARTEMEN DALAM NEGERI 637,6 1.158,0 3.118,2 5.288,0 8.702,29 DEPARTEMEN LUAR NEGERI 3.160,0 3.152,8 3.376,2 3.706,9 5.221,010 DEPARTEMEN PERTAHANAN 20.828,5 23.922,8 30.611,1 31.348,7 33.667,611 DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM 1.953,0 2.875,9 3574,3 3.839,9 5.221,012 DEPARTEMEN KEUANGAN 3.621,3 5.167,0 6.999,2 12.050,9 15.369,513 DEPARTEMEN PERTANIAN 2.659,9 5.551,2 6.532,3 7.221,3 8.820,814 DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN 1.204,2 1.126,5 1.484,5 1.414,8 1.763,015 DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER

DAYA MINERAL3.117,1 4.657,6 5.141,6 5.442,6 7.245,1

16 DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 3.978,5 6.769,7 9.070,4 13.477,1 19.176,617 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL 23.117,4 37.095,1 40.475,8 43.560,9 62.098,318 DEPARTEMEN KESEHATAN 6.508,9 12.260,6 15.530,6 15.870,7 20.423,519 DEPARTEMEN AGAMA 6.497,3 10.023,3 13.298,9 14.863,2 26.656,620 DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN

TRANSMIGRASI1.068,3 2.069,4 2.451,1 2.352,1 3.128,1

21 DEPARTEMEN SOSIAL 1.661,9 2.221,4 2.766,0 3.213,9 3.247,222 DEPARTEMEN KEHUTANAN 959,4 1.485,2 1.761,0 3.174,7 2.616,923 DEPARTEMEN KELAUTAN DAN

PERIKANAN1.745,8 2.566,3 2.343,1 2.398,9 3.547,6

24 DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM 13.328,9 19.186,7 22.769,5 30.671,5 41.588,725 KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG

POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN67,3 76,3 179,9 176,3 207,4

26 KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN

44,0 65,6 58,7 78,8 129,1

27 KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

64,2 68,1 92,3 87,1 99,3

28 DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

447,4 609,7 882,8 1.021,2 1.118,2

29 KEMENTERIAN NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA

25,1 155,1 261,8 148,3 176,4

30 KEMENTERIAN NEGARA NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI

1.379,8 342,6 437,1 451,2 424,4

31 KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

226,9 300,9 414,2 415,3 376,4

32 KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN UKM

916,7 930,2 1.280,8 982,1 849,8

33 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

85,4 116,9 143,6 122,9 117,0

34 KEMENTERIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

773,3 169,8 79,7 93,3 121,8

35 BADAN INTELIJEN NEGARA 668,9 1.012,4 1.048,0 932,0 982,936 LEMBAGA SANDI NEGARA 437,6 690,3 1.042,4 598,7 497,937 DEWAN KETAHANAN NASIONAL 19,9 29,6 27,5 25,1 25,638 BADAN PUSAT STATISTIK 351.5 912.1 1,173.6 1,318.2 1,706.3 39 KEMENTRIAN NEGARA PERENCANAAN

PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS

138.0 198.1 252.6 312.4 393.1

40 BADAN PERTAHANAN NASIONAL 948.6 1,211.5 1,602.9 2,096.0 2,858.4 41 PERPUSATAKAAN NASIONAL 108,2 138,7 271,8 269,2 366,642 DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN

INFORMATIKA429,1 1.235,7 1.016,0 996,0 2.061,0

43 KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

11.638,2 16.449,9 19.922,4 21.100,0 24.816,7

Page 151: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 1�9

www.depkeu.go.id

(miliar rupiah)

KODE KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA2005 2006 2007 2008 2009

REALISASI REALISASI REALISASI LKPP (Unaudited)

APBN Simulus

44 CICILAN BUNGA UTANG 74.921,6 78.828,1 79.197,7 87.443,2 101.657,845 SUBSIDI 144.284.4 140.058.5 179.654.4 275.291.5 166.701.646 BADAN PENGAWAS OBAT DAN

MAKANAN229,7 302,3 377,6 546,2 661,4

47 LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL 44,1 72,3 126,3 144,5 128,248 BADAN KOORDINASI PENANAMAN

MODAL164,2 183,2 258,2 308,1 376,8

49 BADAN NARKOTIKA NASIONAL 170,1 285,7 234,5 264,9 324,850 KEMENTERIAN NEGARA

PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL73,9 230,2 384,8 918,4 1.091,8

51 BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL

596,0 637,5 994,2 1.156,0 1.196,0

52 BELANJA LAIN-LAIN 21.126.2 31.784.3 20.756.9 70.582.4 125.699.553 KOMISI NASIONAL HAK AZASI

MANUSIA12,4 36,6 28,5 32,7 55,1

54 BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA 220,5 521,8 610,4 679,0 801,155 KOMISI PEMILIHAN UMUM 8,4 318,1 468,6 431,5 956,656 MAHKAMAH KONSTITUSI 110,7 204,6 149,7 158,1 193,257 PUSAT PELAPORAN ANALISIS DAN

TRANSAKSI KEUANGAN33,0 77,0 30,9 113,2

58 LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

396,6 570,5 567,1 478,6

59 BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL 250,9 308,6 308,4 382,060 BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN

TEKNOLOGI413,4 502,3 526,4 523,0

61 LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

162,5 174,4 183,4 206,2

62 BADAN KOORDINASI SURVEY DAN PEMETAAN NASIONAL

144,9 224,0 197,6 359,5

63 BADAN STANDARISASI NASIONAL 31,1 36,0 76,4 74,164 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR 46.9 53.4 47.0 55.6 67 LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA 126.0 157.2 161.5 193.9 68 ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 83.9 95.7 115.5 115.0 69 BADAN KEPEGAWAIAN NASIONAL 228.5 288.4 296.1 360.1 70 BADAN PENGAWASAN KEUANGAN

DAN PEMBANGUNAN437.1 482.1 547.0 610.2

71 DEPARTEMEN PERDAGANGAN 1,128.70 1,233.60 1,144.50 1,517.40 72 KEMENTRIAN NEGARA PERUMAHAN

RAKYAT84,1 369,2 419,6 590,8 1.364,2

73 KEMENTRIAN NEGARA PEMUDA DAN OLAH RAGA

120,9 457,4 641,2 734,2 858,1

74 KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI 221,7 163,8 204,3 315,275 BADAN REHABILITASI DAN

REKONSTRUKSI NAD DAN NIAS414,7 9.976,7 6.532,8 7.619,1

76 DEWAN PERWAKILAN DAERAH 149,2 201,9 235,2 462,278 KOMISI YUDISIAL RI 34,9 79,1 79,6 99,879 BADAN KOORDINASI NASIONAL

PENANGGULANGAN BENCANA46,7 94,5 147,5

80 BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI

209,7 262,5

81 BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR SIDOARJO

113,9 513,0 1.147,7

82 BADAN SAR NASIONAL83 JUMLAH KEMENTERIAN NEGARA/

LEMBAGA (I)120.823,0 189.361,2 225.014,2 259.653,1 333.532,4

BAGIAN ANGGARAN PEMBIAYAAN DAN PERHITUNGANJUMLAH BAGIAN ANGGARAN PEMBIAYAAN DAN PERHITUNGAN

240.332,2 250.670,9 279.609,0 433.317,0 394.058,9

JUMLAH 361.155,2 440.032,1 504.623,3 692.970,1 727.591,3

Page 152: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Lampiran V.1.

Belanja Pemerintah Menurut Fungsi 2005 - 2009

(miliar rupiah)

KODE FUNGSI/SUBFUNGSI2005 2006

realisasi % thdAPBN-P realisasi % thd

APBN-P01 PELAYANAN UMUM 255603,2 92,7 283343,0 107,6

01.01 Lembaga eksekutif, legislatif, keuangan fiskal, serta urusan luar negeri 11468,0 81,7 17115,2 75,301.02 Bantuan luar negeri 2,4 9,1 0,101.03 Pelayanan umum 3002,4 66,2 7851,5 156,101.04 Penelitian dasar & pengembangan iptek 963,4 103,201.05 Pinjaman pemerintah 74921,7 122,9 78769,8 102,801.06 Pembangunan daerah 3043,7 216,7 2131,2 366,001.07 Litbang pelayanan umum 70,8 99,8 52,8 99,101.90 Pelayanan umum lainnya 163094,3 83,8 176458,1 112,101.12 Subfungsi tidak ada 1,201.19 Subfungsi lainnya (0,4)01.27 Subfungsi tidak ada 0,0

02 PERTAHANAN 21562,2 94,5 24426,1 86,402.01 Pertahanan negara 20801,6 119,6 23214,7 102,502.02 Dukungan pertahanan 478,6 9,4 630,9 12,302.03 Bantuan militer luar negeri 75,8 185,902.04 Litbang pertahanan 29,4 102,3 38,9 99,802.90 Pertahanan lainnya 252,5 82,4 465,8 114,4

03 KETERTIBAN & KEAMANAN 15617,3 89,1 23743,1 93,903.01 Kepolisian 11619,2 86,3 17383,7 96,403.02 Penanggulangan bencana 122,5 62,503.03 Pembinaan hukum 2609,1 100,1 4125,3 87,203.00 Subfungsi tidak ada 212,2 100,0 153,1 100,003.04 Peradilan 1037,2 107,0 1655,7 89,903.05 Lembaga pemasyarakatan 58,7 37,6 302,8 98,903.06 Litbang ketertiban dan keamanan03.90 Ketertiban dan keamanan lainnya 212,2 82,2 153,1 83,703.00 Subfungsi tidak ada

04 EKONOMI 23504,0 66,4 38295,6 96,604.01 Perdagangan, pengembangan usaha, koperasi , dan UKM 1572,0 72,7 2055,9 92,904.02 Tenaga kerja 441,1 62,7 978,1 95,104.03 Pertanian, kehutanan, perikanan, & kelautan 4959,3 68,2 8345,7 91,804.04 Pengairan 3355,0 66,1 5311,1 103,304.05 Bahan bakar & energi 2126,6 44,5 3065,1 85,804.06 Pertambangan 686,0 71,6 1160,0 100,604.07 Industri & konstruksi 476,3 69,8 1119,4 112,404.08 Transportasi 9087,4 73,2 14287,1 105,404.09 Telekomunikasi 262,1 40,5 950,1 54,904.10 Litbang & ekonomi 170,0 76,1 241,7 83,204.90 Ekonomi lainnya 368,2 79,0 781,4 90,504.00 Subfungsi lainnya

05 LINGKUNGAN HIDUP 1333,9 76,4 2664,5 81,605.01 Manajemen limbah 314,7 90,7 325,6 120,205.02 Manajemen air limbah 35,1 93,505.03 Penanggulangan polusi 110,8 72,0 179,1 66,705.04 Konservasi sumber daya alam 519,5 70,8 1669,2 83,405.05 Tata ruang dan pertanahan 388,2 76,0 413,6 63,905.06 Litbang lingkungan hidup 0,6 1641,405.90 Lingkungan hidup lainnya 0,7 71,5 41,2 107,5

2007 2008 2009

realisasi % thdAPBN-P realisasi % thd

APBN-PDokumen Stimulus

% Stimulus thd APBN

316139,3 105,3 534199,1 103,1 452270,3 91,414974,8 77,6 90486,5 92,2 98992,6 100,0

(0,0) (0,1)712,1 59,2 628,0 234,3 1093,9 100,0

1543,4 88,1 1431,7 95,1 1363,8 100,079197,7 94,8 87443,2 92,2 110635,8 108,8

1089,1 68,9 1236,0 156,5 1354,6 100,0

218622,5 113,5 352973,8 109,4 238829,7 82,3(0,3) 0,1

0,0

30685,9 102,8 9158,5 87,3 12278,6 100,08985,0 116,1 5618,3 99,5 7953,7 100,02604,8 54,7 3391,3 72,7 4195,9 100,0

31,5 111,1 34,4 100,0 40,9 100,093,4 104,0 94,6 76,3 60,4 100,0

18971,2 110,1 19,8 100,0 27,2 100,0

28315,9 104,4 7016,5 57,0 14451,3 100,08940,7 96,2 2891,8 36,9 9987,1 100,0

90,6 65,1 369,2 95,0 423,3 100,03384,7 94,6 3775,4 91,8 4040,9 100,0

(0,0)

15900,0 112,6 0,0(0,0) 100,0

42221,9 83,1 50494,9 88,2 64507,6 113,51765,7 87,9 1599,1 87,9 1898,5 119,9

970,2 88,6 1070,0 85,6 1643,7 122,37570,3 68,4 11249,2 99,9 10977,3 117,74231,8 84,0 4981,5 91,2 5827,0 107,12900,7 86,9 3324,7 108,7 5445,2 122,51086,7 80,8 1353,1 85,6 1494,2 100,01270,0 84,3 1432,8 78,9 1710,5 100,0

16647,6 91,7 24370,0 84,7 30962,3 104,5

5306,4 92,6 208,5 72,8 2964,1 1043,4(0,1)

4952,6 78,4 5316,1 83,7 7035,1 100,0348,0 101,6 478,4 91,5 525,0 100,0

100,0189,9 71,1 206,1 64,4 174,0 100,0

3176,6 80,7 3150,3 87,1 4012,9 100,0961,7 66,5 1352,8 78,1 2162,1 100,0

100,0276,5 84,3 128,4 80,7 161,1 100,0

Page 153: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 1�1

www.depkeu.go.id

(miliar rupiah)

KODE FUNGSI/SUBFUNGSI2005 2006

realisasi % thdAPBN-P realisasi % thd

APBN-P01 PELAYANAN UMUM 255603,2 92,7 283343,0 107,6

01.01 Lembaga eksekutif, legislatif, keuangan fiskal, serta urusan luar negeri 11468,0 81,7 17115,2 75,301.02 Bantuan luar negeri 2,4 9,1 0,101.03 Pelayanan umum 3002,4 66,2 7851,5 156,101.04 Penelitian dasar & pengembangan iptek 963,4 103,201.05 Pinjaman pemerintah 74921,7 122,9 78769,8 102,801.06 Pembangunan daerah 3043,7 216,7 2131,2 366,001.07 Litbang pelayanan umum 70,8 99,8 52,8 99,101.90 Pelayanan umum lainnya 163094,3 83,8 176458,1 112,101.12 Subfungsi tidak ada 1,201.19 Subfungsi lainnya (0,4)01.27 Subfungsi tidak ada 0,0

02 PERTAHANAN 21562,2 94,5 24426,1 86,402.01 Pertahanan negara 20801,6 119,6 23214,7 102,502.02 Dukungan pertahanan 478,6 9,4 630,9 12,302.03 Bantuan militer luar negeri 75,8 185,902.04 Litbang pertahanan 29,4 102,3 38,9 99,802.90 Pertahanan lainnya 252,5 82,4 465,8 114,4

03 KETERTIBAN & KEAMANAN 15617,3 89,1 23743,1 93,903.01 Kepolisian 11619,2 86,3 17383,7 96,403.02 Penanggulangan bencana 122,5 62,503.03 Pembinaan hukum 2609,1 100,1 4125,3 87,203.00 Subfungsi tidak ada 212,2 100,0 153,1 100,003.04 Peradilan 1037,2 107,0 1655,7 89,903.05 Lembaga pemasyarakatan 58,7 37,6 302,8 98,903.06 Litbang ketertiban dan keamanan03.90 Ketertiban dan keamanan lainnya 212,2 82,2 153,1 83,703.00 Subfungsi tidak ada

04 EKONOMI 23504,0 66,4 38295,6 96,604.01 Perdagangan, pengembangan usaha, koperasi , dan UKM 1572,0 72,7 2055,9 92,904.02 Tenaga kerja 441,1 62,7 978,1 95,104.03 Pertanian, kehutanan, perikanan, & kelautan 4959,3 68,2 8345,7 91,804.04 Pengairan 3355,0 66,1 5311,1 103,304.05 Bahan bakar & energi 2126,6 44,5 3065,1 85,804.06 Pertambangan 686,0 71,6 1160,0 100,604.07 Industri & konstruksi 476,3 69,8 1119,4 112,404.08 Transportasi 9087,4 73,2 14287,1 105,404.09 Telekomunikasi 262,1 40,5 950,1 54,904.10 Litbang & ekonomi 170,0 76,1 241,7 83,204.90 Ekonomi lainnya 368,2 79,0 781,4 90,504.00 Subfungsi lainnya

05 LINGKUNGAN HIDUP 1333,9 76,4 2664,5 81,605.01 Manajemen limbah 314,7 90,7 325,6 120,205.02 Manajemen air limbah 35,1 93,505.03 Penanggulangan polusi 110,8 72,0 179,1 66,705.04 Konservasi sumber daya alam 519,5 70,8 1669,2 83,405.05 Tata ruang dan pertanahan 388,2 76,0 413,6 63,905.06 Litbang lingkungan hidup 0,6 1641,405.90 Lingkungan hidup lainnya 0,7 71,5 41,2 107,5

2007 2008 2009

realisasi % thdAPBN-P realisasi % thd

APBN-PDokumen Stimulus

% Stimulus thd APBN

316139,3 105,3 534199,1 103,1 452270,3 91,414974,8 77,6 90486,5 92,2 98992,6 100,0

(0,0) (0,1)712,1 59,2 628,0 234,3 1093,9 100,0

1543,4 88,1 1431,7 95,1 1363,8 100,079197,7 94,8 87443,2 92,2 110635,8 108,8

1089,1 68,9 1236,0 156,5 1354,6 100,0

218622,5 113,5 352973,8 109,4 238829,7 82,3(0,3) 0,1

0,0

30685,9 102,8 9158,5 87,3 12278,6 100,08985,0 116,1 5618,3 99,5 7953,7 100,02604,8 54,7 3391,3 72,7 4195,9 100,0

31,5 111,1 34,4 100,0 40,9 100,093,4 104,0 94,6 76,3 60,4 100,0

18971,2 110,1 19,8 100,0 27,2 100,0

28315,9 104,4 7016,5 57,0 14451,3 100,08940,7 96,2 2891,8 36,9 9987,1 100,0

90,6 65,1 369,2 95,0 423,3 100,03384,7 94,6 3775,4 91,8 4040,9 100,0

(0,0)

15900,0 112,6 0,0(0,0) 100,0

42221,9 83,1 50494,9 88,2 64507,6 113,51765,7 87,9 1599,1 87,9 1898,5 119,9

970,2 88,6 1070,0 85,6 1643,7 122,37570,3 68,4 11249,2 99,9 10977,3 117,74231,8 84,0 4981,5 91,2 5827,0 107,12900,7 86,9 3324,7 108,7 5445,2 122,51086,7 80,8 1353,1 85,6 1494,2 100,01270,0 84,3 1432,8 78,9 1710,5 100,0

16647,6 91,7 24370,0 84,7 30962,3 104,5

5306,4 92,6 208,5 72,8 2964,1 1043,4(0,1)

4952,6 78,4 5316,1 83,7 7035,1 100,0348,0 101,6 478,4 91,5 525,0 100,0

100,0189,9 71,1 206,1 64,4 174,0 100,0

3176,6 80,7 3150,3 87,1 4012,9 100,0961,7 66,5 1352,8 78,1 2162,1 100,0

100,0276,5 84,3 128,4 80,7 161,1 100,0

Page 154: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

(miliar rupiah)

KODE FUNGSI/SUBFUNGSI2005 2006

realisasi % thdAPBN-P realisasi % thd

APBN-P06 PERUMAHAN & FASILITAS UMUM 4216,5 76,2 5457,2 90,2

06.01 Pengembangan perumahan 432,1 65,2 1005,0 99,406.02 Pemberdayaan komunitas permukiman 599,8 66,4 1232,8 126,506.03 Penyediaan air minum 477,9 85,7 880,7 100,306.04 Penerangan jalan06.05 Litbang perumahan & fasilitas umum06.90 Perumahan & fasilitas umum lainnya 2766,7 79,4 2350,0 73,606.06 Subfungsi tidak ada (0,0)

07 KESEHATAN 5936,9 56,7 12199,7 93,007.01 Obat & perbekalan kesehatan 359,2 90,1 924,0 95,807.02 Pelayanan kesehatan perorangan 2093,1 54,1 4839,2 111,507.03 Pelayanan kesehatan masyarakat 3052,7 65,0 4162,4 79,407.04 Kependudukan & Keluarga Berencana 329,2 91,407.05 Litbang kesehatan 65,0 87,5 144,9 83,207.90 Kesehatan lainnya 265,8 21,2 1799,9 88,404.00 Subfungsi tidak ada04.00 Subfungsi tidak ada04.00 Subfungsi tidak ada04.00 Subfungsi tidak ada

08 PARIWISATA & BUDAYA 588,6 81,3 905,4 88,308.01 Pengembangan pariwisata & budaya 301,1 91,6 510,2 83,108.02 Pembinaan kepemudaan & olah raga 251,4 81,0 308,0 96,408.03 Pembinaan penerbitan & penyiaran 2,3 48,2 77,1 93,208.04 Litbang periwisata & budaya08.90 Pariwisata & budaya lainnya 33,8 42,1 10,2 112,908.08 Subfungsi tidak ada

09 AGAMA 1312,3 122,3 1411,2 127,309.01 Peningkatan kehidupan beragama 1186,8 119,7 1289,6 133,409.02 Kerukunan hidup beragama 72,7 257,9 34,7 106,009.03 Litbang agama 8,7 70,0 16,9 48,809.90 Pelayanan keagamaan lainnya 44,1 107,6 70,0 94,309.08 Subfungsi tidak ada

10 PENDIDIKAN 29307,9 85,8 45303,9 102,710.01 Pendidikan anak usia dini 281,7 94,6 306,3 108,110.02 Pendidikan dasar 12310,4 85,3 22773,9 105,210.03 Pendidikan mengenah 3963,0 114,0 4703,9 116,110.04 Pendidikan non-formal & informal 1207,2 109,3 837,3 124,510.05 Pendidikan kedinasan 659,0 90,8 722,2 67,410.06 Pendidikan tinggi 7055,7 75,3 9729,0 85,110.07 Pelayanan bantuan terhadap pendidikan 2564,3 80,5 3863,5 127,610.08 Pendidikan keagamaan 69,7 112,6 2081,5 128,210.09 Litbang pendidikan 1020,0 91,3 259,8 90,310.90 Pendidikan lainnya 177,0 46,8 26,5 114,210.00 Subfungsi lainnya

11 PERLINDUNGAN SOSIAL 2103.8 53.6 2302.1 100.211.01 Perlindungan & pelayanan sosial orang sakit & cacat 18.1 116.311.02 Perlindungan & pelayanan sosial lansia 2.0 106.611.03 Perlindungan & pelayanan keluarga pahlawan, perintis kemerdekaan, pejuang 19.6 92.8 27.0 97.911.04 Perlindungan & pelayanan sosial anak-anak & keluarga 421.4 89.9 72.0 126.411.05 Pemberdayaan perempuan 91.6 93.5 93.3 92.211.06 Penyuluhan & bimbingan sosial 17.4 77.5 29.4 97.111.07 Bantuan perumahan11.08 Bantuan & jaminan sosial 723.4 61.3 691.3 104.211.09 Litbang perlindungan sosial 48.1 97.7 64.6 96.711.90 Perlindungan sosial 762.2 36.9 1324.5 9811.00 Sub fungsi tidak ada (0.0) 100.0

Belanja Lain-lain (Eka Pembangunan) 168,7 6,0

Jumlah 361.155,2 87,7 440.032,1 102,9

2007 2008 2009

realisasi % thdAPBN-P realisasi % thd

APBN-PDokumen Stimulus

% Stimulus thd APBN

9134,6 90,7 12433,7 95,7 18135,0 100,01120,9 95,6 1616,4 88,2 1690,3 100,02435,3 89,2 2083,5 99,3 3273,6 100,01425,7 90,8 2138,7 94,7 2975,9 100,0

4142,8 90,4 6595,0 96,9 10195,2 100,0(0,0) 100,0

16004,5 93,3 14038,5 87,8 17301,9 100,0884,6 77,6 1388,6 94,3 1411,1 100,0

8070,3 98,8 8780,6 93,7 9952,9 100,03349,1 89,0 1715,3 69,6 3754,4 100,0

433,8 103,0 479,7 96,3 637,8 100,0197,7 97,0 198,5 68,4 130,2 100,0

3070,0 88,7 1475,9 78,1 1415,5 100,0(0,0) 100,0(0,0) 100,0(0,0) 100,0

1851,2 110,9 1293,7 92,9 1489,7 100,0492,8 94,6 611,6 92,9 651,3 100,0536,6 106,5 571,9 98,6 683,9 100,0442,8 175,8 110,2 71,1 154,5 100,0

0379,0 96,6

(0,0) 100,0

1884,2 99,5 743,7 94,0 830,3 100,0419,6 98,9 606,6 93,6 741,3 100,0

24,4 100,0 20,5 86,6 30,5 100,020,0 101,7 44,9 97,1 33,0 100,0

1420,2 99,7 71,6 97,9 25,5 100,0(0,0) 100,0

50843,4 101,0 55291,1 95,4 89918,1 100,0444,1 104,3 496,1 88,4 665,6 100,0

22494,5 105,4 24629,1 98,7 38297,5 100,04118,3 101,4 3842,7 95,2 7660,5 100,01202,8 104,1 779,4 93,8 1355,8 100,0

213,1 91,1 274,3 88,5 192,0 100,06904,4 81,7 13102,4 92,6 24279,1 100,05078,4 105,2 11071,4 92,8 16253,1 100,0

192,4 100,5 287,5 97,4 645,9 100,0550,8 100,0 807,7 91,4 565,7 100,0

9644,6 105,9 0,6(0,1)

2650.4 90.7 2986.6 90.0 3317.5 100.0

719.9 99.1 679.6 94.5 748.6 100.0116.4 99.7 95.8 59.7 87.7 100.0480.3 94.9 481.5 95.0 561.4 100.0

1148.8 84.5 1546.7 92.2 1700.6 100.087.0 88.9 65.3 53.7 81.3 100.0

88 85.8 117.8 89.4 137.8 100.0

504.623,3 101,3 692.970,1 99,4 681.535,5 95,1

Page 155: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 5 Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat 1��

www.depkeu.go.id

(miliar rupiah)

KODE FUNGSI/SUBFUNGSI2005 2006

realisasi % thdAPBN-P realisasi % thd

APBN-P06 PERUMAHAN & FASILITAS UMUM 4216,5 76,2 5457,2 90,2

06.01 Pengembangan perumahan 432,1 65,2 1005,0 99,406.02 Pemberdayaan komunitas permukiman 599,8 66,4 1232,8 126,506.03 Penyediaan air minum 477,9 85,7 880,7 100,306.04 Penerangan jalan06.05 Litbang perumahan & fasilitas umum06.90 Perumahan & fasilitas umum lainnya 2766,7 79,4 2350,0 73,606.06 Subfungsi tidak ada (0,0)

07 KESEHATAN 5936,9 56,7 12199,7 93,007.01 Obat & perbekalan kesehatan 359,2 90,1 924,0 95,807.02 Pelayanan kesehatan perorangan 2093,1 54,1 4839,2 111,507.03 Pelayanan kesehatan masyarakat 3052,7 65,0 4162,4 79,407.04 Kependudukan & Keluarga Berencana 329,2 91,407.05 Litbang kesehatan 65,0 87,5 144,9 83,207.90 Kesehatan lainnya 265,8 21,2 1799,9 88,404.00 Subfungsi tidak ada04.00 Subfungsi tidak ada04.00 Subfungsi tidak ada04.00 Subfungsi tidak ada

08 PARIWISATA & BUDAYA 588,6 81,3 905,4 88,308.01 Pengembangan pariwisata & budaya 301,1 91,6 510,2 83,108.02 Pembinaan kepemudaan & olah raga 251,4 81,0 308,0 96,408.03 Pembinaan penerbitan & penyiaran 2,3 48,2 77,1 93,208.04 Litbang periwisata & budaya08.90 Pariwisata & budaya lainnya 33,8 42,1 10,2 112,908.08 Subfungsi tidak ada

09 AGAMA 1312,3 122,3 1411,2 127,309.01 Peningkatan kehidupan beragama 1186,8 119,7 1289,6 133,409.02 Kerukunan hidup beragama 72,7 257,9 34,7 106,009.03 Litbang agama 8,7 70,0 16,9 48,809.90 Pelayanan keagamaan lainnya 44,1 107,6 70,0 94,309.08 Subfungsi tidak ada

10 PENDIDIKAN 29307,9 85,8 45303,9 102,710.01 Pendidikan anak usia dini 281,7 94,6 306,3 108,110.02 Pendidikan dasar 12310,4 85,3 22773,9 105,210.03 Pendidikan mengenah 3963,0 114,0 4703,9 116,110.04 Pendidikan non-formal & informal 1207,2 109,3 837,3 124,510.05 Pendidikan kedinasan 659,0 90,8 722,2 67,410.06 Pendidikan tinggi 7055,7 75,3 9729,0 85,110.07 Pelayanan bantuan terhadap pendidikan 2564,3 80,5 3863,5 127,610.08 Pendidikan keagamaan 69,7 112,6 2081,5 128,210.09 Litbang pendidikan 1020,0 91,3 259,8 90,310.90 Pendidikan lainnya 177,0 46,8 26,5 114,210.00 Subfungsi lainnya

11 PERLINDUNGAN SOSIAL 2103.8 53.6 2302.1 100.211.01 Perlindungan & pelayanan sosial orang sakit & cacat 18.1 116.311.02 Perlindungan & pelayanan sosial lansia 2.0 106.611.03 Perlindungan & pelayanan keluarga pahlawan, perintis kemerdekaan, pejuang 19.6 92.8 27.0 97.911.04 Perlindungan & pelayanan sosial anak-anak & keluarga 421.4 89.9 72.0 126.411.05 Pemberdayaan perempuan 91.6 93.5 93.3 92.211.06 Penyuluhan & bimbingan sosial 17.4 77.5 29.4 97.111.07 Bantuan perumahan11.08 Bantuan & jaminan sosial 723.4 61.3 691.3 104.211.09 Litbang perlindungan sosial 48.1 97.7 64.6 96.711.90 Perlindungan sosial 762.2 36.9 1324.5 9811.00 Sub fungsi tidak ada (0.0) 100.0

Belanja Lain-lain (Eka Pembangunan) 168,7 6,0

Jumlah 361.155,2 87,7 440.032,1 102,9

2007 2008 2009

realisasi % thdAPBN-P realisasi % thd

APBN-PDokumen Stimulus

% Stimulus thd APBN

9134,6 90,7 12433,7 95,7 18135,0 100,01120,9 95,6 1616,4 88,2 1690,3 100,02435,3 89,2 2083,5 99,3 3273,6 100,01425,7 90,8 2138,7 94,7 2975,9 100,0

4142,8 90,4 6595,0 96,9 10195,2 100,0(0,0) 100,0

16004,5 93,3 14038,5 87,8 17301,9 100,0884,6 77,6 1388,6 94,3 1411,1 100,0

8070,3 98,8 8780,6 93,7 9952,9 100,03349,1 89,0 1715,3 69,6 3754,4 100,0

433,8 103,0 479,7 96,3 637,8 100,0197,7 97,0 198,5 68,4 130,2 100,0

3070,0 88,7 1475,9 78,1 1415,5 100,0(0,0) 100,0(0,0) 100,0(0,0) 100,0

1851,2 110,9 1293,7 92,9 1489,7 100,0492,8 94,6 611,6 92,9 651,3 100,0536,6 106,5 571,9 98,6 683,9 100,0442,8 175,8 110,2 71,1 154,5 100,0

0379,0 96,6

(0,0) 100,0

1884,2 99,5 743,7 94,0 830,3 100,0419,6 98,9 606,6 93,6 741,3 100,0

24,4 100,0 20,5 86,6 30,5 100,020,0 101,7 44,9 97,1 33,0 100,0

1420,2 99,7 71,6 97,9 25,5 100,0(0,0) 100,0

50843,4 101,0 55291,1 95,4 89918,1 100,0444,1 104,3 496,1 88,4 665,6 100,0

22494,5 105,4 24629,1 98,7 38297,5 100,04118,3 101,4 3842,7 95,2 7660,5 100,01202,8 104,1 779,4 93,8 1355,8 100,0

213,1 91,1 274,3 88,5 192,0 100,06904,4 81,7 13102,4 92,6 24279,1 100,05078,4 105,2 11071,4 92,8 16253,1 100,0

192,4 100,5 287,5 97,4 645,9 100,0550,8 100,0 807,7 91,4 565,7 100,0

9644,6 105,9 0,6(0,1)

2650.4 90.7 2986.6 90.0 3317.5 100.0

719.9 99.1 679.6 94.5 748.6 100.0116.4 99.7 95.8 59.7 87.7 100.0480.3 94.9 481.5 95.0 561.4 100.0

1148.8 84.5 1546.7 92.2 1700.6 100.087.0 88.9 65.3 53.7 81.3 100.0

88 85.8 117.8 89.4 137.8 100.0

504.623,3 101,3 692.970,1 99,4 681.535,5 95,1

Page 156: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Menggali Potensi Menciptakan Harmoni

Senantiasa memperhatikan potensi dan kebutuhan di daerah, Departemen Keuangan melakukan pembagian keuangan yang demokratis, adil, dan transparan dalam membangun perekonomian daerah secara merata.

Page 157: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1��

www.depkeu.go.id

Mungkin Anda pernah mendengar selentingan bahwa besarnya dana yang dialokasikan oleh pemerintah pusat untuk pemerintah daerah sangat tergantung pada kemampuan lobi pejabat daerah ke pemerintah pusat. Selentingan itu memang bukan tidak berdasar. Menurut pejabat Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Departemen Keuangan, banyak oknum yang tidak bertangung jawab menghembuskan isu bahwa besaran dana perimbangan daerah dapat diatur sesuai kedekatan dengan pemerintah pusat.

Dana perimbangan daerah yang dimaksud mencakup Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sampai dengan tahun 2007 isu ini diperkuat dengan ketentuan bahwa DAU suatu daerah tidak bisa lebih kecil dari DAU tahun 2005. Dengan berbekal ketentuan tersebut oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab memanfaatkannya dengan menjanjikan kepada daerah bahwa DAU-nya akan lebih besar dari DAU tahun sebelumnya, sepanjang pejabat daerah bersedia menyediakan sejumlah dana untuk “mengurus DAU”.

Tentu saja, ulah oknum-oknum tersebut menciptakan citra buruk Departemen Keuangan. Seolah-olah, Departemen Keuangan dapat memberi alokasi dana lebih besar kepada suatu daerah, apabila disediakan sejumlah dana. Isu ini jelas menghambat upaya reformasi birokrasi di Departemen Keuangan untuk menciptakan citra Departemen Keuangan sebagai departemen yang transparan, memiliki tata kelola yang baik dan memiliki aparatur yang profesional.

Berikut ini adalah kisah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) melaksanakan reformasi birokrasi untuk menjadi direktorat yang profesional.

Jalan Menuju KPA Transfer Ke Daerah

UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membawa perubahan mendasar dalam sistem pengelolaan keuangan negara. Di antara perubahan mendasar tersebut adalah hubungan antar pengelola keuangan, yang semula berdasar pendekatan structural menjadi pendekatan fungsional.

Suatu kemajuan yang sangat berarti dalam sistem pengelolaan keuangan adalah kewajiban bagi Pengguna Anggaran (PA, yaitu menteri) untuk menyusun laporan realisasi anggaran (LRA). Dengan Demikian, mandat pengelolaan keuangan yang diberikan PA kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) antara lain adalah unit eselon 1 menjadi semakin komprehensif.

Pada saat ditunjuk sebagai Penyusun LRA, DJPK meminta syarat agar menjadi KPA Transfer ke Daerah. Sebagai KPA, DJPK harus mempunyai Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Transfer, menerbitkan SPM, menatausahakan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Dengan syarat itu DJPK baru kemudian dapat menyusun LRA .

Dampak dari syarat tersebut antara lain tidak ada DIPA transfer selain yang konsepnya diajukan DPJK dan disahkan oleh DJPB, tidak ada surat perintah membayar (SPM) transfer selain yang diajukan oleh DJPK kepada DJPB, tidak ada SP2D Transfer yang diterbitkan DJPB selain atas SPM yang diterbitkan DJPK, tidak ada LRA yang dapat disusun dengan benar sebelum SPM dan SP2D Transfer tersedia dengan tepat waktu, tepat dokumen, dan tepat jumlah realisasi anggaran. Implikasi dari pesyaratan tersebut antara lain, tidak ada DIPA Transfer yang disahkan di daerah oleh Kanwil DJPBn (Kantor Wilayah Direktorat jenderal Perbendaharaan, melainkan oleh DJPB, tidak ada pembahasan Rencana Definitif (RD) anggaran Transfer Ke Daerah oleh Kanwil DJPB karena proses DAK telah diintegrasikan dalm mekanisme APBD, tidak ada SPM yang diterbitkan oleh pejabat pemerintah daerah, dan diajukan kepada KPPN setempat, melainkan oleh DPJK, dan tidak ada SP2D yang diterbitkan oleh KPPN setempat.

Page 158: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Repotnya, perubahan-perubahan tersebut tidak serta merta dipahami oleh pemerintah daerah. Sehingga pelaksanaanya menghadapi banyak kendala. DJPK bersiap melaksanakan tugas sebagai KPA dimulai dengan mengumpulkan nomor rekening kas daerah. Data mengenai nomor rekening kas daerah merupakan kunci sukses penyaluran Transfer Ke Daerah. Pada awal perubahan, rata-rata setiap daerah memiliki 10 nomor rekening bahkan lebih untuk menampung dana transfer. Sebenarnya yang diperlukan hanya satu nomor saja. Dalam upaya mencari nomor rekening ini, DJPK menemukan aplikasi SP2D di KPPN yang memuat seluruh nomor rekening bank penampung DAU pada BPD dan bank umum lainnya. Selanjutnya DJPK memanfaatkan data nomor rekening bank tersebut dengan meminta Bank Indonesia (BI) untuk mengkonfirmasikannya kepada BPD dan bank umum lainnya dalam suatu rapat di BI. Hasil dari rapat koordinasi tersebut cukup menggembirakan dengan terkumpulnya seluruh nomor reking bank penampung DAU. Penyaluran perdana DAU bulan Januari pada tanggal 2 Januari 2008 sukses. Kekhawatiran besar bahwa akan terjadi kelambatan penerimaan DAU di daerah, yang akan berdampak keterlambatan pembayaran gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) ternyata tidak terjadi. Kekhawatiran tersebut sebenarnya cukup wajar karena pelaksanaan penyaluran bersamaan dengan kegiatan tutup tahun buku pada semua bank dan tutup tahun anggaran, dan adanya ketentuan bahwa dana yang disalurkan adalah dana tahun anggaran berjalan (tahun 2008). Dari 484 daerah yang menerima penyaluran DAU atau Dana Penyeimbang DAU, hanya 4 daerah yang mengalami permasalahan, karena kesalahan nomor rekening pada saat pemindahbukuan.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Dana Bagi Hasil (DBH), PBB Migas Vs UU No 33 tahun 2004.

UU Nomor 33 tahun 2004 antara lain mengamanatkan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) dihitung per daerah berdasarkan prinsip by origin. Maksud dari prinsip ini adalah daerah penghasil dan daerah lainnya dalam satu provinsi mendapatkan porsi tertentu dari Penerimaan Negara Pajak (PNP) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dihasilkan daerah. Pengertian daerah dalam DBH Pajak berbeda dengan daerah dalam Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA). Dalam DBH Pajak daerah penerima DBH Pajak adalah daerah penghasil dan provinsi, yang berlaku untuk DBH BPHTB, DBH PBB sektor perkotaan/perdesaan/perkebunan dan DBH PPh. DBH Cukai Hasil tembakau tidak berdasarkan UU No 33 thaun 2004 melainkan UU No 39 Tahun 2007 tentang Cukai dimana pengertian daerah adalah kabupaten/kota penghasil, provinsi, dan kabupaten/kota lainnya dalam satu provinsi. Pengertian daerah penerima DBH SDA sama dengan pengertian pada DBH Cukai.

Dalam hal DBH PBB sektor pertambangan khususnya DBH PBB Migas, pengertian daerah berbeda baik dengan PBB di luar pertambangan migas, maupun dengan DBH SDA. Dalam DBH PBB Migas dikenal daerah penghasil, provinsi, dan semua daerah di seluruh Indonersia. Pembagian DBH PBB Migas hingga saat ini dilaksanakan berdasarkan KMK No 451/KPK.04/1997 jo PMK No 127/PMK.03/2007.

Ketentuan awalnya jelas ditetapkan sebelum berlakunya UU No 33 Tahun 2004, namun setelah berlakunya UU No 33 Tahun 2004, prinsip dasar pembagian DBH yaitu by origin belum diikuti. Akibatnya, beberapa daerah penghasil migas yang merasa bahwa PBB Migas yang dibagi ke seluruh Indonesia berasal dari daerah penghasil migas menuntut pembagian dengan prinsip by origin.

Pada akhir tahun 2007 telah diupayakan untuk mendiskusikan permasalahan ini antara Sekjen Depkeu, Dirjen Pajak, dan Dirjen PK (Perimbangan Keuangan). Tujuan diskusi adalah mempertimbangkan diberlakukannya prinsip pembagian by origin dalam DBH PBB khususnya sektor pertambangan migas. Namun demikian Dirjen Pajak belum sependapat, dan mengingatkan

Page 159: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1��

www.depkeu.go.id

bahwa DBH PBB migas dengan mekanisme yang sudah berlaku dalam pembagian sudah dinikmati oleh seluruh daerah baik penghasil maupun bukan penghasil dmigas di seluruh Indonesia. Apabila diubah dikhawatirkan akan timbulnya protes dari daerah bukan penghasil yang selama ini sudah menikmati. Selain itu, daerah penghasil migas menjadi semakin banyak memiliki sumber pendanaan, yang dapat menyebabkan melebarnya kesenjangan fiskal antar daerah.

Pelaksanaan DJPK selaku KPA Versus kepentingan institusi lain

Penyaluran DAU secara bulanan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara sebelum DJPK berfungsi sebagai KPA mempersyaratkan adanya lampiran Daftar gaji bulan sebelumnya. Persyaratan ini telah dimanfaatkan oleh beberapa institusi yang terkait dengan data Taspen, Askes, dan Bapertarum, termasuk data penyetoran PPh Gaji oleh Bendahara Pemda ke Kas Negara. Ketika DJPK selaku KPA melakukan penyaluran dana, persyaratan tersebut ditiadakan. Pertimbanganya adalah karena daerah tidak perlu mengajukan SPM. Akibatnya PT Askes, PT Taspen, dan Bapertatrum kehilangan data untuk pelaksanaan tugasnya. Demikian juga, DJPK kehilangan data PNSD dan pembayaran gaji yang digunakan sebagai salah satu komponen Formula DAU, yaitu Alokasi Dasar.Sejak masa persiapan hingga menjelang penyaluran perdana dengan pola baru, institusi-institusi tersebut berkomunikasi dengan DJPK. Mereka terkesan “menyalahkan” DJPK, karena mengubah mekanisme yang dianggap paling baik dan memberikan manfaat kepada institusi tersebut. Namun bagi DJPK penyaluran dana ini adalah murni urusan pemerintahan, sedangkan institusi-institusi lain tersebut memiliki kepentingan bisnis. Wajar bagi institusi yang mencari laba tersebut seyogyanya membuat data pelanggan atau nasabahnya sendiri.

Sebenarnya, pada saat merencanakan mekanisme penyaluran dengan pola baru, telah dirancang pula mekanisme agar kepentingan institusi-institusi tersebut dapat difasilitasi, yaitu dengan menganjurkan menjalin hubungan yang langsung pengelola keuangan daerah. Pendekatan ini sudah seharusnya dilakukan oleh PT Taspen, PT Askes, dan Bapertarum karena ketiganya mempunyai pelanggan/nasabah yang sama yaitu PNSD.

Untuk keperluan penyediaan data Alokasi Dasar, DJPK melakukan pendataan langsung di daerah dengan mengumpulkan seluruh kabupaten/kota dalam satu provinsi di ibu kota provinsi. Cara pengumpulan data seperti ini ternyata menghasilkan data alokasi dasar yang lebih baik. Permasalahan timbul pada saat independensi DJPK dipertanyakan karena mengumpulkan data sendiri dan menggunakannya sendiri. Untuk mengatasi hal ini maka kegiatan pengumpulan data dirancang suatu mekanisme Tripartit antara Dep Dalam Negeri c.q. DJBAKD (Direktorat Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah), Daerah (provinsi dan kabupaten/kota), dan Departemen Keuangan c.q. DJPK dalam suatu wadah rekonsiliasi data Belanja Gaji PNSD. Hasil dari rekonsiliasi adalah berita acara pendataan Belanja Gaji PNSD yang ditandatangani oleh Wakil Dep Dalam Negeri dan Daerah.

Setelah satu setengah tahun berlalu belum lagi nampak permasalahan dari pengumpulan data yang diperlukan ketiga institusi tersebut. Diharapkan institusi-institusi tersebut sudah semakin dekat dengan nasabahnya maupun pemberi kerja sehingga hubungan antara perusahaan dan pelanggan akan memberikan manfaat kepada PNSD dan institusi yang terkait.

Permasalahan internal Departemen Keuangan dalam penyaluran DBH SDA Migas

Pengelolaan DBH Migas hingga saat ini masih menyisakan masalah antara lain penyediaan data perhitungan DBH Migas yang belum tepat waktu selain koordinasi diantara unit pengelola PNBP/DBH Migas. Di lingkungan Dep Keuangan sedikitnya ada 3 unit eselon I yang mengelola, yaitu DJA dalam hubungannya dengan PNBP Migas, DJP dalam kaitannya dengan PBB Migas, dan DJPK sebagai KPA penyaluran DBH Migas termasuk penyusunan LRA-nya.

Page 160: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Untuk kepentingan DBH penetapan waktu perhitungan PNBP/DBH Migas bukan mulai Januari s/d Desember melainkan dari Awal Desember s/d Akhir November agar DBH dapat disalurkan 12 bulan pada bulan Desember. Namun penetapan ini ternyata tidak dapat diikuti dengan penyediaan data 12 bulan, karena data realisasi PNBP Migas s/d bulan November baru tersedia pada bulan Februari. Sebagai contoh, pada akhir tahun 2008 sampai dengan tanggal 31 Desember 2008 data mengenai PNBP Migas belum tersedia sehingga SAL 2008 yang seharusnya di dalamnya terdapat bagian yang harus dibagihasilkan kepada daerah tidak terdeteksi, sementara itu proses APBN 2009 sudah selesai namun belum mengakomodasi alokasi kurang bayar DBH Migas s/d November 2008. Agar masalah seperti ini tidak terulang lagi, koordinasi antara DJA c.q. Dit PNBP dengan DJPK c.q. Dit Dana Perimbangan harus di tingkatkan lagi yang diawali dengan penyediaan data perkiraan realisasi PNBP Migas s/d November dari DJA pada bulan Desember agar DBH Migas bagian daerah di dalam SAL dapat diperkirakan. Apabila dimungkinkan perkiraan dana tersebut dapat dialihkan ke rekening cadangan Menteri Keuangan agar dapat disalurkan setelah data realisasi PNBP Migas s/d November tersedia pada bulan Februari. Upaya ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kurang salur DBH Migas kepada daerah yang pada saatnya harus diakui oleh Pemerintah dalam LRA sebagai hak daerah yang belum disalurkan atau semacam “utang” yang harus diakui dalam LRA. Permasalahan kurang salur DBH Migas ini menjadi pengalaman yang kurang baik dalam pelaksanaan tugas saat itu, namun menjadi pelajaran yang sangat berharga ke depan.

Setiap daerah mempunyai “cetakannya” masing-masing.

Dana Perimbangan yang terdiri dari 3 komponen, yaitu DBH, DAU, dan DAK sampai dengan tahun 2007 memunculkan isu bahwa besaran dana per daerahnya dapat diatur sesuai ”kedekatan daerah dengan Pemerintah Pusat”. Isu ini diperkuat dengan ketentuan bahwa DAU suatu daerah tidak bisa lebih kecil dari DAU tahun 2005. Dengan berbekal ketentuan tersebut oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab memanfaatkannya dengan menjanjikan kepada daerah bahwa DAU-nya akan lebih besar dari DAU tahun sebelumnya, dengan syarat pejabat daerah bersedia menyediakan sejumlah dana untuk “mengurus DAU”. Image Departemen Keuangan menjadi kurang baik oleh sejumlah oknum ini.

Formula DAU dalam UU No 33 Tahun 2004 menjamin bahwa setiap daerah mempunyai “cetakannya masing-masing untuk menakar dana perimbangan”. DAU dengan Alokasi dasar, kebutuhan fiskal, dan kapasitas fiskal. DAK dengan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis, sedangkan DBH dengan persentase tertentu dari realisasi PNP dan PNBP yang dibagihasilkan kepada daerah. Memanupulasi perhitungan dana perimbangan dapat dilakukan dengan memanipulasi data dasar formula, kriteria, maupun realisasi dan persentase. Hal ini hampir tidak mungkin dilakukan oleh petugas perhitungan DAU, hal ini terbukti dari audit BPK yang tidak menemukan adanya penyimpangan secara sengaja dari perhitungan DAU, DAK, maupun DBH.

Sampai dengan tahun 2007, kenaikan DAU suatu daerah dikaitkan dengan jasa oknum yang berhubungan dengan Pemerintah Pusat untuk membuat DAU meningkat dengan imbalan tertentu. Praktek seperti ini tidak berlaku lagi pada tahun 2008 dan seterusnya, karena penerapan formula DAU secara murni akan berakibat DAU suatu daerah lebih kecil dari tahun sebelumnya. Disamping itu sosialisasi yang dilakukan secara transparan dapat dipahami oleh daerah, antara lain dengan (1) membuka perhitungan DAU dan DAK suatu daerah kepada daerah yang membutuhkan penjelasan, (2) menjelaskan secara gamblang kepada daerah yang merasa DAU dan DAKnya lebih kecil dari DAU dan DAK daerah tetangganya, (3) menegaskan bahwa data perhitungan DAU disediakan oleh instansi independen penyedia data dasar DAU, (4) data dasar dan cara perhitungan DAK setiap daerah diaudit oleh aparat internal Depkeu (Itjen) dan BPK. Kesimpulannya adalah bahwa “Daerah sudah mempunyai cetakannya masing-masing untuk menakar DAU dan DAK”, bahwa “kedekatan daerah dengan pejabat Departemen Keuangan tidak mempengaruhi besaran DAU”.

Page 161: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1�9

www.depkeu.go.id

Penggunaan aplikasi komputer yang selalu dikembangkan dan ditingkatkan akurasinya terakhir dengan nama “Dynamic Model” memungkinkan perhitungan DAU per daerah tidak dapat direkayasa secara manual. Aplikasi DAU ini telah digunakan dalam pembahasan DAU di rapat transfer ke daerah dengan DPR, yang memungkinkan hasil perhitungan DAU yang lebih cepat dan akurat. Untuk menjaga kesahihan perhitungan, setiap simulasi perubahan data dasar dalam formula DAU selalu dikerjakan oleh lebih dari satu orang, bahkan oleh empat orang. Hasil perhitungan akan dianggap benar dan akurat apabila perhitungan yang dillakukan oleh empat orang tersebut menghasilkan angka yang sama persis.

Mengejar daerah yang belum menyampaikan Perda APBD dan Laporan

Komitmen DJPK untuk mempercepat penyaluran Transfer Ke Daerah dari Kas Negara ke Kas daerah ditandai antara lain dengan mengaitkan antara penyaluran dana transfer dengan penyelesaian APBD dan laporan penyerapan dana yang sifatnya specific grant. Ketentuan bahwa DAK tidak disalurkan kepada daerah yang belum menyampaikan Perda APBD dibarengi dengan upaya melakukan pemantauan Perda APBD oleh tim DJPK yang tugasnya tidak hanya memantau melainkan mendorong hingga Perda APBD diterima di DJPK.

Hingga sampai awal Juli 2009 masih ada daerah yang belum menyelesaikan APBD. Oleh karena itu DJPK mengadakan pertemuan untuk mendapatkan penjelasan penyebabnya dan memberikan solusi melalui koordiansi dengan Ditjen BAKD (Direktorat Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah), Departemen Dalam Negeri.

Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk menandatangi Nota Kesepahaman bahwa keterlambatan APBD kemungkinan akan berakibat pada hangusnya dana yang bersifat specific grant karena sempitnya waktu proses pengadaan dan pencapaian output. Nota kesepahaman juga dilakukan dalam rangka mempercepat pelaksanaan rekonsiliasi data penyaluran DBH PBB/BPHTB untuk perhitungan Biaya Pungut PBB. Sesuai PMK No 21/PMK.07/2009 rekonsiliasi bulanan harus dilaksanakan oleh Gubernur bersama Kanwil DJP, Kanwil DJPB bersama instansi di bawahnya, dan kabupaten/kota. Tujuan utama dari rekonsiliasi adalah menjamin tersedianya dokumen sumber untuk penyusunan LRA. Kesepahaman bahwa tidak ada penyaluran Biaya Pungut PBB apabila tidak ada data rekonsiliasi.

Pengejaran penyelesaian APBD dilakukan dengan menelpon langsung pejabat daerah yang bertanggungjawab atas APBD dan memantau perkembangannya. Hasil dari upaya yang kuat ini ditandai dengan penyaluran DAK 2009 yang lebih baik dari DAK tahun 2008, baik dari sisi jumlah daerah maupun besaran rupiahnya. Data yang lebih baik dari perbandingan year on year 2008-2009 ini juga dipicu oleh perubahan pola penyaluran DAK dari 4 kali menjadi 3 kali yang tujuan utamanya juga untuk mempercepat penyaluran Transfer ke Daerah.

Page 162: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�.1. Pengelolaan Transfer Ke Daerah dan Kebijakan 200�-2009

6.1.1. Latar Belakang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah. Pendanaan perimbangan keuangan ini dalam I-Account APBN sampai dengan tahun 2007 diberi nomenklatur “Belanja Ke Daerah” namun sejak APBN Tahun 2008 diubah menjadi “Transfer Ke Daerah”. Dalam Anggaran Transfer Ke Daerah dipisahkan antara “Dana Perimbangan” dengan “Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian”. Alokasi untuk Dana Perimbangan merupakan pelaksanaan desentralisasi fiskal sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Sedangkan alokasi untuk Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian merupakan pelaksanaan desentralisasi fiskal di luar dua peraturan perundangan tersebut di atas. Dengan demikian Dana Otsus dan Penyesuaian ini merupakan pelaksanaan peraturan lain yang mengamanatkan dialokasikannya dana desentralisasi lainnya untuk keperluan khusus dengan jangka waktu tertentu, seperti Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD).

Sebagai bagian dari sistem APBN, pengelolaan Anggaran Transfer ke Daerah juga dilakukan dalam kerangka pengelolaan keuangan negara secara utuh dengan memperhatikan prinsip-prinsip penganggaran, perbendaharaan, dan akuntansi pemerintah. Selanjutnya, perumusan kebijakan pengelolaan Anggaran Tarnsfer ke Daerah harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, serta sesuai dengan prinsip-prinsip perimbangan keuangan, sehingga diharapkan dana tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk mendanai kebutuhan pengeluaran yang menjadi kewenangan daerah. Selain itu, pemanfaatan dana tersebut juga sangat tergantung dari kualitas pengelolaan keuangan di daerah.

Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Komitmen Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan untuk mempercepat penyaluran Transfer Ke Daerah dari Kas Negara ke Kas daerah ditandai antara lain dengan mengkaitkan antara penyaluran dana transfer dengan penyelesaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan laporan penyerapan dana yang sifatnya specific grant.

Page 163: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1�1

www.depkeu.go.id

Memperhatikan hal-hal di atas, dalam rentang waktu tahun 2004 sampai dengan 2009 telah dilakukan beberapa perubahan kebijakan yang cukup mendasar, di antaranya yaitu penerapan kebijakan non-hold harmless dalam alokasi DAU sejak tahun 2006, pengalihan bagian anggaran dari Kementerian/Lembaga yang digunakan untuk mendanai kegiatan yang sudah menjadi urusan daerah ke DAK sejak tahun 2008, serta pelaksanaan penyaluran yang berdampak terhadap tercapainya efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, serta penyusunan laporan realisasi anggaran (LRA) transfer yang dilaksanakan secara lebih cermat dan didukung dokumen sumber yang memadai.

6.1.2. Arah dan Strategi Kebijakan Transfer Ke Daerah

Kebijakan umum Transfer Ke Daerah sampai dengan tahun 2009 diarahkan untuk:1. Mengurangi kesenjangan fiskal antara Pusat dan Daerah (vertical fiscal im balance), dan antar daerah (horizontal fiscal imbalance); 2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah (public service provision gap); 3. Meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah;4. Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional;5. Meningkatkan sinergi perencanaan pembangunan pusat dan daerah;6. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas alokasi transfer ke daerah;7. Mendukung kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dalam kebijakan ekonomi makro.

Guna mendukung arah kebijakan tersebut, telah dirumuskan strategi pengelolaan anggaran transfer ke daerah, yang ditempuh melalui 3 hal penting, yaitu (i) penajaman perumusan kebijakan di masing-masing komponen Anggaran Transfer ke Daerah, (ii) perumusan kebijakan yang ditujukan untuk mendorong peningkatan kualitas pengelolaan keuangan daerah, dan (iii) reorganisasi institusi sejalan dengan reformasi birokrasi.

Dalam kaitannya dengan strategi penajaman perumusan kebijakan di masing-masing komponen anggaran transfer ke daerah dapat dijelaskan sebagai berikut:1. Kebijakan Dana Bagi Hasil DBH) a. Meningkatkan koordinasi untuk mendapatkan data yang lebih berkualitas, untuk perencanaan alokasi dan perhitungan penyaluran; b. Melaksanakan rekonsiliasi PNBP/DBH secara transparan dan akuntabel c. Menyalurkan DBH dengan tepat jumlah dan tepat waktu2. Kebijakan Dana Alokasi Umum (DAU) a. Mengupayakan tingkat pemerataan yang lebih baik dari tahun ke tahun b. Meningkatkan koordinasi dengan institusi penyedia data c. Menyediakan data dasar perhitungan DAU 3. Kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK) a. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan yang relatif rendah. b. Mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar yang sudah merupakan urusan daerah. c. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah tertentu. d. Mendorong peningkatan produktivitas, perluasan lapangan kerja, dan diversifikasi ekonomi terutama di pedesaan. e. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan prasarana dasar. f. Menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta mencegah kerusakan lingkungan hidup, dan mengurangi risiko bencana. g. Mendukung penyediaan prasarana pemerintahan di daerah yang terkena dampak pemekaran daerah.

Page 164: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

h. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari DAK dengan kegiatan lain yang didanai dari anggaran kementerian/ lembaga (K/ L) dan kegiatan yang didanai dari APBD; i. Mengalihkan secara bertahap kegiatan-kegiatan yang didanai dari dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang telah menjadi urusan daerah ke DAK. 4. Kebijakaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Dana Penyesuaian (DP) a. Untuk mendanai keperluan tertentu dengan jangka waktu tertentu b. Berdasarkan peraturan tertentu

Sementara itu dalam rangka desentralisasi fiskal, strategi untuk meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan daerah dilakukan melalui pembinaan pajak daerah dan retribusi daerah, pinjaman dan hibah kepada daerah, dan pengembangan sistem informasi keuangan daerah. Selanjutnya untuk mendukung strategi tersebut diatas pengembangan organisasi DJPK telah dilakukan sebagai bagian dari Reformasi Birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan.

6.1.3. Reformasi Birokrasi Pengelolaan Transfer Ke Daerah

Sejalan dengan roadmap 2005-2009 dan program reformasi birokrasi Departemen Keuangan serta perlunya perhatian yang lebih fokus dan terarah pada permasalahan keuangan daerah, maka dibentuk Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) yang menangani tugas merumuskan kebijakan dan strandardisasi teknis di bidang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Pembentukan DJPK tersebut berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 66 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Perpres No 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Perpres No 17 Tahun 2007.

DJPK lahir setelah reorganisasi yang dilakukan melalui penggabungan dan pemisahan beberapa unit eselon II dari Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK) dan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional (BAPEKKI). Reorganisasi tersebut merupakan langkah strategis sejalan dengan reformasi birokrasi yang telah dimulai sejak tahun 2004. Langkah strategis tersebut antara lain melalui upaya penajaman fungsi dan tugas dengan pembentukan 3 (tiga) unit eselon I, yaitu Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang khusus menangani kebijakan fiskal dan kerjasama internasional, DJA yang khusus menangani Belanja Pemerintah Pusat dan DJPK yang khusus menangani Belanja ke Daerah yang selanjutnya disebut Transfer Ke Daerah. Reorganisasi tersebut dilatarbelakangi selain oleh perlunya regrouping agar fungsi-fungsi yang terkait dengan kebijakan fiskal antara lain kerangka asumsi ekonomi makro, belanja pemerintah pusat, dan belanja/transfer ke daerah berada pada pembinaan dan koordinasi yang lebih tepat, juga upaya untuk pemerataan beban kerja. Regrouping tersebut diperlukan juga dalam rangka pembagian tugas pembahasan RUU-APBN dan Nota Keuangan sehingga perumusan kebijakan yang terkait dengan kerangka asumsi ekonomi makro dan belanja pemerintah pusat, serta belanja/transfer ke daerah dapat dilakukan secara lebih fokus, optimal dan berkualitas.

Reformasi birokrasi Departemen Keuangan secara resmi dicanangkan pada tahun 2007 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007. Program reformasi birokrasi dilakukan dengan pelaksanaan program utama berupa penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, dan peningkatan manajemen sumber daya manusia (SDM). Pembentukan DJPK juga dalam rangka penataan organisasi yang difokuskan pada modernisasi, pemisahan, penggabungan, dan penajaman fungsi untuk menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan prima kepada publik. Sesuai dengan semangat tersebut, maka dilakukan perubahan atas PMK Nomor 131/PMK.01/2006 menjadi PMK Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan yang di dalamnya terdapat penambahan lima unit eselon III (Subdit) di DJPK termasuk 2 (dua) Subdit Pelaksanaan Transfer dan 1 (satu) Subdit Akuntansi dan Pelaporan Transfer, eselon IV (kepala subbagian dan kepala seksi) sebagai tindak lanjut penunjukan Dirjen Perimbangan Keuangan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran Transfer ke Daerah.

Page 165: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1��

www.depkeu.go.id

Selanjutnya telah dilakukan pula penyempurnaan uraian jabatan (job description) untuk setiap jabatan dan standar operating procedures (SOP) dengan norma waktu yang jelas untuk setiap jenis tugas pekerjaan. Salah satu perubahan yang cukup signifikan dalam rangka peningkatan pelayanan kepada pemerintah daerah adalah perubahan tata cara penyaluran transfer ke daerah dengan melakukan transfer secara langsung kepada masing-masing rekening bendahara umum daerah sejak awal tahun anggaran 2008. Dampak yang diharapkan dari perubahan kebijakan tersebut adalah: a. mempercepat penyelesaian Perda APBD; b. mendorong pelaksanaan sistem treasury single account dengan disalurkannya semua dana transfer melalui satu rekening bank yang ditunjuk daerah; c. mempercepat pelaksanaan kegiatan/pembangunan daerah dengan semakin cepat tersedianya dana;d. mengurangi sisa anggaran pada akhir tahun dengan pelaksanaan kegiatan yang lebih awal; e. mempercepat tersedianya data realisasi transfer; f. meningkatkan akuntabilitas penyusunan laporan realisasi anggaran (LRA) Transfer ke Daerah; dang. meningkatkan akurasi sistem informasi keuangan daerah (SIKD).

Program-program reformasi tersebut dapat berjalan dengan baik karena didukung oleh SDM yang handal, bersih, profesional, dan bertanggung jawab yang diupayakan melalui serangkaian program yaitu :1. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi, 2. penetapan standar kompetensi jabatan untuk seluruh jabatan struktural, 3. pelaksanaan assessment bagi seluruh pejabat eselon II, III, dan IV, 4. penyusunan pola mutasi yang menjamin kepastian pengembangan karier pegawai/pejabat, 5. peningkatan disiplin dengan penerapan kode etik bagi setiap pegawai DJPK, dan6. pengintegrasian Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian

Untuk memantau kinerja sekretariat dan direktorat di lingkungan DJPK telah ditetapkan manajemen kinerja berbasis balance scoredcard. Dengan pola tersebut, pencapaian visi misi dijabarkan dalam peta strategi yang berisi sasaran-sasaran strategis dalam empat perspektif : learning and growth, internal business process, customer, dan strategic outcome. Dalam setiap sasaran strategis telah ditetapkan indicator kinerja utama (IKU) sebagai alat ukur keberhasilan pencapaian sasaran yang ditetapkan.

Untuk memenuhi IKU dalam peta strategi Departemen Keuangan, pada April 2009 Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan telah menandatangani kontrak kinerja dengan Menteri Keuangan yang mencakup 8 (delapan) IKU, yaitu:1. Persentase penyaluran jumlah dana transfer ke daerah; 2. Persentase penyaluran jumlah dana transfer ke daerah tepat waktu; 3. Indeks kepuasan Pemda terhadap pengelolaan belanja transfer ke daerah; 4. Indeks kepuasan Pemda terhadap norma dan standar transfer ke daerah; 5. Rasio realisasi dari janji pelayanan quick win ke pihak eksternal; 6. Sosialisasi dan diseminasi peraturan/kebjakan tentang perimbangan keuangan; 7. Persentase kepatuhan dan penegakkan ketentuan/peraturan; dan8. Persentase penyelesaian SOP terhadap SOP yang harus diperbahrui/ dibuat.

Selanjutnya agar kinerja Dirjen PK dapat tercapai secara optimal maka pada tanggal 29 Mei 2009 para pejabat eselon II DJPK telah menandatangani kontrak kinerja dengan Dirjen PK, demikian juga dalam waktu yang sama telah dilaksanakan penandatangan kontrak kinerja antara para pejabat eselon III dengan pejabat eselon II.

Page 166: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

6.2. Pelaksanaan Kebijakan Anggaran Transfer Ke Daerah

Dana transfer ke daerah diberikan kepada semua daerah yang berhak berdasarkan perhitungan tertentu. DBH dengan persentase tertentu, DAU dengan formula, DAK dengan kriteria, Dana Otsus dan Penyesuiaan berdasarkan undang-undang terkait. Perkembangan jumlah daerah penerima Dana Transfer ke Daerah dari tahun 2004 sebanyak 440 menjadi 510 pada tahun 2009, atau meningkat 70 daerah selama 5 tahun, sebagaimana pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1. Perkembangan Jumlah Daerah dan Besaran Transfer Tahun 2004 s/d 2009

No. Daerah 2004 2005 2006 2007 2008 2009

1 Provinsi 30 32 33 33 33 33

2 Kabupaten/Kota 410 434 434 434 451 477

3 Jumlah 440 466 467 467 484 5104 Realisasi Transfer

(Triliun rupiah) 129,7 150,5 226,2 253,3 292,6 303,1

5 % Kenaikan 16,04 50,30 11,98 15,51 3,59

Sumber: Departemen Keuangan

6.2.1. Dana Bagi Hasil (DBH)

6.2.1.1. Perkembangan DBH 2004-2009

DBH dilaksanakan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 yang mengatur bagian Pemerintah Pusat dan bagian pemerintah daerah dengan persentase tertentu dari realisasi penyetoran ke kas negara dari penerimaan negara pajak (PNP) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Jenis DBH dalam undang-undang tersebut sebanyak 8 (delapan) jenis yang dalam tahun 2005 s/d 2008 telah dilaksanakan 7 jenis sedangkan satu jenis DBH, yaitu Panas Bumi dilaksanakan mulai tahun 2009. Untuk pertama kalinya DBH Panas Bumi pada tahun 2009 dibagikan kepada daerah di wilayah Provinsi Jawa Barat, yaitu DBH dari PNBP tahun 2006 s/d 2009. Tertundanya pelaksanaan DBH Panas Bumi tersebut karena peraturan mengenai perpajakan atas pengusahaan panas bumi baru ditetapkan pada tahun 2008 dengan PMK Nomor 165/PMK.03/2008 tentang Mekanisme Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah dan Perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Hasil Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Pembangkitan Energi/Listrik pada tanggal 4 November 2008.

Tabel 6.2. Perkembangan Alokasi DBH Tahun 2005 s/d 2009 (dalam triliun rupiah)

No Komponen 2005 2006 2007 2008 2009

A Pajak

1 PBB 14,56 18,73 21,79 22,37 22,8

2 BPHTB 3,37 3,08 4,29 7,35 7,65

3 PPh 5,44 6,07 7,94 9,98 10,09

4 Cukai HT 0,2 0,96

Sub jumlah (A) 23,37 27,88 34,02 39,9 41,5

% kenaikan 19,30% 22,02% 17,28% 4,01%

Page 167: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1��

www.depkeu.go.id

Pada tahun 2008 dikenal DBH Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) berdasarkan UU No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No 11 Tahun 1999 tentang Cukai. Pada Tahun 2008 dan 2009 DBH-CHT diberikan kepada lima daerah di wilayah provinsi penghasil CHT, yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur. Berbeda dengan DBH SDA pada umumnya yang sifatnya sebagai block grant, DBH Cukai bersifat specific grant.

Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 35 UU No 33 Tahun 2004, DBH Migas dibagikan kepada daerah dengan porsi 15,5% dari PNBP Minyak Bumi dan 30,5% dari PNBP Gas Bumi. Porsi tambahan 0,5% tersebut sebagai specific grant yang harus dimanfaatkan untuk menambah anggaran pendidikan dasar di daerah dengan pembagian untuk provinsi/daerah penghasil/daerah lainnya masing-masing sebesar 0,1%, 0,2% dan 0,2%. Perkembangan alokasi DBH Pajak dan DBH SDA dapat dilihat pada Tabel 6.2

6.2.1.2. Kebijakan DBH 2004-2009

Karena ketentuan mengenai perhitungan DBH dan penetapan alokasinya kepada daerah telah diatur secara jelas dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, maka kebijakan pengalokasian dari tahun ke tahun adalah menyempurnakan proses perhitungan, penetapan alokasi dan ketepatan waktu penyaluran melalui peningkatan koordinasi dengan institusi pengelola PNBP seperti Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen ESDM, Departemen Dalam Negeri, dan unit-unit eselon I di lingkungan Departemen Keuangan (DJA, DJP, dan DJPB) dalam rangka menyediaan data yang lebih akurat. Koordinasi tersebut dilakukan melalui:a. Konsultasi regional untuk semua komponen DBH-SDA yang dihadiri pengelola DBH-SDA

kementerian/lembaga dengan daerah penghasil dengan tujuan antara lain agar daerah turut berperan dalam optimalisasi penyetoran PNBP dan menghimpun data setoran supaya daerah dapat berperan aktif dalam acara rekonsiliasi PPNBP/DBH, agar setoran PNBP per daerah dapat dibagikan secara optimal.

b. Rekonsiliasi data PNBP dan perhitungan DBH yang dilakukan bersama institusi pengelola PNBP/ DBH SDA dengan daerah penghasil dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyaluran DBH SDAc. Rapat kerja antara unit eselon I di lingkungan Departemen Keuangan yang mengelola penerimaan pajak dan cukai hasil tembakau dengan daerah penghasil.

No Komponen 2005 2006 2007 2008 2009

B Sumber Daya Alam (SDA)

1 Pertambangan 1,62 2,39 2,85 4,24 6,98

2 Kehutanan 0,29 1,16 1,52 1,71 1,51

3 Minyak dan gas 9,12 27,13 24,46 23,44 15,96

4 Perikanan 0,56 0,33 0,20 0,16 0,12

Panas bumi - - - - 0,26

Sub jumlah (B) 11,59 31,01 29,03 29,55 53,83

% kenaikan - 167,56% -6,39% 1,79% 82,00%

C Total (A+B) 34,96 58,89 63,05 69,45 95,33

% Kenaikan 68,45% 7,06% 10,15% 37,00%Sumber : Departemen Keuangan.

Catatan : - DBH SDA TA 2009 mengacu pada Revisi APBN 2009- DBH Pajak TA 2008, 2009 belum termasuk Biaya Pemungutan PBB Bagian Daerah

Page 168: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Perubahan yang penting dalam pengelolaan DBH pada tahun 2008 adalah pola penyaluran SDH SDA yang semula murni berdasarkan realisasi penyetoran PNBP berdasarkan hasil rekonsiliasi triwulanan menjadi penyaluran dengan pola penggabungan antara penetapan persentase dengan realisasi penyetoran PNBP melalui rekonsiliasi. Pola penyaluran sejak 2008 menjadi Triwulan I: 20%, Triwulan II: 20%, Triwulan III: (hasil rekonsiliasi dikurangi penyaluran Triwulan I+II), Triwulan IV: (hasil rekonsiliasi dikurangi penyaluran I+II+III).

6.2.2. Dana Alokasi Umum (DAU)

6.2.2.1. Perkembangan DAU 2005-2009

DAU sebagai dana yang bersifat “block grants” ditujukan untuk memeratakan kemampuan keuangan antar daerah (equalization grant) untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah (horizontal fiscal imbalance) dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah.

Besaran DAU dari tahun ke tahun mengalami peningkatan baik secara nominal maupun persentasenya. Besaran nominal sangat terpengaruh dengan besaran Pendapatan Dalam Negeri Neto (PDNN) yang ditetapkan dalam APBN. PDNN adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi pengan penerimaan negara yang dibagi hasilkan kepada daerah. Sejak tahun 2005 sampai 2007 besaran Pagu DAU Nasional sekurang-kurangnya 25,5% dari PDNN (sesuai Pasal 107 UU No 33 Tahun 2004), sedangkan mulai 2008 berdasarkan Pasal 27 besaran DAU menjadi sekurang-kurangnya 26% dari PDNN). Perkembangan alokasi DAU tahu 2005 sampai 2009 sebagaimana pada Tabel 6.3 yang menunjukkan peningkatan baik persentase dari PDNN, maupun besaran nominalnya.

Tabel 6.3. Perkembangan Alokasi DAU 2005-2009

No Komponen2005 2006 2007 2008 2009

Prov K/K Prov K/K Prov K/K Prov K/K Prov K/K

1 Prov./Kab./Kota 8,9 79,9 14,6 131,1 16,5 148,3 17,9 161,6 18,6 167,8

2 Nasional 88,77 145,66 164,78 179,50 186,41

3 % Kenaikan 64,00 13,13 8,93 3,85

4 % Thd PDNN 25,5 26 26 26 26

Sumber : Departemen Keuangan

6.2.2.2. Kebijakan DAU 2004-2009

Upaya untuk mewujudkan fungsi DAU sebagai equalization grant tersebut dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut: a. melakukan pegging (pemancangan) alokasi dasar dengan persentase dibawah 50% dari DAU

Nasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih besar untuk menutup celah fiskal. Dengan kebijakan ini berarti besaran rata-rata gaji PNSD per daerah dihitung dibawah 100%

b. melakukan pembobotan pada setiap variabel kebutuhan fiskal dengan asumsi bahwa pemanfaatan dana transfer ke daerah adalah untuk pelayanan kepada penduduk dan pengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk seimbang dengan bobot untuk wilayah.

c. menetapkan persentase tertentu dalam menghitung variabel kapasitas fiskal untuk mendapatkan indek pemerataan yang terbaik yang dicerminkan dari semakin rendahnya Williamson Index (WI).

Page 169: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1��

www.depkeu.go.id

No Komponen2005 2006 2007 2008 2009

Prov K/K Prov K/K Prov K/K Prov K/K Prov K/K

A Bobot Kebutuhan Fiskal

1% Alokasi Dasar Thd DAU Nasional

39,0 39,0 50,0 50,0 44,6 44,6 45,0 45,0 45.0 45,0

Atau rata-rata gaji PNSD per daerah)

100 100 100 100 100 100 88,8 86,6 80,4 72,3

B Bobot Kebutuhan Fiskal

2 Penduduk 40 40 30 30 30 30 30 30 30 30

3 Wil. Darat 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

4 Wil. Laut - - - - 25 25 25 35 30 35

5 IKK 40 40 30 30 30 30 30 30 30 30

6 IPM 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

7 PDRB - - 15 15 15 15 15 15 15 15

C Bobot Kapasitas Fiskal

1 PAD 50 50 50 100 50 75 50 75 50 70

2 DBH Pajak 100 100 100 100 75 75 75 75 95 73

Sumber : Departemen Keuangan

Selanjutnya perkembangan kebijakan pembobotan variabel formula DAU dan besaran DAU dari tahun 2005 s/d 2009 seperti pada Tabel 6.3.

Upaya untuk mempercepat perhitungan DAU per daerah dengan WI yang terbaik sejak tahun 2007 telah digunakan aplikasi berbasis teknologi informasi dengan nama “Dinamic Model”. Aplikasi ini merupakan pengembangan dari pola arbitary atau try and error theory dalam memperlakukan variabel perhitungan DAU. Melalui Dynamic Model ini perilaku dan pengaruh setiap variabel dalam formula DAU dapat langsung terlihat dan terkontrol, sehingga akan lebih memudahkan operator dan pejabat pengambil keputusan untuk mengintegrasikan kebijakan pemerataan antara daerah berdasarkan WI dan Coeficien of Variation (CV) yang berbasis akademik. Dengan aplikasi tersebut masih dimungkinkan simulasi perhitungan DAU per daerah dengan pertimbangan politis yang umumnya dengan pendekatan trial and error. Dengan demikian dapat dilakukan simulasi sesuai permintaan anggota DPR dalam pembahasan DAU dapat dijelaskan.

Tabel 6.4. Perkembangan pembobotan komponen Formula DAU (dalam%)

Pengukuran tingkat pemerataan juga secara konsisten dilakukan dengan menggunakan Williamson Index. Meskipun perbandingan indeks Williamson belum menunjukkan angka yang semakin baik, namun diupayakan bahwa indeks pada tahun yang bersangkutan adalah yang terbaik.

Selain pengembangan dynamic model dalam proses formulasi DAU, saat ini tengah diupayakan pengembangan instrumen aplikasi untuk melakukan analisis pemerataan berbasis akademis lainnya seperti Gini Coeficien (GC), Theil Index (TI), dan Lorenz Curve (LC).

Page 170: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Kotak 6.1. Dynamic Model

Prinsip dasar dari Dynamic Model (DM) adalah WYSIWYG - What You See Is What You Get. Dalam perhitungan DAU per daerah DM ini akan menunjukkan hasil dari setiap kebijakan untuk perubahan bobot setiap variabel formula DAU berupa alokasi DAU per daerah dan tingkat pemerataannya. Struktur DM terdiri dari interface, database, kertas kerja perhitungan, kertas kerja statistik, hasil perhitungan DAU per daerah, dan tingkat pemerataannya.

Interface hasil setiap perubahan bobot variabel formula DAU yang diusulkan/disimulasikan terdiri dari: (a) informasi jumlah daerah yang DAU-nya naik atau turun dan besaran kenaikan atau penurunan; (b) check-box, combo-box, button command (berisi macro untuk melaksanakan repetitive command); spanner, dan scroll bar, list graph serta form lainnya yang memudahkan penerapan parameter untuk alokasi dasar, kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal; (c) indikator pemerataan yang ditunjukkan dengan WI, CV, atau GC yang dilengkapai dengan grafik-grafik.

Database adalah tempat untuk menampung data dasar perhitungan DAU per daerah meliputi: (a) belanja gaji PNSD; (b) lima variabel kebutuhan fiskal: jumlah penduduk, luas wilayah, IKK, IPM, dfan PDRB), tiga variabel kapasitas fiskal : PAD, DBH Pajak, DBH SDA; (c) total belanja rata-rata. Setiap daerah akan menjadi unik karena data dasar DAU tersebut sehingga tidak ada daerah yang mendapatkan alokasi DAU yang besarannya persis sama kecuali memang memiliki data yang persis sama.

Kertas kerja berisi formulasi/rumus dan logik operasi dari setiap tahapan perhitunga DAU. Setiap hasil kerja ini link dengan interface. Kertas Kerja statistik adalah instrumen untuk menghitung tingkat pemerataan dengan WI, CV, dan GC yang juga link ke interface. Operasi dari semua instrumen DM akan menghasilkan perhitungan DSU per daerah yang mampu menunjukkan urutan dari besar ke kecil atau sebaliknya, atau berupa Top Ten atau Bottom Ten.

Pengoperasian DM selama pembahasan DAU dengan DPR dilakukan oleh 4 orang yang bekerja secara terpisah dengan laptop masing-masing untuk menjamin bahwa hasil simulasi adalah benar.

Kebijakan untuk mengurangi horizontal fiscal imbalance ditunjukkan dengan keseriusan pemerintah untuk melaksanakan UU 33 tahun 2004 secqara konsistens yaitu dengan menggunakan Formula DAU secara murni tanpa adanya kebijakan “Hold Harmless”. Pada tahun 2008 pemberlakuan kebijakan “Hold Harmless” telah berkurang yaitu dengan hanya memberikan 25% alokasi DAU sebelumnya kepada daerah yang DAU-nya turun lebih dari 75% dari alokasi DAU tahun sebelumnya. Pemberlakuan kebijakan “non Hold Harmless” secara penuh baru dilaksanakan di tahun 2009, dengan konsekuensi 100 daerah mengalami penurunan DAU, bahkan 5 daerah tidak mendapatkan alokasi DAU, karena perhitungan DAU dengan formula murni menghasilkan Nol.

Perubahan yang cukup penting dari pengelolaan DAU adalah kebijakan penyaluran DAU per bulan 1/12 X alokasi dikaitkan dengan upaya untuk mendorong percepatan penyelesaian Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD. Bagi daerah yang sampai dengan akhir April belum menyampaikan Perda APBD, maka kepadanya dikenakan sanksi penundaan penyaluran DAU sebesar 25% dari besaran penyaluran bulanan (25% X 1/12 X alokasi DAU). Sanksi ini diberlakukan terus setiap bulan sampai daerah tersebut menyampaikan Perda APBD kepada Departemen Keuangan/DJPK.

Page 171: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1�9

www.depkeu.go.id

6.2.3. Dana Alokasi Khusus (DAK)

6.2.3.1. Perkembangan DAK 2003-2009

DAK dalam waktu antara tahun 2003 s/d 2005 dikenal dengan terminologi DAK Non Dana Reboisasi (DAK Non-DR), selanjutnya pada tahun 2006 dipakai istilah DAK. Sejak tahun 2005 s/d 2009 telah terjadi perkembangan jumlah bidang dalam DAK dari mulai 2003 sebanyak 5 bidang menjadi 13 bidang pada tahun 2009 sebagaimana pada Tabel 6.5. Pada tahun 2008 dan 2009 penambahan bidang DAK dikaitkan dengan pelaksaan Pasal 108 UU Nomor 33 Tahun 2008 bahwa kegiatan kementerian/lembaga yang sebenarnya merupakan kegiatan kewenangan daerah dialihkan secara bertahap ke DAK.

No Bidang2005 2006 2007 2008 2009

Prov K/K Prov K/K Prov K/K Prov K/K Prov K/K

1 Pendidikan

2 Kesehatan3 Jalan4 Irigasi5 Air bersih6 Prasarana pembangunan7 Pertanian8 Lingkungan hidup9 Kelautan & Perikanan

10 Keluarga Berencana11 Kehutanan12 PDT13 Perdagangan

Pagu DAK (triliun) 4,01 11,57 17,09 21,20 24,82

% Kenaikan 188,53 47,71 24,05 17,08

Sumber : Departemen Keuangan

Keterangan:

Bidang yang tahun sebelumnya sudah ada Bidang baru pada tahun yang bersangkutan

Penambahan bidang DAK pada tahun 2008 ditandai dengan pengalihan anggaran K/L dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) dan Departemen Kehutanan, sedangkan pada tahun 2009 dialihkan anggaran K/L dari Departemen Perdagangan dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). Sejalan dengan pelaksanaan Pasal 108 UU No 33 Tahun 2004 yang mengamanatkan pengalihan secara bertahap anggaran kementerian/lembaga yang masih digunakan untuk mendanai kegiatan yang sudah menjadi kewenangan daerah ke DAK, maka besaran alokasi DAK terus meningkat dari tahun ke tahun sebagaimana pada Grafik 6.1

Page 172: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Sumber: Departemen Keuangan

2004 2005 2006 2007 2008 2009

30,000.000

25,000.000

20,000.000

15,000.000

10,000.000

5,000.000

0

2,838.5004,014.000

11,569.800

17,094.100

21,202.141

24,819.589

Grafik 6.1. Perkembangan Alokasi DAK 2004-2009 (dalam miliar rupiah)

6.2.3.2. Kebijakan DAK 2004-2009

Dalam rangka mengkaitkan bidang-bidang DAK dengan prioritas nasional, maka kepada menteri/pimpinan lembaga diberikan kewenangan untuk menyusun kebijakan penggunaan DAK masing-masing bidang dan indikator teknis DAK, sedangkan kebijakan perhitungan DAK oleh Menteri Keuangan berdasarkan indikator teknis yang disusun menteri/pimpinan lembaga.

Dalam tahun 2004 s/d 2008 perhitungan DAK per daerah lebih banyak ditentukan oleh kriteria umum dan kriteria khusus terutama dalam penentuan kelayakan daerah yang akan menerima DAK. Kriteria teknis lebih banyak digunakan untuk mengukur alokasi per daerah bersama-sama dengan kriteria umum dan kriteria khusus. Perkembangan pola perhitungan terjadi pada DAK Tahun 2009, dengan menggunakan secara bersama-sama ketiga kriteria tersebut, baik dalam menentukan kelayakan daerah penerima DAK, maupun besaran alokasinya Pola ini memungkinkan daerah yang tidak layak dari kriteria umum dan kriteria khusus mendapatkan DAK sepanjang indeks teknisnya cukup tinggi untuk dapat menjadi layak mendapatkan DAK pada bidang tertentu.

Selanjutnya pencapaian yang cukup penting dari pengelolaan DAK adalah:a. Menggunakan kebijakan penyaluran DAK Tahap I untuk mendorong percepatan penyelesaian

Perda tentang APBD. Strategi tersebut dituangkan dalam ketentuan bahwa bagi daerah yang belum menyampaikan Perda APBD kepada Departemen Keuangan/DJPK maka DAK Tahap I sebesar 30% belum dapat disalurkan.

b. Menggunakan kebijakan laporan penyerapan DAK untuk mendorong percepatan penyerapan dan pelaksanaan kegiatan fisik DAK. Bagi daerah yang cepat menyerap DAK Tahap I dengan menyampaikan laporan penyerapan hingga 90% maka Tahap II sebesar 45% akan disalurkan, demikian seterusnya sampai tahap akhir pernyaluran, yaitu sebesar 25% pada Tahap III.

c. Menggunakan kebijakan laporan pelaksanaan DAK dalam satu tahun (tahunan) untuk mendorong kelengkapan sistem informasi keuangan daerah (SIKD) di Departemen Keuangan/DJPK dari mulai alokasi, penyaluran, sampai realisasi penyerapan DAK per bidang.

Page 173: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1�1

www.depkeu.go.id

6.2.4. Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus)

6.2.4.1. Perkembangan Dana Otsus 2004-2009

Pemberian status otonomi khusus bagi Provinsi Papua merupakan implementasi dari berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagai amanat dari Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999–2004 dan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Kepada Provinsi Papua diberikan alokasi khusus setara dengan 2% dari plafon DAU Nasional selama 20 tahun untuk membiayai pendidikan dan kesehatan.

Selain itu juga diberikan dana tambahan dalam rangka otonomi Khusus untuk pendanaan pembangunan infrastruktur yang besaran setiap tahunnya ditetapkan antara Pemerintah dan DPR.

Dalam tahun 2002 s/d 2008 Dana Otsus disalurkan kepada Provinsi Papua,, selanjutnya mulai tahun 2009 dengan diakuinya Provinsi Papua Barat sebagai daerah otsus berdasarkan UU No 35 Tahun 2008 maka Dana Otsus Provinsi Papua dibagi dua antara Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan imbangan 70% dan 30%. Sementara itu Dana Tambahan Infrastruktur disalurkan hanya kepada Provinsi Papua dalam tahun 2005 s/d 2008, sedangkan mulai Tahun 2009 dibagi dengan Provinsi Papua Barat. Perkembangan besaran dana otsus dapat dilihat pada Grafik 6.2.

Grafik 6.2. Perkembangan Dana Otsus 2004-2009

Sumber: Departemen Keuangan

2004 2005 2006 2007 2008 2009

4,000.00

3,500.00

3,000.00

2,500.00

1,500.00

1,00.00

500.00

0.00

Otsus Papua Infras Papua Otsus Papua Barat Infras Papua Barat Otsus NAD

Perkembangan Dana Otsus selanjutnya adalah berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, mulai tahun 2008 untuk pertama kalinya disalurkan dana otsus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebesar 2% dari pagu DAU Nasional selama 15 tahun, selanjutnya mulai tahun ke-16 sampai ke-20 diberikan sebesar 1%.

Page 174: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

No. Nomenklatur 2004 2005 2006 2007 2008 2009

1 DP Murni

2 DP DAU

3 Dana Penyeimbang DAU

4 Dana Tunj Kependidikan

5 Dana Tambahan DAU

5 D P Ad Hoc

6 DP Infrastr Jalan dan lainnya

7 DP Infrastr Sar &Prasarana

8 DPDF dan PPD

Keterangan : Penggunaan nomenklatur pada tahun yang bersangkutan

Sumber : Departemen Keuangan

6.2.4.1. Kebijakan Dana Otsus 2004-2009

Besaran Dana Otsus telah dinyatakan secara jelas dalam undang-undang yaitu 2% dari DAU Nasional. Oleh karena itu kebijakan penetapan besaran DAU Nasional dalam setiap APBN akan secara langsung berdampak pada perubahan besaran Dana Otsus baik untuk Propinsi Papua, dan Papua Barat, maupun Provinsi NAD. Kebijakan yang dapat diambil secara tahunan adalah dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dana otsus, antara lain dengan mensyaratkan adanya rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri pada setiap tahap penyaluran, agar pemanfaatan dana otsus direncanakan dengan baik dan menghasilkan output bagi peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

6.2.5. Dana Penyesuaian (DP)

6.2.5.2. Perkembangan Dana Penyesuaian 2004-2009

DP dialokasikan untuk keperluan tertentu di luar Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus untuk jangka waktu tertentu berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR-RI sebagai satu kesatuan kebijakan Anggaran Transfer ke Daerah dalam UU tentang APBN suatu tahun. Dari tahun 2004 s/d 2009 dikenal beberapa dana penyesuaian seperti terlihat pada Tabel 6.5. Sedangkan perkembangan alokasi nya seperti terlihat pada Grafik 6.3

Pengalokasian DP dari tahun ke tahun umumnya pada awalnya tidak direncanakan oleh Pemerintah dalam RAPBN, oleh karena itu tidak dimuat dalam Nota Keuangan RAPBN yang bersangkurtan. Inisiatif pengalokasian DP muncul pada saat berlangsungvnya pembahasan RAPBN dalam hal masih tersedianya anggaran yang tidak dialokasikan dalam anggaran K/L. Indikasi dari konsidi tersebut terlihat pada Grafik 6.3 yang menunjukkan fluktuasi alokasi DP dengan pola yang tidak konsisten.

Tabel 6.6. Perkenbangan Dana Penyesuaian Tahun 2004 s/d 2009

Page 175: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1��

www.depkeu.go.id

Grafik 6.3. Perkembangan Alokasi Dana Penyesuaian 2004-2009 (milyar rupiah)

6.2.5.3. Kebijakan Dana Penyesuaian 2004-2009

Kebijakan masing-masing dana penyesuaian sebagai berikut:

1) Tahun 2004 : DP MurniDP pada tahun 2004 dialokasikan kepada daerah provinsi yang mengalami penurunan penerimaan DAU dibandingkan dengan tahun 2003. Alokasi dana ini dimaksudkan agar DAU suatu daerah tidak lebih kecil dari DAU Tahun 2003. Jumlah DP Murni yang dialokasikan pada tahun 2004 sebesar Rp 1.00 triliun untuk 11 daerah provinsi.

2) Tahun 2004 : DP Ad HocPada tahun anggaran 2004 disamping dialokasikan DP Murni, juga dialokasikan DP Adhoc yang diarahkan sebagai bantuan kepada daerah karena adanya kebijakan dari pemerintah untuk memberikan gaji bulan ke-13 kepada Pegawai Negeri Sipil. Mengingat DP Adhoc bersifat bantuan, pengalokasian dana ini tidak dimaksudkan untuk menutup seluruh kebutuhan belanja gaji PNSD dalam APBD.Dana penyesuaian ini dialokasikan kepada seluruh daerah provinsi/kabupaten/ kota yang besarnya proporsional dengan kebutuhan belanja gaji masing-masing daerah. Besarnya DP ad hoc secara total adalah Rp 4.204,300 miliar.

3) Tahun 2005 : DP MurniPelaksanaan DP pada tahun 2005 tujuannya sama dengan dana penyesuaian 2005 yaitu kepada daerah provinsi yang mengalami penurunan penerimaan DAU dibandingkan dengan tahun 2004. Jumlah DP murni yang dialokasikan pada tahun 2004 sebesar Rp 0,81 triliun untuk 9 daerah provinsi.

4) Tahun 2005 : DP Ad-hocPada tahun anggaran 2005 penggunaan DP adhoc diarahkan pada 2 (dua) hal, yaitu dalam rangka perbaikan kesejahteraan PNS daerah sebagai DP Adhoc I dan dalam rangka percepatan proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah sebagai DP Ad hoc II. Dalam realisasinya DP Ad hoc I digunakan untuk membayar gaji bulan ke 13 PNS Daerah, sedang DP Adhoc II digunakan untuk belanja modal bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, serta untuk prasarana pemerintahan bagi daerah-daerah otonom yang baru dibentuk.

Sumber: Departemen Keuangan

Dana Penyesuaian

2004 2005 2006 2007 2008 2009

16,000.00

14,000.00

12,000.00

10,000.00

8,000.00

6,000.00

4,000.00

2,000.00

-

5,212.735,467.30

563.86

5,547.466,939.04

14,882.01

Page 176: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

DP Adhoc I dialokasikan kepada seluruh daerah provinsi/kabupaten/kota yang besarnya proporsional dengan kebutuhan belanja gaji masing-masing daerah, sedangkan DP Ad hoc II hanya dialokasikan kepada beberapa daerah Kabupaten/Kota tertentu. Besarnya DP ad hoc secara total adalah Rp4.66 triliun yang terinci untuk DP Ad hoc I Rp 3.87 triliun dan untuk DP Adhoc II sebesar Rp 0,78 triliun.

5) Tahun 2006 : DP MurniPada tahun 2006 masih melanjutkan kebijakan DP Murni dengan tujuan sama dengan DP tahun-tahun sebelumnya yaitu kepada daerah provinsi yang mengalami penurunan penerimaan DAU dibandingkan dengan tahun 2005. DP Murni tahun 2006 dialokasikan sebesar Rp 0,30 triliun untuk 3 daerah provinsi.

6) Tahun 2007 : DP DAUTerdapat perubahan nomenklatur DP Murni menjadi DP DAU di tahun 2007 namun masih dengan tujuan yang sama dengan DP Murni, yang dialokasikan sebesar Rp 0,84 triliun untuk 3 daerah provinsi dan 5 daerah kab/kota.

7) Tahun 2007 : DP Infrastruktur jalan dan Lainnya (DPIL)DPIL dialokasikan kepada daerah tertentu yang memenuhi kriteria tertentu sebesar Rp3,56 triliun. Dana dimaksud digunakan untuk penyediaan sarana dan prasarana fisik infrastruktur jalan dan lainnya, meliputi : (a) Jalan dan Prasarana Fisik Lainnya, (b) Irigasi dan Pengairan, (c) Pendidikan, (d) Kesehatan, (e) Air Bersih dan Lingkungan Hidup, (f ) Pertanian, (g) Kelautan dan Perikanan.

8) Tahun 2007 : Dana Tunjangan KependidikanBerdasarkan Perpres No 108 Tahun 2007 tentang Tunjangan Kependidikan telah dialokasikan DP Tunjangan Kependidikan sebesar Rp1.14 triliun kepada provinsi, kabupaten/ kota, dengan tujuan untuk memberikan kenaikan tunjangan sebesar Rp 100.000,- per guru. Dana ditetapkan dengan PMK No. 173 Tahun 2007 pada 27 Desember 2007, sehingga penyaluran dilaksanakan sekaligus untuk 12 bulan kepada semua daerah penerima.

9) Tahun 2008 : Dana Penyimbang DAUDana Penyeimbang DAU dialokasikan kepada daerah yang mengalami penurunan alokasi DAU tahun 2008 sebesar 75% sampai dengan 100% dari DAU tahun anggaran 2007, sehingga total besaran alokasi DAU dan/ atau Dana Penyeimbang DAU menjadi sebesar 25% dari DAU Tahun 2007. Dana tersebut diterima oleh satu provinsi, 5 kabupaten sebesar Rp 0,24 triliun.

10) Tahun 2008 : DP Tunjangan KependidikanBerbeda dengan penyaluran Dana Tunjangan Kependidikan tahun 2007, Dana 2008 dimaksud disalurkan tiap bulannya melalui pemindahbukuan ke Rekening Kas Umum Daerah. DP ini dialokasikan sebesar Rp1.20 triliun kepada provinsi/kabupaten/ kota ditetapkan dengan PMK No. 175/2007.

11) Tahun 2009 : Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF dan PPD)Dana ini dialokasikan kepada 263 daerah sebesar Rp 6.96 triliun dengan tujuan untuk mendukung percepatan pembangunan daerah melalui penyediaan dan pengembangan bidang infrastruktur dan non infrastruktur serta sarana pendukung lainnya yang menjadi urusan daerah. Terdapat 27 kegiatan menjadi fokus pelaksanaan DPDF dan PPD, yang diserahkan kepada daerah penerima untuk memilih dengan menyesuaikan pada bidang alokasi yang diperolehnya. Bidang-bidang tersebut meliputi : (a) Jalan dan Jembatan, (b) Irigasi/ Normalisasi Sungai atau Pantai ,(c) Air Bersih, (d) Kesehatan, (e) Pendidikan, (f ) Pertanian/ Perkebunan, (g) Perhubungan/ Transportasi, (h) Perdagangan, (i) Prasarana Pemerintah Daerah, (j) Sarana dan Prasarana Pedesaan, (k) Kelautan dan Perikanan, dan (l) Bandara Perintis.

Page 177: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1��

www.depkeu.go.id

6.3. Pola Baru Penyaluran Anggaran Transfer Ke Daerah

6.3.1. Perubahan Pola Penyaluran Transfer ke Daerah Anggaran Transfer Ke Daerah menjadi semakin optimal dimanfaatkan oleh Daerah setelah dilaksanakan penyaluran dengan pola baru (new design) yang dilaksanakan sejak Januari 2008 berdasarkan PMK Nomor 04/PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer Ke Daerah. Pola ini berawal dari pemahaman bahwa pengertian Belanja berbeda dengan Transfer.

Terminologi Belanja Ke Daerah yang digunakan dalam Struktur APBN sampai dengan tahun 2007 bukan pengertian belanja yang sebenarnya. Terminologi Transfer dipahami lebih tepat karena yang dilaksanakan Pemerintah Pusat adalah memindahkan dana dari Kas Negara ke Kas Daerah dan belum ada outputnya. Sedangkan pencapaian output dilaksanakan oleh Daerah setelah membelanjakan dana yang masuk ke Kas Daerah.

Perubahan yang mendasar dari pola baru ini adalah: (1) perubahan pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran (PA/KPA) dari semula oleh daerah menjadi oleh Departemen Keuangan c.q. DJPK. (2) perubahan institusi penyalur anggaran yang semula Bendahara Umum Negara di Daerah yaitu atas Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) menjadi Bendahara Umum Negara di Pusat yaitu Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB). (3) memposisikan daerah sebagai penerima dana yang tidak harus mengajukan permintaan penyaluran dana kepada Pemerintah Pusat melainkan penyaluran dana dilakukan setelah daerah memenuhi kewajibannya sebagai daerah otonom, antara lain menyusun Perda APBD dan menyusun laporan keuangan penyerapan dana. 6.3.2. Efisiensi Yang Dicapai

Proses tersebut diatas menunjukkan new design (pola baru) dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan pemerintahan daerah yang kemudian disempurnakan dengan PMK No 21/PMK.07/2009. Pengaturan dalam PMK tersebut mengindikasikan efisiensi yang cukup signifikan, meliputi (1) efisiensi dokumen, (2) efisiensi birokrasi, (3) efisiensi waktu dan tenaga, (4) efisiensi sistem informasi dan (5) efiseinsi pelaporan (lihat Box 6.2)

6.3.3. Dampak Pola Baru Penyaluran Transfer.

Sampai dengan akhir tahun 2007, dana transfer disalurkan ke daerah pada beberapa nomor rekening bank dengan nama rekening yang sangat bervariasi yang menyulitkan pelaksanaan pemantauan ketersediaan dana di daerah. Pola baru ini mendukung program Departemen Keuangan dalam mewujudkan Treasury Singgle Account yang juga akan diterapkan di daerah. DAU bulan Januari 2008 yang telah secara sukses disalurkan langsung dari Rekening BUN di BI ke Rekening KUD di daerah, telah dilanjutkan setiap bulan yang diikuti transfer lainnya melalui nomor dan nama rekening yang sama dengan nama dan nomor rekening tempat menampung DAU. Dampak dari pola ini, daerah tidak perlu memelihara beberapa rekening di bank, melainkan hanya satu rekening untuk menampung pendapatan yang berasal dari transfer pemerintah pusat. Dalam pola baru transfer juga diatur bahwa DAK disalurkan dalam empat tahap yaitu 30%, 30, 30% dan 10%, paling cepat mulai bulan Februari. Mulai tahun 2009 penyaluran DAK disederhanakan menjadi 3 kali, yaitu 30%, 45%, dan 25%.

Page 178: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Kotak 6.2. Efisiensi dari pelaksanaan Pola Baru Penyaluran Transfer ke Daerah

a. Efisiensi-dokumen Sampai dengan 2007 untuk menyusun melaksanakan penyaluran dana yang bersumber dari belanja ke daerah dalam APBN dibutuhkan masing-masing satu DIPA untuk 467 daerah selaku KPA yang digunakan sebagai dasar pembayaran di 178 KPPN. Dokumen anggaran tersebut meliputi DIPA, SPM beserta dokumen pendukungnya, dan SP2D. Dengan transfer new design tidak kurang dari 88.853 unit dokumen per tahun yang tidak perlu dicetak dan dikirimkan lagi, karena hanya ada satu DIPA, dengan beberapa SPM dan SP2D di DJPK.

b. Efisiensi birokrasi Proses birokrasi yang dapat dihemat dari pelaksanaan new design tersebut adalah berkurangnya secara signifikat frekuensi pertemuan antara PNS daerah dengan PNS pusat dalam rangka penyusunan dokumen anggaran berupa rencana definitif DAK (RD-DAK) maupun dalam pengajuan usulan revisi RD-DAK, konsultasi pengajuan SPM dan penyusunan laporan DAK. Tidak kurang dari 13.000 pertemuan tidak perlu dilakukan lagi.

c. Efisiensi dana Sampai dengan akhir 2007, penyaluran DAU setiap awal bulan melalui BI tidak langsung ke rekening KUD, melainkan melalui bank operasional (BO) di daerah pada H-5. Sedangkan mulai Januari 2008 penyaluran DAU yang nilainya tidak kurang dari Rp 14 triliun sudah dilaksanakan pada tanggal 2 Januari 2008 dengan pemindahbukuan secara langsung dari rekening BUN ke rekening KUD, sehingga DAU tidak perlu overnight di BO. Efisiensi lainnya dapat dihitung dari biaya perjalanan untuk penyusunan RD-DAK dan revisi RD-DAK dari daerah ke ibu kota provinsi, pengajuan SPM dari daerah ke KPPN, rekonsiliasi data DBH-SDA dari daerah ke Jakarta yang semula dilaksanakan empat kali menjadi dua kali dalam setahun. Demikian juga biaya untuk penyusunan dokumen dalam kaitannya dengan efisensi dokumen.

d. Efisiensi tenaga dan waktu Tenaga yang semula harus disediakan di 451 daerah, 33 Kantor Wilayah DJPB, dan 178 KPPN untuk melakukan pembahasan RD-DAK, memproduksi DIPA, menyusun SPM, dan menerbitkan SP2D dalam pelaksanaan pola baru tidak diperlukan lagi karena DIPA, SPM, dan SP2D cukup diterbitkan di DJPK. Efisiensi tenaga juga terlihat dari tidak dilaksanakan rekonsiliasi data penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor SDA pada penyaluran DBH-SDA triwulan pertama dan kedua yang semula setiap penyaluran DBH SDA harus berdasarkan pada hasil rekonsiliasi PNBP-SDA. Sedangkan efisiensi waktu akan terlihat dari kecepatan penyediaan dokumen anggaran yang semula harus memproduksi dokumen yang sangat banyak dibanding dengan dokumen anggaran yang sangat sedikit.

e. Efisiensi pelaporan Pelaporan realisasi Belanja ke Daerah sampai dengan 2007 hampir mustahil dapat dilaksanakan secara benar menurut kaidah laporan dan akuntansi pemerintah, karena tidak tersedianya dokumen sumber untuk menyusun laporan. Keberadaan dokumen sumber yang berupa SPM tersebar 434 kabupaten/kota dan 33 provinsi, sedangkan SP2D tersebar di 178 KPPN di seluruh Indonesia. Mengharapkan datangnya laporan dari 451 entitas pelaporan tentu bukan hal yang sepele, karena taruhannya laporan harus tepat waktu dan lengkap dokumen sumbernya. Pola baru transfer menjamin tersedianya dokumen sumber tersebut, yaitu di DJPK dan DJPBN, sehingga penyusunan laporan dapat dilaksanakan sesuai kaidah akuntansi pemerintah.

f. Efisiensi sistem informasi Sistem informasi keuangan daerah yang ada di DJPK sampai dengan 2007 terbatas hanya pada data alokasi belanja ke daerah. Data realisasi hampir tidak tersedia kecuali data realisasi dari DJPB yang berasal dari 178 KPPN yang belum direkonsiliasi dengan dokumen sumbernya. Pola baru transfer ke daerah menjamin tersedianya data realisasi transfer yang didukung dengan dokumen sumber yang lengkap sebagai bahan pelaporan. Efisiensi dalam sistem informasi akan terwujud juga dari hasil analisis yang dapat dilakukan dengan data yang kurang valid dibandingkan dengan data yang lebih valid.

Page 179: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1��

www.depkeu.go.id

No. Jenis Transfer APBN APBN-P Realisasi %

1 DBH Pajak 36.33 35.93 37.68 105

2 DBH SDA 29.74 41.80 40.74 97

3 DAU 179.51 179.51 179.51 100

4 DAK 21.20 21.20 20.79 98

5 OTSUS 7.51 7.51 7.51 100

6 Penyesuaian 6.94 6.47 6.21 96

Jumlah 281.23 292.42 292.43 100

Sumber : Departemen Keuangan

Penentuan bulan Februari ini dalam kaitannya dengan ketentuan yang mengatur penyelesaian Perda APBD paling lambat Akhir Januari. Selanjutnya diatur bahwa tidak ada penyaluran DAK tahap pertama kecuali daerah sudah menetapkan peraturan daerah (Perda) tentang APBD. Ketentuan ini diharapkan akan mendorong daerah untuk secepatnya menyampaikan Perda APBD ke Departemen Keuangan. Penyaluran DAK tahap kedua sampai dengan keempat disalurkan apabila penyerapan DAK menunjukkan performance yang baik, yaitu apabila dana DAK yang sudah ditransfer ke KUD sebagai pendapatan daerah telah diserap lebih dari 90%. Kinerja penyerapan tersebut ditunjukkan dalam Laporan Pelaksanaan DAK yang dikirimkan ke DJPK Departemen Keuangan setiap saat sisa dana DAK di KUD mencapai angka lebih kecil dari 10%. Pengaturan tersebut akan mendorong daerah lebih cepat melaksanakan kegiatan DAK hingga semua dana DAK terserap. Percepatan penyelesaian perda APBD akan berdampak pada pelaksanaan kegiatan pembangunan di daerah lebih awal.

Selanjutnya dampak dari pola baru penyaluran transfer ke daerah terhadap realisasi penyaluran transfer ke kas daerah dapat dilihat pada Tabel 6.7.

Tabel 6.7. Realisasi Penyaluran Transfer ke Daerah tahun 2008 (dalam trilun rupiah)

Lebih lanjut dampak dari pola baru penyaluran transfer ke daerah terlihat dari perkembangan penyelesaian dokumen perda APBD dari tahun ke tahun ditunjukkan pada Grafik 6.4.

Grafik tersebut menggambarkan waktu penyelesaian dan penyampaian dokumen perda APBD secara bertahap menjadi lebih cepat. Pada Tahun 2006 perda terakhir diserahkan pada bulan September, tahun 2007 maju menjadi bulan Juli, selanjutnya pada 2008 dan 2009 pada bulan Juni. Penyebab keterlambatan pada umumnya adalah tidak harmonisnya hubungan antara lembaga ekskutif daerah dengan lembaga legislatif daerah.

Page 180: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Grafik 6.4. Perkembangan Penyelesaian Perda APBD Tahun 2006 s/d/ 2009

Kotak 6.3. Laporan Realisasi Anggaran Transfer ke Daerah

Sampai dengan 2007, pendapat BPK terhadap LRA Transfer ke Daerah adalah disclaimer, karena dalam setiap laporan PA/KPA tidak dapat menunjukkan dokumen sumber secara lengkap (DIPA, SPM, dan SP2D) atas realisasi anggaran Transfer ke Daerah. DJPK ditetapkan sebagai penyusun LRA transfer pada akhir 2007 sehingga di samping waktu yang sangat sempit untuk menyediakan dokumen sumber berupa SPM yang tersebar di 484 daerah dan SP2D yang tersebar di 178 KPPN, juga belum ada mekanisme yang menjamin tersedianya dokumen tersebut. Oleh karena itu, pendapat disclaimer didapat atas LRA transfer DA 070 dan BA 071.

Dengan diberlakukannya pola baru mekanisme penyaluran Transfer ke Daerah berdasarkan PMK Nomor 04/PMK.07/2008 maka dokumen sumber (DIPA, SPM, dan SP2D) atas pengelolaan BA 070, yaitu DAU, DBH PBB Pemerataan, DBH Biaya Pungut PBB, DBH SDA, DAK, dan atas pengelolaan BA 071, yaitu Dana Otsus dan Penyesuaian telah dapat disediakan. Dokumen sumber yang masih belum dapat secara lengkap disediakan adalah untuk DBH PBB Bagian Daerah yang masih menyisakan perbedaan angka sebesar Rp 4,36 miliar dari Rp18,45 triliun (0,023%).

Upaya yang telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh tersebut antara lain pola baru penyaluran, pembentukan 2 subdit transfer dan 1 subdit akuntansi dan pelaporan, serta penyusunan laporan secara cermat. Upaya tersebut telah membuahkan hasil dengan pendapat BPK Wajar dengan pengecualian (WDP) untuk BA 070, dan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk BA 071.

6.3.4. Laporan Realisasi Anggaran Transfer Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 bahwa kewajiban PA/KPA adalah menyususn Laporan Realisasai Anggaran (LRA) sebagai bagian dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Sejak tahun 2007 DJPK ditugasi untuk menyusun LRA Tranfer untuk Bagian Anggaran (BA) 070 (Dana Perimbangan) dan BA 071 (Dana Otsus dan Penyesuaian). PMK No 131/PMK.01/2006 yang mengatur susunan organisasi unit eselon I Departemen Keuangan belum menugasan penyusunan laporan ini kepada DJPK. Untuk melaksanakan tugas tersebut maka Dirjen Perimbangan Keuangan menugaskan kepada Direktur Dana Perimbangan yang selanjutnya dilaksanakan oleh Sub Direktorat DBH Pajak untuk menyusun Laporan Realisasi Anggaran Transfer Ke Daerah Tahun 2007. Dengan ditetapkannya PMK No 100/PMK.01/2008 yang antara lain membentuk Sub Direktorat Akuntansi dan Pelaporan di Direktorat EPIKD untuk melaksanakan penyusunan laporan.

Des tahun

sebelumnyaJan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep

200

175

150

125

100

75

50

25

0

Sumber: Departemen Keuangan

2006 2007 2008 2009

Page 181: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1�9

www.depkeu.go.id

6.4. Pencapaian Pengelolaan Anggaran Transfer Ke Daerah

Pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam rangka otonomi daerah menunjukkan setapak lagi kemajuan mulai tahun 2008. Kemajuan tersebut diawali dengan perubahan nomenklatur Belanja Ke Daerah dalam I-Account APBN 2008 menjadi Transfer Ke Daerah. Sedangkan latar belakang perubahan tersebut antara lain adalah untuk mewujudkan ketentuan dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2003 yang mengamanatkan bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan dikuasakan kepada kementerian/lembaga, sedangkan pengelolaan keuangan daerah oleh Presiden diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah.

Implikasi dari ketentuan tersebut adalah bahwa dana APBN yang diserahkan kepada daerah bukan sebagai “belanja” melainkan sebagai “transfer”, sedangkan pembelanjaan dan pertanggungjawaban dari dana transfer tersebut dilakukan di daerah. Pencapaian dalam pengelolaan anggaran Transfer Ke Daerah meliputi hal-hal sebagai berikut:

6.4.1. Perbaikan vertical fiscal imbalance dan horizontal fiscal imbalance :

Pelaksanaan Transfer Ke Daerah telah diupayakan untuk dapat memperbaiki permasalahan vertical fiscal imbalance dan vertical fiscal imbalance, sebagai berikut:1) Perbaikan vertical fiscal imbalance, meliputi: a) pembagian DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat dan Provinsi Aceh dengan imbangan 55% untuk minyak bumi dan 70% untuk gas bumi; b) pemberian DBH-CHT sebesar 2% dari penerimaan CHT; c) tambahan porsi 0,5% dari DBH minyak bumi dan gas bumi untuk menambang anggaran pendidikan dasar di daerah. d) melaksanakan secara konsisten pengalokasian dana otonomi khusus bagi Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat.2) Perbaikan horizontal fiscal imbalance dengan : a) mengupayakan pemerataan pada alokasi DAU dengan indikator Williamson index yang terbaik, b) memerlukan secara konsisten prinsip penggunaan formula murni dengan meniadakan prinsip Non Hold Harmless; c) pemberian DAU kepada daerah pemekaran baik secara proporsional (fiskal netral) dengan daerah induknya untuk tahun pertama, maupun secara mandiri (berdampak fiskal) untuk tahun berikutnya; d) mengalokasikan DAK sesuai dengan kemampuan keuangan, kondisi wilayah, dan infrastruktur daerah.

6.4.2. Penerapan Reward and Punishment System

Dari aspek penyaluran Transfer Ke Daerah , pola baru penyaluran disamping menunjukkan efisiensi yang cukup tinggi juga terkandung strategi untuk mendorong percepatan pengelolaan keuangan daerah melalui sistem reward and punishment:1) Reward bagi penyaluran DAK Tahap I bagi daerah yang telah menyampaikan Perda APBN2) Reward berupa Piagam Penghargaan dan Plakat bagi daerah yang menyelesaikan Perda APBD

3 tahun berturut-turut (2006, 2007, dan 2008) tidak terlambat yang telah diberikan kepada 2 provinsi dan 12 kabupaten Kota di Denpasar Bali pada tanggal 4 Mei 2009. Nama-nama daerah tersebut sebagimana pada Tabel 6.8

Page 182: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Tabel 6.8. Daerah yang mendapatkan Reward tanggal 4 Mei 2009

No. Daerah No Daerah

1 Prov. Kalimantan Tengah 7 Kab Minahasa

2 Prov. Sulawesi Utara 8 Kab. Sindenreng Rappang

3 Kab. Kepulauan Sula 9 Kota Palu

4 Kab. Purbalingga 10 Kab. Sintang

5 Kota. Binjai 11 Kab. Luwu

6 Kab. Cilacap 12 Kota Palopo

Sumber : Departemen Keuangan

No. Daerah 2008 2009

1 Prov. NAD 25% Mei 200825% Juni 2008 -

2 Kota Pemantang Siantar, Sumut 25% Mei 2008 -

3 Kab. Aceh Jaya, NAD 25% Mei 2008 -

4 Kab. Nias, Sumut - 25% Mei 200825% Juni 2008

5 Kab. Blora, Jateng - 25% Mei 200825% Juni 2008

6 Kab. Merauke, Papua - 25% Mei 200825% Juni 2008

Sumber : Departemen Keuangan

3) Punishment berupa tidak disalurkannya DAK Tahap I sebelum Perda APBD diselesaikan.4) Punishment berupa penundaan 25% DAU mulai bulan Mei kepada daerah yang sampai

dengan akhir April belum menyelesaikan Perda APBD dan dilanjutkan bulan berikutnya sampai Perda APBD diselesaikan. Daerah-daerah tersebut sebagaimana terlihat pada Tabel 6.9.

Tabel 6.9. Nama Daerah yang terkena penundanaan DAU 25% dari penyaluran per bulan

6.4.3. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas alokasi Transfer

Pencapaian ini ditunjukkan dengan upaya mengoptimalkan cara-cara penyampaian informasi Transfer Ke Daerah melalui :1) Pemberitahuan tertulis kepada semua kepala daerah a. Alokasi transfer per jenis per daerah b. Data penyaluran transfer per jenis per daerah per bulan2) Pemuatan dalam website DJPK, meliputi a. Alokasi transfer per jenis per daerah b. Data penyaluran transfer per jenis per daerah per bulan3) Cara perhitungan setiap komponen Tranfer Ke Daerah meskipun masih dalam tahap by request.

Metode yang dipakai adalah pemaparan secara langsung/presentasi. Khusus untuk DBH SDA dilakukan juga pada saat rekonsiliasi realisasi PNBP/DBH SDA antara institusi pengelola DBH SDA dengan daerah penghasil.

Page 183: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1�1

www.depkeu.go.id

4) Memberikan data Transfer Ke Daerah berdasarkan permintaan dari aparat fungsional pengawas yang akan melakukan audit berupa data alokasi dan realisasi, antara lain kepada BPK dan BPKP.5) Menyampaikan/menjelaskan kepada unit pengendali teknis LRA (dalam hal ini Itjen Departemen

Keuangan) dan instansi pengawasan eksternal Pemerintah (dalam hal ini BPK) mengenai kebijakan-kebijakan alokasi transfer sebelum melakukan audit terhadap LRA BA 070 – Dana Perimbangan dan BA 071 – Dana Otsus dan Penyesuaian.

6.4.4. Penggunaan Satu Rekening Bank untuk menampung Dana Transfer Pola baru penyaluran transfer telah berhasil ditujukan kepada hanya satu nomor rekening bank yang ditunjuk kepala daerah untuk menampung semua dana transfer. Nomor rekening tersebut diharapkan menjadi nomor rekening Kas Umum Daerah dimana semua dana daerah tersimpan.Dampak dari pencapaian ini antara lain :1) Sebagai realisasi dari kebijakan treasury single account.2) Mempermudah inventarisasi dana-dana transfer oleh Permda sendiri maupun oleh aparat pengawas fungsional.3) Mempercepat tersedianya data realisasi penyaluran transfer per daerah, per jenis transfer pada

waktu tertentu bukan hanya untuk penyusunan LRA maupun untuk keperluan sistem informasi keuangan daerah (SIKD).

6.4.5. Pencapaian lainnya

Pencapaian dari pelaksanaan kebijakan transfer lainnya berupa meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah (public service provision gap), meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah, meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional, meningkatkan sinergi perencanaan pembangunan pusat dan daerah, dan mendukung kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dalam kebijakan ekonomi makro, masih belum secara jelas dapat digambarkan karena kondisi-kondisi tersebut tidak semata-mata dapat dicapai oleh Departemen Keuangan/DJPK sendiri, melainkan harus ada konstribusi dari institusi lain di luar Departemen Keuangan, termasuk oleh daerah-daerah penerima transfer.

6.5. Pembiayaan Daerah

Dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, berdasarkan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara Pemerintah mengalokasikan dana perimbangan, dan dapat memberikan pinjaman, dan hibah kepada pemerintah daerah atau sebaliknya setelah mendapat persetujuan DPR.

Pinjaman dan hibah yang diberikan kepada Pemda tersebut dikelola melalui mekanisme APBN dan APBD. Hal dimaksud diamanatkan dalam UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Lebih lanjut UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengatur bahwa hibah kepada daerah dilakukan melalui Pemerintah c.q. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) dan dilakukan melalui Bagian Anggaran (BA) BUN atau BA Pembiayaan dan Perhitungan. Sebagai wujud legalitas pemberian pinjaman dan hibah, kepada pemerintah daerah harus dilakukan melalui naskah perjanjian antara Menteri Keuangan atau Kuasanya dengan Kepala Daerah.

Page 184: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

6.5.1. Hibah Daerah

Beberapa upaya yang telah dilakukan terhadap Hibah Daerah antara lain:1) Melakukan pendataan hibah kepada Pemda yang bersumber dari hibah luar negeri dan hibah dari Pemda kepada Pemerintah untuk mengembangkan database yang memadai tentang hibah daerah.2) Melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan pemberian hibah selama ini termasuk prosedur dan mekanisme mulai dari perencanaan sampai dengan pertanggungjawabannya.3) Melakukan analisis terhadap kapasitas keuangan daerah dan menerbitkan hasilnya dalam bentuk PMK tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah.4) Menerbitkan PMK Nomor 168/PMK.07/2008 tentang Hibah Daerah yang mengatur hal-hal teknis secara umum di tingkat operasional mengenai hibah kepada Pemda dan hibah dari Pemda kepada Pemerintah.5) Menerbitkan PMK Nomor 169 /PMK.07/2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah kepada Pemerintah Daerah yang mengatur mengenai tatacara/prosedur penyaluran hibah berupa uang dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.6) Menerbitkan Naskah Perjanjian Penerusan Hibah No. NPPH-01/PK/2009 tanggal 25 Maret 2009 untuk Kegiatan Mass Rapid Transit DKI Jakarta (Lihat Box 6.6)

6.5.2. Pinjaman Daerah

Pembinaan terhadap Pinjaman Daerah dilaksanakan meliputi: (1) obligasi daerah; (2) defisit APBD (3) sanksi atas tunggakan; dan restrukturisasi pinjaman daerah.

1. Obligasi DaerahPemerintah telah membuka peluang bagi Pemda untuk menerbitkan Obligasi Daerah yang digunakan untuk mendanai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Ketentuan teknis penerbitan obligasi daerah diatur dalam PMK Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan, Pertanggungjawaban dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah, beserta beberapa Peraturan Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan yang berkaitan dengan penawaran umum Obligasi Daerah. Namun demikian, sampai dengan saat ini belum ada Pemda yang telah menerbitkan obligasi daerah karena terkendala oleh kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Salah satu syarat penerbitan Obligasi Daerah di pasar modal adalah LKPD harus mendapat opini wajar tanpa pengecualian dari auditor independen.

2. Batas Maksimal Defisit APBDKebijakan mengenai batas maksimal defisit APBD dan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap tahunnya. Dalam ketentuan tersebut pemda dapat mengajukan permohonan pelampauan batas maksimum defisit APBD yang akan didanai dari pinjamandaerah.

Persetujuan pelampauan batas maksimum defisit diberikan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Menteri Keuangan telah memberikan persetujuan terhadap permohonan dari Provinsi Bengkulu, Kabupaten Muko-muko, Kabupaten Badung, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Grobogan.

Page 185: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1��

www.depkeu.go.id

Kotak 6.4. Mass Rapid Transit (MRT) DKI Jakarta

MRT Project mulai direncanakan sejak tahun 2005 sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebagai salah satu kegiatan yang diprioritaskan. Hal tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan penandatanganan Minutes of Discussion (MoD) antara Pemerintah dengan Japan Bank for International Cooperation/JBIC (sekarang Japan International Cooperation Agency/JICA) pada tahun yang sama. Pada tahun 2006, Pemerintah menandatangani Memorandum on Engineering Services (MoES) dan Loan Agreement No. IP-536: Engineering Services to Jakarta Mass Rapid Transit System Project. Sebagian pinjaman direncanakan akan diterushibahkan kepada Pemprov. DKI Jakarta. Namun demikian, karena amanat tersebut tidak spesifik dicantumkan dalam loan agreement, diterbitkan amandemen atas loan agreement tersebut untuk menegaskan amanat penerushibahan pada 2008.

Sesuai peraturan perundang-undangan, hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah merupakan bagian dari hubungan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah. Dalam hal hibah berupa uang, penyalurannya dilakukan dengan transfer dari Rekening Kas Umum Negara/RKUN (mekanisme APBN) ke Rekening Kas Umum Daerah/RKUD (mekanisme APBD). Penerushibahan pinjaman dalam rangka MRT Project tersebut sempat tertunda setelah terbitnya amandemen perjanjian pinjaman karena belum siapnya untuk melakukan penerushibahan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan belum adanya pemisahan yang jelas antara mekanisme APBN dan mekanisme APBD.

Dengan diterbitkannya PMK Nomor 168/PMK.07/2008 tentang Hibah Daerah dan PMK Nomor 169/PMK.07/2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah kepada Pemerintah Daerah, penerushibahan kepada Pemprov. DKI Jakarta dalam rangka MRT Project dilakukan dengan penandatanganan Naskah Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) pada tanggal 25 Maret 2009 antara Dirjen Perimbangan Keuangan selaku KPA Hibah Daerah dengan Gubernur DKI Jakarta.

3. Sanksi bagi daerah yang memiliki tunggakan atas pinjaman Dalam rangka meningkatkan kinerja pinjaman daerah kepada Pemerintah, telah ditetapkan PMK Nomor 129/PMK.07/2008 mengenai sanksi pemotongan DAU dan/atau DBH bagi Pemda yang memiliki tunggakan atas pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat. Sanksi pemotongan DAU dan/atau DBH dikenakan pada (i) pinjaman daerah yang dalam naskah perjanjian pinjaman telah mencantumkan ketentuan mengenai sanksi pemotongan DAU dan/atau DBH, atau (ii) pinjaman daerah yang dalam naskah perubahan perjanjian pinjaman mencantumkan ketentuan mengenai sanksi pemotongan DAU dan/atau DBH.

4. Restrukturisasi Pinjaman Daerah kepada PemerintahDalam rangka restrukturisasi pinjaman daerah kepada Pemerintah, DJPK memberikan dukungan teknis kepada DJPB. Penyelesaian piutang tersebut diatur dalam PMK Nomor 153/PMK.05/2008 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi, dan Rekening Pembangunan Daerah pada Pemerintah Daerah.

Page 186: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

6.6. Peningkatan Kualitas Penglolaan Keuangan Daerah

Peran Departemen Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dalam pelaksanaan Desentralisasi Fiskal dapat dikelompokkan dalam 2 hal, yaitu Perumusan kebijakan dan alokasi anggaran Transfer Ke Daerah yang pelaksanaannya diwakili oleh Direktorat Dana Perimbangan dan Direktorat Pembiayaan dan Kapasitas Daerah. Peran ini terlihat dalam Pengelolaan Transfer Ke Daerah dan Pembiayaan Daerah.1. Pengelolaan keuangan daerah yang pelaksanaannya terbatas pada kebijakan untuk mendukung

peningkatan kualitas pengelolaan keuangan daerah yang diwakili oleh Direktorat Pajak dan Retribusi daerah, Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah, dan Direktorat Pembiayaan dan Kapasitas Daerah. Peran ini terlihat dalam Pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Sistem Informasi Keuangan Daerah.

6.6.1. Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD)

Penyelenggaraan SIKD telah diatur dalam UU No 33 Tahun 2004 dan diatur lebih lanjut dalam PP No.56 Tahun 2005 tentang SIKD dan aturan pelaksanaannya diatur oleh PMK No 46 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah.

SIKD adalah suatu sistem pendokumentasian, pengadministrasian, serta pengolahan data keuangan daerah dan data lainnya menjadi informasi yang disajikan ke masyarakat sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah daerah.

Sistem ini diselenggarakan oleh masing-masing pemerintahan daerah yang dikenal dengan nama Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD), sedangkan SIKD oleh pemerintah pusat disebut dengan SIKD Nasional.

6.6.1.1. Fungsi dan Tujuan SIKD

Bagi Pemerintah Pusat SIKD mempunyai fungsi sebagai berikut:1. penyusunan standar Informasi Keuangan Daerah; 2. penyajian Informasi Keuangan Daerah kepada masyarakat ; 3. penyiapan rumusan kebijakan teknis penyajian Informasi; 4. penyiapan rumusan kebijakan teknis di bidang teknologi pengembangan SIKD;5. pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan SIKD;6. pembakuan SIKD yang meliputi prosedur, pengkodean, peralatan, aplikasi, dan pertukaran informasi; dan7. integrasi jaringan komunikasi data dan pertukaran informasi antara instansi pemerintah

Sedangkan tujuan dari penyelenggaraan SIKD adalah:1) membantu Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional;2) membantu dalam penyajian informasi keuangan daerah secara nasional;3) bahan kebijakan keuangan daerah, seperti alokasi dana perimbangan, pinjaman daerah, pengendalian defisit anggaran; dan4) alat untuk melakukan pemantauan, pengendalian, dan evaluasi pendanaan desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan, pinjaman daerah, dan defisit anggaran daerah.

Fungsi SIKD bagi Pemerintah Daerah:1) penyajian informasi anggaran pelaksanaan anggaran dan pelaporan keuangan daerah yang dihasilkan oleh SPIKD;2) penyajian Informasi Keuangan Daerah melalui situs resmi Pemerintah Daerah; 3) penyediaan Informasi Keuangan Daerah dalam rangka mendukung SIKD Nasional.

Page 187: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1��

www.depkeu.go.id

Pemerintah Daerah perlu menyelenggarakan SIKD dengan tujuan: 1) membantu kepala daerah dalam menyusun anggaran daerah dan laporan pengelolaan keuangan daerah;2) membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan keuangan daerah ;3) membantu kepala daerah dan Instansi terkait, lainnya dalam melakukan evaluasi kinerja keuangan daerah; 4) membantu menyediakan kebutuhan statistik keuangan daerah;5) menyajikan Informasi Keuangan Daerah secara terbuka kepada masyarakat; 6) mendukung penyediaan Informasi Keuangan Daerah yang dibutuhkan dalam SIKD secara

Penyelengaraan SIKD secara terpadu diharapkan dapat menghasilkan data yang berkualitas, yaitu relevan, akurat, tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dapat membantu pengambilan kebijakan di bidang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dengan baik dan tepat sasaran. 6.6.1.2. Jenis Informasi dan Batas Waktu Penyampaian

Bentuk dan format laporan yang disampaikan daerah harus berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagaimana diatur dalam PP No. 56 Tahun 2005, jenis Informasi Keuangan Daerah yang wajib disampaikan mencakup:1. APBD dan realisasi APBD Provinsi, Kabupaten, dan Kota;2. Neraca daerah;3. Laporan arus kas;4. Catatan atas laporan keuangan daerah;5. Laporan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan;6. Laporan Keuangan Perusahaan Daerah; dan7. Data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah.

Batas waktu penyampaian Informasi Keuangan Daerah sebagai berikut:(1) APBD setiap tahun anggaran paling lambat tanggal 31 Januari tahun anggaran yang berkenaan; (2) Perubahan APBD paling lambat disampaikan 30 hari setelah ditetapkannya Perubahan APBD tahun berkenaan;(3) Laporan realisasi APBD per semester paling lambat 30 hari setelah berakhirnya semester yang bersangkutan;(4) Laporan realisasi APBD paling lambat tanggal 31 Agustus tahun berikutnya;(5) Neraca daerah, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan daerah paling lambat tanggal 31 Agustus tahun anggaran berikutnya;(6) Informasi mengenai Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan, laporan keuangan Perusahaan Daerah paling lambat tanggal 31 Agustus tahun anggaran berikutnya;(7) Data yang berkaitan dengan perhitungan Dana Perimbangan seperti data pegawai dan data lainnya disampaikan paling lambat sesuai dengan Surat Permintaan Menteri Keuangan Cq. Dirjen Perimbangan Keuangan.

6.6.1.3. Sanksi Keterlambatan Penyampaian Informasi

APBD sebagai salah satu jenis informasi keuangan daerah mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam mendorong kegiatan ekonomi di masyarakat. maka keterlambatan penetapan APBD akan menyebabkan terlambatnya penyerapan dana anggaran di daerah sehingga dapat menghambat jalannya pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah mendorong pemerintah daerah agar dapat menetapkan APBD secara tepat waktu dan segera menyampaikan APBD tersebut kepada Departemen Keuangan.

Page 188: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Sanksi atas keterlambatan Perda APBD dikaitkan dengan kebijakan penyaluran dana Transfer Ke Daerah khususnya DAU dan DAK sebagaimana dimuat dalam PMK No 21 Tahun 2009. Selanjutnya mengingat pentingnya peran data dan informasi mengenai keuangan daerah, maka dalam PMK Nomor 46 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah telah diatur mengenai sanksi atas keterlambatan penyampaian data dan Informasi dimaksud.

6.6.1.4. Website SIKD

Untuk mengoptimalkan SIKD Departemen Keuangan/DJPK menyajikan informasi kepada publik dengan menyelenggarakan publikasi informasi secara online melalui website http://www.djpk.depkeu.go.id. Dengan adanya website yang terus menerus dikembangkan baik tampilan maupun content-nya, diharapkan terdapat kecepatan penyampaian informasi kepada publik. Ada beberapa output yang dapat diakses publik melalui website ini, yaitu antara lain:1) Informasi tentang perimbangan keuangan dan desentralisasi fiscal;2) Referensi peraturan terbaru terkait dengan kebijakan di bidang perimbangan keuangan;3) Informasi tentang jumlah transfer (DBH, DAU, DAK, Dana Otsus DP)4) Informasi tentang Perda dan Rancangan Perda (Raperda);5) Informasi tentang data keuangan daerah (APBD)

6.6.1.5. Mobile Fiskal Daerah (MoFisda)

Untuk menunjang sistem monitoring dan evaluasi pendanaan daerah telah dibangun juga Web Based Executive Dashboard yang terkoneksi secara online ke database keuangan daerah yang disebut dengan Modul Fiskal Daerah dengan singkatan MoFisda. (Lihat Box 6.4) Modul tersebut merupakan sistem aplikasi berbasis web yang dapat diakses oleh pimpinan dan pejabat lainnya di Departemen Keuangan dimana saja dengan menggunakan teknologi jaringan internet.

Kotak 6.5. Mobile Fiskal Daerah (Mofisda)

Mobile Fiskal Daerah (moFisda) merupakan Web Based Executive3 Dashboard yang bertujuan untuk memberikan informasi peta fiskal daerah secara nasional dengan real time dari pusat database keuangan daerah yang digunakan pimpinan dalam proses pengambilan keputusan (executive information system).

Dalam pengembangan moFisda dititikberatkan pada visualisasi informasi secara sederhana dan informatif, yaitu meliputi data hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Transfer ke Daerah, Pinjaman dan Hibah, Keuangan Daerah, Belanja Pusat di Daerah dan Data Dasar Perhitungan DAU. Selain itu, moFisda juga menyajikan indikator-indikator ekonomi yang disajikan dalam bentuk peta, yaitu Peta Kapasitas Fiskal, Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Peta Tingkat/Proporsi Penduduk Miskin, Peta Ketertinggalan Daerah, Peta Tingkat Inflasi Daerah, Peta Tingkat Pengangguran, Peta Pembatalan dan Revisi Perda, Peta Penolakan dan Revisi Perda.

moFisda dapat diakses secara terbatas oleh pimpinan di lingkungan Departemen Keuangan. Dengan informasi dari moFisda yang memiliki ciri CompleTe, Reliable, Up to date, Secure, dan AccuraTe (TRUST) diharapkan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perimbangan keuangan yang transparan dan akuntabel dapat diwujudkan.

Page 189: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1��

www.depkeu.go.id

6.6.2. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Di bidang pajak daerah dan retribusi daerah, kegiatan utama yang diprogramkan untuk kurun waktu 2004-2009 adalah: (1) peningkatan efektivitas pengawasan, (2) peningkatan kualitas pemungutan, dan (3) penguatan perpajakan daerah (local taxing empowerment). Langkah-langkah yang telah ditempuh dan hasil yang dicapai selama periode tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut.

6.6.2.1. Peningkatan Efektivitas Pengawasan PDRD

Pajak dan retribusi daerah merupakan sumber utama dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan acapkali digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan suatu pemerintah daerah. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk melakukan berbagai jenis pungutan daerah yang acapkali pula memberikan beban berlebihan bagi masyarakat dan dunia usaha. Disamping mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat, pungutan yang berlebihan akan menghambat perkembangan ekonomi daerah dan nasional. Dalam hal ini, peranan pemerintah pusat sangat diperlukan untuk menjamin agar pungutan yang dilakukan oleh daerah dengan menerbitkan peraturan daerah (perda) tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan.

Sampai dengan bulan Mei 2009, telah dilakukan evaluasi terhadap 9.094 perda PDRD yang diterbitkan oleh provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.003 perda atau sekitar 33% di antaranya harus dibatalkan karena berbagai alasan, antara lain jenis pajak yang dipungut duplikasi dengan pajak pusat, pungutan retribusi yang tidak disertai pelayanan, pungutan atas perizinan yang bukan kewenangan daerah, pungutan yang menghambat lalu lintas barang dan jasa, serta pungutan yang bertentangan dengan kebijakan nasional. Pembatalan perda yang bermasalah ini ditujukan untuk menghindarkan terjadinya pemungutan yang berlebihan terhadap masyarakat dan mengatasi ekonomi biaya tinggi dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif di daerah.

Untuk mengurangi jumlah perda pungutan daerah yang bermasalah, sejak tahun 2005 telah dilakukan pengawasan yang bersifat preventif yaitu dengan mengevaluasi terlebih dahulu rancangan perda sebelum ditetapkan menjadi perda. Pengawasan ini dilakukan sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Sampai dengan bulan Mei 2009, telah dievaluasi 2.501 rancangan perda dan dari hasil evaluasi tersebut, sebanyak 319 rancangan perda ditolak untuk ditetapkan menjadi perda, dan 1.362 rancangan perda atau sekitar 54% harus direvisi terlebih dahulu sebelum dapat ditetapkan menjadi perda.

6.6.2.2. Peningkatan Kualitas Pemungutan

Penambahan berbagai jenis pungutan daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah sejak era otonomi daerah, ternyata tidak memberikan tambahan pendapatan yang signifikan bagi daerah. Meskipun terlihat adanya peningkatan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah setiap tahun, hal tersebut lebih disebabkan karena pertumbuhan ekonomi, sehingga porsi PDRD dalam PAD atau APBD relatif tidak berubah dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, strategi yang seharusnya dilakukan oleh daerah untuk meningkatkan pendapatannya adalah meningkatkan kualitas pemungutan atas potensi pajak daerah dan retribusi daerah yang memenuhi kriteria pungutan yang baik. Dalam hal ini, jenis-jenis pajak dan retribusi yang selama ini dipungut perlu di-review dan ditata ulang dan mengoptimalkan pelaksanaan pemungutannya.

Page 190: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

1�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Kotak 6.6. Desain Penguatan Perpajakan Daerah Melalui RUU PDRD 2009

Dalam Rancangan UU PDRD, perluasan basis pajak daerah yang sudah ada dilakukan dengan memperluas objek pajak hotel dan pajak restoran sehingga mencakup keseluruhan jasa hotel dan restoran, serta memasukkan golf sebagai objek pajak hiburan. Jenis pajak daerah juga ditambah dengan pajak sarang burung walet yang potensinya cukup besar di beberapa daerah. Di bidang retribusi daerah, ditambahkan jenis retribusi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat. Tarif maksimum beberapa jenis pajak juga ditingkatkan penetapan tarif efektif sepenuhnya diserahkan kepada daerah agar dapat disesuaikan dengan potensi dan kemampuan masyarakat daerah masing-masing.

Untuk meningkatkan PAD, sebagian jenis pajak pusat yang memenuhi kriteria pajak daerah direncanakan untuk dijadikan pajak daerah, seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) Pedesaan dan Perkotaan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Penyerahan jenis pajak pusat ini menjadi pajak daerah dilakukan secara bertahap agar terdapat kesinambungan administrasi pemungutan.

Untuk meningkatkan kualitas pemungutan pajak daerah, telah dilakukan berbagai upaya yang mengarah pada peningkatan pemahaman dan kemampuan daerah di bidang pajak daerah dan retribusi daerah serta penyamaan persepsi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan makna otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Upaya dan langkah yang telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pemungutan pajak daerah antara lain: melaksanakan sosialisasi dan diseminasi kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah kepada pejabat provinsi, kabupaten/kota, dan masyarakat, menyusun dan menerbitkan buku ”Pedoman Nasional Pajak Daerah dan Retribusi Daerah” sebagai panduan bagi daerah dalam menyusun perda pungutan daerah, memberikan bimbingan teknis di bidang PDRD kepada aparat daerah untuk meningkatkan kapasitas daerah.

Disamping itu, dilakukan pula publikasi kebijakan dan berbagai pandangan dan hasil evaluasi di bidang pajak daerah dan retribusi daerah dalam berbagai bentuk dan sarana komunikasi seperti website, acara TV, dan buletin ”PDRD Insight”. Dalam rangka meningkatkan koordinasi antar instansi terkait dibentuk ”Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah” dan ”Tim Evaluasi Perda yang menghambat investasi” sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas evaluasi perda PDRD. Guna membantu daerah dalam merumuskan rancangan perda PDRD yang baik, diberikan layanan konsultasi bagi aparat pemerintah daerah, anggota dewan perwakilan rakyat daerah, dan asosiasi/lembaga yang membutuhkannya. Untuk mencari solusi atas permasalahan yang timbul di bidang pajak daerah dan retribusi daerah dikembangkan forum group discussion dengan melibatkan berbagai pihak terkait.

6.6.2.3. Penguatan Perpajakan Daerah

Secara nasional, peranan pajak daerah dan retribusi daerah dalam penerimaan PAD cukup besar, di tingkat provinsi mencapai rata-rata 91 persen dan di tingkat kabupaten/kota sekitar 75 persen. Namun demikian, kontribusi PAD dalam APBD masih relatif kecil, yakni sekitar 40% di tingkat provinsi dan 10% di tingkat kabupaten/kota. Kondisi ini menyebabkan belanja daerah sangat tergantung pada dana transfer dari pusat ke daerah. Hal ini memperlihatkan masih rendahnya local taxing power dan berakibat pada rendahnya tingkat akuntabilitas daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. (lihat Box 6.6)

Page 191: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

1�9

www.depkeu.go.id

Skema Strategi dan Kebijakan Penguatan PDRD

No. Strategi Kebijakan

1 Perluasan basis pajak daerah ••

Perluasan objek pajak yang sudah adaPeningkatan tarif pajak maksimum

2. Diskusi penetapan tarif efektif kepada daerah

Tarif efektif ditetapkan dengan Peraturan Daerah

3. Penambahan jenis pajak daerah Menetapkan jenis pajak yang potensial

4. Pengalihan sebagian jenis pajak pusat ke daerah

Penyerahan jenis pajak yang memenuhi kriteria pajak daerah ke daerah

6.6.3. Keseimbangan Pendanaan

Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan merupakan bagian anggaran kementerian/lembaga yang dialokasikan untuk mendanai program dan kegiatan pemerintah berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). Pengganggaran pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi APBN.

Berdasarkan PP No. 7 tahun 2008, proses perencanaan dan penganggaran Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan terhadap program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan/ditugaskan disusun dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah, dan kebutuhan pembangunan di daerah.

6.6.3.1. Kebijakan Keseimbangan Pendanaan

Keseimbangan pendanaan di daerah dimaksudkan bahwa pengalokasian Dana Dekonsentrasi dan Pembantuan mempertimbangkan besarnya transfer belanja Pusat ke daerah dan kemampuan keuangan daerah, agar alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi lebih efektif, efisien, dan tidak terkonsentrasi di suatu daerah tertentu. Sementara kebutuhan pembangunan daerah dimaksudkan bahwa pengalokasian Dana Dekonsentrasi dan Pembantuan disesuaikan dengan prioritas pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah.

Keseimbangan pendanaan di daerah dalam rangka perencanaan lokasi dan alokasi Dana Dekonsentrasi dan Pembantuan diatur lebih lanjut dalam PMK No. 156/PMK.07/2008 sebagai berikut:1) Keseimbangan pendanaan dilakukan secara proporsional agar sebaran alokasi Dana Dekonsentrasi dan Pembantuan tidak terkonsentrasi pada daerah tertentu. 2) Pengalokasian Dana Dekonsentrasi dan/atau Tugas Pembantuan mempertimbangkan Kemampuan Fiskal Daerah yang terdiri dari besarnya transfer ke daerah dan kemampuan keuangan daerah.3) Hasil rumusan keseimbangan pendanaan di daerah dimaksud dituangkan dalam Rekomendasi Menteri Keuangan.4) Rekomendasi Menteri Keuangan menjadi dasar pertimbangan bagi kementerian/lembaga dalam rangka perencanaan lokasi dan anggaran kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.5) Rekomendasi Menteri Keuangan disampaikan kepada kementerian/ lembaga dengan tembusan kepada Kepala Bappenas selambat-lambatnya bulan Maret sebelum penyusunan Renja-KL.

Page 192: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

190 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

6.6.3.2. Rekomendasi Menteri Keuangan

Ketentuan dalam PMK 156/PMK.07/2008 tersebut di atas sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengamanatkan bahwa keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Oleh karena itu, dana dekonsenstrasi dan tugas pembantuan sebagai bagian dari keuangan negara harus dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.

Demikian pula dalam Penjelasan Umum poin (5) Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dikatakan bahwa Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan (pengelola fiskal) pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.

Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan. Terkait dengan fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan penganggaran, Menteri Keuangan mempunyai kewenangan untuk mengarahkan kementerian/lembaga dalam perencanaan lokasi dan alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan melalui indikator umum berupa peta keseimbangan pendanaan di daerah yang disampaikan dalam bentuk rekomendasi, sedangkan kementerian/lembaga (teknis) berwenang merencanakan lokasi dan besaran alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan berdasarkan indikator teknis yang dimiliki setelah mempertimbangkan rekomendasi Menteri Keuangan tentang keseimbangan pendanaan.

Bagan 6.1. Pola Hubungan dalam Pendanaan Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan

Menteri Keuangan sebagai CFO (Pengelolaan Fiskal dan BUN)

Indikator Umum

Rekomendasi Menkeu

KeseimbanganPendanaan

Kementerian/Lembaga sebagai COO (Pengguna Anggaran)

Indikator Teknis

Alokasi dan LokasiDana Dekon/TP

Renja - KL

Page 193: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

191

www.depkeu.go.id

Maksud dan tujuan rekomendasi ini adalah untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas, serta proporsional dalam pengalokasian Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan; meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan tugas Pembantuan; dan memberikan masukan bagi kementerian/lembaga dalam merencanakan lokasi dan alokasi dana dekonsentrasi/tugas pembantuan agar tepat sasaran dan tidak terkonsentrasi di daerah tertentu.

6.6.3.3. Formulasi Penghitungan Keseimbangan Pendanaan

Variabel yang digunakan dalam formulasi keseimbangan pendanaan di daerah adalah Variabel Kemampuan Fiskal Daerah (KFD) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Variabel KFD diukur berdasarkan besaran: Pendapatan Asli Daerah, Lain-lain Pendapatan yang sah, Dana Alokasi Umum, Dana Khusus, Dana Bagi Hasil, Dana Otonomi Khusus, Dana Penyesuaian, dan Belanja PNSD (sebagai pengurang). Sementara IPM merupakan cerminan tingkat pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang dibentuk dari 4 (empat) indikator, yaitu: angka melek huruf penduduk dewasa, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, serta Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita.Langkah-langkah formulasi keseimbangan pendanaan adalah sebagai berikut:4) Menentukan Indeks KFD a. Menghitung besaran transfer daerah (jumlah dana perimbangan: DAU, DAK, DBH Pajak, DBH SDA, dan Dana Otsus). b. Menghitung kemampuan keuangan daerah (jumlah PAD dan Lain-lain Pendapatan yang sah dikurangi Belanja PNSD). c. Menentukan KFD yang merupakan hasil penjumlahan dana transfer daerah dan kemampuan keuangan daerah. d. Menghitung KFD per kapita yang didapat dari KFD dibagi dengan jumlah penduduk. e. Menghitung KFD Riil yang didapat dari KFD per kapita dibagi Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) sebagai proxy perbedaan tingkat harga antar daerah. f. Menentukan Indeks KFD sebagai hasil dari pembagian KFD Riil terhadap rata-rata KFD nasional sehingga diperoleh Peta KFD. 5) Mengkaitkan KFD dengan IPM: a. Membandingkan indeks KFD daerah dengan rata-rata KFD Nasional sehingga menghasilkan daerah yang berada di atas dan di bawah rata-rata nasional. b. Membandingkan IPM daerah dengan rata-rata IPM sehingga menghasilkan daerah yang berada di atas dan di bawah rata-rata nasional. c. Hasil kedua perbandingan KFD dan IPM tersebut di atas tersusun dalam 4 cluster daerah sebagai berikut: Cluster 1 Daerah dengan KFD dan IPM di atas rata-rata nasional Cluster 2 Daerah dengan KFD di bawah rata-rata nasional namun IPM di atas rata-rata nasional. Cluster 3 Daerah dengan KFD dan IPM di bawah rata-rata nasional Cluster 4 Daerah yang mempdengan KFD di atas rata-rata nasional namun IPM di bawah rata-rata nasional.

Berdasarkan hasil formulasi tersebut, prioritas daerah yang akan direkomendasikan sebagai penerima dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagai berikut:• Prioritas I : Daerah pada Cluster 3.• Prioritas II : Daerah pada Cluster 2.

Page 194: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

192 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

6.6.4. Pengembangan Kapasitas SDM Pemerintah Daerah

Untuk mengembangkan kapasitas SDM pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah dengan tetap berpedoman pada aturan perundang-undangan terkini, maka Departemen Keuangan RI mengadakan KKD (Kursus Keuangan Daerah) dan LKD (Latihan Keuangan Daerah) bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi negeri. Kursus-kursus tersebut mulai diadakan sejak tahun 1981/1982 (KKD) dan tahun 1985/1986 (LKD), bekerja sama dengan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Hasanudin (Unhas), dan Universitas Andalas (Unand). Sepanjang penyelenggaraan LKD/KKD, telah dilatih peserta sebanyak 5552 orang yang berasal dari pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Jumlah peserta yang dilatih dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sebagai perbandingan, pada tahun 2007 diikuti peserta sebanyak 998 orang dan tahun 2008 sebanyak 1004 orang. Tahun 2009, jumlah peserta yang mengikuti LKD dan KKD ditargetkan meningkat menjadi 1250 orang.

Sampai dengan tahun 2007, mekanisme anggaran kegiatan LKD/KKD masih menggunakan BA 69. Namun sejak tahun 2008, anggaran berubah menjadi bagian DIPA DJPK, yaitu BA 15. Perubahan ini sesuai dengan prinsip pengelolaan anggaran berbasis kinerja yang bertujuan untuk menjamin capaian target yang telah dicanangkan.

Untuk meningkatkan target output yang akan dicapai pada tahun 2009, maka telah dilakukan penambahan total jumlah kelas KKD menjadi 14 kelas dan 4 kelas KKD Khusus Akuntansi, serta penambahan 1 center penyelenggara menjadi 7 center, yaitu Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Kebijakan ini tentunya menyebabkan perubahan pagu anggaran kegiatan KKD/LKD dari sebesar Rp18.029.074.000,- pada tahun 2008 menjadi Rp 20.364.230.000,- pada tahun 2009. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menambah jumlah aparat daerah yang dapat mengikuti kegiatan LKD dan KKD. Dengan meningkatnya jumlah aparat pengelola keuangan daerah yang mendapat pelatihan melalui kursus ini, maka akan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka dalam hal pengelolaan keuangan daerah dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

6.6.5. Tim Asistensi dalam Desentralisasi Fiskal (TADF)

6.6.5.1. Peran TSDF dalam Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi Fiskal merupakan suatu proses yang dinamis dan memerlukan waktu yang cukup lama, seperti juga yang terjadi di negara-negara yang telah maju yang stabil. Desentralisasi bukan sekedar transfer fasilitas dan personalia, mempunyai tujuan untuk memberikan akses kepada masyarakat agar memperoleh standar pelayanan minimum yang lebih baik terhadap barang publik. Oleh karena itu implementasi dari desentralisasi fiskal harus didukung oleh para pelaku di berbagai tingkat pemerintahan dan stakeholders yang lainnya yaitu masyarakat, media, dan akademisi, melalui kerjasama yang harmonis untuk menjaga agar pelaksanaan desentralisasi fiskal terus berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Menyadari pentingnya kerjasama dengan kalangan akademisi, Menteri Keuangan membentuk Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) sebagai think tank di bidang desentralisasi fiskal mulai tahun 2003 dan masih berlangsung hingga saat ini tahun 2009. Tujuan pembentukan Tim Asistensi tersebut adalah untuk memberikan pendapat dan rekomendasi sebagai second opinion kepada Menteri Keuangan atas berbagai permasalahan di bidang desentralisasi fiskal dengan pendekatan research-based policy.

Page 195: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

19�

www.depkeu.go.id

Anggota TADF terdiri dari kalangan akademisi yang mempunyai keahlian di bidang keuangan daerah yang berasal dari wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia. Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan TADF, maka Tim tersebut juga didukung oleh pejabat terkait dari Departemen Keuangan. Perkembangan anggota TADF dari tahun 2004 sampai dengan 2009 sebagaimana tersebut dalam daftar berikut ini.

Tabel 6.10. Perkembangan anggota TADF Tahun 2004 - 2009

No. UniversitasPerkembangan Jumlah Anggota

2004 2005 2006 2007 2008 2009

1 Indonesia, Jakarta 3 3 3 5 5 5

2 Pajajaran, Bandung 1 - 1 1 1 -

3 Gajah Mada, Yogyakarta 2 1 2 1 2 3

4 Andalas, Padang 1 2 2 2 2 2

5 Sriwijaya, Palembang - - - - 1 2

6 Institut Pertanian Bogor - - - 1 1 1

7 Brawijaya, Malang - - - - 1 1

8 Hasanuddin, Makassar - 2 2 1 2 1

9 Sam Ratulangi, Manado - - 1 1 1 1

10 Tanjungpura, Pontianak - - - 1 1 1

11 Cenderawasih, Jayapura - - - 1 1 1

12 Universitas Negeri Bengkulu 1 - - 1 - -

13 Pattimura, Ambon - - - 1 - -

14 Islam Indonesia, Yogyakarta 1 - - - - -

Jumlah anggota 7 8 11 16 16 18

Sumber : Departemen Keuangan

Sejak tahun 2003 tersebut, TADF telah banyak melakukan kegiatan penelitian-penelitian di bidang desentralisasi fiskal,utamanya terkait dengan isu-isu strategis maupun permasalahan jangka pendek yang dihadapi dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal. antara lain dalam tahun 2007 adalah (a) Kajian tentang rating keuangan daerah; (b) kajian tentang persepsi Departemen Teknis dan Implementasi pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan untuk mendanai urusan daerah menjadi DAK; dan (c) kajian tentang pinjaman pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Sementara itu, hasil penelitian tahun 2008 meliputi (i) Analisis Standar Biaya (ASB) pada Sekolah Dasar (SD), (ii) Analisis Manfaat dan Biaya Pemekaran Daerah, (iii) Dampak Desentralisasi Fiskal, (iv) Penyerapan Dana APBD, (v) Siklus Anggaran, dan (vi) Pembangunan Ekonomi Daerah, serta (vii) kajian tentang Perlunya Arah Baru Pengembangan Pajak Daerah di Indonesia.

Mempertimbangkan berbagai isu dan permasalahan strategis terkait bidang desentralisasi fiskal, maka tugas-tugas yang diberikan kepada TADF juga semakin bertambah. Selain terus melakukan kajian dan Revisi UU No. 33 tahun 2004 serta meningkatkan kerja sama dengan pemerintah daerah melalui komunikasi yang intensif dengan stakeholders di daerah. Salah satu peran TADF 2009 adalah menyerap aspirasi daerah terkait dengan pelaksanaan stimulus fiskal tahun 2009

Page 196: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

19� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Box 6.7. Grand Design Desentralisasi Fiskal

Visi Desentralisasi Fiskal Indonesia (menuju tahun 2030) ialah alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui hubungan keuangan pusat dan daerah yang transparan dan akuntabel. Untuk menjabarkan visi tersebut, maka ditetapkan beberapa misi yang harus dicapai, sebagai berikut :1. Mengembangkan hubungan keuangan pusat dan daerah yang meminimumkan ketimpangan vertikal dan horizontal2. Mengembangkan sistem pajak daerah yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien3. Mengembangkan keleluasaan belanja daerah yang bertanggung jawab untuk mencapai standar pelayanan minimum4. Harmonisasi belanja pusat dan daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal

Untuk mencapai visi dan misi tersebut, setiap pemangku kepentingan baik di pusat maupun daerah harus memahami pilar-pilar yang harus dimiliki dan dikembangkan secara terus menerus. Terdapat lima pilar yang yang menjadi faktor penting dalam implementasi misi guna mendukung pencapaian visi.

Pilar Pertama adalah Sumber daya manusia. SDM yang merupakan faktor imperatif yang harus memadai tidak saja dari segi kuantitas namun juga kualitasnya. Pembenahan faktor sumber daya manusia tidak akan berhenti pada aparat pemerintahan di pusat dan daerah namun juga legislatif maupun masyarakat secara keseluruhan.

Pilar Kedua adalah Kelembagaan : SDM hanya akan dapat berfungsi secara baik apabila diwadahi dalam sistem kelembagaan yang tertata rapi. Kejelasan struktur kelembagaan dan tanggung jawab masing-masing pihak akan menjadi kunci keberhasilan pembenahan kelembagaan.Pilar Ketiga Sistem Informasi: Mewujudkan sistem informasi yang baik merupakan tantangan mendasar pada negara-negara berkembang. Sistem informasi akan menjadi landasan dari berbagai kebijakan yang diambil. Informasi yang jelek akan menghasilkan kebijakan yang jelek, demikian pula sebaliknya.

Pilar Keempat adalah Regulasi: Kebijakan umum desentralisasi fiskal ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai regulatornya. Hal utama yang harus dibenahi adalah ketidakserasian peraturan yang dikeluarkan oleh unit-unit yang berbeda. Satu hal penting yang harus diperhatikan adalah ketaatan pada peranan yang diemban oleh masing-masing pengambil kebijakan agar tidak saling mengambil peranan antar unit regulator.

6.6.5.2. Penyusunan Grand Design Desentralisasi Fiskal

Selain melakukan kegiatan penelitian dan memberikan pendapat atas isu dan permasalahan strategis di bidang desentralisasi fiskal, TADF telah menyusun sebuah konsep Grand Design Desentralisasi Fiskal yang berisi konsep tertulis mengenai visi, misi, tujuan, strategi untuk jangka panjang kebijakan Desentralisasi Fiskal. Grand Design yang disusun selain berdimensi jangka panjang dengan tahapan-tahapan jangka pendek dan menengah, juga bersifat visioner dan mempunyai tujuan-tujuan serta target-target yang jelas dan terukur. Visi Grand Design harus sejalan dengan prinsip pembangunan ekonomi yang dikembangkan di Indonesia, yaitu efisiensi alokasi sumber daya nasional melalui hubungan keuangan pusat dan daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan (Lihat Box 6.7)

Page 197: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

19�

www.depkeu.go.id

Pilar Kelima adalah pengetahuan : Implementasi desentralisasi fiskal akan berhasil dengan baik apabila semua pemangku kepentingan yang terlibat mempunyai pengetahuan yang relatif sama, sesuai dengan porsinya masing-masing. Kebijakan yang disusun dengan baik tidak akan berhasil diimplementasikan apabila pihak yang terkait tidak mempunyai pengetahuan yang cukup atas kebijakan itu sendiri. Pengetahuan ini tidak hanya terbatas pada aparat pemerintahan, namun juga harus menyentuh masyarakat luas.

Secara bersama-sama, kelima pilar tersebut harus dipersiapkan dan terus dibenahi untuk mendukung pencapaian visi dan misi yang telah ditetapkan. Pembenahan atau penguatan kelima pilar tersebut harus terkoordinasi dengan baik dan tidak berjalan sendiri-sendiri. Sebagai fondasi dari lima pilar tersebut adalah kerjasama yang baik diantara pihak-pihak yang terkait, baik di Pusat maupun Daerah.

Setiap misi mempunyai tujuan dan strategi serta rencana aksi yang harus dicapai dalam jangka waktu tertentu. Rencana aksi tentunya akan terus berkembang sesuai kondisi dan menyesuaikan dengan keadaan eksternal, namun dengan tetap berpegang pada tujuan dan strategi yang telah ditetapkan sehingga akan mendukung pencapaian misi dan visi yang ingin dicapai pada tahun 2030.

6.7. Kelemahan, Tantangan, Dan Kendala

6.7.1. Kelemahan

Dalam mengelola anggaran Transfer Ke Daerah dari mulai perencanaan, pengalokasian, dan penyaluran, proses perencanaan yang menunjukkan kelemahan, khususnya pada akhir perencanaan berupa pembahasan di Panitia Kerja/Panitia Anggaran/DPR-RI. Kebijakan untuk melakukan pemerataan dalam DAU melalui penerapan formula, melakukan upaya keadilan melalui kriteria-kriteria dalam DAK , demikan juga dalam melaksanakan peningkatan kualitas pengelolaan keuangan daerah. Kelemahan tersebut antara lain berupa:

6.7.1.1. Ketidakpuasan Terhadap Alokasi Perhitungan dana perimbangan per daerah sesuai dengan ketentuan masih belum sepenuhnya dipahami oleh daerah sehingga nampak adanya persepsi bahwa formula dan kriteria belum sepenuhnya menggambarkan kondisi daerah yang antara lain datang dari:1. Anggota-anggota dewan dari daerah pemilihan yang berstatus sebagai daerah penghasil sumber daya pajak dan sumber daya alam.;2. Daerah penghasil pajak dan sumber daya alam3. Daerah induk pemekaran dan daerah pemekaran baru yang pada tahun pertama harus berbagi dan perimbangan.

Para pihak tersebut diatas pada dasarnya berkeinginan untuk mendapatkan alokasi atau alokasi lebih yang belum mungkin dapat dipenuhi karena alokasi telah dihitung sesuai dengan peraturan dan data.

Page 198: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

19� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

6.7.1.2. Perhitungan DAK yang tidak sesuai dengan ketentuan

Kelemahan selanjutnya adalah adanya inisiatif untuk menghitung alokasi DAK per daerah berdasarkan alokasi tahun sebelumnya yang terjadi pada tahun 2008 dan 2009 atau dengan kata lain perhitungan per daerah tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU No 33 Tahun 2004 karena tidak dipertimbangkannya kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis per daerah sesuai dengan data tahun yang bersangkutan yang pada umumnya pasti sudah berubah dibandingkan dengan data tahun sebelumnya.

6.7.1.3. Alokasi Diluar Dana Perimbangan dan Dana Otsus

Kelemahan yang lain adalah adanya inisiatif politis untuk menyediakan anggaran di luar dana perimbangan dengan perhitungan alokasi per daerah tidak mengikuti formula dan kriteria seperti yang diamanatkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, serta undang-undang yang mengamanatkan alokasi dana otonomi khusus. Alokasi Transfer Ke Daerah seperti ini kemudian dimuat dalam undang-undang APBN sebagai Dana Penyesuaian.

6.7.1.4. Temuan BPK Terhadap Laporan Realisasi Anggaran Transfer ke Daerah

Temuan BPK atas Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Transfer ke Daerah, meliputi:1) Penyaluran DBH PPh yang didasarkan prognosa realisasi yang dinilai tidak mencerminkan realisasi riil, juga muncul sebagai salah satu tantangan bagi penyempurnaan penyaluran ke depan.2) Perhitungan DAK yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diuraikan dalam butir 6.7.1.23) Alokasi di luran Dana Perimbangan dan Dana Otsus sebagaimana diuraikan dalam butir 6.7.1.3

Kelemahan-kelemahan tersebut yang kemudian menjadi sebagian penyebab Laporan Realisasi Anggaran BA 070 diberi pendapat oleh BPK sebagai WDP.

6.7.2. Tantangan Ke Depan

6.7.2.1. Penerapan Formula DAU dan Kriteria DAK

Pemuatan formula DAU dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005 dinilai kebijakan yang kurang tepat karena menjadi terlalu rigid dan teknis sebagai muatan suatu undang-undang. Namun dengan persepsi untuk mengupayakan pemerataan ternyata formula tersebut masih memberikan tantangan untuk dapat dioptimalkan. Tantangan ini dimanfaatkan dalam upaya mewujudkan pemerataan yang lebih baik dengan memberikan bobot pada variabel kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal dan alokasi dasar.

Dalam alokasi DAK masih terdapat tantangan untuk mengupayakan alokasi yang lebih sesuai dengan kondisi daerah dengan lebih mencermati kondisi daerah dari aspek kriteria khusus dan mendorong kementerian/lembaga menyediakan kriteria teknis yang lebih akurat.

Respon daerah yang cukup baik terhadap sistem penyaluran dengan pola baru yang ditunjukkan antara lain dengan semakin cepatnya penyelesaian Perda APBD, semakin banyaknya daerah yang menyampaikan konfirmasi mengenai penerimaan dana transfer pada rekening kas daerah, semakin banyaknya daerah menyampaikan laporan penyerapan DAK memberikan tantangan bagi DJPK untuk mengembangkan sistem informasi keuangan daerah yang lebih komprehensif.

Page 199: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

19�

www.depkeu.go.id

6.7.2.2. Pengalokasian Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan berdasarkan Rekomendasi Menteri Keuangan

Rekomendasi Menteri Keuangan tentang keseimbangan pendanaan di daerah dalam pengalokasian dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan merupakan hal yang baru yang diharapkan dapat digunakan oleh Kementrian/Lembaga dalam penyusunan rencana alokasi anggaran tahun 2010. Dalam penyusunan dan pelaksanaan keseimbangan pendanaan terdapat beberapa tantangan antara lain:1. Ketersediaan data yang diperlukan khususnya yang bersumber dari pihak eksternal seperti IPM dan APBD belum tepat waktu dan terkini.2. Koordinasi dengan pihak penyedia data baik internal maupun eksternal Departemen Keuangan belum terpola dengan baik.3. Kurangnya sarana pendukung yang diperlukan dalam penelitian dan pengolahan data.4. Kurangnya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang penelitian dan penguasaan makro ekonomi.5. Terbatasnya waktu yang diperlukan untuk melakukan penelitian dan analisa mengenai keseimbangan pendanaan.

6.7.2.3. Resiko dari Pola Baru Penyaluran Transfer Pentingnya risk management dalam pelaksanaan APBN sudah lama disadari. Demikian juga dalam transfer ke daerah, pola baru ini bukan tanpa resiko. Sampai dengan tahun 2007 penyaluran DBH-SDA dilaksanakan secara triwulanan berdasarkan hasil rekonsiliasi PNBP sektor SDA, yaitu dengan mencermati data setoran PNBP-SDA yang ada di Departemen Keuangan, Departemen ESDM, dan BP Migas. Penyaluran DBH-SDA tahun 2008 masih dilakukan secara triwulanan, namun besaran per triwulan diatur dengan pola triwulan pertama dan kedua masing-masing 20% dari pagu perkiraan DBH-SDA per daerah tanpa berdasarkan hasil rekonsiliasi. DBH-SDA Triwulan Ketiga dan Keempat disalurkan setelah dilaksanakan rekonsiliasi data penerimaan setoran PNBP-SDA dari kontraktor, dengan memperhitungkan DBH-SDA yang sudah disalurkan pada triwulan sebelumnya. Resiko yang patut dicermati berkaitan dengan ketersediaan dana di Kas Negara yang berasal dari setoran PNBP-SDA. Apabila dana dalam Kas Negara tidak cukup berarti Pemerintah harus memberikan talangan. Meskipun melihat trend PNBP-SDA tahun 2006 dan sebelumnya angka 40% selama semester pertama cukup aman, namun resiko ini bukan tidak mungkin akan terjadi. Resiko lain yang layak dicermati adalah pada penyaluran DAK tahap kedua sampai dengan tahap keempat berdasarkan laporan daya serap DAK. Resiko ini berkaitan dengan laporan penyerapan yang kemungkinan sengaja dibuat tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya dengan memperlihatkan daya serap yang tinggi sehingga DAK tahap berikutnya dapat disalurkan. Terjadinya rekayasa laporan masih dimungkinkan meskipun laporan yang disampaikan ke Departemen Keuangan mensyaratkan adanya pakta integritas dari gubernur/bupati/walikota. Pakta integritas yang berupa pernyataan tanggung jawab belanja memuat pernyataan bahwa laporan telah berdasarkan kondisi yang sebebarnya dengan didukung dokumen sumber yang disimpan di pemerintah daerah untuk keperluan administrasi keuangan daerah dan keperluan audit oleh aparat fungsional pengawas/pemeriksa (yang dimaksud adalah Badan Pengawas Daerah/Bawasda, Badan Pemeriksa Keuangan/BPK, dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/BPKP). Meskipun dalam management transfer ini semuanya bersifat formal, namun secara religius dapat dikatakan bahwa diperlukan iman yang kuat dalam setiap penyusunan laporan penyerapan DAK.

Page 200: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

19� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

6.7.3. Kendala

6.7.3.1. Kendala Penyaluran Transfer Ke Daerah

Kendala yang nampak cukup substansial adalah dari aspek penyaluran dengan masih adanya peraturan yang mengatur penyaluran Transfer Ke Daerah di luar PMK Nomor 21/PMK.07/2009 khususnya penyaluran DBH PBB dari sektor pertambangan minyak bumi dan gas bumi. Kendala tersebut terlihat dari:1. Penyaluran DBH PBB yang dari aspek kecepatan dan ketepatan penyaluran dinilai sangat ideal, dari

aspek administrasi masih belum menunjukan akuntabilitas karena belum didukung dengan dokumen sumber sebagaimana layaknya dokumen sebagai bukti pengeluaran negara selain DIPA yaitu SPM dan SP2D.

2. Data penyaluran DBH PBB yang terlambat rata-rata sebulan karena harus dihimpun dari KPPN di seluruh Indonesia3. Setoran penerimaan PBB yang belum terinci persektor (perkotaan, perdesaan, perkebunan, dan pertambangan) pada saat pencatatan penerimaan di Kas Negara menyebabkan kesulitan perhitungan biaya pungut yang pada masing-masing sektor dengan persentase yang berbeda.

6.7.3.2. Sistem Informasi Keuangan Daerah

Dalam mewujudkan SIKD yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, banyak sekali hambatan dan tantangan yang dihadapi antara lain:1) Keterlambatan penyampaian informasi laporan keuangan daerah;2) Masih ada daerah yang belum memiliki sistem pengelolaan keuangan daerah sehingga masih dilakukan perekaman secara manual;3) Ketidaksesuaian data lampiran antara Perda dan Penjabaran karena tidak adanya sistem aplikasi yang baik dalam pengelolaan keuangan daerah;4) Proses persetujuan Kesepakatan RAPBD di daerah antara Badan Legislatif dan Eksekutif yang sering mengalami hambatan;5) Terjadi perubahan peraturan dari pemerintah pusat sehingga sulitnya pemerintah daerah dalam melaksanakan aturan dimaksud seperti adanya perubahan struktur organisasi yang baru bagi pejabat pengelola keuangan di daerah.

Pemerintah Pusat dalam mewujudkan pengelolaan keuangan daerah yang baik dan transparan telah berusaha berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, dan Bappenas. Saat ini, dengan dibantu pinjaman lunak dari ADB, pemerintah berusaha mengembangkan dan mengimplementasikan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) di 171 pemerintah daerah dalam bentuk pengadaan sistem aplikasi (software) dan perangkat keras (hardware). Dalam penyelesaian kegiatan ini ditemui beberapa hambatan antara lain:1) lamanya proses pengadaan antara lain persetujuan NOL dari ADB;2) mengingat pihak donor hanya memberikan bantuan kepada 171 pemerintah daerah saja maka untuk daerah lainnya yang tidak dapat bantuan akan terdapat hambatan dalam pengelolaan sistem informasi secara nasional;3) perlu dibangun suatu kerjasama yang komprehensif antara pemerintah dengan pemerintahan daerah, seperti memberikan informasi yang relevan, akurat, tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada Badan Legislatif dan Eksekutif di daerah.

Page 201: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

199

www.depkeu.go.id

6.8. Upaya Mengatasi Kendala

6.8.1. Penyaluran Tranfer ke Daerah

Kendala penyaluran DBH PBB Bagian Daerah adalah kelemahan PMK 04/PMK.07/2008 yg belum dapat mendorong terkumpulnya dokumen sumber dengan kuantitas, kualitas, dan waktu yang tepat. Hambatan ini telah diupayakan diatasi dengan PMK No 21/PMK.07/2009 yang mewajibkan adanya rekonsiliasi data penyaluran DBH PBB antara Kanwil-kanwil DJP, DJPB, dengan daerah. Data hasil rekonsiliasi dibahas di tingkat pusat antara DJP, DJPB, dan DJPK sehingga menghasilkan dokumen sumber.

6.8.2. Sistem Informasi Keuangan Daerah

Pemerintah Pusat dalam mewujudkan pengelolaan keuangan daerah yang baik dan transparan telah berusaha berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, dan Bappenas. Saat ini, dengan dibantu pinjaman lunak dari ADB, pemerintah berusaha mengembangkan dan mengimplementasikan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) di 171 pemerintah daerah dalam bentuk pengadaan sistem aplikasi (software) dan perangkat keras (hardware).

Page 202: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

200 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

6.8.3. Kendala Keseimbangan Pendanaan.

Agar rekomendasi Menteri Keuangan dilaksanakan oleh K/L diupayakan untuk melakukan sosialisasi secara terus-menerus, dengan tujuan:1. Mengupayakan keseimbangan pendanaan di daerah bisa menjadi faktor yang sangat mempengaruhi dan mengikat dalam penyusunan kebijakan lokasi dan alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan.2. Mendorong K/L untuk lebih transparan dalam menyusun indikator teknis sebagai parameter yang bersinergi dengan keseimbangan pendanaan dalam rangka pengalokasian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan.3. Keseimbangan pendanaan di daerah dapat mencerminkan kondisi riil daerah sesuai karakteristik dan keunggulan komparatif sektor di daerah.4. Terbangunnya persepsi yang sama pada stakeholder khususnya kementerian lembaga

tentang pentingnya pertimbangan mengurangi kesenjangan antar daerah melalui kebijakan alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagai salah satu cara dalam mengurangi kesenjangan fiskal.

5. Rekomendasi Keseimbangan pendanaan dapat disusun sesuai dengan waktu ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

6.8. Pending Matters

6.9.1. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Dalam rangka memperbaiki sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, kedepan masih terdapat beberapa agenda penting yang perlu dilaksanakan dan ditindak lanjuti, antara lain: 1) penyiapan pedoman pelaksanaan teknis dari undang-undang pajak daerah yang baru, 2) sosialisasi kebijakan PDRD yang baru, 3) pembangunan on-line system berbasis IT yang memungkinkan proses evaluasi rancangan perda dan perda PDRD dapat dilakukan dalam waktu singkat, 4) pembangunan sistem database pajak daerah dan retribusi daerah yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas kajian dan perumusan kebijakan, dan 5) penyelenggaraan kegiatan untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah, terutama untuk jenis pajak pusat yang akan diserahkan kepada daerah seperti BPHTB dan PBB Pedesaan dan Perkotaan.

6.9.2. Pemantauan pencapaian output oleh daerah atas penggunaan Dana Transfer ke Daerah yang bersifat Specific Grant Penggunaan dana specific grant oleh daerah sampai saat ini belum dapat diketahui pencapaian outputnya, antara lain dari penggunaan DAK, DBH Kehutanan dari Dana Reboisasi, dan Porsi 0,5% dari DBH Migas untuk tambahan anggaran pendidikan di daerah, serta DBH Cukai Hasil Tembakau. Laporan dari daerah yang diwajibkan sebelum dana dicairkan tidak cukup menggambarkan secara riil pencapaian target output. Dalam rangka pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, kebutuhan akan produk hukum yang dapat memberikan akses aparat pengawas fungsional tingkat pusat untuk melakukan evaluasi, monitoring sampai dengan audit secara rutin menjadi sangat mendesak.

Page 203: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 6 Kebijakan Pengelolaan Transfer Ke Daerah Dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

201

www.depkeu.go.id

6.9.3. Revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 UU Nomor 33 Tahun 2004 telah dilaksanakan selama 5 tahun. Sebagai salah satu produk hukum yang ditetapkan setelah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara di era reformasi, dalam beberapa bagian perlu dilakukan penyesuaian. Beberapa hal yang mendorong segera dilakukan revisi undang-undang tersebut antara lain:1. adanya komponen dana transfer ke daerah yang ditetapkan berdasarkan undang-undang lain

yang perlu diakomodasikan dalam undang-undang perimbangan keuangan, misalnya DBH Cukai Hasil Tembakau yang ditetapkan berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

2. Penyesuaian ketentuan adanya kewajiban penyediaan dana pendamping 10% oleh daerah yang menerima DAK dikeluhkan beberapa daerah yang kemampuan fiskalnya di bawah rata-rata nasional sebagai kewajiban yang memberatkan APBD.

3. Perlunya penajaman ketentuan tentang pengalihan anggaran kementerian/lembaga yang masih digunakan untuk mendanai kegiatan yang sudah menjadi kewenangan daerah, agar penyerahan kewenangan benar-benar disertai dengan penyerahan pendanaan yang memadai.

Dorongan untuk segera melakukan revisi UU No 33 tahun 2004 telah dimuat dalam kesepakatan antara Pemerintah bersama DPR RI dalam rangka pembahasan RUU APBN 2009 dan berpotensi akan dimuat dalam dokumen yang sama untuk RUU APBN 2010, sebagaimana telah dimuat dalam kesepakatan dalam rangka Pembicaraan Pendahuluan Pembahasan RUU APBN 2010 tanggal 17 Juni 2009.

Page 204: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Ketepatan Estimasi Di tengah Krisis Ekonomi

Departemen keuangan menyadari pentingnya ketepatan estimasi dalam pengelolaan pembiayaan negara di tengah badai krisis ekonomi global yang melanda ke seluk beluk perekonomian bangsa.

Page 205: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 20�

www.depkeu.go.id

Repotnya menjalankan misi reformasi benar-benar dirasakan oleh pejabat di Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Departemen Keuangan. Bagaimana tidak? Mereka harus memadukan dua budaya unit kerja yang memiliki budaya saling bertolak belakang.

Terbentuknya Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) merupakan hasil dari pelaksanaan reformasi pilar penataan organisasi. Untuk mendukung pengelolaan keuangan negara yang lebih efisien dengan mengedepankan prinsip-prinsip good governance, pada penghujung 2006 unit ini dibentuk dengan menggabungkan unit Direktorat Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (DPHLN) dengan Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara (DPSUN). Direktorat baru ini fokus pada fungsi pengelolaan uang. Unit khusus ini, mengidentifikasi, mengukur dan mengelola secara terkonsolidasi berbagai biaya dan risiko dari portofolio utang negara, Dengan demikian pembiayaan APBN dapat dilakukan secara efisien dan berkelanjutan.

DPJU merupakan penggabungan dari dua unit yang bisa disebut memiliki budaya yang saling bertolak belakang. DPHLN yang sudah berdiri sejak puluhan tahun silam memiliki budaya konservatif. Budaya mereka sudah mapan, lengkap dengan segala ‘kenyamanan’ yang dinikmati oleh sebagian staf-nya. Sebaliknya, jenis pekerjaan yang dilakukan di Direktorat Pengelolaan SUN mengharuskan para staf berhadapan langsung dengan praktek pasar. Sebagai akibatnya mereka terbiasa berpikir dan bertindak praktis dan sangat berorientasi pada pasar. Dalam lingkungan birokrasi, perilaku semacam itu terkesan kurang menghargai tata-krama birokrasi yang memang masih diperlukan di Departemen Keuangan.

Tantangan berikutnya dari pengelolaan direktorat baru adalah masalah komunikasi. Agar mampu memberikan respon cepat dan tepat terhadap dinamika dan kompleksitas pasar keuangan untuk mengamankan pembiayaan APBN, DJPU harus memiliki struktur organisasi yang padu. Oleh karena itu, dalam kegiatan operasional, organisasi dipilah menjadi tiga fungsi, yaitu kantor depan (front office), kantor tengah (middle office), dan kantor belakang (back-office). Model ini memang digunakan umum diterapkan pada semua Debt Management Office (DMO) di seluruh dunia. Tantangan muncul ketika organisasi harus membuat keputusan yang membutuhkan koordinasi antar ‘offices’. Keputusan yang diambil kurang efektif karena terkendala masalah komunikasi di antara bagian-bagian kantor tersebut.

Masalah lain yang mengemuka adalah ‘capacity building’. Pasar finansial sangat dinamis, sehingga SDM DJPU harus dapat mengimbanginya.

Faktor yang juga menjadi kendala bagi DJPU adalah pembangunan dan pengembangan infrastruktur. Ketersediaan fasilitas fisik, misalnya ruangan kantor yang cukup dari sisi kapasitas dan ketepatan dari sisi waktu penyediaan/timing, sangat penting dalam mendukung pencapaian kinerja DJPU. Kondisi sarana infrastruktur yang belum sepenuhnya memadai selama dua tahun terakhir antara lain menyebabkan proses rekrutmen pegawai baru tidak dapat dilakukan secara optimal dan pada gilirannya hal ini telah mempengaruhi pengembangan SDM DJPU.

Para pejabat di DJPU Departemen Keuangan menyadari, kendala tersebut harus dapat diatasi. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah koordinasi pejabat DJPU adalah mengintensifkan komunikasi di antara pejabat dan staf dari berbagai sub-unit melalui berbagai forum. Intensifikasi komunikasi ini berhasil memunculkan kebersamaan dan kesamaan visi serta persepsi di antara mereka.

Untuk mengatasi masalah capacity building DJPU mengembangkan program pengembangan dan pendidikan SDM. Dengan demikian diharapkan DJPU dapat mengikuti dinamika pasar finansial dan tuntutan stakeholder lain.

Meskipun masih menghadapi berbagai keterbatasan, reformasi birokrasi Departemen keuangan telah memberikan kesempatan bagi DJPU untuk menunjukkan kinerjanya yang cukup baik. DJPU tidak hanya ikut mendukung Pemerintah dengan memastikan terpenuhinya pembiayaan APBN yang semakin besar, tetapi juga telah melaksanakannya dengan baik, yang ditunjukkan dengan berbagai awards sebagai best bond issuers telah diterima selama ini, termasuk Best Issuer 2008.

Mengelola Benturan Budaya Dalam Direktorat Baru

Page 206: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

20� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�.1. Latar Belakang

Perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama periode 2004 sampai dengan kuartal I 2009, telah bertumbuh dengan cukup pesat. Bahkan, di tengah krisis finansial global Indonesia masih tumbuh pada kuartal I tahun 2009 sebesar 4,4%. Pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat didukung oleh laju konsumsi masyarakat, peningkatan investasi, peningkatan ekspor, serta belanja Pemerintah. Peningkatan belanja Pemerintah tercermin dari pertumbuhan besarnya APBN yang lebih dari dua kali lipat dari Rp 430,0 triliun pada 2004 hingga menjadi Rp 1.037,1 triliun pada 2009. Kenaikan besarnya APBN diikuti dengan meningkatnya defisit APBN dari sebesar 23,8 triliun pada 2004 menjadi Rp 139,5 triliun (sesuai kesepakatan dengan DPR yang telah mengakomodir kenaikan belanja untuk stimulus fiskal) pada tahun 2009. Untuk dapat menutup defisit, diperlukan sumber pembiayaan yang memadai sehingga tujuan dari kebijakan fiskal untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dapat dicapai.

Kebijakan umum pembiayaan anggaran antara lain meliputi penetapan sasaran surplus/defisit anggaran berdasarkan proyeksi penerimaan negara maupun rencana alokasi belanja negara. Penetapan surplus/defisit anggaran tergantung pada kebijakan fiskal yang diambil Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai perwujudan hak budget DPR. Dalam hal pembiayaan defisit, anggaran beserta kebutuhan pembiayaan untuk investasi dan penyertaan modal negara dan lain-lain, ditutup oleh pembiayaan anggaran yang berasal dari utang dan non-utang.

Setelah berada pada periode pemerintahan dengan kebijakan keuangan negara yang fokus pada konsolidasi fiskal pascakrisis ekonomi akhir 1990-an maka dalam periode pemerintahan 2004-2009, kebijakan keuangan negara lebih diarahkan untuk menjaga dan mempertahankan momentum pertumbuhan dan memenuhi agenda pembangunan. Untuk tujuan tersebut, APBN yang disusun antara pemerintah bersama-sama dengan DPR selama periode tersebut menunjukkan kecenderungan fiskal yang ekspansif. Sebagai konsekuensinya, APBN pada periode tersebut memiliki defisit yang relatif tinggi dibanding periode sebelumnya. Tingginya defisit ini membawa konsekuensi pada tingginya kebutuhan pembiayaan yang harus dipenuhi.

Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Dengan adanya unit tersendiri untuk melakukan pengelolaan utang, maka biaya dan berbagai risiko dari portofolio utang negara dapat diidentifikasi, diukur dan dikelola secara terkonsolidasi sehingga pembiayaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dapat dilakukan secara efisien dan sustainable.

Page 207: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 20�

www.depkeu.go.id

Komponen yang ada pada Pembiayaan secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam sumber pembiayaan dan penggunaan pembiayaan. Sumber pembiayaan secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi:a. Sumber pembiayaan dari utang adalah melalui penerbitan Surat berharga negara (SBN) atau penarikan pinjaman (pinjaman program dan pinjaman kegiatan) dikurangi pembayaran cicilan/ pelunasan pokok utang yang jatuh tempo.b. Sumber Pembiayaan non-utang yang meliputi: (i) Rekening pemerintah, yaitu saldo kas pemerintah, terutama yang berasal dari sisa anggaran lebih (SAL). (ii) Penjualan aset negara, di antaranya melalui privatisasi BUMN dan hasil pengelolaan PT Perusahaan Pengelolaaan Aset (PT PPA).

Sedangkan penggunaan pembiayaan secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam:a. Pembiayaan defisit APBN; b. Pembiayaan nondefisit APBN yang terdiri dari: (i) Dana Investasi Pemerintah dan Restrukturisasi BUMN; (ii) Penerusan pinjaman kepada BUMN dan Pemerintah Daerah; (iii) Penjaminan Pemerintah.Penggunaan pembiayaan untuk menutup defisit APBN disebut pembiayaan neto, sedangkan penggunaan secara keseluruhan disebut pembiayaan bruto.

Periode 2004-2009 merupakan periode yang cukup menantang (chalenging) bagi pemerintah yang dilaksanakan oleh Menteri Keuangan untuk dapat melakukan pembiayaan APBN, terutama karena:a. Kebutuhan pembiayaan defisit yang makin meningkat, baik sebagai akibat dari kebutuhan belanja modal maupun belanja subsidi yang makin meningkat;b. Pilihan sumber pembiayaan terutama yang berasal dari non-utang yang makin terbatas dan terus menurun ketersediaannya akibat penggunaan sumber tersebut untuk pembiayaan di masa-masa yang lalu; c. Adanya kebutuhan pengeluaran pembiayaan (non defisit) sebagai konsekuensi dari beberapa kebijakan pemerintah seperti penyediaan dana revolving untuk pembiayaan pengadaan lahan jalan tol, tambahan penempatan modal negara pada BUMN, revitalisasi BUMN, modal awal (initial capital) bagi pendirian beberapa lembaga yang mengemban misi Pemerintah, penyediaan anggaran untuk program pejaminan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW, dan lain-lain;d. Situasi pasar keuangan dunia yang buruk dan berada pada titik terendah dalam 40 tahun terakhir di penghujung periode pemerintahan, yang mengakibatkan sulitnya mencari sumber pembiayaan terutama yang berasal dari utang dalam bentuk surat berharga dan dengan biaya yang sangat mahal.

7.2. Arah dan Strategi Kebijakan Pembiayaan

Dalam menentukan kemampuan pembiayaan untuk menutup defisit APBN, arah kebijakan yang ditempuh terfokus pada pencarian sumber dan identifikasi alternatif sumber pembiayaan dan penghitungan kapasitas sumber pembiayaan yang diiringi dengan pemilihan kombinasi yang seimbang di antara pilihan alternatif sumber yang tersedia dengan tetap memperhatikan sustainability-nya dalam jangka panjang, dan trade-off biaya dan risiko dari pemilihan alternatif dimaksud.

Page 208: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

20� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Strategi yang ditempuh oleh pemerintah dalam rangka mengoptimalkan sumber pembiayaan yang tersedia:a. Mencari dan menggali sumber pembiayaan dari non utang terutama dengan melakukan penertiban rekening pemerintah dan mengembalikan pengelolaannya kepada Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara;b. Mengoptimalkan pengelolaan aset tetap dan aset keuangan yang berada dalam pengelolaan PT PPA dan melakukan pelepasannya secara strategic dengan mempertimbangkan timming dan mekanisme pelapasan yang transparan dan akuntabel, untuk memaksimalkan nilai jual asset yang hasilnya akan menjadi sumber pembiayaan APBN;c. Mencari sumber-sumber pembiayaan utang baik yang berasal dari pasar melalui penerbitan surat berharga maupun yang berasal dari pinjaman bilateral dan multilateral dengan mengoptimalkan biaya, menekan risiko dan menjaga sustainability-nya dalam jangka panjang;d. Melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan pasar surat berharga yang dapat meningkatkan likuiditas dan kedalaman pasar baik domestik maupun pasar valuta asing, agar diperoleh biaya yang minimal dan sustainabilitas yang terjaga untuk menjamin cukup tersedianya kemampuan pasar untuk menyerap dalam hal terdapat kebutuhan baik untuk pembiayaan defisit maupun refinancing utang.

Selanjutnya, untuk melihat lebih rinci kebijakan pembiayaan yang telah dilakukan pada periode 2004-2009 dapat dilihat pada uraian berikut.

7.3. Sumber dan Penggunaan Pembiayaan Non-utang

Pembiayaan non-utang mencakup seluruh pembiayaan yang memanfaatkan kekayaan (net worth) yang dimiliki pemerintah yang tidak menimbulkan kewajiban di masa yang akan datang atau pembiayaan yang bukan merupakan kewajiban saat ini karena adanya manfaat yang diperoleh dimasa lalu. Sumber-sumber pembiayaan non-utang yang dimanfaatkan selama periode 2004-2009 untuk pembiayaan APBN meliputi penggunaan saldo rekening pemerintah, yang merupakan akumulasi surplus tunai APBN (cash surplus) tahun-tahun anggaran sebelumnya; hasil penjualan aset tetap dan aset keuangan yang pengelolaannya dilakukan oleh PT PPA; serta hasil privatisasi BUMN. Sementara, penggunaannya meliputi tambahan penanaman modal negara pada BUMN; investasi pemerintah; dan kewajiban pemerintah sebagai konsekuensi dari beberapa kebijakan terkait dengan penjaminan dan terkait dengan pembangunan infrastruktur dengan pola kemitraan dengan swasta Public Private Partnership (PPP).

7.3.1. Sumber Pembiayaan dari Rekening Pemerintah

Kebijakan untuk memanfaatkan akumulasi saldo kas pemerintah sebagai sumber pembiayaan APBN telah dimulai sejak awal tahun 2000-an. Kala itu, akumulasi saldo rekening pemerintah terutama yang bersumber dasi SAL (saldo anggaran lebih) mencapai jumlah yang cukup besar, namun menganggur (idle) dan tidak produktif, karena tidak memberikan tambahan penerimaan bunga (remunerasi) bagi kas pemerintah.

Penggunaan rekening pemerintah sebagai sumber pembiayaan merupakan prioritas, karena jika dibandingkan sumber lainnya baik yang berasal dari utang maupun non-utang akan lebih menguntungkan mengingat tidak adanya keharusan untuk membayar kembali. Penggunaan rekening pemerintah tersebut bersifat sebagai tabungan pemerintah untuk menunjang operasional pengelolaan kas negara. Mengoptimalkan penggunaan rekening pemerintah juga berarti mengurangi kebutuhan untuk mengadakan utang baru.

Page 209: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 20�

www.depkeu.go.id

Beberapa rekening yang telah digunakan untuk pembiayaan APBN di antaranya adalah rekening BUN. Rekening-rekening “tidur” atau rekening “liar” ditransfer dan dikumpulkan, Rekening Dana Investasi (RDI), Rekening Pembangunan Daerah (RPD), eks rekening penjaminan (Surat Utang SU-004), dan rekening-rekening lainnya. Upaya penertiban rekening ini merupakan upaya yang berkelanjutan dan tidak dapat dilakukan hanya dalam jangka pendek, mengingat di antara rekening tersebut tidak jarang sudah sulit ditelusur pemegang kuasanya (authorisator-nya), dilakukan dengan terus menerus hingga kebijakan trasury single account sepenuhnya terlaksana.

Seiring dengan makin efisiennya pengelolaan kas pemerintah, jumlah dana dalam rekening pemerintah yang dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan semakin kecil dan peranannya (share) terhadap total kebutuhan pembiayaan. Hal ini sangat dapat dipahami mengingat dalam kondisi rekening pemerintah akan dipelihara dan dijaga hanya dalam jumlah yang optimum untuk mencukupi kebutuhan pengelolaan kas jangka pendek dan semakin sedikitnya idle cash yang tersedia sebagai sumber pembiayaan akan semakin baik dan sehat bagi pengelolaan keuangan negara.

7.3.2. Sumber Pembiayaan dari Penjualan Aset Negara

Di samping pembiayaan dari penggunaan dana tunai yang ada di rekening pemerintah, pembiayaan tunai non-utang dalam APBN juga dapat dibiayai oleh penjualan aset milik pemerintah, baik berupa aset tetap maupun aset keuangan. Dalam periode 2004-2009, pelepasan aset yang dikelola pemerintah dan dapat digunakan untuk pembiayaan APBN adalah aset eks restrukturisasi perbankan yang dikelola oleh PT Perusahaan Pengelolaan Asset (Persero) (PT PPA) dan hasil privatisasi BUMN, baik sebagian atau seluruhnya, di mana pemerintah menjadi pemegang sahamnya.

Berdasarkan Perjanjian Pengelolaan Aset yang ditandatangani pada 24 Maret 2004, Pemerintah telah menyerahkelolakan aset negara eks BPPN yang tidak berperkara kepada PT PPA (Persero) dan setiap tahun Pemerintah telah menetapkan target setoran Hasil Pengelolaan Aset oleh PT PPA kepada Negara. Selama periode 2004 – 2008, PT PPA telah melakukan setoran kepada Negara sebesar Rp 16,94 triliun. Setoran PT PPA tersebut telah memberikan kontribusi sebagai sumber pembiayaan.

Sebagai alternatif sumber pembiayaan, pemerintah sebagai pemegang saham BUMN, dapat melakukan privatisasi atau mengurangi porsi kepemilikan pemerintah melalui divestasi kepemilikan aset pada BUMN, baik melalui penjualan secara strategik maupun penawaran pada publik atas sebagian atau seluruh kepemilikan atas BUMN. Hasil dari penjualan aset dimaksud digunakan sebagai salah satu sumber pembiayaan.

Privatisasi BUMN oleh pemerintah dilakukan tidak semata-mata untuk memperoleh dana tunai. Lebih dari itu, privatisasi dilakukan untuk tujuan meningkatkan kinerja dan daya saing BUMN; dengan makin mampu bersaing diharapkan BUMN dapat memiliki nilai jual yang lebih tinggi; serta memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat. Dalam kerangka pembiayaan, target nilai dan sumber dari privatisasi dilakukan dengan memperhatikan kepentingan jangka panjang pemerintah untuk mengembangkan BUMN sebagai entitas bisnis yang sehat dengan tatakelola yang baik (good coorporate governance), sehingga dapat berperan sebagai agent of development secara optimal.

Kontribusi privatisasi setiap tahunnya pada pembiayaan APBN, selain dipengaruhi oleh kebijakan yang dilaksanakan, juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh faktor eksternal, baik yang berasal dari kondisi pasar finansial juga kondisi sektor industri BUMN tersebut. Nilai maksimal pelepasan aset BUMN tersebut akan cukup optimal apabila dilepas dalam kondisi pasar keuangan cukup kondusif, yang mendorong investasi portfolio untuk berpartisipasi. Sementara, prospek terhadap masa depan industri dimana BUMN tersebut beroperasi pada tingkat tertentu juga mempengaruhi nilai jual aset, di samping prospek kinerja BUMN sendiri.

Page 210: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

20� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Pemilihan terhadap BUMN yang layak untuk dijual dilakukan melalui penetapan keputusan komite. Rekomendasi atas BUMN yang layak untuk dijual disampaikan oleh Menteri Keuangan sebagai penguasa aset negara, yang dalam pengelolaan dan pembinaannya diserahkan pada Menteri Negara BUMN. Atas BUMN yang direkomendasikan dan di tetapkan untuk dijual tersebut, akan dimintakan persetujuan pada DPR mengenai pelaksanaannya. Terkait dengan waktu pelaksanaannya, persetujuan DPR belum merupakan hal yang mutlak untuk dilaksanakan. Faktor eksternal sebagaimana tersebut di atas sangat tergantung pada situasi pasar agar diperoleh nilai yang maksimal juga menjadi bagian yang perlu menjadi perhatian dalam pengambilan keputusan operasionalnya.

7.3.3. Penggunaan Pembiayaan untuk Keperluan Selain Pembiayaan Defisit APBN

Komponen pembiayaan untuk investasi pemerintah, restrukturisasi BUMN, dan penjaminan pemerintah merupakan komponen pembiayaan yang bersifat pengeluaran (outflow). Cakupan dari komponen pembiayaan yang bersifat pengeluaran ini tidak dilakukan secara reguler oleh pemerintah, namun lebih merupakan pengeluaran yang bersifat ad-hoc, hanya dilakukan apabila terdapat kebutuhan atau adanya suatu kebijakan yang memerlukan pengeluaran pembiayaan dimaksud. Kendati sifat pembiayaannya ad-hoc, namun penggunaan dari pembiayaan tersebut dapat memberikan manfaat dalam jangka panjang bagi pemerintah dan rakyat. Di samping itu, dapat pula meningkatkan net-worth Pemerintah di masa yang akan datang.

Selama periode 2004-2009, pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk investasi pemerintah, restrukturisasi dan/atau revitalisasi BUMN dan penyertaan modal negara pada BUMN, modal awal bagi unit khusus yang menangani percepatan pembangunan dengan kerangka kemitraan antara pemerintah dan swasta (PPP), serta sebagai contingency atas kebijakan pemerintah untuk memberikan jaminan bagi program percepatan pembangunan ketenagalistrikan 10.000 MW.

7.3.3.1. Investasi Pemerintah

Investasi pemerintah dilakukan dengan mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2008 yang merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengamanatkan pemerintah untuk melakukan investasi jangka panjang dengan tujuan untuk memberikan manfaat

Page 211: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 209

www.depkeu.go.id

ekonomi, manfaat sosial, dan manfaat lainnya. Investasi jangka panjang tersebut merupakan wujud dari peran pemerintah dalam rangka memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebijakan investasi yang dilakukan oleh pemerintah mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah sebagai penjabaran dari Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Dalam peraturan pemerintah tersebut, investasi pemerintah meliputi investasi jangka panjang nonpermanen, yang terdiri dari pembelian surat berharga dalam bentuk saham dan surat utang; serta investasi langsung. Investasi langsung tersebut adalah investasi langsung jangka panjang yang bersifat nonpermanen dengan cara pola kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur dan non-infrastruktur.

Atas penugasan tersebut, pemerintah dalam beberapa tahun anggaran telah mengalokasikan dana untuk diinvestasikan pada bidang infrastruktur dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia, di antaranya pembiayaan pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol melalui land acuisition fund dan Joint Investment Company, terutama di bidang infrastruktur yang didirikan pada 2009. Sisanya ditempatkan pada instrumen jangka pendek untuk mengoptimalkan return. Kebijakan investasi dititikberatkan pada bidang infrastruktur dengan prioritas infrastruktur jalan (khususnya jalan tol), transportasi, dan energi. Khusus untuk infrastruktur jalan tol, difokuskan untuk mewujudkan rencana pembangunan jalan tol Trans Jawa dan ruas lain di luar Trans Jawa sesuai prioritas yang disampaikan oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dengan memberikan dana bergulir dalam rangka pengadaan tanah bagi jalan tol.

7.3.3.2. Restrukturisasi BUMN

Sebagai pemilik BUMN, pemerintah bertanggung jawab dan wajib untuk melakukan pembinaan, mendukung perkembangannya dan meningkatkan perannya sebagai agent of development. Dalam hal BUMN telah mampu untuk mengembangkan peranannya dan meningkatkan kinerjanya dan agar mampu berkompetisi maka pemerintah dapat mengurangi campur tangannya dengan mengurangi prosentasi/proporsi kepemilikannya, baik dengan membuka kesempatan seluasnya kepada publik manakala BUMN tersebut melakukan ekspansi usaha atau dengan melakukan privatisasi dengan melepaskan aset yang dimiliki pemerintah. Sebaliknya, dalam hal BUMN memerlukan penguatan permodalan terutama pada BUMN yang dianggap strategis, namun tidak cukup memiliki nilai jual pada publik untuk berpartisipasi menambahakan modalnya maka pemerintah secara selektif dapat melakukan penambahan modal pada BUMN dimaksud. Penanaman modal negara juga dapat dilakukan pemerintah dalam hal pendirian lembaga bentukan baru, dalam bentuk initial capital, yang menjalankan fungsi dan misi pemerintah untuk berbagai tujuan tertentu. Demikian juga dalam hal BUMN memerlukan adanya restrukturisasi maka pemerintah dengan persetujuan DPR dapat melakukan penyertaan.

Selama periode pemerintahan 2004-2005, pemerintah telah melakukan pendirian tiga lembaga baru, yaitu lembaga yang didirikan untuk melakukan penjaminan atas simpanan dana masyarakat yang ada diperbankan, yaitu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai ketentuan Undang-undang nomor 24 tahun 2004; lembaga yang memfasilitasi perputaran aliran dana bagi pembiayaan perumahan melalui mekanisme sekuritisasi, yaitu PT Sarana Multigria Finansial Persero (PTSMF) sesuai ketentuan Peraturan Presiden nomor 19 tahun 2005 yang diubah dengan Peraturan Presiden nomor 1 Tahun 2008 mengenai Pembiayaan Sekunder Perumahan, dan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) yang didirikan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah nomor 66 tahun 2007 dan diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah nomor 75 tahun 2008 tentang Pendirian PT Sarana Multi Infrastruktur (Presero) (PT SMI).

Page 212: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

210 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Sementara itu, dalam rangka melaksanakan amanat Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Kebijakan Ekonomi tahun 2008–2009, dibutuhkan pendirian dan pengoperasian lembaga penjaminan infrastruktur (guarantee fund). Lembaga pejaminan ini didirikan guna mendorong keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur dengan tujuan utama untuk memberikan kemudahan bagi proyek infrastruktur dalam mencapai pembiayaan (financial close) dan memperoleh biaya modal (cost of capital) yang terbaik, melalui peningkatan kelayakan memperoleh kredit (creditworthiness) dari proyek infrastruktur tersebut. Untuk itu, pemerintah akan menempatkan modal yang diteruspinjamkan pada PT SMI.

PMN juga diberikan pemerintah dalam bentuk konversi utang menjadi ekuitas, di antaranya dilakukan melalui:a. Percepatan penyelesaian bantuan pemerintah yang belum ditetapkan statusnya (BPYBDS) menjadi ekuitas BUMN. BPYBDS adalah proyek Pemerintah yang didanai oleh APBN (DIPA departemen teknis) yang telah diserahterimakan kepada BUMN. Saat ini, aset tersebut dioperasikan oleh BUMN untuk mendukung kegiatan operasional BUMN serta tercatat dalam neraca BUMN, tetapi belum ada penetapan status dari proyek pemerintah tersebut kepada BUMN.b. Percepatan penyelesaian restrukturisasi utang BUMN melalui RDI/SLA dengan mekanisme konversi utang menjadi ekuitas (debt to equity swap), seperti yang terjadi pada PT Pertamina (Persero). Timbulnya PMN ini terkait dengan hasil rekonsiliasi utang piutang PT Pertamina (Persero) dan Pemerintah sebagai dasar penetapan neraca awal PT Pertamina (Persero) tahun 2003, sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 23/KMK.06/2008 tanggal 30 Januari 2008 tentang Penetapan Neraca Pembuka PT Pertamina (Persero) per 17 September 2003. Dari hasil rekonsiliasi tersebut, terlihat bahwa Pemerintah mempunyai piutang terhadap PT Pertamina (Persero) sebesar Rp 9,1 triliun, yang selanjutnya piutang ini dikembalikan kepada PT Pertamina (Persero) sebagai PMN.c. Penyehatan dan pengembangan usaha BUMN dilakukan melalui pemanfaatan dana restrukturisasi dalam bentuk pemberian pinjaman bergulir yang tersedia pada pos dana investasi pemerintah.

Di samping PMN yang dilakukan oleh pemerintah untuk pendirian lembaga baru dan meningkatkan permodalan BUMN, secara sangat selektif pemerintah juga akan melakukan restrukturisasi dan/atau revitalisasi pada BUMN, terutama untuk peningkatan kinerja yang memerlukan dukungan pemerintah. Restrukturisasi dan/atau revitalisasi BUMN tersebut dalam secara operasional dilaksanakan oleh PT PPA berdasarkan tambahan penugasan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pengelolaan aset.

7.3.3.3. Penjaminan Pemerintah

Pembiayaan yang bersifat pembelanjaan, selain digunakan untuk penanaman modal negara, investasi, sejak 2008 pemerintah juga menganggarkan dana yang bersifat contingent untuk penjaminan sebagai konsekuensi dari Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2007 pemerintah akan memberikan penugasan pada PT PLN untuk melakukan percepatan pembangunan ketenaga listrikan 10.000 MW. Sesuai dengan ketentuan dimaksud, pemerintah memberikan penugasan kepada PT PLN untuk melakukan pembangunan pembangkit tenaga listrik dengan kekuatan 10.000 MW, di mana dalam pembiayaan pembangunan pembangkit tersebut PT PLN akan melakukan pinjaman yang dijamin penuh risiko gagal bayar PT PLN atas kewajibannya dalam pembiayaan program dimaksud. Untuk itu, setiap tahun, sejak tahun 2008, pemerintah harus menganggarkan jumlah tertentu sebagai dana dana cadangan kontingensi yang hanya dapat digunakan apabila risiko gagal bayar tersebut terjadi. Dalam hal terjadi realisasi atas penjaminan pemerintah tersebut maka penjaminan yang diberikan tersebut akan dikonversi menjadi utang/pinjaman PT PLN kepada pemerintah dengan ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan kemudian.

Page 213: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 211

www.depkeu.go.id

Dalam rangka meningkatkan peran koperasi, usaha mikro, kecil, menengah, dan usaha lainnya dalam pengembangan usahanya, Pemerintah juga memberikan stimulan dalam bentuk dana bergulir untuk bantuan penguatan modal. Sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 99 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Bergulir pada Kementerian Negara/Lembaga, suatu dana dapat dikategorikan sebagai dana bergulir apabila memenuhi karakteristik merupakan bagian dari keuangan negara; dicantumkan dalam APBN; dimiliki, dikuasasi, dan/atau dikendalikan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran; disalurkan/dipinjamkan kepada masyarakat/kelompok masyarakat, ditagih kembali dengan atau tanpa nilai tambah, dan digulirkan kembali kepada masyarakat/kelompok masyarakat (revolving fund); ditujukan untuk perkuatan modal koperasi, usaha mikro, kecil, menengah dan usaha lainnya; dapat ditarik kembali pada suatu saat. Dana bergulir antara lain diberikan untuk lembaga pengelolaan dana bergulir koperasi, usaha kecil dan menengah (LPDB KUKM) dan untuk sektor kehutanan. Dana bergulir di sektor kehutanan didasari kesadaran akan makin pentingnya fungsi hutan saat ini, yaitu sebagai salah satu pendukung kualitas kehidupan manusia melalui penciptaan lingkungan yang sehat; dan menjadi salah satu penopang ekonomi nasional untuk menuntaskan kemiskinan di perdesaan, menggerakkan ekonomi nasional melalui investasi di sektor kehutanan, dan meningkatkan daya saing perekonomian dengan negara lain.

Secara keseluruhan pembiayaan non utang tahun 2004 – 2009 dapat disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 7.1. Pembiayaan Non Utang 2004 - 2009

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi APBN Stimulus

Perbankan Dalam Negeri, Rekening Pemerintah

25.7 (2,6) 18.90 8.4 (11,7) 65.8

Non-perbankan dlm negeri 19.3 1.4 1.10 0.7 0.4 (11,1)

Privatisasi (neto) 3.5 - 0.40 0.3 0.1 0.5

Penerimaan privatisasi - - 2.40 3 0.1 0.5

Penyertaan Modal Negara BUMN

- - (2,0) (2,7) 0 0

Hasil pengelolaan Aset 15.8 6.6 2.70 2.4 2.8 2.6

Dana Invest. Pmrth & restruk. BUMN

- (5,2) (2,0) (2,0) (2,5) (14,1)

Pembiayaan Non Utang, Total 45.0 (1,2) 20.00 9.1 (11,3) 54.7

Sumber : Departemen Keuangan

7.4. Sumber Dan Penggunaan Pembiayaan Utang

Dalam konteks pengelolaan keuangan negara di Indonesia, sesuai ketentuan dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2003 dan Undang-undang Nomor 1 tahun 2004, kebijakan untuk melakukan utang atas nama negara hanya dapat dilakukan oleh Menteri keuangan sebagai chief financial officer (CFO). Sebagai CFO Menteri Keuangan berperan sebagai pengelola keuangan negara dalam arti seutuhnya yang melaksanakan tugas sebagai manajer keuangan sehingga, berkewajiban untuk mengelola penerimaan dan pengeluaran APBN, menentukan sumber-sumber pembiayaan anggaran, merencanakan perolehan dana, menggunakan dana, dan mengendalikan dana tersebut dalam rangka mengoptimalkan fungsi penggunaannya.

Page 214: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

212 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Pembiayaan melalui utang merupakan salah satu cara pembiayaan defisit yang lazim dilakukan dalam pengelolaan kebijakan keuangan negara di hampir seluruh negara di belahan dunia. Pembiayaan melalui utang dipandang merupakan sumber pembiayaan yang dapat berkesimanbungan (sustainable) yang dapat dilakukan, mengingat adanya konsep refinancing atau pembiayaan kembali. Namun demikian, karena sifatnya yang dapat menimbulkan kewajiban dikemudian hari dan dikhawatirkan akan mengurangi pilihan dan keleluasaan pemerintah dikemudian hari untuk melakukan kebijakan pembangunannya sebagai akibat dari penumpukan beban fiskal maka untuk mencapai kondisi keuangan negara yang sehat dan pengelolaan yang kredibel perlu diimbangi dengan pengelolaan utang yang dilaksanakan secara profesional, akuntabel, dan transparan. Kesalahan di dalam pengelolaan utang akan berdampak negatif terhadap perekonomian, antara lain ketidakmampuan dalam membayar kewajiban utang, membengkaknya kewajiban utang di luar perkiraan, menurunnya kepercayaan investor dan kreditor, terjadinya penurunan peringkat utang (sovereign credit rating), terganggunya kesinambungan fiskal (fiscal sustainability), terhambatnya kegiatan pemerintahan akibat tidak terjaminnya sumber pembiayaan, bahkan default.

7.4.1. Penggunaan Utang untuk Pembiayaan Defisit APBN

Peranan utang dalam pembiayaan APBN pada periode 2004-2009 semakin dominan, sebagaimana terlihat dari perkembangan Pembiayaan APBN dan Defisit Anggaran tahun 2004-2008, pada grafik berikut ini.

Grafik 7.1. Perkembangan Defisit dan Pembiayaan APBN

Sebagaimana disajikan dalam grafik 7.1, terdapat pola yang konsisten di mana pembiayaan yang bersumber dari non-utang menunjukkan pola yang menurun bahkan negatif. Sebaliknya, pembiayaan yang bersumber dari utang (neto) meningkat secara signifikan, bahkan pembiayaan melalui penerbitan surat berharga neto jauh melampaui kebutuhan pembiayaan defisit. Hal ini menunjukkan adanya suatu kecenderungan pergeseran pola pembiayaan yang mengarah pada market based financing. Namun demikian, pembiayaan melalui penerbitan SBN dalam jumlah yang besar belum dapat dilakukan secara optimal, terutama pada saat terjadi krisis keuangan mengingat daya serap pasar domestik yang masih perlu dikembangkan secara berkelanjutan.

Kecenderungan peningkatan sumber pembiayaan dari utang yang makin besar akan membawa konsekuensi langsung pada pengelolaan fiskal pemerintah. Konsekuensi tersebut antara lain:a. Adanya kebutuhan yang makin besar terhadap alokasi belanja untuk pembayaran bunga atas utang;

2004 2005 2006 2007 2008+ 2009+

140

120

100

80

60

40

20

0

-20

-40

Defisit (Surplus) APBN

SBN (Netto) Pinjaman LN - Neto Tambahan Utang Non-Utang - Natto

Triliun Rupiah11

10

9

8

7

6

5

4

3

2

1

0

-1

-2

-3

% thd. PDB

24

7

(28)

1.0

42

1423

(10)

0.5

(1)

2936

(27)

0.9

20

5057

(24)

1.39 4

86

(18)

0.1

17

140

55

(14)

25

4555

Difisit APBN;% thd. PDB (RHS)

Utang - neto,% thd. PDB (RHS)

Catatan:** * Berdasarkan angka APBN 2008 - LKPP unaudited** ** Berdasarkan angka APBN Stimulus 2009Sumber: Departemen Keuangan

Page 215: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 21�

www.depkeu.go.id

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi APBN Stimulus

Surat Berharga Negara (neto) 6.9 22.6 36.00 57.2 85.9 54.7

Penerbitan: 32.3 47.4 0.00 116.9 126.2 99.6

Domestik 23.6 22.5 42.60 86.4 86.9 30.0

Valas 9.0 24.5 18.50 13.6 39.3 43.1

Pembayaran pokok dan pembelian kembali

(25.5) (24.8) (25.06) (59.7) (40.3) (44.9)

Pembiayaan Pinjaman Luar Negeri (neto)

(28.1) (10.1) (26.6) (23.9) (18.9) (14.5)

Penarikan pinjaman LN (bruto) 18.4 26.8 26.1 34.1 44.5 57.6

Pinjaman Program 5.1 12.3 13.6 19.6 29.6 31.9

Pinjaman Proyek 13.4 14.6 12.5 14.5 14.9 25.7

Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN

(46.5) (37.1) (52.7) (57.9) (63.4) (72.1)

Tambahan Pembiayaan Utang 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 44.5

Total Pembiayaan Utang (21.2) 12.3 9.4 33.3 67.0 84.8

Sumber : Departemen Keuangan

b. APBN dan pengelolaan fiskal cukup rentan terhadap dinamika pasar; c. Kebutuhan refinancing utang semakin meningkat yang harus diimbangi dengan upaya peningkatan kapasitas pasar SBN, sebagai instrument utama dalam pembiayaan; d. Perlunya pengelolaan kas yang makin baik agar setiap utang yang dilakukan tidak menimbuklan biaya yang berlebihan akibat adanya dana tunai yang idle.

Perkembangan pembiayaan melalui utang dilihat dari komponen penyusunnya dapat dilihat pada tabel 7.2.

Tabel 7.2. Pembiayaan Utang 2004 – 2009 (Rp triliun)

Berdasarkan tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa pembiayaan utang melalui SBN selalu positif dan cenderung meningkat, sementara pembiayaan melalui pinjaman luar negeri selalu negatif. Hal ini berarti penerbitan SBN juga digunakan untuk refinancing Pinjaman Luar Negeri.

7.4.2. Sumber Pembiayaan Melalui Penerbitan Surat Berharga Negara

Dalam kurun waktu 2004–2008 realisasi pembiayaan SBN neto menunjukkan peningkatan dari sebesar negatif Rp 21,2 triliun, atau terjadi pengeluaran utang neto (net debt payment) pada 2004 menjadi sebesar Rp 66,75 triliun pada 2008, bahkan jauh meningkat pada 2009 sebagaimana disebutkan dalam APBN yang telah mempertimbangkan adanya kebutuhan untuk stimulus fiskal sehingga menjadi Rp 84,8 triliun. Peningkatan tersebut terutama terjadi karena sejak 2005, penerbitan SBN juga berperan sebagai instrumen pembiayaan bagi pembayaran kembali utang (refinancing) bagi pinjaman luar negeri. Secara bertahap, penerbitan SBN neto meningkat dari Rp 6,8 triliun pada 2004 menjadi Rp 85,9 triliun pada 2008, atau lebih dari sepuluh kali lipat. Sementara, pinjaman luar negeri secara konsisten menunjukkan penurunan secara rata-rata selama empat tahun tersebut sekitar Rp 21 triliun pertahun.

Page 216: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

21� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Dalam kurun waktu 2004-2008, jumlah surat berharga yang telah diterbitkan mencapai Rp 366,6 triliun, terdiri dari penerbitan di pasar domestik sebesar Rp175,1 triliun dan sebesar Rp 261,8 triliun (ekuivalen USD 11,2 miliar) diterbitkan di pasar internasional. Jumlah tersebut bahkan meningkat sangat signifikan bila memperhitungkan penerbitan hingga triwulan I 2009 sehingga menjadi Rp 432,6 triliun. Sementara, jumlah surat berharga yang dilunasi, baik karena jatuh tempo maupun dibeli kembali sebelum jatuh tempo (buy back) sejak Triwulan IV 2004 hingga Triwulan I tahun 2009 mencapai Rp 157.9 triliun. Seluruh surat berharga yang dilunasi tersebut merupakan surat berharga yang diterbitkan di dalam negeri, di mana sebagian di antaranya, yaitu Rp 16,8 triliun, adalah surat berharga yang tidak dapat diperdagangkan yang diterbitkan kepada Bank Indonesia. Dengan demikian, secara neto pembiayaan SBN yang telah dilakukan sejak triwulan IV tahun 2004 sampai dengan triwulan I tahun 2009 mencapai Rp 208,6 triliun.

Di pasar domestik, jumlah surat berharga yang diterbitkan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Dalam tahun 2004 dan 2005, penerbitan di pasar domestik secara neto menunjukkan jumlah yang negatif. Hal ini mengingat jumlah surat berharga yang jatuh tempo di pasar domestik jauh lebih besar daripada yang diterbitkan, sementara kapasitas pasar dalam negeri dalam me-refinance seluruh surat berharga yang jatuh tempo belum mencukupi. Kapasitas pasar yang terbatas ini terjadi karena banyak bank yang semula memegang SUN hasil obligasi rekap mulai menjual di pasar sekunder karena akan menambah kapasitas dalam memberikan pinjaman. Penjualan oleh bank di pasar sekunder tersebut diabsorpsi oleh tipe investor yang lain seperti reksadana, asuransi, dana pensiun, bahkan oleh individu. Dalam tahun 2006-2007, penerbitan di pasar domestik menunjukkan jumlah neto yang positif karena adanya tambahan kebutuhan penerbitan, yang didukung oleh diversifikasi instrumen dalam bentuk penerbitan Obigasi Ritel (ORI), dan adanya basis investor yang berpartisipasi terutama investor asing yang memanfaatkan tingginya likuiditas di pasar dunia dan melakukan parktik carry trade (meminjam dari negara dengan tingkat bunga rendah seperti Jepang) untuk diinvestasikan di negara dengan tingkat bunga yang lebih tinggi untuk mendapatkan positive return (yield seeker). Peningkatan partisipasi oleh asing ini terutama didukung oleh environment interest rate dunia yang rendah dan likuiditas pasar dunia yang cukup tinggi.

Di pasar internasional, sejak 2004 pemerintah mulai menerbitkan SUN, dengan jumlah yang dipandang memadai untuk digunakan sebagai referensi (benchmark size) harga aset, yaitu USD 1 miliar. Penerbitan di pasar internasional ini tidak semata-mata didasari oleh kebutuhan pembiayaan, namun juga sebagai upaya penciptaan referensi harga (benchmark pricing) untuk surat berharga yang diterbitkan oleh perusahaan Indonesia atau aset-aset keuangan Indonesia lainnya. Peningkatan ini bukan sepenuhnya menunjukkan indikasi adanya ketergantungan sumber pembiayaan, terutama untuk me-refinance pinjaman luar negeri atau mengisi gap kebutuhan pembiayaan sebagai akibat dari kapasitas pasar domestik yang masih terbatas, namun juga sebagai alternatif sumber pembiayaan agar tidak terjadi crowding-out effect di pasar dalam negeri. Walaupun demikian, pemerintah akan tetap memperhatikan dan menjaga upaya-upaya untuk menurunkan pembiayaan utang secara keseluruhan yang bersumber dari luar negeri, yang ditunjukkan oleh tetap terjadinya pengurangan pembiayan utang luar negeri neto (net declining external debt), agar tidak menambah kerentanan faktor eksternal dalam utang pemerintah (external vulnerability).

7.4.3. Sumber Pembiayaan Melalui Pinjaman Di sisi pinjaman luar negeri, selama 2004-2008 pemenuhan defisit pembiayaan yang dilakukan melalui penarikan pinjaman program mencapai Rp 80,1 triliun atau ekuivalen dengan USD 7,42 miliar. Dari tahun ke tahun, pembiayaan yang bersumber dari pinjaman program menunjukkan kecenderungan yang meningkat, dari USD 400 juta pada 2004 meningkat menjadi USD 1.000 juta pada 2005, dan USD 1.300 juta pada 2006. Pada 2007, terjadi peningkatan pinjaman program yang cukup tinggi lebih dari 60 persen dari tahun sebelumnya, yaitu mencapai USD 2.100 juta, termasuk

Page 217: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 21�

www.depkeu.go.id

60

50

40

30

20

10

0

Sumber: Departemen Keuangan

Pinjaman Program

2004 2005 2006 2007 2008

APBN-P Realisasi APBN-P Realisasi APBN-P Realisasi APBN-P Realisasi APBN-P Realisasi

Pinjaman Proyek

trili

un ru

piah

3.1

13.4

5.1

24.3

11.3

14.6

12.3

25.5

12.1

12.5

13.6

23.2

19.0

14.5

19.6

21.8

26.4

14.4

29.618.6

di dalamnya USD 200 juta dalam bentuk pembiayaan tunai dari Islamic Development Bank. Pinjaman tersebut terutama berasal dari 3 lender besar, yaitu ADB, Bank Dunia dan JBIC. Selama kurun waktu tersebut, terdapat beberapa pinjaman yang karena pemenuhan policy matrix-nya tidak dapat dipenuhi maka diputuskan untuk dibatalkan. Kekurangsesuaian antara perencanaan dan realisasi juga terjadi karena perubahan kebijakan pemberi pinjaman terutama terkait dengan jumlah pinjaman yang dapat disediakan (lending limit), serta perubahan/penundaan realisasi penarikan seperti yang terjadi pada 2007 pada pinjaman Infrastructure Development Policy Loan-I (I-DPL1) dari Bank Dunia yang realisasi penarikannya terjadi pada 2008.

Realisasi penarikan pinjaman proyek sangat terkait dan ditentukan oleh perkembangan kemajuan pelaksanaan kegiatan yang dibiayainya. Berbeda dengan penarikan pinjaman program, penarikan pinjaman proyek biasanya dilakukan lebih dari satu kali penarikan (multi tranches) mengingat sebagian besar pinjaman proyek digunakan untuk membiayai kegiatan dengan tahun jamak (multi years) dan atau kegiatan yang tersebar di berbagai daerah. Besarnya penarikan pinjaman proyek dalam satu tahun anggaran ditentukan oleh rencana penarikan (disbursement plan) yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan kegiatan.

Grafik 7.2. Perbandingan Rencana dan Realisasi Penarikan Pinjaman Luar Negeri 2004–2008

Dalam grafik tersebut terlihat bahwa realisasi penarikan pinjaman pada 2004-2008 lebih rendah daripada rencana/pagu yang ditetapkan dalam APBN/APBN-P. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan belum dapat dipenuhinya target penarikan pinjaman tersebut, antara lain:a. Adanya kelambatan dalam pelaksanaan kegiatan khususnya bagi pinjaman-pinjaman baru misalnya belum dipenuhinya berbagai persyaratan administratif pada saat penuangan dalam dokumen anggaran;b. Terdapat kecenderungan pelaksanaan kegiatan tidak sesuai dengan rencana (target) awal, sebagaimana tertuang dalam desain proyek yang akan berpengaruh terhadap realisasi penarikan dana;c. Kegiatan tertentu yang telah direncanakan tidak dapat dilakukan tepat waktu karena memerlukan proses pengadaan barang dengan spesifikasi khusus sehingga memerlukan waktu yang relatif lama.

Page 218: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

21� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

7.5. Pengelolaan Utang

Tingginya kebutuhan pembiayaan melalui utang yang terjadi selama kurun waktu lima tahun terakhir telah menambah jumlah utang secara nominal. Namun, peningkatan tersebut masih lebih kecil bila dibandingkan pertumbuhan perekonomian yang ditunjukkan oleh pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nominal yang meningkat sangat pesat. Rasio utang terhadap PDB menjadi ukuran dari ketahanan fiskal. Perkembangan utang dan rasio utang terhadap PDB selama periode 2004-2009 dapat dilihat pada tabel 7.3.

Tabel 7.3. Perkembangan Utang dan Rasio Terhadap PDB Periode 2004 – 2009

Catatan:+ Angka Sementara++ Angka Sangat Sementara +++ Angka Sangat-sangat Sementara , per Maret 2009* termasuk semi commercial** Beberapa Umumnya termasuk semi concessional*** Seluruhnya termasuk commercial

2004 2005 2006 2007+ 2008 ++ Mar’09 +++

a. Pinjaman (dlm. miliar US$) 68.59 63.09 62.02 62.25 66.69 63.20

Bilateral *) 46.48 42.16 41.07 41.03 44.28 41.24

Multilateral **) 19.48 18.78 18.84 19.05 20.34 19.98

Komersial ***) 2.17 1.82 2.01 2.08 1.98 1.91

Suppliers ***) 0.29 0.17 0.11 0.08 0.09 0.08

Bonds/Notes ***) 0.17 0.17 - - - -

b. Surat Berharga Negara (dlm. miliar US$) 71.29 70.51 82.34 85.26 82.78 83.63

Denominasi Valas 1.00 3.50 5.50 7.00 11.20 14.20

Denominasi Rupiah 70.29 67.01 76.84 78.26 71.58 69.43

“Total Utang Pemerintah Pusat (dlm. miliar US$)”

139.88 133.60 144.36 147.51 149.47 146.83

“Total Utang Pemerintah Pusat (ekuivalen dlm. triliun Rupiah)”

1,299.50 1,313.29 1,302.16 1,389.41 1,636.74 1,699.56

“diantaranya SBN Denominasi Rupiah (dlm. triliun Rupiah)”

653.03 658.67 693.12 737.13 783.86 803.64

Nilai Tukar Rupiah (IDR/US$1) 9,290 9,830 9,020 9,419 10,950 11,575

PDB (dlm. miliar Rupiah) 2,295,826 2,774,281 3,339,480 3,957,404 4,954,029

Rasio Utang terhadap PDB 57% 47% 39% 35% 33%

Page 219: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 21�

www.depkeu.go.id

Perkembangan outstanding utang pemerintah cenderung meningkat sejalan dengan kebutuhan pembiayaan APBN. Faktor lain penyebab meningkatnya outstanding utang adalah berkurangnya sumber-sumber pembiayaan non utang. Total utang pemerintah meningkat dari Rp 1.299,50 triliun pada 2004 menjadi Rp 1.700 pada Maret 2009. Namun, untuk melihat perkembangan utang secara relatif terhadap perekonomian, perlu dibandingkan dengan angka PDB pada periode tersebut.

Dalam tahun 2004, rasio utang terhadap PDB masih berada pada tingkat 57 persen. Dalam kurun waktu lima tahun, hingga akhir 2008, rasio utang terhadap PDB telah mencapai 33 persen. Penurunan rasio utang terhadap PDB menunjukkan peningkatan nominal utang selama periode tersebut diiringi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan perekonomian dalam memenuhi kewajiban utang makin membaik. Diperkirakan pada akhir 2009 rasio utang terhadap PDB akan semakin menurun hingga berada pada level di bawah 30 persen terhadap PDB.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mengukur ketahanan fiskal adalah melihat beban utang secara relatif terhadap besaran perekonomian. Besarnya kewajiban utang yang harus dibayar setiap tahun berupa pembayaran pokok dan bunga utang merupakan beban yang harus ditanggung perekonomian. Rasio pembayaran pokok dan bunga utang terhadap PDB dapat dilihat pada grafik 7.3.

Grafik 7.3. Rasio Realisasi Pembayaran Bunga Utang dan Pokok Utang terhadap PDB 2004 - 2008

Berdasarkan grafik 7.3. dapat dilihat bahwa besarnya pembayaran bunga dan pokok utang secara relatif terhadap besaran perekonomian Indonesia selama periode tersebut semakin menurun. Hal ini menunjukkan beban utang pemerintah terhadap perekonomian semakin mengecil dan menunjukkan pengelolaan utang semakin berhati-hati (prudent).

Untuk melihat beban utang terhadap APBN dapat dilihat pada perbandingannya dengan jumlah penerimaan dan belanja pemerintah, sebagaimana dapat dilihat pada grafik 7.4.

7.0%

6.0%

5.0%

4.0%

3.0%

2.0%

1.0%

0.0%2004 2005 2006 2007 2008*

*Catatan: Angka sementara

5.8%

4.6% 4.7% 4.6%3.9%

Sumber: Departemen Keuangan

Page 220: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

21� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Grafik 7.4. Perbandingan Beban Utang (Pokok dan Bunga) terhadap Penerimaan dan Belanja Pemerintah

Selama periode 2004-2009, beban utang terhadap APBN yang diindikasikan melalui perbandingan beban utang terhadap penerimaan dan belanja pemerintah menunjukkan tren menurun. Rasio beban utang terhadap pendapatan menurun dari 2004 sebesar 33% menjadi 21% pada Maret 2009. Sedangkan terhadap belanja menurun dari 2004 sebesar 31% menjadi 20% pada Maret 2009. Rasio tersebut di atas menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan dalam hal penurunan beban utang terhadap APBN.

7.5.1. Pengelolaan Pinjaman

Pembiayaan dengan utang melalui instrumen pinjaman sudah dilakukan, bahkan sejak sebelum tahun 1960-an. Pinjaman yang dilakukan terutama digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu, baik kegiatan dalam bentuk pinjaman proyek (project financing) sehingga pencairan pinjamannya akan sangat tergantung pada progres pengerjaan proyek dengan skedul pencairan sebagaimana diperjanjikan, atau dapat juga dalam bentuk pinjaman tunai yang didalam pencairannya mensyaratkan terpenuhinya kondisi tertentu seperti matriks kebijakan (policy matrix). Pinjaman tunai yang diberikan oleh official kreditor lebih dikenal dengan Pinjaman Program. Pinjaman yang dilakukan tersebut pada muaranya, yaitu pada waktu pencairannya akan diadministrasikan melalui APBN.

Pinjaman kegiatan pada hakikatnya bukan merupakan pinjaman untuk pembiayaan defisit mengingat tidak adanya keleluasaan dalam penggunaan dan secara administrasi APBN berkorelasi langsung dengan suatu bentuk pengeluaran, baik itu sebagai belanja maupun sebagai penerusan pinjaman, yang dimasukkan sebagia bagian dari pembiayaan yang tidak mempengaruhi defisit APBN. Sedangkan pinjaman program merupakan pinjaman atau utang yang dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan defisit secara umum, diterima secara tunai, dan ada keleluasaan dalam penggunaannya.

Sumber: Departemen Keuangan

35%

30%

25%

20%

15%

10%

5%

02004 2005 2006 2007 2008* 2009**

to Expenditureto Revenue

33%31%

26% 25% 25% 24%

28%26%

20% 19%

27%

23%

* LKPP unaudited** APBN Stimulus

Page 221: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 219

www.depkeu.go.id

Penggunaan dana dari pinjaman proyek/pinjaman kegiatan akan langsung dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan kementrian dan lembaga, atau juga dapat diteruspinjamkan atau diterushibahkan pada daerah atau pada BUMN. Pinjaman proyek tersebut dapat diterima dalam bentuk tunai yang dibayarkan langsung pada pihak ketiga pelaksana pengerjaan proyek (kontraktor) atau juga dapat diterima dalam bentuk barang dalam hal pinjaman in-kind yang dilakukan karena adanya kontrak pembelian barang (purchase contract), atau juga dalam bentuk pembukaan letter of credit, L/C untuk memfasilitasi kontrak pembelian (purchase contract). Sementara, pinjaman program akan diterima secara langsung oleh Menteri Keuangan dalam bentuk transfer dana segar dalam rekening yang dikelola unit pengelola kas.

Pembiayaan melalui pinjaman, sejak persiapan hingga pelaksanaan, merupakan bisnis proses yang panjang yang melibatkan banyak institusi, di antaranya kementrian lembaga, Bappenas, pemberi pinjaman (lender), dan Departemen Keuangan. Bisnis proses tersebut diawali dengan persiapan awal kegiatan dalam bentuk studi kelayakan untuk pinjaman proyek dan pengusulan kegiatan yang dilakukan oleh kementrian lembaga, penyusunan dokumen perencanaan hingga penentuan skala prioritas yang dilakukan oleh Bappenas, pencarian pembiayaan oleh Departemen Keuangan, pemantauan kemajuan kesiapan kegiatan dalam rangka pemenuhan readiness criteria di semua aspek yang dilakukan bersama antar Kementrian Lembaga, Bappenas dan Departemen Keuangan, negosiasi pembiayaan oleh Departemen Keuangan, Pelaksanaan Kegiatan oleh Kementrian Lembaga, dan Pengelolaan terhadap pembiayaan dari kegiatan yang dilakukan oleh Departemen Keuangan, serta pemantauan kegiatan yang dilakukan oleh Departemen Keuangan dan Bappenas. Dalam hal pinjaman diteruspinjamkan, maka dalam prosesnya akan juga melibatkan BUMN atau Pemerintah Daerah sebagai pengusul dan penerima penerusan pinjaman. Dalam persetujuannyapun akan melibatkan Kementrian Negara BUMN untuk penerusan pinajamn pada BUMN dan Mentri Dalam Negeri, dalam hal penerusan pinjaman pada Pemerintah Daerah dan Perusahaan Daerah. Dengan demikian dari sisi rentang waktu, pembiayaan kegiatan melalui utang/ pinjaman proyek memerlukan waktu yang sangat panjang. Dari rangkaian yang cukup panjang tersebut, fungsi Menteri Keuangan sebagai pengelola utang akan terlibat di dalam pencairan pemberi pinjaman dan dalam hal negosiasi serta administrasi realisasi penarikan pinjaman. Untuk menjaga adanya governance dalam pengelolaan pembiayaan melaui pinjaman, pada periode pemerintahan ini telah disusun aturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2006 tentang tata cara pengadaan pinjaman dan/atau hibah serta penerusan pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Ini merupakan aturan pelaksanaan dari UU 1 tahun 2004 dan menjadi acuan bagi pengelolaan pinjaman serta memperkuat aturan operasional yang ada, yang sebelumnya hanya dalam bentuk Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas. Sesuai dengan ketentuan dalam peraturan tersebut, pinjaman luar negeri akan dilakukan dengan mempertimbangkan adanya kebutuhan pembiayaan, kemampuan penyerapan, kemampuan membayar kembali, dan risiko yang akan ditanggung pemerintah. Namun demikian, dalam perjalanannya masih ditemukan hal-hal yang bersifat operasional yang belum mendukung kelancaran proses dan prosedur pengelolaan. Dalam beberapa hal, teknis dari satu tahapan ke tahapan lain seringkali terjadi kekurang sesuaian, terutama dari prosedur dan waktu, mengingat setidaknya ada 5 sampai 6 undang-undang dan aturan pelaksanaannya yang dapat menjadi referensi dari proses panjang tersebut, yaitu Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; Undang undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; serta Undang-undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan aturan pelaksanaannya.

Page 222: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

220 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Panjangnya proses dan rentang waktu yang dibutuhkan, kompleksnya permasalahan, dan peran Departemen Keuangan yang relatif kurang dominan dalam banyak kasus cukup sulit untuk mengukur kinerja Menteri Keuangan dalam pengelolaan pinjaman luar negeri. Untuk itu, saat ini sedang dilakukan penyusunan aturan yang akan merevisi dan menyempurnakan serta menajamkan prosedur yang ada dengan mempertimbangkan seluruh aturan yang relevan, sehingga diharapkan dapat mendukung mulusnya proses dan lebih meningkatkan efektivitas pengelolaan.

Selain instrumen pinjaman luar negeri dalam periode pemerintahan ini juga diintrodusir instrumen pembiayaan melalui pinjaman kegiatan yang bersumber dari dalam negeri. Sesuai perundangan yang ada, pinjaman tersebut dapat berasal dari BUMN, Pemerintah Daerah dan BUMN yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam PP nomor 54 tahun 2008 tentang Tatacara Pengadaan dan Penerusan Pinjaman Dalam Negeri oleh Pemerintah. Secara efektif, hingga APBN 2009 instrumen tersebut belum digunakan. Diperkirakan pada 2010 akan mulai digunakan. Instrumen pembiayaan melalui pinjaman dalam negeri tersebut merupakan instrumen alternatif sehingga hanya akan dimanfaatkan apabila dari perhitungan kelayakan biaya dan risiko layak untuk dilakukan, serta dengan mempertimbangkan situasi perekonomian yang memungkinkan pemberi pinjaman melakukan transaksi pinjam-meminjam pada pemerintah tanpa meninggalkan tujuan penempatan dana dari pihak pemberi pinjaman.

7.5.2. Pengelolaan Surat Berharga Negara

Instrumen Surat Berharga Negara terdiri dari SUN dan SBSN, di mana perbedaannya terletak pada dokumentasi transaksi. SUN menggunakan perjanjian konvensional yang lazim digunakan pada penerbitan surat berharga pada umumnya, sedangkan SBSN menggunakan akad yang sesuai dengan ketentuan syariah. Instrumen surat berharga SUN telah mulai digunakan sebagai instrumen pembiayaan sejak 2002, setelah UU SUN ditetapkan sebagai UU no 24 tahun 2002. Sedangkan SBSN baru mulai digunakan sebagai instrumen pembiayaan tahun 2008 sesudah UU SBSN ditetapkan menjadi UU nomor 19 tahun 2008.

Pada prinsipnya, penerbitan SBN, selain digunakan sebagai instrumen untuk pembiayaan defisit, juga digunakan sebagai instrumen untuk me-refinance utang yang jatuh tempo. SBN dapat diterbitkan baik dalam jangka pendek, sampai dengan 1 tahun, maupun jangka panjang, lebih dari 1 tahun. SBN yang diterbitkan dalam jangka pendek pada prinsipnya merupakan instrumen pengelolaan cash pemerintah dalam hal terjadi mismatch. Dari sisi nilai tukar yang digunakan, SBN dapat diterbitkan dalam mata uang domestik maupun SBN dalam matauang asing (valas). Dari sisi sifatnya, SBN dapat menjadi instrumen yang tradable (dapat diperdagangkan) maupun non-tradable (tidak dapat diperdagangkan). Untuk instrumen yang tidak tradable biasanya diterbitkan bagi investor yang terbatas dari sisi jumlah melalui penempatan/pembelian langsung (private placement). Sementara, dari sisi investornya, baik investor ritel maupun investor instritusi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dapat menggunakan instrumen ini sebagai instrumen investasi. Sedangkan dari cara penerbitannya dapat dilakukan dalam 2 cara utama, yaitu melalui penempatan langsung (private placement); dan melalui penawaran di pasar perdana baik melalui lelang atau melalui pengumpulan penawaran.

Sejak 2004 sampai saat ini, surat berharga merupakan instrumen utama dalam pembiayaan APBN. Jumlah SBN yang diterbitkan dari waktu ke waktu mengalami peningkatan yang cukup signifikan sebagaimana disajikan dalam tabel 7.4.

Page 223: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 221

www.depkeu.go.id

Tabel 7.4. Penerbitan Surat berharga Negara, 2004 – Triwulan I 2009

2004 2005 2006 2007 2008 2009s.d. Maret

Total 2004 sd Maret 2009

SPN 0 0 0.00 4.17 10.01 12 26.18

Obligasi Negara 23.57 22.54 42.58 82.21 72.22 12.43 255.55

Fixed rate (FR) 23.57 22.54 39.30 56.11 41.5 5.98 188.99

Variable Rate (VR) 5 6.45 11.45

Zero Coupon (ZC) 10.5 9.55 20.05

ORI 3.28 15.6 16.17 35.06

Syariah 0 0 0.00 0 4.7 5.56 10.26

Sukuk Fixed rate 4.7 4.7

Sukuk ritel 5.56 5.56

Total 23.57 22.54 42.58 86.38 86.93 29.98 291.99

SUN Valas (FR) 8.96 24.49 18.47 13.58 39.32 43.11 147.92

Total Penerbitan SBN, 32.54 47.03 61.05 99.95 126.25 73.09 439.9

Sumber : Departemen Keuangan

Dalam melakukan penerbitan dan menentukan besarnya penerbitan setiap tahunnya, pemerintah melakukan berdasarkan hasil kesepakatan dengan DPR yang pembahasannya dilakukan secara tidak terpisahkan dalam pembahasan APBN. Jumlah SBN yang diterbitkan dan mendapat persetujuan dari DPR merupakan jumlah netto tambahan utang SBN yang dilakukan. Faktor netto merupakan hal yang dibutuhkan oleh pengelola utang, terutama untuk mendapatkan fleksibilitas dalam pengelolaan utang sehingga memiliki ruang untuk memanfaatkan momentum pasar yang ada, tidak hanya untuk kepentingan pemenuhan target pembiayaan, namun juga dalam rangka pengelolaan portfolio dan risiko utang.

Capaian yang dilakukan oleh Departemen Keuangan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan melalui pengelolaan utang tersebut dilakukan dengan tahapan dan strategi yang jelas, yang dilakukan secara konsisten. Dari sisi instrumen dari waktu ke waktu, terdapat perkembangan yang cukup signifikan, yang ditunjukkan dari variasinya. Keragaman jenis instrumen akan sangat mempengaruhi pembiayaan yang diperoleh karena akan semakin banyak investor yang dapat berpartisipasi dalam penempatan dananya di SBN. Semakin banyaknya investor yang berpartisipasi akan dapat mendukung likuiditas pasar, menciptakan pasar yang aktif dan deep, yang pada muaranya akan dapat menekan biaya utang pada tingkat yang wajar.

Di samping keragaman instrument, jangka waktu/tenor dari instrumen juga memerankan peran yang penting untuk diperolehnya kecukupan pembiayaan dan biaya utang yang dilakukan. Tenor standard yang memiliki variasi yang mencukupi dapat mendorong partisipasi yang tinggi dari investor, karena dapat meng-capture horizon investasi dari beragam investor dan mendukung efisiensi pasar. Selain karena kedalaman pasar dan tipe investor kecenderungan kondisi pasar juga sangat berpengaruh pada apetite investor untuk membeli SBN.

Page 224: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

222 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Pertengahan 2005 merupakan masa yang sangat sulit bagi pengembangan pasar domestik SBN, khususnya SUN. Krisis reksadana yang dipicu oleh ekspektasi kenaikan inflasi akibat kenaikan harga minyak, terutama di pasar domestik, telah mengakibatkan banyaknya investor reksadana yang keluar atau melakukan redemption. Kejadian ini diperparah oleh kondisi pasar reksadana yang tidak didukung oleh infrastruktur pedagang dan praktik penjualan yang memadai, serta perilaku investor reksadana yang masih laksana deposan. Redemption besar-besaran pada reksadana yang tidak didukung adanya kekuatan absorpsi yang memadai pada investor tipe lain dan dapat menjadi last resort telah mendorong terjadinya kenaikan kurva imbal hasil secara signifikan dan mengakibatkan biaya utang pemerintah atas penerbitan SUN baru mengalami peningkatan.

Namun demikian, kondisi tersebut dapat diatasi oleh Departemen Keuangan dengan baik, yang ditunjukkan oleh terpenuhinya pembiayaan pada harga yang wajar. Pada 2005 untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan yang semula direncanakan akan dibiayai di pasar domestik, diputuskan untuk dipenuhi di pasar internasional. Dengan kondisi likuiditas dunia yang masih mencukupi yang didukung oleh adanya kelangkaan supply (scarcity value) dari obligasi Indonesia di pasar Internasional mendorong terjadinya permintaan yang memadai dan biaya utang yang dapat ditekan.

Masa sulit yang lain sepanjang periode pemerintahan ini adalah ketika terjadi krisis di pasar finansial yang semula dipicu adanya krisis subprime mortgage; dan pada paruh akhir 2007 didukung oleh kenikan harga di pasar komoditi, bubling economy, yang berimbas pada lumpuhnya pasar finansial di berbagai belahan dunia menjelang akhir 2008. Peristiwa ini ditandai oleh ambruknya beberapa pelaku pasar keuangan dunia dan berlanjut dengan lumpuhnya sektor riil yang capital intensive. Kondisi ini mendorong terjadinya pengeringan likuiditas (liquidity shrinking) kenaikan cost of fund dan masih sulitnya mencari pembiayaan. Terjadinya krisis pasar keuangan di penghujung periode pemerintahan dengan episentrum yang ada di Amerika, mendorong pemerintah untuk berupaya mencari alternatif pembiayaan yang lain.

Upaya tersebut dilakukan sebagai alternatif untuk memecahkan kebutuhan pembiayaan di tengah sulitnya mencari sumber pendanaan. Sebagai antisipasinya, pada akhir 2008 dalam forum pertemuan G-20 di Brazil, pemerintah mulai melakukan pendekatan pada beberapa lender untuk mendapatkan pinjaman yang dapat digunakan sebagai cadangan dan menjamin ketersediaan sumber pembiayaan (back stop mechanism) dalam hal pasar tidak mampu mengabsorpsi kebutuhan pembiayaan. Komitmen diperoleh dari empat lender, yaitu Bank Dunia, ADB, Pemerintah Jepang melalui JBIC, dan Pemerintah Australia mencapai USD 5,5 miliar. Pinjaman tersebut merupakan contingency (berjaga-jaga) dan hanya dapat digunakan bila tidak memungkinkan lagi mendapatkan pembiayaan dari pasar, baik karena alasan biaya yang terlalu tinggi maupun karena alasan likuiditas pasar yang tidak memadai untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan pembiayaan.

Sementara, pembiayaan yang bersumber dari penerbitan SBN dalam valuta asing menjadi salah satu alternatif yang dapat menjadi sumber pembiayaan, mengingat keterbatasan pasar domestik untuk mengabsorpsi kebutuhan penerbitan. Di samping mendukung pemenuhan kebutuhan pembiayaan, penerbitan di pasar internasional juga memberikan dampak yang positif bagi kondisi neraca pembayaran Indonesia, mengingat jumlah kewajiban utang dalam valuta asing yang jatuh tempo setiap tahunnya cukup besar, sehingga dapat terjadi pembiayaan kembali (refinancing) dan mengurangi tekanan terhadap devisa. Sejak pertama kali diterbitkan pada 2004, terdapat kecenderungan yang meningkat pada penerbitan di pasar valuta asing. Peningkatan ini bukan sepenuhnya menunjukkan indikasi adanya ketergantungan sumber pembiayaan, terutama untuk me-refinance pinjaman luar negeri atau mengisi gap kebutuhan pembiayaan dalam valuta asing, namun juga sebagai alternatif sumber pembiayaan agar tidak terjadi crowding-out effect sehingga mengurangi kesempatan korporasi untuk menerbitkan obligasi di pasar dalam negeri.

Page 225: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 22�

www.depkeu.go.id

Inovasi dalam penerbitan valuta asing terus dilakukan sebagai upaya untuk menjaring investor yang lebih luas dan beragam yang hingga outstanding tertentu diyakini akan memberikan dampak yang positif bagi upaya penurunan biaya dan risiko dalam jangka panjang. Kemampuan untuk dapat memanfaatkan momentum likuiditas pasar dan landainya kurva imbal hasil di pasar internasional membuat Departemen Keuangan mampu menerbitkan utang dengan tenor yang cukup panjang, yaitu 30 tahun pada 2005, dengan biaya yang relatif kompetitif. Hal lain yang pantas kiranya disebutkan adalah penerbitan dengan format Global Medium Term Note (GMTN) yang memungkinkan pemerintah untuk melakukan penerbitan secara bertahap (tranches) dan terprogram dalam jumlah yang disesuaikan dengan kebutuhan, dengan dokumentasi yang tidak memerlukan waktu yang cukup panjang dalam persiapannya.

Kemajuan lain yang dilakukan dalam periode 2005-2007 adalah penerbitan surat berharga syariah (sukuk) dalam valuta asing, dengan minat beli yang cukup besar di tengah situasi pasar finansial yang masih belum menentu. Penerbitan tersebut merupakan penerbitan pertama dan cukup ditunggu oleh investor yang memiliki preferensi pada instrumen dengan basis syariah, yang ditunjukkan oleh besarnya minat beli investor.

7.5.3. Pengelolaan Rating Kredit Indonesia

Credit rating merupakan hasil penilaian objektif tentang kemampuan suatu negara untuk memenuhi kewajiban utangnya yang jatuh tempo secara penuh dan tepat waktu. Penetapan rating tersebut dilakukan oleh lembaga independen yang dalam melakukan penilaian akan memanfaatkan berbagai variabel ekonomi dan non-ekonomi dari negara yang dinilai. Variabel ekonomi tersebut antara lain PDB perkapita, jumlah utang dan rasio utang terhadap PDB dan terhadap ekspor, dan lain-lain. Sedangkan variabel non-ekonomi yang digunakan seperti stabilitas politik, penegakan hukum, pengendalian korupsi, dan lain-lain.

Penilaian objektif tersebut akan digunakan oleh berbagai pihak, terutama investor, untuk menyusun kebijakan investasinya, baik investasi riil maupun investasi portofolio, di suatu negara. Dalam kaitannya dengan utang, credit rating akan digunakan oleh pemberi utang/pinjaman untuk menentukan premi risiko dalam perhitungan biaya utang yang harus dibayar oleh debitur. Semakin tinggi credit rating yang dimiliki oleh suatu negara maka akan semakin rendah premi risiko sehingga akan makin rendah pula biaya utang negara tersebut.

Page 226: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

22� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Skala penilaian rating dapat diklasifikasikan dalam investment grade yang merupakan skala tertinggi yang ditandai dengan AAA/Aaa sampai dengan A-/A3, sub-investment grade (Baa1/BBB+ sampai dengan Baa3/BBB-), dan non-investment grade (Ba1/BB+ sampai dengan C).

Saat ini, credit rating Indonesia adalah non-investment grade, dengan skala B1 dari Moodys, dan BB- dari Standard and Poors (S&P) dan Fitch. Meskipun kondisi Indonesia dari sisi eksposur utang negara sudah termasuk dalam kategori aman, persepsi risiko masih dianggap tinggi. Ini terlihat dari tingkat peringkat utang Indonesia yang masih dirasa lebih rendah dari kondisi objektif baik dilihat dari eksposur utang maupun fundamental makro ekonominya. Rating tertinggi yang pernah dicapai Indonesia adalah investment grade (BBB-) pada 1996, sedangkan rating terendah, yaitu selective default (SD), pernah diberikan kepada Indonesia pada 1999, 2000, dan 2002. Secara bertahap, telah terjadi perbaikan rating Indonesia, antara lain karena peningkatan kinerja fundamental perekonomian dan penurunan rasio utang terhadap PDB. Perkembangan historis rating Indonesia sejak krisis hingga saat ini adalah sebagaimana digambarkan pada grafik 7.5.

Grafik 7.5. Perkembangan Hasil Assessment Beberapa Lembaga Rating atas Rating Kredit Pemerintah

Rating kredit Indonesia hampir mencapai peringkat layak investasi (investment grade/BBB-), yaitu dari Fitch yang menaikkan kredit rating Indonesia menjadi BB atau dua titik menuju peringkat layak investasi pada Februari 2008.

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

BBB+

BBB

BBB-

BB+

BB

BB-

B+

B

B-

CCC+

CCC

CCC-

CC

RC

SD/DDD

Sumber: Departemen Keuangan

Baa1

Baa2

Baa3

Ba1

Ba2

Ba3

B1

B2

B3

Caa1

Caa2

Caa3

Ca

C

Krisis ekonomi 1998

Rekapitalisasi Perbankan

Reprofiling VR & HB, Asset-Bond Swap,

& penerbitan SUN jk panjang

Lelang penerbitan SUN secara

reguler, program Buyback

Lelang penerbitan SUN secara

reguler, program Buyback, & Debt

Swtiching

Lelang penerbitan SUN secara reguler, program Buyback, Debt Swtich-

ing, & diversivikasi instrumen

S&P’s menaikan rating ke BBper 26 Juli 2006

Moodys’s menaikan rating ke Ba3per 18

Oktober 2007

Fitch’s menaikan rating ke BB per 14 Februari 2008

Moodys’s menaikan outlook Indonesia dari Stable menjadi

Positive per 11 Juni 2009

S&P sempat menurunkan rating ke Selective Default

namun direvisi kembali 2 hari kemudian

Page 227: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 22�

www.depkeu.go.id

7.6. Pengembangan Pasar dan Berbagai Inisiatif Pendukung Pengelolaan Utang 7.6.1. Penerapan Sistem Dealer Utama dalam Transaksi SUN

Sejak 29 Desember 2006 telah berlaku Peraturan Menteri Keuangan nomor 144/PMK.08.2006 tentang Sistem Dealer Utama yang merupakan payung hukum dalam pembentukan sistem dealer utama. Peraturan tersebut kemudian disempurnakan dengan PMK 108/PMK.08/2007 agar pelaksanaan sistem tersebut berjalan dengan lebih optimal.

Sistem Dealer Utama adalah suatu sistem pengembangan pasar surat berharga. Dalam hal ini, pihak-pihak yang terdiri dari institusi keuangan (bank dan perusahaan efek) yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menjalankan kewajiban tertentu, baik di pasar perdana maupun di pasar sekunder SUN dalam mata uang rupiah dengan hak (rights) tertentu. Kewajiban yang harus dilakukan dan hak yang akan diterima tersebut merupakan upaya pengembangan pasar, baik di pasar perdana maupun pasar sekunder, untuk memberikan peran yang besar pada institusi keuangan tersebut untuk melakukan market making yang dapat mendorong transaksi SBN menjadi lebih aktif, likuid, dalam (deep), dan cukup transparan dengan adanya informasi harga. Kewajiban yang harus dilaksanakan dealer utama meliputi penawaran pembelian saat pelaksanaan lelang SUN, ketentuan volume minimum perdagangan SUN seri benchmark di pasar sekunder, serta ketentuan penyampaian kuotasi harga SUN dua arah setiap harinya. Sedangkan hak yang mereka dapatkan meliputi hak eksklusif mengikuti lelang SUN di pasar perdana dan lelang pembelian kembali obligasi negara, fasilitas peminjaman SUN dari Menteri Keuangan mendapatkan nilai tambah dalam seleksi ORI serta pemberian informasi yang terkait dengan kebijakan dan operasional pengelolaan utang.

Saat ini terdapat 18 (delapan belas) dealer utama yang terdiri dari 14 (empat belas) bank dan 4 (empat) perusahaan sekuritas. Keberadaan dealer utama ini memberikan suntikan likuiditas yang berarti bagi pasar SUN. Perkembangan likuiditas pasar SUN dapat dilihat pada grafik 7.6.

Grafik 7.6. Rata-rata Harian Volume dan Frekuensi Transaksi SUN di Pasar Sekunder Periode 2002-2009

Sumber : Departemen Keuangan

9.0

8.0

7.0

6.0

5.0

4.0

3.0

2.0

1.0

0J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F M

2004 2005 2006 2007 2008 2009

Volume Frekuensi - RHS Rata-rata Volume per Tahun

450

400

350

300

250

200

150

100

50

0

FrekuensiTriliun Rupiah

Page 228: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

22� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Ketika Sistem Dealer Utama dibentuk pada 2006, pasar SUN mengalami perkembangan yang cukup pesat. Terlihat dari grafik volume dan frekuensi transaksi untuk 2004 hingga 2008 yang mengalami trend naik. Pada 2007, pasar SUN mengalami frekuensi dan volume perdagangan yang tinggi (bullish), yang terlihat dari peningkatan volume dan transaksi harian yang cukup siginifikan, di mana volume dan transaksi rata-rata harian di tahun 2007 meningkat hampir 200% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan minimum transaksi SUN seri benchmark di pasar sekunder bagi dealer utama semakin meningkatkan likuiditas SUN di pasar sekunder. Selain itu, Sistem Dealer Utama juga dibentuk untuk menciptakan pasar sekunder SUN yang lebih stabil dan transparan.

7.6.2. Pengembangan Pasar SUN

Pada awal 2004, kepemilikan SUN didominasi oleh Bank, yaitu sebesar 80% dari total SUN yang ada. Sedangkan sisanya (20%) dimiliki oleh lembaga keuangan non-bank. Implementasi strategi umum pengelolaan utang negara sebagaimana tercantum dalam KMK Nomor 447/KMK.06/2005 tentang strategi pengelolaan utang negara tahun 2005–2009 yaitu pengembangan pasar perdana dan pasar sekunder SUN terus dilakukan. Hasilnya, dominasi bank dalam kepemilikan SUN telah menurun hingga mencapai 49,96% pada posisi tanggal 17 April 2009. Namun, di lain pihak kepemilikan oleh non-bank (reksadana, asuransi, dana pensiun, sekuritas, dan lain-lain) mengalami peningkatan dari 25,29% atas total tradable SUN dalam negeri menjadi 30,20% per 17 April 2009, demikian juga kepemilikan asing mengalami kenaikan yang cukup signifikan.

Grafik 7.7. Kepemilikan SUN oleh Bank dan Non Bank

Untuk mengimbangi kepemilikan asing yang semakin meningkat, Departemen Keuangan juga telah melakukan berbagai upaya untuk untuk meningkatkan partisipasi investor dalam negeri. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka memperluas basis investor dalam negeri adalah melakukan sosialisasi dan komunikasi aktif dengan para pelaku pasar dalam negeri seperti dana pensiun dan perusahaan asuransi serta menerbitkan instrumen SUN yang beragam, sesuai dengan kebutuhan investor domestik. Penerbitan ORI, di mana hanya individu dalam negeri yang dapat membeli di pasar perdana, sangat potensial untuk mengimbangi kepemilikan asing. Di samping itu, dilakukan sosialisasi yang berkesinambungan kepada masyarakat mengenai SUN.

600

500

400

300

200

100

0

Sumber : Departemen Keuangan

Jan-04

Apr-04

Jul-04

Oct-04

Jan-05

Apr-05

Jul-05

Oct-05

Jan-06

Apr-06

Jul-06

Oct-06

Jan-07

Apr-07

Jul-07

Oct-07

Jan-08

Apr-08

Jul-08

Oct-08

Jan-09

Bank % Asing thd. Total - RHS

(%)Triliun Rupiah

30

25

20

15

10

5

0

Non-Bank

Page 229: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 22�

www.depkeu.go.id

Tahun FrekuensiLelang

Jumlah Seri yang dibeli kembali

Tenor yang dibelikembali

Vol. dibeli kembali(miliar Rupiah)

2003 2x 4 s.d 7 seri 1 tahun s.d 3 tahun 8,127 2004 1x 5 seri 3 tahun s.d 5 tahun 1,962 2005 4x 2 s.d 8 seri < 1 tahun s.d 4 tahun 5,158 2007 2x 11 s.d 13 seri < 1 tahun s.d 5 tahun 2,859 2008 3x 4 s.d 8 seri < 1 tahun s.d 19 tahun 2,375

s.d Q1 2009* 1x 4 seri < 1 tahun 8,518 Total 28,999

Sumber: Departemen Keuangan

Des ‘ 05 Des ‘ 06 Des ‘ 07 Des ‘ 08 Mar ‘ 09Bank 290 269 269 259 279

Bank BUMN Rekap 155 153 155 145 154Bank swasta Rekap 85 81 73 62 66Bank Non Rekap 46 33 35 45 49BPD Rekap 4 3 6 7 8Bank Syariah - - - 1 1

Institusi Pemerintah 11 8 15 23 21Bank Indonesia 11 8 15 23 21Departemen Keuangan - - - - -

Non-Bank 100 142 194 244 246Reksadana 9 21 26 33 35Asuransi 32 35 43 56 60Asing 31 55 78 88 80Dana Pensiun 22 23 25 33 35Sekuritas 0 1 0 1 1Lain-lain 5 7 21 34 36

Total 400 419 478 526 547Sumber: Departemen Keuangan

Sementara itu, kepemilikan SUN domestik oleh kelompok lain-lain yang di antaranya adalah investor ritel mengalami kenaikan cukup signifikan. Pada 2004, volume kepemilikan SUN oleh kelompok investor lain-lain sebesar Rp 3,08 triliun dan meningkat menjadi Rp 35,9 triliun pada 2009, atau naik sebesar lebih dari sepuluh kali lipat. Hal ini tidak terlepas dari upaya pemerintah yang sejak 2006 secara rutin menerbitkan ORI sehingga kepemilikan oleh investor ritel masih cukup besar, mengingat investor ini cenderung merupakan investor yang memegang SUN sampai dengan jatuh tempo (buy and hold investor). Secara lengkap, perkembangan kepemilikan tradable SUN dalam negeri dari 2004 hingga Triwulan I 2009 dapat dilihat pada table 7.5.

Tabel 7.5. Kepemilikan SUN Dapat Diperdagangkan Periode 2005 – Triwulan I 2009

7.6.3. Pembelian Kembali (Buy Back) dan Penukaran SUN (Debt Switch)

Pembelian kembali SUN baik pembelian secara tunai (cash buyback) atau penukaran SUN (debt switch) merupakan salah satu metode pengelolaan portofolio utang yang dilakukan secara aktif oleh DJPU. Melalui mekanisme buyback dan debt switch ini diharapkan utang pemerintah tidak bertumpuk di tahun tertentu saja, tetapi dapat terdistribusi secara merata sehingga tidak terlalu memberatkan pemerintah dalam pembayaran pokok SUN saat jatuh tempo nanti (refinancing risk).

Buyback pertama kali dilakukan pada 5 Agustus 2003 dengan total volume sebesar Rp 3,215 triliun. Hingga April 2009, telah dilakukan sepuluh kali lelang buyback terhadap seri-seri surat berharga negara yang mendekati jatuh tempo. Hasil lelang buyback selama 2004-2009 secara ringkas dapat di lihat dalam tabel 7.6.

Tabel 7.6. Hasil Lelang Buyback Periode 2003 – Triwulan I 2009

Page 230: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

22� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Selain sebagai salah satu mekanisme pengelolaan portofolio utang, buyback dimanfaatkan pemerintah untuk menjaga stabilisasi harga SUN di pasar sekunder. Hal itu dapat dibuktikan melalui grafik di bawah ini, di mana buyback pemerintah di pasar sekunder, mampu meredam tren penurunan harga SUN seri benchmark yang terjadi akibat adanya isu resesi global pada akhir Oktober 2008.

Grafik 7.8. Pergerakan Harga SUN Seri Benchmark September – November 2008

Selain lelang buyback, selama periode 2004 – 2009, pemerintah juga telah berhasil menukar (debt switch) obligasi negara yang akan jatuh tempo dengan obligasi negara baru yang mempunyai tenor yang lebih panjang. Ringkasan hasil yang diperoleh pemerintah dalam lelang debt switch selama periode 2004-2009 dapat dilihat dalam tabel 7.7.

Tabel 7.7. Hasil Lelang Debt Switch Periode 2005 – 2009

Tahun FrekuensiLelang

Jumlah Seri yang dibeli kembali

Tenor yang dibelikembali

Tenor ditawarkan

Vol. Penawaran yg masuk

(miliar rupiah)

Vol. dibeli kembali

(miliar Rupiah)2005 1x 9 seri < 1 tahun s.d 4 tahun 15 tahun 7,721 5,673 2006 12x 7 s.d 21 seri < 1 tahun s.d 5 tahun 5 s.d 19 tahun 54,177 31,179 2007 9x 12 s.d 21 seri < 1 tahun s.d 6 tahun 11 s.d 20 tahun 30,681 15,782 2008 2x 21 s.d 31 seri < 1 tahun s.d 4 tahun 14 s.d 15 tahun 7,490 4,571

s.d Q1 2009 1x 24 seri < 1 tahun s.d 4 tahun 12 tahun 369 30 Total 100,438 57,235

Sumber: Departemen Keuangan

7.6.4. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)

Dalam rangka memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN yang semakin meningkat diperlukan diversifikasi terhadap sumber-sumber pembiayaan APBN. Salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan melakukan diversifikasi terhadap Surat Berharga Negara (SBN) sebagai instrumen pasar keuangan untuk pembiayaan APBN, antara lain melalui penerbitan instrumen pembiayaan berbasis syariah. Keberadaan instrumen pembiayaan berbasis syariah, selain bertujuan untuk semakin memperkaya instrumen pembiayaan fiskal dan memperluas basis investor, juga untuk mendukung perkembangan pasar keuangan syariah, baik domestik maupun internasional.

100,00

95,00

90,00

85,00

80,00

75,00

70,00

65,00

60,00

55,00

50,00

45,00

40,001/90 8/09 15/09 22/09 6/10 13/10 20/10 27/10 3/11 10/11

Sumber: Departemen Keuangan

5 Y 7 Y 10 Y 15 Y

20 Y 30 Y

Page 231: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 229

www.depkeu.go.id

Secara garis besar, fokus program pembiayaan APBN melalui penerbitan instrumen pasar keuangan berbasis syariah, yang disebut sebagai Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara, adalah meliputi kegiatan penyiapan infrastruktur hukum, penyediaan underlying asset, pelaksanaan penerbitan/penjualan, serta pengembangan instrumen.

7.6.4.1. Infrastruktur Hukum

Pada 7 Mei 2008, RUU SBSN yang telah disetujui DPR disahkan oleh Pemerintah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. UU SBSN tersebut mengatur secara khusus mengenai pengelolaan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara dalam rangka pembiayaan APBN.

Secara garis besar, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) memiliki makna sebagai berikut:a. Memberikan landasan hukum bagi pemerintah untuk melakukan penerbitan dan pengelolaan SBSN;b. Memberikan koridor hukum bagi pengelolaan SBSN secara berhati-hati, transparan, dan akuntabel; c. Setelah Undang-Undang disyahkan, pemerintah telah menyelesaikan secara menyusun perangkat hukum pendukung dalam rangka pengelolaan pembiayaan syariah.

7.6.4.2. Underlying Asset

Untuk keperluan penerbitan SBSN yang mengunakan akad Ijarah Sale and Lease Back dalam tahun 2008 telah disiapkan BMN berupa tanah dan bangunan di lingkungan Departemen Keuangan seluruh Indonesia sebagai underlying asset. Total nilai BMN Depkeu yang mendapat persetujuan DPR untuk digunakan sebagai underlying asset penerbitan SBSN 2008 sebesar Rp18,4 triliun. Sampai akhir 2008, BMN yang telah dimanfaatkan sebagai underlying penerbitan mencapai Rp 9,4 triliun. Sedangkan untuk 2009, jumlah aset yang telah disetujui DPR yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai Aset SBSN sebesar Rp 13,04 triliun.

Dalam rangka memenuhi target penerbitan SBSN untuk pembiayaan APBN 2009, serta untuk mengantisipasi kebutuhan penerbitan SBSN, selanjutnya masih diperlukan ketersediaan sejumlah BMN yang memenuhi syarat untuk digunakan sebagai Aset SBSN. Untuk keperluan tersebut direncanakan akan digunakan BMN di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga (K/L) di luar Departemen Keuangan yang telah dilakukan penilaian oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

7.6.5. Penerbitan Tahun Pertama

Dalam tahun pertama pasca terbitnya undang-undang dan aturan pelaksanaannya, beberapa instrumen pembiayaan berbasis syariah yang berhasil diterbitkan di antaranya:a. 26 Agustus 2008 dilaksanakan penerbitan/penjualan SBSN atau Sukuk Negara di Pasar Perdana Dalam Negeri untuk yang pertama kalinya. Jumlah nilai nominal penerbitan SBSN tersebut adalah sebesar Rp 4,69 triliun, yang terdiri dari 2 (dua) seri yaitu dengan tenor 7 (tujuh) tahun dan tenor 10 (sepuluh) tahun, dengan jumlah nilai nominal penerbitan masing-masing sebesar Rp2,71 triliun dan Rp1,98 triliun. Metode penjualan dilakukan dengan cara Bookbuilding. b. 25 Februari 2009 dilakukan penerbitan Sukuk Negara Ritel dengan akad Ijarah sale and lease back dengan tenor 3 (tiga) tahun. Target investor untuk penerbitan ini adalah investor individu, warga negara Republik Indonesia. Jumlah nilai nominal hasil penerbitan yang berhasil dilakukan mencapai Rp 5,56 triliun. Untuk setiap unitnya dijual pada harga nominal Rp1 juta per-unit dengan satuan pembelian Rp 5 juta dan kelipatannya, tanpa ada batas maksimum pembelian. Imbal hasil yang diberikan adalah 12% pertahun dibayar secara bulanan.

Page 232: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

c. 23 April 2009 dilakukan penerbitan SBSN dalam valas yang dijual pada qualified institutional buyers (Rule 144A/Reg S). Jumlah yang diterbitkan mencapai US$ 650 juta atau ekivalen Rp 6.95 triliun. Tenor SBSN tersebut adalah 5 (lima) tahun dengan tingkat imbalan tetap sebesar 8,80% per tahun.d. Pemerintah juga membuka kesempatan untuk adanya Penerbitan dan Penjualan SBSN dengan cara penempatan langsung (private placement), yang memungkinkan investor untuk melakukan transaksi bilateral dengan menyampaikan penawaran pembelian SBSN secara langsung kepada pemerintah. Untuk kesempatan perdana direalisasikan penempatan dana haji dan dana abadi umat yang dikelola oleh Menteri Agama dalam instrumen SBSN. Dari Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani antara Menteri Keuangan dan Menteri Agama telah disepakati untuk penempatan Dana Haji dan DAU pada 2009 senilai Rp 9 triliun yang akan dilakukan secara bertahap mulai Mei. Penempatan secara bertahap tersebut dimaksudkan agar tidak mengganggu likuiditas bank-bank pengelola Dana Haji dan DAU selama ini. Jenis akad SBSN yang digunakan adalah Ijarah Al Khadamat, yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (i) Tidak menggunakan BMN sebagai underlying asset. (ii) Transaksi Aset SBSN berdasarkan penyediaan jasa layanan haji oleh Departemen Agama. (iii) Imbalan bagi investor berupa ijarah yang dibayarkan setiap bulan dengan jumlah tetap. (iv) SBSN yang diterbitkan merupakan trust certificate yang bersifat tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder (non-tradable).

7.7. Pengelolaan Kewajiban Kontinjensi untuk Proyek 10.000 MW

Berdasarkan Perpres No. 71 Tahun 2006, Pemerintah menugaskan PT PLN (Persero) untuk menyelenggarakan pengadaan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batubara. Penugasan tersebut dalam rangka mempercepat diversifikasi energi pembangkit tenaga listrik ke nonminyak untuk memenuhi kebutuhan energi listrik. Selanjutnya, dalam memberikan kepastian kepada kreditur yang memberikan pinjaman kepada PT PLN (Persero), Pemerintah berdasarkan Perpres No. 86 tahun 2006 jo. Perpres 91 Tahun 2007, dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 44/PMK.01/2008 memberikan jaminan penuh atas kewajiban pembayaran utang PT PLN (Persero) kepada para krediturnya. Namun demikian, setiap pelaksanaan pembayaran kewajiban PT PLN (Persero) oleh Pemerintah merupakan piutang Pemerintah kepada PT PLN (Persero).

7.7.1. Penentuan Benchmark Pinjaman dan Rekomendasi Persetujuan Penandatanganan Perjanjian Pinjaman

Dalam upaya agar PT PLN (Persero) memperoleh pinjaman yang favorable namun tetap mempertimbangkan biaya rendah dan risiko yang terkendali, maka ditetapkan benchmark harga (biaya) pinjaman dan senantiasa dilakukan review atas benchmark yang berlaku, dan disesuaikan dengan kondisi pasar, baik untuk pasar domestik maupun pasar internasional. Sampai Juni 2009, telah diterbitkan benchmark untuk porsi rupiah (IDR) (dalam berbagai tenor pinjaman) sebanyak 2 (dua) kali dan porsi USD (dalam berbagai tenor pinjaman) sebanyak 3 (tiga) kali.

Berdasarkan No. 44/PMK.01/2008, pinjaman yang memperoleh jaminan penuh dari pemerintah adalah pinjaman yang terms & conditions-nya telah disetujui Menteri Keuangan setelah mendapat rekomendasi dari Ditjen Pengelolaan Utang, Badan Kebijakan Fiskal, dan Biro Hukum Sekretariat Jenderal. Sesuai dengan amanat PMK 44 tersebut, DJPU bersama-sama dengan BKF dan Biro Hukum telah memberikan beberapa rekomendasi, antara lain persetujuan harga pinjaman atau pemenang lelang sebanyak 12 (dua belas) rekomendasi, persetujuan penandatangan Perjanjian Kredit sebanyak 17 (tujuh belas) rekomendasi, dan penerbitan Surat Jaminan Pemerintah sebanyak 17 (tujuh belas) rekomendasi. Secara rinci, status pendanaan yang telah mendapat jaminan surat jaminan pemerintah dan yang masih dalam proses penerbitan surat jaminan dapat dilihat pada tabel 7.8.

Page 233: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 2�1

www.depkeu.go.id

Porsi IDR Porsi USD

No Proyek PLTU Nilai Kreditor Nilai Kreditor

1 labuan IDR 1,188,548,523.036 BCA USD 288,557,701 BNI2 Indramayu IDR 1,272,913,654.892 BNI USD 592,224,258 BOC3 Rembang IDR 1,911,480,000.000 Bank Mandiri USD 261,800,000 CBD+Barclays4 Suralaya IDR 735,387,524.690 Bank Mega USD 284,288,744 Cexim5 Paiton IDR 600,635,738.985 Bank Mega USD 330,825,515 Cexim6 Pacitan IDR 1,045,942,241.800 Bukopin USD 293,226,064 Cexim7 Teluk Naga IDR 1,606,612,307.950 Bukopin USD 481,937,182 Cexim8 Pelabuhan Ratu IDR 1,874,314,539.154 Bank Mega USD 454,974,082 BOC9 Lampung IDR 459,850,000.000 Bank Mega USD 119,211,081 BRI

10 Sumatera Utara IDR 780,810,976.852

Bank Mega

USD 209,269,915 CDB/BRI11 NTB IDR 273,774,044.943 USD 371,509,145 BOC/CDB12 Gorontalo IDR 264,822,472.187 USD 124,259,186 Cexim13 Sulawesi Utara IDR 304,506,705.295 USD 138,336,845 CDB/BRI14 Kepulauan riau IDR 71,222,888.064 USD 7,013,589 BPD Riau15 NTT IDR 73,209,471.123 USD 8,431,358 BPD Riau16 Sulawesi Tenggara IDR 97,070,490.077 USD 9,273,565 BPD Riau17 Kalimantan Tengah IDR 413,907,030.741 USD 23,789,962 ASBANDA

Porsi IDR Porsi USD

No Proyek PLTU Nilai Kreditor Nilai Kreditor

18 Tanjung Awar-awar IDR 1,155,352,482.512 BNI USD 25,844,038 ASBANDA19 Aceh IDR 614,335,312.844

ASBANDA

USD 27,310,075 ASBANDA20 Sumatera Barat IDR 521,366,289.102 USD 7,893,604 ASBANDA21 PLTU 2 NTT IDR 134,533,084.975 USD 10,275,485 ASBANDA22 PLTU 4 Babel IDR 142,188,609.423 USD 62,057,079 ASBANDA23 PLTU 1 NTB IDR 120,495,232.963 USD 23,415,597 ASBANDA24 PLTU 2 Kalbar IDR 172,033,202.627 USD 23,903,392 ASBANDA25 PLTU 2 Malut IDR 100,355,967.709 USD 8,431,358 ASBANDA26 PLTU 1 Riau IDR 132,480,227.206

BPD RiauUSD 30,773,596 ASBANDA

27 PLTU 2 Riau IDR 111,348,503.910 USD 9,867,492 ASBANDA28 PLTU Sulsel IDR 379,917,021.307

BRI

USD 52,350,616

BRI29 PLTU 3 Babel IDR 316,925,179.710 USD 22,950,000 30 PLTU 2 Papua IDR 140,754,389.702 USD 13,659,073 31 PLTU Kasel IDR 313,408,147.809 USD 83,935,290 32 PLTU Adipala IDR 1,890,331,765.981 BNI/BRI/Mandiri USD 467,729,156 CDB33 PLTU 1 Kalbar IDR 111,000,000.000 NA USD 62,000,000 NA

TOTAL 19,331,834,027.569 USD 4,931,324,043 Keterangan :

Loan Efektif dan telah diterbitkan LoG dari MK

Menunggu pengefektifan dari lender

Menunggu penerbitan LoG dr MK

Proses Negosiasi

Proses Lelang/Pencarian sumber pinjaman

* Sampai dengan September 2009

Tabel 7.8. Status Pendanaan Proyek 10.000 MW PT PLN (Persero)*

Page 234: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

7.7.2. Alokasi Dana Kewajiban Kontinjensi Dalam APBN

Besarnya dana kewajiban kontinjensi untuk proyek 10.000 MW PT PLN (Persero) yang harus dialokasikan dalam APBN didasarkan pada perhitungan besarnya probabilitas default PT PLN (Persero) dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur dalam 1 (satu) tahun anggaran. Dalam APBN 2008, dana kewajiban kontinjensi dialokasikan sebesar Rp 281,8 miliar, namun dana tersebut tidak terealisir (undisbursed) karena pada periode tersebut kewajiban PT PLN (Persero) hanya sebatas pada pembayaran bunga pinjaman. Sedangkan pemenuhan kewajiban kontinjensi untuk 2009 telah dianggarkan dalam APBN 2009 sebesar Rp1 triliun. Untuk TA 2010, dana kewajiban kontinjensi yang diusulkan sebesar Rp 1,5 triliun.

7.8. Kelembagaan Pengelolaan Utang

Untuk mengimbangi tanggung jawab Menteri Keuangan, terutama dalam kaitanya dengan pengelolaan pembiayaan, khususnya melalui pengadaan utang, dalam tahun 2006 pemerintah membentuk Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, organisasi setingkat Eselon yang secara khusus melakuan fungsi pengelolaan utang. Organisasi ini semula merupakan bentukan dari dua unit organisasi setingkat Eselon II yang dalam proses pengelolaan dan pengambilan keputusannya dalam banyak hal kurang terkoordinasi. Pembentukan unit ini, selain memudahkan koordinasi dan pengambilan keputusan terkoordinasi, juga dapat memastikan tersedianya pembiayan untuk menutup defisit, dan memudahkan pengukuran kinerja pengelolaan utang secara terintegrasi.

Struktur organisasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang didesain mengikuti struktur institusi keuangan sektor umumnya, dengan pembagian tugas berdasarkan fungsi (front, middle, dan back offices). a. Front office akan menjalankan fungsi analisis portofolio, pelaksanaan transaksi, negosiasi, penyusunan perjanjian/dokumen transaksi, melakukan hubungan dengan investor/kreditor, dan stake holder. b. Middle office akan menjalankan fungsi penyusunan strategi utang, menyusun kerangka kerja pengelolaan portofolio dan risiko, dan melakukan pengkajian sebagai rekomendasi terhadap kebijakan terkait dengan pengelolaan utang, dan melakukan fungsi kepatuhan (compliance). c. Back office akan menjalankan fungsi penyelesaian kewajiban (settlement), pengadministrasian pinjaman/utang dan hibah, melakukan penatausahaan, akuntansi dan pelaporan utang serta dukungan sistem IT bagi pengelolaan utang. Dalam perkembangannya DJPU diberi tugas tambahan untuk melaksanakan pengelolaan pinjaman dalam negeri dan melakukan pemantauan risiko gagal bayar (default) atas penyediaan anggaran utang kontinjensi melalui dana jaminan pemerintah.

Secara konseptual, struktur tersebut secara jelas mendefinisikan kewajiban, akuntabilitas, pengawasan prosedur, dan pemisahan tugas, yang sesuai international best practices yang menekankan pentingnya penerapan prinsip pengendalian intern (internal control) dan mekanisme check and balance dalam organisasi pengelola utang pemerintah.

Page 235: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 2��

www.depkeu.go.id

Bagan 7.1. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang

Keseriusan dalam pengelolaan utang yang salah satunya ditunjukkan dengan pembentukan organisasi pengelola utang juga dilakukan sebagai konsekuensi dari peran utang yang cukup signifikan dalam pembiayaan APBN. Ekspansi fiskal yang membawa konsekuensi pada peningkatan kebutuhan pembiayaan, sementara pada saat tersebut sumber yang berasal dari non-utang bukan merupakan sumber yang berkesinambungan dan menunjukkan kecenderungan menurun, maka tak dapat dihindari bahwa peran pembiayaan yang berasal dari utang secara netto menjadi sangat dominan.

7.9. Kendala dan Tantangan Pengelolaan Pembiayaan

Pada prinsipnya, tujuan pengelolaan pembiayaan adalah untuk menutupi kebutuhan defisit APBN melalui sumber-sumber pembiayaan dengan risiko dan biaya yang terkendali. Pengelolaan pembiayaan yang telah dilakukan dalam periode 2004–2009 telah mampu menutupi kebutuhan defisit APBN dengan selalu memperhatikan tingkat risiko dan biaya yang favourable. Pencapaian pengelolaan pembiayaan ini dapat dilihat dari adanya keberlangsungan fiskal periode 2004 sampai 2009, dan dari indikator pemenuhan rasio-rasio terkait dengan utang, baik rasio utang terhadap PDB maupun rasio pembayaran pokok dan bunga terhadap PDB yang terus menurun dari waktu ke waktu. Di samping itu, upaya-upaya yang telah dilakukan dalam rangka pengembangan pasar dan pelaksanaan pengelolaan utang yang akuntabel dan transparan mampu meningkatkan peranan investor, terutama investor dalam negeri dalam mendukung pembiayaan defisit APBN.

STRUKTUR ORGANISASI DJPUBerdasarkan PMK Nomor 100/PMK. 01/2008

DIREKTORAT JENDERALPENGELOLAAN UTANG

SekretariatDirektorat JenderalPengelolaan Utang

Direktorat Pinjaman dan Hibah

Direktorat Surat Utang Negara

Direktorat Pembiayaan Syariah

DirektoratStrategi dan

Portofolio Utang

DirektoratEvaluasi, Akuntansi

dan Setelmen

FRONT OFFICE MIDDLE OFFICE BACK OFFICE

Sumber: Departemen Keuangan

Page 236: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Dalam pengelolaan pembiayaan, terdapat kendala dan tantangan dalam pelaksanaannya, sebagai berikut.

7.9.1. Kendala Pengelolaan Pembiayaan

Kondisi perekonomian nasional yang kurang menguntungkan akibat dari perubahan perekonomian global akibat dampak krisis sub-prime morgage di Amerika Serikat dan kenaikan harga minyak membawa dampak terhadap peningkatan risiko yang terefleksikan dengan adanya peningkatan bunga/imbalan yang diharapkan investor. Penetapan kebijakan dan strategi pengelolaan utang dalam situasi yang penuh dengan ketidakpastian sangat dipengaruhi oleh pertimbangan terhadap pergerakan variabel-variabel eksternal, misalnya tingkat inflasi, penetapan tingkat suku bunga, view/pandangan dan permintaan investor, dan kebijakan yang diambil oleh negara-negara setara lain (peer countries). Perubahan terhadap arah kebijakan dimungkinkan dilaksanakan sebagai respons terhadap perubahan situasi dan kondisi pasar, mengingat perubahan arah kebijakan tersebut dilakukan untuk memenuhi tercapainya target pembiayaan.

Adanya perubahan perekonomian dan dampak risiko yang ditimbulkannya seperti risiko pasar, risiko refinancing, dan risiko operasional tidak dapat sepenuhnya berada dalam kontrol unit pengelola utang.

7.9.2. Tantangan Pengelolaan Pembiayaan

7.9.2.1. Alternatif Sumber Pembiayaan Defisit APBN yang secara absolut menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dari waktu ke waktu harus diimbangi dengan kemampuan pembiayaan yang juga jauh lebih meningkat, mengingat dalam pembiayaan sendiri terdapat kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu pembayaran pokok utang yang jatuh tempo. Situasi ini menuntut pemerintah untuk mencari sumber pembiayaan dan menyusunnya hingga menjadi sumber pembiayaan yang paling optimal, mengingat alternatif sumber yang tersedia menjadi sangat terbatas seiring dengan makin menurunnya kapasitas sumber pembiayaan non-utang untuk dimanfaatkan sebagai sumber pembiayaan. Pembiayaan yang bersumber dari utang akan menjadi sumber yang cukup dominan dan sulit untuk dihindari lagi. Pada kenyataannya, negara di seluruh dunia juga melakukan hal yang sama. Pada negara-negara yang mengalami defisit fiskal, utang diperlukan sebagai sumber pembiayaan untuk menutup deficit. Sementara, pada negara-negara yang mengalami surplus fiskal maka utang di samping akan digunakan sebagai instrumen untuk me-refinance utang yang dimiliki juga akan digunakan untuk memfasilitasi berkembangnya pasar finansial di negara tersebut dengan menerbitkan instrumen keuangan yang dapat digunakan untuk investasi, pengelolaan moneter, dan penyediaan benchmark dari instrumen bebas risiko di negara tersebut. Mengingat sumber pembiayaan dari utang dianggap berpotensi membebani APBN di masa yang akan datang maka menjadi tantangan besar bagi pengelola utang dan pembuat kebijakan keuangan negara untuk melakukan utang secara efisien. Agar pengelolaan utang dapat efisien dilakukan maka diperlukan berbagai hal yang satu sama lain saling mendukung seperti:a. Disiplin fiskal yang tinggi yang dapat menciptakan adanya predictability dalam pengelolaan kas negara, mendukung terjadinya penempatan dan penggunaan sumber dana secara efisien;b. Integrasi dan harmonisasi dalam kebijakan pengelolaan kas dan pengelolaan utang agar utang yang telah dilakukan tidak menimbulkan biaya tambahan atau memunculkan opportunity cost yang berlebihan;c. Dalam hal pinjaman (baik yang bersumber dari luar negeri maupun dari dalam negeri), perlu direncanakan dengan kesiapan yang tinggi dengan semaksimal mungkin mengintegrasikannya dengan penganggaran agar pinjaman yang telah disepakati dapat segera ditarik dan kegiatan yang direncanakan dapat segera dilaksanakan sehingga terjadi efisiensi dalam pengelolaan pembiayaan dan efektivitas yang tinggi dalam kegiatan;

Page 237: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 2��

www.depkeu.go.id

d. Dalam hal penerbitan surat berharga sebagai sumber pembiayaan maka bekerjanya pasar keuangan domestik yang efisien yang ditandai dengan: (i) Memadainya kapasitas investor domestik untuk menyerap penerbitan surat berharga secara optimal, pada harga yang wajar dan dengan risiko yang terukur; (ii) Tersedianya infrastruktur pasar yang memadai yang mendukung terciptanya pasar surat berharga yang aktif, dalam (deep), dan likuid; merupakan hal yang tak dapat ditawar lagi.e. Adanya koordinasi yang kuat antara pembuat kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sehingga tercipta perekonomian yang efisien.

Dengan adanya hal-hal tersebut diharapkan utang dapat menjadi instrumen pembiayaan yang terjaga keberlanjutannya dan dapat menciptakan manfaat yang jauh lebih besar dalam perekonomian. Semua hal tersebut memerlukan komitmen tidak hanya terkait dengan tugas fungsi Menteri Keuangan sebagai penyusun kebijakan fiskal dan CFO bagi negara, namun juga kementrian lembaga termasuk perencana, Bank Indonesia sebagai penyusun kebijakan moneter dan pelaku pasar terutama di dalam negeri.

Alternatif sumber-sumber pembiayaan yang bersifat non utang akan tetap dimaksimalkan penggunaannya. Di antaranya dapat dilakukan dengan privatisasi beberapa BUMN yang bersifat bisnis murni dan bukan merupakan pelayanan publik. Saham BUMN dan aset non-inti BUMN yang diserahkan kepada Pemerintah dapat di privatisasi untuk menunjang pembiayaan APBN dengan tetap memperhatikan kepentingan kepemilikan pemerintah dan kebutuhan BUMN itu sendiri. Di samping itu, recovery piutang pemerintah yang macet adalah juga merupakan salah satu sumber pembiayaan non-utang. Besarnya piutang pemerintah yang ada saat ini seperti piutang pada obligor BLBI dan piutang macet perbankkan dapat menjadi sumber alternatif pembiayaan di masa yang akan datang, walaupun dengan jumlah yang relatif terbatas.

7.9.2.2. Struktur Utang dan Perlunya Hedging

Sebagai konsekuensi dari adanya kebutuhan pembiayaan APBN yang cukup besar dalam beberapa tahun terakhir, menyebabkan pemerintah harus mengoptimalkan semua sumber pembiayaan yang ada. Sumber-sumber pembiayaan yang berasal dari utang dapat berbentuk pembiayaan yang berasal dari pasar domestik (SBN Rupiah) maupun sumber yang berasal dari luar negeri dalam denominasi non-rupiah (valuta asing) yang dapat berbentuk pinjaman maupun obligasi internasional.

Sebagai akibat besarnya kebutuhan pembiayaan APBN selama ini serta outstanding utang yang merupakan legacy dari periode pemerintahan sebelumnya, telah membentuk struktur utang dengan komposisi yang hampir berimbang antara utang berdenominasi rupiah dan utang berdenominasi valas. Adanya porsi utang valas yang cukup besar dalam portofolio menyebabkan eksposur risiko currency risk eksposur yang cukup besar. Sementara sebagian utang memiliki bunga yang bersifat mengambang (floating/variable) yang menimbulkan adanya eksposur risiko tingkat bunga.

Pengelolaan risiko portofolio utang selama ini, baik risiko currency maupun risiko tingkat bunga selama ini dikendalikan dengan mengupayakan melalui pengaturan instrumen dan term and condition pada saat penerbitan atau negosiasi pinjaman. Namun, pengendalian risiko dengan cara ini tidak dapat diandalkan mengingat kita sebagai peminjam/pengutang tidak dapat menentukan ketentuan dan persyaratan yang menguntungkan dari segi risiko, namun lebih bersifat mengikuti kondisi pasar yang ada.

Page 238: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Untuk keperluan pengelolaan risiko utang yang lebih efektif, perlu dilakukan operasi hedging (lindung nilai) untuk mengelola risiko currency dan risiko tingkat bunga. Dengan melakukan hedging, pemerintah dapat mengelola risiko pasar secara terpisah dari strategi operasi penerbitan/negosiasi utang sehingga tidak mengganggu target pembiayaan.

Tantangan yang dihadapi dalam melakukan hedging dengan menggunakan instrumen derivatif adalah belum adanya infrastruktur hukum yang mendasari pelaksanaan transaksi, belum adanya kebijakan hedging yang dapat digunakan, masih kurangnya pengaturan dari sudut penganggaran hedging dan akuntansinya, serta masih kurangnya pengertian para stakeholder mengenai konsep hedging sebagai insurance dan masih memandang dari sudut untung dan rugi (profit and loss).

Untuk masa yang akan datang pelaksanaan hedging sudah mendesak untuk dilaksanakan, mengingat eksposure akan risiko pasar semakin besar sejalan dengan kebutuhan pembiayaan APBN. Hal-hal yang masih menghambat pelaksanaan hedging perlu segera dipecahkan agar pengelolaan risiko utang dapat dilakukan secara lebih baik.

7.9.2.3. Pengembangan Pasar dan Peningkatan Absorpsi Pasar Domestik

Agar pembiayaan yang cukup bergantung pada penerbitan surat berharga negara berjalan secara efisien, maka pengembangan pasar dan peningkatan absorbsi pasar domestik merupakan hal yang secara terus menerus harus diupayakan secara maksimal. Peranan investor domestik baik investor institusi dan investor individu perlu mendapatkan perhatian yang cukup agar dapat berperan sebagai basis investor yang kuat bagi sumber pembiayaan. Dominannya pemain pasar domestik dan kuatnya daya absorbsi akan dapat menjaga kerentanan dan menahan gejolak pasar dalam hal terjadi ketidakstabilan yang akan berimbas pada biaya dan risiko pembiayaan surat berharga. Untuk menghadapi tantangan tersebut, berbagai langkah perlu diambil diantaranya adalah :

(1) Penguatan industri pasar keuangan baik Asuransi, Dana Pensiun dan Reksadana untuk mendorong pertumbuhan dana kelolaan yang dapat ditempatkan pada SBN. Penguatan dilakukan selain dari sisi regulasi dalam industri juga infrastruktur pasar yang dapat mendorong minat beli investor;

(2) Penerbitan instrumen dasar yang sesuai dengan horizon investasi dan appetite dari industri;(3) Sosialisasi yang terus dilakukan untuk membentuk masyarakat investor yang kuat dan memahami dan

selanjutnya memilih instrumen investasi yang tepat;(4) Pengembangan infrastruktur dan microstruktur perdagangan yang dapat mendukung terciptanya

likuditas pasar baik dalam bentuk kemudahan dalam mekanisme pencarian harga (price discovery mechanism), dan adanya fasilitas perdagangan yang mendorong likuiditas seperti Repo, Futures, Swap, Bond lending dan lain-lain;

(5) Infrastructure registry, clearing dan settlement yang streamline sehingga dapat mendukung efisiensi perdagangan.

Hal-hal tersebut perlu menjadi agenda kedepan agar pengelolaan pasar surat berharga bekerja dengan baik dan mampu menyerap pembiayaan secara maksimal dengan tetap menjaga tidak terjadi crowding out effect dari penerbitan surat berharga pemerintah.

Page 239: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 7 Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan 2��

www.depkeu.go.id

7.9.2.4. Pengembangan Instrumen Syariah Berbasis Pembiayaan Proyek

Pengembangan instrumen perlu menjadi agenda dalam menghadapi kebutuhan pembiayaan yang makin tinggi. Saat ini masih banyak alternatif instrumen pembiayaan yang dapat dikembangkan terutama instrumen berbasis syariah. Salah satu yang dapat dikembangkan dan memiliki potensi yang besar untuk diaplikasikan dalam membiayai proyek atau kegiatan pembangunan, terutama infrastruktur secara langsung, misalnya dengan menggunakan struktur akad Istisna’.

Salah satu keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan surat berharga ini adalah di satu sisi mengurangi ketergantungan pembiayaan pada pihak-pihak tertentu (bilateral atau multilateral) secara tersentral, di sisi yang lain nilai proyek yang dapat dibangun relatif besar. Pembangunan proyek infrastruktur berbasis syariah ini menuntut perencanaan yang matang, kesiapan proyek yang baik, dan pelaksanaan serta pengelolaan proyek yang akuntabel. Dengan pembiayaan ini, kemandirian baik dalam perencanaan, pengelolaan akan lebih tinggi, adanya rasa memiliki (ownership) yang tinggi, dan dapat mengurangi terjadinya kesan lender driven sebagaimana selama ini sering muncul dalam proyek yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri.

7.9.2.5. Pengelolaan Kewajiban Kontinjensi

Sebagai upaya memenuhi komitmen Pemerintah atas jaminan penuh (full guarantee) untuk proyek 10.000 MW PT PLN (Persero) dan proyek-proyek lainnya di masa yang akan datang, saat ini sedang dikembangkan model perhitungan untuk mengukur potensi default dari pihak yang dijamin, dengan didasarkan pada laporan keuangan dan proyeksi arus kasnya. Melalui pengembangan model perhitungan tersebut, diharapkan alokasi dana kewajiban kontinjensi dalam APBN dapat lebih mendekati aktual kebutuhan, sehingga langkah-langkah mitigasi dapat disusun guna meminimalkan risiko APBN.

Selain itu, penerusan pinjaman kepada BUMN & Pemda juga berpotensi menimbulkan kewajiban kontinjensi. Praktek yang berjalan saat ini, alur pembayaran (repayment) dari BUMN dan Pemda kepada Pemerintah, dan repayment dari Pemerintah kepada Lender tidak menggambarkan suatu rangkaian proses yang saling berhubungan. Hal ini mengakibatkan beban pembayaran kepada lender yang seharusnya ditanggung oleh BUMN & Pemda (prinsip pass on) dapat menjadi tambahan beban pembayaran pemerintah. Dalam penyusunan kebijakan penerusan pinjaman ke depan, kiranya akuntabilitas dari alur dana, baik penyaluran dan pengembaliannya perlu diperjelas. Di samping itu, untuk memperkecil risiko pembayaran yang harus ditanggung oleh pemerintah, perlu dilakukan penilaian atas kelayakan kegiatan dan kemampuan membayar dari calon penerima penerusan pinjaman. Sebagai upaya mitigasi risiko atas beban pembayaran yang akan ditanggung pemerintah, perlu juga dilakukan pemantauan atas outstanding penerusan pinjaman dengan kategori lancar (per Desember 2008 sebesar Rp 41,3 triliun) yang berpotensi menjadi macet.

Pada prinsipnya, dana kewajiban kontinjensi akan berpengaruh terhadap besarnya defisit APBN yang selanjutnya akan berpengaruh juga terhadap pembiayaan defisitnya. Untuk itu, kewajiban kontinjensi, baik yang bersifat eksplisit maupun implicit, merupakan suatu risiko yang harus diperhitungkan dalam memastikan keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability).

Page 240: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Jeli dan Transparan Mengelola Perbendaharaan Negara

Departemen Keuangan menjadi ujung tombak reformasi bidang keuangan dalam rangka mengelola perbendaharaan dan kekayaan negara yang transparan, efektif, dan efisien.

Page 241: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara 2�9

www.depkeu.go.id

Kerasnya resistensi terhadap perubahan dirasakan oleh pimpinan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan. Ketika seleksi dan penempatan pejabat untuk kantor pelayanan percontohan terjadi penentangan dengan cara yang demonstratif: ancaman bom dan penyegelan kantor. Pasalnya, dalam proses seleksi dan penempatan pejabat ini, Departemen Keuangan menggunakan proses assessment test . Hasilnya, pegawai yang lulus rata-rata berusia relatif muda dan sebagian besar adalah mereka yang berasal dari luar daerah. Mereka yang tidak lulus tes pun tidak puas. Di beberapa daerah seperti Banda Aceh, Ambon dan Papua, pihak yang merasa ‘dirugikan’ mengsung isu usia dan kesukuan. Maka terjadilah penentangan yang sangat kuat.

“Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan perwujudan kehendak untuk melakukan perubahan atau pembenahan dalam tubuh birokrasi pemerintahan”. Demikian pendapat pejabat Eselon I Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan ketika ditanya mengenai makna reformasi birokrasi.

Reformasi birokrasi dalam bidang perbendaharaan negara berjalan dalam koridor reformasi Departemen Keuangan, yang mencakup reformasi struktur organisasi, reformasi proses bisnis dan reformasi sumber daya manusia.

Menata Struktur

Reformasi struktur organisasi bertujuan untuk menciptakan struktur yang ideal. Struktur organisasi yang ideal adalah struktur organisasi yang ramping tetapi dapat mengakomodasi seluruh tupoksi yang diemban. Kerampingan organisasi akan menyederhanakan rentang kendali dan mempermudah koordinasi. Namun yang paling penting dari reformasi struktur organisasi adalah untuk menjamin pencapaian kinerja yang optimal.

Oleh karena itu, setelah reorganisasi Departemen Keuangan tahap kedua (yang memisahkan fungsi pengelolaan utang dan asset dari fungsi perbendaharaan) Departemen Keuangan menggabungkan Direktorat Pengelolaan Dana Investasi dan Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman menjadi Direktorat Sistem Manajemen Investasi. Tujuannya adalah untuk menajamkan fokus tupoksi, dan melahirkan Direktorat Transformasi Perbendaharaan. Direktorat Transformasi Perbendaharaan adalah direktorat baru yang bertugas mempersiapkan transformasi proses bisnis dan teknologi informasi perbendaharaan.

Seperti aliran air dari atas ke bawah, reorganisasi di tingkat pusat tersebut kemudian diikuti dengan reorganisasi di tingkat daerah. Reorganisasi tingkat daerah dimulai dengan pemindahan tupoksi pembinaan kekayaan negara ke Kantor Wilayah Ditjen Kekayaan Negara. Reorganisasi ini, tentu saja, menuntut reposisi pegawai pada Kantor Wilayah untuk mengimbangi beban kerja masing-masing pegawai.

Untuk itu diperlukan kebijakan penempatan pegawai dan pembagian kerja yang merata dari Kepala Kantor Wilayah serta kreativitas dalam menggali bidang tugas yang selama ini belum dilaksanakan secara optimal atau belum tersentuh, seperti halnya pembinaan perbendaharaan kepada satuan kerja, monitoring dan evaluasi penyerapan dana, dan lain-lain.

Menghadapi Kerasnya Resistensi Perubahan

Page 242: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Menata Cara Kerja

Untuk menata proses kerja (proses bisnis) Departemen Keuangan melakukan hal-hal yang belum pernah dilaksanakan sebelumnya. Misalnya saja adalah menetapkan layanan unggulan, menyusun prosedur standar operasi (SOP), melakukan analisis beban kerja (ABK) dan menciptakan indikator kinerja utama (IKU). Menata cara kerja atau menyusun proses bisnis ini dilakukan oleh masing-masing instansi/unit. Proses bisnis tersebut lebih lanjut diterjemahkan dalam bentuk SOP. SOP yang dibuat harus jelas, alurnya singkat, dan memberikan kemudahan kepada mitra kerja yang dilayani.

Agar SOP ini dipatuhi dan mengikat semua pihak maka SOP ini ditetapkan dalam produk hukum berupa peraturan menteri keuangan. Perubahan SOP mengubah cara kerja, kebiasaan kerja dan menjadi budaya kerja baru. Budaya kerja beru ini melahirkan cara berpikir (mindset) baru para pegawai.

Sebagai ilustrasi, SOP lama Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), masih memungkinkan kontak langsung antara pegawai satker dengan pegawai KPPN. Apabila terjadi kesalahan minor/administratif pada berkas-berkas tagihan kepada negara, pegawai KPPN dapat membantu memperbaikinya. Kini, dalam SOP baru KPPN Percontohan, kontak langsung antara satker dengan pegawai KPPN dibatasi hanya dengan pegawai front office yang ditunjuk. Dokumen tagihan yang diproses oleh KPPN hanya yang sudah benar. Kesalahan sekecil apapun harus diperbaiki sendiri oleh satker. Kondisi ini menyebabkan pegawai KPPN merasa kehilangan perannya untuk memberikan bantuan kepada satker, yang sebenarnya memberikan celah timbulnya penyalahgunaan wewenang.

Secara eksternal, kondisi ini dirasakan oleh pihak satker sebagai menurunnya pelayanan karena tidak dibantu atau merasa dipersulit oleh KPPN. Kesalahan pemahaman atas penerapan SOP baru tersebut, saat ini sedikit demi sedikit mulai dapat dimengerti dan dirasakan manfaatnya baik oleh pegawai KPPN maupun satker dalam rangka menegakkan prinsip kepemerintahan yang bersih dan antikorupsi.

Penyempurnaan terhadap SOP menuntut semua pegawai untuk bekerja berdasarkan SOP yang telah ditetapkan. Dengan mengoptimalkan pemanfaatan sarana pendukung, misalnya teknologi informasi, pelayanan akan dapat dipercepat dan ditingkatkan kualitasnya. Penggunaan teknologi informasi menyebabkan jumlah pegawai yang dibutuhkan menjadi berkurang. Disamping itu penggunaan teknologi informasi menuntut kompetensi tertentu, Sebagai akibatnya banyak pegawai yang tidak bisa mengoperasikan komputer merasa terpinggirkan dalam organisasi. Untuk itu para pimpinan unit diminta agar menanamkan rasa percaya diri kepada para pegawai untuk terus belajar melalui rekannya yang lebih menguasai teknologi, disamping mengikutsertakan pegawai pada pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan oleh kantor pusat.

Page 243: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara 2�1

www.depkeu.go.id

Meningkatkan Kualitas SDM

Dalam reformasi birokrasi, mengelola sumber daya manusia agar dalam penjalankan peran-peran baru, menjadi tantangan paling berat. Dengan organisasi yang semakin ramping dan SOP yang baru, SDM yang ada perlu ditata kembali. Penataan ini dapat telah dilakukan melalui penempatan maupun peningkatan kompetensi. Untuk itu dengan memanfaatkan Treasury Learning Center (TLC) yang dimiliki, Direktorat Jenderal Perbendaharaan saat ini terus melakukan upaya-upaya pengembangan kompetensi pegawai.

Untuk menjamin obyektivitas, penempatan pegawai, Direktorat Jenderal Perbendaharaan menggunakan proses assessment test dan perbaikan pola mutasi pegawai.

Hambatan yang dihadapi : Ancaman Bom

Reformasi birokrasi dapat berdampak kurang menyenangkan bagi oknum-oknum yang terbiasa memanfaatkan celah-celah dari peraturan untuk mengambil keuntungan pribadi, menyalahgunakan wewenang, dan sikap ingin dilayani bukan untuk melayani. Penentangan mereka terhadap perubahan yang dengan cara menghembuskan isu bahwa reformasi birokrasi melahirkan kebijakan yang diskriminatif.

Sebagai contoh ialah dalam seleksi dan penempatan pegawai, dikesankan bahwa reformasi birokrasi mengesampingkan kriteria senioritas. Paradigma baru dalam reformasi birokrasi ialah mengedepankan kinerja, baik secara individu maupun organisasi. Mereka yang berkinerja baik akan mendapat imbalan dalam bentuk kenaikan remunerasi, sehingga yang memiliki kinerja terbaik akan mendapatkan apresiasi yang tertinggi. Namun demikian, sepanjang kinerjanya sama kriteria senioritas tetap digunakan.

Contoh lain adalah dalam pembentukan kantor pelayanan percontohan. Proses seleksi dan penempatan pejabat dan staf dilaksanakan melalui proses assessment test. Hasil seleksi menunjukkan bahwa pegawai yang lulus rata-rata berusia relatif muda dan jumlah pegawai yang berasal dari daerah setempat sangat sedikit. Hal ini kemudian kembali dieksploitasi oleh pihak-pihak yang anti perubahan dengan mengedepankan isu diskriminasi usia dan kesukuan. Bahkan pada beberapa tempat, resistensi tersebut ditunjukkan dengan cara yang sangat demonstratif seperti penyegelan kantor dan ancaman bom. Peristiwa ini pernah terjadi di KPPN Banda Aceh, Ambon dan Papua. Untuk itu, kami selaku pimpinan Ditjen Perbendaharaan baik secara khusus maupun berkala mengunjungi kantor vertikal di daerah untuk menenangkan dan memberikan sosialisasi serta pemahaman kepada para pegawai bahwa tidak ada sedikitpun hak-hak dasar pegawai (gaji, tunjangan, dll) yang dikurangi dengan adanya reformasi birokrasi. Juga dijelaskan bahwa untuk dapat ditempatkan di kantor pelayanan percontohan, para pegawai dituntut untuk memiliki kompetensi tinggi dan memberikan kinerja terbaik. Dengan demikian yang berusaha dikembangkan oleh reformasi birokrasi adalah kompetisi yang sehat dalam memberikan kontribusi yang optimal, bukan diskriminasi senioritas atau kesukuan.

Page 244: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Pencapaian

Pencapaian nyata reformasi birokrasi bidang organisasi Di Ditjen Perbendaharaan antara lain adalah:Formalisasi :1.027 SOP untuk seluruh unit kantor pusat dan kantor daerah.

Penetapan layanan unggulan (quick win) yaitu pendirian 37 Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Percontohan yang mengedepankan prinsip transparansi, antikorupsi, akurasi dan kecepatan dalam pelayanan.

Capaian kinerja terbaik pada reformasi proses bisnis antara lain melalui penerapan sistem Treasury Single Account yang memberikan remunerasi terhadap penempatan uang negara yang dikelola pemerintah pada Bank Indonesia sebesar 65% dari BI rate.

Selanjutnya, reformasi dalam bidang sumber daya manusia, Ditjen Perbendaharaan telah mendirikan Treasury Learning Center dan pemberian beasiswa S1/S2 bagi para pegawai sebagai wahana pengembangan kompetensi SDM. Disamping itu, sebagai media seleksi dan penempatan pegawai, Ditjen Perbendaharaan telah melaksanakan proses assessment test untuk Eselon II, Eselon III, Eselon IV dan Pelaksana KPPN Percontohan.

Pekerjaan Rumah

Harus diakui, masih terdapat beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Pekerjaan rumah tersebut antara lain adalah percepatan perubahan seluruh (178) KPPN menjadi KPPN Percontohan yang dihadapkan pada problem kelebihan pegawai dari segi kuantitas, tetapi kekurangan segi kualitas. Apabila dipaksakan dengan kondisi yang ada, dikhawatirkan kualitas pelayanan akan turun. Bahkan, prinsip akurasi, kecepatan dalam pelayanan, bersih dan antikorupsi tidak bisa dijalankan.

Target lain yang masih harus dicapai antara lain transformasi proses bisnis internal dan eksternal dengan cermat, pengembangan dan penerapan teknologi informasi yang terintegrasi melalui Modul Penerimaan Negara (MPN), Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), serta pengembangan kompetensi di bidang akuntabilitas keuangan melalui Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPAKP) yang saat ini sedang berlangsung dengan target 20.000 satuan kerja pemerintah. Disamping itu pengembangan profesi dibidang perbendaharaan juga masih dalam tahap wacana karena masih perlu dilakukan pengkajian secara mendalam serta persetujuan dari Menpan dan BKN.

Pekerjaan rumah yang paling rumit dalam reformasi birokrasi di Ditjen Perbendaharaan saat ini adalah mengatasi adanya kelebihan pegawai. Kelebihan pegawai ini terjadi karena perampingan struktur (akibat penajaman fungsi). Penajaman fungsi menuntut pegawai dengan kompetensi tertentu. Sementara itu pegawai yang ada belum memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Cara paling cepat untuk mengatasi masalah ini adalah secara langsung mengurangi jumlah pegawai yang tidak kompeten. Tetapi pilihan ini bukan tanpa konsekuensi, yaitu Ditjen Perbendaharaan harus dapat membuat program-program terobosan yang membutuhkan sumber daya besar dan membentuk perangkat peraturan yang mendukungnya. Itulah sebabnya, sampai saat ini yang dapat dilakukan Ditjen Perbendaharaan adalah meningkatkan kompetensi pegawai secara merata dan mengurangi pegawai melalui zero/negative growth secara bertahap.

Page 245: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

Ketika ditanya mengenai harapan ke depan, beliau menyatakan:

“Harapan bagi Depkeu secara institusi maupun saya sendiri sebagai pimpinan Ditjen Perbendaharaan serta para pegawai, adalah agar reformasi birokrasi berdampak positif dalam melaksanakan tupoksi yang diemban. Maksudnya adalah reformasi birokrasi memberi dukungan struktur organisasi yang fokus, pemisahan kewenangan yang tegas, memberikan rasa keamanan dan kenyamanan dalam bekerja dengan didukung peraturan yang jelas, serta kemudahan dalam bekerja dengan bantuan penerapan teknologi informasi yang memadai.”

Harapan masyarakat luas dan satuan kerja kementerian/lembaga adalah dapat memperoleh pelayanan prima yang transparan, kejelasan waktu pelayanan, kemudahan akses penjelasan atas permasalahan, dan bebas pungutan tidak resmi.

Meskipun demikian beliau juga mengharapkan merupakan peran serta masyarakat luas atau stakeholder untuk turut bersikap transparan dan kooperatif dalam mengawasi dan melaporkan penyimpangan maupun ketidaknyamanan dalam pelayanan yang diberikan.

Dengan semakin terbatasnya tatap muka antara pegawai satker dengan pegawai KPPN, satker perlu diedukasi. Tujuannya adalah agar mereka kompetensi mereka meningkat sehingga dapat bekerja secara mandiri. Dan yang lebih penting, kemampuan kerja mandiri para satker akan menutup peluang kolusi antara pegawai satker dan KPPN.

Seluruh pegawai di Direktorat jenderal Perbendaharaan sudah terlibat dalam proses reformasi. Tidak ada yang tertinggal. Sebagian di antara mereka sudah merasakan manfaatnya. Diharapkan dalam satu dua tahun ke depan seluruh pegawai dapat memetik manfaatnya. Oleh karena itu, perubahan terus dijalankan dengan komunikasi tidak henti keseluruh jajaran. Kerja besar yang akan segera dirampungkan adalah mengembangkan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN).

Page 246: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Dalam kurun waktu 2004-2009, Direktorat Jenderal Perbendaharaan telah melaksanakan berbagai kegiatan sebagai bentuk pelaksanaan tugas dan fungsi perbendaharaan sesuai Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang meliputi aspek pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, di antaranya berupa penyusunan berbagai regulasi di bidang perbendaharaan. Regulasi-regulasi tersebut meliputi pelaksanaan anggaran, pengelolaan kas, pengelolaan investasi pemerintah dan penerusan pinjaman, pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) serta akuntansi dan pelaporan keuangan.

Selain penyusunan regulasi di bidang perbendaharaan, telah dilaksanakan juga kegiatan yang menghasilkan berbagai kinerja, antara lain berupa penyelesaian DIPA tahun 2005-2009, penerapan treasury single account (TSA) dalam pengelolaan kas, penertiban rekening pemerintah, restrukturisasi pinjaman yang bersumber dari SLA/RDI/RPD, penjajakan kerjasama investasi, penilaian terhadap usulan penerapan pola pengelolaan keuangan BLU, pengembangan sistem perbendaharaan, pembukaan 34 KPPN Percontohan, penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2004-2007 dan 2008 (unaudited), penyusunan RUU Pertanggungjawaban APBN, serta penyusunan/penyempurnaan sistem dan prosedur akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah.

Di samping pelaksanaan tugas dan fungsinya, sejalan dengan pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan yang bertujuan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan peningkatan kinerja pengelolaan keuangan negara, Ditjen Perbendaharaan juga melaksanakan penataan organisasi dan sumber daya manusia yang selaras dengan arah kebijakan dan program Departemen Keuangan.

Dalam perjalanan panjangnya sebagai ujung tombak reformasi di bidang keuangan negara, Ditjen Perbendaharaan senantiasa berevolusi, melakukan inovasi dan mengantisipasi segala peluang dan tantangan yang dihadapi untuk memberikan kinerja dan pelayanan terbaik yang akan merefleksikan citra Departemen Keuangan sebagai excellent ministry. Bagian berikut dari bab ini akan membahas lebih lanjut mengenai arah dan strategi kebijakan, perkembangan serta pencapaian kinerja organisasi, peluang dan tantangan yang dihadapi beserta upaya-upaya yang telah dan akan terus dilakukan oleh Ditjen Perbendaharaan dalam rangka penciptaan pengelolaan perbendaharaan negara yang transparan, efektif, dan efisien.

Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Dalam satu sampai dengan dua tahun ke depan reformasi birokrasi dapat dirasakan oleh seluruh pegawai. Untuk itu reformasi birokrasi di bidang perbendaharaan akan terus dijalankan dengan konsisten dan berkesinambungan dengan program-program change management dan communication yang dilaksanakan dalam rangka pengembangan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN).

Page 247: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

�.1. Arah Dan Strategi Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Dalam mengemban sebagian dari tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang perbendaharaan negara, Ditjen Perbendaharaan memiliki visi: “Menjadi Pengelola Perbendaharaan Negara yang Profesional, Transparan, dan Akuntabel Guna Mewujudkan Bangsa yang Mandiri dan Sejahtera”. Dengan visi tersebut, seluruh jajaran Ditjen Perbendaharaan diharapkan menjadi pengelola perbendaharaan yang menguasai bidang tugasnya, berintegritas tinggi, jujur dan bersikap terbuka, serta dapat mempertanggungjawabkan proses dan hasil kerjanya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kaidah yang baik (best practice) dalam pengelolaan keuangan negara.

Sebagai sarana operasionalisasi dari visi yang ditetapkan serta selaras dengan tugas pokok dan fungsi yang diemban maka Ditjen Perbendaharaan mengusung misi-misi yang akan dijalankan dengan efektif, efisien, profesional, transparan, dan akuntabel di bidang:a. Pelaksanaan anggaran;b. Pengelolaan kas Negara;c. Pengelolaan penerusan pinjaman dan investasi pemerintah;d. Pengelolaan keuangan BLU;e. Pengembangan sistem informasi perbendaharaan;f. Penyusunan pertanggungjawaban dan laporan keuangan pemerintah pusat;g. Pengelolaan sumber daya internal organisasi.

Seiring dengan semakin dinamisnya perkembangan dalam pengelolaan keuangan negara maka Ditjen Perbendaharaan senantiasa dituntut untuk secara konsisten melakukan proses perubahan dan pembelajaran secara terus-menerus dalam menjalankan misi-misi yang diembannya. Untuk itu kebijakan pengelolaan perbendaharaan diarahkan kepada:a. Pelaksanaan anggaran sesuai ketentuan paket undang-undang dibidang keuangan negara;b. Manajemen kas dan manajemen investasi yang efektif dan efisien untuk mendapatkan manfaat yang optimal serta meminimalisir kerugian potensial bagi negara;c. Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan melalui laporan keuangan pemerintah pusat yang berkualitas;d. Revitalisasi pilar-pilar pendukung organisasi pengelola perbendaharaan yaitu SDM, sistem, peraturan, dan teknologi informasi.

Adapun strategi dalam pengelolaan perbendaharaan difokuskan kepada peran strategis Ditjen Perbendaharaan dalam reformasi manajemen keuangan negara, yang meliputi:a. Menjaga konsistensi penyelenggaraan fungsi check and balance pada dua bidang: pertama, antara kewenangan penyusunan dokumen anggaran (DIPA) yang dimiliki oleh pengguna anggaran dengan kewenangan pengesahan DIPA oleh menteri keuangan; kedua, antara kewenangan administratif yang dimiliki kementerian/lembaga dengan kewenangan kebendaharaan yang dimiliki Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.b. Mengelola dana pada kas negara melalui perencanaan kas yang efektif dan bermanfaat secara manajerial dan ekonomis, serta pengendalian rekening pemerintah.c. Pelaksanaan kewenangan regulasi, operasi, dan supervisi terhadap penerusan pinjaman dan investasi pemerintah sesuai amanat undang undang.d. Pembinaan serta supervisi terhadap pengelolaan keuangan BLU untuk menjamin manajemen keuangan BLU berjalan efektif dan efisien, namun tetap sesuai dengan ketentuan yang berlaku.e. Penyusunan serta penerapan kaidah-kaidah akuntansi sesuai ketentuan serta standar internasional dalam penyusunan laporan keuangan pemerintah.f. Penyempurnaan business process, dukungan teknologi informasi yang terintegrasi, dan pembentukan jabatan fungsional perbendaharaan.g. Pengembangan organisasi/kelembagaan, sarana/prasarana dan sumber daya manusia, serta penetapan layanan unggulan dalam rangka reformasi birokrasi.

Page 248: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

8.2. Perkembangan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

8.2.1. Organisasi dan Sumber Daya Manusia

Terbentuknya Ditjen Perbendaharaan pada 2004, tidak terlepas dari konsekuensi pelaksanaan reformasi manajemen keuangan negara yang bertujuan mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) sehingga diperlukan reformasi dibidang kelembagaan. Reorganisasi Departemen Keuangan tahap pertama pada 2004 melahirkan Ditjen Perbendaharaan dengan fungsi utama untuk menjalankan kewenangan kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran, pengelolaan elemen utama dari neraca keuangan negara (kas, piutang, asset tetap, hutang dan kepemilikan pemerintah), serta penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.

Seiring dengan semakin dinamis serta beragamnya tantangan dalam pengelolaan perbendaharaan, Menteri Keuangan menjalankan reformasi kelembagaan tahap kedua pada 2006 dengan melakukan reposisi fungsi pengelolaan hutang negara kepada Ditjen Pengelolaan Utang dan fungsi pengelolaan aset kepada Ditjen Kekayaan Negara. Dengan pemisahan fungsi tersebut, Ditjen Perbendaharaan kini semakin fokus kepada tugas-tugas kewenangan kebendaharaan, pelaksanaan anggaran, pengelolaan kas, pengelolaan penerusan pinjaman luar negeri dan pelaporan keuangan pemerintah, ditambah tugas baru yaitu sebagai regulator investasi pemerintah dan pembinaan pengelolaan keuangan BLU. Secara internal, Ditjen Perbendaharaan juga melakukan reformasi kelembagaan dengan pembentukan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Percontohan secara bertahap untuk meningkatkan pelayanan kepada stakeholder dengan mengedepankan prinsip transparansi, antikorupsi, akurasi, dan kecepatan dalam pelayanan.

Sejalan dengan reformasi kelembagaan yang telah digulirkan, Ditjen Perbendaharaan secara konsisten telah bermetamorfosis menjadi instansi pembelajar dengan melaksanakan berbagai program antara lain:a. Mendirikan Treasury Learning Center yang merupakan pusat pengembangan kompetensi SDM melalui berbagai pelatihan teknis yang diadakan;b. Menyelenggarakan rintisan pendidikan gelar S-1 dan S-2 bagi para pegawai;.c. Melaksanakan assessment center bagi pejabat dan pegawainya sebagai sarana seleksi pejabat Eselon II/III/IV maupun profiling dalam menempatkan pegawai sesuai kompetensinya.

Reformasi di bidang pengembangan SDM yang dilaksanakan oleh Ditjen Perbendaharaan bertujuan menyiapkan SDM yang tidak saja kompeten dan kredibel, tetapi juga berintegritas tinggi dalam menghadapi dinamika dan kompleksitas pelaksanaan tugas pokoknya, serta mampu beradaptasi dengan paradigma baru pengelolaan keuangan negara.

Di bidang organisasi dan sumber daya manusia, evolusi terhadap struktur, kualitas, paradigma, dan budaya kerja organisasi merupakan suatu keniscayaan. Jumlah SDM Ditjen Perbendaharaan yang mendekati 11.000 orang merupakan hambatan sekaligus peluang yang dapat dimanfaatkan, sebab dengan jumlah yang banyak ternyata belum diiringi dengan kualitas dan kompetensi yang dibutuhkan serta penyebarannya belum merata. Dari segi organisasi, penerapan platform seperti KPPN Percontohan masih belum diterapkan pada sebagian besar KPPN. Untuk itu, pembenahan organisasi akan terus dilakukan dengan memperluas pembentukan KPPN Percontohan pada KPPN lain yang secara teknis, administratif dan psikologis telah siap mempraktikkan platform percontohan.

Page 249: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

Tahun DIPA Pagu Dana (dlm ribuan rupiah)

2005 2.363 115,230,856,596

2006 8.241 200,733,922,902

2007 10.887 265,184,571,982

2008 14.223 300,235,019,761

2009 12.188 322,317,408,075

Sumber : Departemen Keuangan

8.2.2. Implementasi Fungsi Perbendaharaan, Peluang dan Tantangan serta Upaya-Upaya Menciptakan Pengelolaan Perbendaharaan yang Transparan, Efektif, dan Efisien

8.2.2.1. Pelaksanaan Anggaran

8.2.2.1.1. Capaian Kinerja

Sebagai rangkaian awal dari siklus pelaksanaan anggaran, proses pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) memegang peranan penting dalam menjamin teralokasikannya dana kementerian lembaga ke dalam dokumen anggaran yang akurat, informatif, tepat waktu dan executable. Dengan berbagai keterbatasan dan kendala yang dihadapi, selama kurun waktu 2004-2009 Direktorat Pelaksanaan Anggaran telah menyelesaikan pengesahan DIPA sebagai berikut:

Tabel 8.1. Penyelesaian DIPA 2004-2009

Dalam kurun waktu tersebut, telah dicapai kinerja pelaksanaan anggaran sebagai berikut:a. Penyerahan DIPA pada hari kerja pertama awal tahun anggaran yang telah sukses dilaksanakan mulai DIPA 2006; b. Penyederhanaan dokumen anggaran yang semula terdiri atas DIPA, DIPP, dan SKO diseragamkan menjadi DIPA untuk semua bagian anggaran untuk memenuhi asas transparansi;c. Proses penelaahan DIPA juga semakin didesentralisir dengan perubahan komposisi jumlah DIPA yang ditelaah di Kanwil DJPBN yang semakin besar dibandingkan dengan yang ditelaah di Kantor Pusat, desentralisasi tugas penelaahan dilakukan untuk mempercepat proses penyelesaian DIPA sekaligus memberikan kemudahan kepada satuan kerja yang memiliki kendala transportasi;d. Penerbitan DIPA berdasarkan prinsip satu DIPA untuk satu satker mulai tahun 2006 (tahun 2005 DIPA dibuat per Eselon I/II), menyebabkan adanya kenaikan jumlah DIPA yang signifikan dari tahun ke tahun. Penerbitan DIPA untuk tiap satker dimaksudkan sebagai implementasi penyerahan kewenangan dan pertanggungjawaban yang lebih luas bagi masing- masing Kuasa Pengguna Anggaran dalam melaksanakan anggaran;e. Upaya peningkatan akurasi DIPA dengan mengutamakan konsistensi terhadap dokumen sumbernya (UU APBN dan Perpres Rincian APBN) serta dengan Bagan Akun Standar sebagai pedoman pengalokasian dana ke dalam rincian akun/kelompok pengeluaran, telah dilaksanakan dalam penyusunan DIPA tahun 2009;f. Secara responsif maupun proaktif menyusun dan menyempurnakan pedoman/petunjuk pelaksanaan di bidang pelaksanaan anggaran, seperti pedoman pelaksanaan anggaran bagi satuan kerja yang mengalami empat kali penyempurnaan sampai 2005 dengan Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor 66/PB/2005 yang masih berlaku sampai sekarang. Selain itu juga pedoman penyusunan dan pengesahan serta revisi DIPA yang diperbarui setiap tahunnya, dan mulai 2007 pedoman tersebut diintegrasikan dengan pedoman penyusunan RKAKL oleh Direktorat Jenderal Anggaran ke dalam satu peraturan menteri keuangan.

Page 250: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Adapun Penyusunan dan penyempurnaan ketentuan di bidang pelaksanaan anggaran bertujuan untuk:a. Mewujudkan pelaksanaan APBN yang tertib, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel serta taat pada peraturan perundang-undangan;b. Memberikan pedoman kepada pengguna anggaran terkait, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban anggaran.c. Menyamakan persepsi menyangkut batasan dan materi penelaahan DIPA untuk mengulangi replikasi dalam penelaahan RKAKL ataupun pengujian tagihan oleh KPA dan oleh KPPN;d. Mewujudkan DIPA sebagai dokumen anggaran yang berguna bagi analisis belanja pemerintah, membantu implementasi manajemen kas pemerintah, dan mencerminkan sasaran dan kinerja satuan kerja.

8.2.2.1.2. Tantangan

Dalam bidang pelaksanaan anggaran, tantangan terbesar yang harus dipecahkan adalah bagaimana membuat perubahan dalam pola penyerapan dana APBN yang selama ini menunjukkan ritme yang lambat di awal sampai dengan pertengahan tahun, dan meningkat tajam pada Desember. Hal lain adalah penyempurnaan mekanisme uang persediaan sehingga besaran dan penggunaannya dapat dikendalikan dengan tetap memberikan fleksibilitas bagi pengguna anggaran.

Untuk menjawab tantangan tersebut, pengembangan yang berkesinambungan di bidang pelaksanaan akan diupayakan melalui evolusi terhadap format DIPA untuk menjamin bahwa dokumen anggaran mampu mengadaptasi penganggaran berbasis kinerja, sekaligus alat manajerial yang memadai bagi pengguna anggaran. Di samping itu, program percepatan penyerapan dana APBN akan dilakukan dengan koordinasi dan sosialisasi yang intensif dengan kementerian/lembaga, penyederhanaan prosedur yang diperlukan, serta penyusunan rencana penarikan dana yang konsisten dan dapat diandalkan. Hal lain adalah penyempurnaan mekanisme pembayaran melalui uang persediaan sehingga jumlah serta penggunaannya dapat dikendalikan tanpa mengorbankan aspek fleksibilitasnya.

8.2.2.2. Manajemen Kas

Pengelolaan kas negara telah mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pengelolaan kas negara yang semula hanya bersifat administratif, berubah kepada prinsip pengelolaan kas pemerintah yang baik. Prinsip pengelolaan kas pemerintah dimaksud mengadopsi prinsip-prinsip dasar pengelolaan kas yang modern dan best practices, yang antara lain meliputi adanya perencanaan kas yang baik, pengelolaan dan monitoring atas rekening-rekening pemerintah sehingga dapat meminimalisasi float fund, serta pemanfaatan (semaksimal mungkin) dana kas yang belum digunakan (idle cash).

Dengan adanya pengelolaan kas yang baik maka pemerintah diharapkan dapat mencapai hal-hal sebagai berikut: a. Penggunaan dana yang dimiliki pemerintah menjadi efisien, efektif, dan optimal; b. Tersedianya dana dalam jumlah yang cukup dan dalam waktu yang tepat untuk pelaksanaan kegiatan operasional pemerintahan;c. Tersedianya sumber pembiayaan yang paling efisien untuk pemerintah; d. Penyetoran penerimaan negara lebih cepat serta pengeluaran negara sesuai dengan sasaran.

Selanjutnya, diterbitkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah sebagai landasan operasional pengelolaan kas bagi Bendahara Umum Negara untuk mengelola kas negara sesuai dengan prinsip pengelolaan keuangan yang baik, yang meliputi aspek perencanaan kas melalui cash forecasting, arus kas masuk, arus kas keluar, pengelolaan kas kurang dan kas lebih, pelaksanaan rekening tunggal perbendaharaan, serta pelaporan.

Page 251: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara 2�9

www.depkeu.go.id

Adapun kinerja yang telah dicapai dalam kurun waktu 2004-2009 di bidang Pengelolaan Kas Negara antara lain meliputi: perencanaan kas, TSA, lelang bank operasional I, treasury notional pooling (TNP), pengelolaan kelebihan kas, Bank Indonesia Government Electronic Banking (BIG-eB), pengelolaan rekening lainnya, dan pelaporan pengelolaan kas negara.

8.2.2.2.1. Perencanaan Kas

Perencanaan kas bertujuan untuk memastikan bahwa negara memiliki kas yang cukup untuk membiayai kewajiban negara dalam pelaksanaan APBN. Untuk mewujudkan hal tersebut, Direktorat Jenderal Perbendaharaan telah menerbitkan Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan Nomor SE-02/PB/2006 tanggal 6 Januari 2006, tentang Penyampaian Rencana Penerimaan dan Pengeluaran Kas (perencanaan kas) Instansi/Satuan Kerja Pemerintah Pusat/Daerah serta Surat Edaran Nomor SE-38/PB/2008 tentang Penyampaian Laporan Realisasi dan Perkiraan Belanja Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2008 yang dilengkapi dengan Aplikasi IT-nya. Pada akhir 2006, telah dibentuk Tim Cash Planning Information Network (CPIN) yang bertugas melakukan koordinasi dan pengumpulan berbagai data/informasi mengenai penerimaan dan pengeluaran kas di tingkat kantor pusat yang beranggotakan dari Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Tim ini telah sangat berperan dalam mewujudkan perencanaan kas yang semakin baik, akurat, dan tepat waktu.

8.2.2.2.2. Treasury Single Account (TSA)

TSA adalah pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui satu rekening. Semua uang negara tersimpan dalam rekening tersebut dan semua pengeluaran negara dilaksanakan melalui rekening yang sama. TSA diimplementasikan melalui konsolidasi seluruh rekening pemerintah di Rekening Kas Umum Negara di BI dan penerapan zero balance atas rekening pemerintah yang berada di luar BI. Dengan adanya TSA tersebut, pemerintah dapat mengendalikan saldo dan aliran kas yang dimiliki, minimalisasi uang yang menganggur, dan transparansi dalam pengelolaan penerimaan dan pengeluaran.

TSA Pengeluaran telah dilakukan secara penuh di seluruh KPPN pada pertengahan 2007, berdasar pada Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-59/PB/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Rekening Pengeluaran KPPN Bersaldo Nihil dalam Rangka Penerapan TSA. Hal tersebut diperkuat dengan Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan Nomor SE-12/PB/2009 tentang Pengiriman Permintaan Kebutuhan Dana KPPN Dalam Rangka Pelaksanaan TSA Pengeluaran yang disertai dengan aplikasi IT e-Kirana. Sementara itu, TSA Penerimaan dilakukan secara bertahap dimulai pada 1 November 2008 dan akan diimplementasikan secara penuh pada Januari 2010.

8.2.2.2.3. Lelang Bank Operasional I (BO I)

Dalam rangka pelaksanaan TSA, dilakukan lelang untuk menentukan BO I yang diikuti oleh Bank-Bank Umum. Sebelumnya, proses pemilihan BO I dilaksanakan melalui penunjukan langsung. Lelang BO I tersebut dilakukan secara kompetitif dan transparan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pelayanan terbaik kepada masyarakat dan pengendalian aliran kas pemerintah yang akuntabel. Mekanisme lelang BO I tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 pasal 23 ayat (2) dan pasal 24 ayat (3) dimana pemerintah berkewajiban untuk membayar biaya sehubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh bank umum. Berdasarkan hasil lelang BO I yang telah dilaksanakan, pemerintah tidak perlu memberikan kompensasi atas pelayanan yang diberikan.

Page 252: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

8.2.2.2.4. Treasury Notional Pooling (TNP)

Dalam upaya melaksanakan TSA, dana yang berada pada Bendahara Pengeluaran seyogyanya di-sweep ke BI. Namun demikian, hal tersebut belum dapat dilaksanakan karena adanya kendala teknis perbankan. Untuk menjembatani hal tersebut, dilaksanakan TNP, yaitu fasilitas yang disediakan Bank Umum untuk memonitor dan menghitung total saldo seluruh rekening bendaharawan pengeluaran tanpa harus melakukan pemindahbukuan. Dengan adanya TNP, Pemerintah dapat memonitor seluruh Rekening Bendahara Pengeluaran, memantau jumlah uang yang ada pada mereka secara aktual, dan memperoleh pendapatan bunga yang cukup baik.

8.2.2.2.5. Pengelolaan Kelebihan Kas

Dalam hal pengelolaan kelebihan kas negara di BI, telah ditandatangani Keputusan Bersama (KB) antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia Nomor tentang Koordinasi Pengelolaan Uang Negara di Bank Indonesia, serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.05/2009 tanggal 8 Mei 2009 yang mengatur lebih lanjut tentang KB dimaksud. Dalam Keputusan Bersama antara lain disebutkan bahwa terhitung mulai 1 Januari 2009, pemerintah mendapatkan remunerasi atas saldo pada Rekening Kas Umum Negara dan Rekening Penempatan.

8.2.2.2.6. Bank Indonesia Government Electronic Banking (BIG-eB)

Dalam rangka monitoring dan transaksi atas dana pemerintah yang berada di BI, Departemen Keuangan dan BI telah menyepakati untuk menciptakan BIG-eB. BIG-eB merupakan sistem layanan sebagai media pendukung pelaksanaan TSA untuk mendapatkan informasi dan melakukan transaksi secara elektronik dan online atas Rekening Pemerintah yang berada di BI. Pada saat ini, penggunaan BIG-eB masih terbatas pada fitur yang bersifat informational, sedangkan fitur yang bersifat transactional, meskipun sudah siap digunakan namun belum dilaksanakan karena membutuhkan kesiapan infrastruktur pendukung dan pengujian terhadap tingkat keamanan transaksinya.

BIG-eB juga merupakan pengembangan metode transaksi dan informasi yang berbasis teknologi sebagai perubahan atas metode transaksi yang sebelumnya melalui Biro Gilyet/Check dan perolehan informasi melalui rekening koran.

8.2.2.2.7. Pengelolaan Rekening Pemerintah Lainnya

Hal lain yang merupakan domain Pengelolaan Kas Negara adalah Pengelolaan Rekening Pemerintah Lainnya. Berdasarkan temuan BPK 2004 s.d. 2006 ditemukan 4.643 rekening pemerintah diseluruh kementerian/lembaga dengan nilai Rp 32.351.337.621.689,- yang tidak dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) maupun Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL). Temuan ini menjadi sinyalemen tidak tertibnya pengelolaan rekening dalam penyelenggaraan pemerintah yang berpotensi adanya penyelewengan penggunaan uang negara. Untuk itu, Menteri Keuangan mengeluarkan kebijakan penertiban rekening pemerintah pada seluruh instansi kementerian Negara melalui:a. PMK Nomor 57/PMK.05/2007 tentang Pengelolaan Rekening Milik Kementerian Negara/ Lembaga/Kantor/Satuan Kerja;b. PMK Nomor 58/PMK.05/2007 tentang Penertiban Rekening Pemerintah pada Kementerian Negara/Lembaga;c. PKM Nomor 67/PMK.05/2007 tentang Pengenaan Sanksi Dalam Rangka Pengelolaan dan Penertiban

17/KMK.05/200911/3/KEP.GBI/2009

Page 253: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara 2�1

www.depkeu.go.id

Rekening Pemerintah pada Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/Satuan Kerja.

Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, saat ini telah dilakukan penertiban dan penerbitan ijin rekening lainnya, dalam rangka mewujudkan akuntabilitas dan transparansi keuangan negara serta untuk memenuhi amanat undang-undang yang menjadi landasan reformasi pengelolaan keuangan negara. Menteri Keuangan melakukan langkah-langkah penertiban rekening pemerintah pada seluruh instansi kementerian/lembaga. Penerbitan surat persetujuan/pembekuan rekening lainnya dilakukan mulai 2007 dengan rincian sebagai berikut:a. Surat persetujuan rekening lainnya yang diterbitkan pada 2007 sebanyak 885 rekening lainnya dari 13 Kementerian Negara/Lembaga;.b. Surat persetujuan rekening lainnya yang diterbitkan pada 2008 sebanyak 2.741 rekening lainnya dari 33 Kementerian Negara/Lembaga;c. Dengan demikian, hingga akhir 2008 telah diterbitkan 3.626 rekening lainnya pada 33 Kementerian Negara/Lembaga; d. Pembekuan rekening lainnya pada tahun 2008 sebanyak 3.074 rekening lainnya pada 34 Kementerian Negara/Lembaga.

8.2.2.2.8. Pelaporan

Untuk keperluan managerial report yang berkaitan dengan pengelolaan kas negara, dilakukan pembuatan Laporan Realisasi Anggaran (Buku Merah) yang diterbitkan setiap minggu. Buku merah merupakan flash report yang disusun dengan sistim aplikasi buku merah yang mengkonsolidasikan data Laporan Kas Posisi seluruh KPPN di Indonesia yang belum diverifikasi. Buku merah digunakan untuk memantau dan memperoleh informasi kas secara cepat yang diperlukan untuk pengendalian kas. Data dimaksud dapat digunakan sebagai acuan bagi pimpinan untuk mendapatkan gambaran realisasi APBN secara umum sehingga dapat dijadikan sebagai alat pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan di bidang pengelolaan Keuangan Negara. Sebagai ilustrasi, pada saat tutup tahun anggaran 2008, Menteri Keuangan telah dapat mengetahui jumlah akhir realisasi penerimaan dan pengeluaran Negara pada tanggal 31 Desember 2008 pukul 21.00. Hal tersebut merupakan sebuah prestasi besar dalam pengelolaan informasi keuangan negara yang belum pernah dapat dilakukan pada periode sebelum reformasi birokrasi Departemen Keuangan.

8.2.2.2.9. Tantangan Pengelolaan Kas Pemerintah

Pada umumnya, pengelolaan kas pemerintah telah dilakukan sesuai dengan prinsip pengelolaan kas yang baik. Hal ini terbukti dengan tercapainya beberapa kinerja pengelolaan kas yang telah selaras dengan prinsip pengelolaan kas negara yang baik, sebagaimana telah disebutkan di atas. Namun demikian, di dalam pengelolaan kas negara terdapat beberapa tantangan. Tantangan tersebut antara lain adalah kondisi geografis Indonesia yang tersebar, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang masih harus terus dioptimalkan, dukungan IT yang belum memadai, perlunya koordinasi yang lebih baik dengan Bank Indonesia, serta yang tidak kalah krusialnya adalah perubahan mindset dari para pengelola kas pemerintah.

Dalam rangka optimalisasi manajemen kas, hingga saat ini sinkronisasi kebijakan dengan manajemen utang dirasakan masih perlu ditingkatkan, terutama dalam hal penentuan jumlah maupun waktu penerbitan surat utang negara, kiranya tidak hanya memperhatikan kondisi pasar tetapi juga kondisi/kebutuhan kas negara. Dengan demikian, penerbitan surat utang negara pada saat surplus kas dapat diminimalisir sehingga risiko uang kas menganggur (idle cash) juga dapat diminimalisir.

Page 254: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

8.2.2.3. Manajemen Investasi

8.2.2.3.1. Investasi Pemerintah

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengamanatkan pemerintah untuk melakukan investasi jangka panjang dengan tujuan memperoleh manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya. Investasi tersebut merupakan wujud dari peran pemerintah dalam rangka memajukan kesejahteraan umum. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut maka kewenangan pengelolaan investasi pemerintah pusat dilaksanakan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Amanat Undang-Undang tersebut kemudian diwujudkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2007 tentang Investasi Pemerintah. Namun, sesuai dengan perkembangan telah dilakukan revisi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah pada 4 Februari 2008. Pelaksanaan investasi pemerintah dilakukan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan regulasi investasi dilakukan oleh Ditjen Perbendaharaan.

Pada 2007, dalam rangka pelaksanaan investasi telah dilaksanakan perjanjian kerjasama investasi antara Badan Investasi Pemerintah (sekarang PIP) dengan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Perjanjian ini merupakan kesepakatan tertulis dalam rangka penyediaan dana investasi dalam rangka mendukung infrastruktur, khususnya untuk pembebasan lahan pembangunan jalan tol. Selain itu, Pemerintah Repubik Indonesia yang diwakili oleh Ditjen Perbendaharaan dan Pemerintah Qatar yang diwakili oleh Board Member Executive-Qatar Investment Authority (QIA) telah mencapai kesepakatan dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) Pendirian Perusahaan Kerjasama Investasi. Jumlah nilai investasi dalam kerjasama ini adalah sebesar US $ 1.000.000.000 dengan komposisi modal dari Pemerintah RI sebesar US $ 150.000.000 (15%) dan QIA sebesar US $ 850.000.000.000 (85%).

8.2.2.3.2. Penyelesaian Piutang Pemerintah yang Bersumber dari SLA/RDI/RPD

Penyelesaian Piutang Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Perseroan Terbatas (PT), Pemerintah Daerah (Pemda), serta Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) menjadi sangat penting mengingat permasalahan piutang tersebut memiliki korelasi langsung pada tingkat kesehatan keuangan dan operasional bisnis BUMN/PT dan PDAM serta pelaksanaan otonomi daerah bagi Pemda yang bersangkutan. Pada 2005, total tunggakan mencapai Rp.15,71 triliun dari total piutang Rp 61,37 triliun. Pada 2006, total tunggakan bahkan mencapai Rp 16,67 triliun dari total piutang Rp 59,21 triliun. Upaya penyelesian piutang tersebut diharapkan mampu untuk meringankan beban pembayaran kewajiban BUMN/PT, PEMDA, dan PDAM dengan meminimalkan berkurangnya penerimaan negara.

Pada 2007, terkait dengan penyelesaian piutang negara yang bersumber dari SLA/RDI/RPD pada BUMN/PT, telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/PMK.05/2007 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang bersumber dari Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman dan Perjannjian Pinjaman Rekening Dana Investasi pada Badan Usaha Milik Negara/Perseroan Terbatas. Jumlah BUMN/PT yang telah mengikuti program penyelesaian piutang negara tersebut mencapai 47 BUMN/PT. Sampai dengan Mei 2009, sebanyak 15 BUMN telah selesai diproses dalam penyelesaian tunggakan. Sedangkan 32 BUMN masih dalam tahap kajian dalam rangka proses penyelesaian tunggakan.

Pada 2008, terkait dengan penyelesaian piutang negara yang bersumber dari SLA/RDI/RPD pada PDAM telah diterbitkan PMK nomor 120/PMK.05/2008 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang bersumber dari SLA/RDI/RPD pada PDAM. Pada intinya, penyelesaian piutang negara pada PDAM tersebut dilaksanakan dengan cara penjadwalan tunggakan pokok serta kombinasi antara

Page 255: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

penghapusan dan debt swap atas tunggakan nonpokok. Jumlah PDAM yang menjadi sasaran penyelesaian piutang negara mencapai 175 PDAM. Sampai dengan akhir 2008, tercatat 27 PDAM telah mengajukan permohonan penyelesaian piutang negara.

Untuk menyelesaikan permasalahan piutang Pemda, pada 2008 telah diterbitkan PMK nomor 153/PMK.05/2008 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang bersumber dari SLA/RDI/RPD pada Pemerintah Daerah. Penyelesaian piutang negara pada Pemda dilaksanakan dengan penjadwalan tunggakan pokok dan penghapusan tunggakan nonpokok yang diatur dengan cara penghapusan seluruh tunggakan nonpokok untuk Pemda yang mempunyai total tunggakan sampai dengan Rp 5 milyar serta kombinasi penghapusan dan debt swap untuk Pemda yang mempunyai tunggakan lebih dari Rp 5 milyar. Jumlah Pemda yang menjadi sasaran penyelesaian piutang negara mencapai 105 Pemda.

8.2.2.3.3. Pengelolaan Kredit Program

Terkait pengelolaan kredit program, yaitu program insentif pembiayaan oleh pemerintah kepada masyarakat untuk memperoleh kredit dari perbankan nasional dalam rangka mengembangkan usaha produktif terutama pada sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), pemerintah dengan perbankan nasional saat ini terus berupaya untuk terus meningkatkan dan memperluas akses pembiayaan kepada masyarakat. Pelaksanaan kredit program oleh pemerintah dengan mengedepankan peran perbankan nasional telah menyalurkan beberapa kredit program untuk Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.05/2007 tanggal 17 Juli 2007, Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.06/2006 tanggal 30 Nopember 2006, dan Kredit Pemberdayaan Pengusaha NAD dan Nias Korban Bencana Alam Gempa dan Tsunami (KPP-NAD & Nias) melalui Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.6/2003 tanggal 29 Januari 2003 yang telah diubah dan disempurnakan dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 12/PMK.06/2005 tanggal 14 Februari 2005 serta Kredit Usaha Rakyat (KUR) melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 135/PMK.06/2006 tanggal 24 September 2008. Selanjutnya, pada tahun anggaran (TA) 2009 ini, selain terus meningkatkan kinerja guna mendukung program pemberdayaan ekonomi bagi UMKM-K tersebut, Ditjen Perbendaharaan tengah menyusun skema kredit program baru terutama menyangkut pencapaian tujuan pemerintah meningkatkan peran UMKM dalam perekonomian nasional dalam semua sektor ekonomi produktif seperti Kredit Usaha Peternakan Sapi (KUPS) dan Skema Subdisi Resi Gudang (S-SRG).

8.2.2.4. Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU

a. Penyaluran DBH PBB yang dari aspek kecepatan dan ketepatan penyaluran dinilai sangat ideal, dari aspek administrasi masih belum menunjukan akuntabilitas karena belum didukung dengan dokumen sumber sebagaimana layaknya dokumen sebagai bukti pengeluaran negara selain DIPA yaitu SPM dan SP2D;

Direktorat Pembinaan PK BLU sebagai pelaksana tugas Ditjen Perbendaharaan di bidang pembinaan pengelolaan keuangan BLU, mempunyai tugas antara lain menyiapkan perumusan kebijakan, standardisasi, penetapan, bimbingan teknis, evaluasi, dan monitoring pengelolaan keuangan BLU. Adapun kinerja yang telah dicapai antara lain:a. Penetapan Kebijakan dan Standar Teknis pada BLU, selama 2005 sampai 2008 telah diterbitkan 6 (enam) Peraturan Menteri Keuangan dan 4 (empat) peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan sebagai aturan teknis pelaksanaan pengelolaan keuangan BLU.b. Penetapan Satuan Kerja BLU, sampai 2008 terdapat 56 (lima puluh enam) satuan kerja (satker) yang memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan persyaratan administratif yang ditetapkan sebagai satker BLU, dan 2 satker ditolak.

Page 256: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Kementerian/ Lembaga Penetapan Satker BLU

Penetapan Tarif Layanan

Pemberian Remunerasi

Pembentukan Dewan

Pengawas

Dep. Kesehatan (Rumah Sakit) 28 1 13

Depdiknas (Universitas) 7

Dep. Agama (Universitas) 4

Dep. Nakertrans (BLK) 3

Dep. Keuangan 2 1

Sekretariat Negara 2

Dep. Pekerjaan Umum 1 1

Meneg. Koperasi & UKM 2 2 2

Dep. Kominfo 1

Dep. Kehutanan 1

Dep. Perindustrian 1

Meneg. Ristek 1

BPPT 1 1

LAPAN 1

Sumber : Departemen Keuangan

c. Penetapan tarif layanan BLU, BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa yang diberikan yang ditetapkan dalam bentuk tarif. Perhitungan tarif tersebut disusun atas dasar biaya per unit layanan atas hasil per investasi dana. Besaran tarif diusulkan oleh satker BLU kepada Menteri/Pimpinan Lembaga untuk kemudian ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2005 Pasal 9. Sampai dengan 2008, Menteri Keuangan telah menetapkan Tarif Layanan 3 (tiga) satker BLU.d. Penetapan Remunerasi, BLU dapat mengajukan /mengusulkan remunerasi untuk Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, dan Pegawai BLU kepada Menteri Keuangan melalui Menteri/ Pimpinan/Lembaga. Remunerasi tersebut dapat diberikan berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan profesionalisme yang diperlukan sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2005 Pasal 36 dan PMK Nomor 73/PMK.05/2007. Sampai dengan 2008 telah ditetapkan besaran Remunerasi 3 (tiga) satker BLU oleh Menteri Keuangan.e. Persetujuan Pembentukan Dewan Pengawas, Dalam rangka pelaksanaan pengawasan terhadap pengelolaan BLU dapat dibentuk Dewan Pengawas. Pembentukan Dewan Pengawas dapat dilaksanakan bagi satker BLU yang memiliki realisasi omzet tahunan atau mempunyai aset yang memenuhi syarat minimum yang ditetapkan Menteri Keuangan. Dewan Pengawas tersebut dibentuk dengan keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga atas persetujuan Menteri Keuangan. Anggota Dewan Pengawas tersebut terdiri dari unsur-unsur pejabat Kementerian Negara/Lembaga dan Kementerian Keuangan, serta tenaga ahli yang sesuai dengan kegiatan BLU. Saat ini terdapat 15 (lima belas) satker BLU yang sudah memiliki Dewan Pengawas.

Tabel 8.2. Rekapitulasi Kinerja Pembinaan Pengelolaan Satker BLU

Page 257: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

Tantangan yang dihadapi dalam rangka pengelolaan keuangan BLU pada umumnya adalah rendahnya pemahaman tentang konsepsi BLU beserta persyaratan substantif, teknis, dan administratifnya yang bermuara kepada belum tertibnya implementasi pengelolaan keuangan oleh satker BLU. Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat konsep BLU yang dikembangkan dari format instansi pengguna PNBP dan unit swadana merupakan hal baru.

Untuk menjawab tantangan tersebut, penyempurnaan di bidang perangkat peraturan yang berkaitan dengan implementasi PK BLU dan pemberian penyuluhan, bimbingan, pembinaan, dan bantuan teknis mengenai konsep dan implementasi PK BLU bagi satker BLU, serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi ditingkatkan kualitasnya dilakukan dengan sungguh-sungguh, benar dan baik oleh satker BLU, sehingga tujuan utama pembentukan Satker BLU yaitu meningkatkan mutu pelayanan publik dapat tercapai.

8.2.2.5. Pengembangan Sistem Perbendaharaan Tiga pilar utama dalam sistem perbendaharaan, yaitu peraturan, SDM, dan teknologi informasi merupakan alat bagi Ditjen Perbendaharaan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Direktorat Sistem Perbendaharaan telah melakukan pengendalian di bidang business process dengan melakukan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap setiap produk hukum yang dikeluarkan, untuk menjamin konsistensinya dengan produk hukum lain yang berkaitan. Di samping itu, dalam rangka pembentukan jabatan fungsional perbendaharaan, telah dilaksanakan studi pendahuluan dan studi banding dengan jabatan fungsional perencana, penyusunan matriks kegiatan dan pengujian beban kerja, serta presentasi simulasi angka kredit hasil uji petik di hadapan pejabat Kementerian PAN dan BKN. Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas seluruh unit di Ditjen Perbendaharaan, Direktorat Sistem Perbendaharaan telah banyak meluncurkan berbagai paket aplikasi komputer yang digunakan untuk internal organisasi seperti aplikasi SP2D, Bendum, Verak maupun aplikasi yang digunakan oleh mitra kerja seperti aplikasi SPM, SAI, GPP. Yang paling mutakhir adalah aplikasi Modul Penerimaan Negara (MPN). Paket aplikasi ini mencoba mengintegrasikan kebutuhan end user dari keseluruhan sistem penerimaan negara (Aplikasi MP3 milik Ditjen Pajak, aplikasi EDI milik Ditjen Bea Cukai, dan aplikasi SISPEN milik Ditjen Perbendaharaan). Dengan demikian, aplikasi MPN dapat dikatakan sebagai peletak dasar-dasar pengolahan data yang terintegrasi antar unit Eselon I di Departemen Keuangan. Hingga saat ini, penyempurnaan MPN yang merupakan salah satu pekerjaan rumah Ditjen Perbendaharaan masih terus dilakukan dengan koordinasi yang intensif dengan instansi terkait, karena sukesnya MPN merupakan jawaban atas tantangan untuk menyediakan database penerimaan negara yang informatif, integral, dan dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Dalam rangka modernisasi sistem perbendaharaan melalui program penyempurnaan pengelolaan keuangan negara dan administrasi pendapatan negara, Ditjen Perbendaharaan, dalam hal ini Direktorat Transformasi Perbendaharaan, berperan aktif dalam implementasi Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), yaitu suatu sistem pengelolaan keuangan negara (anggaran dan perbendaharaan negara) yang moderen dan terintegrasi. Ruang lingkup SPAN meliputi fungsi penyusunan anggaran, manajemen otoritas pembelanjaan (spending authority), manajemen komitmen, manajemen pembayaran, proses penerimaan negara, modul akuntansi (general ledger dan chart of accounts), manajemen kas, pelaporan, dan pemeliharaan data tabel referensi.

Page 258: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

SPAN mempunyai dua tujuan utama. Pertama, mengendalikan anggaran negara, aset dan kewajiban (asset and liability) pemerintah pusat. Kedua, menyediakan informasi tentang posisi kas pemerintah yang komprehensif, dapat dipercaya, dan tepat waktu guna membantu efektivitas manajemen keuangan pemerintah. Selain itu, dengan dukungan teknologi informasi yang memadai, SPAN diharapkan dapat menyediakan perbaikan-perbaikan yang cukup signifikan dalam hal transparansi fiskal (kapasitas untuk mengakses, menganalisis dan melaporkan kegiatan-kegiatan fiskal pemerintah); sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah yang cepat dan tepat; koneksi online ke Bank Indonesia dan jaringan perbankan lainnya yang memungkinkan pengoperasian TSA yang terintegrasi dengan sistem RTGS secara aman; prediksi kas jangka pendek dan menengah yang mampu mengoptimalkan efisiensi penyediaan dana melalui sistem perbankan; pengawasan (verifikasi) yang efektif terhadap setiap transaksi pengeluaran Negara; dan sistem penganggaran terpusat yang memungkinkan unit-unit pengguna (Bappenas, Departemen Teknis, DPR) untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan anggaran.

8.3. Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara Melalui Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2004 – 2008

Sejalan dengan upaya penciptaan pengelolaan keuangan negara yang baik dan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, Departemen Keuangan telah menjadikan transparansi dan akuntabilitas sebagai dua pilar utama penyokong pelaksanaan reformasi menyeluruh di bidang pengelolaan keuangan negara. Salah satu kebijakan yang ditetapkan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah melalui penerapan akuntansi pemerintah modern sebagai dasar penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

Page 259: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

8.3.1. Perkembangan dan Pencapaian Kinerja di Bidang Akuntansi Pemerintah

8.3.1.1. Tradisi Akuntansi Pra-Reformasi (Sebelum 2004)

Sebelum lahirnya paket Undang-undang di bidang Keuangan Negara, pemerintah belum mengenal akuntansi modern. Selama periode tersebut, pemerintah Indonesia menjadikan 1864 Indische Comptabiliteits Wet (ICW) sebagai acuan dalam melaksanakan sistem akuntansi tradisional dengan karakteristik antara lain:a. Penggunaan Dasar Pelaporan Kas (Cash Basis) Seluruh sistem pencatatan keuangan dan keperluan laporan akuntabilitas didasarkan atas transaksi kas secara penuh. Konsekuensinya, pemerintah Indonesia tidak pernah menyajikan neraca pemerintah karena pencatatan dengan basis kas tidak dapat menyediakan informasi mengenai aset dan hutang pemerintah.b. Tidak adanya Standar Akuntansi Pemerintah Sebagai akibat dari tidak adanya Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), perbedaan data keuangan yang disajikan oleh tiap departemen menjadi suatu hal yang dianggap biasa. c. Dukungan Teknolongi Informasi yang terpencar Pada masa ini tidak ada database keuangan dan penggunaan teknologi informasi pun terpecah-pecah di antara satuan organisasi di lingkungan pemerintah. Proses transaksi data keuangan yang dihasilkan oleh satuan organsasi pemerintah disajikan dalam kertas kerja yang sangat tebal dengan model kuno yang merupakan warisan dari jaman kolonial Belanda.d. Lebih banyak angka-angka hasil pertimbangan dari pada data sumber hasil rekonsiliasi Data pengeluaran, saldo defisit atau surplus tiap tahun, dan saldo posisi kas yang tercatat di Departemen/Lembaga dan Departemen Keuangan (DJA dan BAKUN) tidak pernah dapat direkonsiliasi. Akibatnya, laporan akuntabilitas anggaran selalu disajikan dalam angka-angka hasil pertimbangan.

Tradisi akuntansi di masa pra-reformasi ini menyebabkan rendahnya kualitas informasi pelaporan keuangan dan kurangnya akuntabilitas serta transparansi manajemen keuangan pemerintah.

8.3.1.2. Penyelenggaraan Akuntansi Pemerintahan Pasca-Reformasi

Sesuai dengan amanat tiga Undang-undang di bidang Keuangan Negara, pemerintah diwajibkan mengimplementasikan sistem akuntansi komprehensif yang didasarkan atas rumusan Standar Akuntansi Pemerintah. Sebagai tindak lanjut ketentuan akuntansi moderen di atas, pada 2004 Pemerintah Indonesia menetapkan Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP) melalui Keppres No. 84/2004. Anggota KSAP berasal dari berbagai profesi baik akademisi dan praktisi akuntansi publik yang bertugas untuk menyusun SAP. SAP untuk pertama kalinya berhasil disusun dan ditetapkan pada 2005 melalui PP Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

Dalam sejarah pengembangannnya, salah satu masalah penting yang dihadapi KSAP adalah penentuan dasar pencatatan (basis akuntansi) yang sesuai dan paling baik untuk Indonesia. Setelah mempertimbangkan dengan mendalam mengenai model pengganggaran pemerintah yang berbasis kas dan juga mempertimbangkan kebutuhan untuk menyusun neraca pemerintah, pada akhirnya komite memutuskan untuk menyusun suatu standar akuntansi yang mengakomodasikan tradisi basis kas, sekaligus mengumpulkan data untuk menghasilkan informasi akrual agar neraca pemerintah dapat disusun. Komite mengklaim aturan akuntansi tersebut sebagai Basis Kas Menuju Akrual (Cash Towards Accrual). Berdasarkan basis kas menuju akrual inilah LKPP telah berhasil disusun.

Page 260: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Ukuran / LKPP 2004 2005 2006 2007 2008 (unaudited) Keterangan

1. Pengajuan ke DPR 9 bulan 8 bulan 6 bulan 6 bulan - Pengajuan LKPP 2006-2007 telah sesuai dengan time frame yang diamanatkan dalam UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

2. Garis Besar LKPP

- Realisasi Pendapatan Negara & Hibah

403,37 495,22 637,99 707,81 982,10 Meningkat

- Realisasi Belanja 427,18 509,63 667,13 757,65 985,62 Meningkat

- Nilai Aset 851,88 1.173,13 1,222,32 1.600,21 2.029,19 Meningkat

- Nilai Kewajiban 1.349,03 1.342,05 1.326,72 1.430,96 1.682,16 Meningkat

- Ekuitas Dana Neto -497,15 -168,92 -104,40 169,25 347,03 Meningkat

- Saldo Akhir Kas

Pemerintah 52,31 46,19 37,99 29,48 75,83 Meningkat siknifikan di tahun 2008

3. Opini Audit Disclaimer Disclaimer Disclaimer Disclaimer - Statis

Sumber : Departemen Keuangan

8.3.1.3. Perkembangan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Periode 2004-2008

Sampai saat ini, Departemen Keuangan telah berhasil menyusun lima Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, yaitu untuk tahun anggaran 2004, 2005, 2006, 2007, dan 2008 (unaudited). LKPP tahun 2004 merupakan laporan keuangan pertama yang dihasilkan Pemerintah Pusat sejak Indonesia merdeka pada 1945 dan merupakan salah satu tonggak sejarah dalam pengelolaan keuangan Pemerintah. Pertanggungjawaban pemerintah sebelumnya dimanifestasikan melalui penyampaian Perhitungan Anggaran Negara (PAN) yang hanya menyajikan realisasi pendapatan dan belanja negara dalam satu tahun anggaran yang belum memenuhi prinsip akuntabilitas publik yang baik.

LKPP disusun berdasarkan gabungan laporan keuangan seluruh K/L. Dengan demikian, tingkat keakurasian dan kevalidan data yang disajikan dalam LKPP sangat tergantung pada keakurasian dan kevalidan data yang disajikan dalam laporan keuangan seluruh K/L.Untuk LKPP 2004 sampai dengan LKPP 2007, Pemerintah Pusat masih memperoleh opini disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sementara, terhadap LKPP 2008, sampai saat laporan ini disusun BPK masih melakukan audit dan belum memberikan opini. Perkembangan LKPP dalam kurun waktu 2004-2008 dapat dilihat dalam tabel 8.3.

Tabel 8.3. Perkembangan LKPP 2004-2008 (dalam triliun rupiah)

Dari tabel 8.3 dapat disimpulkan bahwa penyerahan LKPP kepada DPR telah semakin cepat dan telah sesuai dengan undang-undang. Di samping itu, angka yang tercantum dalam cakupan garis besar LKPP telah menunjukkan peningkatan, terutama saldo akhir kas pemerintah yang meningkat secara signifikan pada 2008 (unaudited).

Page 261: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara 2�9

www.depkeu.go.id

Opini BPK 2006 2007

Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified) 7 16

Wajar Dengan Pengecualian (Qualified) 38 31

Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer) 36 33

Tidak Wajar (Adverse) - 1

Walaupun sampai dengan LKPP 2007 BPK masih memberikan opini disclaimer, patut dicatat bahwa dalam perkembangannya, LKPP telah menunjukkan berbagai kemajuan dan peningkatan yang sangat signifikan. Kemajuan dan peningkatan tersebut antara lain mencakup:a. Pencapaian nilai ekuitas pemerintah bersaldo positif Untuk pertama kalinya, Pemerintah Pusat mampu membukukan nilai ekuitas bersaldo positif dalam LKPP 2007, yaitu sebesar Rp 169,25 triliun (grafik 8.1). Peningkatan nilai ekuitas pemerintah ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya nilai aset pemerintah sebagai hasil dari program penertiban pengelolaan aset, termasuk inventarisasi dan revaluasi Barang Milik Negara (BMN).

Grafik 8.1. Grafik Komposisi Neraca Pemerintah Pemerintah

b. Penyajian analisis makro yang lebih komprehensif dalam LKPP 2007 Peningkatan kualitas LKPP 2004 sampai dengan LKPP 2007 juga ditunjukkan dengan disajikannya analisis yang lebih lengkap yang mempertegas elaborasi dampak realisasi APBN terhadap indikator-indikator utama makro ekonomi, termasuk kaitannya dengan APBN.c. Peningkatan opini audit BPK atas LKKL 2007 Opini audit BPK atas LKKL diberikan pertama kali pada LKKL 2006. Jika dibandingkan dengan opini LKKL 2006, peningkatan kualitas LKPP juga ditunjukkan dengan semakin membaiknya opini BPK atas LKKL 2007. Tabel perkembangan capaian opini LKKL sejak 2006 dapat dilihat pada tabel 8.4.

Tabel 8.4. Perkembangan Opini BPK atas LKKL

Aset Kewajiban

Sumber: Departemen Keuangan

1.400

1.200

1.000

800

600

400

200

0

-200

-400

-6002004 2005 2006 2007

1.349,3

851,88

-497,15

1.173,131.342,05

-168,92

1.222,321.326,72

-104,40

1.60,211.430,97

169,25

Ekuitas Dana

triliun rupiah

Page 262: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

d. Penyaluran DBH PBB yang dari aspek kecepatan dan ketepatan penyaluran dinilai sangat ideal, dari aspek administrasi masih belum menunjukan akuntabilitas karena belum didukung dengan dokumen sumber sebagaimana layaknya dokumen sebagai bukti pengeluaran negara selain DIPA yaitu SPM dan SP2D;e. Kemajuan dalam penyusunan LKPP 2008 (i) Dalam rangka meningkatkan kualitas LKPP 2008, Departemen Keuangan cq. Direktorat Jenderal Perbendaharaan telah melakukan langkah-langkah strategis melalui pengembangan berkelanjutan (continuous improvement) SAP dan Bagan Akun Standar (BAS). (ii) Dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN), untuk pertama kalinya Departemen Keuangan telah berhasil menyusun Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN unaudited) tahun 2008. Lebih lanjut, LKPP 2008 (unaudited) juga dilampiri dengan suplemen berupa informasi progress penertiban rekening pemerintah sampai dengan akhir 2008 termasuk subsequent event sampai dengan 10 Maret 2009.

Berbagai pencapaian ini menunjukkan tingginya komitmen Departemen Keuangan dalam menyajikan laporan pertanggungjawaban keuangan Pemerintah Pusat yang transparan dan akuntabel sebagai pelaksanaan amanat dari Undang Undang di bidang Keuangan Negara.

8.3.2. Tantangan

Tantangan terbesar yang dihadapi oleh Departemen Keuangan dalam menyusun laporan keuangan yang transparan dan akuntabel mencakup hal-hal sebagai berikut:a. Menciptakan sistem akuntansi yang andal dan berkelanjutan (Sustainable)

Untuk dapat membangun sistem akuntabilitas yang transparan, handal, dan berkelanjutan, stabilitas politik dan pelaksanaan visi yang berkelanjutan antar kabinet pemerintahan multak diperlukan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia yang ditandai dengan pluralisme pendapat dan ide-ide dapat menjadi tantangan tersendiri dalam menciptakan efek kesinambungan (sustainability) dari kebijakan dan sistem akuntansi serta keuangan Pemerintah Pusat yang telah dimulai sejak dikeluarkannya Undang Undang di bidang Keuangan Negara.

b. Peningkatan dan penyatuan komitmen pimpinan Kementerian Negara/Lembaga (K/L) dalam menerapkan akuntansi keuangan negara.

Akuntansi merupakan elemen yang fundamental dari akuntabilitas dan transparasi dari setiap organisasi modern. Namun demikian, tradisi akuntansi di lingkungan Pemerintah Republik Indonesia baru dimulai setelah diterbitkannya paket Undang-Undang di bidang Keuangan Negara. Dengan demikian, komitmen penuh dari seluruh K/L untuk menerapkan akuntansi pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sangat diperlukan bagi peningkatan kualitas LKPP dan khususnya bagi peningkatan akuntabilitas keuangan negara.

c. Peningkatan SDM yang kompeten dan handal. Saat ini, kebutuhan akan tenaga akuntansi pemerintah yang profesional, kompeten, dan handal sangat tinggi. Namun, sumber daya manusia yang tersedia belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi kelangkaan SDM di bidang akuntansi pemerintah, sejak 2007 Departemen Keuangan telah melaksanakan Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPAKP). Sampai dengan 2008, PPAKP telah berhasil mendidik dan melatih sekitar 8.345 peserta. Akan tetapi, angka ini masih jauh dari target Departemen Keuangan, yaitu 22.000 peserta yang berasal dari seluruh satuan kerja K/L. Selain itu, Departemen Keuangan bersama dengan Departemen Dalam Negeri, masih memiliki tantangan besar untuk mendidik dan melatih sekitar 48.000 SDM Pemda dari seluruh Indonesia.

Page 263: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara 2�1

www.depkeu.go.id

8.4. Pending Matters dan Tindak Lanjut

a. Penyelesaian terhadap permasalahan jumlah pegawai yang berlebih (mendekati 11.000 orang) yang tidak diiringi dengan kapabilitas dan integritas yang memadai. Selain dengan kebijakan zero growth dengan tidak menerima pegawai dalam jumlah besar dari Program Diploma I/III Keuangan, juga dijalankan kebijakan negative growth dengan memberikan kesempatan bagi pegawai (yang kapabilitasnya berada pada tingkat menengah atau di bawah) yang ingin berkarya di instansi lain di luar Ditjen Perbendaharaan ataupun Departemen Keuangan. Di samping itu, saat ini terus diupayakan peningkatan capacity building bagi para pegawai, sehingga ke depannya dapat diberdayakan sebagai guru di bidang keuangan/perbendaharaan negara bagi satker-satker mitra kerja yang jumlahnya mencapai 20.000 satker.b. Penyempurnaan format DIPA untuk mengantisipasi penerapan anggaran berbasis kinerja.c. Percepatan penyerapan APBN melalui koordinasi intensif antar unit Eselon I Departemen Keuangan dan Kementerian/Lembaga.d. Penyelesaian restrukturisasi piutang SLA/RDI/RPD kepada 105 Pemda, 32 BUMN dan 148 PDAM.e. Upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas LKPP akan terus dikembangkan, baik dari sisi kelembagaan termasuk SDM, penyempurnaan sistem dan prosedur akuntansi, maupun pemanfaatan teknologi informasi sehingga dapat diwujudkan/dihasilkan LKPP yang handal sesuai dengan SAP dan praktek-praktek terbaik di internasional (best international practices).

Beberapa hal penting yang membutuhkan tindak lanjut adalah: a. Upaya peningkatan opini audit LKPP dari disclaimer menuju Wajar Dengan Pengecualian (WDP)/ Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), antara lain melalui perbaikan dan pengembangan proses bisnis Pengelolaan Keuangan Negara yang mencakup: (i) Penertiban penerimaan dan penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah sesuai dengan ketentuan yang ada; (ii) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi penertiban rekening pemerintah di kementerian negara/ lembaga (K/L); (iii) Pembuatan kerangka waktu (time frame) yang jelas mengenai penerapan Teknologi Informasi (IT) yang akan mendukung dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban keuangan negara.b. Penyusunan LKPP berbasis akrual, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.c. Sebagai upaya penciptaan SDM yang profesional, kompeten dan andal di bidang akuntansi dan pelaporan keuangan, Departemen Keuangan akan lebih giat melakukan investasi untuk mengembangkan kapasitas dan kompetensi SDM dengan meneruskan Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah.

Page 264: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Lampiran VIII.1.

Tahapan Reorganisasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan

DITJEN ANGGARAN

Dit . Perbendaharaan & Kas negara

Dit Informasi & Evaluasi Anggaran

Dit.Dana Luar Negeri

Dit. Pembinaan Kekayaan Negara

SEKRETARIAT JENDERAL

P M O N

BAKUN

DITJEN LEMBAGA KEUANGAN

Dit. Pengelolaan Penerusan Pinjaman

Dit. Pelaksanaan AnggaranDit. Akuntansi dan Pelaporan KeuanganDit.Sistem PerbendaharaanDit. Pengelolaan Surat Utang NegaraDit Dana Luar NegeriDit.Pengelolaan BM KNDit.Perbendaharaan dan Kas NegaraDit. Pengelolaan Penerusan Pinjaman

DITJEN PERBENDAHARAAN

REORGANISASI TAHAP II

Dit. Pelaksanaan AnggaranDit. Akuntansi dan Pelaporan KeuanganDit.Sistem PerbendaharaanDit. Pengelolaan Surat Utang NegaraDit Dana Luar NegeriDit.Pengelolaan BM KNDit.Pengelolaan KasNegaraDit. Pengelolaan Dana InvestasiDit. Pengelolaan Penerusan PinjamanDit. Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU

DITJEN PERBENDAHARAAN

DITJEN KEKAYAAN NEGARA

DITJEN PENGELOLAAN

UTANG

REORGANISASI TAHAP I

REORGANISASI TAHAP II

DITJEN PERBENDAHARAAN

I

Dit. Pelaksanaan Anggaran

Dit. Akuntansi dan Pelaporan Keuangan

Dit.Sistem Perbendaharaan

Dit.Pengelolaan Kas Negara

Dit. Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU

Dit. Sistem Manajemen Investasi

Dit. Transformasi Perbendaharaan

Page 265: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 8 Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

Lampiran VIII.2.

Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan

Direktorat Jenderal Perbendaharaan

Kanwil DJPB

Tingkat Pusat

Tingkat Daerah/Instansi Vertikal

KPPN

Sekretariat Direktorat Jenderal

DIT.PA DIT. PKN

DIT. SMI

DIT. PPK BLU

DIT. APK

DIT. SP

DIT. TP

Direktur Jenderal PerbendaharaanSekretaris Ditjen Perbendaharaan

Direktur Pelaksanaan Anggaran

Direktur Pengelolaan Kas Negara

Direktur Sistem Manajemen Investasi

Direktur Pembinaan PK BLU

Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan

Direktur Sistem PerbendaharaanDirektur Transformasi Perbendaharaan

Herry PurnomoSiswo Sujanto

K.A. Badaruddin

Tata Suntara

Soritaon Siregar

Hari Utama Ribowo

Vicentius Sonny Loho

Bambang Isnaeni GunartoParuli Lubis

Page 266: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Menurut pejabat Eselon I Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Departemen Keuangan, tujuan akhir reformasi birokrasi adalah pelayanan yang berkualitas untuk masyarakat luas. Tetapi untuk mencapai tujuan akhir tersebut, Direktorat ini harus tahapan panjang yang menuntut usaha ekstra keras.

Di bawah payung Departemen Keuangan, Direktorat Jenderal Kekeyaan Negara (DJKN), merupakan organisasi baru di Departemen Keuangan. DJKN merupakan hasil penggabungan fungsi pengelolaan BMN dan pengurusan piutang dan lelang negara.

Sebagai organisasi baru, DJKN berupaya membangun visi dan misi, harmonisasi pelaksanaan tugas serta membangun kultur dan etos kerja baru. Hal tersebut diperlukan karena dalam penggabungan organisasi, juga muncul egoisme sektoral. Maklum, latar belakang SDM–nya juga tidak sama. Jajaran DJKN juga terus berupaya mengubah budaya kerja dan cara pandang lama secara berkelanjutan dengan menerapkan kebijakan zero tolerant terhadap pelanggaran.

Untuk mendukung pelaksanaan tugas, DJKN menyempurnakan perangkat peraturan yang sudah ada dan menyediakan perangkat aturan baru yang belum tersedia. Dengan perangkat peraturan yang belum settle, menyebabkan penyempurnaan proses bisnis memerlukan waktu yang panjang.

Selain itu, bertambahnya beban tugas baru menuntut penyesuaian struktur organisasi. Reorganisasi di lingkungan DJKN menyebabkan pemekaran unit vertikal menjadi 17 kantor wilayah dan 70 KPKNL. Besarnya organisasi serta penyebaran unit vertikal di seluruh wilayah Indonesia menyebabkan proses diseminasi program-program reformasi birokrasi menjadi tidak mudah.

Pada awalnya juga terjadi resistansi dari sebagian jajaran, timbul rasa enggan untuk berubah. Namun, dengan penjelasan dan sosialisasi terus menerus, segenap jajaran menyadari pentingnya perubahan dan bersedia bersama-sama untuk mengubah paradigma lama.

Pembentukan DJKN sebagai organisasi memerlukan berbagai penyesuaian. Penyesuaian yang paling mendasar adalah penyesuaian kompetensi organisasi. Proses penyesuaian kompetensi organisasi dilakukan dengan transfer pengetahuan antar SDM yang mempunyai latar belakang dan pengalaman berbeda melalui in house training. Dalam proses transfer pengetahuan ini terdapat tantangan berupa keengganan dari SDM. Mereka berasumsi bahwa dengan mempelajari kompetensi baru, berarti mereka akan mendapat tambahan tugas baru atau direlokasi (dimutasi) dengan mendapat tugas yang sama sekali baru.

Proses lain yang menimbulkan ketidaknyamanan adalah penataan SDM. Perubahan struktur organisasi, terutama karena kebutuhan pembukaan kantor baru baik kantor wilayah maupun kantor operasional di berbagai tempat menuntut penataan SDM secara menyeluruh. SDM yang mengelola kantor-kantor baru tersebut berasal dari beragam latar belakang, sehingga dalam tahap awal mereka memerlukan pola komunikasi dan budaya organisasi yang baru.

Selain penetapan organisasi, reformasi birokrasi menuntut penyempurnaan proses bisnis. Dengan ditetapkannya SOP di lingkungan DJKN maka setiap tahapan pelaksanaan tugas menjadi lebih jelas dan transparan. Semua pelaksanaan tugas semua dapat dimonitor. Perubahan tersebut menjadi lebih terasa dengan ditetapkannya 6 layanan unggulan di lingkungan DJKN. Dengan adanya SOP khususnya SOP layanan unggulan maka palaksanaan tugas tidak dapat dilaksanakan as usual.

Pemberlakuan Balance scorecard (BSC) di lingkungan Depkeu menuntut pengukuran kinerja masing-masing unit. Pengukuran kinerja merupakan hal baru dalam birokrasi pemerintahan dan budaya sungkan untuk melakukan penilaian terhadap diri sendiri sering menjadi hambatan dalam implementasi BSC. Proses perubahan tersebut bukan merupakan proses yang mudah karena tidak semua orang memiliki kemampuan adaptasi yang baik.

Pelayanan Publik Merupakan Tujuan Akhir Reformasi Birokrasi

Page 267: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 9 Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

Dalam berbagai kesempatan Menteri Keuangan selalu memberi arahan bahwa reformasi birokrasi harus dijalankan dengan sepenuh hati oleh seluruh jajaran Depkeu. Sebagai organisasi baru dan penggabungan dari berbagi fungsi Menkeu memperingatkan agar DJKN jangan terbebani oleh ”surrogate parent” dan tampil sebagai organisasi baru yang tidak terkait dengan organisasi asalnya. Arahan tersebut menjadi pedoman seluruh jajaran DJKN dalam melaksanakan penyempurnaan organisasi. Ekspektasi yang besar dari pimpinan Depkeu terhadap DJKN terutama dalam hal inventarisasi dan penilaian BMN untuk memperbaiki kualitas laporan keuangan pemerintah pusat juga merupakan motivator pelaksanaan tugas di DJKN.

Dalam pelaksanaan tugas di DJKN terjadi dinamika yang cukup tinggi baik di lingkungan internal maupun dengan pihak eksternal. Tugas pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan yang menjadi bagian tugas DJKN, mempunyai karakteristik yang agak spesifik dan berbeda dengan rumpun tugas unit eselon II yang ada di DJKN. Perbedaan tersebut menyebabkan adanya dinamika tersendiri untuk menentukan dengan rumpun tugas yang mana tugas tersebut dapat disatukan.

Tugas dan fungsi DJKN semuanya berkaitan erat dengan pihak eksternal. Dengan demikian maka koordinasi menjadi bagian penting dalam penyelesaian tugas. Untuk melaksanakan tugas penertiban barang milik negara ’mengancam’ pihak-pihak yang selama ini merasa nyaman dengan kondisi yang ada. Begitu juga dengan tugas-tugas DJKN yang lain semuanya berhadapan dengan pihak yang ingin mempertahankan status quo.

Menyadari tugas berat tersebut seluruh jajaran DJKN selalu melakukan internalisasi di lingkungan DJKN dan koordinasi serta sosialisasi dengan berbagai level pimpinan di kementerian/lembaga agar memberikan penjelasan kepada unit vertikalnya untuk mendukung tugas DJKN. Penyadaran bahwa reformasi pengelolaan kekayaan negara merupakan tuntutan publik juga terus disampaikan kepada seluruh stakeholders DJKN khususnya kepada jajaran kementarian/lembaga.

Reformasi birokrasi di DJKN didorong oleh keinginan untuk berubah dari setiap jajaran di DJKN dan faktor leadership (faktor keteladanan). Hal ini dapat terlihat dari hasil monitoring dan evaluasi baik yang dilakukan oleh internal DJKN maupun oleh lembaga-lembaga independen. Berdasarkan hasil survei Universitas Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pengguna jasa atas layanan yang diberikan oleh DJKN lebih baik dibandingkan dengan unit pelayanan yang dimiliki oleh unit eselon I lain di Departemen Keuangan. Hal ini membuktikan bahwa DJKN telah berhasil dalam melakukan peningkatan kualitas layanan terhadap pengguna jasa. Secara tidak langsung, DJKN telah berhasil memenuhi tujuan utama dari reformasi birokrasi di Departemen Keuangan.

Meskipun secara umum proses reformasi di DJKN telah menunjukan hasil nyata, masiah ada beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Penetapan kantor pelayanan modern di beberapa unit di lingkungan Depkeu terbukti memberikan hasil yang sangat baik. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, DJKN sedang menyusun model kantor pelayanan modern sebagai simbol perubahan. Dalam tahap awal sedang dipersiapkan 6 KPKNL modern yang rencananya akan diberi nama KPKNL Teladan. Pembentukan 6 kantor tersebut baru merupakan tahap awal dan akan diteruskan dengan kantor-kantor yang lain. Dalam kantor modern tersebut akan tercermin reformasi secara menyeluruh baik di bidang SDM, IT maupun proses bisnisnya. Pembentukan kantor modern belum terealisasikan karena untuk membentuk kantor modern diperlukan berbagai langkah persiapan terutama masalah IT dan SDM-nya. SDM Kantor Modern akan diisi dengan SDM-SDM pilihan melalui proses seleksi terbuka di lingkungan internal DJKN. Selain itu pembentukan sistem IT juga memerlukan waktu. Namun demikian pada tahun 2009 ini diharapkan kantor modern sudah dapat dibuka.

Ke depan, diharapkan Depkeu dapat menujukkan bahwa dengan reformasi birokrasi Depkeu menghasilkan kinerjanya menjadi lebih baik dan pelayanan yang lebih berkualitas kepada masyarakat. Peningkatan pelayanan publik adalah tujuan akhir reformasi birokrasi.

Page 268: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

9.1. Arah Dan Strategi Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Sebagai sebuah organisasi yang melaksanakan fungsi Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN), pengurusan piutang negara dan lelang, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 66 Tahun 2006 tanggal 8 Juni 2006, mengemban tugas berat untuk menyempurnakan pengelolaan kekayaan negara yang belum dilaksanakan secara baik selama ini. Kekayaan negara yang dikelola oleh DJKN meliputi BMN dan kekayaan negara yang dipisahkan. Adapun pengertian BMN yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau yang berasal dari perolehan lainnya yang sah berupa hibah, pelaksanaan perjanjian/kontrak, pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah mempunyai keputusan hukum yang tetap (incracht) dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pertambahan dan pengurangan BMN yang telah berlangsung selama puluhan tahun, baik yang bersifat berwujud (tangible) maupun tidak berwujud (intangible), belum diadministrasikan sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan aset yang baik. Lemahnya administrasi BMN tersebut juga merupakan salah satu penyebab terjadinya inefisiensi anggaran. Akibatnya, Departemen Keuangan mengalami kesulitan dalam merencanakan dan mengontrol belanja barang dan modal yang diusulkan oleh Kementerian Negara/Lembaga secara tepat, optimal, dan efektif karena database BMN yang menjadi salah satu penentu besarnya belanja barang dan modal serta belanja pemeliharaan kurang akurat dan kurang lengkap. Pengajuan usulan belanja barang seharusnya dapat disandingkan dengan jumlah dan penggunaan aset menganggur (idle asset) yang ada di seluruh Kementerian Negara/Lembaga sebelum diputuskan untuk melakukan pembelian barang.

Selain itu, mekanisme pengaturan penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, dan penghapusan barang milik negara juga belum didukung oleh ketentuan peraturan perundang-undangan secara lengkap dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Hal tersebut mengindikasikan perlunya penyusunan database BMN yang “up to date dan reliable” serta penyempurnaan segenap aturan pelaksanaan pengelolaan, termasuk penataan lembaga pengelolanya.

Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) telah berhasil dalam melakukan peningkatan kualitas layanan terhadap pengguna jasa. Secara tidak langsung, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) telah berhasil memenuhi tujuan utama dari reformasi birokrasi di Departemen Keuangan yaitu meningkatkan kepercayaan publik terhadap kinerja pelayanan publik di Departemen Keuangan.

Page 269: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 9 Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

Berbagai permasalahan tata kelola BMN tersebut tidak dapat diselesaikan melalui pendekatan konvensional. Diperlukan sebuah gerakan masif dan dukungan penuh dari semua Kementerian Negara/Lembaga sebagai pengguna barang untuk dapat menerapkan pola baru manajemen BMN dalam kerangka waktu yang jelas. Hal ini diperlukan karena untuk menyelesaikan permasalahan tersebut memerlukan waktu dan sumber daya yang cukup memadai. Untuk itu, diperlukan suatu Roadmap Strategic Asset Management yang merupakan penunjuk arah dalam upaya mewujudkan manajemen BMN yang sehat dan modern (sound and modern).

Dalam rangka melaksanakan Strategic Asset Management, terdapat beberapa tahapan yang harus dicapai terlebih dahulu:

Gambar 9.1. Road Map Strategic Management Asset

Pertama, sebagai organisasi baru, DJKN perlu melengkapi atribut organisasi pengelola yang sekurang-kurangnya terdiri dari 4 (empat) komponen utama sebuah organisasi, yaitu peraturan perundang-undangan, sistem dan prosedur kerja, sumber daya manusia, dan sarana teknologi informasi.

Kedua, merupakan syarat mutlak bagi fungsi Pengelola BMN untuk membangun database yang dapat diyakini kehandalan dan kelengkapannya serta harus menciptakan tertib administrasi dan kepastian hukum atas kepemilikan BMN. Program Penertiban Barang Milik Negara yang merupakan sebuah gerakan nasional untuk mewujudkan tertib administrasi, tertib hukum, dan tertib penggunaan/pemanfaatan, telah digulirkan pada pertengahan tahun 2007 melalui Keputusan Presiden Nomor: 17 tahun 2007 tentang Tim Penertiban Barang Milik Negara. Program ini merupakan langkah besar dalam sejarah pengelolaan BMN di Indonesia.

Sumber : DJKN-Departemen Keuangan

(3 tertib: tertib administratif, tertib hukum, & tertib fisik)

Strategic Asset Management

“Aset Negara sebagai indikator penting dalam pelaksanaan anggaran yang efisien, efektif dan optimal”

- Melengkapi Atribut Organisasi Pengelolaan- Penertiban Barang Milik Negara/aset Negara

- Penertiban BMN/aset negara (Lanj.) - Penyempurnaan sistem pengendalian intern dan tata kelola pengelolaan aset negara- Penatausahaan andal & akuntabel

- Integrasi perencanaan penganggaran dan perencanaan aset negara - Optimalisasi pengelolaan aset negara

Page 270: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Gambar 9.2. Gedung Induk Departemen Keuangan, Jakarta.

Ketiga, apabila Program Penertiban BMN telah selesai dilaksanakan dan telah tercipta database BMN yang reliable maka publik dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan BMN dapat memperoleh informasi yang memadai. Data tersebut diharapkan tidak saja dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, namun juga benar menurut kaidah standar akuntansi, aspek hukum, dan aspek teknis manajemen BMN. Hal yang tidak kalah penting adalah bahwa keandalan (realibility) database tersebut juga harus meliputi informasi tentang penguasaan fisik BMN.

Keempat, dengan kehandalan data dan sistem serta prosedur yang memadai maka Pemerintah Pusat diharapkan telah siap masuk pada tahapan optimalisasi pengelolaan BMN. Optimalisasi ini memiliki makna strategik pengelolaan BMN, yaitu utilisasi BMN yang optimal, yaitu dengan tingkat nilai ekonomi dan sosial yang setinggi-tingginya atau The Highest and Best Use (HBU).

Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Sejak Kemerdekaan Negara Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, pengelolaan kekayaan negara yang mencakup fungsi perencanaan, penganggaran, pengelolaan dan pertanggung-jawaban belum dilaksanakan secara baik. Perubahan kebijakan pengelolaan kekayaan negara yang fundamental ditandai dengan lahirnya tiga paket Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Dengan memperhatikan amanat dalam ketentuan dimaksud maka pengelolaan BMN harus dilaporkan oleh Pemerintah Pusat kepada publik dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Untuk pertama kali sejak kemerdekaan Indonesia tersebut, Pemerintah Pusat telah berhasil menyusun LKPP pada 2004. Meskipun LKPP tersebut mendapatkan Opini disclaimer dari BPK, yang antara lain disebabkan belum dikelolanya BMN dengan baik dan belum tersajinya nilai wajar BMN, LKPP tersebut merupakan pondasi awal dalam pembenahan Pengelolaan Kekayaan Negara dan dari waktu ke waktu akan ditingkatkan kualitasnya, terutama dari segi pengelolaan BMN. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut dan dibentuknya DJKN, maka kekayaan negara mulai dikelola secara profesional dan bertanggung jawab. Secara singkat, perkembangan kebijakan pengelolaan BMN dapat dijelaskan dalam bagan berikut bagan 9.1.

Page 271: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 9 Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara 2�9

www.depkeu.go.id

Bagan 9.1. Perkembangan Kebijakan Pengelolaan BMN

9.2. Reformasi Dalam Pengelolaan Kekayaan Negara

Lahirnya tiga paket kebijakan yang menjadi lokomotif bagi perubahan paradigma pengelolaan kekayaan negara mengawali reformasi pengelolaan kekayaan negara. Pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara merupakan payung hukum tertinggi yang mengatur mengenai fungsi pengelolaan barang milik negara sebagai bagian dari lingkup perbendaharaan negara. Hal ini bermakna bahwa di dalam siklus keuangan negara yang bermula dari perencanaan, penganggaran, perbendaharaan, dan pemeriksaan, maka subfungsi pengelolaan barang milik negara merupakan satu bagian yang saling terkait dengan subfungsi lainnya di dalam fungsi perbendaharaan dan keuangan negara secara utuh.

Kedua, dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2008 dan telah diamanatkan oleh UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta telah dicanangkan dalam Road Map Departemen Keuangan Tahun 2005 s.d. 2009, telah terjadi perubahan paradigma dari “penatausahaan barang milik/kekayaan negara” menjadi “pengelolaan barang milik negara/daerah atau BMN/D”. Perubahan tersebut mencakup, antara lain:a. Lingkup pengelolaan yang luas dimulai dari perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, dan pembinaan pengawasan, serta pengendalian;b. Para pejabat pengelola BMN/D dengan lebih mengenalkan peran baru sebagai pengelola aset (asset manager) dalam rangka profesionalisme pengelolaan BMN/D;c. Pengintegrasian unsur manajerial dan pelaporan BMN/D di dalam laporan keuangan sebagai bagian dari pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran negara/daerah.

2004-2006

Barang Milik/Kekayaan Negara

• Integritas akuntansi Aset dan akuntansi keuangan dlm rangka penyusunan Neraca• Aplikasi Sistem Akuntansi Aset Tetap (SAAT) < th. 2004• Aplikasi SABMN pd th. 2004• Pelaporan berjenjang dan kompilasi oleh Ditjen Perbendaharaan

> 2006

Barang Milik Negara

• Pelaporan berjenjang• Aplikasi SABMN-SIMAK BMN• Produk: Laporan BMN, Neraca• Pengelolaan dan penatausahaan aset dikoordinasikan oleh Ditjen Kekayaan Negara

Page 272: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Gambar 9.3. Gedung Syafrudin Prawiranegara Kantor Pusat DJKN

Ketiga, untuk dapat menjalankan proses pengelolaan BMN/D secara memadai, PP No. 6 Tahun 2006 mengamanatkan terbitnya beberapa produk hukum yang mengatur lebih lanjut mengenai aspek pengelolaan BMN/D, seperti:a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata cara Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara;b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2007 tentang Penggolongan dan Kodifikasi Barang Milik Negara;c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara;d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.06/2008 tentang Penilaian Barang Milik Negara;e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.06/2008 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina.

Reformasi di bidang hukum menimbulkan konsekuensi lebih lanjut di dalam aspek organisasi dan ketatalaksanaan. Hingga 2007, penataan ulang organisasi secara menyeluruh di Departemen Keuangan telah berlangsung sebanyak 2 (dua) kali. Pertama, pada 2004, terjadi peleburan dua unit Eselon II, yaitu Direktorat Pengelolaan Kekayaan Negara (Dit.PKN)-Ditjen Anggaran dan Pusat Akuntansi Barang Milik/Kekayaan Negara (Pusat Akbar)-BAKUN, menjadi satu unit Eselon II baru, yaitu Direktorat Pengelolaan BMKN (Direktorat PBMKN) pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Direktorat inilah yang menjadi cikal bakal pengembangan organisasi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang saat ini melaksanakan peran selaku Pengelola Barang (asset manager).

Kedua, lahirnya unit eselon I baru, yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara atau DJKN, yang merupakan peleburan antara Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN), Direktorat Pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara-Ditjen Perbendaharaan, dan Bidang Pengelolaan Kekayaan Negara pada Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Perubahan ini ditandai dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006, yang selanjutnya disempurnakan menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006. Dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008, organisasi DJKN kembali mengalami penyempurnaan yang berfokus pada perbaikan proses bisnis dan penajaman fungsi agar pencapaian sasaran dan optimalisasi hasil dapat terwujud.

Page 273: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 9 Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara 2�1

www.depkeu.go.id

Skenario perubahan dilakukan dengan pendekatan fungsi. Penggabungan antara eks DJPLN dan eks. Direktorat PBMKN menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara bukan sekedar penyatuan SDM dua unit. Secara substansi, kedua fungsi tersebut berubah komposisi, baik yang sifatnya penajaman fungsi yang ada (penatausahaan kekayaan negara), maupun fungsi baru (perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, penilaian, dll).

Dengan kata lain, perubahan strategis dari DJPLN ke DJKN merupakan penggabungan dan penajaman terhadap fungsi, visi, dan misi. Terjadinya transformasi konsep dari DJPLN yang memiliki fungsi spesifik di bidang pengurusan piutang negara dan lelang ditambah dengan satu fungsi baru yang strategis, yaitu pengelolaan kekayaan negara (BMN), mengakibatkan adanya perpaduan (integrasi) antara pengurusan piutang negara, lelang, dan pengelolaan BMN.

Pengintegrasian fungsi pengelolaan BMN dengan fungsi lelang bertujuan untuk mendekatkan pelayanan lelang dalam pengelolaan BMN. Hal ini dapat dilihat dari fungsi lelang sebagai sarana dalam penghapusan BMN dengan tindak lanjut penjualan. Dengan demikian, dari aspek organisasi, efektivitas dan efisiensi pengelolaan BMN diharapkan akan menjadi lebih baik.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006, pengurusan piutang negara hanya berasal dari Kementerian dan Lembaga, sedangkan pengurusan piutang negara yang berasal dari BUMN hanya terbatas pada yang telah diserahkan sebelum berlakunya peraturan pemerintah tersebut. Dengan adanya perubahan kebijakan tersebut maka pengintegrasian fungsi pengurusan piutang negara dengan pengelolaan kekayaan negara akan memperkokoh kedudukan pengurusan piutang negara sebagai bagian dari pengelolaan kekayaan negara. Selain itu, penataan organisasi tersebut menghasilkan adanya spesialisasi fungsi penilaian yang sangat diperlukan dalam pengelolaan kekayaan negara, khususnya dalam penetapan nilai wajar kekayaan negara, yang antara lain digunakan sebagai koreksi LKPP 2004.

Untuk memberikan kepastian hukum dan menunjang pelaksanaan fungsi pengurusan piutang negara, penilaian dan pelayanan lelang yang profesional dan accountable serta sebagai perwujudan reformasi birokrasi maka saat ini sedang disusun berbagai penyempurnaan peraturan perundangan, peningkatan kualitas SDM, dan penyempurnaan sistem informasi serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Sejalan dengan upaya penyempurnaan tersebut, untuk meningkatkan pelayanan kepada publik sebagai perwujudan reformasi birokrasi yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat pengguna jasa, maka sejak 2007 telah diimplementasikan layanan unggulan dibidang pengelolaan BMN, pengurusan piutang negara, penilaian dan pelayanan lelang. Penerapan layanan unggulan memberikan kepastian dan percepatan waktu layanan serta kepastian biaya yang dibebankankepada masyarakat pengguna jasa.

9.3. Capaian Kinerja

Dalam kurun waktu 2004-2009, DJKN telah melaksanakan tugas dan fungsi di bidang barang milik negara, penilaian (valuation), kekayaan negara lain-lain, piutang negara, dan pelayanan lelang. Oleh karena DJKN baru terbentuk pada akhir 2006, maka capaian kinerja di bidang pengelolaan kekayaan negara baru dapat disajikan mulai 2007. Capaian kinerja selama periode tersebut adalah sebagai berikut:

9.3.1. Penertiban Barang Milik Negara

DJKN sebagai pelaksana fungsional atas kewenangan dan tanggung jawab Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang Milik Negara telah melakukan kegiatan penertiban BMN sebagai tahap awal pembenahan pengelolaan BMN.

Page 274: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Guna mendukung pelaksanaan penertiban BMN, telah ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2007 tentang Penertiban BMN, yang mengamanatkan dibentuknya Tim Penertiban BMN. Tim Penertiban BMN diperlukan agar BMN di Kementerian/Lembaga yang selama ini belum diinventarisasi dapat dilakukan penertiban secara optimal. Tugas Tim Penertiban BMN tersebut yaitu:a. Merumuskan kebijakan dan strategi percepatan inventarisasi, penilaian, dan sertifikasi seluruh BMN di Kementerian/Lembaga;b. Mengkoordinasikan pelaksanaan inventarisasi, penilaian dan sertifikasi barang milik negara di Kementerian/Lembaga;c. Melakukan monitoring terhadap pelaksanaan inventarisasi, penilaian dan sertifikasi BMN yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga;d. Menetapkan langkah-langkah penyelesaian permasalahan dalam rangka pengamanan BMN yang berada dalam penguasaan Kementerian/Lembaga;e. Menyampaikan rekomendasi hasil penertiban BMN kepada Menteri Keuangan sebagai bahan pertimbangan.

Sejak November 2007 sampai dengan Kuartal I 2009 telah dilakukan Inventarisasi dan Penilaian BMN terhadap 12.337 satker atau ± 57% dari 20.338 satker di Kementerian/Lembaga. Sampai dengan 2009, seluruh satker direncanakan telah selesai diinventarisasi dan dinilai. Dari hasil penertiban tersebut diperoleh nilai wajar BMN sebesar Rp 261,754 triliun pada 12.337 satuan kerja (satker). Dari kegiatan Inventarisasi dan Penilaian BMN pada 151 satker di luar negeri (57 negara) diperoleh nilai wajar BMN sebesar Rp 14,041 triliun.

Grafik 9.1. Capaian Penertiban Barang Milik Negara s.d. Q1 2009 Inventarisasi dan Penilaian pada 74 K/ L (Dalam Triliun Rupiah)

Dalam rangka mendukung kegiatan inventarisasi dan penilaian pada 74 (tujuh puluh empat) Kementerian/Lembaga, DJKN telah melaksanakan beberapa kegiatan penting, yaitu:a. Melakukan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga di tingkat pusat agar pelaksanaan kegiatan inventarisasi dan penilaian di daerah dapat dilaksanakan dengan lancar. b. Melakukan sosialisasi kepada 74 (tujuh puluh empat) Kementerian/Lembaga dalam rangka memperdalam pemahaman peraturan di bidang pengelolaan kekayaan negara.c. Menerbitkan pedoman penertiban BMN untuk perwakilan RI di luar negeri agar ada keseragaman dan penafsiran terhadap kegiatan penertiban BMN.

Sumber: Departemen Keuangan

160

140

120

100

80

60

40

20

0

Nilai Perolehan Nilai Wajar

41,851

153,77

Dalam Proses

Selesai43%57%

Page 275: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 9 Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

Tahun 2007

Jenis Pengelolaan BMN Keputusan

Penggunaan BMN 3

Pemanfaatan BMN 7

Penghapusan BMN 195

Pemindahtanganan BMN 3

Tahun 2008

Jenis Pengelolaan BMN Keputusan

Penggunaan BMN 11

Pemanfaatan BMN 14

Penghapusan BMN 23

Pemindahtanganan BMN 116

Kuartal I Tahun 2009

Jenis Pengelolaan BMN Keputusan

Penggunaan BMN 8

Pemanfaatan BMN 459

Penghapusan BMN 172

Pemindahtanganan BMN 103

Sumber: DJKN-Departemen Keuangan

9.3.2. Pengelolaan Barang Milik Negara

Pada 2009, DJKN masih menyelesaikan kegiatan Penertiban BMN guna mewujudkan tertib administrasi, tertib hukum, dan tertib pengelolaan BMN pada 74 K/L (± 20.338 satker). Pengelolaan BMN dilaksanakan berdasarkan azas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi dan akuntabilitas, serta kepastian nilai. Pengelolaan BMN meliputi perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, serta pengawasan dan pengendalian.

Sampai dengan kuartal satu 2009, DJKN telah melaksanakan pengelolaan BMN, meliputi penggunaan BMN sebanyak 22 keputusan, pemanfaatan sebanyak 480 keputusan, penghapusan 390 keputusan dan pemindahtanganan sebanyak 222 keputusan, dengan rincian:

Tabel 9.1. Data Capaian Kinerja Bidang Pengelolaan BMN dari 2007 s.d. Q1 2009

Page 276: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

No Nama BUMN/ Perusahaan % Saham Dilepas PP Issue Pokok Keterangan

1 PT. Jasa Marga (Persero) s.d. 30% saham baru melalui IPO

No. 52/ 2007 Penyelesaian transjaya, masa konsesi JORR seksi 5 yang hanya s.d. tahun 2020 (terkait dengan keputusan MA)

Persetujuan DPR RI No. KD 01/3405/DPR.RI/2007 tanggal 26 April 2007

2 PT. Bank BNI s.d. 15% saham Negara dan s.d. 15% saham baru melalui pasar modal

No. 44/ 2007 Persetujuan DPR RI No. PW.00/2997/DPR.RI/2007 tanggal 29 Maret 2007

3 PT. Wijaya Karya (Persero) s.d. 30% saham baru melalui IPO

No.53/ 2007 Persetujuan DPR RI No. KD.01/3405/DPR.RI/2007 tanggal 26 Maret 2007

Sumber: DJKN-Departemen Keuangan

Kekayaan Negara Dipisahkan

Kekayaan Negara Dipisahkan (KND) merupakan bagian dari pengelolaan kekayaan negara secara menyeluruh. Peran DJKN dalam bidang KND adalah memberikan kajian dan analisis kepada Menteri Keuangan terhadap usulan privatisasi, Penyertaan Modal Negara (PMN), dan Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS), serta Badan Hukum Milik Negara. BPYBDS adalah hasil proyek yang telah selesai dari Kementerian/Lembaga dan dibiayai dari APBN yang kemudian diserahoperasionalkan kepada BUMN. Selama periode 2004 s.d. triwulan I 2009, DJKN telah melakukan koordinasi dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam program privatisasi, terutama dalam hal pengkajian dan pemberian rekomendasi privatisasi BUMN. BUMN yang telah diprivatisasi yaitu PT Jasa Marga, PT Bank Negara Indonesia, dan PT Wijaya Karya.

Tabel 9.2. Rincian Pelaksanaan Privatisasi pada 3 BUMN 2007

Untuk Penyertaan Modal Negara (PMN), telah dilakukan penambahan PMN pada 11 (sebelas) BUMN, yaitu PT Kertas Kraft Aceh, PT Garuda Indonesia, PT Kertas Leces, PT Perikanan Nusantara, PT Pupuk Iskandar Muda, Perum Sarana Pengembangan Usaha, PT Industri Kereta Api, PT Kereta Api, PT Boma Bisma Indra, PT Perkebunan Nusantara XIV, dan PT Askrindo.

Selain itu, sebagai tindak lanjut dari terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tanggal 10 Desember 2007 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2008 tentang Penyertaan Modal Negara RI Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur, telah dibentuk BUMN dengan nama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). PT SMI nantinya bertugas dan berfungsi sebagai katalis atau fasilitator untuk mendorong percepatan penyediaan pembiayaan infrastruktur melalui kemitraan dengan pihak swasta dan/atau lembaga keuangan multilateral untuk mengimplementasikan percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Bentuk PT SMI adalah BUMN, namun pertanggungjawabannya kepada Menteri Keuangan, sehingga pembinaannya di bawah Departemen Keuangan.

Page 277: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 9 Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

Peran DJKN dalam bidang pembiayaan infrastruktur adalah sebagai wakil pemegang saham (dalam hal ini Departemen Keuangan) pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT SMI. Dalam RUPS tersebut DJKN mempunyai hak untuk:a. Mempublikasikan susunan direksi dan dewan komisaris;b. Menetapkan anggaran dasar;c. Mengambil segala tindakan yang dianggap penting untuk perusahaan, dengan pembatasan sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar perusahaan;d. Menandatangani dokumen yang berkaitan dengan hal-hal yang menjadi agenda dan putusan dalam RUPS bersangkutan.

Sedangkan untuk Badan Hukum Milik Negara, telah dilakukan Penetapan Kekayaan Awal BP MIGAS dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-333/KMK.06/2008 tanggal 21 November 2008 tentang Penetapan Kekayaan Awal BP Migas per 16 Juli 2002.

Dalam menangani permasalahan di bidang KND telah dibentuk beberapa Tim, yaitu:a. Tim inventarisasi penyertaan modal negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas Lainnya.

Tim ini dibentuk dalam rangka mengamankan KND sebagai PMN pada BUMN dan Perseroan Terbatas (PT) lainnya melalui suatu sistem penatausahaan dengan melakukan inventarisasi PMN pada seluruh BUMN dan PT lainnya. Tim ini telah menghimpun Laporan Keuangan serta menyusun data PMN dan data-data terkait lainnya.

b. Tim evaluasi kinerja BUMN. Tim ini dibentuk dalam rangka pemantauan, pengawasan, evaluasi, dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan pengelolaan KND melalui suatu sistem informasi dan database mengenai kinerja BUMN. Tim ini telah membuat Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan database kinerja BUMN.

c. Tim Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS) Tim ini dibentuk dalam rangka penatausahaan PMN. Berdasarkan hasil penelitian atas laporan keuangan pada BUMN dan PT lainnya masih terdapat aset yang diperoleh dari bantuan pemerintah dan telah dipergunakan dalam operasional BUMN, namun belum ditetapkan otoritas penggunaannya. Tim ini telah melakukan inventarisasi data BPYBDS pada BUMN serta melakukan penetapan terhadap aset yang menjadi BPYBDS pada BUMN.

d. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Privatisasi dan Penyertaan Modal Negara.Tim ini dibentuk dalam rangka pelaksanaan privatisasi dan PMN sebagai bagian dari pengelolaan KND yang memerlukan pengkajian secara mendalam dan komprehensif sebelum diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Tim ini telah melaksanakan pelepasan beberapa bagian saham pada tiga BUMN, yaitu PT. Jasa Marga, PT Bank BNI, dan PT Wijaya Karya melalui Peraturan Pemerintah serta menyusun usulan penambahan PMN pada 10 BUMN.

Terkait dengan Pelaksanaan tugas PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) (PT PPA) untuk melakukan restrukturisasi dan revitalisasi BUMN, DJKN berperan sebagai anggota komite restrukturisasi dan revitalisasi yang telah dibentuk pada 26 Mei 2009. Tugas komite tersebut adalah meneliti hasil kajian awal dan due dilligence dari PT PPA terkait restrukturisasi dan revitalisasi, untuk kemudian diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan tentang restrukturisasi dan revitalisasi BUMN terkait. Sejak terbentuknya komite tersebut, saat ini sedang dilakukan penelitian atas kajian awal dan due dilligence PT PPA atas usulan restrukturisasi dan revitalisasi PT PAL dan PT Waskita Karya. Dana restrukturisasi dan revitalisasi pada BUMN tersebut berasal dari APBN, namun status dana tersebut menjadi PMN pada PT PPA.

Page 278: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Gambar 9.4. Serah Terima Penetapan Status Penggunaan Sebidang Tanah dan Bangunan berasal dari barang rampasan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Kejaksaan Agung (4 Juli 2008)

Pengelolaan Kekayaan Negara Lain-Lain

Pengelolaan kekayaan negara lain-lain merupakan bagian dari pengelolaan kekayaan negara, yang meliputi kekayaan negara sumber daya alam/sumber daya energi dan kekayaan negara potensial lain-lain berupa aset eks Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan eks Bank Dalam Likuidasi (BDL), aset eks Unit Pelaksana Pemerintah (UP3), aset nasionalisasi atau eks asing/Cina, cagar budaya dan benda berharga asal muatan kapal tenggelam, barang milik negara eks kepabeanan, barang yang dirampas oleh negara, hak atas bumi, air dan tata ruang angkasa, hak atas kekayaan intelektual, serta dan aset lain-lain.

Pengelolaan Aset Eks KKKS

Pengelolaan kekayaan negara sumber daya alam/energi dan kekayaan negara potensial lain-lain selama periode 2007 s.d. triwulan I 2009 masih berupa barang milik negara yang berasal dari KKKS. KKKS adalah bentuk usaha tetap atau badan usaha yang diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi (kegiatan hulu) di bidang minyak dan gas bumi (migas).

Pada 2007 dan 2008 telah dilaksanakan inventarisasi dan penilaian terhadap 20 aset eks KKKS, yaitu berupa objek tanah dengan hasil nilai wajar sebesar Rp 12.269.655.255.788,00. Selanjutnya, pada 2009 dilakukan kegiatan yang sama dan ditargetkan untuk 19 KKKS yang berada dalam kelolaan BPMIGAS. Kegiatan inventarisasi dan penilaian BMN yang berasal dari KKKS merupakan bagian dari penertiban BMN dan pelaksanaan dari rencana tindak lanjut terhadap temuan BPK atas LKPP.

Page 279: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 9 Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

Selain kegiatan di atas, terhadap BMN yang berasal dari KKKS dikelola melalui penetapan status penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan maupun pemusnahan. Capaian kinerja kegiatan tersebut dari tahun ke tahun meningkat seiring dengan semakin jelasnya standard operating procedure pengelolaan BMN yang berasal dari KKKS. Hasil yang cenderung meningkat dapat dilihat dari SK persetujuan Menteri Keuangan, yaitu pada 2006 telah diterbitkan 13 persetujuan, pada 2007 telah diterbitkan 12 persetujuan, dan pada 2008 telah diterbitkan 28 persetujuan.

Tabel 9.3. Data Penyelesaian Aset Eks. KKKS dari 2007 s.d. Q1 2009

Tahun Keputusan

2006 13 persetujuan

2007 12 persetujuan

2008 28 persetujuan

Sumber: DJKN-Departemen Keuangan

9.3.2.1. Pengelolaan Aset Eks BPPN

Sesuai dengan tugas dan fungsinya, DJKN juga berperan dalam pengelolaan BMN yang berasal dari aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Aset eks BPPN terbagi menjadi dua, yaitu aset eks BPPN yang terkait perkara dan aset eks BPPN yang tidak terkait perkara. Aset eks BPPN yang terkait perkara diserahkan kepada DJKN sedangkan untuk aset eks yang tidak terkait perkara ditindaklanjuti dengan:a. Diserahkan pengelolaannya kepada perusahaan persero pengelolaan aset, dalam hal ini PT PPA;b. Dimanfaatkan untuk keperluan pelaksanaan tugas pemerintah;c. Sebagian aset inventaris dipergunakan sebagai PMN pada PT PPA (Persero).

Pengelolaan aset eks BPPN yang terkait perkara diantaranya terkait penanganan obligor Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), penanganan permasalahan PT Timor Putra Nasional maupun pengelolaan aset kredit eks BPPN.

Dalam penanganan obligor PKPS, salah satunya dilakukan dengan mekanisme pengurusan piutang negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang sampai dengan Mei 2009 telah berhasil melakukan penagihan sebesar Rp 9.426.805.091,00, baik yang berasal dari pelunasan maupun lelang barang jaminan. Penanganan terhadap obligor PKPS juga dilakukan dengan pelaksanaan asset settlement. Selain obligor PKPS yang memang sejak awal ditangani oleh Departemen Keuangan, saat ini juga ditangani 16 (enam belas) obligor yang berasal dari Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung RI. Penanganan terhadap keenam belas obligor ini dilakukan dengan melakukan pencegahan untuk bepergian ke Luar Negeri dan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk dapat melakukan perhitungan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dari masing-masing obligor yang akan dijadikan sebagai dasar penyerahan pengurusan piutang negara kepada PUPN.

Sedangkan terhadap pengelolaan aset kredit eks BPPN dilakukan melalui penyerahan pengurusan piutang Negara kepada PUPN. Adapun sampai dengan April 2009 telah dilakukan penyerahan terhadap 92 debitur. Kesembilan puluh dua debitur tersebut berasal dari debitur terkait sita eksekusi Hak Tanggungan (HT) dan sita eksekusi lain, debitur write off eks bank peserta merger Bank Danamon maupun debitur aset kredit Asset Transfer Kit (ATK) dengan nilai penyerahan sebesar Rp 165.843.433.319,51 dan USD 161,321,085.30 serta JPY 5,615,941,858.85.

Page 280: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

9.3.2.2. Pengelolaan Aset Eks BDL dan Eks PT PPA

Pengelolaan atas aset-aset yang berkaitan dengan eks kelolaan PT PPA dan aset eks BDL (eks talangan dan eks pinjaman) dilakukan dalam upaya mengembalikan uang negara yang telah tersalur ke sektor perbankan di masa yang lalu melalui penagihan dan/atau penjualan.

Aset-aset yang dikelola tersebut meliputi:a. Aset kredit. b. Pengelolaan aset kredit dilakukan dengan cara penagihan kepada para debitur melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).c. Aset properti. d. Pengelolaan aset properti yang dikelola oleh Menteri Keuangan dilakukan dengan mekanisme penjualan, pemanfaatan, dan/atau penetapan status penggunaan.e. Aset saham. f. Pengelolaan terhadap aset eks BDL yang berupa saham dilakukan dengan mekanisme penjualan.

Hal-hal yang telah dan akan dilakukan terkait dengan pengelolaan aset eks. PT. PPA ditinjau dari beberapa aspek adalah sebagai berikut:a. Aspek kinerja regulasi. Sebagai pelaksanaan amanat dalam Pasal 80 ayat (2) PP Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, telah ditetapkan dua Peraturan Menteri Keuangan yang berkaitan dengan pengelolaan aset eks. BPPN free and clear sebagai berikut: (i) PMK Nomor 92/PMK.06/2009 tanggal 8 Mei 2009 tentang Pengelolaan Aset yang Berasal dari BPPN oleh PT PPA (Persero), yaitu bahwa aset dapat dikelola langsung oleh Menteri Keuangan atau diserahkelolakan oleh Menteri Keuangan kepada perusahaan pengelola aset. Aset berupa aset kredit, properti, saham, atau reksadana. (ii) PMK Nomor 93/PMK.06/2009 tanggal 8 Mei 2009 tentang Pengelolaan Aset eks. Kelolaan PT PPA oleh Departemen Keuangan, yaitu bahwa Menteri Keuangan mengelola aset secara langsung yang pelaksanaannya dilakukan oleh DJKN.b. Aspek kinerja efisiensi belanja modal

Dengan ditetapkannya status penggunaan atas aset-aset properti maka APBN tidak perlu menetapkan anggaran untuk pengadaan tanah dan/atau bangunan guna menunjang pelaksanaan tugas Pemerintah, sehingga DJKN telah berperan dalam mewujudkan kinerja efisiensi anggaran.

DJKN Menetapkan Status Penggunaan Aset Negara Beberapa Kementerian Negara dan Lembaga

Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menetapkan status penggunaan terhadap empat aset properti sebagai berikut:1. Aset tanah dan bangunan yang terletak di Boulevard Bumi Serpong Damai, ditetapkan status penggunaannya sebagai Kantor Wilayah Ditjen Bea dan Cukai Banten.2. Aset tanah yang terletak di Jalan HR. Rasuna Said No. 565, Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, ditetapkan status penggunaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).3. Aset tanah yang terletak di Jalan Jagakarsa Raya No. 2, Jagakarsa, Jakarta Selatan, ditetapkan status penggunaannya kepada Badan Pusat Statistik.4. Aset tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Raden Intan, Tanjung Karang, Bandar Lampung, ditetapkan status penggunaannua kepada Departemen Keuangan c.q. Kanwil V DJKN Bandar Lampung.

Page 281: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 9 Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara 2�9

www.depkeu.go.id

c. Aspek kinerja optimalisasi pembiayaan APBN Guna mencapai kinerja optimalisasi penerimaan anggaran melalui Hasil Pengelolaan Aset (HPA) maka terhadap aset-aset eks kelolaan PT PPA yang ditangani secara langsung oleh Departemen Keuangan, segera ditindaklanjuti dengan hal-hal sebagai berikut: (i) Terhadap aset kredit diserahkan pengurusannya kepada PUPN sesuai domisili/lokasi debitur. Pelaksanaan penyerahan pengurusan aset kredit dilaksanakan mulai bulan Mei s.d. Juli 2009. (ii) Terhadap aset properti dilakukan penjualan melalui lelang yang pelaksanaannya dijadwalkan pada akhir Agustus 2009. (iii) Target HPA tahun 2009 yang berasal dari pengelolaan aset eks. Kelolaan PT PPA adalah sebesar Rp 100 miliar. (iv) Hasil dari pengelolaan aset kredit eks Kelolaan PT PPA sampai dengan bulan Juni 2009 adalah sebesar Rp 11 miliar.e. Aspek kinerja pemanfaatan aset

Guna mendorong optimalisasi kinerja BUMN, DJKN telah memproses beberapa aset eks Kelolaan PT PPA untuk dipergunakan sebagai Penyertaan Modal Negara (PMN) pada beberapa BUMN, melalui mekanisme penambahan PMN pada BUMN bersangkutan. Aset yang telah ditetapkan sebagai penambahan PMN adalah 100% saham pada PT Pengembangan Pariwisata Lombok ditetapkan sebagai penambahan PMN pada PT Pengembangan Pariwisata Bali, guna mendorong pengembangan pariwisata di Lombok. Hal tersebut dilakukan dalam rangka guna menindaklanjuti rencana investasi pengembangan pariwisata Lombok.

Dengan pertimbangan optimalisasi pengelolaan aset maka terhadap aset-aset yang dikembalikan dari PT PPA (eks kelolaan PT PPA) selanjutnya akan dilakukan pemilahan terhadap sebagian aset (khususnya aset kredit dan properti) yang akan ditangani pengelolannya secara langsung oleh Departemen Keuangan c.q. DJKN. Sementara, untuk aset-aset yang memerlukan penanganan pengelolaan dan keahlian secara khusus (khususnya terhadap aset-aset saham serta aset saham dan kredit) diserahkelolakan kembali kepada PT PPA (Persero) untuk dapat dilakukan langkah-langkah pengelolaan lebih lanjut.

Sebagai tindak lanjut atas PMK No. 92/PMK.06/2009 dan agar pengelolaan aset oleh PT PPA dapat secara efektif dilaksanakan maka perlu ditindaklanjuti dengan penandatanganan Perjanjian Pengelolaan Aset antara Menteri Keuangan dengan PT PPA (Persero), yang dalam hal ini ditandatangani Direktur Jenderal Kekayaan Negara (selaku kuasa dari Menteri Keuangan berdasarkan SKU-14/2009) dengan Direktur Utama PT PPA. Berdasarkan perjanjian pengelolaan aset antara Menteri Keuangan (dalam hal ini Direktur Jenderal Kekayaan Negara) dengan PT PPA (Persero) pada 12 Juni 2009, telah dilakukan serahkelola aset dari PT PPA kepada Departemen Keuangan (dalam hal ini Direktorat Jenderal Kekayaan Negara). Adapun aset eks Kelolaan PT PPA yang selanjutnya akan ditangani secara langsung oleh Departemen Keuangan dapat dilihat dalam tabel 9.4.

Tabel 9.4. Data Aset Eks Kelolaan PT PPA yang Akan Ditangani Secara Langsung oleh Departemen Keuangan

No Jenis Aset Unit Aset

1 Hak Tagih/Kredit 315

2 Properti 3.360

3 Surat Berharga 9

4 Aset Saham Non Bank 15

Jumlah 3.669

Sumber: DJKN-Departemen Keuangan

Page 282: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Selanjutnya, DJKN juga menangani dana talangan yang terdapat di 16 bank dalam likuidasi (eks dana talangan pemerintah) sebesar Rp 11,88 triliun. Dari jumlah tersebut, yang telah menandatangani Berita Acara Serah Terima (BAST) Aset selama tahun 2007 sebanyak 9 BDL dan tahun 2008 sebanyak 9 BDL. Aset yang telah diserahkan meliputi aset kredit (piutang), aset tetap, aset surat berharga, dan Barang Jaminan Diambil Alih (BJDA).

Realisasi penerimaan yang berasal dari Pengelolaan aset eks BDL 2008 sebesar Rp 321.041.568.585,89 dari target sebesar Rp 500 milyar. Sedangkan realisasi penerimaan yang berasal dari pengelolaan aset eks BDL 2009 sampai dengan Kuartal I sebesar Rp 23.660.831.107,01 dari target sebesar Rp 105 miliar. Dengan demikian, masih terdapat saldo sisa dana talangan BDL sampai kuartal satu 2009 sebesar Rp 8.583.352.481.708,01.

9.3.2.3. Pengelolaan Aset Rampasan

Sejenis dengan pengelolaan BMN, barang rampasan dengan kategori di luar penjualan lelang merupakan barang milik negara yang harus dikelola oleh Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang. Sampai dengan 2009, penetapan status penggunaan atas barang rampasan ke Kejaksaan merupakan keputusan the highest and best use dalam pengelolaan BMN. Demikian pula pengelolaan BMN berjalan seiring dengan perkembangan program lembaga yang menangani tindak pidana korupsi, sejak 2008 telah dirintis kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk pengelolaan barang rampasan tipikor maupun barang eks gratifikasi.

9.3.2.4. Pengelolaan Aset ABMA/C, Aset BMKT, dan Aset Eks Kepabeanan

Selain pengelolaan aset-aset di atas, DJKN juga melakukan pengelolaan Aset Bekas Milik Asing/Cina (ABMA/C), barang yang menjadi milik negara eks kepabeanan (Bea dan Cukai), dan Benda Berharga asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT). Dalam kaitannya dengan ABMA/C, telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan No.188/PMK.06/2008 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina yang dimaksudkan untuk mewujudkan optimalisasi pengelolaan ABMAC secara tertib, terarah, dan akuntabel untuk meningkatkan penerimaan negara dan/atau sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. ABMA/C dan barang yang menjadi milik negara eks kepabeanan, selain dapat memberikan kontribusi pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), juga dapat dapat dimanfaatkan untuk menunjang tugas dan fungsi pemerintahan jika ditetapkan statusnya sebagai BMN pada Kementerian/Lembaga atau jika dihibahkan sebagai Barang Milik Daerah pada pemerintah daerah. Adapun BMKT sebagai kekayaan yang dikuasai negara, jika memiliki kriteria tertentu dikategorikan sebagai benda cagar budaya untuk memperkaya koleksi negara dan ilmu pengetahuan.

Realisasi penyelesaian aset KNL 2008 dan 2009 dapat dilihat pada grafik 9.2.

Grafik 9.2. Realisasi Penyelesaian Aset KNL 2008 (dalam milyar rupiah)

Sumber: Departemen Keuangan

Rencana Tahun 2008 Realisasi Tahun 2008

1500

1000

500

0Aset eks. BDL Aset eks. Asing/Cina Aset eks. BPPN

500350

1233

10 2

321

Page 283: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 9 Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara 2�1

www.depkeu.go.id

Grafik 9.3. Realisasi Penyelesaian Aset KNL 2009 (dalam milyar rupiah)

Sumber: Departemen Keuangan

Target Tahun 2009 Realisasi s.d. Triwulan 2009

300

200

100

0Aset eks. BDL Aset eks. BPPN

265

10

300

22

9.3.3. Penilaian Barang Milik Negara

Penilaian kekayaan negara dilakukan dalam upaya mendukung tersajikannya nilai wajar seluruh BMN pada LKPP serta mendukung kebijakan lain dalam pengelolaan BMN. Nilai wajar tersebut diperoleh dengan menggunakan metode-metode penilaian yang baku melalui pendekatan harga pasar, biaya reproduksi, maupun pendekatan pendapatan. Sebagai pedoman pelaksanaan penilaian untuk mendukung penertiban BMN telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.06/2008 tanggal 18 Januari 2008 tentang Penilaian Barang Milik Negara.

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 02/PMK.06/2008 tentang Penilaian Barang Milik Negara, penilaian BMN dilakukan untuk tujuan penyusunan neraca pemerintah pusat, pemanfaatan, dan pemindahtanganan. Pada periode Desember 2007 sampai dengan Oktober 2008, DJKN telah melakukan penilaian dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN pada berbagai departemen dan menerbitkan sebanyak 134 laporan penilaian.

Selain penilaian dalam rangka LKPP, DJKN juga melakukan penilaian aset dalam rangka pembentukan Badan Layanan Umum (BLU), penilaian aset sebagai penyertaan modal negara, serta penilaian BMN sebagai underlying asset penerbitan Sukuk. Penilaian pelabuhan Bau-Bau di Sulawesi Tenggara, penilaian aset Gelora Bung Karno dan Kompleks Kemayoran, Penilaian Aset PT Bali Tourism Development (Persero) merupakan contoh-contoh penilaian tersebut.

Gambar 9.5. Pelabuhan Bau-bau

Page 284: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Dalam rangka penertiban BMN, DJKN telah melakukan penilaian aset pemerintah RI di 57 negara, baik di Asia, Afrika, Eropa, Amerika, maupun Australia.

Gambar 9.6. Aset Pemerintah RI di Luar Negeri

Khusus dalam rangka penerbitan Sukuk 2008 dan 2009, DJKN telah melakukan penilaian yang akan dijadikan underlying asset dengan nilai Rp18,3 triliun dan telah disahkan oleh DPR dengan perincian seperti dalam table 9.5.

Tabel 9.5. Hasil Penilaian Aset untuk Underlying Asset

Keterangan Luas (m2) Nilai Aset (Rp)

Tanah 3.392.458,75 11.991.953.806.413,30

Bangunan 1.742.779,78 6.379.346.749.337,47

Total 5.135.238,53 18.371.300.555.750,80

Sumber: DJKN-Departemen Keuangan

9.3.4. Pengurusan Piutang Negara (Ekspose Pencapaian dan Perubahan yang Telah Dilakukan)

Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2006, DJKN tidak lagi menerima penyerahan pengurusan piutang dari BUMN. Namun demikian, hal tersebut tidak berarti beban kerja pengurusan piutang negara yang ada pada DJKN menjadi kurang berbobot. Seiring dengan perkembangan penanganan dampak kebijakan pemerintah untuk menanggulangi krisis ekonomi pada 1997 dan 1998, peran pengurusan piutang negara oleh DJKN menjadi semakin meningkat. Sebagai contoh, upaya penyelesaian PKPS sebanyak delapan obligor serta pengurusan terhadap piutang negara dua obligor PKPS yang merupakan tindak lanjut dari interpelasi DPR mengenai BLBI senilai Rp 11,9 triliun merupakan kasus-kasus besar piutang negara yang ditangani DJKN.

Pelaksanaan pengurusan piutang negara atas nama 8 (delapan) Obligor PKPS oleh DJKN pada dasarnya adalah untuk mengupayakan pengembalian kekayaan negara berupa piutang negara. Berdasarkan rapat kerja pada 6 Februari 2008 antara Menteri Keuangan dengan DPR RI telah disepakati bahwa jumlah piutang obligor tersebut adalah sesuai hasil verifikasi Badan Pemeriksa Keuangan, yaitu senilai Rp 2,29 triliun, sehingga pemerintah dapat melanjutkan langkah operasional dalam penyelesaian piutang negara dimaksud.

Page 285: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 9 Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

Dalam bidang pengurusan piutang negara, DJKN juga mengurus piutang negara atas nama enam kontraktor (produsen batubara) Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan jumlah sebesar US$ 330,2 juta dan Rp 864,1 milyar. Terhadap debitor-debitor tersebut telah diterbitkan Surat Paksa. Pengurusan kasus ini masih dikoordinasikan dengan BPKP selaku Tim Optimalisasi Penerimaan Negara. Pada 2008 masalah ini pernah menjadi isu nasional, karena para kontraktor tersebut menahan pembayaran royalti Dana Hasil Produksi batubara kepada pemerintah sebesar Rp 2,84 triliun dan US$ 744,9 juta (hasil audit BPKP) dengan alasan sebagai kompensasi restitusi PPN. Dalam pengurusan piutang dimaksud, sesuai kewenangan Menteri Keuangan, DJKN telah menetapkan pencegahan bepergian ke luar wilayah RI kepada para pengurus kontraktor dimaksud.

Pencegahan yang dilakukan merupakan salah satu bentuk tekanan kepada penanggung hutang untuk menyelesaikan kewajibanya. Sebagai akibat pencegahan tersebut, beberapa pengurus kontraktor dimaksud menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya.

Mengingat semakin beratnya tugas-tugas pengurusan piutang negara maka diperlukan perangkat peraturan yang lebih memadai dan tegas sehingga mempunyai kekuatan memaksa penanggung hutang untuk menyelesaikan kewajibannya. Berkaitan dengan hal tersebut, telah diterbitkan Peraturan Bersama antara Menteri Keuangan (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.06/2009), Jaksa Agung (KEP-030/A/JA/03/2009), Kapolri (Nomor 4 Tahun 2009) dan Menteri Hukum dan HAM (M.HH-01.KU.03.01) tentang Petunjuk Pelaksanaan Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) pada 25 Maret 2009.

Grafik 9.4. Realisasi Pengurusan Piutang Negara 2004 s.d. Q1 2009 (dalam jutaan rupiah)

Sumber: DJKN-Departemen Keuangan

Target Realisasi

70,49%

1,200,000

1,000,000

800,000

600,000

400,000

200,000

0

2004 2005 2006 2007 2008 2009

85,82% 84,57%

55,17%

117,76%

16,42%

9.3.5. Pelayanan Lelang (Ekspose Pencapaian dan Perubahan yang Telah Dilakukan)

Lelang yang dilaksanakan oleh DJKN terdiri dari dua jenis, yaitu lelang eksekusi dan lelang noneksekusi. Untuk lelang noneksekusi terdiri dari lelang noneksekusi wajib dan lelang noneksekusi sukarela.

Lelang eksekusi yang dilakukan oleh DJKN sebagian merupakan kelanjutan dari proses pengelolaan kekayaan negara lain-lain atau pengurusan piutang negara. Sedangkan lelang eksekusi yang lain merupakan pelaksanaan eksekusi dari pihak lain, seperti dari Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, perbankan, kejaksaan, kepolisian, pengadilan, dan kurator.

Page 286: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Kebijakan dalam bidang lelang dalam lima tahun terakhir mengalami perubahan yang sangat signifikan, khususnya pada jenis lelang noneksekusi sukarela. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.07/2005 tahun 2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II, warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu dapat diangkat sebagai Pejabat Lelang Kelas II. Dalam melaksanakan lelang noneksekusi sukarela, Pejabat Lelang Kelas II bekerjasama dengan Balai Lelang untuk meningkatkan potensi lelang atas barang milik swasta perorangan, kelompok masyarakat atau BUMN/BUMD berbentuk Persero. Dengan demikian, diharapkan dapat meningkatkan citra lelang yang transparan, adil, tertib, akuntabel, dan profesional yang memuaskan stakeholder dan masyarakat, serta menjadikan lelang sebagai instrumen jual beli yang mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat (sales mean auction).

Lelang juga berperan dalam meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dalam setiap pelaksanaan lelang dikenakan bea lelang yang disetorkan ke kas negara.

Grafik 9.5. Realisasi Penerimaan Hasil Bersih Lelang 2004 s.d. Q1 2009 (dalam ribuan rupiah)

4,500,000,000

4,000,000

3,500,000

3,000,000

2,500,000

2,000,000

1,500,000

1,000,000

500,000

02004 2005 2006 2007 2008 2009

Sumber: DJKN-Departemen Keuangan

Target Realisasi

95,97%113,62% 96,44%

108,68%

172,43%

28,99%

Terdapat beberapa pelaksanaan lelang dengan nilai yang cukup besar, antara lain lelang eksekusi Pengadilan yang dilakukan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Bogor dengan nilai Rp 216.800.000.000,- dan lelang eksekusi PUPN senilai Rp 117.000.000.000,- terhadap barang jaminan dari aset kredit eks BDL a.n. debitur PT Pengembangan Argopariwisata Prima eks Bank Pacific berupa tanah yang di atasnya berdiri hotel, perumahan dan lapangan golf.

Untuk lelang UUHT, pada 29 Mei 2008 KPKNL Surabaya telah melaksanakan lelang UUHT PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. dengan debitur PT Djayanti Group senilai Rp151.600.000.000,-. Sedangkan untuk lelang BUMN, KPKNL Samarinda juga berhasil melaksanakan lelang aset PT PELINDO IV dengan nilai Rp 31.275.000.000,-. Selain itu, KPKNL Jakarta V berhasil melaksanakan lelang aset PT TASPEN senilai Rp 19.650.000.000,-. Pada 9 September 2008, KPKNL Tangerang juga berhasil melaksanakan lelang harta pailit PT Opal Indah Industrial senilai Rp 41.000.000.000,-.

Page 287: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 9 Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

Grafik 9.6. Realisasi Bea Lelang 2004 s.d. Q1 2009 (dalam ribuan rupiah)

Sumber: DJKN-Departemen Keuangan

Target Capaian

124,83%

60,000,000

50,000,000

40,000,000

30,000,000

20,000,000

10,000,000

0

2004 2005 2006 2007 2008 2009

147,72%110,54%

136,23%

182,25%

14,74%

Dalam proses pengelolaan kekayaan negara, lelang mempunyai fungsi yang sangat strategis dalam penghapusan BMN melalui penjualan dengan lelang. Harga yang terbentuk diperoleh melalui proses yang sangat transparan, misalnya dengan pencantuman harga limit dalam pengumuman lelang melalui surat kabar, sehingga proses penjualan barang dapat diawasi secara langsung oleh masyarakat.

9.3.6. Perkembangan Sistem Manajemen Informasi dan Pelayanan Terpadu (SMIPT) DJKN

Sebagaimana telah disebutkan di muka, bahwa untuk mewujudkan strategic asset management diperlukan sekurang-kurangnya empat komponen utama dalam sebuah organisasi, yang salah satunya adalah sarana teknologi informasi. Untuk mewujudkan hal tersebut dan guna mengantisipasi perkembangan kebutuhan layanan publik akan informasi yang lebih cepat, mudah, akurat, transparan dan akuntabel di bidang pengelolaan kekayaan negara, penilaian, pengurusan piutang negara dan lelang, maka DJKN mengembangkan sistem aplikasi dan sistem informasi yang terintegrasi. Hal ini selaras dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government yang memuat kebijakan dan strategi nasional dalam menyelenggarakan pemerintahan yang baik (good governance) untuk meningkatkan layanan publik yang efektif dan efisien melalui teknologi informasi.

Untuk itu, pada 2008 DJKN melakukan pembangunan dan pengembangan Sistem Manajemen Informasi dan Pelayanan Terpadu (SMIPT) yang merupakan suatu kerangka kegiatan menuju sistem informasi yang terpadu antara manajemen informasi dan pelayanan dalam satu rangkaian kegiatan yang tak terpisahkan, baik dalam hal pengelolaan dan manajemen aset kekayaan negara, penilaian, pengurusan piutang negara, maupun pelaksanaan lelang. Pengertian SMIPT mencakup:a. Sistem manajemen informasi terpadu

Merupakan mekanisme pengelolaan data yang bersifat strategis, taktis maupun operasional yang berasal dari berbagai sumber yang berbeda untuk dapat disajikan dalam bentuk informasi secara terpadu dan komprehensif baik untuk kepentingan internal maupun eksternal (pelayanan).

Page 288: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

b. Sistem Pelayanan TerpaduMerupakan sistem yang mengkolaborasikan proses bisnis yang bersifat operasional sehingga terbentuk interoperabilitas sistem informasi antar unit kerja yang mampu memberikan pelayanan terpadu bagi masing-masing fungsi, baik untuk pelayanan pengelolaan kekayaan negara, piutang negara, maupun pelaksanaan lelang.

Pembangunan SMIPT dilakukan secara bertahap sebagaimana dapat diikuti pada gambar 9.7.

Gambar 9.7. Time Frame Pembangunan SMIPT

Sampai dengan tahun 2009 telah dilakukan pembangunan sistem aplikasi pendukung SMIPT, yang terdiri dari:a. Blue-print Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) DJKN, yang merupakan bagian dari perencanaan strategis sistem informasi yang diturunkan dari strategi DJKN dan didahului oleh kajian (IT audit) terhadap kondisi internal maupun eksternal TIK DJKN. Blue print merupakan peta TIK DJKN yang komprehensif yang menjadi acuan pengembangan (roadmap) TIK DJKN selama beberapa tahun ke depan dalam hal integrasi sistem informasi dan layanan guna mendukung visi, misi, tugas dan fungsi DJKN;b. Modul kekayaan negara tahap I; c. Business intelligence tahap I; d. Modul front office;e. Modul quick win;f. Sistem informasi geografi (SIG) KN tahap I;g. Portal integrasi;h. Kios;i. Sistem Informasi Piutang Negara dan Lelang (SIMPLe);j. Situs Web, portal intranet, dan infomobile; k. Pembuatan ruang TIK;l. Pengadaan software;m. Pengadaan hardware.

Blue Print Pembangunan Prototype Penyempurnaan Implementasi

Pembangunan Modul KN Thp. II

Pengembangan GIS Thp. II

ITSM

1.

2.

3.

Modul KN BIGIS

1.2.3.

Sumber: DJKN-Departemen Keuangan

Target Realisasi

Pembuatan Blue Print

Modul KN Database KNBIGIS

1.2.3.4.

Implementasi Modul KN (sebagian)

Implementasi SMIPT

Page 289: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 9 Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara 2��

www.depkeu.go.id

9.5. Peluang dan Tantangan Dalam Pengelolaan Kekayaan Negara

Semakin meningkatnya tuntutan masyarakat atas good public governance melalui transparansi di segala aspek pemerintahan menyebabkan dukungan publik atas penertiban BMN sangat besar. Selain itu, adanya political will dan komitmen yang tinggi dari pimpinan negara melalui Keputusan Presiden Nomor: 17 tahun 2007 tentang Tim Penertiban Barang Milik Negara merupakan peluang DJKN dalam melakukan penertiban BMN. Penyelesaian tugas penertiban Barang Milik Negara (BMN) merupakan prioritas utama DJKN pada 2009. Dalam mencapai target tersebut ditemui berbagai kendala dan tantangan yang menghambat kelancaran inventarisasi dan penilaian seperti:a. Dari seluruh kementerian dan lembaga negara yang ada belum seluruhnya melaksanakan penatausahaan dan belum memahami betapa pentingnya database BMN untuk kepentingan manajemen aset;b. Belum semua kementerian dan lembaga negara memahami dan menerapkan Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi (SIMAK) BMN ; c. Kondisi geografis lokasi BMN yang tersebar di daerah terpencil dan memerlukan upaya ekstra untuk menjangkaunya;d. Kualitas dan kuantitas SDM yang memiliki kompetensi jabatan tidak sebanding dengan jumlah obyek penilaian, sementara dukungan technical update/upgrade untuk menjamin quality assurance masih belum mencukupi;e. Belum tersedianya landasan hukum yang memadai dalam pengelolaan kekayaan negara dalam arti luas sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945; f. Adanya penguasaan kekayaan negara, khususnya BMN oleh pihak yang tidak berhak;g. Perubahan kebijakan, politik, dan kondisi ekonomi global.

Kendala dan tantangan tersebut terus menerus diatasi dengan harapan agar mampu menunjang penyelesaian inventarisasi dan penilaian di seluruh satker di kementerian dan lembaga. Hasil inventarisasi dan penilaian dapat dimanfaatkan untuk mengelola kekayaan negara secara lebih optimal serta menjadi koreksi nilai wajar dalam LKPP Tahun 2004, sehingga dapat meningkatkan kualitas opini LKPP.

Selain permasalahan dalam inventarisasi dan penilaian, adanya krisis ekonomi global (global economic crisis) pada 2008 juga menimbulkan permasalahan yang perlu diantisipasi. Krisis finansial yang melanda dunia menyebabkan perlunya langkah antisipasi kemungkinan meningkatnya Non Performing Loans (NPL) perbankan. Meningkatnya NPL selain menciptakan peluang dan tantangan dalam bidang piutang negara juga menciptakan peluang dan tantangan dalam bidang lelang. Dengan meningkatnya NPL maka peluang peningkatan permintaan lelang diperkirakan cukup prospektif, terutama lelang eksekusi hak tanggungan dari perbankan, kepailitan, dan fidusia. Namun, di sisi lain dengan kondisi ekonomi yang lesu tentunya cukup sulit untuk menarik minat investor atau calon pembeli untuk mengikuti lelang. Oleh karena itu, upaya pengembangan penyebarluasan informasi lelang menjadi hal yang sangat krusial serta penyempurnaan peraturan, terutama yang terkait dengan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemenang lelang. Untuk memanfaatkan peluang sekaligus menjawab tantangan maka diperlukan langkah-langkah untuk menciptakan:a. Pelayanan publik di bidang pengelolaan kekayaan negara, pengurusan piutang negara, dan pelayanan lelang yang akuntabel;b. Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditandai dengan diterapkannya pelaksanaan Standard Operating Procedures (SOP);c. Dukungan kompetensi sumber daya manusia yang handal di bidang pelayanan;d. Teknologi informasi dan komunikasi di bidang pelayanan (e-government dan e-services);e. Kelembagaan dan ketatalaksanaan yang menunjang fungsi-fungsi unit kerja di lingkungan DJKN;f. Perbaikan proses bisnis yang berkesinambungan dan SDM yang mempunyai integritas dan komitmen untuk melaksanakan tugas sesuai amanah.

Page 290: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

2�� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

9.4. Pending Matters

Beberapa hal/kegiatan yang masih dalam tahap proses/penyelesaian (pending matters) DJKN, antara lain:a. Penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang akan menjadi payung hukum terintegrasi mengenai pelaksanaan tugas dan fungsi pengelolaan kekayaan negara (BMN), termasuk kekayaan negara lain-lain.b. Penyusunan RUU tentang Penilaian yang akan menjadi payung hukum dalam pelaksanaan penilaian yang menjadi salah satu tugas pokok dan fungsi DJKN.c. Penyusunan RUU tentang Pengurusan Piutang Negara sebagai payung hukum dalam pengurusan piutang negara/daerah. Seiring dengan perkembangan masyarakat atau hukum dan kompleksitas permasalahan yang semakin beragam, Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 dirasakan tidak lagi dapat mengakomodir pengurusan piutang negara yang cepat, tepat, efektif, dan efisien. Untuk itu, diperlukan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan perkembangan zaman dengan memperhatikan hak asasi manusia, asas keadilan, kepastian hukum, pemulihan hak negara, asas transparansi, dan asas akuntabilitas dalam setiap pengurusan piutang negara.d. Penyusunan RUU tentang Lelang.

Undang-undang yang selama ini dipakai yaitu Vendue Reglement Stbl. 1908 sudah tidak dapat lagi mengakomodasi kebutuhan, perkembangan dan perubahan yang terjadi pada saat ini, sehingga perlu disusun RUU tentang lelang yang baru.

e. Penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Pengelolaan Aset KKKS dan RPMK Pengelolaan Barang Rampasan serta RPMK Pengelolaan Aset yang berasal dari eks. Kelolaan PT PPA, yang sangat diperlukan sebagai landasan hukum untuk mempercepat pengurusan dan pengelolaannya.f. Penyelesaian pengurusan piutang negara yang berasal dari tunggakan pembayaran royalti dana hasil penambangan batu bara. Percepatan pengurusan piutang tersebut sangat diperlukan mengingat jumlah piutang negaranya yang cukup besar.g. Melaksanakan inventarisasi piutang negara yang ada di kementerian negara/lembaga. Inventarisasi perlu dilaksanakan selain untuk mengetahui jumlah piutang negara yang akurat sebagai pendukung LKPP juga sebagai acuan dalam prediksi penerimaan negara bukan pajak dilingkungan DJKN.h. Penyerahan pengurusan piutang negara yang berasal dari eks Bank Dalam Likuidasi (BDL). Penyerahan tersebut akan memberikan kepastian bagi para nasabah/debitor eks BDL untuk menyelesaikan kewajiban-kewajibannya dan menerima kembali haknya.i. Penyelesaian sengketa divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara. Dalam rangka penyelesaian masalah tersebut akan dibentuk tim penyelesaian sengketa divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara yang dikoordinasi oleh Sekjen Kementerian Koordinator Perekonomian.j. Penyelesaian kegiatan Penertiban BMN yang menjadi agenda utama DJKN dalam mengawal reformasi birokrasi di bidang pengelolaan kekayaan negara.

9.5. Ringkasan

Pengelolaan kekayaan negara merupakan fungsi yang sangat strategis dalam rangka pengamanan dan perencanaan keuangan negara. Akumulasi berbagai permasalahan pengelolaan BMN sejak berdirinya NKRI hingga saat ini memerlukan political will dan komitmen yang kuat dari semua unsur negara untuk melakukan perbaikan.

Page 291: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 9 Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara 2�9

www.depkeu.go.id

DJKN sebagai institusi yang mempunyai fungsi untuk mengelola kekayaan negara dan dalam konteks pengelolaan BMN berdasarkan PMK 96/PMK/2008 merupakan pengelola BMN mempunyai peran sentral dalam keputusan-keputusan strategis pengelolaan BMN. Langkah besar yang telah dilakukan dalam periode 2004-2009 adalah melakukan inventarisasi dan penilaian seluruh BMN yang ada di kementerian dan lembaga negara sebagai pengguna BMN. Kegiatan inventarisasi dan penilaian BMN tersebut dibarengi dengan penyempurnaan Sistem Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK BMN) sehingga akan diperoleh database BMN yang reliable dan sesuai dengan kaidah akuntansi yang berlaku. Program selanjutnya yang menjadi fokus DJKN adalah memastikan bahwa BMN dikuasai dan digunakan oleh pihak yang berhak dan digunakan sesuai dengan tugas dan fungsinya, di samping memperkuat legalitas kepemilikan dengan sertifikasi BMN. Dua program tersebut serta penyempurnaan aturan pelaksanaan tata kelola BMN merupakan program jangka pendek dan menengah DJKN. Pencapaian target tersebut tentunya tidak dapat dicapai tanpa adanya kerjasama dan komitmen bersama dengan seluruh kementerian negara dan lembaga sebagai pengguna barang.

Di samping kekayaan negara yang berupa BMN yang bersumber dari APBN, DJKN juga mempunyai tugas untuk mengelola kekayaan negara lain yang berasal dari sebab lain yang sah. Perangkat hukum yang belum sempurna untuk mengelola kekayaan negara ini menjadi tantangan berat DJKN ke depan. Dari sisi perolehan, kekayaan negara lain-lain memerlukan upaya hukum untuk mendapatkannya, nasionalisasi aset bekas asing/cina (ABMA/C), penanganan aset eks BPPN, eks BDL serta barang muatan kapal tenggelam (BMKT) sering mendapat resistensi dari berbagai pihak. Dengan demikian, aspek hukum dalam pengelolaan aset ini sangat dominan. Pengelolaan kekayaan negara ini akan menghasilkan dua jenis kekayaan negara, yaitu kekayaan negara berupa tagihan-tagihan yang disebut sebagai piutang negara (aset kredit) dan kekayaan negara berupa barang (aset properti) baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak.

Pengelolaan aset properti dapat dilakukan dengan menetapkan aset tersebut untuk kepentingan penyelenggaraan negara maupun penjualan aset sebagai pendapatan negara atau pembayaran/recovery piutang negara. Berkaitan dengan hal tersebut peran pengurusan piutang negara untuk mengelola kekayaan negara sangat signifikan terutama dalam kaitan dengan pengelolaan aset kredit.

Pelaksanaan pengelolaan kekayaan negara memerlukan mekanisme penjualan BMN yang transparan dan akuntabel, yaitu lelang. Sebagai bagian dari rangkaian pengelolaan BMN, lelang merupakan tahapan terakhir konversi barang milik negara menjadi uang negara. Selain mempunyai peran dalam pengelolaan BMN, lelang dan pengurusan piutang juga merupakan sumber penerimaan negara melalui bea lelang dan biaya administrasi pengurusan piutang negara. Pencapaian target penerimaan pokok lelang dan bea lelang berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada 2008, penerimaan pokok lelang dan bea lelang meningkat cukup tajam. Hal ini disebabkan oleh terlaksananya beberapa jenis lelang yang menghasilkan penerimaan omzet lelang yang tinggi oleh beberapa Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. Selain itu, peran serta pihak swasta juga turut mendukung pencapaian target lelang, terutama untuk jenis lelang noneksekusi sukarela.Adapun hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam pencapaian target lelang adalah:a. Peraturan lelang yang berlaku saat ini masih terdapat beberapa hal yang kurang fleksibel sehingga menjadi kendala dalam penerapannya di tingkat kantor operasional;b. Beberapa instansi terkait seperti Pemda belum menggunakan cara lelang dalam penjualan asetnya;c. Minat masyarakat dalam mempergunakan lelang sebagai sarana jual-beli masih kurang;d. Kuantitas dan kualitas pejabat lelang masih perlu ditingkatkan;e. Pelayanan lelang terhadap stakeholder dan pengguna jasa lelang masih perlu ditingkatkan.

Page 292: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Melangkah Pasti Meraih Prestasi

Departemen Keuangan senantiasa mendampingi setiap langkah pasar modal dan lembaga keuangan non-bank agar mampu berperan secara optimal dalam perekonomian nasional.

Page 293: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

291

www.depkeu.go.id

Sebagaimana unit eselon I lainnya pada Departemen Keuangan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) menjalankan reformasi di bawah tiga pilar. Ketiga pilar tersebut adalah peningkatan sumber daya manusia, penyempurnaan proses bisnis dan penataan organisasi.

Meskipun ketiga reformasi tersebut dijalankan secara simultan, bagi BAPEPAM-LK, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai yang utama. Alasannya sederhana saja: SDM adalah operator sistem. BAPEPAM-LK membutuhkan SDM yang berkualitas untuk menjalankan organisasi secara efektif dan efisien.

Tugas Bapepam-LK adalah regulator di bidang pasar modal dan lembaga keuangan non-bank. Oleh karena itu Bapepam-LK membutuhkan profil pengawas yang berkompeten. Tujuannya adalah untuk melindungi stakeholder dan investor dari tindakan yang merugikan.

Sebagai upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia, Bapepam-LK telah mencanangkan Human Resources Plan yang diterjemahkan ke dalam empat program utama. Pertama adalah Pengembangan dan Kepemimpinan bagi pejabat eselon II, III dan IV. Tujuan program ini adalah memberikan pemahaman dan semangat yang sama terhadap perubahan dalam organisasi yang sedang bertransformasi dan menata diri.

Program kedua adalah Graduate Program. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kualitas pegawai baru Pendidikan Sarjana, sejak pegawai tersebut diterima bekerja di Bapepam-LK. Beberapa sub-program atau kegiatan diantaranya kampanye Universitas, kegiatan orientasi, kegiatan Secondment dan Seminar.

Program ketiga adalah Assessment Center bagi Pejabat Eselon IV. Tujuan program ini adalah untuk menilai kompetensi pegawai dalam menjalankan suatu pekerjaan dan untuk memetakan kompetensi pejabat eselon IV di Bapepam-LK;

Program keempat adalah Pendidikan dan Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Eksekutif (Diklat PPNS-Eksekutif ) yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan PPNS untuk melaksanakan tugas pengawasan dan penegakan hukum.

Proses Bisnis

Sebagai bagian dari peningkatan proses bisnis, Bapepam-LK telah menyelesaikan penyusunan 534 Standard Operating Procedures (SOP). Di antara 7 SOP tersebut merupakan bagian dari 35 SOP Unggulan (Quick Win) yang dipilih dari total 6820 SOP dari seluruh unit eselon I di lingkungan Departemen Keuangan.

Konsekuensi Perubahan

Untuk menjalankan peran baru sebagai regulator yang profesional pada industri pasar modal dan lembaga keuangan, pegawai Bapepam-LK harus mengubah perilaku. Tentu saja, perilaku baru ini mengharuskan mereka meninggalkan kondisi nyaman (comfortable zone) yang selama ini dirasakan oleh para pegawai.

Tidak mudah memang mengubah perilaku. Banyak pegawai yang telah bertahun-tahun bekerja tanpa tuntutan untuk melakukan performance yang baik, ketika program reformasi birokrasi digulirkan, mereka harus meningkatkan kompetensinya untuk dapat menghasilkan performance berkualitas.

Mengutamakan Peningkatan Kualitas SDM

Page 294: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

292 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Untuk itu diperlukan komunikasi yang baik, sebagaimana halnya suatu kebijakan baru maka sosialisasi sejak awal program reformasi birokrasi digulirkan telah dan terus dilakukan sampai saat ini. Maksud dan tujuan sosialisasi tersebut adalah untuk membangun persamaan persepsi, pemahaman tujuan reformasi birokrasi untuk mengubah pola pikir, budaya kerja serta pembenahan sistem administrasi pemerintahan untuk membentuk birokrasi yang bersih, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. Sebagaimana diketahui bahwa reformasi birokrasi membawa perubahan besar pada pembenahan administrasi secara total, disatu pihak kegiatan pembenahan tersebut dirasakan memberikan “penambahan tugas” (burdensome) bagi pegawai, namun dilain pihak disadari bahwa pembenahan tesebut pada dasarnya bersifat strategis dan merupakan langkah awal untuk mewujudkan perubahan peningkatan kinerja ke arah yang lebih baik lagi. Untuk itu komunikasi yang diselenggarakan di lingkungan Bapepam-LK adalah bersifat dua arah (timbal balik), saling menempatkan diri untuk menciptakan komunikasi yang bersifat membangun dan mencari solusi bersama atas persoalan yang dihadapi.

Pencapaian

Sejalan dengan semangat reformasi birokrasi, Bapepam-LK telah melakukan upaya optimalisasi peran industri pasar modal dan lembaga keuangan non-bank antara lain :• Peningkatan pengawasan dengan metode berbasis risiko;• Penyempurnaan kerangka hukum dan peraturan perundang-undangan;• Pengembangan organisasi yang independen;• Pengembangan instrumen pasar modal dan lembaga keuangan nonbank termasuk instrumen berbasis syariah;• Pengembangan database dan sistem informasi teknologi.

Sisi pencapaian, Bapepam-LK selalu berusaha untuk mendapatkan pencapaian terbaik dari setiap kegiatan reformasi birokrasi yang diupayakan oleh Departemen Keuangan. Selain bertindak sebagai pioner di lingkungan unit eselon I, sejak tahun 2006 sebagaimana telah dicanangkan dalam Roadmap Departemen Keuangan tahun 2004-2009 dilakukan penggabungan antara Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) menjadi Bapepam-LK pada tahun 2005, yang merupakan langkah awal menuju institusi yang lebih independen. Selanjutnya pada penghujung tahun 2006 sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip-prinsip good governance dibentuk Biro Kepatuhan Internal, sebagai salah satu unit eselon II baru di lingkungan Bapepam-LK yang kemudian ditugaskan untuk menyusun Key Performance Indicators (KPIs) dengan metode Balanced Scorecard (BSC). Pada tahun 2007 Bapepam-LK menjadi unit eselon I yang pertama di lingkungan Departemen Keuangan yang menyelesaikan penyusunan Uraian Jabatan. Bapepam-LK juga berpartisipasi aktif berkontribusi dalam penyusunan Pedoman Monitoring SOP dan menyusun Laporan Hasil Monitoring SOP untuk seluruh unit eselon I di lingkungan Departemen Keuangan serta dalam penyusunan Pedoman Analisa Beban Kerja (ABK) untuk Tim Reformasi Birokrasi Pusat, Departemen Keuangan. Setiap tahunnya sejak tahun 2007 Bapepam-LK selalu melakukan evaluasi atas program reformasi birokrasi yang telah diselenggarakan dan melaporkannya dalam Laporan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Bapepam-LK begitu pula dengan penerbitan laporan Siaran Pers Bapepam-LK setiap semester, yang merupakan perwujudan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabel.

Page 295: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

29�

www.depkeu.go.id

Tantangan

Dapat dikemukakan bahwa hampir tidak ada kendala dan persoalan berarti yang dihadapi dalam masa transisi atas perubahan budaya kerja dan peningkatan kinerja di lingkungan Bapepam-LK, namun demikian tetap diperlukan evaluasi atas capaian kinerja yang selama ini telah diupayakan.

Dari sisi tantangan, beberapa hal yang menjadi tantangan ke depan bagi perkembangan pasar modal dan lembaga keuangan non bank yang belum diwujudkan antara lain :• Pembentukan Tenaga Fungsional Pemeriksa Pasar Modal;

Tujuan dari pembentukan Tenaga Fungsional Pemeriksa Pasar Modal adalah untuk mendukung pengawasan dan penegakan hukum yang bertujuan untuk melindungi investor dalam bertransaksi masih dalam proses penyusunan Naskah Akademis dan pembahasan internal Bapepam-LK dengan Sekretariat Jenderal, Departemen Keuangan. Sebagaimana diketahui bahwa Jabatan Fungsional merupakan hal yang baru di Bapepam-LK bahkan di Departemen Keuangan. Proses pembentukan Tenaga Fungsional cukup panjang dan melibatkan banyak pihak selain internal Departemen Keuangan juga pihak Kementerian PAN dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sampai dengan pertengahan tahun 2009, Bapepam-LK berada pada tahap penyusunan Naskah Akademis yang akan dilanjutkan dengan pembahasan bersama pihak Kementerian PAN.

• Pengembangan infrastruktur sistem perdagangan dan teknologi informasi, sistem informasi manajemen, instrumen pasar modal dan peningkatan jumlah investor domestik. Dilihat dari instrumen pasar modal yang tersedia bagi investor, dunia usaha serta pemanfaatannya, saat ini jumlahnya masih terbatas jika dibandingkan dengan perkembangan instrumen di negara-negara lain. Demikian pula peran Emiten dan Perusahaan Publik yang merupakan salah satu pelaku pasar masih belum optimal. Sampai saat ini pada kenyataannya pasar modal masih didominasi oleh pemodal asing.

Dari sisi harapan, harapan kedepan terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi yang sedang berjalan khususnya di Depkeu dan pengaruhnya di seluruh Kementerian Negara/Lembaga pada umumnya adalah menjaga kesinambungan berjalannya program reformasi birokrasi dan terus ditingkatkankannya partisipasi seluruh pejabat dan pegawai dalam mensukseskan program tersebut. Sejalan dengan reformasi birokrasi, Bapepam-LK akan berupaya responsive terhadap kebutuhan dan perkembangan pasar antara lain dengan melakukan diversifikasi sumber-sumber pendanaan dan perlindungan terhadap investor dengan strategi meningkatkan pengawasan dan kepastian hukum, meningkatkan infrastruktur teknologi informasi serta pengembangan produk-produk pasar modal dan lembaga keuangan termasuk produk yang berbasis syariah.Sementara itu, dapat dikemukakan bahwa kinerja terkait dengan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank diharapkan terus mengalami peningkatan, antara lain :• Makin meningkatnya perusahaan yang telah memperbaiki struktur permodalan baik perusahaan asuransi maupun perusahaan pembiayaan dalam rangka meningkatkan daya saing.• Sejak tahun 2004 telah dilakukan penilaian kepatutan dan kemampuan (fit and proper test) Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian, dengan jumlah peserta yang meningkat dalam 5 tahun terakhir.• Upaya peningkatan kepastian hukum dengan berkoordinasi dengan Bareskrim, PPATK, KPK, pembentukan Komite Pengenaan Sanksi dan Keberatan (KPSK), Satgas Waspada Investasi dan peningkatan kapasitas pegawai Bapepam-LK sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).• Upaya penyempurnaan regulasi untuk menciptakan Pasar Modal yang teratur, wajar dan efisien serta Lembaga Keuangan Non Bank yang kredibel sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pasar.

Page 296: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

29� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

10.1. Arah dan Strategi Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

Pengalaman pada saat krisis ekonomi yang lalu yang masih terasa di periode awal tahun 2000-an menunjukkan bahwa pembiayaan yang bertumpu pada satu sektor keuangan, yakni perbankan menyebabkan adanya ketergantungan dan peningkatan risiko bagi ekonomi nasional. Di lain pihak, peranan pasar modal dan lembaga keuangan non-bank dalam kegiatan ekonomi nasional pada periode tersebut masih sangat terbatas atau dapat dikatakan masih belum dimanfaatkan secara optimal. Kedua hal itu menunjukkan masih adanya ruang yang cukup luas bagi pengembangan pasar modal dan lembaga keuangan non-bank (LKNB) Indonesia untuk berperan lebih optimal sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini sejalan dengan visi Bapepam-LK untuk menjadi otoritas pasar modal dan lembaga keuangan yang amanah dan profesional, yang mampu mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non-bank sebagai penggerak ekonomi nasional yang tangguh dan berdaya saing global.

Sebagai upaya optimalisasi peran pasar modal dan LKNB, arah kebijakan yang ditempuh antara lain meliputi penciptaan iklim yang kondusif bagi perusahaan dalam memperoleh pembiayaan dan bagi pemodal dalam memilih alternatif investasi pada pasar modal dan jasa keuangan non-bank; pemberian perlindungan terhadap kepentingan investor pasar modal dan stakeholders lembaga keuangan; dan perwujudan masyarakat Indonesia yang memahami dan berorientasi pasar modal dan jasa keuangan non-bank dalam membuat keputusan investasi dan pembiayaan.

Adapun strategi yang ditetapkan sebagai langkah-langkah untuk mencapai visi dan arah kebijakan yang ditetapkan meliputi pengembangan organisasi yang independen, penyempurnaan kerangka hukum dan peraturan perundang-undangan dalam rangka mengantisipasi perkembangan industri pasar modal dan jasa keuangan yang dinamis, pengembangan instrumen pasar modal dan lembaga keuangan termasuk instrumen berbasis syariah, perluasan basis dan kualitas pemodal domestik, dan peningkatan efektifitas penegakan hukum di bidang pasar modal dan LKNB serta peningkatan pengawasan dengan metode berbasis risiko dan pemanfaatan data base informasi dan teknologi.

Kebijakan Pengawasan Pasar ModalDan Lembaga Keuangan Non-Bank

Tugas Bapepam-LK sebagai regulator di bidang pasar modal dan lembaga keuangan non-bank memerlukan pembentukan profil "Pengawas" yang berkompeten dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum, dengan tujuan untuk melindungi stakeholder dan investor dari tindakan yang merugikan.

Page 297: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

29�

www.depkeu.go.id

Organisasi lembaga pengawas pasar modal dan lembaga keuangan yang independen sangat diperlukan, agar dalam memformulasikan kebijakannya lembaga tersebut dapat lebih fokus, objektif dan berorientasi kepada pengembangan industri serta dapat memberikan perlindungan kepada semua pihak yang beraktifitas di pasar modal dan industri jasa keuangan. Independensi kelembagaan tersebut juga sangat diperlukan sebagai pijakan untuk menciptakan sekaligus menerapkan sistem pertanggungjawaban kelembagaan yang lebih efektif, akuntabel dan transparan. Harmonisasi dengan prinsip-prinsip dan standar internasional menjadi bagian yang penting, tidak hanya memberikan perlindungan bagi pemodal tetapi juga meminimalkan kemungkinan terjadinya risiko sistemik.

Dilihat dari instrumen pasar modal Indonesia yang saat ini tersedia bagi investor dan dunia usaha serta pemanfaatannya masih terbatas jika dibandingkan dengan perkembangan instrumen di negara-negara lain. Hal ini dapat dilihat dari terbatasnya jenis instrumen derivative, jenis reksa dana dan instrumen pasar modal serta LKNB berbasis syariah masih sangat terbuka untuk dikembangkan. Di samping itu, peran emiten dan perusahaan publik yang juga merupakan salah satu pelaku pasar dirasakan masih belum optimal dalam aktivitas pasar modal. Dalam rangka memperluas basis dan kualitas pelaku domestik dalam aktivitas pasar modal, dukungan sektor swasta akan menjadi kekuatan nasional sebagai dinamisator aktivitas menumbuhkembangkan perekonomian nasional. Sampai saat ini, pada kenyataanya pasar modal di Indonesia, masih didominasi oleh pemodal asing. Idealnya, dalam pasar modal perlu ada keseimbangan antara pemodal asing dengan pemodal lokal.

Pengawasan terhadap pelaku pasar modal dan LKNB merupakan hal yang penting dan utama dalam industri keuangan. Mengingat jumlah pelaku pada industri keuangan dalam rangka pengawasan cukup banyak, perlu kiranya menentukan prioritas pengawasan terhadap pelaku tersebut, yaitu berdasarkan tingkat risiko yang lebih tinggi. Penggunaan metode pengawasan berbasis risiko (risk based supervision) memerlukan kriteria yang obyektif dan jelas untuk menetapkan unsur-unsur yang dinilai beserta metode penghitungannya. Di sisi lain, kegiatan pengawasan di pasar modal dan LKNB dapat berjalan dengan efektif apabila didukung oleh data yang real time dan yang dapat diandalkan. Untuk itu, penyusunan sistem data base yang terintegrasi merupakan hal penting dan harus segera direalisasikan.

Masih kurangnya sumber daya dan dana dalam melaksanakan pemeriksaan dan penyidikan secara maksimal atas indikasi dugaan pelanggaran dan kejahatan di pasar modal dan industri jasa keuangan merupakan salah satu faktor yang menghambat efektifitas penegakan hukum di bidang pasar modal dan LKNB. Arah dan kebijakan dalam rangka penegakan hukum yang menjadi prioritas dalam program nasional akan sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan pengawasan pasar modal dan LKNB.

10.2. Perkembangan Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank Selaku otoritas atau lembaga pengawas, Bapepam-LK hendaknya bebas dari intervensi politik maupun industri dalam menjalankan fungsi dan perannya, serta mempunyai sumber pendanaan yang cukup, stabil, dan mandiri. Menimbang hal tersebut, independensi lembaga pengawas pasar modal dan lembaga keuangan sangat diperlukan, agar dalam memformulasikan kebijakannya lembaga tersebut dapat lebih fokus, objektif, dan beriorientasi kepada pengembangan industri dan perlindungan semua pihak yang beraktivitas di pasar modal. Independensi kelembagaan tersebut juga sangat diperlukan sebagai pijakan untuk menciptakan sekaligus menerapkan sistem pertanggungjawaban kelembagaan yang lebih efektif, akuntabel, dan transparan.

Page 298: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

29� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

10.2.1. Pembentukan Bapepam-LK Dalam rangka membentuk lembaga pengawas yang lebih independen, sebagai langkah awal pada akhir 2005 telah dilakukan penggabungan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menjadi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Hal ini merupakan tujuan antara sebelum menuju pendirian lembaga pengawas jasa keuangan atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia Pasal 34.

Sampai saat ini, perangkat hukum, organisasi, SDM dan penganggaran serta harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait dengan Rancangan Undang-undang (RUU) OJK, seperti Undang-undang Pasar Modal, Undang-undang Usaha Perasuransian, dan Undang-undang Dana Pensiun terus dilakukan. Pembahasan dengan Tim Panitia Antar Departemen tengah dilakukan dan diharapkan akhir Juni 2009 draf RUU OJK dapat disampaikan ke DPR untuk segera dilakukan pembahasan.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Pasal 34(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.

Selanjutnya, dalam upaya memperkuat pengawasan dan menjadi organisasi yang lebih mandiri, peningkatan efektivitas dan efisiensi pengawasan pasar modal dan LKNB telah menggunakan metode pengawasan berbasis risiko (risk based supervision). Pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengawasan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan makin menuntut perhatian yang tinggi terutama terkait dengan peran strategis pasar modal dan lembaga keuangan dalam perekonomian nasional serta kerja sama internasional. Tuntutan perkembangan tersebut memerlukan peningkatan efektifitas sistem pembinaan dan pengawasan dari yang telah berjalan selama ini. Peningkatan fungsi pengawasan atas kinerja dan kepatuhan (compliance) terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari unit-unit di lingkungan Bapepam-LK sesuai prinsip-prinsip good governance, menuntut penyempurnaan struktur organisasi Bapepam-LK.

Sehubungan dengan penataan organisasi di lingkungan Departemen Keuangan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/KMK.01/2006, di Bapepam-LK telah dibentuk Biro Kepatuhan Internal. Biro ini diharapkan menjadi compliance unit melalui penelaahan dan penilaian kepatuhan pelaksanaan tugas selaku otoritas pasar modal dan lembaga keuangan serta pemberian rekomendasi kepada Ketua Bapepam-LK. Pertimbangan penting lainnya yang mendasari pembentukan biro ini yakni untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan potensi terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme serta bahaya moral hazard antara otoritas dengan pelaku dan industri jasa keuangan, seperti dalam proses pendaftaran, persetujuan, pengesahan, perijinan, monitoring serta pengenaan sanksi.

Page 299: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

29�

www.depkeu.go.id

10.2.2. Reformasi Birokrasi di Bidang Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

Sejalan dengan reformasi yang telah digulirkan di Departemen Keuangan sejak 2005 yang mencakup organisasi, penyempurnaan proses bisnis, dan manajemen sumber daya manusia (SDM), beberapa kegiatan terkait pasar modal dan LKNB juga tak lepas dari pembenahan. Bapepam-LK selaku unit organisasi yang bertindak sebagai otoritas pasar modal dan LKNB telah menyusun dan memperbaiki standar prosedur operasi (SOP) dalam rangka memberikan pelayanan terhadap stakeholders sebanyak 534 buah. Penyusunan SOP tersebut dimaksudkan untuk menjaga mutu dan “quality assurance” dari setiap proses bisnis serta menjamin kepatuhan terhadap kebijakan dan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya, sebagai upaya memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, otoritas pasar modal dan LKNB telah menyertakan 7 SOP Quick-Win yang menetapkan janji untuk mempercepat pelayanan terkait dengan pasar modal dan LKNB. SOP tersebut merupakan bagian dari SOP Quick-Win Departemen Keuangan yang secara keseluruhan terdiri dari 35 SOP layanan unggulan.

Selanjutnya, dalam rangka peningkatan kapasitas internal otoritas pasar modal dan LKNB, beberapa aktivitas dalam rangka reformasi birokrasi juga telah dilaksanakan seperti melakukan workload analysis, melakukan analisis dan evaluasi jabatan, serta penyusunan KPI dengan pendekatan Balanced Scorecard.

Reformasi di bidang manajemen SDM secara berkesinambungan dilakukan melalui pelaksanaan assessment center terhadap seluruh pejabat struktural. Pelaksanaan knowledge sharing hasil-hasil workshop, seminar atau secondment, serta peningkatan capacity building dan leadership courses kepada pegawai. Sebagai kontrol terhadap perilaku SDM dan penciptaan budaya kerja yang profesional telah ditetapkan Kode Etik Pegawai.

Kotak 10.1. Kontrak Kinerja

Penandatangan kontrak kinerja untuk tahun 2009 sebagai wujud komitmen pelaksanaan tugas telah dilakukan antara Menteri Keuangan dengan Ketua Bapepam-LK yang mencakup pencapaian 9 indikator kinerja utama. Demikian juga telah dilakukan kontrak kinerja antara Ketua Bapepam-LK dengan 13 pejabat Eselon II di lingkungan Bapepam-LK yang mencakup komitmen pencapaian 42 indikator kinerja utama.

No. Indikator Kinerja Utama Realisasi 2008 Target 2009

1. Persentase pertumbuhan nilai transaksi saham harian 8,00% 2,40%

2. Persentase pertumbuhan frekuensi transaksi saham harian 4,00% 2,40%

3. Jumlah emiten baru sesuai target 20 10

4. Persentase pertumbuhan dana yang dikelola oleh lembaga pembiayaan dan penjaminan

32,37% 10,00%

5. Persentase pertumbuhan dana yang dikelola oleh industri perasuransian

4,62% 4,00%

6. Persentase pertumbuhan dana yang dikelola oleh industri dana pensiun

-1,63% -1,00%

7. Indeks kepuasan stakeholders Bapepam-LK 68 75

8. Rasio realisasi dari janji pelayanan quick win ke pihak eksternal

88,98% 95,00

9. Persentase penyelesaian SOP terhadap SOP yang harus diperbaharui /dibuat

83% 100%

Page 300: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

29� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

10.2.3. Paket Kebijakan Sektor Keuangan Berbagai kebijakan pengaturan, pengawasan, dan penegakan hukum di bidang pasar modal serta lembaga keuangan telah ditetapkan terkait dengan pelaksanaan Inpres No. 3 Tahun 2006, Inpres No. 6 Tahun 2007 tentang Paket Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) I dan II, serta Inpres No. 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi.

PKSK yang merupakan program reformasi sektor keuangan yang dicanangkan pada 2006 oleh Pemerintah dan Bank Indonesia berisi 14 kebijakan, 34 program, dan 55 tindakan. Perumusan PKSK dimaksudkan untuk meningkatkan koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter, melanjutkan langkah-langkah reformasi, serta memperkuat industri perbankan, lembaga keuangan non-bank, dan pasar modal.

Wujud reformasi sektor keuangan yang dihasilkan dari PKSK, antara lain terdapat 4 (empat) kebijakan utama di sektor pasar modal dan 7 (tujuh) kebijakan utama di sektor keuangan non-bank yang telah ditindak lanjuti penyelesaiannya. Adapun kebijakan di sektor pasar modal yang dihasilkan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan likuiditas pasar modal; meningkatkan likuiditas dan stabilitas pasar obligasi (surat utang); memperkuat dasar hukum pengawasan terhadap tindak pidana pencucian uang di bidang pasar modal; dan menyusun kebijakan perpajakan dalam mendorong aktivitas pasar modal.

Sementara itu, kebijakan di sektor keuangan non-bank yang ditetapkan bertujuan untuk memperkuat kesehatan industri asuransi dan dana pensiun; mengembangkan pembiayaan ekspor dan meletakkan dasar pengawasan berbasis risiko (risk based supervision) terhadap perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan perusahaan asuransi; mengembangkan industri jasa gadai; meningkatkan diversifikasi produk dan jasa pembiayaan; serta mengembangkan industri modal ventura. Beberapa kebijakan dalam rangka pengembangan pasar modal, meliputi:a. Peningkatan daya saing dan efisiensi bursa melalui penerbitan Surat Edaran Ketua Bapepam-LK Nomor : 4549/BL/2007 tanggal 7 September 2007 tentang Persetujuan Rencana Penggabungan Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES). Penggabungan BEJ dan BES menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI) yang berlaku efektif sejak 30 November 2007 semakin mendekatkan pencapaian keinginan pelaku pasar modal untuk membawa BEI menjadi salah satu bursa terkemuka di kawasan regional. b. Peningkatan pemanfaatan teknologi informasi di pasar modal dengan mengembangkan sistem e-Reporting, e-Licensing, e-Registration dan e-Monitoring. Hingga saat ini, e-Monitoring, e-Licensing, dan e-Reporting sudah berjalan dan terus dikembangkan secara berkelanjutan.c. Pengembangan mekanisme pembentukan harga (Price Discovery Mechanism) dengan

diterbitkannya Peraturan Bapepam-LK Nomor V.C.3 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: Kep-329/BL/2007 tanggal 19 September 2007 tentang Lembaga Penilaian Harga Efek. Peraturan tersebut bertujuan untuk meningkatkan likuiditas dan stabilitas pasar obligasi (surat utang).

d. Peningkatan ketaatan Penyedia Jasa Keuangan atas Prinsip Mengenal Nasabah dengan diterbitkannya Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor Kep-313/BL/2007 tanggal 28 Agustus 2007 tentang Prinsip Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa Keuangan di Bidang Pasar Modal.e. Pemberian insentif pajak untuk perusahaan terbuka. Dalam rangka pemberian insentif

tersebut, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No.81 tahun 2007 tanggal 28 Desember 2007 mengenai Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka.

Page 301: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

299

www.depkeu.go.id

Beberapa kebijakan penting terkait pencapaian PKSK dalam rangka penguatan lembaga keuangan non-bank, meliputi: a. Peningkatan efektivitas pengaturan dan pengawasan perusahaan perasuransian. Tindakan yang dilakukan adalah menyempurnakan UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian untuk mengatur hal-hal antara lain: (i) Pelaksanaan Good Corporate Governance pada perusahaan perasuransian; (ii) Pengaturan kembali permodalan perusahaan perasuransian; (iii) Kewajiban memiliki komisaris independen bagi perusahaan asuransi; (iv) Pengaturan kembali mengenai dana jaminan perusahaan asuransi; (v) Pengaturan kembali mengenai perubahan kepemilikan perusahaan perasuransian.

Sebagai upaya meningkatkan kualitas perusahaan perasuransian serta mempersiapkan industri dalam menghadapi ASEAN open market tahun 2015, peningkatan persyaratan permodalan telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tanggal 19 Mei 2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Namun karena adanya krisis global yang turut memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia dipandang perlu untuk menunda peningkatan permodalan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tanggal 31 Desember 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. b. Perusahaan Asuransi harus memiliki modal sendiri dengan tahapan sebagai berikut: (i) Paling sedikit sebesar Rp 40.000.000.000,00 (empat puluh milyar rupiah) paling lambat 31 Desember 2010; (ii) Paling sedikit sebesar Rp 70.000.000.000,00 (tujuh puluh milyar rupiah) paling lambat 31 Desember 2012; (iii) Paling sedikit sebesar Rp 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah) paling lambat 31 Desember 2014.c. Perusahaan Reasuransi harus memiliki modal sendiri dengan tahapan sebagai berikut : (i) Paling sedikit sebesar Rp 40.000.000.000,00 (empat puluh milyar rupiah) paling lambat 31 Desember 2010; (ii) Paling sedikit sebesar Rp 70.000.000.000,00 (tujuh puluh milyar rupiah) paling lambat 31 Desember 2012; (iii) Paling sedikit sebesar Rp 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah) paling lambat 31 Desember 2014.

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 mengatur mengenai pengenaan sanksi denda bagi perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dan perusahaan penunjang perasuransian yang terlambat menyampaikan laporan tahunan kepada Bapepam-LK. Dalam peraturan pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tersebut, Bapepam-LK juga mengatur ketentuan mengenai dana jaminan bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. Berdasarkan ketentuan tersebut, perusahaan asuransi dan reasuransi dapat menyimpan dana jaminan tidak hanya dalam bentuk deposito, namun juga dalam Surat Hutang Negara.

d. Penyempurnaan terhadap Undang-undang No. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun yang dilakukan sebagai upaya untuk memperkuat kesehatan industri Dana Pensiun dengan peningkatan efektivitas pengaturan dan pengawasan Dana Pensiun. e. Penerbitan UU Nomor2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, dalam kaitannya dengan upaya pengembangan pembiayaan ekspor melalui pembentukan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

Page 302: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�00 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

f. Penerbitan Peraturan Bapepam-LK Nomor Per-04/BL/2008 tanggal 7 Agustus 2008 tentang Pengawasan Dana Pensiun Berbasis Risiko dan Peraturan Bapepam-LK Nomor Per-05/BL/2008 tanggal 7 Agustus 2008 tentang Manajemen Pemeriksaan Langsung Dana Pensiun Berbasis Risiko, sebagai upaya penerapan pengawasan berbasis Risiko terhadap Perusahaan Pembiayaan dan Dana Pensiun Sementara itu hasil kajian Pengawasan Berbasis Risiko pada Perusahaan Pembiayaan telah selesai dilakukan.g. Melakukan kajian mengenai tingkat efisiensi, bentuk persaingan dan infrastruktur kelembagaan usaha jasa gadai. h. Pengembangan produk-produk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah meliputi : (i) Penerbitan Peraturan Ketua Bapepam-LK No. Per-03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah; (ii) Penerbitan Peraturan Ketua Bapepam-LK No. Per-04/BL/2007 tentang Akad-akad yang digunakan dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dan Penerbitan Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor Kep: 314/BL/2007 tanggal 31 Agustus 2007 tentang Kriteria dan Penerbitan Efek Syariah.i. Peningkatan peranan modal ventura dalam pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Tim telah melakukan kajian mengenai bentuk usaha dan struktur kelembagaan industri modal ventura. j. Peningkatan efektivitas pengawasan dan pembinaan perusahaan pembiayaan, khususnya pengawasan langsung atas kegiatan perusahaan telah dilakukan dengan ditetapkannya Peraturan Nomor 166/PMK.010/2008 tentang Pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan pada 4 November 2008. Secara umum, PMK tersebut antara lain mengatur tentang dasar dan tujuan pemeriksaan, tata cara dan tahapan pemeriksaan, laporan hasil pemeriksaan, dan pengenaan sanksi.k. Penguatan basis pasar konsumen perusahaan pembiayaan juga telah dilakukan dengan mengembangkan produk-produk pembiayaan dengan prinsip syariah sesuai dengan Peraturan Ketua Bapepam-LK No. Per-03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dan Peraturan Ketua Bapepam-LK No. Per-04/BL/2007 tentang Akad-akad yang Digunakan dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.

10.2.4. Uji Kemampuan dan Kepatutan Direksi serta Komisaris Dalam rangka meningkatkan peran dan kualitas governance di bidang pasar modal dan LKNB, antara lain dilakukan penilaian atas kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) direksi dan komisaris perusahaan asuransi dan perusahaan pembiayaan sesuai dengan ketentuan perundangan yakni Keputusan Menteri Keuangan No. 78/KMK.06/12003 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian. Sedangkan untuk fit and proper Direksi dan Komisaris Perusahaan Pembiayaan ditetapkan berdasarkan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor Per-03/BL/2008.

Selanjutnya, sebagai acuan bagi Komite Evaluasi dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan maka ditetapkan Pedoman Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. 3603/LK/2004 dan terakhir diubah dengan Peraturan Ketua Bapepam-LK No. PER-04/BL/2009.

Sementara, penilaian kemampuan dan kepatutan direksi dan komisaris Self Regulatory Organization (SRO) seperti BEI, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), dan perusahaan efek serta wakil manager investasi sebagaimana ditetapkan dalam UU Pasar Modal senantiasa dilakukan dalam upaya peningkatan kualitas governance di pasar modal.

Page 303: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

�01

www.depkeu.go.id

10.3. Kinerja Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

Selama 2004 s.d. 2009, kinerja pasar modal dan lembaga keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional cenderung meningkat dari 2004 sampai 2007. Namun, akibat terjadinya krisis keuangan global mulai pertengahan 2008, peran pasar modal dan lembaga keuangan non-bank dalam peningkatan perekonomian nasional cukup terkoreksi secara cukup signifikan. Hal ini terlihat dari nilai kapitalisasi pasar modal dan kekayaan lembaga keuangan terhadap Produk Domestik Bruto cenderung mengalami penurunan.

10.3.1. Kinerja Industri Pasar Modal Nilai kapitalisasi saham dan obligasi yang diperdagangkan di pasar modal pada akhir tahun 2008 mengalami penurunan cukup signifikan menjadi 33,81% terhadap PDB (nilai nominal). Sementara, tren pertumbuhan nilai kapitalisasi mulai 2005 sampai 2007 cukup tinggi, pada 2007 menjadi sekitar 64,40%.

Tabel 10.1.1. Nilai Kapitalisasi Pasar Modal dibandingkan PDB

PeriodeKapitalisasi Pasar (Rp Milyar)

PDB (Nilai Nominal)

PersentaseSaham Obligasi

KorporasiObligasi

Pemerintah Total

2004 679.949,10 61.300,20 399.304,20 1.140.553,50 2.273.141,50 50,18%

2005 801.252,70 62.891,34 399.859,31 1.264.003,35 2.784.960,40 45,39%

2006 1.249.074,50 67.805,54 418.751,20 1.735.631,24 3.338.195,70 51,99%

2007 1.988.326,20 84.653,03 475.577,78 2.548.557,01 3.957.403,90 64,40%

2008 1.076.490,53 72.979,44 525.694,73 1.675.164,70 4.954.029.00 33,81%

Sumber Data: Bapepam-LK – Departemen Keuangan

10.3.1.1. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)

Pada periode 2004 sampai awal 2008, Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia terus mengalami kenaikan yang signifikan. Semakin membaiknya ekonomi Indonesia, kondisi keamanan yang relatif stabil, dan membaiknya bursa regional menciptakan optimisme pasar sehingga mendorong naiknya IHSG. Di samping itu, naiknya harga komoditas pertambangan dan perkebunan pada pertengahan 2007 juga mendorong naiknya indeks. IHSG mencapai titik tertinggi pada 9 Januari 2008, yaitu berada pada posisi 2.830,26 poin. Setelah periode itu, IHSG terus mengalami penurunan yang sangat signifikan sampai dengan akhir 2008 dan IHSG ditutup pada posisi 1.355,41 poin. Jika dibandingkan dengan IHSG penutupan 2007, IHSG 2008 melemah 1.390,42 poin atau sebesar 50,64%. IHSG mencapai titik terendah pada 28 Oktober 2008, yaitu berada pada posisi 1.111,39 poin setelah mengalami penurunan signifikan sejak 9 September 2008. Penurunan tersebut diakibatkan antara lain oleh pengaruh yang sangat besar dari krisis keuangan global yang terjadi selama 2008. Penurunan indeks juga dialami oleh beberapa Bursa Efek di kasawan Asia Pasifik.

Page 304: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�02 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Tabel 10.2. Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan Nilai Kapitalisasi Pasar Periode 2004 – 2009

Tahun IHSGPerubahan Kapitalisasi

Pasar (Rp Triliun)

PDB (nilai nominal)

Rp TriliunPersentase %

Poin %

2004 1.000,23 308,33 44,56 679,95 2.273,14 29,91

2005 1.162,63 162,40 16,24 801,25 2.784,96 28,77

2006 1.805,52 642,89 55,30 1.249,10 3.338,19 37,42

2007 2.745,83 940,31 52,08 1.988,33 3.957,40 50,24

2008 1.355,41 -1.390,42 -50,64 1.076,49 4.954,01 21,73

2009* 2.108,81 753.4 55.58 1.661,74 -

Sumber Data: Bapepam-LK - Departemen Keuangan --- * Data per 10 Juni 2009

Grafik 10.1. Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Periode 2004 – 2009*

Sumber: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

3000

2500

2000

1500

1000

500

010/1/2004 3/1/2005 8/1/2005 1/1/2006 6/1/2006 11/1/2006 4/1/2007 9/1/2007 2/1/2008 7/1/2008 12/1/2008 5/1/2009

10.3.1.2. Nilai Kapitalisasi Pasar Saham

Nilai kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia juga mengalami kenaikan pada periode 2004 sampai dengan awal 2008 (Tabel 10.1 dan Tabel 10.2). Namun, sampai dengan akhir 2008 nilai kapitalisasi pasar saham mengalami penurunan yang signifikan, yaitu sebesar 46,42% dari tahun sebelumnya. Kontribusi pasar modal Indonesia, khususnya pasar saham terhadap GDP pada akhir 2008 juga mengalami penurunan menjadi 21,73%. Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya, kontribusi pasar modal ini terus mengalami kenaikan. Pada 2004, perbandingan nilai kapitalisasi pasar terhadap GDP sebesar 29,91%; pada 2005 sebesar 28,77%; pada 2006 sebesar 37,42%; dan pada 2007 sebesar 50,24%.

Page 305: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

�0�

www.depkeu.go.id

10.3.1.3. Penawaran Umum Efek Selama periode 2004 sampai 2008, kegiatan penawaran umum efek terus mengalami kenaikan. Sejak 2005 sampai 2007, penawaran umum saham lebih didominasi oleh perusahaan-perusahaan sektor jasa, terutama jasa keuangan di mana pada 2005 mencapai 48,36%; pada 2006 mencapai 70,99%; dan pada 2007 mencapai 65,13%. Pada 2007 dan 2008, kegiatan penawaran umum efek mengalami kenaikan yang sangat signifikan, dimana pada 2007 penawaran umum obligasi mengalami peningkatan 174% dari tahun sebelumnya dan mencapai 38,87% dari total penawaran umum efek. Sedangkan pada 2008, penawaran umum saham melalui IPO maupun Right Issue lebih dominan mencapai 85,17% dari total penawaran umum efek. Sampai dengan 2008, nilai kumulatif penawaran umum saham melalui IPO mencapai Rp 88,91 triliun, Right Issue mencapai Rp 316,09 triliun, dan penawaran umum obligasi mencapai Rp 148,12 triliun.

Tabel 10.3. Perkembangan Penawaran Umum Efek Periode 2004 – 2008

Tahun

Saham Obligasi

Total Emiten

Total Emisi Efek

(Rp Milyar)

IPO Right IssueJumlah Emiten (Rp Milyar)Jumlah

Emiten(Rp Mil

yar)Jumlah Emiten (Rp Milyar)

2004 12 2.194,04 18 4.342,15 34 19.169,82 69 27.779,01

2005 8 3.560,00 16 6.233,35 22 8.250,00 46 18.043,35

2006 12 3.014,11 17 9.978,33 15 11.450,10 44 26.492,54

2007 24 17.181,61 25 30.151,20 39 31.375,00 88 80.802,81

2008 17 23.484,95 25 55.458,46 20 14.100,00 62 95.113,40

2009* 1 101,25 1 3.993,85 5 3.200,00 7 7.295,098Sumber Data: Bapepam-LK - Departemen Keuangan *Per 22 Mei 2009

Grafik 10.2. Perkembangan Nilai Penawaran Umum Periode 2004 – 2008

Sumber: Bapepam-LK

60,000,000

50,000,000

40,000,000

30,000,000

20,000,000

10,000,000

0

2004 2005 2006 2007 2008

IPO ObligasiRight Issue

Periode

Nilai (Rp Milyar)

Page 306: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�0� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

10.3.1.4. Reksa Dana Pada 2005, nilai aktiva bersih (NAB) Reksa Dana mengalami penurunan yang cukup signifikan. Kecenderungan naiknya tingkat suku bunga Bank Indonesia sangat berpengaruh terhadap turunnya harga obligasi. Tingginya tingkat suku bunga tersebut membuat investasi pada obligasi menjadi kurang menarik. Hal ini mendorong penurunan NAB Reksa Dana yang mempunyai portofolio obligasi. Kecenderungan semakin menurunnya NAB reksa dana menjadi salah satu pendorong aksi redemption besar-besaran sehingga mengharuskan manajer investasi untuk segera menjual portofolio terutama obligasi sehingga harga obligasi menjadi semakin menurun dan semakin menekan NAB Reksa Dana. Sejak diterbitkannya Peraturan Bapepam Nomor IV.C.4 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana dengan Penjaminan dan Reksa Dana Indeks, industri reksa dana kembali mengalami perkembangan yang menggairahkan. Adanya reksa dana jenis baru ini menarik investor untuk kembali berinvestasi di reksa dana, terutama reksa dana terproteksi. Setelah 2005, reksa dana kembali menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Pada akhir 2008, NAB kembali mengalami penurunan terkait dengan kondisi makro ekonomi di Indonesia.

Tabel 10.4. Perkembangan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Periode 2004 – 2008

Tahun Jumlah Reksa Dana Nilai Aktiva Bersih(Rp Triliun)

2004 246 104,04

2005 328 29,41

2006 403 51,62

2007 473 92,19

2008 603 74,07

Sumber Data: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

10.3.2. Kinerja Industri Lembaga Keuangan Non-Bank

Kinerja pertumbuhan aset lembaga keuangan non-bank selama kurun waktu 5 tahun dari 2004 sampai dengan 2008 rata-rata hanya 10,86% dari PDB. Hal ini menunjukkan masih banyak upaya yang harus dilakukan jika dibandingkan dengan pertumbuhan asset perbankan terhadap PDB.

Tabel 10.5. Nilai Asset LKNB dibandingkan PDB

PeriodeAsset (Rp Triliun)

PDB (Nilai Nominal) Persentase

Asuransi Dana Pensiun

Perusahaan Pembiayaan Total

2004 119,91 57,8 78,9 256,61 2.273,14 11,29%

2005 139,41 64,0 96,5 299,91 2.784,96 10,77%

2006 174,93 77,0 108,9 360,83 3.338,19 10,81%

2007 228,83 91,2 127,3 447,33 3.957,40 11,30%

2008 243,23 90,2 168,5 501,93 4.954,03 10,13%

Sumber Data: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

Page 307: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

�0�

www.depkeu.go.id

10.3.2.1. Industri Pembiayaan dan Modal Ventura

Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, terdapat 3 (tiga) jenis lembaga pembiayaan, yaitu Perusahaan Pembiayaan, Modal Ventura, dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.

10.3.2.1.1. Perusahaan Pembiayaan

Perusahaan pembiayaan adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen dan/atau usaha kartu kredit. Perkembangan industri jasa pembiayaan ini secara keseluruhan telah mampu menjadikannya sebagai salah satu industri lembaga keuangan nonbank yang menonjol. Peranan yang menonjol dari industri jasa pembiayaan adalah kemampuannya untuk menyediakan dana bagi masyarakat yang memerlukan sumber dana pembiayaan, baik untuk keperluan investasi, modal kerja, atau semata-mata untuk barang yang akan dipakai sendiri (konsumsi). Dana yang disalurkan oleh industri jasa pembiayaan untuk masyarakat terdiri dari sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), usaha kartu kredit (credit card), ataupun pembiayaan konsumen (consumer finance).

Dengan total aset mencapai lebih dari Rp172,5 triliun (3,48% dari PDB harga berlaku 2008) menjadikan perkembangan industri jasa pembiayaan sangat penting dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Banyak perusahaan pembiayaan baru yang didirikan dan begitu juga perusahaan pembiayaan yang telah ada mulai mengembangkan dirinya baik dalam jumlah jaringan kerja maupun usaha jasa pembiayaan yang mereka tawarkan kepada masyarakat luas. Selama kurun waktu 2004 sampai dengan 2009 terdapat 6 (enam) perusahaan pembiayaan baru yang didirikan, setelah dibukanya kembali perizinan perusahaan pembiayaan baru sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Dalam kurun waktu tersebut terdapat 37 perusahaan pembiayaan yang dicabut izinnya terkait dengan peningkatan efektivitas pengawasan di perusahaan pembiayaan (Grafik 10.3.). Dari total jumlah perusahaan pembiayaan sebanyak 208 perusahaan (Februari 2009), 30 perusahaan menguasai 80% total piutang pembiayaan dan 16 perusahaan pembiayaan dimiliki oleh bank.

Tabel 10.6. Perkembangan Perusahaan Pembiayaan (Dalam Triliun Rupiah)

RincianTahun

2004 2005 2006 2007 2008 Jan 2009 Feb 2009

Jumlah Perusahaan (unit) 237 236 214 217 212 210 208

Total Aktiva 78,9 96,5 108,9 127,3 168,5 169,8 172,5

Nilai Kegiatan Usaha: 67,1 102,5 92,8 107,7 137,2 138,1 137,1

Sewa Guna Usaha 17,2 32,0 26,4 36,5 50,7 52,3 52,5

Anjak Piutang 2,0 3,0 3,8 2,2 2,2 2,2 2,2

Kartu Kredit 0,0 1,5 0,04 1,4 1,1 1,1 1,1

Pembiayaan Konsumen 47,8 66,0 62,5 67,6 83,2 82,5 81,3

Pinjaman 48,9 61,1 65,2 76,8 108,9 110,0 113,2

Pinjaman dalam negeri 24,1 29,7 33,2 40,5 55,4 55,0 55,1

Pinjaman luar negeri 24,8 31,4 32,0 36,3 53,5 55,0 57,1

Obligasi 8,9 10,2 10,1 12,8 11,5 11,5 10,9

Modal Disetor 10,5 12,5 13,8 14,7 17,4 17,4 17,3

Laba (Rugi) Tahun Berjalan 3,0 3,5 3,1 4,4 6,4 0,6 1,2Sumber Data: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

Page 308: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�0� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Grafik 10.3. Jumlah Perusahaan Pembiayaan

Dalam rangka meningkatkan resistensi terhadap krisis keuangan, sejak 2006 pendirian perusahaan pembiayaan baru atau perubahan pemegang saham lama diwajibkan untuk meningkatkan modal disetornya minimal Rp100 milyar untuk perseroan terbatas dan Rp 50 milyar untuk koperasi.

Selain itu, untuk mendorong terciptanya dan terlaksananya tata kelola perusahaan yang baik di industri perusahaan pembiayaan, setiap pengurus (dewan direksi atau komisaris) perusahaan pembiayaan diwajibkan untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (fit & proper test) sebagaimana diatur dalam Peraturan Ketua Bapepam LK Nomor Per-03/BL/2008. Selama 2008 telah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap 35 calon direksi dan komisaris dari 25 perusahaan pembiayaan. Meskipun dari jumlah perusahaan pembiayaan mengalami penurunan, kinerja perusahaan pembiayaan mengalami peningkatan yang sangat tajam. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan piutang pembiayaan dari 2004 ke 2009 mencapai 57,6% dan total aset mencapai 118,4 %. Peningkatan spektakuler tersebut didominasi oleh kegiatan pembiayaan konsumen (60% dari total piutang pembiayaan) diikuti oleh kegiatan sewa guna usaha (38%), anjak piutang (1,6%) dan kartu kredit (0,4%). Perkembangan piutang pembiayaan secara detail dapat dilihat pada grafik 10.4.

Grafik 10.4. Perkembangan Piutang Pembiayaan

Sumber: Bapepam-LK

240

235

230

225

220

215

210

205

200

195

190

2004 2005 2006 2007 2008 2009

TotalPencabutanIzin Baru

237

0

2

01

0

22

3

0

2

7

1

5

208

Sumber: Laporan Bulanan Perusahaan Pembiayaan, Bapepam-LK - Departemen Keuangan

240

235

230

225

220

215

210

205

200Des2005

Feb2006

Apr2006

Jun2006

Agust2006

Okt2006

Des2006

Feb2007

Apr2007

Jun2007

Agust2007

Okt2007

Des2007

Feb2008

Apr2008

Jun2008

Agust2008

Okt2008

Des2008

Feb2009

Piutang Pembiayaan Pembiayaan Konsumen Sewa Guna Usaha

Kartu Kredit Anjak Piutang

Page 309: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

�0�

www.depkeu.go.id

Berkaitan dengan kualitas aktiva produktif piutang pembiayaan, kolektibilitas piutang pembiayaan secara keseluruhan masih tergolong rendah. Total piutang pembiayaan yang tergolong kategori Diragukan berkisar 1% sedangkan untuk kategori Macet berkisar 2%. Sebagai contoh,pada akhir 2007, piutang sewa guna usaha yang macet sebesar 2,3%, kemudian turun hingga menjadi 1,4% pada 2008. Bahkan, pembiayaan ini mempunyai kualitas aktiva produktif terbaik, dengan kategori “Lancar” sebesar 98,3% pada akhir 2008. Sedangkan pada kegiatan pembiayaan konsumen, kualitas aktiva produktifnya mengalami penurunan walaupun piutang yang macet masih di bawah 2%.

Tabel 10.7. Kualitas Aktiva Produktif Perusahaan Pembiayaan

Pembiayaan2007 (%) 2008 (%) Jan 09

L D M L D M L D M

Sewa Guna Usaha 97,1 0,6 2,3 98,3 0,3 1,4 96,6 0,4 1,3

Anjak Piutang 84,1 4,1 11,8 85,8 2,7 11,5 82,2 6,1 11,8

Usaha Kartu Kredit 93 3,2 3,8 92,8 3,8 3,4 92,6 3,8 3,6

Pembiayaan Konsumen 97,3 1,1 1,6 97 1,2 1,8 97,1 1,3 1,9

Total 96,9 1 2,1 97,3 0,9 1,8 96,7 1 1,8

L=Lancar, D=Diragukan, M=Macet

Sumber : Laporan Bulanan Perusahaan Pembiayaan, Bapepam-LK - Departemen Keuangan

Pencapaian pertumbuhan yang spektakuler tersebut tidak lepas dari sumber pendanaan pembiayaan yang didapat oleh perusahaan pembiayaan. Dari rincian sumber pendanaan, pinjaman bank (baik dalam maupun luar negeri) merupakan sumber pendanaan terbesar mencapai 57% dari total aset perusahaan. Selain sumber pendanaan dari bank, perusahaan pembiayaan juga mendapatkan pinjaman dari pihak selain bank, obligasi, pinjaman subordinasi, dan pendayagunaan modal sendiri.

Tabel 10.8. Sumber Pendanaan dan Penggunaan

UraianPosisi (Rp Triliun)

2005 2006 2007 2008 Jan 2009 Feb 2009

Sumber Dana 96,5 108,9 127,3 168,5 169,8 172,5Pinjaman Bank 49,2 55,0 65,7 95,0 95,6 98,3- Dalam Negeri 25,0 29,8 35,5 52,0 51,2 51,5- Luar Negeri 24,2 25,2 30,2 43,0 44,1 46,8Pinjaman Lainnya 11,9 10,4 11,1 14,9 14,5 13,8- Dalam Negeri 4,7 3,5 3,8 3,6 3,5 3,5- Luar Negeri 7,2 7,0 7,3 11,3 11,0 10,3Obligasi 10,2 10,1 12,9 11,5 11,5 10,9Modal 11,7 18,9 24,5 23,2 32,8 33,5Lain-lain 13,5 14,5 13,1 23,9 15,4 16,0Penggunaan Dana: 96,5 108,9 127,3 168,5 169,8 172,5Pembiayaan 67,6 93,1 107,7 137,2 138,1 137,1Simpanan pada Bank 3,2 2,9 6,1 12,7 12,2 11,7Penyertaan 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2Lain-lain 25,6 12,8 13,4 18,4 19,3 23,5Sumber : Laporan Bulanan Perusahaan Pembiayaan, Bapepam-LK – Departemen Keuangan

Page 310: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�0� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

10.3.2.1.2. Perusahaan Modal Ventura

Perusahaan modal ventura merupakan badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha. Perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan dalam praktiknya lebih dikenal dengan sebutan Perusahaan Pasangan Usaha (PPU). Dibandingkan dengan industri perusahaan pembiayaan, industri modal ventura belum berkembang secara maksimal, dengan jumlah perusahaan modal ventura mencapai 66 perusahaan (Desember 2008) industri modal ventura mempunyai total aset mencapai Rp 2 triliun dengan perusahaan pasangan usaha berjumlah 25.942 PPU. Jumlah PPU tersebut meningkat 30,4% dibandingkan dengan angka pada 2007 yang berjumlah 19.890.

Tabel 10.9. Perkembangan Jumlah Perusahaan Modal Ventura

Keterangan 2007 2008

Jumlah Perusahaan Modal Ventura 60 66

Jumlah Perusahaan Pasangan Usaha 19.890 25.942

Jumlah Pembiayaan/Investasi 4.676,2 5.039,4Sumber Data: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

Keterangan 2007 2008

Penyertaan Saham 0,20% 7,98%

Obligasi Konversi 0,01 % 0,96 %

Bagi Hasil 99,79 % 91,06 %Sumber Data: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

Tabel 10.10. Instrumen Pembiayaan Modal Ventura

10.3.2.1.3. Pembiayaan Sekunder Perumahan

Dalam rangka mendukung pembangunan perumahan di Indonesia, masalah pembiayaan merupakan salah satu faktor penting yang harus dipenuhi. Untuk itu, melalui Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan, ditetapkan suatu skim pembiayaan sekunder perumahan, sekaligus pendirian PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) merupakan lembaga yang akan menjalankan skim pembiayaan sekunder perumahan dimaksud. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, PT SMF (Persero) melakukan sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan memberikan pinjaman kepada bank dan atau lembaga keuangan penerbit KPR untuk disalurkan sebagai KPR dengan tata cara dan persyaratan yang ditentukan oleh PT SMF (Persero).

Dalam perkembangannya, skim pembiayaan perumahan yang terdapat dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 dirasakan kurang sesuai dengan kebutuhan pembiayaan perumahan dan perkembangan model pembiayaan sekunder perumahan di Indonesia. Untuk itu, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2008 tanggal 26 Januari 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2008, memberikan fleksibilitas bagi Perseroan untuk menyalurkan pinjaman selama 10 tahun dengan maksimum jangka waktu

Page 311: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

�09

www.depkeu.go.id

pinjaman 15 tahun. Pembiayaan Sekunder Perumahan dilakukan dengan cara pembelian kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan penerbitan Efek Beragun Aset (EBA) yang dapat dilakukan oleh PT SMF (Persero), SPV, atau Wali Amanat.

PT SMF (Persero) mempunyai tugas untuk membangun dan mengembangkan pasar pembiayaan sekunder perumahan melalui sekuritisasi dan penyaluran pinjaman kepada lembaga keuangan penyalur KPR. Terkait dengan sekuritisasi, PT SMF (Persero) membeli kumpulan aset keuangan dari bank dan/atau lembaga keuangan dan selanjutnya menjual kepada investor, baik melalui penawaran umum maupun penawaran terbatas. Selain itu, dalam transaksi sekuritisasi, PT SMF (Persero) dapat bertindak sebagai koordinator global.

Proses sekuritisasi telah dilakukan sejak awal 2006 yang dimulai dengan upaya menggunakan struktur sesuai Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2008, di mana Perseroan berperan sebagai pembeli dan penerbit. Dalam perkembangannya, pelaksanaan sekuritisasi dengan menggunakan skema Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2008 terkendala antara lain oleh ketentuan perpajakan. Berdasarkan arahan Bapepam-LK, sekuritisasi KPR BTN Tahap I sebesar Rp 100 miliar telah dilaksanakan dengan menggunakan struktur KIK-EBA, dimana PT SMF (Persero) bertindak sebagai koordinator global.

Selanjutnya, mengenai penyaluran pinjaman dimaksudkan untuk memperbanyak volume KPR yang disalurkan oleh bank dan/atau lembaga keuangan yang sesuai dengan standar dokumen KPR. Penyaluran pinjaman PT SMF (Persero) telah dilakukan kepada Bank BTN, Bank DKI, PT Financia Multifinance, PT Ciptadhana Multifinance, dan PT Bhakti Finance sebesar Rp 533 miliar. Penyaluran pinjaman tersebut saat ini masih menggunakan sumber dana dari ekuitas, mengingat sesuai ketentuan yang berlaku, PT SMF (Persero) baru dapat melakukan emisi obligasi pada akhir 2008.

Selain kegiatan tersebut, PT SMF (Persero) juga telah melakukan hal-hal berikut:a. Mempersiapkan penerbitan obligasi PT SMF (Persero) sebesar Rp 400 miliar;b. Melakukan sosialisasi mengenai standarisasi dokumen KPR kepada lembaga keuangan penyalur KPR;c. Melakukan pengkajian pendirian lembaga mortgage insurance;d. Melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi lembaga keuangan penyalur KPR;e. Melakukan sosialisasi Home Buyer Educational Programme.

Page 312: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�10 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

10.3.2.1.4. Pembiayaan Infrastruktur

Dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan mengganti Keppres Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. Dalam Perpres yang baru tersebut, jenis lembaga pembiayaan bertambah satu, yaitu Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur tersebut merupakan badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur. Kegiatan usaha perusahaan pembiayaan infrastruktur tersebut meliputi: pemberian pinjaman langsung untuk pembiayaan infrastruktur, refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain, dan/atau pemberian pinjaman subordinasi yang berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur. Dalam rangka mendukung kegiatan usaha tersebut, perusahaan pembiayaan infrastruktur dapat pula melakukan pemberian dukungan kredit (termasuk penjaminan untuk pembiayaan infrastruktur); pemberian jasa konsultasi, penyertaan modal, upaya mencarikan swap market yang berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur, dan/atau kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan pembiayaan infrastruktur setelah memperoleh persetujuan menteri keuangan.

10.3.2.1.5. Pembiayaan Ekspor Indonesia

Dalam rangka menunjang kebijakan Pemerintah untuk mendorong program peningkatan ekspor nasional, pada 12 Januari 2009 telah diterbitkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa program peningkatan ekspor nasional dilakukan melalui pembiayaan ekspor nasional yang diberikan dalam bentuk pembiayaan, penjaminan, dan asuransi kepada badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, termasuk perorangan. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebagai kepanjangan tangan pemerintah, diharapkan dapat membantu memberikan pembiayaan di wilayah-wilayah yang tidak dimasuki oleh bank atau lembaga keuangan komersial (fill the market gap), menyediakan pembiayaan bagi transaksi-transaksi atau proyek-proyek yang secara komersial sulit dilaksanakan oleh lembaga keuangan komersial maupun oleh LPEI sendiri, namun dianggap perlu oleh pemerintah untuk menunjang kebijakan atau program peningkatan ekspor nasional melalui National Interest Account (NIA).

Page 313: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

�11

www.depkeu.go.id

10.3.2.1.6. Lembaga Penjaminan

Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 tanggal 8 Juni 2007 (Inpres) telah ditetapkan kebijakan mengenai percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemberdayaan UMKM melalui peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan dilakukan dengan memperkuat sistem penjaminan kredit bagi UMKM antara lain melalui penataan kembali sistem penjaminan kredit bagi UMKM. Terkait dengan pengaturan penjaminan kredit, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tanggal 26 Januari 2008 tentang Lembaga Penjaminan. Penerbitan Perpres Lembaga Penjaminan dimaksudkan untuk mendorong agar kegiatan usaha Lembaga Penjaminan dapat dilakukan secara prudent, transparan, efisien, berkesinambungan, dan bermanfaat bagi masyarakat serta perekonomian nasional. Adapun pokok-pokok pengaturan yang terdapat dalam Perpres tersebut antara lain menyangkut aspek-aspek kelembagaan, kegiatan usaha, dan pembinaan serta pengawasan Lembaga Penjaminan.

Sebagai tindak lanjut dari Perpres No. 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan, Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. Dengan ditetapkannya PMK tersebut, diharapkan masyarakat, khususnya Pemerintah Daerah, dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan penjaminan kredit melalui pendirian lembaga penjamin kredit di daerah. Dengan demikian, akan semakin meningkatkan penyaluran kredit ke daerah-daerah yang memiliki potensi ekonomi yang dapat dikembangkan, khususnya bagi pemberdayaan UMKM yang feasible tetapi tidak bankable.

10.3.2.2. Industri Asuransi

10.3.2.2.1. Pertumbuhan Industri Asuransi

Perusahaan Asuransi dibagi dalam beberapa segmen bisnis, yaitu perusahaan asuransi jiwa, perusahaan asuransi kerugian, perusahaan reasuransi, perusahaan penyelenggara asuransi sosial dan jamsostek, serta perusahaan penyelenggara asuransi PNS & TNI dan Polri. Indikator yang digunakan sebagai pengukur pertumbuhan industri perasuransian adalah premi, klaim, kekayaan, dan investasi. Dalam periode 2004-2008, indikator industri perasuransian secara umum menunjukkan pertumbuhan yang cukup berarti.

Tabel 10.11. Perkembangan Total Premi, Klaim, Kekayaan, dan Investasi Perusahaan Asuransi Indonesia

(dalam milyar rupiah)

KeteranganTahun

2004 2005 2006 2007 2008

Premi Bruto 38.735,4 45.359,4 52.421,9 74.634,1 86.047,9

Klaim 19.796,5 25.588,6 30.627,3 39.005,9 53.696,6

Kekayaan 119.905,7 139.414,6 174.934,2 228.828,5 243.233,9

Investasi 100.657,9 118.807,8 152.938,6 202.227,6 211.186,6Sumber Data: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

Page 314: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�12 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

10.3.2.2.1. Struktur Pasar

Perusahaan perasuransian di Indonesia mengalami perubahan jumlah selama lima tahun terakhir, terutama pada perusahaan asuransi jiwa, perusahaan asuransi kerugian, pialang asuransi dan reasuransi, penilai kerugian, dan konsultan aktuaria.

No Uraian 2004 2005 2006 2007 2008

1 Deposito 34,18% 34,82% 32,16% 23,14% 24,65%

2 Saham 7,34% 7,15% 9,66% 15,60% 10,87%

3 Obligasi dan MTN 20,74% 12,56% 12,12% 11,94% 9,96%

4 SBN 22,18% 31,29% 27,42% 26,07% 28,84%

5 SBI 0,00% 0,00% 1,11% 0,96% 2,17%

6 Reksadana 6,25% 6,60% 9,30% 15,17% 15,60%

7 Penyertaan Langsung 5,48% 4,25% 5,28% 4,50% 4,92%

8 Bangunan, Tanah dng Bangunan 1,95% 1,64% 1,66% 0,62% 1,30%

9 Pinjaman Hipotik 0,24% 0,30% 0,18% 0,85% 0,09%

10 Pinjaman Polis 0,82% 0,88% 0,77% 0,68% 1,21%

11 Pembiayaan Murabahah 0,02% 0,01% 0,01% 0,00% 0,01%

12 Pembiayaan Mudharabah 0,01% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%

13 Investasi Lain 0,79% 0,49% 0,33% 0,47% 0,41%

Sumber Data: Bapepam-LK – Departemen Keuangan

Perolehan premi tumbuh sebesar rata-rata 22,58% per tahun, dari Rp38.735,4 milyar pada 2004 menjadi Rp 86.047,9 milyar pada 2008. Porsi terbesar atas pertumbuhan tersebut merupakan kontribusi oleh perusahaan asuransi jiwa dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 29,99% per tahun dari Rp18.302,2 milyar pada 2004 menjadi Rp 49.698,3 milyar pada 2008.

Sedangkan pertumbuhan klaim rata-rata per tahun sebesar rata-rata 28,49% dari Rp 19.796,5 milyar pada 2004 menjadi Rp 53.696,6 milyar pada 2008. Kontributor terbesar dari pertumbuhan klaim juga dipegang oleh perusahaan asuransi jiwa dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 37,60% per tahun dari Rp 8.743,9 milyar pada 2004 menjadi Rp 30.925,6 milyar pada 2008.

Pertumbuhan kekayaan yang dikelola perusahaan asuransi dan reasuransi rata-rata sebesar 19,71% per tahun, dari Rp 119.905,7 milyar pada 2004 menjadi sebesar Rp 243.233,9 milyar pada 2008. Sedangkan kekayaan dalam bentuk investasi tumbuh rata-rata sebesar 20,85% per tahun, dari Rp 100.657,9 milyar pada 2004 menjadi Rp 211.186,6 milyar pada 2008.

Selama lima tahun terakhir, terdapat perubahan penempatan investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi dan reasuransi. Pada 2004, penempatan investasi banyak terdapat pada deposito yang sebesar 34,18%, diikuti dengan Surat Berharga Negara sebesar 22,18%, dan obligasi korporat sebesar 20,74%. Namun, pada akhir 2008, penempatan investasi paling banyak dilakukan di Surat Berharga Negara sebesar 28,84%, diikuti oleh deposito sebesar 24,65%, dan reksadana sebesar 15,60%. Perubahan ini antara lain disebabkan oleh semakin meningkatnya pertumbuhan pasar modal. Investasi jangka panjang biasanya dilakukan oleh perusahaan asuransi jiwa yang juga menanggung kewajiban jangka panjang. Investasi di saham mengalami penurunan di tahun 2008 karena dampak dari krisis global yang menghantam pasar modal dan sektor keuangan lainnya.

Tabel 10.12. Jenis investasi yang ditempatkan oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

Page 315: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

�1�

www.depkeu.go.id

Selama periode 2004-2008, perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi kerugian mengalami penurunan jumlah dikarenakan adanya pencabutan ijin atas 12 (dua belas) perusahaan asuransi jiwa dan 11 (sebelas) perusahaan asuransi kerugian. Perusahaan penilai kerugian juga mengalami penurunan jumlah karena ada 6 (enam) perusahaan yang dicabut ijinnya, sedangkan yang mendapatkan ijin baru hanya satu perusahaan.

Sebaliknya, perusahaan pialang asuransi dan reasuransi, konsultan aktuaria, dan agen asuransi mengalami kenaikan. Perusahaan pialang asuransi dan reasuransi yang mendapat ijin baru sejumlah 30 (tiga puluh) perusahaan dan 15 (lima belas) perusahaan dicabut ijinnya. Perusahaan konsultan aktuaria yang mendapatkan ijin baru sejumlah 10 (sepuluh) perusahaan, sedangkan yang dicabut ijinnya sejumlah 4 (empat) perusahaan. Sementara itu, perusahaan agen asuransi yang mendapatkan ijin baru sebanyak 3 (tiga) perusahaan.

Perusahaan reasuransi, perusahaan penyelenggara asuransi sosial dan jamsostek, dan perusahaan penyelenggara asuransi PNS, TNI, serta POLRI tidak mengalami perubahan jumlah selama 2004-2008.

Grafik 10.5. Pertumbuhan Jumlah Perusahaan Perasuransian Indonesia

Tabel 10.13. Pertumbuhan Jumlah Perusahaan Perasuransian Indonesia

Perusahaan Asuransi Asuransi KerugianAsuransi jiwa

180

160

140

120

100

80

60

40

20

02004 2005 2006 2007 2008

Sumber: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

167

101

157

57

2 3 4

51

97

2 3 4

149

46

94

2 3 4

144

46

93

2 3 4

140

45

90

2 3 4

Sosial Jamsostek Perusahaan ReasuransiAsuransi PNS dan POLRI

JumlahTahun

2004 2005 2006 2007 2008Perusahaan Asuransi 167 157 149 144 140

Asuransi Jiwa 57 51 46 46 45Asuransi Kerugian 101 97 94 93 90Sosial Jamsostek 2 2 2 2 2Asuransi Pns & Polri 3 3 3 3 3

Perusahaan Reasuransi 4 4 4 4 4Perusahaan Penunjang 205 219 236 234 226

Pialang 147 160 168 145 162Penilai Kerugian 30 30 26 23 27Konsultan Aktuaria 23 24 30 26 29Agen Asuransi 0 0 0 6 8

Total 367 371 373 378 370 Sumber Data: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

Page 316: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�1� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Tahun Jumlah Perusahaan Jumlah Peserta Jumlah Yang Lulus Jumlah Yang Tidak Lulus

2004 1 3 3 0

2005 12 74 73 1

2006 33 176 169 7

2007 82 369 332 37

2008 106 452 417 45

Sumber Data: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

10.3.2.2.2. Pengawasan Industri Asuransi

Pengawasan industri perasuransian dilakukan dari beberapa aspek, antara lain ketepatan waktu penyampaian laporan, analisis keuangan dan operasional perusahaan, penilaian kepatutan dan kemampuan direksi dan komisaris perusahaan, serta pemeriksaan ke perusahaan. Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi wajib menyampaikan laporan secara periodik ke Bapepam-LK, baik laporan triwulanan maupun tahunan, termasuk laporan dari auditor independen. Sementara itu, perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi wajib menyampaikan laporan semester dan tahunan, termasuk laporan dari auditor independen.

Untuk menentukan kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, Bapepam-LK menggunakan analisis berdasarkan Risk Based Capital (RBC) di mana perusahaan harus memenuhi RBC minimum 120%. Kalau RBC antara 100% dan kurang dari 120%, perusahaan diwajibkan menyampaikan rencana penyehatan keuangan perusahaan. Sementara, kalau RBC kurang dari 100% akan dikenai sanksi peringatan dan perusahaan diwajibkan menyampaikan rencana penyehatan keuangan perusahaan.

Di samping itu, untuk meningkatkan pemantauan kesehatan keuangan perusahaan, sejak 2008 Bapepam-LK mulai menerapkan early warning system dalam analisis laporan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sejalan dengan metode analisis yang lain yang telah dijalankan. Pada 2009, sistem ini masih terus disempurnakan. Dengan EWS diharapkan Bapepam-LK dapat mendeteksi risiko-risiko finansial yang dihadapi oleh perusahaan asuransi dan reasuransi.

Bapepam-LK juga mengadakan pemeriksaan terhadap perusahaan perasuransian, baik yang bersifat rutin maupun insidental. Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan dan apabila ditemukan pelanggaran akan diikuti dengan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kemudian, mulai 2004 Bapepam-LK (pada 2004 masih DJLK) mulai menerapkan penilaian kepatutan dan kemampuan direksi dan komisaris perusahaan perasuransian. Jumlah perusahaan maupun peserta semakin meningkat dalam 5 tahun terakhir.

Tabel 10.14. Penilaian Kepatutan dan Kemampuan Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian

Page 317: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

�1�

www.depkeu.go.id

10.3.2.2.3. Pelayanan terhadap Industri Asuransi

Untuk meningkatkan perlindungan terhadap pemegang polis, telah dibentuk Biro Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) atas kesepakatan antara perusahaan asuransi pada 22 Oktober 2006. Pembentukan lembaga ini dilatarbelakangi ketentuan pada Pasal 2 ayat 5 UU nomor 37 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang yang menyebutkan bahwa hanya Menteri Keuangan yang boleh mengajukan pailit terhadap perusahaan asuransi. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi pemegang polis yang mengalami kesulitan pembayaran klaim dari perusahaan asuransi. Atas amanat dari Mahkamah Konstitusi, perlu dibentuk suatu biro mediasi yang melindungi hak pemegang polis. BMAI terdiri dari dewan pengawas yang mempunyai kewenangan untuk menunjuk 2 (dua) mediator yang merupakan orang perseorangan praktisi yang tidak mempunyai kepentingan di antara perusahaan asuransi. Sejak berdirinya lembaga ini, terdapat penurunan pengaduan yang diterima oleh Bapepam-LK karena telah ditangani oleh BMAI.

Tabel 10.15. Kasus-kasus yang Masuk sejak Berdirinya BMAI

10.3.2.3. Industri Dana Pensiun

Tahun 2004, jumlah dana pensiun yang terdaftar adalah sebanyak 321, terdiri dari 294 Dana Pensiun Pemberi Kerja dan 27 Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Sampai dengan Triwulan I 2009, jumlah dana pensiun yang masih terdaftar sebanyak 281, terdiri dari 255 Dana Pensiun Pemberi Kerja dan 26 Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Penurunan jumlah Dana Pensiun hingga 12,5% selama kurun waktu tersebut lebih disebabkan oleh berkurangnya jumlah perusahaan atau pemberi kerja yang bersedia mengelola dan menyelenggarakan program pensiun bagi karyawannya secara sendiri. Meski demikian, pengurangan jumlah Dana Pensiun Pemberi Kerja tersebut tidak berarti pemberi kerja tidak menyediakan program pensiun bagi karyawannya. Banyak dari Dana Pensiun Pemberi Kerja yang bubar tersebut, program pensiunnya dialihkan ke Dana Pensiun Lembaga Keuangan.

Keterangan Asuransi Umum Asuransi Jiwa Asuransi Sosial Total

Diterima Tahun 2006 10 24 0 34

Diterima Tahun 2007 19 62 2 83

Diterima Tahun 2008 16 28 0 44

Jumlah Kasus 45 114 2 161

Di luar jurisdiksi BMAI 1 67 0 68

Tahun 2006 1 16 0 17

Tahun 2007 0 41 0 41

Tahun 2008 0 10 0 10 Sumber Data: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

Page 318: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�1� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPKL)

350

300

250

200

150

100

50

02004 2005 2006 2007 2008

Sumber: Bapepam-LK, Departemen Keuangan

27294

26286 272

25

26226

255

26

Tabel 10.16. Perkembangan Dana Pensiun Periode 2004 – 2008

Grafik 10.6. Perkembangan Jumlah Dana Pensiun Periode 2004-2008

RincianTahun

2004 2005 2006 2007 2008

Jumlah Dana Pensiun 321 312 297 288 281- Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) 294 286 272 262 255DPPK – Program Pensiun Manfaat Pasti 262 250 235 226 216DPPK – Program Pensiun Iuran Pasti 32 36 37 36 39- Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) 27 26 25 26 26Aset (dlm trilyun Rp) 57,8 64 77 91,2 90,2*)Kenaikan (penurunan) dari tahun sebelumnya 16,50% 10,73% 20,31% 18,44% -1,10%Gross Domestic Product (current price) 2261,73 2729,71 3338,2 3957,4 NAAset terhadap Gross Domestic Product 2,56% 2,32% 2,32% 2,30% NAInvestasi (dlm trilyun Rp) 55,4 60 75 87,9 86,4*)Kenaikan (penurunan) dari tahun sebelumnya

16,84% 8,30% 25,00% 17,20% -1,71%

Portofolio Investasi- Deposito (berjangka, on call, sert. dep.) 32,48% 27,13% 27,13% 23,3% 22,1%*)- Obligasi 21,81% 25,66% 25,66% 26,3% 26,55%*)- Surat Berharga Pemerintah 21,23% 26,49% 26,49% 21,2% 28,07%*)- Saham 5,90% 6,88% 6,88% 16% 9,84%*)- Reksadana dan Unit Penyertaan Kolektif 5,10% 2,69% 3,2% 5,6% 3,9%*)- Tanah dan Bangunan 4,86% 4,58% 3,8% 3,4% 3,71%*)*) Berdasarkan Laporan Keuangan Semester II 2008 unauditSumber Data: Bapepam-LK – Departemen Keuangan

Page 319: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

�1�

www.depkeu.go.id

Tahun 2004, jumlah Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti sebanyak 262 dan yang menyelenggarakan program pensiun iuran pasti sebanyak 32. Sampai akhir Triwulan I 2009, jumlah Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti telah berkurang menjadi 216 dan yang menyelenggarakan program pensiun iuran pasti bertambah menjadi 39. Berkurangnya jumlah Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti di Indonesia agaknya juga terjadi di beberapa negara di dunia. Gejolak perekonomian serta beratnya tanggung jawab pemberi kerja atau perusahaan dalam menanggung biaya penyelenggaraan program pensiun manfaat pasti telah membuat sebagian pemberi kerja atau perusahaan mengalihkan program pensiunnya ke program pensiun iuran pasti, baik melalui Dana Pensiun Pemberi Kerja maupun ke Dana Pensiun Lembaga Keuangan.

Bila dilihat dari jumlah Dana Pensiun Pemberi Kerja tahun 2008, sebanyak 32,10% Dana Pensiun didirikan oleh perusahaan atau pemberi kerja yang usaha kegiatannya bergerak di bidang pengolahan dan manufaktur; sebanyak 29,63% bergerak di bidang keuangan, persewaan, dan jasa; sebanyak 13,99% bergerak di bidang sosial kemasyarakatan (pendidikan, rumah sakit).

Grafik 10.7. Komposisi Jenis Kegiatan Usaha Pendiri Dana Pensiun Pemberi Kerja Tahun 2008

Sumber: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

Pertambahan dan penggalian 5.35%

Perdagangan, hoteldan restoran 4.52%

Pengolahan/manufaktur 32.10%

Pengangkutan dan Komunikasi 8.23%

Listrik, gas dan air bersih 1.23%

Konstruksi4.94%

Keuangan, persewaan, dan jasa 29.63%

Sosial kemasyarakatan(pendidikan, rumah sakit) 13.99%

Sementara itu, dilihat dari nilai aktiva bersih (kekayaan) dana pensiun pada 2004 yang besarnya mencapai Rp 57,8 trilyun, proporsi kekayaan Dana Pensiun tersebut terhadap Gross Domestic Product (GDP) /PDB Indonesia 2004 hanya sebesar 2,56%. Selama periode berikutnya sampai dengan akhir 2007, proporsi tersebut tidak mengalami perubahan yang signifikan, meski pertumbuhan kekayaan dana pensiun selama periode tersebut bergerak secara positif.

Selama periode 2004 sampai 2008, pertumbuhan kekayaan dana pensiun mencapai angka pertumbuhan tertinggi pada 2006, yaitu sebesar 20,13% dengan nilai kekayaan sebesar Rp 77 triliun. Pertumbuhan kekayaan pada tahun tersebut juga diikuti oleh pertumbuhan nilai investasi dana pensiun sebesar 25% dengan nilai investasi sebesar Rp 75 triliun.

Terjadinya krisis global yang dimulai oleh Amerika Serikat di penghujung 2008 telah menyebabkan banyak pengaruhnya terhadap industri keuangan dunia, termasuk industri dana pensiun di Indonesia. Pada akhir 2008, berdasarkan Laporan Keuangan Dana Pensiun Semester II 2008 unaudit, nilai kekayaan dana pensiun menurun sebesar 1,1% dari tahun sebelumnya dan nilai investasi dana pensiun menurun sebesar 1,7% dari tahun sebelumnya. Penurunan nilai saham di bursa diindikasikan menjadi penyebab utama dari menurunnya nilai investasi maupun nilai kekayaan dana pensiun tersebut.

Page 320: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�1� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Bila dilihat dari portofolio investasi dana pensiun selama kurun waktu 2004–2008, terlihat adanya pola berinvestasi yang telah berubah pada industri dana pensiun. Pada 2004 hingga 2006, investasi dana pensiun pada deposito berjangka masih menjadi pilihan utama. Sebagai investasi yang bersifat jangka pendek, deposito berjangka bukanlah jenis investasi yang cukup memadai untuk menghasilkan return yang maksimal. Pada akhir 2008, penempatan investasi dalam bentuk deposito berjangka tersebut menjadi pilihan ketiga setelah surat berharga pemerintah dan obligasi. Perubahan pola berinvestasi tersebut sepertinya telah sejalan dengan karateristik dana pensiun yang merupakan dana investasi bersifat jangka panjang.

Di bidang pengawasan dana pensiun, mulai pertengahan 2008, Biro Dana Pensiun mulai menerapkan sistem pengawasan Dana Pensiun berbasis risiko. Sistem ini mengadopsi sistem pengawasan dana pensiun (superannuation) yang dilakukan oleh The Australian Prudential Regulation Authority (APRA).

10.3.3. Penegakan Hukum dan Penetapan Sanksi

Peningkatan kepastian hukum memberikan kontribusi yang penting dalam tekad dan upaya untuk membangun sekaligus meningkatkan kepercayaan pemodal terhadap industri pasar modal nasional. Dalam mencapai sasaran tersebut, Bapepam-LK bekerja sama dengan pihak-pihak lain, dalam hal ini antara lain bekerja sama dengan Bareskrim, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK), serta membentuk Komite Pengenaan Sanksi dan Keberatan (KPSK), satuan tugas waspada investasi dan peningkatan kapasitas pegawai Bapepam-LK sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

10.3.3.1. Memorandum of Understanding (MoU)

Bapepam-LK telah menandatangani MoU dengan beberapa organisasi antara lain:a. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 19 Desember 2006;b. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 20 Oktober 2003 Bapepam-LK telah mengirimkan beberapa pegawai untuk mengikuti berbagai macam training/workshop/seminar yang dilaksanakan oleh PPATK maupun yang diselenggarakan oleh Bapepam-LK bekerja sama dengan PPATK;c. Komisi Pengawas Persaingan Usaha sejak 1 April 2003; d. Kejaksaan Republik Indonesia sejak 27 Mei 1997;e. Kepolisian Negara Republik Indonesia sejak 19 Februari 1998.

10.3.3.2. Komite Pengenaan Sanksi dan Keberatan (KPSK)

Berdasarkan Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor: Kep-03/BL/2007 tanggal 17 Januari 2007 telah dibentuk Komite Penetapan Sanksi dan Keberatan (KPSK) yang terdiri dari para Kepala Biro di lingkungan Bapepam-LK. Adapun tujuan pembentukan KPSK adalah untuk memberikan rekomendasi sanksi administratif yang bersifat final atas pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan memberikan rekomendasi keputusan yang bersifat final atas keberatan yang diajukan pihak yang dikenakan sanksi oleh Bapepam-LK, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Sejak dibentuknya KPSK, jumlah kasus yang telah direkomendasikan sebanyak 70.

10.3.3.3. Satuan Tugas Waspada Investasi

Satgas waspada investasi dibentuk dengan tujuan menciptakan upaya pencegahan dan penanganan dugaan tindakan melawan hukum di bidang penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi secara efektif. Salah satu tugasnya yaitu melakukan pemeriksaan secara bersama terkait dengan dugaan pelanggaran yang terjadi di masyarakat dan tindak lanjut untuk menghentikan tindakan tersebut.

Page 321: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

�19

www.depkeu.go.id

Tahun Jumlah KasusProses Pemeriksaan Selesai Masih dalam

Proses PemeriksaanDikenakan Sanksi Administratif Penyidikan

2004 44 16 Sanksi, 6 ditutup 8 142005 36 11 Sanksi, 3 kasus ditutup/SP3 2 202006 16 2 Sanksi, 1 kasus ditutup/SP3 1 122007 39 17 Sanksi, 3 kasus ditutup/SP3 1 182008 67 20 Sanksi, 5 kasus ditutup/SP3 15 27

Sumber Data: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

Sampai saat ini, Satgas ini berada dalam tahap penyusunan rencana program sosialisasi secara terintegrasi dalam industri keuangan khususnya terkait dengan penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi.

10.3.3.4. Penegakan Hukum Pasar Modal

Pada 2004 hingga 2006, jumlah kasus mengalami penurunan, namun mengalami kenaikan mulai 2007 hingga 2008 mencapai 67 (enam puluh tujuh) kasus. Dari 67 (enam puluh tujuh) kasus tersebut, 20 (dua puluh) kasus telah dikenakan sanksi administratif, 5 (lima) kasus telah ditutup, dan 42 (empat puluh dua) kasus di antaranya sedang dalam proses pemeriksaan dan penyidikan.

Tabel 10.17. Penyelesaian terhadap Kasus-Kasus Tindak Pidana Pasar Modal 2004 s.d. 2008

10.3.3.6. Pengenaan Sanksi Pelaku Pasar Modal

Bapepam dan LK dapat menetapkan sanksi administratif berupa denda atau pembekuan kegiatan usaha kepada Emiten, perusahaan efek, wakil perusahaan efek, manajer investasi, lembaga keuangan dan profesi, serta lembaga penunjang pasar modal atas pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

10.3.3.5. Penegakan Hukum Perusahaan Perasuransian

Sebagai pelaksanaan penegakan hukum terhadap perusahaan perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan regulasi yang berlaku, Bapepam-LK telah melakukan pencabutan ijin terhadap beberapa perusahaan perasuransian selama lima tahun terakhir sebagaimana disajikan pada tabel 10.18.

Tabel 10.18. Pencabutan ijin Perusahaan Perasuransian

Tahun

Jenis Perusahaan Yang Dicabut Ijinnya

Asuransi Jiwa

Asuransi Kerugian

Pialang Asuransi/

ReasuransiKonsultan Aktuaria

Penilai Kerugian

2004 3 4 7 1 0

2005 6 4 2 0 0

2006 0 0 2 1 0

2007 5 3 4 3 6

2008 1 2 7 0 0

Total 15 13 22 5 6Sumber Data: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

Page 322: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�20 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Tahun

Sumber: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

600

500

400

300

200

100

02004 2005 2006 2007 2008

Tabel 10.19. Total Pengenaan Sanksi Pasar Modal Periode 2004 – 2008

Grafik 10.9. Total Pengenaan Sanksi Pasar Modal Periode 2004 – 2008

Pihak Jumlah Pengenaan Sanksi

2004 451

2005 267

2006 188

2007 336

2008 486Sumber Data: Bapepam-LK – Departemen Keuangan

10.3.3.7. Pengenaan Sanksi Perusahaan Perasuransian

Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang tidak menyampaikan laporan keuangan maupun operasional tahunan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan denda administratif sebesar Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan. Selama lima tahun terakhir, terdapat beberapa perusahaan asuransi dan reasuransi yang dikenai denda karena terlambat ataupun belum menyampaikan laporan tahunan.

Selama lima tahun terakhir, terdapat 92 (sembilan puluh dua) perusahaan asuransi dan reasuransi yang telah dikenai sanksi denda dengan total denda sebesar Rp 3.533 juta.

Page 323: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

�21

www.depkeu.go.id

Tahun Jumlah Perusahaan yang Terkena Sanksi Denda

Jumlah Denda(dalam juta)

2004 29 1.301

2005 20 1.067

2006 13 517

2007 12 230

2008 18 418

Total 92 3.533

Sumber Data: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

Tabel 10.19. Pengenaan Sanksi Perusahaan Perasuransian

Lebih lanjut, ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 telah merevisi ketentuan yang diatur pada PP nomor 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, di mana mulai 2009 (penyampaian laporan tahunan 2008), perusahaan asuransi dan reasuransi yang tidak menyampaikan laporan tahunan baik, laporan keuangan, laporan operasional, maupun laporan auditor independen, akan dikenai denda sebesar Rp 1.000.000 per hari untuk setiap jenis laporan sampai denda maksimum mencapai Rp 360 juta untuk setiap laporan. Sedangkan untuk perusahaan pialang asuransi dan reasuransi sebesar Rp 500.000 per hari untuk setiap jenis laporan sampai denda maksimum mencapai Rp 180 juta untuk setiap laporan. Diharapkan, dengan ketentuan baru ini keterlambatan penyampaian laporan mulai 2009 dapat diminimalisir.

10.3.4. Penyempurnaan Regulasi

Dalam rangka menciptakan pasar modal yang teratur, wajar, dan efisien, serta Lembaga Keuangan yang kredibel, Bapepam-LK berupaya bersikap responsif terhadap kebutuhan dan perkembangan pasar dengan menerbitkan peraturan baru maupun penyempurnaan peraturan yang telah ada.

Khusus dalam rangka penyusunan rancangan undang-undang dan amandemen terhadap UU, selama periode 2004-2009 Bapepam dan LK telah menerbitkan hal-hal sebagai berikut: a. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS);b. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia pada tanggal 12 Januari 2009;c. Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (RUUPM), RUU perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan RUU Perubahan atas UU NO. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;d. Rancangan Undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, pada saat ini sudah terbentuk Panitia Antar Departemen. Berdasarkan Surat Menteri Keuangan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor S-137/MK.010/2009 tanggal 5 Maret 2009 disebutkan bahwa rancangan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan diusulkan untuk masuk dalam prolegnas pada tahun 2009;e. Rancangan Undang-undang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK);f. Rancangan Undang-Undang tentang Usaha Jasa Gadai.

Draft RUU tentang Usaha Jasa Gadai masih dalam proses pembahasan di Panitia Antar Departemen Penyusunan RUU tentang Usaha Jasa Gadai dan akan dimasukkan dalam daftar Prolegnas Tahun 2010-2014.

Page 324: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�22 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Peraturan perundangan terkait lainnya tentang pengembangan industri pasar modal dan lembaga keuangan non-bank yang disempurnakan, antara lain:a. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tanggal 19 Mei 2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. b. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tanggal 31 Desember 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.c. Untuk mengantisipasi kondisi di mana Surat Utang Negara, Surat Berharga lain yang diterbitkan oleh Negara atau Efek lain menunjukkan nilai pasar yang tidak wajar, Bapepam-LK mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2008 tanggal 28 Oktober 2008 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Dalam peraturan tersebut, apabila nilai pasar dari surat utang, surat berharga lain yang diterbitkan oleh Negara atau Efek lain menunjukkan nilai yang tidak wajar, perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dapat melakukan penilaian surat hutang, surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara atau efek lain tersebut dengan menggunakan nilai lain yang dianggap wajar. Peraturan Menteri Keuangan tersebut diimplementasikan dalam Keputusan Ketua Bapepam LK Nomor 440/BL/2008 tentang Penilaian Surat Utang atau Surat Berharga Lain yang Diterbitkan oleh Negara dan Obligasi dan Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor Per-09/BL/2008 tentang Perubahan atas Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep 390/LK/2005 tentang Pedoman Perhitungan Tingkat Kesehatan Keuangan serta Bentuk dan Susunan Laporan dan Pengumuman Laporan Keuangan bagi Perusahaan Asuransi Non–PT.d. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan.e. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan.f. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2008 tanggal 5 Desember 2008 tentang Investasi Dana Pensiun.g. Peraturan Menteri Keuangan No.222/PMK.10/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit Dengan ditetapkan PMK ini, masyarakat khususnya Pemda, dapat mendirikan Lembaga Penjaminan Kredit.h. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 166/PMK.010/2008 tentang Pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan.i. Peraturan Nomor IX.J.1 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-179/BL/2008 tanggal 14 Mei 2008 tentang Pokok-pokok Anggaran Dasar Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas dan Perusahaan Publik.j. Peraturan Nomor IX.K.1 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-493/BL/2008 tanggal 25 Nopember 2008 tentang Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities).k. Peraturan Nomor X.E.1 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-460/BL/2008 tanggal 10 Nopember 2008 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Berkala oleh Perusahaan Efek.l. Peraturan Nomor X.H.1 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-317/BL/2008 tanggal 6 Agustus 2008 tentang Laporan Biro Administrasi Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri.m. Peraturan Nomor XI.B.3 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-401/BL/2008 tanggal 9 Oktober 2008 tentang Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Emiten atau Perusahaan Publik Dalam Kondisi Pasar Yang Tidak Kondusif.

Page 325: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

�2�

www.depkeu.go.id

10.3.5. Kerjasama Kelembagaan Internasional

Keanggotaan Bapepam-LK dalam IOSCO (International Organization of Securities Commissions) sudah dimulai sejak 1984 sebagai ordinary member. Selaku regulator pasar modal Indonesia menjadi kewajiban Bapepam-LK, Departemen Keuangan diminta untuk menghadiri pertemuan tahunan IOSCO. Kerjasama dengan regulator di bidang pasar modal dan lembaga keuangan yang sangat intents dilakukan sampai saat ini adalah dengan Australian Securities and Investment Commission (ASIC) dan Australian Prudential Regulation Authority (APRA). Bentuk kerjasama tersebut antara lain seperti: a. Bidang kepatuhan di industri reksa dana, edukasi investasi, market surveillance dan enforcement dengan ASIC;b. Keikutsertaan wakil Bapepam-LK ke ASIC Summer School & Secondment dalam lingkup bidang: Market Surveillance, IDX Relations, dan Investor Education; c. Mengikuti kegiatan Internship ke APRA, Sydney dalam rangka capacity building di bidang Risk Based Supervision;d. Secondment Bapepam-LK ke APRA dalam rangka kerjasama dalam bidang pengawasan industri dana pensiun berbasis risiko dan manajemen data dan informasi;e. Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG) Facility, Bapepam-LK dengan TAMF melakukan kerjasama, khususnya dalam mendukung pengembangan institusi Bapepam-LK yang meliputi bidang pengembangan SDM dan koordinasi dengan institusi/negara donor.

Selanjutnya, Bapepam-LK selaku regulator industri perasuransian cukup aktif berpartisipasi dalam beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga internasional yang mewadahi para regulator perasuransian seluruh dunia, yaitu International Association of Insurance Supervisors (IAIS). Namun, sampai saat ini Bapepam-LK belum menjadi anggota tetap IAIS dan saat ini sedang dalam proses mengajukan diri sebagai anggota.

10.4. Peluang dan Tantangan dalam Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

Internasionalisasi pasar modal, pemanfaatan teknologi informasi yang makin canggih, dan penerapan good governance yang semakin baik telah memberikan kontribusi positif terhadap penciptaan pasar modal dan LKNB yang lebih kompetitif dan efisien. Melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan international best practices di bidang pasar modal dan LKNB menjadi agenda yang senantiasa berkelanjutan bagi regulator, dalam hal ini Bapepam-LK, Departemen Keuangan. Penerapan good corporate governance sebagaimana telah dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, European Community, Jepang, dan Singapore tidak selalu menjamin akan terlepas dari gejolak krisis global akibat pelanggaran atau kejahatan di pasar modal dan atau LKNB.

Krisis keuangan global telah mengubah tatanan perekonomian dunia. Amerika Serikat sebagai episentrum krisis yang terjadi di pertengahan 2007 merupakan negara yang begitu advanced di bidang governance untuk pasar modal dan LKNB. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana halnya dengan negara berkembang yang level perkembangan sektor pasar modal dan LKNB-nya jauh di bawah Amerika Serikat. Akankah dampak krisis keuangan global menjadi tantangan tersendiri dalam menetapkan kebijakan pengaturan, pengawasan dan penegakan hukum di bidang pasar modal dan LKNB.

Imbas krisis keuangan global juga sangat terasa di Indonesia, khususnya terhadap industri jasa keuangan dan sektor riil. Pergerakan IHSG yang turun drastis dalam tahun 2008 menunjukkan pengaruh signifikan akibat krisis keuangan global. Tentunya tantangan berat menghadang ke depan dalam rangka menciptakan pasar modal yang teratur, wajar, dan efisien serta menyediakan alternatif pembiayaan yang sound dan prudent bagi investor dan stakeholders lainnya.

Page 326: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�2� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Beberapa hal yang menjadi tantangan ke depan bagi perkembangan pasar modal dan LKNB antara lain:a. Independensi lembaga pengawas pasar modal dan LKNB;b. Harmonisasi peraturan perundang-undangan dan penerapannya dengan standar internasional;c. Pengembangan infrastruktur sistem perdagangan dan teknologi informasi, sistem informasi manajemen, instrumen pasar modal, serta peningkatan jumlah investor domestik;d. Pengelolaan basis data, registrasi, dan penyajian data/informasi yang masih dapat ditingkatkan, demikian pula pengelolaan software dan hardware dengan menyajikan program/aplikasi yang harus terus-menerus disesuaikan dengan kebutuhan user, baik dari segi rancangan maupun data yang tersedia; e. Pengembangan produk syariah di pasar modal dan LKNB;f. Pengembangan asuransi dan Dana Pensiun wajib (compulsory insurance and pension plan);g. Penerbitan Obligasi Pemerintah Daerah.

10.5. Ringkasan

Kebijakan yang menjadi fokus kegiatan dalam periode 2004 – 2009 adalah melakukan diversifikasi sumber-sumber pendanaan pembangunan jangka panjang dan perlindungan terhadap investor pasar modal dengan strategi meningkatkan pengawasan dan kepastian hukum di bidang pasar modal, meningkatkan infrastruktur teknologi informasi dalam rangka pengembangan pasar, dan meningkatkan peran dan kualitas para pelaku sektor jasa keuangan serta pengembangan produk-produk pasar modal dan lembaga keuangan, termasuk produk yang berbasis syariah.

Berdasarkan hasil evaluasi atas program-program strategis terkait kebijakan pengawasan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan non-bank sampai dengan akhir Mei 2009, hampir semua kegiatan yang direncanakan dapat dilaksanakan. Sekitar 64% dari 77 kegiatan strategis dalam RENSTRA Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dapat diselesaikan, 34% masih dalam proses penyelesaian, dan 2% (2 kegiatan) tidak dapat dilaksanakan. Tidak dapat diselesaikannya 2 kegiatan dimaksud karena adanya uncontrollable factor yang sangat tergantung dari persiapan Bursa efek Indonesia, KSEI, dan KPEI dalam menyusun standarisasi kurikulum pasar modal dan kurikulum pendidikan profesional lanjutan (PPL) untuk wakil perusahaan efek.

10.6. Kendala yang Dihadapi

a. Upaya Penyusunan/Penyempurnaan Peraturan Perundang-undangan tidak sesuai dengan waktu yang diharapkan. Beberapa perubahan perundang-undangan yang perlu diharmonisasikan masih tetap berupa draft Rancangan Undang-Undang (RUU). Hal ini sangat terkait dengan jadwal pembahasan di parlemen yang tidak dapat dikontrol dan perlunya peningkatan kemampuan legal drafting.b. Belum optimalnya pemanfaatan teknologi informasi dan data base pendukung dalam melakukan pengawasan perdagangan efek dan pemeriksaan dugaan transaksi tidak wajar di pasar modal. c. Kompleksitas industri pasar modal dan lembaga keuangan non-bank yang semakin meningkat sementara resources pengawasan dari regulator yang terbatas.

Page 327: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 10 Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank

�2�

www.depkeu.go.id

10.7. Pending Matters

Beberapa kegiatan strategis yang masih perlu dilanjutkan antara lain:a. Harmonisasi peraturan pasar modal dan lembaga keuangan non-bank dengan standar internasional atau accepted best practices; b. Amandemen terhadap Undang-Undang, yaitu UU Pasar Modal, UU Usaha Perasuransian, dan UU Dana Pensiun serta PP mengenai pembentukan Lembaga Penjamin Pemegang Polis;c. Melaksanakan pengembangan obligasi pemerintah daerah dalam rangka peningkatan jumlah emiten;d. Mengembangkan produk-produk berbasis investasi kolektif dan efek derivative yang berbasis ekuitas lainnya sebagai contoh Exchange Traded Fund (ETF), Kontrak Investasi Kolektif–Efek Beragun Asset (KIK – EBA), (Real Estate Investment Trusts (REITs);e. Menyusun pola pemberdayaan pelaku pasar (profesi ahli syariah pasar modal) dalam rangka pengembangan pasar modal berbasis syariah; f. Menerapkan kerangka hukum pelaksanaan Penyediaan Sistem Perdagangan Alternatif atas Efek (PSPA);g. Menyempurnakan formula Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) yang sesuai dengan pendekatan pengawasan berbasis risiko.

Page 328: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Meningkatkan Kinerja dan kualitas pelayanan

Menjalankan fungsi pengawasan pelaksanaan tugas internal departemen, Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan berupaya meningkatkan kinerja dan mutu pelayanan kepada masyarakat.

Page 329: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 11 Pengawasan dan Pengendalian Internal �2�

www.depkeu.go.id

Suatu ketika kalangan internal Departemen Keuangan pernah terkaget-kaget setelah melihat perubahan perilaku para auditor di Inspektorat Jenderal. Mereka mulai menolak ajakan makan siang atau malam, jemputan, atau penginapan yang berlebihan. Bahkan dalam beberapa kejadian, kelompok-kelompok auditor mengembalikan atau menyetor uang “sangu” ke kas negara. Para auditor tersebut terus berkomunikasi dengan para Inspektur. Para Inspektur dengan tegas menyatakan: ”lakukan terus perubahan, lanjutkan reformasi dengan lebih tegas, tanpa pamrih”. Itulah salah satu contoh keberhasilan reformasi birokrasi yang disampaikan oleh pejabat yang memimpin Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan pada periode sebelumnya.

Menurut pejabat yang sekarang memimpin Inspktorat Jenderal Departemen Keuangan, memang reformasi terutama bertujuan mengubah perilaku kerja. Reformasi adalah perubahan terhadap pelaksanaan kerja, pelayanan, dan delivery. Pejabat Inspektorat Jenderal mengakui bahwa dalam hal ini Inspektorat Jenderal relatif terlambat. kecuali perubahan yang ada dengan pembentukan Bidang Investigasi yang sebetulnya telah dimulai sebelum Reformasi Birokrasi, yakni pada tahun 2004. Reformasi dalam pelaksanaan tugas dan delivery belum terjadi sampai pertengahan tahun lalu. Pola kerja dan tata cara mengkomunikasikan hasil pemeriksaan dan tipologi dari dukungan yang diberikan kepada departemen itu relatif tidak mengalami perubahan sampai tahun 2008. Oleh karena itu, pejabat yang bergabung di Inspektorat Jenderal tahun pada tahun 2008 ini, melihat perubahan dalam pekerjaan, layanan, serta delivery itu harus segera dimulai.

Probel utama yang dihadapi pada saat itu adalah bagaimana memastikan bahwa warga Inspektorat Jenderal bisa menerima bahwa perubahan adalah keharusan. Karena ini menyangkut perubahan sikap dan perilaku, maka relatif tidak mudah. Perubahan tidak hanya sekadar pada tata laksana, tetapi juga pada sikap, perilaku dan cara-cara kerja yang sudah mapan.

Tentu caranya tidak hanya dengan tiba-tiba mengubah pendekatan dan cara bekerja. Maka pada bulan pertama, pejabat melakukan tindakan persuasif untuk mengajak warga Inspektorat Jenderal beradaptasi terhadap perubahan itu. Mereka memerlukan pengarahan dan pengetahuan mengenai latar belakang perubahan tersebut.

Dalam menghadapi introduksi perubahan, reaksi warga Inspeektorat Jenderal beragam. Ada pihak yang menyambut positif, ada pula yang resisten. Mereka yang resisten umumnya adalah warga yang sudah nyaman bekerja dengan cara lama. Untuk mengatasi hal tersebut, pimpinan Inspektorat Jenderal tetap menerapkan metode persuasi.

Sebenarnya, bukan hanya Inspektorat Jenderal saja yang terpengaruh oleh lahirnya peraturan pemerintah yang baru mengenai Sistem Pengendalian Internal. Lingkungan kerja untuk melayani Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal hampir seluruhnya telah mengalami perubahan. Hal ini mengakibatkan Inspektorat Jenderal yang stagnan semakin lama semakin dianggap dan dipandang tidak relevan. Singkat kata, metode persuasif untuk meyakinkan warga terhadap pentingnya perubahan ini diperlukan di bulan-bulan pertama. Pejabat Eselon I ini merasa beruntung karena perubahan dimulai sekitar pertengahan tahun 2008, sehingga memiliki banyak waktu untuk menyesuaikan diri pada tahun berikutnya.

Mereformasi Berarti Mengubah Perilaku Dan Sikap

Page 330: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�2� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Mengenai pencapaian proses reformasi ini, bisa disebut relatif tidak terukur, yaitu adanya tingkat acceptance yang makin tinggi terhadap pentingnya perubahan itu. Menurut pejabat sebelumnya, pencapaian nyata dari reformasi yang sudah digulirkan adalah terciptanya lingkungan yang kondusif untuk mencapai tujuan reformasi. Lingkungan yang sudah mulai berubah, sudah mulai kondusif untuk mengimplementasikan peran, fungsi, status pengawas Internal Departemen.

Sedangkan pencapaian konkret terbaik kita dalam reformasi ini adalah berhasilnya Inspektorat Jenderal mengawal penyelenggaraan akuntabilitas dan pelaporan keuangan unit-unit Departemen Keuangan. Dengan demikian, cita-cita untuk naik kelas dalam Laporan Keuangan Departemen Keuangan dari disclaimer menjadi qualified opinion akhirnya bisa berhasil. Walaupun ini tidak semata-mata karena pihak Inspektorat jenderal, tetapi intensitas kegiatan yang dilakukan Inspektorat Jenderal, mulai dari penyiapan staf yang belajar Sistem Akuntansi Instansi sampai pengawalan dan penyelesaian laporan, Inspektorat Jenderal memiliki kontribusi yang cukup besar.

Sementara itu, program kerja dalam agenda reformasi yang belum diselesaikan di Inspektorat Jenderal masih cukup banyak. Salah satunya adalah belum terbangunnya kompetisi untuk memberikan hasil terbaik. Hal tersebut terjadi bukan hanya pada tingkat auditor, tetapi juga pada tingkat para Inspektur. Jadi, kebanyakan ada di program kerja lalu itu dikerjakan secara tradisional, bukan berpacu untuk kalau bisa melampaui sasaran. Bagi beliau, kalau bisa kita bekerja melampui standar hasil yang sudah di set-up. J

Reformasi Birokrasi yang dilakukan khususnya di Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan telah menimbulkan harapan dari pimpinan maupun jajaran eselon lain untuk menjadikan Inspektorat Jenderal sebagai mitra mereka. Sehingga satu hal yang penting adalah timbul kepercayaan mereka untuk bisa bersama-sama Inspektorat Jenderal, ini terutama karena impression yang terjadi selama ini menganggap unsur pemeriksa itu lebih banyak men-judge sebagai gangguan daripada sebagai pendukung mereka. Pengaruh yang konkret adalah Inspektorat Jenderal berhasil mendorong perbaikan laporan keuangan unit-unit eselon I sehingga memberikan kontribusi kepada laporan Departemen Keuangan yang membaik. Tuntutan dan permintaan dari unit eselon I lainnya kepada Inspektorat Jenderal untuk diberikan peringkat dalam laporan keuangan mereka merupakan suatu hal yang nyata bahwa Inspektorat Jenderal telah dijadikan tolak ukur keberhasilan kerja unit eselon I lainnya.

Berkaitan dengan pengaruh dari Reformasi Birokrasi terhadap Kementerian Negara/Lembaga lain, bisa dikatakan bahwa saat ini beberapa Inspektorat Jenderal dan APIP secara umum, mulai ingin ‘menguping’ mengenai apa yang sedang kita lakukan di Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan ini. Dalam beberapa pertemuan, seminar dan yang lainnya, apa yang kita sedang dan akan kita lakukan ini mulai ditanyakan. Keingintahuan ini tidak hanya berasal dari jajaran Pemerintah Pusat, tetapi juga dari Pemerintah Daerah. Kita berharap bahwa perubahan ini akan diakomodasikan oleh BPKP yang menjadi Pembina dari APIP secara menyeluruh.

Page 331: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 11 Pengawasan dan Pengendalian Internal �29

www.depkeu.go.id

Diharapkan, ke depan Departemen Keuangan diharapkan akan menjadi lokomotif perubahan dalam meningkatkan kualitas dan kapasitas birokrasi, sehingga tercipta birokrasi yang sehat dan berwibawa di jajaran Pemerintah Indonesia. Sedangkan secara khusus, diharapkan reformasi di Inspektorat Jenderal juga bisa menjadi lokomotif dari perubahan yang diperlukan oleh APIP secara menyeluruh. Kerja sama dan dukungan dari BPKP dalam memperhatikan dan mengakomodasikan perubahan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal juga sangat diperlukan. Intinya bahwa Departemen Keuangan bisa menjadi lokomotif secara umum dan seiring dengan itu, Inspektorat Jenderal juga mungkin bisa menjadi lokomotif di lingkungan APIP.

Mengenai manfaat reformasi birokrasi Departemen Keuangan bagi masyarakat, secara umum sudah mulai dirasakan. Hal ini terlihat dari beberapa surat pembaca dan survey-survey yang dilakukan oleh lembaga independen seperti UI, pernyataan-pernyataan dari masyarakat dan bahkan di rapat DPR juga sangat nyata bahwa mereka telah melihat efek dari Reformasi Birokrasi ini. Nyaris tidak pernah terdengar dimanapun suatu permintaan untuk tidak mempertahankan para pejabat Departemen Keuangan. Kalaupun harus diganti seperti Direktur Jenderal Pajak, maka penggantinya pun harus memiliki kualifikasi yang minimum sama dengan yang sebelumnya. Hal tersebut merupakan sebuah gambaran harapan masyarakat sudah mulai terpenuhi dan reformasi yang sedang dijalankan oleh Departemen Keuangan sudah berada di jalur yang benar dan akan terus berlanjut serta berkembang.

Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan sangat bergantung pada kerjasama dan keterbukaan antara unit-unit eselonnya, seperti yang baru berlangsung beberapa waktu lalu dimana Inspektur Jenderal dan Direktur Bea Cukai bekerjasama dalam membicarakan Risk Management. Hal ini juga merupakan indikasi bahwa unit eselon I lain sudah mulai melihat manfaat bekerjasama dengan Inspektorat Jenderal. Reformasi dalam pendekatan bekerja dan pendekatan pembinaan auditor yang sedang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal juga sedang ditunggu realisasi dan manfaatnya oleh beberapa APIP lainnya.

Patut disyukuri, di Inspektorat Jenderal terdapat satu unit (Inspektorat VII) yang secara tidak langsung didedikasikan menjadi clearing house proses reformasi birokrasi di internal Inspektorat Jenderal. Tolak ukur kinerja dari clearing house ini diharapkan dapat terwujud setelah program kerja tahun 2009 selesai.

Page 332: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Sebagai unit pengawasan internal di lingkungan Departemen Keuangan, Inspektorat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Departemen sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pengawasan tersebut diarahkan untuk memberikan keyakinan akan keberhasilan Departemen Keuangan dalam mengelola keuangan negara dan pencapaian tujuan reformasi birokrasi untuk terwujudnya pelayanan prima kepada masyarakat oleh unit-unit Departemen Keuangan.

Melalui peran dan fungsinya sebagai unit yang mengidentifikasi masalah dan hambatan bagi terwujudnya efektifitas dan efisiensi, Inspektorat Jenderal berupaya memberi solusi terhadap masalah-masalah manajemen, sekaligus sebagai compliance office dan mendorong atas berbagai upaya dalam pencapaian opini terhadap laporan keuangan negara dan kelembagaan.

11.1. Arah, Strategi dan Reformasi Kebijakan Pengawasan dan Pengendalian Internal

Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas sumber daya manusia aparatur; dan sistem pengawasan dan pengendalian internal yang efektif.

Permasalahan yang diidentifikasikan terkait agenda ini adalah reformasi birokrasi yang belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan. Secara khusus dari sisi internal birokrasi, berbagai permasalahan masih banyak yang dihadapi.

Permasalahan tersebut antara lain adalah: pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan dan masih banyaknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); rendahnya kinerja sumber

Pengawasan Dan Pengendalian Internal

Pencapaian konkret terbaik kita dalam reformasi ini adalah berhasilnya Inspektorat Jenderal mengawal penyelenggaraan akuntabilitas dan pelaporan keuangan unit-unit Departemen Keuangan. Sehingga cita-cita untuk naik kelas dalam Laporan Keuangan Departemen Keuangan dari disclaimer menjadi qualified opinion akhirnya bisa sukses dan berhasil.

Page 333: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 11 Pengawasan dan Pengendalian Internal ��1

www.depkeu.go.id

daya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan yang belum memadai; belum terbentuknya sistem pengendalian internal yang baik; masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur negara; rendahnya efisiensi dan efektivitas kerja; rendahnya kualitas pelayanan umum; rendahnya kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil (PNS); dan banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan. Kondisi permasalahan tersebut merupakan cerminan dari kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan.

Untuk itu, arah, strategi dan reformasi kebijakan pengawasan yang disusun dan ditetapkan harus dapat mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut di atas. Sejak tahun 2006, arah, strategi dan kebijakan pengawasan difokuskan pada reorientasi peran pengawasan, penyusunan program kerja yang didahului dengan penilaian risiko, pengawalan reformasi birokrasi, peningkatan kualitas Laporan Keuangan Pemerintah dan peningkatan efektifitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah. Reorientasi peran pengawasan adalah salah satu bentuk reformasi kebijakan pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan. Dalam kata reorientasi tersebut tersirat adanya suatu gerakan yang dinamis, yang mengisyaratkan adanya nuansa perubahan dan visi pengawasan di masa depan. Dengan mengacu pada standar internal audit internasional, reorientasi pengawasan ditandai dengan perubahan proses bisnis yang mengedepankan pendekatan risk-based audit.

Penyusunan program kerja pengawasan yang didahului dengan i) penilaian risiko kegiatan bersama pimpinan unit eselon I; ii) penetapan kegiatan yang menjadi prioritas (unggulan) pengawasan bersama pimpinan unit eselon I; iii) pelaksanaan pengawasan lebih mengutamakan penyelesaian masalah yang dihadapi oleh masing-masing unit eselon I; iv) penugasan auditor yang mengarah kepada spesialisasi kegiatan; v) pencegahan dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang lebih ditekankan pada kegiatan surveillance sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas unit eselon I; dan iv) penerapan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah di lingkungan Departemen Keuangan.

Pengawalan reformasi birokrasi Departemen Keuangan. Pengawalan reformasi dilakukan dengan pendekatan audit, kajian, monitoring dan evaluasi, serta investigasi, dengan prioritas pada pelaksanaan uraian jabatan dan Standard Operating Procedures (SOP); hubungan pemeringkatan jabatan dengan peningkatan kinerja; dan penerapan kode etik.

Peningkatan kualitas laporan keuangan dilakukan melalui monitoring dan asistensi penyusunan Laporan Keuangan; review atas Laporan Keuangan; pendampingan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan RI; monitoring tindak lanjut temuan BPK atas Laporan Keuangan; dan pengujian Sistem Akuntansi Instansi (SAI) pada satuan kerja Departemen Keuangan.

Peningkatan efektifitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) yang dibangun untuk dapat memberi keyakinan memadai bahwa penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah agar mencapai tujuan secara efisien dan efektif, melaporkan pengelolaan keuangan negara secara andal, mengamankan aset negara, dan mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan harus terus dipantau dan dievaluasi pelaksanaannya. Salah satu cara untuk memperkuat dan menunjang efektivitas penyelenggaraan sistem ini adalah dengan melakukan pengawasan internal dan pembinaan penyelenggaraan SPIP. Pengawasan internal merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengendalian internal yang berfungsi melakukan penilaian independen atas pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Pengawasan internal dilakukan oleh aparat pengawasan internal pemerintah melalui audit, review, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya. Sedangkan pembinaan penyelenggaraan SPIP dilakukan oleh BPKP melalui penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan SPIP, sosialisasi SPIP, pendidikan dan pelatihan SPIP, pembimbingan dan konsultansi SPIP, dan peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan internal pemerintah.

Page 334: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

11.2. Perkembangan Pola Pendekatan Pengawasan dan Pengendalian Internal

Saat ini proses audit modern telah bergeser dari peran sebelumnya sebagai watchdog menjadi sebagai internal consultant yang memberi masukan untuk perbaikan atas sistem yang telah ada serta berperan sebagai katalis. Fungsi konsultan bagi auditor internal merupakan peran yang relatif baru. Peran konsultan membawa auditor internal untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan baik tentang profesi auditor maupun aspek bisnis, sehingga diharapkan dapat membantu manajemen dalam memecahkan suatu masalah. Kemampuan untuk merekomendasikan pemecahan suatu masalah bagi auditor internal dapat diperoleh melalui pengalaman bertahun-tahun melakukan audit berbagai fungsi/proses bisnis di organisasi. Konsultasi internal saat ini merupakan aktivitas yang sangat dibutuhkan oleh top management dalam mencapai tujuan organisasinya.

Selain sebagai konsultan, auditor internal harus mampu berperan sebagai katalisator yaitu memberikan jasa kepada manajemen melalui saran-saran yang bersifat konstruktif dan dapat diaplikasikan bagi perkembangan organisasi. Katalis adalah suatu zat yang berfungsi untuk mempercepat reaksi namun tidak ikut reaksi. Sehingga apabila auditor internal diibaratkan sebagai katalis, auditor internal tidak ikut dalam kegiatan operasional organisasi, namun turut serta bertanggung jawab dalam meningkatkan kinerja organisasi melalui rekomendasi yang disampaikaan kepada manajemen operasional.

Ruang lingkup kegiatan audit pun semakin luas, dimana saat ini aktivitas audit dilakukan tidak hanya sekedar pada lingkup audit keuangan (financial audit) dan audit ketaatan (compliance audit) saja, tetapi fokus perhatian lebih ditujukan pada semua aspek yang berpengaruh terhadap kinerja (performance) organisasi dan pengendalian internal serta memperhatikan aspek business risk dan risk management.

Pola audit yang dikembangkan dan diterapkan di Inspektorat Jenderal (Itjen) sebagai unit pengawasan internal Departemen Keuangan sejak tahun 2006 didasarkan atas pendekatan risiko (risk-based audit approach). Pola audit ini difokuskan pada masalah yang ada pada parameter risk assessment yang kemudian diformulasikan ke dalam Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT). Parameter yang biasa digunakan dalam metodologi risk assessment antara lain adalah: i) kompleksitas proses bisnis; ii) volume kegiatan; iii) jumlah dan level stakeholder; iv) jumlah dana yang dikelola; v) perubahan dari proses bisnis dan lini bisnis (business line); vi) dan perubahan peraturan/ketentuan dan kebijakan.

Berdasarkan risk assessment tersebut dapat diketahui peta risiko (risk map) dari area kegiatan yang ada pada unit-unit Eselon I di lingkungan Departemen Keuangan, sehingga dapat membantu dalam penyusunan peta audit berbasis risiko (risk audit map). Manfaat yang akan diperoleh dengan menggunakan risk-based audit approach ini, antara lain adalah pelaksanaan pengawasan akan lebih efisien dan efektif, sehingga dapat meningkatkan kinerja Itjen.

Risk Assessment dilakukan untuk mengetahui lebih jauh risiko-risiko potensial yang mungkin dihadapi oleh unit-unit eselon I di lingkungan Departemen Keuangan. Proses risk assessment pada umumnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:1. Mengidentifikasi risiko-risiko bisnis yang melekat (inherent business risks) dalam proses bisnis organisasi.2. Mengevaluasi efektivitas sistem pengendalian (control systems) dalam rangka monitoring inherent risk dari proses bisnis (control risk).3. Menggambarkan peta risiko yang didasarkan atas inherent business risks dan control risk. Risk assessment dapat dilakukan dengan pendekatan kuantitatif maupun kualitatif.

Page 335: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 11 Pengawasan dan Pengendalian Internal ���

www.depkeu.go.id

Dengan menggunakan pola audit di atas, maka penyusunan strategi pengawasan Inspektorat Jenderal dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:1. Mengidentifikasikan tujuan Departemen Keuangan berikut tujuan masing-masing unit eselon I.2. Mendefinisikan tujuan pengawasan internal.3. Menginventarisir semua perubahan-perubahan yang relevan pada peraturan-peraturan dan faktor- faktor eksternal lainnya untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh atas sistem, struktur dan operasi organisasi Departemen Keuangan.4. Menidentifikasikan, mengevaluasi dan me-ranking risiko-risiko yang ada pada masing-masing unit eselon I.5. Mengidentifikasikan kekuatan dan kelemahan yang ada pada sistem pengendalian internal masing- masing unit eselon I.6. Menginventarisasi hal-hal yang menjadi perhatian dan harapan dari Menteri Keuangan dan pimpinan unit eselon I.7. Mengidentifikasikan area yang akan diaudit berdasarkan major systems, kegiatan, dan fungsi.8. Menentukan jenis-jenis audit yang akan dilakukan.9. Mendapatkan rencana audit dari auditor eksternal.10. Menentukan jumlah auditor yang dibutuhkan dengan memperhatikan jumlah auditor yang tersedia.

11.3. Peluang dan Tantangan dalam Pengawasan dan Pengendalian Internal

Beberapa peluang yang diidentifikasikan dapat menjadi trigger dalam meningkatkan aspek pengawasan dan pengendalian internal antara lain adalah adanya komitmen pemerintah yang dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dimana dalam diktum kesepuluh diinstruksikan agar meningkatkan upaya pengawasan dan pembinaan aparatur untuk meniadakan perilaku koruptif di lingkungannya. Secara khusus, kepada Menteri Keuangan diinstruksikan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan perpajakan, kepabeanan dan cukai, penerimaan bukan pajak, dan anggaran untuk menghilangkan kebocoran dalam penerimaan keuangan negara, serta mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan negara yang dapat membuka peluang terjadinya praktek korupsi, dan sekaligus menyiapkan rancangan peraturan perundang-undangan penyempurnaannya.

Komitmen lainnya berasal dari lembaga keuangan internasional untuk membantu reformasi bidang pengawasan di Indonesia. Salah satunya adalah Bank Dunia yang mendukung Departemen Keuangan untuk membentuk unit investigasi di lingkungan Inspektorat Jenderal dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Peluang lainnya adalah adanya Peraturan Pemerintah tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah dimana pengawasan internal merupakan salah satu cara untuk memperkuat dan menunjang efektivitas penyelenggaraan sistem ini.

Adapun tantangan yang dihadapi bidang pengawasan di lingkungan Departemen Keuangan pada khususnya dan pemerintah pada umumnya antara lain adalah adanya pengaruh budaya KKN yang masih kental di masyarakat dan timbulnya sikap skeptis/ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan lembaga pengawasan dalam memberantas KKN. Kompleksitas proses bisnis Departemen Keuangan yang ditandai dengan banyak dan beragamnya proses bisnis yang dijalankan serta luasnya area pelaksanaan tugas juga merupakan tantangan pengawasan yang tidak kalah beratnya. Tantangan besar lainnya adalah adanya kewenangan yang sangat besar yang dimiliki oleh unit-unit di lingkungan Departemen Keuangan. Kewenangan tersebut sedemikian besar sehingga dapat menyamai kewenangan yang dimiliki pimpinan Departemen Keuangan itu sendiri. Terkait dengan pelayanan kepada publik baik dalam bentuk jasa maupun perijinan, tantangannya adalah belum memadainya transparansi dan standarisasi guna memenuhi harapan stakeholders untuk mendapatkan pelayanan yang memuaskan dari Departemen Keuangan.

Page 336: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Peluang-peluang dan tantangan-tantangan tersebut di atas harus terus-menerus dicermati dalam menyusun strategi dan kebijakan pengawasan yang kemudian diaplikasikan dalam pelaksanaan program-program pengawasan secara konsisten sehingga tujuan organisasi yang diharapkan dapat terwujud.

11.4. Upaya-Upaya yang Dilakukan Dalam Pengawasan dan Pengendalian Internal yang Efektif dan Efisien

Dengan mempertimbangkan peluang dan tantangan tersebut di atas dan memperhatikan arah, strategi serta kebijakan pengawasan yang telah ditetapkan, disusunlah program-program yang dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan, sebagai berikut:

11.4.1. Implementasi Risk-based Audit (RBA).

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa manfaat yang akan diperoleh dengan menggunakan risk-based audit approach ini, antara lain adalah pelaksanaan pengawasan akan menjadi lebih efisien dan efektif. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan program ini adalah:1. Menyusun rumusan perencanaan audit yang telah mempertimbangkan hasil need analysis masing-masing unit eselon I dan faktor risk management;2. Melaksanakan audit internal ke seluruh unit di lingkungan Departemen Keuangan;3. Melakukan investigasi atas dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang berdasarkan pengaduan masyarakat, pengembangan temuan dan instruksi pimpinan;4. Melakukan partnering and consulting ke unit-unit Departemen Keuangan.

Dari pengembangan program ini, didapat area-area kegiatan pada unit-unit Departemen Keuangan yang menjadi prioritas pengawasan. Di lingkungan Itjen, pengawasan ini disebut pengawasan unggulan. Tema atau area kegiatan pengawasan tersebut antara lain adalah: kewajaran dan keandalan nilai piutang pajak; peningkatan penerimaan bea masuk dan cukai; pengelolaan kas; inventarisasi dan penilaian barang milik negara; penetapan Sistem Anggaran Per Satuan Kerja (SAPSK); transfer DAU, DBH Pajak dan DAK; pengawasan Belanja Modal; peningkatan kualitas laporan keuangan; penertiban rumah dinas; pengawalan reformasi birokrasi; dan kegiatan surveillance.

Target-target yang ditetapkan atas tema-tema di atas antara lain adalah: nilai piutang pajak sama dengan nilai dokumen pendukung/kohir; usulan penyempurnaan sistem dan prosedur penerimaan bea masuk dan cukai; klasifikasi nilai loan yang masih dapat di-reimburse dan nilai loan yang ineligible; penyelesaian kegiatan IP sesuai target waktu yang ditetapkan; terintegrasinya aplikasi SAPSK pada Direktorat Jenderal Anggaran dan aplikasi DIPA pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan; adanya ketentuan yang jelas mengenai prosedur dan tatacara pengamanan data hasil perhitungan DAU; tersedianya database belanja modal; peningkatan opini Laporan Keuangan Depertemen Keuangan dari opini “Disclaimer/Qualified” menjadi “Qualified/ Unqualified”; berkurangnya pemanfaatan Rumah Negara oleh pihak yang tidak berhak; terlaksananya kegiatan/program reformasi birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan sesuai dengan yang direncanakan; serta xi) tersedianya bahan/informasi mengenai adanya praktik-praktik gratifikasi, pungutan liar, kolusi, dan korupsi di Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Capaian dari target-target di atas pada umumnya belum dapat diukur, dikarenakan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pengawasan unggulan masih berjalan. Salah satu target yang diharapkan dapat tercapai adalah peningkatan opini BPK atas laporan keuangan dari “disclaimer” menjadi “qualified”.

Page 337: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 11 Pengawasan dan Pengendalian Internal ���

www.depkeu.go.id

11.4.2. Peningkatan Kualitas dan Ketepatan Waktu Pelaporan Hasil Audit Serta Tingkat Responsif Auditan

Salah satu output dari kegiatan audit di lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan adalah Laporan Hasil Audit (LHA). Yang dimaksud dengan LHA adalah media yang digunakan oleh auditor untuk memberitahukan atau menginformasikan hasil auditnya sehingga berfungsi sebagai alat komunikasi dari auditor kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu pemberi tugas audit, pihak auditan, atasan langsungnya, dan pihak–pihak lain yang berkepentingan.

Agar dapat memenuhi tujuan penerbitan LHA, yaitu menginformasikan ikhtisar dari kegiatan organisasi auditan, meyakinkan manajemen bahwa informasi yang disampaikannya handal dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap operasi organisasi auditan, serta menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi organisasi, LHA harus disusun berdasarkan sumber data atau informasi yang cukup dan relevan sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Sumber data atau informasi adalah sekumpulan data, catatan, hasil analisis, bukti fisik, hasil konfirmasi, hasil rekonsiliasi, korespondensi, telaahan hukum, hasil pembahasan dengan para pejabat auditan, dan dokumen terkait lainnya yang lazim dikenal dengan Kertas Kerja Audit (KKA).

Untuk lebih meningkatkan output dari hasil kegiatan audit ini, dilakukan analisis dan evaluasi hasil audit yang dimaksudkan sebagai suatu penilaian secara kritis dan sistematis terhadap kegiatan audit yang telah dilaksanakan pada masa lalu atau dalam kurun waktu tertentu sehingga dapat dihindari terjadinya kesalahan atau kelemahan pada suatu kasus yang sama, sekaligus agar menjadi perhatian untuk perbaikan di masa mendatang. Analisis dan evaluasi hasil audit dilakukan secara komprehensif pada setiap tahap kegiatan audit, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil audit. Analisis dan evaluasi ini meliputi keandalan, ketepatan dan materialitas penyusunan Program Kerja Audit (PKA), pengerjaan KKA dan pengungkapan/ penyajian tiap unsur temuan audit yang termuat dalam LHA serta ketepatan waktu pelaporan hasil audit.

Dengan suatu metode analisis dan evaluasi hasil audit yang telah dikembangkan, target hasil analisis dan evaluasi hasil audit yang ingin dicapai adalah “baik”. Target ini pada umumnya telah dapat dicapai.

Lebih lanjut, efektifitas hasil pengawasan sangat ditentukan oleh tindak lanjut manajemen auditan di dalam merespon hasil audit. Tindak lanjut dapat diartikan sebagai setiap langkah atau upaya perbaikan/penyempurnaan/penertiban/penindakan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang pada auditan untuk memenuhi rekomendasi audit. Tindak lanjut oleh manajemen auditan perlu dipantau dan dinilai pelaksanaannya sehingga tujuan untuk meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan dapat tercapai.

Kegiatan pemantauan dan penilaian tindak lanjut merupakan suatu tahapan penting dalam siklus kegiatan audit. Berdasarkan tindak lanjut ini dapat diketahui apakah rekomendasi yang diberikan dapat diterapkan dan menyebabkan perbaikan serta peningkatan kinerja auditan. Kegiatan penilaian tindak lanjut harus dilaksanakan secara komprehensif, obyektif dan memadai di dalam menentukan langkah-langkah lanjutan yang diperlukan bagi pimpinan untuk menjalankan organisasi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Dengan membandingkan jumlah rekomendasi hasil audit yang telah selesai ditindaklanjuti dengan jumlah rekomendasi hasil audit tahun lalu diperoleh tingkat penyelesaian tindak lanjut hasil audit per masing-masing unit eselon I. Target yang ditetapkan untuk ini adalah 75%. Target ini pada umumnya telah dicapai oleh beberapa unit eselon I.

Page 338: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

11.4.3. Peningkatan Komunikasi yang Interaktif dengan Pemangku Kepentingan

Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan terkait dengan program ini antara lain adalah kegiatan sosialisasi peran pengawasan Itjen ke unit-unit di lingkungan Departemen Keuangan. Kegiatan ini dilakukan dengan maksud untuk mewujudkan suatu persepsi yang sama akan pentingnya pengawasan internal dalam mencapai tujuan organisasi.

Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan kerangka kerjasama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka pada bulan Februari 2005, Departemen Keuangan melalui Itjen telah menandatangani suatu nota kesepahaman dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Beberapa target bentuk kerjasama telah dapat dicapai, namun dirasakan masih perlu dipertajam lagi sehingga peran Itjen dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN dapat terwujud.

Kemudian, khusus dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang yang terkait dengan tindak pidana korupsi di lingkungan Departemen Keuangan, telah ditandatangani Nota Kesepahaman antara Departemen Keuangan melalui Inspektorat Jenderal dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada bulan Januari 2007.

11.4.4. Implementasi Risk Management (RM) di Lingkungan Itjen serta Persiapan Peran sebagai Compliance Office

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu peran yang harus dijalankan Itjen agar dapat memberikan nilai tambah bagi organisasi adalah sebagai Compliance Office for Risk Management (CORM). Untuk itu, pengembangan dan implementasi Risk Management sudah seharusnya terlebih dahulu dijalankan di lingkungan Itjen itu sendiri.

Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.09/2008 tentang Penerapan Manajemen Risiko di Lingkungan Departemen Keuangan, maka telah diatur bahwa setiap Unit Eselon I di lingkungan Departemen Keuangan harus menerapkan dan mengembangkan Manajemen Risiko di lingkungan masing-masing. Penerapan dan pengembangan Manajemen Risiko ini dilaksanakan oleh seluruh Unit Eselon II sebagai unit yang memiliki risiko yang selanjutnya disebut Unit Pemilik Risiko dan Pimpinan unit Eselon II yang bersangkutan merupakan Pemilik Risiko. Peraturan Menteri Keuangan ini juga mengatur Itjen sebagai CORM yang bertugas melaksanakan audit terhadap penerapan Manajemen Risiko pada Unit Eselon I di lingkungan Departemen Keuangan.

Salah satu target yang ditetapkan untuk program ini adalah terimplementasinya RM di lingkungan Itjen. Target ini telah dapat dicapai. Target lainnya, yaitu peran Itjen sebagai CORM. Target ini belum dapat dicapai, dikarenakan unit-unit eselon I belum sepenuhnya mengimplementasikan Manajemen Risiko di lingkungannya masing-masing. Untuk itu, Itjen akan terus mendorong dan membantu penerapan Manajemen Risiko pada unit-unit Departemen Keuangan.

11.4.5. Pengelolaan dan Pengembangan Kompetensi SDM

Selama kurun waktu 2005 – 2008 beberapa kegiatan telah dilakukan untuk mengembangkan jumlah, kualitas, dan integritas SDM di lingkungan ITJEN. Untuk meningkatkan motivasi dan integritas SDM, Itjen bercita-cita akan memberlakukan reward and punishment system. Untuk mencapai hal itu, pada tahun 2005 telah dilakukan berbagai kajian. Salah satu implementasi yang pernah diujicobakan adalah pemberian penghargaan employee of the month. Untuk memetakan kebutuhan jumlah dan kualitas SDM, dilakukan kegiatan penyusunan profil kompetensi yang harus dimiliki pegawai. Berdasarkan profil tersebut diambil kebijakan untuk menyelenggarakan dan atau mengikutsertakan pegawai dalam berbagai macam pelatihan baik

Page 339: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 11 Pengawasan dan Pengendalian Internal ���

www.depkeu.go.id

yang berkaitan langsung dengan pengawasan maupun yang bersifat umum. Beberapa pelatihan diarahkan agar pegawai Itjen dapat mengikuti ujian dan memiliki sertifikasi internasional di bidang pengawasan. Dengan pelatihan dan keikursertaan dalam ujian sertifikasi internalasional, sejumlah pegawai telah memiliki sertifikasi seperti Certified Internalal Auditor (CIA), Certified Information System Auditor (CISA), Certified Fraud Examiner (CFE), Certified Anti-Money Laundering Specialist (CAMS) dan lain sebagainya.

11.5. Pending Matters

Hal yang merupakan pending matters bagi Itjen terkait dengan peningkatan komunikasi yang interaktif dengan stakeholder, yaitu pembentukan kerjasama dengan Kejaksaan Agung R.I. dan Kepolisian R.I. Kerjasama-kerjasama ini diharapkan dapat terlaksana dalam 1 atau 2 tahun ke depan. Pending matters lainnya terkait dengan peran Itjen sebagai CORM. Peran ini belum dapat dilaksanakan dikarenakan unit-unit eselon I belum sepenuhnya mengimplementasikan Manajemen Risiko di lingkungannya masing-masing.

11.6. Ringkasan

Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Melalui peran dan fungsi Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan sebagai unit pengawasan internal yang mengidentifikasi masalah dan hambatan bagi terwujudnya efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas Departemen Keuangan, diupayakan pemberian solusi terhadap masalah-masalah manajemen, sekaligus sebagai compliance office dan mendorong atas berbagai upaya dalam pencapaian opini terhadap laporan keuangan negara dan kelembagaan.

Dengan mempertimbangkan peluang dan tantangan yang ada pada lingkungan strategis Inspektorat Jenderal dan memperhatikan arah, strategi serta kebijakan pengawasan yang telah ditetapkan, disusunlah program-program yang dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan yang sepenuhnya dimaksudkan untuk mendukung program reformasi birokrasi guna tercapainya tujuan Departemen Keuangan.

Terbentuknya Inspektorat Bidang Investigasi sebagai unit yang melaksanakan fungsi audit investigasi dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN merupakan salah satu target yang telah dicapai. Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan kerangka kerja sama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka Departemen Keuangan melalui Inspektorat Jenderal telah menandatangani nota kesepahaman (MOU) baik dengan KPK, maupun dengan PPATK. MOU lain yang dirasakan perlu adalah MOU dengan Kejaksaan Agung R.I dan Kepolisian R.I. Namun hal ini masih merupakan suatu pending matters.

Tema pengawasan unggulan yang diperoleh dari pendekatan audit berbasis risiko (Risk-based Audit) telah menetapkan target-target yang ingin dicapai. Atas target-target ini pada umumnya belum dapat diukur tingkat capaiannya dikarenakan masih berjalannya kegiatan. Salah satu harapan besar diletakkan pada target pencapaian opini BPK atas laporan keuangan Departemen Keuangan dari “disclaimer” menjadi “qualified”.

Salah satu peran yang harus dijalankan Itjen agar dapat memberikan nilai tambah bagi organisasi adalah sebagai Compliance Office for Risk Management (CORM). Target diterapkannya Manajemen Risiko di lingkungan Inspektorat Jenderal telah dapat dicapai, namun peran sebagai CORM masih merupakan pending matters. Hal ini dikarenakan unit-unit lain di lingkungan Departemen Keuangan belum sepenuhnya menerapkan Manajemen Risiko.

Page 340: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Menjalin Kerjasama Membangun Citra Bangsa

Departemen Keuangan menjalin hubungan dan memperjuangkan kepentingan nasional di kancah perekonomian dunia demi meningkatkan citra, harkat, dan martabat bangsa Indonesia

Page 341: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 12 Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan ��9

www.depkeu.go.id

Bagi Pusat Kebijakan Kerjasama Internasional (PKKSI), kompetensi SDM dalam berdiplomasi keuangan menjadi tuntutan utama. Sebabnya adalah, fungsi utama organisasi ini memang menjalin kerja sama dengan negara lain dalam bidang keuangan untuk kepentingan nasional.

Reformasi di Pusat Kebijakan Kerjsama Internasional Departemen Keuangan ditandai dengan perubahan nama organisasi tersebut. Sebelumnya organisasi ini bernama Pusat Kerjasama Internasional. Penggantian nama mengindikasikan perubahan yang mendasar pada fokus kinerja. Saat ini PKKSI lebih mengedepankan aspek kebijakan yang dihasilkan dalam kegiatannya.

Selain itu, mengingat pekembangan kerja sama Bilateral yang semakin strategis dan beban tugas yang semakin tinggi, PKKSI melakukan reorganisasi. Bidang Kerjasama Bilateral diubah menjadi bidang yang terpisah di mana sebelumnya tergabung menjadi Bidang Kerjasama ASEAN dan Bilateral. Sejalan dengan itu, peningkatan kemampuan staf PKKSI semakin didorong dengan memberikan kesempatan exposure dalam sidang-sidang internasional.

Kemampuan staf dalam diplomasi ekonomi keuangan dapat dikatakan sebagai ujung tombak kerja sama internasional karena mempunyai peranan dan tugas yang sangat penting dalam upaya peningkatan kerja sama ekonomi dan keuangan dengan negara mitra, dan kepatuhan terhadap standar dan kode internasional, serta melaksanakan kegiatan tata kelola. Capaian atas kerja sama tersebut secara signifikan akan berkontribusi terhadap dukungan dan kerja sama ekonomi keuangan dari negara sahabat berupa, antara lain, peningkatan jumlah hibah untuk program studi (bea siswa) dan pelatihan, serta program loan terutama dalam mengatasi krisis ekonomi. Di samping itu, meningkatkan kemampuan daya kerja sama dalam memperjuangkan kepentingan nasional dalam forum regional dan multilateral. Peningkatan kepercayaan internasional terhadap Indonesia juga dapat dilakukan melalui presentasi dan pidato Menteri keuangan dalam berbagai kesempatan, serta kontak langsung dalam forum regional, multilateral dan bilateral.

Perkembangan perekonomian global dalam lima tahun terakhir menunjukkan trend dengan volatilitas tinggi, sehingga diperlukan penanganan ekonomi secara global yang lebih terkoordinasi. Isu-isu ekonomi dan keuangan internasional yang merupakan anchor dari perekonomian global terus mengalami perkembangan dan perubahan. Hal ini menuntut kesiapan staf untuk merespon dan mengantisipasinya sejalan dengan kepentingan nasional. Atas hal ini, masing-masing negara di dunia berupaya menyusun strategi nasional untuk memperjuangkan kepentingannya di forum-forum internasional.

Sebagai bagian dari perekonomian dunia, Indonesia termasuk salah satu negara di Asia yang cukup diperhitungkan. Sebagai contoh, dalam forum G-20 misalnya, Indonesia merupakan co-chair untuk working group IV yang mempunyai tugas penting dalam mereformasi lembaga keuangan multilateral. Bahkan untuk tingkat regional ASEAN, Indonesia termasuk salah satu dari lima negara besar ASEAN yang menentukan arah dan kebijakan organisasi regional tersebut.

Untuk mendukung upaya tersebut, Indonesia memposisikan diri pada tingkatan high profile. Oleh karena itu, Indonesia memprakarsai inisiatif-inisiatif baru yang relevan dalam setiap pertemuan internasional. Di samping itu, Indonesia juga menyampaikan intervensi-intervensi aktif dalam setiap pertemuan, sehingga dapat mengarahkan agenda yang dibahas dan substansi yang disepakati berpihak pada kepentingan nasional Indonesia.

Meskipun demikian, strategi tersebut di atas harus didasari dengan sikap yang selalu waspada, antisipatif dan responsif. Waspada dalam arti harus selalu memonitor perkembangan perekonomian nasional, regional, dan global. Dengan memantau perkembangan ekonomi, dapat diproyeksikan arah perekonomian ke depan.

Dengan demikian, diharapkan PKKSI mampu memperjuangkan kepentingan nasional dalam berbagai forum internasional.

PKSSI Membangun Kompetensi Diplomasi Keuangan

Page 342: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

12.1. Strategi dan Perkembangan Kebijakan Dan Kerja sama Keuangan Internasional

Perkembangan perekonomian global dalam lima tahun terakhir menunjukkan trend dengan volatilitas tinggi, sehingga diperlukan penanganan ekonomi secara global yang lebih terkoordinasi. Isu-isu ekonomi dan keuangan internasional yang merupakan anchor dari perekonomian global terus mengalami perkembangan dan perubahan. Hal ini menuntut kesiapan suatu negara untuk merespon dan mengantisipasinya sejalan dengan kepentingan nasional. Atas hal ini, masing-masing negara di dunia berupaya menyusun strategi nasional untuk memperjuangkan kepentingannya di forum-forum internasional.

Sebagai bagian dari perekonomian dunia, Indonesia termasuk salah satu negara di Asia yang cukup diperhitungkan. Sebagai contoh, dalam forum G-20 misalnya, Indonesia merupakan co-chair untuk working group IV yang mempunyai tugas penting dalam mereformasi lembaga keuangan multilateral. Bahkan untuk tingkat regional ASEAN, Indonesia termasuk salah satu dari lima negara besar ASEAN yang menentukan arah dan kebijakan organisasi regional tersebut.

Dalam forum-forum internasional, hal penting yang harus dikedepankan adalah memperjuangkan kepentingan nasional terutama dalam rangka menjaga keseimbangan dan kesinambungan anggaran pemerintah, dan stabilitas ekonomi makro. Anggaran pemerintah yang sound and prudent dapat meningkatkan kepercayaan pasar dan mendorong peningkatan masuknya arus investasi dan modal yang pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang mampu membuka peluang kesempatan kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Krisis keuangan global membawa dampak terhadap, ketidakseimbangan anggaran pemerintah terutama karena adanya pembiayaan untuk paket stimulus fiskal. Dalam rangka mengatasi hal tersebut, diperlukan langkah-langkah strategis untuk memperoleh alternatif sumber-sumber pembiayaan anggaran baik secara bilateral maupun multilateral.

Kebijakan Hubungan Dan Kerja SamaInternasional Di Bidang Keuangan

Kemampuan staf dalam diplomasi ekonomi keuangan dapat dikatakan sebagai ujung tombak kerja sama internasional karena mempunyai peranan dan tugas yang sangat penting dalam upaya peningkatan kerja sama ekonomi dan keuangan dengan negara mitra, dan kepatuhan terhadap standar dan kode internasional, serta melaksanakan kegiatan tata kelola

Page 343: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 12 Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan ��1

www.depkeu.go.id

Untuk mendukung upaya tersebut, Indonesia perlu memposisikan dirinya pada tingkatan high profile. Memprakarsai inisiatif-inisiatif baru yang relevan yang dimunculkan dalam setiap pertemuan internasional merupakan upaya konkret untuk menunjukkan profile yang tinggi tersebut. Di samping itu, menyampaikan intervensi-intervensi aktif dalam setiap pertemuan dapat mengarahkan agenda yang dibahas dan substansi yang disepakati berpihak pada kepentingan nasional Indonesia.

Kedudukan Indonesia sebagai ketua dalam berbagai forum (tingkat menteri, deputi, working group) juga merupakan strategi handal yang dapat memberikan peluang bagi Indonesia untuk mengarahkan agenda yang akan dibahas dan mengatur irama percepatan pembahasan sesuai dengan perkembangan perekonomian nasional yang terjadi. Penempatan pejabat dan pegawai pada posisi-posisi penting dalam organisasi-organisasi internasional dan lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti ADB dan Bank Dunia memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk memasukkan kepentingan-kepentingan nasional dalam strategi yang dirumuskan oleh organisasi-organisasi internasional tersebut.

Strategi-strategi tersebut di atas harus didasari dengan sikap yang selalu waspada, antisipatif dan responsif. Waspada dalam arti harus selalu memonitor perkembangan perekonomian nasional, regional, dan global. Dengan memantau perkembangan ekonomi yang terjadi, dapat diproyeksikan arah perekonomian ke depan. Apabila ditemukan sinyal-sinyal adanya potensi krisis maka dapat disiapkan langkah antisipatif secara lebih dini dengan memperhitungkan potensi dampak yang ditimbulkan dan langkah-langkah yang harus diprioritaskan. Demikian pula apabila terdapat potensi efek tular (contagion effect), hal tersebut dapat diantisipasi dengan langkah-langkah preventif yang tepat. Dalam kaitan ini, unit pemantauan dini (surveillance) perekonomian nasional dan global mempunyai peran yang sangat penting. Hasil pemantauan dan proyeksi dari unit ini merupakan titik awal untuk penyusunan strategi nasional dalam menjaga kestabilan dan kesinambungan perekonomian nasional. Model pemantauan dini yang selama ini telah dibangun dan diterapkan, harus selalu dikembangkan agar proyeksi yang dihasilkan lebih akurat.

Untuk mendukung strategi-strategi tersebut di atas, dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas dan memadai di lingkungan Departemen Keuangan. Terkait dengan hal tersebut, tingkat pendidikan para pegawai perlu lebih ditingkatkan, sehingga pengiriman pegawai ke luar negeri untuk memperoleh jenjang pendidikan yang lebih tinggi melalui bantuan hibah merupakan salah satu prioritas. Di samping itu, partisipasi aktif dalam berbagai pelatihan, workshop, seminar dan program-program lain yang relevan perlu lebih digalakkan. Adanya bantuan teknis (technical assitance) melalui penempatan para expert di lingkungan Departemen Keuangan disadari dapat pula mendorong peningkatan kualitas SDM. Dalam kaitan ini, diperlukan upaya-upaya yang lebih gigih dalam rangka meningkatkan jumlah dan memperluas sumber-sumber hibah, baik dari negara-negara mitra utama maupun dari organisasi-organisasi internasional.

Agar agenda nasional dapat dibahas dalam suatu pertemuan internasional, strategi lain yang diterapkan adalah menjadi tuan rumah (host) bagi pertemuan tersebut. Strategi ini terbukti cukup efektif, misalnya pada penyelenggaraan ST-ADB 09 di Bali beberapa waktu lalu, yang mana telah disetujui kenaikan modal ADB sebesar 200%. Kenaikan ini akan sangat bermanfaat bagi Indonesia dan negara berkembang yang lain. Disepakatinya Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) juga akan memberikan dukungan likuiditas bagi Indonesia dalam memitigasi dampak krisis keuangan global.

Strategi-strategi tersebut di atas tertuang dalam konsep kebijakan dan/atau kebijakan yang disusun oleh Pusat Kebijakan Kerja sama Internasional dalam kaitannya dengan isu-isu yang akan dibahas pada forum kerja sama ekonomi, keuangan, dan sektor jasa dalam kerangka multilateral, regional, dan bilateral antara lain IMF, World Bank, G-20, IFAD, APEC, ASEM, ASEAN, dan ASEAN+3.

Page 344: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

12.2. Realisasi Kerja sama Keuangan Internasional

12.2.1. Kerja Sama Kewilayahan Dilihat dari sisi kewilayahan, maka kerja sama internasional dilakukan melalui kerja sama yang paling kecil yaitu dua negara (bilateral) sampai yang paling banyak melibatkan sejumlah negara (multilateral) dan diantaranya terdapat pula kerja sama yang meliputi wilayah tertentu misalnya ASEAN, ASEAN + China, Korea, Japan (ASEAN+3), ASEM, dan APEC. Disamping itu Indonesia juga berpartisifasi aktif dalam forum seperti G-20, OECD, dan lembaga keuangan internasional seperti IMF, World Bank, IDB, dan ADB.

12.2.1.1. Kerja Sama Bilateral

Isu-isu kerja sama bilateral yang banyak diangkat dengan para mitra utama antara lain Jepang, China, Australia, AS, Prancis, Inggris, Jerman adalah kerja sama keuangan dalam rangka membiayai defisit anggaran untuk prioritas program-program pembangunan seperti perubahan iklim, pembangunan infrastruktur, dan reformasi birokrasi. Di samping itu, terdapat pula beberapa isu lain yang meliputi perjanjian peningkatan dan perlindungan investasi dan perdagangan, perjanjian perdagangan di wilayah perbatasan, dan perjanjian penghindaran pajak berganda.

Seiring dengan terjadinya krisis keuangan global, fokus kerja sama bilateral dengan negara-negara mitra ditujukan bagi pengamanan pembiayaan anggaran dan neraca pembayaran dalam rangka antisipasi dampak krisis melalui proposal Pemerintah R.I. bagi pinjaman siaga (stand by loan). Negara-negara yang didekati dalam hal ini yaitu Australia, Jepang, China, Amerika Serikat, Perancis, Jerman, dan Inggris. Sedangkan pendekatan yang dilakukan secara bilateral kepada lembaga-lembaga keuangan internasional sepanjang tahun 2008 (baik sebelum maupun pada kuartal IV 2008) yaitu Bank Dunia, IDB, dan ADB.

Sampai dengan Mei 2009, kerja sama bilateral yang dilakukan oleh Departemen Keuangan meliputi: (1) realisasi kerja sama penyediaan dana kontingensi dalam rangka krisis keuangan global dengan Jepang, Australia, Bank Dunia; (2) percepatan kerja sama pembangunan infrastruktur proyek listrik 10,000 Mega Watt dengan China; (3) konsolidasi posisi dalam G20 dengan Inggris dan Perancis; (4) kunjungan Presiden dan Menteri Pengetahuan Ekonomi Korea ke Jakarta bulan Maret 2009, dan; (5) pembicaraan bilateral Menteri Keuangan RI selaku tuan rumah Sidang Tahunan ADB ke-42 tahun 2009 di Bali dengan beberapa negara anggota ADB.

Selanjutnya, Departemen Keuangan selaku focal point dalam kerja sama ekonomi dan keuangan internasional berperan sebagai koordinator dalam menetapkan posisi Pemerintah. Dalam penetapan posisi ini, unit-unit yang biasanya terkait diantaranya Ditjen Pajak (Komisi Bersama, P4M), Ditjen Bea dan Cukai, Tim Tarif (Komisi Bersama, Perjanjian Perdagangan), Ditjen Pengelolaan Utang (ODA), Bapepam-LK, Sekretariat Jenderal c.q. Biro Hukum dan Tim Koordinasi Bidang Jasa, PKKSI, BKF (P4M). Untuk komitmen perjanjian yang memiliki implikasi fiskal terhadap pendapatan negara, dalam menyusun posisi Pemerintah, Departemen Keuangan melakukan koordinasi dengan instansi terkait.

Dalam hal peningkatan transparansi fiskal, dalam tahun 2008, melanjutkan kegiatan penyusunan revisi (updating) Report on the Observance of Standards and Codes (ROSCs) mengenai transparansi fiskal sebagai bagian dari inisiatif reformasi komunitas keuangan internasional yang telah berhasil disusun oleh Departemen Keuangan pada tahun 2006 dalam rangka memenuhi kewajiban negara anggota IMF untuk mengikuti standar internasional. Revisi Laporan ROSCs Fiskal, telah disampaikan kepada IMF sampai dengan draft kelima.

Page 345: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 12 Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan ���

www.depkeu.go.id

Dalam proses revisi ROSCs Fiskal, khususnya di bidang manajemen dan transparansi fiskal, Departemen Keuangan memanfaatkan bantuan teknis dari IMF dan melakukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait. Selain itu juga mengkoordinir tugas-tugas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan IMF mengenai pengelolaan dan penerimaan SDA dan kuesioner khusus untuk perusahaan SDA. Menerbitkan updating ROSCs dan mengedarkannya kepada instansi dan unit terkait.

Dalam forum Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Pemerintah Indonesia telah memberikan konfirmasi atas keanggotaan Indonesia dalam Development Committee. Indonesia merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang diundang dalam enhanced engagement program (Brazil, China,India,Indonesia dan South Africa). Dalam kunjungannya ke Indonesia, tanggal 25 Juli 2008, Sekjen OECD mempresentasikan Economic Assessment yang berisikan tentang perkembangan perekonomian Indonesia terkini.

Indonesia juga telah berpartisipasi dalam Survey on Budget Practises and Procedures oleh The London School of Economics and Political Sciences dalam rangka update database OECD yang dikenal dengan OECD Budget Practices and Procedures Survey. Di samping itu, Indonesia telah mengikuti berbagai kegiatan policy dialogue dalam bidang ekonomi keuangan dan pembangunan.

12.2.1.2. Kerja Sama ASEAN

Dengan ditandatanganinya ASEAN Economic Comunity (AEC) Blueprint yang merupakan dokumen dasar bagi integrasi ekonomi ASEAN 2015, dituntut suatu kesiapan dan penyusunan langkah-langkah strategis dalam menghadapinya. Sebagaimana tertuang dalam AEC, ASEAN akan ditransformasikan menjadi sebuah pasar tunggal dan basis produksi yang mana pergerakan barang, jasa, modal, dan tenaga kerja terampil akan difasilitasi. Dengan penduduk sekitar 600 juta jiwa dan pendapatan per kapita sekitar US $2,100, ASEAN merupakan wilayah tujuan investasi yang kompetitif dan pasar yang potensial.

Namun demikian, integrasi ekonomi ASEAN menemui beberapa hambatan antara lain, perbedaan tingkat perkembangan perekonomian dan regulasi nasional di masing-masing negara anggota, serta hambatan-hambatan non teknis. Komitmen dan konsistensi masing-masing negara anggota diperlukan agar ASEAN Economic Comunity (AEC) Blueprint dapat diwujudkan. Di samping itu, diperlukan konsistensi kebijakan pembangunan yang tidak hanya berorientasi pertumbuhan, melainkan juga pemerataan.

Dalam rangka menghadapi era pasar bebas ASEAN, Indonesia perlu segera menyusun langkah-langkah strategis secara bertahap. Dalam bidang keuangan misalnya, Pemerintah perlu berupaya untuk mengharmonisasikan kebijakan fiskal yang meliputi perpajakan khususnya penghindaran pajak berganda, tarif bea masuk terkait dengan klasifikasi dan prosedur, serta upaya untuk harmonisasi regulasi di pasar obligasi dan lembaga keuangan non-bank.

ASEAN sebagai wilayah ekonomi yang potensial, sejak krisis ekonomi 1997 telah membangun suatu skema kerja sama ekonomi dan keuangan yang ditujukan sebagai upaya preventif dan represif apabila terjadi krisis keuangan regional dengan menjalin kerja sama dengan negara-negara +3 (Jepang, Cina, dan Korea Selatan). Kerja sama tersebut antara lain tertuang dalam skema Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) dan Asian Bond Market Initiative (ABMI). CMIM merupakan suatu skema pembiayaan yang ditujukan untuk memberikan bantuan likuiditas jangka pendek bagi negara anggota yang terkena krisis dan merupakan pelengkap dari program bantuan lembaga keuangan multilateral.

Page 346: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Total pooling fund untuk dana mitigasi krisis dalam CMIM adalah sebesar US$120 milyar yang diperoleh dari kontribusi 13 negara ASEAN+3. Perbandingan pembayaran kontribusi antara negara ASEAN dan ASEAN+3 adalah 20:80 dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan ekonomi yang berbeda. Dari total dana tersebut, negara anggota memperoleh kuota peminjaman dengan besaran yang berbeda-beda tergantung dari jumlah kontribusinya. Dari kuota tersebut, negara anggota dapat melakukan pinjaman di luar program IMF (IMF de-linked portion) sebesar 20% sedangkan sisanya (80%) hanya dapat dicairkan apabila terdapat program IMF di negara tersebut. Indonesia sebagai salah satu anggota berpeluang untuk menjadi kreditor meskipun juga berpotensi sebagai peminjam. Dalam hal ini, dengan menyetorkan kontribusi sebesar US$4,77 milyar, Indonesia mempunyai kuota untuk meminjam sebesar 2,5 kali kontribusinya atau sekitar US$11,93 milyar. Dari kuota tersebut, US$2,4 milyar diantaranya dapat dicairkan tanpa program IMF.

Selanjutnya dalam menentukan pemberian pinjaman kepada negara yang membutuhkan, akan diputuskan berdasarkan suara mayoritas. Dalam hal ini, tidak satupun entitas (negara) yang dapat membatalkan keputusan yang telah diambil karena distribusi hak suara (voting power) tidak memungkinkan untuk suatu entitas (negara) melakukan hal tersebut.

Agar skema CMIM tersebut dapat berjalan dengan baik, diperlukan suatu mekanisme surveillance yang kuat, baik pada masa damai maupun pada saat krisis. Pada masa damai, surveillance diperlukan untuk memantau dan memproyeksikan perkembangan ekonomi global dan regional. Dengan demikian, ketidaknormalan pergerakan indikator-indikator ekonomi makro dapat segera ditangani. Sedangkan pada masa krisis, peran surveillance bertambah dengan melakukan assessment atas negara yang mengajukan pinjaman kepada CMIM. Mengingat fungsinya yang sangat krusial, diperlukan suatu institusi yang independent dengan didukung sumber daya yang capable dan berkualitas.

Dalam mendukung aktivitas surveillance, peran unit pemantauan internasional menjadi sangat penting. Program-program strategis untuk memantau perkembangan indikator-indikator ekonomi makro seperti nilai tukar, inflasi, arus modal, dan suku bunga perlu disusun dengan rinci sehingga dapat memberikan proyeksi yang jelas mengenai arah perkembangan ekonomi global. Upaya-upaya preventif yang mendesak dapat segera dilakukan apabila proyeksi menunjukkan suatu gerakan yang tidak stabil atas indikator-indikator ekonomi makro tersebut. Dalam hal ini, kemampuan sumber daya untuk menganalisa dan menyusun proyeksi ekonomi makro perlu ditingkatkan. Program-program terkait capacity building dan bantuan teknik akan sangat mendukung kinerja unit ini. Kerja sama dengan unit serupa di negara ASEAN+3 yang lain juga perlu diperkuat mengingat adanya efek tular (contagion effect) atas ketidakstabilan kondisi perekonomian di suatu negara ke negara yang lain. Tindakan kolektif yang cepat dan tanggap juga perlu dilakukan untuk memitigasi dampak dari ketidakstabilan kondisi perekonomian tersebut.

Inisiatif lain dalam kerangka ASEAN+3 yang ditujukan sebagai upaya preventif penanggulangan krisis adalah pengembangan pasar obligasi di Asia atau Asian Bond Market Initiative (ABMI). Pembentukan ABMI ditujukan untuk mengembangkan bond market yang efisien dan likuid di Asia, memanfaatkan kelebihan dana di Asia untuk diinvestasikan kembali di Asia, dan untuk mengurangi currency and maturity mismatch. Untuk meraih tujuan tersebut telah dibentuk empat working group yang masing-masing ditujukan untuk (i) mengembangkan penerbitan obligasi dalam mata uang domestik, (ii) memfasilitasi dan mengembangkan kebutuhan akan obligasi dalam mata uang domestik, (iii) menetapkan suatu dasar hukum yang sesuai dan harmonis dengan aturan nasional masing-masing negara anggota, dan (iv) mengembangkan infrastruktur pasar uang di Asia. Kerangka kerja masing-masing WG disusun dalam suatu work plan yang komprehensif dan attainable.

Page 347: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 12 Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan ���

www.depkeu.go.id

Salah satu upaya konkret yang sedang berjalan dalam ABMI adalah atas pembentukan Credit Guarantee and Investment Mechanism (CGIM) yang ditujukan untuk mendorong penerbitan obligasi korporasi dengan mata uang lokal dan peningkatan akses pasar obligasi korporasi. Sebagaimana diketahui, pelaku swasta yang mempunyai rating rendah tidak mempunyai akses pasar obligasi yang cukup memadai. Dalam hal ini, CGIM akan memberikan jaminan yang akan meningkatkan rating pelaku swasta tersebut sampai dengan rating investment grade. Untuk mendukung inisiatif tersebut, pada tahap awal diperlukan modal sejumlah US$ 500 juta yang berasal dari iuran 13 negara ASEAN+3. Unit ini akan menjadi suatu trust fund yang berada di bawah manajemen ADB

Di samping kerja sama dalam upaya penanggulangan dampak krisis dengan negara Plus Three, kerja sama ASEAN dengan para mitra dialog juga diwujudkan dalam bentuk perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) yang mencakup beberapa sektor prioritas antara lain investasi, serta perdagangan barang dan jasa. FTA yang saat ini sudah berjalan yaitu ASEAN-Korea FTA, ASEAN-Australia-New Zealand FTA, dan ASEAN-China Agreement on Investment. Pelaksanaan FTA telah memberikan dampak yang positif bagi peningkatan arus investasi dan perdagangan barang dan jasa antara ASEAN dengan para mitra dialog. Saat ini, ASEAN juga tengah menjajagi FTA dengan India dan Uni Eropa.

Pada sisi yang lain, kerja sama ekonomi subregional ASEAN (KESR ASEAN) juga mempunyai peranan yang sangat penting, terutama bagi pertumbuhan di wilayah perbatasan. KESR ditujukan untuk meningkatkan perdagangan, pariwisata dan investasi di wilayah pertumbuhan dengan cara memfasilitasi pergerakan manusia, barang dan jasa, merasionalisasi pembangunan infrastruktur, dan mengkoordinasikan manajemen ekosistem dan sumber daya untuk pembangunan berkelanjutan. KESR meliputi Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) dan Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA). Program-program KESR telah disusun secara rinci dalam suatu roadmap yang disebut BIMP-EAGA Roadmap to Development 2006-2010 dan IMT-GT Roadmap to Development 207-2011. Beberapa isu pokok dalam BIMP-EAGA dan IMT-GT roadmap antara lain pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan perluasan konektifitas (transport, energi dan fasilitas perdagangan) serta pengembangan daerah pariwisata.

12.2.1.3. Kerja Sama Regional

Di era globalisasi dan liberalisasi seperti sekarang ini, kerja sama regional mempunyai peran yang penting dalam rangka meningkatkan kerja sama ekonomi, keuangan, dan perdagangan. Selama ini Indonesia telah berpartisipasi aktif dalam rangka meningkatkan kerja sama ekonomi dan keuangan antar kawasan khususnya melalui forum-forum kerja sama Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), Asia Europe Meeting (ASEM), East Asia Summit (EAS), dan Asia Middle East Dialogue (AMED). Berbagai manfaat telah diperoleh Indonesia dalam rangka kerja sama tersebut antara lain ikut menentukan arah kerja sama ekonomi kawasan, peningkatan fasilitas perdagangan dan investasi, kerja sama ekonomi dan teknik antar kawasan, dan peningkatan pembangunan kapasitas (capacity building).

Departemen Keuangan sebagai focal point untuk kerja sama ekonomi dan keuangan di forum-forum inter regional, memegang peranan yang sangat penting dalam rangka memperjuangkan kepentingan Indonesia baik dalam upaya peningkatan peran dan posisi Indonesia dalam kerja sama ekonomi dan keuangan antar kawasan maupun dalam upaya memantau perkembangan perekonomian global. Peranan tersebut membutuhkan kebijakan maupun strategi tepat agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kepentingan pemerintah, masyarakat luas, dan para pelaku bisnis.

Page 348: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Dalam lingkup kerja sama APEC di bidang keuangan, selama 2004-2009, isu-isu pokok ekonomi dan keuangan yang dibahas antara lain: Developing and Deepening Capital Market, Ageing Population, Financial Sector Reform, Structural reform, dan Fiscal sustainability.

Pada umumnya, isu yang selalu dibahas dalam Pertemuan Para Menteri Keuangan APEC (APEC Finance Ministers’ Meeting/APEC FMM) adalah perkembangan perekonomian global dan kawasan terkini. Krisis keuangan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, menjadi isu utama dalam pertemuan APEC FMM, khususnya dampaknya kepada pasar modal.

Dalam rangka mengatasi dampak krisis keuangan terhadap pasar modal, para Menteri telah mendiskusikan berbagai pilihan kebijakan antara lain perlunya melanjutkan reformasi perangkat aturan dan governance. Pentingnya kerja sama dan harmonisasi aturan di kalangan otoritas pasar modal di kawasan dalam meminimalkan dampak krisis keuangan terhadap pasar modal juga diperlukan. Partisipasi lebih luas dengan regulasi yang memadai dari berbagai pelaku pasar seperti dana pensiun, perusahaan asuransi, dan fund manager dibutuhkan untuk memperdalam dan memperluas (deepening and expanding) kegiatan pasar modal.

Krisis ekonomi juga berdampak pada pelaksanaan structural reform di tiap-tiap anggota ekonomi APEC. Kebijakan stimulus fiskal dianggap dapat mengganggu sustainable growth, selain menimbulkan kekhawatiran semakin banyaknya praktek proteksionisme dalam kebijakan perdagangan. Kebijakan mendorong domestic demand melalui beberapa paket policy seperti stimulus fiskal, social safety net, meningkatkan liquiditas di lembaga keuangan, sangat diperlukan dalam penanganan krisis keuangan. Walaupun demikian, pelaksanaan structural reform tidak boleh terganggu oleh berbagai implikasi kebijakan yang diambil, terutama untuk jangka menengah dan panjang.

Selain itu, krisis keuangan juga merupakan pelajaran berharga bagi anggota ekonomi APEC mengenai pentingnya transparansi dan keterbukaan institusi keuangan dengan transaksi yang semakin kompleks, manajemen resiko, dan kredibilitas dari institusi credit rating. Anggota ekonomi APEC juga perlu waspada terhadap krisis keuangan yang mungkin masih akan berlanjut mengingat adanya prediksi dari lembaga keuangan multilateral yang pesimis terhadap perkembangan ekonomi global jangka pendek.

Isu lain yang menjadi perhatian Para Menteri Keuangan APEC adalah volatilitas harga minyak dan komoditi. Ketidakseimbangan antara supply dan demand atas energi mendorong peningkatan harga dan volatilitas yang tajam dari berbagai jenis energi konvensional, dan berkurangnya jaminan (security) atas ketersediaan energi di masa mendatang. Para Menteri Keuangan APEC mendorong kerja sama antar negara dalam pencarian sumber-sumber alternatif energi. Selain itu, Para Menteri Keuangan APEC juga mendukung upaya-upaya yang dilakukan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam rangka mengatasi krisis pangan global, dan komitmen lembaga keuangan multilateral dalam mendukung pembiayaan infrastruktur untuk ketersediaan pangan. Para Menteri juga sependapat atas perlunya kerangka regulasi, infrastruktur transportasi, dan logistik yang memadai dalam mendukung ketersediaan dan pemasaran komoditi pangan.

Kesinambungan fiskal juga merupakan isu penting yang dibahas dalam Pertemuan Para Menteri Keuangan lima tahun terakhir. Para Menteri Keuangan menyadari bahwa kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) penting untuk pembangunan dan stabilitas ekonomi. Risiko-risiko fiskal yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan kewajiban yang menganggu posisi budget, meningkatkan utang pemerintah, dan menambah dampak negatif dari gejolak ekonomi dan keuangan. Pengalaman tiap-tiap anggota ekonomi APEC dalam mengelola berbagai risiko ”off-balance sheet” termasuk kemitraan antara pemerintah dan swasta (Public and Private Partnership/PPPs), perusahaan-perusahaan milik negara, tingkatan pemerintah, pensiun dan kesehatan, dan penjaminan menjadi pelajaran yang berharga dalam menyusun langkah-langkah kebijakan domestik.

Page 349: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 12 Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan ���

www.depkeu.go.id

Keberhasilan dalam mengimplementasikan Performance Based Budgeting (PBB) juga menjadi isu penting dalam fiscal sustainability. Para Menteri Keuangan APEC sepakat bahwa PBB dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengeluaran publik, dan mengakui pentingnya pemfokusan pada outcomes dari program dan standar kinerja pada proses penganggaran. Persyaratan keberhasilan implementasi PBB meliputi kerangka regulasi dan sistem manajemen yang andal, ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan yang memadai untuk pengelolaan PBB, transparansi proses berikut pelaporannya, serta akurasi dan kelengkapan data anggaran.

Dalam rangka meningkatkan capacity building di wilayah anggota ekonomi APEC, Departemen Keuangan bekerja sama dengan Australian Treasury menyelenggarakan beberapa workshop di Indonesia antara lain: Workshop on Fiscal Risk Management, Workshop on Fiscal Space, dan Workshop on APEC OECD Integrated Checklist on Regulatory Reform.

Dalam lingkup kerja sama ekonomi dan Keuangan Asia-Eropa (Asia Europe Meeting/ASEM), isu utama yang menjadi perhatian Para Menteri Keuangan ASEM antara lain: Penanganan krisis keuangan, Reformasi lembaga keuangan internasional, Lessons Learned from Economic Integration in Europe and consequent implications for Asia, Infrastructure finance and Microfinance, Market-oriented approaches to cope with climate change dan Capacity building.

Untuk isu Lessons Learned from Economic Integration in Europe and consequent implications for Asia, disinggung mengenai perkembangan Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM) yang digagas oleh ASEAN+3 dan perbandingan dengan integrasi keuangan di Eropa. CMIM yang merupakan pooling fund untuk mitigasi krisis telah mencapai kesepakatan atas komponen-komponen utamanya, namun format surveillance dan kerangka hukumnya masih didiskusikan. Keberhasilan proses integrasi ekonomi Eropa merupakan masukan yang berharga bagi proses integrasi ekonomi Asia. Bagaimanapun proses yang dilalui oleh Eropa tidak bisa dengan mudah diimplementasikan dalam proses integrasi ekonomi Asia mengingat perbedaan karakteristik yang mendasar (luas wilayah dan kultur) dalam proses di kedua kawasan.

Para Menteri Keuangan ASEM juga memandang perlunya kerja sama antar kawasan dalam rangka meningkatkan peran Public Private Partnership (PPP) dalam proses pembangunan. Melalui PPP, sektor swasta didorong untuk berpartisipasi aktif dalam mengisi gap kekurangan pembiayaan infrastruktur. Konsep PPP di Asia dinilai masih belum berjalan, kecuali atas beberapa proyek infrastruktur, dan kemajuan Eropa dalam bidang ini diharapkan dapat mendorong perkembangan PPP di Asia.

Terhadap isu Market-oriented approaches to cope with climate change, para Menteri Keuangan ASEM memfokuskan pada upaya untuk memitigasi dan mengadaptasi climate change melalui international carbon pricing. Sementara itu, terkait dengan upaya mitigasi melalui mekanisme pasar (market based), para Menteri Keuangan sepakat agar pemerintah negara anggota ASEM melakukan intervensi langsung melalui carbon taxes, atau pembatasan jumlah carbon melalui carbon trading.

Dalam rangka meningkatkan kerja sama ekonomi dan keuangan yang lebih erat di antara negara anggota ASEM, pada tahun 2005 para Menteri Keuangan ASEM menyetujui program Tianjin Initiative. Tujuan dari inisiatif tersebut adalah meningkatkan kerja sama ekonomi dan keuangan di antara negara anggota ASEM melalui peningkatan policy dialogue, technical assistance, dan examining new approaches in further enhancing the Asia-Europe ties with a long term vision.

Page 350: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Mengenai kerja sama ekonomi Asia Timur Tengah (Asia Middle East Dialogue/AMED), forum ini belum begitu maju. Departemen Keuangan berpartisipasi aktif dalam pertemuan ahli tingkat tinggi negara-negara (High Level Expert Meeting/HELM) AMED mengenai krisis keuangan global yang diselenggarakan pada tanggal 15-16 Februari 2009 di Cairo. Pertemuan tersebut secara khusus membahas: Diagnosis krisis keuangan dan dampaknya terhadap perekonomian negara-negara AMED, khususnya yang terkait dengan penurunan ekspor impor dan investor swasta yang pada gilirannya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi, di samping menimbulkan dampak sosial; Potensi koordinasi antar negara-negara anggota AMED untuk mengurangi dampak negatif krisis melalui fasilitasi pembiayaan perdagangan serta pendirian proyek-proyek regional yang dikendalikan oleh pemerintah untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi dan melindungi kelompok masyarakat miskin; dan Potensi pengembangan mekanisme pengawasan dan kontrol nasional dan internasional untuk meningkatkan sistem moneter internasional serta mengembangkan kemampuan ekonomi nasional untuk berintegrasi dengan ekonomi global.

12.2.1.4. Kerja Sama Multilateral

Kerja sama internasional baik di tingkat global maupun regional dewasa ini semakin berkembang pesat, terlebih saat outlook perekonomian dunia dibayangi oleh ketidakpastian ekonomi global sebagai akibat krisis mortgage di AS, kenaikan harga energi dan komoditas pangan. Akhir-akhir ini agenda-agenda pertemuan internasional bidang ekonomi dan keuangan hampir seluruhnya membahas mengenai bagaimana upaya mencegah dampak buruk krisis yang oleh banyak kalangan diangggap sebagai krisis terburuk setelah peristiwa great depression tahun 1930an.

Sebagai respon terhadap ketidakpastian ekonomi global, para pemimpin dunia yang tergabung dalam kelompok 20 (G-20) sepakat menyelenggarakan KTT untuk pertama kalinya di Washington, D.C, AS, pada tanggal 15 November 2008 guna membahas perkembangan terkini perekonomian global. Dalam pertemuan ini, para pemimpin G20 sepakat untuk mencegah memburuknya dampak krisis, melalui langkah cepat guna mengembalikan kepercayaan pasar terhadap sistem keuangan internasional. Hal tersebut dapat dilakukan melalui peningkatan transparansi khususnya terkait dengan kerugian di sektor keuangan, menormalisasikan kondisi likuiditas internasional melalui upaya terkoordinasi untuk melonggarkan kebijakan moneter, dan memperbaiki balance sheet melalui injeksi modal. Selain itu, guna merevitalisasi pertumbuhan ekonomi global para pemimpin G-20 juga sepakat untuk menerapkan kebijakan fiskal yang bersifat counter cyclical dan mencegah proteksionisme perdagangan.

Dalam pertemuan tersebut Indonesia berhasil memperjuangkan tujuh pemikiran yang disepakati negara-negara G20 untuk diadopsi sebagai prinsip dalam deklarasi dan ditindaklanjuti dalam action plan yaitu:1. Perbaikan sistem keuangan haruslah disertai komitmen untuk tidak melupakan berbagai isu pembangunan lainnya seperti pencapaian Millenium Development Goals, climate change, food and energy security, pembangunan infrastruktur, dsb. 2. Perlunya meningkatkan legitimasi sistem keuangan global melalui keterwakilan yang lebih besar dari emerging markets dan low-income countries.3. Perlunya mekanisme dukungan pendanaan bagi negara berkembang yang terkena dampak dari kelangkaan likuiditas di pasar internasional akibat krisis global, untuk memperkuat ruang fiskal guna memelihara pertumbuhan ekonominya. Mekanisme tersebut ditujukan khusus bagi negara yang memiliki track record dan kerangka kebijakan yang baik seperti Indonesia, bersifat contingency (hanya digunakan apabila sumber pendanaan dari pasar tidak memungkinkan), rapid disbursement dan tanpa conditionally, serta ditujukan bagi program pembangunan termasuk terkait infrastruktur.

Page 351: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 12 Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan ��9

www.depkeu.go.id

4. Perlunya prinsip pembedaan antara negara maju dan berkembang terkait dengan upaya meningkatkan standar regulasi sistem keuangan global melalui pemberian waktu penyesuaian bagi negara berkembang untuk mencapai standar dan best practice sistem keuangan internasional, dan perlunya dukungan dari negara maju dan IFIs melalui program capacity building bagi negara berkembang untuk meningkatkan kualitas sistem keuangannya.5. Perlunya komitmen G20 bagi inisiatif Stolen Asset Recovery (StAR) dari Bank Dunia, untuk memperketat penerapan prinsip-prinsip anti money-laundering dari Financial Action Task Force (FATF) khususnya di negara-negara yang selama ini menjadi safe haven bagi dana hasil korupsi.6. Terkait dengan komitmen G20 untuk menghindari kecenderungan proteksionisme perdagangan, Indonesia menekankan bahwa negara tetap memiliki hak untuk melindungi pasar domestiknya selama hal itu dilakukan dalam kerangka WTO. 7. Indonesia mengusulkan agar lembaga internasional dapat menyediakan dukungan anggaran, agar negara berkembang tetap dapat melakukan counter cyclical policy untuk mempertahankan pertumbuhannya, sehingga dampak negatif krisis terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengangguran dapat dikurangi. Dana ini dapat diimplementasikan dalam format global expenditure support fund yang akan memungkinkan negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk terus menjalankan program pengentasan kemiskinan, kesehatan, infrastruktur, sehingga penduduk yang miskin dapat terlindungi. (Devert Drawdown Option/DDO, ADB = $500 Million, WB = $2 Billion)

Dampak krisis keuangan global juga membuat kerja sama ekonomi dan keuangan dengan berbagai lembaga keuangan internasional (LKI) mengalami “re-adjustment”. Negara-negara anggota berbagai LKI menghendaki dilakukannya reposisi kebijakan dan hubungan mereka dengan lembaga-lembaga tersebut. Beberapa hal yang sekarang menjadi tuntutan dari negara-negara anggota khususnya negara-negara sedang berkembang antara lain:1. Ditingkatkannya bantuan dan pinjaman lunak bagi negara-negara berkembang yang menderita akibat imbas negatif krisis keuangan global yang bermula pada krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat. Hal ini dimulai dengan ditingkatkannya modal kerja berbagai lembaga keuangan internasional. 2. Didesainnya suatu instrumen pendanaan yang lebih fleksibel, mudah diakses dan berbiaya murah.3. Disediakannya bantuan non-tunai bagi negara-negara berkembang dalam upaya mengumpulkan dana untuk program-program counter-cyclical-nya. Bantuan ini dapat berupa penjaminan penerbitan obligasi pemerintah dalam mata uang asing.4. Diperbaikinya sistem dan cakupan surveillance lembaga keuangan internasional khususnya IMF dan diintegrasikannya sistem surveillance makro ekonomi dan pasar uang dan dibangunnya kerja sama antara IMF dan Financial Stability Board (FSB) untuk mendukung hal ini.5. Diteruskannya upaya reformasi lembaga keuangan internasional khususnya yang menyangkut perimbangan representasi dan hak suara yang lebih baik antara negara berkembang dan negara maju. Adapun dalam hali ini Menteri Keuangan RI sebagai chairman untuk ADB Reform dan anggota komite reformasi IMF.6. Disempurnakannya sinerji antara kebijakan-kebijakan yang mengarah pada penanggulangan dampak krisis keuangan global, perubahan lingkungan, pengentasan kemiskinan dan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs).7. Ditingkatkannya kerja sama dalam hal capacity building dalam rangka penyempurnaan berbagai kebijakan kunci terkait fiskal antara lain; • Kebijakan Fiskal terkait kemudahan berbisnis; • Kebijakan Fiskal terkait investasi di sektor energi bersih dan terbarukan dan sebagainya.

Page 352: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Terkait dengan tuntutan dilakukannya peningkatan modal LKI, dalam pertemuan Finance Ministers Meeting (FMM) G-20 di London, Inggris, tanggal 13-14 Maret 2009 disepakati mengenai rencana kenaikan modal Bank-bank Pembangunan Multilateral (MDBs). Urgensi disepakatinya penambahan modal tersebut adalah agar masing-masing MDBs semakin memiliki kapasitas dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan negara-negara anggotanya terlebih pada situasi krisis dimana MDBs diharapkan dapat mendukung berbagai program counter-cyclical negara-negara anggotanya. Salah satu MDBs yang telah siap untuk melaksanakan penambahan modal adalah ADB. Pada Sidang Tahunan Dewan Gubernur ADB yang ke-42 di Bali, dewan gubernur sepakat untuk meningkatkan modal (General Capital Increase/GCI) ADB ke-5 sebesar 200 persen di mana 4 persennya akan dibayarkan secara tunai (paid-in) dengan periode pelunasan 5 tahun. Dengan skenario tersebut ADB akan memperoleh tambahan dana sebesar USD100 milyar yang berasal dari negara anggota dan pasar.

Berdasar hasil perhitungan maka alokasi dana yang diperlukan oleh Indonesia untuk membayar kenaikan modal tersebut adalah sebesar USD180 juta atau setara Rp 2.232.000.000.000 (USD 1 setara Rp 12.000) untuk pembayaran tunai sebesar 4 persen. Dengan demikian bila pembayaran tersebut harus diselesaikan dalam kurun waktu 5 tahun maka setiap tahun pemerintah perlu menganggarkan dana sekitar Rp. 446.400.000.000.

Terkait dengan penyertaan modal pemerintah (PMP) di LKI, per 31 Desember 2008 total PMP di LKI adalah sebesar Rp 41.284.763.735.175 dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 12.1. Penyertaan Modal Pemerintah di Lembaga Keuangan Internasional

No Lembaga Keuangan Internasional Rupiah

1 Asian Development Bank 2,275,884,546,000

2 International Monetary Fund 35,069,265,870,000

World Bank Group:

3 International Bank for Reconstruction and Development 1,207,519,692,122

4 International Development Association 158,428,239,890

5 International Finance Corporation 312,502,050,000

6 Multilateral Investment Guarantee Agency 41,586,129,000

7 Islamic Development Bank Group 1,730,175,563,100

8 International Islamic Trade Finance Corporation 22,557,000,000

9 Islamic Corporation for Insurance of Investment and Export Credit 2,108,237,500

10 International Fund for Agricultural Development 459,451,050,000

11 Common Fund for Commodities 5,285,357,564

Jumlah total 41,284,763,735,175

Catatan: Jumlah tersebut sudah termasuk nilai promissory note (surat janji bayar ) sebesar Rp 28.293.363.646.591,10

Page 353: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 12 Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan ��1

www.depkeu.go.id

12.2.2. Kerja Sama Bidang Terdapat dua bidang kerja sama yang penting yaitu Bidang Kerja Sama Sektor Jasa dan Bidang Kerja Sama Teknik Luar Negeri. Dalam Bidang Kerja Sama Sektor Jasa dibentuk suatu tim Interdepartemen yaitu Sekretariat Tim Koordinasi Bidang Jasa (sudah dialihkan ke Departemen Perdagangan) yang mempunyai tugas menentukan tingkat liberalisasi sektor jasa di dalam negeri dan partisipasi Indonesia dalam diplomasi perundingan liberalisasi jasa pada forum perundingan internasional. Disamping itu dalam upaya meningkatkan sumberdaya manusia melalui hibah pendidikan dan pelatihan, dilakukan kerja sama teknik luar negeri.

12.2.2.1. Bidang Jasa

Departemen Keuangan selaku koordinator liberalisasi jasa memiliki peran penting dalam penentuan tingkat liberalisasi perdagangan sektor jasa di dalam negeri dan partisipasi Indonesia dalam perundingan liberalisasi perdagangan jasa pada forum perundingan internasional. Dalam melaksanakan peran tersebut telah dibentuk Tim Koordinasi Bidang Jasa (TKBJ) yang bertanggung jawab mengkoordinasikan instansi-instansi pembina sektor jasa dalam menentukan strategi dan tingkat liberalisasi sektor jasa serta turut terlibat sebagai perunding liberalisasi perdagangan jasa Indonesia dalam berbagai forum perundingan perdagangan jasa internasional.

Ruang lingkup tugas penentuan tingkat liberalisasi perdagangan sektor jasa di dalam negeri meliputi penyusunan strategi liberalisasi perdagangan sektor jasa bersama instansi pembina sektor jasa terkait, persiapan perundingan internasional, dan kajian liberalisasi perdagangan sektor jasa bekerja sama dengan lembaga penelitian/universitas, termasuk peningkatan kapasitas personil TKBJ dan instansi pembina sektor jasa.

Sedangkan ruang lingkup tugas partisipasi Indonesia dalam diplomasi perundingan liberalisasi perdagangan jasa di forum internasional adalah turut terlibat sebagai perunding perdagangan jasa Indonesia pada forum World Trade Organization (WTO), ASEAN, bilateral, dan Free Trade Area (FTA) antara ASEAN dengan Mitra Wicara, yang masing-masing bersifat mengikat, serta APEC yang bersifat tidak mengikat. Di samping itu, dilakukan pula berbagai kegiatan tindak lanjut dari kesepakatan yang dihasilkan dalam berbagai forum tersebut yakni pemenuhan komitmen internasional sesuai dengan waktu yang telah ditentukan serta proses ratifikasi dan notifikasi kesepakatan perundingan internasional.

Sejak dimulainya Putaran Doha dalam WTO pada tahun 2001, perundingan perdagangan jasa telah menjadi satu kesatuan dengan perdagangan barang. Namun, putaran tersebut terancam gagal karena belum tercapainya kesepakatan dalam sektor pertanian dan NAMA (Non-Agricultural Market Access) di antara negara-negara anggota WTO. Dalam konteks aktivitas request-offer perundingan jasa telah disepakati suatu metode baru yang akan dilakukan pada tingkat Menteri (Green Room), yaitu yang diistilahkan dengan “Signalling Conference” (SC). Dalam SC bulan Juli 2008, para Menteri telah memberikan signal atau indikasi positif mengenai sektor apa saja yang akan dibuka dan ditingkatkan komitmennya. Inisiatif dari SC ini dimaksudkan untuk dapat memberikan gambaran awal kepada para pihak yang berkepentingan sampai sejauh mana akses pasar sektor jasa ini akan dibuka, terutama di negara anggota berkembang yang menjadi “target”, seperti Indonesia. Dengan demikian, proses perundingan Doha Development Agenda (DDA) secara keseluruhan dapat didorong untuk mencapai suatu kemajuan dan kesepakatan.

Page 354: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Dalam lingkup ASEAN, sebagaimana tercantum dalam ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint yang telah disepakati para pemimpin negara anggota ASEAN pada bulan November 2007, liberalisasi sektor-sektor jasa secara penuh diharapkan dapat terealisasi pada tahun 2015 dengan diawali liberalisasi 4 sektor prioritas (healthcare, air transport, e-ASEAN, dan tourism) pada tahun 2010 dan sektor logistik pada tahun 2013.

Terkait dengan liberalisasi 4 sektor prioritas tersebut, Indonesia telah menyampaikan 80 subsektor, 77 subsektor di antaranya telah memenuhi threshold, melebihi jumlah subsektor (70 subsektor) yang disyaratkan dalam kesepakatan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) Paket ke-6. Selanjutnya untuk AFAS Paket ke-7, dari sisi jumlah komitmen, sub-sektor jasa-jasa yang telah disampaikan pada AFAS paket-paket sebelumnya akan di-mapping ke W/120 Universe List, dengan total sub-sektor yang memenuhi threshold minimal sejumlah 65 sub-sektor untuk AFAS Paket ke 7 dengan ketentuan Foreign Equity Participation (FEP) sebesar 51% untuk sektor prioritas dan 49% untuk sektor non-prioritas.

Indonesia saat ini sudah mampu memenuhi komitmen di 68 sub-sektor dari 65 subsektor sebagaimana yang disyaratkan dalam kesepakatan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) Paket 7. Dengan demikian kini tercatat baru 4 (empat) negara ASEAN yang telah mampu memenuhi komitmen minimum di AFAS Paket 7, yaitu Indonesia, Kamboja, Singapura, dan Thailand. Terkait dengan Mutual Recognition Arrangement (MRA), beberapa negara anggota ASEAN telah menyampaikan notifikasi yaitu:a. MRA on Engineering Services: Indonesia, Filipina, Lao PDR, Malaysia, Singapura dan Vietnam telah menyampaikan notifikasi keikutsertaannya,b. MRA on Architectural Services: Indonesia, Lao PDR, Malaysia, Singapura dan Thailand telah menyampaikan notifikasi keikutsertaannya. Sedangkan Brunei Darussalam, Kamboja, dan Vietnam akan menyampaikan notifikasinya pada tahun 2009.

Selanjutnya pada AEM ke-40 pada bulan Agustus 2008 telah ditandatangani 3 (tiga) MRA: MRA Framework on Accountancy Services, MRA on Medical Practitioners and MRA on Dental Practitioners.

Di sisi lain, terkait dengan liberalisasi perdagangan jasa dalam lingkup bilateral, Indonesia dan Jepang telah berhasil merealisasikan kerangka kerja sama Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA). IJ-EPA telah ditandatangani oleh pimpinan kedua negara pada tanggal 20 Agustus 2007 dan berlaku efektif sejak 1 Januari 2008 lalu. Sedangkan perundingan bilateral dengan India baru memasuki tahap awal berupa pembentukan Joint Study Committee Indonesia-India.

Dalam lingkup perundingan Free Trade Area (FTA) antara ASEAN dan mitra wicara, selama tahun 2008 telah berjalan 6 (enam) perundingan yaitu ASEAN dengan China, Korea, Australia dan New Zealand (ANZ), Jepang, European Union (EU), dan India. Dari 6 (enam) perundingan dimaksud, 3 (tiga) di antaranya sudah diselesaikan yaitu ASEAN-China, ASEAN-Korea, dan ASEAN- Australia, New Zealand. Sedangkan perundingan ASEAN dengan mitra wicara lain yaitu EU dan India saat terakhir masih dalam tahap Joint Committee Study (JCS).

Walau bersifat tidak mengikat, kerja sama ekonomi dalam forum APEC memiliki peran yang tidak kalah penting, mengingat dalam forum ini para anggota APEC yang juga merupakan anggota WTO bersama-sama berupaya mendorong terciptanya kawasan Asia Pasifik sebagai kawasan investasi dan perdagangan yang bebas dan terbuka. Bidang Pengkajian Kerja sama Internasional dan Sektor Jasa turut berpartisipasi aktif dalam subfora Group on Services (GOS) dan fora Committee on Trade and Investment (CTI) serta mengkoordinasikan APEC-Individual Action Plan (IAP) yang berisi ketentuan liberalisasi dan pengaturan domestik bagi para penyedia jasa sebagai pemenuhan

Page 355: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 12 Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan ���

www.depkeu.go.id

aspek transparansi dalam rangka pencapaian Bogor Goals 2010 dan 2020. Forum APEC memiliki nilai strategis mengingat dalam upaya pencapaian tersebut setiap ekonomi anggota diberikan keleluasaan untuk membuat berbagai inisiatif program capacity building guna melakukan proses pembelajaran bersama-sama dengan ekonomi anggota APEC lainnya.

Dalam tahun 2008 telah diselesaikan proses ratifikasi berikut:1. ASEAN-China, proses ratifikasi perjanjian sudah diselesaikan dengan dikeluarkannya Perpres Nomor 18 Tahun 2008:2. AFAS Paket ke 4 untuk jasa non-keuangan dan transportasi udara (Perpres No. 52 Tahun 2008); 3. AFAS Paket ke 3 jasa keuangan (Perpres No. 51 Tahun 2008). 4. AFAS Paket ke 4 jasa keuangan

12.2.2.2. Bidang Teknik Luar Negeri

Kegiatan-kegiatan utama yang bertalian dengan Kerja Sama Teknik Luar Negeri (KTLN) mencakup (1) Pengurusan pencalonan dan/atau keberangkatan pegawai Departemen Keuangan ke luar negeri dalam rangka mengikuti program degree maupun non-degree yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dengan hibah (grant) dari sponsor, (2) Pengurusan para Tenaga Ahli Asing (Experts) baik untuk jangka pendek (short term) maupun jangka panjang (long term) yang ditempatkan pada atau ditugaskan untuk kepentingan Departemen Keuangan, (3) Pengkoordinasian usulan proyek-proyek di lingkungan Departemen Keuangan yang dibiayai dengan hibah (grant) dari sponsor luar negeri, dan (4) Pengkoordinasian kunjungan misi asing.

Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan KTLN diarahkan pada upaya-upaya untuk meningkatkan bantuan/hibah luar negeri dalam rangka meningkatkan jumlah penerima beasiswa luar negeri, baik untuk program degree maupun non-degree dan tersedianya tenaga ahli asing (expert) yang berkualitas. Melalui peningkatan jumlah peserta program degree dan non-degree tersebut diharapkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) pegawai Departemen Keuangan juga semakin meningkat. Demikian pula dengan tersedianya expert yang berkualitas, diharapkan kemampuan para pegawai, terutama dalam menangani berbagai hal yang terkait dengan kerja sama keuangan internasional dapat lebih ditingkatkan, sehingga pada gilirannya mampu memperlancar tugas-tugas dan kinerja Departemen Keuangan secara keseluruhan. Selain itu, kebijakan dalam rangka KTLN juga diarahkan pada peningkatan jumlah proyek yang berbantuan grant serta pelayanan kepada para tamu asing yang berkunjung ke Departemen Keuangan.

Strategi-strategi yang dilakukan dalam rangka mewujudkan upaya-upaya di atas adalah sebagai berikut:1. Untuk meningkatkan jumlah penerima besiswa luar negeri strategi yang dilakukan meliputi : a. Mengadakan approach ke Kedubes-kedubes terkait di Jakarta; b. Melakukan komunikasi dan/atau konsultasi dengan pihak sponsor luar negeri dalam rangka mencari sponsor baru dan meningkatkan hubungan dengan sponsor yang ada; c. Sosialisasi program-program beasiswa kepada unit-unit di lingkungan Departemen Keuangan; d. Memanfaatkan pertemuan-pertemuan bilateral dan/atau multilateral; e. Meningkatkan koordinasi dengan instansi-instansi terkait.2. Untuk memperoleh expert yang berkualitas strategi yang dilakukan meliputi : a. Menentukan kriteria dalam menerima dan/atau mengusulkan expert; b. Menjalin komunikasi dengan pihak sponsor penyedia expert; c. Meningkatkan koordinasi dengan instansi-instansi terkait3. Untuk meningkatkan jumlah proyek berbantuan grant, strategi yang dilakukan meliputi : a. Menyebarkan informasi tentang proyek-proyek yang disediakan oleh sponsor kepada unit-unit di lingkungan Departemen Keuangan;

Page 356: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

b. Meningkatkan koordinasi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan proyek-proyek bantuan sponsor; c. Meningkatkan koordinasi dengan instansi-instansi terkait.4. Untuk meningkatkan pelayanan kepada para tamu asing, strategi yang dilakukan meliputi : a. Memberikan pengarahan dan bimbingan kepada para pegawai yang bertugas melayani tamu asing; b. Menyediakan fasilitas kendaraan yang memadai untuk antar-jemput tamu asing; c. Membantu menyusun program selama tamu berada di Indonesia; d. Meningkatkan koordinasi dengan instansi-instansi terkait.

Selama 5 tahun terakhir, kegiatan-kegitan yang bertalian dengan KTLN pada umumnya cenderung semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2004 jumlah pegawai yang berangkat ke luar negeri untuk mengikuti program degree dan non-degree mencapai 363 orang yang terdiri dari peserta program degree sebanyak 52 orang dan program non-degree 311 orang. Sementara itu, pada tahun 2008 jumlah tersebut mencapai menjadi 567 orang yang terdiri dari peserta program degree 71 orang dan program non-degree 496 orang, atau mengalami peningkatan sebesar 56,2%. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh semakin bertambahnya jumlah sponsor yang memberikan bantuan beasiswa kepada Indonesia, sebagai akibat dari meningkatnya hubungan kerja sama dengan para donor, baik dalam rangka kerja sama bilateral, regional, maupun multilateral, terutama dari Australia, Jepang, Korea, IMF, World Bank, dan ADB. Perkembangan mengenai jumlah penerima beasiswa selama periode 2004-2008 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 12.2. Perkembangan peserta program Degree dan Non Degree 2004-2008

Dari tabel di atas, kita melihat bahwa peserta program degree mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2006 (111 orang). Hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah beasiswa dari Australia melalui program Australian Development Scholarship (ADS) dan Australian Partnership Scholarship (APS). Biasanya Australia memberikan beasiswa melalui program ADS saja, namun terkait dengan musibah Tsunami yang melanda Indonesia pada akhir tahun 2004, maka Australia memberikan beasiswa tambahan melalui program APS selama 2 tahun (2005-2006), sehingga jumlah beasiswa untuk Indonesia yang biasanya berkisar antara 250 s.d. 300 orang menjadi 500 s.d. 600 orang per tahun selama periode tersebut.

No. Program 2004 2005 2006 2007 2008 Total

1. Degree 52 60 111 65 71 359

a. S2 50 55 105 59 56 325

b. S3 2 5 6 6 15 34

2. Non-Degree 311 425 515 496 496 2243

Seminar 31 33 41 49 57 211

Conference/Meeting/Symposium 38 50 79 75 53 295

Kursus/Workshop/Training 185 246 314 290 263 1298

Studi Banding 41 70 28 72 24 235

Lain-lain 16 26 53 10 99 204

Total 363 485 626 561 567 2602

Page 357: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 12 Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan ���

www.depkeu.go.id

Dalam melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan jumlah penerima beasiswa luar negeri tersebut tidak terlepas dari berbagai kendala, di antaranya (1) Terbatasnya kemampuan sponsor memberikan beasiswa, (2) Persyaratan memperoleh beasiswa luar negeri yang cukup berat, (3) Rigidnya penerapan prosedur pengurusan dokumen oleh beberapa instansi terkait, dan (4) Tidak memadainya waktu penyampaian tawaran.

Selanjutnya mengenai jumlah ahli, baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek, selama periode 2004-2009 berfluktuasi. Pada tahun 2004 jumlah expert yang disediakan untuk kepentingan Departemen Keuangan mencapai 21 (dua puluh satu) orang yang terdiri dari long-term expert 9 (sembilan) orang dan short term expert 12 (dua belas) orang, sedangkan pada tahun 2008 menurun menjadi 11 (sebelas) orang, atau turun 47,6%, yang terdiri dari long term expert. 6 (enam) orang dan short term expert 5 (lima) orang. Penurunan tersebut, terutama disebabkan oleh berkurangnya jumlah short term expert, mengingat terjadinya penurunan kegiatan-kegiatan seperti seminar dan/atau workshop. Selain itu, juga karena pengurangan jumlah expert dari donor tertentu, seperti Japan International Cooperation Agency (JICA) serta sejalan dengan upaya untuk mengurangi ketergantungan kepada para expert dan selektif terhadap expert yang berkualitas.

Terkait dengan jumlah proyek yang dibiayai dengan grant, selama periode 2004-2009 cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 jumlah proyek yang disetujui oleh pihak donor mencapai 14 (empat belas) yang terdiri dari proyek JICA saja, sedangkan pada tahun 2008 mencapai 28 (dua puluh delapan) yang terdiri dari 21 (dua luluh satu) proyek Government Partnership Fund (GPF), 6 (enam) proyek JICA , dan 1 (satu) proyek Korea International Cooperation Agency (KOICA). Peningkatan tersebut, terutama disebabkan oleh adanya program bantuan Australia melalui GPF.

Sementara itu, jumlah tamu asing yang berkunjung ke Departemen Keuangan dan dikoordinasikan oleh PKKSI, selama periode 2005-2008 juga cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 tamu asing yang berkunjung ke Indonesia berjumlah 7 (tujuh)orang, sedangkan pada tahun 2008 naik tajam mencapai 72 (tujuh puluh dua) orang (928,5%). Peningkatan tersebut, terutama disebabkan oleh semakin banyaknya kegiatan-kegiatan internasional yang diselenggarakan di Indonesia.

12.2.3. Penyelenggaraan Pertemuan Internasional

Terdapat dua pertemuan Internasional yang penting diselenggarakan oleh Departemen Keuangan yaitu Sidang Tahunan Dewan Gubernur Asian Development Bank (ADB) Ke-42 dan Program Kebijakan Climate Change di Bali

12.2.3.1. Penyelenggaraan Sidang Tahunan Dewan Gubernur Asian Development Bank (ADB) Ke-42 Tahun 2009

Pada tahun 2009 Indonesia kembali memperoleh kesempatan menjadi tuan rumah Sidang Tahunan Dewan Gubernur ADB (ST-ADB) untuk kedua kalinya, yakni ST ADB ke-42 di Bali. Sebelumnya, pada tahun 1978, Indonesia juga pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan ST ADB ke-11 di Jakarta. Sebagaimana diakui oleh Presiden ADB, ST-ADB ke-42 di Bali merupakan salah satu Sidang Tahunan terbaik yang pernah diselenggarakan ADB sebelumnya, baik dari segi penyelenggaraan maupun event-event yang diadakan.

Page 358: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

ST-ADB ke-42 berlangsung dari tanggal 2–5 Mei 2009 di Bali International Convention Center, Nusa Dua Bali dan dihadiri oleh 3004 peserta dari 67 negara anggota ADB, lembaga keuangan internasional, NGO/civil society, akademisi, dan pemerintah daerah. Disamping dihadiri oleh para menteri keuangan negara anggota ADB, ST-ADB Bali juga dihadiri oleh empat kepala negara dari anggota ADB yaitu Perdana Menteri Fiji, Georgia, Tonga, dan Wakil Presiden Palau.

Pertemuan dibuka secara resmi oleh Presiden RI, Bp. H. Soesilo Bambang Yudhoyono di BICC, 4 Mei 2009. Dalam pidato pembukaannya, Presiden menegaskan bahwa Asia harus menjadi motor pertumbuhan ekonomi global dan membawa ekonomi global keluar dari krisis.

Agenda yang diselenggarakan dalam ST-ADB meliputi business session (governor session), seminar (ADB Seminar, host country seminar, ASEAN seminar dan sponsor seminar), country presentation, diskusi panel, pertemuan manajemen ADB, pertemuan konstituensi dan investor seminar yang dimulai sejak tanggal 2 Mei 2009. Tuan rumah Indonesia juga mengadakan cultural dinner bekerja sama dengan sponsor platinum bagi para delegasi dimana ditampilkan berbagai pertunjukan kesenian dan kebudayaan Indonesia. Disamping acara-acara tersebut, tuan rumah juga menyelenggarakan eksebisi dengan tema Indonesian Day yang menampilkan berbagai peluang investasi di Indonesia sekaligus juga promosi pariwisata di Indonesia serta eksibisi kalangan swasta nasional.

Di sela-sela pertemuan tersebut, pada tanggal 1–3 Mei Indonesia juga menyelenggarakan rangkaian pertemuan Menteri Keuangan ASEAN yang terdiri dari ASEAN roadshow, ASEAN-WB policy seminar, ASEAN+3 FMM. Dalam rangka mempromosikan ASEAN sebagai tempat tujuan investasi yang menjanjikan, dalam kesempatan ST-ADB tuan rumah Indonesia bekerja sama dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya menyelenggarakan ASEAN Investment Day dalam rangka mempromosikan kawasan ASEAN sebagai salah satu tujuan investasi yang cukup menjanjikan bagi para investor global.

Dalam kesempatan Sidang Tahunan, Delegasi Indonesia juga melakukan rangkaian pertemuan bilateral dengan negara-negara mitra utama dan lembaga keuangan internasional seperti AS, China, Jepang, Perancis, UK, Bangladesh, Australia, Malaysia, Asian Development Bank, World Bank, Islamic Development Bank. Beberapa isu yang dibahas adalah mengenai kerja sama program pembangunan dan infrastruktur, climate change, tindak lanjut proses G-20, dan trade financing.

Hasil lengkap pembahasan pertemuan ST ADB meliputi sebagai berikut: 1. Menyambut baik resolusi ADB mengenai the fifth general capital increase (penambahan modal dasar ADB) yang meningkatkan modal ADB menjadi 200%. Kenaikan modal tersebut diperlukan utamanya disamping untuk mewujudkan strategi 2020 ADB yakni wilayah Asia Pasific bebas dari kemiskinan juga dalam rangka peningkatan kapasitas ADB dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan negara-negara anggota khususnya pada situasi krisis global saat ini. 2. Mendorong ADB untuk mengerahkan segala sumber daya yang dimilikinya bagi mengatasi dampak krisis keuangan global. 3. Mendorong ADB untuk memanfaatkan comparative advantage-nya dalam pemahaman terhadap perekonomian kawasan untuk mendesain instrumen kebijakan yang tepat.4. Menyambut baik ekspansi Trade Finance Facilitation Program ADB dan mendorong ADB untuk mengatasi dampak pembalikan arus modal (capital outflow reversal).5. Mendorong ADB untuk tetap komit pada penguatan sistem kontrol internal ADB termasuk penyempurnaan manajemen resiko, internal audit dan usaha-usaha untuk memerangi korupsi dan meningkatkan transparansi.6. Mendorong ADB untuk aktif dalam upaya reformasi lembaga keuangan internasional. 7. Mendorong ADB untuk mengkaji ulang sistem safeguard pinjamannya untuk mengurangi biaya pinjaman dan menghindari beban bagi penerima.

Page 359: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 12 Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan ���

www.depkeu.go.id

8. Mendorong ADB untuk berperan aktif dalam pendalaman integrasi regional sektor keuangan dan perdagangan, termasuk pendalaman pasar obligasi regional (local currency bond markets).9. Mendorong ADB untuk memfasilitasi green economic recovery.10. Dalam ST-ADB, Indonesia mendorong ADB untuk focus kepada counter-cyclical support, pengentasan kemiskinan, infrastruktur, serta adaptasi dan mitigasi climate change. mempromosikan kawasan ASEAN sebagai salah satu tujuan investasi yang cukup menjanjikan bagi para investor global.

Dalam kesempatan Sidang Tahunan, Delegasi Indonesia juga melakukan rangkaian pertemuan bilateral dengan negara-negara mitra utama dan lembaga keuangan internasional seperti AS, China, Jepang, Perancis, UK, Bangladesh, Australia, Malaysia, Asian Development Bank, World Bank, Islamic Development Bank. Beberapa isu yang dibahas adalah mengenai kerja sama program pembangunan dan infrastruktur, climate change, tindak lanjut proses G-20, dan trade financing.

Hasil lengkap pembahasan pertemuan ST ADB meliputi sebagai berikut: 1. Menyambut baik resolusi ADB mengenai the fifth general capital increase (penambahan modal dasar ADB) yang meningkatkan modal ADB menjadi 200%. Kenaikan modal tersebut diperlukan utamanya disamping untuk mewujudkan strategi 2020 ADB yakni wilayah Asia Pasific bebas dari kemiskinan juga dalam rangka peningkatan kapasitas ADB dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan negara-negara anggota khususnya pada situasi krisis global saat ini. 2. Mendorong ADB untuk mengerahkan segala sumber daya yang dimilikinya bagi mengatasi dampak krisis keuangan global. 3. Mendorong ADB untuk memanfaatkan comparative advantage-nya dalam pemahaman terhadap perekonomian kawasan untuk mendesain instrumen kebijakan yang tepat.4. Menyambut baik ekspansi Trade Finance Facilitation Program ADB dan mendorong ADB untuk mengatasi dampak pembalikan arus modal (capital outflow reversal).5. Mendorong ADB untuk tetap komit pada penguatan sistem kontrol internal ADB termasuk penyempurnaan manajemen resiko, internal audit dan usaha-usaha untuk memerangi korupsi dan meningkatkan transparansi.6. Mendorong ADB untuk aktif dalam upaya reformasi lembaga keuangan internasional. 7. Mendorong ADB untuk mengkaji ulang sistem safeguard pinjamannya untuk mengurangi biaya pinjaman dan menghindari beban bagi penerima. 8. Mendorong ADB untuk berperan aktif dalam pendalaman integrasi regional sektor keuangan dan perdagangan, termasuk pendalaman pasar obligasi regional (local currency bond markets).9. Mendorong ADB untuk memfasilitasi green economic recovery.10. Dalam ST-ADB, Indonesia mendorong ADB untuk focus kepada counter-cyclical support, pengentasan kemiskinan, infrastruktur, serta adaptasi dan mitigasi climate change.

12.2.3.2. Program Kebijakan Climate Change (Climate Change Policy Program)

Dalam rangka mengatasi dampak perubahan iklim, Pemerintah akan lebih menekankan dan mengintegrasikan kebijakan program untuk perubahan iklim ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional dan kebijakan keuangan negara, serta memobilisasi sumber pendanaan terutama dari hibah luar negeri. Untuk menyatukan dan meningkatkan efektifitas dukungan yang akan disampaikan oleh mitra kerja sama pembangunan pemerintah, perlu dikembangkan mekanisme pendanaan untuk perubahan iklim secara efektif sehingga dapat memberikan dukungan terhadap program yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Struktur mekanisme pendanaan dari dukungan mitra kerja sama pembangunan dari luar negeri tersebut akan sepenuhnya dipimpin oleh Pemerintah Indonesia dan mengikuti program-program perubahan iklim yang disusun oleh Indonesia.

Page 360: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Dalam kaitan itu, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan beberapa mitra (bilateral dan multilateral) akan membentuk mekanisme pendanaan yang dikelola secara terpadu sebagai salah satu alternatif mekanisme pendanaan dalam mendukung program perubahan iklim di Indonesia. Mekanisme ini telah dibicarakan dengan beberapa mitra kerja sama pembangunan Indonesia, diantaranya Belanda, Norwegia, EU, dan Bank Dunia untuk mendukung program kebijakan perubahan iklim di Indonesia. Pemerintah akan mengundang mitra kerja sama pembangunan lainnya juga untuk berpartisipasi dalam mendukung program perubahan iklim di Indonesia.

Kemudian, dari hasil pertemuan para Menteri Keuangan di Bali yang juga dihadiri Menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas, dalam waktu dekat program-program pembangunan menghadapi climate change akan lebih ditekankan dan diintegrasikan pada penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2009 dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) berikutnya, sebagai bagian dari rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) tahun 2005-2025. Hal ini menunjukkan langkah nyata yang akan diambil Pemerintah Indonesia setelah pertemuan UNFCCC di Bali, dalam rangka mitigasi dan adaptasi climate change.

12.3. Evaluasi Peluang dan Tantangan Dalam Pengelolaan Kerja sama Keuangan Internasional

Isu-isu ekonomi dan keuangan internasional yang merupakan dasar dari perekonomian global terus mengalami perkembangan dan perubahan. Perkembangan ini akan sangat mempengaruhi pola dan irama kerja sama keuangan internasional. Formulasi strategi yang tepat waktu dan relevan akan terus dikembangkan untuk merespon perubahan yang terjadi. Inisiatif-inisiatif bersama terus didiskusikan dalam berbagai forum internasional agar kebijakan yang diambil oleh masing-masing negara tetap terkoordinasi dan saling mendukung.

Page 361: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 12 Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan ��9

www.depkeu.go.id

Bagi Indonesia, hal ini merupakan peluang strategis yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk lebih berperan aktif dan memberikan inisiatif dalam pembahasan isu-isu keuangan internasional yang berpengaruh langsung bagi perekonomian Indonesia. Strategi yang berbasis kepentingan nasional tersebut menjadi kunci pokok dalam menyikapi perkembangan perekonomian global yang terjadi.

Peranan-peranan penting yang dipegang oleh Indonesia dalam forum-forum internasional misalnya sebagai co-chair untuk working group IV dalam forum G-20 dan salah satu pemegang arah kebijakan di ASEAN, merupakan peluang penting untuk memasukkan kepentingan-kepentingan nasional dalam setiap agenda dalam forum tersebut. Bahkan Indonesia dapat mengatur irama percepatan pembahasam sesuai dengan perkembangan perekonomian nasional yang terjadi. Penempatan pejabat dan pegawai pada posisi penting dalam organisasi-organisasi internasional dan lembaga keuangan multilateral seperti ADB dan Bank Dunia juga akan memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk memasukkan kepentingan-kepentingan nasional dalam strategi yang dirumuskan oleh organisasi internasional tersebut.

Kuatnya kerja sama yang telah terjalin selama ini, baik dengan negara mitra maupun lembaga keuangan internasional memberikan kesempatan untuk mengksplorasi lebih jauh manfaat yang dapat diraih dari kerja sama bilateral dan multilateral tersebut misalnya dalam upaya menggalang pembiayaan anggaran pemerintah.

Keberadaan Indonesia sebagai tuan rumah suatu pertemuan internasional juga merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan nasional sekaligus membuka kesempatan untuk meningkatkan partisipasi baik dalam hal kualitas maupun kuantitas peserta pertemuan.

Meskipun demikian, disadari masih banyak tantangan-tantangan yang harus dihadapi. Dalam upaya menjaga keseimbangan dan kesinambungan anggaran pemerintah misalnya, tantangan yang terberat adalah memperoleh bantuan pembiayaan bagi anggaran pemerintah yang sehat dan prudent. Tantangan ini muncul karena adanya krisis keuangan global yang mengakibatkan berkurangnya likuiditas di pasar. Dengan demikian, Indonesia ditantang untuk mengeksplorasi sumber-sumber pembiayaan baru dari non-pasar, misalnya dari negara mitra dan lembaga keuangan multilateral.

Di samping itu, satu hal pokok yang menjadi tantangan dalam memperkuat posisi dan peran Indonesia dalam forum-forum internasional adalah akselerasi dalam pengambilan keputusan di tiap tingkat negosiasi. Forum-forum koordinasi reguler yang melibatkan instansi dan unit terkait sangat diperlukan untuk meng-update sekaligus menganalisa perkembangan negosiasi yang tengah berlangsung.

Ketersediaan data dan informasi terkini dan berkesinambungan merupakan tantangan lain yang harus dapat ditemukan jalan keluar. Tanpa dukungan dan dan informasi yang akurat, posisi yang disusun dan inisiatif yang dibangun menjadi kurang qualified.

Selanjutnya, Pusat Kebijakan Kerja Sama Internasional sebagai focal point Departemen Keuangan dalam kerja sama internasional mempunyai tugas pokok menyusun konsep kebijakan dan/atau kebijakan yang disusun oleh dalam kaitannya dengan isu-isu yang akan dibahas pada forum kerja sama ekonomi, keuangan, dan sektor jasa dalam kerangka multilateral, regional, dan bilateral antara lain IMF, World Bank, G-20, IFAD, APEC, ASEM, ASEAN, dan ASEAN+3.

Page 362: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Dalam konsep tersebut, satu hal pokok yang harus dikedepankan adalah memperjuangkan kepentingan nasional terutama dalam kaitannya dengan upaya menjaga keseimbangan dan kesinambungan anggaran pemerintah karena anggaran pemerintah yang sehat dan prudent akan dapat meningkatkan kepercayaan pasar dan mendorong peningkatan arus investasi dan modal masuk. Pada gilirannya, hal ini akan mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang mampu membuka peluang kesempatan kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Dalam perkembangannya, banyak capaian yang telah diraih sebagai wujud dari kebijakan kerja sama internasional yang diterapkan. Pada situasi krisis keuangan global saat ini, capaian yang layak untuk ditampilkan adalah diperolehnya sumber-sumber pembiayaan bagi anggaran pemerintah. Pinjaman bilateral dari negara mitra utama seperti Jepang dan Australia serta dari lembaga donor multilateral seperti Bank Dunia dan ADB merupakan dukungan bagi stabilitas anggaran pemerintah setelah mengalami ketidakseimbangan karena membiayai paket stimulus fiskal. Di samping itu, dukungan pembiayaan untuk mitigasi dampak krisis global dari organisasi regional dan multilateral seperti ASEAN+3 lewat CMIM dan forum G-20 akan dapat kembali memulihkan kepercayaan pasar atas kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional. Meningkatnya modal umum ADB sebesar 200% serta terbentuknya global fund facility juga merupakan capaian penting dalam penggalangan dana untuk mitigasi dampak krisis keuangan global.

Capaian lain yang juga perlu disampaikan adalah diperolehnya kenaikan jumlah hibah dari beberapa negara mitra seperti Jepang, Korea, Australia. Kenaikan hibah tersebut dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kapasitas sumber daya melalui hibah bagi pendidikan degree dan non degree maupun hibah untuk bantuan teknis. Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan kapasitas sumber daya menjadi tonggak dasar bagi perbaikan kualitas posisi Indonesia dan high profiling Indonesia dalam forum-forum internasional. Meskipun banyak capaian yang telah diraih, namun disadari banyak kendala yang harus dihadapi. Kurangnya koordinasi antar intansi terkait merupakan kendala klasik yang perlu dicarikan solusi dengan cepat dan tepat karena dalam satu konsep kebijakan dipastikan ada unsur atau melibatkan instansi lain. Dukungan informasi yang tepat waktu, akurat, dan berkesinambungan menjadi kendala yang berikutnya. Pembentukan database merupakan hal lain yang sudah tidak dapat ditawar lagi keberadaannya. Keberhasilan memberikan solusi atas kendala-kendalan tersebut secara signifikan akan dapat mempengaruhi akselerasi dalam pengambilan keputusan di tiap tingkat negosiasi.

Untuk ke depan, prioritas utama kebijakan kerja sama internasional adalah penyusunan kebijakan internasional yang berbasis kepada kepentingan nasional. Peningkatan kapasitas pemantauan dini perekonomian nasional dan internasional sebagai upaya preventif dalam mencegah potensi terjadinya krisis merupakan prioritas lain yang harus dikedepankan. Prioritas berikutnya adalah peningkatan hubungan, baik secara bilateral maupun melalui forum multilateral dalam upaya penggalangan pembiayaan bagi anggaran pemerintah yang seimbang dan prudent serta dalam upaya untuk memperoleh peningkatan hibah bagi program capacity building. Sementara itu secara khusus, dalam bidang jasa isu penting yang membutuhkan perhatian dari segenap stakeholder penentu kebijakan dan strategi liberalisasi jasa antara lain pengalihan penanganan liberalisasi bidang jasa dari Departemen Keuangan ke Departemen Perdagangan dan strategi liberalisasi dan pembukaan pasar.

Page 363: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 13 Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan ��1

www.depkeu.go.id

Pernahkah Anda mencoba menghubungi Departemen Keuangan untuk bertemu dengan salah seorang pejabatnya? Apabila pernah, bagaimana kesan Anda. Mungkin Anda mendapat kesan seperti kebanyakan orang, yaitu sulit dan berbelit-belit. Selain membutuhkan waktu lama, Anda mungkin harus mengeluarkan uang pelicin.

Tetapi itu terjadi apabila Anda menghubungi Departemen Keuangan 4 tahun lalu. Kini, bisa dipastikan apabila Anda menghbungi Departemen Keuangan, akan mendapat pelayanan yang ramah, cepat dan jelas. Selain itu, gratis.

Apabila Anda hendak bertemu dengan pejabat Departemen keuangan, cobalah hubungi Bagian Hubungan Masyarakat (Humas). Badan ini sengaja dibentuk untuk mengelola hubungungan Departemen Keuangan dengan lembaga-lembaga pemerintah lain dan masyarakat luas. Berdirinya Biro Humas, yang menangani hubungan kelembagaan, menjadi tonggak sejarah reformasi hubungan kelembagaan.

Pola hubungan antar lembaga pemerintah yang sebelumnya didasarkan kepentingan salah satu pihak, setelah reformasi dirombak mejadi berdasarkan kepentingan berbagai pihak secara setara. Biro humas menempatkan semua pemangku kepentingan (stakeholder) sebagai pihak yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Tidak ada pihak yang merendahkan atau meninggikan. Selain itu, Biro Humas Departemen Keuangan juga menghilangkan upaya pemaksaan kehendak atau upaya mengiming-imingi sesuatu untuk mencapai tujuan salah satu pihak. Pola ini menjadi pemecah kebuntuan bila muncul ketidaksepakatan. Semua hubungan dengan lembaga lain didasarkan murni ketentuan dan peraturan yang berlaku. Dengan demikian setiap Kementerian/Lembaga, kantor pemerintah daerah, asosiasi, lembaga turunan dari yudikatif, eksekutif dan legislatif, serta pers dapat menjadikan Departemen Keuangan sebagai institusi yang setiap saat bisa dikontak, dimintai layanan sesuai prosedur, pasti dan tepat waktu, serta gratis.

Gratis, berarti setiap pelayanan yang berbentuk hubungan, komunikasi, dan koordinasi tidak bayar. Begitu juga sebaliknya, Departemen Keuangan tidak akan pernah membayar untuk setiap kegiatan yang menyangkut pembinaan hubungan kerja dengan para stakeholders-nya.

Apabila ada permohonan dari pemangku kepentingan untuk beraudiensi dengan Pimpinan atau pejabat Departemen Keuangan, permohonan tersebut akan dipertimbangkan berdasarkan tujuan audiensi tersebut berdasarkan kepentingan umum atau tidak. Dalam melayani permohonan audiensi, Biro Humas juga mendasarkan pada prinsip first come first serve.

Setiap lembaga tidak perlu ragu lagi untuk menghubungi Departemen Keuangan, karena setiap pelayanan telah ada standard operating procedur-nya..

Harus diakui, sebelum reformasi birokrasi, setiap bentuk hubungan dengan lembaga pemerintah termasuk Departemen Keuangan, harus ada “sesuatu” sebagai pelicin. Kini, nuansa pelicin hilang sama sekali. Semua serba gratis dan transparan.

Bagi para pegawai, pola hubungan semacam ini menutut perilaku baru. Kinerja para pegawai diukur dari pelayanan yang diberikan kepada masyarakat maupun lembaga pemerintah lain. Pola ini sebenarnya juga menguntungkan para pegawai karena mereka dapat bekerja secara profesional, bermartabat dan berwibawa. Pada gilirannya hal ini yang membawa hubungan kerja Departemen Keuangan dengan lembaga apapun berlandaskan tujuan yang sama yakni menciptakan masyarakat yang menghargai posisi masing-masing serta saling mempertimbangkan kepentingan sendiri-sendiri menjadi kepentingan bersama.

Menghilangkan Keragu-raguan

Page 364: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

13.1. Pendahuluan

UUD 1945 Bab 5 Pasal 17 ayat (1, 2 dan 3) yang mengatur mengenai Kementerian Negara menyebutkan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dan setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Departemen Keuangan sebagai salah satu kementerian negara bertugas sebagai bendahara umum negara. Departemen Keuangan, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, memiliki keterkaitan hubungan dengan instansi negara atau pemerintahan lainnya.

Semangat Reformasi Birokrasi juga menyentuh aspek hubungan kelembagaan dengan instansi negara atau pemerintahan. Dari sisi tata organisasi internal, Departemen Keuangan, penerbitan peraturan-peraturan Menteri Keuangan merupakan “good willingness” untuk menjadikan hubungan kelembagaan berada dalam posisi penting di dalam Departemen Keuangan. Semangat itu ditandai dengan berpisahnya Biro Humas menjadi biro tersendiri berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.302/KMK.01/2004 tentang organisasi dan tata kerja Departemen Keuangan yang kemudian mengalami beberapa kali revisi, antara lain : KMK No. 466/KMK.01/2006 tentang organisasi dan tata kerja Departemen Keuangan. Peraturan Menteri Kuangan (PMK) No.131/PMK/2006, PMK No.100/PMK/2008 dan terakhir PMK No.73/PMK/2009.

Departemen Keuangan memiliki rentang kendali organisasi yang cukup luas, baik secara horizontal, maupun vertikal. Pemangku kepentingan Departemen Keuangan tidak terbatas pada kalangan pemerintah saja atau sesama Kementerian/Lembaga. Kantor pemerintah daerah, asosiasi, lembaga turunan dari yudikatif, eksekutif dan legislatif, dan pers juga merupakan pemangku kepentingan Departemen Keuangan. Pada dasarnya, keseluruhan pemangku kepentingan yang harus dilayani terbagi dalam dua kelompok besar, yakni kelompok sektoral kementerian/lembaga pusat dan daerah serta kelompok nonpemerintah pusat dan daerah.

Setiap pemangku kepentingan memiliki kepentingan yang secara garis besar terkait dengan kepentingan terhadap tugas pokok dan fungsi (tupoksi), legalitas, akuntabilitas dan pencitraan. Setiap kelompok bisa memiliki kepentingan tunggal, kombinasi dua bahkan tiga kepentingan. Menjadi suatu kewajiban bagi Departemen Keuangan untuk mengakomodasi kepentingan para pemangku kepentingan tersebut sebagai bentuk pelayanan Departemen Keuangan terhadap publiknya.

Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan

Pola hubungan yang selama ini berdasarkan kepentingan salah satu pihak, sejak reformasi mejadi berdasarkan kepentingan dua belah pihak atau lebih yang berkedudukan setara.

Page 365: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 13 Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan ���

www.depkeu.go.id

DPR menduduki peringkat pertama dari semua Kementerian/Lembaga maupun organisasi nonpemerintahan yang melakukan hubungan kerja dengan Departemen Keuangan. Hal ini sesuai dengan amanat UUD maupun UU turunannya bahwa pada setiap pembahasan APBN, DPR sebagai wakil rakyat senantiasa terlibat dan memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak RAPBN yang diajukan Departemen Keuangan. Lebih dari 6 bulan setiap tahunnya, Departemen Keuangan menjalin hubungan yang intensif dengan DPR melalui rapat kerja, rapat konsultasi hingga rapat dengar pendapat.

Departemen Keuangan, selain dengan DPR, juga menjalin hubungan yang intens dengan semua lini tupoksi Departemen Keuangan dan asosiasi-asosiasi yang terkait dengan rancangan aturan perundangan yang sedang disusun. Hubungan yang intens tersebut dituangkan melalui kegiatan sosialisasi, seminar, diskusi panel, sarasehan, talkshow dan kegiatan lainnya. Hal yang sama berlaku pada pola hubungan Departemen Keuangan dengan media massa yang selama ini telah berjalan dengan baik.

Hubungan yang selama ini terjalin dengan berbagai pihak akan terlaksana dengan baik apabila para pihak yang berkomunikasi menempatkan diri dalam posisi sejajar dan mengesampingkan prinsip superioritas maupun pemaksaan kepentingan. Namun, dalam mengakomodasi pemangku kepentingan, Departemen Keuangan tetap berpegang pada peraturan perundangan yang berlaku walaupun tidak dapat memuaskan semua pihak. Hal ini merupakan tuntutan profesional sesuai dengan semangat reformasi birokrasi.

13.2. Arah, Strategi, dan Kebijakan Hubungan Kelembagaan

13.2.1. Arah Hubungan Kelembagaan Departemen Keuangan dalam rangka mewujudkan visi sebagai pengelola keuangan dan kekayaan negara bertaraf internasional yang dipercaya dan dibanggakan masyarakat, serta instrumen bagi proses transformasi bangsa menuju masyarakat adil, makmur dan berperadaban tinggi, sudah semestinya menjalin hubungan yang baik dengan berbagai lembaga, baik lembaga pemerintah, maupun non-pemerintah di dalam dan luar negeri. Dalam upaya mencapai visi tersebut, Departemen Keuangan melalui Biro Hubungan Masyarakat melaksanakan kegiatan untuk menjadi pusat pelayanan komunikasi di bidang keuangan dan kekayaan negara, serta menjadi pembangun citra positif tentang Departemen Keuangan.

Hubungan kelembagaan menjadi penting karena dalam mencapai visi tersebut Departemen Keuangan dan para pemangku kepentingannya melakukan kegiatan bersama yang saling menguntungkan apabila dilihat dari hak dan kewajiban masing-masing pihak. Selama ini, Biro Hubungan Masyarakat menjadi fasilitator untuk beragam kegiatan dalam rangka mengakomodasi kepentingan para pemangku kepentingan.

Biro Hubungan Masyarakat dalam menjalankan peran sebagai fasilitator, berkewajiban memberikan dukungan fasilitas terhadap jalannya program-program komunikasi dengan lembaga-lembaga pemerintahan. Ragam bentuk program komunikasi tersebut, antara lain berupa Rapat Kerja, Kunjungan Kerja, Rapat Pembahasan, Sarasehan dan Pertemuan Formal maupun pertemuan konsultasi dengan pimpinan DPR / Komisi / Fraksi. Dukungan fasilitasi yang diberikan antara lain memastikan ketersediaan bahan informasi, penerbitan dan publikasi, penyediaan jasa sumber daya manusia untuk mendukung kelancaran kegiatan dan fasilitas fisik lainnya.

Page 366: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Hubungan kelembagaan di masa yang akan datang diarahkan pada pelayanan komunikasi yang terintegrasi meliputi aspek penyediaan database yang lengkap, pembinaan dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia, pembukaan jalur-jalur komunikasi dengan lembaga pemerintah dan non-pemerintah, modernisasi pola hubungan kelembagaan melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan penciptaan program-program komunikasi yang kreatif dan inovatif.

13.2.2. Srategi Hubungan Kelembagaan

Perubahan selalu memberikan tantangan tersendiri, termasuk perubahan yang digagas Departemen Keuangan melalui kerangka Reformasi Birokrasi. Tantangan dalam menjalankan fungsi sebagai pengelola keuangan dan kekayaan negara merupakan bagian dari perjalanan Departemen Keuangan untuk menciptakan suatu iklim birokrasi yang lebih baik. Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah kualitas pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang diharapkan pemangku kepentingan dan masyarakat.

Persepsi yang melekat pada institusi pemerintah secara umum, antara lain citra institusi pemerintah tidak berorientasi pada pelayanan, kualitas pelayanan yang tidak optimal, mekanisme birokratis yang panjang dan kurang transparan serta kurangnya koordinasi dan sosialisasi. Berangkat dari kondisi laten tersebut, Departemen Keuangan mencanangkan beberapa prioritas yang harus ditangani meliputi pencitraan, pelayanan, koordinasi dan akses, ketersediaan serta keterbukaan informasi.

Langkah-langkah strategis yang dilakukan Departemen Keuangan antara lain meningkatkan kemampuan dan profesionalisme komunikasi publik dan pelayanan informasi di bidang keuangan dan kekayaan negara, meningkatkan sosialisasi peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan dan kegiatan di bidang keuangan dan kekayaan negara, pengoptimalan analisis perkembangan opini publik sebagai bahan masukan bagi penetapan kebijaksanaan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Terkait dengan aspek hubungan kelembagaan, langkah strategis yang dilakukan adalah mengembangkan hubungan yang dinamis dan harmonis dengan lembaga negara, departemen/lembaga non departemen, kelompok-kelompok masyarakat, organisasi dan asosiasi profesi, serta media massa. Hubungan yang dinamis dan harmonis adalah hubungan saling melengkapi yang selaras dan memiliki pola koordinasi yang baik. Keseluruhan langkah strategis tersebut dilaksanakan dalam kerangka transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, mandiri dan fairness sebagai bagian dari prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

13.2.3. Kebijakan Hubungan Kelembagaan

Pelaksana kebijakan hubungan kelembagaan Departemen Keuangan dengan pihak luar adalah Biro Hubungan Masyarakat, yang dalam jangka panjang juga berperan menjadi penjaga dan pengelola citra publik Departemen Keuangan serta menjadi jembatan informasi antara Departemen Keuangan dengan para pemangku kepentingannya. Peran jangka panjang Biro Hubungan Masyarakat adalah menjadi referensi, acuan, serta garda terdepan yang harus dikontak oleh setiap orang yang hendak berkomunikasi dengan Departemen Keuangan, serta sebagai juru bicara institusi. Melalui lembaga ini, Departemen Keuangan memberikan keterbukaan akses informasi bagi publik.

Lembaga pemerintah dan perwakilan rakyat merupakan salah satu target Departemen Keuangan dalam memberikan akses informasi yang transparan dan akuntabel. Setiap kebijakan yang dikeluarkan Departemen Keuangan memerlukan tindakan komunikasi tertentu disesuaikan dengan sasaran yang dituju. Tidak mengherankan apabila hubungan kelembagaan dengan

Page 367: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 13 Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan ���

www.depkeu.go.id

lembaga pemerintah maupun non-pemerintah menjadi posisi yang krusial di dalam Departemen Keuangan. Hubungan kelembagaan dan komunikasi yang intens dengan lembaga pemerintah dan perwakilan membentuk pola komunikasi yang lebih baik antar-lembaga sehingga mempercepat proses fasilitasi yang dilakukan.

Pola hubungan kelembagaan dan komunikasi bagi Departemen Keuangan dapat berbentuk langkah-langkah kebijakan yang diambil sebagai berikut:1) Sebagai fasilitator.

Dalam menjalankan tugas hubungan kelembagaan, Biro Humas Departemen Keuangan mengatur pelaksanaan suatu kegiatan dan menyediakan fasilitas-fasilitas penunjang yang dibutuhkan demi terlaksananya kegiatan tersebut, membangun, mempermudah dan meningkatkan mutu saluran informasi untuk mendukung proses komunikasi dua arah antara Departemen Keuangan dengan lembaga pemerintah maupun non-pemerintah.

2) Sebagai AdministratorMenyediakan data dan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan.

3) Sebagai KoordinatorMempermudah akses, meningkatkan kualitas dan saluran informasi yang dilakukan dengan meningkatkan solidaritas dan koordinasi antar-unit di Departemen Keuangan, dan melakukan pengembangan kualitas dan kapasitas SDM di bidang penyelenggaraan kegiatan dan kemampuan berkomunikasi.

13.3. Upaya-Upaya Yang Telah Dilakukan Selama kurun waktu 2004-2009, terdapat beberapa kerja sama Departemen Keuangan dengan lembaga-lembaga yang tercatat dalam Tabel 13.2.

Tabel 13.2. Hasil Hubungan Kerja Sama Departemen Keuangan Dengan Lembaga -Lembaga

TahunHasil Kerja Sama

UU Pengujian UU MoU2004 9 3 62005 3 5 112006 7 2 232007 7 - 422008 5 7 18

Sumber: Biro Hubungan Masyarakat – Sekretariat Jenderal

Page 368: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

13.3.1. Hubungan Dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Gambar 13.1. Pengesahan RUU Perbankan Syariah tingkat komisi bersama Menteri Keuangan dan DPR (5 Juni 2008).

Dari semua instansi negara atau pemerintahan, DPR menduduki peringkat pertama dalam hal melakukan hubungan kerja dengan Departemen Keuangan. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 di mana pada setiap pembahasan APBN, DPR senantiasa terlibat bahkan memiliki kewenangan menyetujui atau menolak. Dalam siklus tahunan, dapat dikatakan lebih dari 50% dalam setahun, pihak Departemen Keuangan melakukan hubungan berupa rapat-rapat kerja, rapat-rapat konsultasi, rapat dengar pendapat, hingga pertemuan konsultasi dengan pimpinan, Komisi, dan Fraksi DPR.

Hubungan yang intens dengan DPR tergambar dari pembahasan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang dilakukan Departemen Keuangan dengan DPR. Selama kurun waktu 2004 sampai dengan 2009 Departemen Keuangan bersama DPR berhasil menghasilkan sekitar 36 Undang-Undang seperti tercantum dalam Tabel 13.3.

Tabel 13.3. Undang – Undang yang disetujui DPR 2004-2009

No. Tahun Jumlah Undang-Undang

1. 20049 (sembilan) Undang-Undang

1. UU No. 1 Th 2004 tentang Perbendaharaan Negara

2. UU No. 3 Th 2004 tentang Perubahan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

3. UU No. 6 Th 2004 tentang Perhitungan Anggaran Negara Tahun Anggaran 2002

4. UU No. 15 Th 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara

5. UU No. 24 Th 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

6. UU No. 33 Th 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah

7. UU No. 35 Th 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 28 tahun 2003 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun Anggaran 2004

Page 369: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 13 Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan ���

www.depkeu.go.id

No. Tahun Jumlah Undang-Undang

8. UU No. 36 Th 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun Anggaran 2005

9. UU No. 37 Th 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

2. 20053 (tiga) Undang-Undang

1. UU No. 1 Th 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005

2. UU No. 9 Th 2005 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 36 tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005

3. UU No. 13 Th 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006

3. 20066 (enam) Undang-Undang

1. UU No. 2 Th 2006 tentang Perhitungan Anggaran Negara tahun Anggaran 2003

2. UU No. 11 Th 2006 tentang Pemerintahan Aceh

3. UU No. 15 Th 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan

4. UU No. 14 Th 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006

5. UU No. 17 Th 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

6. UU No. 18 Th 2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007

7. UU No. 22 Th 2006 tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun Anggaran 2004

4. 20077 (tujuh) Undang-Undang

1. UU No. 25 Th 2007 tentang Penanaman Modal

2. UU No. 28 Th 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

3. UU No. 39 Th 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai

4. UU No. 41 Th 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007

5. UU No. 44 Th 2007 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2006 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang

6. UU No. 45 Th 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008

7. UU No. 46 Th 2007 tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005

Page 370: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

No. Tahun Jumlah Undang-Undang

5. 20085 (lima) Undang-Undang

1. UU No. 16 Th 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005

2. UU No. 19 Th 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

3. UU No. 21 Th 2008 tentang Perbankan Syariah Negara

4. UU No. 36 Th 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

5. UU No. 41 Th 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan belanja Negara Tahun Anggaran 2009

6. 20093 (tiga) Undang-Undang

1. UU No. 2 Th 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia

2. UU No. 6 Th 2009 tentang Penetapan PERPU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang

3. UU No. 7 Th 2009 tentang Penetapan PERPU Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

13.3.2. Hubungan dengan Lembaga Non-DPR

Gambar 13.2. Konferensi pers Menteri Keuangan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai hasil kajian sistem pelayanan perpajakan (20 Agustus 2008)

Sumber: Biro Hubungan Masyarakat – Sekretariat Jenderal

Departemen Keuangan juga membina hubungan kelembagaan dengan lembaga-lembaga Negara non-DPR selama kurun waktu Desember 2004 hingga Mei 2009. Dalam kurun waktu tersebut telah terbina hubungan dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga Kejaksaan Agung. Bentuk kerja sama tersebut antara lain; penandatangan Memorandum of Understanding (MoU), kunjungan kerja dan pemberian bantuan teknis. Adapun bentuk kerja sama dengan Mahkamah Konstitusi adalah pengujian Undang-Undang terkait dengan Departemen Keuangan yang digugat oleh publik. Kegiatan ini telah dilakukan sedikitnya 19 kali.

Hubungan yang terjalin baik dengan semua pihak dapat terlaksana apabila para pihak yang berkomunikasi mampu menempatkan diri dalam posisi sejajar dan mengesampingkan prinsip superioritas maupun pemaksaan kepentingan.

Page 371: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 13 Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan ��9

www.depkeu.go.id

13.4. Peluang dan Tantangan

Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam bidang hubungan kelembagaan, Departemen Keuangan senantiasa berusaha untuk menjalankan prinsip good governance dan transparansi di segala aspek pemerintahan. Hal tersebut juga sejalan dengan tuntutan dari masyarakat yang menginginkan adanya perubahan.

13.4.1. Peluang

Berkaitan dengan hubungan kelembagaan yang dilaksanakan Departemen Keuangan memiliki tiga peluang yang dapat dimanfaatkan untuk menguatkan proses hubungan yang akan dijalin dan dilaksanakan, yaitu citra positif,reformasi birokrasi, dan hubungan harmonis dengan lembaga lain.

1. Citra positif Departemen KeuanganSelama ini, masyarakat dan pemangku kepentingan Departemen Keuangan mempunyai penilaian yang positif terhadap Departemen Keuangan. Penilaian tersebut bukan disebabkan oleh tugas pokok dan fungsi yang diemban Departemen keuangan untuk menglola keuangan negara sehingga mengakibatkan ketergantungan pemangku kepentingan, tapi oleh karena kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan dan pola hubungan yang terjalin.

Salah satu contoh kebijakan yang memperkuat citra positif Departemen Keuangan di mata masyarakat dan pemangku kepentingan adalah dari aspek Pengembangan Sumber daya Manusia yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pegawai untuk meningkatkan kompetensi dan keterampilan.

Kebijakan-kebijakan pro-rakyat yang diambil Departemen Keuangan semakin memperkuat citra positif Departemen Keuangan di mata masyarakat.

Dengan citra positif yang sudah melekat di Departemen Keuangan, tentunya hal demikian menjadikan kredit tersendiri untuk Departemen Keuangan karena membangun dan menciptakan citra positif tersebut membutuhkan proses yang tidak mudah.

2. Program-program Reformasi BirokrasiDalam dua tahun terakhir, program reformasi birokrasi yang dilaksanakan Departemen Keuangan sudah menampakkan hasil yang diinginkan. Reformasi birokrasi sendiri tersebut dalam prosesnya memerlukan usaha dan kemauan serta dukungan segenap pimpinan dan pegawai Departemen Keuangan. Contoh yang mungkin dapat dikedepankan adalah layanan unggulan Departemen Keuangan.

Layanan unggulan di Departemen Keuangan mendapatkan apresiasi yang baik dari masyakat dan pemangku kepentingan. Meskipun masih ada beberapa kelemahan, layanan unggulan menjadikan Departemen Keuangan selangkah lebih maju apabila dibandingkan dengan lembaga pemerintah lainnya.

Beberapa layanan unggulan yang menjadi ”icon” reformasi birokrasi Departemen Keuangan antara lain terkait dengan pelayanan langsung kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan seperti yang selama ini diterapkan di Dirjen Pajak dan Dirjen Bea dan Cukai yang mencakup modernisasi infrastruktur, teknologi informasi maupun pengembangan SDM.

3. Hubungan yang harmonis dengan pemangku kepentinganPola dan prinsip hubungan yang dikembangkan Departemen Keuangan dengan lembaga lain/ pemangku kepentingan adalah kesetaraan dan saling memberikan manfaat. Dengan prinsip tersebut, maka yang diharapkan adalah munculnya sebuah hubungan yang harmonis dengan lembaga/ pemangku kepentingan.

Selain membina hubungan yang terkait dengan tugas dan fungsi Departemen Keuangan, kerjasama yang baik pun dijalin dengan Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat (Bakohumas) yang beranggotakan humas kementerian, lembaga, TNI/Polri dan BUMN. Hubungan tersebut memberikan manfaat sebagai sarana sharing informasi dan saluran komunikasi yang efektif apabila Departemen Keuangan akan mengeluarkan kebijakan.

Page 372: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

13.4.2. Tantangan

Dalam menjalankan hubungan kelembagaan, Departemen Keuangan menghadapi beberapa tantangan. Tantangan tersebut mencakup pola koordinasi dengan unit-unit internal dan eksternal Departemen Keuangan, SDM, infrastruktur, sarana dan prasarana, serta perencanaan yang jelas, dan konsep hubungan kelembagaan ke depan.

1. Pola koordinasi dengan unit-unit yang ada di internal/ eksternal Departemen KeuanganKoordinasi dengan unit-unit internal Departemen Keuangan biasanya dilakukan secara formal melalui surat resmi dan rapat, dan informal yang dilakukan dengan komunikasi aktif dan interaksi antara pegawai di lingkungan Departemen Keuangan. Namun demikian, mengingat ukuran organisasi Departemen Keuangan yang besar, pola koordinasi antar unit-unit sering kali menemukan kendala. Pola koordinasi yang dikembangkan dengan eksternal Departemen Keuangan hampir sama dengan pola koordinasi yang dilaksanakan dengan internal Departemen Keuangan. Perbedaanya terletak pada dimensi hubungan yang dijalin.

2. Sumber daya manusiaSumber daya manusia (SDM) Departemen Keuangan yang jumlahnya besar sebenarnya dapat dijadikan sebagai peluang yang dimiliki untuk menjalankan hubungan kelembagaan. Permasalahannya adalah tingkat kompetensi dari masing-masing pegawai yang belum merata. Ke depan, dengan berbagai perkembangan yang terjadi, serta tuntutan terhadap kinerja yang semakin besar, SDM menjadi permasalahan yang perlu mendapat perhatian ekstra. Hubungan kelembagaan yang dijalankan Departemen keuangan semestinya dijalankan oleh pegawai-pegawai yang memiliki kemampuan tertentu, terutama dalam komunikasi. Hal tersebut menjadi penting karena hubungan kelembagaan menjadi ujung tombak dalam proses penyampaian kebijakan Departemen Keuangan.

3, Infrastruktur (sarana/ prasarana)Untuk dapat menjalankan hubungan kelembagaan secara lebih efektif dan efisien, harus tersedia infrastruktur yang memadai. Dalam kenyataannya, pemenuhan kebutuhan infrastruktur tidak dapat dengan serta merta terpenuhi. Oleh karena itu, dengan infrastruktur yang sudah ada, Departemen Keuangan berupaya melaksanakan hubungan kelembagaan secara optimal.

4. Perencanaan yang jelas Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan Departemen Keuangan dalam hubungan kelembagaan sudah direncanakan dan dituangkan dalam Renstra Departemen Keuangan. Namun, perencanaan yang meliputi kegiatan teknis seharusnya dapat dilakukan sebelum kegiatan berlangsung agar dapat memuat target dari kegiatan tersebut. 13.5. Ringkasan

13.5.1. Target

1. Meningkatkan kualitas hubungan dengan kelembagaan dan instansi pemerintahan merupakan hal yang penting dalam upaya mencapai visi Departemen Keuangan untuk menjadi pengelola keuangan dan kekayaan negara bertaraf internasional.2. Membuka saluran komunikasi dengan lembaga dan instansi non-pemerintah untuk mengakomodasi kepentingan setiap pemangku kepentingan Departemen Keuangan.3. Mendukung proses pembentukan kebijakan melalui penyediaan fasilitas yang memadai, dalam hal ini diperlukan pengembangan infrastruktur (teknologi dan SDM) yang baik.

Page 373: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 13 Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan ��1

www.depkeu.go.id

13.5.2. Implementasi

1. Terlaksananya pembahasan Undang-Undang di DPR yang meskipun memakan waktu, namun menghasilkan produk kebijakan dalam usaha mensejahterakan rakyat.2. Terlaksananya perjanjian-perjanjian kerjasama dengan lembaga-lembaga lain.3. Terlaksananya komunikasi dengan media, dengan masyarakat melalui media, lembaga pemerintah dan swasta.4. Terlaksananya kegiatan kehumasan ditandai dengan adanya penghargaan dari Majalah MIX pada ajang PR People Of The Year di Jakarta, 16 April 2009, di mana Departemen Keuangan menjadi Silver Winner for Government PR Categoty

13.5.3. Kendala

1. Minimnya Sumber Daya Manusia dan teknologi informasi yang kurang memadai.2. Minimnya kreativitas dalam menciptakan kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung harmonisasi hubungan Departemen Keuangan dengan lembaga dan institusi pemerintahan.3. Belum dirumuskannya secara jelas bagaimana pola hubungan antar lembaga yang baik dan sehat.

13.5.4. Pending Matters

Terdapat beberapa Rancangan Undang-Undang yang belum berhasil disyahkan menjadi undang-undang bersama DPR, yaitu Rancangan Undang-Undang tentang :1. Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)2. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)3. Mata Uang4. Akuntan Publik5. Pengadilan Pajak6. Piutang7. Lelang8. Pengelolaan Kekayaan Negara9. Jasa Gadai10. Penilaian Aset Negara11. Asuransi

Page 374: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bertanggung jawab dan Terpercaya

Departemen Keuangan menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintah dalam mengelola keuangan negara guna mencapai visi misi pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Page 375: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 14 Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga ���

www.depkeu.go.id

Sejak 2002, keluhan masyarakat terhadap pelayanan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai berkurang. Sebelumnya keluhan yang umum disuarakan para wajib pajak “Mau membayar pajak kok dipersulit,” Mengapa urusannya berbelit-belit? Mengapa wajib pajak harus mengeluarkan uang lebih besar dari jumlah resmi untuk pajak dan bea atau cukai?

Gerakan reformasi birokrasi di DJP maupun DJBC ditujukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Oleh karena itu, pada awal 2002 Departemen Keuangan menyusun program reformasi bidang kepabeanan yang lebih dikenal dengan Program Reformasi Kepabeanan (Customs Reform).

Program tersebut dilanjutkan dengan Program Percepatan Reformasi pada tahun 2006. Pengarahan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai pada bulan Mei 2006, menyatakan bahwa kebijakan/program DJBC ke depan diharapkan dapat menghasilkan sesuatu yang konkrit dan menggigit. Konkrit dan menggigit maksudnya adalah, program-program tersebut harus mendukung terciptanya iklim usaha yang kondusif. Program tersebut juga harus dapat meningkatkan daya saing ekonomi nasional serta memberi perlindungan terhadap masyarakat.

Untuk mengingkatkan citra DJBC, reformasi memfokuskan pada mengubah persepsi dunia usaha terhadap DJBC. Program nyata dari kebijakan ini adalah perbaikan pelayanan di Pelabuhan Tanjung Priok dengan membangun kantor modern. Alasan mengapa kantor Tanjung Priok dipilih sebagai obyek perbaikan adalah karena Tanjung Priok merupakan pintu utama bagi kegiatan impor dan ekspor yang berdampak sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Program ini juga merupakan bagian dari penataan pelayanan menyeluruh di Pelabuhan Tanjung Priok.

Sedangkan Menteri Keuangan menyatakan bahwa kebijakan atau program DJBC yang akan dilakukan ke depan harus dikaitkan dengan good governance dan harus bisa mengatasi masalah penerimaan (bagaimana modernisasi dapat mengurangi kebocoran penerimaan negara), komplain dari masyarakat terkait dengan kinerja bea dan cukai serta meningkatkan integritas untuk mengurangi misconduct.

Sebagai obyek, Menteri Keuangan mempunyai pendapat yang sama dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yaitu fokus ke Tanjung Priok dan pengembangan pada Soekarno-Hatta, Batam, dan Tanjung Perak.

Untuk menjembatani proses reformasi tersebut, DJBC melaksanakan program sosialisasi dan internalisasi cetak biru yang ditujukan kepada kepada pihak internal dan para stakeholders. Dalam tahap pelaksanaan, Tim Percepatan Reformasi secara aktif memberikan bimbingan, konseling, dukungan, serta melakukan koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait.

Permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pembentukan Kantor Modern adalah:

• Keterbatasan SDM yang memenuhi kriteria.• Tidak semua biaya operasional kantor dapat dibiayai oleh anggaran DIPA.• Remunerasi untuk KPU dan KPPBC Tipe Madya belum terpenuhi secara proporsional.• Sistem grading yang kurang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. • Sistem dan prosedur instansi lain belum sejalan dengan sistem dan prosedur DJBC• Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana termasuk IT yang harus dilakukan secara bertahap.

Kepuasan Wajib Pajak Meningkat

Page 376: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Sedangkan reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada awalnya merupakan bagian dari penanganan dampak krisis moneter tahun 1998. Di sini IMF memiliki peranan yang sangat dominan. IMF memaksa terjadinya perubahan struktur organisasi DJP dan terutama terbentuknya Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar.

Seiring dengan berjalannya waktu, pimpinan DJP berkomitmen agar reorganisasi dan reformasi terus dilaksanakan dengan sasaran menjadikan seluruh organisasi DJP menjadi lebih baik dan bersih, serta bisa dipercaya masyarakat.

Tentu saja, komitmen tersebut tentu tidak didukung sepenuhnya oleh seluruh aparat DJP. Sangat sulit mendorong 30 ribuan petugas pajak secara bulat mendukung penuh komitmen perubahan tersebut. Bagi mereka yang merasa sudah mapan dalam organisasi, perubahan tersebut menjadi ancaman bukan hanya terhadap jabatannya tetapi juga terhadap perolehan materi. Oleh karena itu, restrukturisasi organisasi dilakuan secara bertahap dan dibarengi dengan sosialisasi dan pembinaan terhadap seluruh aparat pajak. Hal yang tak kalah penting yang sangat mempengaruhi percepatan proses reformasi perpajakan tersebut adalah lahirnya Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mana hasil kerjanya memiliki deternt effect yang besar khususnya di kalangan PNS.

Reformasi birokrasi di DJP dimulai pada tahun 2002 dengan terbentuknya Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Dalam KPP modern ini DJP mengimplementasikan kode etik pegawai termasuk memperbaiki remunerisasi pegawai. Reformasi tersebut berjalan bertahap secara vertikal hingga tahun 2008. Meskipun demikian pimpinan DJP menyadari bahwa reformasi tidak bisa berhasil hanya dengan mengubah struktur organisasi. DJP juga harus menetapkan cara kerja yang lebih transparan, cara berpikir yang lebih efektif dan efisien, cara melayani Wajib Pajak yang lebih baik, cara mengawasi kepatuhan Wajib Pajak yang lebih efektif, dan sebagainya. Pada intinya reorganisasi dan reformasi ini diarahkanuntuk menciptakan organisasi yang bersih, berkualitas dan baik serta dipercaya oleh masyarakat.

Oleh karena itu, banyak persoalan yang dihadapi selama berjalannya reorganisasi dan reformasi DJP selama lebih dari 7 (tujuh) tahun ini. Permasalahan tersebut mulai dari resistensi sebagian aparat yang merasa terganggu atau terancam kenyamanannya dalam bekerja, kualitas sumber daya manusia yang belum memenuhi harapan organisasi, teknologi informasi yang belum optimal, administrasi perpajakan yang belum tertib dan sebagainya. Tidak mudah meyakinkan aparat pajak yang selama puluhan tahun bekerja dalam lingkungan yang penuh dengan persaingan yang tidak sehat, bekerja dengan motivasi ‘pribadi’, ingin dilayani dan dan ketidakjelasan implementasi reward dan punishment. Hingga kini masalah-masalah tersebut pada tingkat tertentu masih mencuat walaupun remunerasi telah diterapkan dan kode etik telah diberlakukan.

Di bidang sumber daya manusia, reorganisasi menyebabkan organisasi membutuhkan SDM yang menguasai pengetahuan seluruh jenis pajak. Masih banyak aparat pajak yang belum menguasai seluk-beluk pengetahuan semua jenis perpajakan. Hal yang tak kalah penting sampai saat ini adalah masih belum tersedianya sistem manajemen SDM berbasis kinerja dan kompetensi. Apabila sistem ini telah ada dan tersedia, maka masalah berkaitan dengan SDM dapat teratasi.

Page 377: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 14 Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga ���

www.depkeu.go.id

Dibidang teknologi informasi, masih terdapat kendala dalam sistem teknologi informasi modern DJP di antaranya mengenai penanganan database perpajakan. Sebelumnya database dimiliki oleh masing-masing unit kerja, sedangkan saat ini database tersebut dikelola oleh kantor pusat demi menjaga akurasi dan keamanan data. Kendala yang sering terjadi adalah ketika lalulintas data cukup padat pada saat pelaporan sehingga menyebabkan sistem tidak dapat bekerja secara maksimal atau terkesan menjadi lambat. Dibidang administrasi perpajakan, yang menjadi persoalan adalah masih banyak data Wajib Pajak dalam SPT yang belum direkam atau direkam tetapi tidak lengkap kedalam sistem sehingga hasil perekaman menjadi tidak akurat dan bias ketika digunakan untuk menganalisis kewajiban Wajib Pajak.

Mengingat tidak mudahnya meyakinkan sekitar 30 ribu pegawai DJP, proses reorganisasi dan reformasi DJP berjalan secara bertahap yang dimulai dari pembenahan organisasi, perbaikan cara kerja (SOP), peningkatan kualitas SDM dan perbaikan sistem data dan informasi teknologi.

Sebelum reorganisasi, unit kerja operasional DJP terdiri dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pemerikasaan Pajak (Karikpa), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB) dan Kantor Penyuluhan Pajak (Kapenpa). Pada awal reorganisasi direncanakan membentuk KPP berdasarkan fungsi yang sebelumnya berdasarkan jenis pajak. Dalam organisasi baru tersebut fungsi pelayanan dan pemeriksaan dijadikan satu atap. Persoalan muncul ketika proses reorganisasi KPP dan Karikpa dilebur menjadi satu atap, sedangkan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB) tetap masih terpisah. Pertimbangannya adalah bahwa suatu saat jenis Pajak PBB ini akan diserahkan ke daerah dan tidak lagi menjadi pajak pusat.

Tentunya dalam persoalan ini terdapat banyak konflik kepentingan baik dari sisi internal maupun eksternal. Meskipun demikian, pada akhirnya disepakati bahwa KPP, Karikpa dan KP PBB dilebur menjadi satu kantor pelayanan pajak. Selanjutnya dibentuklah KPP Pratama yang menampung jenis pajak PPh, PPN dan PBB. Sedangkan untuk KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Madya hanya mengurusi PPh dan PPN.

Semenjak reformasi birokrasi di DJP, telah banyak perbaikan yang dirasakan oleh Wajib Pajak, petugas pajak maupun organisasi secara keseluruhan. Perubahan ini merupakan perubahan yang menuju ke arah yang lebih baik, ini bisa dilihat dari hasil survei oleh lembaga survey independen . Dilihat dari penerimaan pajak sejak tahun 2001 sampai dengan 2008, peneriman pajak mengalami peningkatan, yang mana realisasi penerimaan pajak (termasuk migas) pada tahun 2001 sebesar Rp. 156,1 triliun dan pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp 571,1 triliun. Tingkat kepuasan Wajib Pajak pun meningkat. Berdasarkan hasil survey dari AC Nielsen terhadap Wajib Pajak di KPP Wajib Pajak Besar (2005), KPP Madya Jakarta Pusat, KPP Madya (2006), dan KPP Pratama di Kanwil Jakarta Pusat (2007) memberikan hasil penilaian sangat memuaskan. Berdasarkan Barometer Korupsi Global Indonesia yang dikeluarkan oleh Transparansy International Indonesia sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, mereka memberikan nilai 4,3-3,8 atau menjadi lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya untuk tingkat korupsi di bidang otoritas perpajakan.

Page 378: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

14.1. Kebijakan Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan 2004-2009

Menteri Keuangan sesuai pasal 6 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2003 mendapatkan kuasa dari Presiden selaku Kepala Pemerintahan yang memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pengelolaan keuangan negara yang dilimpahkan Presiden kepada Menteri Keuangan meliputi dua jenis kuasa. Kuasa yang pertama adalah selaku pengelola fiskal dan menjadi wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. Kuasa yang kedua adalah selaku pengguna anggaran/pengguna barang di Departemen Keuangan.

Dalam menjalankan kuasa yang kedua, Menteri Keuangan menjalankan serangkaian tugas yang diatur di dalam pasal 9 UU No. 17 Tahun 2003, yaitu dimulai dari menyusun rancangan anggaran menyusun rancangan anggaran, menyusun dokumen pelaksanaan anggaran, dan melaksanakan anggaran Departemen Keuangan. Menteri Keuangan juga bertugas melakukan pemungutan PNBP dan menyetorkannya ke kas negara, mengelola piutang dan utang negara, serta mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Departemen Keuangan. Di samping itu, Menteri Keuangan harus menyusun dan menyampaikan laporan keuangan, serta melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Kinerja Departemen Keuangan sebagai suatu kementerian/lembaga tergambar dari pelaksanaan tugas-tugas Menteri Keuangan selaku penggunaan anggaran/pengguna barang tersebut. Pelaksanaan tugas selama ini telah berjalan dengan baik seiring dengan penerapan Reformasi Birokrasi dan penganggaran yang meliputi unified budget, performance-based budgeting, dan medium-term expenditure framework. Berbagai tantangan dan kendala internal maupun eksternal yang dihadapi diperbaiki secara bertahap, sehingga diharapkan kinerja Departemen Keuangan semakin optimal di masa-masa yang akan datang.

Pelaksanaan Tugas Departemen KeuanganSebagai Kementerian/Lembaga

Dalam penyusunan road map 2010-2014,akan dirancang sebuah organisasi Depkeu yang lebih fokus pada tugas perumusan kebijakan di bidang pengelolaan fiskal, kerangka ekonomi makro dan penganggaran serta melaksanakan fungsi Bendahara Umum Negara, dan sebagai wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara terlepas dari tugas-tugas yang lebih bersifat teknis operasional.

Page 379: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 14 Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga ���

www.depkeu.go.id

14.1.1. Rencana Strategis

Departemen Keuangan menyusun rancangan anggaran setiap tahunnya dengan mengacu pada dokumen perencanaan yang lebih tinggi. Dokumen yang dimaksud meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga (K/L). RPJM merupakan dokumen yang ditetapkan pemerintah sebagai panduan pembangunan untuk jangka waktu lima tahun dan selanjutnya dirinci di dalam RKP yang memiliki perspektif waktu perencanaan satu tahun.

Renstra merupakan dokumen perencanaan yang wajib disusun oleh Departemen Keuangan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Penyusunan Renstra merupakan upaya yang ditempuh pemerintah untuk menjamin konsistensi di antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan. Renstra dimaksudkan pula dalam rangka mengendalikan penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan serta sebagai wujud pertanggungjawaban kinerja instansi pemerintah.

Renstra Departemen Keuangan untuk tahun 2005-2009 telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.01/2006. Renstra tersebut dalam perjalanannya disempurnakan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 157/PMK.01/ 2008. Perbaikan Renstra perlu dilakukan, karena adanya reorganisasi yang menyebabkan terjadinya perubahan tugas dan fungsi unit organisasi di lingkungan Departemen Keuangan, serta adanya perubahan nomenklatur beberapa program/kegiatan pokok/indikator kinerja.

Berdasarkan Renstra yang berjangka waktu lima tahun, diuraikan Rencana Kerja (Renja) Departemen Keuangan untuk setiap tahun. Renja yang disusun mengacu pada RKP dengan output dan outcome yang terukur untuk kepentingan pemantauan kinerja. Pelaksanaan Renja membutuhkan dukungan anggaran yang dituangkan di dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL).

14.1.2. Arah Kebijakan

Arah kebijakan yang ditempuh dalam pelaksanaan tugas Departemen Keuangan sebagai kementerian/lembaga pemerintah sangat terkait dengan tugas Menteri Keuangan selaku pemegang otoritas fiskal. Kebijakan fiskal diarahkan agar berkesinambungan (fiscal sustainability) dengan tetap memberi ruang gerak bagi peningkatan perekonomian nasional. Diupayakan tercipta stabilitas ekonomi yang didukung oleh reformasi struktural di berbagai bidang serta meningkatnya ketahanan sektor keuangan melalui penguatan dan pengaturan jasa keuangan, perlindungan dana masyarakat, dan peningkatan komunikasi melalui jaring pengaman sistem keuangan.

Kebijakan di bidang fiskal yang selama ini dijalankan diarahkan pada keseimbangan di antara peningkatan alokasi anggaran dengan upaya untuk memantapkan kesinambungan fiskal. Alokasi anggaran yang meningkat perlu diikuti oleh belanja negara yang semakin efisien dan efektif. Telah pula dilakukan pemisahan kewenangan secara lebih jelas di antara pemerintah pusat dan daerah yang diikuti pendanaannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 380: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Defisit anggaran diupayakan menurun secara bertahap dengan skema pembiayaan yang kondusif agar tidak menimbulkan crowding out di dalam perekonomian. Upaya meningkatkan penerimaan negara ditempuh melalui reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan dan kepabeanan, serta optimalisasi PNBP. Adapun pengelolaan pinjaman diarahkan agar proporsional terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio pinjaman luar negeri pemerintah diupayakan menurun, baik rasio maupun nominalnya terhadap PDB. Untuk pinjaman dalam negeri, diupayakan tetap adanya ruang gerak yang bagi pada sektor swasta melalui penarikan pinjaman neto kurang dari 1 persen PDB dan menurun secara bertahap, sehingga rasio stok pinjaman akan lebih rendah dari 40 persen PDB.

14.1.3. Strategi Pelaksanaan Tugas

Departemen Keuangan telah mempersiapkan strategi beserta target-target untuk mendukung pencapaian arah kebijakan fiskal tersebut yang termuat di dalam Rencana Strategis Tahun 2005-2009. Strategi pendapatan negara pada prinsipnya diarahkan pada peningkatan pendapatan negara yang dilaksanakan melalui tiga kebijakan. Kebijakan yang pertama adalah peningkatan target pendapatan perpajakan secara terencana sesuai kondisi perekonomian dengan memperhatikan kendala, potensi, dan coverage ratio. Strategi kedua adalah optimalisasi penerimaan dari bea dan cukai dengan melakukan pengkajian kelompok industri dalam rangka optimalisasi dan harmonisasi sistem pentarifan. Strategi ketiga adalah peningkatan PNBP sesuai perkembangan perekonomian melalui perbaikan regulasi. Pelaksanaan ketiga strategi tersebut diharapkan dapat mencapai empat target, yaitu optimalisasi pendapatan negara, peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, terwujudnya keadilan dan perlindungan masyarakat, serta citra baik Departemen Keuangan terkait dengan layanan publik dalam rangka peningkatan pendapatan.

Strategi belanja negara diarahkan pada peningkatan efektifitas dan efisiensi belanja negara. Strategi tersebut sangat diperlukan, karena sangat menentukan dampak belanja terhadap upaya pemerintah dalam mengatasi persoalan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di berbagai bidang. Peningkatan efektifitas dan efisiensi belanja negara diarahkan untuk mencapai lima target, yaitu efisiensi pengadaan barang dan jasa, alokasi belanja yang tepat sasaran, alokasi belanja yang berkeadilan sosial, peningkatan kualitas pelayanan, dan citra baik Departemen Keuangan dalam mengelola belanja negara.

Di bidang pembiayaan anggaran, strategi yang dijalankan Departemen Keuangan diarahkan untuk mencapai target-target yang merupakan indikator menguatnya kemampuan pembiayaan pemerintah. Target-target yang dimaksud meliputi penurunan stok utang, penggunaan utang secara selektif, optimalisasi pemanfaatan hibah dan utang, serta terwujudnya rasa aman bagi masyarakat. Strategi pembiayaan ditujukan pula untuk menjaga citra Departemen Keuangan.

Strategi yang ditempuh Departemen Keuangan di bidang kekayaan negara diarahkan pada optimalisasi penilaian dan pengelolaan kekayaan negara. Implementasi strategi ini menghadapi berbagai tantangan, karena kekayaan negara pada waktu lampau belum dinilai dan dikelola dengan baik. Penilaian dan pengelolaan kekayaan negara secara optimal diharapkan dapat meningkatkan citra Departemen Keuangan sebagai pengelolaan kekayaan negara, termasuk dalam rangka mendukung peningkatan kualitas laporan keuangan.

Page 381: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 14 Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga ��9

www.depkeu.go.id

Strategi lainnya yang dilaksanakan Departemen Keuangan adalah menyangkut pasar modal dan lembaga keuangan. Strategi di bidang ini sangat vital dengan semakin meningkatnya peran pasar modal dan lembaga keuangan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan daya saing Indonesia di pasar global. Penyusunan Early Warning System (EWS) merupakan salah satu langkah yang strategis, karena menjadi menjadi back bone bagi pengembangan idustri pasar modal dan lembaga keuangan di masa yang akan datang.

Diversifikasi sumber-sumber pendanaan-pendanaan jangka panjang dan alternatif pembiayaan serta perlindungan bagi investor dan konsumen merupakan upaya penting lainnya dalam rangka mendukung pengembangan produk dan proteksi pasar. Di samping itu, telah dilakukan pula pengembangan tata kelola yang baik dan manajemen risiko yang melalui peningkatan pembinaan, pengawasan berbasis risiko, dan kepastian hukum bagi investor dan pelaku industri. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang terkait terus diupayakan dan diikuti oleh peningkatan infrastuktur teknologi dan sistem informasi manajemen basis data dalam rangka pengembangan institusi dan struktur pasar, serta peran dan kualitas pelaku pasar modal dan lembaga keuangan.

14.1.4. Program Dan Kegiatan Pokok

Strategi dan kebijakan Departemen Keuangan dilaksanakan melalui 13 program yang yang masing-masing program tersebut mempunyai beberapa kegiatan pokok. Program peningkatan penerimaan dan pengamanan keuangan negara bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama yang bersumber dari pajak dengan mempertimbangkan perkembangan dunia usaha dan aspek keadilan masyarakat, termasuk di dalamnya pengelolaan kekayaan negara berupa piutang negara, sedangkan program Peningkatan efektifitas pengeluaran negara ditujukan untuk mendukung langkah konsolidasi dalam rangka menjaga kesinambungan fiskal, termasuk pengelolaan kekayaan negara.

Program selanjutnya adalah pengelolaan dan pembiayaan utang serta pemantapan pelaksanaan sistem penganggaran. Program pengelolaan dan pembiayaan utang bertujuan mengoptimalkan pembiayaan anggaran, termasuk di dalamnya pengelolaan utang yang berasal dari surat utang negara maupun pinjaman. Surat utang negara dan pinjaman merupakan alternatif pembiayaan defisit APBN dengan biaya rendah dan pada tingkat risiko yang dapat ditolerir. Adapun tujuan program pemantapan pelaksanaan sistem penganggaran adalah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabititas sistem penganggaran.

Departemen Keuangan juga melaksanakan program pembinaan akuntansi keuangan negara, stabilisasi ekonomi dan sektor keuangan, serta pengembangan kelembagaan keuangan. Pembinaan akuntansi diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, sedangkan stabilisasi ekonomi dan sektor keuangan ditujukan untuk mengendalikan laju inflasi, nilai tukar, dan suku bunga, mengembangkan mekanisme Jaring Pengamanan Sektor Keuangan, serta meningkatkan kinerja dan kesehatan lembaga jasa keuangan. Pengembangan jasa keuangan bertujuan untuk mengembangkan lembaga jasa keuangan non-bank dan profesi penunjang lembaga jasa keuangan, memperkuat struktur lembaga jasa keuangan guna meningkatkan fungsi intermediasi untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), mengupayakan tersedianya infrastruktur pendukung jasa keuangan, serta meningkatkan perlindungan terhadap nasabah, pemilik polis asuransi, dan investor pasar modal.

Page 382: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��0 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Program yang juga penting adalah peningkatan efektivitas pengelolaan kekayaan negara. Pelaksanaan program ini terutama difokuskan pada pengkajian, penyusunan, dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan negara. Selain itu, kegiatan yang dilaksanakan adalah inventarisasi dan penilaian kekayaan negara/barang milik negara.

Selain program yang terkait dengan tugas Departemen Keuangan sebagai institusi pengelola fiskal, terdapat pula program-program yang terkait dengan tata pemerintahan yang baik dan pengembangan sumber daya manusia. Program-program yang dimaksud meliputi penerapan kepemerintahan yang baik, peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara, peningkatan sarana dan prasarana aparatur negara, pendidikan kedinasan, serta pengelolaan sumber daya manusia aparatur. Program-program ini sangat fundamental, karena diperlukan mendukung keberhasilan Reformasi Birokrasi dan penganggaran.

14.2. Alokasi Anggaran dan Realisasi Belanja

Departemen Keuangan setiap tahunnya menyusun rencana anggaran untuk menjalankan tugas pokok dan dan fungsi Menteri Keuangan selaku pengguna anggaran/pengguna barang. Penyusunan anggaran dilakukan berdasarkan usulan dari unit-unit kerja di lingkungan Departemen Keuangan. Secara teknis, alokasi anggaran Departemen Keuangan dapat diklasifikasikan berdasarkan sumber dana dan jenis belanja.

14.2.1. Alokasi Anggaran Berdasarkan Sumber Dana

Alokasi panganggaran Departemen Keuangan setiap tahun dibagi dalam tiga sumber dana. Sumber dana yang pertama adalah Rupiah Murni yang terdiri dari Rupiah Murni dan Rupiah Murni Pendamping. Sumber dana kedua adalah Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) yang terdiri dari Loan dan Grant. Adapun sumber dana yang ketiga adalah PNBP, yang terdiri dari PNBP murni dan PNBP BLU.

Tabel 14.1. Alokasi Anggaran per Sumber Dana

(dalam Rp juta)

No. Tahun Rupiah Murni PHLN Jumlah

1. 2004 3.764.112 80.158 3.844.2702. 2005 4.419.693 480.374 4.900.0673. 2006 6.091.560 635.577 6.727.1374. 2007 9.408.836 450.851 9.859.6875. 2008 14.726.459 395.150 15.121.6096. 2009 15.023.446 346.178 15.369.624

Sumber: Departemen Keuangan

Page 383: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 14 Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga ��1

www.depkeu.go.id

14.2.2. Alokasi Anggaran Berdasarkan Jenis Belanja

Alokasi panganggaran berdasarkan jenis belanja dikelompokkan menjadi belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal. Belanja pegawai dialokasikan untuk membiayai kompensasi dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada pegawai pemerintah yang bertugas di dalam dan di luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan yang meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, honorarium, dan vakasi. Pagu belanja pegawai pada tahun 2004-2008 mengalami kenaikan yang relatif variatif dengan tujuan menampung penambahan jumlah pegawai dan kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) yang rata-rata sebesar 15-20 persen setiap tahun.

Pagu belanja pegawai mengalami kenaikan yang cukup tajam pada tahun 2008. Kenaikan tersebut terjadi karena adanya penyempurnaanan Tunjangan Khusus Pengelolaan Keuangan Negara (TKPKN). Penyempurnaan TKPKN merupakan bagian dari pelaksanaan Refromasi Birokrasi dan atas persetujuan DPR.

Tabel 14.2. Alokasi Anggaran per Jenis Belanja(dalam Rp juta)

No. Tahun Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Jumlah

1. 2004 1.129.110 1.282.026 1.433.135 3.844.270

2. 2005 1.166.020 2.049.298 1.684.750 4.900.067

3. 2006 1.485.960 2.237.150 3.004.027 6.727.137

4. 2007 2.258.006 3.414.395 4.187.285 9.859.687

5. 2008 7.330.221 4.298.716 3.492.673 15.121.609

6. 2009 7.839.883 4.703.964 2.825.777 15.369.624 Sumber : Departemen Keuangan.

Belanja barang dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran atas pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan. Pengalokasian anggaran utuk belanja barang mengacu pada standar biaya yang telah ditetapkan. Jumlah pagu belanja barang mengalami kenaikan yang bevariasi dari tahun ke tahun. Peningkatan pagu belanja barang dilakukan untuk menampung kebutuhan operasional dan pemeliharaan serta perjalanan dinas yang selalu meningkat sejalan dengan meningkatnya kegiatan unit Eselon I di lingkungan Departemen Keuangan. Alokasi belanja barang yang terbesar digunakan dalam rangka modernisasi Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

Jenis belanja modal dialokasikan untuk membiayai pengeluaran dalam rangka pembentukan modal yang menambah aset Departemen Keuangan dengan kewajiban untuk menyediakan biaya pemeliharaan. Seperti halnya belanja pegawai dan belanja barang, pagu belanja modal juga mengalami kenaikan yang fluktuatif. Kenaikan yang cukup tajam terjadi pada tahun 2006 untuk memenuhi kebutuhan modernisasi administrasi perpajakan. Modernisasi tersebut telah dimulai sejak tahun 2003 dengan pembentukan dua Kantor Pelayanan Wajib Pajak Besar dan diperluas dengan pembentukan Kantor Pelayanan Tipe Madya dan Pratama. Belanja modal yang cukup besar terutama diperlukan untuk membangun gedung kantor yang sebelumnya masih menyewa dan pengadaan peralatan teknologi informasi.

Page 384: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��2 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Belanja modal yang signifikan juga terjadi pada tahun tahun 2007, yaitu untuk mendukung pembentukan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Percontohan. Selain itu, mulai tahun 2008 dibentuk dua Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai, yaitu KPU Batam dan KPU Tanjung Priok. Pembentukan kedua KPU Bea Cukai memerlukan dukungan peralatan dan teknologi informasi untuk mendukung peningkatan pelayanan kepada eksportir dan importir, seperti Container Scanner, Kapal Patroli Cepat, dan Asian Single Window.

14.2.3. Realisasi Belanja

Departemen Keuangan sebagai pengguna anggaran harus menyusun dokumen pelaksanaan anggaran setiap tahun. Dokumen tersebut merupakan panduan dalam merealisasikan belanja menurut ketiga jenis belanja secara efisien dan efektif. Realisasi belanja pegawai dalam tahun anggaran 2004-2008 rata-rata sebesar 86,59 persen per tahun, dengan fluktuasi per tahunnya relatif stabil. Hal ini disebabkan ditingkatkannya standar penerimaan pegawai baru lingkup Departemen Keuangan, sehingga formasi pegawai yang disediakan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara setiap tahunnya tidak selalu dapat dipenuhi.

Tabel 14.3. Perbandingan Pagu dangan Realisasi Belanja

Berbeda dengan belanja pegawai, realisasi belanja barang dalam dalam periode yang sama diketahui rata-rata sebesar 79,86 persen per tahun, dengan kecenderungan menurun. Kondisi ini disebabkan penyerapan pagu untuk kegiatan yang dibiayai dari PHLN relatif rendah sebagai akibat persyaratan yang diberikan oleh Negara/Lembaga pemberi pinjaman dalam hal penarikan PHLN cukup rumit dan memerlukan waktu cukup panjang. Penyebab lainnya adalah upaya penghematan yang dilakukan oleh masing-masing unit Eselon I di lingkungan Departemen Keuangan.

Realisasi belanja modal relatif stabil, namun cukup rendah, yaitu rata-rata hanya 67,19 persen per tahun selama kurun waktu 2004-2008. Realisasi belanja modal yang belum optimal tersebut antara lain disebabkan oleh adanya penundaan pembangunan kantor operasional di berbagai daerah, karena permasalahan pengadaan tanah yang melalui proses yang panjang, sehingga memakan waktu lama. Penyebab yang lain adalah penerapan sistem e-procurement yang ternyata cukup efektif dalam menghemat belanja modal di Departemen Keuangan.

(dalam Rp juta)

TahunBelanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Jumlah

Pagu Realisasi % Pagu Realisasi % Pagu Realisasi % Pagu Realisasi %

2004 1.129.110 90,79 1.282.026 89,49 1.433.135 84,79 3.844.271 88,12

2005 1.166.020 88,54 2.049.298 80,34 1.684.750 56,25 4.900.068 74,01

2006 1.485.960 91,18 2.237.150 72,59 3.004.027 62,53 6.727.137 72,21

2007 2.258.006 78,71 3.414.395 76,26 4.187.285 62,50 9.859.686 70,99

2008 7.330.221 83,77 4.298.716 80,63 3.492.673 69,97 15.121.610 79,69

2009* 7.839.883 63,00 4.703.964 30,84 2.825.777 12,05 15.369.624 43,43Keterangan:

* : Realisasi s.d. 31 Agustus 2009

Sumber: Departemen Keuangan.

Page 385: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 14 Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga ���

www.depkeu.go.id

14.2.4. Pengembangan Sistem Penganggaran

Terdapat dua hal penting yang menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan anggaran Departemen Keuangan, yaitu anggaran berbasis kinerja dan anggaran responsif gender. Penyusunan anggaran berbasis kinerja pada dasarnya merupakan amanat pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003. Hal ini berarti bahwa penyusunan anggaran harus bertitik-tolak dari keluaran yang ingin dicapai (output based), sesuai dengan arahan kebijakan Departemen Keuangan. Setelah keluaran ditetapkan sebagai target yang ingin dicapai, maka dialokasikan sejumlah dana yang diperlukan dengan mempertimbangkan efisiensi, sehingga target dapat dicapai dengan pemanfaatan dana seoptimal mungkin. Penerapan anggaran berbasis kinerja menuntut adanya perubahan pola pikir, karena sistem anggaran yang lama masih bertitik-tolak pada tersedianya dana (input based) untuk mencapai target tertentu.

Departemen Keuangan sebagai salah satu kementerian dari enam kementerian yang menjadi pilot dalam penerapan anggaran berbasis kinerja telah melakukan redefinisi program dan kegiatan serta menyusun anggaran yang responsif gender. Dari delapan Program Pokok dan lima Program Penunjang, beberapa diantaranya dipergunakan secara bersama-sama dengan kementerian lain. Dalam lingkup Departemen Keuangan sendiri, terdapat program-program yang dipergunakan secara bersama-sama oleh beberapa Unit Eselon I. Dalam penerapan anggaran berbasis kinerja setiap Unit Eselon I hanya mempunyai satu program yang rumusannya mencerminkan dari tugas pokok Unit Eselon I bersangkutan.

Pada tataran kegiatan juga dilakukan redefinisi sesuai dengan prinsip anggaran berbasis kinerja. Perumusan kegiatan mengacu pada tugas pokok Unit Eselon II yang diturunkan dari program tertentu yang merupakan tugas pokok dan fungsi Unit Eselon I. Pendefinisian program dan kegiatan secara spesifik memperjelas pihak-pihak yang bertindak selaku penanggung jawab untuk suatu kegiatan, yaitu para pejabat Eselon I dan Eselon II.

Pertanggungjawaban setiap unit kerja di Departemen Keuangan telah semakin terukur sesuai dengan perumusan program dan kegiatan. Indikator kinerja utama untuk masing-masing Unit Eselon I di dalam lingkup Departemen Keuangan telah ditetapkan secara spesifik, sehingga dapat digunakan untuk memantau kinerja secara transparan dan akuntabel. Penetapan indikator kinerja utama telah diakomodir dalam penyusunan Renja K/L Depertemen Keuangan 2010.

Dalam rangka mendukung pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) secara nasional, antara lain akan dilaksanakan penyusunan anggaran responsif gender mulai tahun anggaran 2010. Upaya ini dilandasi oleh Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang menegaskan bahwa semua Departemen maupun Lembaga Pemerintah Non Departemen serta Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota harus melakukan PUG dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program pembangunan. Sebagai langkah persiapan, Direktorat Jenderal Anggaran sedang menyelesaikan aplikasi RKA-KL responsif gender untuk mengakomodir hal-hal yang berkaitan dengan PUG bersama 4 kementerian lainnya.

Page 386: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Dalam penerapan PUG di Departemen Keuangan telah dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Mengikuti berbagai pelatihan yang berkaitan dengan PUG di dalam dan di luar negeri.b. Melakukan sosialisasi/advokasi PUG bagi pejabat dan pegawai Departemen Keuangan di pusat maupun di daerah.c. Bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Bappenas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan banyak K/L lainnya, memperkenalkan konsep Anggaran Responsif Gender (ARG) kepada masing-masing Unit Eselon I, khususnya Direktorat Jenderal Anggaran. Dalam rangka implementasi ARG yang direncanakan tahun 2010, telah diperkenalkan sistem ARG agar K/L memulai untuk menggunakannya sebagai salah satu persyaratan pengajuan perencanaan anggaran. Terdapat tujuh K/L yang akan menjadi pilot project ARG pada tahun 2009, yaitu Departemen Pekerjaaan Umum, Departemen Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Departemen Pertanian, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan.d. Materi PUG telah dimasukkan sebagai salah satu bahan ajar dalam Diklat Pimpinan.e. Telah disetujuinya dalam amandemen Ketentuan Umum Perpajakan, agar perempuan bisa memiliki NPWP sendiri dan bukan merupakan cabang NPWP suami.

Dalam rangka pemantapan pelaksanaan PUG, beberapa hal yang akan dilakukan pada masa yang akan datang:

a. Penyusunan pedoman ARG bersama Bappenas dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. b. Penyusunan Buku Pedoman PUG di lingkup Departemen Keuangan yang berisikan petunjuk pengambilan keputusan yang responsif gender.c. Sosialisasi dan advokasi PUG bagi pejabat eselon di pusat maupun di daerah.d. Training of Trainers (TOT) bagi anggota Tim PUG.e. Pelatihan bagi pejabat dan pegawai pembahas utama di Direktorat Jenderal Anggaran untuk memantapkan pemahaman tentang konsep gender, strategi PUG, dan piranti analisis ARG dalam rangka implementasi ARG.

14.2.5. Laporan Keuangan

Departemen Keuangan sebagai pengguna anggaran wajib menyusun dan menyampaikan laporan keuangan. Laporan keuangan yang disampaikan akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil dari audit BPK menghasilkan 3 penilaian, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian, Wajar Dengan Pangecualian, dan Tidak Memberikan Pendapat.

Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 1 Tahun 2004, setiap kementerian negara/ lembaga, termasuk Departemen Keuangan, dituntut untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan anggarannya dalam bentuk Laporan Keuangan. Laporan Keuangan yang disusun terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). LRA menyajikan informasi tentang pendapatan dan belanja dibandingkan dengan anggarannya untuk suatu tahun anggaran. Neraca menyajikan informasi tentang posisi aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu. CaLK menyajikan informasi tentang kebijakan fiskal, ekonomi makro, ikhtisar capaian kinerja keuangan, kebijakan akuntansi yang digunakan, penjelasan pos-pos laporan keuangan, dan informasi penting lainnya yang diperlukan dalam rangka penyajian yang wajar atas kondisi keuangan kementerian.

Page 387: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 14 Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga ���

www.depkeu.go.id

Departemen Keuangan mulai menyusun Laporan Keuangan sejak Tahun Anggaran 2004. Laporan Keuangan Departemen Keuangan senantiasa dapat diselesaikan tepat waktu, yaitu paling lambat dua bulan setelah berakhirnya tahun anggaran. Sesuai ketentuan yang berlaku, Menteri Keuangan selaku pengguna anggaran/pengguna barang telah melengkapi Laporan Keuangan dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab. Laporan Keuangan yang diajukan mencakup pula dua satuan kerja yang menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU), yaitu Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Sesuai dengan ketentuan pasal 55 UU No. 1 Tahun 2004, Laporan Keuangan BLU tersebut telah disampaikan sebagai lampiran Laporan Keuangan Kementerian Keuangan. Dalam Ketentuan Peralihan UU No. 17 Tahun 2003 disebutkan bahwa Laporan Keuangan Departemen Keuangan diperiksa dan diberikan opini oleh BPK mulai Tahun Anggaran 2006.

Opini atas kewajaran penyajian Laporan Keuangan Departemen Keuangan pada Tahun Anggaran 2006 dan 2007 adalah Disclaimer. Opini ini mengindikasikan bahwa BPK belum meyakini kewajaran penyajian Laporan Keuangan yang diajukan oleh Departemen Keuangan. Meskipun demikian, jumlah temuan terus menurun sejalan dengan upaya-upaya perbaikan yang telah dilakukan oleh Departemen Keuangan. Untuk tahun 2008, pemeriksaan atas Laporan Keuangan Departemen Keuangan telah selesai dilakukan oleh BPK dan hasilnya menunjukkan peningkatan opini dari Disclaimer ditahun-tahun sebelumnya menjadi Wajar Dengan Pengecualian.

Laporan Keuangan Departemen Keuangan disusun dengan menggunakan Sistem Akuntansi Instansi (SAI). Sistem ini diselenggarakan secara berjenjang, mulai dari tingkat satuan kerja, wilayah, Eselon I, dan hingga kementerian. SAI secara substantif terdiri dari dua sistem, yaitu Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) serta Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK BMN). Kedua sistem telah diselenggarakan secara penuh di Departemen Keuangan sejak Tahun Anggaran 2008.

Penyelenggaraan SAI di Departemen Keuangan belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kendala yang dihadapi antara lain adalah belum tersedianya SDM dengan kompetensi yang sesuai dalam jumlah yang cukup pada setiap satuan kerja. Selain itu, barang milik negara yang diperoleh sebelum tanggal 31 Desember 2004 belum seluruhnya disajikan secara wajar. Hal ini disebabkan masih belum selesainya kegiatan inventarisasi dan penilaian, adanya tanah-tanah yang belum bersertifikat, serta adanya rumah dinas yang ditempati oleh pihak yang tidak berhak.

Kendala lainnya adalah PNBP yang belum sepenuhnya dicatat dan dilaporkan sesuai dengan ketentuan, khususnya pendapatan dari panas bumi. Salah satu penyebabnya adalah belum lengkapnya petunjuk teknis untuk penyelesaian perhitungannya sampai tahun anggaran 2007. Penyempurnaan juga masih perlu dilakukan dalam klasifikasi anggaran, karena belum mencakup seluruh kebutuhan K/L.

Untuk meningkatkan kualitas Laporan Keuangan, Departemen Keuangan telah berupaya meningkatkan kompetensi SDM akuntansi melalui pelatihan Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPAKP), selain telah dilakukan inventarisasi dan penilaian terhadap Barang Milik Negara serta koreksi neraca mulai tahun 2007 dan diharapkan selesai pada tahun 2009. Penyempurnaan penatausahaan penerimaan merupakan upaya lainnya yang ditempuh dalam rangka meningkatkan keandalan angka penerimaan perpajakan maupun PNBP.

Perbaikan di bidang administrasi dan kelembagaan diawali dengan penyusunan peraturan-peraturan terkait yang diperlukan, seperti akuntansi piutang pajak dan pengaturan rekonsiliasi penerimaan pajak, serta pembentukan Tim Peningkatan Kualitas Laporan Keuangan untuk memberikan asistensi dalam penyusunan laporan keuangan. Peningkatan pembinaan penyelenggaraan SAI juga dilakukan yang diserta dengan pendampingan pada saat penyusunan laporan keuangan dari tingkat satuan kerja hingga tingkat kementerian. Di samping itu, Inspektur Jenderal telah melakukan review secara bersamaan dengan proses penyusunan laporan keuangan.

Page 388: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

14.3. Pelaksanaan SAKIP/LAKIP

Departemen Keuangan sebagai salah satu instansi pemerintah wajib menyampaikan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP). Laporan ini memuat pencapaian program-program selama satu hingga lima tahun sesuai dengan Renstra yang telah ditetapkan. Kewajiban menyampaikan LAKIP diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Dalam Renstra Departemen Keuangan Tahun 2005-2009 terdapat lima misi yang dilaksanakan untuk mencapai visi Departemen Keuangan, yaitu misi di bidang fiskal, ekonomi, politik, sosial budaya, dan kelembagaan. Masing-masing misi dijabarkan lebih lanjut ke dalam fungsi, program, dan kegiatan. Pencapaian kinerja yang menunjukkan keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan kelima misi disampaikan kepada Presiden dan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai bahan evaluasi.

Dalam hal penyampaian LAKIP, Departemen Keuangan telah mendapat piagam penghargaan dari Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai kementerian/lembaga pemerintah yang selalu menyampaikannya LKIP secara tepat waktu. Penghargaan diserahkan pada tanggal 24 Februari 2009 oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara kepada Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan atas hasil evaluasi LAKIP tahun 2007. Departemen Keuangan menempati peringkat ketujuh dari 74 kementerian/lembaga yang menyampaikan LAKIP.

Gambar 14.1. Capaian Kinerja Departemen Keuangan berdasarkan LAKIP Tahun 2004 s.d. Tahun 2008

Persentase realisasi target misi fiskal tertinggi dicapai pada tahun 2004, yaitu 104,93 persen. Capaian yang tinggi ini antara lain disebabkan oleh penyelesaian 59 Loan Agreement yang berarti 655,56 persen lebih tinggi dibandingkan target yang hanya 9 Loan Aggrement. Realisasi target misi ekonomi yang tertinggi juga dicapai pada tahun 2004, yaitu 103,46 persen. Capaian ini antara lain ditopang keberhasilan penyaluran subsidi BBM kepada masyarakat sebesar Rp 64,57 trilyun dari target Rp 14,52 Trilyun. Selain itu, terdapat penerapan ketentuan tentang modal disetor minimal dan modal kerja bersih disesuaikan terhadap perusahaan efek tahap II yang berdampak positif berupa turunnya tingkat kegagalan penyelesaian transaksi bursa.

Sumber: Bapepam-LK - Departemen Keuangan

Persentase Pencapaian Target Per Tahun

FiEk

SoKelembagaan

sbud

onomi skal

95,898,887,3173,1106,37

81 8 4 93,3

85,788,9 90,5

99,4692,097,296,49

2 5

9

184,863,2

100,0115,75

0 7 7

90,085,0

180,887 0 2 1 104,9

103,468,9

107,7599,91

6 6 3

200,00

180,00

160,00

140,00

120,00

100,00

80,00

60,00

40,00

20,00

02004 2005 2006 2007 2008

Fiskal Sosbud KelembagaanEkonimi Politik

Page 389: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 14 Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga ���

www.depkeu.go.id

Di bidang politik, persentase realisasi tertinggi dihasilkan pada tahun 2007, yaitu sebesar 92,05 persen. Secara umum, sebagian besar kegiatan-kegiatan yang diprogramkan terealisasi 100 persen. Hanya terdapat dua kegiatan yang capaiannya di bawah 80 persen, selain terdapat satu kegiatan yang tidak terlaksana. Berbeda dengan misi politik, persentase realisasi capaian target misi sosial budaya yang terbaik adalah pada tahun 2008, yaitu 173,18%. Tingginya capaian misi sosial budaya antara lain disebabkan over reach target Bapepam-LK dalam kegiatan pengedukasian masyarakat mengenai asuransi dari yang semula hanya ditargetkan 2 angkatan menjadi sebanyak 11 angkatan dengan pembagian buku panduan yang semula ditargetkan 500 eksemplar menjadi 10.000 eksemplar.

Persentase realisasi target misi kelembagaan yang tertinggi diperoleh pada tahun 2005, yaitu 180,88 persen. Tingginya capaian tersebut antara lain dikarenakan keberhasilan Inspektorat Jenderal dalam mengungkap kasus-kasus kerugian negara. Dalam kegiatan Pemeriksaan Tugas dan Fungsi Instansi, Inspektorat Jenderal yang semula hanya menargetkan pengungkapan sekitar Rp 55 miliar, ternyata berhasil menyelamatkan uang negara hingga Rp 568 miliar. Selain itu, dari kegiatan Pemeriksaan Serentak telah dilakukan penghematan keuangan negara sebesar 701 persen, serta dari kegiatan Investigasi atas penyalahgunaan wewenang juga telah berhasil diungkapkan kerugian hingga Rp 22 miliar yang lebih besar dari target semula yang hanya Rp 5 miliar.

14.4. Ringkasan

Dalam pelaksanaan tugasnya, Departemen Keuangan telah menetapkan berbagai target kinerja yang dituangkan dalam Renstra. Target-target tersebut pada umumnya telah dicapai dengan tingkat pencapaian yang berbeda-beda. Kinerja yang menonjol antara lain adalah meningkatnya pendapatan dari sektor pajak, bea dan cukai, dan PNBP, serta efisiensi belanja negara dan optimalisasi pengelolaan kekayaan negara. Pencapaian tersebut diantaranya dapat terlaksana, karena adanya dukungan anggaran Departemen Keuangan yang memadai, khususnya dalam rangka Reformasi Birokrasi.

Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan merupakan upaya strategis untuk mencapai tujuan organisasi yang efektif dan efisien. Guna mendukung Reformasi Birokrasi telah ditetapkan Indikator Kinerja Utama sebagai alat ukur yang dapat merefleksikan capaian kinerja unit organisasi di lingkungan Departemen Keuangan. Penetapan Indikator Kinerja Utama dilandasi oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 87/KMK.01/2009 tentang Pengelolaan Indikator Kinerja Utama di lingkungan Departemen Keuangan. Pengelolaan kinerja juga semakin berkembang dengan dilakukannya pengintegrasian antara Balanced Scorecard dan Performance Based Budgeting.

Untuk mewujudkan tujuan Departemen Keuangan banyak kendala yang ditemukan, salah satu diantaranya adalah penyerapan anggaran yang belum optimal. Rata-rata realisasi belanja pada tahun 2004-2008 hanya berkisar 75,15 persen dari dana yang dianggarkan. Penyerapan yang masih rendah ini mengindikasikan masih cukup banyak aspek yang masih perlu diperbaiki pada tahun-tahun yang akan datang, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan penganggaran.

Tantangan yang perlu dijawab antara lain adalah penerapan Anggaran Responsif Gender, di samping pemantapan anggaran terpadu, anggaran berbasis kinerja, dan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran. Direktorat Jenderal Anggaran dewasa ini sedang menyelesaikan Aplikasi RKA-KL yang Responsif Gender. Upaya tersebut ditempuh agar RKA-KL Departemen Keuangan 2010 sudah mengakomodir hal-hal yang berkaitan dengan PUG.

Page 390: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

��� LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Tahun 2004-2009 merupakan periode pertama pemerintahan di Indonesia yang dihasilkan dari pemilihan Presiden secara langsung dan demokratis. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden terpilih kemudian menyusun Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Kabinet tersebut dibentuk untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.

Sebagai panduan bagi KIB, telah ditetapkan program kerja pemerintah yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi (triple tracks). Menteri Keuangan sebagai salah satu anggota KIB mendapatkan mandat selaku pengelola kebijakan keuangan negara dan wakil pemerintah dalam kepemilikan dan pengelolaan kekayaan negara. Selain itu, Menteri Keuangan sebagai pimpinan departemen juga bertugas selaku pengguna anggaran/pengguna barang.

Dalam menjalankan tugas tersebut, Menteri Keuangan menggunakan berbagai piranti kebijakan keuangan negara untuk mencapai sasaran-sasaran makro yang telah ditetapkan dengan didukung oleh segenap jajaran Departemen Keuangan. Kemampuan mengelola piranti kebijakan secara optimal dalam rangka mendukung suksesnya program kerja pemerintah sekaligus merupakan indikator kinerja Departemen Keuangan. Piranti-piranti kebijakan yang dimaksud meliputi bidang pengelolaan pendapatan negara, belanja negara, perimbangan keuangan pusat dan daerah, pembiayaan, perbendaharaan negara, kekayaan negara, serta pasar modal dan lembaga keuangan.

Untuk mengoptimalkan pengelolaan keuangan negara, telah dilakukan Reformasi Kebijakan Penganggaran dan Reformasi Birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan. Reformasi kebijakan penganggaran tertuang secara komprehensif di dalam undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan Negara, Undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan perbendaharaan Negara, dan Undang-undang yang berkaitan dengan pertanggungjawaban keuangan Negara. Di antara kebijakan yang diharapkan maupun mendorong semakin baik dan efisiennya pengelolaan keuangan Negara adalah meliputi penerapan unified budget, medium-term expenditure framework

Penutup

Page 391: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Bab 1Pendahuluan

Bab 2Reformasi Birokrasi

Bab 3 Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

Bab 4Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

Bab 5Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerintah Pusat

Bab 6Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Bab 7Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

Bab 8Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

Bab 9Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

Bab 10Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-bank

Bab 11Pengawasan dan Pengendalian Internal

Bab 12Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional di Bidang Keuangan

Bab 13Kebijakan Hubungan KelembagaanNegara/Pemerintahan

Bab 14Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementerian/Lembaga

Bab 15Penutup

Bab 15 Penutup ��9

www.depkeu.go.id

(MTEF) dan performance-based budgeting. Untuk mendukung keberhasilan reformasi kebijakan di bidang keuangan, Departemen Keuangan secara konsisten sejak tahun 2002 melakukan reformasi birokrasi. Langkah-langkah reformasi birokrasi tersebut dijalankan melalui penataan organisasi, penyempurnaan bisnis proses, dan peningkatan pengelolaan SDM. Implementasi pilar-pilar dari kedua reformasi selanjutnya menjadi landasan bagi perbaikan piranti kebijakan di setiap unit kerja Departemen Keuangan. Sementara itu, secara khusus reformasi birokrasi diharapkan akan mampu meningkatkan kinerja aparat Departemen Keuangan, meningkatkan berbagai bentuk pelayanan kepada publik, sekaligus mampu meningkatkan governance.

Di bidang pengelolaan pendapatan negara, Departemen Keuangan telah menempuh kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan melalui strategi mapping, profiling, dan benchmarking basis pajak. Pelaksanaan kebijakan tersebut telah berhasil meningkatkan kualitas pelayanan dan penerimaan pajak secara sangat signifikan. Departemen Keuangan juga telah mengoptimalkan kebijakan kepabeanan dan cukai melalui penerapan strategi peningkatan pendapatan dengan tetap mendorong pertumbuhan industri, investasi dalam negeri, dan penyerapan tenaga kerja. Strategi tersebut dijalankan tanpa mengabaikan aspek ketertiban dan perlindungan kesehatan masyarakat. Adapun dalam kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Departemen Keuangan telah fokus untuk mengoptimalkan penerimaan SDA, deviden BUMN, dan PNBP lainnya di kementerian/lembaga.

Pendapatan negara yang semakin meningkat telah memberikan peluang lebih besar bagi Departemen Keuangan untuk menata arah kebijakan pengelolaan belanja negara menuju pro growth, pro job, dan pro poor sesuai dengan program kerja pemerintah. Kebijakan pengelolaan belanja negara juga diupayakan agar mampu menjaga stabilitas nasional serta kelancaran penyelengaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Untuk itu, anggaran belanja negara telah diprioritaskan untuk membiayai pembangunan infrastruktur ekonomi, penyediaan pelayanan dasar secara merata, penyediaan subsidi yang tepat sasaran, dan peningkatan ketahanan pangan nasional.

Dalam rangka mendukung implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, telah ditingkatkan perimbangan keuangan di antara pemerintah pusat dan daerah yang ditujukan untuk memperbaiki keseimbangan fiskal. Kebijakan perimbangan juga ditempuh untuk mengurangi disparitas pembangunan antarwilayah di Indonesia. Pemerintah daerah dewasa ini telah mengelola anggaran daerah secara lebih mandiri, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam hal pengelolaan pembiayaan, kebijakan yang dilaksanakan oleh Departemen Keuangan difokuskan pada upaya mencari sumber-sumber pembiayaan yang optimal. Sumber-sumber pembiayaan yang dimaksud adalah yang memiliki skema berperspektif jangka panjang dan risiko yang kecil. Identifikasi terhadap sumber-sumber pembiayaan sangat diperlukan untuk menutup defisit anggaran mengingat kebutuhan belanja negara semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Keuangan negara membutuhkan penataan dalam aspek pengelolaan dan pertanggungjawaban yang menjadi bidang perbendaharaan negara. Kebijakan pengelolaan perbendaharaan negara diarahkan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kas, penertiban rekening pemerintah, dan perbaikan pelayanan dalam pencairan dana APBN. Adapun dalam hal pertanggungjawaban keuangan negara telah diupayakan penyempurnaan prosedur akuntansi dan pelaporan. Langkah strategis yang ditempuh dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara adalah melalui penerapan Treasury Single Account (TSA).

Page 392: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

�90 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Pengelolaan kekayaan negara serta pasar modal dan lembaga keuangan merupakan dua elemen penting lainnya yang menjadi lingkup pengelolaan kebijakan keuangan negara. Departemen Keuangan secara bertahap dan sistematis telah melakukan penertiban terhadap aset-aset negara yang pada waktu lampau belum terinventarisir dengan baik. Penertiban dilandasi oleh penyempurnaan peraturan perundangan yang terkait dengan pengurusan piutang negara, penilaian aset, dan pelayanan lelang.

Kebijakan di bidang pasar modal pada dasarnya diarahkan untuk menciptakan suasana yang kondusif agar pengelolaan pasar modal dapat berlangsung secara efisien, efektif, dan mandiri. Langkah strategis yang ditempuh Departemen Keuangan diantaranya memberikan peluang bagi pengawasan pasar modal secara independen dengan menggunakan pendekatan berbasis resiko. Upaya lainnya adalah meneruskan penyiapan pendirian lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Berbagai kebijakan yang ditempuh Departemen Keuangan senantiasa dihadapkan dengan berbagai tantangan dan kendala internal maupun eksternal, sehingga belum semua target kinerja dapat dicapai secara optimal. Secara internal, Reformasi Penganggaran dan Reformasi Birokrasi masih membutuhkan ownership dari segenap jajaran Departemen Keuangan. Secara eksternal, perlu digalang dukungan publik secara lebih luas.

Untuk meningkatkan pendapatan negara dari perpajakan, masih perlu diselesaikan perubahan undang-undang yang berkaitan dengan PPN dan PPn BM, di samping pengembangan information technology untuk pengelolaan basis data. Pembukaan KPP Madya yang baru beserta implementasi National Single Window (NSW) juga perlu segera diwujudkan untuk meningkatkan kontribusi kepabeanan dan cukai terhadap pendapatan negara. Perbaikan-perbaikan tersebut diperkirakan akan meningkatkan pendapatan negara secara signifikan.

Perencanaan belanja negara masih perlu ditingkatkan dengan semakin memantapkan implementasi performance based-budgeting dan medium-term expenditure framework. Adapun aspek yang belum terselesaikan dalam hal pengelolaan keuangan daerah adalah penyusunan undang-undang mengenai pajak daerah serta evaluasi peraturan daerah melalui online system. Perbaikan tata kelola keuangan di daerah akan meningkatkan kemandirian fiskal daerah dan sekaligus mengurangi ketergantungan kepada pusat.

Meskipun masih terdapat beberapa agenda yang belum terselesaikan, namun dengan adanya pembaharuan di berbagai bidang yang dilaksanakan secara terstruktur dan sistematis selama periode 2004-2009, telah terbentuk fondasi yang kokoh untuk menuju pengelolaan keuangan negara yang lebih baik di masa-masa yang akan datang. Di samping itu, terdapat road map dan pattern yang lebih jelas bagi penataan keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara yang semakin tertata akan memperbesar peluang bagi tercapainya kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata.

Page 393: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

www.depkeu.go.id

�91

tiM PenYuSun Dan PenuliSlaPOran kinerja DeParteMen keuangan (lkDk) 2004-2009

Pengarah :Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan; Mulia P. Nasution, Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan; Anny Ratnawati, Direktur Jenderal Anggaran; Darmin Nasution, Mantan Direktur Jenderal Pajak; Anwar Suprijadi, Direktur Jenderal Bea dan Cukai; Herry Purnomo, Direktur Jenderal Perbendaharaan; Hadiyanto, Direktur Jenderal Kekayaan Negara; Mardiasmo, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan; Rahmat Waluyanto, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang; Hekinus Manao, Inspektur Jenderal Departemen Keuangan; Fuad Rahmany, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; Anggito Abimanyu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal; I Made Gde Erata, Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.

Penasihat :Mar’ie Muhammad, Penasihat Senior Menteri Keuangan; dan Marsilam Simandjuntak, Penasihat Menteri Keuangan.

Tim Kerja :Agus Suprijanto, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara; Marwanto Harjowiryono, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara; Permana Agung Dradjattun, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Hubungan Ekonomi Keuangan Internasional; Agus Muhammad, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kekayaan Negara; Chatib Basri Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Ekonomi dan Keuangan; Raden Pardede, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Jasa Keuangan; Bobby Nazief, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Teknologi Informasi.

Tim Penyusun dan Penulis :Setjen: Harry Z. Soeratin, Karo Humas; Abdul Kadir, Karo Cankeu; Samsuar Said, Karo Organta; Achmad Sofyan, Karo Hukum,; Sudiharjo, Karo Perlengkapan; Supriyatno, Kabag Hubungan Kelembagaan Negara; Hirwy Pudji Soebagidjo Kabag Publikasi dan Informasi; Eddy M. Effendi, Kabag Komunikasi Media dan Internasional; Agung Ardhianto, Kabag Manajemen Opini Publik; DJA: Pj. Ari Wahyuni, Sekretaris; Boediarso Teguh Widodo, Dir. Penyusunan APBN; Yonathan Setianto Hadi, Kasubdit Data dan Dukungan Teknis Penyusunan APBN. DJP: Djonifar Abdul Fatah, Sekretaris; S. Petrus Tambunan, Dir.Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan. DJBC: Kamil Sjoeib, Sekretaris; Hanafi Usman, Dir. Audit. DJPb: K.A. Badaruddin, Sekretaris. DJKN: Suryanto, Sekretaris; Bambang S. Marsoem, Dir. Hukum dan Informasi; Dedi Syarif Usman, Kabag Organta. DJPK: Heru Subiyantoro, Sekretaris; Pramudjo, Dir.Dana Perimbangan. DJPU: Ayu Sukorini, Dir. Strategi Portofolio dan Risiko Utang. Itjen: Benny Maurits Limbong, Sekretaris. Bapepam-LK: Ngalim Sawega, Pj. Sekretaris; Yoopi Abimanyu, Karo Riset dan Tekhnologi Informasi; Budi Santoso, Mantan Kabag Perencanaan dan Organisasi. BKF: Winarto, Sekretaris; Askolani, Plt. Kapus Kebijakan APBN; Andie Megantara, Plt. Kapus Kebijakan Ekonomi Makro; Rustam Effendy, Kabid Kebijakan Penerimaan Perpajakan I; Maklani, Kabid Kerjasama Bilateral. BPPK: Dodi Iskandar, Sekretaris. Pushaka: Rionald Silaban, Kepala.

Tim Editor Eksternal :Budi W. Sutjipto, Direktur Pengelola Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia; Erdion Nurrahman, Marketing Manager Lembaga Manajemen PPM; Ina Primiana Sagir, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran; Iko Marita Mustokoweni, Senior Officer Secretariat Perusahaan, PT. Perusahaan Pengelola Aset; Roberto Akyuwen, Widyaswara Muda BPPK; Ramelan, Editor Kepala Lembaga Manajemen PPM;

Tim Sekretariat :Setjen: Sundari, Kasubbag Publikasi Cetak; Bagus Wijaya; Dhinny Aryanthy; Dani Indah Wiratman; Irma Kesuma Dewi; Jeje Jafar Sidik; Pandu Rizky Fauzi; Rezha Sahhilny Amran; Sigit Pramono Sidi; Yeti Susilowati, Aspri Menkeu. DJA: Dendy Dwi Dwiyan.

Pendukung : Setjen: Ratmoko, Kabag Penganggaran Rocankeu; FX. Cahyo Wijayanto, Plt Kasubbag Program II; Arief Suryawan, Pelaksana Rocankeu; Suharto, Kabag Ketatalaksanaan II Organta; Rahmat Widiyana, Kasubbag Hubungan Kelembagaan II, Resirasari Diah; Pelaksana Rohumas. DJA: Rice Krisnawati, Kasi Penyusunan Anggaran Belanja Lainnya dan Belanja K/L. DJP: Andri Nuralam, Kasubdit Potensi Perpajakan; Anggrah Suryo, Kasubdit Administrasi dan Evaluasi Penerimaan; Muhammad Taufik, Kasi Evaluasi Penerimaan. DJBC: Hasanuddin, Kasi Pemantauan dan Penerimaan. DJPb: Mara Thamrin Bulhir, Kasubdit Dabantek; Ahmad Nizar, Kasi Data PA Subdit Dabantek; Moudy Hermawan, Pelaksana. DJKN: Darnadi, Kasubbag Tata Laksana; Dian Hendro Cahyono, Kasi Pengolahan Data dan Layanan Informasi; Doni Prasetyo Ali, Pelaksana Organta. DJPK: Ubaidi Soehamidi, Kasubid Dana Alokasi Umum. DJPU: Heri Setiawan, Kasubdit Portofolio dan Risiko Utang; Laluta Runa, Kasi Indentifikasi, Infrastruktur dan Dokumentasi. Itjen: Ari Sufianto, Kasubbag Pelaporan Ortala; Arief Ismail, Pelaksana Subbag Pelaporan Ortala. Bapepam-LK: Greta Joice S, Kasubbag Rencana Kerja dan Pelaporan. BKF: Widiyanto, Kasubid Kebijakan Penerimaan Kepabeanan dan Cukai; Indro Bachtiar, Kabid Analisis Sektor Riil; Dalyono, Kasubbid Kerja Sama Asean; Gandy Setiawan, Kasubbid Kerja sama Bank Pembangunan dan OKI; Finaldo, Kasubbid Investasi. Tri Wibowo, Peneliti BKF. Pushaka: Supendi, Kabag Peiku.

Page 394: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik Indonesia

�92 LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN KEUANGAN 2004-2009

Halaman ini sengaja di kosongkan

Page 395: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

DAFTAR ISI

1. Prolog

3. Visi & Misi

4. Kata Pengantar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

8. Pejabat Departemen Keuangan

10. Profil Pejabat Departemen Keuangan

16. Struktur Organisasi

19. Bab I : Pendahuluan

35. Bab II : Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan

61. Bab III : Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro

87. Bab IV : Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Negara

119. Bab V : Kebijakan Pengelolaan Belanja Pemerinta Pusat

155. Bab VI : Kebijakan Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah

203. Bab VII : Kebijakan Pengelolaan Pembiayaan

239. Bab VIII : Kebijakan Pengelolaan Perbendaharaan Negara

264. Bab IX : Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Negara

291. Bab X : Kebijakan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank

327. Bab XI : Kebijakan Pengawasan dan Pengendalian Intern

339. Bab XII : Kebijakan dan Kerjasama Keuangan Internasional

363. Bab XIII : Kebijakan Hubungan Kelembagaan Negara/Pemerintahan

373. Bab XIV : Pelaksanaan Tugas Departemen Keuangan sebagai Kementrian/Lembaga

389. Bab XV : Penutup

Ilustrasi di balik permainan tradisional

nusantara,

Merepresentasikan sebuah kejujuran,

rancangan strategi

dalam memenangkan kompetisi,

melambangkan instuisi

dalam menciptakan inovasi,

menceritakan kebahagiaan

dalam sebuah kebersamaan,

simbolisasi kebanggaan

atas pencapaian prestasi.

Departemen Keuangan

menjunjung tinggi nilai kejujuran,

senantiasa menciptakan terobosan baru.

Merepresentasikan strategi

“reformasi birokrasi“

di Departemen Keuangan

Republik Indonesia.

Menceritakan kebersamaan

dalam meraih cita-cita bangsa,

memberi gambaran atas pencapaian prestasi

kebanggaan Indonesia.

Page 396: Reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang … 2004-2009 low res.pdf · Pelayanan masyarakat di bidang perpajakan dan bea cukai, termasuk di dalamnya pelayanan ... Sorbonne

Departemen Keuangan Republik IndonesiaJl. Dr. Wahidin Raya No.1

Jakarta 10710

www.depkeu.go.id

Menata Keuangan NegaraMelalui Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi

untuk memberikan

pelayanan

yang terbaik.