REFKA CTEV
-
Upload
wahid-kastury -
Category
Documents
-
view
72 -
download
0
description
Transcript of REFKA CTEV
REFLEKSI KASUS JUNI 2015
“BAYI PRETERM DENGAN ASFIKSIA, GANGGUAN NAPAS
DAN CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)”
Nama : Hasty Wahyuni
No. Stambuk : N 111 14 044
Pembimbing : dr. Christine Kolondam, Sp.A
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM ANUTAPURA
PALU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Bayi prematur secara umum ialah bayi dengan usia kehamilan
kurang dari 37 minggu. Penentuan usia kehamilan dapat ditentukan dengan
menggunakan skor Ballard dan kurva Battaglia dan Lubchenco. Bayi prematur
memiliki berbagai masalah akibat belum berkembangnya organ-organ tubuh,
sehingga belum siap untuk berfungsi di luar rahim. Masalah yang sering dijumpai
pada bayi kurang bulan dan BBLR adalah : Asfiksia, gangguan nafas,
hipoglikemia, hipotermia, masalah pemberian ASI, ikterus, infeksi, masalah
perdarahan. Penatalaksanaan didasarkan pada masalah yang muncul yang
berkaitan dengan berat badan lahir rendah. (1) (2) (3)
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang
gagal bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Asfiksia pada BBL
merupakan penyebab kematian 19% dari 5 juta kematian BBL setiap tahun.
Resusitasi merupakan tindakan utama pada asfiksia. (1)
Gangguan napas merupakan keadaan meningkatnya kerja
pernapasan yang ditandai dengan takipnea (frekuensi napas >60 kali/ menit),
retraksi, napas cuping hidung, merintih, sianosis, apnea atau henti napas. Dalam 4
jam pertama sesudah lahir, empat gejala distress respirasi (takipnea, retraksi,
napas cuping hidung, merintih). Bila takipnea, retraksi, cuping hidung dan
merintih menetap pada beberapa jam setelah lahir, ini merupakan indikasi adanya
gangguan napas atau distress respirasi yang harus dilakukan tindakan segera.
Manajemen spesifik gangguan napas berdasarkan klasifikasi gangguan napas yang
terjadi, yang terdiri atas gangguan napas ringan, sedang dan berat. (1)
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) yang juga dikenal
sebagai ‘club-foot’ adalah suatu gangguan perkembangan pada ekstremitas
inferior yang sering ditemui, tetapi masih jarang dipelajari. CTEV dimasukkan
dalam terminologi “sindromik” bila kasus ini ditemukan bersamaan dengan
gambaran klinik lain sebagai suatu bagian dari sindrom genetik. CTEV dapat
1
timbul sendiri tanpa didampingi gambaran klinik lain, dan sering disebut sebagai
CTEV “idiopatik”. CTEV sindromik sering menyertai gangguan neurologis dan
neuromuskular, seperti spina bifida maupun spinal muskular atrofi. Tetapi bentuk
yang paling sering ditemui adalah CTEV “idiopatik”, dimana pada bentuk yang
kedua ini ekstremitas superior dalam keadaan normal.(7)
Club-foot ditemukan pada hieroglif Mesir dan dijelaskan oleh
Hipokrates pada 400 SM. Hipokrates menyarankan perawatan dengan cara
memanipulasi kaki dengan lembut untuk kemudian dipasang perban. Sampai saat
ini, perawatan modern juga masih mengandalkan manipulasi dan immobilisasi.
Manipulasi dan immobilisasi secara serial yang dilakukan secara hati-hati diikuti
pemasangan gips adalah metode perawatan modern non operatif. Kemungkinan
mekanisme mobilisasi yang saat ini paling efektif adalah metode Ponseti, dimana
penggunaan metode ini dapat mengurangi perlunya dilakukan operasi. Walaupun
demikian, masih banyak kasus yang membutuhkan terapi operatif. (7)
Club-foot bukan merupakan malformasi embrionik. Kaki biasanya
berkembang berubah menjadi Club-foot selama trimester kedua kehamilan. Club-
foot jarang terdeteksi dengan ultrasonografi sebelum minggu ke-16 kehamilan.
Oleh karena itu, seperti perkembangan hip dysplasia dan scoliosis idiopatik, Club-
foot adalah deformasi perkembangan. Perbandingan kasus laki-laki dan
perempuan adalah 2:1. Keterlibatan bilateral didapatkan pada 30-50% kasus. (7)
Berikut ini dilaporkan kasus mengenai bayi preterm dengan
asfiksia, gangguan napas dan CTEV (Congenital Talipes Equino Varus).
2
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Tanggal masuk : 17 Mei 2015
Nama : Bayi M
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 17 Mei 2015 (14.00 WITA)
ANAMNESIS
Bayi baru lahir pukul 14.00 dengan sectio caesaria dengan indikasi
letak bokong di RSU Anutapura Apgar Score 5-7, ketuban hitam (-) dan tidak
bercampur mekonium, anpal (+/+), mec/mix (-/-), pusat baik. Bayi lahir kurang
bulan, saat lahir bayi tidak langsung menangis, tonus otot lemah, sianosis (+),
merah pada badan dan biru pada ekstremitas, serta meringis. Ada terdapat
kelainan deformitas pada ekstremitas bawah. Partus lama tidak ada, tidak terdapat
pendarahan antepartum abnormal, kelainan plasenta dan tali pusat tidak ada.
Riwayat maternal : GIVPIAII, saat hamil usia 29 tahun, Usia
kehamilan berdasarkan skor ballard adalah 36 minggu. ANC rutin tiap bulan di
klinik. Saat umur kehamilan 6 bulan, ketuban pecah dan berwarna putih. 15 hari
kemudian ketuban semakin bertambah keluar. Lalu ibu pasien sempat dirawat di
Rumah Sakit, dan dilakukan pemeriksaan USG kondisi normal kembali. Satu hari
sebelum melahirkan, ketuban mengalir dan berwarna hijau kekuningan dan janin
dalam presentasi letak bokong. Tidak ada riwayat demam saat hamil, riwayat
preeklamsia tidak ada, anemia berat tidak ada, tidak ada konsumsi obat-obatan
tertentu atau ramuan-ramuan jamu selama kehamilan. Ibu tidak mengkonsumsi
alkohol ataupun merokok selama hamil. Riwayat trauma tidak ada. Riwayat
penyakit dalam keluarga tidak ada. Selama hamil, aktivitas ibu seperti biasa.
Nafsu makan dan gizi ibu selama hamil kurang cukup.
3
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-tanda vital
Denyut jantung : 132×/menit
Suhu : 36,3 C
Respirasi : 68×/menit
CRT : < 2 detik
Berat Badan : 2600 gram
Panjang Badan : 44 cm
Lingkar kepala : 32 cm
Lingkar dada : 30 cm
Lingkar perut : 29 cm
Lingkar lengan : 9 cm
Sistem neurologi :
Aktivitas : pasif
Kesadaran : kompos mentis
Fontanela : datar
Sutura : memisah
Refleks cahaya : ada
Kejang : tidak ada
Tonus otot : lemah
Sistem pernapasan
Sianosis : ada
Merintih : ada (terdengar dengan stetoskop)
Apnea : ada
Retraksi dinding dada : ada
Pergerakan dinding dada : simetris
Cuping hidung : tidak ada
Bunyi pernapasan : bronchovesicular
Bunyi tambahan : wheezing -/-, rhonkhi -/-.
4
Skor Downe
Frekuensi Napas : 1
Merintih : 1
Sianosis : 1
Retraksi : 1
Udara Masuk : 0
Merintih : 1
Total skor : 5 (gawat napas)
WHO : Gangguan napas sedang
Sistem hematologi :
Pucat : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Sistem kardiovaskuler
Bunyi Jantung : SI dan SII murni reguler
Murmur : tidak ada
Sistem Gastrointestinal
Kelainan dinding abdomen: tidak ada
Muntah : tidak ada
Diare : tidak ada
Residu lambung : tidak ada
Organomegali : tidak ada
Peristaltik : positif, kesan normal
Umbilikus
Pus : tidak ada
Kemerahan : tidak ada
Edema : tidak ada
Sistem Genitalia.
Keluaran : tidak ada
Anus imperforata : tidak ada
5
Ekstremitas : Lengkap; Tampak fleksi dari pergelangan kaki, inversi
dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari
tibia.
Skor Ballard
Maturitas fisik Maturitas neuromuskuler
Sikap tubuh : 3 kulit : 2
Persegi jendela : 2 lanugo : 2
Recoil lengan : 3 payudara : 2
Sudut poplitea : 3 Mata/telinga : 2
Tanda selempang : 3 genital : 2
Tumit ke kuping : 3 permukaan plantar : 3
Skor : 30
Estimasi kehamilan : 36 minggu
Interpertasi : Bayi preterm
Menurut kurva tersebut, didapatkan bahwa bayi tergolong sesuai masa kehamilan
(SMK)
6
RESUME :
Bayi baru lahir pukul 14.00 dengan sectio caesaria dengan indikasi
letak bokong di RSU Anutapura Apgar Score 5-7, ketuban jernih tidak bercampur
mekonium, anpal (+/+), mec/mix (-/-), pusat baik. Bayi lahir kurang bulan, saat
lahir bayi tidak langsung menangis, tonus otot lemah, sianosis (+), merah pada
badan dan biru pada ekstremitas, serta meringis. Ada terdapat kelainan deformitas
pada ekstremitas bawah.
Riwayat maternal: GIVPIAII, saat hamil usia 29 tahun, Usia
kehamilan berdasarkan skor ballard adalah 36 minggu. Saat umur kehamilan 6
bulan, ketuban pecah dan berwarna putih. 15 hari kemudian ketuban semakin
bertambah keluar. Sebelum melahirkan, ketuban mengalir dan berwarna hijau
kekuningan dan janin dalam presentasi letak bokong. Nafsu makan dan gizi ibu
selama hamil kurang cukup.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Denyut jantung 132 ×/menit,
suhu 36,30C, respirasi 68×/menit, berat badan 2600 gram, skor downe 5 (ada
gawat napas), klasifikasi WHO tergolong gangguan napas sedang, Skor ballard 30
(36 minggu) bayi tergolong SMK berdasarkan kurva Lubchenco. Selain itu pada
ekstremitas bawah didapatkan kelainan kongenital berupa tampak fleksi dari
pergelangan kaki, inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media
dari tibia.
DIAGNOSIS : Bayi Preterm(SMK)+ Asfiksia+Gangguan napas sedang + CTEV
TERAPI :
Jaga kehangatan
Atur posisi bayi
Isap lendir
Keringkan tubuh bayi sambil berikan rangsangan taktil
Atur posisi kembali
Melakukan penilaian pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit
7
Bila bayi tidak bernapas lakukan ventilasi tekanan positip (VTP) dengan
memakai balon dan sungkup selama 30 detik dengan kecepatan 40 -60 kali
per menit
Nilai bayi : usaha napas, warna kulit dan denyut jantung
Memantau kondisi secara berkala
Injeksi Vit. K 1 mg / IV
Gentamicin tetes mata 1 tetes
Oksigen 0,5 – 2 liter/menit
IVFD Dekstrosa 5% 7 tetes/menit (mikrodrips)
Injeksi Cefotaxim 2 × 150 mg
Injeksi Gentamisin 1 × 13 mg
Injeksi Dexametasone 1 × 1,3 mg
Bayi dipuasakan
Anjuran pemeriksaan :
- Darah rutin
- Gula darah sewaktu
- Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
8
FOLLOW UP
18 Mei 2015
S: Sesak (-), bayi tidur dan kurang aktif
O: - Tanda Tanda Vital :
Denyut Jantung : 160x/menit Suhu : 36,7 ºC
Pernapasan : 42x/menit CRT : < 2 detik
Berat badan : 2600 gr
Penurunan berat badan : 0 %
- Keadaan Umum: Sedang
- Sistem Pernapasan : Sianosis (-), merintih (-), apnea (-), retraksi dinding
dada (Ringan), pergerakan dinding dada simetris (+),
Skor DOWNE : 0(tidak ada gawat nafas).WHO: tidak ada gangguan napas
- Sistem Kardiovaskuler : Bunyi jantung murni, reguler (+), murmur (-).
- Sitem Hematologi : Pucat (-), ikterus (-)
- Sistem Gastrointestinal : Kelainan dinding abdomen (-), organomegali (-).
- Sistem Saraf : aktifitas kurang aktif, tingkat kesadaran compos mentis,
fontanela datar, kejang (-).
Pemeriksaan penunjang : GDS 103 mg/dl
A: Bayi Preterm(SMK)+ Asfiksia (Post) + Gangguan napas sedang (Post)+ CTEV
P: Oksigen 0,5 – 2 liter/menit
IVFD Dekstrosa 5% 11 tetes/menit (mikrodrips)
Injeksi Cefotaxim 2 × 150 mg
Injeksi Gentamisin 1 × 13 mg
Injeksi Dexametasone 1 × 1,3 mg
Obs. Tanda-tanda vital
Anjuran : konsul bedah
19 Mei 2015
S: aktifitas bayi aktif, refleks (+)
O: - Tanda Tanda Vital:
9
Denyut Jantung : 132x/menit Suhu : 36,7 ºC
Pernapasan : 52x/menit CRT : < 2 detik
Berat badan : 2.600 gr
Penurunan berat badan : 0%
Keadaan Umum: Sedang
- Sistem Pernapasan.
Sianosis (-), merintih (-), apnea (-), retraksi dinding dada (-), pergerakan
dinding dada simetris (+),
Skor DOWNE: 0(tidak ada gawat napas).WHO:Tidak ada gangguan napas
- Sistem Kardiovaskuler : Bunyi jantung murni, reguler (+), murmur (-).
- Sitem Hematologi : Pucat (-), ikterus (-)
- Sistem Gastrointestinal : Kelainan dinding abdomen (-), organomegali (-).
- Sistem Saraf : aktifitas aktif, tingkat kesadaran compos mentis, fontanela
datar, kejang (-).
A: Bayi Preterm(SMK)+ Asfiksia (Post) + Gangguan napas sedang (Post)+ CTEV
P: - Asi/Pasi 312 mL/hari (3 × 104 cc)
Obs. Tanda-tanda vital
Observasi pemasangan gips
20 Februari 2015
S: aktifitas bayi aktif, refleks (+)
O: - Tanda Tanda Vital:
Denyut Jantung : 120x/menit Suhu : 36,8 ºC
Pernapasan : 44x/menit CRT : < 2 detik
Berat badan : 2600 gr
Penurunan berat badan : 0%
Keadaan Umum: Sedang
- Sistem Pernapasan.
Sianosis (-), merintih (-), apnea (-), retraksi dinding dada (-), pergerakan
dinding dada simetris (+),
Skor DOWNE :0(tidak ada gawat napas) WHO:Tidak ada gangguan napas
10
- Sistem Kardiovaskuler : Bunyi jantung murni, reguler (+), murmur (-).
- Sitem Hematologi : Pucat (-), ikterus (-)
- Sistem Gastrointestinal : Kelainan dinding abdomen (-), organomegali (-).
- Sistem Saraf : aktifitas aktif, tingkat kesadaran compos mentis, fontanela
datar, kejang (-).
A: Bayi Preterm(SMK)+ Asfiksia (Post) + Gangguan napas sedang (Post)+ CTEV
P: - Asi/Pasi 364 mL (3 × 121 cc)
- Obs. Tanda-tanda vital
22 Mei 2015 : Pasien Pulang Paksa
11
BAB III
DISKUSI
Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan bahwa bayi lahir kurang bukan, skor
Apgar 5-7, ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium, anpal (+/+), mec/mix
(-/-), pusat baik. Saat lahir bayi tidak langsung menangis, tonus otot lemah,
sianosis (+), merah pada badan dan biru pada ekstremitas, serta meringis. Ada
terdapat kelainan kongenital pada ekstremitas bawah. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa pasien mengalami asfiksia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan lahir 2600 gram dan
pada skor ballard didapatkan skor 30 (36 minggu) yang interpretasinya sebagai
bayi preterm. Berdasarkan kurva lubchenco didapatkan bahwa pasien tergolong
kecil masa kehamilan (KMK). Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan ada gawat
napas berdasarkan skor down dan frekuensi pernapasan 68 kali/menit disertai
merintih. Berdasarkan kriteria WHO, pasien ini tergolong gangguan napas sedang.
Selain itu pada ekstremitas bawah didapatkan kelainan kongenital berupa tampak
fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan
rotasi media dari tibia.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada bayi ini adalah gula
darah sewaktu dengan hasil pemeriksaan 103 gr/dL. Dari hasil ini dapat
disimpulkan bahwa pasien tidak mengalami hipoglikemia.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang didapatkan bahwa diagnosis pasien pada kasus ini adalah bayi preterm
(SMK) dengan asfiksia dan gangguan napas disertai kelainan kongenital CTEV
(Congenital Talipes Equino Varus).
Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal
bernapas secara spontan dan teratur setelah lahir. Keadaan ini disertai dengan
hipoksia, hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat pada
12
penderita asfiksia ini merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat
adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin.(2)
Faktor resiko untuk terjadinya asfiksia neonatorum adalah (4) :
a. Faktor ibu
- Perdarahan antepartum abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
- Partus lama atau partus macet
- Demam sebelum dan selama persalinan
- Infeksi berat (Malaria, sifilis, TB, HIV)
- Kehamilan lebih bulan (lebih 42 minggu kehamilan)
b. Faktor plasenta dan tali pusat
- Infark plasenta
- Hematom plasenta
- Lilitan tali pusat
- Tali pusat pendek
- Simpul tali pusat prolapsus tali pusat
c. Faktor bayi
- Bayi kurang bulan/ prematur (kurang 37 minggu kehamilan)
- Air ketuban bercampur mekonium
- Kelainan kongenital yang memberi dampak pada pernapasan bayi
Sedangkan menurut Lee et. al. (2008), faktor risiko asfiksia terbagi
atas 3, yaitu (5) :
a. Antepartum : Demam selama kehamilan, anemia, pendarahan antepartum,
riwayat kehamilan neonatus sebelumnya, hipertensi pada kehamilan.
b. Intrapartum: Malpresentasi, partus lama, ketuban bercampur mekonium,
preeklamsia, ruptur membran prematur, prolaps umbilikus.
c. Bayi/post natal: prematuritas, BBLR, restriksi pertumbuhan intrauterina.
Asfiksia pada kasus ini disebabkan oleh faktor risiko antepartum,
intrapartum (malpresentasi); dan bayi (prematuritas). Faktor risiko antepartum
riwayat kehamilan neonatus sebeumnya dan hipertensi pada kehamilan. Faktor
risiko intrapartum yaitu malpresentasi. Dan faktor resiko bayi berupa
prematuritas.
13
Asfiksia neonatorum pada bayi prematur memiliki resiko tinggi
untuk dilakukannya tindakan resusitasi karena bayi prematur mempunyai
karakteristik yang berbeda secara anatomi maupun fisiologis jika dibandingkan
dengan bayi cukup bulan. Karakteristik tersebut adalah : (6) (7)
Terdapat kekurangan surfaktan pada paru-paru sehingga menimbulkan
kesulitan pada saat memberikan ventilasi
Kulit yang tipis, lebih permeabel, dan rasio yang besar antara luas permukaan
kulit dibanding masa tubuh, dan kurangnya jaringan lemak kulit memudahkan
bayi kehilangan panas
Bayi seringkali lahir disertai infeksi
Pembuluh darah otak sangat rapuh sehingga mudah menyebabkan perdarahan
pada keadaan stres
Distres respirasi atau gangguan napas merupakan masalah yang
sering dijumpai pada hari-hari pertama kehidupan, ditandai dengan takipnea,
napas cuping hidung, retraksi intercostal dan apnea. Gangguan napas yang paling
sering adalah TTN (Transient Tachypnea of Newborn), sindrom distress respirasi
atau penyakit membrane hialin dan displasia bronkopulmonar. Gangguan napas
dapat mengakibatkan gagal napas akut yang mengakibatkan ketidakmampuan
untuk memelihara pertukaran gas agar dapat memenuhi kebutuhan tubuh dan akan
mengakibatkan hipoksemia dan/atau hiperkarbia. (1)
Gangguan pernapasan merupakan suatu keadaan meningkatnya
kerja pernapasan yang ditandai dengan gejala : takipnea, bayi dengan sianosis
sentral, tarikan dinding dada, bayi apneu, dan merintih. Penyebab gangguan napas
dapat dibedakan menurut masa gestasi (1) (6) :
1. Pada bayi kurang bulan : penyakit membrane hialin, asfiksia, pneumonia,
kelainan atau malformasi kongenital
2. Pada bayi cukup bulan : “transient tachypnea of the newborn”, pneumonia,
aspirasi mekonium, asidosis metabolik, kelainan atau malformasi kongenital.
14
Bayi normal/asfiksia yang berhasil dengan resusitasi akan
mengalami gangguan napas :
1. Frekuensi napas bayi lebih 60 kali/menit, mungkin menunjukkan satu atau
lebih tanda tambahan gangguan napas.
2. Frekuensi napas bayi kurang 30 kali/menit.
3. Bayi dengan sianosis sentral (biru pada lidah dan bibir).
4. Bayi apnea (napas berhenti lebih 20 detik).
Tabel 1. Klasifikasi gangguan napas (6)
Frekuensi Frekuensi
napasnapas
Gejala tambahan Gejala tambahan
gangguan napasgangguan napas
KlasifikasiKlasifikasi
> 60 kali/menit> 60 kali/menit DENGANDENGAN Sianosis sentral DAN Sianosis sentral DAN
tarikan dinding dada tarikan dinding dada
atau merintih saat atau merintih saat
ekspirasi.ekspirasi.
Gangguan Gangguan
napas beratnapas berat
ATAU > 90 kali/ ATAU > 90 kali/
menitmenit
DENGANDENGAN Sianosis sentral ATAUSianosis sentral ATAU
tarikan dinding dada tarikan dinding dada
ATAU merintih saat ATAU merintih saat
ekspirasi.ekspirasi.
ATAU < 30 kali/ ATAU < 30 kali/
menitmenit
DENGANDENGAN
atau TANPAatau TANPA
Gejala lain dari Gejala lain dari
gangguan napas.gangguan napas.
60-90 kali/menit60-90 kali/menit DENGANDENGAN Tarikan dinding dada Tarikan dinding dada
ATAU merintih saat ATAU merintih saat
ekspirasi ekspirasi
Gangguan Gangguan
napas napas
sedangsedang
TetapiTetapi
TANPATANPA
Sianosis sentralSianosis sentral
ATAU > 90 kali/ ATAU > 90 kali/
menitmenit
TANPATANPA Tarikan dinding dada Tarikan dinding dada
atau merintih saat atau merintih saat
ekspirasi atau sianosisekspirasi atau sianosis
sentral.sentral.
60-90 kali/menit60-90 kali/menit TANPATANPA Tarikan dinding dada Tarikan dinding dada Gangguan Gangguan
15
atau merintih saat atau merintih saat
ekspirasi atau sianosisekspirasi atau sianosis
sentral.sentral.
napas napas
ringanringan
60-90 kali/menit60-90 kali/menit DENGAN DENGAN Sianosis sentral Sianosis sentral Kelainan Kelainan
jantung jantung
kongenitalkongenital
Pada kasus ini, gangguan napas yang terjadi berkaitan dengan
asfiksia, karena bayi dengan asfiksia yang berhasil diresusitasi akan mengalami
gangguan napas. Gangguan napas yang terjadi tergolong gangguan napas sedang
karena frekuensi napas adalah 60-90 kali/menit dengan merintih. Manajemen
umum gangguan napas adalah sebagai berikut (6):
1. Pasang jalur infus intravena ,
2. Bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infuse Dekstrosa 5 %
3. Pantau selalu tanda vital
4. Jaga patensi jalan napas
5. Berikan Oksigen ( 2-3 liter/menit dengan kateter nasal )
6. Jika bayi mengalami apnea:
a. Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
b. Lakukan penilaian lanjut
7. Bila terjadi kejang potong kejang
8. Segera periksa kadar glukosa darah ( bila fasilitas tersedia )
9. Pemberian nutrisi adekuat
Manajemen bayi dengan gangguan napas sedang (1):
1. Lanjutkan pemberian O₂ 2-3 liter/menit dengan kateter nasal, bila masih
sesak dapat diberikan O₂ 4-5 liter/menit dengan sungkup
2. Bayi jangan diberikan minum.
3. Jika ada tanda berikut, ambil sampel darah untuk kultur dan berikan
antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar
sepsis.
16
4. Bila suhu aksiler 34-36,50C atau 37,5-390C tangani untuk masalah suhu
abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam.
5. Bila suhu masih belum stabil atau gangguan napas belum ada perbaikan,
ambil sampel darah, dan berikan antibiotik untuk terapi kemungkinan besar
sepsis.
6. Jika suhu normal, terus amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal, ulangi
tahapan tersebut diatas.
7. Bila tidak ada tanda-tanda ke arah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam.
Apabila bayi tidak menunjukkan perbaikan atau tanda-tanda perburukan
setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis.
8. Bila bayi sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan, kurangi terapi O2 secara
bertahap. Apabila tidak diperlukan lagi pemberian O2 , mulailah melatih bayi
menyusu. Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai
salah satu cara alternatif pemberian minum.
9. Amati bayi setelah 24 jam pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali
tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minum baik dan tidak
ada alasan bayi tetap tinggal di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan.
Berdasarkan kasus ini, selain terjadi asfiksia dan gangguan
pernapasan, juga terdapat kelainan kongenital yang tampak saat dilakukannya
pemeriksaan fisik. Dari hasil pemeriksaan fisik bagian ekstremitas bawah
didapatkan kedua kaki tampak fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai,
adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia atau secara umum dikatakan
sebagai Club foot. Clubfoot adalah istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah dari posisi yang normal.
Clubfoot sering disebut juga Congenital talipes Equino Varus (CTEV).(7)
Congenital talipes Equinovarus merupakan suatu kelainan bawaan
yang sering ditemukan pada bayi baru lahir, mudah didiagnosis, tapi koreksi
sepenuhnya sulit dilakukan. Sering ditemukan karena ketidaktahuan keluarga
penderita, sehingga kelainan menjadi terbengkalai. Talipes berasal dari kata talus
(ankle) dan pes (foot), menunjukan suatu kelainan pada kaki (foot) yang
17
menyebabkan penderitanya berjalan pada angke-nya. Sedang Equinovarus berasal
dari kata equino (meng-kuda) dan varus (bengkok ke arah dalam/medial). (7) (8)
Gambar 1. Bayi dengan kelainan deformitas CTEV
Gambar 2. Tampak gambaran Club foot atau CTEV
Berdasarkan riwayat maternal didapatkan yaitu ; GIVPIAII, saat
hamil usia 29 tahun, usia kehamilan berdasarkan skor ballard adalah 36 minggu.
18
ANC rutin tiap bulan di klinik. Saat umur kehamilan 6 bulan, ketuban pecah dan
berwarna putih. 15 hari kemudian ketuban semakin bertambah keluar. Lalu ibu
pasien sempat dirawat di Rumah Sakit, dan dilakukan pemeriksaan USG kondisi
normal kembali. Satu hari sebelum melahirkan, ketuban mengalir dan berwarna
hijau kekuningan dan janin dalam presentasi letak bokong. Tidak ada riwayat
demam saat hamil, riwayat preeklamsia tidak ada, anemia berat tidak ada, tidak
ada konsumsi obat-obatan tertentu atau ramuan-ramuan jamu selama kehamilan.
Ibu tidak mengkonsumsi alkohol ataupun merokok selama hamil. Riwayat trauma
tidak ada. Riwayat penyakit dalam keluarga tidak ada. Selama hamil, aktivitas ibu
seperti biasa. Nafsu makan dan gizi ibu selama hamil kurang cukup.
Etiologi yang sebenarnya dari CTEV tidak diketahui dengan pasti.
akan tetapi banyak teori mengenai etiologi CTEV, antara lain : (9)
a. Faktor mekanik intra uteri; Adalah teori tertua dan diajukan pertama kali oleh
Hipokrates. Dikatakan bahwa kaki bayi ditahan pada posisi equinovarus
karena kompresi eksterna uterus. Parker (1824) dan Browne (1939)
mengatakn bahwa adanya oligohidramnion mempermudah terjadinya
penekanan dari luar karena keterbatasan gerak fetus.
b. Defek neuromuskular; Beberapa peneliti percaya bahwa CTEV selalu
dikarenakan adanya defek neuromuskular, tetapi banyak penelitian
menyebutkan bahwa tidak ditemukan adanya kelainan histologis dan
elektromiografik.
c. Defek plasma sel primer; Irani & Sherman telah melakukan pembedahan
pada 11 kaki dengan CTEV dan 14 kaki normal. Ditemukan bahwa pada
kasus CTEV leher dari talus selalu pendek, diikuti rotasi bagian anterior ke
arah medial dan plantar. Mereka mengemukakan hipotesa bahwa hal tersebut
dikarenakan defek dari plasma sel primer.
d. Perkembangan fetus yang terhambat
e. Herediter ; Wynne dan Davis mengemukakan bahwa adanya faktor poligenik
mempermudah fetus terpapar faktor-faktor eksterna (infeksi Rubella,
penggunaan Talidomide).
19
f. Hipotesis vaskular; Atlas dkk (1980), menemukan adanya abnormalitas pada
vaskulatur kasus-kasus CTEV. Didapatkan adanya bloking vaskular setinggi
sinus tarsalis. Pada bayi dengan CTEV didapatkan adanya muscle wasting
pada bagian ipsilateral, dimana hal ini kemungkinan dikarenakan
berkurangnya perfusi arteri tibialis anterior selama masa perkembangan.
Berdasarkan etiologi tersebut jika dihubungkan dengan kasus ini,
terjadinya kelainan deformitas CTEV pada bayi kemungkinan bisa disebabkan
karena adanya faktor mekanik intra uteri dan terhambatnya perkembangan fetus.
Untuk penatalaksanaan pada kasus CTEV bisa dilakukan secara
operatif dan non operatif. Pada kasus ini pasien sudah sempat dilakukan
penanganan non operatif yaitu dilakukannya pemasangan gips dengan metode
Ponseti. (7) (8)
Metode Ponseti adalah metode yang dikembangkan oleh dr.
Ignacio Ponseti dari Universitas Iowa. Metode ini dikembangkan dari penelitian
kadaver dan observasi klinik yang dilakukan oleh dr. Ponseti. Langkah-langkah
yang harus diambil adalah sebagai berikut : (8) (9)
1. Deformitas utama yang terjadi pada kasus CTEV adalah adanya rotasi tulang
kalkaneus ke arah intenal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki berada
dalam posisi adduksi dan plantar pedis mengalami fleksi pada sendi subtalar.
Tujuan pertama adalah membuat kaki dalam posisi abduksi dan dorsofleksi.
Untuk mendapatkan koreksi kaki yang optimal pada kasus CTEV, maka
tulang kalkaneus harus bisa dengan bebas dirotasikan kebawah talus. Koreksi
dilakukan melalui lengkung normal dari persendian subtalus. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara meletakkan jari telunjuk operator di maleolus medialis
untuk menstabilkan kaki dan kemudian mengangkat ibu jari dan diletakkan di
bagian lateral dari kepala talus, sementara kita melakukan gerakan abduksi
pada forefoot dengan arah supinasi.
2. Cavus kaki akan meningkat bila forefoot berada dalam posisi pronasi.
Apabila ditemukan adany cavus, maka langkah pertama dalam koreksi kaki
adalah dengan cara mengangkat metatarsal pertama dengan lembut, untuk
20
mengoreksi cavusnya. Setelah cavus terkoreksi, maka forefoot dapat
diposisikan abduksi seperti yang tertulis dalam langkah pertama.
3. Saat kaki diletakkan dalam posisi pronasi, hal tersebut dapat menyebabkan
tulang kalkaneus berada di bawah talus. Apabila hal ini terjadi, maka tulang
kalkaneus tidak dapat berotasi dan menetap pada posisi varus. Seperti tertulis
pada langkah kedua, cavus akan meningkat. Hal ini dapat menyebabkan
tejadinya bean-shaped foot. Pada akhir langkah pertama, maka kaki akan
berada pada posisi abduksi maksimal tetapi tidak pernah pronasi.
4. Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah kaki
dimanipulasi, maka langkah selanjutnya adalah memasang long leg cast
untuk mempertahankan koreksi yang telah dilakukan. Gips harus dipasang
dengan bantalan seminimal mungkin, tetapi tetap adekuat. Langkah
selanjutnya adalah menyemprotkan benzoin tingtur ke kaki untuk melekatkan
kaki dengan bantalan gips. Dr. Ponsetti lebih memilih untuk memasang
bantalan tambahan sepanjang batas medial dan lateral kaki, agar aman saat
melepaskan gips menggunakan gunting gips. Gips yang dipasang tidak boleh
sampai menekan ibu jari kaki atau mengobliterasi arcus transversalis. Posisi
lutut berada pada sudut 90° selama pemasangan gips panjang. Orang tua
bayi dapat merendam gips ini selama 30-45 menit sebelum dilepas. Dr.
Ponsetti memilih melepaskan gips dengan cara menggunakan gergaji yang
berosilasi (berputar). Gips ini dibelah menjadi dua dan dilepas, kemudian
disatukan kembali. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan
abduksi forefoot, selanjutnya hal ini dapat digunakan untuk mengetahui
dorsofleksi serta megetahui koreksi yang telah dicapai oleh kaki ekuinus.
5. Adanya usaha untuk mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan tendon
Achilles yang kaku dapat mengakibatkan patahnya midfoot dan berakhir
dengan terbentuknya deformitas berupa rockerbottom foot. Kelengkungan
kaki yang abnormal (cavus) harus diterapi secara terpisah, seperti yang
digambarkan pada langkah kedua, sedangkan posisi ekuinusnya harus dapat
dikoreksi tanpa menyebabkan patahnya midfoot.
21
Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk
mendapatkan abduksi kaki yang maksimum. Gips tersebut diganti tiap
minggu. Koreksi yang dilakukan (usaha untuk membuat kaki dalam posisi
abduksi) dapat dianggap adekuat bila aksis paha dan kaki sebesar 60°
Setelah dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus
membutukan dilakukannya tenotomi perkutaneus pada tendon Achilles. Hal
ini dilakukan dalam keadaan aspetis. Daerah lokal dianestesi dengan
kombinasi antara lignokain topikal dan infiltrasi lokal minimal menggunakan
lidokain. Tenotomi dilakukan dengan cara membuat irisan menggunakan
pisau Beaver (ujung bulat). Luka post operasi kemudian ditutup dengan
jahitan tunggal menggunakan benang yang dapat diabsorbsi. Pemasangan
gips terakhir dilakukan dengan kaki yang berada pada posisi dorsofleksi
maksimum, kemudian gips dipertahankan hingga 2-3 minggu.
6. Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu yang
dipasangkan pada lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasalah
diposisikan abduksi (rotasi ekstrim) hingga 70°. with the unaffected foot
set at 45° of abduction. Sepatu ini juga memiliki bantalan di tumit untuk
mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu ini digunakan 23 jam sehari
selama 3 bulan, kemudian dipakai saat tidur siang dan malam selama 3 tahun.
7. Pada kurang lebih 10-30% kasus, tendon dari titbialis anterior dapat
berpindah ke bagian lateral Kuneiformis saat anak berusia 3 tahun. Hal ini
membuat koreksi kaki dapat bertahan lebih lama, mencegah adduksi
metatarsal dan inversi kaki. Prosedur ini diindikasikan pada anak usia 2-2.5
tahun, dengan cara supinasi dinamik kaki. Sebelum dilakukan operasi
tersebut, pasangkan long leg cast untuk beberapa minggu.
Pada kasus ini pasien tidak sempat dilakukan observasi lebih lanjut
dikarenakan 1 hari setelah pemasangan gips pertama pasien sudah pulang ke
rumah.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Hariarti, M, Yunanto, A, Usman, A, Saroso, GI. Buku Ajar Neonatologi edisi
I. Jakarta: IDAI, 2008.
2. FKUI. Ilmu Kesehatan Anak jilid 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1985.
3. Klaus, M. Fanaroff,A. Penalatalaksanaan Neonatus Risiko Tinggi, ed. 4.
Jakarta: EGC, 1998.
4. Tim Poned IDAI. Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir. Palu: Tim Poned UKK
Perinatologi IDAI, 2009.
5. Lee, AC, Mullany, LC, Tielsch, JM, Katz, J. Risk Factors for Neonatal
Mortality Due to Birth Asphyxia in Southern Nepal. Pediatrics. 2008
May; 121 (5) : e1381–e1390 .
6. Tim Poned UKK Perinatologi IDAI. Gangguan Nafas pada Bayi Baru Lahir.
Palu: Ilmu Kesehatan Anak RSUD UNDATA, 2012.
7. Meidzybrodzka, Z. 2002. Congenital Talipes Eqinovarus (clubfoot): disorder
of the foot but not the hand. http://www.anatomisociety.com [01 Juni 2015].
8. Harris, E. 2008. Key Insight To Treating Talipes Equinovarus. From
http://www.podiatry.com [01 Juni 2015].
9. Soule, R. E. 2008. Treatment of Congenital Talipes Equinovarus in Infancy
and Early Chlidhood. From http://www.jbjs.com [01 Juni 2015].
23