Referat Tuberculosis Paru

36
TUBERCULOSIS PARU Bumi Zulheri Herman, Sri Rahayu Paputungan I. PENDAHULUAN Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan varian mycobacterium lainnya seperti M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. canettii, dan M. microti. Bakteri patogen ini menyerang paru-paru dan organ tubuh lainnya. Mycobacterium tuberculosis umumnya disebarkan melalui udara dalam bentuk droplet nuklei yang menimbulkan respon granuloma dan inflamasi jaringan. Tanpa penanganan yang baik, kasus akan menjadi fatal dalam 5 tahun 1,2,3,4. Tuberculosis sebenarnya dapat menyerupai penyakit paru lainnya seperti penumonia, penyakit paru interstitial bahkan keganasan akan tetapi dengan anamnesis yang baik, tuberculosis dapat dengan mudah di tegakkan. Pada dasarnya pasien dengan sistem imun yang baik biasanya terserang tuberculosis hanya pada satu area saja misalnya pada paru atau salah satu organ ekstra paru sedangkan pada pasien dengan immunokompeten, tuberculosis dapat terjadi lebih daripada satu organ. Terlepas dari pasien dengan HIV positif, sekitar 80% pasien dewasa menderita tuberculosis paru, 15% ekstra paru dan 5% menderita tuberculosis paru dan ekstra paru.Tuberculosis diklasifikasikan sebagai tuberkulosis paru dan ekstra paru berdasarkan lokasi 1

Transcript of Referat Tuberculosis Paru

TUBERCULOSIS PARUBumi Zulheri Herman, Sri Rahayu Paputungan

I. PENDAHULUAN

Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis dan varian mycobacterium lainnya seperti M. tuberculosis, M. africanum,

M. bovis, M. canettii, dan M. microti. Bakteri patogen ini menyerang paru-paru dan

organ tubuh lainnya. Mycobacterium tuberculosis umumnya disebarkan melalui udara

dalam bentuk droplet nuklei yang menimbulkan respon granuloma dan inflamasi

jaringan. Tanpa penanganan yang baik, kasus akan menjadi fatal dalam 5 tahun1,2,3,4.

Tuberculosis sebenarnya dapat menyerupai penyakit paru lainnya seperti

penumonia, penyakit paru interstitial bahkan keganasan akan tetapi dengan anamnesis

yang baik, tuberculosis dapat dengan mudah di tegakkan. Pada dasarnya pasien dengan

sistem imun yang baik biasanya terserang tuberculosis hanya pada satu area saja

misalnya pada paru atau salah satu organ ekstra paru sedangkan pada pasien dengan

immunokompeten, tuberculosis dapat terjadi lebih daripada satu organ. Terlepas dari

pasien dengan HIV positif, sekitar 80% pasien dewasa menderita tuberculosis paru,

15% ekstra paru dan 5% menderita tuberculosis paru dan ekstra paru.Tuberculosis

diklasifikasikan sebagai tuberkulosis paru dan ekstra paru berdasarkan lokasi

infeksinya. Pada tuberculosis paru dapat diklasifikasikan sebagai TB paru primer atau

post primer 1,2,3,4.

TB paru primer merupakan TB paru yang muncul segera saat infeksi pertama

kali. Pada daerah dengan tingkat transmisi M. Tuberculosis, jenis penyakit ini lebih

sering muncul pada anak-anak. Daerah yang sering terlibat dalam TB paru primer

adalah lobus medial dan lobus bawah paru. Lesi yang terbentuk biasanya terletak di

perifer dan disertai dengan limfadenopati hilar atau paratracheal yang biasanya sulit

dideteksi secara radiologis. Pembesaran limfonodus dapat menekan bronchus,

menimbulkan obstruksi saluran nafas dan menyebabkan kolaps paru segmental atau

bahkan lobar. Pada sebagian besar kasus, lesi biasanya sembuh sendiri dan

bermanifestasi sebagai nodul kalsifikasi (fokus gohn) 1,2,3,4.

1

Pada anak-anak dan orang dengan immunokompeten, TB paru primer dapat

berkembang pesat menimbulkan gangguan klinis yang serius. Lesi awal dapat

bertambah besar dan dapat menginduksi gangguan pada jaringan sekitar misalnya lesi

pada pleura yang berasal dari fokus subpleura. Penyebaran secara hematogen biasanya

terjadi pada kasus yang berat. Mycobacterium tuberculosis menyebar ke organ lainnya

dan membentuk fokus granuloma1,2,3,4.

Tuberculosis Post Primer Biasanya disebut juga sebagai tuberculosis sekunder.

Tuberculosis ini terjadi sebagai proses reaktivasi infeksi laten dan biasanya terjadi pada

segmen atas paru dimana tekanan oxigen lebih tinggi dibandingkan bagian paru lainnya

yang sangat menunjang pertumbuhan bakteri. Pada tahap ini, perkembangan lesi

biasanya sangat bervariasi mulai dari bercak inflitrat hingga terbentuknya kavitas

bahkan diikuti dengan infeksi sekunder yang menyebabkan pneumonia, selain itu pada

tahap ini, pasien sangat mudah untuk menularkan bakteri ke lingkungannya.1

WHO mendefinisikan penderita TB sebagai penderita yang terbukti secara

positif terinfeksi tuberculosis dengan menggunakan metode diagnosa apapun. TB paru

didefinisikan sebagai TB yang menyerang parenkim paru dan berdasarkan hasil apusan

tahan asam TB dibagi menjadi Sputum positif atau sputum negatif. 5

Pasien dengan sputum postif merupakan pasien yang sedikitnya menunjukkan

satu hasil positif dari 3 sampel sputum yang diambil. Sedangkan sputum negatif

merujuk kepada pasien dengan hasil pemeriksaan sputum tanpa ditemukannya basil

tahan asam, namun pada pasien dengan sputum negatif tetapi hasil kultur menunjukkan

positif maka tetap dianggap sebagai pasien TB dengan sputum negatif.5

TB ekstra paru merupakan kasus infeksi TB yang menyerang organ lain selain

paru antara lain pleura, limfonodus, abdomen, saluran kemih, kulit, persendian, tulang

dan meninges. Diagnosa harus ditegakkan berdasarkan kultur atau pemeriksaan

histologis. Pasien dengan TB paru dan ekstra paru digolongkan sebagai kasus TB

paru1,2,3,4,5

Kasus baru TB adalah pasien yang belum pernah menerima pengobatan TB.

Pada kasus berobat ulang atau retreatment digolongkan dalam 3 jenis yakni retreatment

karena gagal pengobatan, retreatment pada keadaan default , dan Retreatment pada

pasien sputum positif dengan pengobatan tuntas.5

2

Saat ini dikenal pula istilah Multidrug-resistant TB (MDR-TB) dan Extensively

drug-resistant TB (XDR-TB). Multidrug-resistant TB (MDR-TB) disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampicin. MDR-TB

biasanya terjadi akibat infeksi primer dari bakteri yang sudah resisten atau dari

pengobatan yang tidak maksimal yang menimbulkan resistensi.6

Extensively drug-resistant TB (XDR-TB) merupakan bentuk infeksi tuberculosis

yang lebih berat daripada MDR-TB dimana terjadi resistensi pengobatan lini kedua

seperti amikacin, kanamycin atau capreomycin. Bentuk TB ini tidak berespon terhadap

pengobatan selama 6 bulan dengan pengobatan lini pertama dan perlu pengobatan

selama 2 tahun atau bahkan lebih.6

II. ETIOLOGI

Mycobacterium tuberculosis merupakan suatu bakteri berbentuk basil non spora

berukuran 0.5-3 μm. Gram netral dan bersifat tahan asam. Sifat tahan asamnya

disebabkan oleh banyaknya kandungan asam mikolik, asam lemak rantai panjang dan

beberapa unsur lemak lainnya. Asam mikolik tersebut terikat dalam struktur

arabinogalactan dan peptidoglikan yang menyebabkan permeabilitas dinding sel bakteri

sangat rapat sehingga menurunkan kerja antibiotik. Lipoarabinomannan juga merupakan

suatu struktur bakteri yang berperan dalam proses interaksi dan pertahanan diri dalam

makrofag. Oleh sebab itu bakteri ini dapat diwarnai dengan carbol fuchsin dan

dipanaskan. Mycobacteriun tuberculosis biasanya ditemukan di udara, tanah, bahkan

air. Mycobacterium tuberculosis tumbuh lambat dan berkembang biak dalam 18-24 jam.

Mycobacteriun tuberculosis biasanya akan tampak membentuk koloni dalam agar

sekitar 2-5 minggu.1,2,3

Mycobacterium tuberculosis dan varian mycobacterium lainnya tampak serupa

namun berbeda dalam tes biokimia. Mycobacterium bovis biasanya terdapat pada susu

basi dan varian mycobacterium lainnya menyerang hewan pengerat. Biasanya varian

lain lebih sering ditemukan di Afrika.4

Kultur Agar yang biasa digunakan untuk kultur M. tuberculosis dapat berupa

kultur pada atau kultur cair yang may berbasis telur seperti Löwenstein–Jensen,

BACTEC, Middlebrook 7H10/ 7H11. Kultur M. Tuberculosis pada medium cair

tergolong lebih cepat. 4

3

III. EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun 2010) sekitar 8,8

juta (antara 8,5-9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh dunia. Masih berdasarkan data

pada tahun 2010, diperkirakan pula sebanyak 1,1 juta kematian (rentang antara 0,9-1,2

juta) terjadi akibat tubeculosis pada penderita TB dengan HIV negatif dan sebanyak

0,35 juta kematian (rentang 0.32-0.39 juta ) yang terjadi akibat TB pada penderita

dengan HIV positif. Hal yang perlu dicermati adalah penurunan jumlah absolut kasus

TB sejak tahun 2006, diikuti dengan penurunan insidensi kejadian dengan angka

estimasi kematian sejak tahun 2002. Dan sekitar 10 juta anak-anak di tahun 2009

menjadi yatim piatu karena orang tua yang mengidap TB.5

Gambar 1. Perkiraan jumlah insiden, Berdasarkan negara, tahun 2010

(dikutip dari kepustakaan nomor 5)

Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 terdapat 5.7 kasus TB paru baru setara

dengan 65% angka prediksi di tahun 2011. India dan China memberikan kontribusi 40%

total penderita baru TB dan Afrika menyumbang 24% pasien baru. Secara global angka

keberhasilan terapi pada penderita baru TB dengan sputum BTA positif adalah 87% di

4

tahun 2009 MDR-TB dideteksi mencapai 46.000 kasus. Walaupun jauh dibawah angka

estimasi yakni 290.000 kasus, MDR-TB masih menjadi tantangan besar hingga saat ini.5

Survei prevalensi TB yang dilakukan di enam propinsi di Indonesia pada tahun

1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TB di Indonesia berkisar antara 0,2 –

0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TB Global yang dikeluarkan oleh

WHO pada tahun 2010, angka insiden TB di Indonesia pada tahun 2009 mencapai

430.000 kasus, dan dengan 62.000 kasus berakhir dengan kematian. 7

Sedangkan sebuah studi yang dilakukan oleh Rao et al dari Universitas

Queensland berdasarkan data epidemiologi tahun 2007-2008 menunjukkan bahwa

angka kematian akibat tuberculosis di Indonesia sangat tinggi terutama di propinsi

Papua. 8

Berdasarkan data WHO tahun 2011 prevalensi TB di Indonesia mencapai

1.200.000 kasus atau 484 kasus per 100.000 populasi dengan angka mortalitas mencapai

91.000 kasus atau 38 orang per 100.000 populasi. Insidensi TB mencapai 540.000 kasus

atau 226 kasus per 100.000 populasi dengan 29.000 kasus TB HIV positif. 5

Diperkirakan telah terdapat 440.000 kasus dari multi-drug resistant TB (MDR-

TB) pada tahun 2008. Keempat negara yang memiliki jumlah kasus MDR-TB tertinggi

adalah China (100.000 kasus), India (99.000 kasus), Federasi Rusia (38.000 kasus), dan

Afrika Selatan (13.000 kasus). Dan pada Oktober 2011, 77 negara dan wilayah telah

melaporkan setidaknya terdapat satu kasus dari extensively drug-resistant TB (XDR-

TB). 6

IV. PATOFISOLOGI

PROSES PENULARAN

M. tuberculosis ditularkan melalui udara dalam bentuk aerosolisasi ±3000

droplet nukleus berukuran 5-10 µm yang dapat dikeluarkan pada saat batuk, bersin

bahkan saat bercakap-cakap, terutama pada pasien dengan Tuberculosis saluran

pernapasan. Droplet tersebut mengering dengan cepat, bertahan di udara selama

beberapa jam dan masuk kedalam saluran nafas. Selain melalui udara, penularan

melalui kulit dan plasenta juga dapat terjadi walaupun sangat tidak umum. Resiko

terjangkitnya M. Tuberculosis tergantung pada jumlah M. Tuberculosis yang masih

bertahan hidup di udara. Penularan secara outdoor biasanya lebih rendah daripada

5

diruangan tertutup dimana pertukaran udara diluar ruangan berlangsung baik dan

ekspose trehadap sinar ultraviolet jauh lebih tinggi. Penularan juga dapat terjadi melalui

alat-alat intervensi seperti bronchoscopy atau intubasi endotracheal. Selain melalui

udara, penularan juga dapat terjadi melalui abses yang mengandung M. Tuberculosis.

Faktor yang mempengaruhi kerentanan tertularnya Mycobacterium tuberculosis adalah

lamanya kontak dengan penderita, dan derajat keparahan penyakit. Pasien dengan smear

negatif cenderung lebih aman terutama pasien dengan TB ekstra paru. 1,2,4

PROSES INFEKSI

Dropet nukleus cukup kecil untuk masuk kedalam saluran nafas dan mampu

bertahan dari proses filtrasi di saluran nafas atas. Sekali terhirup, droplet nukleus dapat

mencapai alveoli untuk melakukan invasi dan menimbulkan infeksi. Pada sekitar 5 %

pasien yang terinfeksi, M. Tuberculosis mampu berkembang biak dalam jangka waktu

mingguan hingga bulanan dan dapat memberikan pembesaran limfonodus perihilar dan

peritracheal serta dapat memberikan gambaran pneumonia lobaris dan merangsang

terjadinya reaksi serosa serta efusi pleura. 1,2,4

M. tuberculosis kemudian ditelan oleh makrofag alveolar melalui proses

introduksi yang melibatkan aktivasi komplemen C3b. Liporabinomannan yang terdapat

dalam dinding M. Tuberculosis mampu menghambat peningkatan ion Ca2+ yang dapat

menyebabkan terjadinya gangguan pada jalur calmodulin yang akan menimbulkan

gangguan fusi phagosom dan lisosom sehingga tidak ada percampuran antara bakteri

dengan lisosom yang menyebabkan bakteri dapat bertahan dan berkembang biak

didalam makrofag. Selain itu faktor yang dapat mendukung pertumbuhan M.

Tuberculosis didalam makrofag adalah adanya gen protektif antara lain katG yang

memproduksi enzim katalase/peroksidase yang dapat melindungi M.tuberkulosis dari

proses oksidatif, gen rpoV yang merupakan gen “induk” dari beberapa protein penting

M. Tuberculosis. Dua gen ini merupakan gen yang penting dalam proses virulensi M.

Tuberculosis. Selain itu gen lain seperti erp membantu proses pembentukan protein

untuk multiplikasi. 1,2,4

Makrofag yang terinfeksi mengeluarkan sitokin seperti TNF α dan IL-1 serta

sitokin lainnya untuk merangsang Monosit dan Limfosit T terutama CD4+ yang akan

membentuk IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag lainnya. Proses ini dikenal sebagai

6

Macrophage Activating response sedangkan sel CD4+ Th2 akan memproduksi IL 4, IL

5, IL 10 dan IL 13 dan merangsang sistem imun humoral. Sel Dendritik juga berperan

dalam mempresentasikan antigen dan merangsang proses imun lebih jauh didalam

limfonodus. Tahapan ini dikenal sebagai proses Cell Mediated Immunity. Pada tahapan

ini pasien dapat menunjukkan gambaran delayed-type-hypersensitivity terhadap protein

tuberkulin. Reaksi ini dapat timbul 48-96 jam setelah injeksi tuberkulin dan bertahan

hingga 6 minggu namun sekitar 20 % pasien tidak bereaksi terhadap tes tuberkulin. 1,2,4

Pada jaringan, Makrofag tersebut dapat membentuk sel raksasa berinti banyak

dan akan membentuk granuloma yang dikelilingi oleh limfosit dan makrofag yang

teraktifasi. Pada granuloma, pertumbuhan M. Tuberculosis dapat terhambat karena

lingkungan yang rendah oksigen dan derajat keasaman yang rendah. Ketika mengalami

proses penyembuhan dapat terbentuk fibrosis. Proses ini dikenal sebagai Tissue

Damaging Reponse. Dalam jangka waktu tahunan, granuloma dapat meluas dan

membentuk kalsifikasi dan akan tampak dalam gambaran radiologi sebagai densitas

radioopaque pada lapangan paru atas, apex paru (fokus Simon), atau limfonodus

perihilar. Focus granuloma juga dapat ditemukan pada jaringan lainnya tergantung

seberapa luas penyebaran M. Tuberculosis.1,2,4

Pada kasus tertentu, pada pusat lesi, material kaseosa mencair, dinding bronchial

dan pembuluh darah menjadi rusak dan terbentuklah kavitas. Pada materi caseosa yang

mencair terdapat basil M. Tuberculosis dalam jumlah besar yang dapat menyebar ke

jaringan paru lainnya dan dapat keluar saluran nafas melalui batuk dan berbicara. 1,2,4

Bila tidak timbul penyakit, maka telah terjadi keseimbangan antara sistem imun

dan reaksi patologis dari M. Tuberculosis. Faktor yang dapat menimbulkan terjadinya

aktivasi M. Tuberculosis adalah kekuatan sistem imun. Sekitar 10% pasien dengan

imunokompeten biasanya akan menderita tuberculosis. 1,2,4

Pada pasien dengan infeksi laten, infeksi dapat teraktivasi dalam jangka waktu

beberapa tahun, aktivasi dapat terjadi pada hampir semua jaringan karena M.

Tuberculosis menyebar secara limfogen. Lokasi tertentu yang lebih sering terjadi

reaktivasi adalah jaringan paru. Rekativasi muncul pada fokus granuloma terutama pada

apeks paru. Fokus kaseosa yang besar dapat membentuk kavitas pada parenkim paru. 1,2,4

Semakin banyak jumlah basil M. Tuberculosis yang ditularkan maka semakin

7

infeksius. Hal ini dapat dilihat dari jumlah M. Tuberculosis pada sediaan tahan asam.

M. tuberculosis dapat dideteksi pada sputum yang mengandung sedikitnya 104 M.

Tuberculosis. Pada pasien dengan TB paru berkavitas biasanya lebih infeksius.2

V.DIAGNOSIS

MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang muncul awalnya bersifat non spesifik, biasanya ditandai dengan

demam baik subfebris hingga febris dan keringat malam, berat badan yang menurun,

anoreksia, dan merasa lemas. Pada 80 % kasus ditemukan demam dan tidak adanya

demam bukan berati tuberculosis dapat dihilangkan. Dalam sebagian besar kasus, batuk

non produktif biasanya muncul minimal selama 2 minggu dan selanjutnya diikuti oleh

batuk produktif dengan sputum yang purulen bahkan diikuti bercak darah. Hemoptisis

yang masif biasanya muncul sebagai destruksi pembuluh darah pada kavitas terutama

pembuluh darah yang berdilatasi pada dinding kavitas (Rasmussen's aneurysm). Nyeri

dada biasa juga dirasakan terutama pada pasien dengan lesi pada pleura. Lebih lanjut

biasanya pasien akan sesak nafas dan diikuti dengan adult respiratory distress syndrome

(ARDS). 1,2,3,4

Temuan pemeriksaan fisis cukup terbatas pada TB paru. Terkadang abnormalitas

tidak ditemukan pada pemeriksaan thorax. Bunyhi ronkhi biasa ditemukan terutama

karena peningkatan produksi sputum. Bunyi wheezing juga terkadang ditemukan akibat

obstruksi parsial bronkus dan bunyi amphoric klasik pada kavitas. Terkadang bunyi

pernafasan terdengar redup yang berarti menunjukkan ada proses abnormalitas yang

cukup parah sebagai komplikasi dari infeksi tuberculosis. Pada keadaan tertentu pasien

juga dapat menunjukkan wajah yang pucat serta clubbing finger. 1,3.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan foto thoraks PA merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan

untuk evaluasi tuberculosis paru. Gambaran yang biasanya muncul adalah bercak

infiltrat terutama kavitas yang biasanya dapat ditemukan pada 19% hingga 50%.

Gambaran lainnya yang biasa muncul adalah infiltrat lobus dan interstitial serta

limfadenopati. Pada segmen apeks paru biasa ditemukan gambaran densitas radiopak

8

yang menandakan terbentuknya fibronodular. Pada tahap lanjut lesi ini dapat menjadi

kavitas dengan gambaran radiologi kavitas yang berdinding tipis. Pada TB paru

rekativasi, daerah yang paling sering tampak kelainan yakni, apeks dan segmen

posterior lobus kanan, apeks dan segmen posterior lobus kiri, dan segemen superior

lobus bawah Lesi pada daerah ini lebih sering terlihat pada pasien dengan diabetes.

Efusi pleura pada tuberculosis paru tahap dini juga dapat terlihat terutama pada

perkembangan penyakit yang progresif. CT scan biasanya dapat dilakukan untuk

menentukan luasnya penyebaran lesi namun biasanya tidak memberikan gambaran khas

pada infeksi tahap dini.4,9

Gambar 2. Gambaran radiologis infeksi TB pada paru.

(dikutip dari kepustakaan nomor 9.)

Pada gambar kiri terdapat gambaran kavitas serta bercak berawan pada lapangan

paru kanan atas, sedangkan gambaran CT scan menunjukkan penyebaran bahan

infeksius dari kavitas ke sistem tracheobronchial.9

Gambar 3. TB paru primer

(dikutip dari kepustakaan nomor 10)

9

Pada gambar diatas, gambar kiri menunjukkan gambaran limfadenopati hilar

pada lapangan paru kanan sedangkan gambar kanan adalah gambaran CT scan yang

menunjukkan limfadenopati hilar kanan.

Gambar 4. TB paru post primer pada pasien dengan immunodefisiensi.

(Dikutip dari kepustakaan nomor 10)

Gambar kiri tampak kavitas dan bercak berawan pada kedua lapangan atas paru

dan pada CT scan terdapat gambaran cavitas pada kedua lapangan paru.

Dalam hasil analisis laboratorium darah dapat ditemukan leukositosis, limfositik

leukopenia atau neutrofilik leukopenia. Ditemukan pula anemia normositik normokrom

dan hiponatremia terutama pada pasien dengan penyebaran lesi yang luas.4

Apusan sputum dan kultur merupakan pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk

menegakkan diagnosis dengan sensitivitas 40-60%. Pada pasien suspek tuberculosis

paru, tiga sampel sputum diambil yakni sewaktu, pada pagi hari dan sewaktu. Pada

pasien dengan tuberculosis paru, sputum dapat diperoleh dengan proses ekspektorasi

atau nebulisasi dengan saline hipertonik, bilasan bronkus atau bahkan dengan

bronchoscopy.4,11

Induksi sputum dianggap sebagai salah satu cara yang umum dilakukan untuk

mendapatkan sputum, terutama dalam keadaan yang tidak memungkinkan dilakukannya

pengambilan sputum. Pada penelitian yang dilakukan di Bangladesh menunjukkan

bahwa sputum yang diinduksi dengan nebulisasi Salin 3% memberikan sensitifitas dan

spesifitas yang sama dengan teknik diagnosa menggunakan bilasan bronkus.11,12

10

Pengambilan sputum dengan fibreoptic bronchoscopy (FOB) dan transbronchial

lung biopsy (TBLB) biasanya sangat membantu dalam menegakkan diagnosa TB.

Walaupun demikian FOB merupakan metode yang invasif dan membutuhkan tenaga

ahli untuk melakukannya.Selain itu FOB dapat berkontribusi meningkatkan penularan

TB.11,12

Pada anak-anak, aspirasi cairan lambung juga dapat digunakan untuk

mendiagnosa TB dan memberikan hasil yang jauh lebih baik. Aspirasi nasofaringeal,

induksi sputum, apusan laring juga dapat dilakukan.13

Pemeriksaan apusan sputum dilakukan dengan menggunakan metode tahan asam

Ziehl-Neelsen atau Kinyoun dimana bakteri akan tampak bewarna kemerahan dengan

latar belakang biru dan putih. Metode pewarnaan lainnya seperti auramine juga dapat

dilakukan, dengan pewarnaan ini maka Mycobacterium tuberculosis yang terwarna akan

dapat berpendar pada sinaran Ultra Violet. Mycobacterium tuberculosis akan tampak

berwarna kuning muda. Akan tetapi hasil apusan sputum bergantung pada jumlah

bakteri yang ditemukan pada sampel sehingga dianggap kurang sensitif.1,2,4

Gambar 4. Basil Tahan Asam Mycobacterium Tuberculosis

(Dikutip dari kepustakaan nomor 1)

Kultur merupakan gold standard untuk menegakkan diganosis akan tetapi hal ini

membutuhkan waktu yang lama. Spesimen diinokulasi di kultur Löwenstein-Jensen atau

Middlebrook 7H10 dan diinkubasi pada suhu 37°C. Karena pertumbuhannya lambat

maka kultur harus ditunggu 4-8 minggu. Selain dari penampakan koloninya yang

11

berwarna persik, tes biokimia juga penting untuk menentukan jenis mycobacterium.

Teknik kultur yang cepat sedang dikembangkan untuk memotong waktu pemeriksaan.1,2

Analisa cairan tubuh juga dapat dilakukan apabila terjadi infeksi tuberculosis

ekstra paru seperti analisa cairan pleura, pericardium dan peritoneal. Biasanya akan

ditemukan cairan yang sifatnya eksudat dengan kadar glukosa yang normal hingga

rendah. Sampel tersebut dapat digunakan untuk apusan, dan kultur untuk penegakan

diagnosa. Nilai spesifiknya mencapai 65% pada cairan peritoneal, 75% pada cairan

perikardium dan 85% pada cairan pleura. Biopsi biasa dilakukan terutama untuk

mendapatkan bukti adanya pembentukan granuloma. 1,2

Pada umumnya diagnosis biasa di tegakkan berdasarkan gejala, temuan radiologi

dan respon terhadap pengobatan empiris tanpa konfirmasi kultur. Akan tetapi melihat

insidensi resistensi obat yang tinggi maka pemeriksaan kultur dan tes sensitivitas perlu

dilakukan. Secara umum, Mycobacterium tuberculosis perlu diperiksa senstivitas

terhadap isoniazid, rifampin, dan ethambutol. Pemeriksaan terhadap sensitivitas obat

lainnya juga perlu dilakukan guna mencegah resistensi dan kegagalan pengobatan. 1,2

Pada pasien dengan infeksi tuberculosis laten, Tuberculin Skin Test dapat

dilakukan. Pada tahun 1891, Robert Koch menemukan komponen Mycobacterium

tuberculosis yang disebut tuberculin. Komponen ini mampu merangsang reaksi kulit

ketika diinjeksi secara subkutan pada pasien dengan tuberculosis. Pada tahun 1932,

Seibert dan Munday memurnikan produki ini dengan presipitasi amonium sulfat yang

dikenal sebagai tuberculin purified protein derivative (PPD). Tahun 1941 tes ini

dijadikan sebagai tes standar diagnosa. Keterbatasan terbesarnya adalah spesifitas yang

rendah karena protein tersebut banyak disekresikan oleh varian mycobacterium lainnya.

Dan yang perlu diperhatikan hasil tes tuberkulin juga positif pada pasien dengan

imunisasi BCG dan infeksi mycobacterium lainnya. 1,2

IGRAs atau IFN-γ Release Assays merupakan tes yang lebih spesifik

dibandingkan tes tuberkulin. IGRAs juga tampak lebih sensitif dalam mendeteksi

tuberculosis aktif dan tuberculosis laten. Keuntungan lainnya dari IGRAs terletak pada

kemampuannya untuk mengurangi hasil yang subjektif terutama pada skin test.1

Saat ini terdapat 2 jenis pemeriksaan IFN-γ yang dapat bereaksi dengan antigen

ESAT-6 dan CFP-10 Mycobacterium tuberculosis yakni QuantiFERON-TB Gold®

(Cellestis Ltd., Carnegie, Australia) yang menggunakan prinsp enzyme-linked

12

immunosorbent assay (ELISA) untuk mengukur kadar IFN-γ, dan T-SPOT.TB®

(Oxford Immunotec, Oxford, UK) yang menggunakan enzyme-linked immunospot

(ELISpot). Studi komparatif pemeriksaan IGRAs dengan metode ELISpot memiliki

sensitifitas lebih tinggi dibanding ELISA.1

Amplifikasi asam nukleat merupakan cara lain dalam mendiagnosa tuberculosis.

Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan diagnosa dalam hitungan jam dengan

spesifitas dan sensitivitas yang tinggi. Tes ini biasa digunakan sebagai konfirmasi cepat

untuk pasien dengan BTA positif maupun negatif. Selain itu semua tahap pengerjaan

dilakukan dengan mesin sehingga mengurangi resiko infeksi tuberculosis pada pekerja

laboratorium 1,2,14,15

Tes ini juga berperan untuk menentukan gen yang mengalami mutasi yang juga

menjadi sumber masalah resistensi pengobatan TB antara lain gen rpoB yang

menimbulkan resistensi rifampicin, dan gen lainnya inh A dan katG untuk INH, dan gen

gyr untuk resistensi fluoroquinolon sehingga kasu MDR-TB dapat diketahui dengan

cepat. Salah satu tes amplifikasi asam nukleat yang direkomendasikan oleh WHO yakni

Xpert(®) MTB/RIF assay 5,15,16

VI. DIAGNOSA BANDING

Banyak diagnosa banding yang dapat dikemukakan karena tuberculosis dapat

menimbulkan infeksi yang sistemik yang menyerupai penyakit lainnya . Beberapa

diagnosa banding Tuberculosis Paru yang mungkin dapat dipertimbangkan antara lain

Actinomycosis, Aspergillosis, Bronchiectasis, Histoplasmosis, Abses paru, Keganasan,

Nocardiosis, dan pneumonia.17

VII. PENATALAKSANAAN

1. Pada pasien yang baru pertama kali menderita Tuberkulosis

Rekomendasi pertama adalah pemberian 2HRZE/4HR kecuali pada penderita TB

sistem saraf pusat, TB tulang yang membutuhkan terapi lebih lama. Rekomendasi kedua

adalah pemberian 2HRZE/6HE. Pemberian tiga kali seminggu Isoniazid dan

rifampicin(2HRZE/4(HR)3) pada fase lanjutan merupakan pilihan lain yang dapat

dilakukan namun perlu dilakukan pemantauan ketat menelan obat. Pemberian regimen

tiga kali seminggu baik pada fase intensif maupun fase lanjutan (2(HRZE)3/4(HR)3)

13

merupakan alternatif terakhir yang dapat diberikan asalkan pasien tidak tinggal dalam

lingkungan yang rentan dengan infeksi HIV. Secara umum pemberian regimen

pengobatan setiap hari lebih diutamakan karena angka keberhasilan pengobatan lebih

tinggi dibanding dengan metode pemberian 3 kali seminggu.18

WHO tidak lagi menyarankan pemberian ethambutol pada fase intensif pasien

dengan TB non-kavitas, BTA Negatif atau TB ekstraparu pada pasien dengan HIV

negatif. Namun demikian, walaupun masih tergolong lemah bukti, pada pasien yang

tinggal di negara dengan resistensi isoniazid yang tinggi, pemberian Ethambutol pada

fase lanjutan dapat dipertimbangkan walaupun dengan resiko gangguan visual yang

tinggi. 18

Pada pasien TB yang positif mengidap HIV dan pasien yang tinggal dalam

lingkungan beresiko tinggi terinfeksi HIV, regimen yang diberikan adalah regimen

harian baik pada fase intensif dan lanjutan. Pada keadaan tertentu dimana pasien tidak

dapat menerima terapi harian, pemberian obat tiga kali seminggu tetap dapat

dipertimbangkan. 18

Tabel 1. Dosis Antituberculosis pada dewasa.

(dikutip dari kepustakaan nomor 18)

MONITORING TERAPI

Pada pasien TB paru baik pasien baru maupun pasien relaps yang ditangani

dengan regimen lini pertama, pemeriksaan sputum dilakukan setelah fase intensif

selama 2 bulan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa hasil apusan tahan asam bukan

merupakan indikator utama untuk menentukan kegagalan terapi.18

14

Bila pasien menunjukkan hasil positif pada smear bulan kedua, makan

pemeriksaan smear tahan asam dilanjutkan pada bulan ketiga. Bila hasil pada bulan

ketiga masih menunjukkan hasil positif maka harus dilakukan kultur sputum dan tes

sensitivitas antibiotik. Pemeriksaan tetap dilanjutkan hingga bulan ke 5 dan ke 6. Bila

masih positif maka pengobatan dianggap gagal. 18

Tabel 2. Pedoman Monitoring Sputum pada pasien TB baru dengan regimen lini pertama

(dikutip dari kepustakaan nomor 18)

Pada pasien yang diobati dengan regimen rifampicin, bila hasil smear ditemukan

positif pada fase intensif yang sudah selesai, tidak direkomendasikan untuk

memperpanjang fase intensif. 18

Pada pasien yang sudah pernah mendapat pengobatan sebelumnya, pasien perlu

menjalani tes kultur sputum dan sensitivitas antibiotik rifampicin dan isoniazid sebelum

memulai pengobatan. Di negara dengan tes sensitivitas antiobitik yang rutin dilakukan,

regimen pengobatan mengacu pada hasil tes sedangkan pada negara yang jarang

menjalankan tes sensitivitas antibiotik, pengobatan didasarkan pada empirisme atau

regimen MDR-TB. 18

15

Regimen yang dapat diberikan pada pasien dengan relaps dengan pengobatan

lini pertama adalah 2HRZES/1HRZE/5HRE dengan catatan bahwa negara tersebut

tergolong negara dengan insidensi MDR yang rendah. 18

Tabel 3. Pedoman Monitoring Sputum pada pasien TB retreatmen dengan regimen lini pertama

(dikutip dari kepustakaan nomor 18)

Saat ini obat kombinasi tetap atau Fixed Drug Combination (FDC) sering

digunakan walaupun dalam kenyataanya WHO belum mengkaji lebih lanjut mengenai

FDC. Akan tetapi WHO tetap merekomendasikan penggunaan FDC untuk mencegah

insidensi obat yang tidak terminum yang berujung pada resistensi pengobatan.18

PENATALAKSANAAN TB DENGAN INFEKSI HIV

Banyak pendapat mengenai bagaimana pemberian anti tuberculosis pada

penderita HIV, berbagai pendapat berkembang mengenai apakah pemberian

antiretroviral sebaiknya diberikan bersamaan atau beberapa minggu berikutnya.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Daine et al terhadap 809 pasien

membandingkan antara kelompok penderita TB-HIV positif dengan CD4+ <250 per

milimeter cubic yang diberi ART 2 minggu setelah terapi TB dimulai dengan kelompok

yang diberi anti TB 8-12 minggu kemudian. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa

tidak ada perbedaan keparahan penyakit karena AIDS terhadap kedua kelompok namun

pada kelompok dengan CD4+<50 pemberian ART lebih dini memperlambat munculnya

keparahan penyakit karena AIDS.19

Penelitian oleh Salim et al terhadap 642 pasien di Afrika Selatan menunjukkan

bahwa pemberian ART 4 minggu pasca dimulainya terapi tuberculosis pada pasien

16

dengan CD4+ T-cell <50 per cubic millimeter memperlambat keparahan penyakit

karena AIDS.20

Sedangkan studi yang dilakukan Francois et al terhadap 661 pasien di Kamboja

menunjukkan bahwa pemberian ART 2 minggu sejak dimulainya terapi tuberculosis

meningkatkan angka survivalitas pada pasien dengan CD4+ T-cell 200 per cubic

millimeter atau lebih rendah. 21

WHO tetap menganjurkan pemberian antiretroviral 8 minggu setelah terapi TB

dimulai terlepas dari jumlah CD4+ penderita dan berbagai penelitian terbaru lainnya.

ART yang dianjurkan adalah lini pertama yang mengandung dua jenis nucleoside

reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) ditambah satu jenis nonnucleoside reverse

transcriptase inhibitor (NNRTI). Atau agen ART terbaru lainnya seperti protease

inhibitors sebagai pengobatan lini kedua. NRTI pilihan antara lain zidovudine (AZT)

atau tenofovir disoproxil fumarate (TDF), kombinasi dengan lamivudine (3TC) atau

emtricitabine (FTC). Untuk NNRTI, WHO merekomendasikan efavirenz (EFV) atau

nevirapine (NVP) (23). Pada pasien TB, regimen ART yang direkomendasikan harus

mengandung efavirenz (EFV) karena interaksinya dengan obat TB tergolong rendah

namun tidak dianjurkan pada kehamilan.Regimen AZT +3TC + NVP atau TDF +3TC

atau FTC + NVP atau triple NRTI regimen (AZT+3TC+ABC atau AZT+3TC+TDF)

direkomendasi bila efavirenz tidak memungkinkan untuk diberikan.18

EFEK SAMPING PENGOBATAN

Obat Anti Tuberculosis sering menimbulkan gangguan hepar ditandai dengan

peningkatan enzim hati. Faktor resiko yang mungkin menimbulkan hepatotoksisitas

pada pasien yang menjalani pengobatan TB antara lain usia muda, jenis kelamin wanita,

infeksi TB dengan apusan BTA positif, status gizi, level albumin seperti yang

dipaparkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Rajani et al pada 50 penderita TB di

Kathmandu tahun 2006. 22

Neuritis optik merupakan efek samping yang dapat muncul pada penggunaan

ethambutol terutama neuritis retrobulbar. Pada studi dengan hewan menunjukkan bahwa

ethambutol menimbulkan toksisitas pada ganglion saraf retina pada tikus. Hal ini

didasari pada teori jalur eksitotoksik dimana terjadi peningkatan glutama endogen yang

dapat menyebabkan kerusakan sel. Ethambutol juga dapat menyebabkan penurunan

17

kalsium sitosilik, peningkatan kalsium mitokondira dan meningkatkan membran

potensial mitokondria yang dapat mengganggu fungsi mitokondria. Selain itu

ethambutol juga dapat menyebabkan penipisan serat saraf di retina 24,25.

Pada Retina Pigmented Epithelial, keterlibatan isozim PKCδ yang diinduksi

oleh ethambutol menyebabkan perlambatan proliferasi sel, dan menggangu siklus sel.

Hal ini juga berhubungan dengan peningkatan apoptosis pada sel epitel berpigmen pada

retina. Toksisitas bergantung pada dosis dan durasi yang diberikan. 23

Isoniazid dimetabolisme di hati melalui asetilasi oleh N-acetyl transferase yang

mennghasilkan acetylisoniazid.Acetylisoniazid dihidrolisa menjadi asam isonicotinic

dan acetylhydrazine yang keduanya akan diekskresi di urin. Acetylhydrazine akan

dimetabolisme menjadi bahan reaktif yakni hydrazine yang menyebabkan

hepatotoksisitas. INH dapat mengganggu metabolisme pyridoxin dan meningkatkan

pengeluaran pyridoxin ke urin. Metabolit hydrazine menghambat secara kompetitif

enzim pyridoxine kinase yang mengkonversi pyridoxine menjadi pyridoxal phospate

yang berujung pada terhambatnya produksi neurotransmitter inhibitor yakni GABA. Hal

ini menjelaskan mengapa isoniazid dapat menimbulkan kejang. Selaini itu, mekanisme

ini menyebabkan terjadinya neuropati defisiensi.26

Pasien dinyatakan sembuh apabila tidak ditemukan BTA pada pewarnaan tahan

asam dibandingkan dengan sebelum pengobatan. Terapi dikatakan gagal apabila sudah

menjalani terapi intensif dan lanjutan namun hasil BTA tetap positif pada bulan ke lima

atau bulan berikutnya. Pasien default adalah pasien dengan terapi yang terinterupsi

selama minimal dua bulan berturut-turut.18

PENANGANAN MDR-TB

Prinsip penanganan MDR TB yakni.18

1. Obat yang digunakan setidaknya terdiri dari 4 jenis dengan pertimbangan bahwa obat

yang digunakan belum berpotensi untuk resisten atau obat tersebut tidak pernah

digunakan didaerha tersebut.Pada rencana pengobatan berdasarkan regimen individual,

obat yang akan digunakan sebaiknya berdasarkan pada hasil tes sensitivitas obat.

2. Jangan menggunakan obat yang memiliki potensi untuk menimbulkan resistensi

silang. Resistesi silang adalah mutasi pada gen M.tuberculosis yang dapat memberikan

resistensi pada obat lain dengan golongan yang sama atau golongan yang berbeda

18

3. Eliminasi obat yang tergolong tidak aman untuk diberikan pada pasien misalnya obat

yang menimbulkan alergi atau efek samping yang tidak dapat ditolerir pasien.

4. Pemilihan lini pengobatan dilakukan berdasarkan tingkat potensi obat. Bila obat lini

pertama masih dapat digunakan untuk mengobati MDR maka regimen tersebut dapat

digunakan. Bila tidak memungkinkan maka pilihlah tingkat regimen yang lebih tinggi.

Bila obat di regimen lini pertama tidak cukup 4 jenis, maka obat lainnya bisa diambil

dari regimen yang lebih tinggi tingkatannya. Hindari penggunaan streptomisin bila

terjadi resistensi, selain itu efek ototoksiknya juga tinggi. Berikut adalah kelompok

golongan obat-obat anti tuberculosis

Kelompok 1

Obat kelompok 1 merupakan obat yang sangat poten dan efek sampingnya dapat

ditolerir yakni rifampicin, Ethambutol dan Pyrazinamide. Bila hasil laboratorium dan

pengalaman klinis mendukung efektifitas obat ini maka obat-obatan golongan ini masih

dapat dipakai untuk pengobatan walaupun insidensi resistensi silang akan mungkin

terjadi misalnya resistensi terhadap rifabutin akibat penggunaan rifampicin.

Kelompok 2

Bila hasil tes sensitivitas menunjukkan hasil yang baik pada obat-obatan golongan ini

maka obat ini perlu digunakan. Obat golongan ini adalah aminoglikosida dan yang

sering direkomendasikan adalah kanamycin dan amikacin karena efek samping

ototoksitas yang lebih rendah dibanding streptomycin. Bila terjadi resistensi amikacin

dan kanamycin, capreomycin dapat digunakan.

Kelompok 3.

Floroquinolon dapat diberikan pada pasien dengan infeksi tuberculosis yang sensitif

dengan golongan ini seperti levofloxacin dan moxifloxacin, Ciprofloxacin tidak lagi

direkomendasikan untuk pengobatan TB resisten.

Kelompok 4

Ethionamide atau protionamide sering ditambahkan dalam regimen pengobatan. P-

aminosalicylic acid (PAS) juga dapat diberikan terlebih dulu. Kombinasi PAS dan

Ethionamid terkadang sering memberikan efek gastrointestinal dan hypothyroidisme

Cycloserine juga dapat ditambahkan kedalam regimen pengobatan. Tiga agen ini sering

dipakai secara bersamaan. Terizidone dapat pula digunakan untuk menggantikan

cycloserin

19

Kelompok 5.

Kelompok 5 tidak direkomendasikan oleh WHO dalam penggunaan rutin untuk

mengatasi TB resisten karena efektifitasnya yang masih tidak jelas. Regimen ini

membutuhkan pendapat para ahli terutama dalam penanganan XDR TB

Tabel 3. Kelompok obat-obat anti tuberculosis

(dikutip dari kepustakaan nomor 18)

Pada penanganan MDR-TB, fase intensif didefinisikan sebagai fase terapi

dengan obat injeksi selama minimum 6 bulan hingga sedikitnya 4 bulan sejak apusan

BTA menjadi negatif. Pemberian obat juga perlu mempertimbangkan hasil apusan, X

ray dan gejala klinik dan dapat diperpanjang bila perlu. Hasil kultur menentukan waktu

terapi MDR. Terapi harus dilanjutkan 18 bulan setelah konversi kultur. Konversi kultur

didefinisikan sebagai hasil kultur negatif selama 2 kali berturut-turut dengan rentang

pemeriksaan 30 hari. Bila terjadi kasus kronik, pengobatan dapat dilanjutkan hingga 24

bulan.

20

VIII. PROGNOSIS

Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan pengobatan

yang baik. Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-14% yang biasanya

muncul 1 tahun setelah pengobatan TB selesai terutama di negara dengan insidensi TB

yang rendah. Reinfeksi lebih sering terjadi pada pasien di negara dengan insidensi yang

tinggi. Prognosis biasanya baik tergantung pada selesainya pengobatan. Prognosis

dipengaruhi oleh penyebaran infeksi apakah telah menyebar ekstra paru,

immunokompeten. Usia tua serta riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks massa tubuh

yang melambangkan status gizi juga menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.2,17

21

IX. DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, Eugene

Stephen L. Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. Chapter 158 Tuberculosis in:

Harrison principle of internal medicine 17th edition. USA: Mc Graw Hill. 2008

2. Iseman, Michael D. Chapter 345 Tuberculosis in: Goldman, Lee. Ausiello,

Dennis. Cecil medicine 23rd edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008.

3. Baliga, Ragavendra. Hough, Rachel. Haq, Iftikhar. Crash course internal

medicine. United Kingdom: Elsevier Mosby. 2007.

4. Fitzpatrick, Lisa K. Braden, Christopher. Chapter 294 Tuberculosis in: Humes,

David. Dupont, Herbert L. Kelley textbook of medicine USA: Lippincott

Williams & Wilkins 2000.

5. World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2011. Geneva

World Health Organization. 2011

6. World Health Organization. Multi drug and extensively drug 2010 global report

on surveillance and response. Geneva: World Health Organization 2011

7. World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2010. Geneva

World Health Organization. 2010

8. Rao, C. Kosen, S. Bisara, D. Usman, Y. Adair, T. Djaja, S. Suhardi, S. Soemantri,

S. Lopez, AD. Tuberculosis mortality differentials in Indonesia during 2007-

2008: evidence for health policy and monitoring. Int J Tuberc Lung Dis.

2011 Dec;15(12):1608-14.

9. Eastman et all. Getting started in clinical radiology from image to diagnosis.

Germany:Thieme. 2006

10. Waite, Stephen. Jeudy, Jean. White, Charles S. Chapter 12. Acute lung

infections in normal and immunocompromised hosts in : Mirvis, Stuart E.

Shanmuganathan, Kathirkamanathan. Emergency chest imaging. Canada:

Elsevier 2006.

11. Ganguly KC, Hiron MM, Mridha ZU, Biswas M, Hassan MK, Saha SC,

Rahman MM. Comparison of sputum induction with bronchoalveolar lavage in

the diagnosis of smear negative pulmonary tuberculosis. Mymensingh Med J.

2008 Jul;17(2):115-23.

22

12. Mohan A, Sharma SK. Fibreoptic bronchoscopy in the diagnosis of sputum

smear-negative pulmonary tuberculosis: current status. Indian J Chest Dis

Allied Sci. 2008 Jan-Mar;50(1):67-78.

13. Coulter JB. Diagnosis ofpulmonary tuberculosis in young children.Ann Trop

Paediatr. 2008 Mar;28(1):3-12.

14. Dinnes J, Deeks J, Kunst H, Gibson A, Cummins E, Waugh N, Drobniewski F,

Lalvani A. A systematic review of rapid diagnostic tests for the detection of

tuberculosis infection. Health Technol Assess. 2007 Jan;11(3):1-196.

15. Nataraj G. Newer diagnostics for detection of multidrug-resistant tuberculosis. J

postgrad Med 2011;57:267-269

16. Rachow, Andrea. Zumla, Alimuddin. Heinrich, Norbert. Rojas-Ponce,Gabriel.

Mtafya,Bariki. Reither, Klaus et al. Rapid and accurate detection of

mycobacterium mtuberculosis in sputum samples by cepheid xpert mtb/rif assay

—a clinical validation study. PLoS ONE 6(6): e20458.

doi:10.1371/journal.pone.0020458. 2011

17. Herchline, Thomas E. Tuberculosis. [online] updated December 9 2011. Cited at

december 18 2011.Downloaded from

www.emedicine.medscape.com/article/230802- overview

18. World Health Organization. Treatment of tuberculois, guidelines. Geneva:

World Health Organization. 2011

19. Havlir, Diane V. Kendall, Michelle A. Ive, Prudence. Kumwenda, Johnstone.

Swindells, Susan. Qasba, Sarojini S. Luetkemeyer, Anne F. Hogg, Evelyn et al.

Timing of antiretroviral therapy. N Engl J Med 2011;365:1482-91

20. Abdool Karim, Salim S. Naidoo, Kogieleum. Grobler, Anneke. Padayatchi,

Nesri. Baxter, Cheryl. Gray, Andrew L. integration of antiretroviral therapy

with tuberculosis treatment. N Engl J Med 2011;365:1492-501.

21. Blanc, François-Xavier. Sok, Thim. Laureillard, Didier. Borand, Laurence.

Rekacewicz, Claire. Nerrienet, Eric et al. Earlier versus later start of

antiretroviral therapy in hiv-infected adults with tuberculosis. N Engl J Med

2011;365:1471-81.

22. Shakya, Rajani. B.S, Rao. Shrestha, Bhawana. Evaluation of risk factors for

antituberculosis drugs- induced hepatotoxicity in nepalese population.

23

Kathmandu University Journal Of Science, Engineering And Technology Vol.Ii,

No.1, February, 2006.

23. RYC, Chan. AKH Kwok. Ocular toxicity of ethambutol. Hong Kong Med J

2006;12:56-60

24. Heng JE, Vorwerk CK, Lessell E, Zurakowski D, Levin LA, Dreyer EB.

Ethambutol is toxic to retinal ganglion cells via an excitotoxic pathway. Invest

Ophthalmol Vis Sci. 1999 Jan;40(1):190-6..

25. Chai SJ, Foroozan R. Decreased retinal nerve fibre layer thickness detected

by optical coherence tomography in patients with ethambutol-induced

optic neuropathy. Br J Ophthalmol. 2007 Jul;91(7):895-7. Epub 2007 Jan 10.

26. Hazardous Substances Data Bank. Isoniazid [online] downloaded from

http://toxnet.nlm.nih.gov/cgi-bin/sis/search/r?dbs+hsdb:@term+@rn+54-85-3

24