referat kegawatdaruratan paru

87
Referat Kegawatdaruratan Paru REFERAT KEGAWATDARURATAN PARU Pembimbing: Dr. Titi Sundari, Sp.P Dr. Adria Rusli, Sp.P Penyusun: Patrisiea Caroline (406147006) Indah Pratiwi (406147034) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA KEPANITERAAN BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI PROF. DR. SULIANTI SAROSO Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso Periode 2 Februari – 11 April 2015 1

description

referat kegawatdaruratan parureferat kegawatdaruratan parureferat kegawatdaruratan parureferat kegawatdaruratan parureferat kegawatdaruratan parureferat kegawatdaruratan parureferat kegawatdaruratan parureferat kegawatdaruratan parureferat kegawatdaruratan parureferat kegawatdaruratan parureferat kegawatdaruratan paru

Transcript of referat kegawatdaruratan paru

Page 1: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

REFERAT KEGAWATDARURATAN PARU

Pembimbing:

Dr. Titi Sundari, Sp.P

Dr. Adria Rusli, Sp.P

Penyusun:

Patrisiea Caroline (406147006)

Indah Pratiwi (406147034)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

TARUMANAGARA

KEPANITERAAN BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI

PROF. DR. SULIANTI SAROSO

JAKARTA

PERIODE 2 FEBRUARI 2015 – 11 APRIL 2015

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 1

Page 2: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan

rahmat-Nya sehingga referat yang berjudul Kegawatdaruratan Paru ini dapat diselesaikan

dengan baik. Adapun referat ini disusun sebagai salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit

Dalam.

Referat ini antara lain menguraikan dengan singkat tentang definisi, etiologi,

epidemiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan pada penyakit yang termasuk

kegawatdaruratan paru.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna baik

materi maupun teknik penulisan, dan penulis dengan senang hati akan menerima segala

kritikan yang ada sebagai suatu pandangan yang membangun agar di kemudian hari dapat

membuat referat yang lebih baik. Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih pada

semua pihak yang membantu dalam pembuatan referat ini sehingga dapat selesai sesuai

waktu yang ditentukan, terutama saya ucapkan terima kasih kepada dr. Titi Sundari Sp. P dan

dr. Adria Rusli, Sp.P selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dalam pengerjaan

referat ini.

Akhir kata, Penulis berharap semoga referat ini dapat meningkatkan pengetahuan

pembaca dan bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Maret 2015

Penulis

BAB I

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 2

Page 3: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Manusia memiliki 2 proses pernafasan dalam tubuh, yaitu pernafasan luar

(eksterna), suatu penyerapan oksigen dan pengeluaran karbondioksida dari tubuh

secara keseluruhan serta pernafasan dalam (interna), penggunaan oksigen dan

pembentukan karbondioksida oleh sel-sel serta pertukaran gas antara sel-sel tubuh.

Secara garis besar terdapat empat tahapan proses pernapasan diantaranya yaitu, 1)

ventilas, 2) difusi O2 dan CO2 melalui membran respirasi, 3) transportasi O2 dan CO2 dari

& kedalam sel, 4) pengaturan ventilasi oleh saraf.

Gawat paru adalah suatu keadaan pertukaran gas dalam paru terganggu, yang bila

tidak segera diatasi akan menyebabkan suatu keadaan yang disebut gagal nafas akut

yang ditandai dengan menurunnya kadar oksigen dalam arteri (hipoksemia) atau

naiknya kadar karbondioksida (hiperkarbia) atau kombinasi keduannya.

Kedaruratan paru atau pernafasan merupakan faktor yang diperhitungkan dalam

gawat darurat pasien, banyak kasus yang gagal bukan akibat penyakit primernya, tetapi

karena kegagalan fungsi pernafasan baik karena gangguan sentral maupun akibat

infeksi. Berbagai keadaan dapat menimbulkan gangguan respirasi yang serius dan

membahayakan jiwa. Keadaan ini berkisar antara: 1) Penyakit primer yang mengenai

sistem bronkopulmoner seperti hemoptisis masif, pneumotorak ventil, status

asmatikus, dan Edema paru. 2) Gangguan fungsi paru yang sekunder terhadap

gangguan organ lain seperti keracunan obat yang menimbulkan depresi pusat

pernafasan. Pada semua keadaan, perhatian utama harus lebih ditujukan kepada

tindakan penyelamatan dari pada penyelidikan diagnostik. Bila tindakan penyelamatan

telah berjalan, selanjutnya dilaksanakan evaluasi dan pengelolaan penyakit dasar

pasien.

BAB II

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 3

Page 4: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Gagal Nafas Akut

II.1.1 Definisi Gagal Napas Akut

Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernafasan untuk

mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel – sel

tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal (Amin dan Purwoto, 2014). Secara

sederhana peranan pernafasan ialah mempertahankan PO2, PCO2 dan pH arteri agar

tetap normal. Gagal napas akut secara numeric didefinisikan sebagai kegagalan

pernapasan bila tekanan parsial oksigenasi arteri (PaO2) kurang dari 60 mmHg tanpa

atau dengan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) > 45 mmHg (Amin dan

Purwoto, 2014).

Apabila terdapat tekanan parsial oksigenasi arteri (PaO2) < 60 mmHg, yang berarti

terdapat gagal napas hipoksemia, berlaku bila bernapas pada udara ruangan biasa

(fraksi O2 inspirasi [F1O2] = 0,21, maupun saat mendapat bantuan oksigen. Sedangkan

jika terdapat tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) > 50 mmHg berarti terjadi

gagal napas hiperkapnia, kecuali ada keadaan asidosis metabolik. Tubuh pasien yang

asidosis metabolik secara fisiologis akan menurunkan PaCO2 sebagai kompensasi

terhadap pH darah yang rendah. Tetapi jika ditemukan PaCO2 meningkat secara tidak

normal, meskipun masih dibawah 50 mmHg pada keadaan asidosis metabolik, hal ini

dianggap sebagai gagal napas tipe hiperkapnia (Gunning, 2003).

II.1.2 Klasifikasi Gagal Napas Akut

Gagal napas dapat dibagi menjadi gagal napas hiperkapnia dan gagal napas

hipoksemia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut

berkembang dalam waktu menit sampai jam dan gagal napas kronik berkembang

dalam beberapa hari atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi

dan meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu biasanya pH hanya akan

menurun sedikit (Amin dan Purwoto, 2014).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 4

Page 5: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Gambar 1. Klasifikasi Gagal Napas

1. Gagal Napas Hipoksemia / Gagal Napas Tipe I / Gagal Oksigenasi

Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas

hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah tetapi PaCO2 normal

atau rendah. Derajat PaCO2 tersebut membedakannya dari gagal napas

hiperkapnia, yang masalah utamanya adalah hipoventilasi alveolar. Selain pada

lingkungan yang tidak biasa, diamana atmosfer memiliki kadar oksigen yang sangat

rendah, seperti pada ketinggian, atau saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal

napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim

paru atau sirkulasi paru (Alfred, 2008). Contoh klinis yang umum menunjukan

hipoksemia tanpa peningkatan PaCO2 adalah pneumonia, aspirasi isi lambung,

emboli paru, asma dan ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) (Amin dan

Purwoto, 2014).

2. Gagal Napas Hiperkapnia / Gagal Napas Tipe II / Gagal Ventilasi

Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar

PaCO2 yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2

tersisih dialveolus dan PaO2 menurun. Maka pada pasien biasanya didapatkan

hiperkapnia dan hipoksemia bersamasama, kecuali bila udara inspirasi diberi

tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada pasien dengan gagal

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 5

Page 6: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

napas hiperkapnia, terutama jika penyakit utama mengenai bagian nonparenkim

paru seperti dinding dada, otot pernapasan atau batang otak. Penyakit paru

obstruktif kronik yang parah sering mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien

dengan asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS (Acute Respiratory

Distress Syndrome) berat dapat menunjukan gagal napas hiperkapnia (Amin dan

Purwoto, 2014).

II.1.3 Etiologi

Penyebab gagal napas ini dibagi menjadi gangguan ekstrinsik paru dan gangguan

intrinsik paru. (Alfred,2006). Untuk gangguan ekstrinsik paru terdiri dari : Penekanan

pusat pernapasan (over dosis obat, trauma serebral/infark, poliomyelitis bulbar, dan

ensefalitis), gangguan neuromuskular (cedera medulaspinalis, sindroma Guillain-Barre,

Miastenia Gravis, Distrofi muskular), gangguan pada pleura (cedera dada/flail chest,

pneumotoraks, efusi pleura, kifoskoliosis, obesitas/sindroma pickwickan)

(Alfred,2006).

Sedangkan untuk gangguan intrinsik paru terdiri dari : gangguan obstruktif difus

(emfisema, penyakit paru obstruktif kronik, asma, dan fibrosis kistik), gangguan

restriktif paru (fibrosis interstitial, sarkoidosis, skleroderma, edema paru kardiogenik

dan nonkardiogenik, ateletaksis, peneumonia konsolidasi), gangguan pembuluh darah

paru (emboli paru, emfisema berat). Meskipun gangguan diluar paru, atau ekstrinsik

merupakan sebab penting gagal napas, namun gangguan intrinsik paru lebih penting.

Obstruksi saluran napas kronik mengakibatkan kegagalan ventilasi dengan PPOK

sebagai penyebab tersering. Faktor pencetus gagal napas akut pada pasien dengan

penyakit paru kronik terdiri dari : infeksi pada percabangan trakeobronkial,

pneumonia, perubahan secret trakeobronkial, bronkospasme, gangguan kemampuan

membersihkan sekret, sedatif, narkotik, anestesi, terapi oksigen (FIO2 tinggi), trauma,

kelainan kardiovaskular (gagal jantung, emboli paru) dan pneumotoraks (Alfred,2006).

II.1.4 Patofisiologi

A. Patofisiologi Gagal Napas Hipoksemia

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 6

Page 7: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Istilah hipoksemia menunjukan PO2 yang rendah didalam darah arteri (PaO2)

dan dapat digunakan untuk menunjukan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler

paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah

atau berkurangnya saturasi oksigen didalam hemoglobin. Hipoksia berarti

penurunan penyampaian ( delivery) O2 ke jaringan atau efek dari penurunan

penyampaian O2 ke jaringan. Hipoksemia berat menyebabkan hipoksia. Hipoksia

dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya

curah jantung, anemia, syok septik atau keracunan karbon monoksida, dimana

PaO2 arterial dapat meningkat atau norma (Amin dan Purwoto, 2014).

Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama yaitu

berkurangnya PO2 alveolar dan meningkatnya pengaruh campuran darah vena

(venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru,

dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan dipembuluh darah paru,

maka darah yang keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan

parsial oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. Kadar PO2 darah vena

sistemik (PVO2) menentukan batas bawah PaO2. Bila semua darah vena yang

bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan

gas di rongga alveolar, maka PO2 = PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan

batas atas PO2 arteri dan semua nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2 (Amin

dan Purwoto, 2014).

Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2 alveolar, atau

peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan

darah kapiler pulmonal (campuran vena).

a. Penurunan PO2 Alveolar

Fraksi oksigen inspirasi rendah

Bisa disebabkan suplai oksigen yang tidak baik atau peningkatan dead

space paru.

Tekanan barometrik rendah

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 7

Page 8: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Tekanan atmosfer yang rendah menurunkan PO2 lingkungan sehingga

PAO2 dan PaO2 juga menurun.

Hipoventilasi berat

b. Pencampuran Vena (Venous Admixture)

Gangguan difusi

Terdapat berbagai lapisan antara rongga alveolar hingga mencapai

hemoglobin di dalam eritrosit. Kelainan pada lapisan tersebut dapat

menggangu proses difusi O2 dan CO2. Meskipun demikian CO2 lebih

mudah mengalami difusi 20x dibandingkan oksigen, sehingga kelainan

pada lapisan, seperti pada fibrosis paru dan edema tidak selalu

disertai hiperkapnia.

Ketidakseimbangan ventilasi/perfusi

Merupakan penyebab tersering hipoksia pada pasien dengan keadaan

kritis. Pada hipoksemia terjadi penurunan ventilasi. Biasanya karena

atelektasis, emboli paru, bronkospasme, obstruksi saluran nafas,

pneumonia atau ARDS.

Pirau Kanan-Kiri

Terjadi ketika sebagian darah vena pulmonal tidak meelwati alveolus

yang kaya oksigen, akhirnya saturasi Oksigen pada vena pulmonalis

menurun. Karena tidak melewati alveolus hipoksemia akibat pirau

tidak membaik pasca pemberian oksigen. Ketidakseimbangan V/Q

berat akibat alveolus kolaps seluruhnya, konsolidasi atau edema juga

dapat menyebabkan pirau kanan-kiri.

B. Patofisiologi Gagal Napas Hiperkapnia

Kegagalan napas hiperkapnia atau ventilasi dapat disebabkan oleh

hipoventilasi saja atau gabungan dengan salah satu atau semua mekanisme

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 8

Page 9: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

hipoksemia seperti ketidakseimbangan V/Q, pirau, atau mungkin gangguan difusi.

Kegagalan pada ventilasi murni terjadi pada gangguan ekstrapulmonal yang

melibatkan kegagalan kendali saraf atau otot-otot pernapasan. Contoh klasik

gagal napas hiperkapnia adalah PPOK dan melibatkan ketidakseimbangan V/Q dan

hipoventilasi (Amin dan Purwoto, 2014).

Hipoventilasi Alveolar

Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO2 dari proses

metabolik setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO2 tersebut dari

kedua paru setiap menit. Jika keluaran semenit CO2 (VCO2) menukarkan CO2

ke ruang pertukaran gas dikedua paru, sedangkan VA adalah volume udara

yang dipertukarkan dialveolus selama semenit (ventilasi alveolar), didapatkan

rumus :

VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) X VA (L/men) X 1/863

Untuk output CO2 yang konstan, hubungan antara PaCO2 dan VA

menggambarkan hiperbola ventilasi, dimana PaCO2 dan VA berhubungan

terbalik. Jadi hiperkapnia selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan

hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi alveolar. Karena ventilasi alveolar

tidak dapat diukur, perkiraan ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan

menggunakan rumus PaCO2 diatas (Amin dan Purwoto, 2014).

Ventilasi Semenit

Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA berkurang ( dan PaCO2

meningkat). Meskipun VA tidak dapat diukur secara langsung,jumlah total

udara yang bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap menit dapat diukur

dengan mudah. Ini didefinisikan sebagai minute ventilation (ventilasi semenit,

VE, L/men). Konsep fisiologis menganggap bahwa VE merupakan

penjumlahan dari VA (bagian dari VE yang berpartisipasi dalam pertukaran

gas) dan ventilasi ruang rugi (dead space ventilation, VD)

VE = VA + VD

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 9

Page 10: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

VA = VE – VD

VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) X VE (L/men) X (1-VD/VT)/863

VD/VT menunjukan derajat insufisiensi ventilasi kedua paru. Pada orang

normal yang sedang istirahat sekitar 30 % dari ventilasi semenit tidak ikut

berpartisipasi dalam pertukaran udara. Pada kebanyakan penyakit paru

proporsi VE yang tidak ikut pertukaran udara meningkat, maka VD/VT

meningkat juga. Hiperkapnia (hipoventilasi alveolar) terjadi saat : nilai VE

dibawah normal, nilai VE normal/tinggi tetapi rasio VD/VT meningkat, dan

nilai VE dibawah normal dan rasio VD/VT meningkat (Amin dan Purwoto,

2014).

Trakea dan saluran pernapasan menjadi penghantar pergerakan udara

dari dan ke dalam paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut

berpartisipasi pada pertukaran udara dengan darah kapiler paru (difusi).

Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis, jalan napas buatan dan

bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang dilalui udara inspirasi dan

ekspirasi juga merupakan ruang rugi anatomis. Pada pasien dengan penyakit

paru, sebagian besar peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi

fisiologis.

Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi regional melebihi jumlah

aliran darah regional (ventilation-perfusion [V/Q] mismatching). Walaupun

V/Q mismatching umumnya dianggap sebagai mekanisme hipoksemia dan

bukan hiperkapnia, tetapi secara teori juga akan meningkatkan PaCO2.

Kenyataannya dalam hampir semua kasus, kecuali dengan V/Q mismatching

yang berat, hiperkapnia merangsang peningkatan ventilasi, mengembalikan

PaCO2 ke tingkat normal. Jadi V/Q mismatching umumnya tidak

menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia dengan peningkatan VE

(Amin dan Purwoto, 2014).

II.1.5 Gambaran Klinis

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 10

Page 11: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Manifestasi klinis gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran

hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial meningkatkan

ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispneu, takipneu

dan biasanya hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan

mendeteksi hipoksemia dan kemampuan system pernapasan untuk merespon. Pada

pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi

terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal,

tetapi juga didapatkan pada daerah sentral disekitar membran mukosa dan bibir

(Amin dan Purwoto, 2014).

Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi

pasien. Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke jaringan

yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme

ke arah anaerob disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat

didarah selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat

menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir

abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang

lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen

(Amin dan Purwoto, 2014).

Aktivitas system saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan terjadinya

takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang

lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardi, vasodilatasi, dan hipotensi, serta

menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia dan gagal jantung. Manifestasi gagal

napas hipoksemik akan lebih buruk lagi jika ada gangguan hantaran oksigen ke

jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung yang berkurang,

anemia, atau kelainan sirkulasi dapat diprediksi akan mengalami hipoksia jaringan

global dan regional pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok

hipovolemi yang menunjukan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial

ringan (Amin dan Purwoto, 2014).

Gambaran klinis hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat.

Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 11

Page 12: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

terutama melalui turunnya pH cairan serebrospinal yang terjadi karena peningkatan

akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas and cepat kedalam serebro spinal, pH

turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut. 5 Peningkatan PaCO2 pada

penyakit kronik berlangsung lama sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal

meningkat sebagai kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar pH yang

rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis lain

daripada nilai PaCO2 mutlak

Gejala hiperkapnia dapat bersama-sama dengan gejala hipoksemia. Hiperkapnia

menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia mungkin

memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit

dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi gejala-gejala seperti dispneu, takipneu,

bradipneu dapat ditemukan pada gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan gagal napas

hiperkapnea akut harus diperiksa untuk menentukan mekanisme penyebabnya,

dengan diagnosis banding utama ialah gagal napas hiperkapnea karena penyakit paru

dan penyakit non paru (Amin dan Purwoto, 2014).

Tabel 1. Manifestasi klinis hipoksemia dan hiperkapnia

Hiperkapnia Hipoksemia

Somnolen Letargi Koma Asteriks Tidak dapat tenang Tremor Bicara kacau Sakit kepala Edema papil

Ansietas Takikardi Takipneu Diaforesis Aritmia Perubahan status mental Bingung Sianosis Kejang Asidosis laktat

II.1.6 Diagnosis

Tidak mungkin untuk memperkirakan tingkat hipoksemia dan hiperkapnia dengan

mengamati tanda dan gejala pasien. Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi

pada setiap pasien. Hipoksemia dan hiperkapnia ringan sangat sulit terdeteksi dan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 12

Page 13: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

kadang tidak terdiagnosis. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk

dapat terjadi perubahan dalam bernafas dan irama jantung. Untuk itu, cara

mendiagnosa gagal napas adalah dengan mengukur gas darah arteri (arterial blood

gas), PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap

untuk mengetahui apakah ada anemia yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan.

Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis underlaying disease

(penyakit yang mendasarinya).2,3 Selain itu pemeriksaan fungsi pernapasan tidak boleh

diabaikan dalam diagnosis dan terapi perawatan yang adekuat, karena dengan

pemeriksaan ini kita menapatkan informasi yang berharga bukan hanya untuk

menentukan berat dan jenis gagal napas tetapi juga untuk mengenali mekanisme yang

terlibat. Sejumlah pemeriksaan fungsi ventilasi di samping tempat tidur juga sering

dilakukan untuk menilai cadangan ventilasi dan perlunya ventilasi mekanis. Status

ventilasi dan status asam-basa dinilai dengan memeriksa PaCO2, bikarbonat (HCO3-)

dan pH (Amin dan Purwoto, 2014).

II.1.7 Tatalaksana

Prioritas dalam penanganan gagal napas berbeda-beda tergantung pada faktor

etiologinya, tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien yaitu,

menangani sebab gagal napas dan bersamaan dengan itu memastikan adanya ventilasi

yang memadai dan jalan napas yang bebas. Karena hal yang paling mengancam nyawa

akibat gagal napas adalah gangguan pada pertukaran gas, maka tujuan pertama dari

terapi adalah memastikan bahwa hipoksemia, asidemia, hiperkapnia tidak mencapai

taraf yang membahayakan. PaO2 sebesar 40 mmHg atau pH sebesar 7,2 atau kurang

sangat sulit ditoleransi oleh orang dewasa dan dapat mengakibatkan gangguan otak,

ginjal, dan jantung, serta dapat terjadi disritmia jantung. PaCO2 diatas 70 mmHg dapat

mengakibatkan depresi sistem saraf pusat dan koma (Amin dan Purwoto, 2014).

Dasar pengobatan gagal napas akut dibagi menjadi pengobatan nonspesifik dan

yang spesifik. Umumnya diperlukan kombinasi keduanya. Pengobatan nonspesifik

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 13

Page 14: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

adalah tindakan secara langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru,

sedangkan pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.

A. Pengobatan nonspesifik

Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-

gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh kealam keadaan yang lebih buruk.

Sambil menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi

penyakitnya (Amin dan Purwoto, 2014).

Atasi Hipoksemia : Terapi Oksigen.

Atasi Hiperkapnia : Perbaiki Ventilasi (jalan napas dan ventilasi bantuan).

Ventilasi kendali.

Fisioterapi dada.

1. Terapi Oksigen

Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk

menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal napas dari

penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan

keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan tidak terangsang oleh

hipercarbic drive melainkan terhadap hypoxemic drive akibat kenaikan PaO2

pasien dapat apneu. Terapi yang dilakukan adalah dengan menaikan

konsentrasi oksigen fraksi inspirasi (FiO2), menurunkan konsumsi oksigen

dengan hipotermi sampai 34 ̊ C atau pemberian obat pelumpuh otot

(Alfred,2008).

Ventilasi dilakukan secara bantuan dan terkendali. Cara pemberian oksigen

dapat dilakukan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup muka tipe

venture dapat mengatur kadar O2 inspirasi secara lebih tepat, bila ventilasi

kembali dengan ventilator maka konsentrasi O2 dapat diatur dari 21-100%

(Alfred,2008).

Tabel 2. Cara Pemberian Oksigen

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 14

Page 15: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

2. Perbaiki Ventilasi

Hiperkapnia diperbaiki dengan memperbaiki ventilasinya, dari cara

sederhana hingga dengan ventilator. Hiperkapnia berat serta akut akan

mengakibatkan gangguan pH darah atau asidosis respiratori, hal ini harus

diatasi segera dan biasanya diperlukan ventilasi kendali dengan ventilator.

Akan tetapi pada gagal napas dari penyakit paru kronis yang menjadi akut

kembali (acute on chronic), keadaan hiperkapnia kronik dengan pH darah

tidak banyak berubah karena sudah terkompensasi oleh ginjal dikenal sebagai

asidosis respiratori terkompensasi sebagian atau penuh (Alferd,2008).

Dalam hal ini, penurunan PaCO2 secara cepat dapat menyebabkan pH

darah meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini justru dapat membahayakan,

dapat menimbulkan gangguan elektrolit darah terutama kalium menjadi

hipokalemia, gangguan pada jantung seperti aritmia jantung hingga henti

jantung. Penurunan tekanan CO2 harus secara bertahap dan tidak melebihi 4

mmHg/jam (Amin dan Purwoto, 2014).

Perbaiki jalan napas (Air Way) terutama pada obstruksi jalan napas bagian

atas, dengan hiperekstensi kepala mencegah lidah jatuh ke posterior

menutupi jalan napas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka

dan mandibula didorong ke depan (triple airway manuver). Hal ini biasanya

berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan napas bagian atas. Sambil menunggu

dan mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada

obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan lain-lain.

Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa

nasofaring atau pipa trakhea Alfred,2008).Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 15

Page 16: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Berikan ventilasi bantuan kepada pasien. Pada keadaan darurat dan tidak

ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat dilakukan mulut ke mulut (mouth

to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose). Apabila kesadaran pasien

masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi menggunakan ventilator,

seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB (Intermittent Positive Pressere

Breathing), yaitu pasien bernapas spontan melalui sungkup muka yang

dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan inspirasi maka

tekanan negatif yang ditimbulkan akan menggerakan ventilator dan

memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang diatur (Guyton, et al,

2005).

3. Ventilasi Kendali

Pasien diintubasi, dipasang pipa trakhea dan dihubungkan dengan

ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya

diperlukan obat-obatan sedatif, narkotika, atau pelumpuh otot agar

pernapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator (Guyton, et al, 2005).

4. Fisioterapi Dada

Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret dan sputum.

Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga untuk tindakan

pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan baik, bila perlu dengan

bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan kedua telapak tangan

pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang baik dan efisien. Dilakukan

juga tepukan-tepukan pada dada dan punggung, kemudian perkusi, vibrasi

dan drainase postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti

mukolitik, bronkodilator, atau pernapasan bantuan dengan ventilator (Amin

dan Purwoto, 2014).

B. Pengobatan spesifik

Pengobatan spesifik ditujukan pada underlaying disease, sehingga

pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Kadang-kadang

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 16

Page 17: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

memerlukan persiapan yang membutuhkan banyak waktu seperti operasi atau

bronkoskopi. Macam-macam pengobatan spesifik dapat dilihat di tabel 3.

Tabel 3. Pengobatan spesifik pada gagal nafas akut

1. Bronkodilator

Bronkodilator mempengaruhi langsung terhadap kontraksi otot polos,

tetapi beberapa mempunyai efek tidak langsung terhadap edema dan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 17

Page 18: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

inflamasi. Merupakan terapi utama untuk penyakit paru obstruktif, tetapi

peningkatan resistensi jalan napas juga ditemukan oada banyak penyakit paru

lainnya, seperti edema paru, ARDS, dan mungkin pneumonia (Amin dan

Purwoto, 2014).

2. Agonis beta-adrenergik / simpatomimetik

Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi

dibandingkan secara parenteral atau oral. Untuk efek bronkodilatasi yang

sama, efek samping sangat berkurang bila dilakukan dengan rute inhalasi,

sehingga dosis yang lebih besar dan lebih lama dapat diberikan. Efek samping

dari obat ini adalah tremor, takikardi, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia (Amin

dan Purwoto, 2014).

3. Antikolinergik

Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik (parasimpatolitik)

tergantung pada derajat tonus parasimpatis instrinsik. Obat-obat ini kurang

berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi,

dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih

berperan. Direkomendasikan terutama untuk bronkodilatasi pasien dengan

bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu digunakan dalam

kombinasi dengan agonis beta-adrenergik (Amin dan Purwoto, 2014).

4. Teofilin

Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta-

adrenergik. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada

AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor

beta-adrenergik, dan aktivitas anti-inflamasi. Efek samping meliputi takikardi,

mual, muntah, komplikasi yang lebih parah adalah aritmia jantung,

hipokalemia, perubahan status mental dan kejang

5. Kortikosteroid

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 18

Page 19: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak

diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah

didemonstrasikan setelah pemberian sitemik dan topikal. Kortokosteroid

aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut dan hampir selalu

digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping kortikosteroid adalah

hiperglikemi, hipokalemi, retensi natrium dan air, miopati steroid akut

(terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik,

gastritis dan perdarahan gastrointestinal (Amin dan Purwoto, 2014).

6. Ekspektoran dan Nukleonik

Cairan per oral atau parenteral dapat memperbaiki volume atau

karakteristik sputum pada pasien yang kekurangan cairan. Kalium yodida oral

mungkin berguna untuk meningkatkan volume dan menipiskan sputum yang

kental. Penekan batuk seperti kodein dikontraindikasikan bila kita

menghendaki pengeluaran sekret melalui batuk. Obat mukolitik dapat

diberikan langsung pada sekret jalan napas terutama pada pasien dengan ETT.

Sedikit (3-5 ml) NaCl 0,9 % salin hipertonik dan natrium bikarbonat hipertonik

juga dapat diteteskan sebelum penyedotan (suctioning) dan bila berhasil akan

keluar secret lebih banyak (Amin dan Purwoto, 2014).

Asetilsistein merusak ikatan disulfid pada protein sputum dan dapat

menjadi obat mukolitik yang kuat. Tetapi asetilsistein yang diaerosolisasi

kurang efektif dan dapat merangsang bronkospasme pada penderita asma. Jika

diperlukan, sedikit asetilsistein dapat diberikan saat lavase dengan bronkoskopi

fleksibel pada jalan napas yang bermasalah. Karena beberapa kualitas

abnormal sputum disebabkan DNA yang berasal dari penghancuran sel, enzim

yang melisiskan DNA (DNAase) dapat bermanfaat, tetapi belum disetujui untuk

pemakaian pada pasien PPOK atau asma

II.1.8 Komplikasi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 19

Page 20: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Komplikasi pada paru-paru itu seperti pneumonia, emboli paru, barotrauma paru-

paru, fibrosis paru. Komplikasi yang berhubungan dengan mesin dan alat mekanik

ventilator pada pasien gagal napas juga banyak menimbulkan komplikasi yaitu infeksi,

desaturasi arteri, hipotensi, barotrauma, komplikasi yang ditimbulkan oleh

dipasangnya intubasi trakhea adalah hipoksemia cedera otak, henti jantung, kejang,

hipoventilasi, pneumotoraks, atelektasis. Gagal napas akut juga mempunyai

komplikasi di bidang gastrointestinal yaitu stress ulserasi, ileus dan diare.

Kardiovaskular memiliki komplikasi hipotensi, aritmia, penurunan curah jantung,

infark miokard, dan hipertensi pulmonal. Komplikasi pada ginjal dapat menyebabkan

acute kidney injury dan retensi cairan. Resiko terkena infeksi pada pasien gagal napas

juga cukup tinggi yaitu infeksi nosokomial, bakteremia, sepsis dan sinusitis paranasal

(Amin dan Purwoto, 2014).

II.1.9 Prognosis

Morbiditas dan mortalitas hipoksemia gagal napas akut tergantung kepada

penyakit yang mendasarinya, pasien dengan ARDS menurut penelitian mempunyai

angka kesembuhan sampai 60 % apabila mendapatkan terapi yang cepat dan adekuat.

Pasien dengan komplikasi sepsis post trauma memiliki tingkat mortalitas yang lebih

rendah dibandingkan pada pasien sepsis akibat komplikasi alat bantuan pernapasan

yang digunakan pada pengobatan gagal napas akut. Pasien usia muda memiliki tingkat

angka kesembuhan lebih tinggi dibandingkan orang tua. Sedangkan pasien dengan

hiperkapnia gagal napas akut memiliki mortalitas yang lebih tinggi dan tergantung

kepada kemampuan fisiologi pasien untuk mengkompensasi keadaan gagal napas akut

baik dari kardiovaskular, ginjal, hati, atau kelainan neurologis dan usia, penyakit yang

mendasari terjadinya gagal napas akut hiperkapnia ini juga menentukan tingkat

mortalitas dari pasien. Terapi yang cepat dan adekuat sangat berpengaruh untuk

menghindari terjadinya komplikasikomplikasi yang mungkin ditimbulkan oleh gagal

napas akut, yang dapat meningkatkan tingkat morbiditas dan mortalitas dari gagal

napas akut hiperkapnia (Amin dan Purwoto, 2014).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 20

Page 21: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

II.2 Hemoptisis Masif

II.2.1 Definisi

Hemoptisis diartikan sebagai batuk darah uamh berasal dari trakeobronkial atau

parenkim paru (Tanto-Liwang et al., 2014). Hemoptisis bisa banyak, atau bisa pula

sedikit sehingga hanya berupa garis merah cerah di dahak. Hemoptisis masif adalah

ekspektorasi 600ml darah dalam 24 – 48 jam. Penyebab tersering adalah infeksi (TB

paru, fungi), bronkitis kronik, pneumonia, bronkiektasis, dan keganasan.

Pseudohemoptisis adalah membatukkan darah yang bukan berasal dari saluran

nafas bagian bawah, melainkan dari mulut, hidung, faring, dan lidah (Tanto-Liwang et

al., 2014). Pseudohemoptisis juga dapat timbul pada pasien yang mengalam kolonisasi

kuman Serratia Marcesens yang berwarna merah yang timbul pada pasien yang

dirawat serta menerima antibiotik berspektrum luas dan ventilator mekanik, juga

dapat disebabkan kelebihan dosis rifampisin.

II.2.2 Etiologi

Penyebab tersering dari hemoptisis masif adalah infeksi (terutama tuberkulosis),

bronkiektasis, pneumonia, bronkitis dan keganasan (Pitoyo, 2006). 95 % sumber

perdarahan berasal dari sirkulasi bronkial yaitu diantaranya karena radang paru dan

kanker paru, sedangkan 5 % berasal dari sirkulasi pulmonal karena infark paru, emboli

paru, dll. Penyebab lainnya dari hemoptisis masif diantaranya karena trauma atau

benda asing, kelainan jantung, kelainan hematologis, akibat obat, infark paru, dan lain-

lain. 2- 32% kasus hemoptisis tidak diketahui penyebabnya atau idopatik. Hemoptisis

idiopatik disebut juga hemoptisis esensial. Hemoptisis esensial umumnya

menyebabkan hemoptisis tidak masif (Pitoyo, 2006).

Tabel 4. Penyebab hemoptisis

Penyakit Parenkim Paru Abses Paru Aspergiloma Kontusio paru Metastasis diparu Tuberkulosis paru

Kelainan Trakeobronkial Bronkiektasis

Penyakit Parenkimal Paru difus Sindrom goodpasture Nefropati IgA Farmers lung Pneumonitis virus, dll

Kelainan Kardiovaskular Fistula arteriovena pulmonalis Gagal jantung kongestif

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 21

Page 22: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Bronkitis kronik Adenoma bronkus Aspirasi benda asing Fibrosis kistik Fistula arteritrakeal Karsinoma bronkogenik

Kelainan Hematologi DIC Leukemia Terapi antikoagulan, trombositopeni

Ruptur arteri bronkial Ruptur arteri pulmonalis Emboli paru Aneurisma aorta, dll

Lain – lain Idiopatik Iatrogenik : Bronkoskopi, kateterisasi

jantung, dll.

II.2.3 Patogenesis

Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari

cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada

jaringan paru, juga bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan

fungsinya untuk pertukaran gas (Arief,2009).

Mekanisme terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut (Pitoyo, 2006):

1. Radang mukosa

Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah

menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk

menimbulkan batuk darah.

2. Infark paru

Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada

pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus dan infeksi oleh jamur.

3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler

Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti

pada dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.

4. Kelainan membran alveolokapiler

Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada Goodpasture’s

syndrome.

5. Invasi tumor ganas

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 22

Page 23: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

6. Cedera dada

Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi

ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.

II.2.4 Gejala

Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan bahwa

perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal dari

nasofaring atau gastrointestinal. Dengan perkataan lain bahwa penderita tersebut

benar - benar batuk darah dan bukan muntah darah (Alsagaf, 2009). Dapat dilihat

pada tabel 6 perbedaan batuk darah dan muntah darah.

Tabel 5. Perbedaan batuk darah dan muntah darah

Kriteria batuk darah:

1. Batuk darah ringan (<25cc/24 jam).

2. Batuk darah berat (25-250cc/ 24 jam).

3. Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang mengeluarkan darah

sedikitnya 600 ml dalam 24 jam).

Kriteria untuk hemoptisis masif (Kriteria Busroh 1978) :

Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam 24

jam tidak berhenti.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 23

Page 24: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Apabila pasien mengalami batuk darah < 600 cc / 24 jam dan tetapi >250 cc /

24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, dan masih terus berlangsung.

Apabila pasien mengalami batuk darah < 600 cc / 24 jam , tetapi >250 cc / 24

jam dengan kadar Hb >10 g%, tetapi selama 48jam belum berhenti.

II.2.5 Diagnosis

1. Anamnesis

Bedakan antara hemoptisis, pseudohemoptisis atau hematemesis.

i. Hemoptisis : tidak disertai mual dan muntah, berbusa, berwarna merah

cerah atau merah muda menggumpal.

ii. Hematemesis : disertai mual muntah, biasanya tidak berbusa, berwarna

cokelat atau hitam terdapat partikel makanan.

Durasi Batuk darah

i. Hemoptisis kronik, tapi sedikit – sedikiti kemungkinan karsinoma.

ii. Hemoptisis berulang selama berbulan – bulan hingga tahunan,

kemungkinan bronkiektasis

iii. Hemoptisis berhubungan dengan menstruasi kemungkinan

endomtriosis paru.

Warna dahak (merah segar, hitam), berbusa.

Keluhan lain seperti demam, sesak nafas, nyeri dada, penurunan berat

badan dan nafsu makan, keringat malam.

Riwayat penyakit dan konsumsi obat – obatan, seperti penyakit paru,

jantung, gangguan kelainan darah, pemakaian obat antikoagulasi,

pemasangan trakeostomi (Tanto-Liwang et al., 2014).

2. Pemeriksaan Fisik

Tidak didapatkan darah pada nasofaring dan orofaring

Terdapat ronki basah / kering, pleural friction rub

Pada jantung terdapat tanda gagal jantung, hipertensi pulmonal, stenosis

mitral (Tanto-Liwang et al., 2014).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 24

Page 25: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

3. Pemeriksaan Penunjang

Foto toraks, DPL, ureum, kreatinin, urin lengkap, hemostasis, sputum BTA,

Gram, kultur, resistensi obat.

Bronkoskopi bertujuan untuk menentukan lokasi dan memastikan diagnosis.

II.2.6 Penatalaksanaan

Tujuan pokok terapi ialah (Amirullah, 2004) :

1. Mencegah asfiksia.

2. Menghentikan perdarahan.

3. Mengobati penyebab utama perdarahan.

Langkah-langkah:

1. Pemantauan menunjang fungsi vital

a. Pemantauan dan tatalaksana hipotensi, anemia

b. Pemberian oksigen, cairan plasma expander dan darah dipertimbangkan

sejak awal.

c. Pasien dibimbing untuk batuk yang benar.

2. Mencegah obstruksi saluran napas

a. Kepala pasien diarahkan ke bawah untuk cegah aspirasi.

b. Kadang memerlukan pengisapan darah, intubasi atau bahkan

bronkoskopi.

3. Menghentikan perdarahan .

Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan support kardiopulmaner

dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab

utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif.Masalah utama dalam

hemoptisis adalah terjadinya pembekuan dan penumpukan darah dalam saluran

napas yang menyebabkan asfiksia. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptisis

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 25

Page 26: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptosis dalam

jumlah banyak dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian.5,8

Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :

1. Terapi konservatif

Dasar-dasar pengobatan yang diberikan sebagai berikut (Pitoyo, 2006) :

a. Mencegah penyumbatan saluran nafas

Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat diletakkan

dalam posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh membatukkan

darah yang terasa menyumbat saluran nafas. Dapat dibantu dengan

pengisapan darah dari jalan nafas dengan alat pengisap. Jangan sekali-kali

disuruh menahan batuk.

Penderita yang tidak mempunyai refleks batuk yang baik, diletakkan

dalam posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga asal perdarahan, dan

sedikit trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat.

Kalau masih dapat penderita disuruh batuk bila terasa ada darah di saluran

nafas yang menyumbat, sambil dilakukan pengisapan darah dengan alat

pengisap. Kalau perlu dapat dipasang tube endotrakeal.

Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan perdarahan

sukar berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat diberikan Codein 10 - 20

mg. Penderita batuk darah masif biasanya gelisah dan ketakutan, sehingga

kadang-kadang berusaha menahan batuk. Untuk menenangkan penderita

dapat diberikan sedatif ringan (Valium) supaya penderita lebih kooperatif.

b. Memperbaiki keadaan umum penderita

Bila perlu dapat dilakukan :

1) Pemberian oksigen.

2) Pemberian cairan untuk hidrasi.

3) Tranfusi darah.

4) Memperbaiki keseimbangan asam dan basa.Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 26

Page 27: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

c. Menghentikan perdarahan

Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. Di dalam

kepustakaan dikatakan hemoptisis rata-rata berhenti dalam 7 hari. Apabila

ada kelainan didalam faktor-faktor pembekuan darah, lebih baik

memberikan faktor tersebut dengan infus. Di beberapa rumah sakit masih

memberikan Hemostatika (Adona Decynone) intravena 3 - 4 x 100 mg/hari

atau per oral. Walaupun khasiatnya belum jelas, paling sedikit dapat

memberi ketenangan bagi pasien dan dokter yang merawat. Dapat juga

diberikan obat hemostatik lain seperti asam traneksamat, vit c, vit k, dan

kalsium.

d. Pemberian obat penekan refleks batuk

Obat antitusif tidak dianjurkan untuk digunkana dengan

pertimbangan batuk yang adekuat mungkin dibutuhkan untuk

mengeluarkan darah dari jalan napas dan mencegah asfiksia. Obat antitusif

hanya dipertimbangkan pada kasus dengan bercak darah minimal tetapi

batuk dangat kuat.

e. Mengobati penyakit yang mendasarinya (underlying disease)

Bila sebbanya infeksi (misalnya bronkiektasis, bronkitis kronik, dan

fibrosis kistik yang terinfeksi) antibiotik harus diberikan disertai teofilin atau

agonis b- adrenergik (sebagai perangsang gerakan mukosiliar). Pada

tuberkulosis paru yang terinfeksi selain obat anti tuberkulosis antibiotik

nonspesifik harus diberikan. Pada penyakit paru obstruktif kronik antibiotik

spektrum luas mempercepat penghentian hemoptisis.

2. Terapi pembedahan

Pembedahan merupakan terapi definitif pada penderita batuk darah

masif yang sumber perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru

adekuat, tidak ada kontraindikasi bedah.Reseksi bedah segera pada tempat

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 27

Page 28: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

perdarahan merupakan pilihan. Tindakan operasi ini dilakukan atas

pertimbangan (Arief, 2009):

a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.

b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian

pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan

tindakan operasi.

c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya

hemoptisis yang berulang dapat dicegah.

II.2.7 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptosis, yaitu ditentukan

oleh tiga faktor (Pitoyo, 2006):

1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran

pernapasan.

2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptosis dapat

menimbulkan renjatan hipovolemik.

3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke

dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.

Penyulit hemoptisis yang biasanya didapatkan (Arief, 2009):

Bahaya utama batuk darah ialah terjadi penyumbatan trakea dan saluran

napas, sehingga timbul sufokasi yang sering fatal. Penderita tidak tampak

anemis tetapi sianosis, hal ini sering terjadi pada batuk darah masif (600-1000

cc/24 jam ).

Pneumonia aspirasi merupakan salah satu penyulit yang terjadi karena darah

terhisap ke bagian paru yang sehat.

Karena saluran nafas tersumbat, maka paru bagian distal akan kolaps dan

terjadi atelektasis.

Bila perdarahan banyak, terjadi hipovolemia. Anemia timbul bila perdarahan

terjadi dalam waktu lama.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 28

Page 29: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

II.2.8 Prognosis

Pada hemoptosis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami

hemoptosis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder ada beberapa faktor

yang menentukan prognosis (Pitoyo, 2006):

1. Tingkatan hemoptisis: hemoptisis yang terjadi pertama kali mempunyai

prognosis yang lebih baik.

2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.

3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk

menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.

a. Hemoptisis < 200ml / 24 jam prognosa baik

b. Profuse massive > 600cc/24 jam prognosa jelek 85% meninggal

1) Dengan bilateral far advance dan faal paru kurang baik

2) Adanya kelainan jantung.

II.3 Acute Respiratory Distsress Syndrome (ARDS)

II.3.1 Definisi

ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) merupakan sindrom yang ditandai

oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar – kapiler terhadap air, larutan dan

protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam

parenkim paru yang mengandung protein (Amin dan Purwoto, 2014).

Dasar definisi yang dipakai konsensus Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa

tahun 1994 terdiri dari :

1. Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut;

2. Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang

diinspirasi (PaO2 / FIO2) < 200 mmHg – hipoksemia berat;

3. Radiografi dada : infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru;

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 29

Page 30: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

4. Tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) < 18

mmHg, tanpa tanda tanda klinis (rontgen,dan lain-lain) adanya hipertensi

atrial kiri / (tanpa adanya tanda gagal jantung kiri).

Bila PaO2 / FIO2 antara 200-300 mmHg, maka disebut Acute Lung Injury (ALI).

Konsensus juga mensyaratkan terdapatnya faktor resiko terjadinya ALI dan tidak

adanya penyakit paru kronik yang bermakna (Amin dan Purwoto, 2014).

II.3.2 Etiologi

ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma

jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebabnya bisa penyakit

apapun, yang secara langsung ataupun tidak langsung melukai paru-paru:

1. Trauma langsung pada paru

a. Pneumoni virus, bakteri

b. Contusio paru

c. Aspirasi cairan lambung

d. Inhalasi asap berlebih

e. Inhalasi toksin

f. Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama

2. Trauma tidak langsung

a. Sepsis

b. Shock, Luka bakar hebat, tenggelam

c. DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation)

d. Pankreatitis

e. Uremia

f. Overdosis obat seperti heroin, metadon, propoksifen atau aspirin

g. Idiophatic (tidak diketahui)

h. Bedah Cardiobaypass yang lama

i. Peningkatan TIK

j. Terapi radiasi

k. Trauma hebat, Cedera pada dada

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 30

Page 31: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya penyakit atau

cedera. SGPA(sindrom gawat pernafasan akut) seringkali terjadi bersamaan dengan

kegagalan organ lainnya, seperti hati atau ginjal.

II.3.3 Faktor Resiko

Faktor resiko terjadnya ARDS bisa karena akibat kelainan sistemik atau karena

kelainan paru itu sendiri. Dapat dilihat pada tabel 6 faktor resiko penyakit yang

berhubungan dengan ARDS.

Tabel 6. Faktor resiko yang berhubungan dengan ARDS

Akibat Sistemik Akibat Paru Sendiri

Luka berat Sepsis Pankreatitis DIC Shock Transfusi berulang Luka bakar Obat – obatan/ overdosis Opiat, aspirin, fenotoazin,

antidepresan trisiklik, amiodaron Kemoterapi Cardiopulmonary bypass Trauma kepala

Aspirasi asam lambung TB milliar Emboli karen pembekuan darah,

lemak, udara, atau cairan amnion Radang paru difus / luas Obstruksi saluran nafas atas Asap rokok yang mengandung kokain Near-drowning Keracunan oksigen, nitrogen diosida,

chlorine, sulfur dioksida, amonia, asap.

Trauma paru Lung reexpansion or reperfusion

II.3.4 Patogenesis

ALI / ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel

mikrovaskular. Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung.

Kedua hal tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi dalam tiga fase yang

dapat dijumpai secara tumpang tindih: inisiasi, amplifikasi, dan injury (Amin dan

Purwoto, 2014).

Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor resiko akan menyebabkan sel – sel

imun dan non – imun melepaskan mediator – mediator dan modulator – modulator

inflamasi di dalam paru dan ke sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor seperti

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 31

Page 32: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

netrofil teraktivasi, tertarik dan tertahan di dalam paru. Di dalam organ target

tersebut mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan protease,

yang secara langsung merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya. Fase

ini disebut fase injury (Amin dan Purwoto, 2014).

Kerusakan pada membrane alveolar – kapiler menyebabkan peningkatan

permeabilitas membran, dan aliran cairan yang kaya protein masuk ke ruang alveolar.

Cairan dan protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi

kerusakan lebih jauh. Terdapat tiga fase kerusakan alveolus (Amin dan Purwoto,

2014):

1. Fase eksudatif : ditandai edema interstitial dan alveolar, nekrosis sel

pneumosit tipe I dan denudasi / terlepasnya membran basalis, pembengkakan

sel endotel dengan pelebaran intercellular junction, terbentuknya membran

hialin pada duktus alveolar dan ruang udara, dan inflamasi neutrofil. Juga

ditemukan hipertensi pulmoner dan berkurangnya compliance paru;

2. Fase proliferatif : paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai

proliferasi sel epitel pneumosit tipe II;

3. Fase fibrosis : kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.

II.3.5 Diagnosis

Onset akut umumnya ialah 3-5 hari sejak adanya diagnosis kondisi yang menjadi

faktor resiko ARDS. Tanda pertama ialah takipnea, retraksi intercostal, adanya ronki

basah kasar yang jelas. Dapat ditemui hipotensi, febris. Pada auskultasi ditemukan

ronki basah. Gambaran hipoksia/sianosis yang tak respon dengan pemberian oksigen.

A. Pemeriksaan Fisik

Temuan fisik sering tidak spesifik dan termasuk takipnea, takikardia, dan

kebutuhan tinggi akan oksigen terinspirasi (FiO2) untuk mempertahankan saturasi

oksigen. Pasien mungkin demam atau hipotermia. Karena ARDS sering terjadi

dalam konteks sepsis, hipotensi terkait dan vasokonstriksi perifer dengan

ekstremitas dingin mungkin ada. Sianosis pada bibir dan kuku dapat terjadi.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 32

Page 33: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Pemeriksaan paru – paru dapat mengungkapkan adanya ronki basah kasar (rales)

bilateral (Amin dan Purwoto, 2014).

Manifestasi dari penyebab yang mendasari misalnya, temuan nyeri perut

akut dalam kasus ARDS disebabkan oleh pankreatitis. Pada pasien septik tanpa

sumber yang jelas, perhatikan selama pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi

penyebab potensial dari sepsis, termasuk tanda-tanda konsolidasi paru-paru atau

temuan konsisten dengan abdomen akut. Bedakan edema paru kardiogenik dan

ARDS, hati-hati mencari tanda-tanda gagal jantung kongestif atau kelebihan beban

volume intravaskular, termasuk distensi vena jugularis, murmur jantung dan

gallop, hepatomegali, dan edema.

B. Pemeriksaan Penunjang

Dalam ARDS, jika tekanan parsial oksigen dalam darah arteri pasien (PaO2)

dibagi oleh fraksi oksigen dalam udara inspirasi (FiO2), hasilnya adalah 200 atau

kurang. Untuk pasien bernafas oksigen 100%, ini berarti bahwa PaO2 kurang dari

200. Pada cedera paru akut (ALI), rasio PaO2/FIO2 kurang dari 300. Pemeriksaan

penunjang untuk ARDS (Amin dan Purwoto, 2014). :

1. Laboratorium

a. Analisis gas darah : hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena

hiperventilasi), hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut). Alkalosis

respiratorik pada awal proses, akan berganti menjadi asidosis respiratorik.

b. Leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi

sistemik dan injuri endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis).

c. Gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi intravaskular diseminata

(sebagai bagian dari MODS / multiple organ dysfunction syndrome).

d. Sitokin – sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8, yang meningkat

dalam serum pasien pada risiko ARDS

2. Pencitraan

a. Foto dada : pada awal proses, dapat ditemukan lapangan paru yang relatif

jernih, kemudian tampak bayangan radioopak difus dan tidak terpengaruh

gravitasi, tanpa gambaran kongesti jantung.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 33

Page 34: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

II.3.6 Perjalanan Penyakit

ARDS muncul sebagai respon terhadap berbagai trauma dan penyakit yang

mempengaruhi paru secara langsung ( seperti aspirasi isi lambung, pneumonia berta

dan kontusi paru) atau secara tidak langsung ( sepsis sistemik, trauma berat,

pankreatitis). Dalam 12 – 48 jam setelah kejadian awal pasien mengalami distress

pernapasan dengan perburukan sesak napas dan takipneu. Pemeriksaan gas darah

arteri menunjukkan hipoksemia yang tidak respon terhadap oksigen melalui nasal.

Infiltrat difus bilateral terlihat pada rontgen tanpa disertai gambaran edema paru

kardiogenik. ARDS merupakan bentuk acute lung injury yang paling berat dan

dicirikan oleh :

1. Riwayat trauma atau penyeakit yang menjadi inisiator

2. Hipoksemia refrakter terhadap terapi oksigen. Pada ARDS PO2/FiO2 <26

kPa (200mmHg)

3. Infiltrat difus bilateral pada rontgen toraks

4. Tidak ada bukti edem paru kardiogenik

II.3.7 Tatalaksana

1. Ambil alih fungsi pernapasan dengan ventilator mekanik.

Prinsip pengaturan ventilator untuk pasien ARDS meliputi:

Volume tidal rendah (4-6 mL/kgBB).

Positive end expiratory pressure (PEEP) yang adekuat, untuk memberikan

oksigenasi adekuat (PaO2 > 60 mmHg) dengan tingkat FiO2 aman.

Menghindari barotrauma (tekanan saluran napas <35cmH2O atau di bawah

titik refleksi dari kurva pressure-volume).

Menyesuaikan rasio I:E (lebih tinggi atau kebalikan rasio waktu inspirasi

terhadap ekspirasi dan hiperkapnia yang diperbolehkan).

2. Obat – obatan :

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 34

Page 35: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

a. Kortikosteroid pada pasien dengan fase lanjut ARDS / ALI atau fase

fibroproliferatif, yaitu pasien dengan hipoksemia berat yang persisten, pada

atau sekitar hari ketujuh ARDS..

b. Inhalasi nitric oxide (NO) memberi efek vasodilatasi selektif pada area paru

yang terdistribusi, sehingga menurunkan pirau intrapulmoner dan tekanan

arteri pulmoner, memperbaiki V/Q matching dan oksigenasi arterial. Diberikan

hanya pada pasien dengan hipoksia berat dengan refrakter (Amin dan

Purwoto, 2014).

3. Posisi pasien : posisi telungkup meningkatkan oksigenasi, tetapi tidak mengubah

mortalitas. Perhatian terutama saat merubah posisi telentang ke telungkup, dan

mencegah dekubitus pada area yang menumpu beban.

4. Cairan : pemberian cairan harus menghitung keseimbangan antara :

a. Kebutuhan perfusi organ yang optimal

b. Masalah ekstravasasi cairan ke paru dan jaringan : peningkatan tekanan

hidrostatik intravaskular mendorong akumulasi cairan di alveolus.

Fokus utama ialah mempertahankan perfusi yang adekuat tanpa mengorbankan

oksigenasi. Restriksi cairan paling baik dimonitor dengan kateter arteri pulmonal, dan

cairan dipertahankan pada level dimana tekanan hidrostatik intravaskular terendah,

tetapi curah jantung adekuat. Tetapi hal ini tidak terbukti memperbaiki hasil

pengobatan.

II.3.8 Komplikasi

Multiorgan dysfunction syndrome (MODS)

Pneumonia nosokomial

Barotraumas, pneumotoraks

Trauma laring

Trakeomalasia

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 35

Page 36: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Fistula trakeo – esophageal

Kematian

II.3.9 Prognosis

Mortalitas sekitar 40%. Prognosis dipengaruhi oleh :

a. Faktor resiko, ada tidaknya sepsis, pasca trauma, dan lain – lain

b. Penyakit dasar

c. Adanya keganasan

d. Adanya atau timbulnya disfungsi organ multipel

e. Usia

f. Ada atau tidaknya perbaikan dalam indeks pertukaran gas, seperti rasio PaO2

/ FIO2 dalam 3-7 hari pertama.

Pasien yang membaik akan mengalami pemulihan fungsi paru dalam 3 bulan dan

mencapai fungsi maksimum yang dapat dicapai pada bulan keenam setelah

ekstubasi. 50% pasien tetap memiliki abnormalitas, termasuk gangguan restriksi dan

penurunan kapasitas difusi. Juga terjadi penurunan kualitas hidup.

II.4 Status Asmatikus

II.4.1 Definisi

Status asmatikus adalah suatu serangan eksaserbasi akut asma yang tidak

responsif dengan pengobatan asma pada umumnya yaitu dengan pemberian nebulasi

β-agonis (bronkodilator) sebanyak 3 kali tetapi tidak memberikan respon yang baik.

Serangan pada status asmatikus dapat terjadi dari yang ringan sampai yang berat

tergantung dari tingkat obstruksi pada bronkus yang disebabkan oleh

bronkokonstriksi, sekresi mukus dan inflamasi pada saluran pernapasan. Semuanya itu

dapat menyebabkan gejala berupa sesak napas, retensi dari CO2, hipoksemia dan

kegagalan pernapasan (Surjanto,et all, 2008). Asma adalah suatu inflamasi kronik pada

saluran pernapasan pada paru yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada bronkus

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 36

Page 37: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

secara episodik, bersifat reversible, umumnya berlangsung selama beberapa menit

sampai jam dan secara klinis dapat pulih secara normal.

II.4.2 Klasifikasi

Tabel 7. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan gambaran klinis (PDPI, 2006)

Derajat Asma Gejala Gejala malam Faal paruIntermitten(Bulanan)

o Gejala < 1x/ mingguo Tanpa gejala di luar

serangano Serangan singkat

o ≤ 2 kali sebulan o VEP1 ≥ 80 % nilai prediksi

o APE ≥80 % nilai terbaiko Variabilitas APE < 20 %

Persisten ringan(mingguan)

o Gejala > 1x / minggu, tetapi < 1x/ hari

o Serangan dapato Mengganggu aktivitas

dan tidur

o > 2x sebulan o VEP1 ≥ 80 % nilai prediksi

o APE ≥80 % nilai terbaiko Variabilitas APE 20 -

30%Persisten sedang(harian)

o Gejala setiap hario Serangan mengganggu

aktivitas dan tiduro Membutuhkan

bronkodilator setiap hari

o > 1x seminggu o VEP1 60 - 80 % nilai prediksi

o APE 60 - 80 % nilai terbaik

o Variabilitas APE >30 %

Persisten berat(kontinyu)

o Gejala terus meneruso Sering kambuho Aktivitas fisik terbatas

o Sering o VEP1 ≤60 % nilai prediksi

o APE ≤ 60 % nilai terbaiko Variabilitas APE >30%

II.4.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemilihan jenis pemeriksaan tergantung dari data riwayat penyakit dan kondisi pasien

(Surjanto,et all, 2008).

1. Pulse oximetry memberikan evaluasi saturasi oksigen, yang sangat penting karena

penyebab kematian utama pada status asmatikus adalah hipoksia. Keuntungan

penggunaan pulse oximetry adalah ia mudah didapatkan, tidak invasive,

menunjukkan monitoring yang berterusan, dan merupakan indikator yang baik

untuk hipoksemia akibat gangguan ventilasi/perfusi mismatch.

2. Pengukuran elektrolit serum adalah sangat penting, terutama untuk memonitor

kadar kalium serum. Obatan yang digunakan untuk mengobati status asmatikus

bisa menyebabkan hipokalemia. Nilai pH yang rendah bisa menyebabkan

peningkatan transien dari kalium.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 37

Page 38: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

3. Pemeriksaan analisa gas darah untuk mengukur kadar oksigen dan karbondioksida

didalam darah yang mengindikasikan terjadinya hipoksia dan hipoksemia. Serta

untuk mengetahui apakah telah terjadi asidosis atau alkalosis dengan mengukur

Ph dan HCO3-.

4. Pemeriksaan darah lengkap, bisa mengindikasikan ada infeksi bakteria; tapi

dengan penggunaan beta-agonis dan kortikosteroid bisa mengubah komposisi

dari sel darah putih dengan meningkatkan hitung sel darah putih perifer.

5. Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi ,menilai hasil

provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan, dan mengikuti perjalanan penyakit.

Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah aliran puncak ekspirasi

(APE), Volume kapasitas paksa (FVC), Volume ekspirasi selama 1 detik (VEP1).

Memonitor peak flow merupakan suatu pengukuran objektif terhadap obstruksi

saluran pernafasan pada anak yang cukup berusia dan kooperatif, dan bisa

mentolerir pemeriksaan ini tanpa memperparah penyakit yang dideritainya

(Rogayah, 2005).

6. Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis diragukan. Tujuannya untuk

menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus. Dapat dilakukan dengan histamine,

metakolin, beban lari, udara dingin, uap air, allergen. Hipereaktivitas bronkus

positif aliran puncak ekspirasi (APE), Volume ekspirasi selama 1 detik (VEP1)

menurun > 15% dari nilai uji provokasi sebelumnya dan setelah diberi

bronkodilator nilai normal akan tercapai lagi. Bila APE dan VEP1 sudah rendah dan

setelah diberi bronkodilator naik >15% berarti hipereaktivitas positif dan uji

provokasi tidak perlu dilakukan (Rogayah, 2005).

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Pemeriksaan foto thoraks diindikasikan pada anak-anak dengan presentasi yang

atipikal atau yang tidak berespon terhadap terapi. Pada anak-anak yang sudah

diketahui menderita asma, pemeriksaan foto thoraks dilakukan jika curiga menderita

pneumonia, pneumothoraks, pseudomediastinum atau atelektasis yang signifikan.

II.4.4 PenatalaksanaanKepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 38

Page 39: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Penanggulangan status asmatikus (Rogayah, 2005)

1. Infus RL : D5 = 3: 1 dengan tetesan sesuai kebutuhan rehidrasi.

2. Oksigen 2 – 4 l/m melalui kanul nasal.

3. Aminofilin bolus 5-6 mg / kgBB i.v pelan selama 20-30 menit dilanjutkan

maintenance 20 mg/kgBB/hari diberikan secara drip.

4. Terbutalin 0,25 mg / 6 jam subkutan atau I.V. atau orciprenalin 0,25 mg / 6 jam

subcutan atau I.V. pelan (penelitian terakhir tidak berbeda bermakna)

5. Hidrocortison sodium suksinat 4 mg / kgBB / 4 jam I.V ( 200 mg / 4 jam I.V. ) bisa juga

memakai dexamethason 20 mg / 6 jam I.V. selain itu dapat digunakan 160 mg

methilprednisolon dalam dosis terbagi 4 kali per hari, kortikosteroid diberikan

sampai membaik secara klinis dan laboratoris. Disamping parenteral diberikan juga

Prednison peroral 3 x 10 mg per hari sampai keadaan membaik diberhentikan secara

tappering off. Kortikosteroid yang sudah diberikan diteruskan pemberiannya, bila

belum harus diberikan. Kortikosteroid diberikan intravena, karena sangat diperlukan

untuk mempercepat hilangnya udem dan mengembalikan sensitivitas terhadap

bronkodilator.

6. Usaha pengenceran lendir dengan obat mukolitik perlu dipertimbangkan karena

biasanya pada keadaan seperti ini terdapat banyak lendir dan lengket di seluruh

cabang-cabang bronkus.

7. Antibiotik bila jelas ada infeksi. Oksitetrasiklin 2 x 100 mg I. M. atau Amoxillin /

Ampicillin 2 x 1 g I.V. atau golongan antibiotik yang sesuai dngan sumber infeksinya.

8. Menilai hasil tindakan dan terapi

Dengan keadaan klinis ( scoring) dan secara laboratoris yaitu pemeriksaan faal paru,

analisa gas darah , elektrolit, leukosit dan eosinofil serta monitoring EKG & foto

rontgen

Tindak lanjut bila terjadi kegagalan terapi

a. Asidosis respiratorik

Ventilasi diperbaiki

Pemberian Na Bikarbonat

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 39

Page 40: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

b. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg )

Pemberian O2 4- 6 L/m dengan ventilasi mask

c. Gagal napas akut

alat bantu napas ( ventilator mekanik ),syarat :

apneu

kenaikan PaCO2 > 5 mmHg / jam disertai asidosis . respiratorik akut

Nilai absolut PaCO2 > 50 mmHg disertai asidosis . respiratorik akut

Hipoksia refrakter walau sudah diberi O2

II.4.5 Prognosis

Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir

menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang

jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di

pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.

Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik

ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan

timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun

setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan

tetapi persentase anak yang menderitaringan dan timbul pada masa kanak-kanak.

Jumlah anak yang menderita asma penyakit yang berat relatif berat (6 –19%). Secara

keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21

tahun asmanya sudah menghilang. Prognosis pada pasien dengan status asmatikus

pada umumnya baik apabila dilakukan penanganan yang tepat dan cepat Surjanto, et

all, 2008).

II.5 Pneumothoraks

II.5.1 Definisi

Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura

yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (Bowman, et all, 2011).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 40

Page 41: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Gambar 2. Pneumothoraks

II.5.2 Klasifikasi

Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu

(Sudoyo, et all, 2006) :

1. Pneumotoraks spontan

Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe

ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :

a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara

tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.

b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi

dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki

sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis

(PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.

2. Pneumotoraks traumatik,

Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma

penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada

maupun paru. Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam

dua jenis, yaitu :

a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang

terjadi karena kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,

barotrauma.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 41

Page 42: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi

akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih

dibedakan menjadi dua, yaitu :

Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental

Pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena

kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada

parasentesis dada, biopsi pleura.

Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)

Pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisikan

udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan

untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan tuberkulosis

sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.

Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke dalam

tiga jenis, yaitu (Alsagaff, et all, 2009) :

1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)

Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada

dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di

dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah

menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi

tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,

meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi

gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.

2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),

Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura

dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka

pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara

luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan

tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan

pernapasan (Alsagaff, et all, 2009).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 42

Page 43: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi

tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam

keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi

dinding dada yang terluka (sucking wound) (Sudoyo, et all, 2006).

3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)

Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin

lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat

ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta

percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang

terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar (4).

Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi

tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat

menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas (Sudoyo, et all, 2006).

Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (Alsagaff, et all, 2009) :

1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil

paru (< 50% volume paru).

2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru

(> 50% volume paru).

II.5.3 Gejala Klinis

Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah (Sudoyo, et all,

2006) :

1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak

dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas

tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.

2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada

sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak

pernapasan.

3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.

4. Denyut jantung meningkat.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 43

Page 44: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.

6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya

pada jenis pneumotoraks spontan primer.

Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks tersebut

(Sudoyo, et all, 2006):

1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat

2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih berat

3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang lain

serta ada tidaknya jalan napas.

4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi bila

penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil

disebabkan pengisian yang kurang.

II.5.4 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (Bowman, et all, 2011) :

1. Inspeksi :

a. Terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiperekspansi dinding dada)

b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal

c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat

2. Palpasi :

a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar

b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat

c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit

3. Perkusi :

a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak

menggetar

b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan

intrapleura tinggi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 44

Page 45: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

4. Auskultasi :

a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang

b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif

II.5.5 Pemeriksaan Penunjang

1. Foto Röntgen

Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks

antara lain (Malueka, et all, 2007):

a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan

tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps

tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus

paru.

b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque

yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang

luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan

sesak napas yang dikeluhkan.

c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium

intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila

ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat,

kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan

intra pleura yang tinggi.

d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan

sebagai berikut (Bowman, et all, 2011):

Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi

jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila

pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang

dihasilkan akan terjebak di mediastinum.

Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah

kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari

pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 45

Page 46: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu

daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang

mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak

cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan

sampai ke daerah dada depan dan belakang.

Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak

permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

2. Analisa Gas Darah

Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun

pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal

napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.

3. CT-scan thorax

CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa

dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan

ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer

dan sekunder.

II.5.6 Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara

dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada

prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :

1. Observasi dan Pemberian O2

Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah

menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan

diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan

O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-

24 jam pertama selama 2 hari (Sudoyo, et all, 2006).. Tindakan ini terutama

ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka.

2. Tindakan dekompresi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 46

Page 47: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks

yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi

tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan

udara luar dengan cara (Sudoyo, et all, 2006) :

a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,

dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah

menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.

b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :

Dapat memakai infus set

Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura,

kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan

dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka,

akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang

berada di dalam botol (Alsagaff, et all, 2009).

Jarum abbocath

Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum

dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di

dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut

dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan

pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol

yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak

gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di

dalam botol.

Pipa water sealed drainage (WSD)

Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura

dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit.

Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat

dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris

atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela

iga ke-2 di garis mid klavikula.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 47

Page 48: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke

rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter

toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung

kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan

melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di

botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya

gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan

tekanan tersebut.

Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura

tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan

negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat

mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan

tekanan intra pleura sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut

dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit

atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura

kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan

WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal

(Sudoyo, et all, 2006).

3. Torakoskopi

Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan

alat bantu torakoskop.

4. Tindakan bedah (Alsagaff, et all, 2009)

a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari

lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit

b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang

menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan

dekortikasi.

c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau

terdapat fistel dari paru yang rusak

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 48

Page 49: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian

kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.

A. Pengobatan Tambahan

1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan

terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT,

terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan

bronkodilator.

2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.

3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat

dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema.

B. Rehabilitasi

1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan

secara tepat untuk penyakit dasarnya.

2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin

terlalu keras.

3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan

ringan.

4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk,

sesak napas.

II.6 Emboli Paru

II.6.1 Definisi

Emboli paru merupakan satu dari banyak penyakit pada vaskuler paru. Emboli

paru dapat terjadi karena substansi yang tidak larut masuk ke dalam vena sistemik,

terbawa aliran darah dan menyumbat di pembuluh darah pulmoner (Kusmana, et all,

2003). Secara terminologi, emboli paru atau lebih tepatnya tromboemboli paru

merupakan suatu trombus atau multipel trombus dari sirkulasi sistemik, masuk ke

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 49

Page 50: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

sirkulasi paru sehingga menyumbat satu atau lebih arteri pulmonalis di bronkus

(Sunu,2006).

II.6.2 Patofisiologi

Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat suatu postulat bahwa ada tiga faktor

yang dapat menimbulkan suatu keadaan koagulasi intravaskuler, yaitu:

1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah

2. Hiperkoagulobilitas darah (blood hypercoagulability)

3. Statis vena (Fedullo, 2005).

Trauma lokal pada pembuluh darah dapat terjadi oleh karena cedera pada dinding

pembuluh darah, kerusakan endotel vaskuler khususnya dikarenakan tromboflebitis

sebelumnya. Sedangkan keadaan hiperkoagubilitas darah dapat disebabkan oleh

terapi obat-obat tertentu termasuk kontrasepsi oral, hormone replacement theraphy

dan steroid. Di samping itu masih ada sejumlah faktor genetik yang menjadi faktor

predisposisi suatu thrombosis. Sementara statis vena dapat terjadi akibat immobilisasi

yang berkepanjangan atau katup vena yang inkompeten yang dimungkinkan terjadi

oleh proses tromboemboli sebelumnya (Goldhaber, 2005).

Bila trombi vena terlepas dari tempat terbentuknya, emboli ini akan mengikuti

aliran system vena yang seterusnya akan memasuki sirkulasi arteri pulmonalis. Jika

emboli ini cukup besar, akan dapat menempati bifurkasio arteri pulmonalis dan

membentuk saddle embolus. Tidak jarang pembuluh darah paru tersumbat karenanya.

Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang akan

melepaskan senyawa-senyawa vasokontriktor seperti serotonin, refleks vasokontriksi

arteri pulmonalis dan hipoksemia yang pada akhirnya akan menimbulkan hipertensi

arteri pulmonalis.

Peningkatan arteri pulmonalis yang tiba-tiba akan meningkatkan tekanan

ventrikel kanan dengan onsekuensi dilatasi dan disfungsi ventrikel kanan yang pada

gilirannya akan menimbulkan septum interventrikuler tertekan ke sisi kiri dengan

dampak terjadinya gangguan pengisian ventrikel dan penurunan distensi diastolic.

Dengan berkurangnya pengisian ventrikel kiri maka curah jantung sistemik (systemic

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 50

Page 51: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

cardiac output) akan menurun yang akan mengurangi perfusi koroner dan

menyebakan iskemia miokard.

Peninggian tekanan dinding ventrikel kanan yang diikuti oleh adanya emboli paru

massif akan menurunkan aliran koroner kanan dan menyebabkan kebutuhan oksigen

ventrikel kanan meningkat yang selanjutnya menimbulkan iskemia dan kardiogenik

shock. Siklus ini dapat menimbulkan infark ventrikel kanan, kolap sirkulasi dan

kematian (Fedullo, 2005).

Secara garis besar emboli paru akan memberikan efek patofisiologi berikut:

1. Peningkatan resistensi vaskuler paru yang disebabkan obstruksi,

neuropulmoral, atau baroreseptor arteri pulmonalis atau peningkatan

tekanan arteri pulmonalis

2. Pertukaran gas terganggu dikarenakan peningkatan ruang mati alveolar dari

dampak obstruksi vaskuler dab hipoksemia karena hipoventilasi alveolar,

rendahnya unit ventilasi-perfusi dan shunt dari kanan ke kiri dan juga

gangguan transfer karbonmonoksida

3. Hiperventilasi alveolar dikarenakan stimulasi refleks oleh iritasi reseptor

4. Peningkatan resistensi jalan nafas oleh karena bronkokontriksi

5. Berkurangnya compliance paru disebabkan oleh edema paru, perdarahan

paru dan hilangnya surfaktan (Sunu, 2006).

II.6.3 Tanda dan Gejala

Gejala yang sering dijumpai adalah sulit bernafas, nyeri dada yang memburuk saat

bernafas, batuk dan hemoptisis, dan palpitasi. Tanda klinis yang ditemukan berupa

hipoksia, stenosis, pleural friction rub, takipnea, dan takikardia. Dispnoe merupakan

gejala yang paling sering muncul, dan takipnue adalah tanda emboli paru yang paling

khas. Pada umumnya dispneu berat, sinkop, atau sianosis merupakan tanda utama

emboli paru yang mengancam nyawa. Nyeri pleuritik menunjukkan bahwa emboli

paru kecil dan terletak di arteri pulmonalis distal, berdekatan dengan garis pleura

(Goldhaber,2005).

EP yang tidak diobati dapat menimbulkan kolaps, kegagalan kerdiovaskuler, dan

mati mendadak. Emboli paru perlu dicurigai pada penderita hipotensi jika:

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 51

Page 52: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

1. Adanya bukti thrombosis vena atau faktor predisposisi emboli paru

2. Adanya bukti klinis akut kor pulmonale (gagal ventrikel kanan akut) seperti

distensi vena leher, gallop, pulsasi jantung kanan di dinding dada, takikardia,

atau takipneu

3.Adanya temuan ekokardiografis berupa gagal jantung kanan dengan

hipokinesis atau bukti EKG yang menunjukkan manifestasi akut kor pulmonal.,

iskemia ventrikel kanan (Goldhaber,2005).

Berikut adalah 6 sindroma klinis emboli paru akut dengan gambarannya menurut

Goldhaber

1. Emboli paru massif

Presentasi klinis : sesak nafas, sinkop dan sianosis dengan hipotensi arteri

sistemik persisten; khas >50 % obstruksi pada vaskular paru. Dapat dijumpai

disfungsi ventrikel kanan.

2. Emboli paru sedang sampai besar (submasif)

Presentasi Klinis : Tekanan darah sistemik masih normal, gambaran khas >30

persen defek pada perfungsi scan paru dengan tanda-tanda difsungsi

ventrikel kanan

3. Emboli Paru Kecil sampai sedang

Presentasi Klinis :Tekanan darah arteri sistemik yang normal tanpa disertasi

tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan

4. Infark Paru (Pulmonary Infarction)

Presentasi Klinis : nyeri pleuritik, hemoptisis, pleural friction rub, atau bukti

adanya konsolidasi paru, khasnya berupa emboli perifer yang kecil, jarang

disertai disfungsi ventrikel kanan

5. Emboli Paru Paradoksikal (Paradoxical Embolism)

Presentasi Klinis : kejadian emboli sistemik yang tiba-tiba seperti stroke,

jarang disertai disfungsi ventrikel kanan.

6. Emboli Nontrombus (Nonthrombotic Embolism)

Penyebab yang tersering berupa udara, lemak, fragmen tumor, atau cairan

amnion. Disfungsi ventrikel kanan jarang menyertai keadaan ini.11

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 52

Page 53: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

II.6.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Foto Toraks

Pembesaran arteri pulmonal yang semakin bertambah pada serial foto toraks

adalah tanda spesifik emboli paru. Pada foto thoraks pasien dengan emboli paru

dapat ditemukan gambaran normal sebanyak 14 %, dan dengan kelainan laian

yaitu atelektasis 68%, efusi pleura 48%, gambaran opak basal paru (Hampton’s

Hump sign) 35%, elevasi diafragma 24%, pelebaran arteri pulmonal 15%,

westermark’s sign 7%, cardiomegaly 7% dan edema paru 5 %. Pemeriksaan ini juga

bermanfaat untuk menyingkirkan keadaan lainya khususnya pneumothorax.

2. Analisa Gas Darah

Gambaran khas berupa menurunnya kadar pO2 yang dikarenakan shunting

akibat ventilasi yang berkurang. Secara simultan pCO2 dapat normal atau sedikit

menurun disebabkan oleh keadaan hiperventilasi. Bagaimanapun juga sensivitas

dan spesifitas analisa gas darah untuk penunjang diagnostic emboli paru relative

rendah.

3. D-dimer

Plasma D-dimer merupakan hasil degradasi produk yang dihasilkan oleh proses

fibrinolisis endogen yang dilepas dalam sirkulasi saat adanya bekuan. Pemeriksaan

ini merupakan skrinning yang bermanfaat dengan sentivitas yang tinggi (94%)

namun kurang spesifitas (45%). D-Dimer dapat meningkat pada beberapa keadaan

seperti recent MCI. Spesifitas D-dimer secara ELISA untuk memprediksi emboli

paru meningkat bila ratio D-dimer / Fibrinogen > 1000. Plasma D-dimer yang

normal dapat menyingkirkan diagnosis emboli paru.

4. Elektrokardiogram (EKG)

Perubahan EKG tidak dapat dipercaya dalam diagnosis emboli paru terutama

pada kasus yang ringan sampai sedang. Pada keadaan emboli paru massif dapat

terjadi perubahan EKG antara lain :

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 53

Page 54: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Pola S1Q3T3 , gelombang Q yang sempit diikuti T inverted di lead III, disetai

gelombang S di lead I menandakan perubahan posisi jantung yang dikarenakan

dilatasi atrium dan ventrikel kanan\

P Pulmonal

Right bundle branch block yang baru

Right ventricular stin idengan T iinverted di lead V1 sampai V4

5. Scanning Ventilasi-Perfusi

Pemeriksaan ini sudah menjadi uji diagnosis non invasive yang penting untuk

sangkaan emboli paru selama bertahun-tahun. Keterbatasan alat ini pada kasus

alergi konntras, insufisiensi ginjal, atau kehamilan. Pemeriksaan ini dilakukan

untuk melihat adanya mismatch antara ventilasi dan perfusi paru. Pada paru yang

normal, bahan tersebut akan terdistribusi ke seluruh lapangan paru. Hal ini

menunjukan ventilasi yang normal. Hal ini di bandingkan dengan perfusi, pada

emboli paru akan didaptkan bahwa bahan kontras yang diinjeksikan intra vena

tidak akan Nampak pada bagian distal dari emboli akibat oklusi.

6. Multislice Pulmonary Computed Tomography scanning

Tes ini sangat sensitive dan spesifik dalam mendiagnosis emboli paru dan dapat

dilakukan pada penderita yang tidak dapat menjalani pemeriksaan scanning

ventilasi-perfusi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberikan injeksi kontras

medium melalui vena perifer dan dapat mencapai arteri pulmonalis yang

selanjutnya memberikan visualisasi arteri pulmonal sampai ke cabang

segmentalnya.

7. Pulmonary Scintigraphy

Dengan menggunakan radioaktif technetium, ini merupakan suatu teknik yang

cukup sensitive untuk mendeteksi gangguan perfusi. Deficit perfusi dapat

dikarenakan oleh ketidakseimbangan aliran darah ke bagian paru atau disebabkan

masalah paru seperti efusi atau kollapsn paru. Untuk menambah spesifitasnya,

teknik ini selalu dikombinasi dengan Ventilation scan dengan menggunakan

radioaktif gas xenon. Gambaran yang menunjukkan non perfusi tapi adanya zona

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 54

Page 55: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

ventilasi menunjukkan emboli paru. Bagaimanapun juga pada penderita dengan

penyakit paru sebelumnya, nilai diagnostic pemeriksaan ini manjadi menurun.

8. Angiografi paru

Pemeriksaan ini merupakan baku emas (gold standard) dalam diagnostik

emboli paru. Namun teknik ini merupaan penyelidikan invasif yang cukup berisiko

terutama pada penderita yang sudah kritis. karenanya saat ini peran angiografi

paru sudah digantikan oleh multislice CT scan yang memiliki akurasi yang sama.

9. Magnetic Resonance Angiografi (MRA)

Alat ini memiliki sensitifitas dan spesifitas yang sama dengan CT angiografi,

bahkan dapat digunakan tanpa kontras sehingga aman untuk pasien dengan

gangguan ginjal. Namun alat ini tidak dianjurkan pada pasien gawat karena adanya

bahan metal seperti infuse peralatan bantun nafas,dll.

10. Ekokardiografi

Ekokardiografi transtoralak muncul sebagai alat diagnostic non invasive yang

berperan dalam menilai suatu pressure overload dari ventrikel kanan yang dapat

diakibatkan oleh emboli paru massif. Penderita emboli paru akut

menunjukkanpergerakan dinding segmental abnormal yang spesifik yang sering

disebut sebagai tanda McConnell, hipokinesis dinding disertai pergerakan apeks

ventrikel kanan yang masih normal. Dilatasi ventrikel kanan merupakan tanda

tidak langsung dari beban ventrikel kanan yang berlebihan.

Rasio pengukuran ventrikel kanan disbanding ventrikel kiri ≥ 1 pada

pengambilan gambar apical four chamber. Pada teknik pengambilan gambar

parastenal short axis akan terlihat septum interventrikuler menjadi datar dan

menyebabkan gambaran ekokardiografi D shape ventrikel kiri. Tanda lain dari

disfungsi ventrikel kanan adalah regugitrasi tricuspid dengan kecepatan ≥

2,6m/detik dan dilatasi vena kava inferior.

II.6.5 Diagnosis Banding

Diagnose banding emboli paru secara klinis yaitu:

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 55

Page 56: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Pneumonia

Asma bronchiale

Penyakit paru obstruktif menahun eksaserbasi

Edema paru

Pneumothorak

Tension Pneumothoraks

II.6.6 Diagnosis

Diagnosis emboli paru ternyata lebih sulit dibandingkan dengan pengobatan dan

pencegahannya. Pendekatan diagnostic non invasive, khususnya pemeriksaan D-

dimer, ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), CT-scan dan ultrosonografi vena

saat ini semakin meningkatan nilai kepercayaan dalam menegakkan diagnosis emboli

paru. Bagaimanapun juga, di samping adanya kemajuan teknologi diagnosis, ternyata

emboli paru yang besar selalu tidak terdiagnosis dan hanya dijumpai saat autopsi

II.6.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan emboli paru mencakup terapi yang bersifat umum dan khusus

(Kusmana, 2003). Tatalaksana yang umum antara lain:

1. Tirah baring di ruang intensif\

2. Pemberian oksigen 2-4 l/menit

3. Pemasangan jalur intravena untuk pemberian cairan

4. Pemantauan tekanan darah

5. Stocking pressure gradient (30-40 mmHg, bila tidak ditoleransi gunakan 20-30

mmHg)

Tatalaksana khusus antara lain:

1. Trombolitik : diindikasikan untuk emboli paru massif dan sub massif

Sediaan yang diberikan:

Streptokinase 1,5 juta dalam 1 jam

rt-PA (alteplase) 100 mg intravena dalam 2 jam

Urokinase 4400/kg/jam dalam 12 jam

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 56

Page 57: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Dilanjutkan dengan unfractionated heparin/low molecular weight heparin

selama 5 hari

2. Ventilator mekanik diperlukan pada emboli paru massif

3. Heparinisasi sebagai pilihan pada emboli paru non massif / non sub massif

4. Anti inflamasi nonsteroid bila tidak ada komplikasi pendarahan

5. Embolektomi dilakukan bila ada kontraindikasi heparinisasi / trombolitik pada

emboli paru massif dan sub massif

6. Pemasangan filter vena cava dilakukan bila ada perdarahan yang memerlukan

tranfusi emboli paru berulang meskipun telah menggunakan antikoagulan

jangka panjang

Penggunaan trombolitik pada emboli paru masih menjadi perdebatan karena

masih sedikitnya uji klinis. Namun ada suatu konsesus yang merekomendasikan

penggunaanya pada kasus emboli paru massif tetapi kontroversi timbul dikarenakan

kebanyakan penderita yang akan di trombolitik memiliki disfungsi ventrikel kanan

yang berat. Food and Drug Administration (FDA) telah merekomendasian penggunaan

t-PA (alteplase) 100 mg diberikan perinfus selama 2 jam pada kasus emboli paru

massif (Piazza dan Goldhaber, 2006).

Dari data The International Cooperative Pulmonary Embolism Registry (ICOPER)

menunjukkan bahwa fibrinolitik tidak menurunkan angka kematian atau kekambuhan

emboli paru pada 90 hari. Sementara pada emboli paru submassif, The Management

Strategies and Prognosis of Pulmonary Embolism-3 Trial (MAPPET-3) menunjukkan

bahwa terjadi penurunan penggunaan terapi ekskalasi diantara penderita yang

mendapat alteplase (Piazza dan Goldhaber, 2006).

Penderita emboli paru massif atau submassif dengan kontraindikasi fibrinolitik,

maka embolektomi akan menjadi pilihan terapi. Indikasi embolektomi secara

pembedahan lainnya mencakup emboli paradoks (paradoxical emboli), emboli yang

menetap pada jantung kanan (persistent right heart thrombi), ketidakseimbangan

hemodinamik atau respiratorik yang memerlukan resusitasi kardiopulmoner (Piazza

dan Goldhaber, 2006).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 57

Page 58: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Embolektomi pulmoner dengan teknik kateterisasi (catheter-based pulmonary

embolectomy) saat ini berkembang menjadi terapi primer pilihan pada emboli paru

akut. Teknik ini diindikasikan bila fibrinolisis dan embolektomi pembedahan

merupakan kontraindikasi. Pada umumnya, embolektomi dengan kateterisasi akan

berhasil jika dilakukan pada fresh thrombus dalam kurun waktu 5 hari sejak ditemukan

gejala (Piazza dan Goldhaber, 2006).

Pemberian antikoagulan merupakan komponen utama dalam penatalaksanaan

emboli paru. Low-moleculer weight heparin (LMWH) seperti enoxaparin nyata-nyata

memberikan efek yang aman dan efektif dibandingkan dengan unfractionated heparin

intravena. Keuntungan LMWH dibandingkan dengan heparin antara lain LMWH

memiliki dosis yang lebih sesuai dan cukup respons, tidak perlu monitoring, tidak

memerlukan penyesuaian dosis, insidensi trombositopenia lebih kecil, tidak dapat

menyebabkan perdarahan berlebihan dan dapat dilakukan pasien sendiri di rumah

sehingga memperpendek masa rawatan (Piazza dan Goldhaber, 2006).

Antagonis vitamin K oral seperti walfarin masih tetap menjadi pilihan sebagai

antikoagulan oral pada kasus-kasus tromboemboli vena dengan target INR

(International Normalized Ratio) 2,0 sampai 3,0. Penggunaan optimal antikoagulan

bergantung pada risiko terjadinya kekambuhan tromboemboli. Beberapa studi

merekomendasikan penggunaan antikoagulasi tanpa bata waktu pada tromboemboli

idiopatik.

Saat ini telah berkrmbang teknik filter vena cava inferior (Inferior Vena Cava Filter)

yang prosedurnya dilakukan melalui vena jugularis interna atau vena femoralis yang

dengan panduan flouroskopi dimasukkan sampai ke vena cava inferior. Indikasi

pemasanagan ini adalah:

a. Penderita dengan risiko tinggi thrombosis vena dalam proksimal yang mana

antikoagulasi merupakan kontra indikasi

b. Tromboemboli vena yang rekuren walaupun dengan antikoagulasi

c. Tomboemboli vena rekuren ronis dengan hipertensi pulmonal

d. Dilakukan secara simultan bersamaan dengan operasi embolektomi atau

endarterectomy.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 58

Page 59: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z., Purwoto, J. (2014) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi VI, Jakarta :

InternaPublishing. Hal : 218-21, 223-25, 235-38

Alfred P.F. (2008) . Fishman’s PULMONARY DISEASES AND DISORDERS. 4thedition.

Philadelpia. Page 2509-2520. Grippi Michael. 2008. Respiratory Failure: An Overview.

The McGraw-Hill Companies

Allergy and asthma proceedings : the official journal of regional and state allergy

societies 33Suppl 1: pg S47-50

Alsagaff, H. (2009). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.

Amirullah, R. (2004). Gambaran dan Penatalaksanaan Batuk Darah di Biro Pulmonologi

RSMTH. Cermin Dunia Kedokteran No.33 : 30-32

Arief, N. (2009). Kegawatdaruratan Paru. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu

Kedokteran Respirasi FK UI.

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/27bdd48b1f564a5010f814f09f2373c0d

805736c.pdf. Diakses pada tanggal 25 Februari 2015

Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Available from

http://emedicine.medscape.com/article/827551

Fedullo PF: Pulmonary Embolism. Dalam:Robert AO, Valentin F,R.Wayne A, penyunting. The

Heart Manual of Cardiologi. Edisi ke-11. Boston:McGraw Hill, 2005.h.351-2

Goldhaber SZ, Elliot CG. Acute Pulmonary Embolism: Part II: Risk stratification, treatment,

and prevention. Circulation 2003;108:2834-2838

Goldhaber SZ: Pulmonary embolism. Dalam: Zipes, Libby, Bonow, Braunwald. Penyunting.

Braunwald’s heart disease, a textbook of cardiovascular medicine. Edisi ke-7.

Philadelphia: Elsevier saunders,2005.h.1789-06

Gunning, K.E.J. (2003). Patophysiology of Respiratory Failure and Indications for Respiratory

Support. The Medicine Publishing Company Ltd. 72-76

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 59

Page 60: referat kegawatdaruratan paru

Referat Kegawatdaruratan Paru

Guyton, Arthur C., Hall, John E., (2005). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, Jakarta : EGC

Kusmana D, dkk. Standar Pelayanan Medik RS. Jantung Pembuluh Darah Harapan Kita.Edisi

ke-2. Jakarta. 2003.h 209-11

Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press;

2007.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan di

Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.

Piazza G, Goldhaber SZ. Acute pulmonary embolism: Part II: Treatment and prophylaxis.

Circulation 2006;114:42-47

Pitoyo,C.W. (2006). Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,

Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II, edisi IV. Jakarta:Interna

Publishing. hal.294

Rogayah R. Penatalaksanaan asma bronkial prabedah. J Respir Indo2005;15:177-81

Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

Surjanto E, Hambali S, Subroto H. Pengobatan jalan untuk asma. J Respir Indo 2008

Sunu I.Emboli Paru: Pencegahan dan Tata Laksana Optimal Pasien Rawat Inap.Dalam:

Harimurti GM, dkk, penyunting. 18th Weekend Course on Cardiology, common soils in

atherosclerosis: The base for prevention and intervention Jakarta.2006.h.9-18

Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., dan Pradipta, E.A. (2014). Kapita Selekta Kedokteran Edisi

IV. Jakarta : Media Aesculapius.

UniversitasSumateraUtara.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23277/4/

Chapter%20II.pdf.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit DalamUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti SarosoPeriode 2 Februari – 11 April 2015 60