Referat THT

21
BAB 1 HIDUNG 1.1 ANATOMI HIDUNG. Hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan. Tulangnya: os nasale, bagian nasal os frontalis, prosesus frontalis os maxilla. Sedangkan tulang rawannya: cartilago septum nasi, cartilago ala nasi major, cartilago ala nasi minor, dan cartilago nasi lateralis. Hidung ke arah kaudal dibentuk dari tulang rawan, sehingga bisa digoyang-goyang. Hidungnya bentuknya seperti piramid. Di dalamnya ada rongga hidung, bisa masuk ke rongga hidung melalui lubang hidung (naris). Hidung ada dinding lateral dan medial. Ada atap dan lantai. Dinding medial hidung dibentuk tulang dan tulang rawan: dibentuk persatuan lamina perpendicularis ossis ethmoidalis dan di bawahnya os vomer, menyatu dengan cartilago septum nasi di depan. Tapi persatuannya tidak pernah tepat di tengah-tengah. Dasarnya: palatum durum dan palatum molle. Di rongga hidung ada bangunan yaitu konka nasalis. Terdapat tiga konka nasalis yaitu konka superior, konka

description

tht

Transcript of Referat THT

Page 1: Referat THT

BAB 1

HIDUNG

1.1 ANATOMI HIDUNG.

Hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan. Tulangnya: os nasale, bagian

nasal os frontalis, prosesus frontalis os maxilla. Sedangkan tulang rawannya: cartilago

septum nasi, cartilago ala nasi major, cartilago ala nasi minor, dan cartilago nasi

lateralis. Hidung ke arah kaudal dibentuk dari tulang rawan, sehingga bisa digoyang-

goyang.

Hidungnya bentuknya seperti piramid. Di dalamnya ada rongga hidung, bisa

masuk ke rongga hidung melalui lubang hidung (naris). Hidung ada dinding lateral

dan medial. Ada atap dan lantai. Dinding medial hidung dibentuk tulang dan tulang

rawan: dibentuk persatuan lamina perpendicularis ossis ethmoidalis dan di bawahnya

os vomer, menyatu dengan cartilago septum nasi di depan. Tapi persatuannya tidak

pernah tepat di tengah-tengah. Dasarnya: palatum durum dan palatum molle. 

Di rongga hidung ada bangunan yaitu konka nasalis. Terdapat tiga konka

nasalis yaitu konka superior, konka medius, dan konka inferior.Di bawah konka ada

lekukan yang diberi nama meatus nasi. Meatus nasi juga terdapat tiga sesuai dengan

letaknya di bawah setiap konka yaitu meatus superior, meatus medius dan meatus

inferior. Di meatus nasi bermuara sinus-sinus paranasalis. Dan yang di inferior

bermuara duktus nasolakrimalis

Page 2: Referat THT

1.2 VASKULARISASI HIDUNG.

Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis

anterior, arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri

sfenopalatina. Arteri etmoidalis anterior memperdarahi septum bagian superior

anterior dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior memperdarahi septum

bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina terbagi menjadi arteri nasales

posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi posterior yang

menyebar pada septum nasi.

Bagian  bawah  rongga   hidung   mendapat   pendarahan  dari  cabang

arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri

sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina

dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan

hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri

palatina mayor, yang disebut  pleksus Kiesselbach ( Little’s area ) yang letaknya

Page 3: Referat THT

superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

 Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika

superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

1.3 INERVASI HIDUNG

Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus

etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari

nervus oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat

persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.

Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga

memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini

menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), erabut parasimpatis dari

nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nerus petrosus

profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakan dan sedikit di atas ujung

posterior konka media.

Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina

kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel- sel

reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Page 4: Referat THT

BAB 2

EPISTAKSIS

2.1 PENDAHULUAN

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang merupakan keluhan atau

tanda bukan penyakit. Perdarahan yang terjadi adalah kelainan setempat atau penyakit

umum. Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping

perlu juga menemukan dan mengobati penyebab yang mendasarinya.

Epistaksis sering ditemukan sehari- hari dan hampir 90% dapat berhenti

dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh

pasien sendri dengan menekan hidungnya. Epistaksis berat walaupon jarang dijumpai,

dapat mengancam keselamatan jiwa pasien bahkan dapat berakibat fatal bila tidak

segera ditolong.

Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bahagian anterior

dan bahagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau

dari arteri ethmoidalis anterior sedangkan epistaksis posterior dapat berasal dari arteri

sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior.

Epistaksis biasanya terjadi secara tiba- tiba yang perdarahannya bisa banyak

atau bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu ke dokter.

Sebahagian darah keluar melalui hidung atau dimuntahkan kembali.

2.2 ETIOLOGI

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

1. Penyebab local :

a. Idopatik (85% kasus) biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada

anak dan remaja.

Page 5: Referat THT

b. Trauma ; epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengorek

hidung, bersin, mengeluarkan ingus dengan kuat, atau sebagai akibat trauma

yang hebat seperti terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas.

c. Iritasi ; epistaksis juga timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia,

udara panas pada mukosa hidung.

d. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan

udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.

e. Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral

disertai ingus yang berbau busuk.

f. Infeksi, misalnya pada rhinitis, sinusitis akut maupun kronis serta vestibulitis.

g. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal

maupun nasofaring.

h. Iatrogenic, akibat pembedahan atau pemakaian semprot hidung steroid jangka

lama.

2. Penyebab sistemik :

a. Penyakit kardiovaskular, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah,

seperti yang dijumpai pada arteriosclerosis, nefritis kronis, sirosis hepatic,

sifilis dan diabetes mellitus. Epistaksis juga dapat terjadi akibat peninggian

tekanan vena seperti pada emfisema, bronchitis, pertusis, pneumonia, tumor

leher dan penyakit jantung. Epistaksis juga dapat terjadi pada pasien yang

mendapat obat anti koagulan (aspirin, walfarin, dll).

b. Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili,

demam tifoid.

c. Kelainan endokrin misalnya pada kehamilan, menarche, menopause.

Page 6: Referat THT

d. Kelainan congenital, biasanya yang sering menimbulkan epistaksis

adalah hereditary haemorrhagic teleangiectasis atau penyakit Osler-Weber-

Rendu.

2.3 PATOFISIOLOGI

Terdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anterior dan posterior. Pada

epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering

terjadi dan biasanya pada anak-anak) yang merupakan anastomosis cabang arteri

ethmoidalis anterior, arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor dan arteri labialis

superior.

Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan

arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut

yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan

biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.

Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia, akibatnya dapat

timbul iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat

menimbulkan kematian. Oleh karena itu pemberian infuse dan tranfusi darah harus

cepat dilakukan.

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menilai keadaan umum penderita,

sehingga pengobatan dapat cepat dan untuk mencari etiologi. Pemeriksaan

laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi

hemostatis, uji faal hati dan faal ginjal. Jika diperlukan pemeriksaan radiologik

hidung, sinus paranasal dan nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut dapat

diatasi.

Page 7: Referat THT

2.5 PENATALAKSANAAN

Pertama-tama keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis

singkat sambil mempersiapkan alat, kemudian yang lengkap setelah perdarahan

berhenti untuk membantu menentukan sebab perdarahan.

Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat.

Hal-hal penting adalah sebagai berikut :

1. riwayat perdarahan sebelumnya

2. lokasi perdarahan

3. apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah

keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak

4. lama perdarahan dan frekuensinya

5. kecenderungan perdarahan

6. riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

7. hipertensi

8. diabetes mellitus

9. penyakit hati

10. gangguan anti koagulan

11. trauma hidung yang belum lama

12. obat-obatan misalnya aspirin, fenilbutazon (butazolidin).

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan

perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada

syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.

Dampak hilangnya darah harus ditentukan terlebih dahulu sebelum melakukan

usaha mencari sumber perdarahan dan menghentikannya. Walaupun sudah dihentikan,

Page 8: Referat THT

kemungkinan fatal untuk beberapa jam kemudian untuk seorang pasien tua yang

mengalami perdarahan banyak akibat efek kehilangan darahnya adalah lebih besar

jika dibanding dengan akibat perdarahan (yang terus berlangsung) itu sendiri.

Penilaian klinis termasuk pengukuran nadi dan tekanan darah akan menunjukkan

apakah pasien berada dalam keadaan syok. Bila ada tanda-tanda syok segera infus

plasma expander.

2.5.1 Menghentikan perdarahan.

Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan

tampon, lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis

berhenti dengan sendirinya.

Posisi penderita sangat penting, sering terjadi pasien dengan perdarahan

hidung harus dirawat dengan posisi tegak agar tekanan vena turun. Sedangkan kalau

sudah terlalu lemah, dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang

punggungnya, kecuali sudah dalam keadaan syok.

Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk membersihkan

hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan

adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2 % dimasukkan ke dalam rongga

hidung, untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada waktu

tindakan-tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara

ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau

posterior.

Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kiesselbach di septum

bagian depan. Perdarahan anterior terutama pada anak dapat coba dihentikan dengan

menekan hidung dari luar selama 10- 15 menit, tindakan ini walaupun terlihat

sederhana tetapi sering berhasil. Bila sumbernya terlihat, tempat asal perdarahan

Page 9: Referat THT

dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30%, atau dengan larutan Asam

Trikloroasetat 10%, atau dapat juga dengan elektrokauter.

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan

pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau

salep antibiotik. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon

tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut.

Tampon dimasukkan melalui nares anterior sebanyak 2-4 buah dan harus dapat

menekan tempat asal perdarahan. Tampon ini dapat dipertahankan selama 2x24 jam

dan harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.

Bila hanya memerlukan tampon hidung anterior dan tanpa adanya gangguan

medis primer, pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan diberitahu

untuk duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala sedikit ditinggikan

pada malam hari. Pasien tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.

Perdarahan posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan hebat dan

sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi

perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon

Bellocq.

Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter

kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi

dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior).

Untuk memasang tampon posterior ini kateter karet dimasukkan melalui kedua

nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Kedua

ujung kateter kemudian dikaitkan masing-masing pada 2 buah benang pada tampon

Bellocq, kemudian kateter itu ditarik kembali melalui hidung. Kedua ujung benang

yang sudah keluar melalui nares anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan jari

Page 10: Referat THT

telunjuk, tampon ini didorong ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak

perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior

ke dalam cavum nasi. Kedua benang yang keluar dari anres anterior itu kemudian

diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang

terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat di rongga mulut terikat

pada sisi lain dari tampon Bellocq, dilakatkan pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk

menarik tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari. Obat hemostatik diberikan

juga di samping tindakan penghentian perdarahan itu.

Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan

pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Arteri tersebut

antara lain arteri karotis interna, arteri maksilaris interna, arteri sfenopalatina dan

arteri etmoidalis posterior dan anterior.

2.6 MENCEGAH KOMPLIKASI.

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis sendiri atau

sebagai akibat usaha penanggulangan epistaksis.

Sebagai akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi syok dan anemia.

Turunnya tekanan darah mendadak dapat menimbulkan iskemia serebri, insufisiensi

koroner dan infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini

pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.

Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan

septikemia. Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan pada setiap

pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut, meskipun

akan dipasang tampon baru, bila masih ada perdarahan.

Page 11: Referat THT

Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum, sebagai akibat mengalirnya darah

melalui tuba Eustachius, dan air mata yang berdarah (bloody tears), sebagai akbat

mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis.

Laserasi palatum mole dan sudut bibir terjadi pada pemasangan tampon

posterior, disebabkan oleh benang yang keluar melalui mulut terlalu ketat dilakatkan

di pipi.

2.6.1 Mencegah epistaksis berulang

Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan

aktif, namun mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir.

Biasanya berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali.

Pemeriksaan hidung dalam keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluh-

pembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan sedikit bekuan darah.

Pembuluh tersebut dapat dikauterisasi secara kimia atau listrik. Penggunaan anestetik

topical dan agen vasokonstriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xilokain dengan

epinefrin, selanjutkan lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam

trikloroasetat 50% pada pembuluh tersebut.

Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi dengan

meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya

sendiri, atau dengan merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk menghilangkan

daerah-daerah atrofi setempat dan lokasi tegangan mukosa.

Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak

diketahui, dokter harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus paranasalis yang

mengikis pembuluh darah. Sinusitis kronik merupakan penyebab lain yang mungkin.

Akhirnya pemeriksa harus mencari gangguan patologik yang terletak jauh seperti

Page 12: Referat THT

penyakit ginjal dan uremia, atau penyakit sistemik seperti gangguan koagulasi. Agar

epistaksis tidak berulang, haruslah dicari dan diatasi etiologi dari epistaksis.

Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi

hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT- scan sinus

bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila

dicurigai ada kelainan sistemik.

Page 13: Referat THT

BAB 3

KESIMPULAN

Epistaksis atau perdarahan hidung sering ditemukan sehari-hari dan bukan

merupakan suatu penyakit, melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. Sebab lokal antara

lain : idiopati, trauma, infeksi hidung dan sinus paranasal, tumor, pengaruh

lingkungan, benda asing dan rinolit. Sebab sistemik yaitu penyakit kardiovaskular,

kelainan darah, infeksi sistemik, gangguan endokrin, kelainan congenital.

Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari Pleksus Kiesselbach (yang

paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak). Pada epistaksis posterior,

perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior, sering

terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau

penyakit kardiovaskuler dan perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan

perdarahan secara aktif seperti dengan cara kaustik dan pemasangan tampon,

mencegah komplikasi baik sebagai akibat langsung epistaksis atau akibat usaha

penanggulangan epistaksis dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok,

perbaiki dulu keadaan umum pasien.

Page 14: Referat THT

BAB 4

DAFTAR PUSTAKA

1. Nuty dan Endang, Epistaksis, dalam : Efianty, Nurbaiti, editor, Buku Ajar Ilmu

Kedokteran THT, Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta,

2002, 125-129

2. Peter A. Hilger, MD, Penyakit Hidung, dalam : Harjanto, Kuswidayati, editor,

BOIES, Buku Ajar Penyakit THT, EGC, Jakarta, 1997, 224-233

3. Mansjoer, Arif., et al (eds), Kapita Selekta Kedokteran ed.III, jilid 1, FKUI,

Media Aesculapius, Jakarta. 1999.pp; 96-99

4. Mark A. Graber dan Laura Beaty, Otolaringologi, dalam : Dewi, Susilawati,

editor, Buku Saku Kedokteran Keluarga University of IOWA, ed.3, EGC,

Jakarta, 2006, 745-747