referat tht revisi

download referat tht revisi

of 17

Transcript of referat tht revisi

Referat Abses Parafaring

Referat

Abses Parafaring

Disusun Oleh :

Fitri Meylani Andi Alfian

(0920221254) (1102007028)

FK UPN Veteran Jakarta FK Yarsi FK Yarsi FK Ukrida

Tengku Arsyfia (1102007276) Merylla Jane (112010083)

DEPARTEMEN ILMU THT RSPAD GATOT SOEBROTO JAKARTA 2011

i

Referat Abses Parafaring

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan referat yang berjudul Abses Parafaring untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Terima kasih juga kami ucapkan kepada seluruh pembimbing di Departemen Telinga, Hidung, dan Tenggorokkan (THT) RSPAD Gatot Subroto Jakarta yang telah membimbing dalam mengerjakan referat ini sehingga dapat diselesaikan tepat waktu. Referat ini bertujuan untuk mengetahui tentang kelainan dan mengenali tanda-tanda terjadinya abses parafaring secara lebih luas. Dengan referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penulis dan orang banyak yang membacanya terutama mengenai abses parafaring. Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami harapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan yang akan datang.

Jakarta, Juni 2011

Penyusun

ii

Referat Abses Parafaring

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................... i Daftar Isi ................................................................................................................... ii Daftar Gambar .......................................................................................................... iii BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2 Abses Parafaring .............................................................................................. 2 A. Definisi ....................................................................................................... 2 B. Epidemiologi .............................................................................................. 2 C. Anatomi ...................................................................................................... 2 D. Fisiologi ..................................................................................................... 4 E. Etiologi ....................................................................................................... 7 F. Patologi ....................................................................................................... 7 G. Gejala Klinis .............................................................................................. 7 H. Diagnosis .................................................................................................... 8 I. Penatalaksanaan ........................................................................................... 8 J. Komplikasi ................................................................................................. 9 BAB III. KESIMPULAN.......................................................................................... 10 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 11

iii

Referat Abses Parafaring

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Faring ....................................................................................... 9 Gambar 2. Anatomi Faring Potongan Sagital ........................................................... 11

iv

Referat Abses Parafaring

BAB I PENDAHULUAN

Abses parafaring salah satu dari abses leher dalam. Selain itu, terdapat juga abses peritonsil, abses parafaring, abses submandibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).1 Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah, dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan.

v

Referat Abses Parafaring

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Abses ParafaringA. Definisi Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang parafaring.

B. Epidemiologi Kasus abses parafaring jarang terjadi dibandingkan abses peritonsil, abses retrofaring, abses submandibula, dan ludovici angina. C. Anatomi Untuk keperluan klinis faring dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu nasofaring, orofaring, dan laringofaring/hipofaring (Gambar 1).

Gambar 1. Anatomi Faring4

vi

Referat Abses Parafaring

1. Nasofaring.

Nasofaring adalah sepertiga bagian atas dari faring yang terletak dibelakang rongga hidung, diatas palatum molle. Nasofaring merupakan bagian pernafasan dari faring dan tidak dapat bergerak kecuali palatum mole bagian bawah. Bila palatum molle diangkat dan dinding posterior faring ditarik kedepan, seperti waktu menelan, maka nasofaring tertutup dari orofaring. Superior: Dibentuk oleh corpus ossis sphenoidales dan pars basilaris os occipitalis. Pada submucosa daerah ini terdapat tonsila pharingeus. Inferior: Dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Anterior: Dibentuk oleh aperture nasalis posterior yang dipisahkan oleh pinggir posterior septum nasi. Posterior: Bagian posterior ditunjang oleh arcus anterior atlantis dan membentuk permukaan miring yang berhubungan dengan bagian superior. Lateral: Terdapat ostium(muara) tuba auditiva ke faring dan pinggir posterior tuba membentuk elevasi yang disebut elevasi tuba. Pada dinding belakang lateral elevasi tuba terdapat recessus pharingeus. Di belakang ostium tuba auditiva terdapat kumpulan jaringan limfoid submukosa yaitu tonsila tubaria.

2. Orofaring Bagian tengah faring disebut orofaring,meluas dari batas bawah palatum molle sampai permukaan lingual epiglottis. Pada bagian ini termasuk tonsila palatine dengan arkusnya dan tonsila lingualis yang terletak pada dasar lidah. Atap: dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus pharyngeus. Dasar: dibentuk oleh 1/3 posterior lidah dan celah antara lidah dan permukaan anterior epiglottis. Pada garis tengah terdapat plica glossoepiglotica mediana dan dua plica glossoepiglotica lateral. Lekukan kanan dan kiri plica glossoepiglotica mediana disebut vallecula. Anterior: terbuka kedalam rongga mulut melalui istmus oropharynk. Posterior: disokong oleh corpus vertebra cervikalis kedua dan bagian atas corpus vertebra cervical tiga. Pada kedua sisi lateral terdapat arcus palatopharingeus dengan tonsila palatine diantaranya.

vii

Referat Abses Parafaring

3. Laringofaring Bagian bawah faring, dikenal dengan hipofaring atau laringofaring, menunjukkan daerah jalan nafas bagian atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas.Terletak dibelakang aditus larynges dan permukaan posterior laring yang terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir posterior cartilage cricoid. Laringofaring mempunyai dinding anterior, posterior dan lateral. Anterior: dibentuk oleh aditus larynges dan permukaan posterior laring. Posterior: didukung oleh corpus vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima dan keenam. Lateral: didukung oleh cartilago thyroidea dan membran thyroidea. Terdapat fossa piriformis yang terletak di kanan kiri aditus laryngis. Fossa ini berjalan dari dorsum linguae menuju esofagus (Gambar 2).

Ruang parafaring (fosa faringo-maksila) Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os. Hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. Konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. Pterigoid interna dan enjar bagian posterior kelenjar parotis. Fosa inni dibagi menjadi dua bagian yang sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau pteroisitis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a. Karotis interna, v. Jugularis interna, n. Vagus, yang dibungkus dalam satu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.

viii

Referat Abses Parafaring

Gambar 2. Anatomi Faring Potongan Sagital1

Pendarahan Cabang arteri karotis eksterna (cabang faring asenden dan cabang fausial) serta cabang arteri maksila interna(cabang palatina superior) Persarafan Persarafan sensorik dan motorik faring berasal dari pleksus faring yang dibentuk oleh cabang faring dari nervus vagus, cabang dari nervus glosofaring, dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Pleksus faring mempersarafi otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring.

ix

Referat Abses Parafaring

D. Fisiologi 1. Faring Fungsi faring terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua transport makanan melalui faring, dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui esophagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah : pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum molle mendorong bolus ke orofaring. Otot suprahyoid berkontraksi, elevasi tulang hyoid dan laring, dan dengan demikian membuka hipofaring dan sinus piriformis.Secara bersamaan m. laryngis intrinsik berkontraksi dengan gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan ke bawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa melalui introitus esophagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltic dibantu oleh gaya berat, menggerakan makanan melalui esophagus dan masuk ke lambung.5 Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot otot palatum dan faring.Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum molle ke arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula mula otot salpingofaring dan otot palatofaring, kemudian otot levator veli palatine bersama sama otot konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring otot levator veli palatine menarik palatum molle ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan otot palatofaring (bersama otot salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif otot konstriktor faring suoerior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan.6 2. Laring5 Walaupun laring biasanya dianggap sebagai organ penghasil suara, tapi ternayata mempunyai tiga fungsi uatama, yaitu proteksi jalan napas, respirasi, dan fonasi.Kenyataannya, secara filogenetik, laring mula mula berkembang sebagai suatu sfingter yang melindungi saluran pernapasan, sementara perkembangan suara merupakan peristiwa yang terjadi belakangan. x

Referat Abses Parafaring

Pelindung jalan napas selama aksi menelan, dan terjadi melalui berbagai mekanisme yang berbeda. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja sfingter dari otot tiroaritenoideus dalam plika ariepiglotika dan korda vokalis palsu, di samping korda vokalis sejati dan aritenoid yang ditimbulkan oleh otot intrinsik laring lainnya.Elevasi laring di bawah pangkal lidah melindungi laring lebih lanjut dengan mendorong epiglottis dan plika ariepiglotika ke bawah menutup aditus.Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral, menjauhi aditus laringis dan masuk ke sinus piriformis, selanjutnya ke introitus esophagi. Relaksasi otot krikofaringeus yang terjadi bersamaan mempermudah jalan makanan melalui suatu refleks yang diperantarai reseptor pada mukosa daerah suoraglotis. Hal ini mencegah inhalasi makanan atau saliva. Pada bayi posisi laring yang lebih tinggi memungkinkan kontak antara epiglottis dengan permukaan posterior palatum molle, maka bayi bayi dapat bernapas selama laktasi tanpa masuknya makanan ke jalan napas. Selama respirasi, tekanan intratoraks dikendalikan oleh berbagai derajat penutupan korda vokalis sejati. Perubahan tekanan ini membantu system jantung seperti juga ia mempengaruhi pengisisan dan pengosongan jantung dan paru. Selain itu, bentuk korda vokalis palsu dan sejati memungkinkan laring berfungsi sebagai katub tekanan bila menutup, memungkinkan peningkatan tekanan intratorakal yang diperlukan untuk tindakan tindakan mengejan, misalnya mengangkat berat atau defekasi. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan ekspansi alveoli terminal dari paru dan membersihkan sekret atau partikel makanan yang berakhir dalam aditus laringis, selain semua mekanisme proteksi lain yang disebutkan di atas. Namun, pembentukan suara agaknya merupakan fungsi laring yang paling kompleks dan paling baik diteliti. Korda vokalis sejati yang terduksi, kini diduga berfungsi sebagai suatu alat bunyi pasif yang bergetar akibat udara yang dipaksa antara korda vokalis sebagai akibat kontraksi otot otot ekspirasi. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring (dan krikotiroideus) berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung ujung bebas korda vokalis sejati dan tegangan korda itu sendiri. Otot ekstralaring juga dapat ikut berperan. Semuanya ini dipantau melalui suatu mekanisme umpan balik yang terdiri dari telinga manusia dan suatu system dalam laring sendiri yang kurang dimengerti. xi

Referat Abses Parafaring

Sebaliknya, kekerasan suara pada hakekatnya proposional dengan tekanan aliran udara subglotis yang menimbulkan gerakan korda vokalis sejati. Di lain pihak, berbisik diduga terjadi akibat lolosnya udara melalui komisura posterior di antara aritenoid yang terabduksi tanpa getaran korda vokalis sejati.

3. Tonsil ` Tonsil dan adenoid adalah jaringan limfoid pada faring posterior di area cincin Waldeyer.Fungsinya adalah untuk melawan infeksi.7

E. Etiologi Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara : 1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang terkontaminasi kuman (aerob dan anaerob) menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fossa tonsilaris. 2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal,mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. 3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula. 8

F. Patologi Infeksi leher dalam merupakan selulitis flegmonosa dengan tanda-tanda setempat yang sangat mencolok atau menjadi tidak jelas karena tertutup jaringan yang melapisinya. Seringkali dimulai pada daerah prastiloid sebagai suatu selulitis, jika tidak diobati akan berkembang menjadi suatu thrombosis dari vena jugularis interna. Abses dapat mengikuti m. stiloglosus ke dasar mulut dimana terbentuk abses. Infeksi dapat menyebar dari anterior ke bagian posterior, dengan perluasan ke bawah sepanjang sarung pembuluh-pembuluh darah besar, disertai oleh trombosis v. jugularis atau suatu mediastinitis. Infeksi dari bagian posterior akan meluas ke atas sepanjang pembuluhpembuluh darah dan mengakibatkan infeksi intracranial atau erosi a. karotis interna.9

xii

Referat Abses Parafaring

G. Gejala Klinis Pada infeksi dalam ruang parafaring terdapat pembengkakan dengan nyeri tekan daerah submandibula terutama pada angulus mandibula, leukositosis dengan pergeseran ke kiri, dan adanya demam. Terlihat edema uvula, pilar tonsil, palatum dan pergeseran ke medial dinding lateral faring. Sebagai perbandingan pada abses peritonsil hanya tonsil yang terdorong ke medial. Pada rontgenogram lateral mungkin tampak pergeseran trakea ke arah anterior. Trismus yang disebabkan oleh menegangnya M. Pterigoid internus merupakan gejala menonjol, tetapi mungkin tidak terlihat jika infeksi jauh di dalam sampai prosesus stiloid dan struktur yang melekat padanya sehingga tidak mengenai M. Pterigoid internus.9

H. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala, dan tanda klinik. Bila meragukan dapat dilakukan pemerksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau CT scan.10

I. Penatalaksanaan Jika terdapat pus, tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah. Sebelumnya diperlukan istirahat di tempat tidur, kompres panas untuk menekan lokalisasi abses. Terapi antimikroba sangat perlu, akan lebih baik jika disesuaikan dengan tes sensitivitas, biakan, dan pewarnaan gram dari pus yang diambil. Insisi intraoral dilakukan jika timbul penonjolan ke dalam faring. Dilakukan anestesi sebelum tindakan dan dilanjutkan dengan insisi dan drainase. Insisi ekstranasal dilakukan jika suatu abses menonjol ke luar atau tampak pembengkakan yang jelas. Drainase dapat dilakukan melalui suatu insisi kecil pada daerah yang berfluktuasi atau diatas bagian yang paling menonjol dari pembengkakan. Suatu cunam melengkung dimasukkan ke dalam ruang abses tersebut, kemudian secara hatihati diperluas dengan merenggangkan cunam. Suatu insisi lain boleh dilakukan untuk menjaga drainase. Drain dipasang dan dijahit. Jika ditemukan suatu kavitas yang

xiii

Referat Abses Parafaring

besar, sekitar drain boleh dimasukan tampon longgar dengan kassa iodoform. Kassa dikeluarkan setelah 1-2 hari, sedangkan drain didiamkan selama kira-kira 1 minggu. Patokan yang harus diingat jika diperlukan suatu eksplorasi bedah adalah kartilago krikoid, ujung kornu mayor os hyoid, prosesus stiloid, tepi dalam M. Sternokleidomastoideus, dan bila perlu diseksi diteruskan ke venter posterior M. Digastrikus. Tehnik insisi yang dilakukan adalah sebagai berikut: Dibuat insisi pararel dengan korpus mandibula. Paparan tambahan diperoleh dengan membuat ekstensi vertikal ke atas walaupun secara kosmetik tidak bagus. Kelenjar submandibula akan terlihat. Setelah vena fasial diikat dan dipotong, bagian bawah dari kelenjar ditarik. Jari diselipkan di bawah kelenjar dan digerakkan ke belakang dan ke atas sampai ligamen stilomandibula teraba dibawah sudut rahang. Jari meraba ke atas sepanjang ligamen sampai prosesus stiloid teraba. Ruang parafaring ditemukan dengan menyelipkan jari ke bawah dan keluar prosesus stiloid sampai dasar tengkorak. Jika pada dasar mulut atau dasar lidah terdapat nanah, insisi dibuat di tengah tengah dasar fossa submaksila dan dapat diperluas ke depan atau belakang tergantung keperluan.9

J. Komplikasi Jika tidak dapat diatasi, mediastinum dapat terserang. Infeksi dapat menjalar terus ke bawah sepanjang sarung-sarung pembuluh darah besar, dengan perluasan dari ruang retrofaring melalui ruang prevertebra atau ruang visera untuk memasuki mediastinum.9 Komplikasi yang paling berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septik vena jugularis. Juga dapat terjadi perdarahan masif yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis intena. Komplikasi ini dapat memberi kesan dengan adanya perdarahan awal yang kecil (perdarahan tersamar). Jika diduga terjadi komplikasi ini dan rencana akan dibuat drainase dari abses maka identifikasi arteri karotis interna harus dilakukan. Dengan demikian jika terjadi perdarahan ketika dilakukan drainase abses maka dapat segera dilakukan ligasi arteri karotis interna atau arteri karotis komunis.8 Trombosis jugular telah ditemukan pada beberapa kasus. Pada edema laring diperlukan trakeostomi. Telah dilaporkan komplikasi berupa angina ludovici,

xiv

Referat Abses Parafaring

perdarahan, osteomielitis vertebra servikal dan mandibula, pneumonia, erisipelas, gangguan n.vagus, meningitis, abses, dan septikemia.9 BAB III KESIMPULAN

Abses parafaring terjadi dimana Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara : langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang terkontaminasi kuman (aerob dan anaerob) menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fossa tonsilaris. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal,mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula. Gejala yang dikeluhkan pasien yaitu nyeri tekan daerah submandibula terutama pada angulus mandibula, leukositosis dengan pergeseran ke kiri, dan adanya demam. Terlihat edema uvula, pilar tonsil, palatum dan pergeseran ke medial dinding lateral faring. Sebagai perbandingan pada abses peritonsil hanya tonsil yang terdorong ke medial. Pada rontgenogram lateral mungkin tampak pergeseran trakea ke arah anterior. Trismus yang disebabkan oleh menegangnya M. Pterigoid internus merupakan gejala menonjol, tetapi mungkin tidak terlihat jika infeksi jauh di dalam sampai prosesus stiloid dan struktur yang melekat padanya sehingga tidak mengenai M. Pterigoid internus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala, dan tanda klinik. Bila meragukan dapat dilakukan pemerksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau CT scan. Penatalaksanaan, jika terdapat pus, tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah. Sebelumnya diperlukan istirahat di tempat tidur, kompres panas untuk menekan lokalisasi abses. Terapi antimikroba sangat perlu, akan lebih baik jika disesuaikan dengan tes sensitivitas, biakan, dan pewarnaan gram dari pus yang diambil. Komplikasi, jika tidak dapat diatasi, mediastinum dapat terserang. Infeksi dapat menjalar terus ke bawah sepanjang sarung-sarung pembuluh darah besar,

xv

Referat Abses Parafaring

dengan perluasan dari ruang retrofaring melalui ruang prevertebra atau ruang visera untuk memasuki mediastinum.

DAFTAR PUSTAKA

1. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied Anatomy and Physiology Mouth and Pharynx. Dalam: Richard AB (ed). Ear, Nose, and Throat Disease, a pocket reference. 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook 1994:307-315. 2. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal:19-21. 3. Hasibuan R, A.H. SpTHT. Pharingologi, Jala Penerbit, Jakarta, 2004. Hal:38, 558. 4. Gray RF, Hawthrorne M. Anatomy of The Mouth and Pharynx. Dalam: Synopsis of Otolaryngology. 5th ed. Singapore: Butterworth Heinemann 1992:228-304. 5. Effendi H: Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar Penyakit THT Edisi VI, EGC, Jakarta, 1997. Hal:333. 6. Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung, dan tenggorokan, 296, 308-309. EGC, Jakarta. 7. Tan AJ. 2010. Peritonsilar Abscess in Emergency Medicine. Tersedia pada: http://emedicine.medscape.com/article/764188-overview. diakses pada tanggal 31 Maret 2011. 8. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. h.226-30. 9. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher Jilid 1. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994. h. 295-9. 10. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Buku ajar penyakt THT. Edisi 7. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC. 2000. h. 342-5.

xvi

Referat Abses Parafaring

xvii