Referat SGB

47
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindroma Guillain-Barre (SGB) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemis. Penyakit ini merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat. Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 1

Transcript of Referat SGB

Page 1: Referat SGB

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindroma Guillain-Barre (SGB) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan

akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh

penyakit sistemis. Penyakit ini merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh

manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan

karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya

progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom,

maupun susunan saraf pusat.

Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini seringkali mencemaskan penderita dan

keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan

dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa

yang baik.

Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua

umur. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan

penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak

insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia

dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling

tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras

didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic,

1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia

mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra

menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III

(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir

sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-

laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun.1

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti

penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Guillain-Barre syndrome

1

Page 2: Referat SGB

diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa virus

bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang adalah suatu kelainan

imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated

process. Pada umumnya sindrom ini didahului oleh penyakit influenza atau

infeksi saluran pernafasan atas atau saluran pencernaaan. Penyebab infeksi pada

umumnya adalah kelompok virus dari kelompok herpes. Sindrom ini dapat

didahului pula oleh vaksinasi, gangguan endokrin, anastesi, tindakan operasi, dan

sebagainya (Harsono, 1996). Guillain-Barre Syndrome berhubungan dengan

respon system imun terhadap benda asing (seperti agen infeksius atau vaksin)

tetapi targetnya yaitu pada jaringan saraf inang. Target yang diserang sistem imun

menjadi gangliosida, yaitu komplek glikosfingolipid yang ada dalam jumlah yang

banyak pada jaringan saraf manusia, terutama nodus ranvier. Pada banyak kasus,

infeksi sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan

serabut spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medula spinalis dan

medula oblongata.Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. 2

Salah satu terapi yang sering digunakan pada SGB adalah plasmaferesis.

Plasmaferesis ini dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis

untuk menyingkirkan antibodi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien

dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal

dibersihkan atau plasma diganti dengan yang normal atau dengan pengganti

koloidal. Banyak pusat pelayanan kesehatan mulai melakukan penggantian plasma

ini jika didapati keadaan pasien memburuk dan akan kemungkinan tidak akan

dapat pulang kerumah dalam 2 minggu.1 

Meskipun penyebabnya belum diktahui, namun diagnosanya dapat

ditegakkan sedini mungkin. Setidaknya hal ini dapat mencegah akibat yang sangat

fatal.

2

Page 3: Referat SGB

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SEJARAHPada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry

pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending

paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan

SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl

menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan

serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut

sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan

Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan

diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan CSS, juga adanya

kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa.

Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.15

2.2 Sindroma Gullian Barre

Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan

tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri

dengankarekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang

sifatnyaprogresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,

otonom,maupun susunan saraf pusat. SGB merupakan Polineuropati akut, bersifat

simetris dan ascenden, yang,biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang sampai 8

minggu setelah suatu infeksi akut.

• SGB merupakan Polineuropati pasca infeksi yang menyebabkan terjadinya

demielinisasi saraf motorik kadang juga mengenai saraf sensorik.

• SGB adalah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau

subakut, mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi

SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :

Polineuritis akut pasca infeksi

3

Page 4: Referat SGB

Polineuritis akut toksik

Polineuritis febril

Poliradikulopati,dan

Acute Ascending Paralysis7

2.1.1. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4-2,0

per 100.000 penduduk. GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko

terjadinya adalah sama di seluruh dunia pada pada semua iklim. Perkecualiannya

adalah di Cina, dimana predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter

jejuni, cenderung terjadi pada musim panas.

GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras.

Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6-1,9 per 100.000 penduduk.

Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS merupakan

penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat. Angka kematian berkisar

antara 5 – 10 %. Penyebab kematian tersering adalah gagal jantung dan gagal

napas. GBS. Antara 5 – 10 % sembuh dengan cacat yang permanen.

Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.

Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah

dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan

wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa

perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun.

Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15 tahun), dan

menemukan kejadian tahunan menjadi antara 0,34, dan 1.34/100 000.

Kebanyakan penelitian menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika Utara dan

melaporkan angka kejadian serupa tahunan , yaitu antara 0,84 dan 1.91/100, 000.

Rata-rata pertahun 1-3/100.000 populasi dan perempuan lebih sering terkena

daripada laki-laki dengan perbandingan rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1

untuk semua usia. Penurunan insiden selama waktu antara tahun 1980-an dan

1990-an ditemukan. Sampai dengan70% dari kasus Sindroma Guillain Barre

disebabkan oleh infeksi anteseden. Inflamasi akut demielinasi

4

Page 5: Referat SGB

poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk paling umum di negara-negara barat

dan berkontribusi 85% sampai 90% kasus. Kondisi ini terjadi pada semua umur,

meskipun jarang pada masa bayi. Usia termuda dan tertua dilaporkan adalah,

masing masing 2 bulan dan 95 tahun. Usia rata onset adalah sekitar 40 tahun,

dengan kemungkinan dominasi laki-laki.

Sindroma Guillain Barre adalah penyebab paling umum dari acute flaccid

paralysis, pada anak - anak. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) sering

didapatkan di daerah Jepang dan Cina, terutama pada orang muda. Hal ini terjadi

lebih sering selama musim panas, sporadis AMAN seluruh dunia mempengaruh

10% sampai 20% pasien dengan Sindroma Guillain Barre .16

2.1.2. Klasifikasi

1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang

lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran

cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut

saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.

2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)

Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid

meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis

motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan

paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana

didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi

‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang

dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.

3. Miller Fisher Syndrome

Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.

Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat

pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas.

5

Page 6: Referat SGB

Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan

minggu atau bulan

4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)

CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala

neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih

dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.

5. Acute pandysautonomia

Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi

dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya

hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan

salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.17,18

2.1.3. Etiologi

Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan

bukan merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter.

Penyakit ini merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh

kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :

• Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV), enterovirus,

Human Immunodefficiency Virus (HIV).

• Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.

• Pasca pembedahan dan Vaksinasi.

• 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit Infeksi

Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.16

2.1.4. Patologi

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran

pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf

tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ketiga atau

keempat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung mielin pada

hari kelima, terlihat beberapa limfosit pada hari kesembilan dan makrofag pada

hari kesebelas, poliferasi sel schwan pada hari ketigabelas. Perubahan pada

6

Page 7: Referat SGB

mielin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari

keenampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Kerusakan

mielin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan

selubung mielin dari sel schwan dan akson17

2.1.5. Patogenesis

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui

dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang

terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa

imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada

sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell

mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran

pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi

Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas

seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.

Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam

sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan

mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem

imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai

penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari

adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.

Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,

mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada

kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada

degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting

antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.

7

Page 8: Referat SGB

Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-

T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer.

Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses

demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.18

8

Page 9: Referat SGB

9

Page 10: Referat SGB

2.1.6. Gejala Klinis

1. Kelemahan

Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris

secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum

tungkai atas. Otot- otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih

distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan

otot pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut

dan berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar

dari kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.

2. Keterlibatan saraf kranial

Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf kranial

III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk

sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias,

Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan

wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena.

Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan

defisit saraf kranial.

3. Perubahan Sensorik

Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori

cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati

rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului

kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses

menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau

pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal

dapat hadir.

4. Nyeri

Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien

melaporkan nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama

perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung,

pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini

sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada

10

Page 11: Referat SGB

dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias

sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan

sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas.

Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri

lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan SGB adalah sebagai

berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi

imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).

5. Perubahan otonom

Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan

parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat

mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi

paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin,

karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan.

6. Pernapasan

Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau

orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut;

Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel. Kegagalan

ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga

sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.

Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

- Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan

pada LP serial;

- jumlah sel CSS < 10 MN/mm3; Varian ( tidak ada peningkatan protein

CSS setelah 1 minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 ).

Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah perlambatan

konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang

60% dari normal.8

2.1.7. Patofisiologi

11

Page 12: Referat SGB

Guillain-Barre syndrome berhubungan dengan respon system imun

terhadap benda asing (seperti agen infeksius atau vaksin) tetapi targetnya yaitu

pada jaringan syaraf inang. Target yang diserang system imun menjadi

gangliosida, yaitu komplek glikosfingolipid yang ada dalam jumlah yang banyak

pada jaringan saraf manusia, terutama nodus ranvier. Misalnya, gangliosida

GM1, yang mempengaruhi sebanyak 20 – 50% kasus, khususnya pada orang

yang didahului infeksi Campylobacter jejuni. Contoh yang lain adalah

gangliosida GQ1b, yang merupakan target varian sindrom miller fisher

(Goldman, 2007)

Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, Fase progresif dimulai dari onset

penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai

maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang

melebihi 8 minggu. Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana

kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama

2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu. Fase

rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang

berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini

berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.

Gb. 3. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan

bervariasi antara berbagai penderita SGB.

12

Page 13: Referat SGB

GBS paling banyak terjadi pada pasien yang sebelumnya mengalami infeksi

(pernafasan atau gastrointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan

penurunan neurologic. Pada beberapa dapat terjadi setelah vaksinasi atau

pembedahan. Juga dapat pula disebabkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun,

dan beberapa proses lain, atau sebuah kombinasi proses. Salah satu hipotesis

mengatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autimun yang menyerang

myelin syaraf perifer. Bagian proksimal syaraf cenderung paling sering terserang

dan akar dalam ruang subarachnoid biasanya terpengaruh. Autopsy yang didapat

memperlihatkan beberapa infiltrasi limfositik yang secara khusus menetap di

dalam akar saraf spinal.

Infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain

memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen

tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses

pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa

teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan

bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh

mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi

tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri

berkurang.

Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin. Bahkan

kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.

Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin

disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan

myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di

invasi oleh antigen tersebut. Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel

saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan

kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih

sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh.12,13,18

13

Page 14: Referat SGB

14

Page 15: Referat SGB

2.1.8. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan LCS

Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g/dl )

tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut

sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam

pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein

biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS

pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3

(albuminocytologic dissociation).

2. Pemeriksaan EMG

Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan

terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada

akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.

3. Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira

pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran

cauda equina yang bertambah besar.

2.1.9. Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of

Neurological and Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)

Diagnosa Guillain-Barre syndrome terutama ditegakkan secara klinis.

Guillain-Barre syndrome ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang

disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga

minggu setelah mengalami demam dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute

of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:

1.Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis (Gejala utama):

a. Terjadinya kelemahan yang progresif pada satu atau lebih

ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxia

b. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general

15

Page 16: Referat SGB

2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:

a. Ciri-ciri klinis:

1. Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,

maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2

minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

2. Relatif simetris.

3. Gejala gangguan sensibilitas ringan.

4. Gejala saraf kranial ±50% terjadi parese N VII dan sering

bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang

mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5%

kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak

lain.

5. Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,

dapat memanjang sampai beberapa bulan..

6. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,

hipertensi dan gejala vasomotor.

7. Tidak ada demam saat onset gejala neurologist.

b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong

diagnosa:

1. Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi

peningkatan pada LP serial.

2. Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3.

3. Varian:

Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala

Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:

1. Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.

2. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal

16

Page 17: Referat SGB

d. Gejala yang menyingkirkan diagnosis

1. Kelemahan yang sifatnya asimetri

2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten

3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul

4. Gejala sensoris yang nyata11,15

2.1.10. Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan

atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,

trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan

kontraktur pada sendi.8

95% pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75% diantaranya

sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural

tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien. Kelainan ini juga dapat

menyebabkan kematian. Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang

20% penderita meninggal oleh karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini

kematian berkisar antara 2-10 %, dengan penyebab kematian oleh karena

kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru.

Sebagian besar penderita (60-80 %) sembuh secara sempurna dalam waktu enam

bulan. Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan

motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki.9

Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali

timbul. 3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan

beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan

terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.13

2.1.11. Diagnosis

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

Ascending paralysis, terjadi dalam 3 minggu pertama.

Belakangan ini, frekuensi pada anak-anak lebih sering dibanding orang dewasa

pada sindrom ini. Kelemahan pada umumnya diawali pada ektremitas bagian

17

Page 18: Referat SGB

bawah dan menjalar cepat ke arah ektremitas bagian atas kadang sampai ke

wajah. Pada beberapa anak terkadang tidak bisa berjalan. Kelemahan juga dapat

terjadi pada otot-otot pernapasan dan pada beberapa anak memerlukan alat bantu

pernafasan dikarenakan kesulitan bernafas.

Areflexia

Merupakan salah satu tanda Sindrom Guillain-Barré. Sebagian dari refleks

proksimal mungkin timbul sepanjang awal tahap penyakit.

Kelainan saraf otonom

Terjadi pada sistem saraf parasimpatis dan simpatis, manifestasi klinis meliputi :

hipotensi orthostatik, disfungsi pupil, kesulitan menggerakan mata dan wajah,

kesulitan berbicara, kesulitan mengunyah dan menelan, penurunan tekanan darah,

kelainan berkeringat dan sinus takikardi serta kesulitan mengontrol kencing dan

buang air besar.

1. Ataxia.

2. Kelainan pada nervus kranial

Mati rasa, perasaan geli dan gatal dan biang keringat18.

2.1.12. Terapi

Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama

secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala,

mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki

prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk

terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus

segera di rawat di rumah sakit untuk mendapatkan bantuan pernafasan,

pengobatan dan fisioterapi. Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah:

1. Sistem pernapasan

Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB.

Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu

18

Page 19: Referat SGB

dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator)

bila vital capacity turun dibawah 50%.

2. Fisioterapi

Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru.

Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah

penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk

melatih dan meningkatkan kekuatan otot.

3. Imunoterapi

Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan

mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.

a. Plasma exchange therapy (PE)

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor

autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan

hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu

nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang

paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya

gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam

waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.

b. Imunoglobulin IV

Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi

autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.

Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan

dibandingkan plasmaparesis karena efek samping atau komplikasi lebih ringan.

Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis

0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari.17

2.1.13. Diagnosis Banding

• Poliomielitis

Pada poliomyelitis ditemukan kelumpuhan disertai demam, tidak ditemukan

gangguan sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan Cairan cerebrospinal

pada fase awal tidak normal dan didapatkan peningkatan jumlah sel.

• Myositis Akut

19

Page 20: Referat SGB

Pada miositis akut ditemukan kelumpuhan akut biasanya proksimal, didapatkan

kenaikan kadar CK (Creatine Kinase), dan pada Cairan serebrospinal normal.

• Myastenia gravis (didapatkan infiltrate pada motor end plate, lelumpuhan tidak

bersifat ascending)

•CIPD (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradical Neuropathy)

didapatkan progresifitas penyakit lebih lama dan lambat. Juga ditemukan adanya

kekambuhan kelumpuhan atau pada akhir minggu keempat tidak ada perbaikan15.

2.2. Plasmaferesis

Plasmaferesis berasal dari kata plasma dan aphairesis, yang berarti

memisahkan plasma. Beberapa penulis membedakan antara plasmaferesis dan

plasma exchange. Plasma exchange dipakai untuk tindakan yang lebih ekstensif

dengan jumlah yang besar. Plasmaferesis adalah istilah umum dan dapat dipakai

untuk pemisahan plasma dalam jumlah kecil maupun besar3. Plasmaferesis mula-

mula diperkenalkan pada awal abad ini oleh Fleig dan Abel dkk. Pada saat itu

hanya sedikit yang menaruh minat untuk pemakaian klinis, sebab pemisahan

plasma secara manual adalah tidak praktis dan membuang waktu. Pada tahun

1960 Schwab dan Fahey melaporkan bahwa plasmaferesis berguna bagi penderita

makroglobulinemia Waldenstrom dan penderita hiperviskositas.

Sejak saat itu, plasmaferesis manual merupakan bagian dari pengobatan

standard untuk kelainan tersebut4. Namun demikian, hanya sedikit sekali

penelitian tentang terapi plasmaferesis yang disertai dengan kelompok kelola. Hal

ini disebabkan karena : a.insidens penyakit yang mungkin dapat diobati dengan

plasmaferesis umumnya tidak tinggi. b.kesulitan untuk melaksanakan

plasmaferesis palsu pada kelompok kelolao). Kern ungkinan

mekanismekerjaplasmaferesis adalah menghilangkan autoantibodi, alloantibodi,

komplcks imun, protein monoklonal, toksin atau menambah faktor yang spesifik

dalam plasma4,5. Jadi plasmaferesis hanya boleh dilakukan bila terdapat bukti

bahwa penyakit tersebut adalah akibat faktor yang abnormal dalam plasma atau

akibat kurangnya faktor yang normal terdapat dalam plasma4.

2.2.1. Teknik Pelaksanaan Plasmaferesis

20

Page 21: Referat SGB

Plasmaferesis dapat dilakukan dengan beberapa cara :

1. Secara manual Plasmaferesis dalam jumlah yang sedikit (misalnya sampai

kira-kira 500 ml) dapat dilakukan secara manual. Darah vena dikeluarkan

ke dalam kantung yang berisi antikoagulan. Setelah kantung penuh atau

sudah tercapai jumlah yang diinginkan, aliran darah diputuskan dan

penderita diberi larutan NaCl 0,9% agar aliran pada vena tetap terbuka.

Darah dalam kantung diputar dalam centrifuge, plasmanya dibuang dan

komponen lain dikembalikan ke penderita4,6.

2. Dengan menggunakan cell separator. Prinsip kerja cell separator dapat

berupa continuous flow centrifugation (CFC) atau intermittent flow

centrifugation (IFC). Pada CFC proses pengambilan darah, pemisahan

komponen dan pengembalian komponen berjalan secara kontinyu, sedang-

kan pada IFC proses tersebut berjalan secara bergantian. Saat ini sedang

dikembangkan cell separator yang menggunakan teknik membrane

filtration. Dengan cara ini, plasma mengalir melalui membran yang akan

menyaring komponen spesifik yang ada di dalam plasma6. 

2.2.2 Cairan Pengganti

Federal and American Association of Blood Bank memberi pedoman

bahwa plasmaferesis sejumlah 1000 ml/minggu dapat dilakukan tanpa cairan

pengganti yang mengandung protein pada donor dengan ukuran badan rata-rata,

tetapi dengan tetap memantau kadar protein serum donor tersebut. Terapi plasma-

feresis tentu berbeda dengan plasmaferesis pada donor, tetapi setidak-tidaknya

pedoman ini dapat dipakai sebagai pegangan Cermin Dunia Kedokteran No. 76,

1992 34 pada penderita dengan keadaan gizi yang baik. Biasanya juga dianjurkan

diit tinggi protein bila bukan merupakan kontra-indikasi3. Fresh frozen plasma,

albumin atau derivat plasma lain dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan koloid

sebagai pengganti plasma penderita. Pemakaian plasma sebagai cairan pengganti,

penting pada penyakit-penyakit akibat kekurangan suatu faktor dalam plasma

misalnya thrombotic thrombocytopenic purpura4. Pada penyakit-penyakit dengan

komponen plasma yang patogen, penentuan jenis cairan pengganti juga penting;

21

Page 22: Referat SGB

misal-nya clearance kompleks imun dapat ditingkatkan dengan memberikan

cairan pengganti yang mengandung komplemen, meskipun ada penulis lain yang

menganjurkan pemberian cairan yang tidak mengandung komplemen4. Pada

umumnya tidak diperlukan elektrolit pengganti baik pada plasmaferesis dengan

jumlah kecil maupun dengan jumlah besar3. Jadi dapat disimpulkan bahwa sampai

saat ini belum ditemukan cairan pengganti yang optimal dan mungkin tidak akan

pernah ditemukan karena hal ini sangat individual3. 

2.2.3. Efek Samping Plasmaferesis

Setiap plasmaferesis menimbulkan kerusakan vena yang dapat bersifat

ringan maupun berat3. Setiap penderita dapat mengalami serangan vasovagal yang

disebabkan oleh hipovo-lemia dan diperberat oleh stres psikis3,4. Keseimbangan

cairan harus diperhatikan untuk menghindari hipo atau hipervolemia3. Penderita-

penderita yang memiliki gangguan fungsi hepar cenderung untuk mengalami

keracunan sitrat3,4.Hal ini ter-utama terjadi bila menggunakan cairan pengganti

yang mengandung sitrat misalnya plasma3. Telah dilaporkan juga penurunan

jumlah trombosit dan faktor-faktor pembekuan5,7,8. Penurunan jumlah trombosit

se-lain akibat plasmaferesis,juga diakibatkan oleh pemakaian obat-obat sitostatika

yang diberikan bersamaan dengan plasmaferesis untuk mencegah rebound

phenomena7. Penderita yang memiliki kelainan kadar elektrolit mem-punyai risiko

untuk mengalami aritmia jantung3,4. Beberapa penulis melaporkan tidak ada

perubahan kadar elektrolit akibat plasmaferesis7, tetapi penulis lain menyatakan

bahwa terjadi ketidak seimbangan elektrolit8.

Reaksi urtikaria atau kadang-kadang anafilaksis dapat timbul pada

penderita yang memakai plasma sebagai cairan pengganti4,10. Risiko timbulnya

hepatitis juga meningkat bila dipakai plasma4,5,10.Suatu kendala lain yang

membatasi penggunaan plasma-feresis adalah tingginya biaya9. 

2.2.4. Komplikasi terapi plasmapheresis

22

Page 23: Referat SGB

Meskipun plasmapheresis sangat membantu dalam kondisi medis tertentu,

seperti terapi lainnya, ada risiko potensial dan komplikasi. Penyisipan kateter

intravena agak besar dapat menyebabkan perdarahan, paru tusukan (tergantung

pada lokasi penyisipan kateter), dan, jika kateter dibiarkan terlalu lama, maka bisa

terinfeksi.

Selain menempatkan kateter, prosedur itu sendiri memiliki komplikasi.

Ketika darah pasien berada di luar tubuh melewati mesin plasmapheresis, darah

memiliki kecenderungan untuk membeku. Untuk mengurangi kecenderungan,

dalam satu protokol yang umum, sitrat diinfuskan sementara darah berjalan

melalui sirkuit. Sitrat mengikat kalsium dalam darah, kalsium yang penting bagi

darah untuk membeku. Sitrat sangat efektif dalam mencegah darah dari

pembekuan, namun penggunaannya dapat mengakibatkan mengancam jiwa

tingkat kalsium yang rendah. Hal ini dapat dideteksi dengan menggunakan tanda

Chvostek atau tanda trousseau's. Untuk mencegah komplikasi ini, kalsium

diinfuskan intravena saat pasien mengalami plasmapheresis tersebut; di samping

itu, kalsium suplementasi melalui mulut juga dapat diberikan.

Komplikasi lainnya termasuk:6

Potensi paparan produk darah, dengan risiko reaksi transfusi atau transfusi

penyakit menular

Penekanan sistem kekebalan tubuh pasien

Perdarahan atau hematoma dari penempatan jarum

2.2.5. Terapi Plasmaferesis pada Sindroma Gullien Barre

Penatalaksanaan pasien SGB seringkali sangat rumit dan pengobatan

medis dan perawatan yang baik sangat mempengaruhi keluaran (outcome). 

Dalam  fase dini yang masih progresif, harus dilakukan observasi yang seksama

dan perawatan di rumah sakit adalah wajib, juga pada kasus-kasus yang enteng. 11,12

Karena terjadi perbaikan spontan pada kebanyakan kasus, maka

penatalaksanaan terutama ditujukan pada perawatan yang baik dan menghindari

23

Page 24: Referat SGB

komplikasi infeksi sekunder, namun penatalaksanaan tetap rumit dan

melelahkan.11,13

Walaupun dalam kepustakaan disebutkan, bahwa hanya 2 jenis terapi

(plasmaferesis dan Imunoglobulin) yang secara spesifik dapat mempengaruhi

jalannya penyakit, namun terdapat tindakan-tindakan lain yang membantu untuk

mencegah terjadinya komplikasi yang sering menyertai penyakit ini.Pengobatan

medikamentosa pada saat ini terutama ditujukan pada imunomodulasi.  Menurut

petunjuk guideline dari American Academy of Neurology (AAN), maka

pengobatan SGB yang dimulai secara dini dalam waktu 2 – 4 minggu setelah

gejala pertama timbul, dapat mempercepat waktu penyembuhan. 11 Hanya

plasmaferesis (plasma exchange therapy) dan imunoglobulin intravena (IVIg 7s)

yang terbukti efektif.  Kedua modalitas pengobatan ini telah terbukti dapat

memperpendek waktu penyembuhan sampai 50 % , namun harganya mahal dan

ada kesukaran dalam cara memberi dan efektivitas ke 2 regimen pengobatan itu

hampir sama dan komparabel.12

Walaupun terbukti menurunkan beratnya penyakit dan memperpendek

waktu adanya gejala, namun outcome jangka panjang belum jelas dipengaruhi

oleh obat-obatan ini. Plasmaferesis (PE) secara historis dan case control studies

terbukti menurunkan beratnya  penyakit dan gejala-gejalanya dan memperpendek

durasi SGB, namun efeknya biasanya tidak segera dan tidak dramatis.    PE

seringkali digunakan pada anak2 dan pada sindroma Miller Fisher; suatu varian

SGB, namun belum ada bukti definitif mengenai efektivitas PE pada ke 2

penyakit ini, namun telah dipakai secara luas. PE sebaiknya diberikan secepat

mungkin pada penderita SGB yang tidak dapat berjalan tanpa bantuan (unable to

walk unassisted). Plasmaferesis adalah suatu metode untuk memisahkan

komponen darah dengan menggunakan mesin sehingga plasma dipisahkan dari sel

darah merahnya, lalu plasma dibuang dan sel darah merahnya dicampurkan

dengan larutan koloid pengganti yaitu albumin 4 % dalam larutan salin, lalu

dimasukkan kembali kedalam tubuh. 13,14

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor

autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan

24

Page 25: Referat SGB

hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu

nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan

dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.

Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu

pertama).11

Plasma yang akan diganti dalam 4-5x PE yang dilakukan dalam jangka

waktu 7 – 10 hari seluruhnya adalah kira-kira 250 cc/kgbb. Harus dipakai suatu

alat dengan pengaliran yang terus-menerus (continuous flow machine), dan cairan

pengganti plasma yang dipakai  adalah albumin 5%. Pelaksanaan  PE yang lebih

intensif, misalnya setiap hari tidak dianjurkan, PE biasanya aman dan ditoleransi

dengan baik. Untuk melakukan PE dipilih vena perifer yang baik dan bisa juga

dilakukan  didaerah subklavia.11,14

Komplikasi yang bisa timbul adalah  instabilitas otonom, hiperkalsemia

dan perdarahan karena faktor pembekuan ikut  dihilangkan dan infeksi.14     

Sebuah garis pedoman baru dari American Academy of Neurology

merekomendasikan menggunakan kurs tukar plasma untuk mengobati orang

dengan relaps parah di multiple sclerosis (MS) dan penyakit terkait, serta mereka

dengan beberapa jenis gangguan saraf yang dikenal sebagai neuropati. pedoman

ini diterbitkan dalam, 2011, cetak edisi 18 Januari Neurology ®, jurnal medis dari

American Academy of Neurology. Pertukaran plasma, secara resmi dikenal

sebagai plasmapheresis, adalah proses mengambil darah keluar dari tubuh,

menghapus konstituen dalam plasma darah itu dianggap berbahaya, dan kemudian

transfusi sisa darah (sel darah terutama merah) dicampur dengan plasma

penggantian kembali ke tubuh. Pedoman ini merekomendasikan dokter

mempertimbangkan untuk menggunakan penggantian plasma sebagai pengobatan

sekunder untuk flare parah dalam kekambuhan bentuk MS dan penyakit terkait.

Perlakuan tidak ditemukan efektif untuk bentuk sekunder progresif progresif dan

kronis MS. Menurut pedoman, dokter harus menawarkan pertukaran plasma untuk

pengobatan bentuk parah sindrom Guillain-Barre dan untuk pengobatan sementara

polineuropati demielinasi peradangan kronis. Plasma tukar juga dapat

dipertimbangkan untuk pengobatan beberapa jenis lain neuropati inflamasi.

25

Page 26: Referat SGB

Menurut pedoman pemimpin penulis Irene Cortese, MD, ahli saraf dengan

National Institute of Health di Bethesda, Md, dan anggota American Academy of

Neurology jenis gangguan neurologis yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh

salah menyebabkan kerusakan sistem saraf. Pertukaran plasma membantu karena

menghilangkan faktor dalam plasma diduga berperan dalam gangguan ini. Para

penulis pedoman juga melihat penggunaan pertukaran plasma untuk gangguan

neurologis lainnya, termasuk myasthenia gravis dan pediatrik gangguan

neuropsikiatri autoimun (panda), tapi tidak ada cukup bukti untuk menentukan

apakah itu adalah pengobatan yang efektif.15

BAB III

KESIMPULAN

26

Page 27: Referat SGB

Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan

tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri

dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang

sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,

otonom, maupun susunan saraf pusat. SGB merupakan Polineuropati akut,

bersifat simetris dan ascenden, yang,biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang

sampai 8 minggu setelah suatu infeksi akut.

Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa

terjadi paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah.

Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan

dikenal sebagai Landry’s Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh

Landry, 1859 menyebutnya sebagai suatu penyakit akut, ascending dan paralysis

motorik dengan gagal napas.

Gejala klinis SGB berupa kelemahan, gangguan saraf kranial, perubahan

sensorik, nyeri, perubahan otonom, gangguan pernafasan. Sampai saat ini belum

ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis.

Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi,

mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita pada

stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-

tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit

untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi

Pemeriksaan penunjang untuk Sindroma Guillain-Barre adalah

pemeriksaan LCS, EMG dan MRI. Penyakit ini memiliki prognosis yang baik.

Komplikasi yang dapat menyebabkan kematian adalah gagal nafas dan aritmia.

Plasmaferesis telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya paralisa dan

mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif untuk

melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Sebanyak 95 %

pasien dengan SGB dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh total.

Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih

mungkin terjadi pada sebagian pasien. Plasmaferesis dapat mengurangi

kemungkinan terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.

27

Page 28: Referat SGB

Selain itu, pasien dengan SGB atau miastenia gravis yang menerima

plasmaferesi, berisiko terhadap potensial komplikasi karena prosedur tersebut.

Infeksi mungkin terjadi pada tempat akses vaskuler. Hipovolemia dapat

mengakibatkan hipotensi. Takikardia, pening, dan diaphoresis. Hipokalemia dan

hipokalasemia dapat mengarah pada disritmia jantung. Pasien dapat mengalami

sirkumolar temporer dan paresis ekstremitas distal, kedutan otot dan mual serta

muntah yang berhubungan dengan pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan

cermat pengkajian penting untuk mencegah masalah-masalah ini.

Oleh itu, sebagai dokter kita harus mempertimbangan indikasi dan

kontraindikasi penatalaksanaan plasmaferesis pada penderita SGB. Menurut

American Academy of Neurologi plasmaferesis belum juga terbukti pengobatan

paling efektif pada SGB.

Daftar Pustaka

28

Page 29: Referat SGB

1. Japardi, Iskandar. Sindrom Guillain Barre. http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf . FK USU.

2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.Sindrom Guillain Barre. In: Harsono, editor. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2008; p.307-8.

3. Huestis DW, Thomas SF. Presently available plasmapheresis technics. In: Berkman EM, Umlas J. Therapeutic Hemapheresis.

4. .A technical workshop. Washington DC: American Association of Blood Banks. 1980; pp 1-12. 2.Shumak KH, Rock GA. Therapeutic plasma exchange. N Eng J Med 1984; 310: 76271.

5. Moschella SL. Topic of Current Interest in Dermatology. In: Moschella SL, Hurley HJ. Dermatology. 2nd ed, Philadelphia: WB Saunders Co. 1985. pp 21078:

6. McCullough J, Chopek M. Therapeutic plasma exchange. Lab Med 1981; 12: 63442.

7. Auerbach R, Bystryn JC. Plasmapheresis and immunosuppressive therapy. Effect on levels of intercellular antibodies in pemphigus vulgaris. Arch Dermatol 1979; 115: 728-30.

8. Bysuyn JC. Plasmapheresis therapy of pemphigus. Arch Dermatol 1988; 124: 1702-4.

9. King MEE, Breslow JL, Lees RS. Plasma-exchange therapy of homo- zygous familial hyperchelesterolemia. N Engl J Med 1980; 302: 1457-9

10. Roujeau JC et al. Plasma exchange in pemphigus. Arch Dermatol 1983; 119: 215-21.

11. Parry GJ. Diagnosis of-Guillain-Barre Syndrome. In. Parry GJ. Guillain-Barr Syndrome. Thieme Medical Publishers Inc, New York. 1993 : 113-129.

29

Page 30: Referat SGB

12. Adams RD. Victor MR. Guillain Barre Syndrome. Diseases of the PeripheryNerves. In Principles of Neurology. Chapter 46. Mcgraw-Hill. New York. 1991 Page 1312-1318.

13. Johnson Richard T. Viral Infctions Of the Nervous Sistem. Raven Pres, Nev York. 1984: 174

14. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre : Neurologi Klinis Dasar, Cetakan ke 8. Dian Rakyat, Jakarta, 2000 :42, 87,176,421.

15. Guillain-Barré Syndrome. Available from:http://www.medicinenet.com/guillainbarre_syndrome/article.htm.

16. Overview of Guillain-Barre Syndrome. http:// www.mayoclinic.com /health/guillain-barre- syndrome /DS00413/ DSECTION.

17. Munandar A. Laporan Kasus Sindroma Guillan-Barre dan Tifus abdominalis.Unit Neurologi RS Husada Jakarta. Available from : URL : http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14SindormGuillainBarre93.pdf/14SindromGuillainBarre93.html.

18. Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome, http://www.americanfamilyphysician.com.

30