REFERAT SARAF
-
Upload
ugar-dranger -
Category
Documents
-
view
15 -
download
4
Transcript of REFERAT SARAF
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi susunan saraf pusat sampai sekarang masih merupakan keadaan yang
membahayakan kehidupan, dengan berpotensial menyebabkan kerusakan permanen pada
pasien yang hidup. Infeksi ini juga merupakan penyebab tersering demam disertai tanda dan
gejala kelaian susunan saraf pusat pada anak. Pada anak infeksi sebenarnya dapat disebabkan
oleh mikroba apapun, patogen spesifik yang dipengaruhi oleh umur dan status imun hospes
dan epidemiologi patogen. Pada umumnya, infeksi virus sistem saraf pusat jauh lebih sering
daripada infeksi bakteri, yang pada gilirannya lebih sering daripada infeksi jamur dan parasit.
Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat dibagi menjadi dua kategori besar: yang
utamanya melibatkan meninges (meningitis) dan terbatas pada parenkim (ensefalitis).1,2,7
Meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada meninges
atau lapisan otak, 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang yang
terdiri dari Duramater, Arachnoid dan Piamater. Secara klinis, meningitis bermanifestasi
dengan gejala meningeal (misalnya, sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia), serta pleositosis
(peningkatan jumlah sel darah putih) dalam cairan cerebrospinal (CSS). Tergantung pada
durasi gejala, meningitis dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronis. Meningitis secara
anatomis dibagi menjadi inflamasi dura, kadang-kadang disebut sebagai pachymeningitis
(agak jarang) dan leptomeningitis, yang lebih umum dan didefinisikan sebagai peradangan
pada jaringan arakhnoid dan ruang subaraknoid.2
Penyebab paling umum peradangan pada meningens adalah akibat iritasi oleh infeksi
bakteri atau virus. Organisme biasanya masuk meningens melalui aliran darah dari bagian
lain dari tubuh ataupun dapat secara langsung (perkontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan di dekat selaput otak.2
Meningitis piogenik (bakteri) terdiri dari peradangan meningens dan CSS
subarachnoid. Jika tidak diobati, meningitis bakteri dapat mengakibatkan kelemahan
(debility) seumur hidup atau kematian. Penyakit ini fatal sebelum era antimikroba, tapi
dengan munculnya terapi antimikroba, tingkat kematian secara keseluruhan dari meningitis
bakteri mengalami penurunan. Meskipun demikian, tetap sangat tinggi, mencapai sekitar
25%. Munculnya strain bakteri resisten telah mendorong perubahan dalam protokol
antibiotik di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat. Para agen infektif spesifik yang
1
terlibat pada meningitis bakteri bervariasi di antara berbagai kelompok umur pasien, dan
peradangan bisa berevolusi menjadi kondisi seperti ventriculitis, empiema, cerebritis.2
Meningitis akut bakteri, menunjukkan bakteri penyebab sindrom ini. Hal ini biasanya
ditandai dengan onset akut gejala meningeal dan pleositosis neutrophilic. Tergantung dari
bakteri spesifik penyebabnya, sindrom yang dapat disebut, misalnya, salah satu dari berikut:
meningitis Pneumococcal, meningitis Haemophilus influenzae, meningitis stafilokokus,
meningitis meningokokus , meningitis tuberkulosis. Tidak seperti subakut (1-7 hari) atau
kronis (> 7 hari) meningitis, yang memiliki etiologi infeksi dan non-infeksi yang sangat
banyak, meningitis akut (<1 hari) hampir selalu infeksi bakteri yang disebabkan oleh satu dari
beberapa organisme . Pasien dengan meningitis bakteri akut dapat dekompensasi sangat
cepat, sehingga mereka memerlukan perawatan darurat, termasuk terapi antimikroba,
idealnya dalam waktu 30 menit pada unit gawat darurat.2
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. ANATOMI
1. LAPISAN SELAPUT OTAK/ MENINGES
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah
pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi
arachnoidea dan piamater.
a. Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang
kuat dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal).
Kedua lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di
tempat dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus
venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural),
dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian
otak.
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan
juga membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan
fibrosa ke dalam tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura
spinalis.Septa kuat yang berasal darinya membentang jauh ke dalam cavum
cranii. Di anatara kedua hemispherium terdapat invaginasi yang disebut falx
cerebri. Ia melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang
sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu
dengan tentorium cerebelli yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri membagi
pars superior cavum cranii sedemikian rupa sehingga masing-masing
hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli terbentang
seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa craniii posterior.
Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan pinggir
atas os petrosus dan processus clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan
lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat lewatnya trunkus cerebri. Saluran-
saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam dua lamina dura.
3
Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak/meninges 13
b. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan
hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural.
Ia menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis,
cavum subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan
septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system
rongga-rongga yang saling berhubungan.
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip
jamur ke dalam sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni
(granulationes/villi arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di
sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor
cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia
villi tersebut menyusup ke dalam tulang (foveolae granulares) dan
berinvaginasi ke dalam vena diploe.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater
yang secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum,
namun rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada
dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi
4
nama menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara
bebas dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas
subarachnoid di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena
ini bersinambung dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang
terletak pada aspek ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa
vena. Di bawah cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus
temporalis. Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma
opticum, cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna
interpeduncularis di antara peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus
frontalis, parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna fissure lateralis
(cisterna sylvii).
c. Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang
menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan
sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam
fissure transversalis di abwah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk
tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan
ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus
choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap
dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.
2. LIQUOR CEREBROSPINALIS (LCS)
a. Fungsi
LCS memberikan dukungan mekanik pada otak dan bekerja seperti jaket
pelindung dari air. Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan mengatur
komposisi ion, membawa keluar metabolit-metabolit (otak tidak mempunyai
pumbuluh limfe), dan memberikan beberapa perlindungan terhadap
perubahan-perubahan tekanan (volume venosus volume cairan cerebrospinal).
5
b. Sirkulasi LCS
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus
lateralis ke dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii
masuk ke ventriculus quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor
cerebrospinalis externum melalui foramen lateralis dan medialis dari
ventriculus quartus. Cairan meninggalkan system ventricular melalui apertura
garis tengah dan lateral dari ventrikel keempat dan memasuki rongga
subarachnoid. Dari sini cairan mungkin mengalir di atas konveksitas otak ke
dalam rongga subarachnoid spinal. Sejumlah kecil direabsorpsi (melalui
difusi) ke dalam pembuluh-pembuluh kecil di piamater atau dinding
ventricular, dan sisanya berjalan melalui jonjot arachnoid ke dalam vena (dari
sinus atau vena-vena) di berbagai daerah – kebanyakan di atas konveksitas
superior. Tekanan cairan cerebrospinal minimum harus ada untuk
mempertahankan reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu sirkulasi cairan
cerebrospinal yang terus menerus di dalam dan sekitar otak dengan produksi
dan reabsorpsi dalam keadaan yang seimbang.
Gambar 2. Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis 14
6
B. MENINGITIS BAKTERIALIS
1. Definisi
Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk dura,
arachnoid dan pia mater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang pada umumnya
disebabkan oleh bakteri banal.
2. Epidemiologi
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap
patogen spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1
– 12 bulan); 95 % terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi
pada setiap umur. Resiko tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri patogen,
kontak erat dengan individu yang menderita penyakit invasif, perumahan padat
penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis kelamin laki-laki dan pada bayi yang
tidak diberikan ASI pada umur 2 – 5 bulan. Cara penyebaran mungkin dari kontak
orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran pernafasan.7
Di Amerika Serikat, sebelum pemberian rutin vaksin conjugate-
pneumococcal, insidens dari meningitis bakteri ± 6000 kasus per tahun; dan sekitar
setengahnya adalah pasien anak (≤18 tahun). N. meningitidis menyebabkan 4 kasus
per 100.000 anak (usia 1 – 23 bulan). Sedangkan S.pneumoniae menyebabkan 7 kasus
per 100.000 anak (usia 1 – 23 bulan). Angka ini menurun setelah pemberian rutin dari
vaksin conjugate-pneumoccal pad aana-anak. Pengenalan dari vaksin meningococcal
baru-baru ini di Amerika Serikat diharapkan dapat mengurangi insidens meningitis
bacterial di kemudian hari. Insidens dari meningitis bacterial pada neonatus sekitar
0,15 kasus per 1000 bayi lahir cukup bulan dan 2,5 kasus per 1000 bayi lahir kurang
bulan (premature). Hampir 30% bayi baru lahir dengan klinis sepsis, berhubungan
dengan adanya meningitis bakterial. Sejak adanya pemberian antibiotik inisiasi
intrapartum tahun 1996, terjadi penurunan insidens nasional dari onset awal infeksi
GBS (Group B Streptococcus) dari hampir 1,8 kasus per 1000 bayi lahir hidup pada
tahun 1990 menjadi 0,32 kasus per 1000 bayi lahir hidup pada tahun 2003.1,8
Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan-2 tahun.
Umumnya terdapat pada anak distrofik,yang daya tahan tubuhnya rendah. Insidens
meningitis bakterialis pada neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per 1000 kelahiran
hidup. Insidens meningitis pada bayi berat lahir rendah tiga kali lebih tinggi
dibandingkan bayi dengan berat lahir normal. Streptococcus group B dan E.coli
7
merupakan penyebab utama meningitis bakterial pada neonatus. Penyakit ini
menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir 40% diantaranya
mengalami gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit neurologis.9-11
3. Etiologi
Penyebab paling sering adalah Neisseria meningitidis Selama usia bulan
pertama, bakteri yang menyebabkan meningitis pada bayi normal merefleksikan flora
ibu atau lingkungan bayi tersebut (yaitu, Streptococcus group B, basili enterik gram
negatif, dan Listeria monocytogenes). Meningitis pada kelompok ini kadang -kadang
dapat karena Haemophilus influenzae dan patogen lain ditemukan pada penderita
yang lebih tua.
Meningitis bakteri pada anak usia 2 bulan – 12 tahun biasanya karena H.
influenzae tipe B, Streptococcus pneumoniae, atau Neisseria meningitidis. Penyakit
yang disebabkan oleh H.influenzae tipe B dapat terjadi segala umur namun seringkali
terjadi sebelum usia 2 tahun.
Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas, Treponema pallidum, dan
Mycobacterium tuberculosis dapat juga mengakibatkan meningitis. Citrobacter
diversus merupakan penyebab abses otak yang penting.
Risk and/or Predisposing Factor Bacterial Pathogen
Age 0-4 weeks Streptococcus agalactiae (group B streptococci)
E coli K1
Listeria monocytogenes
Age 4-12 weeks S agalactiae
E coli
H influenzae
S pneumoniae
N meningitides
Age 3 months to 18 years N meningitidis
S pneumoniae
H influenza
Age 18-50 years S pneumoniae
N meningitidis
H influenza
Age older than 50 years S pneumoniae
N meningitidis
8
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Immunocompromised state S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Intracranial manipulation, including
neurosurgery
Staphylococcus aureus
Coagulase-negative staphylococci
Aerobic gram-negative bacilli, including
P aeruginosa
Basilar skull fracture S pneumoniae
H influenzae
Group A streptococci
CSF shunts Coagulase-negative staphylococci
S aureus
Aerobic gram-negative bacilli
Propionibacterium acnes
Tabel 1. Bakteri penyebab tersering menurut umur dan faktor predisposisi 2
4. PatogenesisInfeksi dapat mencapai selaput otak melalui :Alian darah (hematogen)
oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsillitis, endokarditis,
pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan kuman yang
positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam cairan otak.
1. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi
dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
2. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal
dan mielokel.
3. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena:
Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh
kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir
Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria.
9
Gambar 3. Patogenesis Meningitis Bakterial
Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran
hematogen. Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab
meningitis purulenta. Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen
mempunyai tahap-tahap sebagai berikut :
1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)
2. Bakteri menembus rintangan mukosa
3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit dan
aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia.
4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal
5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal
6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.
10
Gambar 4. Patogenesis Meningitis Bakterial
Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melampaui
semua tahap dan masing-masing bakteri mempunyai mekanisme virulensi yang
berbeda-beda, dan masing-masing mekanisme mempunyai peranan yang khusus pada
satu atau lebih dari tahap-tahap tersebut. Terjadinya meningitis bacterial dipengaruhi
oleh interaksi beberapa faktor, yaitu host yang rentan, bakteri penyebab dan
lingkungan yang menunjang.
4. Patofisiologi
Akhir – akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi meningitis
bakterial, yaitu suatu proses yang kompleks, komponen – komponen bakteri dan
mediator inflamasi berperan menimbulkan respons peradangan pada selaput otak
11
(meningen) serta menyebabkan perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan
tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah otak, yang dapat mengakibatkan
tinbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah ada bakteriemia atau embolus septik,
yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam susunan saraf pusat dengan jalan
menembus rintangan darah otak melalui tempat – tempat yang lemah, yaitu di
mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media pertumbuhan yang
baik bagi bakteri karena mengandung kadar glukosa yang tinggi. Segera setelah
bakteri berada dalam cairan serebrospinal, maka bakteri tersebut memperbanyak diri
dengan mudah dan cepat oleh karena kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas
fagositosis dalam cairan serebrospinal melalui sistem ventrikel ke seluruh ruang
subaraknoid
Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan
melepaskan dinding sel atau komponen – komponen membran sel (endotoksin,
teichoic acid) yang menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan
peradangan di selaput otak (meningen) melalui beberapa mekanisme seperti dalam
skema tersebut di bawah, sehingga timbul meningitis. Bakteri Gram negative pada
waktu lisis akan melepaskan lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman Gram positif
akan melepaskan teichoic acid (asam teikoat).
Gambar 5. Patofisiologi Molekuler Meningitis Bakterial 1
12
Produk – produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan
makrofag di susunan saraf pusat (sel astrosit dan microglia) memproduksi mediator
inflamasi seperti Interleukin – 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF). Mediator
inflamasi berperan dalam proses awal dari beberapa mekanisme yang menyebabkan
peningkatan tekanan intracranial, yang selanjutnya mengakibatkan menurunnya aliran
darah otak. Pada meningitis bacterial dapat juga terjadi syndrome inappropriate
antidiuretic hormone (SIADH) diduga disebabkan oleh karena proses peradangan
akan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan kebocoran vasopressin endogen
sistem supraoptikohipofise meskipun dalam keadaan hipoosmolar, dan SIADH ini
menyebabkan hipovolemia, oliguria dan peningkatan osmolaritas urine meskipun
osmolaritas serum menurun, sehingga timbul gejala-gejala water intoxication yaitu
mengantuk, iritabel dan kejang.
Edema otak yang berat juga menghasilkan pergeseran midline kearah kaudal
dan terjepit pada tentorial notch atau foramen magnum. Pergeseran ke kaudal ini
menyebabkan herniasi dari gyri parahippocampal, cerebellum, atau
keduanya. Perubahan intrakranial ini secara klinis menyebabkan terjadinya gangguan
kesadaran dan refleks postural. Pergeseran ke kaudal dari batang otak menyebabkan
lumpuhnya saraf kranial ketiga dan keenam. Jika tidak diobati, perubahan ini akan
menyebabkan dekortikasi atau deserebrasi dan dengan cepat dan progresif
menyebabkan henti nafas dan jantung.
Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran darah otak
yang juga disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh trombus dan
adanya penurunan autoregulasi, terutama pada pasien yang mengalami kejang. Akibat
lain adalah penurunan tekanan perfusi serebral yang juga dapat disebabkan oleh
karena penurunan tekanan darah sistemik 60 mmHg sistole. Dalam keadaan ini otak
mudah mengalami iskemia, penurunan autoregulasi serebral dan vaskulopati.
Kelainan – kelainan inilah yang menyebabkan kerusakan pada sel saraf sehingga
menimbulkan gejala sisa. Adanya gangguan aliran darah otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan kandungan air di otak akan menyebabkan gangguan fungsi metabolik
yang menimbulkan ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar asam laktat dan
penurunan pH cairan srebrospinal dan asidosis jaringan yang disebabkan metabolisme
anaerob, keadaan ini menyebabkan penggunaan glukosa meningkat dan berakibat
timbulnya hipoglikorakia.
13
Ensefalopati pada meningitis bakterial dapat juga terjadii akibat hipoksia
sistemik dan demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bakterial adalah
peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan – bahan toksis
bakteri. Peradangan selaput otak akan menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris,
akibatnya terjadi refleks kontraksi otot – otot tertentu untuk mengurangi rasa sakit,
sehingga timbul tanda Kernig dan Brudzinksi serta kaku kuduk. Manifestasi klinis
lain yang timbul akibat peradangan selaput otak adalah mual, muntah, iritabel, nafsu
makan menurun dan sakit kepala. Gejala – gejala tersebut dapat juga disebabkan
karena peningkatan tekanan intracranial, dan bila disertai dnegan distorsi dari nerve
roots, makan timbul hiperestasi dan fotofobia.
Pada fase akut, bahan–bahan toksis bakteri mula–mula menimbulkan
hiperemia pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang
subaraknoid, dan selanjutnya merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah hingga mempermudah adesi sel fagosit dan sel
polimorfonuklear, serta merangsang sel polimorfonuklear untuk menembus endotel
pembuluh darah melalui tight junction dan selanjutnya memfagosit bakteri bakteri,
sehingga terbentuk debris sel dan eksudat dalam ruang subaraknoid yang cepat
meluas dan cenderung terkumpul didaerah konveks otak tempat CSS diabsorpsi oleh
vili araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii serta sisterna basalis dan sekitar
serebelum.
Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel PMN yang memfagosit
bakteri, secara berangsur-angsur sel PMN digantikan oleh sel limfosit, monosit dan
histiosit yang jumlahnya akan bertambah banyak dan pada saat ini terjadi eksudasi
fibrinogen. Dalam minggu ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblas yang berperan
dalam proses organisasi eksudat, sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada selaput
otak yang menyebabkan perlekatan – perlekatan. Bila perlekatan terjadi didaerah
sisterna basalis, maka akan menimbulkan hidrosefalus komunikan dan bila terjadi di
aquaductus Sylvii, foramen Luschka dan Magendi maka terjadi hidrosefalus
obstruktif. Dalam waktu 48-72 jam pertama arteri subaraknoid juga mengalami
pembengkakan, proliferasi sel endotel dan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan
adventisia, sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang
menyebabkan trombosis arteri. Proses yang sama terjadi di vena. Fokus nekrosis dan
trombus dapat menyebabkan oklusi total atau parsial pada lumen pembuluh darah,
14
sehingga keadaan tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun, dan dapat
menyebabkan terjadinya infark.
Infark vena dan arteri luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau
deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa hari
pertama dirawat tidak mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit dikontrol,
kejang menetap lebih dari 4 hari dirawat dan kejang yang timbul pada hari pertama
dirawat dengan penyakit yang sudah berlangsung lama, serta kejang fokal akan
menyebakan manifestasi sisa yang menetap. Kejang fokal dan kejang yang
berkepanjangan merupakan petunjuk adanya gangguan pembuluh darah otak yang
serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul sebelum dirawat sering
menyebakna gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.
Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik korteks
serebri. Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena hipoksia,
invasi kuman akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal dang gangguan
fungsi motorik berupa paresis yang sering timbul pada hari ke 3-4, dan jarang timbul
setelah minggu I-II; selain itu juga menimbulkan gangguan sensorik dan fungsi
intelek berupa retardasi mental dan gangguan tingkah laku; gangguan fungsi intelek
merupakan akibat kerusakan otak karena proses infeksinya, syok dan hipoksia.
Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di duramater atau arakhnoid yang
berupa trombophlebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan infeksi araknoid
menyebabkan transudasi protein dengan berat molekul kecil ke dalam ruang
subaraknoid dan subdural sehingga timbul efusi subdural yang menimbulkan
manifestasi neurologis fokal, demam yang lama, kejang dan muntah.
Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood brain
barrier) menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan arena aliran CSS terganggu
atau hidrosefalus akan menyebabkan terjadinya edema interstitial.
Meskipun kuman jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi absorpsi
dan penetrasi toksin kuman dapat terjadi, sehingga menyebabkan edema otak dan
vaskulitis; kelainan saraf kranial pada meningitis bakterial disebabkan karena adanya
peradangan lokal pada perineurium dan menurunnya persediaan vaskular ke saraf
cranial, terutama saraf VI, III dan IV, sedang ataksia yang ringan, paralisis saraf
15
kranial VI dan VII merupakan akibat infiltasi kuman ke selaput otak di basal otak,
sehingga menimbulkan kelainan batang otak.
Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradanga ke mastoid,
sehingga timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran tipe
konduktif. Kelain saraf kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan kebutaan
tetapi dapat juga disebabkan karena infark yang luas di korteks serebri, sehingga
terjadi buta kortikal. Manifestasi neurologis fokal yang timbul disebabkan oleh
trombosis arteri dan vena di korteks serebri akibat edema dan peradangan yang
menyebabkan infark serebri, dan adanya manifestasi ini merupakan petunjuk
prognosis buruk, karena meninggalakan manifestasi sisa dan retardasi mental.
5. Manifestasi Klinis
Meningitis mempunyai karakteristik yakni onset yang mendadak dari demam,
sakit kepala dan kaku leher (stiff neck). Biasanya juga disertai beberapa gejala lain,
seperti :
Mual
Muntah
Fotofobia (sensitif terhadap cahaya)
Perubahan atau penurunan kesadaran
Tidak ada satupun gambaran klinis yang patognomonik untuk meningitis
bakterial. Tanda dan manifestasi klinis meningitis bakterial begitu luas sehingga
sering didapatkan pada anak-anak baik yang terkena meningitis ataupun tidak. Tanda
dan gambaran klinis sangat bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit di rumah
sebelum diagnosis dan respon tubuh terhadap infeksi.
Meningitis pada bayi baru lahir dan prematur sangat sulit didiagnosis,
gambaran klinis sangat kabur dan tidak khas. Demam pada meningitis bayi baru lahir
hanya terjadi pada ½ dari jumlah kasus. Biasanya pasien tampak lemas dan malas,
tidak mau makan, muntah-muntah, kesadaran menurun, ubun-ubun besar tegang dan
membonjol, leher lemas, respirasi tidak teratur, kadang-kadang disertai ikterus kalau
sepsis. Secara umum apabila didapatkan sepsis pada bayi baru lahir kita harus
mencurigai adanya meningitis.
16
Bayi berumur 3 bulan – 2 tahun jarang memberi gambaran klasik meningitis.
Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam, muntah, gelisah, kejang
berulang, kadang-kadang didapatkan pula high pitch cry (pada bayi). Tanda fisik yang
tampak jelas adalah ubun-ubun tegang dan membonjol, sedangkan tanda Kernig dan
Brudzinsky sulit di evaluasi. Oleh karena insidens meningitis pada umur ini sangat
tinggi, maka adanya infeksi susuan saraf pusat perlu dicurigai pada anak dengan
demam terus menerus yang tidak dapat diterangkan penyebabnya.
Pada anak besar dan dewasa meningitis kadang-kadang memberikan gambaran
klasik. Perjalanan klinis meningitis bakterialis pada orang dewasa biasanya diawali
dengan infeksi saluran napas atas. Gejala biasanya dimulai dengan demam,
menggigil, muntah dan nyeri kepala. Kadang-kadang gejala pertama adalah kejang,
gelisah, gangguan tingkah laku. Penurunan kesadaran seperti delirium, stupor, koma
dapat juga terjadi. Meningitis meningokous seringkali diawali dengan gejala dan
tanda septicemia dan syok septik. Keluhan yang dirasakan pasien adalah paas badan
disertai nyeri pada lengan dan atau tungkai, atau didapatkan tanda-tanda septicemia
seperti kulit yang teraba dingin atau kebiruan pada bibir, juga didapatkan rash (papula
sampai ekimosis) pada ekstremitas. Meningitis menningokokus seringkali
menyebabkan epidemic meningitis, sehingga jika didapatkan gejala-gejala diatas pada
sekelompok orang (misalnya siswa satu sekolah atau jamaah haji).
Tanda klinis yang biasa didapatkan adalah kaku kuduk, tanda Brudzinski dan
Kernig. Nyeri kepala timbul akibat inflamasi pembuluh darah meningen, sering
disertai fotofobia dan hiperestesi, kaku kuduk disertai rigiditas spinal disebabkan
karena iritasi meningen serta radiks spinalis.
Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi lokal pada perineurium, juga
karena terganggunya suplai vaskular ke saraf. Saraf – saraf kranial VI, VII, dan IV
adalah yang paling sering terkena. Tanda serebri fokal biasanya sekunder karena
nekrosis kortikal atau vaskulitis oklusif, paling sering karena trombosis vena kortikal.
Vaskulitis serebral menyebabkan kejang dan hemiparesis.1
Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:9
1. Gejala infeksi akut.
a. Lethargy.
b. Irritabilitas.
c. Demam ringan.
d. Muntah.
17
e. Anoreksia.
f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).
g. Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).
2. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi.
a. Muntah.
b. Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar).
c. Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus)
d. Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma.
e. Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching.
f. Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang.
g. Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis, Strabismus.
h. Crack pot sign.
i. Pernafasan Cheyne Stokes.
j. Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang lebih besar).
3. Gejala ransangan meningeal.
a. Kaku kuduk positif.
b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas
terjadi, sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan punggung.
Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat diandalkan
sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal
untuk mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).
Gambar 6. Tanda Brudzinski
18
Gambar 7. Tanda Kernig
Gambar 8. Manifestasi klinis pada bayi / neonatus
Gambar 9. Manifestasi klinis pada anak dan dewasa
19
Gambar 10. Opisthotonus dan Blank starring pada M.Meningococcus
1. Stadium prodromal
Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otak.
Meningitis biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat kenaikan
suhu ringan, jarang terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai anak mudah
terangsang (iritabel) atau anak menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak
besar dapat mengeluh nyeri kepala. Malaise, snoreksia, obstipasi, mual dan muntah
juga sering ditemukan. Belum tampak manifestasi kelainan neurologis.
2. Stadium transisi
Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi dengan adanya kejang. Gejala
diatas menjadi lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk dimana seluruh
tubuh mulai menjadi kaku dan opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi,
ubun-ubun menonjol dan umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata
sehingga timbul gejala strabismus dan nistagmus. Sering tuberkel terdapat di koroid.
Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran lebih menurun hingga timbul stupor.
Kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial dan gerakan involunter
(tremor, koreoatetosis, hemibalismus).
3. Stadium terminal
20
Stadium terminal berupa kelumpuhan kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam,
pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi tidak
teratur, kadang-kadang menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat dan dalam).
Hiperpireksia timbul dan anak meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali
Tiga stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan
yang lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak
meninggal.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pungsi Lumbal 1
Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospimal yang paling sering
dilakukan pada segala umur, dan relatif aman
Indikasi
1. Kejang atau twitching
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis N.VI
3. Koma
4. Ubun-ubun besar membonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. TBC milier
7. Leukemia
8. Mastoiditis kronik yang divurigai meningitis
9. Sepsis
Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya dah
pada pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan dilakukan
pada meningitis kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis. Cairan
serebrospinal dikeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit kepala dan
sakit pinggang. Pungsi lumbal berulang-ulang juga dilakukan pada tekanan
intrakranial meninggi jinak (beningn intracranial hypertension), pungsi lumbal juga
dilakukan untuk memasukkan obat-obat tertentu.
Kontraindikasi
21
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah sekitar
tempat pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya proses
desak ruang dalam otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan pembekuan
yang belum diobati. Pada tekanan intrakranial meninggi yang diduga karena infeksi
(meningitis) bukan kontraindikasi tetapi harus dilakukan dnegan hati-hati.
Gambar 11. Lumbal Pungsi
- Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan menentukan etiologi :
Didapatkan cairan keruh atau opalesens dengan Nonne (-)/(+) dan Pandy (+)/(++).
Jumlah sel 100-10.000/m3 dengan hitung jenis predominan polimorfonuklear,
protein 200-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl. Pada stadium dini jumlah sel dapat
normal dengan predominan limfosit.
Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran LCS dapat tidak
spesifik.
- Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap diberikan pemberian
antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai diagnostik kecuali
identifikasi kuman, itupun jika antibiotiknya senstitif)
- Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intracranial, pungsi lumbal masih dapat dilakukan asalkan
berhati-hati. Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan komplikasi terjadinya
herniasi.
22
- Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan gejala
peningkatan tekanan intracranial oleh karena lesi desak ruang.
- Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI kepala (pada kasus berat atau curiga
ada komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus dan abses otak)
- Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan umum.
- Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit jika ada
indikasi.
7. Diagnosis
Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala
dan tanda saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk
dan adanya tanda rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada
meningismus, meningitis TBC dan meningitis aseptic. Hampir semua penulis
mengatakan bahwa diagnosis pasti meningitis hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan
cairan serebrospinalis melalui pungsi lumbal. Oleh Karena itu setiap pasien dengan
kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal.1
Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi pada
stadium dini dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya
didapatkan positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik cairan yang
sebagian besar terdiri dari sel polimorphonuclear (PMN). Pada stadium dini
didapatkan jumlah sel hanya ratusan permilimeter kubik dengan hitung jenis lebih
banyak limfosit daripada segmen. Oleh karena itu pada keadaan sedemikian, pungsi
lumbal perlu diulangi keesokan harinya untuk menegakkan diagnosis yang pasti.
Keadaan seperti ini juga ditemukan pada stadium penyembuhan meningitis purulenta.
Kadar protein dalam CSS meninggi. Kadar gula menurun tetapi tidak serendah pada
meningitis tuberkulosa. Kadar klorida kadang-kadang merendah.9
Dari pemeriksaan sediaan langsung dibawah mikroskop mungkin dapat
ditemukan kuman penyebab, walaupun hal tersebut jarang terjadi. Diferensiasi kuman
yang dapat dipercaya hanya ditentukan secara pembiakan (kultur) dan percobaan
binatang. Tidak ditemukan kuman pada sediaan langsung bukanlah kontra-indikasi
terhadap diagnosis. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis yang tinggi
dengan pergeseran ke kiri (Shift to the left). Umumnya terdapat anemia
megaloblastik.9
23
8. Diagnosis Banding
Meningitis viral
Encephalitis
Herpes Simplex Encephalitis
Neoplasma
Subarachnoid Hemorrhage
9. KOMPLIKASI
Komplikasi dini :
Syok septik, termasuk DIC
Hidrocephalus
Kejang (30-40% pada anak)
Edema serebri
Efusi/abses subdural
Efusi pericardial
Gangguan pendengaran samapi tuli
Komplikasi lanjut :
Disfungsi saraf kranial
Kejang multipel
Paralisis fokal
Defisit intelektual
Ataksia
Buta
Kejang
Kejang merupakan komplikasi yang penting dan sering terjadi hampir 1 dari 5
pasien. Insidens lebih tinggi pada usia kurang dari 1 tahun, mencapai 40%. Pasien
meninggal akibat dari iskemik yang difus pada susunan saraf pusat atau dari
komplikasi sistemik.
Walaupun dengan terapi antibiotik yang efektif, komplikasi neurologis tetap
terjadi pada 30% pasien.
24
Edema Serebral
Beberapa derajat dari edema serebral sering terjadi pada meningitis bakterial.
Komplikasi ini merupakan penyebab penting kematian.
Kelumpuhan saraf kranial dan infark serebri
Kelumpuhan saraf kranial dan efek dari terganggunya aliran darah otak, seperti
infark, merupakan penyebab dari peningkatan tekanan intrakranial. Pada kasus
tertentu, pungsi lumbal atau insersi drain ventrikular diperlukan untuk mengurangi
efek dari peningkatan ini.
Pada infark serebri, sel endotelial bengkak, proliferasi ke dalam lumen
pembuluh darah dan sel yang terinflamasi menginfiltrasi dinding pembuluh darah.
Nekrosis fokal pada dinding arteri dan vena memicu terjadinya trombosis. Trombosis
vena lebih sering terjadi dibandingakan arteri.
Gangguan cairan dan elektrolit
Pada pasien meningitis bacterial kadang disertai dengan hipervolemia (edema),
oliguria, gelisah, iritabel, dan kejang. Hal ini disebabkan oleh karena SIADH, sekresi
ADH berlebihan. Diagnosis ditegakkan dengan meninmbang ulang pasien, memeriksa
elektrolit serum, mengukur volume dan osmolaritas urin dan mengukur berat jenis
urin. Pengobatan dengan restriksi pemberian cairan, pemberian diuretic (furosemid).
Pada pasien berat dapat diberikan sedikit natrium.
10.TATA LAKSANA
Bayi dan anak
Antibiotic Dose (mg/kg/d) IV Maximum Daily Dose Dosing Interval
Ampicillin 400 6-12 g q6h
Vancomycin 60 2-4 g q6h
Penicillin G 400,000 U 24 million q6h
Cefotaxime 200-300 8-10 g q6h
Ceftriaxone 100 4 g q12h
Ceftazidime 150 6 g q8h
25
Cefepime* 150 2-4 g q8h
Imipenem † 60 2-4 g q6h
Meropenem 120 4-6 g q8h
Rifampin 20 600 mg q12h
*Minimal experience in pediatrics and not licensed for treatment of meningitis.
† Caution in use for treatment of meningitis because of possible seizures.
Tabel 2. Dosis antibiotik pada bayi dan anak dengan meningitis bakterial 8
Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi dan anak
dnegan meningitis bakterial sebagai berikut : 10
Usia 1 – 3 bulan :
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200-
300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
Usia > 3 bulan :
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Kloramfenikol
100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil kultur
dan resistensi.
Terapi empirik pada meningitis bakterialis ditunjukkan pada tabel berikut:
Usia pasien Bakteri penyebab yang
sering
Antibiotik
Neonatus Strptococcus Grup B
Listeria monocytogenes
Escherichia Coli
Ampisilin + Cefotaxim
2 bulan – 18 tahun Neisseria meningitidis
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus influenzae
Ceftriaksonb atau
Sefotaximc, dapat ditambah
vancomisind
18 – 50 tahun Streptococcus pneumoniae, Ceftriaksonb dapat ditambah
26
Neisseria meningitidis vancomisind
>50 tahun Streptococcus pneumoniae,
Listeria monocytogenes,
bakteri gram positif
vancomisind ditambah
ampiciline ditambah
Ceftriaksonb
Tabel 3. Terapi empirik pada meningitis bakterialis
a. Dosis sesuai umur, berat, dan prematuritas
b. Anak : 1000mg/kgBB/hari IV atau IM dalam dosis terbagi q 12h, dosis maksimum 2
gram/hari. Dewasa: 2 gram IV atau IM q12h, dosis maksimum 4 gram sehari.
c. Anak: 200 mg/kgBB/hari IV dibagi q 6h. Dewasa: 2 gram/hari q4-6h. dosis
maksimum 12 gram/hari
d. Anak: 60 mg/kgBB/hari IV dibagi q6h. Dewasa: 1 gram IV q12h
e. Anak: 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi q4h. dewasa 2 gram IV q4h. dosis maksimum
12 gram/hari.
Terapi Deksametason
Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis bakterial yang
menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi, penurunan edema
serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan kerusakan otak.8
Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan meningitis H.infulenzae tipe B
yang mendapat terapi deksametason menunjukkan penurunan signifikan insidens gejala sisa
neurologis dan audiologis, dan juga terbukti memperbaiki gangguan pendengaran. Oleh
karena itu IDSA merekomendasikan penggunaan deksametason pada kasus meningits oleh
H.influenza tipe B 10 – 20 menit sebelum atau saat pemberian antibiotik dengan dosis 0,15 –
0,6 mg/kg setiap 6 jam selama 2-4 hari.1,8
Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP. Oleh
karena itu pemberiannya harus dengan pemikiran yang matang berdasarkan kasus, resiko dan
manfaatnya.8
11.Pencegahan
27
Melakukan imunisasi yang direkomendasikan tepat waktu dan sesuai jadwal
merupakan pencegahan terbaik. Menjalani kebiasaan hidup sehat, seperti istirahat
yang cukup, tidak kontak langsung dengan penderita lain juga dapat membantu. Bila
hamil, resiko meningitis oleh bakteri Listeria (listeriosis) dapat dikurangi dengan
memasak daging dengan benar, hindari keju yang terbuat dari susu tanpa pasteurisasi.
Berikut beberapa vaksin untuk tiga bakteri penyebab meningitis: Neisseria
meningitidis, Streptococcus pneumoniae and Haemophilus influenzae type b (Hib):
Vaksin Meningococcus
Terdapat dua macam vaksin untuk Neisseria meningitidis yang tersedia di
America Serikat. Vaksin Meningococcus polisakarida (Menomune®). Vaksin
Meningococcus conjugate, Menactra® and Menveo®. Vaksin Meningococcus tidak
dapat mencegah semua tipe penyakit, namun dapat memberikan proteksi orang-orang
yang dapat sakit jika tidak diberi vaksin. Vaksin meningococcus conjugate di
rekomendasikan rutin untuk orang berusia 11 – 18 tahun dan anak serta dewasa yang
mempunyai resiko tinggi.
Vaksin Pneumococcal
Terdapat dua tipe dari vaksin pneumococcus yang tersedia : Vaksin polisakarida
dan konjugasi. Vaksin pneumococcus konjugasi, PCV7 (Prevnar®), yang diproduksi
akhir tahun 2000, merupakan vaksin pertama yang digunakan untuk anak-anak usia
kurang dari 2 tahun. PCV13 (Prevnar 13®), diproduksi awal tahun 2010,
menggantikan PCV7. Vaksin pneumococcus sebagai pencegahan penyakit pada anak-
anak usia 2 tahun atau lebih dan dewasa sudah digunakan sejak tahun 1977.
Pneumovax®, 23-valent polysaccharide vaccine (PPSV) di rekomendasikan untuk
dewasa usia 65 tahun atau lebih, untuk usia 2 tahun atau lebih yang mempunyai resiko
tinggi penyakit Pneumococcus (termasuk penyakit sel sabit, infeksi HIV, atau kondisi
imunokompromais, dan untuk usia 19-64 tahun yang merokok dan mempunyai asma.
Vaksin Hib
Vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib) mempunyai efektivitas yang tinggi
melawan meningitis bakterial oleh bakteri Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin Hib
dapat mencegah pneumonia, epiglottitis, dan infeksi serius lainnya yang disebabkan
oleh bakteri Hib. Vaksin ini di rekomendasikan untuk semua anak usia kurang dari 5
28
tahun di Amerika Serikat, dan biasa diberikan pada bayi mulai usia 2 bulan. Vaksin
Hib dapat dikombinasikan dengan vaksin lainnya.
12.PROGNOSIS
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain:
1. Umur pasien
2. Jenis mikroorganisme
3. Berat ringannya infeksi
4. Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir yang
menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai DIC
mempunyai prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan terlambat ataupun
kurang adekuat dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen. Infeksi yang
disebabkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik bersifat fatal
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang adekuat
dan pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat diturunkan.
Walaupun kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram negatif masih
sulit diturunkan, tetapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri-bakteri seperti
H.influenzae, pneumokok dan meningokok angka kematian dapat diturunkan dari 50-
60% menjadi 20-25%. Insidens sequele Meningitis bakterialis 9-38%, karena itu
pemeriksaan uji pendengaran harus segera dikerjakan setelah pulang, selain
pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan dengan
temuan klinis pada saat itu.1,9
29
BAB III
KESIMPULAN
Meningitis adalah proses infeksi dan inflamasi yang terjadi pada selaput otak. Infeksi
ini disertai dengan frekuensi komplikasi akut dan resiko morbiditas kronis yang tinggi. Klinis
meningitis dan pola pengobatannya selama masa neonatus (0 – 28 hari) biasanya berbeda
dengan polanya pada bayi yang lebih tua dan anak – anak. Meningitis dapat terjadi karena
infeksi virus, bakteri, jamur maupun parasit. Meskipun demikian, pola klinis meningitis pada
masa neonatus dan pasca – neonatus dapat tumpang tindih, terutama pada penderita usia 1 – 2
bulan dimana Streptococcus group B, H. influenzae tipe B, meningococcus, dan
pneumococcus semuanya dapat menimbulkan meningitis.
Gejala – gejala yang lazim adalah : nyeri kepala, nausea, muntah, dan adanya tanda
rangsang meningeal. Tanda – tanda infeksi sistem saraf pusat yang lazim, disamping demam
adalah : fotofobia, kesadaran kurang, stupor, koma, kejang – kejang dan defisit neurologis
setempat. Keparahan dan tanda – tanda ditentukan oleh patogen spesifik, hospes dan
penyebaran infeksi secara anatomis
Penyakit ini menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang signifikan di seluruh
dunia. Keadaan ini harus ditangani sebagai keadaan emergensi. Kecurigaan klinis meningitis
sangat dibutuhkan untuk diagnosis. Bila tidak terdeteksi dan tidak diobati, meningitis dapat
mengakibatkan kematian.
Selama pengobatan meningitis, perlu dimonitor efek samping penggunaan antiobiotik
dosis tinggi; periksa darah perifer serial, uji fungsi hati dan uji fungis ginjal. Perlu dilakukan
pemantauan ketat terhadap tumbuh kembang pasien yang sembuh dari meningitis.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview. Accessed May 29th,2011.
2. Tan TQ. Meningitis. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting. Pediatric
Hospital Medicine, textbook of inpatient management. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins; 2003. h. 443-6.
3. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. Accessed December 29th,
2014.
4. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid
1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.
5. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2010: 200 – 208.
6. Robert M. Kliegman, MD; Bonita F. Stanton, MD; Richard E. Behrman, MD. Nelson Textbook of pediatric 19 th edition. 2011
7. Allan. H. Ropper; Martin. A. Samuel. Adam’s and Victor Principal of Neurology 9 th
edition. 2009.
31