Referat Rds
-
Upload
wulan-dita-pratiwi -
Category
Documents
-
view
88 -
download
18
Transcript of Referat Rds
REFERAT
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
(RDS)
Oleh:
Wulan Dita Pratiwi Sam
1102009304
Pembimbing:
Dr. Natalina S, Sp.A
KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan Karunia-
Nya saya dapat menyelesaikan tugas penyusunan referat yang berjudul “RESPIRATORY
DISTRESS SYNDROME”.
Adapun referat ini dibuat untuk memenuhi syarat Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi Jakarta yang dilaksanakan di RSUD
Kabupaten Bekasi.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada dr. Natalina S, Sp.A selaku pembimbing,
yang telah membimbing dalam penyelesaian referat ini serta pihak yang secara langsung
maupun tidak langsung membantu dalam penyusunan referat ini.
Akhir kata bila ada kekurangan dalam pembuatan referat ini saya mohon kritik dan
saran yang bersifat membangun menuju kesempurnaan dengan berharap referat ini
bermanfaat bagi pembacanya.
Kab. Bekasi , Juli 2013
Penyusun
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..........................................................................................
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................
BAB II. PEMBAHASAN ......................................................................................
A. Definisi ………………………………………………………...............B. Etiologi………………………................................................................C. Patofisiologi……………………………………………………............D. Manifestasi Klinis………………………………………………...........E. Diagnosis…………………………………………….............................F. Terapi…………………………………………………..........................G. Penyulit……………………………………..…………..........................H. Komplikasi………………………………………………......................I. Prognosis…………………………………………………….................J. Diagnosis Banding …………………………………..............................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................
2
BAB 1
Respiratory Distress Syndrome (RDS)
Pendahuluan
Distress respirasi atau gangguan nafas merupakan masalah yang sering dijumpai pada
hari-hari pertama kehidupan BBL. Gangguan napas ini ditandai dengan takipnea, napas
cuping hidung, retraksi interkostal, sianosis dan apneu. Gangguan napas yang paling sering
ialah TTN (Transient Tachypnea of the Newborn), displasia bronkopulmonar dan RDS
(Respiratory Distress Syndrome) atau PMH (Penyakit Membran Hialin).1
RDS merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Kurang lebih 30 %
dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh RDS atau komplikasinya. Sindrom
gangguan pernapasan ditemui lebih sering di negara berkembang daripada di tempat lain,
terutama karena kebanyakan bayi prematur yang kecil untuk usia kehamilan mereka stres
dalam rahim karena kekurangan gizi atau hipertensi akibat kehamilan. RDS pada bayi
prematur bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat
lahir. Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi 32-
36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur.2
Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37
minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang
dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu mengalami RDS. Pada ibu
diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang menyebabkan terjadinya disfungsi
surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta
hal-hal yang menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau
adanya infeksi kongenital kronik. 2
Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih. Pada
laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi surfaktan
oleh sel pneumosit tipe II. Insidensinya berkurang pada pemberian steroid / thyrotropin
releasing hormon pada ibu. Pengenalan surfaktan eksogen sebagai pencegahan dan terapi
telah merubah keadaan klinik dari penyakit dan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari
penyakit.2
3
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Definisi
RDS adalah gangguan napas pada bayi baru lahir yang terjadi segera atau beberapa saat
setelah lahir dan menetap atau menjadi progresif dalam 48-96 jam pertama kehidupan. RDS
ini hampir sebagian besar terjadi pada Bayi Kurang Bulan, yang masa gestasinya kurang dari
37 minggu dan berat kurang dari 2500 gram. Pada pemeriksaan radiologik ditemukan adanya
gambaran retikulogranular yang uniform dengan air bronchogram.3
B. Etiologi
Penyebab kelainan ini secara garis besar adalah kekurangan surfaktan, suatu zat aktif
pada alveoli yang mencegah kolaps paru. RDS seringkali terjadi pada bayi prematur, karena
produksi surfaktan yang dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, baru mencapai jumlah cukup
menjelang cukup bulan. Makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan
terjadinya RDS. 4
C. Patofisiologi
Perkembangan paru normal
Paru berasal dari pengembangan “embryonic foregut” dimulai dengan perkembangan
bronkhi utama pada usia 3 minggu kehamilan. Pertumbuhan paru kearah kaudal ke
mesenkhim sekitar dan pembuluh darah, otot halus, tulang rawan dan komponen fibroblast
berasal dari jaringan ini. Secara endodermal epitelium mulai membentuk alveoli dan saluran
pernapasan. Di luar periode embrionik ini, ada 4 stadium perkembangan paru yang telah
dikenal. Pada seluruh stadium ini, perkembangan saluran pernapasan, pembuluh darah dan
proses diferensiasi berlangsung secara bersamaan.1
Pseudoglandular (5-17 minggu)
Terjadi perkembangan percabangan bronkhius dan tubulus asiner
Kanalikuler (16-26 minggu)
Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan mesenkhim
Diferensiasi pneumosit alveollar tipe II sekitar 20 minggu
Sakuler (24-38 minggu)
Terjadi perkembangan dan ekspansi rongga udara
Awal pembentukan septum alveolar
Alveolar (36 minggu – lebih 2 tahun setelah lahir)
4
Penipisan septum alveolar dan pembentukan kapiler baru.1
Surfaktan Paru
Surfaktan dibentuk pada pneumosit alveolar tipe II dan disekresi kedalam rongga
udara kecil sekitar usia kehamilan 22 minggu. Komponen utama surfaktan ini adalah
fosfolipid, sebagian besar terdiri dari dipalmithylphosphatidylcholine (DPPC). Surfaktan
disekresi oleh eksositosis dari lamellar bodies pneumosit alveolar tipe II dan mielin tubuler.
Pembentukan mielin tubuler tergantung pada ion kalsium dan protein surfaktan SP-A dan SP-
B. Surfaktan lapisan tunggal berasal dari mielin tubuler dan sebagian besar terdiri dari DPPC.
Fungsinya adalah untuk mengurangi tegangan permukaan, memfasilitasi ekspansi paru dan
mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi dan pemeliharaan sisa volume paru.1
Terjadi proses “re-uptake and recycling” secara aktif dari fosfolipid surfaktan (baik
endogenous maupun dari pemberian surfaktan) oleh pneumosit tipe II. Sejak saat ini
pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga udara masih 2-3 kali lebih
lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal,
dengan pembentukan alveoli sejak 32 – 34 minggu.1
Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum
mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion antara 28-32 minggu. Level yang
matur baru muncul setelah 35 minggu kehamilan.5
Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin) – 80 %,
phosphatidylglycerol – 7 %, phosphatidylethanolamine – 3 %, apoprotein (surfactant protein
A, B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah pula produksi
fosfolipid dan penyimpanannya pada sel alveolar tipe II. Protein merupakan 10 % dari
surfaktan, fungsinya adalah memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan
udara-cairan di alveolus dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan. 5
Surfaktan disintesa dari prekursor (1) di retikulum endoplasma (2) dan dikirim ke
aparatus Golgi (3) melalui badan multivesikular. Komponen-komponennya tersusun dalam
badan lamelar (4), yaitu penyimpanan intrasel berbentuk granul sebelum surfaktan
disekresikan. Setelah disekresikan (eksositosis) ke perbatasan cairan alveolus, fosfolipid-
fosfolipid surfaktan disusun menjadi struktur kompleks yang disebut mielin tubular (5).
Mielin tubular menciptakan fosfolipid yang menghasilkan materi yang melapisi perbatasan
cairan dan udara (6) di alveolus, yang menurunkan tegangan permukaan. Kemudian surfaktan
dipecah, dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe II, dalam bentuk vesikel-
vesikel kecil (7), melalui jalur spesifik yang melibatkan endosom (8) dan ditransportasikan
5
untuk disimpan sebagai badan lamelar (9) untuk didaur ulang. Beberapa surfaktan juga
dibawa oleh makrofag alveolar (10). Satu kali transit dari fosfolipid melalui lumen alveoli
biasanya membutuhkan beberapa jam. Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II
dan digunakan kembali 10 kali sebelum didegradasi. Protein surfaktan disintesa sebagai
poliribosom dan dimodifikasi secara ekstensif di retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan
badan multivesikular. Protein surfaktan dideteksi dalam badan lamelar sebelum surfaktan
disekresikan ke alveolus.2
Kegagalan mengembangkan functional residual capacity (FRC) dan kecenderungan
dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan dengan tingginya tegangan
permukaan dan absennya phosphatydilglycerol, phosphatydilinositol, phosphatydilserin,
phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin. Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH
normal, suhu dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat
hipovolemia, hipotensi dan stress dingin; menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang
melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek
pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan. 5
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan
baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru yang tidak efisien
karena jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema interstitial terjadi
sebagai resultan dari meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan
dan protein masuk ke rongga laveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu
pada neonatus pusat respirasi belum berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih
lemah. 5
Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema
interstitial mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk
mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah tertarik karena
diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan
intratorakal yang dapat diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan
terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi prematur yang memiliki compliance tinggi
memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi matur, berlawanan dengan kecenderungan
alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada akhir respirasi volume toraks dan paru-paru
mencapai volume residu, cencerung mengalami atelektasis. 2
Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit respirasi
yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan atelektasis,
menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh ventilasi, yang
6
menimbulkan hipoksia. Berkurangnya compliance paru, tidal volume yang kecil,
bertambahnya ruang mati fisiologis, bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya
ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia. Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis
menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri
melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui paru sendiri. Aliran darah paru
berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler
menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli. 2
Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas
lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan
perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan
asidosis metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah
paru dan penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi
surfaktan turun. Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen
ovale dan duktus arteriosus memperburuk hipoksemia. 5
Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya
resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler,
aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga
alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan. 5
Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru
merupakan karakteristik RDS. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara
beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi premature
mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin berkurang.2
Patofisiologi RDS Pada bayi dengan RDS, dimana adanya ketidak mampuan paru untuk mengembang
dan alveoli terbuka. RDS pada bayi yang belum matur menyebabkan gagal pernafasan karma imaturnya dinding dada, parenchyma paru, dan imaturnya indotelium kapiler yang menyebabkan kolaps paru pada akhir ekspirasi.
Pada bayi dengan RDS disebabkan oleh menurunnya jumlah surfaktan/perubahan kualitatif surfaktan, dengan demikian menimbulkan ketidakmampuan alveoli untuk ekspansi. Terjadinya perubahan tekanan intra - extrathoracic dan menurunnya pertukaran udara.
Secara alamiah perbaikan mulai setelah 24-48 jam. Sel yang rusak akan diganti. Membran hyaline, berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam protein nacreous filtrate serum ( saringan serum protein ), difagosit oleh makrofag. Sel cuboidal menempatkan pada alveolar yang rusak dan epithelium jalan nafas, kemudian terjadi perkembangan sel kapiler baru pada alveolai. Sintesis surfaktan memulai lagi dan kemudian membantu perbaikan alveoli untuk pengembangan.
D. Manifestasi klinik
7
Tanda dari RDS biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya baru
diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60 x /
menit). Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain.
Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres
pernafasan awal yang berat.6
Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal dan subcostal, dan
pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif terhadap
oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada
inspirasi dalam dapat terdengar ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior.
Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan dyspnea. 6
Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi
peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya
penyakit. Apneu dan pernafasan iregular muncul saat bayi lelah, dan merupakan tanda
perlunya intervensi segera. 6
Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria.
Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang
cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat.
Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode
inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi yang
lahir pada 32 – 33 minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali normal dalam 1 minggu
kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 26 – 28 minggu) biasanya memerlukan
ventilasi mekanik. 1
Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar
oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada hari
kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema
interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular. Kematian dapat terjadi
setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi bronchopulmonary displasia (BPD) pada
penderita dengan ventilasi mekanik (RDS berat). 1
E. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis tentang:
Riwayat kelahiran kurang bulan.
Riwayat ibu dengan diabetes melitus.
8
Riwayat persalinan yang mengalami asfiksia perinatal (gawat janin), atau
partus tindakan dengan bedah sesar.
Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit RDS.6
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan.
Dijumpai sindroma klinis yang terdiri dari kumpulan gejala
o Sesak napas, dengan frekuensi napas >60 kali/menit atau <30 kali/menit
o Grunting atau merintih
o Retraksi dinding dada
o Kadang dijumpai sianosis pada suhu kamar1,6,7
Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR
score (derajat asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai Silverman score > 7
berarti ada distress nafas, namun ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2
selama > 24 jam. 2,6
Tabel Silverman score 2
Grade Gerakan dada
atas
Dada bawah
(retraksi ICS)
Retraksi
epigastrium
PCH Grunting
0 Sinkron - - - -
1 Tertinggal
pada inspirasi
ringan ringan minimal Terdengar
pada
stetoskop
2 See-saw jelas jelas Jelas Terdengar
tanpa
stetoskop
Perhatikan tanda prematuritas.
Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru-paru.
Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya bayi,
adanya infeksi dan derajat dari pirau PDA.
Penyakit bisa menetap atau menjadi progresif setelah 48-96 jam pertama
kehidupan.1,7
9
3. Pemeriksaan Penunjang
Foto toraks
Posisi AP dan lateral, bila diperlukan serial. Gambaran radiologi dapat memberi
gambaran penyakit membran hialinyang menunjukkan gambaran retikulogranular yang
difus bilateral atau gambaran bronkhogram udara (air bronchogram) dan paru yang
tidak berkembang.8 Terdapat 4 Derajat :
Derajat 1 (ringan): kadang normal atau gambaran retikulogranuler, homogen,
tidak ada air bronchogram.8
Derajat 2 (ringan-sedang): 1 + air bronchogram
Gambaran air bronchogram (gambaran bronko yang seharusnya terisi udara)
yang menonjol menunjukkan bronkiolus yang menutup latar belakang alveoli
yang kolaps.8
Derajat 3 (sedang-berat) : 2 + batas jantung-paru kabur
Derajat 4 (berat): 3 + white lung
10
4. Laboratorium
Darah : Hb, Ht, dan gambaran darah tepi tidak menunjukkan tanda infeksi.
Menunjukkan pada kecurigaan pneumonia.6 Kultur streptokokus (-).
Analisis gas biasanya memberikan hasil : hipoksemia, asidemia yang berupa
metabolik, respiratorik atau kombinasi, dan saturasi oksigen yang tidak normal.7
Rasio lesitin/sfingomielin (L/S ratio <2:1). 7
Shake test (tes kocok), jika tidak ada gelembung, resiko tinggi untuk terjadinya
PMH 60%. 7
F. Terapi
Manajemen ventilator mekanik
Pemberian continuous positive airway pressure (CPAP) akan meningkatkan
oksigenasi dan survival. CPAP mulai dipasang pada tekanan sekitar 5-7 cm H2O melalui
prong nasal, pipa nasofaringeal atau pipa endotrakheal. Pada beberapa bayi dengan derajat
sakit sedang, CPAP mungkin dapat mencegah kebutuhan untuk pemakaian ventilator
mekanik (VM).2,5
CPAP memperbaiki oksigenasi dengan meningkatkan functional residual capacity
(FRC) melalui perbaikan alveoli yang kolaps, menstabilkan rongga udara, mencegahnya
kolaps selama ekspirasi. CPAP diindikasikan untuk bayi dengan RDS PaO2 > 50%.
Pemakaian secara nasopharyngeal atau endotracheal saja tidak cukup untuk bayi kecil, harus
diberikan ventilasi mekanik bila oksigenasi tidak dapat dipertahankan. Pada bayi dengan
berat lahir di atas 2000 gr atau usia kehamilan 32 minggu, CPAP nasopharyngeal selama
beberapa waktu dapat menghindari pemakaian ventilator. Meski demikian observasi harus
tetap dilakukan dan CPAP hanya bisa diteruskan bila bayi menunjukan usaha bernafas yang
adekuat, disertai analisa gas darah yang memuaskan. 5
11
CPAP diberikan pada tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs. Hal ini
menyebabkan tekanan oksigen arteri meningkat dengan cepat. Meski penyebabnya belum
hilang, jumlah tekanan yang dibutuhkan biasanya berkurang sekitar usia 72 jam, dan
penggunaan CPAP pada bayi dapat dikurangi secara bertahap segera sesudahnya. Bila dengan
CPAP tekanan oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg (sudah menghirup
oksigen 100 %), diperlukan ventilasi buatan. 5
Ventilasi Mekanik
Bayi dengan RDS berat atau disertai komplikasi, yang berakibat timbulnya apnea
persisten membutuhkan ventilasi mekanik buatan. Indikasi penggunaannya antara lain : 4,5,9
1. Analisa gas darah menunjukan hasil buruk
pH darah arteri <>
pCO2 arteri > 60 mmHg
pO2 arteri < 50 mmHg pada konsentrasi oksigen 70 – 100 %
2. Kolaps kardiorespirasi
3. Apnea persisten dan bradikardi
Memilih ventilator mekanik
Ventilasi tekanan positif pada bayi baru lahir dapat diberikan berupa ventilator
konvensional atau ventilator berfrekuensi tinggi (150 x / menit). Ventilator konvensional
dapat berupa tipe “volume” atau “tekanan”, dan dapat diklasifikasikan lebih lanjut dengan
dasar cycling mode – biasanya siklus inspirasi diterminasi. Pada modus pressure limited time
cycled ventilation, tekanan puncak inspirasi diatur dan selama inspirasi udara dihantarkan
untuk mencapai tekanan yang ditargetkan. Setelah target tercapai, volume gas yang tersisa
dilepaskan ke atmosfer. Hasilnya, penghantaran volume tidal setiap kali nafas bervariabel
meski tekanan puncak yang dicatat konstan. Pada modus volume limited, pre-set volume
dihantarkan oleh setiap nafas tanpa memperhatikan tekanan yang dibutuhkan. Beberapa
ventilator menggunakan aliran udara sebagai dasar dari cycling mode di mana inspirasi
berakhir bila aliran telah mencapai level pre-set atau sangat rendah (flow ventilators). Ada
juga ventilator yang mampu menggunakan baik volume atau pressure controlled ventilation
bergantung pada keinginan operator. 5
Ventilasi dengan fekuensi tinggi biasanya diberikan dengan high frequency oscillatory
ventilators (HFOV). Terdapat piston pump atau vibrating diaphragm yang beroperasi pada
12
frekuensi sekitar that 10 Hz (1 Hz = 1 cycle per second, 60 cycles per minute). Selama
HFOV, baik inspirasi maupun ekspirasi sama-sama aktif. Tekanan oscillator pada jalan udara
memproduksi volume tidal sekitar 2-3 ml dengan tekanan rata-rata jalan udara dipertahankan
konstan, mempertahankan volume paru ekivalen untuk menggunakan CPAP dengan level
sangat tinggi. Volume gas yang dipindahkan pada volume tidal ditentukan oleh ampiltudo
tekanan jalan udara oscillator (P). 5
Ventilator konvensional
Hipoksemia pada RDS biasanya terjadi karena ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
(V/Q) atau pirau dari kanan ke kiri, abnormalitas difusi dan hipoventilasi merupakan factor
tambahan. Oksigenasi terkait langsung pada FiO2 dan tekanan rata-rata jalan udara (mean
airway pressure - MAP). MAP dapat ditingkatkan dengan perubahan tekanan puncak
inspirasi (peak inspiratory pressure - PIP), positive end expiratory pressure (PEEP) atau
dengan mengubah rasio inspirasi : ekspirasi (I:E) dengan memperpanjang waktu inspirasi
sementara kecepatannya tetap konstan. MAP yang sangat tinggi dapat menyebabkan distensi
berlebihan, meski oksigenasi adekuat, transport oksigen berkurang karena penurunan curah
jantung. Pembuangan CO2 berbanding lurus dengan minute ventilation, ditentukan oleh
produk volume tidal (dikurangi ventilasi ruang mati) dan kecepatan pernafasan. Untuk minute
ventilation yang sama, perubahan penghantaran volume tidal lebih efektif untuk merubah
eliminasi CO2 dibanding perubahan kecepatan pernafasan karena ventilasi ruang mati tetap
konstan. 5,9
a. Peak Inspiratory Pressure (PIP)
Perubahan pada PIP mempengaruhi oksigenasi (dengan mengubah MAP) dan CO2
dengan efek pada volume tidal dan ventilasi alveolar. Peningkatan PIP menurunkan PaCO2
dan memperbaiki oksigenasi (PaO2 meningkat). Pemakainan PIP ditentukan oleh compliance
system pernafasan dan bukan oleh ukuran atau berat bayi. Gunakan PIP terendah yang
menghasilkan ventilasi adekuat berdasarkan pemeriksaan klinik (gerakan dada dan suara
nafas) dan analisa gas darah. PIP berlebih dapat menyebabkan paru mengalami distensi
berlebihan dan meningkatkan resiko baro/volutrauma dan menimbulkan kebocoran udara. 5,9
b. Positive End Expiratory Pressure (PEEP)
13
PEEP yng adekuat mencegah kolaps alveoli dan dengan mempertahankan volume paru
saat akhir respirasi, memperbaiki keseimbangan V/Q. Peningkatan PEEP memperbesar MAP
dan memperbaiki oksigenasi. Sebaliknya, PEEP berlebih (> 8 cm H2O) menginduksi
hiperkarbia dan memperburuk compliance paru dan mengurangi hantaran volume tidal karena
alveoli terisi berlebihan P = PIP - PEEP). PEEP berlebih juga dapat menimbulkan efek
sampping pada hemodinamik karena paru mengalami distensi berlebih, menyebabkan
penurunan venous return, yang kemudian menurunkan curah jantung. Tekanan 3 – 6 cm H2O
memperbaiki oksigenasi pada bayi baru lahir dengan RDS tanpa mengganggu mekanisme
paru-paru, eliminasi CO2 atau stabilitas hemodinamik. 5
c. Frekuensi
Terdapat 2 metode dasar, frekuensi rendah dan frekuensi tinggi Frekuensi rendah
dimulai pada kecepatan 30 - 40 nafas / menit (bpm). Metode cepat sekitar 60 bpm dan dapat
ditingkatkan hingga 120 bpm bila bayi bernafas lebih cepat dari ventilator. Waktu ekspirasi
harus lebih panjang dari inspirasi untuk mencegah alveoli mengalami distensi berlebihan,
waktu inspirasi harus dibatasi maksimum 0,5 detik selama ventilasi mekanik kecuali dalam
keadaan khusus. Pada frekuensi tinggi terjadi penurunan insidensi pneumotoraks , mungkin
karena frekuensi ini sesuai dengan usaha nafas bayi. Waktu inspirasi memanjang akan
meningkatkan MAP dan memperbaiki oksigenasi, dan merupakan alternative dari
peningkatan PIP. Namun hal ini merupakan predisposisi dari distensi berlebihan pada paru
serta air trapping karena waktu ekspirasi berkurang. 5
d. Kecepatan Aliran
Aliran minimum setidaknya 2 kali minute ventilation bayi (normal : 0.2 – 1 L / menit)
cukup adekuat, tapi dalam prakteknya digunakan 4 – 10 L / menit. Bila digunakan frekuensi
nafas lebih tinggi dengan waktu inspirasi lebih pendek, kecepatan aliran di atas kisaran harus
diberikan untuk menjamin penghantaran volume tidal. Kecepatan aliran yang tinggi
memperbaiki oksigenasi karena efeknya pada MAP. Beberapa ventilator memiliki kecepatan
aliran yang tetap, yaitu sebesar 5 L / menit. 5
Sirkulasi
14
Auskultasi suara jantung, ukur tekanan darah, palpasi denyut nadi dan periksa
hematokrit1
Koreksi asidosis metabolik
Asidosis metabolik berat (pH < 7.2) dengan kadar bikarbonat serum (< 15-16 mEq/L)
atau defisit basa menunjukkan beratnya penyakit. Penyebab harus segera ditentukan dan
ditangani.1
Jaga kehangatan suhu bayi sekitar 36,5°C – 36,8°C (suhu aksiler) untuk mencegah
vasokonstriksi perifer1
Langkah selanjutnya untuk mencari penyebab distres respirasi1
Terapi pemberian surfaktan1
Produk Dosis Dosis tambahan
Calfactant3 ml/kgBB lahir diberikan
dalam 2 aliquot
Mungkin dapat diulang setiap 12 jam
sampai dosis 3 kali berturut-turut
dengan interval 12 jam bila ada
indikasi
Beractant4 ml/kgBB lahir diberikan
dalam 4 dosis
Mungkin dapat diulang minimal
setelah 6 jam, sampai jumlah total 4
dosis dalam waktu 48 jam setelah lahir
Colfosceril5 ml/kgBB lahir diberikan
dalam waktu 4 menit
Mungkin dapat diulang setelah 12 jam
dan 24 jam bila ada indikasi
Porcine2,5 ml/kgBB lahir
diberikan dalam 2 aliquot
Dua dosis berurutan 1,25 ml/kg, dosis
diberikan dengan interval 12 jam bila
ada indikasi
15
Bila tidak tersedia fasilitas NICU segera rujuk ke rumah sakit yang tersedia NICU1
Pemantauan
Dipantau efektivitas terapi dengan memperhatikan perubahan gejala klinis yang
terjadi.
Setelah BKB/BBLR melewati masa kritis yaitu kebutuhan oksigen sudah terpenuhi
dengan oksigen ruangan atau atmosfer, suhu tubuh bayi sudah stabil diluar inkubator, bayi
dapat menetek, ibu bisa merawat dan mengenali tanda-tanda sakit pada bayi dan tidak ada
komplikasi atau penyulit maka bayi dapat berobat jalan.6
G. Penyulit
Kebocoran Udara
Infeksi
Perdarahan intrakranial
Fibroplasia retrolental
Displasia bronkopulmonal.2
H. Komplikasi
1. Patent Ductus Arteriosus
Insidensi PDA pada bayi prematur dengan RDS sekitar 90%. Dengan meningkatnya angka
bertahan hidup bayi sangat kecil disertai penggunaan surfaktan eksogen, PDA sebagai
komplikasi RDS merupakan masalah dari penanganan RDS pada awal kehidupan. 4
PDA diasosiasikan dengan pirau dari kanan ke kiri dan peningkatan aliran darah paru dan
tekanan arteri pulmonal. Peningkatan aliran darah paru menyebabkan berkurangnya
compliance paru yang akan membaik setelah ligasi PDA. Peningkatan aliran darah paru akan
menimbulkan kegagalan ventrikel kiri dan edema paru serta mempengaruhi keseimbangan
cairan paru. Kebocoran protein plasma ke rongga alveoli menghambat fungsi surfaktan. Hal
ini akan meningkatkan kebutuhan oksigen serta ventilasi mekanik. 4
2. Hemorrhagic Pulmonary Edema
16
Perdarahan paru seringkali terjadi sekunder akibat edema paru berat yang merupakan
komplikasi dari RDS dan PDA. Insidensinya pada bayi prematur sekitar 1 % namun pada
otopsi ditemukan sekitar 55 %. Cairan hemoragis di rongga udara merupakan filtrat kapiler
yang berasal dari rongga interstitial atau perdarahan alveoli. Bentuk interstitial ditandai
dengan perdarahan pleura, septum interlobularis, peribronkial, perivaskular, dan dinding
aleolar. Bila perdarahan masuk ke alveoli, eritrosit memenuhi rongga udara dan meluas
hingga ke bronkiolus dan bronkus. 4
3. Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE)
PIE dapat terjadi simetris, asimetris atau terlokalisasi pada satu bagian paru. PIE yang
terletak di perifer dapat menimbulkan bleb subpleura yang bila pecar akan menimbulkan
pneumotoraks. Bisa juga menyebabkan terjadinya pneumomediastinum atau
pneomopericardium. Bila alveoli ruptur, udara dapat terlokalisasi dan bersatu di parenkim
membentuk pseudokista. Rupturnya alveoli dapat menyebabkan udara masuk ke vena
pulmonalis, menimbulkan emboli udara. 4
4. Infeksi
Infeksi dapat manifes sebagai kegagalan untuk membaik, perburukan mendadak, perubahan
jumlah leukosit, trombositopenia. Terdapat peningkatan insidensi septicemia sekunder
terhadap staphylococcal epidermidis dan atau Candida. Bila curiga akan adanya septikemia,
lakukan kultur darah dari 2 tempat berbeda dan berikan antibiotik 4,8
5. Perdarahan intracranial dan leukomalasia periventrikuler
Perdarahan intrakranial didapatkan pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi lebih tinggi
pada bayi RDS yang membutuhkan ventilasi mekanik. Ultrasound kepala dilakukan dalam
minggu pertama. Terapi indometasin profilaksis dan pemberian steroid antenatal menurunkan
insidensinya. Hipokarbia dan chorioamnionitis dikaitkan dengan peningkatan periventricular
leukomalacia. 8
I. Prognosis
Sangat bergantung pada berat badan lahir dan usia gestasi (berbanding terbalik dengan
kemungkinan timbulnya penyulit).2 Prognosis baik bila gangguan napas akut dan tidak
berhubungan dengan keadaan hipoksemi yang lama.1
17
18