Referat PID

11
BAB I Pendahuluan Pelvic infammatory disease (PID) atau penyakit radang panggul merupakan peradangan yang mengenai uterus, tuba allopii dan daerah yang berbatasan dengan pelvis () ! PID mengenai " #anita usia produktiv, dimana hampir satu $uta #anita mengalami episode PID setiap tahunnya, dan %&" dari mereka ini sampai memerlukan ra#at inap! PID $uga meyumbang sekitar %,' $uta pasien ra#at $alan dan %'!&&& '&!&&&pasien ra#at inap per tahunnya! Diagnosis atau penanganan yang terlambat dapat menyebabkan sekuele reproduksi yang pan$ang seperti inertilitas tuba! etiap pengulangan ter$adinya episode PID akan meningkatkan peluang ter$adinya inertilitas tuba men$adi dua kali lipat! *anita dengan ri#ayat PID memiliki peluang untuk mengalami kehamilan ektopik + & kali lipat dibandingkan #anita tanpa ri#ayat PID! yeri pelvis kronis $uga dapat ter$adi pasca PID pada %' +'" #anita! PID ter$adi lebih sering pada #anita usia rema$a ( ' - tahun), tetapi pada dasarnya penyakit ini dapat ter$adi pada setiap #anita yang masih aktiv berhubungan seksual! .aktor usia ini $uga dipengaruhi oleh geogra/ #ilayah dan etiologi!

description

pid

Transcript of Referat PID

BAB I

BAB I

Pendahuluan

Pelvic inflammatory disease (PID) atau penyakit radang panggul merupakan peradangan yang mengenai uterus, tuba fallopii dan daerah yang berbatasan dengan pelvis (1).

PID mengenai 11% wanita usia produktiv, dimana hampir satu juta wanita mengalami episode PID setiap tahunnya, dan 20% dari mereka ini sampai memerlukan rawat inap. PID juga meyumbang sekitar 2,5 juta pasien rawat jalan dan 125.000- 150.000pasien rawat inap per tahunnya.

Diagnosis atau penanganan yang terlambat dapat menyebabkan sekuele reproduksi yang panjang seperti infertilitas tuba. Setiap pengulangan terjadinya episode PID akan meningkatkan peluang terjadinya infertilitas tuba menjadi dua kali lipat. Wanita dengan riwayat PID memiliki peluang untuk mengalami kehamilan ektopik 7-10 kali lipat dibandingkan wanita tanpa riwayat PID. Nyeri pelvis kronis juga dapat terjadi pasca PID pada 25-75% wanita.

PID terjadi lebih sering pada wanita usia remaja (15-19 tahun), tetapi pada dasarnya penyakit ini dapat terjadi pada setiap wanita yang masih aktiv berhubungan seksual. Faktor usia ini juga dipengaruhi oleh geografi wilayah dan etiologi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

"Penyakit radang panggul" (PID) merupakan istilah umum dari suatu infeksi yang akut, subakut, berulang, ataupun kronis dari oviduct dan ovarium, serta sering mengenai pula jaringan di sekitarnya. Namun istilah ini masih samar sehingga perlu untuk memakai nama yang lebih spesifik, termasuk didalamnya organ mana yang terlibat, stadium infeksinya, dan jika memungkinkan agen penyebabnya (2).

2.2 Klasifikasi(2)

Penyakit radang panggul dibagi menjadi:

a. Salpingitis akut

i. Gonokokal

ii. Nongonokokal

b. Sellulitis yang berhubungan dengan IUD

c. Abses Tubo-Ovarium

d. Abses Pelvis

2.2.1 Salpingitis akut

a. Kriteria diagnosis:

Adanya keluhan berupa nyeri perut atau panggul, biasanya terjadi pada onset atau ketika berhentinya menstruasi, disertai adanya keputihan, nyeri goyang pada uterus, adnexal, dan cerviks, ditambah salah satu dari kondisi dibawah ini:

i. Suhu diatas 38,3 C

ii. Leukosit > 10.000/uL atau adanya peningkatan C-reaktive protein.

iii. Adanya massa peradangan (dari pemeriksaan fisik atau USG).

iv.Adanya diplokokus gram negative intraselular pada sekresi serviks.

v. adanya nanah dari rongga peritoneal

vi. Peningkatan laju endap darah.

b. Gejala dan Tanda:

Biasanya didapatkan nyeri perut bagian bawah atau panggul yang akut, bisa bilateral ataupun unilateral. Sering juga kita dapatkan nyeri pada panggul, serta nyeri pada punggung yang menjalar ke bawah sampai ke kedua tungkai. Kebanyakan gejala ini semua muncul segera setelah berhentinya menstruasi. Kadang-kadang disetrtai dengan keputihan.

Rasa mual juga bisa terjadi dengan atau tanpa muntah, tapi keadaan ini jika terjadi bisa merupakan indikasi dari penyakit yang sudah lebih serius. Sakit kepala dan kelesuan merupakan gejala yang sering muncul.

Demam tidak terlalu penting untuk dasar diagnosis dari salpingitis akut, walaupun tidak adanya demam ini bisa menyebabkan kita berfikir untuk terjadinya KET. Ini disebabkan karena dari penelitian didapatkan hanya 30% dari penderita yang didiagnosis sebagai salpingitis akut yang menderita demam.

Nyeri tekan perut sangat sering didapatkan, terutama di kuadran bawah. Perut bisa didapatkan sedikit kembung, dan bising usus menurun atau bahkan hilang.

c. Laboratorium:

Leukositosis dengan gambaran shift to the left biasanya ada, walaupun penghitungan sel darah putih masih bisa normal. Dari sediaan apus sekret cervikal bisa didapatkan diplokokus gram negative yang berbentuk ginjal dalam sel PMN.

d. Gambaran radiologi

Dari pemeriksaan ini bisa kita dapatkan gambaran ileus, walaupun hal ini tidak spesifik. Udara bisa kita temukan di bawah diafragma dengan rupture abses tubo-ovarian atau pelvis, jika hal ini terjadi perlu secepatnya dilakukan laparotomy dan juga penggunaan terapi antibiotik.

e. USG

Dengan pemeriksaan ini dapat kita bedakan antara PID yang akut dengan yang kronis, diman pada PID akut akan kita dapatkan pemisahan dinding tuba yang yang incomplete (cogwheel sign), dan pada PID kronis didapatkan dinding tuba yang tipis (beaded string). Jika diagnosis dari USG ini dikuatkan dengan diagnosis dari laparoskopik, akan didapatkan nilai diagnostik yang akurasinya mencapai 90%. USG ini juga merupakan alat yang palaing baik dalam menilai progresivitas atau regresivitas dari suatu abses yang telah terdiagnosis.

f. Kuldosentesis

Pemeriksaan ini (cul-de-sac tap) bisa membantu dalam mendiagnosis PID., dilakukan jika kita perlu sampel dari rongga peritoneal untuk mendiagnosis PID. Kontra indikasi pemeriksaan ini jika kita dapatkan massa pada cul-de-sac, atau uterus yang retrofleksi.

Tabel 1. Evaluasi cairan dari kuldosentesis

TemuanImplikasi diagnosis

DarahKET yang rupture

Perdarahan dari kista corpus luteum

Menstruasi retrograd

Rupture limpa atau hepar

Perdarahan dari GI traktus

Salpingitis akut

NanahRupture abses tubo-ovarian

Rupture apendiks

Rupture abses divertikular

Abses uterus dan myoma

KeruhPelvis peritonitis

Kista adneksa

Penyebab peritonitis lainnya

g. Diagnosis banding

Salpingitis akut harus didiagnosis banding dengan apendiksitis akut, Kehamilan ektopik, rupturnya kita korpus uteri dengn perdarahan, divertikulitis, aborsi sepsis, torsio dari massa adneksal, degenerasi dari leiomioma, endometriosis, infeksi traktus urinarius, enteritis regional, dan kolitis ulserative.

h. Komplikasi

Komplikasi dari salpingitis akut termasuk: peritonitis pelvis atau peritonitis generalis, pembentukan abses di rongga pelvis, adesi dan obstruksi usus.

i. Pengobatan

Seperti infeksi panggul wanita pada umumnya, mikroba penyebab dari infeksi ini tidak didapatkan lagi pada saat munculnya manifestasi klinis, sehingga terapi empiris harus diberikan ketika diagnosis ditegakkan. Mayoritas dari para wanita yang datang dengan salpingitis-peritonitis akut ringan samapi sedang biasanya berespon baik terhadap antibiotik yang diberikan untuk rawat jalan. Rawat inap biasanya dilakukan pada wanita yang menampakkan gejala klinis yang berat atau pada pasien dengan diagnosis yang masih belum jelas, selain itu dengan indikasi tertentu seperti kemungkinan apendiksitis yang emergensi, ataupun kehamilan ektopic masih belum dapat disingkirkan, pasien hamil, kegagalan terapi rawat jalan, pasien yang tidak toleran terhadap regimen pengobatan, wanita dengan immunodefisiensi perlu untuk rawat inap

Regimen terapi untuk rawat jalan :

ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal

plusdoxycycline 100 mg orally 12 jam selama 14 hari plusmetronidazole 400 mg orally 12 jam selama 14 hari

Regimen terapi untuk rawat inap:

Doksisiklin, 100 mg iv atau oral 2 kali per hari

Plus

Cefoksitin, 2 gr iv 4 kali per hari atau cefotetan, 2 gr iv. 2 kali per hari, sedikitnya 24 jam setelah pasien memperlihatkan perbaikan gejala klinis.

Diikuti dengan doksisiklin 100 mg per oral 2 kali per hari sampai 14 hari dari hari awal terapi.

2.2.2 Infeksi Pelvis Berulang atau Kronis

Kriteria Diagnosis

Riwayat salfingitis akut, infeksi pelvis atau infeksi pasca persalinan atau pasca abortus

Episode ulangan dari reinfeksi akut atau gejala dan temuan fisik ulangan pada kurang dari 6 minggu setelah terapi salfingitis akut.

Infeksi kronik bisa tanpa gejala atau dapat menmunculkan keluhan nyeri pelvis kronik atau dyspareunia.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pelvis generalized pelvic tenderness, biasanya lebih ringan dibandingkan infeksi akut.

Penebalan jariangan adnexa, dengan atau tanpa hydrosalpinx. Infertilitas (sering terjadi)

Gambaran Umum

Penyakit peradangan pelvis berulang (recurrent pelvic inflammatory disease) bermula sebagai penyakit primer, namun adanya kerusakan jaringan tuba dapat terjadi pada infeksi yang berat. Infeksi pelvis kronis secara tidak langsung akan menyebabkan perubahan jaringan pada parametrium, tuba dan ovarium. Biasanya ditemukan penempelan permukaan peritoneum pada adnexa dan perubahan fibrotik pada tuba. Selain itu, dapat ditemukan hydrosalpinx atau kompleks tubo-ovarian. Lesi peradangan kronik biasanya akibat salpingitis akut sebelumnya tapi bisa juga menunjukkan reinfeksi akut.

Diagnosis infeksi pelvis kronis biasanya sulit ditegakkan secara klinis. Hanya sekitar kurang dari 50% wanita dengan penyakit ini, ditemukan keluhan nyeri.

Temuan Klinis

Gejala dan Tanda

Infeksi ulangan biasanya manifestasinya sama dengan salpingitis akut, dan biasanya ditemukan riwayat infelsi pelvis. Nyeri bisa unilateral ataupun bilateral dan seringkali dilaporkan adanya dyspareunia dan infertilitas. Bisa ditemukan demam, takikardi namun pada reinfeksi akut biasanya demamnya minimal. Selain itu, ditemukan nyeri tekan pada ergerakan servix, uterus atau adnexa. Sering kali ditemukan massa adnexa dan penebalan perametrium.

Temuan Laboratoris

Kultur dari cervix biasanya tidak ditemukan gonokokus kecuali pada reinfeksi. Dapat ditemukan lekositosis bila perubahan kronis terjadi superinfeksi akut.

Diagnosis Banding

Setiap pasien yang dicurigai adanya infeksi pelvis kronis dengan adanya nyeri tekan pelvis namun tidak disertai dengan demam, harus dicurigai adanya kehamilan ektopik. Selain itu, pertimbangkan adanya endometriosis, relaksasi uterus bergejala, apendisitis, diverkulitis, enteritis regional, kolitis ulseratif, kista atau tumor ovarium dan sistouretritis akut atau kronis.

Komplikasi

Komplikasinya antara lain hydrosalpinx, pyosalpinx dan abses tubo ovarium; infertilitas atau kehamilan ektopik; dannyeri pelvis kronis.

Pencegahan

Cera pencegahan utamanya adalah tindakan terapi pada infeksi pelvis kronis yang tepat dan adekuat. Selian itu, penting juga memberikan penyuluhan tentang upaya mencegah penyait menular seksual.

Penatalaksanaan

a. Kasus Ulangan

Obati untuk salpingitis akut. Bila terdapat IUD, terapi dapat dimulai dan IUD harus dilepas.

b. Kasus Kronis

Pemberian antibiotik jangka panjang masih dipertanyakan manfaatnya namun bermanfaat bagi wanita muda dengan paritas rendah. Terapi dengan tetrasiklin, ampisilin atau sefalosporin dapat bermanfaat namun berkurangnya gejala tidak berkaitan langsung dengan infeksi akut. Untuk mengurangi keluhan, dapat diberikan analgesik seperti ibuprofen atau asetaminofen dengan atau tanpa kodein. Tindak lanjut sebaiknya dilakukan dengan cermat untuk mendeteksi adanya gejala penyerta yang serius seperti abses tubo-ovarium.

Bila gejala masih ditemukan setelah pemberian antibiotik 3 minggu, maka pertimbangkan penyebab lainnya. Pertimbangkan untuk melakukan laparoskopi atau laparotomi eksplorasi untuk menyingkirkan penyebab lainnya misalnya endometriosis.

Bila infertilitas menjadi masalah, periksa tubal patency dengan hysterosalpingography atau laparoscopy adan injeksi larutan metilen biru secara retrograd. Namun sebelum dan saat melalukan tindakan ini, harus diberikan antibiotik karena sering terjadi reinfeksi retrograd akut.

Hysterectomy abdominal total dengan adnexectomy bilateral mungkin diindikasikan bila penyakitnya telah lanjut dan bergejala, atau bila ditemukan massa adnexa.Histerektomi total dan adneksektomy terindikasi jika penyakit telah jauh menyebar dan menimbulkan gejala pada pasien, atau ditemukan adanya massa di adneksa. Pertimbangan untuk dilakukan resksi atau drainase abses dilakukan jika ingin mempertahankan kesuburan. Dalam beberapa keadaan CT atau USG langsung perkutaneus dapat menghindari dilakukannya laparotomi.

Prognosis

Dengan adanya episode infeksi pelvis yang berturut-turut atau berulang, menyebabkan prognosis untuk mempertahankan kesuburan menjadi berkurang. Demikian juga, peluang untuk terjadinya kehamilan ektopik menjadi meningkat dengan terjadinya episode infeksi akut. Sekuele ini tidak diragukan lagi akan menyebabkan terjadinya infeksi kronis, sebagai hasil akhir infeksi tunggal ataupun berulang. Superimpose infeksi akut pada infeksi kronis juga berhubungan dengan insidensi abses tubo-ovarian dan abses pelvis lainnya.

2.3 Etiologi

Kebanyakan PID merupakan sekuele dari infeksi cerviks karena penyakit menular seksual yang terutama disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae dan Chlamidia trachomatis. Selain kedua organisme ini, mikroorganisme yang dapat menyebabkan terjadinya PID adalah:

a. Citomegalovirus (CMV): CMV ditemukan di saluran genital bagian atas pada wanita yang mengalami PID, diduga merupakan penyebab yang penting untuk terjadinya PID.

b. Mikroflora endogen

c. Gardnerella vaginalisd. Haemophilus inflluenza

e. Organisme enteric gram negative (E.coli)

f. Spesies peptococcus

g. Streptococcus agalactiae

h. Bacteroides fragilis, yang dapat menyebabkan dekstruksi tuba dan epitel

2.4 Patofisiologi

Pada PID, traktus genitalia bagian atas pada wanita terinfeksi melalui penyebaran mikroorganisme pathogen secara langsung dari vagina dan cervix. Sebenarnya secara alamiah servix telah memproduksi lendir yang berfungsi untuk mencegah penyebaran mikroorganisme secara langsung dari bawah, tetapi bakteri berhasil menembus masuk lendir tersebut dan akhirnya menyebabkan infeksi yang luas. Walaupun jarang, terkadang penggunaan instrumentasi pada cerviks dan uterus saat operasi (seperti aborsi, dilatasi dan kuretase, hysteroskopi, biopsi endometrial dan cerviks, pemasangan IUD dan inseminasi intrauterine) dapat menyebabkan autoinokulasi dari endometrium dengan bakteri endogen yang akan menyebabkan PID.

Ada tiga jenis jalur penyebaran yang diajukan untuk terjadinya PID ini:

a. Penyebaran melalui jalur limphatik, biasanya terjadi pada postpartum, postabortal, dan beberapa infeksi yang terjadi pasca insersi IUD, menyebabkan sellulitis ekstraperitoneal parametrial.

Lymphatic spread of bacterial infection

b. Penyebaran dari endometrial ke endosalpingeal dan kemudian ke peritoneal, kondisi ini biasanya lebih sering terjadi pada PID nonpuerperal, dimana bakteria patogen mendapatkan jalur ke garis tuba uterine, sehingga akan menyebabkan inflammasi yang purulen dan akhirnya pus akan masuk ke rongga abdomen melalui ostium tuba.

Intra-abdominal spread of gonorrhea and other pathogenic bacteria

c. Penyebaran melalui aliran darah, merupakan keadaan yang jarang, biasanya terjadi pada penyakit tertentu seperti TBC.

Hematogenous spread of bacterial infection (eg, tuberculosis).

2.6 Frekuensi

Di Amerika serikat, PID mengenai 11% wanita usia produktiv, dimana hampir satu juta wanita mengalami episode PID setiap tahunnya, dan 20% dari mereka ini sampai memerlukan rawat inap. PID juga meyumbang sekitar 2,5 juta pasien rawat jalan dan 125.000- 150.000pasien rawat inap per tahunnya.

2.7 Morbiditas dan mortalitas

Diagnosis atau penanganan yang terlambat dapat menyebabkan sekuele reproduksi yang panjang seperti infertilitas tuba. Setiap pengulangan terjadinya episode PID akan meningkatkan peluang terjadinya infertilitas tuba menjadi dua kali lipat. Wanita dengan riwayat PID memiliki peluang untuk mengalami kehamilan ektopik 7-10 kali lipat dibandingkan wanita tanpa riwayat PID. Nyeri pelvis kronis juga dapat terjadi pasca PID pada 25-75% wanita.

2.8 Faktor resiko

Penyakit ini sering terjadi pada wanita muda (remaja / dewasa muda, usia 20an) yang aktif seksual, riwayat hubungan seks di usia yang sangat muda (1). Juga lebih sering terjadi pada wanita dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah, pasangan seks yang multipel atau berganti-ganti, juga ada penelitian yang mengatakan penggunaan douche akan meningkatkan peluang terjadinya PID (3). Riwayat operasi pada panggul, postpartum dan post aborsi juga merupakan faktor resiko penting terjadinya PID (2).