Referat Nyeri Dan Analgesik
description
Transcript of Referat Nyeri Dan Analgesik
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Nyeri yang merupakan gejala yang paling sering menyebabkan pasien datang berobat
ke dokter hampir selalu menunjukkan adanya proses patologis. Nyeri merupakan gabungan
dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek
emosional dan psikologis). Nyeri timbul jika ada rangsangan (mekanik, termal, kimia, atau
listrik) yang menyebabkan kerusakan jaringan dan membebaskan mediator nyeri yang dapat
merangsang nosiseptor. Terapi apapun harus bertujuan untuk mengatasi proses yang
mendasarinya sehingga dapat mengontrol rasa nyeri tersebut. Pasien umumnya mendapat
terapi nyeri dari dokter umum ataupun spesialis ketika diagnosis sudah ditegakkan dan terapi
untuk penyebabnya sudah dimulai.
Pengelolaan nyeri dalam pengertian umumnya diterapkan dalam bidang anestesi,
namun saat ini sering digunakan untuk istilah diluar ruang operasi. Pengelolaan ini dapat
dibedakan menjadi pengelolaan nyeri akut maupun kronis.
Dikarenakan perkembangan prosedur bedah dan anestesi yang semakin canggih
dilakukan, maka dibutuhkan pemberian analgesik yang tepat, khususnya opioid dan inhibitor
siklooksigenase yang dapat mempengaruhi kenyamanan pasien-pasien-pasien post operatif.
Penelitian telah menunjukkan bahwa keluaran klinis dapat membaik dengan pemberian
analgesia dalam bentuk “multimodal” (terutama penekanan pada pemakaian inhibitor
siklooksigenase dan teknik anestesi lokal sementara mengurangi penggunaan opioid) sebagai
salah satu bagian dari perawatan post operatif.
Ahli anestesi yang terlatih dalam hal pengelolaan nyeri berada dalam posisi unik
diamana harus dapat mengatasi nyeri dari berbagai bidang pembedahan seperti bagian bedah,
obstetri, pediatri, dan juga harus ahli dalam farmakologi klinis serta neuroanatomi aplikatif,
termasuk penggunaan penghambat saraf perifer maupun sentral. Oleh karena itu, perlu
diketahui lebih dalam mengenai nyeri dan pengelolaannya dalam dunia anestesi agar dapat
diterapkan dalam praktik sehari-hari.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Nyeri
1. Definisi Nyeri
Menurut International Association for Study of Pain (IASP) nyeri
digambarkan sebagai suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi
terjadi. Nyeri merupakan gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik
nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis). Nyeri dapat
mengakibatkan impairment (abnormalitas, hilangnya struktur, atau hilangnya fungsi
anatomik) dan disabilitas (keterbatasan untuk melakukan aktivitas yang normal) pada
tubuh.1
2. Etiologi dan Mediator Nyeri
Nyeri timbul jika ada rangsangan (mekanik, termal, kimia, atau listrik) yang
menyebabkan kerusakan jaringan dan membebaskan mediator nyeri yang dapat
merangsang nosiseptor. Rangsangan tersebut melampaui suatu nilai ambang tertentu
(ambang nyeri: stimulus yang paling kecil yang akan menimbulkan nyeri) sehingga
dapat menghasilkan suatu impuls nyeri.2
Nyeri merupakan salah satu tanda inflamasi akut yaitu dolor. Inflamasi itu
sendiri merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk melindungi dan memberikan
tanda tentang adanya bahaya–bahaya yang terjadi di tubuh seperti trauma mekanis,
iskemia, proses autoimun, keganasan, dan adanya agen infeksius. Inflamasi berfungsi
menghancurkan, mengurangi, atau mengurung suatu agen pencedera maupun jaringan
yang cedera.3
Pada saat terjadi inflamasi, sel-sel imun seperti makrofag, sel mast, neutrofil,
limfosit, dan Antigen Precenting Cells akan mengeluarkan mediator kimia untuk
melawan antigen atau patogen.3 Mediator kimia seperti histamin, serotonin,
bradikinin, dan prostaglandin dapat menyebabkan nyeri karena mediator kimia
tersebut akan mengaktifkan nosiseptor di tempat kerusakan dan menyebabkan
timbulnya potensial aksi.4,5
Histamin merupakan amino vasoaktif yang tersimpan di dalam granula sel
mast dan dilepaskan bila ada rangsangan. Serotonin merupakan mediator vasoaktif
3
yang tersimpan di dalam granul padat trombosit dan dilepaskan saat terjadi agregasi
trombosit. Bradikinin terbentuk akibat aktivasi sistem kinin dari prekursornya HMWK
(High Molecular Weight Kininogen) yang terdapat di sirkulasi darah. Prostaglandin
merupakan produk yang dihasilkan dari metabolisme asam arakhidonat.6
Asam arakhidonat merupakan asam lemak tak jenuh ganda yang berasal dari
asam linoleat makanan dan terdapat di dalam tubuh sebagai komponen fosfolipid
membran sel. Asam arakhidonat dilepaskan dari fosfolipid membran sel oleh enzim
fosfolipase bila terdapat cedera jaringan.6
Metabolit asam arakhidonat (eikosanoid) diproses melalui dua jalur, yaitu jalur
siklooksigenase dan jalur lipoksigenase. Jalur siklooksigenase menyintesis
prostaglandin (PGE2, PGD2, PGF2α, PGI2 atau prostasiklin) dan tromboksan. Jalur
lipoksigenase menyintesis leukotrin dan lipoksin.6
Enzim siklooksigenase (COX) terdapat dalam dua isoform, yaitu COX-1 dan
COX-2. COX-1 terdapat di banyak jaringan tubuh yang fungsinya untuk
pemeliharaan perfusi ginjal, hemostasis vaskuler, membentuk bikarbonat dan
menghambat produksi asam untuk melindungi lambung, dan sintesis tromboksan A2
untuk agregasi trombosit. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat pada jaringan
tubuh, tetapi dibentuk oleh sel-sel radang sewaktu terjadinya cedera jaringan.5
4
Gambar 1. Pembentukan Metabolit Asam Arakhidonat Sumber: Kumar, Cotran, Robbins, 2007
Selain mediator kimia yang dihasilkan sel-sel imun di atas, nosiseptor itu
sendiri mengeluarkan mediator kimia yang meningkatkan kepekaan terhadap nyeri,
yaitu substansi P. Substansi P adalah suatu neuropeptida yang menyebabkan
vasodilatasi, peningkatan aliran darah, edema disertai pembebasan lebih lanjut
bradikinin, pembebasan serotonin dari trombosit, dan pengeluaran histamin dari sel
mast.2
3. Neurofisiologi Nyeri
a. Nosiseptor
Nyeri timbul jika ada rangsangan (mekanik, termal, kimia, atau listrik) yang
menyebabkan kerusakan jaringan dan membebaskan mediator nyeri yang dapat
merangsang nosiseptor. Rangsangan tersebut melampaui suatu nilai ambang
tertentu sehingga dapat menghasilkan suatu impuls nyeri.2
Nosiseptor adalah serabut saraf yang berfungsi menerima rangsang nyeri
(mekanik, termal, listrik, dan kimia) dan menyalurkan rangsang nyeri.2,7 Serabut
saraf aferen primer atau saraf sensorik primer adalah bagian dari saraf tepi yang
5
merupakan pain fiber. Nosiseptor terdapat di ujung perifer serabut saraf aferen
primer.8
Badan sel dari saraf aferen primer terletak di ganglion akar dorsalis (posterior)
nervus spinalis. Setelah keluar dari badan selnya, akson saraf aferen primer
terbagi menjadi 2 prosesus, satu masuk ke kornu dorsalis medulla spinalis, dan
yang lain mempersarafi jaringan.2
Terdapat berbagai tipe serabut saraf aferen primer yaitu A-α, A-β, A-δ, C.
Serat A-α dan A-β tidak berespon terhadap stimulasi noksius sehingga tidak
diklasifikasikan sebagai nosiseptor. Serat A-δ atau disebut juga high – threshold
mechanoreceptors bermielin tipis, diameter kecil dan sedikit, sinyal nyeri
disalurkan dengan cepat sehingga disebut juga serat tipe cepat. Serat C tidak
bermielin, diameter besar, sinyal nyeri disalurkan dengan lambat sehingga disebut
juga serat tipe lambat.1,2
b. Transduksi nyeri
Transduksi adalah proses dimana ujung akhir saraf aferen mentranslasikan
(menerjemahkan rangsangan) stimulus noksius menjadi impuls nosiseptif.7
Stimulus noksius tersebut akan menyebabkan depolarisasi sehingga timbul
potensial aksi dari sel saraf.1
Depolarisasi dapat terjadi karena jaringan rusak akan melepaskan ion K+ dan
protein intraseluler. Akibatnya, terjadi peningkatan konsentrasi ion K+ di ekstrasel
dan sel menjadi depolarisasi.9 Setelah potensial aksi terbentuk, stimulus noksius
akan dibawa oleh serat saraf aferen primer menuju sistem saraf pusat. Stimulus
noksius pertama kali dibawa oleh serat tipe cepat/serat A-δ, kemudian oleh serat
tipe lambat/serat C.7
c. Transmisi nyeri
Transmisi nyeri merupakan proses dimana potensial aksi berjalan dari tempat
cedera melalui serat saraf aferen primer menuju ganglion akar dorsal medula
spinalis, lalu berjalan asenden melalui traktus spinotalamikus lateralis menuju
talamus dan otak tengah.4
Terdapatnya dua tipe serat saraf nyeri yaitu serat A-δ tipe cepat dan serat C
tipe lambat, juga terdapat dua traktus spinotalamikus lateralis sejajar yang
6
menjalarkan impuls-impuls ini, yaitu traktus neospinotalamikus dan traktus
paleospinotalamikus.2
Traktus neospinotalamikus membawa impuls dari serat A-δ tipe cepat dan
berakhir di nukleus ventralis posterolateralis talami (VPL), neuron ketiga di VPL
berproyeksi melalui traktus talamokortikalis ke korteks somatosensorik girus post
sentralis di lobus parietal.8
Traktus paleospinotalamikus membawa impuls dari serat C tipe lambat yang
membawa impuls ke formasio retikularis batang otak sebelum berakhir di nukleus
parafasikularis dan nukleus intralaminar lain di talamus, hipotalamus, sistem
limbik, dan korteks otak depan.2
Korteks somatosensori diduga terlibat dalam aspek sensorik nyeri, seperti
intensitas dan kualitas nyeri.7 Hipotalamus, sistem limbik, dan korteks frontalis
berfungsi sebagai pusat emosional persepsi nyeri. Girus postcentralis
menginterpretasikan nyeri yang berhubungan dengan pengalaman masa lalu.2
7
Gambar 2. Mekanisme perjalanan impuls nyeri Sumber : Color Atlas of Neurology
8
Gambar 3 Mekanisme Nyeri Sumber: Setiyohadi dkk, 2009
d. Modulasi nyeri
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari otak yang
dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Impuls nyeri dapat
diperkuat atau di lemahkan.2
e. Persepsi nyeri.
Persepsi nyeri adalah pengalaman subjektif nyeri yang dihasilkan dari
interaksi transduksi, transmisi, modulasi, dan aspek psikologis individu.7
9
4. Klasifikasi Nyeri
a. Berdasarkan Patofisiologinya
1) Nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif melibatkan proses normal dari serabut saraf nyeri
ketika nosiseptor teraktivasi oleh adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.
Terdapat empat konsep dasar penting untuk memahami fisiologi nyeri
nosiseptif yaitu transduksi, translasi, modulasi, dan persepsi.
2) Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik melibatkan proses rangsangan abnormal dari sistem
saraf tepi atau sistem saraf pusat yang terjadi akibat adanya lesi pada serabut
saraf tersebut.
3) Nyeri psikogenik
Timbulnya nyeri berhubungan dengan adanya gangguan pada kejiwaan
akibat trauma psikologis. Nyeri akan menghilang bila keadaan jiwa pasien
kembali tenang.4,7
b. Berdasarkan Sumbernya
1) Nyeri somatik superfisial
Struktur-struktur superfisial kulit dan jaringan subkutis merupakan
sumber dari nyeri ini. Nyeri yang dirasakan menyengat, tajam, mengiris, atau
terbakar. Bila pembuluh darah terlibat maka nyeri terasa seperti berdenyut.
2) Nyeri somatik dalam
Otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri merupakan sumber
dari nyeri ini. Karena reseptor di sumber tersebut sedikit, lokalisasi nyeri tidak
jelas dan dapat menyebar. Nyeri yang dirasakan seperti pegal-tumpul, kram,
atau linu.
3) Nyeri visera
Organ-organ tubuh merupakan sumber dari nyeri ini yang stimulusnya
dapat berupa peregangan atau distensi abnormal dinding atau kapsul organ,
iskemia, dan peradangan. Jalur nyeri visera dipersarafi oleh dua jalur
persarafan yaitu jalur visera sejati dan jalur parietal.
4) Nyeri alih
Merupakan nyeri yang berasal dari salah satu daerah di tubuh tetapi
dirasakan terletak di daerah lain. Berdasarkan teori konvergensi-proyeksi,
10
dua aferen yang masuk melalui segmen spinal berkonvergensi ke sel-sel
proyeksi sensorik yang sama. Kemudian, otak secara salah memproyeksikan
sensasi nyeri ke daerah somatik (dematom) akibat tidak memiliki cara untuk
mengenai sumber asupan sebenarnya.2
c. Berdasarkan Waktunya
1) Nyeri akut
Merupakan nyeri yang timbul segera setelah rangsangan dan setelah
dilakukan penyembuhan akan hilang.
2) Nyeri kronik
Merupakan nyeri yang setelah dilakukan penyembuhan tidak mereda,
berlangsung terus-menerus, atau intermiten selama lebih dari 3 bulan.1
Tabel 1. Karakteristik Nyeri Akut dan Kronik
Nyeri Akut Nyeri Kronik Awitan Awitan mendadak, durasi singkat,
< 6 bulan Awitan bertahap, menetap, > 6 bulan
Intensitas Sedang - parah Sedang - parah Etiologi Spesifik Mungkin jelas, mungkin tidak Respon fisiologis Hiperaktivitas autonom:
peningkatan tekanan darah, nadi, napas, dilatasi pupil, pucat, mual dan/atau muntah
Aktivitas autonom normal
Respon emosi/perilaku
Cemas, tidak mampu konsentrasi, gelisah, mengalami distress tetapi optimis bahwa nyeri akan hilang
Depresi, imobilitas fisik, menarik diri dari lingkungan sosial, tidak melihat harapan akan kesembuhan, memperkirakan nyeri akan berlangsung lama
Respon terhadap analgesik
Meredakan nyeri secara efektif Sering kurang dapat meredakan nyeri
Sumber: Price dan Wilson, 2006
5. Pengukuran Nyeri
a. Secara visual
Digunakan untuk anak usia ≥ 3 tahun, pasien yang kemampuan kognitifnya
terganggu, dan pasien yang tidak bisa menjelaskan gejala yang dialaminya secara
verbal. Model penentuan derajat visual yang paing populer adalah the Wong-
Baker Faces Pain Rating Scale.10
11
Gambar 4. Visual Analogue Scale
Sumber: Graham, 2013
b. Secara verbal
Dengan cara menempatkan pasien dalam beberapa kategori, yaitu tidak ada
nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri berat. Kelemahan cara kategorikal ini
adalah pasien cenderung menempatkan dirinya pada nyeri ringan sampai berat dan
deskripsi mengenai nyeri tersebut kurang jelas.1
Gambar 5. Verbal Pain Scale
Sumber: Graham, 2013
c. Secara numerikal (Numerical Rating Scale)
Mengukur derajat nyeri dengan cara meminta pasien untuk memberikan angka
0 sampai 10.10
Gambar 6. Numerical Rating Scale
Sumber: Graham, 2013
6. Penatalaksanaan Nyeri
a. Farmakologi
1) Nyeri ringan sampai sedang: aspirin, asetaminofen, obat anti inflamasi non
steroid (OAINS)
2) Nyeri sedang sampai berat: analgesik opioid
3) Obat-obatan ajuvan untuk mengontrol nyeri: kortikosteroid, antikonvulsi,
12
antidepresan.1
b. Nonfarmakologi
Berupa terapi fisik untuk meredakan nyeri, terapi strategi kognitif-perilaku,
dan neuroablasi. Terapi fisik seperti pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis,
akupuntur, dan olahraga. Terapi strategi kognitif-perilaku bertujuan agar persepsi
pasien terhadap nyeri berubah. Neuroablasi bertujuan mengahncurkan saraf yang
menjadi sumber nyeri sehingga tidak terjadi transmisi nyeri.2
II.2. Analgesik
1. Definisi
Analgesik atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau
menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Tidak adanya efek
menghilangkan kesadaran menjadi pembeda analgesik dengan anastetika umum.5
2. Klasifikasi dan Mekanisme Kerja
a. Analgesik Opioid
Analgesik opioid adalah kelompok obat yang terutama digunakan untuk
meredakan atau meringankan rasa nyeri yang bekerja secara langsung pada sistem
saraf pusat (SSP). Daya kerjanya meniru opioid endogen (enkefalin, endorfin, dan
dinorfin) dengan memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor opioid.11
Terdapat berbagai jenis reseptor opioid. Reseptor utama opioid yaitu mu
(µ), delta (δ), dan kappa (κ). Efek analgesik opioid didapat apabila terjadi
pengikatan dengan reseptor opioid di SSP sehingga mempengaruhi transmisi dan
modulasi nyeri.11 Analgesik ini khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri
hebat, seperti pada fraktur dan kanker.5
Obat golongan opioid dibagi menjadi agonis kuat, agonis parsial, campuran
agonis dan antagonis, dan antagonis berdasarkan kerjanya pada reseptor.11
13
Tabel 2. Klasifikasi Analgesik Opioid
Struktur Dasar Agonis Kuat Agonis Parsial
Campuran Agonis dan Antagonis
Antagonis
Fenantren Morfin Hidromorfon Oksimorfon
Kodein Oksikodon Hidrokodon
Nalbufin Buprenorfin
Nalorfin Nalokson Naltrekson
Fenilheptilamin Metadon Propoksifen
Fenilpiperidin Meperidin Fentanil
Difenoksilat
Morfinan Levorfanol Butorfanol
Benzomorfan Pentazosin
Sumber: Dewoto, 2007
Efek samping opioid pada susunan saraf pusat yaitu mengakibatkan supresi,
pada saluran cerna (motilitas berkurang, kontraksi sfingter kandung empedu,
sekresi pankreas berkurang), pada sistem kardiovaskular (vasodilatasi perifer), dan
pada kulit dapat menyebabkan urtikaria dan gatal.11
Opioid dapat menimbulkan kebiasaan dan ketergantungan pada penggunaan
dalam jangka waktu yang lama. Bila pasien secara tiba-tiba mengehntikan
penggunaan obat, maka akan timbul gejala putus obat atau abstinensi.5
b. Analgesik Non Opioid
Analgesik non opioid adalah analgesik yang bekerja perifer pada sistem saraf
untuk mengurangi rasa sakit. Di luar efek analgesiknya, obat ini biasanya
memiliki dua efek lainnya, yaitu efek antipiretik dan anti inflamasi. Sebagian
besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis
prostaglandin.12
Analgesik non opioid tidak menyebabkan ketergantungan. Namun, sebagian
besar obat ini menyebabkan iritasi lambung. Obat ini digunakan untuk menghalau
rasa sakit ringan sampai sedang. Contohnya yaitu asetaminofen, fenasetin, dan
obat anti-inflamasi nonsteroid. Berbeda dari OAINS, asetaminofen dan fenasetin
memiliki sedikit aktivitas inflamasi dan lebih sedikit juga efek sampingnya.5
14
II.2.1. Opioid
1. Definisi
Opioid adalah bahan kimia psikoaktif yang bekerja dengan mengikat reseptor
spesifik pada sistem saraf pusat dan jaringan lain.11
2. Klasifikasi
Obat golongan opioid dibagi menjadi agonis kuat, agonis parsial, campuran
agonis dan antagonis, dan antagonis berdasarkan kerjanya pada reseptor.11
Tabel 2. Klasifikasi Analgesik Opioid
Struktur Dasar Agonis Kuat Agonis Parsial
Campuran Agonis dan Antagonis
Antagonis
Fenantren Morfin Hidromorfon Oksimorfon
Kodein Oksikodon Hidrokodon
Nalbufin Buprenorfin
Nalorfin Nalokson Naltrekson
Fenilheptilamin Metadon Propoksifen
Fenilpiperidin Meperidin Fentanil
Difenoksilat
Morfinan Levorfanol Butorfanol
Benzomorfan Pentazosin
Sumber: Dewoto, 2007
Tabel 3. Klasifikasi Reseptor Opioid
Reseptor Efek Klinis Agonis µ Analgesia supraspinal
Depresi napas Rigiditas otot Ketergantungan fisik
Morfin Mer-enkefalin β-endorfin Fentanil
κ Sedasi Analgesia spinal
Morfin Nalbufin Butorfanol Dinorfin Oksikodon
δ Analgesia Perilaku Epileptogenik
Leu-enkefalin β-endorfin
σ Disforia Halusinasi Stimulasi napas
Pentazon Nalorfin Ketamin
Sumber : Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th Ed
15
3. Mekanisme Kerja
Opioid berikatan dengan reseptor spesifik pada sistem saraf pusat dan jaringan
lain. Empat tipe resptor opioid utama telah diidentifikasi : mu (µ), delta (δ), kappa (κ),
dan sigma (σ). Semua resesptor opioid berpasangan dengan protein G; berikatan
agonis pada reseptor opioid sehingga menyebabkan hiperpolarisasi membran. Efek
opioid akut dimediasi oleh inhibisi pada adenilat siklase (reduksi pada siklus cAMP)
dan aktivasi fosolipase C. Opioid menghambat gerbang voltase pada channel kalsium
dan mengaktifkan memperbaiki channel kalium.
Walaupun opioid menyebabkan beberapa derajat sedasi dan dapat
menghasilkan anastesi umum ketika diberikan dalam dosis besar, opioid utamanya
digunakan sebagai analgesik. Sifat dari opioid spesifik bergantung kepada reseptor
mana yang terikat (dalam hal pemberian opioid secara spinal maupun epidural, lokasi
pada neuroaksis dimana reseptor terletak) dan afinitas ikatan obat tersebut.
Aktivasi reseptor opioid menginhibisi pelepasan presinaptik dan respon
postsinaptik pada neurotransmitter eksitatorik (mis, asetilkolin, substasi P) dari
neuron nosiseptif. Transmisi impuls nyeri dapat dimodifikasi secara selektif setinggi
dorsal horn pada medula spinalis dengan pemberian opioid intretekal atau epidural.
Modulasi melalui jalur inhibitorik desendens pada medula spinalis juga berperan
dalam fungsi analgesia opioid. Walaupun opioid bekerja terutama pada sistem saraf
pusat, reseptor opioid juga ditemukan pada sistem saraf somatik dan perifer. Beberapa
efek samping opioid (mis, depresi motilitas gastrointestinal) adalah contoh hasil dari
ikatan opioid pada reseptor di jaringan perifer.
Secara umum, opioid memiliki beberapa efek langsung pada jantung.
Meperidine cenderung menaikkan denyut jantung, sementara morfin dosis besar,
fentanil, sufentail, ramifentanil, dan alfentanil berhubungan dengan bradikardi yang
dimediasi nervus vagus. Opioid tidak menurunkan kontraktilitas jantung jika
diberikan tunggal. Meskipun begitu, tekanan arterial seringkali menurun sebagai hasil
dari bradikardi, venodilatasi, dan penurunan refleks simpatis, yang terkadang
membutuhkan tambahan vasopressor. Efek-efek ini lebih terlihat bila opioid diberikan
secara kombinasi dengan benzodiazepin. Dosis bolus meperidin, hidromorfin, dan
morfin dapat memicu pelepasan histamin pada beberapa pasien yang menyebabkan
penurunan resistensi vaskular dan tekanan darah arterial.
Hipertensi intraoperatif selama pemberian anestesi opioid dosis besar atau
16
nitrus-oksida opioid seringkali terjadi. Hipertensi tersebut berhubungan dengan
kedalaman anestesi yang inadekuat, dan secara konvensional diatasi dengan
penambahan agen anestesi lain seperti benzodiazepin, propofol, atau agen inhalasi
poten). Jika kedalaman anastesi adekuat dan hipertensi tetap terjadi, pemberian
antihipertensi atau vasodilator dapat dilakukan.
Pada sistem respirasi, opioid menekan fungsi ventilasi, khususnya rasio
respirasi. Oleh karena itu, pengawasan terhadap rasio respirasi merupakan cara
termudah untuk mendeteksi depresi napas pada pasien yang menerima analgesi
opioid. Opioid meningkatkan tekanan parsial CO2 (PaCO2) dan menurunkan respon
pertukaran CO2, berdampak pada pergeseran kurva respon CO2 ke bawah dan kanan.
Efek ini terjadi akibat ikatan opioid pada neuron di pusat respiratori yang terdapat
pada batang otak. Ambang apneu—kadar PaCO2 dimana pasien tetap dalam keadaan
apneu—meningkat, dan penjalaran hipoksia menurun. Pemberian cepat opioid dosis
besar (khususnya fentanil, sufentanil, remifentanil, dan alfentanil) dapat menginduksi
kekakuan dinding dada yang cukup parah untuk mencegah ventilasi bag-and-mask.
Kontraksi otot ini secara efektif dapat diatasi dengan agen penghambat
neuromuskular. Opioid dapat secara efektif menumpulkan respon bronkokonstriksi
pada stimulasi jalan napas contohnya pada saat intubasi trakea.13
Gambar 7. Opioid menyebabkan depresi ventilasi.
Sumber : Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th Ed
17
Efek opioid pada perfusi serebral dan tekanan intrakranial harus dipisahkan
dari efek opioid pada PaCO2. Secara umum opioid mengurangi konsumsi oksigen
serebral, aliran darah serebral, volume darah serebral, dan tekanan intrakranial, namun
bertahan lebih sedikit dibandingkan barbiturat, propofol, atau benzodiazepin. Efek ini
kan terus muncul untuk mempertahankan normokarbia oleh ventilasi buatan.
Stimulasi chemoreceptor trigger zone medular bertanggung jawab pada mual
dan muntah akibat opioid. Mual dan muntah seringkali terjadi paska pemberian dosis
rendah (analgesik) daripada dosis besar (anestetik) daripada opioid. Pemberian dosis
opioid berkepanjangan juga dapat menyebabkan opioid-induced hyperalgesia, dimana
pasien menjadi lebih sensitif terhadap stimulus nyeri. Infus remifentanil dosis besar
selama anestesi umum dapat memproduksi toleransi akut sehingga dibutuhkan dosis
yang lebih besar untuk analgesia posoperatif.
Opioid memperlambat motilitas gastrointestinal dengan cara berikatan ada
reseptor opioid pada usus dan mengurangi peristaltik. Pasien yang menerima terapi
opioid jangka panjang (mis, nyeri akibat kanker) biasanya menjadi kebal terhadap
efek samping tetapi jarang hingga konstipasi.
Pemberian opioid dalam dosis besar (terutama fentanil atau sufentanil)
menghambat pelepasan hormon-hormon seperti katekolamin, hormon antidiuretik,
dan kortisol sebagai respon dari pembedahan.13
18
Gambar 8. Dosis dan cara pemberian opioid
Sumber : Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th Ed
4. Interaksi Obat
Kombinasi meperidin dan inhibitor monoamin-oksidase harus dihindari karena
dapat menyebabkan hipertensi, hipotensi, hiperpireksi, koma, atau henti napas.
Penyebab interaksi obat ini belum sepenuhnya diketahui.
Propofol, barbiturat, benzodizepin, dan depresan SSP lain dapat berefek
sinergis terhadap sistem kardiovaskular, respirasi, dan efek sedatf bila diberikan
bersama dengan opioid.13
II.2.2. Obat Anti-inflamasi Nonsteroid (OAINS)
1. Definisi
Kelompok obat yang berkhasiat analgesik, antipiretik, serta antiradang yang
sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan
biosintesis prostaglandin.5,12
2. Klasifikasi
Berdasarkan selektivitasnya dalam menghambat enzim siklooksigenase,
OAINS dklasifikasikan menjadi non selective COX inhibitors dan selective COX-2
inhibitors.
a. Non Selective COX Inhibitors
1) Derivat asam salisilat
19
2) Derivat asam asetat
3) Derivat asam proprionat
4) Derivat asam fenamat
5) Derivat pirazolon
6) Derivat oksikam
7) Derivat Para Amino Fenol
b. Selective COX-2 Inhibitors
1) Rofecoxib
2) Selekoksib
3) Etorikoksib
4) Meloksikam12
Gambar 9. Klasifikasi OAINS
Sumber: Wilmana dan Gan, 2007
3. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja golongan obat ini melalui penghambatan enzim
siklooksigenase sehingga menganggu konversi asam arakhidonat menjadi PGG2
secara ireversibel. Kekuatan dan selektivitas setiap obat dalam menghambat enzim
20
siklooksigenase berbeda-beda. Enzim siklooksigenase (COX) terdapat dalam dua
isoform, yaitu COX-1 dan COX-2.12
COX-1 terdapat di banyak jaringan tubuh yang fungsinya untuk pemeliharaan
perfusi ginjal, hemostasis vaskuler, membentuk bikarbonat dan menghambat produksi
asam untuk melindungi lambung, dan sintesis tromboksan A2 untuk agregasi
trombosit. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat pada jaringan tubuh, tetapi
dibentuk oleh sel-sel radang sewaktu terjadinya cedera jaringan.5,12
4. Efek Farmakodinamik
a. Efek analgesik
Hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang,
misalnya sakit kepala, mialgia, atralgia, nyeri yang berasal dari integumen, dan
nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesiknya jauh lebih lemah
daripada efek analgesik opiat.12
b. Efek antipiretik
Berdasarkan kerja prostaglandin yang apabila tidak dihambat dapat berperan
sebagai pirogen endogen yang dapat mempengaruhi pusat termoregulator di
hipotalamus sehingga menimbulkan demam.5
c. Efek anti-inflamasi
Berdasarkan kerja prostaglandin yang apabila tidak dihambat dapat
menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, dan kemotaksis
sel-sel radang.14
5. Efek Samping
a. Induksi tukak lambung merupakan efek samping yang paling sering. Dapat
disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna
b. Gangguan fungsi trombosit, terjadi akibat terhambatnya sintesis tromboksan A2
sehingga waktu perdarahan memanjang. Efek samping ini dapat digunakan untuk
terapi tromboemboli
c. Gangguan homeostasis ginjal, terjadi pada pasien hipovolumia, sirosis hepatis
yang disertai asites, gagal jantung. Gangguan tersebut berupa penurunan aliran
darah dan filtrasi glomerulus yang lama-kelamaan akan mengakibatkan gagal
ginjal
d. Hipersensitivitas, terjadi akibat bergesernya metabolisme asam arakhidonat ke
21
jalur lipoksigenase sehingga banyak dihasilkan leukotrien. Leukotrin inilah yang
menyebabkan hipersensitivitas tersebut. Dapat berupa rhinitis vasomotor,
urtikaria, asma bronkial, sampai keadaan syok.12
Asam Mefenamat
1. Definisi
Asam mefenamat/ Menin/ Ponstan adalah obat yang termasuk golongan anti-
inflamasi nonsteroid (OAINS). Senyawa fenamat itu sendiri merupakan turunan dari
asam N-Fenilantranilat yang meliputi asam mefenamat, asam meklofenamat, dan
asam flufenamat.15 Senyawa fenamat digunakan sebagai analgesik dan anti-
inflamasi,12
2. Struktus kimia
Asam mefenamat merupakan turunan asam N-Fenilantranilat yang mengalami
N-substitusi.15
Gambar 10. Struktur Kimia Asam Mefenamat
Sumber: Goodman dan Gilman
3. Sifat Farmakologis
Pada uji analgesia, asam mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang
menunjukkan kerja pusat dan kerja perifer. Sifat tersebut dimiliki senyawa fenamat
karena mekanisme kerjanya yang menghambat enzim siklooksigenase sehingga
menganggu konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 secara ireversibel. Tetapi, tidak
seperti OAINS lain, beberapa senyawa fenamat (terutama asam meklofenamat) juga
dapat mengantagonis efek prostaglandin tertentu. Asam mefenamat tidak memiliki
memiliki efek anti-inflamasi dibandingkan obat AINS lain.14,15
22
4. Farmakokinetik
Konsentrasi puncak dalam plasma tercapai dalam 2 sampai 4 jam. Waktu
paruh (t1/2) plasma asam mefenamat 2-4 jam. Asam mefenamat terikat sangat kuat
pada protein plasma. Dengan demikian, interaksi terhadap obat antikoagulan harus
diperhatikan. Pada manusia, sekitar 50% dosis asam mefenamat diekskresi ke urin,
terutama sebagai metabolit 3-hidroksimetil terkonjugasi dan metabolit 3-karboksil
serta konjugatnya. Dua puluh persen obat ini ditemukan dalam feses, terutama sebagai
metabolit 3-karboksil yang tidak terkonjugasi.5,12,15
5. Indikasi
Penggunaan asam mefenamat diindikasikan hanya untuk analgesik dan
meredakan gejala dismenorea primer. Analgesik untuk meredakan nyeri akibat
reumatik, cedera jaringan lunak, dan kondisi nyeri pada otot rangka. Sebagai obat
antiradang, asam mefenamat telah diuji terutama pada penanganan osteoartritis dan
artritis reumatoid dan tampak tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan
OAINS lain karena daya antiradangnya sedang.15
6. Efek Samping
Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia, diare
sampai diare berdarah dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung. Efek samping
lain berdasarkan hipersensitivitas ialah eritema kulit dan bronkokonstriksi. Anemia
hemolitik pernah dilaporkan.12
7. Kontraindikasi
Senyawa fenamat dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat
penyakit saluran cerna. Tidak dianjurkan penggunaan pada anak-anak dan wanita
hamil.5,15
8. Dosis
Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari. Dosis pada nyeri
akut, permula 500 mg diberikan setelah makan, kemudian 250 mg 3-4 kali perhari
selama maksimal 7 hari.5,12
23
BAB III
RINGKASAN
Nyeri didefinisikan oleh International Association for Study of Pain sebagai suatu
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi. Nyeri merupakan gabungan dari
komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional
dan psikologis). Nyeri timbul jika ada rangsangan (mekanik, termal, kimia, atau listrik) yang
menyebabkan kerusakan jaringan dan membebaskan mediator nyeri yang dapat merangsang
nosiseptor. Rangsangan tersebut melampaui suatu nilai ambang tertentu (ambang nyeri:
stimulus yang paling kecil yang akan menimbulkan nyeri) sehingga dapat menghasilkan
suatu impuls nyeri. Impuls nyeri diawali dari nosiseptor dimana nosiseptor merupakan
serabut saraf yang berfungsi menerima rangsang nyeri dan menyalurkan rangsang nyeri.
Proses selanjutnya adalah transduksi dimana ujung akhir saraf aferen mentranslasikan
(menerjemahkan rangsangan) stimulus noksius menjadi impuls nosiseptif. Stimulus noksius
tersebut akan menyebabkan depolarisasi sehingga timbul potensial aksi dari sel saraf.
Selanjutnya terjadi transimisi nyeri dimana potensial aksi berjalan dari tempat cedera melalui
serat saraf aferen primer menuju ganglion akar dorsal medula spinalis, lalu berjalan asenden
melalui traktus spinotalamikus lateralis menuju talamus dan otak tengah. Proses terus
berlanjut ke modulasi nyeri dimana terlibat berbagai aktivitas saraf melalui jalur desendens
dari otak sehingga impuls nyeri dapat diperkuat atau dilemahkan. Impuls pada akhirnya akan
dipersipkan berupa pengalaman subjektif yang dihasilkan dari interaksi transduksi, transmisi,
modulasi, dan aspek psikologis individu.
Nyeri dapat dibedakan berdasarkan patofisiologinya, sumbernya, dan waktunya.
Berdasarkan patofisiologinya, nyeri dibagi menjadi nyeri nosiseptif, neuropatik, dan
psikogenik. Berdasarkan sumbernya, nyeri dibagi menjadi nyeri somatik superfisial, nyeri
somatik dalam, yeri visera, dan nyeri alih. Sementara berdasarkan waktunya, nyeri dibagi
menjadi nyeri akut dan nyeri kronik.
Nyeri dapat diatasi dengan analgesik atau obat penghilang nyeri yang merupakan zat-
zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Analgesik
terbagi menjadi analgesik opioid dan analgesik non opioid. Analgesik opioid adalah
kelompok obat yang terutama digunakan untuk meredakan atau meringankan rasa nyeri yang
bekerja secara langsung pada sistem saraf pusat (SSP). Daya kerjanya meniru opioid
24
endogen dengan memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor opioid. Analgesik non opioid
adalah analgesik yang bekerja perifer pada sistem saraf untuk mengurangi rasa sakit. Di luar
efek analgesiknya, obat ini biasanya memiliki dua efek lain yaitu antipiretik dan anti
inflamasi. Sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya adalah berdasarkan mekanisme
kerjanya pada proses penghambatan biosintesis prostaglandin.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiyohadi, Bambang et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta:
Interna Publishing
2. Price, Silvia Anderson dan Wilson, Lorraine McCarty. 2006. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6 Penerjemah Brahm U Pendit. Jakarta:
EGC
3. Soenarto. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Interna Publishing
4. Wuhrman, E. dan Cooney, M.F. (2011) ‘Acute Pain Physiology’, E-medicine
Medscape, [online] ,Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/7350342
(diakses 19 September 2015)
5. Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana. 2007. Obat-obat Penting: Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya Edisi VI. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo
6. Kumar, V., Cotran, R., dan Robbins, S. 2007. Buku Ajar Patologi Volume 1.
Diterjemahkan oleh Prasetyo, B. dan Toni, P. Jakarta: EGC
7. Zacharoff, L Kevin ‘Pathophysiology of Pain’, Northwest Regional Primary Care
Association [online], Avilable from: http://www.nwrpca.org/health-center-news/156-
the-pathophysiology-of-pain.html (diakses 19 September 2015)
8. Baehr, Mathias dan Frotscher, Michael. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS.
Jakarta: EGC Penerjemah Alifa Dimanti
9. Siebernagl, Stefan dan Lang, Florian. 2000. Color Atlas of Phatophysiology. New
York: Thieme Stuttgart [E-Book]
10. Graham, Rhonda (2013)’The Purpose of Pain Scales’, Intelihealth, available at
www.intelihealth.com/article/the-purpose-of-pain-scales accessed on 19 September
2015
11. Dewoto, Hedi. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum 57, Nomor 7, Juli
12. Wilmana dan Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru
13. Butterworth, John., Mackey, David., Wasnick, John. 2013. Morgan & Mikhail’s
Clinical Anestesiology. New York: McGraw Hill Medical
14. Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC Penerjemah
Staf Dosen Farmakologi FK Universitas Sriwijaya
26
15. Goodman dan Gilman. 2008. Dasar Farmakologi Terapi Volume 2. Jakarta: EGC.
Penerjemah Tim alih bahasa Sekolah Farmasi ITB