Referat Nyeri Dan Analgesik

26
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Nyeri yang merupakan gejala yang paling sering menyebabkan pasien datang berobat ke dokter hampir selalu menunjukkan adanya proses patologis. Nyeri merupakan gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis). Nyeri timbul jika ada rangsangan (mekanik, termal, kimia, atau listrik) yang menyebabkan kerusakan jaringan dan membebaskan mediator nyeri yang dapat merangsang nosiseptor. Terapi apapun harus bertujuan untuk mengatasi proses yang mendasarinya sehingga dapat mengontrol rasa nyeri tersebut. Pasien umumnya mendapat terapi nyeri dari dokter umum ataupun spesialis ketika diagnosis sudah ditegakkan dan terapi untuk penyebabnya sudah dimulai. Pengelolaan nyeri dalam pengertian umumnya diterapkan dalam bidang anestesi, namun saat ini sering digunakan untuk istilah diluar ruang operasi. Pengelolaan ini dapat dibedakan menjadi pengelolaan nyeri akut maupun kronis. Dikarenakan perkembangan prosedur bedah dan anestesi yang semakin canggih dilakukan, maka dibutuhkan pemberian analgesik yang tepat, khususnya opioid dan inhibitor siklooksigenase yang dapat mempengaruhi kenyamanan pasien-pasien-pasien post operatif. Penelitian telah menunjukkan bahwa keluaran klinis dapat membaik dengan pemberian analgesia dalam bentuk “multimodal” (terutama penekanan pada pemakaian inhibitor siklooksigenase dan teknik anestesi lokal sementara mengurangi penggunaan opioid) sebagai salah satu bagian dari perawatan post operatif. Ahli anestesi yang terlatih dalam hal pengelolaan nyeri berada dalam posisi unik diamana harus dapat mengatasi nyeri dari berbagai bidang pembedahan seperti bagian bedah, obstetri, pediatri, dan juga harus ahli dalam farmakologi klinis serta neuroanatomi aplikatif, termasuk penggunaan penghambat saraf perifer maupun sentral. Oleh karena itu, perlu diketahui lebih dalam mengenai nyeri dan pengelolaannya dalam dunia anestesi agar dapat diterapkan dalam praktik sehari-hari.

description

analgetik

Transcript of Referat Nyeri Dan Analgesik

Page 1: Referat Nyeri Dan Analgesik

 1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Nyeri yang merupakan gejala yang paling sering menyebabkan pasien datang berobat

ke dokter hampir selalu menunjukkan adanya proses patologis. Nyeri merupakan gabungan

dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek

emosional dan psikologis). Nyeri timbul jika ada rangsangan (mekanik, termal, kimia, atau

listrik) yang menyebabkan kerusakan jaringan dan membebaskan mediator nyeri yang dapat

merangsang nosiseptor. Terapi apapun harus bertujuan untuk mengatasi proses yang

mendasarinya sehingga dapat mengontrol rasa nyeri tersebut. Pasien umumnya mendapat

terapi nyeri dari dokter umum ataupun spesialis ketika diagnosis sudah ditegakkan dan terapi

untuk penyebabnya sudah dimulai.

Pengelolaan nyeri dalam pengertian umumnya diterapkan dalam bidang anestesi,

namun saat ini sering digunakan untuk istilah diluar ruang operasi. Pengelolaan ini dapat

dibedakan menjadi pengelolaan nyeri akut maupun kronis.

Dikarenakan perkembangan prosedur bedah dan anestesi yang semakin canggih

dilakukan, maka dibutuhkan pemberian analgesik yang tepat, khususnya opioid dan inhibitor

siklooksigenase yang dapat mempengaruhi kenyamanan pasien-pasien-pasien post operatif.

Penelitian telah menunjukkan bahwa keluaran klinis dapat membaik dengan pemberian

analgesia dalam bentuk “multimodal” (terutama penekanan pada pemakaian inhibitor

siklooksigenase dan teknik anestesi lokal sementara mengurangi penggunaan opioid) sebagai

salah satu bagian dari perawatan post operatif.

Ahli anestesi yang terlatih dalam hal pengelolaan nyeri berada dalam posisi unik

diamana harus dapat mengatasi nyeri dari berbagai bidang pembedahan seperti bagian bedah,

obstetri, pediatri, dan juga harus ahli dalam farmakologi klinis serta neuroanatomi aplikatif,

termasuk penggunaan penghambat saraf perifer maupun sentral. Oleh karena itu, perlu

diketahui lebih dalam mengenai nyeri dan pengelolaannya dalam dunia anestesi agar dapat

diterapkan dalam praktik sehari-hari.

Page 2: Referat Nyeri Dan Analgesik

 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Nyeri

1. Definisi Nyeri

Menurut International Association for Study of Pain (IASP) nyeri

digambarkan sebagai suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi

terjadi. Nyeri merupakan gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik

nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis). Nyeri dapat

mengakibatkan impairment (abnormalitas, hilangnya struktur, atau hilangnya fungsi

anatomik) dan disabilitas (keterbatasan untuk melakukan aktivitas yang normal) pada

tubuh.1

2. Etiologi dan Mediator Nyeri

Nyeri timbul jika ada rangsangan (mekanik, termal, kimia, atau listrik) yang

menyebabkan kerusakan jaringan dan membebaskan mediator nyeri yang dapat

merangsang nosiseptor. Rangsangan tersebut melampaui suatu nilai ambang tertentu

(ambang nyeri: stimulus yang paling kecil yang akan menimbulkan nyeri) sehingga

dapat menghasilkan suatu impuls nyeri.2

Nyeri merupakan salah satu tanda inflamasi akut yaitu dolor. Inflamasi itu

sendiri merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk melindungi dan memberikan

tanda tentang adanya bahaya–bahaya yang terjadi di tubuh seperti trauma mekanis,

iskemia, proses autoimun, keganasan, dan adanya agen infeksius. Inflamasi berfungsi

menghancurkan, mengurangi, atau mengurung suatu agen pencedera maupun jaringan

yang cedera.3

Pada saat terjadi inflamasi, sel-sel imun seperti makrofag, sel mast, neutrofil,

limfosit, dan Antigen Precenting Cells akan mengeluarkan mediator kimia untuk

melawan antigen atau patogen.3 Mediator kimia seperti histamin, serotonin,

bradikinin, dan prostaglandin dapat menyebabkan nyeri karena mediator kimia

tersebut akan mengaktifkan nosiseptor di tempat kerusakan dan menyebabkan

timbulnya potensial aksi.4,5

Histamin merupakan amino vasoaktif yang tersimpan di dalam granula sel

mast dan dilepaskan bila ada rangsangan. Serotonin merupakan mediator vasoaktif

Page 3: Referat Nyeri Dan Analgesik

 3

yang tersimpan di dalam granul padat trombosit dan dilepaskan saat terjadi agregasi

trombosit. Bradikinin terbentuk akibat aktivasi sistem kinin dari prekursornya HMWK

(High Molecular Weight Kininogen) yang terdapat di sirkulasi darah. Prostaglandin

merupakan produk yang dihasilkan dari metabolisme asam arakhidonat.6

Asam arakhidonat merupakan asam lemak tak jenuh ganda yang berasal dari

asam linoleat makanan dan terdapat di dalam tubuh sebagai komponen fosfolipid

membran sel. Asam arakhidonat dilepaskan dari fosfolipid membran sel oleh enzim

fosfolipase bila terdapat cedera jaringan.6

Metabolit asam arakhidonat (eikosanoid) diproses melalui dua jalur, yaitu jalur

siklooksigenase dan jalur lipoksigenase. Jalur siklooksigenase menyintesis

prostaglandin (PGE2, PGD2, PGF2α, PGI2 atau prostasiklin) dan tromboksan. Jalur

lipoksigenase menyintesis leukotrin dan lipoksin.6

Enzim siklooksigenase (COX) terdapat dalam dua isoform, yaitu COX-1 dan

COX-2. COX-1 terdapat di banyak jaringan tubuh yang fungsinya untuk

pemeliharaan perfusi ginjal, hemostasis vaskuler, membentuk bikarbonat dan

menghambat produksi asam untuk melindungi lambung, dan sintesis tromboksan A2

untuk agregasi trombosit. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat pada jaringan

tubuh, tetapi dibentuk oleh sel-sel radang sewaktu terjadinya cedera jaringan.5

Page 4: Referat Nyeri Dan Analgesik

 4

Gambar 1. Pembentukan Metabolit Asam Arakhidonat Sumber: Kumar, Cotran, Robbins, 2007

Selain mediator kimia yang dihasilkan sel-sel imun di atas, nosiseptor itu

sendiri mengeluarkan mediator kimia yang meningkatkan kepekaan terhadap nyeri,

yaitu substansi P. Substansi P adalah suatu neuropeptida yang menyebabkan

vasodilatasi, peningkatan aliran darah, edema disertai pembebasan lebih lanjut

bradikinin, pembebasan serotonin dari trombosit, dan pengeluaran histamin dari sel

mast.2

3. Neurofisiologi Nyeri

a. Nosiseptor

Nyeri timbul jika ada rangsangan (mekanik, termal, kimia, atau listrik) yang

menyebabkan kerusakan jaringan dan membebaskan mediator nyeri yang dapat

merangsang nosiseptor. Rangsangan tersebut melampaui suatu nilai ambang

tertentu sehingga dapat menghasilkan suatu impuls nyeri.2

Nosiseptor adalah serabut saraf yang berfungsi menerima rangsang nyeri

(mekanik, termal, listrik, dan kimia) dan menyalurkan rangsang nyeri.2,7 Serabut

saraf aferen primer atau saraf sensorik primer adalah bagian dari saraf tepi yang

Page 5: Referat Nyeri Dan Analgesik

 5

merupakan pain fiber. Nosiseptor terdapat di ujung perifer serabut saraf aferen

primer.8

Badan sel dari saraf aferen primer terletak di ganglion akar dorsalis (posterior)

nervus spinalis. Setelah keluar dari badan selnya, akson saraf aferen primer

terbagi menjadi 2 prosesus, satu masuk ke kornu dorsalis medulla spinalis, dan

yang lain mempersarafi jaringan.2

Terdapat berbagai tipe serabut saraf aferen primer yaitu A-α, A-β, A-δ, C.

Serat A-α dan A-β tidak berespon terhadap stimulasi noksius sehingga tidak

diklasifikasikan sebagai nosiseptor. Serat A-δ atau disebut juga high – threshold

mechanoreceptors bermielin tipis, diameter kecil dan sedikit, sinyal nyeri

disalurkan dengan cepat sehingga disebut juga serat tipe cepat. Serat C tidak

bermielin, diameter besar, sinyal nyeri disalurkan dengan lambat sehingga disebut

juga serat tipe lambat.1,2

b. Transduksi nyeri

Transduksi adalah proses dimana ujung akhir saraf aferen mentranslasikan

(menerjemahkan rangsangan) stimulus noksius menjadi impuls nosiseptif.7

Stimulus noksius tersebut akan menyebabkan depolarisasi sehingga timbul

potensial aksi dari sel saraf.1

Depolarisasi dapat terjadi karena jaringan rusak akan melepaskan ion K+ dan

protein intraseluler. Akibatnya, terjadi peningkatan konsentrasi ion K+ di ekstrasel

dan sel menjadi depolarisasi.9 Setelah potensial aksi terbentuk, stimulus noksius

akan dibawa oleh serat saraf aferen primer menuju sistem saraf pusat. Stimulus

noksius pertama kali dibawa oleh serat tipe cepat/serat A-δ, kemudian oleh serat

tipe lambat/serat C.7

c. Transmisi nyeri

Transmisi nyeri merupakan proses dimana potensial aksi berjalan dari tempat

cedera melalui serat saraf aferen primer menuju ganglion akar dorsal medula

spinalis, lalu berjalan asenden melalui traktus spinotalamikus lateralis menuju

talamus dan otak tengah.4

Terdapatnya dua tipe serat saraf nyeri yaitu serat A-δ tipe cepat dan serat C

tipe lambat, juga terdapat dua traktus spinotalamikus lateralis sejajar yang

Page 6: Referat Nyeri Dan Analgesik

 6

menjalarkan impuls-impuls ini, yaitu traktus neospinotalamikus dan traktus

paleospinotalamikus.2

Traktus neospinotalamikus membawa impuls dari serat A-δ tipe cepat dan

berakhir di nukleus ventralis posterolateralis talami (VPL), neuron ketiga di VPL

berproyeksi melalui traktus talamokortikalis ke korteks somatosensorik girus post

sentralis di lobus parietal.8

Traktus paleospinotalamikus membawa impuls dari serat C tipe lambat yang

membawa impuls ke formasio retikularis batang otak sebelum berakhir di nukleus

parafasikularis dan nukleus intralaminar lain di talamus, hipotalamus, sistem

limbik, dan korteks otak depan.2

Korteks somatosensori diduga terlibat dalam aspek sensorik nyeri, seperti

intensitas dan kualitas nyeri.7 Hipotalamus, sistem limbik, dan korteks frontalis

berfungsi sebagai pusat emosional persepsi nyeri. Girus postcentralis

menginterpretasikan nyeri yang berhubungan dengan pengalaman masa lalu.2

Page 7: Referat Nyeri Dan Analgesik

 7

 

Gambar 2. Mekanisme perjalanan impuls nyeri Sumber : Color Atlas of Neurology

Page 8: Referat Nyeri Dan Analgesik

 8

 

Gambar 3 Mekanisme Nyeri Sumber: Setiyohadi dkk, 2009

 

d. Modulasi nyeri

Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari otak yang

dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Impuls nyeri dapat

diperkuat atau di lemahkan.2

e. Persepsi nyeri.

Persepsi nyeri adalah pengalaman subjektif nyeri yang dihasilkan dari

interaksi transduksi, transmisi, modulasi, dan aspek psikologis individu.7

Page 9: Referat Nyeri Dan Analgesik

 9

4. Klasifikasi Nyeri

a. Berdasarkan Patofisiologinya

1) Nyeri nosiseptif

Nyeri nosiseptif melibatkan proses normal dari serabut saraf nyeri

ketika nosiseptor teraktivasi oleh adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.

Terdapat empat konsep dasar penting untuk memahami fisiologi nyeri

nosiseptif yaitu transduksi, translasi, modulasi, dan persepsi.

2) Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik melibatkan proses rangsangan abnormal dari sistem

saraf tepi atau sistem saraf pusat yang terjadi akibat adanya lesi pada serabut

saraf tersebut.

3) Nyeri psikogenik

Timbulnya nyeri berhubungan dengan adanya gangguan pada kejiwaan

akibat trauma psikologis. Nyeri akan menghilang bila keadaan jiwa pasien

kembali tenang.4,7

b. Berdasarkan Sumbernya

1) Nyeri somatik superfisial

Struktur-struktur superfisial kulit dan jaringan subkutis merupakan

sumber dari nyeri ini. Nyeri yang dirasakan menyengat, tajam, mengiris, atau

terbakar. Bila pembuluh darah terlibat maka nyeri terasa seperti berdenyut.

2) Nyeri somatik dalam

Otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri merupakan sumber

dari nyeri ini. Karena reseptor di sumber tersebut sedikit, lokalisasi nyeri tidak

jelas dan dapat menyebar. Nyeri yang dirasakan seperti pegal-tumpul, kram,

atau linu.

3) Nyeri visera

Organ-organ tubuh merupakan sumber dari nyeri ini yang stimulusnya

dapat berupa peregangan atau distensi abnormal dinding atau kapsul organ,

iskemia, dan peradangan. Jalur nyeri visera dipersarafi oleh dua jalur

persarafan yaitu jalur visera sejati dan jalur parietal.

4) Nyeri alih

Merupakan nyeri yang berasal dari salah satu daerah di tubuh tetapi

dirasakan terletak di daerah lain. Berdasarkan teori konvergensi-proyeksi,

Page 10: Referat Nyeri Dan Analgesik

 10

dua aferen yang masuk melalui segmen spinal berkonvergensi ke sel-sel

proyeksi sensorik yang sama. Kemudian, otak secara salah memproyeksikan

sensasi nyeri ke daerah somatik (dematom) akibat tidak memiliki cara untuk

mengenai sumber asupan sebenarnya.2

c. Berdasarkan Waktunya

1) Nyeri akut

Merupakan nyeri yang timbul segera setelah rangsangan dan setelah

dilakukan penyembuhan akan hilang.

2) Nyeri kronik

Merupakan nyeri yang setelah dilakukan penyembuhan tidak mereda,

berlangsung terus-menerus, atau intermiten selama lebih dari 3 bulan.1

Tabel 1. Karakteristik Nyeri Akut dan Kronik

Nyeri Akut Nyeri Kronik Awitan Awitan mendadak, durasi singkat,

< 6 bulan Awitan bertahap, menetap, > 6 bulan

Intensitas Sedang - parah Sedang - parah Etiologi Spesifik Mungkin jelas, mungkin tidak Respon fisiologis Hiperaktivitas autonom:

peningkatan tekanan darah, nadi, napas, dilatasi pupil, pucat, mual dan/atau muntah

Aktivitas autonom normal

Respon emosi/perilaku

Cemas, tidak mampu konsentrasi, gelisah, mengalami distress tetapi optimis bahwa nyeri akan hilang

Depresi, imobilitas fisik, menarik diri dari lingkungan sosial, tidak melihat harapan akan kesembuhan, memperkirakan nyeri akan berlangsung lama

Respon terhadap analgesik

Meredakan nyeri secara efektif Sering kurang dapat meredakan nyeri

Sumber: Price dan Wilson, 2006

5. Pengukuran Nyeri

a. Secara visual

Digunakan untuk anak usia ≥ 3 tahun, pasien yang kemampuan kognitifnya

terganggu, dan pasien yang tidak bisa menjelaskan gejala yang dialaminya secara

verbal. Model penentuan derajat visual yang paing populer adalah the Wong-

Baker Faces Pain Rating Scale.10

Page 11: Referat Nyeri Dan Analgesik

 11

Gambar 4. Visual Analogue Scale

Sumber: Graham, 2013

b. Secara verbal

Dengan cara menempatkan pasien dalam beberapa kategori, yaitu tidak ada

nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri berat. Kelemahan cara kategorikal ini

adalah pasien cenderung menempatkan dirinya pada nyeri ringan sampai berat dan

deskripsi mengenai nyeri tersebut kurang jelas.1

Gambar 5. Verbal Pain Scale

Sumber: Graham, 2013

c. Secara numerikal (Numerical Rating Scale)

Mengukur derajat nyeri dengan cara meminta pasien untuk memberikan angka

0 sampai 10.10

Gambar 6. Numerical Rating Scale

Sumber: Graham, 2013

6. Penatalaksanaan Nyeri

a. Farmakologi

1) Nyeri ringan sampai sedang: aspirin, asetaminofen, obat anti inflamasi non

steroid (OAINS)

2) Nyeri sedang sampai berat: analgesik opioid

3) Obat-obatan ajuvan untuk mengontrol nyeri: kortikosteroid, antikonvulsi,

Page 12: Referat Nyeri Dan Analgesik

 12

antidepresan.1

b. Nonfarmakologi

Berupa terapi fisik untuk meredakan nyeri, terapi strategi kognitif-perilaku,

dan neuroablasi. Terapi fisik seperti pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis,

akupuntur, dan olahraga. Terapi strategi kognitif-perilaku bertujuan agar persepsi

pasien terhadap nyeri berubah. Neuroablasi bertujuan mengahncurkan saraf yang

menjadi sumber nyeri sehingga tidak terjadi transmisi nyeri.2

II.2. Analgesik

1. Definisi

Analgesik atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau

menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Tidak adanya efek

menghilangkan kesadaran menjadi pembeda analgesik dengan anastetika umum.5

2. Klasifikasi dan Mekanisme Kerja

a. Analgesik Opioid

Analgesik opioid adalah kelompok obat yang terutama digunakan untuk

meredakan atau meringankan rasa nyeri yang bekerja secara langsung pada sistem

saraf pusat (SSP). Daya kerjanya meniru opioid endogen (enkefalin, endorfin, dan

dinorfin) dengan memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor opioid.11

Terdapat berbagai jenis reseptor opioid. Reseptor utama opioid yaitu mu

(µ), delta (δ), dan kappa (κ). Efek analgesik opioid didapat apabila terjadi

pengikatan dengan reseptor opioid di SSP sehingga mempengaruhi transmisi dan

modulasi nyeri.11 Analgesik ini khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri

hebat, seperti pada fraktur dan kanker.5

Obat golongan opioid dibagi menjadi agonis kuat, agonis parsial, campuran

agonis dan antagonis, dan antagonis berdasarkan kerjanya pada reseptor.11

Page 13: Referat Nyeri Dan Analgesik

 13

Tabel 2. Klasifikasi Analgesik Opioid

Struktur Dasar Agonis Kuat Agonis Parsial

Campuran Agonis dan Antagonis

Antagonis

Fenantren Morfin Hidromorfon Oksimorfon

Kodein Oksikodon Hidrokodon

Nalbufin Buprenorfin

Nalorfin Nalokson Naltrekson

Fenilheptilamin Metadon Propoksifen

Fenilpiperidin Meperidin Fentanil

Difenoksilat

Morfinan Levorfanol Butorfanol

Benzomorfan Pentazosin

Sumber: Dewoto, 2007

Efek samping opioid pada susunan saraf pusat yaitu mengakibatkan supresi,

pada saluran cerna (motilitas berkurang, kontraksi sfingter kandung empedu,

sekresi pankreas berkurang), pada sistem kardiovaskular (vasodilatasi perifer), dan

pada kulit dapat menyebabkan urtikaria dan gatal.11

Opioid dapat menimbulkan kebiasaan dan ketergantungan pada penggunaan

dalam jangka waktu yang lama. Bila pasien secara tiba-tiba mengehntikan

penggunaan obat, maka akan timbul gejala putus obat atau abstinensi.5

b. Analgesik Non Opioid

Analgesik non opioid adalah analgesik yang bekerja perifer pada sistem saraf

untuk mengurangi rasa sakit. Di luar efek analgesiknya, obat ini biasanya

memiliki dua efek lainnya, yaitu efek antipiretik dan anti inflamasi. Sebagian

besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis

prostaglandin.12

Analgesik non opioid tidak menyebabkan ketergantungan. Namun, sebagian

besar obat ini menyebabkan iritasi lambung. Obat ini digunakan untuk menghalau

rasa sakit ringan sampai sedang. Contohnya yaitu asetaminofen, fenasetin, dan

obat anti-inflamasi nonsteroid. Berbeda dari OAINS, asetaminofen dan fenasetin

memiliki sedikit aktivitas inflamasi dan lebih sedikit juga efek sampingnya.5

Page 14: Referat Nyeri Dan Analgesik

 14

II.2.1. Opioid

1. Definisi

Opioid adalah bahan kimia psikoaktif yang bekerja dengan mengikat reseptor

spesifik pada sistem saraf pusat dan jaringan lain.11

2. Klasifikasi

Obat golongan opioid dibagi menjadi agonis kuat, agonis parsial, campuran

agonis dan antagonis, dan antagonis berdasarkan kerjanya pada reseptor.11

Tabel 2. Klasifikasi Analgesik Opioid

Struktur Dasar Agonis Kuat Agonis Parsial

Campuran Agonis dan Antagonis

Antagonis

Fenantren Morfin Hidromorfon Oksimorfon

Kodein Oksikodon Hidrokodon

Nalbufin Buprenorfin

Nalorfin Nalokson Naltrekson

Fenilheptilamin Metadon Propoksifen

Fenilpiperidin Meperidin Fentanil

Difenoksilat

Morfinan Levorfanol Butorfanol

Benzomorfan Pentazosin

Sumber: Dewoto, 2007

Tabel 3. Klasifikasi Reseptor Opioid

Reseptor Efek Klinis Agonis µ Analgesia supraspinal

Depresi napas Rigiditas otot Ketergantungan fisik

Morfin Mer-enkefalin β-endorfin Fentanil

κ Sedasi Analgesia spinal

Morfin Nalbufin Butorfanol Dinorfin Oksikodon

δ Analgesia Perilaku Epileptogenik

Leu-enkefalin β-endorfin

σ Disforia Halusinasi Stimulasi napas

Pentazon Nalorfin Ketamin

Sumber : Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th Ed

Page 15: Referat Nyeri Dan Analgesik

 15

3. Mekanisme Kerja

Opioid berikatan dengan reseptor spesifik pada sistem saraf pusat dan jaringan

lain. Empat tipe resptor opioid utama telah diidentifikasi : mu (µ), delta (δ), kappa (κ),

dan sigma (σ). Semua resesptor opioid berpasangan dengan protein G; berikatan

agonis pada reseptor opioid sehingga menyebabkan hiperpolarisasi membran. Efek

opioid akut dimediasi oleh inhibisi pada adenilat siklase (reduksi pada siklus cAMP)

dan aktivasi fosolipase C. Opioid menghambat gerbang voltase pada channel kalsium

dan mengaktifkan memperbaiki channel kalium.

Walaupun opioid menyebabkan beberapa derajat sedasi dan dapat

menghasilkan anastesi umum ketika diberikan dalam dosis besar, opioid utamanya

digunakan sebagai analgesik. Sifat dari opioid spesifik bergantung kepada reseptor

mana yang terikat (dalam hal pemberian opioid secara spinal maupun epidural, lokasi

pada neuroaksis dimana reseptor terletak) dan afinitas ikatan obat tersebut.

Aktivasi reseptor opioid menginhibisi pelepasan presinaptik dan respon

postsinaptik pada neurotransmitter eksitatorik (mis, asetilkolin, substasi P) dari

neuron nosiseptif. Transmisi impuls nyeri dapat dimodifikasi secara selektif setinggi

dorsal horn pada medula spinalis dengan pemberian opioid intretekal atau epidural.

Modulasi melalui jalur inhibitorik desendens pada medula spinalis juga berperan

dalam fungsi analgesia opioid. Walaupun opioid bekerja terutama pada sistem saraf

pusat, reseptor opioid juga ditemukan pada sistem saraf somatik dan perifer. Beberapa

efek samping opioid (mis, depresi motilitas gastrointestinal) adalah contoh hasil dari

ikatan opioid pada reseptor di jaringan perifer.

Secara umum, opioid memiliki beberapa efek langsung pada jantung.

Meperidine cenderung menaikkan denyut jantung, sementara morfin dosis besar,

fentanil, sufentail, ramifentanil, dan alfentanil berhubungan dengan bradikardi yang

dimediasi nervus vagus. Opioid tidak menurunkan kontraktilitas jantung jika

diberikan tunggal. Meskipun begitu, tekanan arterial seringkali menurun sebagai hasil

dari bradikardi, venodilatasi, dan penurunan refleks simpatis, yang terkadang

membutuhkan tambahan vasopressor. Efek-efek ini lebih terlihat bila opioid diberikan

secara kombinasi dengan benzodiazepin. Dosis bolus meperidin, hidromorfin, dan

morfin dapat memicu pelepasan histamin pada beberapa pasien yang menyebabkan

penurunan resistensi vaskular dan tekanan darah arterial.

Hipertensi intraoperatif selama pemberian anestesi opioid dosis besar atau

Page 16: Referat Nyeri Dan Analgesik

 16

nitrus-oksida opioid seringkali terjadi. Hipertensi tersebut berhubungan dengan

kedalaman anestesi yang inadekuat, dan secara konvensional diatasi dengan

penambahan agen anestesi lain seperti benzodiazepin, propofol, atau agen inhalasi

poten). Jika kedalaman anastesi adekuat dan hipertensi tetap terjadi, pemberian

antihipertensi atau vasodilator dapat dilakukan.

Pada sistem respirasi, opioid menekan fungsi ventilasi, khususnya rasio

respirasi. Oleh karena itu, pengawasan terhadap rasio respirasi merupakan cara

termudah untuk mendeteksi depresi napas pada pasien yang menerima analgesi

opioid. Opioid meningkatkan tekanan parsial CO2 (PaCO2) dan menurunkan respon

pertukaran CO2, berdampak pada pergeseran kurva respon CO2 ke bawah dan kanan.

Efek ini terjadi akibat ikatan opioid pada neuron di pusat respiratori yang terdapat

pada batang otak. Ambang apneu—kadar PaCO2 dimana pasien tetap dalam keadaan

apneu—meningkat, dan penjalaran hipoksia menurun. Pemberian cepat opioid dosis

besar (khususnya fentanil, sufentanil, remifentanil, dan alfentanil) dapat menginduksi

kekakuan dinding dada yang cukup parah untuk mencegah ventilasi bag-and-mask.

Kontraksi otot ini secara efektif dapat diatasi dengan agen penghambat

neuromuskular. Opioid dapat secara efektif menumpulkan respon bronkokonstriksi

pada stimulasi jalan napas contohnya pada saat intubasi trakea.13

Gambar 7. Opioid menyebabkan depresi ventilasi.

Sumber : Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th Ed

Page 17: Referat Nyeri Dan Analgesik

 17

Efek opioid pada perfusi serebral dan tekanan intrakranial harus dipisahkan

dari efek opioid pada PaCO2. Secara umum opioid mengurangi konsumsi oksigen

serebral, aliran darah serebral, volume darah serebral, dan tekanan intrakranial, namun

bertahan lebih sedikit dibandingkan barbiturat, propofol, atau benzodiazepin. Efek ini

kan terus muncul untuk mempertahankan normokarbia oleh ventilasi buatan.

Stimulasi chemoreceptor trigger zone medular bertanggung jawab pada mual

dan muntah akibat opioid. Mual dan muntah seringkali terjadi paska pemberian dosis

rendah (analgesik) daripada dosis besar (anestetik) daripada opioid. Pemberian dosis

opioid berkepanjangan juga dapat menyebabkan opioid-induced hyperalgesia, dimana

pasien menjadi lebih sensitif terhadap stimulus nyeri. Infus remifentanil dosis besar

selama anestesi umum dapat memproduksi toleransi akut sehingga dibutuhkan dosis

yang lebih besar untuk analgesia posoperatif.

Opioid memperlambat motilitas gastrointestinal dengan cara berikatan ada

reseptor opioid pada usus dan mengurangi peristaltik. Pasien yang menerima terapi

opioid jangka panjang (mis, nyeri akibat kanker) biasanya menjadi kebal terhadap

efek samping tetapi jarang hingga konstipasi.

Pemberian opioid dalam dosis besar (terutama fentanil atau sufentanil)

menghambat pelepasan hormon-hormon seperti katekolamin, hormon antidiuretik,

dan kortisol sebagai respon dari pembedahan.13

Page 18: Referat Nyeri Dan Analgesik

 18

Gambar 8. Dosis dan cara pemberian opioid

Sumber : Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th Ed

4. Interaksi Obat

Kombinasi meperidin dan inhibitor monoamin-oksidase harus dihindari karena

dapat menyebabkan hipertensi, hipotensi, hiperpireksi, koma, atau henti napas.

Penyebab interaksi obat ini belum sepenuhnya diketahui.

Propofol, barbiturat, benzodizepin, dan depresan SSP lain dapat berefek

sinergis terhadap sistem kardiovaskular, respirasi, dan efek sedatf bila diberikan

bersama dengan opioid.13

II.2.2. Obat Anti-inflamasi Nonsteroid (OAINS)

1. Definisi

Kelompok obat yang berkhasiat analgesik, antipiretik, serta antiradang yang

sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan

biosintesis prostaglandin.5,12

2. Klasifikasi

Berdasarkan selektivitasnya dalam menghambat enzim siklooksigenase,

OAINS dklasifikasikan menjadi non selective COX inhibitors dan selective COX-2

inhibitors.

a. Non Selective COX Inhibitors

1) Derivat asam salisilat

Page 19: Referat Nyeri Dan Analgesik

 19

2) Derivat asam asetat

3) Derivat asam proprionat

4) Derivat asam fenamat

5) Derivat pirazolon

6) Derivat oksikam

7) Derivat Para Amino Fenol

b. Selective COX-2 Inhibitors

1) Rofecoxib

2) Selekoksib

3) Etorikoksib

4) Meloksikam12

Gambar 9. Klasifikasi OAINS

Sumber: Wilmana dan Gan, 2007

3. Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja golongan obat ini melalui penghambatan enzim

siklooksigenase sehingga menganggu konversi asam arakhidonat menjadi PGG2

secara ireversibel. Kekuatan dan selektivitas setiap obat dalam menghambat enzim

Page 20: Referat Nyeri Dan Analgesik

 20

siklooksigenase berbeda-beda. Enzim siklooksigenase (COX) terdapat dalam dua

isoform, yaitu COX-1 dan COX-2.12

COX-1 terdapat di banyak jaringan tubuh yang fungsinya untuk pemeliharaan

perfusi ginjal, hemostasis vaskuler, membentuk bikarbonat dan menghambat produksi

asam untuk melindungi lambung, dan sintesis tromboksan A2 untuk agregasi

trombosit. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat pada jaringan tubuh, tetapi

dibentuk oleh sel-sel radang sewaktu terjadinya cedera jaringan.5,12

4. Efek Farmakodinamik

a. Efek analgesik

Hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang,

misalnya sakit kepala, mialgia, atralgia, nyeri yang berasal dari integumen, dan

nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesiknya jauh lebih lemah

daripada efek analgesik opiat.12

b. Efek antipiretik

Berdasarkan kerja prostaglandin yang apabila tidak dihambat dapat berperan

sebagai pirogen endogen yang dapat mempengaruhi pusat termoregulator di

hipotalamus sehingga menimbulkan demam.5

c. Efek anti-inflamasi

Berdasarkan kerja prostaglandin yang apabila tidak dihambat dapat

menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, dan kemotaksis

sel-sel radang.14

5. Efek Samping

a. Induksi tukak lambung merupakan efek samping yang paling sering. Dapat

disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna

b. Gangguan fungsi trombosit, terjadi akibat terhambatnya sintesis tromboksan A2

sehingga waktu perdarahan memanjang. Efek samping ini dapat digunakan untuk

terapi tromboemboli

c. Gangguan homeostasis ginjal, terjadi pada pasien hipovolumia, sirosis hepatis

yang disertai asites, gagal jantung. Gangguan tersebut berupa penurunan aliran

darah dan filtrasi glomerulus yang lama-kelamaan akan mengakibatkan gagal

ginjal

d. Hipersensitivitas, terjadi akibat bergesernya metabolisme asam arakhidonat ke

Page 21: Referat Nyeri Dan Analgesik

 21

jalur lipoksigenase sehingga banyak dihasilkan leukotrien. Leukotrin inilah yang

menyebabkan hipersensitivitas tersebut. Dapat berupa rhinitis vasomotor,

urtikaria, asma bronkial, sampai keadaan syok.12

Asam Mefenamat

1. Definisi

Asam mefenamat/ Menin/ Ponstan adalah obat yang termasuk golongan anti-

inflamasi nonsteroid (OAINS). Senyawa fenamat itu sendiri merupakan turunan dari

asam N-Fenilantranilat yang meliputi asam mefenamat, asam meklofenamat, dan

asam flufenamat.15 Senyawa fenamat digunakan sebagai analgesik dan anti-

inflamasi,12

2. Struktus kimia

Asam mefenamat merupakan turunan asam N-Fenilantranilat yang mengalami

N-substitusi.15

Gambar 10. Struktur Kimia Asam Mefenamat

Sumber: Goodman dan Gilman

3. Sifat Farmakologis

Pada uji analgesia, asam mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang

menunjukkan kerja pusat dan kerja perifer. Sifat tersebut dimiliki senyawa fenamat

karena mekanisme kerjanya yang menghambat enzim siklooksigenase sehingga

menganggu konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 secara ireversibel. Tetapi, tidak

seperti OAINS lain, beberapa senyawa fenamat (terutama asam meklofenamat) juga

dapat mengantagonis efek prostaglandin tertentu. Asam mefenamat tidak memiliki

memiliki efek anti-inflamasi dibandingkan obat AINS lain.14,15

Page 22: Referat Nyeri Dan Analgesik

 22

4. Farmakokinetik

Konsentrasi puncak dalam plasma tercapai dalam 2 sampai 4 jam. Waktu

paruh (t1/2) plasma asam mefenamat 2-4 jam. Asam mefenamat terikat sangat kuat

pada protein plasma. Dengan demikian, interaksi terhadap obat antikoagulan harus

diperhatikan. Pada manusia, sekitar 50% dosis asam mefenamat diekskresi ke urin,

terutama sebagai metabolit 3-hidroksimetil terkonjugasi dan metabolit 3-karboksil

serta konjugatnya. Dua puluh persen obat ini ditemukan dalam feses, terutama sebagai

metabolit 3-karboksil yang tidak terkonjugasi.5,12,15

5. Indikasi

Penggunaan asam mefenamat diindikasikan hanya untuk analgesik dan

meredakan gejala dismenorea primer. Analgesik untuk meredakan nyeri akibat

reumatik, cedera jaringan lunak, dan kondisi nyeri pada otot rangka. Sebagai obat

antiradang, asam mefenamat telah diuji terutama pada penanganan osteoartritis dan

artritis reumatoid dan tampak tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan

OAINS lain karena daya antiradangnya sedang.15

6. Efek Samping

Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia, diare

sampai diare berdarah dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung. Efek samping

lain berdasarkan hipersensitivitas ialah eritema kulit dan bronkokonstriksi. Anemia

hemolitik pernah dilaporkan.12

7. Kontraindikasi

Senyawa fenamat dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat

penyakit saluran cerna. Tidak dianjurkan penggunaan pada anak-anak dan wanita

hamil.5,15

8. Dosis

Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari. Dosis pada nyeri

akut, permula 500 mg diberikan setelah makan, kemudian 250 mg 3-4 kali perhari

selama maksimal 7 hari.5,12

 

Page 23: Referat Nyeri Dan Analgesik

 23

BAB III

RINGKASAN

Nyeri didefinisikan oleh International Association for Study of Pain sebagai suatu

pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi. Nyeri merupakan gabungan dari

komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional

dan psikologis). Nyeri timbul jika ada rangsangan (mekanik, termal, kimia, atau listrik) yang

menyebabkan kerusakan jaringan dan membebaskan mediator nyeri yang dapat merangsang

nosiseptor. Rangsangan tersebut melampaui suatu nilai ambang tertentu (ambang nyeri:

stimulus yang paling kecil yang akan menimbulkan nyeri) sehingga dapat menghasilkan

suatu impuls nyeri. Impuls nyeri diawali dari nosiseptor dimana nosiseptor merupakan

serabut saraf yang berfungsi menerima rangsang nyeri dan menyalurkan rangsang nyeri.

Proses selanjutnya adalah transduksi dimana ujung akhir saraf aferen mentranslasikan

(menerjemahkan rangsangan) stimulus noksius menjadi impuls nosiseptif. Stimulus noksius

tersebut akan menyebabkan depolarisasi sehingga timbul potensial aksi dari sel saraf.

Selanjutnya terjadi transimisi nyeri dimana potensial aksi berjalan dari tempat cedera melalui

serat saraf aferen primer menuju ganglion akar dorsal medula spinalis, lalu berjalan asenden

melalui traktus spinotalamikus lateralis menuju talamus dan otak tengah. Proses terus

berlanjut ke modulasi nyeri dimana terlibat berbagai aktivitas saraf melalui jalur desendens

dari otak sehingga impuls nyeri dapat diperkuat atau dilemahkan. Impuls pada akhirnya akan

dipersipkan berupa pengalaman subjektif yang dihasilkan dari interaksi transduksi, transmisi,

modulasi, dan aspek psikologis individu.

Nyeri dapat dibedakan berdasarkan patofisiologinya, sumbernya, dan waktunya.

Berdasarkan patofisiologinya, nyeri dibagi menjadi nyeri nosiseptif, neuropatik, dan

psikogenik. Berdasarkan sumbernya, nyeri dibagi menjadi nyeri somatik superfisial, nyeri

somatik dalam, yeri visera, dan nyeri alih. Sementara berdasarkan waktunya, nyeri dibagi

menjadi nyeri akut dan nyeri kronik.

Nyeri dapat diatasi dengan analgesik atau obat penghilang nyeri yang merupakan zat-

zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Analgesik

terbagi menjadi analgesik opioid dan analgesik non opioid. Analgesik opioid adalah

kelompok obat yang terutama digunakan untuk meredakan atau meringankan rasa nyeri yang

bekerja secara langsung pada sistem saraf pusat (SSP). Daya kerjanya meniru opioid

Page 24: Referat Nyeri Dan Analgesik

 24

endogen dengan memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor opioid. Analgesik non opioid

adalah analgesik yang bekerja perifer pada sistem saraf untuk mengurangi rasa sakit. Di luar

efek analgesiknya, obat ini biasanya memiliki dua efek lain yaitu antipiretik dan anti

inflamasi. Sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya adalah berdasarkan mekanisme

kerjanya pada proses penghambatan biosintesis prostaglandin.

Page 25: Referat Nyeri Dan Analgesik

 25

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiyohadi, Bambang et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta:

Interna Publishing

2. Price, Silvia Anderson dan Wilson, Lorraine McCarty. 2006. Patofisiologi Konsep

Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6 Penerjemah Brahm U Pendit. Jakarta:

EGC

3. Soenarto. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Interna Publishing

4. Wuhrman, E. dan Cooney, M.F. (2011) ‘Acute Pain Physiology’, E-medicine

Medscape, [online] ,Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/7350342

(diakses 19 September 2015)

5. Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana. 2007. Obat-obat Penting: Khasiat,

Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya Edisi VI. Jakarta: PT. Elex Media

Komputindo

6. Kumar, V., Cotran, R., dan Robbins, S. 2007. Buku Ajar Patologi Volume 1.

Diterjemahkan oleh Prasetyo, B. dan Toni, P. Jakarta: EGC

7. Zacharoff, L Kevin ‘Pathophysiology of Pain’, Northwest Regional Primary Care

Association [online], Avilable from: http://www.nwrpca.org/health-center-news/156-

the-pathophysiology-of-pain.html (diakses 19 September 2015)

8. Baehr, Mathias dan Frotscher, Michael. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS.

Jakarta: EGC Penerjemah Alifa Dimanti

9. Siebernagl, Stefan dan Lang, Florian. 2000. Color Atlas of Phatophysiology. New

York: Thieme Stuttgart [E-Book]

10. Graham, Rhonda (2013)’The Purpose of Pain Scales’, Intelihealth, available at

www.intelihealth.com/article/the-purpose-of-pain-scales accessed on 19 September

2015

11. Dewoto, Hedi. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi

Fitofarmaka. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum 57, Nomor 7, Juli

12. Wilmana dan Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru

13. Butterworth, John., Mackey, David., Wasnick, John. 2013. Morgan & Mikhail’s

Clinical Anestesiology. New York: McGraw Hill Medical

14. Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC Penerjemah

Staf Dosen Farmakologi FK Universitas Sriwijaya

Page 26: Referat Nyeri Dan Analgesik

 26

15. Goodman dan Gilman. 2008. Dasar Farmakologi Terapi Volume 2. Jakarta: EGC.

Penerjemah Tim alih bahasa Sekolah Farmasi ITB