REFERAT Insomnia Dan Depresi

24
REFERAT GANGGUAN INSOMNIA DAN KAITANNYA DENGAN GANGGUAN DEPRESI 1 DISUSUN OLEH: Mohd Fahamy bin Mohd Nor 10-2008-300 / 11-2011-269 PEMBIMBING : Dr. Ratna Mardiati, SpKJ FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA RSKO CIBUBUR JAKARTA 3 JUNI 2013 – 6 JULI 2013

description

ilmu kesehatan jiwa

Transcript of REFERAT Insomnia Dan Depresi

Page 1: REFERAT Insomnia Dan Depresi

REFERAT

GANGGUAN INSOMNIA DAN KAITANNYA DENGAN GANGGUAN DEPRESI

1

DISUSUN OLEH:Mohd Fahamy bin Mohd Nor10-2008-300 / 11-2011-269

PEMBIMBING :Dr. Ratna Mardiati, SpKJ

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

RSKO CIBUBUR JAKARTA

3 JUNI 2013 – 6 JULI 2013

Page 2: REFERAT Insomnia Dan Depresi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan bimbingan_Nya

sehingga referat Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RSKO Cibubur mengenai

Gangguan Insomnia dan Kaitannya dengan Gangguan Depresi dapat diselesaikan.

Penulis juga turut mengucapkan terima kasih kepada dr. Ratna Mardiati yang telah banyak

membantu dengan memberikan bimbingan yang berguna dalam proses penyusunan referat ini.

Referat mengenai Gangguan Insomnia dan Kaitannya dengan Gangguan Depresi masih jauh

dari kesempurnaan, oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran dengan lapang dada

dari para pembaca sekalian. Semoga dengan kritik dan saran yang membangun, dapat

tersusun referat yang lebih baik di kemudian hari.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

dalam proses penyusunan referat ini. Terima kasih.

Jakarta, Juni 2013

Penulis

2

Page 3: REFERAT Insomnia Dan Depresi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................. 2

Daftar Isi ......................................................................................................... 3

BAB I: Pendahuluan

1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 4

BAB II: Tinjauan Pustaka

2.1. Insomnia ............................................................................................. 6

A. Definisi ............................................................................................. 6

B. Klasifikasi ............................................................................................. 6

C. Tanda dan Gejala ................................................................................. 7

D. Etiologi .............................................................................................. 7

E. Faktor Resiko .................................................................................. 8

F. Diagnosis .............................................................................................. 9

2.2. Depresi .......................................................................................................... 10

A. Definisi .............................................................................................. 10

B. Gejala ............................................................................................... 11

C. Kriteria Diagnosis ....................................................................... 11

2.3. Kaitan Gangguan Insomnia dengan Gangguan Depresi ........................ 12

2.4. Penatalaksanaan ................................................................................... 14

BAB III: Penutup

3.1. Kesimpulan ................................................................................. 16

Daftar Pustaka ............................................................................................. 17

3

Page 4: REFERAT Insomnia Dan Depresi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau

mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.1 Gejala tersebut biasanya diikuti

gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga orang

dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun,

dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup.2 Sebanyak 95% orang

Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup

mereka.1 Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami insomnia.

Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam beberapa

kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan penyesuaian

tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti pekerjaan baru

atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah

beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan

baru atau serupa muncul dalam kehidupan pasien.3

Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya berhubungan dengan

faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti kematian atau penyakit) atau

lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap insomnia yang berlangsung

lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan psikiatri

biasanya pada pasien dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia.3

Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh mengantuk di siang

hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan konsentrasi yang buruk. Hal

ini mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis hiperarousal. Bahkan, meskipun tidak

mendapatkan tidur cukup, pasien dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur

bahkan untuk tidur siang.3,4

Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti berkurangnya kualitas

hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan kondisi seperti diabetes, arthritis,

dan penyakit jantung. Kualitas hidup meningkat dengan pengobatan tetapi masih tidak

4

Page 5: REFERAT Insomnia Dan Depresi

mencapai tingkat yang terlihat pada populasi umum. Selain itu, insomnia kronis dikaitkan

dengan terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.4

Insomnisa sering disertai dengan komorbid kondisi psikologis, khususnya gangguan mood,

seperti depresi. Akan tetapi, sampai sejauh mana masalah tidur menjadi faktor risiko

perkembangan depresi, atau timbul menjadi depresi belum jelas. Fakta yang ada menunjukkan

bahwa, dalam depresi, terjadi hubungan timbal balik, misalnya masalah tidur berperan dalam

meningkatkan manifestasi gejala depresi misalnya gangguan mood, dan psikopatologi depresi

berperan dalam memperburuk gangguan tidur.4

1.2. Tujuan

Oleh karena itu, makalah ini akan mengamati bukti bahwa gangguan tidur yaitu insomnia

menjadi faktor risiko dalam perkembangan dan eksaserbasi depresi, mekanisme umum yang

mendasari antara hubungan insomnia dengan depresi dan keterlibatan klinis mengenai

interaksi diantara tidur dan depresi.

5

Page 6: REFERAT Insomnia Dan Depresi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. GANGGUAN INSOMNIA

A. DEFINISI

Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk

memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya

satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi individu.4 The

International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai

atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam seminggu selama minimal satu

bulan.5 Menurut The International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah

kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode

tidur tersebut.2 Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang

untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk melakukannya.

Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai

penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia

dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja

dan kualitas hidup.6

B. KLASIFIKASI

1. Insomnia Primer

Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. Insomnia atau susah tidur ini

dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola tidur, kebiasaan

sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia

primer ini.2,3

2. Insomnia Sekunder

Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi medis. Masalah

psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat menyebabkan terjadinya

insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis,

diabetes dan rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan

biasanya mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia

6

Page 7: REFERAT Insomnia Dan Depresi

sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk

suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan

alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.2,3

Berdasarkan International Classification of Sleep Disorders (ICD - 10), Insomnia

diklasifikasikan menjadi:

1. Insomnia Akut

2. Insomnia Psikofisiologis

3. Insomnia Paradoksikal

4. Insomnia Idiopatik

5. Insomnia disebabkan Gangguan Mental

6. Kurang Kebersihan Tidur

7. Insomnia Perilaku Masa Kanak-kanak

8. Insomnia disebabkan Penggunaan Zat atau Obat

9. Insomnia disebabkan Kondisi Medis

10. Insomnia bukan karena zat atau kondisi fisiologis dikenal, tidak ditentukan

(nonorganik)

11. Insomnia Fisiologis, tidak spesifik (organik) 2

C. TANDA DAN GEJALA

Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari

Sering terbangun pada malam hari

Bangun tidur terlalu awal

Kelelahan atau mengantuk pada siang hari

Iritabilitas, depresi atau kecemasan

Konsentrasi dan perhatian berkurang

Peningkatan kesalahan dan kecelakaan

Ketegangan dan sakit kepala

Gejala gastrointestinal 1,3

D. ETIOLOGI

1. Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat

membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa

kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai,

perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.3,5,6

7

Page 8: REFERAT Insomnia Dan Depresi

2. Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam

otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.3,5,6

3. Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk

beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti

Ritalin) dan kortikosteroid.3,5,6

4. Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein

adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan

insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh

tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun

di tengah malam.3,5,6

5. Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan

sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar

dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan

insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal

reflux disease (GERD), strok, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.3,5,6

6. Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh atau

pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh,

sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur

siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.3,5,6

7. 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika seseorang khawatir berlebihan tentang

tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur.

Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari

lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti

ketika mereka menonton TV atau membaca.3,5,6

E. FAKTOR RESIKO

Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko insomnia

meningkat jika terjadi pada:

1. Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama siklus

menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause, sering

berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur.1,4

2. Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat

sejalan dengan usia.1,4

8

Page 9: REFERAT Insomnia Dan Depresi

3. Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan,

gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu tidur.1,4

4. Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti

kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis.1,4

5. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia.1,4

6. Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari sering

meningkatkan resiko insomnia.1,4

F. DIAGNOSIS

Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:

1. Pola tidur penderita.

2. Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.

3. Tingkatan stres psikis.

4. Riwayat medis.

5. Aktivitas fisik

6. Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.

Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola tidur dan

tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian kuisioner, untuk

mencapai tujuan yang sama klien bisa mencatat waktu tidur klien tersebut selama 2 minggu.

Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan yang bisa

menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk menemukan

masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia.

Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan pencatatan

selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan mata, dan gerakan

tubuh.5

Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ

Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:

1. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur

yang buruk7

2. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan7

9

Page 10: REFERAT Insomnia Dan Depresi

3. Adanya preokupasi akan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya

pada malam hari dan sepanjang siang hari7

4. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang

cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan7

Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan diagnosis

insomnia diabaikan.7

Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan, oleh

karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria di atas

(seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi

stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2).7

2.2. GANGGUAN DEPRESI

A. DEFINISI

Depresi adalah gangguan mood yang dikarakteristikkan dengan kesedihan yang intens,

berlangsung dalam waktu lama, dan mengganggu kehidupan normal. Depresi dapat terjadi

pada keadaan normal sebagai bagian dalam perjalanan proses kematangan dari emosi.8

Menurut Nasional Insitute of Mental Health, gangguan depresi dipahami sebagai suatu

penyakit tubuh yang menyeluruh (whole-body), yang meliputi tubuh, suasana perasaan dan

pikiran. Ini berpengaruh terhadap cara makan dan tidur, cara seseorang merasa mengenai

dirinya sendiri dan cara orang berpikir mengenai sesuatu. Gangguan depresi tidak sama

dengan suasana murung (blue mood). Ini juga tidak sama dengan kelemahan pribadi atau

suatu kondisi yang dapat dikehendaki atau diharapkan berlaku. Orang dengan penyakit

depresi tidak dapat begitu saja ”memaksa diri mereka sendiri” dan menjadi lebih baik.9

B. GEJALA

Gejala depresi dapat dibagi menjadi beberapa garis besar yaitu:

1. Gangguan emosi

Perasaan sedih atau murung, iritabilitas, ansietas, menarik diri dari hubungan

interpersonal, preokupasi dengan kematian.

2. Gangguan kognitif

Distorsi kognitif seperti mengeritik diri sendiri, rasa bersalah, perasaan tidak berharga,

kepercayaan diri menurun, pesismis, dan putus asa. Penurunan fungsi kognitif seperti

10

Page 11: REFERAT Insomnia Dan Depresi

bingung, konsentrasi buruk, perhatian kurang, daya ingat menurun dan sering ragu-

ragu.

3. Gangguan somatik

Sakit kepala, keluhan saluran pencernaan, keluhan haid dan lain-lain

4. Gangguan vegetatif

Tidak bisa tidur atau terlalu banyak tidur, tidak ada napsu makan atau makan banyak,

penurunan berat badan atau penambahan berat badan, gangguan fungsi seksual.

C. KRITERIA DIAGNOSIS

Gejala utama :

Baik pada derajat ringan, sedang dan berat adalah : afek depresi, kehilangn minat dan

kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa

lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.12

Gejala lainnya:

Konsentrasi dan perhatian kurang, harga diri dan kepercayaan diri kurang, gagasan tentang

rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan

atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan berkurang

atau berlebihan.12

Klasifikasi depresi berdasarkan PPDGJ III

1. Episode depresi ringan

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut diatas , ditambah

sekurang-kurangnya dua dari gejala lainnya, tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya,

lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar dua minggu, hanya sedikit

kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasanya dilakukannya, dengan atau tanpa

gejala somatik.12

2. Episod depresi sedang

Sekurang-kurangnya harus ada dua atau tiga gejela utama depresi seperti pada episod depresi

ringan, ditambah sekurang-kurangnya tiga (dan sebaiknya empat) dari gejala lainnya, lamanya

seluruh episode berlangsung minimem sekitar dua minggu, menghadapi kesulitan nyata untuk

11

Page 12: REFERAT Insomnia Dan Depresi

meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga, dengan atau tanpa gejala

somatik.12

3. Episode depresi berat tanpa gejala psikotik

Semua 3 gejala utama depresi harus ada ditambah sekurang kurangnya 4 dari gejala lainnya

dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat, bila ada gejala penting (misalnya agitasi

atau retardasi psiko motor) yang mencolok, maka pasien mungkin tiudak mau atau tidak

mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci.12

Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih dapat

dibenarkan.12

- Episode depresi biasanya harus berlangsung sekurang kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika

gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan

diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.12

- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau

urusan rumah tangga kecuali pada tarap yang sangat terbatas.12

4. Episode depresi berat dengan gejala psikotik

- Episode depresi berat yang memenuhi kriteria depresi berat.12

- Dengan disertai waham, halusinasi atau stupor depresif, waham biasanya melibatkan ide

tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam diri pasien, merasa bertanggung

jawab atas hal tersebut. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara menghina

atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat

dapat menuju pada stupor.12

- Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi

dengan afek12

5. Distimia

Adalah suatu keadaan depresi kronis dari suasana perasaan dengan ciri utama adanya depresi

suasana perasaan yang berlangsung sangat lama tetapi tidak pernah atau jarang sekali

mengalami ke tingkat yang parah. Biasanya terjadi dalam masa kehidupan dewasa dini dan

12

Page 13: REFERAT Insomnia Dan Depresi

berlangsung sekurang-kurangnya beberapa tahun, kadang-kadang untuk jangka waktu yang

tidak terbatas.12

2.3. KAITAN GANGGUAN INSOMNIA DENGAN GANGGUAN DEPRESI

A. EPIDEMIOLOGI

Hubungan antara tidur dan depresi adalah kompleks, dengan insomnia telah diamati untuk

menjadi faktor risiko untuk dan konsekuensi dari depresi. Studi epidemiologi menunjukkan

bahwa sebanyak 70% pasien dengan gangguan kejiwaan juga mengeluhkan insomnia. Dalam

satu survei dari 7954 responden dengan depresi, dibuktikan 40,4% dari mereka mengalami

insomnia, 46,5% dari mereka yang mengalami hipersomnia dan 16,4% dari mereka tidak

memiliki keluhan tidur. Satu studi yang lain menunjukkan bahwa pasien dengan depresi dapat

mengalami salah satu dari pola tidur yang abnormal seperti peningkatan onset waktu tidur,

pengurangan waktu tidur total, peningkatan fragmentasi tidur dengan peningkatan waktu

bangun setelah onset tidur, penurunan tidur gelombang lambat terkait dengan dipersingkat

rapid eye movement (REM), dan peningkatan waktu tidur REM selama bagian awal malam

pada pasien yang mengalami depresi berat.13

B. INSOMNIA PENYEBAB DEPRESI

Sulit untuk membedakan antara terjadinya insomnia primer atau insomnia sebagai gejala

gangguan kejiwaan yang mendasarinya. Insomnia telah dibuktikan menjadi faktor risiko

untuk gangguan depresif mayor, gangguan distimia, dan gangguan bipolar. Satu survei

menemukan bahwa lebih dari 40% pasien melaporkan gejala insomnia timbul sebelum

berkembang ke gangguan mood. Studi lain menemukan bahwa insomnia yang tidak diobati

meningkatkan resiko terjadinya gangguan kejiwaan baru dalam 1 tahun, dengan hasil

penelitian bahwa hanya 1,7% pasien tanpa gangguan tidur mengalami gangguan depresi,

sementara 5,8 % pasien dengan insomnia mengalami gangguan depresi. Beberapa bukti telah

menunjukkan bahwa mengobati gejala yang mendasari insomnia dapat memberikan efek

menguntungkan terhadap mengurangi atau mencegah depresi. Namun, seberapa besar

keberhasilan tatalaksana tersebut masih memerlukan studi tambahan karena data lain telah

menyarankan bahwa penggunaan hipnotik sendiri mungkin berkontribusi terhadap angka

kejadian insomnia.13

C. INSOMNIA DAN DEPRESI TIMBUL BERSAMAAN

13

Page 14: REFERAT Insomnia Dan Depresi

Meskipun insomnia bukan salah satu kriteria yang diperlukan untuk diagnosis gangguan

depresi mayor, distimia, mania, atau gangguan ansietas umum, insomnia sering digambarkan

sebagai gejala yang terkait dengan kondisi ini. Insomnia dan gangguan depresi yang timbul

bersamaan meningkatkan kompleksitas mendiagnosis dan mengobati pasien. Untuk

membedakan antara insomnia terkait depresi dan insomnia primer adalah dengan

mengidentifikasi gejala khas depresi berat pada siang hari seperti mood depresi yang persisten

dan keinginan bunuh diri yang mana merupakan gejala pada depresi primer.13

Terjadinya gangguan tidur dan depresi secara bersamaan telah diamati menjadi penyebab

kepada penurunan kualitas kesehatan, yang mencakup berbagai aspek fungsi fisik, seperti

keterbatasan karena kesehatan fisik (misalnya, nyeri tubuh, kesehatan umum, kualitas-hidup

miskin yang berhubungan dengan kesehatan vitalitas, dan fungsi sosial) dan keterbatasan

karena masalah emosional dan kesehatan mental. Insomnia juga telah diidentifikasi sebagai

faktor risiko untuk bunuh diri pada pasien depresi. Serotonin dikatakan memainkan peranan

penting dalam kedua gangguan tidur dan bunuh diri karena pada pengamatan yang dilakukan

mendapatkan bahwa rendahnya kadar serotonin sering ditemukan pada pasien yang telah

mencoba atau selesai bunuh diri, dan serotonin memainkan peran penting dalam onset dan

pemeliharaan tidur.13

D. INSOMNIA PERSISTEN SELEPAS PERBAIKAN DEPRESI

Insomnia sering menjadi salah satu gejala terakhir untuk pulih selepas keberhasilan

pengobatan depresi, dan, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan kekambuhan gejala depresi.

Insomnia telah ditemukan timbul sebelum kekambuhan gejala depresi pada 56,2% kasus.

Setelah pengobatan dengan antidepresan, sebagian besar pasien akan menunjukkan gejala sisa

depresi, termasuk hampir setengah dengan beberapa ketaatan gangguan tidur. Perawatan

lanjutan dan resolusi akhir dari gangguan tidur yang terkait harus membantu menunda atau

mencegah kekambuhan depresi, namun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk sepenuhnya

mendukung konsep ini.13

2.4. PENATALAKSANAAN

A. Pengelolaan serentak Insomnia Dengan Depresi

14

Page 15: REFERAT Insomnia Dan Depresi

Insomnia timbul bersamaan dengan depresi merupakan hal yang sulit untuk ditangani. Hal ini

ditunjukkan terutama oleh fakta bahwa tidur bisa terganggu dengan penggunaan banyak

antidepresan yang berbeda, seperti selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), serotonin-

norepinefrin reuptake inhibitor, atau nonselective monoamine oxidase inhibitors. Akibatnya,

strategi manajemen tidur perlu ditambahkan ke rejimen pengobatan. Ketika mengobati

insomnia persisten, perawatan farmakologis harus digunakan jika pasien akan mendapatkan

keuntungan dari obat onset yang cepat, sambil secara bertahap memberi penanganan jangka

panjang dari terapi perilaku-kognitif dan intervensi kebersihan tidur.13

B. Nonfarmakologis

Pengobatan nonfarmakologis insomnia dicadangkan untuk insomnia kronis. Umumnya,

pengobatan nonfarmakologis memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan

pengobatan farmakologis. Pengobatan nonfarmakologis untuk insomnia primer termasuk

perubahan diet dan gaya hidup, serta terapi kontrol stimulus, terapi relaksasi, terapi kognitif-

perilaku, terapi pembatasan tidur, dan perbaikan kesehatan tidur. Meskipun pilihan

pengobatan ini telah digunakan secara luas untuk insomnia primer, keberhasilan mereka

dalam konteks depresi sebagian besar belum diselidiki. Beberapa bukti menunjukkan bahwa

perbaikan dalam tidur akibat pelaksanaan program terapi kognitif-perilaku tidak langsung

dapat menyebabkan efek positif pada pasien dengan gangguan kejiwaan. Penelitian tambahan

diperlukan mengenai kombinasi terapi kognitif-perilaku dan obat antidepresan.13

C. Farmakologis

Telah dibuktikan bahwa penggunaan kombinasi antidepresan dan benzodiazepin (BZD),

agonis reseptor non-benzodiazepin (zolpidem, eszopiclone), atau trazodone secara efektif

dapat mengelola insomnia dan gejala depresi terkait. Menambahkan klonazepam terhadap

fluoxetine untuk pasien dengan depresi yang dalam pengobatan insomnia menunjukkan

perbaikan dalam pengendalian kecemasan dan insomnia, selain pengurangan beberapa gejala

utama depresi, dalam 21 hari pertama pengobatan. Efek samping, termasuk sedasi (biasanya

ringan), mual, diare, sakit kepala, mulut kering, nafsu makan menurun, dan ejakulasi tertunda,

adalah sama untuk terapi kombinasi dan terapi fluoxetine saja. Sebuah penelitian telah

menemukan perbaikan yang serupa dalam insomnia, tetapi perbaikan dalam gejala cemas dan

gejala depresi tidak diamati. Dalam studi lain pasien dengan depresi dan insomnia yang

sedang dalam pengobatan dengan SSRI, diberikan zolpidem sebelum tidur. Hasilnya pasien

mendapat waktu tidur lebih lama, kualitas tidur yang lebih baik, dan mengurangi terbangun,

15

Page 16: REFERAT Insomnia Dan Depresi

dibandingkan dengan plasebo yang diberikan pada sebelum tidur. Kadar insiden efek samping

adalah sama antara kelompok yang diberi zolpidem dan diobati dengan plasebo, dengan sakit

kepala sebagai efek samping yang paling sering dilaporkan muncul pada kedua kelompok.

Dalam studi lain, pasien dengan insomnia dan depresi mayor yang diterapi dengan fluoxetine

secara acak ditugaskan untuk menerima baik eszopiclone 3 mg atau plasebo pada waktu

sebelum tidur. Penelitian ini menunjukkan penurunan signifikan lebih besar pada latensi tidur

dan waktu bangun setelah onset tidur (WASO) dan peningkatan waktu tidur total, kualitas

tidur, dan kedalaman tidur selama periode penelitian 8 minggu pada pasien yang menerima

eszopiclone. Kelompok eszopiclone lebih berpotensi untuk mengalami efek samping

dibandingkan dengan plasebo, dengan kedua kelompok yang paling sering mengalami rasa

tidak enak, sakit kepala, mual, mulut kering, dan mengantuk. Pada pasien depresi dengan

insomnia, trazodone meningkat secara signifikan total waktu tidur, indeks efisiensi tidur,

indeks efisiensi tidur, dan persentase tidur tahap 3 dan 4. Selain itu, ditemukan juga

penggunaan trazodon menurunkan jumlah terbangun, tahapan pergeseran, dan persentase tidur

tahap 1 dibandingkan dengan pengukuran awal. Dalam studi ini, ditermukan efek samping

yang minim selama masa pengobatan dengan trazodone, dengan 1 subjek mengalami

gangguan pencernaan ringan dan 2 orang lainnya mengalami sedasi ringan siang hari.5,13

BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Hubungan antara insomnia dan gangguan depresi merupakan suatu hubungan yang sangat

kompleks dan sulit untuk dimengerti karena kedua-dua gangguan boleh berdiri sendiri atau

saling melengkapi. Penekanan harus diberikan dalam menghadapi masalah ini terutama ketika

mengobati insomnia dalam depresi karena insomnia merupakan faktor risiko depresi.

Insomnia juga memainkan peran penting dalam tingkat keparahan dari episode depresi, dan

insomnia persisten merupakan faktor risiko untuk terjadi kekambuhan depresi. Strategi

pengobatan harus diutamakan untuk mengatasi kedua-dua gejala depresi dan insomnia dan

harus mempertimbangkan penggunaan obat-obatan maupun strategi nonfarmakologi.13

DAFTAR PUSTAKA

16

Page 17: REFERAT Insomnia Dan Depresi

1. Benjamin James Saddock, Virginia Alcott Saddock. Sleep Disorder. Kaplan &

Saddock’s Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry. 10th ed.;

2007; Lippincott Williams & Wilkins. Page: 753-772

2. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International Classification of Sleep

Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and Coding Manual .

Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. ed. Westchester, Ill: American Academy of

Sleep Medicine; 2005:1-32.

3. Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis. Diunduh dari

http://www. emedicina.medscape.com/article/1187829 .com , tanggal 15 Juni 2013

4. World Health Organization, The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural

Disorders. Diunduh dari www.who.int/entity/ classification s/icd/en/bluebook.pdf ,

tanggal 15 Juni 2013

5. Angeliki Statharou, Christina Taka. Insomnia and Depression in Primary Psychiatry

Care. University of Athens, Aignitio Hospital. Diunduh dari

www.hsj.gr/volume6/issue3/632.pdf , tanggal 16 Juni 2013

6. Colin A. Espie. Insomnia; Sleep-Wake Disorders. New Oxford Textbook of

Psychiatry. London: Oxford University Press. 2nd Ed.; 2012; Oxford University Press.

Di unduh dari

http://oxfordmedicine.com/view/10.1093/med/9780199696758.001.0001/med-

9780199696758-book-1 , tanggal 15 Juni 2013

7. Insomnia Nonorganik.Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di

Indonesia III. Cetakan Pertama, Jakarta. Departemen Kesehatan; 1993. Halaman 236-

238

8. Marina Marcus, M. Taghi Yasamy, Mark van Ommeren etc. Depression: A Global

Public Health Concern. Diunduh dari

www.who.int/mental_health/management/ depression , tanggal 17 Juni 2013

9. Depression. Barcelona. WHO, 2005. Diunduh dari

http://www.nimh.nih.gov/health/topics/depression/index.shtml, tanggal 17 Juni 2013

10. R. Irawati Ismail, Kristian Siste. Gangguan Depresi. Buku Ajar Psikiatri, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi Pertama, 2010. Halaman 209-222

11. Jerry L Halverson. Depression. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/286759-clinical, tanggal 19 Juni 2013

12. Episode Depresif. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia

III. Cetakan Pertama, Jakarta. Departemen Kesehatan; 1993. Halaman 150-162

17

Page 18: REFERAT Insomnia Dan Depresi

13. W. Vaughn McCall. Exploring the Relationship Between Insomnia and Depression.

Diunduh dari www.medscape.org/viewarticle/581779, tanggal 19 Juni 2013

18